REKONSILIASI DAN KEBENARAN -...

12
1 Kolom IBRAHIM ISA Senin, 09 Sept. 2013 ----------------------------- Gerak Sejarah ini ---- "REKONSILIASI DAN KEBENARAN" Akan Bergulir Terus Seperti Tumbuhnya Padi Yang Satu Ketika Tiba Masa Panennya . . . .! * * * Hari ini Peneliti Generasi Muda LIPI, Amin Mudzhakir menyiarkan di FB, sebuah ulasan berjudul: "Membangkitkan Kembali Semangat Rekonsiliasi". Tulisan ini dipicu oleh berlangsungnya Awal Agustus yl sebuah "Tele-Conference" antara Jakarta, Melbourne, Vancouvre dan Kopenhagen dengan acara besar: ‘Keadilan Sejarah dalam Menyikapi Tragedi 1965’. Dampak "Tele-Conference" tsb menandakan meningkatnya kesedaran dan "political will" dikalangan masyarakat, terutama dikalangan cerdik pandai, khususnya golongan sejarawan muda Indonesia, untuk meneruskan dan memperbesar kegiatan sekitar "Keadilan Sejarh dalam Menyingkap Tragedi 1965", menuju REKONSILIASI NASIONAL DAN KEBENARAN. Penulisnya, Amin Mudzhakir a.l. menegaskan: "Muara perdebatan dalam acara kemarin adalah kesadaran untuk membangkitkan kembali semangat rekonsiliasi yang belakangan ini dirasakan agak mandek. Pada tataran sosial dan kultural rekonsiliasi masih mungkin dilakukan. Inilah prasyarat agar rehabilitasi politik yang merupakan tanggung jawab negara mempunyai legitimasi kuat di tengah masyarakat.” * * * Mari ikuti bersama tulisan AMIN MUDZHAKIR, sbb: Membangkitkan Kembali Semangat Rekonsiliasi 9 September 2013

Transcript of REKONSILIASI DAN KEBENARAN -...

Page 1: REKONSILIASI DAN KEBENARAN - gelora45.comgelora45.com/news/IbrahimIsa_RekonsiliasiDanKebenaran.pdf · undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban

1

Kolom IBRAHIM ISA

Senin, 09 Sept. 2013

-----------------------------

Gerak Sejarah ini ----

"REKONSILIASI DAN KEBENARAN" Akan Bergulir Terus Seperti Tumbuhnya Padi Yang Satu Ketika Tiba Masa

Panennya . . . .!

* * *

Hari ini Peneliti Generasi Muda LIPI, Amin Mudzhakir menyiarkan di FB, sebuah ulasan

berjudul:

"Membangkitkan Kembali Semangat Rekonsiliasi".

Tulisan ini dipicu oleh berlangsungnya Awal Agustus yl sebuah

"Tele-Conference" antara Jakarta, Melbourne, Vancouvre dan Kopenhagen dengan

acara besar:

‘Keadilan Sejarah dalam Menyikapi Tragedi 1965’.

Dampak "Tele-Conference" tsb menandakan meningkatnya kesedaran dan "political will"

dikalangan masyarakat, terutama dikalangan cerdik pandai, khususnya golongan

sejarawan muda Indonesia, untuk meneruskan dan memperbesar kegiatan sekitar

"Keadilan Sejarh dalam Menyingkap Tragedi 1965", menuju REKONSILIASI

NASIONAL DAN KEBENARAN.

Penulisnya, Amin Mudzhakir a.l. menegaskan:

"Muara perdebatan dalam acara kemarin adalah kesadaran untuk membangkitkan

kembali semangat rekonsiliasi yang belakangan ini dirasakan agak mandek. Pada tataran

sosial dan kultural rekonsiliasi masih mungkin dilakukan. Inilah prasyarat agar

rehabilitasi politik yang merupakan tanggung jawab negara mempunyai legitimasi kuat di

tengah masyarakat.”

* * *

Mari ikuti bersama tulisan AMIN MUDZHAKIR, sbb:

Membangkitkan Kembali Semangat Rekonsiliasi

9 September 2013

Page 2: REKONSILIASI DAN KEBENARAN - gelora45.comgelora45.com/news/IbrahimIsa_RekonsiliasiDanKebenaran.pdf · undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban

2

Pada tanggal 30 Agustus 2013 kemarin di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara,

Jakarta, diselenggarakan sebuah telekonferensi bertajuk ‘Keadilan Sejarah dalam

Menyikapi Tragedi 1965’. Disebut telekonferensi karena acara tersebut diadakan di

empat kota, yaitu Jakarta (Indonesia), Melbourne (Australia), Vancouver (Kanada), dan

Kopenhagen (Denmark) secara bersamaan dengan menggunakan fasilitas teknologi

informasi terkini. Dapat dikatakan ini adalah acara akademis terbesar yang pernah

diselenggarakan berkait dengan peristiwa 1965. Para pakar dan aktivis yang selama ini

berkecimpung dalam isu tersebut hadir memberikan pandangannya, selain para

undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban

Tragedi 1965 itu sendiri.

Tulisan ini merangkum isu yang berkembang dalam acara tersebut disertai dengan

konteks sejarahnya. Muara perdebatan dalam acara kemarin adalah kesadaran untuk

membangkitkan kembali semangat rekonsiliasi yang belakangan ini dirasakan agak

mandek. Pada tataran sosial dan kultural rekonsiliasi masih mungkin dilakukan. Inilah

prasyarat agar rehabilitasi politik yang merupakan tanggung jawab negara mempunyai

legitimasi kuat di tengah masyarakat.

