Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

download Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

of 29

Transcript of Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    1/29

     

    Universitas Indonesia

    9

    2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    2.1. Konsep Kenyamanan

    Konsep tentang kenyamanan (comfort ) sangat sulit untuk didefinisikan,

    terutama dikarenakan konsep ini lebih merupakan penilaian respondentif individu

    (Oborne, 1995). Seseorang tidak dapat mendefinisikan atau mengukur

    kenyamanan secara pasti. Kita cenderung mengukur kenyamanan berdasarkan

    tingkat ketidaknyamanan (Oborne, 1995). Hertzberg (dalam Oborne, 1995) untuk

     pertama kalinya mendefinisikan istilah kenyamanan sebagai the absence of

    discomfort . Sementara itu Branton (dalam Oborne, 1995) menyarankan lebih jauh

     bahwa ketidakhadiran perasaan tidak nyaman bukan berarti merupakan kehadiran

    suatu perasaan yang, seperti apa yang ia utarakan sebagai berikut:

    There appears to be no continuum of feeling, from maximum pleasure to

    maximum pain, along which any momentary state of feeling might be placed,

    but there appears to be continuum from a point of indifference or absence of

    discomfort to another point of intolerance or unbearable pain. 

    Kenyamanan bukan merupakan suatu kontinum perasaan, dari paling

    senang sampai dengan paling menderita, juga bukan merupakan perasaan yang

     bersifat sesaat, tetapi kenyamanan merupakan suatu kontinum dari hilangnya

     perasaan tidak nyaman sampai dengan penderitaan yang tidak tertahankan.

    Sanders dan McCormick (1993) juga menggambarkan konsep

    kenyamanan yang kurang lebih sama seperti Branton, yaitu:

    Comfort is a state of feelings and so depends in part of the person

    experiencing the situation. We cannot know directly or by observation the

    level of comfort being experienced by another person; we must ask people toreport to us how comfortable they are. This is usually done by adjective

     phrases such as mildly uncomfortable, annoying, very uncomfortable, or

    alarming.

    Kenyamanan adalah suatu kondisi perasaan dan sangat tergantung pada

    orang yang mengalami situasi tersebut. Kita tidak dapat mengetahui tingkat

    kenyamanan yang dirasakan oleh orang lain secara langsung atau dengan

    observasi; kita harus menanyakan pada orang tersebut untuk memberitahukan

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    2/29

     

    Universitas Indonesia

    10

     pada kita seberapa nyaman diri mereka, biasanya dengan menggunakan istilah-

    istilah seperti agak tidak nyaman, mengganggu, sangat tidak nyaman, atau

    mengkhawatirkan.

    Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kenyamanan

    merupakan suatu kontinuum perasaan, dari paling nyaman sampai dengan paling

    tidak nyaman, yang dipersepsi secara respondentif oleh individu, dimana nyaman

     bagi individu tertentu belum tentu dirasakan nyaman bagi individu lainnya.

    2.2. Psikologi Lingkungan

    Pada awal kemunculannya, studi psikologi belum banyak memfokuskan

     pada faktor hubungan lingkungan dan manusia. Kelompok humanis berpendapat

    oranglah yang lebih menentukan perilaku. Misalnya dalam situasi menghadapi

    hambatan serius, orang yang bersifat pemarah akan bereaksi marah, sedangkan

    orang yang bersifat penyabar akan bereaksi lebih sabar pula. Di lain pihak,

    kelompok behavioris berpendapat bahwa faktor lingkunganlah yang lebih

    menentukan. Misalnya jika dimarahi orang akan marah kembali, sedangkan kalau

    dipuji orang akan senang. Lewin dalam teorinya yaitu  field theory, berpendapat

     bahwa orang dan lingkungan saling mempengaruhi dalam pembentukan perilaku.

    Semenjak itu, kedua faktor itu dianggap sama penting, dengan tetap berfokus

     pada pengaruh orang dan lingkungan masing-masing terhadap perilaku (Sarwono,

    1992). Ditekankan pula oleh Bell, Baum, Fisher & Greene (2001), bahwa

     psikologi lingkungan juga melihat hubungan antara lingkungan dengan tingkah

    laku manusia secara dua arah atau biasa disebut dengan ketergantungan ekologis

    (ecological interdependency), dimana selain lingkungan dapat mempengaruhi

     perilaku manusia, perilaku manusia juga dapat mempengaruhi lingkungan.Menurut Sarwono (1992), terdapat dua jenis lingkungan dalam hubungan

    antar manusia dengan kondisi fisik lingkungannya. Jenis pertama adalah

    lingkungan yang sudah akrab dengan manusia yang bersangkutan. Misalnya

    rumah untuk anggota keluarga, kokpit untuk pilot pesawat, kantor untuk

    karyawan, sekolah untuk muridnya, dan lain-lain. Jenis kedua adalah lingkungan

    yang masih asing. Misalnya orang desa yang baru pertama kali masuk ke

     pertokoan di kota besar. Pada lingkungan ini manusia dituntut untuk berusaha

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    3/29

     

    Universitas Indonesia

    11

    lebih menyesuaikan diri dan hal tersebut dapat memperbesar kemungkinan

    munculnya stres. Perilaku penyesuaian diri itu sendiri terdiri dari dua jenis.

    Pertama adalah mengubah tingkah laku agar sesuai dengan lingkungan atau

    adaptasi, dan yang kedua adalah mengubah lingkungan agar sesuai dengan

    tingkah laku atau adjustment (Sarwono, 1992).

    Adaptasi terhadap suhu udara yang panas menyebabkan individu secara

     berkala menjadi terbiasa dengan udara panas, sehingga keringat yang dikeluarkan

    lebih sedikit seiring dengan ekspos panas tersebut. Proses adjustment   dapat

    dilakukan dengan menggunakan baju yang lebih tipis atau menyalakan pendingin

    ruangan sehingga suhu udara yang sebelumnya panas menjadi terasa lebih sejuk.

    Bagi sebagian besar makhluk hidup dan pada masa awal kehidupan, adaptasi

     barangkali menjadi pilihan yang lebih masuk akal dibandingkan adjustment. Akan

    tetapi, seiring dengan kemajuan teknologi, adjustment  menjadi pilihan yang lebih

    realistis daripada adaptasi (Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001).

    2.3. Persepsi

    2.3.1 Definisi Persepsi

    Persepsi adalah the  process in which the brain interprets sensations,

     giving them order and rata-rataing   (Wortman, Loftus & Weaver, 1999) atau

     proses dimana otak menginterpretasikan dan memberikan makna terhadap

    sensasi yang kita rasakan. Menurut Sarwono (2002), persepsi dalam pengertian

     psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk

    memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran,

     peraba dan sebagainya), sedangkan lat untuk memahaminya adalah kesadaran

    atau kognisi (Sarwono, 2002). Jadi apabila disimpulkan, persepsi adalah sebuah proses memahami informasi berupa stimulus yang dirasakan oleh penginderaan,

    dan kemudian diinterpretasikan oleh otak kita sehingga informasi tersebut

    menjadi bermakna bagi kita.

    2.3.2 Persepsi Lingkungan

    Berdasarkan objeknya, persepsi dibagi ke dalam dua jenis yaitu persepsi

    terhadap benda dan persepsi terhadap manusia atau gejala sosial. Persepsi

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    4/29

     

    Universitas Indonesia

    12

    merupakan suatu istilah yang diaplikasikan untuk memproses stimulus yang lebih

    komples dan bermakna, yang biasanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari,

    salah satunya adalah lingkungan fisik yang berada di sekeliling kita (Bell, Baum,

    Fisher & Greene, 2001). Ittelson (1978 dalam Bell, Baum, Fisher & Greene,

    2001) mengatakan bahwa persepsi lingkungan meliputi komponen kognitif,

    afektif, interpretif, dan evaluatif, dimana kesemuanya beroperasi secara

     bersamaan melalui beberapa modalitas sensori. Ketika kita mempersepsikan suatu

    lingkungan, proses kognitif yang dilibatkan meliputi apa yang dapat kita lakukan

     pada suatu lingkungan, baik dalam pengelihatan, pendengaran, dan lain-lain.

    Seperti halnya proses kognitif, perasaan (afeksi) terhadap lingkungan juga

    mempengaruhi persepsi kita akan hal tersebut, dan sebaliknya, persepsi kita

    mengenai lingkungan juga mempengaruhi perasaan kita. Selain itu, persepsi

    lingkungan juga meliputi makna dari lingkungan tersebut. Ketika mempersepsi,

    kita secara aktif memproses informasi baru dan membandingkannya dengan

    ingatan yang dimiliki mengenai stimulus di masa lalu. Dan yang terakhir, persepsi

    lingkungan meliputi pemberian nilai (valuation) atau penentuan elemen-elemen

    lingkungan yang dianggap baik atau buruk, dimana terdapat perbedaan pada

    masing-masing individu dalam mempersepsi lingkungan yang indah atau menarik

    (Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001).

