Dentin Hipersensitifiti

19
BAB I PENDAHULUAN Salah satu masalah yang sering dijumpai dalam dunia kedokteran gigi adalah hipersensitivitas dentin dengan keluhan sakit pada giginya pada saat-saat tertentu. Rasa sakit biasanya dialami oleh pasien pada waktu makan/minum panas atau dingin atau karena hembusan udara Hipersensitivitas dentin terjadi karena terbukanya dentin yang pada umumnya disebabkan karena resesi gingiva akibat kesalahan menyikat gigi sehingga terjadi abrasi dan erosi. Pada umumnya terjadi di bagian servikal gigi dengan gejala sakit atau ngilu apabila terjadi kontak dengan rangsangan dan luar seperti panas dingin dehidrasi (hembusan udara) asam maupun alat alat kedokteran gigi misalnya sonde pinset dan lain-lain. Bagi penderita rasa ngilu itu merupakan suatu gangguan dan secara tidak langsung akan menimbulkan masalah lain seperti terganggunya pembersihan gigi dan mulut sehingga kebersihan mulut kurang sempurna yang akhirnya akan menyebabkan kelainan periodontal Untuk mencegah terjadinya kelainan lebih lanjut maka hipersensitivitas dentin perlu dirawat (Prijantijo, 1996).

Transcript of Dentin Hipersensitifiti

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu masalah yang sering dijumpai dalam dunia kedokteran gigi adalah

hipersensitivitas dentin dengan keluhan sakit pada giginya pada saat-saat tertentu. Rasa sakit

biasanya dialami oleh pasien pada waktu makan/minum panas atau dingin

atau karena hembusan udara

Hipersensitivitas dentin terjadi karena terbukanya dentin yang pada umumnya

disebabkan karena resesi gingiva akibat kesalahan menyikat gigi sehingga terjadi abrasi dan

erosi. Pada umumnya terjadi di bagian servikal gigi dengan gejala sakit atau ngilu apabila

terjadi kontak dengan rangsangan dan luar seperti panas dingin dehidrasi (hembusan udara)

asam maupun alat alat kedokteran gigi misalnya sonde pinset dan lain-lain. Bagi penderita

rasa ngilu itu merupakan suatu gangguan dan secara tidak langsung akan menimbulkan

masalah lain seperti terganggunya pembersihan gigi dan mulut sehingga kebersihan mulut

kurang sempurna yang akhirnya akan menyebabkan kelainan periodontal Untuk mencegah

terjadinya kelainan lebih lanjut maka hipersensitivitas dentin perlu dirawat (Prijantijo, 1996).

BAB II

DENTIN HIPERSENSITIVITY

A. Definisi dentinDentin hypersensitivity diartikan sebagai rasa nyeri yang tajam, singkat dan

beronset cepat akibat dentin yang terekspos. Biasanya dentin hypersensitivity muncul atas

adanya stimulasi seperti rangsang suhu, sentuhan, kimia dan lainnya dan tidak selalu

dikaitkan dengan defek atau patologi gigi. Dengan sedikit variasi, definisi inilah yang

trcantum dalam berbagai literatur dan disetujui oleh banyak partisipan pada pertemuan-

pertemuan ilmiah internasional. Dentin hypersensitivity juga dapat terjadi sebagai respon

kronis terhadap bahan non-noxius yang dapat muncul secara akut episodik seperti

misalnya rangsang taktil dan suhu. Pada keadaan normal, rangsang non noxius ini tidak

diharapkan untuk menimbulkan nyeri. Ini yang membedakan dengan dengan rasa nyeri

yang diakibatkan bahan berbahaya yang sering muncul secara akut seperti rangsang toksin

bakteri yang pada orang nomal sekalipun dapat menimbulkan nyeri (Tillis et Keating,

2002).

Dentine hypersensitivity adalah suatu nyeri yang secara klinik menimpa 8-57%

orang dewasa pada populasi dan dihubungkan dengan paparan lingkungan. Kesulitan

dalam perawatan dentin hypersensitivity dapat dilihat dari banyaknya pilihan teknik dan

alternatif terapi yang ada (Porto, 2009).

