DANI SETIAWAN-FUH.pdf

109
NEGARA DAN GLOBALISASI PANDANGAN MUHAMMADIYAH ATAS PERAN DAN FUNGSI NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA DI INDONESIA Oleh Dani Setiawan 9933216569 JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1427 H/2006 M

Transcript of DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Page 1: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

NEGARA DAN GLOBALISASI

PANDANGAN MUHAMMADIYAH ATAS PERAN DAN FUNGSI

NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL

DAN BUDAYA DI INDONESIA

Oleh

Dani Setiawan

9933216569

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1427 H/2006 M

Page 2: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

NEGARA DAN GLOBALISASI

PANDANGAN MUHAMMADIYAH ATAS PERAN DAN FUNGSI

NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL,

DAN BUDAYA DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuludin dan Filsafat untuk

Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Dani Setiawan

NIM : 9933216569

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Yusron Razak, MA Drs. Agus Nugraha, MA

NIP: 150 216 359 NIP: 150 299 478

Jurusan Pemikiran Politik Islam

Fakultas Ushuludin dan Filsafat

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

1427 H/2006 M

Page 3: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Demi Allah, tuhan semesta alam. Segala puji dan syukur aku haturkan atas

segenap cinta dan rezeki yang telah dianugerahkan kepadaku. Tak ada yang pasti

kecuali Dia, pencipta segala makhluk di dunia. Segala keikhlasan atas kehendaknya-

Nya aku merampungkan tulisan sederhana ini. Juga bagi sang juru selamat, Nabi

Agung Muhammad SAW. Terlimpah shalawat dan salam kepadanya.

Demi masa depan, aku persembahkan sebuah goretan. Agar dicatat

sebagai hikmah dan pelajaran. Tak habis rasa terima kasihku atas

kerelaan dan kesungguhan orang-orang yang aku hormati. Para

dosen, guru, dekan, sahabat dan seluruh orang yang

menginspirasiku. Terimalah ini sebagai persembahan bagi kesetiaan

dan perubahan. Izinkah aku mengucapkan rasa syukur dan terima

kasih kepada Prof. Dr. Amsal Bachtiar, MA, selaku Dekan Fakultas

Ushuludin dan Filsafat dan Ketua serta Sekretaris Jurusan

Pemikiran Politik Islam, Bapak Drs. Agus Darmadji, M.fil dan Ibu

Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA Atas kebikan mereka memberikan

peluang bagi kelulusanku. Juga tidak lupa dosen pembimbingku,

Bapak Drs. Yusron Razak, MA dan Bapak Agus Nugraha, MA.

Kesempatan yang berharga bagiku untuk dapat bertemu dan

dibimbing.

Segenap takjub, bagi mereka yang telah menjadi kawan diskusi di

ruang kelas Pemikiran Politik Islam (PPI) angkatan pertama.

Page 4: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Kawan dalam suka dan duka, tempat berbagai cerita dan

pengalaman, Ubaidillah, M. Nur Mekkah, Roy M. Pamenang,

Anshori, M. Nur Khafid, Realino, Suhardiman, Ihdi Karim Makin

Ara, Togar, Fajri, dan Deni Agusta. Terima kasih menjadikanku

sebagai sahabat.

Demi kesabaran dan kasih sayang, aku khususkan skripsi ini untuk

kedua orang tuaku, Kartiwa dan Andriyani. Setelah penantian

panjang, kuharap engkau mau memaafkan anakmu. Jika bukan

karena mereka, mungkin skripsi ini tak kunjung ada. Buat adik-

adikku, Wawan, Zainal, Khoirul, dan si manis Nurul, aku

memberikan catatan ini untuk kalian pelajari kelak. Dan seluruh

keluarga besarku, aku mencintai kalian semua.

Demi perubahan, untuk para guru, dosen dan semua orang yang

menjadi tempat belajarku. Khususnya aku tujukan untuk Bang Ray

Rangkuti, Piet H. Khaidir, Anick H. Tohari, Lisa Nur Humaidah,

Siti Muniroh, Yudhie Haryono, Kusfiardi, Ichsanuddin Noorsy,

Revrisond Baswir dan Ibu Hendri Saparini. Terima kasih atas

semua diskusi dan pengalaman. Semoga aku menjadi apa yang

kalian harapkan.

Demi kemerdekaan sejati, aku hajatkan skripsi ini untuk teman-

teman seperjuangan di Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi

Indonesia (LS-ADI), Koalisi Anti Utang (KAU), Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Ikatan Mahasiswa

Muhammadiyah (IMM) dan Komite Mahasiswa anti Imperialisme

(KM-AI). Juga kepada teman-teman di Forum Mahasiswa Ciputat

(FORMACI), Komunitas Mahasiswa UIN (KM UIN), Himpunan

Page 5: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Mahasiswa Islam (HMI) Cab. Ciputat, dan Pergerakan Mahasiswa

Islam Indonesia (PMII) Cab. Ciputat Atas kesetiaan pada

keyakinan-keyakinan revolusioner dan ide-ide perubahan. Kita

meyakini, bahwa perjuangan belum tentu melahirkan perubahan,

tetapi kita lebih yakin bahwa tidak akan ada perubahan tanpa

perjuangan.

Untuk Dewi Sartika, demi cinta terimalah persembahan ini

untukmu. Bagi kesabaran yang tulus dalam menantiku. Buat Mama

Mumun dan Papa Ramli, terima kasih telah mengizinkan aku

mencintai anakmu. Walau bosan, aku tahu kalian begitu

menyayangiku.

Demi Islam, tidak ada hamba yang lebih shaleh kecuali mereka yang

bekerja dan berjuang menjalankan kewajiban, membela hak dan

keyakinan mereka. Tulisan ini ditujukan bagi mereka yang masih

setia dalam perjuangan. Para aktivis pro demokrasi di seluruh

dunia, kader-kader rakyat, para pembela HAM, dan semua yang

menjadikan “jalanan” menjadi guru terbaik dalam hidup.

Wallahu’alam

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Page 6: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

NEGARA DAN GLOBALISASI

PANDANGAN MUHAMMADIYAH ATAS PERAN DAN FUNGSI

NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN

BUDAYA DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN………..……………………………....…………...…

1

A. Latar Belakang

Masalah………………………..………………...……..1

B. Pembatasan dan Perumusan

Masalah…………..……………...………..12

C. Tujuan dan Kegunaan

Penulisan………………..…………...…...……..13

D. Metode

Penelitian……………………………..……………...…………14

E. Sistematika

Penulisan…………………………..……………...………..14

BAB II LANDASAN

TEORI……..…………….………..…………..……...…..16

A. Beberapa Pengertian Tentang

Negara…………..…………...……...…..16

A.1 Defenisi

Negara……………………………..………….....………16

A.2 Peran dan Fungsi

Negara………………………………...………..20

Page 7: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

B. Beberapa Pengertian Tentang

Globalisasi…………………….……...…24

B.1 Defenisi

Globalisasi……………………………………….…..…..24

B.2 Prinsip-prinsip

Globalisasi……………………………....…..……28

B.3 Aktor-aktor

Globalisasi……………………………………..…….30

B.4 Globalisasi; Anak Kandung

Kapitalisme………………...…....….35

C. Welfare

State…………………………………………………...…..……38

BAB III MENUJU PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN

BUDAYA OLEH

NEGARA…….……….………….…………...…….44

A. Kerangka Normatif Hak-hak ekonomi, Sosial, dan

Budaya………….....44

B. Neoliberalisme; Kendala Ideologis Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial

dan Budaya di Era

Globalisasi……………………………………………….52

C. Refleksi Kebijakan Pembangunan Orde Baru Dalam Pemenuhan Hak

Ekonomi, Sosial dan

Budaya……………………………………………59

D. Signifikansi Peran Muhammadiyah Dalam Mempromosikan Hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya di

Indonesia………………………….…..64

Page 8: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

BAB IV NEGARA DAN PERAN PEMENUHAN HAK EKONOMI,

SOSIAL DAN BUDAYA MENURUT

MUHAMMADIYAH.……69

A. Globalisasi dan Peran Negara Perspektif

Muhammadiyah.……………..69

B. Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Perspektif

Muhammadiyah………………………………………………………

…76

C. Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Perspektif

Muhammadiyah………………………………………………………

…81

D. Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pangan Perspektif

Muhammadiyah…………………………………………...……………

.85

BAB V PENUTUP……………………………………………...……………91

A. Kesimpulan……………………………………………………………..

.91

B. Saran-

saran………………………………………………………………

94

DAFTAR

PUSTAKA.………………………………………...…..……………97

LAMPIRAN-

LAMPIRAN……………………………………………………100

Page 9: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Ibu seorang teman di sebuah desa di Kabupaten Kendal, Jawa

Tengah, memiliki halaman di belakang rumah yang ditanami pohon

bambu. Suatu hari dia didatangi tetangganya yang tengah

membetulkan rumah dan memerlukan dua batang bambu. Setelah

menebang dua batang bambu, si tetangga menghampiri Ibu teman

saya. Si tetangga lalu bertanya berapa ia harus membayar bambu

tadi. Kontan si Ibu kaget sebab dalam kehidupan sehari-hari di desa,

mengambil bambu untuk kebutuhan tetangga sekampung

merupakan hal lumrah dan tanpa biaya. Baginya, tolong-menolong

dan bekerjasama adalah keharusan setiap penduduk desa, sebagai

wujud dari kearifan lokal yang patut dipertahankan.

Kejadian itu salah satu dari banyak cerita yang sedikit banyak menggambarkan

betapa jauh fenomena "masyarakat pasar" (market society) yang sudah menerobos

masuk, bahkan hingga ke wilayah desa-desa, seperti di Kendal tadi. Desa tak lagi

dipenuhi nilai-nilai komunal nan guyub, adat istiadat, serta gotong royong. Desa

berubah menjadi komunitas berorientasi pasar. Tak ada lagi hubungan sosial tanpa

pamrih.

Page 10: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Pandangan tersebut merupakan sebuah konsekwensi dari keyakinan bahwa fase

baru dari dunia telah terjadi. Sebuah fase yang lahir dari hasil perkembangan

teknologi. Bagi para pengagumnya, fase ini disebut globalisasi. Sebagai sebuah

fenomena ekonomi yang sama sekali baru, realitas globalisasi muncul setelah Perang

Dunia II. Khususnya pada paruh terakhir dekade 1960-an, ketika penemuan teknologi

dan informasi berkembang pesat. Itu sebabnya, orang sering menyebut globalisasi

dengan istilah ekonomi kasino.1

Istilah globalisasi, dalam dekade terakhir seakan menjadi mantra. Ketertarikan

orang terhadapnya menjadikan kajian ilmu-ilmu sosial belakangan dipenuhi oleh

berbagai perbincangan dan definisi yang beragam. Sebagian besar aspek globalisasi

diperdebatkan: bagaimana istilah itu harus dipahami, apakah istilah itu baru atau

tidak, dan apa konsekwensinya. Perdebatan tentang globalisasi memiliki sejarah yang

panjang dan menarik. Seperti yang dituliskan oleh Anthony Giddens, dalam bukunya

The Third Way, bahwa sekitar sepuluh tahun yang lalu kata itu hampir tak pernah

digunakan dalam dunia akademis maupun pers. Dari awalnya tak dikenal, kata itu

sekarang muncul di mana-mana. Pidato politik tak lengkap, atau manual bisnis tak

dapat diterima jika tak menyebut kata itu. Kata yang menjadi akrab di telinga itu

mendorong perdebatan intens, di lingkungan akademis dan dalam literatur demokrasi

sosial. Sangatlah tepat untuk mengatakan bahwa dalam tahun-tahun terakhir

1Coen Husain Pontoh, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Menuju Gerakan Massa (Jakarta,

C-BOOKs, 2003), cet. I, h. 29.

Page 11: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

globalisasi telah menjadi pusat dari sebagian besar diskusi politik dan perdebatan

ekonomi.2

Dari pusaran diskursus soal globalisasi, para intelektual, politikus, dan pelaku

bisnis pada dasarnya menyadari bahwa hal tersebut lahir dari penglihatan yang kasat

mata tentang kondisi dunia yang berubah. Semenjak kemerdekaan hampir sebagian

negara-negara di dunia ketiga pasca Perang Dunia II, konstalasi politik dan ekonomi

dunia sama sekali berubah. Hal tersebut ditandai dengan munculnya aktor-aktor baru

dalam bidang ekonomi yang menentukan arah kebijakan pembangunan sebuah

negara-bangsa. Aktor-aktor baru dalam ekonomi ini bersifat global, dan senantiasa

pada akhirnya menjadi arsitek pembangunan global yang sangat kuat dan

berpengaruh.

Perkembangan tersebut pada akhirnya memunculkan setidaknya dua sayap

kelompok pemikiran yang berbeda mengenai hal ini. Kelompok pertama beranggapan

bahwa globalisasi adalah produk yang lahir dari sejarah panjang kolonialisme yang

pada intinya adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi

dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah

dicanangkan sejak zaman kolonialisme.3 Proses globalisasi juga ditandai dengan

pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbuka dan mengglobalnya

peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional,

yang kemudian dikuatkan oleh ideologi dan tata dunia perdagangan baru di bawah

2 Anthony Giddens, The Third Way; Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2002), cet. IV, h. 32. 3Dr. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: INSIST

dan Pustaka Pelajar, 2002), cet. I, h. 210.

Page 12: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global.4

kelompok pertama ini, dalam istilah Giddens disebut sebagai kelompok skeptis, yang

berpendapat semua hal yang dibicarakan mengenai globalisasi hanyalah omong

kosong. Apapun manfaat, cobaan, dan kesengsaraan yang ditimbulkannya, ekonomi

global tidak begitu berbeda dengan yang pernah ada pada periode sebelumnya. Secara

politik, kelompok ini digolongkan oleh Giddens, cenderung berada di aliran kiri

politik, khususnya kiri lama.

Kelompok kedua, disebut kaum radikal yang secara politik berada di sebelah

kanan. Bagi kaum radikal, globalisasi tidak hanya sangat riil di mana pasar global

jauh lebih berkembang bahkan bila dibandingkan dengan tahun 1960-an dan 1970-an,

serta mengabaikan batas-batas negara. Kelompok ini meyakini bahwa globalisasi

membawa kemajuan dan perubahan sosial yang positif bagi masyarakat dunia saat

ini. Globalisasi senantiasa meningkatkan kondisi kehidupan, hal ini ditunjukan

dengan meningkatnya kelahiran anak dan harapan hidup. Sebagaimana dikemukakan

Mauricio Rojas, “kemajuan yang tak tertandingi selama 30 tahun terakhir adalah

bahwa ekonomi global baru memiliki potensi yang luar biasa, bahwa terdapat

alternatif bagi kemiskinan dan keterbelakangan, bahwa segala sesuatu sekarang

mentransformasikan semakin banyak negara pada bagian-bagian dinamis dari

ekonomi yang ekspansif ini”.5

Dalam memahami arti globalisasi di luar pengertian yang sudah lazim, kita

dapat juga bertitik tolak dari pandangan agama tentang pembangunan nasional.

4Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 198. 5Anthony Giddens, Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), cet. I, h.

126.

Page 13: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Pandangan itu, berangkat dari apa yang dimaksudkan agama Islam tentang fungsi

ekonomi dalam kehidupan sebuah masyarakat, bertumpu pada dua faktor utama: Arti

barang dan jasa bagi kehidupan manusia dan bagaimana masyarakat menggunakan

barang dan jasa tersebut. Modal, dalam pandangan ini, adalah sesuatu yang

diperlukan untuk membuat sesuatu barang atau jasa bagi kehidupan masyarakat.

Dalam memandang modal seperti itu, menjadi jelas bahwa keuntungan/profit

merupakan hasil sekunder yang tidak hanya memperbaiki kehidupan pemilik modal,

tapi juga ia tidak berakibat menyengsarakan pembeli/pengguna barang tersebut.

Dalam ungkapan lain, laba tidak hanya berfungsi menguntungkan pemilik

modal, tapi ia juga berfungsi menciptakan keadilan dalam hubungan antara produsen

dan konsumen. Dengan kata lain, laba/keuntungan tidak boleh bersifat manipulatif,

berarti tidak dibenarkan penggunaan sebuah faktor produksi, untuk memanipulasi

pihak lain. Dalam pandangan Islam, tidak diperkenankan adanya pendekatan Laisses

Faire (kebebasan penuh) yang menjadi ciri kapitalisme yang paling menonjol. Dalam

pandangan ini, benda dan jasa harus memberikan keuntungan pada kedua belah

pihak, hingga hilanglah sifat eksploitatif dari sebuah transaksi ekonomi.

Dengan pendekatan non-eksploitatif semacam itu, memang tidak dibenarkan

adanya perkembangan pasar tanpa campur tangan pemerintah, minimal untuk

mencegah terjadinya eksploitasi itu sendiri. Dengan ungkapan lain, yang dijauhi oleh

Islam bukanlah pencarian laba/untung dari sebuah transaksi ekonomi, melainkan

sebuah pencarian laba/untung yang bersifat eksploitatif. Di sinilah peranan negara

menjadi sangat penting, yaitu menjamin agar tidak ada manusia/warga negara yang

Page 14: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

terhimpit oleh sebuah transaksi ekonomi. Factor kepentingan manusia harus

diutamakan dari mekanisme pasar dan bukan sebaliknya.

Lepas dari perdebatan tentang bagaimana memahami globalisasi, nyatanya saat

ini telah terjadi ketimpangan distribusi dan pendapatan antara negara maju di satu sisi

dan negara miskin dan berkembang. Sejumlah negara harus bekerja keras mengatasi

kemiskinan yang mendera negaranya. Besarnya angka pengangguran dan tingkat

kriminalitas menjadi persoalan utama bagi negara-negara tersebut saat ini. Sementara

di saat bersamaan, tingkat konsumsi dan kwalitas hidup rata-rata masyarakat di

negara maju justeru semakin meningkat. Apalagi, rata-rata negara-negara miskin

tersebut tercatat sebagai negara yang menjadi pengikut patuh dan setia dari ajaran

pasar bebas di bawah kendali kekuasaan globalisasi ekonomi.