    2.4. Kota

    2.4.1. Kehidupan Perkotaan

    Individu yang tinggal di kota-kota besar secara terus menerus

    diperlihatkan pada bermacam-macam atribut lingkungan, beberapa diantaranya

    menarik dan beberapa lainnya dapat menjadi sumber ancaman. Oleh karena itu,selain dapat memberikan hambatan pada perilaku-perilaku tertentu, lingkungan

    kota juga dapat memberikan kesempatan pada munculnya perilaku-perilaku lain

    yang barangkali tidak mungkin terjadi pada lingkungan lain (Heimstra &

    McFarling, 1974).

    Tentunya tidak mungkin untuk mendata seluruh atribut lingkungan yang

    mencirikan kehidupan di kota dan mendiskusikan apa saja yang menjadi sumber-

    sumber kepuasan dan ketidakpuasan bagi penduduk kota. Alasan utamanya

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    5/29

     

    Universitas Indonesia

    13

    adalah penduduk kota yang sangat heterogen dari berbagai karakteristik, seperti

    tingkat ekonomi, pendidikan, motivasi dan lain sebagainya. Namun pada berbagai

     penelitian yang pernah dilakukan mengenai lingkungan perkotaan, diperoleh lebih

     banyak faktor yang menyatakan ketidakpuasan daripada faktor-faktor yang

    menyatakan kepuasan warga terhadap lingkungan kota. Selain itu, tipikal warga

    kota lebih sering dianggap sebagai individu yang tidak peduli dengan orang lain,

    kurang memiliki spontanitas, selalu berpikir dan bertindak rasional, bahkan

    memperhitungkan berbagai kemungkinan dalam rutinitas sehari-hari dan

    sebagainya (Heimstra & McFarling, 1974).

    2.4.2. Krisis Perkotaan (Urban Crisis)

    Arthur Naftalin (1970 dalam Heimstra & McFarling, 1974) mengatakan

     bahwa beberapa ciri-ciri lingkungan perkotaan memiliki pengaruh bagi penduduk

    kota. Sayangnya, sebagian besar dari ciri-ciri tersebut merupakan aspek negatif

    dari lingkungan perkotaan dan menyebabkan munculnya krisis perkotaan (urban

    crisis).

     Naftalin juga menjelaskan bahwa krisis perkotaan meliputi semua

     permasalahan, baik pemerintahan, perekonomian, sosial, psikologis, teknologi,

    moral, dan filosofis. Krisis perkotaan juga meliputi seluruh aspek kehidupan

    masyarakat dan perilaku individu: hubungan antar manusia, pelaksanaan hukum,

     perumahan, sanitasi, pelayanan kesehatan, pendidikan, distribusi pendapatan, dan

    lain-lain.

    Untuk aspek lingkungan fisik, krisis perkotaan meliputi: peningkatan

    kemacetan dan polusi, pemborosan sumber daya alam, kurangnya perumahan

    yang memadai, kegagalan dalam pemeliharaan ruang terbuka, permasalahan persediaan air, sistem pembuangan air (drainage), pengolahan sampah, dan

     pesatnya perkembangan teknologi yang memperkenalkan pada kecepatan,

     pergerakan dan perubahan yang mungkin dapat membingungkan banyak orang

    (Naftalin, 1970 dalam Heimstra & McFarling, 1974).

    Dari sisi sosial, krisis perkotaan bukan hanya permasalahan kemiskinan,

    meskipun hal tersebut merupakan satu elemen yang paling mempengaruhi. Krisis

    tersebut juga meliputi perubahan struktur nilai yang pada dasarnya mengubah

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    6/29

     

    Universitas Indonesia

    14

    kehidupan keluarga dan keseluruhan pola hubungan manusia, peningkatan

    konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang yang sudah mengkhawatirkan,

     bertambahnya tekanan dikarenakan perasaan tidak aman dan ketidakmampuan

    untuk menghentikan permusuhan. Hal-hal diatas terjadi dikarenakan melemahnya

    kontrol dari institusi sosial khususnya dalam aspek keluarga dan pendidikan

    (Naftalin, 1970 dalam Heimstra & McFarling, 1974).

    Selain yang disebutkan oleh Naftalin di atas, tingginya kepadatan

     penduduk yang dapat memicu kepadatan yang berlebihan juga merupakan salah

    satu krisis utama. Begitu pula dengan kriminalitas, agresi dan kekerasan

    (Heimstra & McFarling, 1974).

    2.5. Stres

    2.5.1. Pengertian Stres

    Stres adalah suatu keadaan dimana beban yang dirasakan seseorang tidak

    sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi beban itu (Markam, 2005).

    Dikatakan pula oleh Geen (1976 dalam Phares, 1992) bahwa stres merupakan:

     A state that occurs when changes in the environment place either too much or

    too little demand on the person and when normal adjustive responses are not

    available or else do not work. In short, there is a threat to one’s security that,

    left unchecked, can lead to breakdown

    Jadi, stres merupakan suatu keadaan yang muncul ketika terjadi perubahan

    lingkungan yang dirasakan seseorang dan ketika respon penyesuaian terhadap

     perubahan tersebut tidak berhasil dilakukan. Singkat kata, seseorang merasa

    keamanan dirinya terancam, tidak terkontrol, dan dapat memicu munculnya

    gangguan.Konsep stres psikologis pertama kali dikemukakan oleh Lazarus pada

    tahun 1966, untuk kemudian dilakukan perbaikan-perbaikan oleh Lazarus

     bersama rekan-rekannya. Konsep stres memberikan suatu kerangka untuk

    memahami bagaimana sebagian besar orang bereaksi terhadap berbagai hambatan

    dan tantangan (Gardner & Stern, 1996). Reaksi tersebut meliputi komponen

    emosi, perilaku, dan fisiologis. Komponen psikologis pertama kali digunakan

    oleh Selye pada tahun 1956 dan sering disebut sebagai stres sistemik (teratur),

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    7/29

     

    Universitas Indonesia

    15

    sedangkan komponen emosi dan perilaku pertama kali digunakan oleh Lazarus

     pada tahun 1966 dan 1998, dan sering disebut sebagai stres psikologis (Bell,

    Baum, Fisher & Greene, 2001).

    Terkadang, istilah ‘stres’ tidak diizinkan penggunaannya untuk kejadian-

    kejadian di lingkungan, dan sebagai gantinya istilah ‘gangguan’ digunakan untuk

    menjelaskan konsekuensi pada individu. Akan tetapi, istilah stres kemudian

    dipergunakan untuk mengacu pada keseluruhan situasi stimulus-respon,  stressor  

    untuk mengacu pada komponen lingkungan, dan respon stres untuk mengacu

     pada reaksi individu yang disebabkan oleh komponen lingkungan (Bell, Baum,

    Fisher & Greene, 2001).

    2.5.2. Penyebab stres ( Stressor )

    Terdapat beberapa cara yang dapat dipergunakan untuk mengelompokkan

     jenis stressor . Lazarus dan Cohen (1977, dalam Lazarus & Folkman, 1984; Bell,

    Baum, Fisher & Greene, 2001) menyebutkan tiga karakteristik stressor , yaitu:

    1. 

    Cataclysmic events 

    Yaitu perubahan besar yang memberi dampak pada sejumlah besar

    orang, seperti bencana alam, perang nuklir, atau kebakaran yang sifatnya tidak

    dapat diprediksi dan sangat mengancam sehingga memberikan dampak yang

    sangat besar terhadap mereka yang mengalaminya. Kejadian-kejadian tersebut

    merupakan  stressor   yang sangat besar dan memiliki beberapa karakteristik

    dasar, yaitu kemunculannya yang sangat tiba-tiba dan tanpa adanya peringatan

    sebelumnya. Akibat yang ditimbulkannya sangat besar dan menghasilkan

    respon yang kurang lebih sama pada mereka yang mengalaminya, serta

    membutuhkan usaha yang besar untuk proses penyelesaian yang efektif.Satu hal yang sangat penting dari cataclysmic events, yang juga dapat

    membantu proses penyelesaian, adalah mereka memberikan dampak bagi

    sejumlah besar orang. Keterkaitan dengan orang lain serta memungkinkannya

    korban untuk membandingkan perasaan dan pendapat dengan mereka yang

     juga bernasib sama menjadi bentuk penyelesaian terhadap ancaman sejenis

    yang sangat penting, karena dukungan sosial dapat membantu mengurangi

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    8/29

     

    Universitas Indonesia

    16

    dampak buruk dari situasi yang membuat stres (Norris & Kaniasty, 1996

    dalam Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001).