Dentin hypersensitivity seringkali didiagnosis setelah semua diferensial diagnosa

lain yang mungkin untuk rasa nyeri disingkirkan. Beberapa alternatif yang mungkin

sebagai diagnosa rasa nyeri pada gigi sebelum diagnosa jatuh kepada dentin

hypersensitivity antara lain gigi patah, karies, restorasi gigi yang mengalami kebocoran

atau lepas dan kelainan lain pada ginggiva (Orchardson and Gillam, 2006).

Penelitian mengenai dentin hypersensitivity sudah banyak dilakukan sehingga

jumlahnya dalam populasi sudah dapat tergambar dalam data berbentuk prevalensi.

Namun prevalensi tersebut sangat bervariasi antara 4-57%. Variasi ini disebabkan

perbedaan pada populasi studi dan perbedaan metode yang digunakan dalam penelitian,

misalnya penelitian yang menggunakan kuisioner dengan penelitian yang menggunakan

pemeriksaan klinis sebagai skrining tentu menghasilkan angka yang berbeda. Dari jumlah

jumlah yang terdata mengalami dentin hypersensitivity, sekitar 60% dan 98 % diantaranya

juga mengalami periodontitis. Namun, sebagian besar tidak berusaha datang kepada ahli

gigi untuk desensitisasi gigi mereka, karena mereka tidak menganggap dentin

hypersensitivity sebagai masalah kesehatan yang memerlukan perawatan (Orchardson and

Gillam, 2006).

Walaupun dentin hypersensitivity sebagian besar mengenai pasien antara 30

sampai 40 tahun, pada dasarnya masalah gigi ini dapat menyerang siapa saja pada usia

berapapun. Penderita lebih banyak perempuan daripada lakilaki walaupun secara statistik

tidak memberikan perbedaan angka yang signifikan. Dentin hypersensitivity dapat

mengenai gigi yang mana saja, tetapi lebh sering terjadi pada caninus dan premolar.

Predileksi gigi yang lebih sering terkena bervariasi dalam setiap penelitian dan populasi

(Orchardson and Gillam, 2006).

B. EtiologiMechanism of sensitivity: pada dasarnya dentin bersifat sensitif karena secara

struktural mengandung serabut saraf yang berdalan dalam tubulus dari arah pulpa. Namun

kesensitifan ini tidak menimbulkan masalah karena adanya jaringan lain yang melindungi

dentin yaitu tubulus, enamel dan ginggiva. Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan bahwa

tubulus dentin pada pesien dengan dentin hypersensitivity ditemukan lebih banyak dan

berkembang dibandingkan dengan orang normal. Hasil ini selaras dengan hipotesis bahwa

rasa nyeri dimediasi oleh mekanisme hidrodinamik (Orchardson and Gillam, 2006).

Lesion localization: lebih dari 90% dentin hypersensitivity terjadi pada margin

cervical pada permukaan bucal atau pada permukaan labial gigi. Sudah disepakati bahwa

dentin hypersensitivity berkembang melalui 2 fase. Pertama, lokasi yang lesi disebabkan

oleh dentin yang terekspos baik oleh terkikisnya enamel atau kerusakan ginggiva.

Penyikatan gigi yang benar tidak menyebabkan enamel terkikis, tetapi dapat menyebabkan

ginggival recession (Orchardson and Gillam, 2006).

Lesion initiation: tidak semua dentin yang terekspos menjadi sensitif. Lokasi

dentin hypersensitivity telah dapat ditentukan. Kelainan terjadi ketika lapisan pelindung

dentin atau tubular plug terlepas yang memungkinkan tubulus dentin berbuhungan

langsung dengan lingkungan eksternal. Abrasi dan erosi gigi juga merupakan faktor resiko

tetapi faktor resiko paling predominan adalah erosi gigi yang disebabkan asam. Sebaliknya

plak bukanlah faktor predominan terhadap terjadinya dentin hypersensitivity (Orchardson

and Gillam, 2006).

Dentin hypersensitivity sering muncul pada pasien dengan periodontitis dan

hipersensitivitas tersebut terjadi setelah dilakukan terapi terhadap periodontitinya seperti

PSA atau bedah gusi. Hipersensitivitas juga dapat muncul setelah prosedur pemutihan dan

restorasi gigi (Orchardson and Gillam, 2006).

