Diajukan oleh - USD
Transcript of Diajukan oleh - USD
“NRIMO” BAGI MASYARAKAT KORBAN GEMPA DI BANTUL
(sebuah studi deskriptif di Desa Patalan, Kecamatan Jetis,
Kabupaten Bantul, Yogyakarta)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Derajat Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Diajukan oleh : YOHANES TRESTIANTYO
NIM : 01 9114 144
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
KKuuppeerrsseemmbbaahhkkaann PPeenneelliittiiaann iinnii
bbaaggii MMaammaahh ddaann BBaappaakk
CARPE DIEM (unkwon)
“...........HIDUP ADALAH
SEBUAH MISI, BUKAN KARIER.”
(Stephen R. Covey)
NRIMO BAGI MASYARAKAT KORBAN GEMPA DI BANTUL (sebuah studi deskriptif di Desa Patalan, Kecamatan Jetis,
Kabupaten Bantul, Yogyakarta)
Yohanes Trestiantyo
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
ABSTRAK
Musibah memang sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh setiap manusia. Seperti musibah gempa yang terjadi di Yogyakarta dan Klaten pada tanggal 27 Mei 2006 silam. Musibah tersebut mengakibatkan ribuan orang meninggal dunia, ratusan orang terluka serta menyebabkan ratusan ribu jiwa kehilangan tempat tinggal. Para korban memandang musibah yang dialaminya saat ini adalah bagian dari hidupnya dan mereka berpikir kehancuran bukanlah segalanya, ada nilai yang bisa diambil dari musibah yang dialaminya saat ini. Dalam budaya Jawa hal itu disebut dengan Nrimo. Melalui Nrimo korban gempa tidak menyerah begitu saja pada nasibnya, sekaligus menyerahkan diri kepada Tuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan makna Nrimo bagi korban gempa di dalam menghadapi kehidupan paska gempa silam
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif,. Pengambilan data di kecamatan Jetis karena merupakan kecamatan dengan korban jiwa paling banyak di kabupaten Bantul, sedangkan desa Patalan merupakan desa dengan korban jiwa paling banyak di kecamatan Jetis. Metode pengambilan data dengan teknik wawancara yang terstandar dan terbuka dan observasi langsung. Subjek penelitian ditentukan secara sampling purposive. Subjek penelitian merupakan penduduk desa Patalan yang terkena dampak gempa langsung.
Hasil penelitian menunjukkan subjek melakukan Nrimo paska gempa silam. Nrimo bagi mereka adalah penyerahan sepenuhnya kepada Tuhan. Korban gempa menerima keadaan yang menimpa pada dirinya yaitu, semua hal diterima sabar dan bagi mereka peristiwa gempa 27 mei 2006 silam merupakan bagian dari hidup mereka yang tidak dapat dipungkiri lagi. Manusia yang Nrimo tidak hanya tidak hanya diam dan menerima segala sesuatu ataupun mengeluh yang terjadi pada dirinya. Nrimo juga harus disertai dengan usaha, supaya mendapatkan rejeki dengan maksud agar kehidupan mereka terjaga. Melalui Nrimo, subjek merasakan ketenangan lahir dan batin sekaligus, subjek diberi daya tahan untuk juga menganggung penderitaan yang menimpanya.
Kata kunci: gempa, musibah, Penyerahan diri padaTuhan dan Berusaha
ABSTRACT
Yohanes Trestiantyo
Nrimo Bagi Masyarakat Korban Gempa di Bantul
(sebuah studi deskriptif di desa Patalan, kecamtan Jetis,
kabupaten Bantul, Yogyakarta)
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2007
Disaster is a thing that cannot be avoided by all human kind. As the earthquake disaster happened on May 27th, 2006, in Yogyakarta and Klaten, it caused thousands of people killed, hundreds injured, and many others lose their homes. Those victims see that the earthquake disaster is not the end of everything. There are some values to get from this disaster. In Javanese culture, it is called nrimo attitude.. with this sense of nrimo, the earthquake victims will never give up easily and they also rely on God, letting God handle the rest. This research is meant to describe the meaning of nrimo to the victims of the earthquake in their life after the disaster.
This research applies the descriptive qualitative method. The data collections are taken in Jetis since it has the highest number of the killed victims in Bantul, meanwhile the specific location of the data collection is in Patalan village. The data collection method is done with the standard and open interview. It is also dene with the direct observation. The informants of the research are chosen in sampling purpose. The research informants are Patalan villagers who became the victims of the earthquake disaster.
The result of the research shows that the informants did the nrimo attitude after the earthquake disaster. To them, nrimo is a full self-reliance on God. They accept whatever happened to them that is to be patience. They see the tragedy happened on May 27 th, 2007 is something that cannot be avoided. A person who does nrimo never sits around and only waits for help or complains for anything happens in their life. nrimo should also be done with effort in order to get their reward so that they can continue their life. Through nrimo, one can feel the peace physically and spiritually. They also will have the strength to overcome their suffering.
Keyword: earthquake, disaster, relying on God, and affordance.
Pernyataan Keaslian Karya
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Peneliti,
Yohanes Trestiantyo
KATA PENGANTAR
Setelah melalui proses yang menegangkan penuh tantangan, akhirnya
penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Tak lupa peneliti mengucapkan puji
syukur kepada Allah Bapa di Surga atas karunia dan bimbingannya kepada
peneliti, Bunda Maria atas limpahan kasihnya yang tak terhingga ada peneliti
dari awal penuhlisan skirpsi hingga akhir penelitian.
Dekan fakultas Psikologi Bapak P Eddy Suhartanto beserta Bapak Ibu
Dosen dan staff, yang telah memberikan ruang belajar dan membagi ilmu serta
pengetahuan kepada peneliti. Terima kasih diperbolehkan berbagi kawruh di
fakultas Psikologi Sanata Dharma.
Bapak T. Priyo Widiyanto sebagai dosen Pembimbing. sejak awal dan
selama menyelesaikan skirpsi, terima kasih pula atas waktu yang selalu
disediakan.
Ibu dan Bapak Sutrisno Martinus yang selalu mendukung langkah peneliti,
serta bantuan moral dan material yang tidak dapat diukur jumlahnya.
Mimi (My Fair Lady) atas bantuannya, serta limpahan kasih dan cintanya
kepada peneliti.
Keluarga Pambudi, Mbah Kakung Soegijo atas doa-doanya, Bulik Ana
untuk editingnya, Om Romo Sudiharjo atas pinjaman buku-bukunya, terutama
dukungan moral yang besar tiada henti kepada peneliti.
Deasy Herliyanasari yang selalu membantu peneliti untuk mengedit,
sekaligus tempat bertanya peneliti. Terima kasih banyak atas bantuannya dan
masukkannya. “maaf jika peneliti selalu mengganggu waktunya”.
Komunitas Cepit Joko Nugroho, teman berdiskusi sekaligus tempat
bertanya, dan kadang pinjaman kamar dan komputernya, Ernest Gris Ananta
yang selalu mengingatkan peneliti agar cepat selesai, JK Herdiyanto, Dhani Eko
Prasetyo dan Happy Sola Gracia yang tak jemu-jemu memberikan pertanyaan,
“kapan luluse?” terima kasih karena telah menikmati malam-malam penuh
bintang yang indah bersama kalian.
Chef Arden “koreng” Papilaja terima kasih atas NasGor dan dukungannya.
Guruh “Dion” Himawan yang selalu menemani peneliti untuk bermain
melupakan sejenak dari kejenuhan penelitian “ndi skyne gur?”.
Roland “Om” Ricardo yang selalu bersedia menemani dan memberikan
waktunya ketika peneliti bermain ke kostnya, serta terima kasih atas
dukungannya kepada peneliti.
Budi Prihartanto teman seperjuangan peneliti, tempat mengeluh serta
banyak memberi masukan dan mengeditkan foto sebagai bahan wawancara,
keepin’ strong my man.
Temanku Dominikus “Keong” Wahyu “da player” terima kasih atas
pertunjuk dan sarannya, serta ilmu-ilmu yang diturunkannya.
Woro atas dukungannya untuk memberikan bahan-bahan mengenai
kebudayaan jawanya. “Super Supreme Wor?”.
Friends Community tempat untuk belajar dan mengembangkan diri, terima
kasih telah bersedia menerima dan terima kasih banyak atas kehangatannya
kepada peneliti.
Kos-kosan Petung, Mas Agus “Telo”, Wisnu “Von Gendout”, Kris
“Gudel”, Bowo “Patrick”, Widi “Kuro”, Danang, Salahudin, Gilang, Aris, Adri,
Pandu, Rado, serta tak lupa bapak dan ibu kost, terima kasih kehangatannnya
dan juga atas hiburan multimedianya yang sungguh mengagumkan.
Subjek penelitian Bapak Ngadilan, Ibu Murdiyo Utomo, Bapak Walidi,
Bapak Rujiyo, Bapak Sudarjo, Ibu Sumiyati, Bapak Bugiman, Bapak
Hariyanto, Bapak Tohani, Bapak Lamalip, Bapak Poniman, Bapak Samsudi,
Ibu Murni Handayani, Bapak Slamet Marjuki, Bapak Ngatiran, Bapak Sumardi,
Mabk Sri Suprihatiningsih, Bapak Sutarman, Bapak Bari. Terima kasih atas
bantuannya dan telah berseedia untuk meluangkan waktunya untuk membantu
dalam proses penelitian ini.
Dukuh se Desa Patalan Bpk. Slamet, Bpk Kyai Murdopo Wetan, Bpk.
Sudiharjo, Bpk. Muripto, Bpk. Sagiyono, Bpk Tohani, Bpk. Fuad dukuh Salam,
Bpk. Sutarjo, Bpk Sugeng Riyadi, Bpk. Sugeng Riyadi, Bpk. Mugiyono, Bpk.
Tujilan, Bpk. Tujilan, Bpk. Sarjono, Bpk. Muhadi Ansori, Bpk. Derita
Pancaran, Bpk. Nadiharjo Purboko, Bpk. Muslih, Bpk Sehono, Bpk. Ngadilan
terima kasih telah bersedia mengijinkan peneliti melakukan penelitan di desa
Patalan.
Vincent Marong Januar (maaf selalu ngrusuhi), terima kasih atas bantuan
buku, masukan serta bahan nrimonya, matur nuwun nggih Cent
Rani dan Asto terima kasih atas masukan, petunjuk dan bantuannya dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga kalian langgeng sampai akhir jaman. Amin
Teman-teman KKN Caben Heri “Kumal”, Romo Ansi, Niken, Lenta,
Rindra dan Sutri. Thanks’ to y’all
Teman-teman angkatan 2001 dan teman-teman fakultas Psikologi Een,
Gloria, Kobo, Awan, Ayiz, Bertha, Eko, Bayu, Voni, Susi, Ika “alit raga”,
Koen, Gunk, Vera, Pandji, Mas Moko serta teman-teman yang lainnya maaf
jika ada yang terlupa, karena keterbatasan daya ingat
Tak lupa terima kasih paling besar kepada sahabat sejatiku yang sejak
awal penelitian hinggga akhir penelitian selalu menemani N6100, N2126, H
Karisma dan Supra yang tidak pernah mengeluh baik dalam teriknya mentari
dan derasnya hujan. Komputer rumah yang selalu menjadi teman setia dalam
mengetik skripsi. Tak lupa semua pihak yang secara langsung ataupun tidak
yang telah memberi ide maupun wacana serta membantu dan mendukung
peneliti, terima kasih untuk bantuannya, maaf jika peneliti tidak mencantumkan
namanya di sini. Akhir kata, semoga tulisan ini mampu memberi warna baru
dalam hidup.
Jogjakarta, 29 Juli 2007
Penulis,
Yohanes Trestiantyo
DAFTAR ISI
halaman
Halaman Judul ……………………………...………………………… i
Halaman Persembahan ........................................................................... ii
Halaman Motto ........................................................................................ iii
Pernyataan Keaslian Karya..................................................................... iv
Abstrak........................................................................................................ v
Abtract......................................................................................................... vi
Kata pengantar ........................................................................................ vii
Daftar Isi ……………………………………………………………….. xi
Daftar Tabel …………………………………………………………… xv
Daftar Bagan …………………………………………………………… xvi
Daftar Lampiran ………………………………………………………….... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………............… 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………..... 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ………………………………...……………..... 8
D. Manfaat Penelitian ……………………...………………………... 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA …………............…...……….............. 9
A. Kebudayaan Jawa ………………………………………………... 9
1. Pengertian Kebudayaan …………………………………….... 9
2. Masyarakat Jawa ……………………………………….......... 13
3. Sikap Hidup Orang Jawa ……………………………..……... 14
xi
Halaman
a. Pangestu......................................................................... 14
b. Sikap Hidup Orang Jawa............................................... 15
4. Nrimo Dalam Budaya Jawa...................................................... 17
B. Makna Hidup.....................................................………….………. 19
1. Sejarah Makna........................................................................... 19
2. Pengertian Makna ……………………………..…………….. 19
3. Landasan Makna...........……………………………………... 20
4. Pencapaian Makna..................………………………………. 21
5. Nrimo dan Makna Hidup.......................................................... 22
C. Gempa Bantul…………………………………………………… 24
1. Definisi Gempa Bumi ………………………………………. 24
2. Gempa bumi di Yogyakarta ………………………………… 25
3. Korban Gempa......................................................................... 25
4. Akibat Gempa Bantul............................................................... 26
5. Kerusakan Gempa Di Desa
Patalan……………………………………………….............. 26
D. Dinamika Nrimo bagi Masyarakat Korban Gempa di Desa Patalan,
Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.…………............... 28
E. Pertanyaan Penelitian …………………………………………… 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……………........………… 32
A. Jenis Penelitian ……………………………………..…………... 32
B. Desain Penelitian ………………………………………………... 32
xii
halaman
C. Lokasi dan Subjek Penelitian …………………………………... 35
1. Loksi Penelitian ……………………………………………... 35
2. Subjek Penelitian .................................................................... 35
D. Metode Pengumpulan Data …………………………………….. 36
1. Observasi................................................................................. 37
2. Wawancara.............................................................................. 37
3. Dokumen................................................................................. 39
4. Foto.......................................................................................... 39
E. Keabsahan Data Penelitian............................................................ 40
1. Kredibilitas.............................................................................. 40
2. Transferbility........................................................................... 42
3. Dependability.......................................................................... 42
4. Conformability......................................................................... 43
F. Metode Analisis Data …………………………………………... 44
1. Organisasi Data……………………………………………… 44
2. Pemilihan Teori....................................................................... 45
3. Koding dan Kategorisasi........................................................... 46
4. Penafsiran Data......................................................................... 47
BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ...........……. 49
A. Persiapan penelitian ……………………………………………. 49
1. Penelusuran Pustaka ……………………………………….. 49
2. Tahap Observasi Pra Penelitian...............………………....... 50
xiii
halaman
3. Pengurusan Ijin Penelitian………..........…………………… 50
4. Tahap pengumpulan data ………………….………………. 51
B. Identitas dan Deskripsi Subjek ……..………………………….. 52
1. Identitas subjek ………..……………………...........…….... 52
2. Deskripsi Subjek Sesaat Setelah Terjadi Gempa ……......... 53
C. Deskripsi Hasil Penelitian ……..……………………………… 65
1. Pengertian Nrimo bagi Subjek…………………………...... 65
2. Nrimo dengan Berusaha……………………........................ 66
3. Bersyukur karena Masih Diberi Keselamatan………......… 66
4. Guna Nrimo Menurut Subjek…………................................ 67
5. Dampak Nrimo dalam Kehidupan Sehari-hari…………...... 67
6. Ora Nrimo............................................................................. 68
7. Hubungan Nrimo dengan Sabar............................................ 69
8. Pengertian Sabar.................................................................... 69
D. Pembahasan ……..…………………………………………....... 70
E. Keterbatasan Penelitian ..………………………………………. 90
BAB V PENUTUP......................……………………………………… 93
A. Kesimpulan ……..…………………………………..………….. 93
B. Saran ……..…………………………………..…………………. 95
Daftar Pustaka ……………………………………………………….... 96
Lampiran ……………………………………………………................. 100
xiv
DAFTAR TABEL
TABEL halaman
1. Tabel Rekapitulasi Data Korban Bencna Alam di Desa
Patalan.............................................................................................................. 27
2. Tabel Konsep Panduan Wawancara................................................................. 38
3. Tabel Identitas dan Deskripsi Subjek ……………………………................. 52
4. Tabel Perbandingan Nrimo dengan Konsep Frankl......................................... 84
xv
DAFTAR BAGAN
BAGAN halaman
1. Bagan Dinamika Nrimo bagi Masyarakat Korban Gempa Di Desa Patalan,
Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul Yogyakarta……................................... 27
2. Bagan Orang yang Mengalami Ketentraman Hati…................………..... 73
4. Bagan Orang yang Mengalami yang Tidak Ketentraman Hati………….. 75
5. Bagan Pencapaian Tujuan Hidup ………………….................................. 77
6. Bagan Dimensi Terpenuhi Melalui Nrimo ……………............................ 79
7. Bagan Terpenuhinya Makna...................................................................... 83
8. Bagan Ringkasan Problem Focus Coping................................................. 87
9.Bagan Menghadapi Masalah Melalui Nrimo.............................................. 89
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
1. Guideline Wawancara .................................................................................... 100
2. Surat Ijin Penelitian ....................................................................................... 102
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak akhir tahun 2004 hingga saat ini Indonesia telah mengalami banyak
bencana alam. Mulai dari gempa, yang menyebabkan tsunami di Aceh, gempa bumi
di Nias, dan gempa beserta tsunami di Pangandaran. Bencana alam memang dapat
terjadi pada tempat dan waktu yang tidak terduga sehingga menyebabkan banyak
korban. Bencana alam terbesar tahun ini adalah gempa yang terjadi di Yogyakarta
dan Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei 2006 pada pukul 05.53 WIB, dengan
kekuatan 5,8 Skala Richter (www.Kompas.com).
Dalam wawancaranya dengan radio Nederland, Dani Hilman Natawijaya
seorang pakar geologi dari Pusat Penelitian Geoteknologi di Bandung. mengatakan
bahwa gempa bumi timbul karena suatu rekahan di dalam bumi. Rekahan ini
kemudian mengumpulkan akumulasi tekanan regangan, juga karena adanya
pergerakan dari lempeng bumi yang selalu bergerak seperti di selatan pulau Jawa.
Selain itu juga akibat dari lempeng Australia yang terletak di samudra Hindia
masuk ke bawah pulau Jawa, sehingga menyebabkan dorongan tektonik yang
diakomodasi oleh patahan-patahan bumi (www.ranesi.nl). Akumulasi dari dorongan
tektonik tersebut pada akhirnya menyebabkan gempa bumi di Yogya, karena
2
patahan bumi tersebut salah satunya terletak di Yogyakarta. Secara Geografis
Yogyakarta yang terletak di kawasan pantai selatan Jawa merupakan daerah rawan
gempa, karena sebagian besar pada kawasan pantai selatan Jawa merupakan jalur-
jalur pertemuan dua lempengan.
Akibat dari gempa ini menyebabkan lebih dari 5.700 orang meninggal dunia,
juga menyisakan puluhan ribu rumah dan bangunan rusak berat. Dalam hitungan
detik, banyak rumah hancur. Genteng, batu bata, dan semen menjadi satu dengan
tumpukan kayu, rata dengan tanah. Data kompas memperkirakan hampir sekitar
143.135 unit rumah roboh atau rusak berat (Dana Rekontruksi Tidak Akan Dibagi
Rata, 2006). Daerah terparah yang terkena dampak gempa tersebut adalah
kabupaten Bantul di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten Klaten di
Propinsi Jawa Tengah. Beberapa saat setelah terjadi gempa, bantuan pun mulai
mengalir dari beberapa negara sahabat, maupun dari lembaga-lembaga
kemanusiaan, berupa tenaga, logistik, medis, maupun tenda hunian.
Paska gempa, masyarakat banyak mengalami kehilangan harta benda maupun
sanak saudara, bahkan banyak yang mengalami depresi ataupun ganggguan
kejiwaan. Seperti yang diungkapakan oleh Direktur RS Grhasia Pakem DIY, dr
Andung Prihadi Santoso, MKes dalam situs Pemda DIY (www.pemda-diy.go.id) “
Total penderita gangguan jiwa paska gempa 27 Mei 2006 lalu, mencapai lebih dari 2 ribu orang yang dirawat di berbagai rumah sakit. Di rumah sakit jiwa Grhasia saja, kami sempat merawat sebanyak 268 pasien jiwa dari korban gempa. Dari jumlah itu, 33 pasien di antaranya mengalami depresi berat hingga sempat melakukan upaya bunuh diri. Terhadap pasien ini, meski mereka sudah keluar dari rumah sakit, namun tetap butuh pendampingan yang intensif minimal hingga enam bulan ke depan"
3
Bahkan ada pula pengungsi yang mengalami depresi berat, hingga melakukan
bunuh diri, sebagaimana ditulis oleh kompas ” Stres atas musibah gempa yang
merusak rumahnya, Mardi (45) warga Gunung Manuk, Salam, Patuk, Gunung
Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, nekat bunuh diri. Ia menceburkan diri ke
sumur berkedalaman 15 meter milik Semi, tetangganya.” (Kompas. com).
Walaupun demikian Masyarakat masih tetap ada yang berpikir positif mengenai
akibat yang ditimbulkan dari gempa. Setyo, salah satu korban gempa di Bantul,
sebagaimana ditulis dalam kompas (www.kompas.com) mengungkapkan bahwa:
“Saya masih untung tidak mati tertimpa tembok. Saya tidak sendirian. Banyak tetangga saya juga begitu. Masih untung tidak mati tertimpa runtuhan rumah. Masih untung rumah mungkin masih bisa diperbaiki. Mungkin lima bulan ke depan kami harus tinggal di tenda, atau di bekas reruntuhan rumah.”
Pernyataan itulah yang sering terdengar dari sebagian besar para korban
gempa. Mereka memandang musibah yang dialaminya saat ini adalah bagian dari
hidupnya yang dapat diambil hikmahnya. Mereka berpikir ada yang lebih menderita
dalam mengalami musibah ini. Kehancuran bukanlah segalanya, ada nilai yang bisa
diambil dari musibah yang dialaminya saat ini.
