REKONSILIASI DAN KEBENARAN -...
Transcript of REKONSILIASI DAN KEBENARAN -...
1
Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 09 Sept. 2013
-----------------------------
Gerak Sejarah ini ----
"REKONSILIASI DAN KEBENARAN" Akan Bergulir Terus Seperti Tumbuhnya Padi Yang Satu Ketika Tiba Masa
Panennya . . . .!
* * *
Hari ini Peneliti Generasi Muda LIPI, Amin Mudzhakir menyiarkan di FB, sebuah ulasan
berjudul:
"Membangkitkan Kembali Semangat Rekonsiliasi".
Tulisan ini dipicu oleh berlangsungnya Awal Agustus yl sebuah
"Tele-Conference" antara Jakarta, Melbourne, Vancouvre dan Kopenhagen dengan
acara besar:
‘Keadilan Sejarah dalam Menyikapi Tragedi 1965’.
Dampak "Tele-Conference" tsb menandakan meningkatnya kesedaran dan "political will"
dikalangan masyarakat, terutama dikalangan cerdik pandai, khususnya golongan
sejarawan muda Indonesia, untuk meneruskan dan memperbesar kegiatan sekitar
"Keadilan Sejarh dalam Menyingkap Tragedi 1965", menuju REKONSILIASI
NASIONAL DAN KEBENARAN.
Penulisnya, Amin Mudzhakir a.l. menegaskan:
"Muara perdebatan dalam acara kemarin adalah kesadaran untuk membangkitkan
kembali semangat rekonsiliasi yang belakangan ini dirasakan agak mandek. Pada tataran
sosial dan kultural rekonsiliasi masih mungkin dilakukan. Inilah prasyarat agar
rehabilitasi politik yang merupakan tanggung jawab negara mempunyai legitimasi kuat di
tengah masyarakat.”
* * *
Mari ikuti bersama tulisan AMIN MUDZHAKIR, sbb:
Membangkitkan Kembali Semangat Rekonsiliasi
9 September 2013
2
Pada tanggal 30 Agustus 2013 kemarin di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara,
Jakarta, diselenggarakan sebuah telekonferensi bertajuk ‘Keadilan Sejarah dalam
Menyikapi Tragedi 1965’. Disebut telekonferensi karena acara tersebut diadakan di
empat kota, yaitu Jakarta (Indonesia), Melbourne (Australia), Vancouver (Kanada), dan
Kopenhagen (Denmark) secara bersamaan dengan menggunakan fasilitas teknologi
informasi terkini. Dapat dikatakan ini adalah acara akademis terbesar yang pernah
diselenggarakan berkait dengan peristiwa 1965. Para pakar dan aktivis yang selama ini
berkecimpung dalam isu tersebut hadir memberikan pandangannya, selain para
undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban
Tragedi 1965 itu sendiri.
Tulisan ini merangkum isu yang berkembang dalam acara tersebut disertai dengan
konteks sejarahnya. Muara perdebatan dalam acara kemarin adalah kesadaran untuk
membangkitkan kembali semangat rekonsiliasi yang belakangan ini dirasakan agak
mandek. Pada tataran sosial dan kultural rekonsiliasi masih mungkin dilakukan. Inilah
prasyarat agar rehabilitasi politik yang merupakan tanggung jawab negara mempunyai
legitimasi kuat di tengah masyarakat.
1965: Titik Balik
Peristiwa 1965 adalah titik balik dalam sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan. Diawali
oleh pembunuhan beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, peristiwa tersebut meminta
korban jiwa berkisar antara 300 ribu hingga 2,5 juta orang. Dengan jumlah korban yang
sangat besar tersebut, tidak berlebihan jika peristiwa tersebut disebut sebagai
tragedi.
Masalahnya adalah hingga hari ini Tragedi 1965 masih diselubungi tabir kelam. Dalam
historiografi negara yang disusun selama masa Orde Baru, narasi yang ditampilkan
dibatasi pada peristiwa pembunuhan para jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965. Partai
Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai pelakukan. Oleh karena itu, dalam buku-buku
sejarah resmi rangkaian peristiwa tersebut disederhanakan dengan nama
‘pengkhianatan Gerakan 30 September 1965/PKI (G30S/PKI).
Akan tetapi, prahara terbesar dalam sejarah republik ini justru terjadi setelah itu.
Sejak Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno beberapa saat kemudian,
terjadi genosida atau pembersihan terhadap siapa saja yang dituduh terlibat PKI.
Pembunuhan massal ini dilakukan secara terorganisir oleh militer dengan bantuan
beberapa kelompok sipil anti-komunis. Ladang pembantaian terbesar berada di Jawa
Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara selama kurun akhir 1965 hingga
pertengahan 1966.
3
Mereka yang tidak dibunuh dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik (tapol) tanpa
melewati proses pengadilan. Jumlahnya mencapai 15.000 orang. Pada tahun 1979 secara
berangsur para tapol tersebut dibebaskan. Meski demikian, mereka tidak pernah
memperoleh hak sebagai warga negara sepenuhnya.