1965: Titik Balik

Peristiwa 1965 adalah titik balik dalam sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan. Diawali

oleh pembunuhan beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, peristiwa tersebut meminta

korban jiwa berkisar antara 300 ribu hingga 2,5 juta orang. Dengan jumlah korban yang

sangat besar tersebut, tidak berlebihan jika peristiwa tersebut disebut sebagai

tragedi.

Masalahnya adalah hingga hari ini Tragedi 1965 masih diselubungi tabir kelam. Dalam

historiografi negara yang disusun selama masa Orde Baru, narasi yang ditampilkan

dibatasi pada peristiwa pembunuhan para jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965. Partai

Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai pelakukan. Oleh karena itu, dalam buku-buku

sejarah resmi rangkaian peristiwa tersebut disederhanakan dengan nama

‘pengkhianatan Gerakan 30 September 1965/PKI (G30S/PKI).

Akan tetapi, prahara terbesar dalam sejarah republik ini justru terjadi setelah itu.

Sejak Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno beberapa saat kemudian,

terjadi genosida atau pembersihan terhadap siapa saja yang dituduh terlibat PKI.

Pembunuhan massal ini dilakukan secara terorganisir oleh militer dengan bantuan

beberapa kelompok sipil anti-komunis. Ladang pembantaian terbesar berada di Jawa

Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara selama kurun akhir 1965 hingga

pertengahan 1966.

Page 3: REKONSILIASI DAN KEBENARAN - gelora45.comgelora45.com/news/IbrahimIsa_RekonsiliasiDanKebenaran.pdf · undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban

3

Mereka yang tidak dibunuh dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik (tapol) tanpa

melewati proses pengadilan. Jumlahnya mencapai 15.000 orang. Pada tahun 1979 secara

berangsur para tapol tersebut dibebaskan. Meski demikian, mereka tidak pernah

memperoleh hak sebagai warga negara sepenuhnya.

Selain itu, terdapat juga kaum eksil di luar negeri yang jumlahnya ribuan orang. Ketika

peristiwa 1965 meletus, mereka sedang bertugas sebagai mahasiwa atau utusan

Indonesia di organisasi-organisasi internasional. Oleh karena alasan yang sama dengan

korban di dalam negeri, secara sewenang-wenang mereka dicabut paspornya. Akibatnya

mereka tidak bisa pulang, sehingga hidup ‘kelayapan’ di luar negeri tanpa status

kewarganegaraan (stateless).

Dalam kenyataannya para korban 1965 hidup dalam stigma sebagai pengkhianat bangsa.

Secara moral mereka dianggap nista. Bagian tragisnya adalah hal ini mendera juga anak

keturunan mereka. Mereka menjadi warga negara kelas dua yang didiskriminasi dalam

banyak perkara sedemikian rupa.

1998: Antara Harapan dan Ketidakpastian

Jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 membuka lembaran sejarah baru

bagi para korban. Mereka berharap adanya rehabilitasi terhadap hak kewarganegaraan

mereka yang terampas selama ini. Bersama dengan itu, muncul berbagai penyelidikan

yang menunjukkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius dalam kasus

1965 dan berbagai peristiwa kekerasan yang mengiringinya.

Pada masa Abdurrahman Wahid, pemerintah membuat terobosan penting. Secara

pribadi Wahid meminta maaf kepada para korban Tragedi 1965 dan mengajak semua

kalangan, termasuk Nahdlatul Ulama (NU) untuk melakukan rekonsiliasi. Sebagai

pemimpin NU, seruan Wahid tersebut berdentang nyaring. Sebagaimana diketahui,

beberapa kelompok NU pada tahun 1965-1966 terlibat dalam suatu skenario

penghancuran PKI secara sistematis.

Pada tahun 2004 disyahkan Undang-Undang No. 27 tentang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi (KKR). Akan tetapi, pada tahun 2006 undang-undang tersebut dibatalkan

oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar 1945. Belakangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat mewacanakan

permohonan maaf negara terhadap korban Tragedi 1965, meski hingga hal itu belum

terrealisasi sama sekali.

Agenda Selanjutnya

Di tengah suasana yang bergelayut antara harapan dan ketidakpastian, telekonferensi

di STF Driyarkara kemarin memastikan satu hal: rekonsiliasi sosial dan kultural di

Page 4: REKONSILIASI DAN KEBENARAN - gelora45.comgelora45.com/news/IbrahimIsa_RekonsiliasiDanKebenaran.pdf · undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban

4

tengah masayarakat masih mungkin dilakukan. Beberapa contoh dikemukakan, seperti

apa yang dilakukan selama ini oleh Syarikat Indonesia. Organisasi masyarakat sipil yang

berasal dari kalangan NU ini aktif mengadakan berbagai forum untuk mempertemukan

warga baik yang berada pada posisi korban maupun pelaku. Diharapkan dengan itu

tercipta komunikasi yang selama puluhan tahun terputus oleh prasangka yang diwariskan

secara turun temurun.

Satu contoh lagi dikemukakan dari Bali. Gugatan ahli waris I Gede Puger disyahkan oleh

putusan Mahkamah Agung No. 1050/K/Pdt/2007 tentang perampasan tanah dan

bangunan. Kodam IX yang sekarang menguasai aset tersebut diminta untuk

mengembalikannya kepada ahli waris I Gede Puger. Selain itu, keputusan Mahkamah

Konstitusi mengenai Pasal 60 huruf g dalam UU. 12/2003 tentang pemilihan umum yang

merestorasi hak sipil dan politik eks tapol untuk memilih dan dipilih patut diapresiasi.