Pernyataan yang sering terlontar dari korban gempa, yang merupakan
ungkapan untuk tetap bersikap sabar dan menerima segala sesuatu yang terjadi
padanya. Sikap itu juga sering disebut dengan nrimo. Menurut Suseno (1984),
nrimo itu sikap hidup yang postif, nrimo berarti bahwa orang dalam keadaan
kecewa dan dalam kesulitanpun bereaksi rasional, tidak ambruk dan juga tidak
menentang secara percuma. Menurut De Jong (1976), narima berarti ketenangan
4
afektif dalam menerima segala sesuatu dari luar, harta benda, kedudukan sosial,
nasib malang atau untung. Niels (1996) juga menyatakan nrima berarti percaya
pada nasib sendiri dan berterima kasih kepada Tuhan karena ada kepuasan dalam
memenuhi apa yang menjadi bagiannya dengan kesadaran bahwa semuanya telah
ditetapkan.
Seperti halnya dalam budaya Jawa, ada semacam keyakinan bahwa orang juga
hendaknya mempercayakan diri kepada bimbingan yang ilahi (pracaya) dan
percaya kepadaNya (mituhu). Kita bisa saja mengusahakan sesuatu tetapi hasil
usaha itu harus datang dari atas. Niels (1984) melihat bahwa agama Jawa
(Javaisme) memandang kehidupan manusia selalu terpaut dalam kosmos alam raya.
Sebagaimana yang dianut oleh orang Jawa, hidup manusia merupakan semacam
pengalaman religius dan semesta alam merupakan kekuasaan yang lebih tinggi dari
mereka, sehingga lebih baik mereka menyerah saja kepada kuasa-Nya. Seperti yang
dikatakan oleh mbah Suwito salah satu korban gempa, "namanya saja hidup, ya
memang seperti itu. Ada bencana ya diterima dengan ikhlas sebagai kehendak Gusti
Allah," (yuliandarinotes.blogspot.com). Sikap itulah yang tampaknya membuat para
korban gempa mencoba bangkit dan memulai membangun kembali rumahnya.
Mereka mencoba menemukan sikap batin yang tepat, dengan percaya terhadap
nasib mereka bahwa semuanya itu memang sudah menjadi kehendak yang Kuasa.
Melalui sikap itu, mampu mendorong mereka agar tetap bersikap rela terhadap
kekecewaan dan tekanan hidupnya. Itu pula bisa dilihat seminggu paska gempa,
5
banyak korban gempa mulai membersihkan puing-puing rumahnya baik secara
gotong royong maupun sendiri. Yulian juga menceritakan mengenai salah satu
korban gempa di dalam blogspotnya:
Setelah seminggu di dalam tenda dan merasakan lebih dari seratus kali gempa susulan, ia kemudian berinisiatif untuk membuka warung kecil-kecilan depan rumahnya. Ia menjual es campur, rokok, snack, dan gorengan untuk menambah-nambah penghasilan keluarga. Di tengah suasana yang tidak pasti ia tetap menyimpan semangat besar untuk terus berjualan dan mencari alternatif penghasilan tambahan biar asap dapur tetap mengepul. (yuliandarinotes.blogspot.com)
Masyarakat korban gempa setidaknya memahami bahwa dalam kapasitasnya
sebagai manusia, ia mampu menemukan arti dalam kehidupan walaupun dalam
situasi yang membuatnya menderita. Senada yang dikatakan Frankl (dalam Schultz,
1991) kemauan akan arti, yaitu apa yang berarti dalam eksistensi manusia, bukan
karena semata-mata nasib yang menantikan kita, tapi bagaimana kita menerima
nasib itu. Bagi Frankl kemauan akan arti kehidupan merupakan suatu kekuatan
untuk tetap bertahan dan mengatasi seluruh kesulitan dalam hidup dan ia percaya
bahwa arti kehidupan dapat ditemukan dalam semua situasi, termasuk di dalam
penderitaan dan kematian. Kemampuan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu
yang memberi kekuatan pada manusia untuk mengatasi berbagai keadaan atau
nasib. Para korban gempa, memiliki keinginan untuk tetap bertahan dan tidak
menyerah pada nasib (musibah) yang mereka alami. Mereka tidak menginginkan
dirinya terjebak atau larut di dalam kesedihan. Seperti yang diungkapkan Mbah
Warsito warga Dlingo kepada Yuli Ahmada kedalam blognya (www.yuli-
ahmada.blogspot.com): "Lebih baik dari sekarang gotong-royong. Kami ingin
6
semuanya kembali seperti biasa....Kalau bantuan bahan bangunan belum ada. Tapi
tak apa, kami akan coba membangun secara mandiri"
Perls (dalam Schultz, 1991) mengungkapkan disini dan kini adalah satu-
satunya kenyataan yang kita miliki dan kita harus memikul tanggung jawab untuk
membenamkan diri kita sepenuhnya dalam setiap saat dan mengambil kegunaan
dari pengalaman-pengalaman. Seperti halnya Sukriswanto yang merupakan salah
satu korban gempa menyatakan "Saya sepakat supaya barang dagangan yang bisa
diselamatkan digunakan membantu warga," (www.gatra.com). Sukriswanto
mencoba mengambil kegunaan dari pengalaman-pengalaman, tampak dengan
bersikap aktif, ia membantu orang lain, walaupun dirinya juga tertimpa musibah.
Keikhlasan hati atas kenyataan hidup yang dialami dan menyerahkan
sepenuhnya kepada Tuhan, tampaknya terjadi pada masyarakat korban gempa.
Bersikap rela dan ihklas mendorong mereka untuk tetap bertahan dari kekecewaan
dan penderitaan akibat gempa. Nrimo menekankan “apa yang ada pada manusia.”
manusia menerima segala sesuatu yang terjadi di dalam hidupnya, baik sesuatu
yang bersifat material ataupun non material, seperti juga yang diungkapkan salah
satu korban gempa kepada Yuliandari (yuliandarinotes.blogspot.com):
"Seperti mimpi saja rasanya... saya membangun rumah itu setahap demi setahap dengan uang tabungan hasil jualan. E, malah tinggal naik atap…hancur," tuturnya pahit. Namun, hanya seminggu ia berdiam diri di rumah. "Ya…kalau menyesali rumah yang hancur terus…kapan mulai bangun lagi. Saya harus segera mulai jualan. Saya harus tetap semangat."
7
Cepatnya kemajuan perbaikan sarana dan pemulihan ekonomi paska gempa di
Bantul tampaknya didorong oleh sikap tabah dan ikhlas masyarakatnya. De Jong
(1976) mengungkapkan kemajuan dalam perbaikan diwujudkan dalam sikap
manusia, bagaimana menerima dan menghayati suatu nasib yang tidak terelakkan.
Dalam pembangunan bukan pertama-tama bagaimana merubah nasib itu, melainkan
bagaimana menemukan sikap batin yang tepat terhadap nasib.
Seperti Masyarakat desa Sumbermulyo yang tampak bertingkah laku sesuai
dengan apa yang cocok untuk berfungsi sepenuhnya dan menyikapi seluruh
kepribadian, berserta tingkah laku-tingkah laku yang menghasilkan rasa persetujuan
dan kebahagiaan dari dalam diri. Bersikap nrimo tampaknya yang membuat mereka
bangkit jauh lebih cepat, seperti yang diutarakan oleh Kepala Desa Sumbermulyo
pada harian Jawa Pos (Tak Mau Gantungkan Pemerintah, 2006), sepeti dikutip oleh
suara korban bencana, menuliskan bahwa:
Masyarakat desa Sumbermulyo Bambanglipuro untuk membangun kembali desanya pantas dicontoh. Swadaya dan gotong royong menjadi pilihan warga di desa ini. Masyarakat Sumbermulyo tidak lagi menggantungkan bantuan pemerintah. "Daripada warga kecewa dengan janji-janji pemerintah, lebih baik memang kita tidak mengharap bantuan pemerintah. Warga sudah melakukan swadaya untuk bergotong royong," papar Kepala Desa Sumbermulyo Dra Ani Widayani. (www.suarakorbanbencana.org)
Baik secara pribadi maupun komunal, masyarakat korban gempa memiliki
alasan untuk meneruskan kehidupan, untuk menyelesaikan tujuannya yang akan
datang, kalau tidak kehidupan mereka akan kehilangan arti. Hal itu terlihat jelas
saat ini, ketika usaha-usaha kecil menengah mulai beroperasi, anak-anak mulai
bersekolah, masyarakat mulai bekerja, dan lain sebagainya. Dalam tempat yang
8
serba terbatas mereka tetap berusaha untuk mewujudkan impian, harapan dan cita-
cita mereka. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan masyarakat korban
gempa, memaknai kehidupan mereka pasca gempa dengan bersikap nrimo. Hal
inilah yang menarik untuk dijadikan bahan penelitian guna mendiskripsikan makna
nrimo mereka di dalam menghadapi kehidupan pasca gempa.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dibuat rumusan
masalah yaitu: Apakah makna nrimo menurut masyarakat korban gempa di Bantul
Yogyakarta, paska gempa tanggal 27 Mei 2006 silam ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :memberikan gambaran tentang nrimo yang
dilakukan oleh masyarakat korban gempa, di dalam kehidupan mereka paska gempa
27 Mei 2006 silam
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis
a. Tersedianya data hasil penelitian mengenai makna nrimo yang
digunakan oleh masyarakat korban gempa dalam kehidupan mereka pasca gempa
yang diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu Psikologi.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan pengetahuan bagi
kalangan akademis mengenai deskripsi nrimo khususnya pada budaya Jawa.
9
2. Manfaat praktis
a. Mengetahui dan memberikan gambaran di masyarakat luas mengenai
nrimo pada masyarakat korban gempa di Bantul
b. Manfaat bagi masyarakat Indonesia khususnya Jawa, supaya nrimo yang
merupakan representasi dari budaya Jawa, di maknai dalam diri individu.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kebudayaan Jawa
1. Pengertian Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat (1986) kebudayaan berasal dari Bahasa
Sansekerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari buddi yang berarti “budi atau
akal”. Dalam Bahasa Inggris budaya adalah culture yang berasal dari Bahasa
Latin colere yang dapat diartikan mengolah, mengerjakan, sehingga culture dapat
diartikan sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah dan
merubah alam.
Budaya dalam Kamus besar Bahasa Indonesia (1988) diartikan sebagai
pikiran, akal budi, hasil. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) mengartikan
kebudayaan sebagai:
a. Hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti
kepercayaan, kesenian , adat istiadat.
b. Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalaman yang
menjadi pedoman tingkah lakunya.
c. Hasil akal budi dari alam sekelilingnya dan dipergunakan bagi
kesejahteraan hidupnya.
(Honigmann dalam Koentjaraningrat, 1986) menyebutkan ada 3 gejala
kebudayaan:
11
a. Ideas : wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
b. Activities: wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas
serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c. Artifacts: wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia.
d. Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Jawa adalah segala
kegiatan dan penciptaan batin (akal budi), seperti kepercayaan,
kesenian, dan adat istiadat,
(Ciptoprawiro dalam Herdiyanto, 2005) menyebutkan ada tiga dimensi
lingkungan hidup Jawa:
a. Lingkungan hidup lahir
1). Lingkungan alam benda dan biologi, adalah lingkungan yang
ditangkap indera, alam seindividur termasuk tumbuh-tumbuhan
dan hewan.
2). Lingkungan sesama manusia, adalah lingkungan sosial
manusia.
b. Lingkungan hidup batin, lingkungan kejiwaan manusia
c. Lingkungan hidup gaib atau lingkungan spiritual, adalah
lingkungan di luar jangkauan panca indera manusia.
Ketiga lingkungan hidup orang Jawa tersebut, yang selalu dipentingkan
manusia untuk proses pencarian adalah lingkungan hidup spiritual. Dengan
12
pengolahan lingkungan spiritualnya, maka orang Jawa akan lebih mudah dalam
mengatur lingkungan hidupnya yang lain.
Herdiyanto (2005) selanjutnya menyatakan ini dikuatkan dengan pendapat
bahwa dasar kepercayaan Jawa atau Javanism adalah keyakinan bahwa segala
sesuatu yang ada di dunia ini pada hakekatnya adalah satu atau merupakan
kesatuan hidup. Javanism memandang kehidupan manusia selalu tertaut erat
dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan manusia merupakan suatu
perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius.
Mulder (2001) menyebutkan pandangan hidup merupakan suatu abstraksi
dari pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah suatu pengaturan mental dari
pengalaman hidup yang kemudian dapat mengembangkan suatu sikap diri
terhadap hidup. Sedangkan, ciri pandangan hidup orang Jawa sendiri adalah
realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan numinus antara alam nyata,
masyarakat dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Mereka percaya bahwa
kehidupan mereka telah ada garisnya, mereka hanya menjalani saja.
Kebudayaan Jawa sendiri merupakan keseluruhan pengetahuan orang Jawa
sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalaman, yang mampu menjadi pedoman tingkah lakunya. Gracia (2005)
kemudian menyimpulkan bahwa kebudayaan Jawa hasil dari akal budi dari alam
sekelilingnya dan dipergunakan bagi kesejahteraan hidup orang Jawa.
Daerah kebudayaan Jawa meliputi seluruh bagian tengah dan timur Pulau
Jawa. Yogyakarta dan Surakarta merupakan daerah pusat kebudayaan tersebut
13
(Gracia, 2005). Di dalam kebudayaan tersebut terdapat masyarakat Jawa sebagai
bagian dari kebudayaan tersebut.
2. Masyarakat Jawa
Menurut (Koentjaraningrat dalam Hastjarja dalam Gracia, 2005), sistem
nilai budaya merupakan tingkat paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat.
Hal itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar dari warga suatu masyarakat Nilai-nilai budaya terwujud dalam
berbagai konsep tentang apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting
dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah
dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), maka masyarakat Jawa dapat
diartikan sebagai sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya yang terikat oleh
suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Suseno (1984) menyatakan Orang
Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa dan merupakan
penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa.. Jadi masyarakat Jawa
merupakan sejumlah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa dan terikat
oleh suatu kebudayaan (nilai, kepercayaan, adat istiadat) yang mereka anggap
sama yaitu kebudayaan Jawa. Kemudian, Koentjaraningrat (1986),
mengklasifikasikan orang Jawa menjadi tiga menurut golongan sosial yaitu:
a. Wong cilik (orang kecil) terdiri dari petani dan mereka yang perpendapatan
rendah.
b. Kaum priyayi terdiri dari pada pegawai dan orang-orang intelektual.
14
c. Kaum ningrat (berdarah biru) gaya hidupnya tak jauh berbeda dari
kaum priyayi.
Dapat dikatakan bahwa masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang
berbudaya dan memiliki nilai-nilai yang terwujud dapat berfungsi sebagai suatu
pedoman yang memberi arah, sehingga mampu membentuk sikap sebagai
manusia Jawa di dalam kehidupan mereka sehari-hari.
3. Sikap Hidup Orang Jawa
a. Pangestu
Agar mencapai diri yang ideal, maka manusia hendaknya memliki
beberapa sikap hidup. Dalam pengestu juga terdapat uraian mengenai sikap hidup
yang ideal, yakni bagaimana manusia bersikap dan berhubungan dengan Tuhan
yang Maha Esa, masyarakat dan alam. Sikap hidup tersebut terdapat di dalam
Serat Sasangka Jati
Pangestu merupakan kepanjangan dari Paguyuban Ngesti Tunggal.
Menurut Jong (1976 dalam Herdiyanto, 2005), Pangestu merupakan salah satu
dari tiga aliran kepercayaan kepercayaan yang mempunyai pengikut terbesar,
selain Sapta Darma dan Subud. Pangestu dilatarbelakangi oleh alam kebudayaan
Jawa. arti kata dari Paguyuban adalah perkumpulan yang dijiwai oleh hdup rukun
dan semangat kekeluargaan, Ngesti adalah upaya batin yang didasari dengan
permohonan kepada Tuhan yang Maha Esa, Tunggal adalah bersatu dalam hidup
bermasyarakat, bersatu kembali dengan Tuhan yang Maha Esa.
Herdiyanto (2005) mengemukakan Pangestu didirikan tanggal 20 Mei
1949 di Surakarta. Tokoh utama dalam Pangestu adalah Raden Soenarto
15
Mertowardojo (Pak Merto atau Pak Dhe Narto). Pangestu didirikan atas Sabda
Suksma Tiga buah Kitab yang berisi rekaman Sabda Sang Guru Sejati (sejak
tahun 1932 sampai dengan 1961 atau selama 28 tahun) adalah Sabda Pratama,
Sasangka Djati, Sabda Khusus. Kitab-kitab wajib lainnya yang berisi keterangan
dan petunjuk-petunjuk praktis dalam berolah rasa adalah (Pangestu, 2004 dalam
Herdiyanto, 2005) Bawa Raos Salebeting Raos, Taman Kamulyang Langgeng,
Riwayat Hidup Bapak Paranpara R. Soenarto Mertowardojo, Arsip Sarjana Budi
Santosa, Ulasan Kang Kelana, Olah Rasa, dan Wahyu Sasangka Jati.
b. Sikap Hidup Orang Jawa
Menurut tokoh Pengestu R. Soenarto (dalam Budiono, 1984) uraian
mengenai sikap hidup orang Jawa di dalam Serat Sasangka Jati terdapat dalam
Hasta Sila atau Delapan Sikap Dasar, yang terdiri dari dua pedoman yakni Tri-sila
dan Panca-Sila. Tri-Sila merupakan Pedoman Pokok yang harus dilaksanakan
setiap hari oleh manusia, dan merupakan tiga hal yang harus dituju oleh budi dan
cipta manusia di dalam menyembah Tuhan yaitu:
1.). Eling atau sadar
Sadar artinya sadar untuk selalu berbakti kepada Tuhan yang Maha
Tunggal, dengan selalu sadar terhadap Yang Maha Tunggal maka manusia
akan dapat bersifat hati-hati hingga dapat memisah-misahkan yang benar
dan yang salah, yang nyata dan yang bukan, yang berubah dan yang tidak
berubah.
2). Pracaya atau percaya
16
Percaya ialah percaya terhadap Suksma Sejati atau Utusan-Nya, yang
disebut Guru Sejati. Dengan percaya kepada Utusan-Nya berarati pula
percaya kepada Jiwa Pribadinya sendiri serta kepada Allah, karena ketiga-
tiganya adalah Tunggal yaitu yang disebut Tri Purusa.
3). Mituhu atau setia
Manusia harus selalu setia kepada dan selalu melakasanakan segala
perintahNya yang disampaikan melalui UtusanNya, karena semua tugas baik
yang diterima manusia pad ahakekatnya adalah tugas yang diberikan Allah.
Sebelum manusia melaksanakan Tri-Sila tersebut di atas, ia harus berusaha
dulu untuk memiliki watak dan tingkah laku yang terpuji yang disebut
Panca-Sila, yang dapat dijabarkan:
1) Rila Yaitu keihlasan hati sewaktu menyerahkan segala milikinya,
kekuasaannya dan seluruh karyanya kepada Tuhan dengan tulus ikhlas,
dengan mengingat bahwa semua itu ada di dalam kekuasaan Tuhan, oleh
karena itu harus tidak ada sedikitpun yang membekas di hatinya.
2) Narima Banyak pengaruhnya terhadap ketentraman di hati, jadi bukan
orang yang malas bekerja, tetapi yang merasa puas dengan nasibnya.
Apapun yang sudah terpegang di tangannya, dikerjakan dengan senang hati,
tidak loba dan ngangsa. Orang yang narima dapat dikatakan sebagai orang
yang bersyukur kepada Tuhan.
3) Temen Berarti menepati janji atau ucapannya sendiri, baik yang
diucapkan maupun yang diucapkan di dalam hati.
17
4) Watak atau sifat sabar Sabar itu berarti momot, kuat terhadap segala
cobaan, tetapi bukan berarti putus asa, melainkan orang yang kuat imannya,
luas pengetahuannya, tidak sempit pandangannya.
5) Budi Luhur Yaitu manusia yang selalu berusaha untuk menjalankan
hidupnya dengan segala tabiat dan watak serta sifat-sifat seperti misalnya
kasih dan sayang terhadap sesamanya, suci, adil dan tidak membeda-
bedakan tingkat derajat, semua dianggap sebagai saudara sendiri, tanpa
menghilangkan tata karma dan tata susilanya.suka menolong serta
melindungi dengan tanpa mengharapkan balas jasa. Semua hanya bisa
dilaksanakan apabila keempat sifat: rila, narima, temen, serta sabar telah
dapat dikuasainya.
4. Nrimo dalam Budaya Jawa
Menurut Dr. Purwadi dalam Ensiklopedi Kebudayaan Jawa (2005), bahwa
setiap manusia diberi anugerah oleh Tuhan, namun setiap manusia mempunyai
bagian yang berbeda-beda. Kesadaran akan perbedaan itu disebut “narima ing
pandum”. Dengan sikap “narima ing padum”, sesesorang tidak akan “ngoyo”
dalam mengejar harta benda. Disini yang diperhitungkan kerja dan pasrah kepada
”panduming dumadi”. Bonneff (1994, dalam Hess 2001) nrimo adalah
kemampuan seseorang untuk menerima apapun tanpa protes. Nrimo memiliki
sebuah sejarah idelogis yang dapat dipertimbangkan. Penerimaan dianggap
sebagai respon aktif yang mampu menghancurkan siklus menyeramkan dari
ketakutan akan masa depan dan penyesalan dari masa lalu. Jadi nrimo suatu
respon aktif manusia untuk bersikap menerima dengan ikhlas apapun yang terjadi
18
di dalam hidupnya, karena semuanya itu sudah merupakan kehendak Yang Maha
Kuasa. Disini manusia tidak bersikap pasrah dan tidak berbuat apa-apa, tetapi
manusia tetap berusaha, walaupun semua keputusan akhir nanti berada di tangan
Yang Maha Kuasa.
Dalam ajaran Pangestu ( dalam De Jong, 1976), narima berarti ketenangan
afektif dalam menerima segala sesuatu dari dunia luar, harta benda, kedudukan
sosial, nasib malang, nasib untung. Sikap narima menekankan apa yang ada,
faktualitas hidup individu, menerima segala sesuatu yang masuk ke dalam hidup
individu. Hanya orang yang menjalankan rilo dan narima akan menjadi sabar.
