DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN · PDF fileKinerja sistem kesehatan dalam era...

11
146 Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 03, No. 3 September 2014 Candra Dewi Purnamasari, dkk.: Desentralisasi Dan Pengambilan Keputusan Kebijakan DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN PENINGKATAN GIZI BALITA DI KOTA DEPOK DAN KOTA BOGOR PROPINSI JAWA BARAT DECENTRALIZATION AND POLICY DECISION MAKING FOR U5 NUTRITIONAL IMPROVEMENT IN DEPOK CITY AND BOGOR CITY IN WEST JAVA Candra Dewi Purnamasari 1 , Dumilah Ayuningtyas 1 , Riastuti Kusumawhardani 2 1 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta 2 Universitas Islam NegeriCiputat, Tangerang, Jawa Barat ABSTRACT Background: Heywood and Choi ( 2010) found that there is only a slight increase of health system performance post decentralization. Low performance in decentralization of the health sector can be inferred from the high incidence of poor nutrition for U5 (under five) in the city of Bogor in West Java. However the city of Depok has a different situation in which they have successfully reduced poor U5 nutrient to 0% . Performance in a decentralized health system is affected by policy decisions that are influenced by decison space, institutional capacity and accountability of local government . Objective: This study aims to describe the decision-making processes for U5 nutrition based on decision space, capacity and accountability of local government institutions in the city of Depok and city of Bogor in West Java Province . Methods: This study is a qualitative case study design . In- depth understanding of the decision-making on health policy in the era of decentralization will be traced by means of in-depth interviews . Informants in this study include the Head of Department , Mayor , Chief Health Center and Head of Nutrition at the Provincial Health Office , Head of Bappeda. Results: Post Decentralization, nutrition policy decision-making process at the level of the city of Bogor and Depok conducted by larger decision space, the accountability of policy decisions in both regions showed an increase , but the capacity of public institutions and the level of participation of non- government actors as well as the institutional capacity is higher in the city of Depok than in the city of Bogor . Conclusion: Decentralization increases the decision space and accountability in health policy decision-making process. Increased institutional capacity, especially the capacity of human resources and increased levels of participation and non-government actors are needed to produce a more responsive policy decisions. Keywords: Decentralization, Decision Space, Accountability, Human Resource Capacity ABSTRAK Latar Belakang: Heywood dan Choi (2010) dalam studinya menemukan bahwa secara umum hanya terjadi sedikit pening- katan kinerja sistem kesehatan pasca desentralisasi. Rendahnyakinerja desentralisasi pada sektor kesehatan dapat dilihat dari masih tingginya kasus gizi balita buruk diKotaBogor Propinsi Jawa Barat.Kondisi yang berbeda terjadi di Kota Depok yang telah berhasil menekan gizi Balita buruk menjadi 0% . Kinerja sistem kesehatan dalam era desentralisasi dipengaruhi oleh pengambilan keputusan kebijakan yang dipengaruhi oleh decison space kapasitas institusional dan akuntabilitas pemerintah daerah. Tujuan: Penelitian ini bertujuan menggambarkan proses pengambilan keputusan kebijakan Gizi Balita berdasarkan de- cision space, kapasitas institusidan akuntabilitas pemerintah daerah diKota Depok dan Kota Bogor Propinsi jawa Barat. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus. Pemahaman secara mendalam menge- nai pengambilan keputusan pada penyusunan kebijakan kese- hatan pada era desentralisasi akan ditelusuri dengan cara melakukan wawancara mendalam (indepth interview). Informan dalam penelitian ini meliputi Kepala Dinas, WaliKota, Kepala Puskesmas dan Kepala Bagian Gizi di Dinas Kesehatan Propinsi, kepala Bappeda Hasil: Setelah Desentralisasi, proses pengambilan keputusan kebijakan Gizi di tingkat Kota Bogor dan Kota Depok dilaksana- kan dengan Decision spaceyang lebih besar, akuntabilitas pengambilan keputusan kebijakan pada kedua daerah menun- jukkan adanya peningkatan, namun kapasitas institusi dan tingkat partisipasi masyarakat maupun aktor diluar pemerintah Kota Depok lebih tinggi dibanding Kapasitas Institusi di Kota Bogor. Kesimpulan: Desentralisasi meningkatkan decision space dan akuntabilitas pada proses pengambilan keputusan kebi- jakan kesehatan. Peningkatankapasitas institusi terutama kapa- sitas sumberdaya manusia dan peningkatan tingkat partisipasi masyarakat dan aktor diluar pemerintahsangat dibutuhkan untuk menghasilkan keputusan kebijakan yang lebih responsif Keywords: Desentralisasi, Decision Space, Akuntabilitas, Kapasitas SDM PENGANTAR Desentralisasi politik di Indonesia mulai dilaksa- nakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22/1999 dan kemudian diperbaiki dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Melalui undang-undang tersebut pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih besar melalui pelimpahan sebagian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, termasuk kewenangan dalam bidang kesehatan. Tujuan utama diselenggara- JURNAL KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA VOLUME 03 No. 03 September 2014 Halaman 146 - 156 Artikel Penelitian

Transcript of DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN · PDF fileKinerja sistem kesehatan dalam era...

Page 1: DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN · PDF fileKinerja sistem kesehatan dalam era desentralisasi dipengaruhi ... pelayanan publik sesuai kebutuhan dan permasalah-an pada tingkat

146 Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 03, No. 3 September 2014

Candra Dewi Purnamasari, dkk.: Desentralisasi Dan Pengambilan Keputusan Kebijakan

DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKANPENINGKATAN GIZI BALITA DI KOTA DEPOK DAN KOTA BOGOR

PROPINSI JAWA BARAT

DECENTRALIZATION AND POLICY DECISION MAKING FOR U5 NUTRITIONAL IMPROVEMENT INDEPOK CITY AND BOGOR CITY IN WEST JAVA

Candra Dewi Purnamasari1, Dumilah Ayuningtyas1, Riastuti Kusumawhardani2

1Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta2Universitas Islam NegeriCiputat, Tangerang, Jawa Barat

ABSTRACTBackground: Heywood and Choi ( 2010) found that there isonly a slight increase of health system performance postdecentralization. Low performance in decentralization of thehealth sector can be inferred from the high incidence of poornutrition for U5 (under five) in the city of Bogor in West Java.However the city of Depok has a different situation in whichthey have successfully reduced poor U5 nutrient to 0% .Performance in a decentralized health system is affected bypolicy decisions that are influenced by decison space,institutional capacity and accountability of local government .Objective: This study aims to describe the decision-makingprocesses for U5 nutrition based on decision space, capacityand accountability of local government institutions in the city ofDepok and city of Bogor in West Java Province .Methods: This study is a qualitative case study design . In-depth understanding of the decision-making on health policy inthe era of decentralization will be traced by means of in-depthinterviews . Informants in this study include the Head ofDepartment , Mayor , Chief Health Center and Head of Nutritionat the Provincial Health Office , Head of Bappeda.Results: Post Decentralization, nutrition policy decision-makingprocess at the level of the city of Bogor and Depok conductedby larger decision space, the accountability of policy decisionsin both regions showed an increase , but the capacity ofpublic institutions and the level of participation of non-government actors as well as the institutional capacity is higherin the city of Depok than in the city of Bogor .Conclusion: Decentralization increases the decision spaceand accountability in health policy decision-making process.Increased institutional capacity, especially the capacity ofhuman resources and increased levels of participation andnon-government actors are needed to produce a moreresponsive policy decisions.

Keywords: Decentralization, Decision Space, Accountability,Human Resource Capacity

ABSTRAKLatar Belakang: Heywood dan Choi (2010) dalam studinyamenemukan bahwa secara umum hanya terjadi sedikit pening-katan kinerja sistem kesehatan pasca desentralisasi.Rendahnyakinerja desentralisasi pada sektor kesehatan dapatdilihat dari masih tingginya kasus gizi balita buruk diKotaBogorPropinsi Jawa Barat.Kondisi yang berbeda terjadi di Kota Depokyang telah berhasil menekan gizi Balita buruk menjadi 0% .