Mengenai ketimpangan antar negara pada dekade belakangan ini, Anthony

Giddens mencatat bahwa mekanisme pengendalian bagi ekonomi global yang ada

saat ini terlalu diarahkan kepada negara-negara kaya, khususnya negara-negara

industrial besar yang membentuk kelompok G7 dan G8. Pada tahun 1965 rata-rata

pendapatan per kapita di negara-negara G7 20 kali lebih besar dari pendapatan per

kapita di tujuh negara paling miskin. Tahun 1997 rasionya adalah 40 banding 1.6

Lebih rinci, Rudolf H. Strahm,7 yang mencatat tingkat konsumsi negara-negara

industri pada tahun 1980 yang mencapai angka yang mengesankan. Rudolf mencatat

bahwa 26% penduduk dunia (yang berada di negara-negara industri Blok Barat dan

6Giddens, Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya, h. 129. 7Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga; Menelaah Kegagalan Pembangunan di

Negara Berkembang (Jakarta: PT. Pusaka CIDESINDO, 1999), cet. I, h. 3.

Page 15: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Blok Timur) menguasai lebih dari 78% produksi,8 81% penggunaan energi, 70%

pupuk, dan 87% persenjataan dunia. Sementara itu, 74% penduduk dunia di negara-

negara berkembang (Afrika, Asia, dan Amerika Latin) hanya mendapat jatah sekitar

seperlima produksi dan kekayaan dunia.

Berbagai ketimpangan pendapatan dan distribusi antara negara maju dan

berkembang tersebut ditenggarai merupakan akibat dari proses globalisasi yang

menjalar dan membawa kepentingan negara-negara industri maju. Pengaruh pasar

bebas, yang merupakan jantung dari semangat globalisasi tersebut menyebabkan

negara-negara berkembang atau dunia ketiga tidak mendapatkan kesempatan untuk

berkompetisi secara fair dan sehat. Hal ini diakibatkan karena formasi sosial global

baru menetapkan mekanisme perdagangan lewat pasar bebas mulai ditetapkan.

Kebijakan free trade yang bermula lewat ditandatanganinya sejumlah kesepakatan

perdagangan internasional pada bulan April tahun 1994 di Marrakesh, Maroko, yakni

suatu perjanjian internasional perdagangan yang dikenal dengan General Agreement

on Tarrif and Trade (GATT). GATT merupakan suatu kumpulan aturan internasional

yang mengatur perilaku perdagangan antar pemerintah. GATT juga merupakan forum

negosiasi perdagangan antar pemerintah, serta juga merupakan pengadilan untuk

menyelesaikan jika terjadi perselisihan dagang antar bangsa. Kesepakatan itu

dibangun di atas asumsi bahwa sistem dagang yang terbuka lebih efisien dibanding

sistem yang proteksionis, dan dibangun di atas keyakinan bahwa persaingan bebas

8Produksi diukur dengan apa yang disebut GNP (Gross National Product). Di sini angka GNP

ini mencakup produksi satu negara dalam setahun, termasuk barang dan jasa. Barang-barang dinilai dalam satuan mata uang sesuai dengan harga pasar. Apa-apa yang yang tidak memiliki nilai ekonomi tidak dicakup oleh GNP (misalnya pekerjaan ibu rumah tangga, udara dan air yang dipakai, pencemaran lingkungan, dll.) GNP kira-kira sesuai dengan pendapatan sebuah negara.

Page 16: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

akan menguntungkan bagi negara yang menerapkan prinsip-prinsip efektivitas dan

efisiensi.

Pada tahun 1995, juga didirikan suatu organisasi pengawasan dan kontrol

perdagangan dunia yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO) yang

mengambil alih peran GATT. Sampai saat ini, WTO merupakan salah satu aktor dan

forum perundingan antar perdagangan dari mekanisme globalisasi yang terpenting.

Kelahiran WTO mengikuti dua organisasi sebelumnya, IMF dan Bank Dunia, yang

bekerja untuk memberikan bantuan keuangan bagi pembangunan di negara-negara

berkembang. Akan tetapi, ketiga organisasi ini mempunyai misi yang sama, yaitu

mensponsori proses globalisasi yang dibangun lewat prinsip-prinsip liberalisasi dan

mekanisme pasar bebas.

Semua mekanisme dan proses globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor

globalisasi yakni IMF, Bank Dunia, WTO, dan Trans National Corporation (TNC)

tersebut sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal dengan neo

liberalisme. Para penganut paham ekonomi neo liberalisme percaya bahwa

pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari “kompetisi bebas”.

Kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa pasar bebas adalah cara

yang efisien dan tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka

untuk memenuhi kebutuhan manusia.9 lebih jauh, penganut neo liberalisme meyakini

bahwa aktivitas ekonomi yang mensandarkan dirinya pada mekanisme pasar bebas

9Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: INSIST dan

Pustaka Pelajar, 2002), cet. I, h. 216.

Page 17: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

yang kompetitif tidak hanya akan menghasilkan efisiensi ekonomi, tetapi merupakan

jaminan bagi kebebasan individual dan solidaritas sosial.10

Demikian halnya dengan Indonesia. Negara yang pernah mencatat prestasi di

masa keajaiban ekonomi Asia Timur ini, juga tidak luput dari pengaruh globalisasi.

Sejak kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, Indonesia berturut-turut sampai hari ini

terus dirundung oleh krisis yang berkepanjangan. Kondisi perekonomian semakin

buruk, tingkat kwalitas dan harapan hidup masyarakat menurun, dan jumlah

pengangguran yang cenderung terus meningkat. Dilihat dari jumlah negara-negara

lain di Asia Tenggara yang juga tertimpa krisis serupa pada tahun 1997-an, Indonesia

menjadi negara dengan proses pemulihan ekonomi yang relatif lambat. Betapa tidak,

ketika Malaysia, Thailand, Fhilipina tengah bangkit dari keterpurukan mereka,

Indonesia malah masuk dalam jerat kemiskinan dan beban utang luar negeri yang

semakin tinggi.

Sejak berlangsungnya krisis, banyak yang menilai bahwa kebijakan ekonomi

negara-negara Asia telah salah arah. Hal ini menjadi penyebab utama kekacauan yang

tengah dialami perekonomian negara-negara tersebut. Sebagian kalangan bahkan

menilai bahwa intervensi negara yang aktif dalam dalam sistem perekonomian

merupakan akar dari masalah yang terjadi. Sebagian yang lain mengatakan bahwa hal

ini adalah akibat dari ekspansi sentralisme ekonomi kekuasaan Orde Baru selama satu

dasawarsa. Pada intinya, semua pendapat tersebut menunding ketidakberhasilan dan

kegagalan pemerintah dalam urusan perekonomian. Sikap dan peran pemerintah

10Anthony Giddens, Beyond Left and Right; Tarian “ideologi Alternatif di atas Pusaran

Sosialisme dan Kapitalisme (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), cet. I, h. 60.

Page 18: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

menjadi tumbal, tanpa ada orang sedikitpun yang menyebutkan fakta-fakta

keberhasilan pemerintah selama tiga dasawarsa, di mana pemerintah memberikan

kontribusi positif bagi proses pembangunan ekonomi di Indonesia.

Di sinilah letak persoalannya, ketika Indonesia masuk dalam setting ekonomi

global lewat tangan IMF dan Bank Dunia, sejak itu pula pemerintah dihadapkan pada

konsekwensi penerapan paradigma ekonomi neo liberal. Yang artinya, kekuasaan

ekonomi haruslah terletak pada mekanisme yang terjadi dalam pasar, dan sebisa

mungkin menjauhkan peran negara dalam hal aktivitas-aktivitas ekonomi dalam

masyarakat. Pandangan tersebut menarik untuk dipelajari. Di tengah krisis ekonomi

Indonesia yang panjang, dan kondisi masyarakatnya yang memprihatinkan, semakin

besar tuntutan agar negara -pemerintah- dapat berperan dalam menjamin

kesejahteraan masyarakat. Hal ini menandakan telah terjadi disharmoni secara

ideologis dan paradigmatik mengenai bagaimana mendefinisikan ulang peran dan

fungsi negara pada saat ini.

Pandangan mengenai perlunya negara bertanggung jawab atas pemenuhan

kesejahteraan dan kehidupan yang layak bagi rakyat saat ini, dilandasi oleh mandat

konstitusional yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam Bab

“Kesejahteraan Sosial” Pasal 33. Pada intinya pasal tersebut mengatur peran dan

fungsi negara dalam a) penguasaan cabang-cabang produksi penting untuk

kepentingan rakyat banyak. Dan b) pendistribusian kekayaan alam Indonesia untuk

kepentingan kesejahteraan rakyat. Berikutnya adalah tuntutan dari perjanjian

internasional mengenai kewajiban negara (State Obligation) dalam pemenuhan Hak

ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Page 19: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB) merupakan bagian tak

terpisahkan dari hukum Hak Asasi Manusia internasional. Sebagaimana yang

tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang

menyatakan bahwa tugas negara adalah melindungi martabat yang melekat pada

manusia. Namun DUHAM bukan sekedar memberikan perlindungan hukum pada

individu, tapi juga perlindungan pangan.11 Hak EKOSOB muncul sebagai sebuah

tuntutan, berdasarkan pengalaman kegagalan kebijakan pembangunan Orde Baru

yang melakukan pelanggaran dalam pemenuhan hak-hak tersebut.

Dalam perjalanannya, perjuangan untuk menjadikan hak EKOSOB sebagai

bagian dari tanggung jawab negara mendapatkan tantangan yang cukup berat. Debat

ideologis mewarnai silang pendapat mengenai perjanjian yang disinyalir merupakan

“misi sosialisme” tersebut. Hal ini juga terjadi di Indonesia, kuatnya pengaruh

paradigma ekonomi neo liberalisme yang dianut para pemikir ekonomi dan kabinet

perekonomian sejak kejatuhan Soeharto, menyebabkan sampai penghujung tahun

2005 pemerintah Indonesia belum juga meratifikasi kovenan tersebut. Hal ini bisa

dipahami karena intervensi negara dalam hal pemenuhan hak-hak EKOSOB dapat

menimbulkan inefisiensi dan memberikan pelajaran yang buruk bagi kemandirian

masyarakat.

Dalam situasi seperti ini, peranan lembaga keagamaan Islam untuk mensposori

pengesahan hak EKOSOB ini sangatlah strategis. Walaupun di sisi lain kita

menghadapi kenyataan bahwa lembaga-lembaga keagamaan Islam belum kelihatan

11Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; Perjuangan Untuk

Mewujudkan Keadilan Global (Jakarta: Komnas HAM dan Solidamor, 2002, cet. I, h. 192.

Page 20: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

berperan secara aktif. Muhammadiyah, salah satu Organisasi Massa (ORMAS) Islam

besar di Indonesia, belum juga menunjukan keseriusan dalam merespon

perkembangan dunia saat ini, khususnya hal yang berkaitan dengan persoalan peran

negara di era globalisasi.

Mengapa Muhammadiyah punya peran strategis dalam hal ini? Karena dalam

sejarahnya, ormas Islam ini mempunyai andil yang cukup besar dalam pembentukkan

negara Republik Indonesia. Keterlibatan Muhammadiyah dalam sidang-sidang

BPUPKI sampai majlis konstituante, menggambarkan betapa organisasi ini

mempunyai concern dan kepedulian yang tinggi terhadap arah bangsa Indonesia ke

depan. Dan di saat bangsa Indonesia saat ini tengah terancam kedaulatannya akibat

ekspansi neoliberalisme, Muhammadiyah seharusnya berada di garis terdepan untuk

ikut berkontribusi bagi penyelesaian permasalahan tersebut.

Penting juga untuk diketahui di sini, bahwa sejak lama Muhammadiyah secara

aktif melaksanakan misi sosial kemasyarakatannya. Beragam agenda dan program

seperti sekolah gratis, pendirian rumah sakit dan posyandu, adalah bukti dari

konsistensi pergerakan kultural organisasi ini.

Tak pelak lagi, kajian soal negara tetap penting untuk di angkat kembali di

permukaan. Peranan strategis negara yang termaktub dalam konstitusi negara kita,

perlu mendapatkan penegasan kembali di era globalisasi saat ini. Mendapat

penjelasan yang utuh tentang peran dan fungsi negara, berarti memberi kepastian bagi

jutaan orang miskin, pengangguran, dan anak-anak yang tidak mendapatkan

kesempatan untuk menikmati pendidikan dan mendapatkan kesejahteraan di

Indonesia saat ini. Kajian ini juga mencoba untuk merefleksikan kegagalan

Page 21: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

pembangunan dari kebijakan negara pada masa presiden Soeharto berkuasa. Untuk

kemudian dapat diambil pelajaran berharga bagi proses kebijakan pemerintah

Indonesia di masa yang akan datang. Khususnya yang berakitan dengan pemenuhan

hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pokok masalah penelitian ini adalah: sejauh manakah peran negara dalam hal

pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia? Dan bagaimanakah peran

dan pandangan Muhammadiyah terhadap persoalan tersebut. Untuk menjawab hal ini

diperlukan sebuah landasan teori yang jelas tentang negara, fungsi, dan perannya. Hal

tersebut menyangkut bagaimana konsepsi para Founding Father bangsa ini tentang

negara Indonesia yang mereka cita-citakan.

Dalam penulisan skripsi ini, pembahasan akan menitik beratkan pada usaha

merekonsepsi atau menegaskan kembali peran dan fungsi negara, khususnya

berkaitan dengan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dan hubungannya

dengan upaya marginalisasi peran negara di era globalisasi ini. Untuk lebih

mempermudah bahasan dalam tulisan ini, maka penulis membatasi rumusan masalah

skripsi ini diformulasikan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana definisi, peran, dan fungsi negara?

2. Bagaimana definisi, aktor, dan pengaruh dari globalisasi?

3. Seperti apakah pengertian tentang tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak

Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB)?

Page 22: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

4. Bagaimana pandangan Muhammadiyah tentang peran negara dalam pemenuhan

hak ekosob di Indonesia?

Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Sehubungan dengan adanya pembahasan dan penulisan skripsi ini ada beberapa

hal yang dapat dikemukakan mengenai tujuannya, yaitu:

1. Untuk memberikan gambaran tentang definisi, peran, dan fungsi negara.

2. Untuk memberikan gambaran tentang definisi, prinsip, dan aktor-aktor

globalisasi.

3. Untuk memberikan gambaran tentang tanggung jawab negara dalam pemenuhan

hak ekonomi, sosial, dan budaya.

4. Untuk memberikan gambaran tentang pandangan Muhammadiyah tentang peran

dan fungsi negara dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di

Indonesia.

5. Untuk memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat akhir guna mencapai gelar

Strata satu (S1) pada jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuludin dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selanjutnya, karya tulis ini diharapkan berguna untuk:

1. Memperoleh gambaran yang utuh tentang konsepsi negara, dan perannya di era

globalisasi

2. Menambah cakrawala pemikiran kajian politik Islam, khususnya yang berkaitan

dengan perkembangan isu-isu kontemporer

Page 23: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Metode Penelitian

Metodologi dalam penelitian pada sebuah karya ilmiah merupakan hal yang harus

dipegang unutk mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Metodologi dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur

sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku.

Untuk lebih terarah dalam menguraikan permasalahan dalam karya tulis ini,

penulis menyusunnya berdasarkan penelitian yang bersifat kualitatif dengan

tehnik pengumpulan data yang diterapkan berupa studi dokumentasi dan pustaka.

Dengan analisis data yang menggunakan tehnik deskriptif analitis.

Sistematika Penulisan

Bab I : Berisikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,

tujuan dan kegunaan penulisan, metode penelitian, serta sistematika

penulisan.

Bab II : Penulis memulai dengan tinjauan umum aspek-aspek teoritis tentang negara

(definisi, peran, dan fungsi) dan globalisasi (definisi, prinsip, dan aktor).

Bab III : Pada Bab ini, penulis mencoba menjelaskan tentang konsepsi serta prinsip

pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya, (EKOSOB). Juga dibahas

tentang refleksi pembangunan Orde Baru dalam pemenuhan hak EKOSOB,

juga peran sosial kemasyarakatan Muhammadiyah dalam mempromosikan

hak tersebut.

Page 24: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Bab IV : Bab ini akan membahas pandangan Muhammadiyah tentang globalisasi

serta peran dan fungsi negara dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan

budaya.

Bab V : Penulis mengakhiri pembahasan ini dengan kata penutup yang berisi

dengan kesimpulan, saran-saran dan disertai dengan daftar pustaka.

Page 25: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Beberapa Pengertian Tentang Negara

A.1. Defenisi Tentang Negara

Di Indonesia, pengertian tentang negara terkesan hanya didominasi oleh

beberapa kelompok, atau bahkan hampir satu kelompok saja. Apalagi sejak

berkuasanya Orde Baru, pengertian tentang negara sedemikian rupa direduksi dan

disimplipikasi. Negara, dalam pengertian yang umumnya kita sering dengar adalah

sebuah lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan

masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Karena itulah, istilah-istilah

seperti “demi kepentingan umum,” “pembangunan untuk seluruh masyarakat,” serta

ungkapan-ungkapan lain yang senada selalu dikumandangkan dalam pernyataan-

pernyataan politik para petinggi negara di dunia ini. Sebagai konsekwensinya,

pengertian tersebut menjadi alasan yang ampuh bagi kelompok-kelompok

kepentingan yang menguasai negara berbuat semaunya tanpa mempertimbangkan

kepentingan lain di luar dirinya atau kelompoknya.

Pandangan tentang negara sebagai lembaga netral sebenarnya hanya merupakan

salah satu teori di antara sekian banyak teori-teori yang ada tentang negara. Karena

itu dalam skripsi yang saya tulis ini, saya akan menguraikan secara singkat beberapa

pandangan lain atau teori lain tentang negara.