Selain itu, terdapat juga kaum eksil di luar negeri yang jumlahnya ribuan orang. Ketika
peristiwa 1965 meletus, mereka sedang bertugas sebagai mahasiwa atau utusan
Indonesia di organisasi-organisasi internasional. Oleh karena alasan yang sama dengan
korban di dalam negeri, secara sewenang-wenang mereka dicabut paspornya. Akibatnya
mereka tidak bisa pulang, sehingga hidup ‘kelayapan’ di luar negeri tanpa status
kewarganegaraan (stateless).
Dalam kenyataannya para korban 1965 hidup dalam stigma sebagai pengkhianat bangsa.
Secara moral mereka dianggap nista. Bagian tragisnya adalah hal ini mendera juga anak
keturunan mereka. Mereka menjadi warga negara kelas dua yang didiskriminasi dalam
banyak perkara sedemikian rupa.
1998: Antara Harapan dan Ketidakpastian
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 membuka lembaran sejarah baru
bagi para korban. Mereka berharap adanya rehabilitasi terhadap hak kewarganegaraan
mereka yang terampas selama ini. Bersama dengan itu, muncul berbagai penyelidikan
yang menunjukkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius dalam kasus
1965 dan berbagai peristiwa kekerasan yang mengiringinya.
Pada masa Abdurrahman Wahid, pemerintah membuat terobosan penting. Secara
pribadi Wahid meminta maaf kepada para korban Tragedi 1965 dan mengajak semua
kalangan, termasuk Nahdlatul Ulama (NU) untuk melakukan rekonsiliasi. Sebagai
pemimpin NU, seruan Wahid tersebut berdentang nyaring. Sebagaimana diketahui,
beberapa kelompok NU pada tahun 1965-1966 terlibat dalam suatu skenario
penghancuran PKI secara sistematis.
Pada tahun 2004 disyahkan Undang-Undang No. 27 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR). Akan tetapi, pada tahun 2006 undang-undang tersebut dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945. Belakangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat mewacanakan
permohonan maaf negara terhadap korban Tragedi 1965, meski hingga hal itu belum
terrealisasi sama sekali.
Agenda Selanjutnya
Di tengah suasana yang bergelayut antara harapan dan ketidakpastian, telekonferensi
di STF Driyarkara kemarin memastikan satu hal: rekonsiliasi sosial dan kultural di
4
tengah masayarakat masih mungkin dilakukan. Beberapa contoh dikemukakan, seperti
apa yang dilakukan selama ini oleh Syarikat Indonesia. Organisasi masyarakat sipil yang
berasal dari kalangan NU ini aktif mengadakan berbagai forum untuk mempertemukan
warga baik yang berada pada posisi korban maupun pelaku. Diharapkan dengan itu
tercipta komunikasi yang selama puluhan tahun terputus oleh prasangka yang diwariskan
secara turun temurun.
Satu contoh lagi dikemukakan dari Bali. Gugatan ahli waris I Gede Puger disyahkan oleh
putusan Mahkamah Agung No. 1050/K/Pdt/2007 tentang perampasan tanah dan
bangunan. Kodam IX yang sekarang menguasai aset tersebut diminta untuk
mengembalikannya kepada ahli waris I Gede Puger. Selain itu, keputusan Mahkamah
Konstitusi mengenai Pasal 60 huruf g dalam UU. 12/2003 tentang pemilihan umum yang
merestorasi hak sipil dan politik eks tapol untuk memilih dan dipilih patut diapresiasi.
Berbekal contoh-contoh tersebut, rekonsiliasi pada tataran sosial dan kultural masih
mungkin dilakukan, meski terlihat sporadis dan kasusistik. Akan tetapi, hanya dengan
jalan inilah rehabilitasi politik yang lebih besar pada tataran negara akan memperoleh
legitimasinya. Di atas semuanya, dibutuhkan kesabaran karena mematahkan pewarisan
ingatan tentang Tragedi 1965 yang telah dibangun kokoh selama ini bukanlah pekerjaan
mudah.
FB. 09 SEPT 2013
(Dimuat di Harian Nasional, 4 September 2013)
* * *
Response pembaca “ FB”-- Wahyudi Akmaliah:
Luar biasa! Tajam, menukik, dan sangat kontekstual. Tak salah bila, bung Amin bisa
disejajarkan dengan pengkaji peristiwa 1965 lainnya. Tulisan ini juga bisa menjadi
semacam penanda bahwa LIPI memiliki generasi baru untuk mengkaji studi kelam
tersebut setelah pak Asvi dan Hermawan. Tabik!