C. Faktor predisposisiDari hasil penelitian para ahli di USA, sebanyak 50-90%, penderita memberikan

tekanan besar/berlebih pada saat menggosok gigi. Kebiasaan menggosok gigi dengan

tekanan berlebih dapat membuat gusi mengalami iritasi atau gusi menurun dari leher gigi,

lama kelamaan akar gigi akan terbuka (resesi gingiva), leher gigi berlubang, lapisan email

pun akan berkurang ketebalannya sehingga bila minum air dingin, asam/manis atau

bahkan tersentuh bulu sikat gigi pun akan terasa ngilu. Oral hygiene/keadaan rongga mulut

yang buruk, penumpukan plak/karang gigi, yang merupakan "rumah" tinggalnya berjuta-

juta kuman dalam rongga mulut. Lambat laun karang gigi pun dapat mengiritasi gusi

sehingga gusi akan mudah berdarah, timbul pula bau mulut yang tidak "segar".

Pembentukan lapisan email gigi yang kurang sempurna (ename hypoplasia) dapat pula

terjadi pada individu-individu tertentu. Keadaan ini pun akan menjadikan gigi menjadi

sensitif. Food impaksi/penumpukan sisa-sisa makanan di daerah pertemuan gigi dengan

gigi/kontak gigi. Sisa makanan ini menyusup masuk melalui leher gigi dan sulit terjangkau

sikat gigi sehingga akan sulit dibersihkan, lama kelamaan penumpukannya akan semakin

banyak, menekan saku gusi semakin dalam dari keadaan normal. Secara garis besar

penyebab dentin hypersensitivity antara lain:

1. Penurunan gusi

2. Buruknya oral hygiene

3. Bleaching/pemutihan gigi

4. Terkikisnya email

5. Penyikatan gigi yang terlalu keras

D. Bukti ilmiah E. Patogenesis

Menurut Warton, 2008, bervariasinya respons dentin terhadap stimulus sensoris

normal, membuat mekanisme sensili vitas tersebut belum diketahui. Ada beberapa teori

yang telah diajukan dan setiap teori memiliki kekurangan sehingga mendukung anggapan

bahwa keadaan itu ditimbulkan oleh lebih dari satu mekanisme. Ketiga mekanisme yang

telah diajukan tersebut adalah: (1) persarafan langsung dari dentin, (2) odontoblas sebagai

restptor, dan (3) teori hidrodinamik.

1. Persarafan Langsung

Saraf memang ada di dentin. Namun, saraf-saraf ini hanya terdapat di predentin

dan sepertiga-dalam dari dentin termineralisasi. Saraf tidak dijumpai di sepertiga-luar,

di PED atau PSD, yang merupakan daerah yang sangat sensitif. Lebih jauh lagi, tidak

seperti pada jaringan yang mengandung saraf lainnya, zat penimbul nyeri atau zat

pereda nyeri yang diaplikasikan ke dentin tidak menimbulkan potensial aksi (respons

saraf). Oleh karena itu, konsensusnya adalah bahwa walaupun saraf yang berasal dari

trigeminus memang terdapat di dentin, stimulasi langsung dari saraf-saraf ini tidak

merupakan mekanisme utama dalam menimbulkan sensitivitas dentin.

2. Odontoblas sebagai Reseptor

Teori ini awalnya timbul ketika diketahui bahwa secara embriologi odontoblas

berasal dari batang saraf dan bahwa pewarnaan odontoblas untuk asetilkolin adalah

positif. Akan tetapi, penelitian yang kemudian dilakukan menunjukkan bahwa prosesus

odontoblas tidak mengisi seluruh dentin dan bahwa potensial membran odontoblas

masih terlalu rendah bagi berlangsungnya transduksi. Walaupun demikian, teori ini

memperoleh kredibilitasnya kembali ketika ditemukan bahwa pada beberapa gigi

prosesus odontoblas benar-benar berada sepanjang ketebalan dentin dan bahwa gap

junction benar-benar ada di antara odontoblas dan mungkin antara odontoblas dengan

saraf. Saat ini dukungan terhadap teori transduksi tidak begitu banyak.