Berbekal contoh-contoh tersebut, rekonsiliasi pada tataran sosial dan kultural masih

mungkin dilakukan, meski terlihat sporadis dan kasusistik. Akan tetapi, hanya dengan

jalan inilah rehabilitasi politik yang lebih besar pada tataran negara akan memperoleh

legitimasinya. Di atas semuanya, dibutuhkan kesabaran karena mematahkan pewarisan

ingatan tentang Tragedi 1965 yang telah dibangun kokoh selama ini bukanlah pekerjaan

mudah.

FB. 09 SEPT 2013

(Dimuat di Harian Nasional, 4 September 2013)

* * *

Response pembaca “ FB”-- Wahyudi Akmaliah:

Luar biasa! Tajam, menukik, dan sangat kontekstual. Tak salah bila, bung Amin bisa

disejajarkan dengan pengkaji peristiwa 1965 lainnya. Tulisan ini juga bisa menjadi

semacam penanda bahwa LIPI memiliki generasi baru untuk mengkaji studi kelam

tersebut setelah pak Asvi dan Hermawan. Tabik!

* * *

LAPORAN

DISKUSI TERBATAS

MAHKAMAH RAKYAT INTERNASIONAL

KEJAHATAN KEMANUSIAAN TRAGEDI 1965-66

(INTERNATIONAL PEOPLE’S TRIBUNAL ON GROSS

HUMANITARIAN VIOLATION OF 1965-66 TRAGEDY)

Page 5: REKONSILIASI DAN KEBENARAN - gelora45.comgelora45.com/news/IbrahimIsa_RekonsiliasiDanKebenaran.pdf · undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban

5

31 Agustus – 2 September 2013

SOLO, Jawa Tengah INDONESIA

Diskusi Terbatas yang membahas hal-ihwal Mahkamah Rakyat Internasional Kejahatan

Kemanusiaan/pelanggaran HAM Berat Pembunuhan Massal 1965-66 (International People’s

Tribunal on Gross Humanitarian Violation of 1965-66 Tragedy) di Solo, Jawa Tengah 31 Agustus- 2

September 2013 berjalan lancar, damai, bersemangat, penuh keakraban dan solidaritas sesuai

dengan yang direncanakan.

Diskusi dibuka oleh Bedjo Untung Ketua YPKP 65 dengan diawali menyanyikan lagu kebangsaan

Indonesia Raya dan mengheningkan cipta untuk mengenang Korban 65 yang gugur sebagi korban

kebiadaban rejim fasis Suharto. Juga, sambutan Ibu Haryati Panca Putri Direktur LPH YAPHI.

Di hari pertama diskusi (Sabtu 31 Agustus 2013 pukul 19.00- 22.00) diisi dengan uraian yang

melatarbelakangi diselenggarakannya diskusi serta dilanjutkan dengan perkenalan para delegasi.

Di hari kedua (Minggu 01 September 2013 pukul 08.00- 13.00) diskusi interaktif menghadirkan

pembicara/narasumber Bung Stanley Anggota Komnas HAM periode 2007-2012 yang menjelaskan

proses lahirnya Rekomendasi Komnas HAM/Hasil penyelidikan pro yustisia Kejahatan

Kemanusiaan Tragedi 1965-66, serta penjelasan sebagai salah satu orang yang ikut menggagas

perlunya digelar Tribunal Internasional (prakarsa Rakyat) untuk mengadili Kejahatan Kemanusiaan

Pelanggaran HAM berat Tragedi 1965-66.

Gagasan menggelar International People’s Tribunal Massacre 1965 bermula dari Kawan-Kawan pegiat HAM dan Korban 65 di Negeri Belanda: Ibu Saskia E. Wieringa, Nursyahbani Kacasungkana. Rencana ini juga didukung oleh berbagai kalangan anggota Parlemen di Negeri Belanda termasuk mantan Menteri Kerjasama Pembangunan Pronk. Seorang anggota Parlemen Belanda bahkan berkata, “Jangan berkunjung ke Indonesia sebelum menonton film The Act of Killing agar mendapat pemahaman obyektif tentang kondisi HAM di Indonesia.”

Narasumber berkutnya ialah Bapak Kabul Supriyadhie Anggota Komnas HAM periode 2007-2012 yang juga sebagai dosen Universitas Diponegoro Semarang, sebagai pakar hukum menjelaskan secara panjang lebar tentang mekanisme Mahkamah Pidana Internasional (ICC), juga contoh-contoh pengadilan yang sudah pernah dilaksanakan, misalnya: Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (ICTR), Tribunal untuk Kamboja, Tribunal Sierra Leone, Mahkamah Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY). Dalam pemaparannya, Kabul Supriyadhie memberi judul, “Informal International Tribunal: Dampak Hukum dan Politik”. Sementara itu, dalam sesi interaktif ini, Dewi Ratna Wulan sebagai relawan YPKP 65 yang berkedudukan di Bangkok, Thailand dan aktif sebagai pegiat perjuangan kesetaraan gender, mengomentari tentang perlunya digelar International People’s Tribunal. Dengan mencontoh pengadilan Tokyo tentang kekejaman tentara pendudukan Jepang ketika melakukan kejahatan pelecehan seksual kepada para budak seks di bekas Negara pendudukannya.