Page 26: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Prof. Miriam Budiarjo, dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik, mengatakan

bahwa negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok

dari kekuasaan politik. Menurutnya “… Negara adalah agency (alat) dari masyarakat

yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam

masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat….”1

Sedangkan menurut Max Weber, negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki

keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya.2

Dari dua pengertian di atas, dapat dimengerti betapa aspek kekuasaan dalam

pembicaraan tentang negara begitu sangat menonjol. Teori tentang negara seperti ini

pada perkembangannya memang seringkali dijadikan legitimasi bagi penguasanya

untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya atas nama negara. Kekuasaan

negara dalam perspektif teori Marxis-leninis menjelma dalam konsep diktator

proletariat. Alasan yang dipergunakan juga hampir sama dengan yang dikemukakan

oleh Hegel, yakni negara yang mengemban misi kesejarahan. Hegel menyatakan

bahwa negara mempunyai misi untuk membawa masyarakat manusia merealisasikan

ide universal, yakni masyarakat yang merdeka. Keinginan negara menurut Hegel

merupakan keinginan umum untuk kebaikan semua orang. Karena itulah, negara

harus dipatuhi. Dalam konsep diktator proletariat yang dianut oleh kelompok

marxisme, misi negara juga sama, yakni merealisasikan sebuah masyarakat yang

1Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta, PT

Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 38 2Arif Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi

(Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1996) h. 6

Page 27: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

dianggap sebagai ujung terakhir dari proses sejarah, yakni masyarakat egalitarian,

yang juga dikenal sebagai masyarakat komunis.

Mengambil inti dari ajaran Hegel, Karl Marx, yang juga sebagai murid Hegel

menyatakan bahwa

“Sejarah manusia merupakan sejarah dari pertentangan kelas. Di jaman feodal, terjadi

pertentangan antara kelas bangsawan dan kelas petani; di jaman perbudakan, kelas pemilik

budak dan budaknya; di jaman kapitalisme, kelas pemilik modal dan melawan buruhnya.

Pertentangan kelas baru akan berhenti tatkala kelas buruh berkuasa dan terciptanya

masyarakat komunis.”3

Dari penjelasan mengenai teori kekuasaan negara di atas, terlihat bahwa negara

merupakan sebuah lembaga yang mandiri, yang punya kepentingan dan kemauan

sendiri. Negara memiliki misinya sendiri, yakni menciptakan masyarakat yang lebih

baik. Atas dasar ini, negara bukan lagi merupakan lembaga yang pasif, yang

kemudian menjelma menjadi alat dari kepentingan-kepentingan yang ada dalam

masyarakat. Tetapi, secara aktif mencampuri urusan masyarakat, untuk menciptakan

masyarakat yang lebih baik.

Dalam perspektif yang lain, dikemukakan bahwa negara bukanlah merupakan

lembaga yang mandiri. Kebijakan yang dihasilkan negara ditentukan oleh faktor

eksternal atau faktor di luar dirinya. Dia hanyalah sebuah arena di mana setiap

kekuatan sosial bertanding untuk menguasai.4 Negara dalam pandangan ini ibarat

3 Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, hal.

21. 4Alfred Stepan, The State and Civil Society (Princeton:

Princeton University Press, 1978) h. 33.

Page 28: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

kertas kosong dan bersih yang siap ditulisi oleh siapapun, bukan oleh kertas itu

sendiri.

Ada dua kelompok utama yang mewakili pandangan tersebut. Kelompok

pertama diwakili oleh kaum pluralis. Mereka mengatakan bahwa negara hanya

melaksanakan kepentingan yang beraneka ragam yang ada di masyarakat. Kebijakan

negara adalah hasil dari sebuah kompromi dari kekuatan-kekuatan tersebut, tidak ada

yang mendominasi. Kalaupun ada, hal tersebut lahir dari sebuah persaingan yang

demokratis. Dalam pemikiran kaum pluralis, negara hanya hanyalah sekedar wahana

politik di mana terjadi saling kontestasi untuk memperoleh kekuasaan negara. Lain

halnya dengan kelompok kedua. Dalam hal ini diwakili oleh kelompok marxian. Bagi

kaum marxis, negara dikendalikan oleh kelompok atau kelas yang paling dominan

dalam masyarakat. Kelompok atau kelas yang dominan ini secara terus menerus akan

menduduki posisi dominan tersebut. Hal tersebut dimungkinkan karena kondisi

ekonomi-politik masyarakat menghendaki demikian. Mengutip pendapat seorang

pemikir marxian, Fernando Henrique Cardoso (1979),5 yang mengatakan bahwa

negara adalah “aliansi dasar, ‘fakta dominasi’ utama dari klas-klas sosial yang ada

atau dari fraksi-faksi klas yang dominan, serta aturan-aturan yang menjamin

kekuasaan mereka terhadap kelas-kelas yang ada di bawahnya”.

Dengan demikian, bila kita mencermati pemikiran kelompok marxis ini, yang

perlu diteliti adalah sistem ekonomi-politik satu masyarakat. Bilamana sistem

ekonomi-politiknya dalah kapitalis, maka yang berkuasa dan menjadi kelas yang

5 Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, hal.

43.

Page 29: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

dominan dalam negara adalah klas borjuis. Maka wajar jika kelompok marxis ini

mengatakan bahwa negara hanya merupakan alat bagi kepentingan kelompok borjuis

untuk merealisasikan dan meraih cita-cita ekonomi-politiknya sendiri. Kalaupun ada

bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara terhadapa kelompok lain, hal

tersebut hanyalah bersifat semu. Karena sama sekali tidak merubah watak dasar

negara yang menjadi alat dari kelas borjuis.

Di atas segalanya, dari berbagai perspektif dan teori yang muncul tentang

negara, sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa negara adalah suatu daerah

teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang

berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-

undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.

A.2. Peran dan Fungsi Negara

Sebagai sebuah lembaga yang mendapatkan kekuasaan yang sah untuk

memaksakan tujuan-tujuan bersama masyarakat, negara dengan kekuasaan yang

dimilikinya dapat menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan

dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan, ataupun

negara itu sendiri. Dengan demikian dia dapat membimbing kelompok-kelompok

sosial di dalamnya kepada tujuan bersama. Secara umum dapat disebutkan dua peran

utama negara:6

6Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2000), cet. XXI, h. 39.

Page 30: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni

yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang

membahayakan

2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-

golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya.

Negara menentukan bagaimana kegiatan asosiasi –asosiasi kemasyarakatan

disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.

Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan dengan

perantaraan pemerintah beserta segala alat-alat perlengkapannya.

Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan

teratur; maka dari itu semua golongan atau asosiasi yang

memperjuangkan kekuasaan, harus dapat menempatkan diri dalam

rangka ini.

Dalam lapangan ekonomi, ketika konsep negara modern muncul

pada abad ke-17, negara samasekali tidak terlibat dalam bidang

ekonomi. Negara hanya berperan menarik pajak dari warga negara.

Baru ketika ekonomi Keynesian diintrodusir pada tahun 1930-an,

keterlibatan negara di dalam ekonomi muncul secara perlahan dan

masuk dalam banyak bidang. Beberapa pola keterlibatan negara

dalam ekonomi menurut Chrstopher pierson dalam bukunya The

Modern State adalah sebagai berikut:7

a. Negara sebagai pemilik; yakni negara mempunyai hak atas kepemilikan tanah

maupun modal. Di Indonesia oleh pasal 33 UUD 2002 ditetapkan bahwa

7Ignatius Wibowo, Francis Wahono, dkk., Neoliberalisme

(Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), cet. I, h. 271.

Page 31: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

negara “menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya.”

b. Negara sebagai pemilik dan produsen; yaitu negara adalah sebagai pemilik

perusahaan-perusahaan milik negara yang menjadi pilar utama dalam

perekonomian. Perusahaan-perusahaan ini pada umumnya bergerak di bidang

yang menyangkut kepentingan umum, seperti air, minyak, gas, dan lainnya.

c. Negara sebagai majikan; yaitu negara memberikan peluang kerja bagi

rakyatnya. hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah perusahaan

negara.

d. Negara sebagai regulator; negara diberikan kewenangan untuk melakukan

intervensi secara administratif atau secara legislatif untuk mengontrol perilaku

aktor-aktor pasar.

e. Negara sebagai redistributor; yaitu negara menjalankan tugas memeratakan

kekayaan dengan cara penarikan pajak.

f. Negara sebagai pembuat kebijakan ekonomi; Dalam hal ini Pierson

menegaskan 4 hal: 1) negara menetapkan serangkaian target-target ekonomi

2) negara menetapkan kebijakan moneter 3) negara menetapkan kebijakan di

bidang pendapatan (income). Hal ini dilakukan untuk memeratakan

pendapatan 4) negara membuat kebijakan industrial policy, yang mempunyai

pengaruh langsung kepada industri.

Mengenai tujuan sebuah negara, Prof. Miriam Budiarjo dalam bukunya Dasar-

dasar Ilmu Politik mengatakan bahwa “… Negara dapat dipandang sebagai asosiasi

manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mengejar beberapa tujuan bersama….”

Page 32: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap negara adalah menciptakan kebahagiaan

bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal). Artinya, secara

umum, dan terlepas dari ideologi apapun yang dianut sebuah negara, negara

mempunyai kewajiban untuk melakukan perlindungan dan berusaha untuk

mensejahterakan rakyatnya.

Pandangan tentang tujuan negara tersebut secara eksplisit juga tercantum dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tentang tujuan negara Republik Indonesia.

Yaitu:

“untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” dengan berdasarkan

kepada: Ketuhanan Yang Mahaesa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,

dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmahkebijaksanaan dalam permusyawaratan

perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”8

Setiap negara, menurut Prof. Miriam Budiarjo terlepas dari ideologinya,

menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak perlu yaitu:9

Melaksanakan penertiban (law and order); untuk mencapai tujuan bersama dan

mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus

melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai

“stabilisator”.

8Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen&Proses Amandemen UUUD

1945 Secara Lengkap (Pertama 1999 – Keempat 2002), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), cet. I, h. 3.

9Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 46.

Page 33: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini

dianggap penting. Terutama bagi negara-negara baru.

Pertahanan; hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar.

Untuk ini negara perlu dilengkapi dengan alat pertahanan.

Menegakkan keadilan; hal ini dilakukan melalui badan peradilan.

Diskursus teoritik tentang peran negara berkembang sangat jauh pada dekade

akhir abad 20. Khususnya terkait dengan fungsi dan perannya dalam menghadapi era

baru bernama globalisasi. Praktek dominan dari peran negara digugat, intervensi yang

berlebihan terhadap segala lapangan kehidupan masyarakat dianggap menjadi

penyakit dunia di abad modern.

Menyangkut peran negara bangsa, Kenichi Ohmae, sebagai pendukung tesis

ekstrim globalisasi mengatakan bahwa dalam pasar dunia yang semakin kompetitif

sekarang ini negara-negara bangsa (nation state) tidak lagi mempunyai sumber-

sumber yang tanpa batas yang dapat dimanfaatkan secara bebas untuk mendukung

dalam mewujudkan ambisi mereka.1 Dalam dunia baru, yaitu “dunia tanpa batas

negara” (a world without borders), demikian Ohame mengatakan, negara-negara

bangsa dan penguasaan terhada militer tidak lagi memainkan peran penting.2 Bahkan

peran mereka semakin memudar, dan secara meyakinkan akan segera digantikan oleh

peran penting yangs emakin meningkat oleh aktor-aktor nonteritorial, seperti

perusahaan-perusahaan multinasional dan orgaisasi-organisasi internasional.

1Kenichi Ohmae, Dunia Tanpa Batas (Jakarta: Binarupa Aksara, 1991), cet I, h. 11. 2Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru; Peran Negara

Dalam Pembangunan (Yogyakarta: Tajidu Press, 2005), cet. I , h. 44.

Page 34: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Oleh karenanya, diskusi tentang peran negara dalam wacana politik

internasional tetap penting dikemukakan. Kajian ini secara teoritik akan

menempatkan letak persoalan yang sesungguhnya tentang globalisasi dan peran

negara. Seperti yang diungkapkan secara tegas oleh Stiglitz, “…isunya bukan apakah

globalisasi bisa menjadi kekuatan pendorong kebaikan yang bermanfaat bagi kaum

miskin dunia; jelas itu bisa. Melainkan, perlunya globalisasi dikelola secara tepat

karena seringnya dikelola secara serampangan….”3

Beberapa Pengertian Tentang Globalisasi

B.1. Definisi Globalisasi

Sebagai sebuah istilah, globalisasi lebih sering diungkapkan dan

diperbincangkan tanpa berhasil mengungkap inti dari persoalannya.

Pembicaraan ilmiah terasa kurang lengkap tanpa mengutip kata

globalisasi. Presentasi bisnis menjadikan perbincangan soal

globalisasi sebagai isu menarik dan sebuah tantangan yang harus

dihadapi. Singkatnya, kata globalisasi dalam dasawarsa terakhir

berhasil menyedot perhatian masyarakat dunia secara umum.

Istilah globalisasi telah menjadi konsep yang sering digunakan

untuk menggambarkan fenomena dunia kontemporer. Memasuki

milenium ketiga, dunia berubah dengan sangat cepat sehingga

menimbulkan implikasi yang sangat kompleks, yaitu munculnya

saling ketergantungan (interdependence) dalam hampir seluruh

3Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan; Era 90-an dan Awal Mula

Petaka Ekonomi Dunia (Tangerang, Marjin Kiri, 2006), cet I, h. 215.

Page 35: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

dimensi kehidupan dalam hubungan antar bangsa (nation-state) dan

hubungan transnasional (transnational relation). Perubahan-

perubahan yang sangat cepat inilah yang kemudian disebut dengan

globalisasi.

Dalam sebuah proses yang dialektis, pandangan-pandangan yang

muncul tentang globalisasi setidaknya melahirkan dua kelompok.

Pertama, adalah kelompok yang optimis terhadap globalisasi.

Mereka menganggap globalisasi tidak hanya riil di mana

perkembangan pasar global jauh lebih pesat dari tahun 1960 – 1970-

an. Karena pada prosesnya, globalisasi memberi peluang besar bagi

perkembangan manusia. Perkembangan tersebut dapat ditunjuk

dari keterkaitan antara “keterbukaan ekonomi suatu negara dengan

perbaikan kondisi hidup, khususnya secara mencolok di negara-

negara berkembang, diukur lewat Human Development Index”.

Selain itu, berkah globalisasi juga dapat dilihat dari terbukanya

peluang komunikasi seluas dunia, sehingga memungkinkan terjadi

komunikasi dan kerjasama seluas dunia itu pula. Konsep globalisasi

menurut kelompok ini merupakan fenomena di mana batas-batas

negara bangsa tidak lagi relevan untuk didiskusikan. Persoalan

kontemporer saat ini tidak dapat dipelajari secara memadai hanya

pada tingkatan negara bangsa dalam hubungan-hubungan

internasional.4 Kelompok kedua, adalah mereka yang skeptis

terhadap globalisasi. Mereka berpendapat semua hal yang

dibicarakan mengenai globalisasi hanyalah omong kosong. Proses

4Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara

Dalam Pembangunan, hal. 37.

Page 36: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

globalisasi memunculkan efek-efek negatif yang menghambat

perkembangan manusia. Ancaman-ancaman dan perusakan atas

kehidupan manusia dan kehidupan bumi menjadi masalah serius

yang kita hadapi masa kini. Misalnya saja, di tengah 826 juta

penduduk bumi menderita kekurangan gizi dan 10 juta orang mati

karena tidak mempunyai akses terhadap kesehatan,5 terjadi

kesenjangan dan ketidakmerataan pembagian konsumsi secara

tajam, yaitu antara negara maju dan negara-negara miskin. Secara

singkat, globalisasi hanya melahirkan wajah muram dunia akibat

ancaman kerusakan, baik ekologis, sosial, ekonomi dan budaya.

Setelah kita melihat pandangan-pandangan tentang dampak dari

globalisasi, seyogyanya kita memahami secara definitif arti dari

globalisasi itu sendiri. Setidaknya ada tiga hal yang sering kita

temukan dalam mendefinisikan globalisasi, yaitu kesalinghubungan,

integrasi, dan kesalingterkaitan.

Definisi tentang globalisasi dalam perspektif kesalinghubungan

adalah seperti yang pertama, dikemukakan oleh Lodge (1991) yang

mendefinisikan bahwa globalisasi sebagai suatu proses yang

menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang

lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan

mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun

lingkungan.6 Dengan pengertian demikian, maka globalisasi boleh

dikatakan bahwa masayarakat dunia hidup dalam era di mana

5Laporan World Health Organization (WHO), 2001.

6Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara

Dalam Pembangunan, hal. 39.

Page 37: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

sebagian besar kehidupan mereka sangat ditentukan oleh proses-

proses global.

Definisi kedua tentang globalisasi seperti yang diungkapkan oleh

Ichlasul Amal bahwa globalisasi merupakan proses munculnya

masayarakat global, yaitu suatu dunia yang terintegrasi secara fisik,

dengan melampaui batas-batas negara, baik ideologis, dan lembaga-

lembaga politik dunia.7 Definisi inilebih mirip dengan keyakinan

kaum globalis yang memahami globalisasi sebagai terwujudnya

sebuah ekonomi dunia yang terintegrasi. Bangsa-bangsa yang

mendukung pandangan ini dengan cara menghilangkan hambatan-

hambatan terhadap perdagangan internasional, sehingga

memudahkan arus perdagangan, investasi, dan mata uang secara

bebas melintasi batas-batas nasional. pada konteks ini,

sesungguhnya integrasi ekonomi nasional menuju sistem global yang

dikenal dengan globalisasi korporasi telah terjadi. Kesepakatan

tersebut secara teoritik berhasil memaksakan keinginan

perusahaan-perusahaan korporasi global untuk mendesakkan

terjadinya reformasi kebijakan nasional (deregulasi) di negara-

negara dunia ketiga. 8

Konsep ketiga adalah interdependensi, definisi ini mencakup

pengertian bahwa sistem ekonomi, khususnya sistem moneter dunia

saat ini tergantung antara satu dengan yang lain. Akibatnya,

7Ichlasul Amal, “Globalisasi, Demokrasi, dan Wawasan Nusantara:

Perspektif Pembangunan Jangka Panjang,” dalam Wawasan Nusantara Indonesia Menghadapi Globalisasi, (Pusat Kajian Kebudayaan Universitas Bung Hatta, 1992), cet. I, h. I.

8Mansour Faqih, Bebas Dari Neoliberalisme (Yogyakarta: INSIST

Press, 2003), cet. I, h. 9.

Page 38: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

kebijakan-kebijakan pada skala nasional tidak dapat begitu saja

mengabaikan peristiwa-peristiwa di tingkat global, begitupun

sebaliknya.9 Kejatuhan mata uang di Asia beberapa waktu lalu

dengan mudah dapat dijadikan kasus untuk menjelaskan konsep ini.