Seseorang yang rela hati menyerahkan diri dan menerima dengan senang hati
sudah bersikap sabar. Ia akan maju dengan hati-hati, karena sudah menjadi
bijaksana dengan pengalaman.
Jadi, nrimo sendiri adalah kemampuan seseorang untuk menerima apapun
tanpa protes. nrimo sendiri merupakan suatu respon aktif bagi manusia Jawa
untuk bersikap menerima dengan ikhlas apapun yang terjadi di dalam hidupnya,
karena semuanya itu sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Nrimo juga
cenderung kepada ketenteraman hati, yaitu tidak menginginkan milik orang lain
serta tidak iri hati terhadap keberuntungan orang lain, jadi bukan orang yang
malas bekerja, melainkan orang yang dapat menempatkan dirinya dalam rasa
tenang dan puas dalam menerima apapun yang menjadi bagiannya, maka orang
yang menerima dapat disebut orang yang bersyukur kepada Tuhan.
19
B. Makna Hidup
1. Sejarah Logoterapi
Makna dalam kamus bahasa Indonesia (1982), berarti arti atau maksud
sesuatu kata, sedangkan menurut Schultz (1995) logoterapi berasal dari kata logos
berasal dari bahasa Yunani yang berarti arti. Menurut Frankl keinginan pada
makna adalah penggerak utama dari kepribadian manusia. Konsep keinginan
kepada makna ini yang menjadi tulang punggung teori kepribadian dan sistem
psikoterapi yang disebut logotherapi (dalam Koeswara,1992).
Frankl (dalam Schultz, 1995) mengemukakan meskipun manusia tunduk
kepada kondisi-kondisi dari luar yang mempengaruhi kehidupannya, namun
manusia bebas memilih reaksi terhadap kondisi-kondisi ini.
2. Pengertian Makna
Menurut Frankl kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan makna
dan kebutuhan akan arti, menurut Frankl (dalam Schultz, 1995) kemauan akan arti
kehidupan adalah kebutuhan kita yang terus menerus mencari bukan diri kita,
melainkan suatu arti untuk memberi maksud bagi eksistensi kita. Jika manusia
telah menemukan hal tersebut, maka ia akan menemukan makna hidupnya.
Apabila makna hidup berhasil ditemukan dan dipenuhi, maka kehidupan
seseorang dirasakan penting dan berharga yang pada gilirannya akan
menimbulkan penghayatan bahagia (happiness). Selanjutnya menurut Frankl
(dalam Schultz, 1995) kekurangan akan arti kehidupan merupakan suatu keadaan
yang bercirikan tanpa arti, tanpa maksud, tanpa tujuan dan hampa.
20
3. Landasan Makna
Menurut Frankl (Trimardhany, 2003 dalam Anshori) logoterapi memiliki
wawasan mengenai manusia yang berlandaskan tiga pilar filosofis yang satu
dengan lainya erat hubunganya dan saling menunjang yaitu:
a. Kebebasan berkehendak ( Freedom of Will )
Manusia adalah mahluk yang istimewa karena mempunyai kebebasan.
Kebebasan disini bukanlah kebebasan yang mutlak, tetapi kebebasan yang
bertanggungjawab. Kebebasan manusia bukanlah kebebasan dari (freedom from)
kondisi-kondisi biologis, psikologis dan sosiokultural tetapi lebih kepada
kebebasan untuk mengambil sikap ( freedom to take a stand ) atas kondisi-kondisi
tersebut. Kelebihan manusia yang lain adalah kemampuan untuk mengambil jarak
( to detach ) terhadap kondisi di luar dirinya, bahkan manusia juga mempunyai
kemampuan-kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri ( self
detachment ). Kemampuan-kemampuan inilah yang kemudian membuat manusia
disebut sebagai “ the self deteming being” yang berarti manusia mempunyai
kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang dianggap penting dalam hidupnya.
b. Kehendak Hidup Bermakna ( The Will to Meaning )
Menurut Frankl, motivasi hidup manusia yang utama adalah mencari makna.
Ini berbeda dengan psikoanalisa yang memandang manusia adalah pencari
kesenangan, juga pandangan psikologi individual bahwa manusia adalah pencari
kekuasaan. Makna itu sendiri menurut Frankl bersifat menarik ( to pull ) dan
menawari ( to offer ) bukannya mendorong ( to push ). Karena sifatnya menarik
21
itu maka individu termotivasi untuk memenuhinya agar ia menjadi individu yang
bermakna dengan berbagai kegiatan yang sarat dengan makna.
c. Makna Hidup ( The Meaning Of Life )
Makna hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan
serta memberikan nilai khusus bagi seseorang ( Bastaman, 1996 dalam Anshori).
Untuk tujuan praktis makna hidup dianggap identik dengan tujuan hidup. Makna
hidup bisa berbeda antara manusia satu dengan yang lainya dan berbeda setiap
hari, bahkan setiap jam. Karena itu, yang penting bukan makna hidup secara
umum, melainkan makna khusus dari hidup seseorang pada suatu saat tertentu.
Setiap manusia memiliki pekerjaan dan misi untuk menyelesaikan tugas khusus.
Dalam kaitan dengan tugas tersebut dia tidak bisa digantikan dan hidupnya tidak
bisa diulang.
4. Pencapian Makna
Frankl (Schult, 1991) mengemukakan ada tiga sistem nilai yang
fundamental yang berhubungan dengan tiga cara memberi arti kepada kehidupan:
nilai-nilai daya cipta (kreatif), nilai-nilai pengalaman, dan nilai-nilai sikap.
Nilai-nilai daya cipta diwujudkan dalam aktifitas yang kreatif dan produktif.,
nilai ini berhubungan dengan semua bidang kehidupan. Arti diberikan dengan
tindakan menciptakan sesuatu atau dengan bentuk melayani. Secara garis besar
dapat disimpulkan nilai, menyangkut bagaimana individu akana memberi arti
kepada duninya.
22
Nilai-nilai pengalaman, ialah bagaimana individu ambil dari hidup. Nilai
didasarkan bahwa kemungkinan memenuhi arti kehidupan dengan mengalami
beberapa segi kehidupan yang intensif, individu memungkinkan arti kehidupan
dengan mengalami dan menemukan dalam setiap pengalaman yang ia lalui. Nilai
ini dapat diwujudkan dengan menemukan keindahan, kebenaran, dan cinta.
Nilai-nilai sikap, lebih merupakan bagaimana individu bersikap untuk
mengubah dan menghadapi penderitaannya. Frankl mengemukakan bahwa satu-
satunya cara yang rasional apabila manusia berhadapan dengan penderitaan adalah
menerimanya. Cara bagaimana manusia untuk menerima, serta keberanian diri
untuk menahan penderitaan dapat diperlihatakan ketika manusia dihadapkan
dengan musibah yang merupakan ujian dan ukuran yang terakhir dari pemenuhan
diri sebagai manusia.
5. Nrimo dan Makna Hidup
Narima atau nrimo merupakan sikap hidup orang Jawa sudah yang merasa
puas dengan nasibnya. Apapun akan dikerjakan dengan senang hati, orang
tersebut tidak ngangsa ataupun dia tidak akan “ngoyo” dalam mengejar harta
benda. Sikap ini menekankan apa yang ada, dengan menerima segala sesuatu yang
masuk kedalam hidup individu. Nrimo juga menekankan penyerahan kepada
Tuhan. Seperti dalam budaya Jawa, ada semacam keyakinan yang tertanam bahwa
manusia hendaknya mempercayakan diri kepada bimbingan yang ilahi (pracaya)
dan percaya kepadaNya (mituhu). Melalui nrimo diri menjadi lebih menerima
segala sesuatu yang masuk ke dalam hidupnya, sekaligus dapat disebut juga orang
yang mampu bersyukur kepada Tuhan.
23
Makna ialah kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan arti yakni suatu
arti untuk memberi maksud bagi eksistensi manusia. Jika manusia telah
menemukan hal tersebut, maka ia akan menemukan makna hidupnya. Dalam
Pangestu diajarkan melalui tiga macam sikap, agar manusia dapat menemukan
makna atau tujuannya yang sejati dengan mengambil distansi terhadap dunia.
Yang dimaksud dengan distansi adalah manusia mengambil jarak terhadap aspek
material maupun spiritual. Distansi dianggap perlu bagi manusia untuk
menemukan dirinya sendiri, karena segala sesuatu yang ada dalam dunia
mengeruhkan kesadaran sejati, maka jika manusia ingin punya arti dalam dunia
ini, manusia harus kembali merenungkan dunianya.
Dengan nrimo individu menjadi termotivasi untuk memenuhinya agar ia
menjadi individu yang bermakna, karena melalui nrimo manusia diharapkan
merenungkan kembali keberadaan atau eksistensinya di dunia ini. Eksistensinya
itu ditunjukkan dengan memenuhi tujuan atau misi hidupnya yang sejati, tanpa di
halangi oleh kekuatan-kekuatan dari luar. Pandangan nrimo sendiri adalah bahwa
di dalam menjalani hidup manusia dimaksudkan untuk bersikap menerima secara
ikhlas apa yang sudah menjadi kehendak yang Kuasa, tanpa melupakan arti dari
tujuan dia hidup di dunia ini..
Nrimo adalah kemampuan manusia untuk ikhlas apa yang sudah menjadi
nasibnya, namun nrimo juga dimaknai agar manusia atau diri dapat mencapai
tujuannya yang sejati. Dapat disimpulkan bahwa, dalam masyarakat Jawa terdapat
nrimo dimaknai sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa,
24
sehingga mereka mampu merespon secara aktif yang digunakan untuk mencapai
tujuan dari hidupnya.
C. Gempa Bantul
1. Definisi Gempa Bumi
Menurut wikipedia (wikipedia.org) Gempa bumi adalah getaran yang terjadi
permukaan buni. Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi
(lempeng bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah
asal terjadinya kejadian gempa bumi tersebut, jadi gempa bumi terjadi apabila
tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah terlalu besar untuk dapat
ditahan.
a. Tipe Gempa Bumi
Dalam wikipedia (wikipedia.org), menurut terjadinya gempa bumi
terbagi atas dua tipe, yaitu:
1). Gempa bumi tektonik
Gempa bumi tektonik disebabkan oleh perlepasan tenaga yang
terjadi karena pergeseran lempengan plat tektonik seperti layaknya
gelang karet ditarik dan dilepaskan dengan tiba-tiba. Tenaga yang
dihasilkan oleh tekanan antara batuan dikenal sebagai kecacatan
tektonik.
25
2). Gempa bumi gunung berapi
Gempa bumi gunung berapi terjadi berdekatan dengan gunung
berapi. Gempa bumi gunung berapi disebabkan oleh pergerakan magma
ke atas dalam gunung berapi, di mana geseran pada batu-batuan
mengahasilkan gempa bumi.
2. Gempa bumi di Yogyakarta
Menurut data dari wikipedia (id.wikipedia.org), Gempa bumi Yogyakarta
Mei 2006 adalah sebuah gempa bumi tektonik kuat yang mengguncang Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006 kurang lebih pukul
05.55 WIB selama 57 detik. Gempa bumi tersebut berkekuatan 5,9 pada skala
Richter. United States Geological Survey melaporkan 6,2 pada skala Richter.
Lokasi gempa menurut Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral Republik Indonesia terjadi pada koordinat 8,007° LS dan
110,286°BT pada kedalaman 17,1 km. Sedangkan menurut BMG, posisi episenter
gempa terletak di koordinat 110,31° LS dan 8,26° BT pada kedalaman 33 km.
USGS memberikan koordinat 7,977° LS dan 110,318 BT pada kedalaman 35 km.
Hasil yang berbeda tersebut dikarenakan metode dan peralatan yang digunakan
berbeda-beda. Namun secara umum posisi gempa berada 25 km selatan barat daya
Yogyakarta.
3. Korban Gempa
Korban dalam kamus bahasa Indonesia (1982), merupakan orang yang mati
(menderita kecelakaan) karena tertimpa bencana (seperti banjir, gempa bumi, dan
sebagainya). Sedangkan gempa gerakan atau goncangan bumi. Jadi korban gempa
26
bumi adalah orang yang yang menderita atau bahkan mati karena tertimpa
bencana, akibat dari gerakan atau goncangan bumi.
4. Akibat Gempa Bantul
Pemerintah Kabupaten Bantul merilis data korban becana, Selasa (6/6),
tercatat 71482 rata tanah sedangkan korban jiwa sebanyak 4121 orang. Dalam
data Satkorlak Bantul tercatat 4280 korban tewas sedangkan data Pemkab Bantul
terbaru menyebutkan sebanyak 4121 orang meninggal. Kerusakan rumah
penduduk tercatat 71482 rata dengan tanah, 70718 unit mengalami rusak berat dan
66497 rusak ringan.
Jetis mengalami kerusakan terparah sebanyak 11197 unit rata tanah.
Kecamatan Sewon sebanyak 8281 rumah ambruk, sedangkan di Kecamatan Pleret
8139 rumah rata tanah (http://bantul.go.id). Menurut sumber Kompas, Akibat dari
gempa bantul meyebabkan lebih dari 5.700 orang meninggal dunia, juga
menyisakan puluhan ribu rumah dan bangunan rusak berat (Jaringan Nirkabel,
2006), diperkirakan hampir 143.135 unit rumah roboh atau rusak berat (Kompas,
2006).
5. Kerusakan Gempa Di Desa Patalan
Korban terbanyak ditemukan di Kecamatan Jetis, tercatat sebanyak 830
meninggal, di Kecamatan Bambanglipuro sebanyak 607 korban jiwa dan
Kecamatan Pleret sebanyak 497 meninggal dunia. Sementara, korban jiwa yang
paling sedikit di Kecamatan Sanden dan Sedayu, masing-masing 2 orang
meninggal dunia (http://bantul.go.id). Selanjutnya kerusakan di desa Patalan
terangkum dalam tabel.
27
28
Dinamika Nrimo bagi Masyarakat Korban Gempa di Desa Patalan,
Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Di Indonesia terdapat berbagai macam kebudayaan, salah satunya
kebudayaan Jawa. Seperti yang telah dibahas sebelumnya kebudayaan Jawa
merupakan keseluruhan pengetahuan orang Jawa sebagai makhluk sosial yang
digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalaman, yang mampu menjadi
pedoman tingkah lakunya dan dipergunakan bagi kesejahteraan hidup orang Jawa.
Masyarakat terbentuk dari representasi kebudayaan, yang kemudian
membentuk nilai-nilai budaya yang berfungsi sebagai suatu pedoman yang
memberi arah dan orientasi kepada kehidupan manusia Jawa. Maka, nilai-nilai
yang terwujud dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah,
sehingga mampu membentuk sikap sebagai manusia Jawa di dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Salah satu pedoman tersebut adalah nrimo.
Nrimo merupakan kemampuan seseorang untuk menerima apapun tanpa
protes, dia tidak akan “ngoyo” dalam mengejar segala sesuatu dari dunia. Melalui
nrimo, diri tidak mengejar kepentingan duniawi, tetapi dengan rila dan ikhlas, dia
mampu untuk bersikap menerima dengan ikhlas apapun yang terjadi di dalam
hidupnya, dengan rela hati menyerahkan diri dan menerima dengan senang hati.
Nrimo dapat dikatakan suatu sikap hidup yang positif, karena dengan nrimo
manusia mampu menemukan arti atau maksud dari tujuan hidupnya. Maka jika,
manusia ingin menemukan kesadaran sejati atau jika manusia ingin punya arti
dalam dunia ini, manusia harus kembali merenungkan dunianya.
29
Gempa Bantul silam yang terjadi tanggal 27 Mei 2006 silam, membuat diri
merenungkan kembali arti hidupnya didunia. Diri atau individu harus memilih
apakah akan terus bertahan atau menjadi nelongso yang pada akhirnya hanya akan
menyebabkan individu tersebut menjadi stress. Dengan nrimo individu memiliki
tujuan atau makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi oleh
mereka. Nrimo juga digunakan agar manusia mampu menjaga eksistensisnya,
sekaligus digunakan untuk mencapai tujuannya didunia ini. Eksistensinya itu
ditunjukkan dengan memenuhi tujuan atau misi hidupnya yang sejati.
Dengan nrimo individu menjadi termotivasi untuk memenuhinya agar ia
menjadi individu yang bermakna, karena melalui nrimo manusia diharapkan
merenungkan kembali keberadaan atau eksistensinya di dunia ini. Kehidupan
yang bermakna ialah kehidupan yang dimaksudkan agar hidup individu tidak lagi
kosong, karena hidup tidak lagi kosong jika individu berhasil menemukan suatu
sebab dan sesuatu yang dapat mendedikasikan eksistensi. Walaupun dengan
penderitaaan sekalipun, itu adalah kehidupan yang bermakna, karena keberanian
menanggung tragedi yang tak tertanggungkan merupakan pencapaian atau prestasi
dan kemenangan.
Melalui nrimo, korban gempa secara sadar untuk bertindak aktif, serta
berproses dan dengan menggunakan kebebasannya untuk memilih bagaimana
dirinya akan bertingkah laku, tanpa dipengaruhi oleh penderitaan akibat gempa.
Secara aktif mereka bangkit dari pengalaman yang telah terjadi untuk memulai
kembali kehidupannya. Dinamika nrimo bagi masyarakat korban gempa di Desa
30
Patalan, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Yogyakarta dapat dilihat melalui
bagan berikut ini.
Budaya Jawa
Masyarakat
Rila
Temen
Nilai Sabar Kehidupan
Nrimo
Budi Luhur Musibah Gempa
Nelongso Nrimo
Kosong tidak kosong
Stres Bertahan
Bagan Dinamika Nrimo bagi Masyarakat Korban Gempa Di Desa Patalan, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul Yogyakarta
31
Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan deskripsi
nrimo bagi masyarakat korban gempa di desa Patalan, kecamatan Jetis, kabupaten
Bantul, Yogyakarta Pertanyaan penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana atau apa yang dimaksud dengan nrimo bagi masyarakat
korban gempa dibantul?
b. Apa yang terjadi pada mereka setelah melakukan nrimo, serta apa
dampak bagi kehidupan mereka sehari-hari?
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Menurut Bogdan
dan Tylor (dalam Moleong, 2005), metode kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati, selanjutnya Poerwandari
(1998) menyatakan penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan
dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara,
catatan laporan, gambar, foto, rekaman video, dan sebagainya. Suryabrata
(2002) menjelaskan, penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat
pencandraan secara sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-
sifat populasi atau daerah tertentu.
Berdasarkan definisi tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan dengan fakta-fakta yang ada tentang
makna nrimö bagi masyarakat korban gempa di desa Patalan, Kecamatan Jetis,
Kabupaten Bantul, Yogyakarta di dalam kehidupan mereka paska gempa 27
Mei 2006 silam.
B. Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (1998) penelitian kualitatif memilki
33
ciri yang membedakannya dengan jenis penelitian lainnya. Penelitian kualitatif
merupakan studi dalam situasi alamiah (naturalistic inquiry) yaitu: desain
yang bersifat alamiah, dalam arti peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi
seting penelitian. Menggunakan analisis induktif, dalam artian peneliti
mencoba memahami situasi sesuai dengan bagaimana situasi tersebut
menampilkan diri. Kontak personal langsung peneliti di lapangan, agar peneliti
memperoleh pemahaman secara jelas tentang realitas dan kondisi nyata
kehidupan sehari-hari. Penelitian kualitatif menekankan pada perspektif
holistik, perspektif dinamis, dan perspektif perkembangan yaitu: keseluruhan
fenomena perlu dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks dan bahwa
yang menyeluruh.
Penelitian kualitatif melihat gejala sosial sebagai sesuatu yang dinamis
dan berkembang, bukan sebagai suatu hal yang statis dan tidak berubah dalam
perkembangan kondisi dan waktu. Peneliti mengamati dan melaporkan objek
yang diteliti dalam konteks perkembangan atau perubahan tersebut. Dikatakan
berorientasi pada kasus unik, karena dalam penelitian kualitatif akan
menampilkan kedalaman dan detil, karena fokusnya memang penyelidikan
yang mendalam pada sejumlah kecil kasus. Netralitas empatik, mengacu pada
sikap peneliti terhadap subjek yang dihadapi dan diteliti, sementara netralitas
mengacu pada sikap peneliti yang tanpa dugaan tentang hasil-hasil yang harus
didukung atau ditolak (bersikap netral). Mengacu pada Fleksibilitas desain,
yaitu: desain penelitian yang bersifat luwes, akan berkembang sejalan dengan
bekembangnnya pekerjaan lapangan dan Peneliti sebagai instrumen kunci,
34
yaitu Peneliti berperan besar dalam keseluruhan proses penelitian, mulai dari
memilih topik, mendekati topik tersebut, mengumpulkan data hingga
menganalisis dan menginterpretasikannya.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut di atas, maka pendekatan kualitatif deskriptif
adalah pendekatan yang sesuai dengan tujuan utama penelitian ini yaitu
mengetahui atau melakukan penggalian, serta pencandraan secara sistematis,
faktual, akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat pada populasi atau daerah
tertentu. Peneliti mencoba memberikan gambaran secara faktual, akurat
terhadap nrimo yang telah dimiliki oleh orang Jawa sebagai makna bagi
masyarakat korban gempa pada tanggal 27 mei 2006 silam. Penelitian
mengenai makna nrimo bagi korban gempa sejalan dengan perspektif dinamis,
perspektif perkembangan dan kasus yang unik, karena penelitian mengenai
nrimo sebagai makna berlaku pada budaya tertentu, dalam hal ini budaya
Jawa, serta melalui penelitian ini ingin melihat nrimo sebagai sesuatu yang
dinamis dan berkembang bagi masyarakat korban gempa di Bantul. Seperti
telah dipaparkan pada BAB II. Fokus penelitian di sini adalah berupa deskripsi
nrimo yang telah dimiliki oleh orang Jawa sebagai makna bagi masyarakat
korban gempa pada tanggal 27 mei 2006 silam, juga penelitian ini tidak
berusaha memanipulasi kondisi penelitian dengan harapan dapat menemukan
hal-hal baru dalam kompleksitas keadaan sesudah terjadinya gempa yang
sesungguhnya.
