Dari Ibu Liem sampai John Lie -...

13
1 Dari Ibu Liem sampai John Lie: Sumbangsih Tionghoa di Masa Revolusi Kemerdekaan Didi Kwartanada Pengantar Redaksi Nabil Forum ke-2 telah menampilkan tulisan Dr Bondan Kanumoyoso, „‟Tokoh-tokoh Tionghoa dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia”. Tulisan yang membahas peran tokoh- tokoh Tionghoa di dalam lembaga-lembaga nasional seperti BPUPKI dan KNIP tersebut mendapatkan perhatian yang luas dari sidang pembaca. Menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-66, Nabil Forum edisi ini menampilkan tulisan yang masih membicarakan sumbangsih Tionghoa di masa Revolusi Kemerdekaan, namun dari kacamata yang berbeda. Tulisan di bawah ini menyorot aktivitas Tionghoa dari berbagai daerah di Indonesia, di dalam ikut menegakkan Negara Republik Indonesia. Barangkali yang masih belum banyak diketahui adalah peran Tionghoa di dalam aksi-aksi kemiliteran, sehingga banyak diantaranya kemudian diangkat sebagai Veteran, beberapa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di berbagai pelosok Tanah Air. Salah satu dari mereka bahkan kemudian menjadi Pahlawan Nasional. Perlu digarisbawahi pula, bahwa kaum perempuan pun tidak ketinggalan ikut menjaga Proklamasi 17 Agustus 1945. Inilah kisah mereka dan semoga apa yang telah mereka sumbangkan bisa menjadi suri tauladan bagi kita bersama. “Minoritas Perantara” dan Sikap Tionghoa yang Terpecah Periode 1942-1949, yang merupakan masa pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan, diabadikan oleh seorang penulis peranakan Tionghoa sebagai masa “Indonesia dalem Api dan Bara” karena penuh dengan pergolakan, kekerasan dan ketakutan. 1 Pendudukan Jepang berlangsung singkat, hanya tiga setengah tahun (Maret 1942-Agustus 1945), namun akibat yang ditimbulkannya amat besar bagi etnis Tionghoa. 2 Berakhirnya pendudukan Jepang diikuti dengan masa Revolusi, yakni konflik Indonesia melawan Belanda, yang sering juga disebut “Jaman Bersiap”. Bagaimanakah sikap etnis Tionghoa dalam masa Revolusi Kemerdekaan? Sejarawan Mary Somers-Heidhues memberikan analisisnya sebagai berikut. 3 Pertama, sebagian etnis 1 “Tjamboek Berdoeri” (alias Kwee Thiam Tjing), Indonesia dalem Api dan Bara. Editor: Stanley dan Arief W. Djati. Jakarta: Elkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam masa Jepang belum banyak dilakukan. Pengantar terbaik adalah tulisan Twang Peck-yang, The Chinese Business Élite in Indonesia and the Transtition to Independence 1940-1950 (Kuala Lumpur: Oxford, 1998) Untuk konteks Yogyakarta lihat tulisan-tulisan Didi Kwartanada, “Chinese Leadership and Organization in Yogyakarta during the Japanese Occupation”, dalam Paul Kratoska (ed.), Southeast Asian Minorities in the Wartime Japanese Empire (London: RoutledgeCurzon, 2002), h.65-80; “Competition, Patriotism and Collaboration: The Chinese Businessmen in Yogyakarta between the 1930s and 1945”, Journal of Southeast Asian Studies, 33 (2002), 2, h. 257-277 3 Diringkas dari Mary Somers Heidhues, “Bystanders, Participants, Victims: The Chinese in Java and West Kalimantan, 1945-46”, paper pada konferensi “Changing Regimes and Shifting Loyalties: Identity and Violence in the Early Revolution

Transcript of Dari Ibu Liem sampai John Lie -...

Page 1: Dari Ibu Liem sampai John Lie - gelora45.comgelora45.com/news/DidiK_SumbangsihTionghoa_Kemerdekaan.pdfElkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam

1

Dari Ibu Liem sampai John Lie:

Sumbangsih Tionghoa di Masa Revolusi Kemerdekaan Didi Kwartanada

Pengantar Redaksi

Nabil Forum ke-2 telah menampilkan tulisan Dr Bondan Kanumoyoso, „‟Tokoh-tokoh Tionghoa dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia”. Tulisan yang membahas peran tokoh-tokoh Tionghoa di dalam lembaga-lembaga nasional seperti BPUPKI dan KNIP tersebut mendapatkan perhatian yang luas dari sidang pembaca. Menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-66, Nabil Forum edisi ini menampilkan tulisan yang masih membicarakan sumbangsih Tionghoa di masa Revolusi Kemerdekaan, namun dari kacamata yang berbeda. Tulisan di bawah ini menyorot aktivitas Tionghoa dari berbagai daerah di Indonesia, di dalam ikut menegakkan Negara Republik Indonesia. Barangkali yang masih belum banyak diketahui adalah peran Tionghoa di dalam aksi-aksi kemiliteran, sehingga banyak diantaranya kemudian diangkat sebagai Veteran, beberapa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di berbagai pelosok Tanah Air. Salah satu dari mereka bahkan kemudian menjadi Pahlawan Nasional. Perlu digarisbawahi pula, bahwa kaum perempuan pun tidak ketinggalan ikut menjaga Proklamasi 17 Agustus 1945. Inilah kisah mereka dan semoga apa yang telah mereka sumbangkan bisa menjadi suri tauladan bagi kita bersama.