Dimulai dengan kejatuhan mata uang Bath di Thailand yang diikuti

oleh kejatuhan mata uang negara-negara lain yang menjadi

tetangganya, seperti Indonesia, Malaysia, Korea Selatan, dan

Filipina. Ini terjadi karena kesalinghubungan (interconection) antara

sistem keuangan satu negara dengan sistem keuangan negara lain.

Di sisi yang lain, penulis seperti Petras dan Veltmeyer melihat

globalisasi sebagai suatu deskripsi dan sekaligus sebagai preskripsi.10

Sebagai sebuah deskripsi, globalisasi mengacu pada perluasan dan

dan penguatan arus perdagangan, modal, teknologi dan informasi

internasional dalam sebuah pasar global yang menyatu. Konsep ini

digunakan untuk menggamparkan fenomena dunia kontemporer di

bidang ekonomi dan perdagangan di mana batas geografis negara

bangsa tidak lagi mempunyai makna. Sebagai sebuah perskripsi,

globalisasi meliputi liberalisasi pasar global dan pasar nasional

dengan asumsi bahwa arus perdagangan bebas, modal, dan

informasi akan menciptakan hasil yang terbaik bagi pertumbuhan

dan kemakmuran manusia.

9Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara

Dalam Pembangunan, hal. 40. 10James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21

(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), Cet. I, h. 7-8.

Page 39: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

B.2. Prinsip-prinsip Globalisasi

Globalisasi, dalam kerangka pemikiran seperti yang sudah ditulis diatas, adalah

memastikan terbukanya jalan bagi perluasan wilayah dan praktek kerja bagi pasar

bebas. Dalam konteks ini diperlukan seperangkat aturan-aturan yang mendukung

berjalannya proses tersebut. Bagi penganut globalisasi, pasar bebas adalah

konsekwensi logis dari sebuah dunia yang berubah. Globalisasi dalam bahasa Hobbes

mengizinkan “pembeli untuk menentukan harga manusia pada skala besar-besaran,

yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia.11 tetapi pandangan-

pandangan mengenai globalisasi dan pasar bebas di atas tidak dapat menjelaskan

bahwa seiring dengan globalisasi, pendapatan negara-negara Dunia Ketiga atau

negara-negara yang kurang berkembang (less developed countries) jauh lebih

menurun dibandingkan dengan era tahun 1960-an dan 1970-an. Sebaliknya negara-

negara maju semakin menikmati kelimpahan pendapatan dan standar hidup yang jauh

lebih tinggi. Di sinilah globalisasi masuk dalam skenario ekonomi-politik

neoliberalisme. Para penganut ekonomi neoliberalisme, percaya bahwa pertumbuhan

ekonomi dicapai dengan hasil normal dari “kompetisi bebas.” Kompetisi yang agresif

adalah akibat dari kepercayaan bahwa “pasar bebas” adalah lebih efisien dan cara

yang tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk

11Susan George, Republik Pasar Bebas (Jakarta: PT Bina Rena

Pariwara, 2002), cet. I, h. 62.

Page 40: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator

apakah sumber daya alam telah habis atau masih banyak.12

Dalam prosesnya globalisasi neoliberal kemudian menganjurkan cara-cara yang

kurang lebih sama dari apa yang disarankan oleh maha guru ekonomi pasar bebas,

Adam Smith. Yaitu memberikan kebebasan bagi individu untuk menjalankan

aktivitas ekonominya tanpa dikontrol oleh negara. Dalam proses ini, negara

diupayakan menjalankan peran yang minimal. Sebab regulasi negara hanya akan

membuat “pasar” menjadi tidak efisien, atau menghambat peluang bagi individu

untuk mengakumulasi modal dan menjalankan prinsip invisible hand dalam setiap

keputusan-keputusan bisnis.

Dalam hal ini, proses globalisasi kemudian menjelma menjadi alat bagi

kepentingan ekonomi dan politik negara-negara maju untuk menguasai sumber daya

di negara-negara dunia ketiga. Dan prinsip bahwa dunia menjadi semakin sejahtera

bilamana memanfaatkan peluang-peluang dalam proses globalisasi yang semakin

agresif hanya lah menjadi mimpi rakyat di negara-negara miskin dan berkembang.

Kecenderungan ke arah ketidaksetaraan yang lebih besar antara negara-negara

maju dan berkembang ini bukanlah kebetulan dan bukan merupakan tindakan tuhan.

Kecenderungan ini merupakan efek yang terbangun atas liberalisasi, privatisasi, dan

12Mansour Faqih, Bebas Dari Neoliberalisme (Yogyakarta: INSIST

Press, 2003), cet. I, h. 5.

Page 41: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

integrasi yang dipaksakan ke pasar dunia melalui penyesuaian struktural, dan lebih

mengandalkan kekuatan pasar.13

B.3. Aktor-aktor Globalisasi

Globalisasi sebagai suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional

ke dalam sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh tiga

aktor utama proses tersebut. Yang pertama adalah Trans-National

Corporation (TNC), yakni perusahaan multinasional yang besar

yang dengan dukungan negara-negara yang diuntungkan oleh TNC

tersebut membentuk suatu dewan perserikatan perdagangan global

yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO). Secara

historis, proyek globalisasi lewat pembentukan WTO ini terjadi

ketika ditetapkannya formasi sosial global baru yang ditandai

dengan kebijakan free trade atau pasar bebas. Kebijakan tersebut

lahir dari sebuah kesepakatan perjanjian internasional tentang

perdagangan di Marrakesh, Maroko pada tahun 1994. Perjanjian

tersebut dikenal dengan General Agreement on Tariff and Trade

(GATT). Kumpulan aturan internasional dalam Perjanjian GATT

menyangkut prinsip perilaku perdagangan antar pemerintah, forum

negoisasi, dan upaya untuk menyelesaikan perselisihan dagang antar

bangsa. Kesepakatan ini dibangun di atas asumsi bahwa sistem

dagang yang terbuka lebih efisien dibanding sitem dagang yang

proteksionis, dan dibangun di atas keyakinan bahwa persaingan

bebas akan menguntungkan bagi negara yang menerapkan prinsip-

13George, Republik Pasar Bebas, hal. 66.

Page 42: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

prinsip efektivitas dan efisiensi. Tepat satu tahun setelah ditanda

tanganinya perjanjian GATT, yaitu pada tahun 1995 barulah

didirikan sebuah organisasi pengawasan perdagangan dan kontrol

perdagangan dunia yang dikenal dengan World Trade Organization

(WTO). Organisasi ini dibentuk untuk mengambil alih peran GATT,

dan menciptakan sebuah rezim perdagangan baru dunia.

Aktor kedua yaitu Trans/Multi Nasional Coorporation (TNC). Untuk

menjelaskan makhluk seperti apa TNC/MNC ini, penuturan dari

Omer Voss, wakil presiden eksekutif Internasional Hervester

memberikan ilustrasi yang menarik. Dia mengatakan: “jika Anda

mempunyai sebuah perusahaan patungan di Turki, dengan mesin-

mesin dari Jerman, sebuah sasis dari Amerika Serikat dan sebuah

sumber komponen setempat, anda harus menyentralisasikannya.

Anda mungkin harus menamakan kami terpusat dalam hal pola,

pengembangan hasil produksi, pembelian, dan keuangan.”14

Dari

apa yang dikatakan Voss, kita bisa mengidentifikasi perusahaan-

perusahaan multinasional sebagai perusahaan yang kegiatan

bisnisnya bersifat internasional dan lokasi produksinya terletak di

berbagai negara.

Pada era globalisasi, di mana pasar bebas menjadi prinsipnya

perusahaan-perusahaan transnasional memiliki kekuasaan yang tak

terbatas. Edward Luttwak dalam bukunya Turbo Capitalism

Winner&losser In The Global Economi menuliskan bahwa “…Pasar

bebas secara alamiah cenderung menjadi tidak bebas, karena

14Coen Husain pontoh, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Teori

Menuju Gerakan Massa (Jakarta: C-Book, 2003), cet. I, h. 57.

Page 43: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

mereka menghasilkan perusahaan-perusahaan yang sangat sukses

yang bertumbuh semakin besar hingga akhirnya menjadi monopoli,

atau sejenisnya….”. Monopoli kekuasaan atas perdagangan dunia

oleh perusahaan trans nasional ini tidak hanya mencakup sektor

industri dan perbankan. Tetapi juga sektor pertanian, konstruksi,

komunikasi, transportasi, pertahanan keamanan serta perdagangan

dan jasa. Data yang diperoleh Coen Husein Pontoh dari

Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejumlah perusahaan multinasional

lebih dari 45.000, 500 perusahaan terbesar menguasai 80 persen dari

seluruh investasi asing langsung. Perusahan-perusahaan

multinasional juga mengontrol sekitar 70 persen dari seluruh

perdagangan dunia. Lima perusahaan terbesar di dunia menguasai

77 persen perdagangan biji-bijian (padi, jagung, gandum, dsb.) di

dunia; tiga perusahaan pisang terbesar menguasai 80 persen

perdagangan pisang dunia; tiga perusahaan cokelat terbesar

menguasai 83 persen perdagangan cokelat dunia.; tiga perusahaan

teh terbesar menguasai 85 persen perdagangan teh; dan empat

perusahan tembakau terbesar mengusai 87 persen perdagangan

tembakau dunia.15

Pada dasarnya semua proses pengintegrasian ekonomi nasional

menjadi ekonomi global (globalisasi) merupakan harapan dan hasil

perjuangan dari perusahaan-perusahaan trans nasional. Kerena

sesungguhnya merekalah yang mengambil keuntungan dari semua

proses tersebut. Selama dua dekade menjelang berakhirnya abad

15Pontoh, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Teori Menuju

Gerakan Massa, hal. 62.

Page 44: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

lalu perusahan TNC tersebut meningkat secara kuantitas dari

sekitar 7000 TNC pada 1970 menjadi 37.000 TNC pada 1990. Pada

saat tersebut mereka menguasai 67% perdagangan dunia antar TNC

dan menguasai 34,1% dari total perdagangan global. Kini ada 100

TNC yang mampu mengontrol sampai 75% perdagangan global.16

Ketiga, adalah lembaga keuangan global. Yaitu International

Monetery Fund (IMF), dan Bank Dunia. Dua aktor keuangan

internasional ini berdiri pada tahun 1944. Ketika itu banyak negara-

negara yang baru merdeka. Lembaga-lembaga Breeton Wood -IMF

dan Bank Dunia- dirancang untuk memungkinkan perdagangan

internasional saat macetnya pergerakan modal internasional. Bank

Dunia dirancang untuk menutupi kekurangan investasi langsung

dan IMF untuk menutupi kekurangan kredit finansial demi menjaga

keseimbangan perdagangan. Pada akhirnya, dua lembaga ini yang

pada perjalanannya membuat proses globalisasi menjadi semakin

nyata. Lewat mekanisme utang luar negeri, IMF dan Bank Dunia

bekerja untuk memastikan agenda Stuctural Adjustment Program

(SAP) dilaksanakan oleh negara yang menjadi “pasien” nya. Agenda

tersebut mencakup prinsip-prinsip yang ada dalam Konsensus

Washington. Yaitu liberalisasi perdagangan dan keuangan,

privatisasi, dan deregulasi. Menurut Stiglitz, gagasan

fundamentalisme pasar tercermin dalam strategi dasar

pembangunan yang dianjurkan oleh IMF, Bank Dunia, dan

Departemen Keuangan AS mulai tahun 1980-an (strategi yang

mencakup juga pengelolaan krisis serta proses transisi dari

16Faqih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, hal. 214.

Page 45: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

komunisme ke ekonomi pasar).17

Oleh berbagai pihak strategi ini

disebut sebagai “neoliberalisme”. Karena pemain-pemain utama

yang merencanakan semua ada di Washington, kadang disebut juga

“Konsensus Washington”.

Walaupun sesungguhnya seperti yang dicatat oleh Susan George,

seorang aktivis Association for Taxation of Financial Transaction to

aid Citizen (ATTAC) Prancis, bahwa ketika IMF dan Bank Dunia

diciptakan di Breeton Woods mandat mereka adalah untuk

menolong mencegah konflik di masa depan, dengan cara memberi

pinjaman untuk rekonstruksi dan pembangunan, dan dengan

melicinkan pembayaran neraca kontemporer. Mereka tidak

memiliki kontrol terhadap keputusan ekonomi pemerintah secara

individual, juga mandat mereka tidak mencakup izin untuk

mencampuri kebijakan nasional. Tetapi, pada prakteknya dua

lembaga ini justeru berfungsi sebagai “pasukan kavaleri” bagi

masuknya kebijakan globalisasi neoliberal dengan melakukan

sejumlah kontrol atas kebijakan negara.

Sederhananya, ketiga aktor globalisasi tersebut menetapkan aturan-

aturan di seputar investasi, intelectual Property Rights dan kebijakan

internasional. Kewenangan lainnya adalah mendesak atau

mempengaruhi serta memaksa negara-negara untuk melakukan

penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses

pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global.

17Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan; Era 90-an dan Awal

Mula Petaka Ekonomi Dunia (Tangerang: Marjin Kiri, 2006), cet. I, h. 243.

Page 46: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

B.4. Globalisasi; Anak Kandung Kapitalisme Kapitalisme di Asia Timur yang selama ini dijadikan teladan keberhasilan pembangunan dan keberhasilan

kapitalisme Dunia ketiga tengah mengalami kebangkrutan. Namun negara-negara kapitalis atau imperial pusat telah

mampu mengantisipasi hal tersebut, dimana untuk mempercepat laju kapitalisme diperlukan sebuah proses yang disebut dengan globalisasi.

Krisis terhadap pembangunan yang terjadi pada dasarnya merupakan bagian dari krisis sejarah dominasi dan

eksploitasi manusia atas manusia yang lain, yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses ini pada dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga periode; fase pertama adalah periode kolonialisme yakni perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Berakhirnya

kolonialisme telah memasukkan dunia pada era neo-kolonialisme, ketika modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi. Fase kedua ini dikenal sebagai era pembangunan atau era developmentalisme dan ditandai dengan masa kemerdekaan negara Dunia Ketiga secara fisik, tetapi pada era

developmentalisme ini, dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dipertahankan melalui kontrol teori dan proses perubahan sosial mereka. Dengan kata lain, pada fase kedua ini, kolonialisasi tidak terjadi secara fisik, melainkan melalui hegemoni yakni dominasi cara pandang dan ideologi serta ‘diskursus’ yang dominan melalui

produksi pengetahuan. Krisis terhadap pembangunan belum berakhir, tetapi suatu mode of domination telah disiapkan, dan dunia memasuki era baru yakni era globalisasi. Fase ketiga, yang terjadi menjelang abad duapuluh satu, ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui Structural Adjustment Program (SAP) oleh lembaga finansial global,

dan disepakati oleh rezim GATT dan Perdagangan Bebas, suatu organisasi global yang dikenal dengan WTO. Sejak saat itulah dunia memasuki era yang dikenal dengan globalisasi.

Kapitalisme, yang menjadi basis sistem dan gerak operasi dari proses globalisasi saat ini tentu saja mempunyai

kekhasannya tersendiri. Bagi kalangan yang sangat optimis terhadap globalisasi, seperti Thomas L Friedmean dan beberap penulis yang lain, globalisasi adalah satu-satunya jalan yang dapat digunakan umat manusia untuk mendapatkan standar hidup yang lebih baik. Runtuhnya berbagai sistem ekonomi yang menjadi “rival” kapitalisme, telah meyakinkan sebagian

kelompok ini bahwa globalisasi dan liberalisasi pasar telah menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang lebih tinggi, kehidupan yang lebih baik, dan efisiensi ekonomi. Sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh sosialisme ataupun komunisme.18 Rezim kapitalisme global yang berjaya sekarang memiliki sejumlah hal baru yang membuatnya berbeda dari

bentuk sebelumnya. Kecepatan komunikasi yang merupakan salah satu hal baru, penemuan telepon dan telegraf mencerminkan suatu akselerasi yang setidaknya sama besar dengan perkembangan komputer saat ini. Tetapi, secara operasional, praktek kapitalisme mutakhir tetap mewarisi tradis lama kapitalisme. Prinsip kebebasan pasar dan mendorong

kebebasan individual dalam menentukan gerak aktivitas ekonomi merupakan hal yang tidak dapat dihilangkan. Lebih luas lagi, globalisasi yang dikontrol oleh rezim kapitalisme global ini mencakup wilayah yang lebih luas dari kekuasaan yang dimiliki sebelumnya. Ia mengatur seluruh peradaban, walaupun sebenarnya dia tidak memiliki struktur formal kedaulatan

negara, sebagaimana kekuasaan itu lahir darinya. Yang pada akhirnya, seperti yang diungkapkan oleh George Soros, sistem kapitalisme global memperlihatkan sejumlah kecenderungan imperialistik. Alih-alih berupaya membangun ekuilibrium, ia bahkan sibuk melakukan ekspansi. Ia tidak berhenti sepanjang masih ada pasar atau sumber daya yang

belum dicaplok.19 Dalam bahasa yang diungkapkan Petras, karena globalisasi merupakan sebuah proyek kelas, bukannya sebagai proses yang niscaya, maka jaringan lembaga-lembaga yang menentukan sistem perekonomian global yang baru dilihat bukan dalam pengertian struktural, tetapi dalam pengertian kesengajaan atau ketergantungan, yang dikendalikan

oleh kelompok/orang yang merepresentasikan dan mendahulukan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis internasional baru. Karena itu, Petras lebih senang menyebut globalisasi sebagai imperialisme.20

Dari penjelasan di atas, sejatinya kita saksikan bahwa globalisasi yang menjadi “obat kuat” bagi terjaminnya masa

depan dunia malah menjadi momok yang menakutkan. Propaganda kapitalisme tentang globalisasi justeru mengantarkan kita pada ketidakjelasan memaknai hakikat dari perkembangan dunia saat ini. Kapitalisme, sebagai anak kandung dari globalisasi dan sekaligus poros dari liberalisasi ekonomi menciptakan tantangan-tantangan baru bagi pembangunan

kesejahteraan sosial. Untuk itu diperlukan pemahaman yang jelas tentang apa dan bagaimana sebuah negara-bangsa dibentuk dalam kaitannya dengan globalisasi dan pemenuhan hak-hak sosial masyarakat.