3. Teori Hidrodinamik

Teori hidrodinamik, diusulkan oleh Brannstrem dan Astrom, memuaskan

sebagian besar data morfologik dan eksperimental yang berkaitan dengan sensitivitas

dentin. Teori ini mempostulasikan bahwa pergerakan cairan yang cepat di dalam

tubulus dentin (ke luar dan ke dalam) akan mengakibatkan distorsi ujung saraf di

daerah pleksus saraf subodontoblas (pleksus Raschkow) yang akan menimbulkan

impuls saraf dan sensasi nyeri. Ketika dentin dipotong, atau ketika larutan hipertonik

diletakkan di atas permukaan dentin yang terpotong, cairan akan bergerak ke luar dan

mengawali nyeri. Prosedur yang menyumbat tubulus, seperti mengaplikasikan resin di

permukaan dentin atau membuat kristal di dalam lumen tubulus, akan menginterupsi

aliran cairan dan mengurangi sensitivitas.

Pada gigi yang utuh, aplikasi dingin dan panas pada permukaan gigi

menimbulkan kecepatan kontraksi yang berbeda dalam dentin dan cairan dentin; hal ini

mengakibatkan pergerakan cairan dan diawalinya rasa nyeri. Respons ini akan

menghebat jika dentinnya terbuka. Teori hidrodinamik telah diterima walaupun tidak

lepas dari kritik. Menurut teori ini diperlukan keberadaan pleksus Raschkow, tetapi toh

hipersensit ivitas dentin tetap terjadi pada gigi yang pulpanya rusak parah. “Cilium”

dalam tubulus dentin utuh dapat berupa hidrogel yang relatif padat dengan

konduktivitas hidraulik yang kecil dan bukan berupa cairan jaringan sederhana seperti

dikatakan pertama kali oleh Brannström. Akhirnya, sensitivitas yang ditimbulkan oleh

aplikasi dingin dan panas dapat diterangkan melalui keberadaan reseptor termis pada

pulpa dan melalui teori hidrodinamik.

Dari beberapa teori yang telah dikemukakan untuk menjelaskan mekanisme

transmisi rangsangan, hipersensitivitas dentin; ternyata teori hidrodinamika lebih dapat

diterima untuk menjelaskan transmisi rangsangan terhadap hipersensitivitas dentin.

Berdasarkan teori hidrodinamika dikemukakan bahwa rangsangan yang menyebabkan

rasa sakit diteruskan ke pulpa dalam suatu mekanisme hidrodinamik yaitu pergerakan

cairan secara cepat pada tubulus dentin. Gerakan cairan ini akan mengubah bentuk

odontoblas atau prosesusnya sehingga menimbulkan rasa sakit

Berbagai keadaan dapat merangsang terjadinya hipersensitivitas dentin misalnya

dehidrasi dentin, panas, dingin sertalarutan hiperosmotik. Rangsangan yang

ditimbulkan berbeda bergantung dan kepekaannya namun reaksi yang ditimbul-

kan adalah sama yaitu rasa sakit

Penjelasan yang hainpir sama tentang teori hidrodinamika juga dikemukakan oleh

Markowitz dan Syngcuk. Dikemukakan bahwa melalui dentin yang terbuka tekanan

hidrodinamika akan menyebabkan kerusakan dan odontoblas. Adanya hembusan udara

atau karena perbedaan tekanan maka sel-sel odontoblas yang rusak atau mediator lain

seperti prostaglandin masuk ke dalam tubulus dentin bersama-sama dengan cairan

tubulus dentin yang berasal dan cairan pulpa. Sel-sel ini akan merangsang ujung saraf

yang terletak dekat dengan pulpa dan akan menimbulkan rasa sakit atau ngilu.

4. Riwayat penyakit dan diagnosisSeperti sudah diterangkan sebelumnya bahwa dentin hypersensitivity

didefinisikan sebagai rasa nyeri tajam pada gigi yang muncul akibat adanya stimulasi.

Dalam mendiagnosis Dentin hypersensitivity, ahli kesehatan gigi harus

mempertimbangkan diferensial diagnosa yang lain untuk rasa nyeri yang tajam seperti

misalnya kemungkinan gigi patah, karies, penyakit periodontium dan sebagainya. Setelah

berhasil mengeliminasi semua diferensial diagnosa tersebut barulah mulai menegakkan

diagnosa dentin hypersensitivity (Orchardson and Gillam, 2006).