“Minoritas Perantara” dan Sikap Tionghoa yang Terpecah Periode 1942-1949, yang

merupakan masa pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan, diabadikan oleh seorang

penulis peranakan Tionghoa sebagai masa “Indonesia dalem Api dan Bara” karena penuh

dengan pergolakan, kekerasan dan ketakutan.1 Pendudukan Jepang berlangsung singkat,

hanya tiga setengah tahun (Maret 1942-Agustus 1945), namun akibat yang ditimbulkannya

amat besar bagi etnis Tionghoa.2 Berakhirnya pendudukan Jepang diikuti dengan masa

Revolusi, yakni konflik Indonesia melawan Belanda, yang sering juga disebut “Jaman Bersiap”. Bagaimanakah sikap etnis Tionghoa dalam masa Revolusi Kemerdekaan? Sejarawan Mary

Somers-Heidhues memberikan analisisnya sebagai berikut. 3 Pertama, sebagian etnis

1“Tjamboek Berdoeri” (alias Kwee Thiam Tjing), Indonesia dalem Api dan Bara. Editor: Stanley dan Arief W. Djati. Jakarta:

Elkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam masa Jepang belum banyak dilakukan. Pengantar terbaik adalah tulisan Twang

Peck-yang, The Chinese Business É lite in Indonesia and the Transtition to Independence 1940-1950 (Kuala Lumpur:

Oxford, 1998) Untuk konteks Yogyakarta lihat tulisan-tulisan Didi Kwartanada, “Chinese Leadership and Organization in

Yogyakarta during the Japanese Occupation”, dalam Paul Kratoska (ed.), Southeast Asian Minorities in the Wartime

Japanese Empire (London: RoutledgeCurzon, 2002), h.65-80; “Competition, Patriotism and Collaboration: The Chinese

Businessmen in Yogyakarta between the 1930s and 1945”, Journal of Southeast Asian Studies, 33 (2002), 2, h. 257-277 3 Diringkas dari Mary Somers Heidhues, “Bystanders, Participants, Victims: The Chinese in Java and West Kalimantan,

1945-46”, paper pada konferensi “Changing Regimes and Shifting Loyalties: Identity and Violence in the Early Revolution

Page 2: Dari Ibu Liem sampai John Lie - gelora45.comgelora45.com/news/DidiK_SumbangsihTionghoa_Kemerdekaan.pdfElkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam

2

Tionghoa tidak ingin berpihak dalam konflik Indonesia-Belanda, karena mereka

berpendapat bahwa mereka bukanlah Belanda dan juga bukan Indonesia. Sikap “netral” ini

muncul sebagai produk divide et impera kolonial Belanda dan politik resinifikasi (pencinaan

kembali) penguasa Jepang.4 Walaupun posisi ini sering menuai kritik, namun di beberapa

daerah, ironisnya, justru sikap “netral” inilah yang diminta oleh golongan pejuang Indonesia

dari golongan Tionghoa. Satu contoh adalah pidato yang diucapkan di tahun 1946 oleh dr

Abu Hanifah, seorang pemimpin perjuangan di Sukabumi Hadirin yang saya hormati, saya percaya diantara hadirin sekalian banyak yang dilahirkan di

Tiongkok dan tetap mempertahankan kewarganegaraan Tiongkok. Kemudian ada grup lain yang

disebut kaula Hindia Belanda yang kini secara otomatis menjadi Warga Negara Indonesia. Mereka

dilahirkan di Indonesia dan ingin menjadi Warga Negara Indonesia. Kelompok ketiga adalah mereka

yang masih belum memutuskan posisi mana yang akan mereka ambil. Tentu saja Anda sekalian

memiliki kepentingan-kepentingan yang berlainan.

Akan tetapi Anda semua kini berada di wilayah Republik dan selama Anda bersama dengan kami,

keamanan Anda akan dijamin. Tetapi kami mohon agar Anda tidak campur tangan dalam politik Indonesia. Kami menghendaki agar Anda bersikap netral, hanya netral. Kami bahkan tidak meminta Anda untuk menolong kami. Itu akan meminta terlalu banyak. Jadi kepentingan Anda dan kepentingan kami menuntut Anda semua untuk bersikap netral, dan jangan terlibat dalam politik

kami. 5

Kedua, disana-sini terdapat beberapa Tionghoa peranakan maupun totok yang bersimpati

dan berjuang di pihak Republik, Tokoh yang paling vokal barangkali adalah Liem Koen Hian

(1896-1952).6 Dirinya sudah menegaskan identitas keindonesiaannya ketika di tahun 1932

mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI), yang tanpa henti menyerukan kepada

peranakan Tionghoa untuk memberikan loyalitas politiknya kepada Indonesia. Liem adalah

salah satu founding fathers Negara Republik Indonesia, sehubungan dengan partisipasinya

dalam BPUPKI. Dalam salah satu sidang BPUPKI menjelang kemerdekaan, secara tegas

Liem memohon agar dalam negara Indonesia nanti, secara otomatis golongan Tionghoa

diberi kewarganegaraan Indonesia. Namun sayang, cita-citanya tidak terwujud. Seorang

of Indonesia”, Amsterdam, NIOD, 25-27 Juni 2003., h. 16. Terimakasih kepada Ibu Mary yang telah mengijinkan penulis

untuk mengutip makalah tersebut. 4 Paparan singkat mengenai politik resinifikasi Jepang, lihat dua tulisan Didi Kwartanada, „Minoritas Tionghoa dan Fasisme

Jepang; Jawa 1942-1945‟, dalam Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa (Yogyakarta; Kanisius-Realino.

Cetakan ke-4, 2001), h..24-41; serta „The Road to Resinification: Education for the Chinese during the Japanese

Occupation‟, dalam Peter Post et al. (ed), Encyclopaedia of Indonesia in the Pacific War (Leiden: E.J. Brill, 2010), h.