International People Tribunal perlu digelar untuk mengadili Kejahatan Kemanusiaan

Pelanggaran HAM Berat Tragedi 1965-66

Dalam sesi diskusi interaktif ini, para peserta memanfaatkan kesempatan untuk bertanya maupun mengemukakan pandangannya tentang perlunya menggelar pengadilan internasional atas prakarsa

Page 6: REKONSILIASI DAN KEBENARAN - gelora45.comgelora45.com/news/IbrahimIsa_RekonsiliasiDanKebenaran.pdf · undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban

6

Rakyat oleh karena system pengadilan dalam negeri yang tidak berniat, tidak ada kemauan dan kemampuan untuk menuntaskan kasus tragedi 1965-66. Diakuinya, melalui mekanisme ICC (International Criminal Court) adalah tidak memungkinkan karena tragedi 1965/66 berlangsung sebelum diumumkannya Statuta Roma pada tahun 2000 dan juga pemerintah Republik Indonesia sampai hari ini belum meratifikasi Statuta tersebut. Sekalipun RI telah meratifikasi, maka kejahatan yang dilakukan sebelum terjadinya ratifikasi, tidak dapat diadili karena Statuta Roma tidak berlaku surut. Salah satu yang memungkinkan adalah menggunakan mekanisme penghilangan orang secara paksa. Dijadwalkan, pemerintah Indonesia akan segera meratifikasi konvensi anti penghilangan orang secara paksa. Kalau ini terealisasi, maka kasus penghilangan orang secara paksa tragedi 1965/66 bisa dibawa ke pengadilan karena penghilangan orang secara paksa tidak mengenal kedaluwarsa, penghilangan orang secara paksa adalah continuous crimes (kejahatan yang masih berlanjut karena si korban belum diketemukan). Laporan Penelitian/ Kesaksian Korban

Sesi berikutnya pada pukul 14.00 – 17.00 kemudian dilanjutkan pada pukul 19.00 – 22.00 adalah

Sharing Wilayah/Laporan Hasil Penelitian masing-masing Kota/Kabupaten di seluruh Indonesia.

Tiap Cabang YPKP 65 melaporkan hasil temuannya yaitu menekankan pada:

Berapa jumlah orang yang dibunuh, ditahan, dibuang , dipekerjakan secara paksa, tempat-tempat

penyiksaan, tempat penahanan serta lokasi kuburan massal, serta jenis/bentuk penyiksaan,

berapa rumah-rumah penduduk yang dibakar, dll.

Keterangan ini akan digunakan sebagai barang bukti mau pun kesaksian dalam persidangan di Den

Hag yang rencananya akan digelar pada Oktober 2015, yaitu bertepatan dengan 50 tahun pembisuan

dan impunitas. Para pelaku (perpetrators) sampai hari ini masih berlindung di dalam kekuasaan.

Presiden RI belum berani membuka kejahatan yang dilakukan oleh aparat militer. Padahal, sudah

sangat jelas, rekomendasi Komnas HAM kepada Jaksa Agung agar Negara/Pemerintah RI segera

membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk mengusut dan mengadili para jenderal yang diduga

terlibat dalam pembunuhan massal 1965-66.

Sungguh luar biasa. Laporan/Kesaksian para korban 65/ para peserta diskusi yang mewakili YPKP

65 di daerahnya masing-masing memberikan catatan-catatan penting apa adanya tentang temuan

hasil penelitiannya:

1. St. Sudarno Ketua YPKP 65 Pekalongan, melaporkan: Sudarno lahir 17 Maret 1943 di desa Mojoagung, Kecamatan/Kawedanan Kajen Kabupaten

Pekalongan. Ketika peristiwa 1965 meletus ia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di kantor

Kawedanan Kajen juga sebagai Dan Ton (Komandan Peleton) Sukarelawan Pengganyangan

Malaysia dari unsur Pegawai Negeri. Ia ditangkap, ditahan dimasukkan ke bangunan bekas

gudang garam yang kotor, pengap, panas tidak ada celah udara masuk, bersama teman-teman

yang jumlahnya sampai 200 an orang.

Ketika di dalam tahanan Penjara I Pekalongan, keadaannya lebih menyedihkan: para tahanan

tidak diberi makan, hanya jagung sebanyak 25 butir kadang kala dipaksa makan gaplek

(singkong kering) busuk. Pernah ia tidak diberi minum, tidak ada cangkir untuk minum. Air

yang dikocorkan oleh petugas penjara dari balik teralis besi, kemudian para tapol menadahi

dengan peci, kaos, celana dalam, untuk kemudian diperas dan diminum.

Page 7: REKONSILIASI DAN KEBENARAN - gelora45.comgelora45.com/news/IbrahimIsa_RekonsiliasiDanKebenaran.pdf · undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban

7

Pak Sudarno menyaksikan dengan mata kepala sendiri dan ikut mengalami menyiksaan yang

melampaui batas-batas perikemanusiaan.

Ia mengalami pemukulan dengan menggunakan balok kayu, rotan, besi dan ada yang

menggunakan kayu yang sudah dililiti kawat berduri untuk memukuli para tahan politik.

Sugeng anggota BPH Kabupaten Pekalongan diadu dengan adiknya, kemudian dipukuli

sampai meninggal.

Sudarno kehilangan ayah dan pamannya yang dibunuh ketika menjalani pemeriksaan di kantor

CPM Pekalongan.