    2.   Personal events 

    Yaitu perubahan besar yang hanya memberi dampak pada satu atau

    sebagian kecil orang, seperti penyakit, kematian kerabat dekat, atau

    kehilangan pekerjaan—berbagai kejadian yang cukup kuat untuk menantang

    kemampuan beradaptasi seseorang seperti halnya pada cataclysmic events.

    Seringkali pada  stressor  personal, dampak terparah yang mungkin terjadi

    muncul pada awal periode, dan penyelesaian dapat dengan mudah dilakukan

    ketika bagian terburuk sudah dapat dilewati, walaupun tidak pada semua

    kasus berlaku hal yang sama. Akan tetapi, sedikitnya jumlah orang yang

    mengalami  stressor   personal tertentu menyebabkan sedikit pula orang lain

    yang dapat memberikan dukungan sosial. Selain tu, cataclysmic events seperti

     bencana alam dapat menyebabkan kematian orang yang dicintai, kehilangan

     pekerjaan, atau stressor  personal lainnya.

    3. 

     Background events

    Yaitu stresor yang tidak terlalu kuat, lebih bertahap, tetapi lebih parah

    dan cenderung rutin. Rotton (1990 dalam Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001)

    membagi background  stressor   ke dalam dua tipe, tekanan sehari-hari (daily 

    hassles) dan  stressor   yang terdapat di sekeliling kita (ambient   stressors).

     Daily hassles didefinisikan sebagai pengalaman dan kondisi sehari-hari yang

    dinilai salient dan menyakitkan atau mengancam kesejahteraan manusia.

    Selain itu, hassles  juga didefinisikan sebagai pengalaman sehari-hari yang

    mengganggu dan menyebabkan frustrasi yang muncul akibat transaksi antara

    individu dengan lingkungannya (Lazarus, 1984 dalam Miller & Townsend,2005). Ambient stressors adalah kondisi lingkungan yang global dan kronis— 

    seperti polusi, kebisingan, kesesakan, kemacetan lalu lintas—yang secara

    umum menggambarkan kondisi-kondisi berbahaya serta menuntut kita untuk

    dapat segera beradapatasi atau mengatasinya (Campbell, 1983 dalam Bell,

    Baum, Fisher & Greene, 2001).

    Satu atau dua macam background   stressors  mungkin tidak terlalu

    memberikan dampak yang buruk, tetapi ketika beberapa muncul secara

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    9/29

     

    Universitas Indonesia

    17

     bersamaan, mereka dapat menjadi suatu permasalahan yang sangat serius.

    Ekspos yang menetap dan terus menerus terhadap background    stressors 

    tertentu akan membutuhkan respon yang jauh lebih adaptif dalam jangka

    waktu yang panjang daripada stressor  yang lebih besar (Bell, Baum, Fisher &

    Greene, 2001).

    Beberapa dari  stressor   lingkungan yang disebutkan di atas dapat secara

    langsung memberikan pengaruh negatif pada tubuh seseorang (Selye et al., 1976

    dalam Gardner & Stern, 1996). Akan tetapi, pengaruh psikologis negatif hanya

    muncul setelah seseorang mempersepsi dan menilai secara kognitif suatu elemen

    lingkungan sebagai penyebab stres atau  stressor . Stressor   yang akan dibahas

     pada penelitian ini adalah kedua jenis background   stresors yaitu daily hassles dan

    ambient   stressors  yang cenderung sering dianggap remeh namun dialami oleh

     banyak orang (dalam penelitian ini, warga kota Bogor) dan seperti disebutkan di

    atas, apabila dibiarkan terus menerus berpotensi untuk menjadi suatu

     permasalahan yang lebih serius dibandingkan  stressor   lain yang lebih besar.

    Beberapa stressor yang penulis anggap sangat dekat dengan kehidupan warga

    kota Bogor akan dibahas lebih lanjut menjelang akhir bab ini.

    Terdapat dua proses persepsi/kognitif yang terlibat disini: 1) Penilaian

    utama ( primary  appraisal ) yang memberikan penilaian pada keaslian dan

     besarnya elemen lingkungan; 2) Penilaian sekunder ( secondary appraisal ) yang

    menilai derajat dimana kemampuan penanganan masalah yang dimiliki seseorang

    cukup untuk memenuhi tantangan dan ancaman dari  stressor   yang mungkin

    muncul (Gardner & Stern, 1996).

    Apabila proses penilaian utama menggambarkan bahwa elemenlingkungan memiliki ancaman, tetapi proses penilaian sekunder menjelaskan

     bahwa seseorang memiliki kendali langsung terhadap elemen lingkungan, maka

    seseorang hanya akan mengalami sedikit dampak negatif. Perlu dicatat bahwa

     persepsi mengenai kendali pribadi dapat secara nyata menghilangkan pengaruh

    negatif dari  stressor   yang ada, bahkan jika orang tersebut tidak melakukan

    tindakan apapun. Dengan kata lain, adanya pengetahuan atau persepsi kendali

    yang dimiliki seseorang cukup untuk mengurangi bahkan menghilangkan dampak

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    10/29

     

    Universitas Indonesia

    18

    dari banyak  stressors  (Gardner, 1978; Evans & Cohen, 1987; Bell et al., 1990

    dalam Gardner & Stern, 1996).

    Bagaimana jika seseorang dihadapkan pada sebuah elemen lingkungan

    yang dia persepsikan sebagai ancaman dan tidak dapat dikendalikan? Lazarus dan

    koleganya (Lazarus 1980 dalam Gardner & Stern, 1996) mengatakan terdapat dua

    tipe strategi penyelesaian: 1) Penyelesaian yang berfokus pada permasalahan

    ( problem-focused coping ), dan 2) Penyelesaian yang berfokus pada emosi

    (emotion-focused coping ). Pada problem-focused coping, seseorang memiliki

    kendali terhadap stressor , tetapi tidak dengan langkah yang langsung dan mudah.

    Seseorang akan berpikir dan mengaplikasikan perilaku baru yang dapat

    mengurangi  stressor   (seperti pada kasus tetangga yang membuat kebisingan,

    misalnya dengan menggunakan penyumbat telinga, memasang dinding yang

    dapat meredam suara, atau mencari tempat tinggal lain). Ketika seseorang tidak

    memiliki pilihan untuk melakukan  problem-focused coping , maka biasanya dia

    akan mengambil jalan dengan melakukan emotion-focused coping . Strategi

     penyelesaian tersebut melibatkan usaha yang besar, baik kognitif maupun

     perilaku, untuk mengurangi emosi tidak menyenangkan yang disebabkan oleh

     stressor  atau untuk dapat lebih bertoleransi terhadap  stressor  tersebut (pada kasus

    tetangga yang membuat kebisingan, usaha yang dilakukan misalnya dengan

    memukul bantal untuk mengalihkan amarah kita terhadap tetangga yang bising)

    (Gardner & Stern, 1996).

    2.5.3. Stres Lingkungan 

    Stres lingkungan merupakan salah satu bentuk stres dimana seseorang

    merasakan lingkungan tempat dia berada tidak menyenangkan dan ataumengancam kesejahteraan dengan berbagai cara (Bell et al ., 1990 dalam Gardner

    & Stern, 1996). Salah satu faktor yang meningkatkan minat dalam masalah stres

    dan penyelesaiannya adalah pentingnya fokus lingkungan atau ekologi sosial

    dalam penelitian ilmu perilaku. Psikologi klinis dan psikiatri sudah mulai

    melangkah dari pendekatan intrapsikis yang kaku, dimana proses yang terjadi

     berdasarkan kepada psikopatologis yang terdapat di dalam diri seseorang, menuju

     pada pendekatan lingkungan. Psikologi lingkungan (atau ekologi sosial) sendiri

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    11/29

     

    Universitas Indonesia

    19

    telah didukung dengan berkembangnya etologi sebagai sebuah ilmu alam. Setelah

    menyaksikan sendiri pengaruh dari etologi, para ilmuwan sosial pun menyadari

    akan masih kurangnya pemahaman mereka tentang habitat alami dari manusia

    (Lazarus & Folkman, 1984).