327-333. 5 Abu Hanifah, Tales of a Revolution (Sydney: Angus and Robertson, 1972), h. 209, terjemahan bebas dan garis miring dari

penulis. 6 Biografi Liem Koen Hian terlengkap saat ini ada dalam Leo Suryadinata, Tokoh Tionghoa & Identitas Indonesia: dari Tjoe

Bou San sampai Yap Thiam Hien (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), h. 63-90. Perlu diingat, bahwa Liem adalah mentor

politik AR Baswedan, seorang tokoh pergerakan keturunan Arab, lihat juga tulisan Adaby Darban tentang hubungan

mereka berdua dalam Nabil Forum ini.

Page 3: Dari Ibu Liem sampai John Lie - gelora45.comgelora45.com/news/DidiK_SumbangsihTionghoa_Kemerdekaan.pdfElkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam

3

wartawan Amerika menambahkan aspek lain, terdapat juga sekelompok etnis Tionghoa

yang dekat pada Golongan Sosialis-nya Sutan Syahrir, yang merasa bahwa masa depan

etnis Tionghoa berada dalam Indonesia baru, dengan jalan asimilasi. 7 Ketiga, sikap

mayoritas etnis Tionghoa adalah mengharapkan perlindungan Republik Tiongkok, yang

selepas Perang Dunia II ikut menjadi salah satu anggota “The Big Five”, lima negara

pemenang perang. Dengan demikian, mayoritas etnis Tionghoa akhirnya memilih bersikap

netral dalam konflik Indonesia-Belanda. Sikap netral ini juga bisa diakibatkan karena

posisi historis mereka sebagai “minoritas perantara” (middleman minority), yang diuraikan

dalam ilmu sosial sebagai berikut: Dalam masyarakat-masyarakat multietnis, kadang terdapat kelompok-kelompok etnis tertentu

yang menduduki status perantara [middle status] diantara kelompok dominan yang berada di

puncak hirarki etnis dan kelompok subordinat yang berada di bawah. Kelompok tersebut disebut

“minoritas perantara” [middlemen minorities]… Minoritas perantara sering berfungsi sebagai mediator antara kelompok dominan dan kelompok

etnis subordinat. Mereka biasanya menduduki ceruk perantara [intermediate niche] dalam sistem

ekonomi. . .Mereka memainkan berbagai peran dalam mata pencaharian selaku pedagang, pemilik

toko, pembunga uang [Jawa: mindring] dan profesional independen. Dengan demikian minoritas

perantara melayani baik kelompok dominan dan subordinat.

Mereka melakukan tugas-tugas ekonomis yang bagi mereka yang berada di puncak (elit) dianggap

sebagai hal yang dibenci atau kurang bermartabat . . .Sehubungan dengan posisi ekonomi perantara

mereka, kelompok ini sangat rentan [vulnerable] terhadap permusuhan dari luar kelompok etnisnya,

baik yang muncul dari kelompok dominan maupun subordinat. Pada masa-masa tegang, mereka

adalah. . .kambing hitam yang alami [natural scapegoat]

Baik secara jumlah maupun secara politis, mereka tidak berdaya dan oleh karena itu harus

memohon perlindungan kepada kelompok dominan, yang akan memberikannya sejauh peran ekonomis

mereka masih dibutuhkan 8

Dari uraian di atas, nampak jelas, bahwa golongan Tionghoa menempati posisi sebagai

“minoritas perantara”. Kedudukan ini bukan hanya dimulai dari masa kolonial, namun sejak

berkembangnya zaman kerajaan Islam di Nusantara, orang-orang Tionghoa sudah banyak

diberi kedudukan dengan hal-hal yang dekat dengan uang, misalnya selaku syahbandar atau

penarik pajak. Kolonial Belanda kemudian mengembangkan hal tersebut dan memperluas

bidang cakupan yang dipegang oleh pengusaha Tionghoa seperti pungutan pajak jalan tol

7 Arnold C. Brackman, Indonesian Communism: A History (New York: Praeger, 1963), h. 135.

8 Dikutip dari Martin N. Marger, Race and Ethnic Relations: American and Global Perspectives. Edisi Kedua (Belmont:

Wadsworth, 1994), h. 51-52. Terjemahan bebas dari penulis.

Page 4: Dari Ibu Liem sampai John Lie - gelora45.comgelora45.com/news/DidiK_SumbangsihTionghoa_Kemerdekaan.pdfElkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam

4

dan bisnis candu, dua hal yang sangat dibenci oleh orang pribumi. 9 Posisi sebagai

minoritas perantara yang membuat mereka selalu ingin berada di tengah, menghindari

kesulitan yang bakal muncul dari posisi mereka, walaupun ternyata pilihan ini bukannya

menyelesaikan masalah, bahkan justru makin banyak menimbulkan persoalan. Apabila

“lingkaran setan” sebagai middleman minority tidak diputuskan, maka dikhawatirkan dalam

tiap zaman kedudukan golongan Tionghoa akan selalu “serba salah”, seperti yang dilukiskan

dengan bagus oleh seorang peneliti dari Australia, Charles Coppel

“…Orang Tionghoa itu ibarat makan buah simalakama bila memikirkan kegiatan politik. Jika mereka

terlibat dalam kalangan oposisi, mereka dicap subversif. Apabila mereka mendukung penguasa

waktu itu, mereka dicap oportunis. Dan jika mereka menjauhi diri dari politik, mereka juga

oportunis sebab mereka itu dikatakan hanya berminat mencari untung belaka”.10

Tulisan ini mencoba memberikan deskripsi tentang hal-hal apa yang sudah disumbangkan

sebagian etnis Tionghoa untuk Republik Indonesia di masa Revolusi Kemederkaan. Bagian

pertama dan kedua berisikan contoh-contoh dari Yogyakarta, karena merupakan topik

penelitian yang pernah penulis lakukan sebelumnya. Bagian terakhir berisi fakta-fakta

sumbangsih Tionghoa di dalam perjuangan bersenjata di berbagai pelosok Ibu Pertiwi,

suatu topik yang belum banyak diulas.