35
C. Lokasi dan Subjek Penelitian
1. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian difokuskan pada desa Patalan, Kecamatan
Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pemilihan lokasi penelitian
ini didasarkan pada tingkat kerugian yang dialami pasca gempa 27 Mei 2005
silam. Dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut;
a. Kecamatan Jetis merupakan kecamatan dengan korban meninggal
terbanyak dalam gempa bantul.
b. Letak daerah yang berada di kecamatan yang terkena dampak gempa
terparah di Kabupaten Bantul dan Sleman;
c. Hampir semua rumah yang ada di dusun-dusun tersebut rusak total dan
rusak berat.
2. Subjek penelitian
Dalam menentukan subjek penelitian, peneliti terlebih dahulu menetapkan
satuan kajian. Moleong (2005) mengemukakan bahwa keputusan tentang
penentuan subjek, besarnya dan strategi sampling itu bergantung pada
penetapan satuan kajian yang dalam penelitian ini bersifat perorangan. Peneliti
menentukan subjek penelitian dengan metode purposive sampling, pemilihan
metode ini lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa suatu kajian penelitian
itu tidak homogen, sehingga tidak semua dapat dijadikan subjek penelitian.
Subjek dipilih dengan pertimbangan bahwa ia dapat memberikan informasi
yang dibutuhkan berkaitan dengan tujuan penelitian dan diperkirakan
36
mewakili (penghayatan terhadap) penelitian secara intens. Oleh karena itu,
kemudian peneliti membuat beberapa kriteria antara lain untuk membatasi
subjek yang akan digunakan. Kriteria tersebut antara lain mengalami langsung
gempa bantul silam, ikut menjadi korban serta mengalami kerugian materi
(rumah, harta benda hancur akibat gempa 27 mei 2006 silam).
Uraian mengenai identitas dan deskripsi masing-masing subjek akan
dibahas di bab IV. Dalam hal ini penelitian difokuskan pada korban gempa
yang bertempat tinggal di desa Patalan, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul.
Setelah menyelesaikan urusan perijinan dari Bapeda Bantul, Kecamatan
Jetis, dan di Kelurahan, kemudian peneliti menemui para kepala dusun di desa
Patalan yang akan menjadi lokasi penelitian dan menjelaskan kriteria subjek
yang diperlukan. Dari sana peneliti mencoba menjelaskan gambaran penelitian
yang ingin disampaikan, serta bertanya apakah ada subjek yang memenuhi
kriteria tersebut. Para dukuh kemudian menunjukkan subjek yang dimaksud,
metode ini terus dilakukan hingga terpenuhi 20 subjek, yaitu dengan
pengandaian 1 pedukuhan 1 orang subjek
D Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif terdapat beragam metode pengumpulan data
yang dapat digunakan. Dalam penelitian ini terdapat empat metode yang
digunakan sebagai alat dalam mengumpulkan data penelitian. Metode-metode
tersebut adalah sebagai berikut :
37
1. Observasi
Observasi dalam penelitian kualitatif ini dilakukan pada latar alamiah,
yaitu mengamati perilaku dan keadaan subjek dalam kehidupan sehari-harinya
(di masa kini). Dalam hal ini observasi diarahkan untuk mengamati berbagai
hal yang mengarah atau menunjukkan nrimo sebagai makna yang kemudian
hasilnya dicatat sebagai bentuk catatan lapangan. Mengingat waktu penelitian
yang sempit, maka peneliti hanya melakukan obsevasi pada saat wawancara
berlangsung. Observasi tersebut diwujudkan dalam catatan lapangan yang
dapat menambah pemahaman peneliti terhadap situasi yang dialami oleh
subjek saat diwawancarai.
2. Wawancara
Dalam Poerwandari (Banister et al., seperti dikutip Poerwandari, 1998)
dijelaskan bahwa wawancara kualitatif adalah percakapan tanya jawab yang
dilakukan peneliti untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna
subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan
bermaksud melakukan eksplorasi terhadap topik tersebut.
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
dengan bentuk wawancara dengan pedoman standar baku terbuka. Menurut
Poerwandari (1998), bentuk wawancara ini menggunakan pedoman
wanwancara yang ditulis secara rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan
penjabarn dalam kalimat. Wawancara baku terbuka, menggunakan
pendalaman pertanyaan terbatas, dan hal ini bergantung pada situasi
wawancara dan kecakapan pewawancara. Menurut Moleng (2005), wawancara
38
jenis ini bermanfaat apabila subjek yang diwawancarai cukup banyak
jumlahnya. Bentuk wawancara ini dianggap efektif oleh peneliti, karena
melibatkan banyak subjek sehingga peneliti memerlukan metode supaya lebih
mudah didalam mengadministrasikan hasil-hasil wawancara. Pedoman
wawancara dalam penelitian ini berdasarkan kerangka teori yang sudah
dijelaskan dalam bab 2, yaitu mengungkap nrimo sebagai makna. Hasil dari
wawancara kemudian akan dicatat/ditranskripsikan kata per kata (verbatim).
Selain beberapa panduan wawancara di atas, peneliti juga menambahkan
beberapa pertanyaan umum mengenai data tambahan, antara lain mengenai,
usia, pekerjaan, dan tingkat pendidikan. Hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui identitas subjek penelitian. Panduan wawancara adalah sebagai
berikut :
Hal yang Akan Diungkap Tujuan Pertanyaan
Pengertian nrimo • Mengungkap tentang nrimo secara umum • Mengetahui pemahaman subjek tentang
arti nrimo Sikap/perbuatan yang
menimbulkan nrimo dan akibatnya
• Mengetahui segala penyebab timbulnya nrimo dan contoh perilaku akibat adanya nrimo tersebut
Mengetahui kapan subjek tidak merasa nrimo
• Mengungkap bilamana orang tidak perlu merasa nrimo,
Bilamana nrimo dianggap sebagai sikap yang baik atau
buruk
• Mengetahui kapan nrimo dianggap sebagai sesuatu yang baik, berguna, bermanfaat
Rasa nrimo ketika subjek berbuat sesuatu yang mengalami musibah
• . Melakukan probing tehadap hubungan antara pengalaman atau peristiwa yang dianggap buruk oleh subjek dengan timbulnya perasaan nrimo
Tentang ora nrimo • Mengetahui pemahaman subjek mengenai istilah ora nrimo
39
Pemahaman tentang makna nrimo
• Mengetahui sejauh mana nrimo berfungsi sebagai sikap hidup pribadi
Inventarisasi perasaan saat subjek merasa nrimo
• Mengungkap pemahaman subjek tentang nrimo didalam kehidupannya sehari-hari
Hubungan nrimo dengan sabar dan ihklas
• Mengetahui segala macam perasaan yang timbul akibat nrimo
• Mengungkap bentuk hubungan antara nrimo dengan sabar dan ihklas
3. Dokumen
Selain wawancara dan obsevasi, juga digunakan dokumen sebagai sumber
data pendukung. Dokumen yang dicari adalah rangkaian pemberitaan
peristiwa gempa pada tanggal 27 Mei 2006 silam pada berbagai koran lokal
maupun nasional, termasuk internet. Rangkaian pemberitaan tersebut berupa
penyebab gempa, dampak gempa, jumlah korban (jiwa dan materi), dan
perkembangan Desa Patalan paska gempa beserta deskripsi keadaan desa
Patalan paska gempa.
Selain hal-hal tersebut, peneliti juga menggunakan dokumen mengenai
desa Patalan. Melalui dokumen akan memberikan informasi mengenai jumlah
korabn gempa, serta seberpa besar kerusakan paska gempa 27 mei 2006 di
desa Patalan. Sedangkan data geografi berupa peta wilayah akan memperjelas
batas-batas wilayah desa Patalan. Sumber-sumber data tersebut didapatkan
baik dari internet, kantor kecamatan Jetis, maupun dari kantor desa Patalan.
4. Foto
Foto dapat berguna sebagai bahan deskriptif yang berlaku pada penelitian
dilakukan. Foto yang dikumpulkan adalah foto-foto di desa Patalan selama
penelitian berlangsung untutk menggambarkan keadaan desa Patalan. Foto-
40
foto tersebut berguna sebagai bukti penelitian maupun sebagai data pendukung
dalam penelitian ini.
E. Keabsahan Data Penelitian
Penelitian kualitatif seringkali diragukan keabsahannya, karena dianggap
yang berpegang pada paradigma subjektifitas penelitinya. Agar penelitian
kualitatif dianggap ilmiah maka, para ahli menyarankan digunakan istilah-
istllah alternatif yang lebih merefleksikan paradigma penelitian kualitatif.
1. Kredibilitas
Peorwandari (1998) menjelaskan kredibilitas dalam penelitian kualitatif
terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau
mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang
komplek. Deskripsi yang mendalam menjadi salah satu ukuran kredibilitas
penelitian kualitatif.
Stangl (1980) dan Sarnatakos (1993) (seperti dikutip oleh Poerwandari,
1998) dalam penelitian kualitatif validitas dicapai melalui orientasinya dan
upayanya mendalami dunia empiris dengan menggunakan metode yang paling
cocok untuk pengambilan dan analisis data. Selanjutnya Poewandari
menjelaskan konsep yang dipakai antara lain :
a. Validitas kumulatif
Validitas kumulatif dicapai bila temuan dari studi-studi lain
mengenai topik yang sama menunjukkan hasil yang kurang lebih serupa.
Dalam prakteknya karena tidak adanya studi mengenai nrimo bagi korban
41
gempa, maka peneliti melakukan perbandingan data hasil penelitian
dengan hasil penelitian lain mengenai topik yang sama. Perbandingan
tersebut lebih bersifat membandingkan deskripsi nrimo yang diperoleh
dari penelitian sebelumnya, walaupun dengan tema tang berbeda.
b. Validitas Komunikatif
Validitas komunikatif dilakukan melalui konfirmasikannya kembali
data dan analisisnya pada subjek penelitian. Keterbatasan waktu dan
banyaknya subjek menjadi kelemahan penelitian ini, sehingga validitas
komunikatif tidak dapat dilakukan, untuk menanggulangi hal itu peneliti
melakukan perbandingan hasil wawancara subjek, sehingga peneliti
menemukan tema yang sama dalam koding.
c. Validitas argumentatif
Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan
kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan
dengan melihat kembali ke data mentah. Validitas argumentatif dicapai
peneliti dengan mendiskusikan hasil penelitian ini dengan beberapa orang
teman yang mendalami kebudayaan Jawa dan dosen psikologi.
d. Validitas ekologis
Validitas ekologis menunjukkan sejauh mana studi dilakukan pada
kondisi alamiah dari subjek yang diteliti, sehingga justru kondisi ‘apa
adanya’ dan kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting dalam
penelitian. Untuk mencapai validitas ekologis, maka pada saat
pengambilan data dilakukan selamiah mungkin, dan apa adanya, dalam
42
artian peneliti tidak berusaha memanipulasi setting atau waktu
pengambilan data penelitian.
2. Transferability
Transferability menurut Poerwandari (1998) dalam penelitian kualitatif
menggantikan konsep generalisasi. Transferabilityy adalah sejauh mana suatu
penelitian yang dilakukan pada suatu kelompok tertentu dapat diaplikasikan
pada kelompok lain, maka perlu diperhatikan setting dan konteks dalam mana
suatu hasil studi akan diterapkan atau ditransferkan haruslah relevan, atau
memiliki banyak kesamaan dengan setting dimana penelitian dilakukan.
Dalam penelitian ini, penelitian pada kelompok tertentu dapat diaplikasikan
pada kelompok lain dengan tema yang sama, walaupun dalam daerah yang
berbeda, dalam konteks ini daerah penelitian haruslah sesuai dengan budaya
Jawa.
3. Dependability
Dependability menggantikan istilah reliabilitas dalam penelitian kualitatif,
menurut Sarantakos (1993) (dalam Poerwandari, 1998) peneliti kualitatif
mengusulkan hal-hal yang dapat digunakan untuk mengingkatkan realibitas,
antara lain:
a. Koherensi, yakni bahwa metode yang dipilih memang untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
b. Keterbukaan, sejauh mana peneliti membuka diri dengan
memanfaatkan metode-metode yang berbeda untuk mencapai tujuan.
43
c. Diskursus, sejauh mana dan sesensitif apa peneliti mendiskusikan
temuan dan analisisnya dengan orang lain.
Melalui dependability peneliti memperhitungkan perubahan-perubahan
yang mungkin terjadi menyangkut fenomena yang diteliti, juga perubahan
dalam desain sebgaai hasil dari pemahaman yang lebih mendalam tentang
setting yang diteliti.
Dependability diperoleh peneliti dengan cara, menentukan metode dalam
pengambilan data, yaitu wawancara, observasi, analisis dokumen dan foto.
Peneliti menggunakan metode wawancara karena metode dasar yang banyak
dipakai dalam penelitian kualitatif deskriptif adalah wawancara dan observasi
(dalam Poerwandari, 1998). Hasil wawancara kemudian ditrianggulasikan
dengan observasi dan dokumen lainnya, peneliti juga mendiskusikan temuan
dan analisis data penelitian dengan beberapa orang teman yang mendalami
kebudayaan Jawa dan dosen psikologi.
4. Conformability
Konstruk terakhir menurut Poerwandari (1998) adalah conformability atau
konformabilitas menggantikan konsep objektivitas. Dalam hal ini menekankan
bahwa temuan penelitian dapat dikonfirmasikan, dalam artian penelitian
kualitatif yang lebih penting adalah objektivitas dalam pengertian transparansi,
yaitu kesediaan peneliti mengungkapkan secara terbuka proses dan elemen-
elemen penelitiannya, sehingga memungkinkan pihak lain melakukan
penilaian.
44
Prinsip conformability lebih mengarah pada keterbukan akan hasil-hasil
penelitan, sehingga orang lain dapat memberikan penilaian dan analisis
terhadap objek atau topik yang diteliti. Conformability dalam penelitian ini
dilakukan peneliti dengan cara menjelaskan alur penelitian dari awal, hingga
pengambilan kesimpulan. Penelitian ini juga dilengkapi berkas-berkas yang
dinginkan seperti surat ijin ataupun daftar akumulasi korban gempa di desa
Patalan, agar orang lain dengan mudah dapat mengakses hal-hal yang
berkaitan dengan hasil penelitian.
E. Metode Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (dalam
Moleong, 1989). Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data
yang terdiri dari berbagai sumber, kemudian langkah selanjutnya adalah
menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan terebut kemudian
dikategorisasikan, langkah berikutnya pembuatan koding dan yang terakhir
penafsiran data. Langkah-langkah untuk menganalisis data verbatim hasil
wawancara, observasi dan analisis dokumen dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Organisasi data
Dalam proses penelitian organisasi data merupakan tahap awal
dalam kegiatan mengolah dan menganalisis data. Organisasi data
dilakukan agar peneliti dapat memperoleh kualitas data yang baik, dapat
45
mendokumentasikan analisis yang dilakukan serta dapat menyimpan data
dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian ini. Melalui
Tahap ini, peneliti mengumpulkan dan menyusun secara cermat berbagai
data yang diperoleh dilapangan yang berupa transkrip wawancara, catatan
observasi (catatan lapangan), foto-foto, dokumen-dokumen penelitian
(data demografi, data geografi, pemberitaan dari koran dan internet).
Poerwandari (1998) menjelaskan organisasi data dilakukan agar
peneliti dapat memperoleh kualitas data yang baik, dapat
mendokumentasikan analisis yang dilakukan serta dapat menyimpan data
dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian ini, kemudian
hal-hal penting yang disimpan dan diorganisasikan adalah catatan
lapangan, transkrip wawancara dan catatan refleksi peneliti, dokumentasi
umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis,
serta data-data yang sudah diberi kode-kode tertentu guna kemudahan
dalam mencari data.
Pengorganisasian kemudian disusun berdasarkan tanggal pengambilan
data maupun tanggal kejadian dari data yang diperoleh misalnya pada
data-data mengenai gempa di bantul, maupun berbagai peritriwa yang
terjadi paska gempa. Dari data hasil wawancara kepada subjek, kemudian
akan dicatat/ditranskripsikan kata per kata (verbatim).
b. Pemilihan teori
Dalam proses penelitian ini, peneliti mempersiapkan berbagai teori
yang diperlukan di bab II yaitu sebagai landasan teori. Landasan teori ini
46
berisi teori tentang nrimo yang berfungsi sebagai “landasan” berbagai data
yang diperoleh di lapangan antara lain berupa data verbatim wawancara,
observasi, maupun foto-foto pada waktu wawancara dilakukan.
c. Koding dan kategorisasi
Tahap ini peneliti sudah melakukan klarifikasi data melalui
pengkodingan sehingga pada akhirnya data-data lapangan akan dapat
dipisahkan berdasarkan kategorinya masing-masing. Menurut Poerwandari
(1998) agar lebih efektif, koding dapat dilakukan dengan cara:
1) Peneliti menyusun transkripsi verbatim atau catatan, sehingga ada
kolom kosong yang besar disebelah kanan dan kiri trankrip.
2) Peneliti melakukan penomoran secara urut dang kontinyu pada
transkrip verbatim
3) Peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan
kode tertentu.
Poerwandari menyatakan pembuatan kolom 1 dan 3, yaitu :kolom
kiri dan kanan memang dibiarkan kosong untuk pencatatan berbagai
komentar peneliti maupun tema-tema khusus yang dibuat peneliti.
Sedangkan kolom 2 (kolom yang berada di tengah) merupakan tempat
menuliskan verbatim wawancara penelitian. Di dalam pengkodingan ini,
sebelumnya peneliti memberi nama untuk masing-masing berkas dengan
kode tertentu. Misalnya KG/PA/20/L/65/22/01/07, artinya transkrip
wawancara dilakukan di Dusun Kategan, Kelurahan Patalan pada subjek
kedua puluh, jenis kelamin laki-laki, berusia 65 tahun, pada tanggal 22
47
Januari 2007. kemudian peneliti melakukan penomoran secara urut
berkelanjutan pada setiap baris-baris verbatim dan untuk halaman pada
tiap-tiap lembaran verbatim peneliti menggunakan abjad. Contohnya:
(Ti/A, 7-10), artinya pernyataan subjek yang berinisial Ti pernyataan pada
halaman A berada pada baris 7-10.
Dalam pelaksanaannya, peneliti melakukan perubahan terhadap
letak dan fungsi kolom. Letak kolom verbatim bukan lagi di tengah,
melainkan diletakkan setelah paling kanan sehingga pengkodingan terdiri
dari verbatim, refleksi peneliti dan nomor kolom.
Dalam pengkodingan ini, peneliti menemukan banyak sekali tema.
Peneliti kemudian membuat tema yang lebih umum yaitu tentang definisi
nrimo, contoh nrimo, dan dampak nrimo. Pengkodingan dan kategorisasi
ini juga dilakukan pada data-data lainnya seperti data hasil observasi
(catatan lapangan), foto-foto, serta dokumen-dokumen. Dalam
pelaksanaan analisisnya cenderung lebih fleksibel dan digunakan sebagai
pelengkap dari hasil pengkodingan terhadap verbatim wawancara.
Keseluruhan proses koding dan kategorisasi dengan merangkum dan
memilih tema-tema pokok yang fokus pada tujuan penelitian yang disusun
secara sistematis agar mudah dianalisa
d. Penafsiran data
Setelah melakukan proses organisasi, koding dan kategorisasi,
peneliti kembali membaca hasilnya berulang-ulang untuk semakin
mempertajam pemahaman terhadap hasil penelitian sementara tersebut.
48
Kemudian peneliti melakukan interpretasi data atau yang distilahkan
Moleong (1988) sebagai penafsiran data yang bertujuan untuk
mendeskripsikan.
Berbagai teori yang terdapat dalam bab II kemudian peneliti
hubungkan dengan data-data yang diperoleh dari lapangan yang sehingga
ditemukan berbagai kategori. Kemudian peneliti menghubungkan data
lapangan dengan teori-teori tentang nrimo yang telah dibuat di bab II.
Setelah itu data tersebut kemudian ditrianggulasikan antara subjek satu
dengan subjek lainnya, kemudian terbentuk pola yang sama mengenai
nrimo menurut masyarakat desa Patalan. Berbagai pola yang ditemukan
tentang bentuk-bentuk nrimo yang digunakan oleh masyarakat desa
Patalan dianalisa, sehingga akan diperoleh penafsiran tentang bentuk
nrimo yang dilakukan oleh mereka.
Disamping itu peneliti juga memaparkan kronologis kejadian yang
dilami subjek sebelum gempa dalam bentuk naratif yang berguna untuk
membimbing peneliti dalam memahami nrimo menurut warga desa
Patalan secara lebih mendalam, terutama dalam memahami konsep nrimo
menurut masyarakat desa Patalan sebagai korban gempa 27 Mei 2006
silam.
BAB IV
PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Persiapan Penelitian
1. Penelusuran Pustaka
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti sebelumnya melakukan
penelusuran pustaka terutama berkaitan dengan makna dan nrimo di dalam
budaya Jawa. Selain itu, peneliti juga melakukan penelusuran pustaka tentang
tema-tema psikologi kepribadian, psikologi sosial, psikologi eksistensi, metode
penelitian kualitatif, serta literatur yang membahas mengenai budaya Jawa.
Selain tema-tema tersebut, peneliti juga melakukan penelusuran artikel mengenai
gempa Bantul, keadaan masyarakat Bantul paska gempa, termasuk penelusuran
mengenai desa paling parah terkena dampak gempa.
Bahan-bahan tersebut peneliti dapatkan dari membeli, membaca, meminjam
dan meng-copy dari perpustakaan, meminjam dari dosen, saudara dan teman,
serta browsing di internet. Perpustakaan yang peneliti kunjungi adalah
perpustakaan USD di paingan, Perpustakaan Pusat USD di mrican dan
perpustakaan Kolose Santo Ignatius Kota Baru Yogyakarta.
Penelusuran pustaka ini peneliti gunakan untuk menyusun kerangka dan
metode penelitian, selain itu juga untuk mengembangkan pemahaman peneliti
mengenai konsep kepribadian yang dikembangkan dalam budaya Jawa, dan
mengembangkan kepekaan peneliti dalam metode penelitian kualitatif yang
masih sedikit peneliti kuasai.