Dalam Catatan Penelitian YPKP 65 Kabupaten Pekalongan, terdapat 339 orang yang

meninggal dunia/ dihilangkan secara paksa, diantaranya 280 orang meninggal ketika berada

di Kamp penyiksaan/Penjara LP Pekalongan. Sejumlah 38 orang dibunuh dengan modus

tahanan politik diambil (diculik) dari dalam tahanan kemudian dibunuh di suatu tempat

kuburan massal di pantai utara Pekalongan. Sejumlah 13 orang meninggal di Pulau Buru

serta 8 orang dihilangkan tidak terdeteksi dimana mereka dibunuh.

Laporan Penelitian YPKP 65 Pekalongan juga melengkapinya dengan Daftar Korban 65

yang wajib lapor, dan ditahan . Di seluruh Kabupaten Pekalongan yang ditahan ada 1152

orang, sedangkan yang wajib lapor ada 525 orang, sehingga keseluruhan berjumlah 1677

orang.

Jumlah tapol se kabupaten Pekalongan yang dipekerjakan di pulau Buru berjumlah 199

orang.

Rumah yang dirusak dan dibakar oleh massa atas sepengetahuan aparat tentara sebanyak 67

rumah (termasuk pabrik gondorukem milik ayah Sudarno).

Laporan lengkap secara terperinci berikut Daftar Nama yang meninggal dunia, Nama pemilik

Rumah yang dirusak/dibakar, Tempat Lokasi penyiksaan serta tempat kuburan massal ada

disimpan oleh Sekretariat YPKP 65 Pusat.

2. Supardi YPKP 65 Kabupaten Pati, melaporkan: Dalam penelitiannya, YPKP 65 Pati menemukan 7 (tujuh) lokasi kuburan massal,

(1) Kawasan hutan Perhutani HPH Grogolan, di desa Grogolan, Kecamatan Dukuh Seti. Daerah

kehutanan tempat dimakamkannya orang-orang yang dituduh anggota PKI –karena dibunuh

secara massal - oleh masyarakat sekitar hutan, lokasi tersebut dikenal dengan nama Hutan

Pekainan. Di sini dibunuh sebanyak 40 orang anggota PKI.

(2) Di Kawasan Perkebunan Karet Kalitelo, desa Puncel, Kecamatan Dukuh Seti. Dikenal

dengan sebutan Batu Bantal. (terdapat 15 orang dalam satu lubang).

(3) Di Kawasan Hutan Perhutani HPH Lamin, desa Regaloh, Kecamatan Telogowungu. Dikenal

dengan nama Hutan Sumberlamin. ( Menurut Saksi mata, di sini telah dieksekusi 29 orang

yang dituduh sebagai anggota PKI atau simpatisannya).

(4) Di Kawasan Hutan Perkebunan Kopi Jolong, desa Guwo, Kecamatan Telogowungu. Dikenal

dengan nama Hutan Kopi.( 39 orang dibunuh dalam satu lubang).

(5) Di Kawasan Hutan Perhutani HPH Barisan , desa Mantup, Kecamatan Jaken. Dikenal dengan

nama Hutan Jenggot/Jeglong Barisan. Di tempat ini diketemukan 7 (tujuh ) lubang yang

sudah disiapkan untuk mengubur orang-orang yang diduga sebagai anggota Partai Komunis

Indonesia yang telah dieksekusi. Menurut saksi mata –orang penduduk sekitar hutan yang

Page 8: REKONSILIASI DAN KEBENARAN - gelora45.comgelora45.com/news/IbrahimIsa_RekonsiliasiDanKebenaran.pdf · undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban

8

mengetahui dan membawa lampu petromaks ketika eksekusi itu dilakukan- tiga lubang

sudah diisi dengan jenasah korban. Lubang pertama diisi 5 jenasah, lubang kedua juga 5

jenasah, sedangkan lubang ketiga diisi 15 jenasah. Lubang keempat sampai ke tujuh masih

dibiarkan menganga.

(6) Hutan Brati di Desa Brati, Kecamatan Kayen. Di hutan ini diperkirakan ada 35 korban

pembunuhan yang dilakukan oleh tentara atas orang yang diduga anggota PKI.

(7) Hutan Panggang atau disebut juga Kretekabang Brati. (25 orang anggota PKI dieksekusi

dalam satu lobang).

Hasil penelitian YPKP 65 Cabang Pati menyimpulkan, ada 322 korban pembunuhan,

penghilangan orang secara paksa yang dilakukan oleh aparat tentara, dengan modus

operandinya, memperalat orang-orang bayaran untuk dijadikan algojo terhadap orang yang

dituduh anggota PKI maupun pendukung Sukarno Presiden pertama RI. Saksi pelaku siap

memberi keterangan agar sejarah yang selama ini ditutup-tutupi bisa dibongkar. Saksi

mendengar berondongan senjata di malam hari, dan keesokan harinya para penduduk di

sekitar hutan melihat ada mayat yang ditanam di dalam area perhutani.

Daftar saksi mau pun catatan hasil penelitian YPKP 65 Pati tersimpan di sekretariat YPKP 65

Pusat.