Kinerja sistem kesehatan dalam era desentralisasi dipengaruhioleh pengambilan keputusan kebijakan yang dipengaruhi olehdecison space kapasitas institusional dan akuntabilitaspemerintah daerah.Tujuan: Penelitian ini bertujuan menggambarkan prosespengambilan keputusan kebijakan Gizi Balita berdasarkan de-cision space, kapasitas institusidan akuntabilitas pemerintahdaerah diKota Depok dan Kota Bogor Propinsi jawa Barat.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif denganrancangan studi kasus. Pemahaman secara mendalam menge-nai pengambilan keputusan pada penyusunan kebijakan kese-hatan pada era desentralisasi akan ditelusuri dengan caramelakukan wawancara mendalam (indepth interview). Informandalam penelitian ini meliputi Kepala Dinas, WaliKota, KepalaPuskesmas dan Kepala Bagian Gizi di Dinas KesehatanPropinsi, kepala BappedaHasil: Setelah Desentralisasi, proses pengambilan keputusankebijakan Gizi di tingkat Kota Bogor dan Kota Depok dilaksana-kan dengan Decision spaceyang lebih besar, akuntabilitaspengambilan keputusan kebijakan pada kedua daerah menun-jukkan adanya peningkatan, namun kapasitas institusi dantingkat partisipasi masyarakat maupun aktor diluar pemerintahKota Depok lebih tinggi dibanding Kapasitas Institusi di KotaBogor.Kesimpulan: Desentralisasi meningkatkan decision spacedan akuntabilitas pada proses pengambilan keputusan kebi-jakan kesehatan. Peningkatankapasitas institusi terutama kapa-sitas sumberdaya manusia dan peningkatan tingkat partisipasimasyarakat dan aktor diluar pemerintahsangat dibutuhkan untukmenghasilkan keputusan kebijakan yang lebih responsif

Keywords: Desentralisasi, Decision Space, Akuntabilitas,Kapasitas SDM

PENGANTARDesentralisasi politik di Indonesia mulai dilaksa-

nakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU)No. 22/1999 dan kemudian diperbaiki dengan UUNo. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Melaluiundang-undang tersebut pemerintah daerah diberikankewenangan yang lebih besar melalui pelimpahansebagian kewenangan dari pemerintah pusat kepadapemerintah daerah, termasuk kewenangan dalambidang kesehatan. Tujuan utama diselenggara-

JURNAL KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIAVOLUME 03 No. 03 September 2014 Halaman 146 - 156

Artikel Penelitian

Page 2: DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN · PDF fileKinerja sistem kesehatan dalam era desentralisasi dipengaruhi ... pelayanan publik sesuai kebutuhan dan permasalah-an pada tingkat

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 03, No. 3 September 2014 147

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

kannya desentralisasi sebagaimana yang dikemuka-kan oleh Mawhood1, Smith2 adalah sebagai upayamewujudkan keseimbangan politik, akuntabilitas pe-merintah lokal dan Kemampuan pemerintah daerahmerespon kebutuhan dan tuntutan masyarakat. De-sentralisasi kesehatan, perpindahan kekuasaan un-tuk mengambil keputusan dari pemerintah nasionalkepada pemerintah lokal akan lebih memperpendekproses demokrasi3 dan dapat lebih mendekatkanpelayanan publik sesuai kebutuhan dan permasalah-an pada tingkat lokal4.

Hubungan antara pemerintah daerah danpemerintah pusat pada sektor kesehatan dalam studimengenai desentralisasi dapat dianalisa denganpendekatan principle-agent5. Pendekatan ini, peme-rintah pusat (principle) mempunyai seperangkat tuju-an khusus yang harus diimplementasikan oleh agentdi pemerintah daerah. Walaupun demikian agentmempunyai kepentingan sendiri sesuai kebutuhanlokal. Pendekatan principle-agent ini bisa menjelas-kan hubungan otoritas politik sebagai principle de-ngan pelaku sistem birokratik sebagai agent. Dalamkonteks desentralisasi, Bossert5 menjelaskan bahwapengampu sistem kesehatan di daerah merupakanagent yang harus memenuhi tujuan pemerintah pusatsekaligus merupakan principleyang harus memenuhitujuan sistem politik lokal.

Pendekatan principle-agentsemata menurutBossert5 tidak bisa mengukur seberapa besar kisar-an kewenangan pengambilan keputusan yang dimi-liki oleh pemerintah daerah. Konsep Decision Spacedapat mengukur kesesuaian tingkat diskresi yangdiberikan kepada pemerintah daerah untuk membuatkebijakan sistem kesehatan dan mengimplementasi-kannya.Decision space memiliki sejumlah faktorpenentu yang bersifat kompleks untuk mengukur se-berapa besar pilihan terhadap berbagai fungsi sistemkesehatan dan sumber pembiayaan bagi pemerintahdaerah yang tersedia atau boleh dipergunakan dise-diakan oleh pemerintahan yang lebih tinggi (de juredecision space), demikian pula kekuasaan yang se-cara aktual digunakan dalam prakteknya (de facto-decision space).

Decision Space yang besar terkadang justruakan menjadi konflik dengan tujuan dari sistem kese-hatan secara keseluruhan. Menurut penelitianBossert diperlukan decision space yang berbeda un-tuk berbagai fungsi dari sistem kesehatan.

Kinerja pelayanan kesehatan dalam era desen-tralisasi tidak hanya dipengaruhi oleh decison spacesemata. Faktor lainnya yang berkaitan erat dengandecision space, adalahkapasitas institusional danakuntabilitas. Kapasitas institusional yang adekuatsangat dibutuhkan untuk memanfaatkan decision

Tabel 1. Tingkat Decision Space yang sesuai untuk berbagai Fungsi Sistem Kesehatan

Page 3: DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN · PDF fileKinerja sistem kesehatan dalam era desentralisasi dipengaruhi ... pelayanan publik sesuai kebutuhan dan permasalah-an pada tingkat

148 Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 03, No. 3 September 2014

Candra Dewi Purnamasari, dkk.: Desentralisasi Dan Pengambilan Keputusan Kebijakan

space yang ada. Kapasitas dapat didefinisikan seba-gai “the ability of individuals, organizations or sys-tems to perform appropriate functions effectively,efficiently and sustainably”(Kemampuan individual,organisasi atau sistem untuk menampilkan fungsiyang diharapkan secara efektif, efisien dan berkelan-jutan) yang meliputi sejumlah dimensi seperti kapa-sitas administratif, teknis, organisasional, finansial,SDM, dan menjangkau berbagai level: system/insti-tusi, organisasi, dan individu5.

Keterlibatan secara aktif local democratic struc-ture dan civil society dalam pengambilan keputusanakan menghasilkan pelayanan yang disampaikankepada masyarakat menjadi lebih responsive terha-dap kebutuhan kesehatan di daerah dan mengurangirisiko penyalahgunaan kewenangan oleh sekelom-pok elit5. Berdasarkan konsep tersebut, akuntabilitasdapat diukur dengan melihat secara langsung apa-kah keputusan yang dibuat oleh pejabat publik dapatdipertangungjawabkan kepada kepala daerah. De-ngan demikian akuntabilitas dapat dilihat dari besar-nya inisiatif yang diberikan kepala daerah terhadapkeputusan yang diambil dan dapat dilihat dari apakahkepala daerah merasa aspirasinya dipertimbangkandalam berbagai keputusan yang dibuat. Hal ini dapatdilakukan dengan melihat interaksi para pengampukebijakan kepada kepala daerah dalam proses peng-ambilan keputusan termasuk konsultasi yang dila-kukan. Hubungan antara ketiga dimensi desentrali-sasi dan pengaruhnya terhadap proses kinerja kebi-jakan dapat dilihat pada gambar berikut ini yangdibuat oleh Bossert6.