C. Welfare State

18Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran

Negara Dalam Pembangunan (Yogyakarta: Tajidu Press, 2005), cet. I, h. 72.

19George Soros, Krisis Kapitalisme Global, alih bahasa: Didin

Solahudin (Yogyakarta: Penerbit QALAM, 2002), cet. III, h. 132. 20James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21

(Yogyakarta: Kreasi wacana, 2002), cet. I, h. 9-10.

Page 47: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Dalam kapitalisme, negara hanya berperan sebagai penjaga malam guna

menjamin mekanisme pasar berjalan lancar dan campur tangan negara yang terlalu

besar dianggap hanya akan mengganggu beroperasinya pasar. Karenanya, dalam

situasi yang tanpa “tangan pengatur keadilan” seperti itu, kapitalisme mudah

terpeleset kedalam arogansi ekonomi, homo homini lupus, dan hedonisme yang

melihat manusia hanya sebatas “binatang ekonomi” (homo economicus) yang

motivasi, kebutuhan dan kesenangannya hanya mengejar pemuasan fisik-materi.

Patokan tindakannya akan bercorak utilitarianistik, asas “sebesar-besarnya manfaat

dari sekecil-kecilnya pengorbanan”. Dalam praktiknya, “manfaat” di sini kerap

merosot maknanya menjadi sekadar “konsumerisme-materialisme” dan

“pengorbanan” sering terpeleset menjadi penindasan terselubung “si kuat terhadap si

lemah”, “majikan terhadap buruh”, “penguasa terhadap yang terkuasai”.

Produktivitas, efisiensi, dan pertumbuhan didewakan, sementara solidaritas,

effektifitas, dan kesetaraan ditiadakan.

Itulah salah satu dasarnya mengapa di negara-negara kapitalis, pembangunan

ekonomi dan kesejahteraan sosial tidak dipandang sebagai dua “sektor” yang

berlainan dan berlawanan. Keduanya dijalankan secara serasi dan seimbang yang

dibingkai oleh formulasi historis dan sosiologis yang bernama “negara kesejahteraan”

(welfare state).21 Sebagaimana dinyatakan oleh pemikir sosialis Jerman Robert

Heilbroner (1976), negara kesejahteraan merupakan sebuah ideologi, sistem dan

sekaligus strategi yang jitu untuk mengatasi dampak negatif kapitalisme. Karena

21Edi Suharto, “Globalisasi, Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan:

Mengkaji Peran Negara Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia,” artikel diakses tanggal 10 Maret 2005 dari http://www.policy.hu/suharto/makIndo10.html

Page 48: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

menurutnya, perlawanan terhadap kapitalisme di masa depan memang tidak dapat dan

sudah seharusnya tidak diarahkan untuk membongkar total sistem ini, melainkan

untuk mengubah sistem yang “unggul” ini agar lebih berwajah manusiawi

(compassionate capitalism) dalam mengatasi akibat mekanisme pasar yang tidak

sempurna.

Merujuk pada Spicker (1988:77) negara kesejahteraan dapat didefinisikan

sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang memberi peran lebih besar kepada

negara (pemerintah) untuk mengalokasikan sebagian dana publik demi menjamin

terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Menurut Marshall (1981) negara

kesejahteraan merupakan bagian dari sebuah masyarakat modern yang sejalan dengan

ekonomi pasar kapitalis dan struktur politik demokratis.22 Negara-negara yang

termasuk dalam kategori ini adalah Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru

serta sebagian besar negara-negara Eropa Barat dan Utara. Negara-negara yang tidak

dapat dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan adalah negara-negara

bekas Uni Soviet dan “Blok Timur”, karena mereka tidak termasuk negara-negara

demokratis maupun kapitalis.

Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di Eropa dan AS pada abad 19

yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih manusiawi

(compassionate capitalism). Dengan sistem ini, negara bertugas melindungi golongan

lemah dalam masyarakat dari gilasan mesin kapitalisme. Hingga saat ini, negara

kesejahteraan masih dianut oleh negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya

22Edi Suharto, “Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan

Sosial; Spektrum Pemikiran,” artikel diakses tanggal 10 Maret 2005 dari http://www.policy.hu/suharto/makIndo10.html

Page 49: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat

model, yakni:23

Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti

Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah

menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan

merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total

belanja negara.

Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model

pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi

kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll

contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).

Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia

Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah,

seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian

perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi

pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.

Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis,

Spanyol, Yunani, Portugis, Italia, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina,

Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen

dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara

23Suharto, “Globalisasi, Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan:

Mengkaji Peran Negara Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia.”

Page 50: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai

negeri dan swasta yang mampu mengiur.

Dari paparan di atas dapat dinyatakan bahwa sejatinya negara kesejahteraan

adalah bentuk perlindungan negara terhadap masyarakat, terutama kelompok lemah

seperti orang miskin, cacat, penganggur agar terhindar dari gilasan mesin kapitalisme.

Pertanyaanya adalah: atas dasar apa negara harus melindungi kelompok lemah,

seperti orang miskin dan orang yang tidak (bisa) bekerja? Ada beberapa alasan

mengapa negara diperlukan dalam mengatur dan melaksanakan pembangunan

kesejahteraan sosial:

Pertama, pembangunan kesejahteraan sosial merupakan salah satu piranti

keadilan sosial yang kongkrit, terencana dan terarah, serta manifestasi pembelaan

terhadap masyarakat kelas bawah. Tidak semua warga negara memiliki kemampuan

dan kesempatan yang sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Negara wajib

melindungi dan menjamin kelompok-kelompok rentan yang tercecer dalam balapan

pembangunan.

Seperti kita ketahui bersama, kekayaan dan sumberdaya yang ada di suatu

negara bahkan seluruh bumi kita ini sangat terbatas. Dengan demikian, jika ada

seseorang atau sekelompok orang hidupnya lebih makmur pada dasarnya hanya

dimungkinkan jika kelompok lain bersedia atau terpaksa hidup tidak makmur.

Apabila proses pembangunan dianalogikan dengan lomba memperebutkan kue tart,

maka seseorang yang memperoleh potongan kue lebih besar pada dasarnya

dimungkinkan karena yang lain mendapat bagian yang lebih kecil. Sekalipun setiap

orang memiliki kesempatan sama, tidak ada jaminan bahwa setiap orang akan

Page 51: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

memperoleh potongan kue yang sama. Umpamakan saja kue itu di simpan di tengah

lapangan dan setiap orang memiliki jarak sama untuk memperoleh kue itu. Tetapi

tetap saja orang yang kuat akan melesat lebih cepat dan mendapat potongan kue yang

lebih besar ketimbang kelompok sosial yang lemah lainnya.

Dirumuskan secara tajam, realitasnya adalah: kemakmuran suatu kelompok

sering dimungkinkan dan bibiayai oleh kelompok lainnya. Maka, selain negara wajib

memberi kesempatan sama kepada setiap orang untuk berusaha, ia harus tetap

memperhatikan keterbatasan kelompok lemah sebagai kompensasi dan wujud

keadilan sosial.

Kedua, semakin memudarnya solidaritas sosial dan ikatan kekeluargaan pada

masyarakat modern membuat pelayanan sosial yang tadinya mampu disediakan

lembaga keluarga dan keagamaan semakin melemah. Pembangunan kesejahteraan

sosial seringkali tidak menghasilkan keuntungan ekonomi bagi penyelenggaranya,

sehingga kurang menarik minat pihak swasta untuk berinvestasi di bidang ini.

Dengan kebijakan yang didukung UU, negara memiliki legitimasi kuat melaksanakan

investasi sosial berdasarkan "risk-sharing across populations" yang dananya

dialokasikan dari hasil pajak dan sumber pembangunan lainnya.

Meskipun secara ekonomi jangka pendek pembangunan kesejahteraan sosial

adalah pendekatan yang tidak profitable, secara sosial politik makro jangka panjang

ia dapat menjadi investasi sosial yang menguntungkan. Pembangunan kesejahteraan

sosial dapat meredam kesenjangan dan kecemburuan sosial yang merupakan

prasyarat dan rahasia tercapainya pertumbuhan ekonomi dan pemerataan yang

berkesinambungan, stabilitas politik dan kesejahteraan bersama.

Page 52: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Ketiga, negara perlu memberikan pelayanan sosial (social services) kepada

warganya sebagai bentuk tanggungjawab moral terhadap rakyat yang memilihnya.

Salah satu wewenang yang diberikan publik kepada negara adalah memungut pajak

dari rakyat. Karenanya, prinsip utama yang mendorong mengapa negara perlu

memberikan jaminan sosial adalah bahwa semua bentuk perlindungan sosial di atas

termasuk dalam kategori “hak-hak dasar warga negara” yang wajib dipenuhi oleh

negara sebagai wujud pertanggungjawaban moral terhadap konstituen yang telah

memilihnya.

Keempat, manusia cenderung berpandangan "myopic" (pendek) sehingga

kurang tertarik mengikuti program-program sosial jangka panjang. Negara bersifat

paternalistik (pelindung) yang mampu memberikan jaminan sosial secara luas dan

merata guna menghadapi resiko-resiko masa depan yang tidak tentu, seperti sakit,

kematian, pensiun, kecacatan, bencana alam, dan sebagainya.

Page 53: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

BAB III

MENUJU PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL,

DAN BUDAYA OLEH NEGARA

“…Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”

(Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945)

Kerangka Normatif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Tujuan pendirian bangsa Indonesia yang telah merdeka dari kolonialisme

seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan tujuan

yang amat mulia. Yaitu memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan yang seluas-

luasnya bagi rakyat Indonesia. Demikian pula pada umumnya gagasan kesejahteraan

dan keadilan sosial menjadi spirit negara-negara di dunia ketiga ketika lepas dari

kolonialisme Barat.

Kenyataannya saat ini, kita dihadapkan pada situasi di mana ketimpangan antar

negara semakin lebar. Negara-negara maju, yang memperoleh kekuasaan atas

monopoli dan akses terhadap modal mengalami perkembangan yang pesat dalam

pembangunan dan industrialisasi. Sebaliknya negara-negara di dunia ketiga, termasuk

Indonesia yang nota bene penyumbang dari suplay bahan mentah kepada negara-

negara maju tengah dirundung oleh persoalan kemiskinan dan keterbelakangan

Page 54: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

(underdevelopment). Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat fakta

tersebut adalah dengan melihat angka tingkat kesenjangan. Angka tersebut

menunjukan bahwa hanya dalam waktu lima tahun (1988-1993), gini coeficient

(indikator kesenjangan kekayaan) melonjak dari 62,5 menjadi 66,0. Satu persen (1%)

warga terkaya dunia menguasai kekayaan yang diterima 57% warga termiskin. Itu

sama dengan 5% warga terkaya dunia menguasai 114 kali income yang diperoleh 5%

warga termiskin. Income 10% warga terkaya di Amerika Serikat sama dengan jumlah

income yang diterima 43% penduduk termiskin dunia. Kekayaan 25 juta warga

terkaya di Amerika Serikat sama dengan income 2 milyar warga dunia.24

Melihat kondisi demikian, kiranya gagasan tentang keadilan sosial dan

pentingnya kepastian bagi terjaminnya hak atas kesejateraan dan kehidupan yang

layak relevan menjadi agenda pembangunan dewasa ini. Setelah pemikiran tentang

hak sipil dan politik (SIPOL) yang menjadi generasi pertama Hak Asasi Manusia

(HAM),25 hak-hak ekonomi, sosial dan budaya menjadi generasi kedua HAM yang

belum banyak disentuh. Jika dalam generasi pertama pemikiran tentang HAM

diilhami dari tradisi berpikir liberal dan kapitalis. Sebaliknya generasi kedua HAM

muncul dari tradisi sosilalis dan dicanangkan dengan berbagai cara oleh perjuangan

24B. Harry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I.

Wibowo, Francis Wahono dkk., Neoliberalisme (Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hal. 64

25 Menurut Burns H. Weston ada tiga generasi HAM. Ketiga

generasi HAM tersebut menunjukan suasana dialektika antara berbagai aliran ideologi terutama liberal dan sosial, juga aspirasi dari negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka dari kolonialisme. Tetapi inspirasinya diilhami oleh tiga norma revolusi Pancis. Hak-hak itu berdasarkan generasi yaitu pertama, hak-hak sipil politik (liberte-kebebasan). Kedua, hak ekonomi, sosial, budaya (egalite-persamaan sosial) dan ketiga, hak-hak solidaritas (fraternite-persaudaraan).

Page 55: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

revolusioner dan gerakan kesejahteraan pada masa itu.26 Generasi kedua HAM

merupakan tanggapan terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan pembangunan

kapitalis dan konsepsi kebebasan individual yang mendasarinya, selalu mentolelir,

bahkan mengesahkan eksploitasi kelas pekerja dan rakyat-rakyat di daerah jajahan.

Persoalan lain yang mendukung munculnya pemikiran tentang hak ekosob ini

adalah situasi politik-ekonomi pada tahun 1930-an. Pada saat itu dukungan bagi

peranan negara yang kuat sebagai agen bagi pelaksanaan keadilan sosial semakin

meningkat. Kondisi tersebut sejalan dengan berkembangnya konsep negara

kesejahteraan yang digagas oleh seorang pemikir ekonomi, John Mayrald Keynes.

Pemikiran Keynes memberikan kecaman yang keras terhadap logika pasar dalam

doktrin liberalisme klasik, yang dianggap gagal memberikan rasa keadilan ekonomi

bagi rakyat dan membuat jurang ketimpangan ekonomi semakin lebar antara negara-

negara utara dan selatan. Berkat gagasan-gagasan Keynes, pada akhirnya kemajuan

perkembangan fungsi-fungsi sosial negara mendapat “angin segar” dari Amerika

Serikat dan negara-negara di Eropa.

Salah satu yang terkenal dan menjadi sumber utama dari pendekatan Hak Asasi

Manusia yang lebih luas adalah “Empat Kebebasan” yang disampaikan oleh Presiden

Amerika Franklin D. Roosevelt, dalam pidato tahunannya di depan Kongres pada

tahun 1941 tentang State of the Union Address.27 Satu dari empat kebebasan yang

dikemukakan oleh presiden Roosevelt yang perlu dikembangkan oleh tatanan pasca

26 M. Ridha Saleh, ECOSIDE, Politik Kejahatan Lingkungan dan

Pelanggaran HAM (Jakarta, WALHI, 2005), cet. I, h. 10. 27 Asbjorn Eide, “Hak-Hak Ekonomi, sosial, dan Budaya Sebagai

Hak Asasi Manusia,” dalam Ifdhal Kasim dan J. da Masenus Arus, ed., Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; Esai-esai Pilihan (Jakarta, ELSAM, 2001) cet. I, hal. 18.

Page 56: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

perang adalah bebas dari kekurangan (Freedom From Want). Roosevelt mengusulkan

untuk memasukkan banyak hak ekonomi dan sosial dalam deklarasi. Dan memang

pada akhirnya usulan tersebut diadopsi menjadi bagian dari Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia 1948 serta dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya.

Komisi Hak Asasi Manusia mempersiapkan sebuah pernyataan internasional

tentang hak asasi manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 10

Desember 1948. Pernyataan ini, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi manusia

(Universal Declaration of Human Rights), diumumkan sebagai "suatu standar

pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara." Hak-hak

yang disuarakannya disebarkan lewat "pengajaran dan pendidikan" serta lewat

"langkah-langkah progresif, secara nasional dan internasional, guna menjamin

pengakuan, dan kepatuhan yang bersifat universal dan efektif terhadapnya."28

Dua puluh satu pasal pertama deklarasi tersebut menampilkan hak-hak yang

sama dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights)

yang termaktub di dalam konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah

diperbarui saat ini. Hal tersebut meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak

pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas

pribadi, serta partisipasi politik. Hak-hak tersebut kemudian dikenal dengan Hak Sipil

dan Politik. Namun pasal 22 sampai 27 mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi

dan sosial seperti jaminan sosial -suatu standar bagi kehidupan yang layak- dan

28 Ian Brownlie, ed., Basic Documents on Human Rights (Oxford:

Clarendon Press, 1971), hal. 93-105.

Page 57: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa sesungguhnya semua orang mempunyai

hak atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan. Bagian dari pasal-pasal ini

kemudian disebut sebagai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Jelasnya, terkait

dengan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya bahwa sumber yang paling

eksplisit dan utama dari hak-hak tersebut adalah DUHAM (Universal Declaration of

Human Rights) yang kemudian dielaborasi lebih lanjut dalam Covenan on Economic,

Social, and Cultural Rights (CESCR). Sebagai kovenan yang memberi daging

(substansi) dan efek dari DUHAM, hak-hak dan batasan-batasannya terformulasi

secara lebih terinci di dalamnya.

Dari pandangan di atas, dapat dipastikan bahwa jaminan utama hukum

internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya adalah Deklarasi Umum Hak

Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya, yang saat ini telah ditandatangani oleh 142 negara.29 Terkait dengan dua

instrumen hukum utama dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya,

Bersamanya sebenarnya beberapa Kovenan lainnya mengenai hak-hak Sipil dan

Politik, Konvensi mengenai Hak Anak dan Konvensi mengenai Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Meski kovenan-kovenan tersebut telah

diterima secara universal, diatur dalam berbagai teks hukum internasional baik yang

mengikat maupun yang deklaratif (misalnya Deklarasi mengenai Hak Atas

Pembangunan), diakui dalam berbagai aturan-aturan hukum nasional (konstitusi),

29Menurut data ratifikasi yang dikeluarkan PBB, hingga tanggal

15 Juni 2000, CESCR telah diratifikasi oleh 142 negara dan ditandatangani oleh 61 negara. Cina merupakan negara yang terakhir (tanggal 27 Oktober 1997) membuat ratifikasi terhadap kovenan ini. Lihat, Millenium Summit Multilateral Treaty Framework (New York: United Nation, 2000).

Page 58: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

namun implementasi dan pengakuan terhadap hak-hak ekosob sebagai hak asasi

sangat lemah. Hal ini disebabkan oleh pandangan dikotomis antara hak sipol dengan

hak ekosob, yang antara lain dipandang bahwa hak ekosob lebih bersifat aspiratif

daripada hak yang bisa dituntut.