Sumbangan Finansial

Twang Peck-Yang secara tegas menyatakan, dukungan yang pertama-tama diharapkan

pemerintah Republik Indonesia dari golongan Tionghoa adalah bantuan keuangan. Kondisi

finansial republik muda ini sangatlah buruk, berhubung dengan tingginya angka defisit

akibat pendudukan Jepang.11 Tidak mengherankan, jikalau harapan Pemerintah Republik

untuk memperbaiki kondisi perekonomian, pertama-tama tertuju kepada para pengusaha

Tionghoa. Di pihak lain, kelahiran Republik Indonesia dilihat oleh pedagang Tionghoa

sebagai suatu kesempatan. Negara yang masih amat muda ini memerlukan berbagai pasokan

barang untuk mempertahankan kedaulatannya, khususnya persenjataan, medis dan

logistik.12

9 Mengenai analisis teori „minoritas perantara‟ dan relevansinya bagi golongan Tionghoa di Indonesia lihat Didi Kwartanada,

„Perang Jawa (1825-1830) dan Implikasinya pada Hubungan Cina-Jawa‟, pengantar untuk buku Peter Carey, Orang Cina,

Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008) h.

ix-xxxii 10

Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), h. 53. 11

Twang Peck-yang, The Chinese Business É lite, h. 150-51. 12

Karya terbaik untuk topik ini adalah Twang, The Chinese Business É lite, bab 5-7, yang memberikan banyak data tentang

hubungan dagang antara golongan Tionghoa dengan Pemerintah Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia.

Page 5: Dari Ibu Liem sampai John Lie - gelora45.comgelora45.com/news/DidiK_SumbangsihTionghoa_Kemerdekaan.pdfElkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam

5

Oleh karena Twang Peck-yang sudah menulis panjang lebar soal “kontribusi” Tionghoa

dalam revolusi Indonesia, maka penulis akan memberikan ilustrasi dari tingkat lokal dan

masih belum banyak diketahui, yakni Yogyakarta.13 Selaku ibukota RI sejak Januari 1946,

di Yogyakarta banyak ditemukan usaha-usaha mobilisasi dana dan tenaga dari golongan

Tionghoa demi Pemerintah Republik. Setelah terjadinya aksi militer Belanda I, Chung Hua Tsung Hui (CHTH) 14 Yogyakarta berusaha mengumpulkan dana untuk republik. Jumlah

sumbangan awal yang terkumpul sebanyak Rp. 250.000. 15 Selain itu mereka juga

mengumpulkan bahan pakaian untuk angkatan bersenjata Republik.16 Maka tidak heran jika

berbagai sumber menyebut CHTH Yogyakarta bersikap "pro republik". 17 Orang-orang

Tionghoa juga banyak menyumbang dalam "Fonds Nasional" yang diketuai oleh, Mr.

Soemanang. Partisipasi orang-orang Tionghoa tidak kalah besarnya dalam membantu

penyediaan konsumsi. Sejak November 1945 dapur umum Palang Merah Indonesia (PMI)

harus menyediakan makanan untuk ± 1.500 orang setiap harinya. Orang-orang Tionghoa

ternyata tidak ketinggalan ikut menyediakan makanan.18

Aksi-aksi Pro Republik Indonesia

Seorang pengacara, Mr. Ko Siok Hie, giat melakukan berbagai aktivitas pro-Republik.19

Ketika banyak gerilyawan Indonesia ditangkap dan diadili Belanda pada saat Yogyakarta

diduduki, Mr. Ko (bersama-sama dengan Mr. Soejoedi) menyelamatkan banyak jiwa mereka

dari hukuman Belanda secara cuma-cuma. Selaku pengacara, beliau juga membela orang-

orang yang tidak bersalah dari tuduhan Belanda, misalnya menyembunyikan senjata. Pada

saat yang lain, Mr.Ko bertindak selaku penghubung logistik antara pihak Indonesia dengan

Tionghoa. Dalam suatu kesempatan, dua pejabat Republik, Mr.Soemanang dan Mr.Soetopo

menghimbau kepada komunitas Tionghoa Yogyakarta supaya membantu penyediaan logistik

bagi para pemuda pejuang. Mr.Ko --selaku konseptornya-- lalu mempersiapkan "kue

keranjang", suatu jenis makanan tradisional Tionghoa yang bisa tahan lama. Di saat

13

Kecuali disebut dari sumber lain, bagian ini diambil dari Didi Kwartanada, “Kolaborasi dan Resinifikasi: Komunitas

Tionghoa Kota Yogyakarta pada Jaman Jepang 1942-1945” Skripsi Jurusan Sejarah, Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada, 1997. 14

Organisasi sentral Tionghoa yang didirikan pada tahun 1946, segera sesudah Jepang kalah. 15

Twang, The Chinese Business É lite , h.151, 182 catt 4. 16

Donald Earl Willmott, National Status of the Chinese in Indonesia 1900-1958. Edisi Revisi. (Ithaca: Cornell MIP, 1961), h.