* * *
LAPORAN
DISKUSI TERBATAS
MAHKAMAH RAKYAT INTERNASIONAL
KEJAHATAN KEMANUSIAAN TRAGEDI 1965-66
(INTERNATIONAL PEOPLE’S TRIBUNAL ON GROSS
HUMANITARIAN VIOLATION OF 1965-66 TRAGEDY)
5
31 Agustus – 2 September 2013
SOLO, Jawa Tengah INDONESIA
Diskusi Terbatas yang membahas hal-ihwal Mahkamah Rakyat Internasional Kejahatan
Kemanusiaan/pelanggaran HAM Berat Pembunuhan Massal 1965-66 (International People’s
Tribunal on Gross Humanitarian Violation of 1965-66 Tragedy) di Solo, Jawa Tengah 31 Agustus- 2
September 2013 berjalan lancar, damai, bersemangat, penuh keakraban dan solidaritas sesuai
dengan yang direncanakan.
Diskusi dibuka oleh Bedjo Untung Ketua YPKP 65 dengan diawali menyanyikan lagu kebangsaan
Indonesia Raya dan mengheningkan cipta untuk mengenang Korban 65 yang gugur sebagi korban
kebiadaban rejim fasis Suharto. Juga, sambutan Ibu Haryati Panca Putri Direktur LPH YAPHI.
Di hari pertama diskusi (Sabtu 31 Agustus 2013 pukul 19.00- 22.00) diisi dengan uraian yang
melatarbelakangi diselenggarakannya diskusi serta dilanjutkan dengan perkenalan para delegasi.
Di hari kedua (Minggu 01 September 2013 pukul 08.00- 13.00) diskusi interaktif menghadirkan
pembicara/narasumber Bung Stanley Anggota Komnas HAM periode 2007-2012 yang menjelaskan
proses lahirnya Rekomendasi Komnas HAM/Hasil penyelidikan pro yustisia Kejahatan
Kemanusiaan Tragedi 1965-66, serta penjelasan sebagai salah satu orang yang ikut menggagas
perlunya digelar Tribunal Internasional (prakarsa Rakyat) untuk mengadili Kejahatan Kemanusiaan
Pelanggaran HAM berat Tragedi 1965-66.
Gagasan menggelar International People’s Tribunal Massacre 1965 bermula dari Kawan-Kawan pegiat HAM dan Korban 65 di Negeri Belanda: Ibu Saskia E. Wieringa, Nursyahbani Kacasungkana. Rencana ini juga didukung oleh berbagai kalangan anggota Parlemen di Negeri Belanda termasuk mantan Menteri Kerjasama Pembangunan Pronk. Seorang anggota Parlemen Belanda bahkan berkata, “Jangan berkunjung ke Indonesia sebelum menonton film The Act of Killing agar mendapat pemahaman obyektif tentang kondisi HAM di Indonesia.”
Narasumber berkutnya ialah Bapak Kabul Supriyadhie Anggota Komnas HAM periode 2007-2012 yang juga sebagai dosen Universitas Diponegoro Semarang, sebagai pakar hukum menjelaskan secara panjang lebar tentang mekanisme Mahkamah Pidana Internasional (ICC), juga contoh-contoh pengadilan yang sudah pernah dilaksanakan, misalnya: Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (ICTR), Tribunal untuk Kamboja, Tribunal Sierra Leone, Mahkamah Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY). Dalam pemaparannya, Kabul Supriyadhie memberi judul, “Informal International Tribunal: Dampak Hukum dan Politik”. Sementara itu, dalam sesi interaktif ini, Dewi Ratna Wulan sebagai relawan YPKP 65 yang berkedudukan di Bangkok, Thailand dan aktif sebagai pegiat perjuangan kesetaraan gender, mengomentari tentang perlunya digelar International People’s Tribunal. Dengan mencontoh pengadilan Tokyo tentang kekejaman tentara pendudukan Jepang ketika melakukan kejahatan pelecehan seksual kepada para budak seks di bekas Negara pendudukannya.
International People Tribunal perlu digelar untuk mengadili Kejahatan Kemanusiaan
Pelanggaran HAM Berat Tragedi 1965-66
Dalam sesi diskusi interaktif ini, para peserta memanfaatkan kesempatan untuk bertanya maupun mengemukakan pandangannya tentang perlunya menggelar pengadilan internasional atas prakarsa
6
Rakyat oleh karena system pengadilan dalam negeri yang tidak berniat, tidak ada kemauan dan kemampuan untuk menuntaskan kasus tragedi 1965-66. Diakuinya, melalui mekanisme ICC (International Criminal Court) adalah tidak memungkinkan karena tragedi 1965/66 berlangsung sebelum diumumkannya Statuta Roma pada tahun 2000 dan juga pemerintah Republik Indonesia sampai hari ini belum meratifikasi Statuta tersebut. Sekalipun RI telah meratifikasi, maka kejahatan yang dilakukan sebelum terjadinya ratifikasi, tidak dapat diadili karena Statuta Roma tidak berlaku surut. Salah satu yang memungkinkan adalah menggunakan mekanisme penghilangan orang secara paksa. Dijadwalkan, pemerintah Indonesia akan segera meratifikasi konvensi anti penghilangan orang secara paksa. Kalau ini terealisasi, maka kasus penghilangan orang secara paksa tragedi 1965/66 bisa dibawa ke pengadilan karena penghilangan orang secara paksa tidak mengenal kedaluwarsa, penghilangan orang secara paksa adalah continuous crimes (kejahatan yang masih berlanjut karena si korban belum diketemukan). Laporan Penelitian/ Kesaksian Korban
Sesi berikutnya pada pukul 14.00 – 17.00 kemudian dilanjutkan pada pukul 19.00 – 22.00 adalah
Sharing Wilayah/Laporan Hasil Penelitian masing-masing Kota/Kabupaten di seluruh Indonesia.