50
2. Tahap observasi pra penelitian
Pada tahap ini peneliti melakukan observasi lapangan dengan berkunjung
ke daerah yang akan menjadi lokasi penelitian, bertanya kepada teman yang
bekerja sebagai LSM dan mencari berita terakhir mengenai daerah yang menjadi
lokasi penelitian . Hal ini bertujuan untuk mengetahui dan mengenal kondisi
lokasi penelitian yang sebenarnya. Observasi pra lapangan ini meliputi letak
dusun-dusun yang menjadi lokasi penelitian, letak pusat pemerintahan desa (dan
kecamatan), serta nama-nama kepala dusun yang menjadi lokasi penelitian.
Setelah mengetahui letak dusun dan kantor pemerintahan desa Patalan,
peneliti kemudian bertanya kepada teman yang bekerja sebagai LSM di desa
tersebut untuk menanyakan kondisi masyarakat, serta mengonfirmasikan
informasi yang telah peneliti peroleh sebelumnya (melalui media massa)
berkaitan dengan kondisi paska gempa, sebagai persiapan penelitian untuk terjun
ke lokasi penelitian. Peneliti juga bertanya kepada beberapa teman yang pernah
melakukan penelitian lapangan untuk pengurusan perizinan untuk pelaksaaan
penelitian lapangan.
3. Pengurusan Izin Penelitian
Dari beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian
lapangan, jika akan melakukan penelitian di suatu daerah maka peneliti harus
mendapatkan surat izin atau pengantar dari Kabupaten atau Kota terlebih dahulu.
Oleh karena itu, maka peneliti berusaha mendapatkan surat pengantar dari
Fakultas Psikologi USD dan mendapatkan surat dengan nomor surat
51
124Q/D/Psi/USD/XII/2006, serta mendapatkan keterangan penelitian dengan
nomor surat 109b/D/KP/Psi/USD/X/06
Setelah peneliti mendapat surat pengantar dari Fakultas Psikologi,
selanjutnya peneliti berusaha mendapatkan surat pengantar dari Bappeda (Badan
Perencanaan Daerah) DIY. Peneliti mendapatkan surat pengantar dari Bappeda
DIY dengan nomor surat: 07.0/6209. Kemudian peneliti berusaha mendapatkan
surat pengantar dari Bappeda Bantul dan mendapatkan surat pengantar penelitian
dengan nomor 070/1225 dan tembusan dikirim ke Lurah Desa Patalan. Setelah
menyampaikan surat ke Kantor Badan Keselamatan Bangsa dan Perlindungan
Masyarakat (Kesbanglinmas), Kantor BPS Bantul, Camat Jetis, peneliti
berangkat ke desa Patalan.
Di kantor sementara desa Patalan peneliti meminta izin dari carik desa
setempat dan mendapatkan nomor izin 09/Pem. Karena peneliti harus meminta
izin dari kadus terlebih dahulu, oleh carik desa peneliti ditunjukkan Kadus yang
kebetulan sedang berkumpul di kantor desa Patalan. Peneliti kemudian
mmperkenalkan diri, menyampaikan maksud dan tujuan penelitian yang akan
dilakukan di desa Patalan, dengan ramah para Kadus memberikan nama-nama
penduduk yang dapat dijadikan subjek penelitian.
4. Tahap pengumpulan data
Upaya pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi dan
wawancara non partisipan sesuai dengan panduan (observasi dan wawancara)
yang telah dibuat sebelumnya. Wawancara non partisipan dilakukan karena
kondisi lingkungan masing-masing subjek paska gempa yang tidak
52
memungkinkan peneliti untuk melaksanakan live in. Proses observasi pun
dilaksanakan pada tahap pra penelitian dan pada saat wawancara. Pemilihan
subjek yang berjumlah 20 orang digunakan untuk melakukan triangulasi sumber
dari masing-masing subjek. Pengumpulan data tidak hanya mencakup
wawancara dan observasi terhadap para subjek, tetapi juga melalui pengumpulan
data demografi dan geografis dari lokasi penelitian (Kelurahan Patalan). Hal ini
digunakan untuk melengkapi data penelitian ini.
B. Identitas dan Deskripsi Subjek
Setelah berkenalan dan menyampiakan maksud penelitian kepada para
Kadus, maka peneliti mendapatkan nama dan alamat temapt tinggal penduduk
yang dapat dijadikan subjek penelitian. Adapun data subjek yang diminta untuk
memberikan keterangan tentang tema penelitian adalah sebagai berikut :
1. Identitas subjek
No Nama Umur Pekerjaan Pendidikan Terakhir
Jabatan Jenis Kelamin
Nama Dusun
1 Ng 55 Swasta Koordinator pokmas
L Bakulan Kulon
2 Mo 50 Ibu Rumah Tangga
P Bakulan Wetan
3 Wa 51 Swasta Koordinator Pokmas
L Tanjung Lor
4 Ru 43 Pemborong Koordinator Pokmas
L Jetis
5 Su 53 Petani/pembuat tempe
Ketua RT L Ngaglik
6 Sy 40 Ibu Rumah Tangga
P Salam
7 Bu 51 Buruh SD L Karang Asem
8 Ha 30 Buruh SD L Sulang Lor
9 Ti 44 Tani SMA Dukuh L Tanjung Karang
53
10 Lp 54 Tukang Batu L Panjang Jiwo
11 Po 28 Tukang becak L Ngaduh
12 Sa 42 Buruh
Bangunan
SMP Koordinator
Pokmas 8
L Sulang Kidul
13 MH 37 Tani SMP P Ngupit
14 PW 63 Tani SMP P Sukun
15 SM 60 Tani SMA Ketua RT L Mbutuh
16 Nd 50 Tani SMA Dukuh L Mboto
17 Si 60 Tani SMP Ketua RT L Nggerselo
18 Sh 25 Pengangguran SMEA P Mbobok
19 Sn 43 Swasta SMEA Ketua RT L Ketandan
20 Ba 65 Buruh SD L Kategan
2. Deskripsi Subjek Sesaat Setelah Terjadi Gempa
Pak Ng
Pada saat terjadi gempa, Pak Ng berada di depan pasar Bantul, mengantar
istrinya berbelanja. Baru saja Pak Ng akan duduk di trotoar membaca koran
Merapi tiba-tiba bagian atas kanan kiri, termasuk genteng pasar Bantul rontok.
Pak Ng bermaksud memegangi motornya, namun terasa seperti orang yang
dilempar kesana-kemari hingga ke tengah jalan. Menurutnya orang-orang yang
berada di dalam pasar bermaksud keluar namun tidak bisa karena dicegah orang
lain. Semua orang yang sedang berada di dalam pasar panik dan berhamburan
keluar, namun tidak ada yang bisa menolong mereka. Pada saat di pasar Bantul
subjek pertama dipegangi oleh tukang parkir karena tukang pakirnya juga merasa
ketakutan.
Pada saat dirinya pulang, ditengah jalan dirinya bertemu dengan para
korban bencana. Menurut ceritanya di jalan dirinya melihat satu sepeda bisa
untuk mengangkut 3 hingga 4 orang, bahkan ada tangannya yang putus dan
54
rambutnya terlihat mengeluarkan banyak darah. Saat Pak Ng tiba di rumah
ternyata rumahnya sudah hancur. Pak Ng mengakhwatirkan keadaan ayahnya,
karena ayah Pak Ng sudah sakit dan tidak bisa berjalan.
Pada saat Pak Ng sampai di rumah, ternyata ayahnya selamat karena
terlindungi oleh molo yang jatuh. Ayahnya sudah ditolong dan dibawa
ketempatnya pak Dukuh. Pak Ng berserta keluarganya kemudian berlindung di
gardu di dekat lapangan badminton. Pak Ng juga membangun tenda seadanya di
lapangan badminton, bahkan karung-karung pupuk digunakan sebagai atapnya.
Kemudian datang bantuan-bantuan dan hingga sekarang dirinya tidak merasa
kekurangan.
Pak Mo
Pada saat terjadi gempa Ibu Mo sedang berada di dapur memasak, tiba-tiba
dirinya jatuh dan tertimpa batu bata, sedangkan anaknya masih tidur di dalam.
Dirinya bercerita pada gempa silam salah satu anaknya sudah berada di luar dan
menyebabkan salah satu anaknya meninggal. Ayah dan kedua anaknya yang lain
masih berada di dalam, bahkan genteng rumahnya berjatuhan menimpa kepala
mereka. Menurut Ibu Mo anaknya terlihat sudah keluar dan sudah di depan
pintu, namun setelah gempa anaknya itu tidak nampak. Pada saat pencarian
jenazah anaknya, warga tampak kesulitan mencari jenazah anaknya, karena
banyaknya tumpukan batu bata tembok rumahnya yang roboh. Teman-teman
juga mencari anaknya tetapi tidak menemukannya. Menurut ceritanya pada saat
gempa silam tanah sekitar rumahnya terlihat berputar sehingga ketika dirinya
akan berjalan pasti terjatuh.
55
Pak Wa
Pada saat terjadi gempa Pak Wa baru saja selesai sholat subuh, kemudian
menuju ke dapur. Di dapur istrinya meminta Pak Wa untuk tidur lagi, supaya
dirinya tidak mengantuk. Tiba-tiba bumi bergoncang, Pak Wa bergegas
membuka pintu, tetapi pintunya tidak bisa terbuka, kemudian dirinya berputar
hendak membuka pintu lainnya, namun pintu tersebut juga tidak bisa dibuka,
sehingga menyebabkan Pak Wa tertimpa tembok rumahnya. Paska gempa Pak
Wa mencari-cari anaknya, kemudian anaknya keluar dari reruntuhan rumahnya
dengan punggung yang teluka dan mengeluarkan darah. Istri Pak Wa sedang
berada di dapur dan tidak merasakan gempa, sehingga ketika gelas dan piring
berjatuhan istri Pak Wa mengambil dan mengembalikan ke tempat semula. Paska
gempa istrinya akan keluar, tetapi bingung karena tidak menemukan jalan keluar.
Setelah seluruh keluarga berkumpul kemudian, Pak Wa berlari ke rumah
ayahnya. Tiba di rumah ayahnya, ayahnya meminta tolong pada dirinya, Pak Wa
mengangkat sendiri bahan-bahan bangun seperti reng ataupun usuk kayu
bangunan sepanjang 2 meter untuk mengeluarkan ayahnya. Setelah ayahnya
berhasil dikeluarkan, Pak Wa berjalan ke selatan rumah adiknya dan mendapati
istri adiknya beserta anaknya di bawah terkubur reruntuhan rumahnya dan tidak
terlihat lagi, Subjek 4 melanjutkan ceritanya bahkan ketika penduduk di desanya
saling berpapasan hanya terdiam karena masih shock dengan gempa yang terjadi.
56
Pak Ru
Pada saat terjadi gempa Pak Ru berada di rumah untuk membantu
memasak. Karena ada suara berteriak-teriak “pada rubuh, lindu”, maka Pak Ru
lari dari rumah hingga sampai ke jalan di depan rumahnya. Menurut ceritanya
pada saat itu rumahnya dihuni sekitar 50 orang. Pak Ru lari paling belakang
hingga tubuhnya tertimpa trait. Setelah gempa rumah di sisi timurnya beserta
rumahnya roboh, bahkan rumah tetangganya juga ikut roboh. Beberapa saat
setelah terjadi gempa pergi Pak Ru keliling dukuhnya untuk mencari tetangganya
yang sudah tua untuk dibantu.
Pak Su
Pada saat terjadi gempa Pak Su masih berada didapur menemani Ibunya
untuk menggoreng lauk bagi tukang yang sedang bekerja dirumahnya. saat akan
menyalakan kompor tiba-tiba terjadi getaran dan membuat Pak Su terkejut. Pak
Su kemudian memegang Ibunya untuk berlari keluar, namun rasanya seperti
tersandung sehingga menyebabkan dirinya tidak bisa keluar, namun setelah
mendorong dirinya maka Pak Su berhasil keluar. Sesaat setelah terjadi gempa
anka-anak kecil mengungsi di mobil boks, sedangkan orang tua mengungsi di
teras rumahnya. Setiap kali terjadi gempa susulan orang-orang tua yang sedang
mengungsi di teras rumahnya berhamburan keluar, paalagi setelah gempa listrik
tidak menyala dan hujan. Menurut ceritanya hari sabtu silam, sebenarnya
meruapkan hari terakhir tukang-tukang bekerja membenahi genting di rumahnya,
namun karena ada gempa maka pekerjaan tersebut tidak jadi dilaksanakan. Pak
57
Su merasa terhambat selama dua minggu untuk membenahi genting dapur
rumahnya.
Bu Sy
Sewaktu terjadi gempa Bu Si sesudah Sholat kemudian memasak di dapur,
kemudian terjadi goncangan yang menyebabkan Bu Si berlari keluar. Pada waktu
itu anak-anaknya masih tertidur, kemudian berlari keluar, hanya rumah bagian
belakang saja yang rusak parah akibat gempa silam. Bu Si bersyukur karena
seluruh kelurarganya selamat dari musibah itu.
Pak Bu
Sebelum terjadi gempa Pak Bu mengikuti istrinya di dapur untuk memasak.
Dirinya berencana berangkat ke pasar Pundong membeli alat untuk
membersihkan sawahnya. Sebelum berangkat Pak Bu menyapu halaman
rumahnya, tiba-tiba terjadi angin besar, Pak Bu terjatuh berkali-kali, tetapi
dirinya tidak merasa telah tejadi gempa, menurutnya tiba-tiba rumahnya roboh
dan gelap. Ketiga anak Pak Su masih tertidur semua, karena khawatir terhadap
ketiga anaknya Pak Bu kemudian berlari ke rumah. Tetangga kiri rumahnya
sudah tertimbun rumahnya dan minta tolong. Pak Bu merasa bingung karena
dirinya juga harus menolong anaknya, kemudian Pak Bu tidak menolong
tetangganya karena akan menolong anaknya. Setelah dicari-cari kedua anaknya
putrinya masih hidup sedangkan anak laki-lakinya walaupun sudah dicar-cari
selama dua jam tetap tidak diketemukan. Setelah dicari bersama-sama dengan
warga lainnya putra Pak Bu baru diketemukan. Waktu menunjukkan pukul 8
pagi ketika jenazah anaknya diketemukan. Baru saja jenazah anaknya diletakkan
58
di depan rumahnya tiba-tiba ada isu Tsunami, seluruh keluarga Pak Bu
melarikan diri. Pak Bu tidak ikut lari karena masih menunggui jenazah anaknya,
rencananya jika terjadi Tsunami maka dirinya akan naik ke pohon, sedangkan
semua tetangganya berlarian hingga melangkahi jenazah lainnya.
Pak Ha
Sebelum terjadi gempa pak Ha berada di depan rumahmenggendong
anaknya, sedangkan anak perempuannya masih berada di dalam, istrinya sedang
berada di jalan untuk mengantar Ibunya ke pasar Pondong. Pada saat terjadi
gempa pak Ha memanggil anaknya, maka anaknya berlari keluar hingga ke jalan
depan rumahnya. Pak Ha melihat rumah-rumah yang ada di dusunnya sudah
roboh semua, kemudian pak Ha bersama dengan tetangganya berkumpul.
Sesudah gempa pak Ha menjenguk rumah orang tuanya, melihat apakah orang
tuanya terluka. Pak Ha bersyukur ternyata orang tuanya tidak terluka akibat
gempa itu. Pak Ha kemudian berkumpul bersama keluarganya dan mendirikan
tenda, namun ketika dirinya sedang akan mendirikan tenda, tiba-tiba muncul
kabar Tsunami hingga dirinya membuang tenda dan berlari menyelamatkan diri.
Lima hari paska gempa pak Ha masih berteduh di bawah tenda di lapangan,
sekaligus berusaha membersihkan puing-puing rumahnya dan membuat jalan
menuju sumur rumahnya, karena banyak batu bata yang berserakan. Sesudah itu
pak Ha mengunpulkan kayu-kayu rumahnya dan mencoba membangun kembali
rumah, hingga ke atapnya.
59
Pak Ti
Pada saat sebelum gempa pak Ti masih di kamar mandi rumahnya, namun
ketika terjadi goncangan pak Ti masih belum terasa, namun istrinya yang
memberitahu bahwa terjadi gempa. Setelah goncangan keras selesai pak Ti baru
bisa keluar dari kamar mandi dan langsung mencari istri beserta anaknya. Istri
dan anaknya masih berada di dalam rumah, beruntung rumahnya tidak roboh
tetapi miring dan mengalami rusak berat. Setelah itu cepat-cepat pak Ti
mengamankan istri berserta anaknya melalui tembok yang telah hancur, karena
pintu rumahnya sudah rusak. Setelah seluruh keluarganya selamat pak Ti
kemudian menolong tetangga kiri rumahnya yang mengalami luka di kepala
akibat gempa, kemudian pak Ti berusaha mengevakuasi keluarga kakaknya
karena rumahnya roboh total dan berhasil menyelamatkan kakak beserta
keponakannya. Pak Ti kemudian menengok warganya, sekaligus mendata korban
gempa. Laporan sementara menyebutkan 19 orang meninggal dunia di desanya,
namun ternyata terdapat 27 korban jiwa, baru setelah itu pak Ti meminta
warganya yang meninggal dunia untuk dikumpulkan di depan masjid.
Pak Lp
Pagi hari sebelum terjadi gempa, Pak Lp baru saja bangun dari tidurnya dan
akan minum. Setelah minum Pak Lp pergi ke halaman rumahnya. Tiba-tiba
terjadi gempa, maka pak Lp kembali ke rumahnya, karena gempa membesar
maka dirinya berlari keluar dari rumahnya. Seluruh rumah pak Lp roboh, namun
keluarganya masih berada di dalam rumah. Keluarga pak Lp setiap pagi
berjualan makanan. Dirinya merasa beruntung karena seluruh makanannya sudah
60
dikeluarkan dan sudah ada orang yang membelinya. Setelah terjadi gempa tidak
ada orang yang menolong keluarganya yang tertimbun genteng, bahkan anaknya
yang bernama Endu tergencet buffet. Menurut pendapatnya rumah miliknya
tersebut rumah yang kuat, tetapi dapat hancur karena gempa silam.
Pak Po
Sebelum terjadi gempa pak Po baru saja selesai Sholat subuh, kemudian
dirinya bermaksud untuk mengisi bak mandinya, sedangkan istrinya masih
menggunakan rukuh. Pagi itu anaknya sudah bangun dan menonton TV,
sedangkan neneknya masih tidur. Pada saat dirinya akan mandi, tiba-tiba terjadi
goyangan yang besar, Pak Po berlari untuk menolong keluarganya, namun tidak
mampu karena setiap berdiri pasti terjatuh. Tahu-tahu seluruh rumahnya
langsung roboh, sedangkan ketiga anggota keluarganya masih berada di dalam
rumah. Seluruh keluarganya tidak terlihat karena tertimbun reuntuhan rumah,
pak Po berusaha untuk mencari anaknya. Beberapa saat kemudian anaknya
berhasil diketemukan, istri pak Po juga berhasil keluar dari reruntuhan genteng
rumahnya. Pak Po lega karena istrinya sudah berhasil ditemukan, sedangkan
nafas anaknya sudah tersenggal-senggal. Pak Po kemudian berusaha membawa
anaknya ke tempat tetangganya yang merupakan seorang dokter. Dokter
menyarankan agar anaknya dibawa ke rumah sakit. Pak Po merasa bingung
karena dirinya tidak memiliki kendaraan, dalam kondisi kalut pak Po berlari ke
jalan. Tiba di jalan pak Po langsung menghadang motor yang melintas dari arah
selatan dan meminta untuk mengantarkan menuju rumah sakit, tetapi darah anak
pak Po terus keluar dari hidung dan kupingnya. Rumah sakit Panembahan
61
Senopati menyarankan agar anak pak Po dibawa ke rumah sakit Sardjito, namun
sebelum sampai di rumah sakit Sardjito anak pak Po sudah meninggal.
Pak Sa
Sebelum terjadi gempa pak Sa sedang berada di rumah memasak untuk
naka-anaknya. Ketika sedang mengaduk telur tiba-tiba terjadi getaran yang
sangat keras, spontan pak Sa berteriak dan langsung berlari keluar, istrinya juga
berlari keluar dari rumah. Kemudian pak Sa berlari untuk mencari anaknya.
Dirinya bersyukur karena istri dan anaknya selamat. Pak Sa bercerita, jika
biasanya anaknya jam 7 baru bangun, jam 5 pagi anaknya sudah bangun. Pada
saat terjadi gempa anak bungsu pak Sa memegangi pohon pisang, sedangkan
anak pertamanya berlari mengikuti pak Sa. Setelah gempa berakhir pak Sa
memegangi anaknya dan melihat ke kanan kiri rumahnya, tetapi tidak terlihat
yang ada hanya debu yang berada disekitar rumahnya.
Ibu MH
Sebelum terjadi gempa ibu MH berada di pinggir jalan untuk menanti orang
yang akan membeli berasnya, yang rencananya untuk membeli televisi yang
diinginkan oleh anaknya. Kemudian lewat neneknya, ibu MH memperbolehkan
kedua anaknya untuk ikut dengan neneknya untuk meminta minum. Pada saat itu
kakeknya sedang bekerja di teras, sedangkan neneknya sedang berada di dalam
rumah untuk memasak, mbah kakungnya menyuruh kedua anaknya untuk
meminta air kepada neneknya. Ibu MH bercerita jika gelas yang diminum
anaknya masih utuh, padahal kedua anaknya berserta neneknya meninggal dunia.
Setelah terjadi gempa ibu MH berusaha membawa anaknya ke rumah sakit
62
Njebukan, namun sesampainya di rumah sakit Njebukan perawat meminta ibu
Mh untuk mengihklaskan anaknya. Sedangkan anak laki-lakinya yang dibawa ke
rumah sakit Wirosaban oleh suami ibu MH juga meninggal dunia.