Heywood dan Choi7 melakukan studi di sepuluhkabupaten/Kota di Jawa Timur dan Jawa Barat padatahun 2002/2003 dan tahun 2007 menemukan bahwasecara umum hanya terjadi sedikit peningkatankinerja sistem kesehatan pasca desentralisasi tahun2001. Pada penelitian tersebut ditemukan tidak ada-nya hubungan antara pembiayaan kesehatan denganoutput dari sistem kesehatan yang ada di kabupa-ten/Kota walaupun terjadi peningkatan signifikanpada pembiayaan kesehatan. Rendahnya kinerjapembangunan kesehatan daerah pada era desen-tralisasi juga terlihat dari fakta sembilan kabupatendi Jawa Barat masuk sebagai daerah merah ataurawan gizi buruk (Bogor, Karawang, Bekasi, BandungBarat, Cirebon, Garut, Cianjur, Sukabumi, danSubang). Kasus Gizi Buruk di Jawa Barat ini menjadisalah satu indikator rendahnya kinerja pemerintahdaerah pada era desentralisasi. Prasodjo8, mengata-kan bahwa kasus gizi buruk memiliki relevansi yangkuat dengan pelaksanaan otonomi daerah. Terdapatinkonsistensi kebijakan antara pemerintah pusatdengan pemerintah daerah. Program nasional tidakdapat diimplementasikan secara baik di daerah, ka-rena adanya keterpurukan alur program dan rencanastrategis mulai dari tingkat nasional, propinsi sampaitingkat kabupaten/Kota.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kondisidecision space, kapasitas institusi dan akuntabilitaspemerintah daerah terhadap proses pengambilan ke-putusan kebijakan kesehatan pada era desentrali-sasi dalam penyusunan kebijakan peningkatan giziBalitadi Propinsi Jawa Barat.

Fig. 1. Stylized conceptual framework of synergies between decentralization and service delivery. Source:authors.

Page 4: DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN · PDF fileKinerja sistem kesehatan dalam era desentralisasi dipengaruhi ... pelayanan publik sesuai kebutuhan dan permasalah-an pada tingkat

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 03, No. 3 September 2014 149

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

BAHAN DAN CARA PENELITIANPenelitian ini merupakan penelitian kualitatif

dengan rancangan studi kasus dengan mengguna-kan paradigma relativism. Penelitian ini bertujuanuntuk memahami secara mendalam tentang kapa-sitas Institusional, akuntabilitas, mengkaji kisarandecision space pada beberapa fungsi di sistem kese-hatan di empat kabupaten/Kota di Jawa Barat danmengetahui pengaruh kapasitas institusional, akun-tabilitas dan decision space padasistem kesehatandi empatKabupaten Kota tersebut. Pemahaman se-cara mendalam mengenai proses pengambilan kepu-tusan kebijakan kesehatan pada era desentralissidilakukan dengan menggunakan proses pengumpul-an data yang dilakukan dengan wawancara menda-lam (indepth interview)

Decision space dalam penelitian ini dibedakanmenjadi: 1) de jure decision space yaitu seberapabesar pilihan terhadap berbagai fungsi sistem kese-hatan dan sumber pembiayaan bagi pemerintah dae-rah yang tersedia atau boleh dipergunakan disedia-kan oleh pemerintahan yang lebih tinggi dan2) kewe-nangan yang secara aktual digunakan dalam prak-teknya (de factodecision space).

Kapasitas institusional meliputi kapasistas sis-tem kesehatan, kapasitas organisasi dan kapasitasindividu. Variabel dalam kapasitas sistem kesehatanmeliputi pembiayaan kesehatan, Sumber Daya Ma-nusia kesehatan, pelayanan kesehatan yang terse-dia, perencanaan strategis dan operasional, sisteminformasi dan pelayanan kesehatan. Variabel dalamkapasitas individu antara lain: pendidikan, latar bela-kang profesi, kapasitas teknis, kapasitas manajemendan kepemimpinan serta kapasitas dalam mengelolakebijakan. Variabel dalam kapasitas /organisasi meli-puti: Anggaran, tata kelola, SDM, sistem informasi,perencanaan strategis dan perencanaan operasional.

Akuntabilitas dalam penelitian ini diukur deganmelihat apakah keputusan yang dibuat oleh pejabatpublik dapat dipertangungjawabkan kepada kepaladaerah. Dengan demikian akuntabilitas dapat dilihatdari:1)besarnya inisiatif yang diberikan kepala daerahterhadap keputusan yang diambil dan 2) dapat dilihatdari apakah kepala daerah merasa aspirasinya diper-timbangkan dalam berbagai keputusan yang dibuat.Hal ini dapat dilakukan dengan melihat interaksi parapengampu kebijakan kepada kepala daerah dalamproses pengambilan keputusan termasuk konsultasiyang dilakukan.

Sumber informasi dalam penelitian ini adalahpara pelaku kebijakan di tingkat kabupaten/Kotayaitu: 1) Sektor Kesehatan:Sumber informasi dariDinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah Kepala

Dinas dan Kepala Bidang terkait.Sumber informasidari Puskesmasadalah kepala puskesmas, dan 2)Bupati/Wali Kota dan atau Sekretaris Daerah, Asis-ten Bidang PembangunanSosial, Bappeda/Bappeko.

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wa-wancara mendalam (indepth interview). Wawancaramendalam dilakukan oleh peneliti sendiri denganmenggunakan pedoman wawancara. Focus GroupDiscusion (FGD) dilakukan dengan melibatkan dinaskesehatan dan sekretaris daerah propinsi jawa baratatau asisten bidang pembangunan selain sumberinformasi dari kabupaten Kotauntuk melakukanklarifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASANPada 1000 hari pertama kehidupan manusia.

Kehidupan pada 1000 hari pertama dimulai sejakterjadinya konsepsi, janin, lahir, sampai usia duatahun, akan berpengaruh terhadap masa depanmanusia itu sendiri. Jika dalam masa 1000 hari per-tama terjadi kegagalan, maka hilanglah masa depananak. Selain itu, dampak dari status pendek padausia dini, berhubungan erat dengan timbulnya resikomengidap penyakit jantung koroner. Resiko terjadi-nya penyakit Jantung Koroner juga bisa dialami olehBayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR).

Potensi Kota Depok dalam Upaya Penanggu-langan Gizi Buruk.

Kota Depok saat ini sedang menggeliat tumbuh.Hampir disemua lini kehidupan. Jumlah pendudukpun saat ini sudah diatas 1,8 juta jiwa, dengan lajupertumbuhan pertahun sebesar 4,3% (hasil SensusPenduduk 2010). Ini merupakan peringkat keduatertinggi di Jawa Barat setelah Kabupaten Bekasi4,9%.IPM Kota Depok pada tahun 2010 sebesar78,90 dengan angka harapan hidup sebesar 73,13.Bila dibandingkan dengan kabupaten dan Kota laindi Provinsi Jawa Barat, IPM Kota Depok masihmenempati peringkat pertama di Provinsi Jawa Barat.

Prevalensi masalah gizi balita di Kota Depokdilihat dari skala nasional sebenarnya masih relatifrendah. Potret tahun 2010-2012 menunjukkanpeningkatan relatif. Tetapi jika dilihat sejak tahun2007, telah terjadi penurunan, termasuk prevalensibalita pendek,dari 12,64% (2007) menjadi 7,22%(2012). Angka ini masih jauh lebih rendah daripadaangka Nasional tahun 2010 sebesar 17,9%.