21. 17

Charles Coppel, "Patterns of Chinese Political Activity in Indonesia", dalam J.A.C. Mackie (ed.), The Chinese in Indonesia:

Five Essays (Hongkong: Heinemann Educational Books, 1976), h. 40; W.D. Sukisman, Masalah Cina di Indonesia

(Jakarta: Yayasan Penelitian Masalah Asia, 1975), h. 55. 18

Muchamad Triyanto, "Peran Palang Merah Indonesia pada Masa Perang Kemerdekaan II di Yogyakarta (1948-1949)",

Skripsi Sarjana Sejarah, Fakultas Sastra UGM Yogyakarta: 1993, h. 26. 19

Bagian mengenai perjuangan Mr. Ko Siok Hie penulis ambil dari R.Hardjono, "Komuniti Tionghoa Jogjakarta", Skripsi

Sardjana Sedjarah, Jogjakarta: IKIP Sanata Dharma, 1970, h. 53-54. Terimakasih kami ucapkan kepada Ibu Bernie Liem

untuk sumber langka ini. Di masa kemerdekaan, Mr Ko menjadi guru besar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga,

Surabaya.

Page 6: Dari Ibu Liem sampai John Lie - gelora45.comgelora45.com/news/DidiK_SumbangsihTionghoa_Kemerdekaan.pdfElkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam

6

pertama kali telah diproduksi sebanyak 10 kuintal "kue keranjang". Agen distribusinya

adalah anak-anak kecil.

Dr. Sim Ki Ay, yang merupakan salah satu tokoh utama Chung Hua Hui (kelompok elit

Tionghoa pro-Belanda) dari masa kolonial. Akan tetapi pada zaman revolusi beliau

bersimpati pada perjuangan Republik. Dr Sim terpilih untuk menjadi salah seorang

penasehat delegasi Republik Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den

Haag.20 Beliau juga dikenal sebagai dokter yang ikut memelihara kesehatan tokoh-tokoh

puncak Republik, seperti Sultan Hamengku Buwono IX dan Jenderal Sudirman. Dalam

kapasitasnya selaku dokter pribadi Sultan, beliau juga bertindak selaku penghubung antara

Sultan dengan komunitas Tionghoa.

Selain berbagai jenis bantuan tadi, tidak ketinggalan pula muncul dukungan sumber daya

manusia. Ketika dibuka pendaftaran anggota GEMPAR (Gerakan Untuk Makmurnya dan Patuhnya Rakyat) atas inisiatif pemerintah,21 pemuda-pemuda dari kalangan Tionghoa tidak

ketinggalan ikut pula mendaftarkan dirinya. Menurut penuturan seorang Tionghoa yang

pernah bergabung dengan GEMPAR, 22 ia dididik selama 40 hari di Gedung Agung

Yogyakarta. Beberapa mata pelajaran yang diberikan adalah: "Tata Negara" oleh Bung

Karno; "Ekonomi Nasional" oleh Bung Hatta dan "Penerangan" oleh Mr. Soemanang,

Kordinator pendidikan dipegang oleh Winoto Danuasmoro. Sebanyak 600 orang anggota

telah terdaftar, kemudian mereka dibagi ke dalam berbagai regu yang disebarkan ke

seluruh Jawa.

Sumbangsih di Bidang Kemiliteran

Di bidang kemiliteran 23 , beberapa orang Tionghoa ikut berperan aktif memberikan

sumbangsihnya, mulai dari bertempur, penyediaan logistik dan persenjataan, maupun

menjalankan dapur umum bagi prajurit TNI (lihat selengkapnya di Tabel 1). Di Kediri dan

di beberapa tempat lain di Jawa Timur, juga di Losarang (Jawa Barat) mantan anggota

Keibōtai (kesatuan semi militer Tionghoa yang dibentuk di masa Jepang) aktif memberikan

latihan kemiliteran pada laskar-laskar Indonesia.24 Di daerah Pemalang, muncul satu hal

20

Untuk riwayat singkat Dr Sim Kie Ay, lihat Leo Suryadinata, Prominent Indonesian Chinese Biographical Sketches. Edisi

Ketiga (Singapore: ISEAS, 1995), h., 151. 21

Hardjito, Risalah Gerakan Pemuda (Djakarta: Pustaka Antara, 1952), h. 93. 22

Bagian ini terutama didasarkan atas cerita Lie Djin Han, dalam J.B. Santoso, "Mereka Ikut Berjuang: Tjong Kie Liem dkk

Juga Anggota Veteran", Minggu Pagi (mingguan), 21 Agustus 1991 yang kemudian dicek silang dengan sumber pers

kontemporer. 23

Di sini penulis menggunakan kata “kemiliteran” dalam arti luas, tidak hanya mencakup soal prajurit yang berperang

dengan memegang senjata, namun juga soal logistik dan persenjataan, dapur umum, penyebaran doktrin perang gerilya

serta pengumpulan informasi. Bab mengenai kemiliteran ini nantinya akan menjadi salah satu bagian dari buku

“Tionghoa dan Kemiliteran di Nusantara, abad XIII sampai abad XXI”, yang sedang disusun oleh Yayasan Nabil 24

Wawancara The Djan Liong (Yogyakarta), 5-3-1994; Somers-Heidhues, “Bystanders”, h. 13-14.

Page 7: Dari Ibu Liem sampai John Lie - gelora45.comgelora45.com/news/DidiK_SumbangsihTionghoa_Kemerdekaan.pdfElkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam

7

yang cukup unik dalam revolusi Indonesia, yakni munculnya “Laskar Pemuda Tionghoa” (LPT),

yang sesuai dengan namanya, bertujuan mendukung kemerdekaan Indonesia. Tokohnya

adalah Tan Djiem Kwan, alumnus Sekolah Tionghoa (THHK) Tegal. Tokoh ini giat

memberikan kursus anti kolonialisme pada pemuda Tionghoa, mendorong pengibaran

bendera Merah Putih, dll. Laskar ini memainkan peran penting dalam melucuti balatentara

Jepang di Pemalang. 25 Di Surakarta tercatat pula “Barisan Pembrontak Tiong Hoa” (lihat

foto 2).