    Stres sendiri sebagian bergantung pada tuntutan sosial dan fisik dari

    lingkungan (Altman & Wohlwill, 1977; Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970;

    Stokols, 1977 dalam Lazarus & Folkman, 1984). Berbagai hambatan dan sumber

    daya lingkungan (Klausner, 1971 dalam Lazarus & Folkman, 1984), yang

    menetukan berbagai kemungkinan penyelesaian, juga menjadi faktor penting.

    Untuk itu, kemunculan ilmu lingkungan telah membawa teori dan penelitian

    mengenai stres kepada sebuah pengembangan sudut pandang dan juga perubahan-

     perubahan baru (Lazarus & Folkman, 1984).

    Para peneliti telah mengaplikasikan pendekatan stres lingkungan untuk

    memahami dan memperkirakan reaksi-reaksi yang mungkin muncul dalam

    kehidupan perkotaan. Elemen-elemen negatif dari kehidupan perkotaan dapat

    dirasakan sebagai ancaman dan dapat menimbulkan reaksi-reaksi stres yang

    meliputi komponen emosi, perilaku, dan fisiologis. Reaksi stres dapat memicu

    munculnya strategi penyelesaian, baik secara konstruktif maupun destruktif.

    Apabila strategi tersebut berhasil menghilangkan ancaman, muncul proses

    adaptasi dan konsekuensi munculnya penyebab stres akan terhambat dalam

     jangka panjang. Sedangkan bila strategi tersebut gagal, akan banyak efek negatif

     jangka panjang dan berbagai bentuk agresi yang akan muncul, seperti penarikan

    diri dari kehidupan sosial, perusakan atau vandalisme, dan lepasnya tanggung

     jawab (Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001).

    Stressors  lingkungan sudah dipelajari sejak tahun 1970an dengan pertanyaan besar: Apa sajakah dampak kesehatan fisik, kesejahteraan jiwa, dan

     perubahan perilaku, dari satu atau beberapa ketidaknyamanan fisik seperti

    kebisingan, kepadatan penduduk, serta polusi—dimana kesemuanya ditemukan di

     perkotaan dengan tingkat konsentrasi tinggi (Evans, 1982; Evans & Cohen, 1987;

    Evans & Stecker, 2004; Glass & Singer, 1972 dalam Robin, Matheau-Police, &

    County, 2007)? Konsep ambient   stressors  dimaksudkan untuk menggambarkan

    kondisi negatif lingkungan yang semakin bertumpuk dan secara fisik sangat jelas

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    12/29

     

    Universitas Indonesia

    20

    terlihat, dan stressors tersebut memberikan dampak yang parah bagi individu dan

    secara umum berada di luar kendali kita (Campbel, 1983 dalam Robin, Matheau-

    Police, & County, 2007). Selain kondisi fisik lingkungan perkotaan, berbagai

     bentuk gangguan sosial juga berkaitan erat dengan kehidupan perkotaan,

    khususnya melemahnya okntak sosial, ketidakamanan dan kriminalitas (Robin,

    Matheau-Police, & County, 2007). Hal tersebut tentunya sangat memprihatinkan

    mengingat kota adalah pusat kegiatan dan kehidupan masyarakatnya, dan bahkan

     banyak pula penduduk desa yang berurbanisasi ke kota sekedar untuk mencari

    nafkah, sehingga jumlah penduduk di perkotaan peningkatannya sangat pesat.

    2.6. Kebisingan ( Noise)

    2.6.1. Pengertian Kebisingan

    Definisi paling sederhana dari kebisingan atau noise  adalah suara yang

    tidak diharapkan atau unwanted sound   (Kryter, 1970 dalam Baum & Paulus,

    1987). Kita boleh saja menikmati musik dari grup rock  favorit kita di radio, akan

    tetapi bila musik tersebut mengganggu teman sekamar kita yang sedang tidur

    maka musik tersebut dapat dikatakan sebagai kebisingan bagi teman sekamar kita

    (Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001). Kebisingan dipandang sebagai salah satu

    sumber ketidakpuasan dan terkadang sebagai hambatan suatu performa (Baum &

    Paulus, 1987). Konsep kebisingan meliputi komponen psikologis yaitu apakah

    suara tersebut diinginkan atau tidak, dan fisiologis dimana suara tersebut harus

    dipersepsikan melalui pendengaran dan otak (Bell, Baum, Fisher & Greene,

    2001).

    Beberapa jenis suara terasa lebih mengganggu daripada suara yang lain.

    Suara yang lebih keras tentunya akan terasa lebih mengganggu daripada suarayang tenang. Kebisingan menjadi sebuah fenomena lingkungan yang sifatnya

    mengganggu karena , sesuai dengan definisinya, keberadaannya tidak diinginkan.

    Hal tersebutlah yang menyebabkan kebisingan menjadi suatu permasalahan (Bell,

    Baum, Fisher & Greene, 2001). Kryter (1970 dalam Bell, Baum, Fisher &

    Greene, 2001) dan Glass dan Singer (1972 dalam Bell, Baum, Fisher & Greene,

    2001) menyebutkan bahwa terdapat tiga dimensi mempengaruhi karakteristik

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    13/29

     

    Universitas Indonesia

    21

    suara yang mengganggu, yaitu (1) volume suara; (2) perkiraan munculnya suara;

    dan (3) kendali terhadap suara.

    Volume suara diukur dengan menggunakan satuan desibel atau dB

    (Greenberg, 2004). Pada level 85 dB, stres biasanya mulai berkembang, dan

    ekspos yang terus menerus pada suara diatas 90 dB, atau setingkat dengan suara

    yang dihasilkan oleh truk besar yang berjarak 15 meter, tidak hanya dapat

    mengganggu secara psikologis, tetapi juga kerusakan pada organ pendengaran

    apabila suara tersebut terus menerus terdengar selama delapan jam atau lebih.

    Semakin keras volume suara yang muncul, maka akan semakin menganggu

    komunikasi verbal, meningkatkan stres, dan atensi yang dibutuhkan dalam

    melakukan suatu hal menjadi lebih besar. Tabel 2 menggambarkan secara ringkas

    tingkat desibel beserta suara yang umum terdengar.

    Selain itu, suara yang tidak dapat diperkirakan kapan datangnya atau tidak

    teratur kemunculannya akan lebih mengganggu daripada suara yang dapat

    diperkirakan kedatangannya dan kemunculannya lebih teratur. Kita dapat lebih

     beradaptasi terhadap suara yang kemunculannya teratur karena stimulus yang

    sama muncul secara berkala. Terakhir, suara yang tidak dapat dikendalikan akan

    lebih mengganggu daripada suara yang dapat kita kendalikan. Apabila kita

    menggunakan gergaji mesin yang bising, kita dapat mengendalikan suara bising

    tersebut dengan mematikan mesin gergaji. Suara yang tidak dapat dikontrol akan

    menyebabkan peningkatan kewaspadaan, stres, mengganggu atensi, dan lebih

    sulit untuk disesuaikan. Kurangnya kendali terhadap suara juga dapat

    menyebabkan reaktansi psikologis dan berbagai hambatan dalam memperoleh

    kebebasan bertindak dengan memaksakan diri untuk mengendalikan hal tersebut.

    Dan apabila usaha tersebut tidak berhasil, maka akan terbentuk suatuketidakberdayaan atau learned helplessness, dimana seseorang akan begitu saja

    menerima suara bising dan tidak berusaha untuk mengendalikannya walaupun

     pada akhirnya kendali tersebut mungkin saja untuk dilakukan (Bell, Baum,

    Fisher & Greene, 2001).

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    14/29

     

    Universitas Indonesia

    22

    Tabel 2. Level Suara dan Respon Manusia

    Suara yang sering muncul Desibel Pengaruh yang Ditimbulkan

    Bernafas secara normal 10 Hanya terdengar suara

    Bisikan 30 Sangat sepi/tenang

    Percakapan normal 50-65 Nyaman (dibawah 60 dB)

    Penyedot debu 70 Terganggu (seperti ketika

    menggunakan telepon)

    Pembuangan sampah di 80 Bising, mengganggu jalannya percakapan,

     bak cuci piring ekspos yang terus menerus dapat

    menyebabkan kerusakan pendengaran

    Televisi 70-90 Sangat mengganggu, 85 dB adalah tingkat

    Mesin pemotong rumput 85-90 suara dimana akan mulai terjadi kerusakan

    Sepeda motor dengan jarak 90 pendengaran setelah ekspos yang terus8 meter menerus selama 8 jam

    Mobil pembersih salju 105 Ekspos suara dengan level di atas 100 dB yg

    Gergaji mesin 110 terus menerus selama lebih dari satu menit

     beresiko untuk merusak pendengaran secara

     permanen

    Petir, radio boom box  120 Ambang batas sensasi suara adalah 120 dBStereo (yang lebih dari 120

    watt) 110-125Pesawat jet yang lepaslandas 130 Melebihi ambang batas rasa sakit (125 dB)

    Tembakan pistol 130

    Konser musik rock   110-140

    Sumber:  National Institute on Deafness and Other Communication Disorders,

     NH, Betesda, Jan. 1990 dalam Greenberg, 2004.