Kemiskinan di Kota Depok termasuk rendah.Bahkan di Jawa Barat, angka kemiskinan KotaDepok merupakan yang terendah yaitu 2,75%,sedangkan angka kemiskinan tingkat Provinsi JawaBarat sebesar 10,57% (hasil Sensus Penduduk

Page 5: DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN · PDF fileKinerja sistem kesehatan dalam era desentralisasi dipengaruhi ... pelayanan publik sesuai kebutuhan dan permasalah-an pada tingkat

150 Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 03, No. 3 September 2014

Candra Dewi Purnamasari, dkk.: Desentralisasi Dan Pengambilan Keputusan Kebijakan

2010). Hal ini bisa dijadikan sebagai potensi pendu-kung penanggulangan masalah balita pendek di KotaDepok.

Ketergantungan fiskal pemerintah daerah kepa-da pemerintah pusat merupakan salah satu faktoryang menurut Bossert dapat menurunkan decisionspace pemerintah daerah dalam mengambil keputus-an Kebijakan. Kota Depok secara umum memilikianggaran kesehatan yang cukup besar sebesar. Padatahun 2010 anggaran kesehatan yang dikelola KotaDepok berjumlah 67 milyar. Dari total pembiayaankesehatan tersebut jumlah APBD I yang diterimahanya sekitar 2,5 milyar dan jumlah pembiayan un-tuk sektor kesehatan yang bersumber dari APBNadalah 4,6 milyar. Anggaran kesehatan Kota Depokyang dibiayai oleh APBD II cukup besar, sekitar 57milyar. Dengan porsi APBD II yang cukup besartersebut dapat terlihat bahwa Kota Depok cukupMandiri dalam membiayai anggaran kesehatannya.Hal ini akan berdampak positive kepada Decisionspace yang dimiliki dalam pengambilan keputusankebijakan kesehatan Kota Depok.

Strategi penanganan masalah balita pendekyang dilakukan di Kota Depok meliputi: 1) Penem-patan kelompok remaja puteri sebagai sasaranprioritas selain ibu hamil, 2) Meningkatkan intensitaspenyuluhan gizi seimbang kepada kelompok Pendi-dik, 3) Meningkatkan program sanitasi & kesehatanlingkungan untuk menekan potensi penyakit infeksi,4) Meningkatkan penyuluhan ASI eksklusif kepadaseluruh komponen kelembagaan masyarakat, dan5) Meningkatkan peran kelompok profesi bidangkesehatan sampai di tingkat Kelurahan.

Pada tahun 2011, Kota Depok mendapatkanMDG’s Award dalam bidang peningkatan status gizi.Penghargaan ini diberikan kepada Kota Depok atasupayanya dalam menanggulangi permasalahan giziBuruk. Pada tahun 2008, ditemukan kasus gizi burukpada Balita di Kota Depok. Angka tersebut berhasilditurunkan pada tahun 2011 menjadi 23 kasus giziburuk. Kota Depok memiliki empat Puskesmasyang memiliki Teurapeutic Feeding Centre yaituPuskesmas Cimanggis, Puskesmas Pancoran Mas,Puskesmas Depok Jaya dan Puskesmas Sukma-jaya. Penanganan masalah gizi buruk yang berattelah tersedia fasilitas khusus Rawat Inap Teurapeu-tic Feeding Centre di Puskesmas Sukmajaya. Pe-ngembangan Teurapeutic Feeding Centre ini dilaku-kan dengan menggandeng Departemen Gizi FakultasKesehatan Masyarakat Universitas Indonesia .

Kebijakan yang baru diluncurkan untuk penang-gulangan masalah gizi balita diKota Depok padatahun 2014 adalah Gerakan Nasional Sadar Gizi,

dengan tema “1000 Hari Pertama Kehidupan MenujuIndonesia Prima“.Anak yang kurang gizi akan tumbuhlebih pendek, dan pada saatnya nanti ia akan mela-hirkan bayi yang kecil atau dikenal dengan istilahBerat Badan Lahir Rendah (BBLR). Anak-anak yanglahir pendek akan mengalami kelambatan pertum-buhan otak maupun perkembangan kognitif, yangberdampak terhadap keberhasilan pendidikan formaldi sekolah, dan tentunya mengakibatkan rendahnyakualitas hidup. Masalah gizi pada anak balita, terma-suk balita pendek, bisa karena faktor Genetik, faktorlingkungan, faktor perilaku, maupun faktor pelayanankesehatan. Kebijakan Gerakan Nasional Sadar Gizimeliputi: 1) Penggalangan dukungan antar instansimaupun legislatif, Pusat maupun Daerah, 2) Kampa-nye Nasional melalui media efektif terpilih, 3) Peman-faatan kelompok-kelompok potensial, 4) Penggerak-an Gizi Seimbang melalui sekolah, dan 5) Mening-katkan peran pelayanan kesehatan, posyandu, dantenaga kesehatan.

Program 1000 hari pertama kehidupan harusdilaksanakan dengan berlandaskan oleh prinsip-prinsip: 1) Melibatkan lintas-sektor seperti : Perguru-an Tinggi, kelompok profesi, dunia usaha, LSM,Media, kementerian terkait, dan mitra pembangunaninternasional, 2) Terpadu dan Berkesinambungan,3) Efisien dan Kerjasama, dan 4) Berdampak Luas.

Salah satu visi yang menjadi prioritas dalam pe-rencanaan strategis Kota Depok adalah menjadikanKota Depok sebagai Kota layak anakyang merupakansebuah kebijakan lintas sektor. Melalui kebijakanini Kota Depok berupaya menciptakan lingkunganyang ramah dan mendukung pertumbuhan anak. Pro-gram-program yang ada dalam kebijakan strategisini ada pada berbagai sektor pembangunan derahterutama sektor pendidikan dan kesehatan. Kebijak-an peningkatan status gizi balita merupakan salahsatu kebijakan yang terkait dengan upaya untukmencapai visi Kota depok sebagai Kota layak anakyang merupakan komitment kepala daerah untukmewujudkannya. Oleh karena itu komitment politikdan komitment anggaran kepala daerah terhadapprogram peningkatan status gizi balita sebagai ba-gian dari upaya pencapaian visi Kota Depok sebagaiKota layak anak sangat tinggi. Secara sosiologisupaya peningkatan status gizi balita sangat dekatdengan latar belakang pendidikan kepala daerahsebagai seorang lulusan teknologi pangan. Kedekat-an ini bisa dilihat dari berbagai kebijakan pendukunglainnya seperti kebijakan one day no rice, Kebijakanpengadaan jajanan sehat bagi anak sekolah, dankebijakan pembudidayaan tanaman pangan. Seba-gai dukungan kepala daerah terhadap penanggu-

Page 6: DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN · PDF fileKinerja sistem kesehatan dalam era desentralisasi dipengaruhi ... pelayanan publik sesuai kebutuhan dan permasalah-an pada tingkat

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 03, No. 3 September 2014 151

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

langan masalah gizi buruk pada balita, kepala daerahmengajak keterlibatan lintas sektor terhadap kebi-jakan ini mulai dari sektor pendidikan, perlindunganperempuan anak dan keluarga, sektor kesehatan,pertanian, perdagangan dan sektor lainnya yangterkait.

Anggaran yang diberikan untuk program pening-katan status gizi balita dan penanggulangan giziburuk cukup besar karena program ini bernilai politis.Sebagaimana yang diketahui, WaliKota Depok padasaat ini adalah seorang incumbent yang berhasil me-menangkan pemilihan kepala daerah untuk keduakalinya. Visi Kota Depok sebagai Kota layak anakmerupakan kebijakan strategis yang menjadi komit-men kepala derah sejak kepemimpinannya padaperiode sebelumnya. Keterlibatan kepala daerah da-lam mengawasi dan mengarahkan kebijakan yangmendukung visi Kota layak anak ini mendapat perha-tian khusus dari kepala daerah dengan memberikaninstruksi dan melakukan koordinasi dalam berbagaikesempatan dengan melibatkan lintas sektor untukmeningkatkan status gizi Balita di Kota Depok.