Keterlibatan orang Tionghoa dalam Batalyon Macan Putih, satu kesatuan gerilya yang aktif

di wilayah-wilayah sekitar lereng Gunung Muria (Tayu, Jepara, Kudus, Welahan), belum

banyak diungkapkan. 26 Orang Tionghoa di daerah-daerah tersebut mengumpulkan

perhiasan empat/lima kali untuk dibelikan senjata di Singapura. Mereka juga menyediakan

makanan bagi para pejuang yang dibungkus daun jati. Tio Ma Ay, seorang pedagang roti,

pura-pura berdagang roti keliling kampung, padahal dia mengirimkan roti kepada para

pejuang.

Orang Tionghoa totok yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan juga banyak ditemui.

Yang sering disebut misalnya Tong Djoe, yang kemudian menjadi seorang pengusaha

besar.27 Disertasi Marleen Dieleman dari Belanda, menunjukkan bahwa di masa revolusi,

Liem Sioe Liong menyembunyikan seorang buronan Belanda, selama setahun tanpa

mengetahui siapa orang yang disembunyikannya. Ternyata orang tersebut adalah Hasan Din,

seorang tokoh Muhammadiyah, ayahanda Fatmawati dan mertua Presiden Soekarno. Liem

yang nantinya berganti nama menjadi Soedono Salim, dikenal sebagai salah satu pengusaha

Tionghoa terbesar di masa Orde Baru. 28 Han Lim Kwang (Han Lian Kuang, 1911-1962),

kelahiran Pulau Hainan, Kwangtung yang sudah lama menetap di Makassar. Puteranya

mengenang Han sebagai seorang yang “bentji kepada kaum kolonialis Belanda, karena mereka menindas dan menghisap rakjat Indonesia.” 29 Han membuka warung kopi yang

ternyata dijadikan pusat pertemuan rahasia gerilyawan Makassar dari kesatuan “Harimau Republik”, dimana Han juga merupakan salah satu anggotanya. Han wafat di bulan

Desember 1962 dan jenasahnya mendapatkan kehormatan militer dari Korps Veteran

Makassar. Namun masih banyak lagi mereka yang belum diungkap jasanya.

25

Anton Lucas, One Soul, One Struggle: Region and Revolution in Indonesia (Sydney: Allen and Unwin, 1991), h. 85-87 26

Berdasarkan wawancara dengan Iwan “Ong” Santosa (wartawan Kompas), 8 Juli 2010 27

Lihat antara lain Twang, The Chinese Business É lite, h. 297-298 28

Marleen Dieleman, The Rhythm of Strategy: A Corporate Biography of the Salim Group of Indonesia (Amsterdam:

Amsterdam University Press, 2007), h. 42. Hasan Din kemudian menjadi salah satu pendiri Salim Group dan juga

menjadi direktur beberapa perusahaan Liem, Ibid., h. 43. Terimakasih kepada Dr Dieleman untuk informasi ini. 29

Disarikan dari Han Nan-tjou, “Renungan dari Djauh”, Tiongkok Rakjat: Menjambut Dwidasawarsa RI, no. 8 (1965): 35-37

(kutipan dari h.35).

Page 8: Dari Ibu Liem sampai John Lie - gelora45.comgelora45.com/news/DidiK_SumbangsihTionghoa_Kemerdekaan.pdfElkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam

8

Di Riau ada Tang Kim Teng, seorang Tionghoa totok yang bergabung dengan Resimen IV,

Divisi IX Banteng wilayah Sumatra Tengah pimpinan Hassan Basri (lihat foto 3). Kim Teng

bertugas mencari senjata, bahan peledak, uniform tentara, sepatu, obat-obatan dan

perbekalan lainnya di Singapura. Masih ada lagi orang-orang Tionghoa dalam Resimen IV

tersebut: Lie Ban Seng, Lie Chiang Tek, Kui Hok, Tji Seng, Tan Teng Hun, Lai Liong Ngip,

Chu Chai Hun dan Chia Tau Kiat. Tan Teng Hun disebutkan telah mengeluarkan sejumlah

besar uang untuk membeli senjata api dari Singapura, seragam tentara dan obat-obatan.

Sebagian dari mereka telah dianugerahi bintang jasa RI dan menjadi anggota Legiun

Veteran RI (lihat foto 4). 30

Sumbangan lain berupa doktrin perang gerilya. Pemaparan dr Abu Hanifah saat berjuang di

Sukabumi melawan Belanda, menunjukkan bahwa booklet perang gerilya karangan Mao Tse

Tung (Mao Zhedong) banyak digunakan sebagai “buku pegangan” (handbook) oleh pasukan

republik. Diperkirakan strategi tersebut diterjemahkan oleh seorang Tionghoa totok ke

dalam bahasa Indonesia. 31

Yang menarik, kaum perempuan Tionghoa pun tidak berpangku tangan dan mereka pun ikut

secara langsung membela Ibu Pertiwi. Salah satu contoh adalah Ibu Giam Lam Nio alias Ny

Liem Thiam Kwie (1901-1953), yang menyediakan makanan di dapur umum saat Revolusi di

Jawa Timur. Di kalangan prajurit TNI, beliau dikenal dengan panggilan akrab “Ibu Liem”.