    Suara dianggap menganggu apabila: (1) suara tersebut dipersepsikan

    sebagai sesuatu yang tidak penting atau tidak memberikan kontribusi terhadap

    sesuatu yang kita inginkan atau hargai; (2) mereka yang menimbulkan suara

    tersebut terkesan tidak peduli terhadap kesejahteraan orang-orang yang terekspos

    oleh suara tersebut; (3) orang yang mendengar suara tersebut meyakini bahwa

    suara tersebut berbahaya bagi kesehatan; (4) orang yang mendengar suara tersebut

    mengasosiasikan suara tersebut dengan perasaan takut; atau (5) orang yang

    mendengar suara tersebut merasa tidak puas dengan aspek lain yang terdapat di

    dalam lingkungan dimana orang tersebut berada (Bell, Baum, Fisher & Greene,

    2001).

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    15/29

     

    Universitas Indonesia

    23

    2.6.2. Sumber Kebisingan

    Kebisingan dapat muncul dari mana saja, karena hal tersebut merupakan

    komponen respondentif dan harus dinilai sebagai suara yang tidak diinginkan.

    Menurut Bell, Baum, Fisher & Greene (2001), pada dasarnya terdapat dua seting

    umum dimana kebisingan dapat menjadi suatu permasalahan:

    1.  Kebisingan transportasi

    Kebisingan yang disebabkan oleh mobil, truk, kereta, pesawat terbang,

    dan moda transportasi lainnya menimbulkan atensi khusus karena

     berbagai alasan. Pertama, hal tersebut sangat tersebar luas dan menjadi

    suatu isu yang umum terjadi dimanapun. Survey membuktikan bahwa

    kebisingan transportasi merupakan bentuk kebisingan perkotaan yang

     paling sering disebutkan, dan semakin banyaknya jalan bebas hambatan

    (tol) yang dibangun seringkali dihubungkan dengan meningkatnya

    kejengkelan warga kota, khususnya yang tinggal berdekatan dengan jalur

    transportasi tersebut (Lawson & Walters, 1974 dalam Bell, Baum, Fisher

    & Greene, 2001). Selain itu, meningkatnya sistem transportasi udara juga

    sejalan dengan meningkatnya tingkat kebisingan di lokasi sekitar bandara,

    dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebisingan yang ditimbulkan

    oleh pesawat terbang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan

    gangguan pendengaran (Ising et al ., 1990 dalam Bell, Baum, Fisher &

    Greene, 2001). Karakteristik kedua dari kebisingan transportasi adalah

    suara yang sangat keras (loud ). Akan tetapi, gangguan itu sendiri tidak

    sepenuhnya disebabkan oleh kerasnya suara; faktor akustik (volume suara)

    dan nonakustik (seperti perkiraan munculnya suara) pada skala yang

    mengganggu juga ikut menentukan pengaruh mood akibat kebisingan(Green & Fidell, 1991 dalam Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001).

    2.  Kebisingan di tempat kerja

    Kebisingan di tempat kerja merupakan permasalahan besar kesua yang

     juga membutuhkan atensi khusus. Salah satu karakteristik dari kebisingan

    di tempat kerja, khususnya seting perkantoran, adalah kebisingan tersebut

    sangat luas, dihasilkan oleh berbagai suara dan frekuensi, dan level suara

    di beberapa seting tempat kerja cenderung keras. Pekerja konstruksi

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    16/29

     

    Universitas Indonesia

    24

    terekspos kebisingan sebesar 100 dB, mekanik pesawat terbang terekspos

    kebisingan antara 88 dB sampai dengan 120 dB, dan pekerja tambang

    terekspos kebisingan sebesar 95 dB sampai dengan 105 dB (Raloff, 1982

    dalam Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001).

    2.6.3. Pengaruh Kebisingan

    a.  Pengaruh kebisingan terhadap kesehatan fisik

    Pengaruh yang paling masuk akal terhadap kebisingan adalah

    kerusakan pendengaran. Walaupun suara yang keras (misalnya 150 dB)

    dapat memecahkan gendang telinga atau merusak bagian dalam telinga

    lainnya, kerusakan pendengaran akibat ekspos terhadap suara yang

     berlebihan biasanya justru muncul pada level suara yang lebih rendah (90

    sampai 120 dB) karena kerusakan yang sementara atau permanen pada sel

    rambut yang sangat kecil yang terdapat di koklea pada bagian dalam

    telinga. Kerusakan pendengaran semacam itu pada dasarnya dibagi ke

    dalam dua tipe: (1) temporary threshold shifts  (TTS) atau perubahan

    ambang batas sementara, dimana ambang batas normal akan kembali

    dalam waktu 16 jam setelah terekspos suara yang merusak pendengaran,

    dan (2) noise-induced permanent threshold shifts (NIPTS) atau suara yang

    menyebabkan perubahan ambang batas permanen, yang khusus dilakukan

     pengukuran pada jangka waktu satu bulan (atau lebih) setelah terekspos

    suara yang merusak pendengaran (Kryter, 1994 dalam Bell, Baum, Fisher

    & Greene, 2001).

    Selain itu, suara yang sangat keras juga dapat memicu peningkatan

    stres (seperti dari Cohen et al., 1986; Glass & Singer, 1972 dalam Bell,Baum, Fisher & Greene, 2001). Berbagai penyakit yang diakibatkan

    stres—seperti tekanan darah tinggi—juga dapat meningkat apabila

    terekspos terhadap suara yang sangat keras dan tidak dapat diprediksi

    kemunculannya (Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001). Kebisingan juga

    mempengaruhi fungsi sistem kekebalan tubuh manusia sehingga

    seseorang menjadi lebih sensitif terhadap infeksi (seperti dari McCarthy,

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    17/29

     

    Universitas Indonesia

    25

    Ouimet, & Dunn, 1992; Sieber et al., 1992; Weisse et al., 1990 dalam

    Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001).

     b.  Pengaruh kebisingan terhadap kesehatan mental

    1. 

    Pengaruh kebisingan terhadap performa

    Pada dasarnya, apakah kebisingan memperburuk,

    meningkatkan, ataupun sama sekali tidak berhubungan dengan

     performa seseorang dalam melakukan tugas, tergantung pada tiga

    karakteristik suara yang mengganggu yang sudah dibahas

    sebelumnya (intensitas atau volume, perkiraan kemunculan suara,

    dan kendali terhadap suara), jenis tugas yang dilakukan, dan

    toleransi terhadap stres serta tipe kepribadian individu (seperti dari

    Baker & Holding, 1993; Cohen & Weinstein, 1982; Koelega &

    Brinkman, 1986 dalam Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001).

    Suara yang muncul secara tiba-tiba, sangat keras, dan tidak

    diduga kemunculannya secara langsung dapat mengganggu

    individu yang sedang melakukan suatu tugas dan menyebabkan

    kesalahan dalam pengerjaan tugas, khususnya yang membutuhkan

    konsentrasi tinggi. Akan tetapi, Glass dan Singer (1972 dalam

    Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001) menyebutkan bahwa hal

    tersebut bahkan sangat minim terjadi atau dapat diatasi oleh

    individu yang memiliki persepsi bahwa mereka dapat

    mengendalikan suara tersebut (mereka dapat menghentikan suara

    tersebut jika mereka menginginkannya).

    Selain itu, kebisingan juga dapat mempengaruhi performa

    kerja setelah kebisingan tersebut terjadi (aftereffects). Ternyata, pengaruh kebisingan terhadap performa yang muncul setelah

    kebisingan terjadi sama besarnya dengan ketika kebisingan

     berlangsung. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sherrod et al.

    (1977 dalam Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001) menyatakan

     bahwa aftereffects  tersebut tergantung pada besarnya persepsi

    kendali yang dimiliki individu. Hasil dari penelitian tersebut

    menunjukkan bahwa semakin besar persepsi kendali terhadap

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    18/29

     

    Universitas Indonesia

    26

    kebisingan, maka semakin tinggi ketahanan seseorang dalam

    mengerjakan puzzle yang rumit ketika kebisingan tersebut berhenti

    (Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001).