Komitmen politis kepala daerah terhadap upayapenanggulangan gizi buruk dan peningkatan statusgizi balita adalah dengan dikeluarkannya bantuansosial kepada kader Posyandu untuk mendukungupaya pemantauan status gizi balita. Upaya penang-gulangan gizi buruk bukan merupakan salah satukebijakan strategis yang secara eksplisit ada dalamrenstra Kota Depok. Kebijakan ini menjadi bagiandari Kebijakan pengembangan Depok sebagai Kotalayak anak. Sementara itu pada Tingkat Dinas Kese-hatan program ini menjadi salah satu kebijakan stra-tegis Dinas Kesehatan. Masalah penanggulangangizi buruk bersifat politis karena dianggap sebagaisalah satu indikator keberhasilan kepala daerah se-bagai incumbent untuk mewujudkan janji politiknya.Pada tahun 2010 WaliKota Depok mendapatkanpenghargaan dari kementrian kesehatan atas du-kungannya terhadap penanggulangan gizi buruk.

Potensi Kota Bogor dalam PenanggulanganGizi Buruk

Kota Bogor adalah sebuah Kota yang sedangberkembang dan merupakan Kota penyangga bagiibu Kota DKI Jakarta. Posisinya yang strategis ter-sebut dan cuaca yang teduh menjadikan Kota inibanyak dipilih oleh para pendatang untuk dijadikansebagai tempat tinggal dan bekerja di IbuKota. Olehkarena itu Kota Bogor memiliki karakteristikdemografi yang sangat plural dan sangat padat padadaerah perKotaan, secara geografis Kota Bogor juga

memiliki daerah rural yang minim dari fasilitas publik,fasilitas kesehatan dan infrastruktur yang dibutuh-kan. Angka kemiskinan di Kota Bogor tidak terlalutinggi namun pertumbuhan ekonomi Kota tersebutjuga rendah.

Anggaran kesehatan di Kota Bogor masih cukuprendah, belum mencapai 5% dari total APBD KotaBogor. Sementara itu persentase APBN yang dialo-kasikan ke Kota Bogor cukup Besar dari total Ang-garan kesehatan. Tingginya porsentase APBN yangdalam pembiayaan kesehatan di Kota Bogor menun-jukkan tingginya ketergantungan fiskal Kota Bogordalam pembangunan kesehatan. Walaupun demi-kian, Kota Bogor belum memiliki Puskesmas yangmemiliki pelayanan Teurapeutic Feeding Centre(TFC).Saat ini untuk penanganan masalah gizi burukpada balita dilakukan dengan pemberian makanantambahan pemulihan dan program-program lainnyasesuai dengan SPM yang harus dipenuhi.

Posyandu di Kota Bogor memiliki cakupan D/S rendah, kurang dari 75% hanya sekitar 60% saja,hal ini menunjukkan rendahnya tingkat partisipasimasyarakat ke Posyandu.Cakupan N/D yang meru-pakan indikator keberhasilan pencapaian programyang dilihat dari banyaknya balita yang naik beratbadannya.Berdasarkan data, dari 24 Puskesmashanya 1 Puskesmas yang mencapai target yaitu se-besar 96%. Di Kota Bogor terdapat 24 Puskesmas,namun tidak satupun dari puskesmas tersebut yangmemiliki pelayanan Teurapeutic Feeding Centre(TFC). Prevalensi gizi buruk di Kota Bogor padatahun 2012 sebesar 0,6%dan prevalensi balita pen-dek 0,7%.Saat ini seringkali terjadi kesalahan danketerlambatan data posyandu karena jumlah kaderyang kurang memadai. Pada tahun 2012 di KotaBogor ditemukan 555 balita gizi buruk, 314 balitagizi kurang dan 166 balita gizi buruk dengan berbagaipenyakit penyerta.

Kebijakan penanggulangan gizi buruk di KotaBogor dilakukan dengan strategi peningkatan peranserta masyarakat dalam pembiayaan kesehatan,kegiatan yang dilakukan meliputi: 1) Peningkatanperan serta masyarkat dan lintas sektor, 2) Pengem-bangan UKBM dan peningkatan kesadaran masya-rakat ber-PHBS dan Kadarzi), 3) Peningkatan fisik,jaringan dan kinerja Puskesmas, 4) PeningkatanKewaspadan dini dalam KIA, 5) Penatalaksanaankasus secar cepat dan tepat, 6) Pengembangan jeja-ring surveilans epidemiologi dan pengendalian faktorrisiko, 7) Gerakan Keluarga sadar Gizi, 8) PromosiAsi Ekslusif, dan 9) Penerapan SPM bidangKesehatan.

Page 7: DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN · PDF fileKinerja sistem kesehatan dalam era desentralisasi dipengaruhi ... pelayanan publik sesuai kebutuhan dan permasalah-an pada tingkat

152 Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 03, No. 3 September 2014

Candra Dewi Purnamasari, dkk.: Desentralisasi Dan Pengambilan Keputusan Kebijakan

Decision Space dan Pengambilan Keputusan diEra Desentralisasi

Tujuan utama diselenggarakannya desentrali-sasi sebagaimana yang dikemukakan olehMawhood1, Smith2 adalah sebagai upaya mewujud-kan keseimbangan politik, akuntabilitas pemerintahlokal dan Kemampuan pemerintah daerah meresponkebutuhan dan tuntutan masyarakat. Desentralisasiadalah proses pelimpahan wewenang dari pemerintahPusat kepada pemerintah daerah dalam melaksana-kan berbagai urusan yang menjadi tanggung jawabpemerintah pusat termasuk didalamnya adalahkewenangan pada sektor kesehatan.

Ketergantungan fiskal pemerintah daerah kepa-da pemerintah pusat menyebabkan kewenanganyang telah dilimpahkan tersebut tidak sepenuhnyadapat dirasakan oleh pemerintah daerah. Tarik me-narik kewenangan masih terjadi pada era desentrali-sasi ini sehingga pemerintah daerah tidak dapatsecara leluasa untuk membuat kebijakan secaraindependent sesuai dengan aspirasi dan kebutuhanlokal. Hal ini masih ditemukan pada berbagai kabu-paten Kota di Indonesia. Pada saat perencanaan,anggaran yang diberikan oleh pemerintah pusat baikdalam bentuk dana dekonsentrasi, tugas perban-tuan, DAK dan DAU, pemerintah pusat menentukanpilihan menukebijakan dan program kepada pe-merintah daerah termasuk volume dan unit cost darisetiap kegiatan.

Kota Depok pernah mendapatkan dana dekon-sentrasi untuk program PMT ASI untuk mengatasiGizi buruk pada balita. Namun program ini ternyatatidak tepat sasaran dan tidak berhasil menurunkankasus gizi buruk. Program tersebut tidak dilanjutkanpada tahun berikutnya, dan pemerintah daerah ke-mudian menggantinya dengan Teurapeitic FeedingCentre atau Panti Rehabilitasi Gizi dengan menggan-deng FKM UI sebagai konsultan ahli. Setelahperubahan tersebut, kasus gizi buruk di Kota Depokdapat diturunkan.Teurapeitic Feeding Centre (TFC)dilaksanakan dengan menggunakan anggaran peme-rintah daerah. Kemampuan fiskal Kota Depok yangcukup baik membuat Kota tersebut dapat melakukanprogram sesuai dengan kebutuhan Lokal.TeurapeiticFeeding Centre (TFC) dilaksanakan di setiap Pus-kesmas di Kota Depok, namun hanya ada 4 Puskes-mas dengan pelayanan TFC Rawat Inap yaitu di Pus-kesmas Sukmajaya, Puskesmas Pancoran Mas,Puskesmas Depok Jaya dan PuskesmasCimanggis.