Implikasi yang paling serius dari silang pendapat mengenai hal ini adalah

pandangan yang menyatakan bahwa kewajiban negara dalam pemenuhan hak

ekonomi, sosial dan budaya bersifat relatif, tergantung ketersediaan sumberdaya yang

ada dalam satu negara. Oleh kerena itu pemenuhan hak ekosob dalam pengertian

yang diambil oleh sebagian kalangan dapat dilakukan secara bertahap. Ide tersebut

secara eksplisit tercermin pada pasal 2 kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya yang

pada intinya mengatakan:

"setiap negara pihak berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik sendiri maupun

melalui bantuan kerjasama internasional,.., untuk secara progresif mencapai perwujudan

penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini, … termasuk dengan pengambilan langkah-

langkah legislatif.”30

Ketentuan dari pasal 2 ayat 1 ini menghendaki semua negara pihak memulai

dengan secepatnya mengambil langkah-langkah agar semua orang dapat menikmati

sepenuhnya seluruh hak yang terdapat dalam kovenan. Pengambilan langkah

legislatif pada umumnya tidak dapat dihindari jika hak ekonomi, sosial, dan budaya

akan dilaksanakan dengan sebenarnya, akan tetapi undang-undang saja bukan respon

yang cukup di tingkat nasional. Upaya-upaya administratif, hukum, kebijakan,

30 Lihat pasal 2 International Covenant on Economic, Social and

Cultural Rights, UNGA Res. 2200 A (XXI), 16 Des. 1966.

Page 59: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

ekonomi, sosial, dan pendidikan serta beberapa langkah lain dibutuhkan pemerintah

dalam rangka menjamin seluruh perwujudan hak ini bagi semua orang.

Yang lain adalah pandangan yang membedakan hak ekosob dan sipol menjadi

dua kategori. Yaitu “hak negatif” dan “hak Positif”. Hak negatif merujuk pada hak

sipil dan politik yang penegasannya adalah meminta negara-negara untuk menahan

diri dari keterlibatannya dan melakukan intervensi, demi terlaksananya pelaksanaan

hak-hak sipol tersebut. Sebaliknya, hak negatif yang diasosiasikan kepada hak

ekonomi, sosial budaya mendesak keterlibatan dan upaya penuh dari negara untuk

ikut campur dalam usaha pemenuhan dan perlindungan dari hak-hak ekosob ini.

Kesalahpahaman atas tafsir dan pengertian Kovenan Hak ekonomi, Sosial dan

Budaya merangsang beberapa ahli yang difasilitasi oleh Komisi Juris Internasional

(International Commission of Jurist) untuk mengadakan pertemuan yang diadakan di

Limburg dan Maastricht, Belanda. Masing-masing dilaksanakan pada tahun 1996 dan

1997.31 Dalam pertemuan ini para pakar berhasil merumuskan dua dokumen yang

bertujuan untuk memberi pedoman dalam memahami kewajiban-kewajiban negara

berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Pertemuan Limburg menghasilkan dokumen yang dikenal dengan “Limburg

Principles” (prinsip-prinsip Limburg), berisi tentang penjelasan terhadap kewajiban-

kewajiban negara berdasarkan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Sedangkan pertemuan Maastricht menghasilkan satu dokumen yang dikenal dengan

“Maastricht Principles” (prinsip-prinsip Maastricht). Dokumen ini berisi tentang

31Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; evaluasi

Pemenuhan Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya (Jakarta, ELSAM, 2003), cet. II, h. 12.

Page 60: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

penjelasan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Lahirnya dua dokumen tersebut paling tidak merupakan langkah minimal untuk

mengakhiri tafsiran yang arbitrer atas Kovenan hak EKOSOB tersebut.

Secara substansi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan satu paket

yang lebih komprehensif dari tiga unsur hak yang saling berkaitan. Inti hak-hak sosial

adalah hak terhadap standar kehidupan yang layak (Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia, Pasal 25; Kovenan Hak Ekonomi Pasal 11; Konvensi Hak Anak, Pasal 27).

Untuk dapat menikmati hak-hak tersebut, seseorang memerlukan sekurang-kurangnya

tersedianya hak-hak subsisten (untuk bertahan hidup) yang penting –seperti hak atas

makanan dan gizi yang mencukupi, pakaian, perumahan dan syarat-syarat penting

untuk perawatannya. Terkait erat dengan hak-hak ini adalah hak-hak keluarga

terhadap bantuan (Kovenan ekonomi, Sosial dan Budaya, Pasal 10; Kovenan Hak

Anak, Pasal 27). Untuk dapat menikmati hak-hak sosial ini, juga diperlukan

terpenuhinya hak-hak ekonomi tertentu. Seperti hak atas kepemilikan (Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 7), hak untuk bekerja (Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia Pasal 23; Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 6) dan hak-hak

atas jaminan sosial, (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 22 dan 25;

Kovenan ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 9; Konvensi Hak Anak Pasal 26).

Secara umum, kovenan internasional mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya

terdiri dari tiga puluh satu (31) pasal yang diatur dalam 6 bagian, yang bagian

pertamanya sama dengan saudaranya yaitu kovenan internasional tentang hak sipil

Page 61: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

dan Politik. Jantung dari Kovenan ini berada pada Bagian III (pasal 6-15) yang

menguraikan hak-hak yang dilindungi,32 yaitu:

a. Hak atas kerja (right to work)

b. Hak atas kondisi kerja yang layak (pasal 7)

c. Hak untuk bergabung dan membentuk serikat buruh (pasal 8)

d. Hak atas jaminan sosial (pasal 9)

e. Hak atas perlindungan bagi keluarga (pasal 10)

f. Hak atas standar hidup yang layak, termasuk hak atas pangan, pakaian dan

tempat tinggal (pasal 11)

g. Hak atas kesehatan (pasal 12)

h. Hak atas pendidiakan (pasal 13)

i. Hak atas kebudayaan (pasal 15)b

Dari uraian di atas, kita memahami bahwa pemenuhan tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya adalah sesuatu yang

harus dilakukan dengan segera oleh negara. Hak ekosob merupakan hak dasar yang kelahirannya merupakan unsur terpenting bagi keberlanjutan hidup dan kehidupan peradaban manusia yang lebih adil dan sejahtera. Pengingkaran terhadap pemenuhan hak ekosob oleh negara adalah sebuah bentuk kejahatan kemanusiaan.

Kata-kata “segera” perlu mendapatkan penegasan untuk menghindari

kesalahpahaman komponen “ kewajiban bertahap” kovenan yaitu bahwa setelah suatu

negara mencapai tingkat perkembangan ekonomi tertentu, pada saat itulah hak

berdasarkan kovenan telah terwujud. Bukan ini yang menjadi maksud dari kalimat

tersebut. Melainkan, tugas tersebut mewajibkan semua negara-negara pihak-terlepas

dari ringkat kekayaan nasionalnya- agar dengan segera dan sedini mungkin bergerak

mewujudkan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Ketentuan ini tidak boleh diartikan

32Antonio Pradjasto, Butir-butir Pokok Hak ekonomi, Sosial, dan

Budaya, makalah yang disampaikan pada Workshop Monitoring dan Advokasi HAM, CHRF-CIDA, 25 April – 1 Mei 2002, Ujung Pandang – Makasar.

Page 62: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

sebagai memperbolehkan negara untuk menunda usahanya tanpa batas waktu tertentu

untuk menjamin perwujudan hak yang digariskan dalam kovenan.

B. Neoliberalisme: Kendala Ideologis Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya di Era Globalisasi

Ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga BBM

pada awal tahun 2005, banyak kalangan menduga hal tersebut merupakan agenda

untuk liberalisasi sektor Minyak dan Gas (MIGAS) di Indonesia. kebijakan ini

didorong oleh mandat Undang-undang MIGAS No. 22/2001 untuk meliberalisasi

perekonomian Indonesia, khususnya pada sektor minyak dan gas. Fakta ini diakui

secara sadar oleh ketua Badan Pengatur sektor Hilir Minyak dan Gas (BPH

MIGAS) di salah satu media massa nasional mengatakan:

“bahwa Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing

untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Bisnis itu selama ini dikuasai oleh

Pertamina. …Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga bahan bakar minyak

(BBM) yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena

disubsidi, pemain asing enggan masuk.”11

Cerita tentang kenaikan BBM di atas secara sederhana memberikan kita

pemahaman bahwa saat ini liberalisasi ekonomi dan pasar bebas, yang menjadi

jargon dari proyek globalisasi telah menjadi instrumen bagi kepentingan modal

untuk dapat menjalankan aktifitas ekonominya di berbagai negara. Dengan kata

11“Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi

Migas,” berita diakses tanggal 14 Mei 2003 dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/14/ekonomi/312498.htm

Page 63: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

lain, pasar bebas dengan ideologi neoliberalisme saat ini telah menjadi “mantra”

dan “agama” yang diyakini dapat menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia,

contohnya kenaikan BBM untuk memfasilitasi kepentingan perusahaan asing di

atas.

Neoliberalisme sebagai perspektif ekonomi, mengawali perkembangannya

pada tahun 1947. ketika itu seorang ekonom Austria, Friedrich August von Hayek

mengorganisir sebuah pertemuan tertutup selama sepuluh hari bersama beberapa

pemikir di berbagai bidang yang datang dari Amerika Utara dan Eropa di

pegunungan Mont Pelerin, Swiss.12 Pertemuan yang menghasilkan sebuah

kelompok dengan nama The Mont Pelerin society (MPS) ini dimaksudkan sebagai

bentuk keprihatinan atas munculnya gelombang “kolektivisme” yang melanda

Eropa. Jika melihat tulisan Hayek tiga tahun sebelum pertemuan tersebut

berlangsung, mudah dipahami bahwa MPS berusaha mengajukan keunggulan

kapitalisme pasar bebas: Dengan membiarkan jutaan individu mereaksi harga

pasar yang tercapai secara bebas, dan melakukan optimalisasi pengalokasian

modal.13 Oleh karena itu, mudah untuk dimengerti bahwa pertemuan tersebut

dirancang untuk melakukan interupsi atas pemikiran “ekonomi pasar sosial” Ordo

Liberal yang sedang berkembang di Jerman Barat pasca Perang Dunia ke-2.

Secara umum gagasan ekonomi politik neoliberal adalah argumen yang

menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika, dan hanya jika, lalu-

12B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I.

Wibowo dan Francis Wahono, ed., Neoliberalisme (Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), cet. I, h. 51-52.

13 Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme, hal. 52.

Page 64: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

lintas barang/jasa/modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun.14 Optimalisasi itu

juga akan terjadi bila barang, jasa, dan modal dimiliki/dikuasai oleh orang

perorangan yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi.

Dalam prakteknya, operasi neoliberalisme mendorong kebijakan-kebijakan

liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi oleh negara demi tercapainya tujuan-tujuan

akumulasi modal oleh individu.

Pada perkembangannya, ideologi neoliberalisme telah menjadi alat penopang utama bagi berjalannya proses globalisasi

yang kita rasakan sekarang ini. Anjuran para ekonom neoliberal untuk melakukan pengetatan fiskal dengan memangkas anggaran negara bagi kebutuhan subsidi rakyat, pembukaan pasar domestik bagi masuknya investasi asing, pemberlakuan kebijakan mata uang mengambang merupakan resep pembangunan ekonomi dunia saat ini. Melalui proses ini, propaganda

globalisasi menyelip di antara kebutuhan Negara-negara dunia ketiga akan resep pembangunan tersebut. Dalam proses yang dialektis, hal tersebut menandai dimulainya babak baru dari persoalan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya oleh negara dewasa ini. Betapapun, prinsip universalisme HAM yang tidak mengenal batas-batas ideologi dan wilayah,

pada prakteknya saat ini khususnya di negara-negara dunia ketiga mengalami kendala yang serius. Proses globalisasi ekonomi ditandai dengan ekspansi modal internasional dan agenda pasar bebas. Lewat sejumlah lembaga-lembaga keuangan Internasional seperti IMF dan Bank Dunia, serta lembaga perdagangan internasional (WTO), memaksa sejumlah

negara untuk agenda reformasi kebijakan ekonomi yang menguntungkan negara-negara industri maju dan perusahaan multinasional. Hal tersebut disebabkan mereka –para negara di dunia ketiga- akibat krisis dan kemiskinan yang dialaminya, terpaksa harus mengikuti agenda ekonomi neoliberalisme melalui perangkat pinjaman luar negeri.

Lewat kontrol ekonomi yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia, negara-negara dunia ketiga saat ini terhimpit oleh beban pembayaran utang luar negeri yang sangat besar. Akibatnya para pemerintahan di negara-negara tersebut terpaksa melakukan pemotongan anggaran sosial untuk kebutuhan rakyatnya. kebijakan pencabutan subsidi, privatisasi, dan

pembukaan peluang pasar ekonomi adalah sejumlah kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara yang pada umumnya menjadi pasien dari IMF dan Bank Dunia. Lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, sejalan dengan pemikiran ekonomi neoliberal meyakini bahwa perlindungan sosial negara terhadap rakyatnya berakibat

pada tidak berjalannya mekanisme pasar yang efisien dan kompetitif. Sehingga menyebabkan tidak terjadinya proses akumulasi modal yang akan menuntun pada kesejahteraan masyarakat. Tentu saja, secara teoritis pandangan ini mencerminkan pengingkaran terhadap fungsi negara dalam memenuhi kebutuhan sosial rakyat.

Dari pengalaman krisis yang terjadi di Asia Timur tahu 1997, Stiglitz membenarkan bahwa lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia telah melakukan praktek yang kontradiktif dan memicu krisis berkepanjangan di beberapa negara di Asia yang menjadi pasiennya. Bagi Stiglitz, sesungguhnya negara-negara yang paling mampu bertahan

selama dan sesudah krisis Asia adalah negara-negara yang tidak mengikuti resep standar neoliberal dari IMF/depkeu AS. Seperti apa yang telah dilakukan oleh Cina dan Malaysia. Sebaliknya, negara-negara yang menjadi pasien IMF seperti Thailand, Korea, dan Indonesia hingga saat ini masih bergelut untuk menyelesaikan krisis ekonomi yang berkepanjangan

yang paling lambat pertumbuhan ekonominya. Akibat yang lebih parah adalah Indonesia, demi memprioritaskan pembayaran beban utang yang mustahil terbayarkan, pemerintah mengorbankan pemberian subsidi untuk rakyat yang menjadi nafas dalam situasi krisis di negeri ini.

Dengan kata lain, neoliberalisme menjadi penghambat utama bagi terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya oleh negara. Berikut adalah lima bentuk kontradiksi antara neoliberalisme dan penegakkan hak ekosob oleh negara dewasa ini.

Pertama, fungsi pasar dengan hukum-hukumnya adalah layaknya dunia mekanis Newtonian. Akan ada gangguan-

gangguan yang dapat menghalangi berfungsinya pasar, yang perlu disingkirkan. Dari sudut perekonomian neoliberal, perjuangan dan advokasi hak asasi manusia (misalnya perjuangan kaum buruh) adalah bentuk gangguan yang dimaksud.

Sebagai contoh, perjuangan kaum buruh dalam menuntut kenaikan upah dan hak cuti selalu menjadi persoalan di negera-

negara dunia ketiga. Sebab, bagi hukum pasar ekonomi kapitalis, negara-negara dunia ketiga merupakan produsen bagi berlimpahnya barang baku dan buruh murah yang siap dieksploitasi.

Kedua, garis hidup perekonomian neoliberal adalah kekuatan kompetisi, di mana yang kuat akan bertahan hidup dan yang

tidak akan musnah. Segala hal yang didasarkan pada prinsip kesetaraan (equality) bertentangan dengan dinamika ekonomi semacam ini. Bila kita perhatikan, pandangan tersebut segaris dengan pemikiran yang dianut oleh seorang penganjur neolib

14 Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme, hal. 59.

Page 65: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

yang paling kukuh, Perdana Menteri Inggris Margareth Tatcher. Dia adalah seorang darwinis sosial yang menggariskan

bahwa kompetisi adalah syarat utama bagi tersedianya alokasi sumberdaya yang memadai.15

Ketiga, di dalam dunia kontemporer, praktek hak asasi manusia seharusnya menempatkan subyek, yakni kaum korban pada titik pusatnya. Akan tetapi yang terjadi adalah, kehidupan ekonomi modern dengan hegemoni kapitalisme neoliberal,

beroperasi melalui dissolution subject.16

Keempat, perekonomian neoliberal dan pasar didasarkan kepada model pembangunan tertentu yang terhomogenisasi. Model pembangunan ini, yang terkait dengan globalisasi telah menjadi pelanggar hak asasi manusia yang amat kasar.17 hal

tersebut dapat dibuktikan. Akibat bentuk kebijakan penyesuaian struktural yang dipaksakan oleh Bank Dunia terhadap negara-negara di selatan, telah mengakibatkan pengalihan kekayaan secara besar-besaran dari lapisan masyarakat bawah ke lapisan puncak. Serta menyebabkan ketimpangan yang terjadi antara utara-selatan semakin bertambah dari masa ke masa.

Kelima, ketidaksesuaian antara pasar dan hak asasi manusia secara alamiah mendatangkan konsekuensi-konsekuensi bagi negara. Setiap negara yang mempromosikan perekonomian neoliberal dan pasar kapitalis akan mendapatkan halangan yang besar dalam hal perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak ekosob. Karena negara dalam paradigma ekonomi ini,

mendapatkan perlakuan hanya sebagai “anjing penjaga malam” yang tidak punya kekuatan yang signifikan.

Keenam, neoliberalisme menyebabkan terjadinya proses akumulasi kekayaan individu. Yang pada akhirnya menyebabkan ketimpangan pendapatan dan kepemilikan. Orang miskin, dengan instrumen HAM sekalipun, tidak dapat serta merta

menagih haknya. Oleh karena sistem ekonomi yang berlaku di dunia saat ini membenarkan proses itu terjadi. Sebagai contoh, laporan terakhir UNDP menyebutkan, secara akumulatif 225 orang terkaya di dunia memiliki kekayaan sebesar lebih dari US $ 1 trilyun yang juga merupakan total income dari 47 % masyarakat miskin yang berjumlah 2,5 milyar jiwa.18

Uraian di atas menunjukan bahwa dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya oleh negera-negara di dunia, khususnya di Selatan mengalami kendala yang serius akibat kebijakan ideologi ekonomi neoliberalisme yang dipaksakan. Pada akhirnya, pertarungan di tingkat internasional dalam perumusan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya juga

tidak dapat dihindari pertarungan ideologi antara kubu “liberal-kapitalis” dan kubu “sosialis”.