Ibu PW
Pada saat terjadi gempa ibu PW sedang berada di sawah. Ibu Pw bercerita
pada saat terjadi gempa berkali-kali dirinya terjatuh, bahkan untuk berdiri saja
menurutnya tidak bisa. Menurut ceritanya ibu Pw juga tidak mengetahui keadaan
dirumahnya, setelah selesai gempa ibu MH pulang yang menuju rumahnya
melihat rumah-rumah di sepanjang jalan menuju rumahnya sudah roboh, bahkan
rumahnya sendiri sudah rata dengan tanah.
Pak SM
Sebelum terjadi pak SM sudah bangun dari tidurnya, tetapi ketika akan
Sholat subuh dirinya merasa malas. Pak SM sudah bangun tetapi masih tidur-
tiduran di ranjang bersama istrinya. Sebagian anggota keluarganya sudah
terbangun semua dan sudah berada diluar. Pada saat terjadi goncangan yang
dahsyat kebetulan, yang roboh tersebut hanya dapur, tembok rumahnya retak-
retak dan gunung-gunung penyangga rumah anjlok semuanya. Cucunya yang
masih berada di kamar kemudian dicari oleh ayahnya (putra pak SM), pak SM
merasa beruntung karena gunung-gunung rumahnya jatuh ke utara sehingga
tidak menimpa dirinya. Ketika pak SM keluar, rumah-rumah di sekitarnya sudah
roboh semua. Pak SM bercerita jika rumah di sebelah utaranya anjlok dan rumah
yang berada di sisi timurnya sudah hancur, kemudian dirinya pergi untuk
menolong tetangganya yang tertimpa musibah. Pak SM membawa para korban
63
gempa memakai mobil seadanya. Akibat gempa silam rumah pak SM mengalami
retak-retak dan berantakan..
Pak Nd
Sebelum terjadi gempa Pak Nd sudah berada di sawah sektar pukul 5.30
WIB untuk menyiram bawang merah dan cabe. Setelah bekerja di sawah,
kemudian Pak Nd kembali ke rumah untuk Sholat. Sewaktu kembali ke rumah
Pak Nd mendapati anaknya masih tertidur. Pada saat Sholat terjadi gempa, Pak
Nd masih berada di dalam rumah dan bersembunyi di longkangan, kemudian
Pak Nd tiarap di tanah ditengah-tengah rumah. Dirinya bercerita bahwa dirinya
mengurungkan niatnya untuk keluar, jika keluar maka dirinya pasti kerobohan
tembok rumahnya.. Pak Nd juga bercerita ketika terjadi gempa istrinya sedang
makan pagi untuk berangkat kerja, karena goncangan yang terlalu kuat
mengakibatkan istri Pak Nd jatuh dan tidak bisa keluar, kemudian putra Pak Nd
keluar rumah dengan menggendong ibunya.
Pak Si
Sebelum terjadi gempa Pak Si sedang tidur-tiduran dan merokok di
kamarnya dengan mendengarkan berita di radio, tiba-tiba dirinya terlempar dari
tempat tidurnya. Pak si mencoba berlari, namun dirinya sempat terjatuh dua kali.
Pak Si kemudian berusaha keluar dengan merangkak dan akhirnya berhasil
keluar dengan menendang pintu rumahnya. Setelah dirinya berhasil keluar
rumahnya roboh ke arah selatan dan utara. Dirinya bersyukur karena keluar
kearah timur, jika dirinya keluar kearah arah selatan dan utara, dirinya pasti akan
kerobohan tembok rumahnya.
64
Mbak Sh
Sebelum terjadi gempa mbak Sh bersama dengan kakak perempuannya
berada di dapur untuk memasak. Pada saat terjadi gempa kakak perempuannya
bersama dengan Ibunya berlari ke selatan, sedangkan dirinya berlari ke utara.
Setelah gempa mbak Sh berusaha mencari Ibu dan kakak perempuannya, namun
tidak ditemukan, ternyata Ibu dan kakak perempuannya meninggal karena
tertimpa tembok rumah neneknya. Mbak Sh bercerita pada saat berlari dirinya
tertimpa pintu rumah dan tidak bisa berlari, namun akhirnya dirinya selamat.
Pak Sn
Pada saat terjadi gempa sekitar pukul 5.30 WIB Pak Sn sudah berada di
pasar untuk berdagang. Pak Sn mengira bahwa gunung merapi sedang meletus,
sehingga daerah yang paling parah terkena dampak gempa daerah jogja ke utara.
Pak Sn melihat bus dan kendaraan lainnya bergerak keutara, sedangkan daerah
selatan sudah berkabut, kemudian Pak Sn mecoba menelepon istrinya yang
sedang berada di rumah tetapi tidak tersambung. Pak Sn bercerita bahwa seluruh
keluarga selamat, walaupun anak-anaknya sedikit terluka akibat gempa silam.
Pak Ba
Pada saat terjadi gempa Pak Ba sedang berada di tengah jalan untuk
menengok istrinya yang sedang berada di Rumah Sakit Njebukan. Menurut
ceritanya baru saja sampai di perempatan Bakulan, tiba-tiba terdengar suara
“gler”, namun dirinya tetap ke Rumah Sakit Njebukan. Sekitar pukul 11 Pak Ba
pulang kerumahnya dan langsung ke muka Masjid tempat jenazah dikumpulkan.
Pak Ba membuka tenda dan mendapati jenazah putrinya di depan Masjid.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang terdapat dalam pembahasan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Nrimo menurut subyek adalah tidak memaksakan dirinya, menerima
keadaan yang menimpa pada dirinya, semua hal diterima sabar dan
menerima apa adanya semua yang terjadi pada dirinya kerena sudah
menjadi kehendak Tuhan.
2. Nrimo menurut subyek juga tidak hanya berdiam diri ataupun mengeluh
yang terjadi pada dirinya, sebab nrimo juga harus disertai dengan usaha,
untuk mendapatkan rejeki bagi kehidupannya
3. Manfaat yang dapat dipetik dari nrimo ialah, subyek mampu penghayati
kehadiran Tuhan, sekaligus nrimo digunakan agar pikiran atau hati menjadi
lebih lebih tentram, pikiran tidak kacau dan menghindarkan diri dari stres.
4. Hasil dari pembahasan menunjukkan bahwa melalui nrimo, subyek dapat
melakukan pengontrolan diri atau pengendalian diri yang berguna untuk
menciptakan kerukunan dan keharmonisan bagi lingkungannya.
5. Nrimo bagi subyek dikaitkan dengan kesadaran dan tujuan, agar mampu
memberikan suatu pedoman diri dalam mengusahakan perkembangan
pribadinya untuk mencapai tujuan hidupnya.
94
6. Pemenuhan makna terjadi pada subyek melalui nrimo, karena dalam nrimo
terdapat kesatuan antara fisik dan spritual, sekaligus melalui nrimo subyek
berusaha menyadari atau tidak mengingkari keberadannya atas penderitaan
yang mereka alami saat ini.
7. Jika dibandingkan, terdapat perbedaan antar nrimo dengan makan hidup
Frankl. Persamaan tersebut lebih dalam hal penghayatan akan kehadiran
Tuhan. Penghayatan akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan manusia
terlihat jelas dalam nrimo, sedangkan dalam logoterapi dimensi spiritual
adalah hati nurani tempat untuk berefleksi, bahkan tempat kebebasan
manusia terletak dan dialami.
8. Nrimo dapat dimasukkan ke dalam coping sebagai usaha untuk
menyelesaikan masalah, maka bentuk coping yang dilakukan oleh subyek
paska terjadi gempa merupakan emotional focus coping.
9. Nrimo memadukan unsur kognitif dan konatif, sehingga mampu
menimbulkan rasa optimis dalam diri dan memacu diri untuk bangkit
menghadapi hidupnya kembali. Nrimo secara tidak langsung terlihat nrimo
mampu mengubah distress (stress yang buruk) menjadi eustress (stress yang
baik), yaitu mampu membuat diri menjadi sadar dan berkeinginan untuk
mengurangi penderitaan hidupnya.
10. Nrimo dapat digunakan untuk membantu diri mengatasi permasalahan hidup
dan mencapai suatu keseimbangan kejiwaan, karena nrimo memadukan
rasioanalitas dan emosional manusia yaitu manusia lebih menyadari
keadaanya dan semakin mendekat ke Tuhan
95
B. Saran
Dari hasil penelitian, maka dapat diberikan beberapa saran yaitu:
1. Agar subyek mempertahankan, atau bahkan meningkatkan nrimo untuk
pencapaian diri yang ideal, yakni pencapaian tujuan diri dan
keharmonisan dengan lingkungan, supaya dapat mewujudkan bersatunya
manusia dengan Tuhan.
2. Melalui nrimo dapat digunakan membantu diri untuk menyeimbangkan
gejolak kejiwaan dan dapat membantu individu dalam mengatasi
permasalahan hidup, serta dapat membentuk pribadi yang mampu
mengatasi setiap permasalah hidup.
3. Penghayatan terhadap kehadiran Tuhan dalam diri subjek perlu
ditingkatkan lagi agar dapat membantu merubah sikap dalam menghadapi
penderitaan yang mereka alami saat ini, sehingga menghasilkan
ketentraman hati. Dengan penghayatan terhadap kehadiran Tuhan, maka
individu lebih mampu bertahan dan menghadapi permasalahan hidup,
sebab di dalamnya terdapat terdapat rasa percaya, tawakal dan menerima
apa adanya atas kehendak Tuhan terhadap permasalahan yang ia hadapi.
4. Nrimo dapat digunakan kedalam bentuk terapi, karena nrimo mampu
menyeimbangkan gejolak kejiwaan, sekaligus dapat membantu individu
dalam mengatasi permasalahan hidup.
96
Daftar Pustaka
De Jong, S; Drs. 1976. Salah satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yayasan Kanisisus:
Yogyakarta
Gracia, Happy Sola. 2004. Penelitian “Isin” Sebagai Kontrol Moral dan Bentuk
Penyesuaian Diri pada Masyarakat Jawa. Skripsi (Tidak diterbitkan): Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Mulder, Niels. 1984. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Gajah Mada
University Press: Yogyakarta
. 2001. Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Penerjemah Norcholis.
Yogyakarta: LkiS
. 1996. Pribadi dan Masyarkat di Jawa. Penjelajahan mengenai
hubungannya Yogykarta, 1970-1980. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Moleong, Lexy J. (1988). Metodologi Penelitian Kualiatatif CV Penerbit Remaja
Rosdakarya. Bandung
. 2005. Metodologi Penelitian Kualiatatif (edisi revisi). Penerbit
Remaja Rosdakarya. Bandung
Purwadi. Dr. Dkk. 2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. BINA MEDIA. Yogyakarta
97
Renoati, Woro Ireng. 2006. Hubungan antara Penghayatan Nilai Nrima Ing Pandum
dengan Semangat Berkompetisi Karyawan Jawa. Skripsi (Tidak diterbitkan):
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah mada.
Herdiyanto. Y. K. 2005. Ajaran Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) sebagai Sarana
Individu dalam Mencapai Eksistensi Diri. Skripsi (Tidak diterbitkan): Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Heriyana Sari, Deasy. 2006 Deskripsi Strategi “Coping” Paska Konflik di Desa Padang
Sappa, Kecamatan Porang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Skripsi (Tidak
diterbitkan): Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Herususanto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Hanindita: Yogyakarta
Jawa Pos. Berita Utama, Diresmikan , 145 Unit Rumah Tahan Rumah. 11 Oktober 2006
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Koeswara, E. 1992. Psikologi Eksistensial: Suatu Pengantar. Bandung: Eresco
Kompas cetak ed. Jateng dan DIY. Berita Utama, Dana Rekontruksi Tidak Akan Dibagi
Rata. 31 Agusus 2006.
Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan; model-model kepribadian sehat. Kanisus: Yogyakarta
Suryabrata, S. 2002. Metode Penelitian. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
98
Suseno, Frans M. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup
Jawa. Jakarta: Gramedia
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1982. Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wijayanti, Irmina. 2005. Sikap Remaja Jawa Terhadap Nilai Rukun dan Hormat dalam
Tradisi Jawa. . Skripsi (Tidak diterbitkan): Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma.
Pustaka Website
Anshori. M. Achasan Isa Al. (-).tanpa tahun, diambil 7 Mei 2007, dari http://staffsite.gunadarma.ac.id/achsan
Ahmada Yuli (2006). Emoh Tunggu Bantuan Pemerintah diambil 20 Juni 2007, dari
http://yuli-ahmada.blogspot.com/
Harian Jawa Pos Sosial dan Budaya (2006) Tak Mau Gantungkan Pemerintah, diambil
14 November 2006, dari http://www.suarakorbanbencana.org
99
Hess, Michel. (2001) Unpan. Labour and Management in Development Journal,
Management and Culture under Development, diambil 11 april 2007, dari
http://unpan1.un.org/intradoc
Indra, Agus dan Sawariyanto (2006). Ringan Karena Semangat. Gatra Edisi 39 diambil
11 Oktober 2006, dari http://www.gatra.com/2006-08-21
Kab. Bantul. Pemda. (2006) 71482 Rumah Rata Tanah, 4121 Meninggal diambil 14
november 2006, dari http://bantul.go.id/web.php
Riyadi, Valens (2006). Jaringan Nirkabel Membantu Jaringan DIY- Diambil 11 april
2007, dari www.kompas.com/kompas-cetak
Ranesi spesial (2006). Gempa Bumi di Yogya , diambil 11 april 2007, dari
www.ranesi.nl/spesial
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. (2006). Gempa bumi
Yogyakarta Mei 2006, diambil 14 November 2006, dari
http://id.wikipedia.org/wiki/
Yuliandari. (2006). Srikandi Projo Taman Sari, diambil 11 Oktober 2006, dari
http://yuliandarinotes.blogspot.com/
65
C. Deskripsi Hasil Penelitian
Dalam melakukan penelitian yang diperoleh dari proses wawancara
maupun observasi (sebagai catatan lapangan) kemudian digabungkan dan
dikategorikan menurut aspek-aspek yang akan diteliti dilapangan ditemukan
Hasil penelitian lapangan. Hasil penelitian itu kemudian dipisahkan berdasarkan
tema-tema yang ada. Hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pengertian Nrimo bagi Subjek
Nrimo adalah orang yang tidak ngongso, menerima keadaan yang
menimpa pada dirinya, semua hal diterima sabar dan menerima apa adanya
semua yang terjadi pada dirinya sesuai dengan kemampuannya, karena memang
kondisinya seperti ini. Gempa yang terjadi merupakan cobaan dari Tuhan, diri
harus nrimo dengan gempa, karena sudah merupakan kehendak Allah. Peristiwa
gempa 27 mei 2006 silam merupakan bagian dari hidup mereka yang tidak dapat
dipungkiri lagi. Pengakuan itu tampak dari sebagian besar subjek, seperti contoh
dibawah ini:
Menrimo itu sabar yah, nek menrimo yah anu yah bagaimana yah. Misalnya mau
mencapai tujuan, emang nyampainya sekian itu yah kita nrimo aja. nrimo udah begini mau gimana gitu. Yah kan ini dari Allah sebenernya, yang terekam ujian dari Allah. Mungkin ini nanti ada….apa yah…hikmah. (Nd. A14-16, E158)
nrimo…nrimo yo nggih opo men opo èneng-é. Yo wis. Istilah-e pun nek….nek
entuk bagian, ditrimo sak opo èneng-é. Nek bagi-i le woten secara ne wong nrimo. Mboten sah ngongso. Cari dimana-mana ndak ada. Waktu gempa kan ndak ada. Yah udah, pasrah dengan Tuhan. Dimana Tuhan akan memberi makan kepada Saya, gitu. Saya yah…sudah…pok men Saya itu…sudahnya…..takdir Tuhan, ya itu. Hidupnya aja seperti sekarang. Yah semua peroleh cobaan. Itu.
(Lp. A12-16, B30-32, 35-38)
66
2. Nrimo dengan Berusaha
Menurut subjek nrimo tidak hanya diam, menerima segala sesuatu ataupun
mengeluh yang terjadi pada dirinya. Nrimo juga harus disertai dengan usaha,
supaya mendapatkan rejeki seperti yang diungkapkan oleh subjek Sa. Menurut
subjek Ru, nrimo juga berarti diri harus tetap berusaha dan bekerja terlebih
dahulu, karena jika tidak berusaha, maka tidak akan mendapatkan rejeki.
Tapi Allah nggak akan memberi kepada umatNya kalo dia itu nggak meminta dan nggak usaha. Itu, aslinya bisa dengan adanya membuat. Istilahnya nrimo. Tapi nrimo juga dalam artian kita harus berusaha. Jangan cuma nrimo, ungkang-ungkang di rumah. Ah mudah-mudahan Allah nanti memberi, itu nggak bener itu. Kita harus berusaha. Karena manusia hidup itu kan diwajibkan untuk usaha, Jadi istilahnya nggak harus nrima, ungkang-ungkang nanti ada rejeki sendiri, itu enggak. (Sa. B 27-3, C76-7b)
Nggih nrimo niku mboten namung nrimo, nggih kudu nggo usaha. Nek mboten
usaha sing dinggih ngenehi sinten? Tiyang nek nggih mboten usaha ngèten (sambil mengadahkan tangan) mboten wonten ingkang sek ngeteri ngoten. asal niki gerak (sambil menunjuk ke kepala) gerak, bicara lancar, itu bisa dapat rejeki. (Ru. C106-112)
3. Bersyukur karena Masih Diberi Keselamatan
Gempa yang telah tejadi kemarin merupakan musibah, tidak ada yang bisa
disalahkan. Lebih lanjut subjek menyatakan mereka masih bersyukur karena
dirinya, beserta seluruh keluarganya masih diberi keselamatan. Rumah maupun
harta benda lainnya dipikirkan belakang, karena harta benda ataupun rumah
segala isinya masih bisa dicari, saat ini yang lebih penting ialah bekerja kembali
membangun rumah.
Lah yah terus mau gimana? Itu yah musibah. Terus Saya berpikir panjang, dengan diberi keselamatan tadi. Istri dan anak Saya sudah…itu saja selamet, yo Saya lama-kelamaan berpikir yah nanti rumah bisa bangun lagi. Yang penting kita kerja keras untuk bekerja dan nanti untuk membuat rumah lagi lah. Yah gitu saja. Saya, yah itu yang jelas istri anak Saya selamet. Masalah bangunan dan laen-laen itu karena titipan. Hehehe…Iyo toh? (Ti. B29-30, B38-42)
67
Yah kalo itu Saya berterima kasih karena semua keluarga masih selamat. Terus kalo misalnya harta atau benda yang rusak, nggak apa-apa. Yang penting kita masih selamet. Besok bisa cari lagi. karena kehendak Allah. Kalau Allah itu masih…masih kita…diberi selamat, masih…badan masih sehat kan, kita besok masih bisa cari lagi. (Ha. B23-25, B30-32)
4. Guna Nrimo Menurut Subjek
Nrimo digunakan supaya pikiran atau hati menjadi lebih ayem, walaupun
belum memiliki rumah. Gempa yang terjadi kemarin karena yang membuat
Tuhan, maka manusia harus menrimo, sadar dan maklum, jika tidak nrimo maka
bisa terjadi emosi yang dapat mengakibatkan hal-hal kurang baik, seperti pikiran
bisa kacau dan dapat mengakibatkan stres. Menurut subjek stres terjadi akibat
dari mereka yang tidak menyadari keadaan yang terjadi dilingkungan mereka
saat ini., maka diri harus nrimo.
Yah keadaan yang seperti in yah mau tidak mau yah kita harus memaklumi dan menyadari. Toh kalo kita tidak mau menyadari, artinya kita emosi terus. Kalo kita selalu emosi nanti kan bisa…akan terjadi yang tidak baik, yang tidak kita inginkan. Makanya kita harus istilahnya kudu menrimo, kudu sabar. Yah pokoknya itu anu…perasaan yang kita alami waktu gempa itu yah, terus selanjutnya itu kita kan bisa, istilah e bisa ayem, gitu. Tidak terlalu sedih, walaupun kita itu belum punya rumah. (Si. B31-35, 39-41)
Yang Saya rasakan kalo Saya me-nrima, itu akhirnya, pikiran Saya itu
bisa lebih tenang. Tapi kalo Saya nggak nrima, itu kan pikiran bisa kacau. Bisa stress. Itu orang-orang banyak yang stress itu kan, karena itu tidak nrima. Diuji, dicoba oleh Allah dengan keadaan begini tuh dia nggak nrima. Akhirnya jadi stress.(Sa. B47-53)
5. Dampak Nrimo dalam Kehidupan Sehari-hari
Dengan melakukan melakukan nrimo di dalam kehidupan mereka sehari-
hari maka, subjek merasa ayem (tentram, hati merasa tenang), diri tidak menjadi
cepat emosi, serta merasakan ketenangan lahir batin. Menurut subjek bila tidak
menerima maka, diri merasa serba kurang. Tapi jika seadanya diterima dengan
berdoa akan timbul ketentraman lahir dan batin dalam diri. Subjek menjelaskan
68
apabila diri tidak nrimo atau selalu merasa kurang maka diri hanya akan selalu
menuntut terus.
Si : Yah….wong nrimo iki, kasaran ne iki, ora kemerungsung. Ayem. i.r : Ayem ya Pak ya? Si : Ayem yo ayem. Tenang wong e ki. Wah aku ki mangan meng karo
jangan mbayung, aku wis nrimo, yo wis opo eneng e. Yo sesuk sesuk, kapan-kapan nek duwe rejeki yo tuku tahu po iwak, umpamane.(Si. D145-147)
Wah…itu ketenangan lahir batin dek. Iya…lahir batin. Kalau ndak menerima,
ngerasa serba kurang. Tapi kalau seadanya diterima dengan usaha, dengan berdoa kan Saya katakan lahir dan batin, tentram. Yah…kalo ndak itu ndak ada tentramnya, Dek. Kalo ndak nrimo, kurang…kurang… Diberi malah kurang. Diberi kepandaian ndak digunakan. Yah…kurang…masih menuntut terus. Kalo menerima hidupnya tentram, lahir dan batin. (Ng. C70-76)
6. Ora Nrimo
Ora nrimo diistilahkan sebagai orang yang serakah, bila diberi selalu
merasa kurang. Menurut subjek ora nrimo, merupakan orang yang tidak merasa
jika diberi sesuatu atau dikatakan orang yang selalu menuntut lebih. Orang yang
memiliki sikap ora nrimo dianggap orang yang tidak pernah puas dengan
hidupnya, menurut subjek jika tidak nrimo maka, dapat mengganggu
keharmonisan dengan lingkungan.