5. Pencegahan.

Pencegahan DH dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain diet dan cara

menggosok gigi.

a. Pengaturan diet: makanan seperti buah-buahan dan wine berperan dalam perkembangan

DH karena mengandung asam yang dapat merusak lapisan pelindung dan tubulus

dentin. Sedangkan asam endogen berasal dari rufluks gastrointestinal yang mengenai

gigi (Orchardson and Gillam, 2006).

b. Menghindari trauma gigi dengan mengurangi tekanan berlebih saat menggosok gigi,

memakai sikat gigi dengan jenis bulu sikat yang tidak keras dan menggosok gigi

dengan cara yang benar (Orchardson and Gillam, 2006).

c. Menggosok gigi menggunakan pasta gigi yang tidak mengandung agen erosif bagi gigi.

Pasien harus menghindari menggosok gigi paling tidak 2 atau 3 jam setelah

mengkonsumsi buah-buahan atau sumber asam eksogen lainnya untuk menghindari

efek bertumpuk dari eksposur asam dengan abrasi karena menggosok gigi (Orchardson

and Gillam, 2006).

d. Desensitisasi gigi juga dapat dilakukan menggunakan terapi laser tetapi pada satu

penelitian ditemukan bahwa efikasinya meningkt lebih baik jika faktor predisposisinya

seperti paparan asam endogen dan eksogen dieliminasi.

e. Menggunakan catatan harian diet karena banyak pasien yang lupa tentang detail

kandungan zat paa makanan yang mereka makan. Dengan menggunakan catatan diet,

pasien dapat merekam pola makannya dan memberi kesempatan dokter gigi untuk

mengadakan evaluasi serta menentukan oral hyene pasien (Orchardson and Gillam,

2006).

6. Penatalaksanaan

Perawatan terhadap dentin hypersensitivity dapat dibedakan menjadi 2, yaitu

perawatan di rumah dan perawatan di pusat perawatan kesehatan gigi. Perawatan di rumah

lebih murah dan sederhana dengan target perawatan banyak gigi. Sedangkan perawatan di

pusat kesehatan sifatnya lebih kompleks dan terbatas untuk satu atau dua gigi saja

(Orchardson and Gillam, 2006).

a) Perawatan dentin hypersensitivity di rumah

Desensitisizer: pasta gigi adalah media yang paling banyak digunakan untuk

desensitisasi gigi. Dulu pasta gigi yang pertama beredar di pasaran untuk perawatan

dentin hypersensitivity adalah yang mengandung garam strontiumdan flouride untuk

menutup tubulus dentin dan yang mengandung formaldehid untuk mematikan vital

elemen pada tubulus. Sekarang, yang lebih sering digunakan adalah pasta gigi yang

mengandung garam potasium seperti potasium nitrat, potasium klorid atau potasium

sitrat (Orchardson and Gillam, 2006). Walaupun pada satu penelitian melaporkan

bahwa pasta gigi yang mengandung sodium flourid dan kalsium fosfat berguna untuk

mengurangi kejadian dentin hypersensitivity melalui efek remineralisasinya (kaufman

et al., 1999).

Garam potasium: penggunaan garam potasium pada pasta gigi sebagai desensitisasi

didasarkan karena ion potasium berjalan sepanjang tubulus dentin dan menurunkan

eksitabilitas saraf intra dental melalui efek pada membran potensialnya (Orchardson

and Gillam, 2006).

Mouthwash dan permen karet: penelitian melaporkan bahwa mouthwash yang

mengandung potasium nitrat dan sodium flouride, potasium sitrat atau sodium flouride

atau campuran senyawa flourides dapat mengurangi terjadinya dentin hypersensitivity

(Orchardson and Gillam, 2006). Penelitian lain melaporkan permen karet yang

mengandung potasium klorida dapat mengurangi terjadinya dentin hipersensitivitas gigi

(Theiss et al., 2001).

Tingkat keparahan dentin hypersensitivity harus dievaluasi dalam 2 atau 4

minggu setelah perawatan dirumah dilakukan dan menghindari faktor-faktor resikonya.