Berbeda dengan Kota Depok, Kota Bogor tetapmelaksanakan Pemberian Makanan Tambahan(PMT-ASI) walaupun program tersebut tidak berhasil

menurunkan kasus gizi buruk Kota Bogor. Penelitianini menemukan bahwa Program PMT-ASI tidak efektifkarena tidak tepat sasaran, dan pada akhirnyamenyebabkan inefisiensi. Namun demikian programtersebut terus berlanjut pada tahun berikutnya.Kebijakan maupun program yang dilaksanakan olehKota Bogor, sebagian besar adalah program yangditujukan untuk mencapai SPM program Gizi danprogram nasional yang harus dilaksanakan olehpemerintah daerah dalam pencapaian MDG’s. Padaporsi APBD yang rendah, pemerintah daerah tidakmemiliki decision space yang cukup luas untukmembuat keputusan kebijakan.

Sementara itu Decision Spaceyang dimiliki olehKota Depok dalam membuat keputusan kebijakanprogram gizi sudah cukup luas. Kewenangan yangdimiliki oleh Dinas Kesehatan dengan anggaran yangdimilaikinya sudah cukup memadai. Dinas Kesehat-an Kota Depok telah memanfaatkan de jure Deci-sion Space sesuai kewenangan yang dimiliki secaramaksimal dengan alokasi anggaran yang cukupmemadai. De Facto Decision Space yang dimilikioleh Kota Depok oleh karenanya dapat dikatakanhampir sema besar dengan de jure Decision Space.Pemerintah daerah dapat memiliki keberanian untukmenolak kebijakan yang tidak efektif dan menggantidengan kebijakan yang lebih baik dengan bersumberpembiayaan sendiri.

Kota Bogor mengakui bahwa dengan adanyadesentralisasi, de jure decision space yang dimilikipemerintah daerah dalam membuat keputusankebijakan kesehatan sudah cukup memadai. Namundengan dukungan anggaran yang lemah daripemerintah daerah menyebabkan defacto decisionspace yang dimiliki oleh pemerintah daerah rebihrendah dibanding de jure decision space.

Decision space yang masih dirasakan kurangoleh pemerintah daerah adalah decision space dalamkebijakan pengelolaan anggaran dan kebijakan sum-berdaya pengelolaan sumberdaya manusia di dae-rah. Kota Bogor dan Kota Depok tidak memilikicukup kewenangan dalam mengangkat, mempromo-sikan maupum memberhentikan pegawai yang adakarena kewenangan tersebut masih dilaksanakanlangsung oleh BAKN dan pengaturannya dilakukanoleh BKD (Badan Kepegawaian Daerah). Untukmengangkat mempromosikan dan memberhentikanSDM tidak dapat dilakukan oleh Dinas Kesehatan,Puskesmas maupun rumah sakit, hal tersebut dila-kukan oleh Pemerintah Pusat. Akibatnya kebutuhanSDM yang sesuai dengan kebutuhan pemerintahdaerah tidak terpenuhi. Sebaliknya pada saat pe-nerimaan PNS, pemerintah daerah hanya diperbo-

Page 8: DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN · PDF fileKinerja sistem kesehatan dalam era desentralisasi dipengaruhi ... pelayanan publik sesuai kebutuhan dan permasalah-an pada tingkat

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 03, No. 3 September 2014 153

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

lehkan mengangkat tenaga-tenaga tertentu yangtidak sesuai dengan kebutuhan.

Kewenangan dalam mengelola anggaran adalahsalah satu kewenangan yang diharapkan oleh peme-rintah daerah agar diperluas, terutama terkait dengananggaran yang berasal dari APBN. Ketentuan dalampengelolaan anggaran yang ada pada saat ini masihdianggap kurang memberikan ruang gerak yangmemadai bagi pemerintah daerah. Misalnya daerahmenginginkan agar anggaran yang disediakan dapatdialokasikan dari satu program prioritas nasionalkepada program lainnya yang spesifik sesuai dengankondisi daerah. Kewenangan yang lebih besar dalammengelola anggaran ini paling diinginkan oleh Pus-kesmas. Saat ini Puskesmas dibebani untuk me-ningkatkan PAD sehingga puskesmas harus bekerjakeras meningkatkan kunjungan pasien. Padahal,pada sisi lainnya puskesmas misalnya membu-tuhkan dana untuk meningkatkan belanja pegawaiatau investasi, membeli obat-obatan dan alkes tidakdapat secara leluasa dilakukan. Kewenangan dalamalokasi dana BOK, ketidakjelasan prosedur mem-buat Puskesmas enggan mengalokasikan dana ter-sebut karena khawatir akan terkena sanksi pidanan.

Akuntabilitas dan Partisipasi PengambilanKeputusan Kebijakan.

Akuntabilitas dapat dilihat dari besarnya inisia-tif yang diberikan kepala daerah terhadap keputusanyang diambil, dan dapat dilihat dari apakah kepaladaerah merasa aspirasinya dipertimbangkan dalamberbagai keputusan yang dibuat.Partisipasi masyara-kat, dan aktor lainnya diluar sektor kesehatan sepertiakademisi, media massa, tokoh masyarakat, swastaakan membuat keputusan kebijakan yang dibuatmenjadi lebih responsive.

Partisipasi publik di Kota Depok dapat dilihatdari jumlah kader dan keaktifan kader posyandudalam penimbangan balita, penjaringan gizi burukdan penyuluhan kepada masyarakat yang cukuptinggi. Kepala daerah memberikan berbagai insentifuntuk meningkatkan partisipasi kader diantaranyaadalah bantuan sosial kader posyandu, dana pe-ngembangan Forum Desa Sehat, Dana StimulanDesa Siaga, dan Dana Pengembangan PKK. Kadertidak saja mendapatkan imbalan secara finansial,namun diberi kesempatan untuk berkembang,bersosialisasi dan berorganisasi. Peran Ketua TeamPenggerak PKK dalam meningkatkan keaktifankader Posyandu juga tinggi dan menjadi salah satufaktor pemicu motivasi kader.

Tokoh masyarakat juga dilibatkan dalam upayapeningkatan gizi balita. Salah satunya adalah dengan

forum desa sehat yang dilaksanakan di Puskesmas.Sebaliknya Kepala Puskesmas juga aktif mendorongpartisipasi tokoh setempat sehingga koordinasi da-lam pemantauan gizi buruk semakin baik. Masyara-kat dapat melaporkan kasus gizi buruk yang terjadikepada kader Posyandu dan kemudian baru dilapor-kan kepada petugas gizi Puskesmas untuk kemudiandilakukan penanganan. Metode lainnya adalah de-ngan memantau melalui penimbangan di Posyanduyang setelah itu dilakukan pencatatan dan pelaporanoleh kader. Partisipasi masyarakat untuk datang kePosyandu dapat dilihat dari persentase d/s posyandudi Kota depok yang sudah mencapai d/s diatas 75%.

Bantuan dalam bentuk Coorporate Social Re-sponsibility dari beberapa perusahaan obat diberikanoleh langsung ke beberapa Posyandu bentuknyabisa berupa makanan tambahan dan bantuan tunaiuntuk pengembangan Posyandu. Sementara itu po-sisi Depok yang dekat dengan beberapa Universi-tas swasta dan negeri dimanfaatkan dalam bentukkerjasama menjadikan Kota Depok sebagai Labora-torium Gizi Universitas Indonesia. Salah satu hasil-nya yang paling bermanfaat adalah pengembanganTFC. Universitas membantu membuat studi kela-yakan, perencanaan program dan kegiatan, sertamemberikan konsultasi kepada Posyandu, DinasKesehatan dan kader dalam pengembangan TFC.