Wong ra tau nrimo ki yo istilahe kembali ke serakah lagi toh. Kowe ki dikek i
sak mono kok isih kurang, ra nrimo. Mboten niku, nggih. Kono ki mung tek sewu, wong e tak kek ke sewu. Kok njaluk meneh. Kuwi jenenge wong ra nrimo. Nek isi ne, ora nrimo ing pandum, boso Jowo ne. Nrimo ing pandum. Jadi pandum ki, sing berhak mandum ki aku, kowe tak kek ke sewu, kok sak mono. Ora nrimo. Ra rumongso, kowe tak ne i. Ehmm….gitu lho. Ora mokso, tak ne i. Kowe ra ne i ra po-po. Nek di..digawak ke meneh yo…. Wis dine i…wis dine i kebejikan isih kurang, ngono iku. Mau dikek i nganu…isih kurang wae. Dadi yo…yo kurang apiklah nek kurang kurang ngono(Wa. C98-107)
Ndak nrimo itu yah gini, eeee ini masalah anu yah…masalah gempa toh ini.
Masalah gempa. Kalo menurut pendapat Saya, ora nrimo iki seperti woh kono ono bantuan. Dari IOM, dari apa saja. Kok kene ora anu, ora ngejok-e. la yo ngejok-é yo ngejok-é toh, lah seko kana-ne ki wis nganggo…nganggo data gitu. Supaya nrimo apa adanya. Banyak kok orang yang anu, wah kono do entuk bantuan,
69
ngene….ngene…..ngene…..ngene….. Yo di masyarakat ini, yo nrimo gitu lah yo énéng sing liane. (SM. D127-134)
7. Hubungan Nrimo dengan Sabar
Nrimo disertai dengan sabar menurut pandangan subjek, sebagai usaha
untuk menerima segala sesuatu dengan tenang, bukan berarti putus asa terhadap
peristiwa yang menimpa mereka saat ini.
Nrimo harus sabar. Sabar kita usaha jangan hanya diam saja. Berusaha dengan macam-macam.(Nd. D141-142)
pokok e istilah e nrimo ki manut ngono lho. Manut ki utowo tawakal, sabar
nompo musibah iyo to. Nompo, sabar, tawakal. Nrimo ing pandum. (Sa. A4-8)
8. Pengertian Sabar
Sabar menurut subjek ialah orang yang tidak mudah marah dan
mengerjakan sesuatu dengan tidak tergesa-gesa, sabar juga kemampuan
mengendalikan emosi agar keharmonisan tetap tetap terjaga. Orang yang
memiliki dasar sabar maka, emosinya akan terus terkendali.
Kalo sabar itu kan nggak marah. Yo nggak banyak marah. Ndak banyak marah. Kalau bekerja yo nggak tergesa-gesa. Kalo sabar gitu. Padahal yo kalau membantu juga nggak kesusu mengharapkan dengan betul. Kalau akan dibantu hari ini, nggak bisa keluar. Seperti ya itu tadi. Disabarkan dulu. (Ng. E180-184 )
yah gini harus sabar dan harus bangkit kerja apa bisanya. Misal nya kalo Saya
yah di sawah, mencangkul atau nanam apa itu. Sabar itu gini, misalnya gini kalo sabar itu…kalo ndak sabar dengan sabar itu masalah sepele, jadi tidak bisa solid. Makanya Saya itu meng sabarlah, rasa ndadak do padu, gampang emosi. Aaaa…. Jadi nek dengan dasar sabar, ndak bisa anu emosinya terus terkendali (SM. E157-159, 165-167)
70
D. Pembahasan
1. Nrimo dengan Penyerahan Diri Sepenuhnya
Nrimo sering disalah artikan sebagai kesediaan untuk menrima segala-galanya
secara apatis. Sebenarnya, nrimo merupakan penyerahan diri sepenuhnya terhadap
kehadiran Yang Maha Kuasa yang meliputi segala sesuatu. Penyerahan diri terhadap
Tuhan tergambar dari pernyataan subjek. Melalui nrimo, manusia pasrah kepada Tuhan
dengan bersikap apa adanya, karena semua sudah digariskan oleh Tuhan, jadi bukan
orang yang malas bekerja, melainkan orang mempunyai rasa tenang dan bersyukur
menerima apapun yang menjadi bagiannya. Nrimo juga menerima sesuatu apa adanya
dan tidak menginginkan lebih. Seperti yang dijelaskan oleh Suseno (1984) nrimo yaitu
manusia diberi daya tahan untuk juga menanggung nasib buruk., bagi yang memiliki
sikap itu, suatu malapetaka akan kehilangan sengsaranya. Melalui nrimo, dengan rela
manusia menyerahkan wewenang dan semua hasil karyanya kepada Tuhan, sebab
Tuhan lah yang empunya kuasa, dari sini manusia dituntut untuk tidak melekat pada
keduniawian, bukan berarti tidak boleh mencari kekayaan. Kekayaan hanya akan
menjadi batu sandungan dalam pengolahan diri apabila manusia lekat padanya, maka
orang nrimo ialah orang percaya atau memiliki pegangan terhadap Tuhan.
a. Penghayatan terhadap Tuhan
Penghayatan terhadap kehadiran Tuhan tergambar bahwa manusia harus rela dan
tabah dalam menghadapi musibah yang mereka alami. Ungkapan subjek yang
menyatakan musibah gempa yang terjadi silam sudah merupakan kehendak Tuhan,
maka manusia harus sadar dan maklum. Kematian putra-putri ataupun kehancuran
rumah mereka memang sudah merupakan kehendakNya dan diri tidak bisa mengelak,
71
karena itu diri harus tabah dan rela didalam menghadapi cobaan seperti ini. Konsep
yang diutarakan subjek sama dengan ajaran sangkan paraning dumadi yaitu Tuhan
merupakan sumber hidup dari segala yang hidup di alam semesta ini, dan pada akhirnya
manusia akan kembali kepada-Nya tergambar dalam kehidupan subjek.
Penderitaan hidup atau musibah dihadapi oleh subjek saat ini, dipercayai sebagai
cobaan agar diri semakin mendekat kepada Tuhan. Manusia di-eling-kan kembali
supaya selalu sadar terhadap Yang Maha Tunggal atau diperingatkan kembali akan
adanya Tuhan. Bersikap tawakal dan percaya kepada Tuhan, diyakini Tuhan akan
memberikan kemudahan untuk menghadapinya.
Salah satu bentuk penghayatan kepada Tuhan ialah bersyukur karena mereka masih
diberi keselamatan, serta diperbolehkan untuk melanjutkan hidup. Konsep penghayatan
kepada Tuhan tergambar jelas dalam nrimo, karena nrimo menekankan “apa yang ada”,
faktualitas hidup manusia, menerima segala sesuatu yang masuk dalam hidup. Maka,
nrimo cenderung kepada ketenteraman hati, dengan nrimo perasaan akan lebih ayem
atau damai, dengan begitu dapat membantu merubah sikap dalam menghadapi
penderitaan yang mereka alami saat ini.
b. Ketentraman Hati
Watak nrimo cenderung kepada ketenteraman hati, jadi bukan orang yang malas
bekerja, melainkan orang yang mampu menempatkan dirinya dalam rasa tenang dan
puas dalam menerima apapun yang menjadi bagiannya. Melalui nrimo, subjek menjadi
merasa lebih ayem atau dikatakan merasakan ketenangan lahir dan batin. Dengan nrimo,
pikiran merasakan kedamaian, nafsu-nafsu merasakan kepuasan, dan perasaan
merasakan ketenteraman. Hal tersebut yang disebut sebagai perasaan yang netral atau
72
tidak merasakan gejolak perasaan negatif dan positif. Maka, subjek menyatakan dalam
dirinya tidak merasakan apapun seperti yang diutarakan oleh subjek Sa.
Dalam kehidupan sehari-hari perilaku yang muncul menurut subjek ialah tidak
mudah marah, dalam mengerjakan sesuatu pun dengan tenang atau tidak tergesa-gesa.
Hati yang tidak tentram menurut subjek, hanya akan mengundang penderitaan bagi
dirinya, sekaligus dikaitkan dengan kesabaran, supaya menghindari iri pada diri yang
dapat mengganggu keharmonisan dengan lingkungan. Beberapa subjek menyebutkan
jika hati tidak tentram, maka akan menimbulkan stres atau depresi. Sekaligus
dinyatakan jika hati tidak tentram maka, yang timbul hanya amarah. Walaupun, secara
eksplisit tidak disebutkan oleh subjek, rasa amarah lebih cenderung dikatakan sebagai
meri atau rasa iri terhadap tetangganya. Orang yang selalu merasa iri atau kurang puas
tersebut ialah orang yang ora nrimo dengan keadaannya.
Dapat dikatakan budaya dan agama membentuk individu. Dalam menghadapi
rintangan hidupnya subjek yang nrimo, maka dalam dirinya terdapat rasa percaya,
tawakal dan menerima apa adanya atas kehendak Tuhan, sehingga menghasilkan
penyerahan diri kepada Tuhan. Nrimo, menurut subjek digunakan sebagai usaha untuk
mencapai ketentraman hati. Ketentraman hati sering dikaitkan dengan kesabaran bagi
subjek. Menurut subjek orang yang memiliki dasar sabar maka, emosinya akan terus
terkendali, sehingga menimbulkan pikiran yang jernih. Hati yang tentram akan
membuat subjek lebih mudah dalam memusatkan hidup pada Tuhan, sebab perasaan
yang negatif merupakan penghambat untuk menuju pada Tuhan.
73
Budaya Agama Gusti/Tuhan
Individu Tentram
Rintangan Hidup Percaya
Nrimo Tawakal Menyerahkan Diri
Apa adanya
Bagan Orang yang mengalami ketentraman hati
c. Ora Nrimo
Ora nrimo dikatakan sebagai orang selalu berambisi untuk mencari kekayaan,
apabila diberi selalu merasa kurang. Menurut subjek ora nrimo, merupakan orang yang
selalu menuntut lebih, orang yang tidak pernah puas dengan hidupnya. menurut subjek
jika tidak nrimo maka, dapat mengganggu keharmonisan dengan lingkungan.
Bila orang ora nrimo maka hidupnya selalu tidak tenang, karena selalu merasa
kurang didalam hidupnya., maka yang akan timbul perasaan meri atau iri terhadap
tetangganya. Perasaan itulah yang mampu membawa ketidakrukunan dan ketidak
harmonisan, sehingga menimbulkan kerah atau pertengkaran. Dalam kaitannya dengan
mengusahakan kerukunan atau keharmonisan, diri dapat menempatkan dirinya di dalam
masyarakat, melakukan perilaku yang wajar. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, diri
harus sadar dan menghargai orang lain sebagai subjek seperti dirinya dan dengan
dunianya sendiri untuk mencapai keharmonisan.
74
d. Keharmonisan
Rukun sangat erat dengan keharmonisan, tujuan dari kerukunan adalah
mempertahankan keadaan masyarakat yang harmonis dan selaras. Keadaan rukun dapat
tercapai ketika semua pihak dalam damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling
menerima, terdapat suasana tenang dan sepakat tanpa perselisihan dan pertentangan
(Suseno, 1984). Menjaga keharmonisan dengan lingkungan, merupakan salah satu
bentuk usaha untuk selalu mengembangkan kerukunan dalam lingkungannya.
Melalui kerukunan, maka konflik dengan lingkungan dapat dicegah. Dalam
antisipasi terjadinya konflik dengan lingkungan serta menjaga keharmonisan, maka
perlu pengontrolan diri atau pengendalian diri. Oleh karena itu diri diharapkan rela
untuk mengalah dan melepaskan kepentingan pribadi atau ambisi-ambisi pribadi untuk
mewujudkan kerukunan sosial. Salah satu bentuknya ialah bertindak sareh yang artinya
sabar Bastomi (1992; dalam Wijayanti, 2005). Maka dari itu, orang yang tidak memiliki
pengontrolan diri atau pengendalian diri menurut subjek dikatakan sebagai orang yang
ora nrimo.
Agama dan budaya yang membentuk individu dalam menghadapi rintangan hidup.
Subjek dikatakan ora nrimo karena dirinya terlalu berambisi, selalu merasa kurang
ataupun selalu menuntut. Orang itu tidak pernah merasa puas terhadap hidupnya dan
orang tersebut dianggap kurang baik. Individu tersebut menurut subjek tidak memiliki
kontrol terhadap hidupnya, sehingga dapat menganggu ketentraman. Hal itu
menyebabkan keharmonisan dan kerukunan lingkungan menjadi terganggu, maka
diharapkan menurut subjek orang mampu mawas diri, mempunyai kontrol diri dan
kontrol emosi.
75
Budaya Agama Tidak Tidak Rukun Harmonis
Individu Tidak Tentram
Rintangan Hidup
Terlalu Berambisi Tidak ada
Ora Nrimo Tidak Puas kontrol
Bagan Orang yang mengalami yang tidak ketentraman hati
2. Nrimo dengan Berusaha
Seperti yang telah dideskripsikan bahwa nrimo tidak hanya diam, menerima segala
sesuatu ataupun mengeluh yang terjadi pada dirinya. Nrimo juga harus disertai dengan
usaha, agar mendapatkan rejeki. Dengan mendapatkan rejeki atau pendapatan,
diharapkan akan mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka. Mengusahakan rejeki
identik dengan kemuan untuk berusaha. Dengan berusaha, maka diri akan mampu
memberikan suatu pedoman dalam mengusahakan perkembangan pribadinya untuk
mengatasi permasalahan hidupnya. Dengan berusaha, diri juga menuju pada suatu
bentuk kepribadian yang ideal, yaitu tangguh dalam menghadapi segala permasalahan
hidup, untuk itu dibutuhkan kesadaran diri akan tujuan yang ingin dicapai oleh diri.
a. Kesadaran Diri
Melalui gempa 27 mei 2006 silam, orang harus secara sadar mengikuti takdirnya,
betapapun tidak dapat dihindari dengan kesadaran bahwa semuanya telah ditetapkan.
Secara sadar subjek melihat kebebasan pada dirinya dengan bertangung-jawab membuat
keputusan-keputusan atas hidupnya yaitu seperti ungkapan mereka untuk menerima apa
76
adanya dan mereka menyadari bahwa setelah gempa kehidupan mereka harus tetap
berlanjut, walaupun mereka telah kehilangan milik mereka. Dengan menyadari
kehidupannya saat ini yaitu diri sadar dan maklum terhadap musibah yang sedang
dialami, para subjek berusaha tetap tenang menjalani hidup sehari-hari.
Seperti telah dideskripsikan di atas, subjek menyadari jika tidak nrimo maka bisa
terjadi emosi yang dapat mengakibatkan hal-hal kurang baik, seperti pikiran bisa kacau
dan dapat mengakibatkan stres. Dalam pandangan subjek stres terjadi akibat dari
mereka yang tidak menyadari keadaan yang terjadi di lingkungan mereka saat ini., maka
diri harus nrimo. Terlihat melalui nrimo dengan kesadaran diri, sebenarnya manusia
tetap mempunyai nilai tawar dan berkewajiban untuk tetap aktif yaitu secara sadar
mewujudkan suatu kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan orang lain. Dari uraian di atas
terlihat bahwa kesadaran itu selalu mengarah kepada sesuatu, khususnya objek.
b. Tujuan Hidup
Menurut budaya Jawa jika orang hanya mengejar kenikmatan, maka dirinya akan
lupa tujuan hidup, perjuangan dan kewajibannnya. Kesadaran pada musibah yang
mereka alami menuntut kesediaan diri untuk melibatkan diri kepada realitasnya. Melalui
tujuan yang telah ditetapkan oleh diri, subjek memilih dan memikul tangung jawab atas
pilihannya. Seperti yang diungkapkan beberapa subjek dengan jalan nrimo, mereka
berdoa dan berusaha agar sehat supaya dapat menghidupi keluarga, itu dilakukan karena
dirinya masih memiliki tanggung jawab pada keluarga, yaitu mendidik dan
membahagiakan keluarga. Hal itu tidak eksplisit dikatakan oleh subjek, tetapi dari
ungkapan subjek bahwa mereka masih mempunyai arah dan tujuan yaitu keluarga dan
anak-anak untuk dihidupi.
77
dalam mmenhadapi musibah gempa subjek mempunyai arah dan tujuan untuk
mengembangkan dan membangun dunianya, dalam hal ini keluarganya. Subjek
mekalum, menyadari dan menerima, hingga terwujud nrimo. Melalui nrimo mental
menjadi stabil dan berusaha bangkit untuk menghadapi musibah ini dan mencoba
berkembang di dalam keterbatasan. Tujuan hidup merupakan suatu pedoman diri dalam
mengusahakan perkembangan pribadi untuk mengatasi permasalahan hidup, sekaligus
mampu menjaga stabilitas hidupnya. Menjaga stabilitas hidup atau lingkungan dalam
budaya Jawa sering dikatakan sebagai memayu hayuning bawana (menjaga,
menciptakan keindahan dunia ketentraman dunia). Memayu hayuning bawana bertujuan
untuk memperoleh kebahagiaan lahir dan batin. Maka, melalui nrimo diri harus
berusaha bangkit, agar dapat bekerja untuk menghidupi keluarganya ataupun menjaga,
menciptakan keindahan dunia ketentraman dunia.
Maklum Mental Stabil
Musibah Gempa Menyadari nrimo Tujuan
Menerima Bangkit
Masyarakat keluarga
Bagan Pencapaian Tujuan Hidup
78
1. Makna Nrimo Bagi Subjek
a. Pemenuhan Makna Melalui Nrimo
Setelah makna telah muncul dalam diri, maka dapat terjadi pemenuhan melalui
nrimo. Frankl juga memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari dimensi fisik
dan dimensi spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus
memperhitungkan keduanya (dalam Koeswara, 1992). Makna merupakan keinginan dan
motivasi utama dari manusia untuk memenuhi tujuan dan kewajiban hidupnya.
Menurut subjek makna akan terpenuhi jika mereka mampu mencapai tujuan yang
diharapkan seperti yang telah diungkapkan untuk memperoleh kebahagiaan lahir dan
batin. Kedua dimensi dalam Frankl dapat terpenuhi melalui nrimo. Seperti dimensi fisik
yakni meliputi keinginan subjek untuk tetap bertahan dalam penderitaan musibah
gempa, sehingga sadar akan keadaanya sekarang dan menciptakan mental yang stabil.
Dimensi spiritual lebih banyak digunakan oleh subjek sebagai pegangan untuk
mengatasi penderitaannya, seperti penghayatan akan kehadiran Tuhan dengan jalan
nrimo, seperti yang diutarakan Frankl (dalam Koeswara, 1992) dalam dimensi spirtual
manusia sanggup berefleksi dan bahkan menolak dirinya sendirinya sendiri. Melalui
kesadaran dan hati nurani, subjek dapat menentukan sikap terhadap fakta, keadaan atau
situasi yang dihadapinya dan melalui sikapnya itu dia pada gilirannya subjek mampu
mengubah dirinya sendiri. Melalui kesadaran diri, serta pernyataan subjek bahwa
mereka menyadari atau tidak mengingkari keberadannya atas penderitaan yang mereka
alami saat ini maka, diri akan menjadi tenang. Dalam budaya jawa biasa disebut dengan
rasa tentrem,, rasa dalam diri yang mampu menghantarkan diri pada hidupnya yang
sejati.
79
Fisik
Nrimo RasaTentram Hidup Sejati
Spritual
Bagan dimensi terpenuhi melalui nrimo
Selanjutnya telah dijelaskan ada tiga pilar filosofis dalam logoterapi yang satu
dengan lainnya erat hubungannya dan saling menunjang hal untuk melandasi makna,
tiga pilar tersebut yaitu:
1). Kebebasan berkehendak ( Freedom of Will )
Seperti yang telah dijelaskan kebebasan yang dimaksud bebas kebebasan yang
bukan kebebasan yang mutlak, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab. Subjek secara
bebas memilih tujuan hidupnya terlepas dari kondisi-kondisi biologis, psikologis dan
sosiokultural untuk mengambil sikap atas kondisi-kondisi yang mereka alami tersebut.
Hal itu dibuktikan dengan keinginan subjek menentukan sendiri apa yang dianggap
penting dalam hidupnya, sehingga subjek tetap berusaha tetap hidup dan sehat tanpa
dihalangi oleh penderitaan yang terjadi akibat gempa silam.
Agar subjek tetap mampu untuk berpikir jernih dalam menentukan tujuan hidupnya,
maka subjek perlu berusaha untuk mengenal dan memaknai dirinya sendiri. Dalam
istilah Jong (dalam Herdiyanto, 2005) menyebutnya sebagai distansi, yaitu merupakan
alat agar manusia bisa menjadi sadar. Segala sesuatu yang mengacaukan kesadaran yang
sejati. Jika manusia ingin mempunyai arti dalam dunia, maka terlebih dahulu ia harus
menerangkan tentang dunia itu, maka manusia mengambil distansi (jarak) terhadap
80
dunia sekitarnya, baik dalam aspek material maupun dalam aspek spiritual. Distansi
dianggap perlu sebagai suatu jalan sementara agar manusia dapat menemukan dirinya
sendiri. Tidak dijelaskan secara spesifik bentuk distansi menurut subjek, tapi tampaknya
subjek mengambil jarak dengan merenungkan hidupnya kembali dan mengambil
hikmah atas kejadian yang menerima, sehingga mereka mampu menentukan sendiri apa
yang dianggap penting dalam tujuan hidupnya.