Setelah pemakaman beliau dengan upacara militer dilakukan pada tanggal 5 Juli 1953, pers

melaporkan: Upacara pemakamannya yang dipimpin Kapten Soesilo dari Divisi Brawijaya dihadiri antara lain

oleh …Walikota Soetimbul, dan Kolonel Bambang Soegeng sebagai Kasad. Bagi tentara revolusi

1945 ia bukan seorang ibu biasa. Ia adalah ibu mereka yang dengan segala kasih sayang menyokong

perjuangan kemerdekaan dengan mengatur dapur umum siang malam dalam segala keadaan. Ibu

Liem senantiasa siap sedia diminta bantuan menyediakan makanan bagi patriot yang bertempur di

garis depan. Setelah penyerahan kedaulatan, Ibu Liem masih tetap membantu dengan mengurus

panti Perwira di Malang, Jawa Timur. Saat meninggal, petinya ditutup bendera merah putih dan

dimakamkan di pekuburan Tionghoa di Sepanjang, Surabaya. 32

Sumbangsih Tionghoa paling spektakuler dalam bidang militer terwujud dalam sosok Mayor

(AL) John Lie, yang menjadi penyelundup senjata bagi Republik Indonesia.33 Beliau dikenal

sebagai tokoh legendaris, yang banyak mendapat penghormatan dan rasa kagum dari para

pejuang Indonesia. Sebagai seorang nakhoda, John Lie dipercaya pemerintah Republik

30

Lihat Nyoto, Kim Teng Dari Pejuang Hingga Kedai Kopi (Pekanbaru: Unri Press, 2002) 31

Hanifah, Tales of a Revolution, h.196 32

Sam Setyautama, Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: KPG, 2008), h. 58 33

Mengenai riwayat perjuangan John Lie, lihat M. Nursam, Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda

John Lie (Jakarta/Yogya: Yayasan Nabil/Ombak, 2008)

Page 9: Dari Ibu Liem sampai John Lie - gelora45.comgelora45.com/news/DidiK_SumbangsihTionghoa_Kemerdekaan.pdfElkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam

9

untuk menjual komoditas Indonesia untuk ditukar dengan persenjataan, peralatan

komunikasi dan obat-obatan yang amat dibutuhkan dalam melawan Belanda. Daerah

operasinya cukup luas, meliputi Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, Manila dan New

Delhi. Saat Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda, John Lie berhasil menembus

kepungan itu dan mendapat julukan “Nakhoda Terakhir Republik”. 34 Beliau kemudian

pensiun sebagai Laksamana Muda dan berganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma dan

dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Sejarawan Asvi Warman Adam,

di awal 2004 menominasikan John Lie sebagai pahlawan nasional atas jasa-jasanya kepada

Negara Republik Indonesia.35 Akhirnya John Lie, atas usulan Yayasan Nabil, diakui sebagai

Pahlawan Nasional pada tahun 2009, sebagai pengakuan Pemerintah RI atas jasa-jasanya

yang luar biasa. 36

Demikianlah sekelumit uraian mengenai peran serta orang-orang Tionghoa, peranakan dan

totok, di dalam menegakkan panji-panji kemerdekaan yang telah dikibarkan oleh Soekarno-

Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Tidak diragukan, mereka telah ikut memberikan

andil dalam mengusir penjajah dan turut mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia

bersama saudara-saudaranya dari berbagai suku bangsa. Apa yang tertulis di sini belumlah

lengkap dan semoga tulisan singkat ini akan mendorong berbagai pihak untuk ikut aktif

mengumpulkan bahan-bahan historis yang masih belum terungkap. Dalam hal inilah, sejarah

bisa berperan sebagai sarana integrasi nasional. 37

***Penulis adalah sejarawan dan Pemimpin Redaksi Nabil Forum. Buku terbarunya adalah The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War (Leiden: EJ. Brill, 2010), sebagai ko-editor dan

kontributor.

Tabel 1

Kontribusi Orang Tionghoa dari Berbagai Daerah dalam Perjuangan Bersenjata di Masa

Revolusi Kemerdekaan (1945-1950)

--disusun secara alfabetis--

Nama Aktivitas Daerah Perjuangan Keterangan

1. Cia Tau Kiat;

2. Lie Ching Tek;

3. Lai Liong Ngip

Tiga orang pejuang Riau Anggota Legiun Veteran

RI Riau

34

Rosihan Anwar, Musim Berganti Sekilas Sejarah Indonesia, 1925-1950 (Jakarta: Grafiti Pers, 1985). 35

Asvi Warman Adam, “Sekali Lagi Tentang John Lie”, Kompas, 21-1-2004, versi online lihat

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0401/21/opini/813358.htm (diakses 8 Mei 2005). 36

Perjalanan pengusulan John Lie sebagai Pahlawan Nasional oleh Yayasan Nabil bisa dibaca dalam “Perjalanan John Lie

menjadi Pahlawan Nasional Tahun 2009”, Nabil News Edisi Perdana, h. 16-23 37

Koentjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional (Jakarta: UI Press, 1993), h. 50.

Page 10: Dari Ibu Liem sampai John Lie - gelora45.comgelora45.com/news/DidiK_SumbangsihTionghoa_Kemerdekaan.pdfElkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam

10

Gian Liam Nio (Ny

Liem Thiam Kwie)

(1901-1953)

Di kalangan prajurit

dikenal sebagai “Ibu

Liem” yang bergiat di

dapur umum.

Jawa Timur Ketika wafat, upacara

pemakamannya dilakukan

secara militer dan dihadiri

KASAD Kol Bambang

Sugeng dan Walikota

Malang.

Han Lian Kuang,

(1911-1962)

Membuka warung kopi

yang ternyata dijadikan

pusat pertemuan

rahasia gerilyawan dari

kesatuan “Harimau Republik”, dimana Han

juga merupakan salah

satu anggotanya dan

menyediakan senjata

Makassar, Sulawesi

Selatan

Dikebumikan dalam

upacara militer

Kwee Tjoa Kwang

(1912-….)

Asal Bagan Siapi-api, di

masa Revolusi

bergabung ke Laskar

Rakyat di Batalyon I,

Resimen II, Divisi II di

Jambi. Memasukkan

senjata untuk Laskar

Rakyat.

Jambi Di tahun 1950 tercatat

sebagai anggota angkatan

perang dengan pangkat

Letnan I dan mendapat

bintang jasa.