Tiap Cabang YPKP 65 melaporkan hasil temuannya yaitu menekankan pada:
Berapa jumlah orang yang dibunuh, ditahan, dibuang , dipekerjakan secara paksa, tempat-tempat
penyiksaan, tempat penahanan serta lokasi kuburan massal, serta jenis/bentuk penyiksaan,
berapa rumah-rumah penduduk yang dibakar, dll.
Keterangan ini akan digunakan sebagai barang bukti mau pun kesaksian dalam persidangan di Den
Hag yang rencananya akan digelar pada Oktober 2015, yaitu bertepatan dengan 50 tahun pembisuan
dan impunitas. Para pelaku (perpetrators) sampai hari ini masih berlindung di dalam kekuasaan.
Presiden RI belum berani membuka kejahatan yang dilakukan oleh aparat militer. Padahal, sudah
sangat jelas, rekomendasi Komnas HAM kepada Jaksa Agung agar Negara/Pemerintah RI segera
membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk mengusut dan mengadili para jenderal yang diduga
terlibat dalam pembunuhan massal 1965-66.
Sungguh luar biasa. Laporan/Kesaksian para korban 65/ para peserta diskusi yang mewakili YPKP
65 di daerahnya masing-masing memberikan catatan-catatan penting apa adanya tentang temuan
hasil penelitiannya:
1. St. Sudarno Ketua YPKP 65 Pekalongan, melaporkan: Sudarno lahir 17 Maret 1943 di desa Mojoagung, Kecamatan/Kawedanan Kajen Kabupaten
Pekalongan. Ketika peristiwa 1965 meletus ia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di kantor
Kawedanan Kajen juga sebagai Dan Ton (Komandan Peleton) Sukarelawan Pengganyangan
Malaysia dari unsur Pegawai Negeri. Ia ditangkap, ditahan dimasukkan ke bangunan bekas
gudang garam yang kotor, pengap, panas tidak ada celah udara masuk, bersama teman-teman
yang jumlahnya sampai 200 an orang.
Ketika di dalam tahanan Penjara I Pekalongan, keadaannya lebih menyedihkan: para tahanan
tidak diberi makan, hanya jagung sebanyak 25 butir kadang kala dipaksa makan gaplek
(singkong kering) busuk. Pernah ia tidak diberi minum, tidak ada cangkir untuk minum. Air
yang dikocorkan oleh petugas penjara dari balik teralis besi, kemudian para tapol menadahi
dengan peci, kaos, celana dalam, untuk kemudian diperas dan diminum.
7
Pak Sudarno menyaksikan dengan mata kepala sendiri dan ikut mengalami menyiksaan yang
melampaui batas-batas perikemanusiaan.
Ia mengalami pemukulan dengan menggunakan balok kayu, rotan, besi dan ada yang
menggunakan kayu yang sudah dililiti kawat berduri untuk memukuli para tahan politik.
Sugeng anggota BPH Kabupaten Pekalongan diadu dengan adiknya, kemudian dipukuli
sampai meninggal.
Sudarno kehilangan ayah dan pamannya yang dibunuh ketika menjalani pemeriksaan di kantor
CPM Pekalongan.
Dalam Catatan Penelitian YPKP 65 Kabupaten Pekalongan, terdapat 339 orang yang
meninggal dunia/ dihilangkan secara paksa, diantaranya 280 orang meninggal ketika berada
di Kamp penyiksaan/Penjara LP Pekalongan. Sejumlah 38 orang dibunuh dengan modus
tahanan politik diambil (diculik) dari dalam tahanan kemudian dibunuh di suatu tempat
kuburan massal di pantai utara Pekalongan. Sejumlah 13 orang meninggal di Pulau Buru
serta 8 orang dihilangkan tidak terdeteksi dimana mereka dibunuh.
Laporan Penelitian YPKP 65 Pekalongan juga melengkapinya dengan Daftar Korban 65
yang wajib lapor, dan ditahan . Di seluruh Kabupaten Pekalongan yang ditahan ada 1152
orang, sedangkan yang wajib lapor ada 525 orang, sehingga keseluruhan berjumlah 1677
orang.
Jumlah tapol se kabupaten Pekalongan yang dipekerjakan di pulau Buru berjumlah 199
orang.