2). Kehendak Hidup Bermakna ( The Will to Meaning )
Subjek meyakini bahwa musibah gempa yang mereka alami merupakan kehendak
yang Maha Kuasa, sehingga mereka hanya tinggal menjalankan nasib yang telah
digariskan oleh-Nya. Subjek mencoba menemukan kehendak hidupnya dengan
mengambil hikmah atas kejadian yang menimpanya. Hal itu diwujudkan dengan
mengalami dan menemukan dalam setiap pengalaman yang ia lalui dan diwujudkan
dengan memaknai kehidupan yang berada di sekitarnya. Hal ini terwujud dalam
ungkapan subjek bahwa mereka mengambil hikmah atas musibah yang menimpa
mereka. Subjek berusaha memaknai dan mengambil pengalaman atas musibah gempa
ini. Makna, sesuai dengan sifatnya menarik itu maka subjek termotivasi untuk
memenuhinya agar ia menjadi manusia yang bermakna dengan berbagai kegiatan yang
sarat dengan makna. Subjek termotivasi untuk melanjutkan hidupnya, karena mereka
memiliki kehendak atau memiliki tujuan untuk hidup yang lebih baik dari sekarang ini,
selanjutnya subjek yakin bahwa hidup yang lebih baik itu tidak di dapat dengan
bersikap pasif atau diam saja, namun juga harus mampu bersikap aktif dan berusaha
bekerja.
81
3). Makna Hidup ( The Meaning Of Life )
Yang terakhir makan hidup muncul dari dalam diri subjek. Telah dijelaskan makna
hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, untuk tujuan praktis makna hidup
dianggap identik dengan tujuan hidup. Manusia makna khusus dari hidupnya dan ia
memiliki pekerjaan dan misi untuk menyelesaikan tugas khusus, dalam kaitan dengan
tugas tersebut dia tidak bisa digantikan dan hidupnya tidak bisa diulang. Subjek
menyadari bahwa merka memiliki tujuan tertentu dalam hidupnya setelah gempa terjadi,
tujuan tersebut ialah untuk memperoleh kebahagiaan lahir dan batin. Hal itu tampak
seperti subjek yang memilih untuk berhasil dalam mendidik anak menjadi mandiri serta
membahagiakan keluarga.
Kemudian makna muncul melalui tiga sistem nilai yang memberikan cara memberi
arti dalam kehidupan dapat terpenuhi melalui nrimo, yaitu Nilai daya cipta yang
terwujud melalui keinginan subjek untuk berusaha tetap hidup dan sehat. Diri kreatif
terlihat dengan sikap subjek yang bertindak dan berkerja semampunya di dalam
menghadapi penderitaan yang sedang meraka alami. Jadi subjek tidak hanya diam dan
merenungi nasibnya, namun mereka berusaha untuk tetap bekerja sesuai dengan kondisi
diri mereka saat ini. Selanjutnya mengambil nilai-nilai dari pengalaman terlihat dalam
diri subjek dengan mengambil sikap menerima atau menyerahkan diri kepada dunia,
dengan cara menerima apapun yang terjadi di dalam hidupnya, termasuk penderitaan
yang mereka alami saat ini.
Nilai-nilai sikap terbentuk dari keberanian subjek untuk menghadapi keadaannya
dan berusaha tidak mengeluh akan apa yang terjadi pada dirinya, subjek berkerja
sepenuh hati untuk memenuhi tujuannnya, walaupun dalam pandangan subjek hasil
82
akhir dari perkerjaanya tersebut diserahkan kepada Tuhan. Penderitaan membuat diri
menjadi lebih kuat, selanjutnya mengungkapan penderitan itu membentuk karakter
sekaligus membentuk kekuatan dan ketahan diri.
Setelah terjadi gempa subjek melakukan intropeksi atau mengambil hikamh atas
musibah yang mereka alami. Dari hasil intropeksi tersebut subjek kemudian memilih
untuk menetapkan misi atau tujuan hidupnya. Subjek bertanggung jawab secara pribadi
untuk menetapkan pilihan-pilihannya, tanpa terhambat oleh musibah yang mereka alami
saat ini. Subjek memiliki upaya menemukan makna hidup, subjek menerima hidupnya,
serta berusaha menghadapi keadaannya dan berusaha mengatasi keadaan dan
penderitaan yang tidak mungkin terelakkan saat ini.
Makna hidup tercapai jika ketiga unsur di atas terpenuhi dan saling melengkapi.
Walapun makna bersifat personal, namun pemahaman mengenai makna membantu
subjek untuk memotivasi diri mereka menghadapi musibah gempa dalam melanjutkan
hidupnya kembali serta mencapai kebahagiaan lahir dan batin. Kebahagiaan lahir dan
batin tercapai menurut subjek jika mereka, seperti jika berhasil dalam mendidik anak
serta membahagiakan keluarga. Kebahagiaan lahir dan batin yang tercapai
menghasilkan ketenangan hati (rasa tentrem,). Ketenangan hati menciptakan kejernihan
berpikir sehingga mendapatkan rasa sejati. Rasa sejati adalah sari dari segala sari
kehidupan. Akhirnya melalui rasa sejati manusia mengenal keberadaannya kembali,
sehingga diperoleh kemanunggalan dengan Tuhan, manunggaling kawulo lan Gusti
Bagan berikut ini sekiranya dapat menjadi gambaran yang memudahkan untuk
memahami terpenuhinya makna oleh subjek penelitian
83
Gempa intropeksi Rasa sejati
Memilih Rasa tentrem
Misi atau tujuan Bahagia lahir dan batin
menerima hidupnya Misi atau tujuan tercapai
menghadapi keadaannya Termotivasi
berusaha/bekerja
Makna Hidup
Bagan terpenuhinya makna
Dapat disimpulkan melalui nrimo makna hidup dicapai oleh subjek, karena ketiga
unsur di atas terpenuhi, sekaligus ketiga dimensi makna juga dapat terpenuhi oleh
subjek dengan nrimo. Ketiga bagian tersebut dalam budaya jawa memang tidak bisa
dipisahkan dan saling mempengaruhi dalam nrimo, karena dalam budaya Jawa manusia
mamapu mencapai keseimbangan antara jiwa dan raga. Pemahaman makna lebih
bersifat personal seperti halnya pemahaman rasa bagi manusia Jawa. Namun, yang
tampak melalui musibah gempa ini, dengan jalan nrimo subjek semakin mendekat
kepada Tuhan untuk menemukan makna hidupnya.
c. Perbandingan Nrimo dengan Konsep Kebermaknaan Hidup.
Perbandingan konsep nrimo dengan konsep kebermaknaan hidup telah dijelaskan
secara lengkap pada pembahasan di atas. Melalui tiga sistem nilai yang memberikan
cara memberi arti dalam kehidupan dapat terpenuhi kebermaknaan hidup manusia.
Dalam penderitaan akibat gempa subjek berusaha menemukan maknanya, maka dapat
84
disebut juga subjek berusaha mengatasi-diri dengan jalan nrimo. Konsep individu yang
mengatasi-diri dalam Logotherapy yang dikemukakan oleh Frankl dapat dibandingkan
dengan nrimo. Untuk lebih jelas dapat dilihat di dalam tabel berikut ini:
Penemuan Makna Nrimo
Nilai daya cipta Bangkit, berusaha berkreasi dan tetap aktif dalam menghadapi musibah,
Nilai-nilai dari pengalaman
bersyukur dan cara menerima apapun yang terjadi di dalam hidupnya
Nilai-nilai sikap keberanian subjek untuk menghadapi keadaannya dan berkerja sepenuh hati
Terdapat persamaan yang terdapat dalam konsep nrimo dengan konsep
kebermaknaan hidup. Persamaan itu ialah dalam nrimo menurut budaya Jawa terdapat
kepercayaan atau penghayatan akan kehadiran Tuhan. Penekanan akan keberadaan
Tuhan di dalam kehidupan manusia terlihat jelas dalam nrimo, sedangkan konsep
logoterapi memandang sutau dimensi tempat kebebasan manusia terletak dan dialami
(dalam Koeswara,1992). Dalam budaya Jawa manusia mempunyai pegangan dalam
perilaku yaitu ajaran Tuhan yang diinternalisasi melalui budaya, sedangkan pandangan
Frankl dimensi spiritual adalah hati nurani tempat untuk berefleksi, bahkan tempat
kebebasan manusia terletak dan dialami. Tentu saja cara pandang budaya barat
mengenai keberadaan manusia tidak langsung dapat disamakan pada budaya timur,
khususnya Jawa, yang memandang Tuhan merupakan asal dan tujuan dari hidup atau
sangkan paraning dumadi.
Dalam budaya Jawa, secara kosmologis kehidupan merupakan kesatuan yang
meliputi didalamnya. Dalam kesatuan itu semua saling melengkapi dan terkoordinasi
satu dengan lainnya. Manusia dipandang mencapai titik puncaknya pada pusat dari
segala yang ada yaitu Tuhan. Konsep tentang sangkan paraning yaitu asal dan tujuan
manusia hidup di dunia, mau tidak mau mempengaruhi harapan, cita-cita keberadaan
85
diri subjek, sebagai makhluk Tuhan. Tuhan adalah sesuatu yang paling rahasia, tujuan
akhir manusia akan terwujud apabila manusia mengarahkan usaha kepada kebersatuan
dengan pemberi hidup, atau sering disebut sebagai manunggaling kawula Gusti, atau
jumbuhing kawula Gusti.
Pada dasarnya manusia Jawa menganggap hidup sebagai serangkaian peristiwa
yang penuh kesengsaraan, yang harus mereka jalankan dengan tabah dan pasrah kepada
Tuhan. Sebaliknya aktivitas yang lebih berhubungan dengan kehidupan sosial, keluarga
ataupun ekonomi, diri harus hidup aktif dan senantiasa berusaha. Maka, jika
dibandingkan nrimo merupakan ungkapan kepasrahan terhadap Tuhan, sekaligus
berusaha untuk mencukupi kehidupannya. Tuhan yang samar-samar dan penuh rahasia,
namun meliputi seluruh kehidupan, dapat dipahami sebagai asal dan tujuan seseorang,
atau secara sederhana hidup itu sendiri.
4. Aplikasi Nrimo untuk Permasalahan Hidup
Hidup manusia dipenuhi oleh berbagai permasalahan hidup. Ketidakmampuan diri
untuk mengelola dan memecahkan masalah akan membauat diri menjadi stres dan
depresi. Seperti halnya permasalahan yang dihadapi oleh subjek paska gempa, subjek
menceritakan banyak masalah mulai timbul paska gempa, dari mencari keluarga yang
tertimpa reruntuhan, mencari kerabat atau saudara lainnya, bagi yang terluka berusaha
mencari pertolongan secara pribadi atau dibantu oleh orang lain, dan lain sebagainya.
Permasalahan kembali timbul, dari yang memiliki tempat tinggal yang nyaman, akibat
gempa subjek harus tinggal di tenda-tenda darurat, kelaparan dan kedinginan bahkan
harus kehilangan orang-orang yang mereka cintai.
86
Diri yang tidak mampu mengatasi tuntutan-tuntutan internal maupun eksternalnya
akan mengakibatkan depresi bagi dirinya. Dalam psikologi kemampuan mengatasi
masalah dapat dikatakan sebagai coping. Coping didefinisikan sebagai perubahan
kognitif dan perilaku sebagai usaha untuk mengatasi tuntutan-tuntutan internal maupun
eksternal yang dinilai melebihi kemampuan seseorang (Folkman et al., 1986 dalam
Heriyana Sari, 2006). Selanjutnya Coping dapat diwujudkan dalam bentuk strategi
coping yang mengarah pada tingkah laku maupun proses kognitif individu dalam
menghadapi tekanan tertentu (Lazarus, 1981, dalam Heriyana Sari 2006). Bila
dirangkum maka, coping merupakan kemampuan diri untuk mengelola atau mengatasi
berbagai tuntutan masalah.
a. Coping
Menurut bentuknya, coping terbagi dua yaitu problem focused coping (PFC) dan
emotional focused coping (EFC). Problem focused coping (PFC) atau coping yang
berfokus pada masalah yaitu strategi coping yang dilakukan langsung mengarah pada
proses penyelesaian masalah/tekanan yang dihadapi yang melibatkan kognitif dan
perilaku/konatif (Dalton et al., 2001 dalam Heriyana Sari 2006).
Aspek utama dari PFC adalah kognitif individu untuk memikirkan bagaimana cara
menghadapi masalah atau situasi menekan.Sedangkan emotion focused coping (EFC)
atau coping yang berfokus pada emosi, merupakan strategi coping yang mengubah
persepsi seseorang mengenai situasi menekan yang dihadapi. (Snyder dalam Passer dan
Smith, 2004 dikutip oleh Heriyana Sari, 2006).
Dapat disimpulkan coping merupakan usaha manusia dalam mengatasi
permasalahannya. Coping melibatkan fungsi kognitif dan konatif. Fungsi kognitif untuk
87
menilai, mempertimbangkan dan memutuskan, sedangkan fungsi konatif untuk
melaksanakan hasil dari fungsi kognitif.
Bagan ringkasan problem focused coping (PFC)
Bagan ringkasan emotional focused coping (EFC)
PFCsoca
PFCac
PFCrc
PFCsssfir
PFC
PFCp
Perilaku
Kognitif
EFCa
EFCd
EFCttr
EFCfave
EFCmd
EFCpr
EFCsssfer
Perilaku
EFC
Kognititf
EFCbd
(Berdasarkan Heriyana Sari, 2006)
b Nrimo sebagai bentuk Coping
Nrimo dimasukkan ke dalam coping sebagai usaha untuk menyelesaikan masalah,
maka coping yang dilakukan oleh subjek paska terjadi gempa merupakan emotional
focus coping. Melalui emotional focus coping subjek melakukan pendekatan coping
88
dengan bentuk acceptance yaitu menerima secara sadar apa yang terjadi
dilingkungannya, positive reappraisal yaitu berusaha menciptakan makna positif dari
situasinya. Penerimaan subjek terhadap keadaannya ditunjukkan dengan berusaha
memperbaiki keadaan sesuai dengan perannya dengan penuh tanggung jawab.
Penghayatan kepada Tuhan dilakukan subjek sebagai dasar, sekaligus tujuan akhir dari
kesemuanya. Dalam wawancara tidak disebutkan denial menurut subjek yang berarti
subjek tidak mengingkari situasi yang sedang dihadapinya. Bila subjek mengingkari
situasi yang dihadapinya hanya akan menyebabkan sakit seperti yang sudah dibahas
sebelumnya. Sedangkan pada behavioral disengagement (pelepasan perilaku), lebih
cenderung kearah yang positif, karena subjek tidak menyerah terhadap keadaannya
bahkan berusaha untuk memenuhi tujuan hidupnya.
Nrimo mempunyai tujuan akhir yaitu Tuhan sebagai sumber hidup atau sangkang
paraning dumadi, seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Coping memiliki
tujuan yaitu kehidupan manusia itu sendiri, yaitu manusia yang mampu untuk menjalani
dan melanjutkan kehidupan paska terjadi konflik. Penghayatan terhadap Tuhan
membantu para subjek untuk mengendalikan tekanan sekaligus menjaga kesseimbangan
emosinya. Ellison (1991) (dikutip oleh Tylor dalam Heriyana Sari, 2006).
c Penyelesaian Masalah melalui Nrimo
Nrimo bagi masyarakat Jawa merupakan alat bantu untuk menghadapi
permasalahan hidupnya, karena melalui nrimo, diri menjadi lebih mampu menghadapi
kesulitan hidupnya. Sedangkan arah siklus tersebut dijelaskan dengan bagan berikut ini:
89
hidup masalah Aktif
Eustress
kognitif intropeksi diri
Kesadaran diri
konatif tetap berusaha
Nrimo bagan menghadapi masalah melalui nrimo
Nrimo sendiri melibatkan unsur kognitif dan konatif manusia untuk menghadapi
masalah. Dalam nrimo, unsur kognitif lebih cenderung berasal dari intropeksi diri yang
dengan hikmah atas peristiwa yang berasal dari Tuhan, unsur konatif ialah keinginan
dari dalam diri untuk berusaha menghadapi hidupnya. Melalui nrimo terlihat
keoptimisan subjek untuk bangkit menghadapi hidupnya kembali. Subjek secara aktif
berusaha untuk bangkit dan dengan kreativitasnya berusaha untuk menemukan tujuan
hidupnya.
Nrimo mampu menghindarkan subjek dari stres akibat gempa, sebab dengan nrimo
subjek berusaha berhatan menghadapi penderitannya. Secara tidak langsung terlihat
nrimo mampu mengubah distress (stress yang buruk) menjadi eustress (stress yang
baik), yaitu mampu membuat diri menjadi sadar dan berkeinginan untuk mengurangi
penderitaan hidupnya.
d Sadar dan Aktif Menghadapi Permasalahan Hidup
Tampak dengan nrimo, diri mampu untuk mengatasi permasalahan hidup, sebab
melalui nrimo diri diberi daya tahan untuk juga menanggung nasib buruk. Bagi yang
memiliki sikap itu, suatu malapetaka akan kehilangan sengsaranya (dalam Suseno,
90
1984). Seperti yang telah dibahas sebelumnya nrimo merupakan sikap hidup yang
positif, karena dengan nrimo diri menjadi rasional di dalam menghadapi permasalahan
hidupnya. Diri menjadi sadar akan keadaanya dan berusaha aktif untuk mencapai
tujuannya.
Dalam nrimo terdapat unsur bersyukur kepada Tuhan, dengan bersyukur, diri
menjadi tidak mengeluh akan kesulitan hidupnya, sehingga membantu diri untuk
berusaha aktif mengatasi permasalahan hidupnya. Selain itu, salah unsur nrimo ialah
tawakal dan berserah diri kepada Tuhan. Diri yang selalu berserah diri dan tawakal
kepada Tuhan akan menyadari keadaanya, sehingga tidak terjebak pada kondisi yang
tidak sehat, yaitu pribadi yang mengingkari keberadanyaa saat ini. Nrimo membantu diri
untuk lebih dekat dengan Tuhan sang pencipta hidup, karena Tuhan dapat digunakan
sebagai pegangan untuk mengatasi permasalahan hidup dan mencapai suatu
keseimbangan kejiwaan. Seperti dalam musibah gempa kemarin, subjek lebih memilih
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan jalan berdoa dan pasrah. Hal ini senada
dengan penelitian Balavich (1995) (dikutip oleh Pitaloka, 2005 dalam Herdiyanto 2005)
yang menunjukkan religi memainkan peranan penting dalam mengatasi stres. Menurut
Dull dan Shokan (1995) (dalam Tylor, 1999 dikutip oleh Herliyana Sari, 2006) agama
juga bisa membantu proses coping karena agama menyediakan sistem kepercayaan dan
cara berpikir tentang peristiwa menekan yang membuat individu dapat mengambil
makna dari peristiwa tersebut. Terlihat nrimo memadukan rasioanalitas dan emosional
manusia yang berguna bagi diri untuk membantu dalam memecahkan masalah yang
sedang dihadapi.
91
E. Keterbatasan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti banyak memiliki keterbatasan dalam
melakukan penelitian. Keterbatasan-keterbatasan ini yakni:
Pemahaman dan penguasaan peneliti terhadap metodologi penelitian kualitatif,
terutama berkaitan dengan teknik pengambilan serta analisis data. Kurangnya
pemahaman terhadap analisis data secara kualitatif, menyebabkan penelitian ini sempat
terbengkalai karena peneliti merasa kesulitan dalam mengolah data mentah yang telah
diperoleh selama di lapangan.
Kurangnya peneliti untuk lebih menelusuri sumber-sumber tertulis yang berkaitan
dengan budaya Jawa dan referensi yang berkaitan dengan nrimo. Sulitnya menemukan
literatur yang membahas nrimo, menyebabkan peneliti kesulitan untuk mendapatkan
dukungan teoritis yang up to date mengenai menghayatan, mengamalan nilai-nilai
nrimo pada masa kini.
Alat dan metode pengumpulan data, yakni wawancara dan observasi yang kurang
maksimal, sehingga kurang lengkap untuk menjelaskan nrimo sebagai bentuk
pemecahan masalah. Metode wawancara semi terstruktur yang dilakukan hanya satu
kali wawancara dalam mengumpulkan data, sehingga respon subjek terbatasi dan data
yang didapatkan juga kurang mendalam, sebenarnya dapat digunakan wawancara
kelompok untuk dapat mengatasi bias pada wawancara individual ataupun teknik
wawancara tidak struktur untuk memperdalam respon subjek. Sedangkan alat
pengumpul data yang lain, yaitu observasi tidak secara maksimal digunakan oleh
peneliti, yaitu observasi yang hanya dilakukan pada saat wawancara berlangsung
92
sehingga tidak dapat memberikan banyak kontribusi lengkap terhadap pemahaman
secara menyeluruh tentang nrimo menurut subjek penelitian.
100
Hal yang Akan Diungkap Pertanyaan
Pengertian nrimo Menurut anda apakah nrimo itu ?
Sikap/perbuatan yang
menimbulkan nrimo dan
akibatnya
Hal-hal apa sajakah yang membut anda merasa
nrimo ?
Keadaan yang bagaimana yang membuat anda
merasa nrimo ?
Apa yang terjadi apabila anda merasa nrimo ?
Apa yang anda lakukan ketika merasa nrimo ?
Mengetahui kapan subyek
tidak merasa nrimo
Kapan Anda tidak perlu merasa nrimo ?
Bilamana nrimo dianggap
sebagai sikap yang baik atau
buruk
Apakah nrimo itu baik ataukah buruk ?
mengapa?
Dapatkah nrimo dianggap sebagai sesuatu yang
baik/buruk ? Mengapa?
Rasa nrimo ketika subyek
berbuat sesuatu yang
mengalami musibah
Mengapa anda merasa nrimo ketika mengalami
musibah tersebut ?
Apa sajakah yang anda rasakan ketika anda
nrimo ketika mengalami musibah?
Tentang ora nrimo Menurut pengertian anda apakah yang
dimaksud dengan istilah ora tau nrimo ?
Orang yang bagaimana yang dapat disebut
sebagai orang yang ora tau nrimo ?
Pemahaman tentang makna
nrimo
Bagaimana anda menerapkan nrimo didalam
kehidupan anda sehari-hari?
Ceritakan pengalaman anda saat mengalami
nrimo
101
Inventarisasi perasaan saat
subyek merasa nrimo
Bagaimana perasaan anda ketika nrimo ?
Hubungan nrimo dengan
sabar dan ihklas
Menurut anda sabar itu apa?
Menurut anda ihklas itu apa?
Bagaimana kaitan antara perasaan nrimo
dengan sabar ?
Bagaimana kaitan antara perasaan nrimo
dengan ihklas
Apakah sabar dan ihklas bisa menimbulkan
nrimo ? bagaimana contohnya ?