    2. 

    Pengaruh kebisingan terhadap perilaku sosial

    Apabila kebisingan dapat meningkatkan stres,

    kewaspadaan, mengurangi atensi atau berbagai hambatan perilaku

    lainnya, maka ekspos terhadap kebisingan dapat mempengaruhi

    hubungan interpersonal yang diakibatkan oleh mediator-mediator

    tersebut. Pada bagian ini, akan dibahas beberapa bentuk hubungan

    sosial—ketertarikan, perilaku menolong, dan agresi—untuk

    menentukan apa yang dapat diakibatkan oleh kebisingan terhadap

    interaksi sosial (Bell, Baum, Fisher & Greene, 2001).

    a.  Kebisingan dan Ketertarikan

    Salah satu cara untuk mengukur adanya pengaruh kebisingan

    terhadap ketertarikan ialah dengan menggunakan konsep jarak

     pribadi ( personal space), yaitu dengan mengukur jarak fisik

    antara diri kita dengan orang lain; kita cenderung untuk berdiri

    atau duduk lebih berdekatan dengan orang yang kita sukai

    daripada orang yang tidak kita sukai. Oleh karena itu, apabila

     jarak interpersonal dijadikan suatu indikator ketertarikan dan

    apabila kebisingan terbukti menurunkan tingkat ketertarikan,

    maka kita dapat menganggap kebisingan memperlebar jarak

    interpersonal.

    Selain itu, kebisingan juga terbukti mempengaruhi jumlah

    informasi yang ditangkap individu mengenai orang lain.Kebisingan menyebabkan individu harus mempersempit atensi

    mereka dan lebih fokus pada komponen yang lebih kecil dari

    lingkungan dimana mereka berada, sehingga individu juga

    harus memberikan atensi pada komponen yang lebih kecil dari

    karakteristik orang lain. Oleh karena itu, kebisingan dapat

    menyebabkan terjadinya distorsi dalam mempersepsi orang

    lain.

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    19/29

     

    Universitas Indonesia

    27

     b.  Kebisingan dan Perilaku Menolong

    Sebuah penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan adanya

     pengaruh dari kebisingan terhadap keinginan manusia untuk

    menolong atau tidak menolong. Sangat masuk akal untuk

     berpendapat bahwa suara yang tidak diharapkan dapat

    membuat kita merasa terganggu dan tidak nyaman serta

    membuat kita enggan untuk menawarkan bantuan pada orang

    lain yang membutuhkan. Penelitian dalam psikologi sosial

    (Cialdini & Kenrick, 1976; Weyant, 1978 dalam Bell, Baum,

    Fisher & Greene, 2001) juga menunjukkan bahwa berada

    dalam mood  yang buruk dapat menurunkan kecenderungan kita

    untuk menolong orang lain. Kebisingan juga memungkinkan

    kita untuk tidak menyadari adanya kejadian-kejadian buruk

    yang menimpa orang lain dan menyebabkan mereka

    membutuhkan pertolongan, karena suara bising menurunkan

    atensi seseorang terhadap berbagai stimulus yang dianggap

    kurang penting dan terutama ketika kita dituntut untuk lebih

    fokus pada tugas-tugas yang lebih penting. Selain itu, adanya

     persepsi kendali seseorang terhadap suara juga dapat

    menurunkan pengaruh kebisingan terhadap perilaku menolong

    (Sherrod dan Downs, 1974 dalam Bell, Baum, Fisher &

    Greene, 2001).

    Jadi, apabila dibuat kesimpulan, pengaruh kebisingan terhadap

     perilaku menolong tergantung pada beberapa faktor,

    diantaranya adalah adanya persepsi kendali terhadap suara,volume suara, dan karakteristik stimulus dari orang yang

    membutuhkan pertolongan.

    c.  Kebisingan dan Agresi Manusia

    Berbagai teori yang muncul mengenai agresi (Anderson,

    Anderson, & Deuser, 1996; Berkowitz, 1983 dalam Bell,

    Baum, Fisher & Greene, 2001) kesemuanya memprediksi

     bahwa dalam kondisi dimana agresi sangat mungkin untuk

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    20/29

     

    Universitas Indonesia

    28

    muncul, meningkatnya kewaspadaan individu juga akan

    meningkatkan intensitas perilaku agresi. Oleh karena itu,

    dilihat dari besarnya pengaruh yang diakibatkan kebisingan

    terhadap meningkatnya kewaspadaan, maka kebisingan

    seharusnya juga dapat meningkatkan agresi pada individu.

    Menindaklanjuti temuan Glass dan Singer yang menyebutkan

     bahwa suara yang dapat dikendalikan lebih disukai dan tidak

    menimbulkan kewaspadaan dibandingkan suara yang tidak

    dapat dikendalikan, kita dapat beranggapan bahwa adanya

     persepsi kendali terhadap suara dapat membuat suara tersebut

    lebih disukai dan tidak akan membawa pada perilaku agresi.

    Selain itu, temuan bahwa kebisingan meningkatkan agresivitas

    hanya ketika seseorang sedang marah, mengesankan bahwa

    kebisingan dapat membawa kepada perilaku agresi yang

    disebabkan oleh kemarahan dan bukannya secara langsung

    menyebabkan agresi. Konecni (1975 dalam Bell, Baum, Fisher

    & Greene, 2001) juga menambahkan bahwa dari hasil

     penelitian yang dilakukan menunjukkan kebisingan

    meningkatkan agresivitas hanya pada kelompok yang sudah

    dibuat marah sebelumnya.

    Pada bagian ini dapat disimpulkan bahwa pada kondisi dimana

    kebisingan diharapkan mempengaruhi peningkatan

    kewaspadaan atau ketika seseorang sedang marah, maka agresi

    akan meningkat. Akan tetapi, ketika kebisingan tidak

    meningkatkan kewaspadaan (misalnya ketika seseorangmemiliki kendali terhadap suara tersebut) atau ketika seseorang

    tidak sedang dalam kondisi marah, maka kebisingan hanya

    memiliki pengaruh yang kecil terhadap agresi.

    2.6.4. Mengurangi Kebisingan

    Menurut Greenberg (2004), terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan

    untuk meminimalisir kebisingan, diantaranya adalah:

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    21/29

     

    Universitas Indonesia

    29

    1.  Menggunakan kapas atau penyumbat telinga (ear plugs) jika pekerjaan

    kita menuntut ekspos yang terus menerus terhadap suara yang keras.

    2.  Duduk sejauh mungkin dari panggung atau pengeras suara ketika

    menyaksikan pertunjukan musik keras.

    3.  Belajar untuk menikmati musik di rumah dengan volume suara yang

    sedang.

    4.  Menutup jendela dengan gorden untuk meredam kebisingan dari jalan

    raya.

    5.  Memilih bahan untuk langit-langit rumah yang dapat meredam suara

    ketika akan membangun atau merenovasi rumah.

    6. 

    Menutup lantai keramik di dalam ruangan dengan karpet.

    7.  Usahakan untuk menjauhkan suara bising dari kamar tidur, ruang

    keluarga, dan ruang kerja.

    8.  Mencari lokasi rumah yang jauh dari rute lalu lintas padat, bandara, pusat

     bisnis dan area industri.

    2.7. Kepadatan ( Density) dan Kesesakan (Crowding )

    2.7.1. Pengertian Kepadatan dan Kesesakan

    Stokols (1972 dalam Baum & Paulus, 1987) pertama kali membedakan

    antara keadaan fisik dari kepadatan (density) dan pengalaman subjektif dari

    kesesakan (crowding ). Kepadatan merupakan suatu kondisi yang dibutuhkan agar

    seseorang dapat merasakan kesesakan, dan berbagai situasi serta faktor psikologis

    dapat mempengaruhi hubungan tersebut. Jadi, kepadatan lebih mengacu pada

    kondisi fisik yang berkaitan dengan jumlah orang yang ada pada suatu ruang.

    Sementara itu, kesesakan mengacu pada sebuah pengalaman atau hasil penilaiandari kondisi fisik lingkungan, variabel-variabel situasional, karakterisitik pribadi,

    dan berbagai cara penyelesaian masalah. Pada kondisi yang sama untuk sebagian

    orang, tingkat kepadatan di suatu seting dapat mengacu munculnya kesesakan,

    sementara untuk kondisi lain atau orang lain mungkin saja tidak muncul. Hal

    tersebut kurang lebih sama dengan cara seseorang menilai dan

    menginterpretasikan pemicu stres (Lazarus, 1966 dalam Baum & Paulus, 1987).