3. NH. Atmoko YPKP 65 Wonosobo, melaporkan: Penggalian kuburan massal di hutan Situkup, Dempes, Wonosobo pada akhir 1999 dan awal

2000 oleh YPKP 65 menemukan kerangka jenasah sebanyak 21 orang. Kerangka ini adalah

berasal dari jenasah orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI yang telah dieksekusi di

hutan tersebut. Informasi tentang dikuburkannya jenasah para korban 65 tersebut berasal dari

seorang sipir penjara Wirogunan, Yogyakarta tempat dimana para tapol tersebut disekap

sebelum diculik.

NH. Atmoko mengisahkan catatan pribadinya ketika ia ditangkap, disiksa dan dipekerjakan

sebagai budak di penjara Nusakambangan. Ia ditangkap pada November 1965 dan dibebaskan

pada 20 Oktober 1969 hanya karena ia pendukung setia Bung Karno dan sebagai anggota

pengurus PNI Ali-Surahman. Selama dalam tahanan ia menyaksikan dan mengalami sendiri

siksaan yang dilakukan para interogator militer terhadap para tahanan politik yang berjumlah

ribuan orang. Ia juga menyaksikan betapa hampir tiap hari di penjara Nusakambangan para tapol

meninggal dunia karena kelaparan, karena para tapol tidak diberi makan dan minum.

“Meskipun aku secara resmi menerima Surat Pembebasan yang menyatakan bahwa aku

tidak terlibat G30S nyatanya aku masih harus melaporkan diri seminggu dua kali di Kantor

CPM sampai 6 bulan lamanya. Dan di akhir laporan – aku harus datang sendiri di Markas

Teperda di Semarang untuk menerima Surat Bebas Lapor. Meskipun aku sudah menerima

Surat Bebas Lapor dari Teperda di Semarang –nyatanya bertahun-tahun aku dilarang

meninggalkan kotaku. Aku harus selalu berada di rumah dalam keadaan lapar. Setiap

mencari pekerjaan, yang aku datangi menolak karena takut kepada pemerintahan militer.

Jawab mereka harus dengan Surat Keterangan Bebas G30S/PKI. Mana mungkin!”

Sepenggal kesaksian NH. Atmoko yang memperoleh perlakuan diskriminatif dari

pemerintah orde baru rejim fasis militer, seperti yang yang ditulis dalam catatan Synopsis

bukunya. Kisa mengharukan ini telah dibukukan dengan judul Banjir darah di Kamp

Konsentrasi.

4. Supomo Ketua YPKP 65 Boyolali

Page 9: REKONSILIASI DAN KEBENARAN - gelora45.comgelora45.com/news/IbrahimIsa_RekonsiliasiDanKebenaran.pdf · undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban

9

Di hadapan peserta diskusi, Supomo menceritakan penyiksaan dirinya dan beberapa Kawan di

daerah Boyolali, Jawa Tengah. Telinga kiri dan kanan diiris dengan menggunakan kelewang oleh

para algojo atas sepengetahuan aparat militer. Kepala bagian atas juga ditebas dengan kelewang,

namun ia secara reflex bisa menghindar dan selamat sampai sekarang. Ia ditahan di bekas gedung

bioskop bersama kira-kira 2000 tahanan politik, anggota PKI, BTI, Pemuda Rakyat, dll. Boyolali

sebagai kota dimana mayoritas penduduknya adalah anggota PKI, BTI dan Pemuda Rakyat.

Diperkirakan 20.000 kader anggota PKI dan anggota organisasi massa pendukungnya menjadi

korban pembunuhan massal tragedi kemanusiaan 1965/66 di Boyolali. Suwali Bupati Boyolali

dan Siswowitono anggota DPRD Boyolali Fraksi PKI dibunuh tanpa proses hukum. Lokasi

pembunuhan adalah di Kuburan Sonolayu, Kota Boyolali. Di kuburan massal ini diperkirakan

300 -500 orang anggota PKI yang dibunuh. Tempat ini sering dikunjungi para pegiat HAM baik

dari dalam mau pun luar negeri.

Tempat-tempat pembunuhan massal lainnya di daerah Boyolali antara lain di Ampel, Pengging,

Ketaon, Pundung, Cepogo.

Ada kesaksian secara terpisah, oleh Ibu Endang Kustantinah. Ketika itu ia berumur 9 tahun

bermaksud pergi sekolah di desanya Jetis, Kragilan, Mojosongo, Boyolali. Namun, didapatinya

pintu halaman sekolah masih terkunci rapat. Tidak seperti biasanya. Nampaknya para guru tidak

ada yang mengajar karena pada malam sebelumnya terjadi penangkapan, pengejaran orang-orang

yang dituduh anggota PKI. Ketika ia pulang dari sekolah dengan berlarian, ia menjumpai

kerumunan orang dengan menenteng penggalan kepala orang yang masih berlumuran darah.

Sementara itu di sudut-sudut jalan di kampung yang ia laluinya terpasang penggalan kepala

orang yang juga masih berlumuran darah untuk menakut-nakutinya. Naluri seorang bocah yang

masih duduk di bangku SD kelas 3 itu, menangis. Ia mendengar hujatan orang-orang yang

berkumpul di jalanan dengan memukuli orang-orang yang dianggap anggota PKI, dengan kedua

tangannya diikat dengan menggunakan tali goni, sekujur tubuhnya berlumuran darah dari bagian

kepala. Yang lebih menakutkan lagi dalam hujatan kerumunan orang itu menyebut nama ayahnya

yang dikenal di desa itu sebagai panutan warganya. “Hancurkan PKI, tangkap Siswowitono,

Bunuh!!” Tentu saja, kejadian ini sungguh menakutkan. Sampai hari ini Endang Kustantinah

selalu menangis bila mengingat kejadian masa itu, tidak bisa bicara, seolah mulut tidak kuasa

untuk bercerita.