Rumah yang dirusak dan dibakar oleh massa atas sepengetahuan aparat tentara sebanyak 67
rumah (termasuk pabrik gondorukem milik ayah Sudarno).
Laporan lengkap secara terperinci berikut Daftar Nama yang meninggal dunia, Nama pemilik
Rumah yang dirusak/dibakar, Tempat Lokasi penyiksaan serta tempat kuburan massal ada
disimpan oleh Sekretariat YPKP 65 Pusat.
2. Supardi YPKP 65 Kabupaten Pati, melaporkan: Dalam penelitiannya, YPKP 65 Pati menemukan 7 (tujuh) lokasi kuburan massal,
(1) Kawasan hutan Perhutani HPH Grogolan, di desa Grogolan, Kecamatan Dukuh Seti. Daerah
kehutanan tempat dimakamkannya orang-orang yang dituduh anggota PKI –karena dibunuh
secara massal - oleh masyarakat sekitar hutan, lokasi tersebut dikenal dengan nama Hutan
Pekainan. Di sini dibunuh sebanyak 40 orang anggota PKI.
(2) Di Kawasan Perkebunan Karet Kalitelo, desa Puncel, Kecamatan Dukuh Seti. Dikenal
dengan sebutan Batu Bantal. (terdapat 15 orang dalam satu lubang).
(3) Di Kawasan Hutan Perhutani HPH Lamin, desa Regaloh, Kecamatan Telogowungu. Dikenal
dengan nama Hutan Sumberlamin. ( Menurut Saksi mata, di sini telah dieksekusi 29 orang
yang dituduh sebagai anggota PKI atau simpatisannya).
(4) Di Kawasan Hutan Perkebunan Kopi Jolong, desa Guwo, Kecamatan Telogowungu. Dikenal
dengan nama Hutan Kopi.( 39 orang dibunuh dalam satu lubang).
(5) Di Kawasan Hutan Perhutani HPH Barisan , desa Mantup, Kecamatan Jaken. Dikenal dengan
nama Hutan Jenggot/Jeglong Barisan. Di tempat ini diketemukan 7 (tujuh ) lubang yang
sudah disiapkan untuk mengubur orang-orang yang diduga sebagai anggota Partai Komunis
Indonesia yang telah dieksekusi. Menurut saksi mata –orang penduduk sekitar hutan yang
8
mengetahui dan membawa lampu petromaks ketika eksekusi itu dilakukan- tiga lubang
sudah diisi dengan jenasah korban. Lubang pertama diisi 5 jenasah, lubang kedua juga 5
jenasah, sedangkan lubang ketiga diisi 15 jenasah. Lubang keempat sampai ke tujuh masih
dibiarkan menganga.
(6) Hutan Brati di Desa Brati, Kecamatan Kayen. Di hutan ini diperkirakan ada 35 korban
pembunuhan yang dilakukan oleh tentara atas orang yang diduga anggota PKI.
(7) Hutan Panggang atau disebut juga Kretekabang Brati. (25 orang anggota PKI dieksekusi
dalam satu lobang).
Hasil penelitian YPKP 65 Cabang Pati menyimpulkan, ada 322 korban pembunuhan,
penghilangan orang secara paksa yang dilakukan oleh aparat tentara, dengan modus
operandinya, memperalat orang-orang bayaran untuk dijadikan algojo terhadap orang yang
dituduh anggota PKI maupun pendukung Sukarno Presiden pertama RI. Saksi pelaku siap
memberi keterangan agar sejarah yang selama ini ditutup-tutupi bisa dibongkar. Saksi
mendengar berondongan senjata di malam hari, dan keesokan harinya para penduduk di
sekitar hutan melihat ada mayat yang ditanam di dalam area perhutani.
Daftar saksi mau pun catatan hasil penelitian YPKP 65 Pati tersimpan di sekretariat YPKP 65
Pusat.
3. NH. Atmoko YPKP 65 Wonosobo, melaporkan: Penggalian kuburan massal di hutan Situkup, Dempes, Wonosobo pada akhir 1999 dan awal
2000 oleh YPKP 65 menemukan kerangka jenasah sebanyak 21 orang. Kerangka ini adalah
berasal dari jenasah orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI yang telah dieksekusi di
hutan tersebut. Informasi tentang dikuburkannya jenasah para korban 65 tersebut berasal dari
seorang sipir penjara Wirogunan, Yogyakarta tempat dimana para tapol tersebut disekap
sebelum diculik.
NH. Atmoko mengisahkan catatan pribadinya ketika ia ditangkap, disiksa dan dipekerjakan
sebagai budak di penjara Nusakambangan. Ia ditangkap pada November 1965 dan dibebaskan
pada 20 Oktober 1969 hanya karena ia pendukung setia Bung Karno dan sebagai anggota
pengurus PNI Ali-Surahman. Selama dalam tahanan ia menyaksikan dan mengalami sendiri
siksaan yang dilakukan para interogator militer terhadap para tahanan politik yang berjumlah
ribuan orang. Ia juga menyaksikan betapa hampir tiap hari di penjara Nusakambangan para tapol
meninggal dunia karena kelaparan, karena para tapol tidak diberi makan dan minum.