Perawatan di pusat kesehatan atau di ahli gigi mulai dilakukan apabila perawatan di

rumah tidak memberikan hasil dalam mengurangi keluhan pasien (Orchardson and

Gillam, 2006).

b) Perawatan dentin hypersensitivity di pusat kesehatan gigi

Desensitizer yang digunakan untuk perawatan di rumah pada dasarnya lebih

mudah digunakan daripada desensitizer yang digunakan oleh ahli kesehatan gigi di

pusat-pusat kesehatan yang lebih komplek dan poten.

Desensitizer topikal: sebelum ditemukannya anestesi lokal, dokter gigi menggunakan

bahan-bahan kimia toksik seperti silver nitrat, zinc klorida dan semacamnya. Namun

sekarang bahan yang kurang toksik lebih digunakan secara luas.

i. Flouride: mengurangi permeabilitas dentin secara invitro sehingga mengurangi

sensitivitas dentin. Misalnya: sodium flouride dan stannous flouride.

ii. Potasium nitrat: biasanya diaplikasikan dalam bentuk pasta gigi, secara topikal

dalam aqua solution atau dalam bentuk gel.

iii. Oksalat: penelitian yang dilakukan Greenhill dan Pashley pada tahun 1981

melaporkan bahwa oksalat mengurangi permeabilitas dentin secara invitro.

iv. Kalsium forfat: kalsium fosfat mengurangi sensitivitas dentin secara efektif

dengan menutup menutup tubulus dentin dan menurunkan permeabilitasnya.

Perekat dan resin: banyak bahan desensitizer topikal yang tidak melekat kuat pada

permukan dentin sehingga efeknya hanya sementara. Sekarang telah digunakan bahan

yang merekat lebih kuat yang memungkinkan efek desensitisasinya berlangsung lebih

lama.

Iontoforesis: prosedur ini menggunakan energi listrik untuk meningkatkan difusi ion-

ion ke dalam jaringan.ionoforesis biasanya digunakan bersama-sama dengan terapi

pasta gigi yang mengandung flouride atau solusio, kombinasi keduany dilaporkan

mengurangi kejadian dentin hypersensitivity.

Laser: efektivitas laser sebpenelitian melaporkanagai perawatan dentin hypersensitivity

bervariasi dari 5 sampai 100% tergantung jenis laser dan parameter perawatan yang

digunakan. Penelitian melaporkan bahwa neodymium, erbium dan galium dapat

mengurangi sensitivitas gigi. Namun perawatan menggunakan laser ini harganya lebih

mahal dan memerlukan modalitas perawatan yang lebih kompleks.

Terapi lainnya: Pada keadaan akar gigi yang terbuka/sudah timbul lubang pada leher

gigi seyogianya dilakukan penambalan. Pada kasus mahkota gigi/email gigi tipis

(hipoplasia enamel) biasa dibuatkan mahkota jaket

BAB III

PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.A Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta: EGC

Guyton, Arthur C. dan Hall, John E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:EGC

Kaufman, HW. Et al. 1999. Clinical evaluation of the effect of a remineralizing toothpaste on dentinal sensitivity. J Clin Dent, vol. 10.

Theiss, Krahwinkel T. et al. 2001. Clinical effectiveness of a potassium chloride containing chewing gum in the treatment of hypersensitive teeth. Eur J Med Res, vol. 6.

Orchardson, Robin and Gillam, David G. 2006. Managing Dentin Hypersensitivity. J Am Dent Assoc, Vol 137, No 7, pp: 990-998.

Porto, Isabel C. C. M., et al. 2009. Diagnosis and Treatment of Dentinal Hypersensitivity. Journal of Oral Science, vol. 51, No. 3, pp : 323-332.

Prijantijo. 1996. Evaluasi Klinis Perawatan Hipersensitivitas Dentin dengan Potasium Nitrat. Cermin Dunia Kedokteran No. 109. pp 57-61.

Tillis, Terri S. I. and keating, Janis G. 2002. Understanding and managing dentin hypersensitivity. Journal of Dental Hygiene.

Walton, Richard E., et al. 2008. Prinsip & Praktik: Ilmu Endodonsia edisi III. Jakarta: EGC

REFERAT

DENTIN HYPERSENSITIVITY

Oleh:

Fatmi Andari G0006078

Pembimbing:

drg. Vita Nirmala Sp.Ort

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN GIGI DAN MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011