(Untuk menyingkat, laporan dari berbagai cabang YPKP 65 akan dibuat secara terpisah di

kesempatan lain:

5. Norman AR YPKP 65 Sumatera Utara: Kisah Pembunuhan Massal di Sungai Ular, Kesaksian

seorang Jagal yang dipaksa untuk membunuh para tahanan anggota PKI, BTI, hanya karena

imbalan uang atau bila tidak melakukannya akan dibunuh.

6. Handoko Ketua YPKP 65 Jawa Timur: Mengisahkan penyiksaan di penjara Kalisosok

Surabaya dan menyaksikan terapung-apungnya mayat orang-orang yang dituduh anggota Partai

Komunis Indonesia di Kali Brantas, dan Porong.

7. Ngadi Suradi dan Wagiran Perwakilan Korban 65/YPKP 65 Kalimantan Timur dan Kutei

Kartanegara : Kesaksian rekayasa untuk menahan anggota tentara yang dituduh ikut anggota

Pemuda Rakyat. Kesaksian Tamil (Tahanan Militer) yang dipekerjakan secara paksa, menebang

pohon raksasa dengan peralatan manual di hutan Argosari Kalimantan Timur. Hasilnya dimakan

oleh penguasa.

Page 10: REKONSILIASI DAN KEBENARAN - gelora45.comgelora45.com/news/IbrahimIsa_RekonsiliasiDanKebenaran.pdf · undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban

10

8. Ir. Djoko Sri Mulyono, mengisahkan suka dan duka menjadi tapol dari sejak ditangkap sampai

ke Pulau Buru dalam bukunya Banten Seabad sesudah Multatuli. Kalau di jaman kolonial

Belanda rakyat Banten diperas oleh penguasa Belanda, kini di jaman Orde Baru Suharto, rakyat

Banten dipaksa kerja rodi membangun jalan, jembatan tanpa diberi makan dan tanpa diupah.

9. Suparno YPKP 65 Mojokerto, Jawa timur: Sebagai mantan anggota militer Batalion 530 ia

dikirim ke Jakarta dalam keadaan siap tempur berdasar radiogram Pangkostrad Mayjen Suharto.

Namun akhirnya ia dilucuti dan ditahan. Ia meyakini PKI tidak bersalah dan tidak melakukan

pemberontakan. Justru Suharto lah yang melakukan kudeta terhadap Bung Karno.

10. Bu Nadiani YPKP 65 Daerah Sumatera Barat: Menceritakan kesaksiannya sebagai seorang ibu yang ditinggal suaminya karena

ditahan. Bagi yang tidak dikenakan tahanan harus menyetor barang berupa kayu, batu, atau

apapun, bahkan emas kepada Kodim setempat. Suka duka sebagai peneliti YPKP 65

menuruni jurang dan lembah. Menemukan bahwa umumnya korban 65 mengalami trauma

berat. Ada seorang ibu beserta anaknya yang lari ke hutan untuk menyelamatkan diri dari

kejaran tentara, selama 40 hari tidak makan nasi, hanya makan dedaunan. Mereka terpaksa

bersembunyi di sebuah gua harimau. Namun, harimau tersebut justru bersahabat. Ia tidak

menerkamnya. Pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh Komunis terjadi di

Pesisir Selatan, Painan, Pariaman, Pasaman, Batusangkar, Solok serta di Lubukbasung. Lima

penggalan kepala dijadikan tumbal dasar pembuatan jembatan/bendungan di daerah Lubuk

basung. Potongan badannya dibuang di lembah Jurang Kelok Dalam.

11. Bu Marni Samin Anggota Pengurus YPKP 65 Riau Mengisahkan kesaksian seorang perempuan yang diperkosa oleh aparat militer. Ketika itu

seorang gadis anggota Gerwani berada di kapal tongkang pengangkut barang bersama 40 orang

tapol yang hendak dibuang/dibunuh. Setelah para aparat melampiaskan nafsu bejatnya kepada

seorang anggota Gerwani tersebut, salah seorang awak kapal ada yang bersimpati kepadanya

untuk menurunkan sang gadis tersebut dengan menggunakan sekoci di laut agar terbebas dari

korban kebiadaban militer. Namun, malang. Usahanya diketahui oleh aparat militer dan sang

gadis dibunuh dengan tembakan senapan. Begitu pula seluruh tapol yang berada di kapal

dibunuh habis. Ini terjadi di dekat Pulau Babi di perairan Riau pada akhir 1965. Sayang sekali,

saksi yang menceritakan ini telah meninggal dunia.

Catatan di akhir diskusi Interaktif, pelaporan dan kesaksian meski berakhir hampir larut malam,

para peserta yang meskipun telah berusia lanjut namun tetap bersemangat, bahkan diselingi

dengan humor-humor kocak serta menyanyikan lagu-lagu perjuangan di era 1965, lagu-lagu

LEKRA , Blonjo Wurung, Lagu Perjuangan Tani Bagi Hasil, dll.