    Kesesakan merupakan sebuah hasil dari penilaian terhadap seting, sedangkan

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    22/29

     

    Universitas Indonesia

    30

    kepadatan hanya merupakan salah satu dari beberapa aspek seting yang muncul

    untuk menentukan hasil dari penilaian tersebut.

    2.7.2. Pengaruh yang Muncul Akibat Kepadatan dan Kesesakan

    Dari berbagai penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa pengaruh yang

    dikaitkan dengan kepadatan dan kesesakan, diantaranya dalam hal fisik, sosial,

    dan psikologis (Baum & Paulus, 1987).

    1.  Pengaruh Fisik

    Beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan adanya

    hubungan antara kesesakan dengan penyakit. McCain, Cox, dan Paulus

    (1976 dalam Baum & Paulus, 1987) mengatakan bahwa para penghuni

     penjara yang tinggal pada kondisi kepadatan rendah memiliki keluhan

     penyakit yang lebih sedikit dibandingkan para penghuni penjara yang

    tinggal pada kondisi kepadatan lebih tinggi dan sesak. Penelitian lebih

     jauh menunjukkan adanya hubungan antara kepadatan dengan

    meningkatnya tekanan darah dan angka kematian. Stokols dan Ohlig

    (1975, dalam Baum & Paulus, 1987) juga menemukan adanya keterkaitan

    antara kesesakan yang dirasakan mahasiswa di asrama kampus dengan

    kunjungan mahasiswa ke klinik kesehatan di kampus.

    Bukti-bukti yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa

    kepadatan dan kesesakan berhubungan dengan kondisi fisiologis

    seseorang. Kepadatan seringkali dikaitkan dengan respon sistem saraf,

    respon jantung, dan aktivitas endokrin. Bukti-bukti tersebut juga

    menunjukkan bahwa manusia—seperti juga hewan—akan mengalami

    stres fisiologis jika berada pada situasi kepadatan tinggi. Akan tetapi, besarnya peningkatan dan perubahan fisiologis, begitu pula dengan

    mekanisme respon dan derajat kesesuaian antara manusia dan hewan

    masih harus diklarifikasi lebih lanjut (Baum & Paulus, 1987).

    2.  Pengaruh Sosial

    Kesesakan pada dasarnya adalah fenomena sosial. Terlepas dari

    kecilnya ukuran sebuah ruang, dia tidak dapat dikatakan sesak terkecuali

    terdapat manusia didalamnya (Baum & Paulus, 1987).

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    23/29

     

    Universitas Indonesia

    31

    Terdapat dua bentuk dasar dari respon sosial, yaitu penarikan diri

    (withdrawal ) dan agresivitas. Penarikan diri dari kontak sosial biasanya

    ditemukan pada seting dimana terdapat banyak orang dan kesesakan yang

    terjadi berkaitan dengan jumlah atau kualitas dari kontak sosial.

    Sedangkan respon agresif biasanya muncul pada situasi dimana tidak

    terdapat banyak orang, tetapi ruang yang ada sangat kecil sehingga

    kesesakan yang terjadi lebih dikarenakan adanya pembatasan ruang atau

    kedekatan yang tidak layak dengan orang lain (Baum & Paulus, 1987).

    Perilaku menarik diri juga juga terbukti pada penelitian yang

    dilakukan di perkotaan padat penduduk. Kontak sosial yang tidak terlalu

     penting seperti pada orang-orang yang tidak dikenal atau baru dikenal

    tentunya lebih diabaikan dibandingkan dengan kontak sosial yang lebih

     penting seperti pada saudara atau teman, dan pengurangan interaksi serta

     pengacuhan terhadap orang lain menjadi cara yang dilakukan untuk

    menghindari kontak sosial di perkotaan (Milgram, 1970 dalam Baum &

    Paulus, 1987).

    Penelitian berikutnya (McCauley & Newman, 1977 dalam Baum

    & Paulus, 1987) mengukur kontak mata yang dilakukan antar orang yang

    tidak dikenal pada seting kota dan desa. Kontak mata merupakan awal dari

    interaksi sosial, dan keengganan untuk menatap orang lain menunjukkan

    ketidakinginan untuk berinteraksi. Keinginan untuk berinteraksi dengan

    orang yang tidak dikenal lebih besar pada kota-kota kecil dibandingkan

    dengan kota besar. Penduduk kota besar memiliki kecenderungan untuk

     berupaya mengurangi interaksi yang berlebihan atau mengakali hal

    tersebut dengan cara menarik diri dari kemungkinan berinteraksi.Penelitian lain menunjukkan adanya kecenderungan perilaku

    menarik diri pada situasi sesak yang lebih besar pada pria dibandingkan

     pada wanita. Ross et al. (1973 dalam Baum & Paulus, 1987) menemukan

     bahwa para wanita relatif memiliki lebih banyak waktu untuk saling

    menatap pada situasi yang sesak. Para pria menunjukkan kecenderungan

    menarik diri pada situasi sesak sementara wanita cenderung untuk

     berkumpul dengan orang lain. Hal tersebut dapat diinterpretasikan sebagai

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    24/29

     

    Universitas Indonesia

    32

    refleksi dari adanya perbedaan antara pria dan wanita dalam strategi

     penanganan ataupun kepekaan terhadap adanya gangguan pada ruang

     personal.

    Seperti halnya menarik diri, perilaku agresif juga merupakan

     pendekatan yang realistis dalam situasi keterbatasan ruang. Perilaku

    agresif atau dominan dapat menyebabkan orang lain untuk berpindah

    tempat, menyerahkan ‘ruang’ yang mereka miliki pada individu yang

    agresif. Cara tersebut tentunya dapat mengurangi berbagai keterbatasan

    yang berkaitan dengan kepadatan ruang (Baum & Paulus, 1987). Akan

    tetapi, perlu ditekankan disini bahwa perilaku agresif yang terkait dengan

    kesesakan muncul apabila ruang yang ada sangat terbatas.

    Temuan penting lainnya mengenai hubungan antara kesesakan dan

     perilaku agresif adalah fakta bahwa pria menunjukkan respon agresif yang

    lebih besar terhadap kesesakan akibat kecilnya ukuran ruang dibandingkan

    dengan wanita. (seperti dari Freedman et al., 1972; Stokols et al., 1973

    dalam Baum & Paulus, 1987).

    3.  Pengaruh Psikologis

    Penelitian yang mulai dilakukan pada tahun 1975 mengenai

    hubungan antara kepadatan dan kesesakan dengan salah satu aspek

     psikologis, yaitu performa kerja, menunjukkan adanya hubungan yang

    kuat, terutama performa pada tugas-tugas yang rumit (Aiello et al ., 1975;

    Evans, 1979; Klein & Harris, 1979; Paulus, Annis, Seta, Schkade, &

    Matthews, 1976; Saegert, Mackintosh, & West, 1975 dalam Baum &

    Paulus, 1987). Sebagian besar tugas tersebut melibatkan proses

     penyelesaian masalah, diskriminasi, konsentrasi, dan/atau ketahanan,sehingga mengesankan bahwa pengamatan mengenai pengaruh kesesakan

     pada performa kerja lebih dikhususkan pada tugas-tugas rumit.

    Salah satu minat penelitian lainnya adalah kesesakan, seperti juga

    kebisingan dan  stressor   lainnya, ternyata berkaitan dengan akibat yang

    muncul dari kesesakan (Glass & Singer, 1972 dalam Baum & Paulus,

    1987). Akibat tersebut bisa jadi merefleksikan sisa emosi yang dialami

    ketika stres dan penyelesaiannya, termasuk juga penurunan ketahanan,

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    25/29

     

    Universitas Indonesia

    33

    konsentrasi, dan kegagalan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang

    menantang (Cohen, 1980 dalam Baum & Paulus, 1987). Penelitian

    menunjukkan bahwa pengaruh dari pasca munculnya kesesakan

    menggangu performa kerja, terutama dengan berkurangnya ketahanan dan

    toleransi terhadap frustasi (Dooley, 1974; Evans, 1979; Sherrod, 1974

    dalam Baum & Paulus, 1987)

    2.8. Polusi

    2.8.1. Polusi Lingkungan

    Menurut Miller, JR (2004) polusi adalah any addition to air, water, soil or

     food that threatens the health, survival, or activities of human or other living

    organisms, atau segala bentuk tambahan pada udara, air, tanah, atau makanan

    yang dapat mengancam kesehatan, keselamatan, atau aktivitas manusia dan

    makhluk hidup lainnya. Polusi dapat mencemari lingkungan secara alamiah

    (misalnya asap tebal yang dihasilkan oleh letusan gunung berapi), dapat pula

    melalui aktivitas manusia (misalnya dari pengolahan bahan bakar). Sebagian

     besar polusi yang berasal dari aktivitas manusia muncul di daerah perkotaan atau

    industri, dimana polusi biasanya terkonsentrasi.