C. Refleksi Kebijakan Pembangunan Orde Baru Dalam Pemenuhan Hak

ekonomi, Sosial dan Budaya

Sejak dimulainya era pembangunan dalam masa pemerintahan Orde Baru,

praktis terdapat perubahan orientasi kebijakan pemerintahan dari masa Orde

Lama. Kebijakan pembangunan dalam masa Orde Baru menandakan dimulainya

satu orientasi dimana “ekonomi sebagai panglima”, menggantikan orientasi

“politik sebagai panglima” masa Soekarno. Kebijakan ekonomi pemerintahan

Orde Baru yang bertolak belakang dengan kebijakan pemerintahan Orde Lama

15 Susan George, “Sejarah Singkat Tentang Neoliberalisme;

Duapuluh Empat Tahun Ilmu ekonomi Elit dan Timbulnya Peluang Bagi Perubahan Struktural,” dalam Sugeng Bahagijo, ed., Republik Pasar Bebas (Jakarta, PT Bina Rena Pariwara, 2002) cet. I, hal. 45.

16Felix Wilfred, “Hak Asasi Manusia ataukah Hak-hak Asasi Kaum

Korban?” Jurnal WACANA, edisi 8, tahun II/2001: h. 117. 17Wilfred, “Hak Asasi Manusia ataukah Hak-hak Asasi Kaum

Korban?,” h. 118. 18Wilfred, “Hak Asasi Manusia ataukah Hak-hak Asasi Kaum

Korban?,” h. 120.

Page 66: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

menempatkan pemerintah sebagai fasilitator bagi pihak-pihak swasta, terutama

dari segi administrasi. Pada masa-masa ini, terutama dimulai pada awal tahun

1970-an sembari berperan sebagai fasilitator, pemerintah Indonesia mulai

memainkan peran sebagai agen pembangunan ekonomi di samping agen

pembangunan sosial dan politik.

Sepintas, kebijakan tersebut adalah langkah maju dari upaya pemerintahan

Orde Baru di bawah Presiden Soeharto menjadikan pemenuhan hak-hak ekonomi,

sosial dan budaya di Indonesia menjadi agenda prioritas pembangunan. Tetapi

kenyataannya, kebijakan pembangunan Orde Baru, khususnya dalam kerangka

pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya tidak menjadi agenda prioritas

pembangunan. Kondisi demikian terjadi di tengah Indonesia menyatakan dirinya

sebagai negara hukum, yang bertujuan mencapai masyarakat adil dan makmur,

merata baik spiritual dan material. Menurut seorang ekonom asal Inggris,

Daudley Seers, pembangunan belum bisa dikatakan berhasil bila salah satu atau

dua dari tiga kondisi, yaitu kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan menjadi

lebih buruk, meskipun pendapatan per kapita melambung tinggi.19

Untuk melakukan upaya percepatan ekonomi, pada awal episode

pembangunan, Orde Baru melakukan upaya konsolidasi ekonomi-politik.

Langkah strategis yang paling dominan dilakukan adalah melakukan tindakan-

tindakan progresif dengan memfasilitasi dan memobilisasi potensi ekonomi yang

19Andrinof A. Chaniago, Gagalnya Pembangunan; Kajian Ekonomi

Politik Terhadap Akar Krisis Indonesia (Jakarta, LP3ES, 2001), Cet. I, h. 1.

Page 67: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

paling mudah diproduksi untuk menggerakkan roda perekonomian yang

berorientasi pasar. Dalam kaitan mendukung kebijakan ini, terdapat setidaknya 2

produk perundang-undangan yang terbit pada tahun 1967, yaitu Undang-undang

Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-undang Pokok Kehutanan. Dua

produk undang-undang ini dimaksudkan untuk menstimulir berbagai pihak masuk

ke sektor-sektor strategis di Indonesia.20 Selain itu, paket undang-undang ini

adalah kebijakan deregulasi dan kebijakan debirokratisasi untuk urusan-urusan

yang berkaitan dengan perekonomian. Dengan kata lain, sejak saat itu

pemerintahan Orde Baru sedang menjalankan agenda-agenda neoliberalisme.

Selain membuat kebijakan-kebijakan strategis dalam rangka menopang

percepatan pertumbuhan ekonomi, sebagai bagian dari kebijakan tersebut

pemerintahan Orde Baru melakukan kebijakan stabilisasi politik.

Konsekwensinya adalah menutup pintu rapat-rapat atau bahkan melakukan

kriminalisasi terhadap setiap sikap kritis rakyat kepada pemerintah. Kebijakan

tersebut diambil oleh pemerintah orde baru dengan alasan untuk menjamin laju

pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan atas hak ekonomi dan sosial rakyat agar

tidak mengalami “gangguan”. Ke depan, alasan inilah yang selalu diungkapkan

Orde Baru ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dunia Internasional

tentang terjadinya pelanggaran hak sipil dan politik secara massif pada sepanjang

masa kekuasaannya. Singkatnya, arah pembangunan Orde baru di bawah jargon

trilogi pembangunan menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan menjalin

20Chaniago, Gagalnya Pembangunan; Kajian Ekonomi Politik

Terhadap Akar Krisis Indonesia, h. 26.

Page 68: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

hubungan yang harmonis dengan swasta, baik yang berasal dari dalam atau luar

negeri.

Untuk mengetahui lebih rinci sejauh mana kebijakan pembangunan Orde

Baru memberikan keuntungan (benefit) bagi tercapainya pemenuhan hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya berikut akan disampaikan tiga hal yang merupakan

sebagian dari pokok-pokok hak ekonomi, sosial dan budaya yang merupakan

evaluasi dari kebijakan pada masa Orde Baru.

1. Hak Atas Pangan

Pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga masih

relatif tinggi di Indonesia, yaitu 67,2 persen dan 52,36 persen dari rumah tangga

di desa dan kota. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar pendapatan keluarga

masih dibelanjakan untuk pangan.21 Artinya pangan adalah komoditas dominan

bagi sebagian besar rumah tangga di Indonesia dan oleh karena itu

ketergantungan orang Indonesia terhadap ketersediaan akses atas pangan

sangatlah tinggi. Oleh karena kebutuhan masyarakat Indonesia pada waktu Orde

Baru terhadap pangan, khususnya beras, sangat tinggi. Pemerintah menyadari

bahwa ketersediaan padi di pasaran memiliki hubungan yang signifikan terhadap

stabilitas kekuasaan.

Masalah yang muncul adalah, kebijakan pangan pada masa pemerintahan

Orde Baru berkisar pada masalah kecukupan pangan dan persoalan tata niaga

21Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; Evaluasi

Pemenuhan Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya (Jakarta, ELSAM, 2003), cet. II, h. 53.

Page 69: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

pangan yang merugikan petani. Sentralisme kekuasaan Orde Baru yang ditopang

oleh kekuatan modal internasional -IMF dan Bank Dunia- menyebabkan

persoalan pangan merupakan hal yang jauh dari rasa keadilan. Kebijakan impor

pangan atas dorongan dari IMF, kebijakan harga, merupakan bagian yang

mendapat perhatian serius.

Dari kebijakan pangan selama Orde Baru, tampak bahwa kebijakan

pemerintah lebih dominan dalam memperburuk kepemilikan akses terhadap

pangan. Hal ini terjadi dalam bentuk pertama, terciptanya pasar komoditi pangan

yang oligarkis baik pada beras, minyak kelapa, kedelai dan lain-lain. Kedua,

adanya kerugian pada masyarakat berupa social welfare loss atau menurunnya

kesejahteraan sosial baik karena harga pangan yang ditentukan semena-mena

maupun karena faktor-faktor inefisiensi lainnya yang melekat pada pasar

oligarkis. Ketiga, terjadinya stratifikasi kepemilikan akses atas pangan yang

berakibat pada mudah terjadinya penjarahan dan kerusuhan sosial.

2. Hak Atas Kesehatan

Salah satu indikator untuk mengukur komitmen negara pada pemenuhan

atas kesehatan adalah dengan menggunakan parameter besar/kecilnya anggaran

untuk pemenuhan pelayanan kesehatan. Menurut standar WHO yang dikeluarkan

pada Deklarasi Alma Ata tahun 1978, untuk mencapai Health for all by the year

2000, besar anggaran kesehatan yang harus dialokasikan minimal 5% dari Produk

Page 70: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Domestik Bruto (PDB). Untuk Indonesia sampai tahun 1990, besar anggaran yang

dialokasikan hanya 2,5% dari PDB.22

Menurunnya kemampuan pemerintah untuk membiayai pelayanan

kesehatan, dikarenakan kebijakan deregulasi yang memberikan peluang bagi

investasi swasta dalam dan luar negeri untuk menanamkan investasi di bidang

kesehatan. Kebijakan deregulasi yang dikeluarkan pemerintah menyangkut

sejumlah peraturan yang dibuat, yang pada intinya mengalihkan peran pemerintah

dalam bidang kesehatan kepada swasta. Peraturan itu antara lain ialah keluarnya

Permenkes No. 159B/1988, yang memudahkan swastanisasi di sektor kesehatan.

Deregulasi yang dilakukan pemerintah menyebabkan terjadi perubahan arah

pembangunan kesehatan yang berorientasi sosial menjadi lebih bersifat komersial.

Secara umum, kinerja pembangunan kesehatan dapat dikatakan mengalami

peningkatan. Namun, dari segi pemerataan terhadap akses pelayanan kesehatan,

kebijakan Orde Baru cenderung memihak kepada kaum berpunya dan cenderung

urban bias.

3. Hak Atas Pendidikan

Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan dalam dunia ekonomi

mempunyai kewajiban untuk mempersiapkan tenaga kerja yang mempunyai nilai

produktivitas yang tinggi. Karenanya, pendidikan dapat dipandang sebagai usaha

manusia untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pandangan tersebut menimbulkan

kerancuan dan bias antara fungsi pendidikan di satu sisi dan kebutuhan pasar di

22Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; Evaluasi Pemenuhan

Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya, hal. 100.

Page 71: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

sisi yang lain. Pada masa Orde Baru, pandangan tersebut dilatar belakangi oleh

kebijakan liberalisasi sektor pendidikan. Yaitu dengan menekankan aspek-aspek

kuantitatif dan keterampilan teknis pada dunia pendidikan agar mampu bersaing

dalam era teknologi dan liberalisasi.

Pada masa Orde Baru, pandangan-pandangan di atas banyak dianut menjadi

strategi pembangunan pendidikan di Indonesia. yang kemudian hari menimbulkan

masalah terutama terkait dengan kebijakan kurikulum dan pengekangan kretivitas

pelajar. Di samping itu, keterkaitan yang erat antara pembangunan dan

pendidikan menimbulkan masalah, yang disebabkan oleh ketidakberesan

pembangunan itu sendiri. Terjadinya ketimpangan pendidikan di Jawa dan luar

Jawa, merupakan akibat dari sentralisme pembangunan yang dijalankan Orde

Baru. Walaupun dalam kebijakan anggaran pendidikan, Orde Baru dinilai cukup

memberikan perhatian. Hal tersebut dapat dilihat dari pengeluaran pemerintah

untuk pembangunan gedung Sekolah Dasar yang meningkat secara absolut dari

tahun ke tahun. Secara umum, kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru dinilai

cukup baik. Kecuali beberapa permasalahan yang muncul akibat kepentingan

negara dalam pengaturan pendidikan bagi warga negara yang sarat dengan

kepentingan politik.

D. Signifikansi Peran Muhammadiyah Dalam Mempromosikan Hak Ekonomi,

Sosial, dan Budaya di Indonesia

Page 72: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan tertua di Indonesia. Didirikan

pada tahun 1912 di Yogyakarta oleh seorang pejuang kemerdekaan Indonesia,

K.H Ahmad Dahlan. Misi utama dari gerakan yang dibangun oleh K.H Ahmad

Dahlan tampak pada terobosan awal beliau untuk melakukan gerakan dakwah

melalui tajdid (pembaharuan) keagamaan dan pembelaan rakyat miskin melalui

aksi sosial yang kongkrit. Dengan orientasi keberagamaan yang rasional,

Muhammadiyah berusaha memurnikan Islam dari segala bentuk penyimpangan-

penyimpangan keagamaan yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

Pemurnian Islam itulah yang sekaran dikenal dengan istilah “ar-ruju’ ilal Qur’an

wa sunnah”.23

Adalah dua prinsip dasar yang menjadi acuan dakwah yang dikembangkan

oleh pendirinya, KH. Ahmad Dahlan. Pertama, adalah pembebasan. Yakni

bagaimana membebaskan manusia dari belenggu penjajahan dan kebodohan; dan

yang kedua, adalah penghargaan pada harkat dan martabat manusia. Kedua dasar

dari prinsip dakwah Muhammadiyah inilah sebenarnya letak peran strategis

organisasi ini di Indonesia kemudian hari.

Sebagai Ormas Islam besar, peranan Muhammadiyah dapat dilihat sebagai

bagian dari bangunan masyarakat madani di Indonesia. dan oleh karena itu

peranannya sangat signifikan dalam memperbaiki kwalitas kehidupan rakyat

Indonesia. Tugas-tugas dakwah Muhamadiyah melalui amal usahanya yang

23Ahmad Fuad Fanani, “Membendung Arus Formalisme Muhammadiyah,”

dalam Muslim Abdurrahman ed., Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural (Jakarta, Ideo Press dan MAARIF Institute, 2003), cet. III, h. 15.

Page 73: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

mencakup aspek sosial ekonomi dengan mendirikan banyak lembaga-lembaga

pendidikan, rumah sakit, usaha kecil/menengah adalah cermin dari pemikiran

untuk memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dalam upaya untuk mempromosikan hak-hak ekonomi-sosial dan budaya,

keterlibatan negara (State Parties) menjadi prasyarat penting. Utamanya

menyangkut fungsi sosial negara (pemerintah) atas mandat yang telah diberikan

rakyat kepadanya. Tetapi upaya tersebut terkadang terhambat oleh karena

kendala-kendala ideologis ataupun politis. Pada konteks ini, seluruh komponen

masyarakat madani (termasuk Muhammadiyah) mempunyai peran aktif dalam

upaya mengkontrol setiap kebijakan negara agar dapat memenuhi kewajiban

pemenuhan hak ekosob dalam rangka memenuhi rasa keadilan ekonomi dan

sosial di Indonesia.

Bagi muhammadiyah, seperti yang tercantum dalam hasil keputusan

Muktamar ke-45 di Malang menyatakan bahwa tugas pemerintah melayani rakyat

dalam konteks pemenuhan hak rakyat dilihat sebagai upaya menjunjung tinggi

nilai dan martabat manusia. Sebagaimana dituliskan: “…dalam konteks

Indonesia, pencerahan peradaban untuk mempertinggi nilai dan martabat manusia

merupakan bagian tidak terpisahkan dari reformasi dan pembangunan bangsa.

Bagi pemerintah bahkan melaksanakan amanat rakyat dan tugas-tugas pelayanan

publik semestinya merupakan pantulan dari menghargai dan menjunjung tinggi

martabat manusia Indonesia. melalaikannya berarti merendahkan martabat

manusia. Karena itu merupakan tanggung jawab pemerintah untuk lebih

Page 74: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

meningkatkan fungsi pelayanan public (social services) bagi peningkatan mutu

kehidupan rakyat yang lebih baik serta memenuhi hak-hak dan kebutuhan

dasarnya. Sehingga tidak ada lagi anak bangsa ini yang terkena busung lapar,

putus pendidikan, gagal kerja, dan mengalami marjinalisasi kehidupan...”

Barangkali dalam tradisi pemikiran Islam di Indonesia, tidak banyak

kelompok yang memberikan perhatian lebih terhadap persoalan-persoalan

kontemporer khususnya menyangkut isu-isu mengenai keadilan ekonomi,

ketimpangan global antara negara kaya dan miskin, utang luar negeri, kemiskinan,

dan lain-lain. Walaupun demikian, tidak bisa dikatakan bahwa pemikiran Islam di

Indonesia tidak sensitif dengan realitas yang menjadi problem umat saat ini.

Sebagai contoh gagasan Islam transformatif yang berkembang pada tahun 1980-

an menyebutkan bahwa peranan agama dalam proses pembangunan adalah

memberikan “kritik ideologi” atas usaha-usaha dominasi alat-alat produksi,

dominasi teknologi, dan dominasi makna yang telah menjadi corak strategi

pembangunan di Indonesia saat ini.24

Transformasi, menurut Muslim Abdurrahman, yang juga salah satu tokoh

Muhammadiyah, sepatutnya menjadi gerakan kemanusiaan yang mampu

mengantarkan kehidupan sosial yang sederajat di depan Allah SWT. Suatu

gerakan transformatif yang menumbuhkan kepedulian terhadap nasib sesama, dan

yang melahirkan aksi solidaritas. Gagasan Islam Transformatif bertujuan

24Budhy Munawar Rahman, “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah;

Pemikiran Neo Modernisme Islam di Indonesia,” dalam Asep Gunawan, ed., Artikulasi Islam Kultural Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. I, hal. 483.

Page 75: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

mempertalikan mitra insani atas dasar kesadaran iman, bahwa sejarah suatu kaum

hanya akan diubah oleh tuhan jika ada kehendak dan upaya dari semua anggota

kaum itu sendiri.

Terlepas dari berbagai macam aliran pemikiran dalam Islam di Indonesia,

baik itu modernis, tradisionalis maupun transformatif pada hakikatnya memiliki

tanggung jawab yang sama. Yaitu memberikan kontribusi yang nyata terhadap

pembangunan ummat di Indonesia untuk segera lepas dari kemiskinan dan

keterbelakangan yang bukan hanya disebabkan oleh faktor alam dan budaya,

tetapi juga praktek eksploitasi dan keserakahan oleh kekuatan kelas yang dominan

sehingga menyebabkan ummat menjadi miskin dan terbelakang.