Di hari ketiga 02 September 2013 pukul 08.00 – 14.00 Diskusi dilanjutkan dengan menyusun

Rangkuman Hasil Diskusi, menyusun Agenda kerja ke depan, membentuk Komite Persiapan

International People’s Tribunal on Gross Humanitarian Violation of 1965-66 Tragedy serta

Konferensi Pers.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Menyadari kebuntuan atas penuntasan/penyelesaian Tragedi 1965-66 yang dilakukan

Negara/pemerintah menyusul dikembalikannya Rekomendasi/berkas penyelidikan pro justisia

Komnas HAM Republik Indonesia oleh Jaksa Agung RI dengan alasan bahwa hasil penyelidikan

Komnas HAM dianggap kurang lengkap oleh karenanya tidak layak untuk ditindak lanjuti kepada

Page 11: REKONSILIASI DAN KEBENARAN - gelora45.comgelora45.com/news/IbrahimIsa_RekonsiliasiDanKebenaran.pdf · undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban

11

penyidikan. Tindakan Jaksa Agung yang mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM

semakin mempertegas ketidak seriusan pemerintah, ketidakmauan dan ketidakmampuan pemerintah

Republik Indonesia untuk menegakkan keadilan serta menjamin rasa aman bagi Korban. Sikap Jaksa

Agung RI sangat jelas adalah ingin terus melanggengkan impunitas dan melindungi para

pelaku/perpetrators yang terlibat dalam aksi kekerasan/ kejahatan kemanusiaan tragedi 1965-66

yaitu: Pembunuhan massal, Penghilangan Orang secara Paksa, Perbudakan/Kerja Paksa,

Pemerkosaan, Penyiksaan, Pemusnahan, Pengusiran atau Pemindahan Orang secara Paksa,

Perampasan Kemerdekaan/Perampasan Kebebasan Phisik, Penganiayaan/Pengejaran/Pe rsekusi

terhadap orang/golongan yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia beserta simpatisannya,

juga terhadap pengikut Bung Karno Presiden pertama RI.

Maka dengan ini:

1. Kami, para Peserta Diskusi yang berjumlah 45 orang, merupakan perwakilan Korban 65/YPKP

65 maupun bertindak atas nama pribadi yang datang dari berbagai daerah/kota di seluruh

Indonesia: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Timur, Kutei Kartanagara,

Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Secara aklamasi

mendukung untuk membawa kasus penyelesaian tragedi 1965-66 melalui mekanisme

Internasional, antara lain: Menghadirkan Special Reporteur Komisi Dewan HAM PBB Geneva,

menggelar Mahkamah Internasional (Prakarsa Rakyat) untuk mengadili Kejahatan Kemanusiaan

Tragedi Pelanggaran HAM Berat 1965-66 di Den Hag Negeri Belanda.

2. Kami para Peserta Diskusi secara aklamasi membentuk Presidium Panitia (Komite) Persiapan

Penyelenggaraan Mahkamah Internasional prakarsa Rakyat untuk Mengadili Kejahatan

Kemanusiaan Pelanggaran HAM Berat Tragedi 1965-66 yang akan digelar di Den Hag Negeri

Belanda pada Oktober 2015. Presidium dipimpin oleh Bedjo Untung (Ketua YPKP 65) dan Ibu

Haryati Panca Putri (Direktur LPH YAPHI).

3. Komite selanjutnya akan melakukan persiapan untuk menuju ke terselenggaranya Mahkamah

Internasional dengan melakukan sinergisitas dengan Kawan-Kawan Korban 65 di Luar Negeri,

Negeri Belanda, juga di negera-negara Eropa lainnya.

4. Komite juga akan melakukan lobi dan atau pendekatan dengan para pakar hukum dalam dan luar

negeri, para Hakim dan Jaksa Penuntut Umum bertaraf Internasional untuk mendukung

digelarnya Mahkamah Internasional atas prakarsa Rakyat.

5. Komite juga akan melakukan lobi kepada para pegiat HAM dalam dan luar negeri, melakukan

kampanye kepada lembaga mau pun perorangan yang selama ini konsisten mendukung

penegakan HAM dan Demokrasi di Indonesia.

6. Komite juga akan melakukan pendekatan kepada Dewan HAM PBB untuk hadirkan Special

Reporteur , selidiki Tragedi 1965/66.

7. Komite juga akan melakukan lobi dan atau pendekatan kepada Negara-negara, Organisasi Non

Pemerintah ICRC (Palang Merah Internasional), Amnesty internasional, atau pun individual

yang pernah terlibat dalam pembebasan massal Tapol pada 1979.

8. Komite juga akan melakukan verifikasi atas laporan/kesaksian para korban 65 sehingga sesuai

dengan standar pelaporan PBB untuk dijadikan alat bukti dalam Mahkamah Internasional.

9. Komite juga menyerukan kepada seluruh Korban 65 baik itu Korban langsung maupun tidak

langsung, juga Keluarga Korban 65 yang tergabung dalam suatu Organisasi mau pun perorangan

baik yang tinggal di Dalam Negeri mau pun yang bermukim di Luar Negeri untuk bersatu padu

berjuang bersama untuk menuju cita-cita bersama, penegakan Hak Asasi Manusia, pemulihan

Hak-Hak Korban, Pengungkapan Kebenaran, serta Keadilan dan Demokrasi bagi Korban.

Page 12: REKONSILIASI DAN KEBENARAN - gelora45.comgelora45.com/news/IbrahimIsa_RekonsiliasiDanKebenaran.pdf · undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban

12

Solo, 02 September 2013

PRESIDIUM

Komite Persiapan

International People’s Tribunal on Gross Humanitarian Violation

of 1965/66 Tragedy

Bedjo Untung Haryati Panca Putri Ketua YPKP 65 Direktur LPH YAPHI