“Meskipun aku secara resmi menerima Surat Pembebasan yang menyatakan bahwa aku
tidak terlibat G30S nyatanya aku masih harus melaporkan diri seminggu dua kali di Kantor
CPM sampai 6 bulan lamanya. Dan di akhir laporan – aku harus datang sendiri di Markas
Teperda di Semarang untuk menerima Surat Bebas Lapor. Meskipun aku sudah menerima
Surat Bebas Lapor dari Teperda di Semarang –nyatanya bertahun-tahun aku dilarang
meninggalkan kotaku. Aku harus selalu berada di rumah dalam keadaan lapar. Setiap
mencari pekerjaan, yang aku datangi menolak karena takut kepada pemerintahan militer.
Jawab mereka harus dengan Surat Keterangan Bebas G30S/PKI. Mana mungkin!”
Sepenggal kesaksian NH. Atmoko yang memperoleh perlakuan diskriminatif dari
pemerintah orde baru rejim fasis militer, seperti yang yang ditulis dalam catatan Synopsis
bukunya. Kisa mengharukan ini telah dibukukan dengan judul Banjir darah di Kamp
Konsentrasi.
4. Supomo Ketua YPKP 65 Boyolali
9
Di hadapan peserta diskusi, Supomo menceritakan penyiksaan dirinya dan beberapa Kawan di
daerah Boyolali, Jawa Tengah. Telinga kiri dan kanan diiris dengan menggunakan kelewang oleh
para algojo atas sepengetahuan aparat militer. Kepala bagian atas juga ditebas dengan kelewang,
namun ia secara reflex bisa menghindar dan selamat sampai sekarang. Ia ditahan di bekas gedung
bioskop bersama kira-kira 2000 tahanan politik, anggota PKI, BTI, Pemuda Rakyat, dll. Boyolali
sebagai kota dimana mayoritas penduduknya adalah anggota PKI, BTI dan Pemuda Rakyat.
Diperkirakan 20.000 kader anggota PKI dan anggota organisasi massa pendukungnya menjadi
korban pembunuhan massal tragedi kemanusiaan 1965/66 di Boyolali. Suwali Bupati Boyolali
dan Siswowitono anggota DPRD Boyolali Fraksi PKI dibunuh tanpa proses hukum. Lokasi
pembunuhan adalah di Kuburan Sonolayu, Kota Boyolali. Di kuburan massal ini diperkirakan
300 -500 orang anggota PKI yang dibunuh. Tempat ini sering dikunjungi para pegiat HAM baik
dari dalam mau pun luar negeri.
Tempat-tempat pembunuhan massal lainnya di daerah Boyolali antara lain di Ampel, Pengging,
Ketaon, Pundung, Cepogo.
Ada kesaksian secara terpisah, oleh Ibu Endang Kustantinah. Ketika itu ia berumur 9 tahun
bermaksud pergi sekolah di desanya Jetis, Kragilan, Mojosongo, Boyolali. Namun, didapatinya
pintu halaman sekolah masih terkunci rapat. Tidak seperti biasanya. Nampaknya para guru tidak
ada yang mengajar karena pada malam sebelumnya terjadi penangkapan, pengejaran orang-orang
yang dituduh anggota PKI. Ketika ia pulang dari sekolah dengan berlarian, ia menjumpai
kerumunan orang dengan menenteng penggalan kepala orang yang masih berlumuran darah.
Sementara itu di sudut-sudut jalan di kampung yang ia laluinya terpasang penggalan kepala
orang yang juga masih berlumuran darah untuk menakut-nakutinya. Naluri seorang bocah yang
masih duduk di bangku SD kelas 3 itu, menangis. Ia mendengar hujatan orang-orang yang
berkumpul di jalanan dengan memukuli orang-orang yang dianggap anggota PKI, dengan kedua
tangannya diikat dengan menggunakan tali goni, sekujur tubuhnya berlumuran darah dari bagian
kepala. Yang lebih menakutkan lagi dalam hujatan kerumunan orang itu menyebut nama ayahnya
yang dikenal di desa itu sebagai panutan warganya. “Hancurkan PKI, tangkap Siswowitono,
Bunuh!!” Tentu saja, kejadian ini sungguh menakutkan. Sampai hari ini Endang Kustantinah
selalu menangis bila mengingat kejadian masa itu, tidak bisa bicara, seolah mulut tidak kuasa
untuk bercerita.
(Untuk menyingkat, laporan dari berbagai cabang YPKP 65 akan dibuat secara terpisah di
kesempatan lain:
5. Norman AR YPKP 65 Sumatera Utara: Kisah Pembunuhan Massal di Sungai Ular, Kesaksian
seorang Jagal yang dipaksa untuk membunuh para tahanan anggota PKI, BTI, hanya karena
imbalan uang atau bila tidak melakukannya akan dibunuh.