Partisipasi Kader posyandu di Kota Bogor ren-dah, beberapa masalah yang seringkali munculdisebabkan oleh kurangnya partisipasi kader. Ma-salah tersebut misalnya terjadi karena meja 3 danmeja 2 di posyandu dipegang oleh satu kader. Pen-catatan dan penimbangan oleh satu kader. Akibatnyaseringkali terjadi salah pencatatan hasil penimbang-an oleh kader. Partisipasi tokoh masyarakat dilaku-kan dalam berbagai pertemuan musrenbang di tingkatKota dan tingkat kecamatan. Kader tidak mendapatinsentif dari pemerintah daerah, sehingga motivasikader tersebut rendah. Walaupun demikian PeranPembina PKK cukup tinggi di Kota Bogor salahsatunya dengan menyelenggarakan perlombaanantar posyandu.

Kepala daerah memiliki komitmen yang cukuptinggi terhadap program penanggulangan gizi balitadi Kota Depok dan Kota Bogor. Namun demikianwaliKota depok memiliki strategi yang lebih kom-prehensif dengan melibatkan koordinasi lintas sektorterutama dalam rangka meningkatkan ketahanan pa-ngan. Penanggulangan gizi buruk terintegrasi dalamkebijakan Kota Layak anak yang merupakan kebijak-an strategis Kota Depok. Keberhasilan kepala dae-rah dalam memimpin wilayahnya dapat diukur darisejauhmana kebijakan strategis dalam renstra

Page 9: DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN · PDF fileKinerja sistem kesehatan dalam era desentralisasi dipengaruhi ... pelayanan publik sesuai kebutuhan dan permasalah-an pada tingkat

154 Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 03, No. 3 September 2014

Candra Dewi Purnamasari, dkk.: Desentralisasi Dan Pengambilan Keputusan Kebijakan

daerah, yang sebagian besar adalah janji politiknyapada saat pencalonan dapat terpenuhi. Sebagai-mana yang diketaui bahwa kepala daerah di KotaDepok adalah seorang incumbent yang baru sajaterpilih untuk kedua kalinya. Oleh karena itu inter-est waliKota untuk menanggulangi gizi buruk di KotaDepok cukup tinggi. Setiap bulan ada laporan koordi-nasi yang melibatkan Kepala Dinas dan kepala Bi-dang pada Dinas kesehatan dan dinas lainnya. Se-tiap perkembangan program yang sedang dilaksana-kan dilaporkan kepada kepala daerah dan setiappermasalahan yang ditemui akan dibicarakan ber-sama-sama.

Kota Bogor mengadakan evaluasi kinerja pro-gram setiap bulan untuk melihat sejauhmana tujuanprogram tercapai dengan membuat pertemuan setiapbulan dengan Puskesmas dan mengundang kader.Hasil evaluasi menjadi pedoman dalam penyusunanrencana program selanjutnya, baik bulanan maupuntahunan. Selain itu program juga mengikuti apa yangmenjadi program prioritas dari propinsi dan peme-rintah pusat yang setiap penyelenggaraannya adabimbingan teknis yang dilakukan oleh propinsi danpemerintah pusat.

Kapasitas InstitusiDecision space yang memadai dan akuntabilitas

yang tinggi harus dikelola oleh sebuah institusi yangmemiliki kapasitas yang cukup baik. Oleh karenaitu Bossert5 menyatakan bahwa Kapasitas Institusi,Decision Space dan Akuntabilitas memiliki keter-kaitan yang sangat erat dalam meningkatkan kualitaspelayanan publik di daerah, termasuk dalam pening-katan kinerja pelayanan kesehatan. Pada era desen-tralisasi, setiap daerah berkembang sesuai denganpotensi daerahnya masing-masing, termasuk kapa-sitas fiskal, pertumbuhan ekonomi dan kualitas ma-najemen pelayanan dan tata kelola pemerintahanyang baik. Komitment kepemimpinan menjadi pen-ting untuk meramu seluruh faktor yang ada sehinggamenghasilkan kinerja pelayanan publik yang lebihbaik.

Kapasitas Institusi dapat dilihat dari lima aspekyaitu perencanaan strategis, sumberdaya manusia,anggaran, manajemen pelayanan dan tata kelolasistem administrasi.Desentralisasi memberikan ke-wenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerahuntuk mengatur daerahnya sendiri sesuai denganaspirasi masyarakat dan permasalahan yang diha-dapi. Pelimpahan wewenang pemerintah pusat ke-pada pemerintah daerah diharapkan membuatpelayanan publik menjadi lebih baik dalam arti lebihrenponsif, efektif dan efisien. Untuk melaksanakankewenangan yang lebih luas tersebut kapasitas

institusi pemerintah daerah seharusnya menjadi lebihbaik agar dapat mengelola kebijakan dengan benar.

Perencanaan StrategisKota depok baru berdiri pada tahun 2001, oleh

karena itu Kota ini masih melakukan pembenahandan pembangunan infrastruktur. Pada saat ini KotaDepok belum memiliki infrastuktur gedung untukbeberapa dinas termasuk Dinas Kesehatan. Olehkarena itu porsi pembiayaan untuk pembangunaninfrastruktur di Kota Depok masih tinggi. Perhatianpemerintah daerah terhadap pengembangan kapa-sitas institusi masih harus ditingkatkan lagi. Dianta-ranya dalam hal perencanaan strategis sektor Kese-hatan. Sampai saat ini Dinas Kesehatan Kota Depokbelum memiliki Dokumen Rencana Strategis Pemba-ngunan Kota Depok yang sesuai dengan kaidah-kaidah penyusunannya. Dokumen yang ada tidakdilengkapi oleh analisis situasi permasalahankesehatan dan tidak ada analisis penentuan programdan kebijakan strategis. Proses perencanaan strate-gis di lakukan di tingkat dinas kesehatan denganmelibatkan seluruh bidang yang ada, kemudiandilakukan formulasi kebijakan strategis berdasarkanpenilaian dari masing-masing pengelola kebijakan.Berbeda dengan Kota Depok, Kota Bogor sudahmemiliki dokumen perencanaan strategis yang sudahdilengkapi dengan analisis situasi dan penetapanprogram serta kebijakan prioritas. Proses penyusun-an perencanan trategis dimulai dengan melakukanmini lokakarya dengan puskesmas untuk menjaringaspirasi dan mengidentifikasi permasalahan yangakan dan sedang dihadapi.

Sumberdaya ManusiaKota Depok memiliki sumberdaya manusia un-

tuk pengelola program gizi yang cukup memadaidengan tingkata pendidikan minaml D3 Gizi. Padasetiap Puskesmas sudah memiliki satu orang staffyang memiliki latar belakang pendidikan Gizi. Denganpembinaan dari Universitas Indonesia, terutamadalam pengembangan Teurapeutic Feeding Centre(TFC) penanggulangan gizi buruk, sumberdaya yangada tersebut dapat mengelola kegiatan dengan baik.Sementara itu di Kota Bogor setiap puskesmas jugatelah memiliki satu orang staf pelaksana programgizi dengan latar belakang pendidikan DI Gizi danbeberapa sudah memiliki latar belakang pendidikanyang lebih baik, yaitu D3 Gizi.

AnggaranKota Depok memiliki kapasitas fiskal yang lebih

besar dibanding Kota Bogor. Anggaran yang dialoka-sikan untuk sektor kesehatan oleh Kota Depok pada

Page 10: DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN · PDF fileKinerja sistem kesehatan dalam era desentralisasi dipengaruhi ... pelayanan publik sesuai kebutuhan dan permasalah-an pada tingkat

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 03, No. 3 September 2014 155

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

tahun 2010 adalah sebesar 67 milyar, dimana 57milyar dari total anggaran tersebut bersumber APBD.Pengelolaan anggaran Kota depok cukup baik danakunabilitas yang cukup baik pada tahu 2011 dantahun 2012, Kota Depok mendapatkan penilaiandari BPKD dengan kriteria ”Wajar tanpa Pengecuali-an. Berbeda dengan Kota Depok, Kota Bogor me-miliki anggaran kesehatan yang lebih rendah danAPBN yang lebih tinggi. Porsi pembiayaan kesehat-an Kota Bogor menunjukkan adanya ketergantunganFiskal. Hal ini juga dapat dilihat dari program yangdilaksanakan adalah program progam-program yangpemerintah pusat dan propinsi dengan sumberpembiayaan dari propinsi dan pemerintah Pusat.