Laksamana Muda

John Lie (Jahja Daniel Dharma)

(1911-1988)

Mengusahakan senjata

dan logistik di masa

revolusi kemerdekaan

melalui laut, di tengah

blokade ketat AL

Belanda

Aceh-Sumatra

Utara, Singapura,

Malaya, Asia

Tenggara

● Dimakamkan di TMP

Kalibata Jakarta (1988)

● Dianugerahi gelar

Pahlawan Nasional serta

Bintang Mahaputera

Adipradana, 10 November

2009

Liem Ching Gie

(Abdul Malik)

(1911-1970)

Aktif dalam perjuangan

bersenjata ditangkap

dan dipenjara Belanda

tahun 1947-48.

Sulawesi Selatan

Oen Pei Hin

(1912-1996)

Aktif mendukung

logistik pasukan

Siliwangi

Jawa Barat Dimakamkan di TMP

Cikadut Bandung

Oey Eng Soe

(Ujeng Suwargana)

(1917-1979)

Pada masa revolusi

menjadi perwira

menengah sekaligus

komandan logistik

Jawa Barat Dikenal dekat dg Jendral

A.H. Nasution

Page 11: Dari Ibu Liem sampai John Lie - gelora45.comgelora45.com/news/DidiK_SumbangsihTionghoa_Kemerdekaan.pdfElkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam

11

Territorium III

Siliwangi.

Oeij Kim Bie (Erawan Gondaseputra) (1904- …)

Di masa revolusi

bergabung dngan Laskar

Pesindo melawan

Inggris dan merampas

obat-obatan untuk

tentara Republik di

Andir, Bandung

Jawa Barat ● Berjuang bersama kaum

nasionalis Indonesia sejak

tahun 1923, termasuk

beberapa kali masuk

penjara

● Pada tahun 1960

mendapat bintang dari

Legiun Veteran RI

Pembantu Letnan

Sho Bun Seng

(1911-2000)

Di masa Revolusi

berjuang di Padang dan

bergabung dengan

batalion Pagarruyung,

kemudian bertugas di

Jawa Barat dan

Kalimantan Barat.

Padang, Sumatra

Barat

Dimakamkan di TMP

Kalibata Jakarta (2000)

Ferry Sie King Lien

(1933-1949)

Tewas saat bergerilya

dengan Tentara Pelajar

di Surakarta (1949)

Surakarta, Jawa

Tengah

Dimakamkan di TMP Jurug,

Surakarta (satu-satunya

orang Tionghoa)

Tan Tjen Boen

(Mas Amien)

Informan Tentara

Keamanan Rakyat di

Jawa Barat.

Jawa Barat Mendapat bintang Veteran

RI

Tang Kim Teng Seorang Tionghoa totok

yang bergabung dengan

Resimen IV, Divisi IX

Banteng wilayah

Sumatra Tengah.

bertugas mencari

senjata, bahan peledak,

uniform tentara,

sepatu, obat-obatan dan

perbekalan lainnya di

Singapura.

Sumatra Tengah

(Riau)-Singapura

●Anggota Legiun Veteran

RI Riau

●Dianugerahi Satya

Lencana Perang

Kemerdekaan Kedua

Letnan Dua Dokter

Tjia Giok Thwan

(Basuki Hidayat)

Di masa mudanya Tjia

adalah anggota regu

pasukan penggempur

Pasukan 19 CDMT

(Corps Mahasiswa

Djawa Timur) dan aktif

bergerilya.

Jawa Timur Dimakamkan di TMP

Suropati (Malang) 1982

** Masih ada satu lagi

pejuang Tionghoa yang

akan dimakamkan di TMP

ini, namun keluarganya

menolak

Page 12: Dari Ibu Liem sampai John Lie - gelora45.comgelora45.com/news/DidiK_SumbangsihTionghoa_Kemerdekaan.pdfElkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam

12

Sumber:

Sam Setyautama, Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia, 2008)

Eddy Sadeli et al., Sumbangsih Warga Tionghoa untuk Tanah-Air Indonesia (Jakarta: Lembaga

Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tionghoa di Indonesia, 2003).

Junus Jahja, Peranakan Idealis dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya (Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia, 2002)

Nyoto, Kim Teng: Dari Pejuang Hingga Kedai Kopi (Pekanbaru: Unri Press, 2002)

Han Nan-tjou, “Renungan dari Djauh”, Tiongkok Rakjat: Menjambut Dwidasawarsa RI, no. 8 (1965),

h. 35-37

Foto 1. Pemuda Tionghoa di Jakarta ikut mendukung

perjuangan Pemuda Indonesia melalui penempelan

poster-poster di ruang publik. Sumber: Illustrations of the Revolution: Indonesia 1945-1950 (Djakarta:

Kementrian Penerangan, 1954), tanpa nomor halaman

Foto 2. Markas pejuang Tionghoa pendukung RI di Solo tahun

1949. Mereka dengan berani menyatakan identitasnya sebagai

“Barisan Pembrontak Tiong Hoa.” Sumber: AB Lapian (ed),

Semangat ‟45 dalam Rekaman Gambar Ipphos (Jakarta: Sinar

Harapan, 1985), h. 164.

Page 13: Dari Ibu Liem sampai John Lie - gelora45.comgelora45.com/news/DidiK_SumbangsihTionghoa_Kemerdekaan.pdfElkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam

13

Foto 3. Almarhum Tang Kim Teng, sosok pejuang Tionghoa dari Riau, dengan kostum

Legiun Veteran RI dengan bintang-bintang jasa. Sumber: cover buku Nyoto, Kim Teng (2002)

Foto 4. Para Veteran di Riau, termasuk didalamnya

beberapa orang Tionghoa. Sumber: Nyoto, Kim Teng (2002), h. 85.