6. Handoko Ketua YPKP 65 Jawa Timur: Mengisahkan penyiksaan di penjara Kalisosok
Surabaya dan menyaksikan terapung-apungnya mayat orang-orang yang dituduh anggota Partai
Komunis Indonesia di Kali Brantas, dan Porong.
7. Ngadi Suradi dan Wagiran Perwakilan Korban 65/YPKP 65 Kalimantan Timur dan Kutei
Kartanegara : Kesaksian rekayasa untuk menahan anggota tentara yang dituduh ikut anggota
Pemuda Rakyat. Kesaksian Tamil (Tahanan Militer) yang dipekerjakan secara paksa, menebang
pohon raksasa dengan peralatan manual di hutan Argosari Kalimantan Timur. Hasilnya dimakan
oleh penguasa.
10
8. Ir. Djoko Sri Mulyono, mengisahkan suka dan duka menjadi tapol dari sejak ditangkap sampai
ke Pulau Buru dalam bukunya Banten Seabad sesudah Multatuli. Kalau di jaman kolonial
Belanda rakyat Banten diperas oleh penguasa Belanda, kini di jaman Orde Baru Suharto, rakyat
Banten dipaksa kerja rodi membangun jalan, jembatan tanpa diberi makan dan tanpa diupah.
9. Suparno YPKP 65 Mojokerto, Jawa timur: Sebagai mantan anggota militer Batalion 530 ia
dikirim ke Jakarta dalam keadaan siap tempur berdasar radiogram Pangkostrad Mayjen Suharto.
Namun akhirnya ia dilucuti dan ditahan. Ia meyakini PKI tidak bersalah dan tidak melakukan
pemberontakan. Justru Suharto lah yang melakukan kudeta terhadap Bung Karno.
10. Bu Nadiani YPKP 65 Daerah Sumatera Barat: Menceritakan kesaksiannya sebagai seorang ibu yang ditinggal suaminya karena
ditahan. Bagi yang tidak dikenakan tahanan harus menyetor barang berupa kayu, batu, atau
apapun, bahkan emas kepada Kodim setempat. Suka duka sebagai peneliti YPKP 65
menuruni jurang dan lembah. Menemukan bahwa umumnya korban 65 mengalami trauma
berat. Ada seorang ibu beserta anaknya yang lari ke hutan untuk menyelamatkan diri dari
kejaran tentara, selama 40 hari tidak makan nasi, hanya makan dedaunan. Mereka terpaksa
bersembunyi di sebuah gua harimau. Namun, harimau tersebut justru bersahabat. Ia tidak
menerkamnya. Pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh Komunis terjadi di
Pesisir Selatan, Painan, Pariaman, Pasaman, Batusangkar, Solok serta di Lubukbasung. Lima
penggalan kepala dijadikan tumbal dasar pembuatan jembatan/bendungan di daerah Lubuk
basung. Potongan badannya dibuang di lembah Jurang Kelok Dalam.
11. Bu Marni Samin Anggota Pengurus YPKP 65 Riau Mengisahkan kesaksian seorang perempuan yang diperkosa oleh aparat militer. Ketika itu
seorang gadis anggota Gerwani berada di kapal tongkang pengangkut barang bersama 40 orang
tapol yang hendak dibuang/dibunuh. Setelah para aparat melampiaskan nafsu bejatnya kepada
seorang anggota Gerwani tersebut, salah seorang awak kapal ada yang bersimpati kepadanya
untuk menurunkan sang gadis tersebut dengan menggunakan sekoci di laut agar terbebas dari
korban kebiadaban militer. Namun, malang. Usahanya diketahui oleh aparat militer dan sang
gadis dibunuh dengan tembakan senapan. Begitu pula seluruh tapol yang berada di kapal
dibunuh habis. Ini terjadi di dekat Pulau Babi di perairan Riau pada akhir 1965. Sayang sekali,
saksi yang menceritakan ini telah meninggal dunia.
Catatan di akhir diskusi Interaktif, pelaporan dan kesaksian meski berakhir hampir larut malam,
para peserta yang meskipun telah berusia lanjut namun tetap bersemangat, bahkan diselingi
dengan humor-humor kocak serta menyanyikan lagu-lagu perjuangan di era 1965, lagu-lagu
LEKRA , Blonjo Wurung, Lagu Perjuangan Tani Bagi Hasil, dll.