Manajemen Pelayanan KesehatanSalah satu tujuan desentralisasi adalah men-

dekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakatsehingga Akses pelayanan kesehatan yang dibutuh-kan masyarakat lebih terjangkau dan lebih tepatsasaran. Kota depok saat ini memiliki 22 Puskesmasuntuk 11 kecamatan, dengan empat puskesmas de-ngan pelayanan 24 jam dan satu Puskesmas Rawatinap dan dua Puskesmas Poned. Untuk penanggu-langan program Gizi, empat Puskesmas sudah me-miliki pelayanan TFC, yaitu Puskesmas PancoranMas, Puskesmas Depok Jaya, Puskesmas Sukma-jaya dan Puskesmas Cimanggis. Untuk penanganangizi buruk kronis dapat diperoleh di Puskesmas Suk-majaya. Seluruh pelayanan untuk PenanggulanganGizi Buruk tidak dikenakan Biaya, dan pasien sertaorang tuanya mendapatkan makan selama perawtanserta transport bagi orang tua pasien. Kota Bogorbelum memiliki puskesmas yang memiliki pelayananTFC dan hanya memberikan makanan tambahanuntuk pemulihan. Apabila ditemukan gizi burukdengan penyakit penyerta berat maka akan langsungdi rujuk ke Rumah Sakit. Balita dengan gizi buruktanpa komplikasi penanganannya berupa pemerianmakanan untuk tumbuh kejar dan Pemulihan GiziBerbasis Masyarakat (PGBM). Proses penimbangandan pemantauan balita Gizi Buruk di Kota Bogorterhambat oleh keterbatasan partisipasi kader yangrendah dan kekurangan tenaga penyuluh gizi. Se-ringkali terjadi keterlambatan dan kesalahan dalampenulisan laporan perkembangan balita karenapadatnya kunjungan masyarakat namun petugasyang ada hanya satu. Orang. Partisipasi masyarakatke Posyandu di Kota Bogor masih belum mencapaitarget (75%). Pada tahun 2012 Capaian d/s KotaBogor baru 60 % sementara Kota Depok telah men-capai 80%. Puskesmas di Kota Bogor dibebani untukmeningkatkan PAD, dengan membuka pelayanan

24 Jam dan meningkatkan jumlah kunjungan pasien.Oleh karena itu banyak staff yang seharusnyamelakukan pelayanan diluar gedung terpaksa harusmembantu pelayanan medis di Puskesmas. KotaDepok juga memiliki Puskesmas 24 jam dan mem-berikan beban pencapaian target PAD bagi Puskes-mas dan Rumah sakit. Namun jumlah dan KapasitasSDM Kota Depok lebih banyak sehingga pelayananyang diberikan masih bisa ditangani dengan baik.

Sistem Tata Kelola AdmoinistrasiReformasi birokrasi pubik adalah amanat yang

harus segera dilaksanakan oleh seluruh jajaranbirokrasi baik ditingkat pemerintah daerah maupunditingkat pemerintah pusat sebagaimana yang diaturdalam Peraturan Menteri Negara PendayagunaanAparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 20 ten-tang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.Indikator dari dilaksanakannya Reformasi Birokrasiadalah adanya tata kelola Administrasi birokrasi yangtransparant, akuntablitas yang tinggi dan efisienserta efektif. Setelah Desentralisasi diakui telahterjadi perbaikan pelayanan publik termasuk padasektor kesehatan. Pemerintah daerah jug menjadisemakin responsif dengan memberikan JaminanKesehatan Daerah Kepada masyarakat yang kurangmampu. Kota Depok dan Kota Bogor membangunpelayanan 24 jam, meningkatkan kapasitas Poneddan Ponek serta meningkatkan sistem pelaporandan pencatatan serta alur pelayanan untuk membuatpelayanan semakin efektif dan efisien. Transparansipelayanan publik juga sudah semakin meningkatdilihat dari adanya mekanisme Musrenbang, adanyakoordinasi lintas sektor dan dibukanya sebagian in-formasi kepada publik melalui Situs Dinas Kesehat-an. Untuk meningkatkan transparansi, pemerintahdaerah juga menginformasikan prosedur pelayananpuskesmas, Jamkesda dan informasi penting lainnyadi kantor kelurahan dan Puskesmas setempat.

Akuntabilitas sistem administrasi Dinas kese-hatan di Kota Depok dan Kota Bogor dapat dilihatdari Pencapaian Laporan Kinerja Akuntabilitas yangcukup baik. Namun demikian masih ada program-program yang dilaksanakan karena adanya tawar-menawar politik dengan Legislatif dan program-pro-gram yang dilaksanakan sesuai dengan permintaankepala daerah yang menjadi incumbent. Namun de-mikian hal tersebut masih sangat rendah dampaknyakarena program yang diminta tersebut secara umumadalah program yang akan dilaksanakan, perubahanhanya pada sisi waktu dan upaya untuk menonjolkanperan Incumbent dihadapan Publik.

Page 11: DESENTRALISASI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN · PDF fileKinerja sistem kesehatan dalam era desentralisasi dipengaruhi ... pelayanan publik sesuai kebutuhan dan permasalah-an pada tingkat

156 Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 03, No. 3 September 2014

Candra Dewi Purnamasari, dkk.: Desentralisasi Dan Pengambilan Keputusan Kebijakan

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan

Desentralisasi meningkatkan decision spacedan akuntabilitas pada proses pengambilan keputus-an kebijakan kesehatan. Peningkatan kapasitasinstitusi terutama kapasitas sumberdaya manusiadan perbedaan tingkat partisipasi masyarakat danaktor diluar pemerintah sangat dibutuhkan untukmenghasilkan keputusan kebijakan yang lebih res-ponsif. Komitment Kepala daerah menjadi bagianpenting karena peran serta kepala daerah dalammengarahkan, mengontrol dan mengevaluasi ter-masuk memberikan dukungan anggaran yang me-madai merupakan salah satu kunci tercapainyaefektifitas desentralisasi.

SaranDesentralisasi telah memberikan kewenangan

yang lebih luas kepada pemerintah derah untukmengatur kebijakan kesehatan yang sesuai denganpermaslahan didaerahnya. Berbagai keterbatasanyang dihadapi seperti rendahnya kapasitas fiskaldapat disiasati dengan meningkatkan kapasitasSDM yang ada, melakukan kemitraan dengan per-guruan tinggi, melibatkan Public private partenership

dan meningkatkan peran serta masyarakat. Untukitu Dinas kesehatan seharusnya terlebih dahulumembenahi manajemen pelayanan dan tata kelolaadministrasi.

REFERENSI1. Mawhood, Philip, Local Government in the Third

World, New York, 19872. Smith BC, Decentralization, The Teritorial Di-

mension of the State. London, 19853. Burns, 19944. Shabbir, Chemma dan Rondinelli, 19835. Bossert, Thomas J . Analyzing The Decen-

tralization Of Health Systems In DevelopingCountries: Decision Space, Innovation AndPerformance. Soc. Sci. Med. Vol. 47, No. 10,pp. 1513±1527, 1998

6. Bossert, Thomas J. David Mitchell ,Andrew.Health sector decentralization and local deci-sion-making: Decision space,institutional ca-pacities and accountability in Pakistan. SocialScience & Medicine , 2010:72(2011);39-48

7. Heywood dan Choi, 20108. Prasodjo, Eko, Reformasi Kedua, Melanjutkan

Estafet Reformasi, Salemba humanika, 2009