    Terdapat berbagai jenis kerugian atau kerusakan yang dapat disebabkan

    oleh polusi:

    1. 

    Gangguan pada sistem pendukung kehidupan manusia dan spesies

    lainnya,

    2.  Berbagai kerusakan alam, ancaman bagi kesehatan manusia, dan

    3.  Berbagai bentuk ketidaknyamanan seperti kebisingan, bau tidak sedap,

    dan lain-lain.Miller menggunakan dua pendekatan dalam menghadapi polusi

    lingkungan. Pertama adalah percegahan polusi atau input pollution control , yang

    membantu mengurangi dan/atau menghilangkan pengebab-penyebab polusi.

    Kedua adalah pembersihan polusi atau output pollution control , yaitu proses

    membersihkan polusi yang telah dihasilkan. Akan tetapi, para ahli lingkungan

     berpendapat bahwa permasalahan yang ada tidak akan hilang sepenuhnya dengan

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    26/29

     

    Universitas Indonesia

    34

     pembersihan polusi. Mereka mengidentifikasikan tiga permasalahan lain yang

    dapat muncul melalui proses pembersihan tersebut:

    1.  Hal tersebut hanya bersifat sementara, selama penduduk dan tingkat

    konsumsi mereka terus tumbuh tanpa disertai dengan perbaikan dalam

    teknologi pengontrol polusi.

    2.  Biasanya polusi tersebut hanya berpindah tempat dari satu lingkungan

    sehingga menimbulkan polusi baru di lingkungan lainnya.

    3.  Ketika penyebab polusi telah masuk dan tersebar di suatu lingkungan pada

    tingkat yang berbahaya, akan dibutuhkan biaya yang besar untuk

    mereduksinya kembali ke level yang dapat diterima.

    2.8.2. Polusi Udara

    Polusi udara adalah terkandungnya satu jenis atau lebih bahan kimia pada

    lapisan atmosfer dalam jumlah dan waktu yang cukup untuk menyebabkan

     bahaya bagi umat manusia, makhluk hidup lainnya, material, dan atau untuk

    merubah iklim (Miller, JR., 2004). Berbagai pengaruh yang disebabkan oleh

     polusi udara beragam, dimulai dari taraf mengganggu sampai dengan

    membahayakan.

    Polusi udara berasal dari dua sumber, yaitu alam dan manusia. Sebagian

     besar polusi udara di luar ruangan yang berasal dari alam tersebar dan jarang

    mencapai tingkat yang membahayakan, kecuali polusi udara yang disebabkan

    oleh asap dari gunung meletus dan kebakaran hutan. Sedangkan polusi udara di

    wilayah perkotaan yang mencemari atmosfer sebagian besar berasal dari bahan

     bakar untuk pembangkit tenaga listrik, industri (sumber yang menetap), dan

    kendaraan bermotor (sumber yang bergerak). Polusi tersebut terkonsentrasi padasuatu area tertentu, sehingga dikhawatirkan dapat mencapai tingkat yang

    membahayakan (Miller, JR., 2004).

    Para peneliti membedakan antara penyebab polusi udara primer dan

    sekunder. Penyebab polusi udara primer  adalah polusi yang dikeluarkan secara

    langsung menuju troposfer (lapisan atmosfer yang paling dekat dengan bumi) dan

     berpotensi untuk membentuk zat yang berbahaya. Sementara itu, pada troposfer

    sebagian dari penyebab polusi udara primer ini bereaksi dengan komponen-

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    27/29

     

    Universitas Indonesia

    35

    komponen udara lainnya dan membentuk suatu bentuk polusi baru yang disebut

    dengan penyebab polusi sekunder. Dengan besarnya jumlah kendaraan bermotor

    dan industri, perkotaan biasanya memiliki tingkat polusi udara yang lebih tinggi

    dibandingkan wilayah pinggir kota. Akan tetapi, angin dapat menyebarkan polusi-

     polusi primer dan sekunder dari perkotaan ke daerah pinggir kota dan pedesaan

    (Miller, JR., 2004).

    Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,1

    milyar penduduk dunia tinggal di perkotaan dimana kualitas udara di luar

    ruangannya tidak baik bagi pernafasan. Sebagian besar diantaranya tinggal di kota

    yang padat penduduk di negara berkembang dimana tidak terdapat

     penyelenggaraan Undang-undang mengenai lingkungan hidup masih sangat

    memprihatinkan (Miller, JR., 2004).

    2.9. Masa Dewasa

    Masa dewasa merupakan salah satu tahap perkembangan dimana individu

    mengalami berbagai perkembangn sekaligus penurunan fungsi dalam kehidupan.

    Papalia, Olds dan Feldman (2004) membagi tahap perkembangan masa dewasa,

     berdasarkan perkembangan fisik, kognitif dan psikososial ke dalam tiga tahap

    yaitu dewasa muda, dewasa madya dan dewasa akhir. Berikut ini adalah tahapan

     perkembangan usia dewasa menurut Papalia, Olds dan Feldman (2004).

    1. 

    Dewasa muda (20-40 tahun)

    Perkembangan fisik:

    •  Kondisi fisik berada pada masa puncak, dan kemudian mengalami

     penurunan.

     

    Pilihan gaya hidup mempengaruhi kesehatan.Perkembangan kognitif:

    •  Kemampuan kognitif dan penilaian moral dianggap lebih

    kompleks.

    •  Individu membuat keputusan penting dalam karir dan pendidikan.

    Perkembangan psikososial:

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    28/29

     

    Universitas Indonesia

    36

    •  Tipe dan trait  kepribadian menjadi relatif stabil, tetapi perunahan

    kepribadian dapat dipengaruhi oleh tahapan dan kejadian dalam

    hidup.

    • 

    Pembuatan keputusan mengenai hubungan dengan lawan jenis dan

    gaya hidup.

    •  Sebagian besar individu akan menikah dan memiliki anak.

    2. 

    Dewasa madya (40-65 tahun)

    Perkembangan fisik:

    •  Penurunan dalam kemampuan sensori, stamina kesehatan dan

    keberanian.

    • 

    Wanita mengalami menopause.

    Perkembangan kognitif:

    •  Sebagian besar kemampuan mental dasar mengalami masa

     puncaknya; penguasaan dan tindakan pemecahan masalah sangat

     baik.

    •  Output   kreatif individu mungkin mengalami penurunan, tetapi

    kualitasnya mengalami peningkatan.

    • 

    Bagi beberapa individu, keberhasilan karir dan perolehan

    kekuasaan mengalami masa puncaknya; kelelahan dan perubahan

     pada karir mungkin juga akan muncul.

    Perkembangan psikososial:

    •  Identitas diri akan terus berkembang; stres akibat transisi yang

    muncul pada usia paruh baya sangat mungkin terjadi.

    •  Tanggungjawab ganda untuk menjaga anak dan merawat orang tua

    dapat menyebabkan stres tersendiri.

    •  Anak-anak pergi meninggalkan rumah (empty nest ).

    3.  Dewasa akhir (65 tahun keatas)

    Perkembangan fisik:

    •  Meskipun kondisi kesehatan sudah menurun, namun beberapa

    individu tetap sehat dan aktif.

    •  Waktu reaksi yang melambat dapat mempengaruhi beberapa aspek

    fungsional dalam kehidupan sehari-hari.

    Persepsi ketidaknyamanan..., Lintang Ardiana, F.PSI UI, 2007

  • 8/18/2019 Digital_124448-155.942 ARD p - Persepsi Ketidaknyamanan-Literatur

    29/29

     37

    Perkembangan kognitif:

    •  Beberapa individu menjadi lebih waspada.

    •  Walaupun inteligensi dan daya ingat mengalami penurunan,

    sebagain individu akan mengkompensasikannya dengan berbagai

    cara.

    Perkembangan psikososial:

    •  Pensiun dari pekerjaan menyebabkan tersedianya berbagai pilihan

    kegiatan untuk mengisi waktu senggang.

    •  Individu memerlukan cara untuk mengatasi berbagai akibat dari

    kehilangan dan kematian teman dan keluarga seusianya.

    • 

    Hubungan dengan keluarga dan teman dapat membantu

    meringankan beban tersebut dan sebagai sumber dukungan.

    •  Pencarian makna hidup menjadi hal yang utama dan penting.