Di hari ketiga 02 September 2013 pukul 08.00 – 14.00 Diskusi dilanjutkan dengan menyusun
Rangkuman Hasil Diskusi, menyusun Agenda kerja ke depan, membentuk Komite Persiapan
International People’s Tribunal on Gross Humanitarian Violation of 1965-66 Tragedy serta
Konferensi Pers.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Menyadari kebuntuan atas penuntasan/penyelesaian Tragedi 1965-66 yang dilakukan
Negara/pemerintah menyusul dikembalikannya Rekomendasi/berkas penyelidikan pro justisia
Komnas HAM Republik Indonesia oleh Jaksa Agung RI dengan alasan bahwa hasil penyelidikan
Komnas HAM dianggap kurang lengkap oleh karenanya tidak layak untuk ditindak lanjuti kepada
11
penyidikan. Tindakan Jaksa Agung yang mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM
semakin mempertegas ketidak seriusan pemerintah, ketidakmauan dan ketidakmampuan pemerintah
Republik Indonesia untuk menegakkan keadilan serta menjamin rasa aman bagi Korban. Sikap Jaksa
Agung RI sangat jelas adalah ingin terus melanggengkan impunitas dan melindungi para
pelaku/perpetrators yang terlibat dalam aksi kekerasan/ kejahatan kemanusiaan tragedi 1965-66
yaitu: Pembunuhan massal, Penghilangan Orang secara Paksa, Perbudakan/Kerja Paksa,
Pemerkosaan, Penyiksaan, Pemusnahan, Pengusiran atau Pemindahan Orang secara Paksa,
Perampasan Kemerdekaan/Perampasan Kebebasan Phisik, Penganiayaan/Pengejaran/Pe rsekusi
terhadap orang/golongan yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia beserta simpatisannya,
juga terhadap pengikut Bung Karno Presiden pertama RI.
Maka dengan ini:
1. Kami, para Peserta Diskusi yang berjumlah 45 orang, merupakan perwakilan Korban 65/YPKP
65 maupun bertindak atas nama pribadi yang datang dari berbagai daerah/kota di seluruh
Indonesia: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Timur, Kutei Kartanagara,
Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Secara aklamasi
mendukung untuk membawa kasus penyelesaian tragedi 1965-66 melalui mekanisme
Internasional, antara lain: Menghadirkan Special Reporteur Komisi Dewan HAM PBB Geneva,
menggelar Mahkamah Internasional (Prakarsa Rakyat) untuk mengadili Kejahatan Kemanusiaan
Tragedi Pelanggaran HAM Berat 1965-66 di Den Hag Negeri Belanda.
2. Kami para Peserta Diskusi secara aklamasi membentuk Presidium Panitia (Komite) Persiapan
Penyelenggaraan Mahkamah Internasional prakarsa Rakyat untuk Mengadili Kejahatan
Kemanusiaan Pelanggaran HAM Berat Tragedi 1965-66 yang akan digelar di Den Hag Negeri
Belanda pada Oktober 2015. Presidium dipimpin oleh Bedjo Untung (Ketua YPKP 65) dan Ibu
Haryati Panca Putri (Direktur LPH YAPHI).
3. Komite selanjutnya akan melakukan persiapan untuk menuju ke terselenggaranya Mahkamah
Internasional dengan melakukan sinergisitas dengan Kawan-Kawan Korban 65 di Luar Negeri,
Negeri Belanda, juga di negera-negara Eropa lainnya.
4. Komite juga akan melakukan lobi dan atau pendekatan dengan para pakar hukum dalam dan luar
negeri, para Hakim dan Jaksa Penuntut Umum bertaraf Internasional untuk mendukung
digelarnya Mahkamah Internasional atas prakarsa Rakyat.
5. Komite juga akan melakukan lobi kepada para pegiat HAM dalam dan luar negeri, melakukan
kampanye kepada lembaga mau pun perorangan yang selama ini konsisten mendukung
penegakan HAM dan Demokrasi di Indonesia.
6. Komite juga akan melakukan pendekatan kepada Dewan HAM PBB untuk hadirkan Special
Reporteur , selidiki Tragedi 1965/66.
7. Komite juga akan melakukan lobi dan atau pendekatan kepada Negara-negara, Organisasi Non
Pemerintah ICRC (Palang Merah Internasional), Amnesty internasional, atau pun individual
yang pernah terlibat dalam pembebasan massal Tapol pada 1979.
8. Komite juga akan melakukan verifikasi atas laporan/kesaksian para korban 65 sehingga sesuai
dengan standar pelaporan PBB untuk dijadikan alat bukti dalam Mahkamah Internasional.
9. Komite juga menyerukan kepada seluruh Korban 65 baik itu Korban langsung maupun tidak
langsung, juga Keluarga Korban 65 yang tergabung dalam suatu Organisasi mau pun perorangan
baik yang tinggal di Dalam Negeri mau pun yang bermukim di Luar Negeri untuk bersatu padu
berjuang bersama untuk menuju cita-cita bersama, penegakan Hak Asasi Manusia, pemulihan
Hak-Hak Korban, Pengungkapan Kebenaran, serta Keadilan dan Demokrasi bagi Korban.
12
Solo, 02 September 2013
PRESIDIUM
Komite Persiapan
International People’s Tribunal on Gross Humanitarian Violation
of 1965/66 Tragedy
Bedjo Untung Haryati Panca Putri Ketua YPKP 65 Direktur LPH YAPHI