Melihat uraian yang sudah disebutkan di atas, nampaknya usaha melakukan

proses advokasi terhadap pemenuhan hak ekosob perlu mendapatkan dukungan

yang luas dari kelompok masyarakat madani di Indonesia. Peran aktif dari

organisasi masyarakat (ORMAS) Islam, termasuk Muhammadiyah akan lebih

memberikan arti bagi usaha pembelaan terhadap kaum mustad’afin di Indonesia.

Page 76: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

BAB IV

NEGARA DAN PERAN PEMENUHAN HAK EKONOMI,SOSIAL DAN BUDAYA MENURUT

MUHAMMADIYAH

“…Muhammadiyah memang belum mampu menawarkan alternatif bagi masa depan

Indonesia, apakah itu di bidang pendidikan, ataupun dalam pelayanan kesehatan dan

sosial. Apa yang telah dilakukan sebegitu jauh adalah membantu negara dalam

berbagai kegiatan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Oleh karena itu janganlah

ditafsirkan segala bantuan yang dikucurkan negara kepada Muhammadiyah sebagai

utang budi, sebab semuanya itu adalah dalam rangka mencerdaskan dan mencerahkan

kehidupan bangsa yang menurut UUD 1945 adalah tugas dan kewajiban

pemerintah…”

(Dengan Sikap Baru Menuju Indonesia Baru; Pidato Iftitah Buya Syafii Maarif pada

Sidang Tanwir Muhammadiyah di Mataram, 2004)

Globalisasi dan Peran Negara Perspektif Muhammadiyah

Belakangan, diskursus tentang globalisasi menjadi marak di Muhammadiyah.

Tidak hanya pada forum-forum diskusi ilmiah di pengajian rutin, ataupun media

jurnal dan majalah yang diterbitkan oleh Muhammadiyah maupun organisasi di

bawahnya. Tetapi hal ini menjadi diskursus bahkan sudah menjadi keputusan

muktamar Muhammadiyah yang lalu. Sebagai sebuah organisasi besar, sebenarnya

respon Muhammadiyah terhadap persoalan globalisasi terbilang sangat lambat. Bukan

saja diskursus ini sudah sejak lama diperdebatkan secara teoritik maupun praktiknya

Page 77: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

oleh para ahli, bahkan perkembangan globalisasi saat ini sudah semakin jauh dari

pengertian yang sesungguhnya.

Era globalisasi, dalam pandangan Haedar Nashir,33 merupakan suatu era

ketika mobilitas dan alam pikiran manusia dari hari ke hari makin membuana ke

dalam sistem global (the Global System).34 Globalisasi sebagai kenyataan kehidupan

umat manusia pada abad baru itu merupakan interkonekasi yang serba melintasi baik

dalam hubungan-hubungan antarbangsa, masyarakat, komunitas, hingga persilangan

kepentingan antar bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, budaya, agama, dan

sebagainya. Dalam konteks ini, Hedar mencoba mendefinisikan globalisasi sebagagai

sebuah realitas yang tidak bisa dihindari, bahkan menjadi hukum alam kemanusiaan.

Berdasarkan relitas kekinian tentang globalisasi, Haedar kemudian

menjelaskan akibat yang harus ditanggung terkait dengan hubungan antar negara-

bangsa. Baginya, hubungan antar bangsa dengan kepentingan-kepentingan yang

menyertainya di era global itu tidak lagi diikat oleh kerangka nation-state dan pola-

pola internasional yang konvensional, tetapi berubah menjadi tatanan baru yang

disebut sistem global dalam bentuk global society. Sistem global juga makin

memperluas global market dengan jaringan transnasional dan multinasional yang

semakin menduia layaknya gurita global.35

33Haedar Nashir adalah sakah satu tokoh muda Muhammadiyah,

menulis banyak buku dan artikel di media massa. Pada Muktamar ke-45 di Malang tahun 2005 terpilih sebagai salah satu anggota pimpinan pusat Muhammadiyah periode 2005 – 2010.

34Haedar Nashir, “Tatanan Baru Dunia Global,” Jurnal INOVASI,

No.2 th. X/2000, h. 18. 35Nashir, “Tatanan Baru Dunia Global,” Jurnal INOVASI, h. 18.

Page 78: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Secara lebih tajam, Dr. Musa Asy’arie, Ketua Program Magister Studi Islam

Universitas Muhammadiyah Surakarta, mengungkapkan bahwa era globalisasi telah

membawa hubungan pasar dan negara berlangsung sangat kompleks. Pasar telah

menjadi simbol baru dari sistem ekonomi yang pada dasarnya bercorak kapitalistik,

pasar sebagai anak keturunan kapitalisme muncul dan berkembang menjadi kekuatan

yang dapat mempengaruhi dan mengkontrol secara signifikan kehidupan politik suatu

negara untuk menjadi lebih demokratik, menghargai kebebasan individu, dan terbuka

atas perbedaan pemikiran apa pun.36 Mekanisme ekonomi pasar telah tumbuh secara

otonom, dan otonominya dapat menekan suatu negara untuk dapat mengikuti

rasionalitas hukum ekonomi pasar, sehingga respon respon pasar terhadap negara

(pemerintah) akan menentukan kelangsungan hidup dari negara (pemerintah)

tersebut.

Meskipun demikian, hukum ekonomi pasar bukanlah satu-satunya jawaban

atau obat mujarab bagi kemajuan dan pembangunan di semua negara. Realitas politik,

kebudayaan, dan kebergaman sosial yang berbeda-beda tidak otomatis menjadikan

resep ekonomi pasar begitu saja dapat diaktualisasikan. Bahkan, dari berbagai

pengalaman beberapa negara dunia ketiga (Argentina, Chili, Indonesia) ketika

menerapkan kebijakan ekonomi pasar justeru semakin membuat kesenjangan dan

kemiskinan semakin telanjang. Dalam bahasa yang diungkapkan oleh Dr. Musa

Asy’arie, aktualisasi ekonomi pasar hanya menjadikan yang kaya makin kaya dan

yang miskin makin miskin. Karena mereka yang kuat, kaya dan maju sudah mencuri

36Musa Asy’arie, “Muhammadiyah, Negara, dan Pasar dalam Sistem

Global,” Jurnal INOVASI, No. 2 th. X/2000, h. 39.

Page 79: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

start terlebih dahulu daripada mereka yang lemah, miskin dan tertinggal, yang

membuat jarak ketertinggalan itu pada kenyataannya semakin jauh saja.

Sebagai sebuah ormas Islam yang besar, komitmen gerakan Muhammadiyah

sejak lama didedikasikan bagi perluasan kesempatan bagi kaum mustad’afin dalam

meraih kesejahteraan, pendidikan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Sebagaimana yang tertulis dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu

Abad,37 yang menyakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang

mengemban misi da’wah dan tajdid, berasas Islam, bersumber pada al-Quran dan as-

Sunnah, dan bertujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Muhammadiyah sesuai jati dirinya senantiasa istiqomah untuk menunjukan kimitmen

yang tinggi dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan

sebagai wujud ikhtiar menyebarluaskan Islam yang bercorak rahmatan lil-‘alamin.

Misi kerisalahan dan kerahmatan yang diemban Muhammadiyah tersebut secara

nyata diwujudkan melalui berbagai kiprahnya dalam pengembangan amal usaha,

program, dan kegiatan yang sebesar-besarnya membawa kemaslahatan hidup di dunia

dan di akhirat bagi seluruh umat manusia di bumi ini.

Terminologi masyarakat Islam yang menjadi tujuan gerakan Muhammadiyah

menjadi penting untuk melihat korelasinya dengan sikap dan pandangan terhadap

globalisasi. Masyarakat Islam dalam definisi Muhammadiyah adalah masyarakat

yang memiliki keseimbangan antara keidupan lahiriah dan bathiniah, rasionalitas dan

spiritualitas, aqidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi,

37Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-45 tentang

Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad (Zhawahir al-Afkar al-Muhammadiyah ‘abra Qarn min al-Zaman), (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2005).

Page 80: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan,

kejujuran, dan kesejahteraan, kerjasama, kerja keras, kedisiplinan, dan keunggulan

dalam segala lapangan kehidupan. Meskipun begitu, dalam menghadapi dinamika

kehidupan, masayarakat Islam semacam ini selalu bersedia bekerjasama dan

berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah persaingan pasar bebas di segala

lapangan kehidupan dalam semangat “berjuang menghadapi tantangan” (al-jihad li

al-almuwajjahat) lebih dari sekedar “berjuang melawan musuh” (al-jihat li al-

mu’aradhah).

Dalam mendefinisikan globalisasi, Muhammadiyah membuat kategorisasi ciri

perihal kecenderungan global berdasarkan pemikiran yang telah dikajinya. Cara

seperti ini biasa dilakukan oleh Muhammadiyah sebelum menentukan garis besar

program organisasi untuk masa satu periode kepengurusan.

Dalam dokumen hasil Muktamar ke-45, dalam melihat kecenderungan global

Muhammadiyah menyebutkan bahwa dunia masih akan mengadapi apa yang

disebutnya sebagai lima relitas besar (great reality),38 yakni pertama, hegemoni

Amerika Serikat; kedua, berlanjutnya dominasi peradaban Barat; ketiga, kekuasaan

pasar (market force) dan globalisasi; keempat, pergeseran teknologi industri ke

teknologi digital, berikut kesenjangan digital (digital divide); dan kelima,

terhimpitnya peradaban Islam dalam perkembangan keempat realitas sebelumnya.

Dalam memasuki babak baru globalisasi, Muhammadiyah merespon positif

realitas besar ini dengan apa yang disebutkannya “…melahirkan pola hubungan

38Keputusan Mukatamar Muhammadiyah ke-45 tentang Program

Muhammadiyah, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2005).

Page 81: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

positif antarbangsa dan antarnegara yang serba melintasi…”. Tetapi di saat

bersamaan Muhammadiyah juga menganggap globalisasi juga melahirkan hal-hal

negatif dalam kehidupan umat manusia sedunia seperti timbulnya perilaku

penghambaan terhadap materi, ego, dan kekuasaan. Globalisasi menurut

Muhammadiyah telah mendorong berkembangnya pengaruh neoliberalisme yang

semakin mengokohkan dominasi kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan

borjuasi sekaligus meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah

(dhu’afa) dan tertindas/terlemahkan (mustad’afin) sehingga melahirkan ketidak-

adilan global yang baru.

Walaupun tidak menyebutkan secara terperinci bagaimana hal tersebut terjadi,

tetapi nampaknya pemikiran ini banyak dipengaruhi oleh pandangan tentang

dominasi peranan pasar terhadap negara dalam globalisasi. Seperti yang telah

disebutkan oleh Haedar Nashir, dalam globalisasi pasar telah tumbuh menjadi

kekutan raksasa yang merambah ke setiap penjuru dunia dan sudut-sudut lingkungan

kebudayaan masyarakat di seluruh muka bumi. Di era sistem global itu juga terjadi

perubahan dan pola hubungan baru mengenai keberadaan dan peran negara. Negara

yang semula menurut Max Weber dikatakan memiliki otoritas dan kemampuan untuk

menerapkan paksaan secara fisik kepada warga negaranya kini tidak lagi sendirian

menentukan kehendaknya.

Praktek ekonomi pasar yang mengambil alih peran negara menyebabkan

berubahnya pandangan terhadap tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan hak

dasar warga negara. Sejalan dengan hukum ekonomi pasar bebas, maka mudah

dipastikan bahwa warga negara tidak diperkenankan mendapatkan perlindungan dari

Page 82: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

negara dalam bentuk subsidi atau perlindungan sosial yang lainnya. Praktek proteksi

dan subsidi jelas merupakan barang haram dalam ekonomi pasar neoliberal saat ini.

Dampak buruk dari paraktek globalisasi ekonomi telah dituliskan

Muhammadiyah sebagai sembilan ancaman yang menghantui dunia saat ini dan di

masa yang akan datang.39 Pertama, pengaburan batas-batas cultural dan

geografis/ekologis sehingga kemampuan menyesuaikan diri dan daya tahan menurun,

terutama bagi masyarakat atau bangsa yang lemah. Kedua, terbaginya ekonomi dunia

menjadi dua bagian, yaitu negara-negara yang kaya otot serta negara-negara yang

kaya otak. Ketiga, gaya pikir dipengaruhi oleh produsen informasi. Keempat, transfer

capital dalam bentuk uang yang mengalir luar biasa ke negarra-negara utara

ketimbang ke selatan. Sedang arus barang dan tenaga kerja juga tidak seimbang.

Kelima, propaganda HAM yang bersandar pada individualisme, pengabaian hak-hak

kelompok dan kekalahan hak-hak manusia oleh modal. Keenam, terancamnya

demokrasi dengan globalisme. Ketujuh, konsumsi dirangsang oleh iklan, kebutuhan

didikte oleh negara ekonomi kuat sesuai dengan gagasan mereka dan

internasionalisasi pertanian menentukan siapa yang menang dan kalah dalam

persaingan yang disanjung-sanjung melebihi kerjasama. Kedelapan, globalisasi

system pangan menambah kesenjangan negara kaya dan miskin, serta merangsang

konsumerisme yang hampir tak terbatas. Kesembilan, kontak budaya terjadi dalam

skala besar, cepat, multidimensional dan serempak, sehingga tidak dapat dielakkan

terjadinya peniadaan budaya, kesalahan adaptasi, dan kegoncangan budaya.

39Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-45 tentang Program

Muhammadiyah, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2005).

Page 83: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Sayangnya, Muhammadiyah tidak mempunyai pandangan yang jelas tentang

bagaimana seharusnya peran negara dalam menghadapi kontak dengan proses

globalisasi. Muhammadiyah hanya menyebut perlunya sebuah bangsa memiliki daya

adaptasi, filter, dan integritas kepribadian yang kokoh dalam menghadapi hegemoni

dan liberalisasi politik global yang penuh dengan kepentingan.

Muhammadiyah menyadari, di samping negara, peranannya dalam konteks

global tetap sangatlah penting. Oleh Karena itu dalam hal menghadapi pengaruh kuat

globalisasi dan ekspansi neoliberal yang sangat mencengkram masyarakat dunia saat

ini, Muhamadiyah mentasbihkan dirinya hadir dengan sikap aktif memainkan peran

kerisalahan agar umat manusia seduinia tidak terseret pada kehancuran oleh

keganasan globalisasi neoliberal. Pada saat yang sama dapat diarahkan menuju pada

keselamatan hidup yang lebih hakiki serta memiliki peradaban yang lebih maju dan

berperadaban mulia.

Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pendidikan

Hak atas Pendidikan, termasuk berbagai aspek kebebasan

akademik, merupakan bagian esensial dalam hukum hak asasi

manusia sekarang ini. Sebuah negara, yang dengan cermat

memperhatikan persoalan pendidikan terhadap warga negaranya

berarti sedang berinvestasi bagi masa depan dan kemajuan sebuah

bangsa. Hak atas pendidikan sebagaimana tercantum dalam pasal 13

Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengatakan:

“Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap

orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa pendidikan harus

Page 84: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan

kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas

hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Mereka

selanjutnya setuju bahwa pendidikan harus memungkinkan semua

orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang

bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan

antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan

lebih memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa

untuk memelihara perdamaian.”40

Dalam berbagai hukum internasional lainnya, sejumlah

perjanjian maupun deklarasi juga diatur mengenai hak atas

pendidikan ini. Hal tersebut diantaranya dapat ditemukan dalam

Pasal 26 (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan

merupakan target Millennium Development Goals (MDG’s). Begitu

juga dalam konstitusi UUD 1945, terdapat dua pasal yang dengan

tegas menyatakan hak atas pendidikan sebagai hak konstitusional.

Pasal 28E-Amendemen ke-2 dan Pasal 31-Amendemen ke-4. Dalam

Pasal 31 ayat (2) ditegaskan: ''Setiap warga negara wajib mengikuti

pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.''

Selanjutnya dalam ayat (4) dinyatakan: ''Negara memprioritaskan

anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari

APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan

40Buku Saku Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya, diterbitkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Ratifikasi Kovenan Ekosob, 2003.

Page 85: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

penyelenggaraan pendidikan nasional.''41

Kedua pasal ini, pada

hakikatnya, yang dikenal dengan obligasi positif negara dalam

hukum HAM, menegaskan bahwa negara mempunyai kewajiban

memfasilitasi dan menyediakan, antara lain anggaran pendidikan

untuk terlaksananya pendidikan dasar bagi setiap warga negara.

Muhammadiyah, sebagai organisasi dakwah sebagaimana

sudah dikemukakan pada bab sebelumnya mendasarkan usaha

dakwahnya pada sekian banyak kegiatan sosial kemasyarakatan.

Salah satu aspek penting dari kegaitan tersebut adalah amal usaha

dalam bidang pendidikan. Amal usaha pendidikan, sebagaimana

tercantum dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah adalah dalam

kepentingan melaksanakan dakwah dan gerakan tajdid

(pembaharuan).42

Usaha ini dilakukan dalam konteks gerakan

Muhammadiyah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama

Islam sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-

benarnya.

Perhatian yang besar dari Muhammadiyah terhadap bidang pendidikan bukan

hal yang baru. Hal tersebut telah berlangsung sejak KH. Ahmad Dahlan awal kali

memulai gerakannya. Komitmen keilmuan yang tinggi dari KH. Ahmad Dahlan

tercermin dari langkah kontroversial dan tidak lazim dalam membangun gerakan

dakwah Islam saat itu. Yaitu mengadopsi sistem pendidikan barat (kolonial) sebagai

metode pendidikan Islam. Ijtihad ini diambil oleh KH. Ahmad Dahlan untuk

41A Patra M. Zein, “Pendidikan Bukan Hak Hukum?,” artikel

diakses tanggal 10 Maret 2005 dari http://www.mediaindo.co.id 42Keputusan Mukatamar Muhammadiyah ke-44 Tahun 2000 di Jakarta

tentang Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1421 H / 2000 M).

Page 86: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

mengembangkan metode baru pendidikan Islam yang berbasiskan rasionalitas dan

dan modern di bumi nusantara. Dalam pernyataannya beliau mengatakan bahwa:

"Muhammadiyah ini lain dengan Muhammadiyah yang akan datang. Maka teruslah

kamu bersekolah, menuntut ilmu pengetahuan dimana saja. Jadilah guru kembali

pada Muhammadiyah. Jadilah dokter, kembali kepada Muhammadiyah. Jadilah

Meester, insinyur dan lain-lain, dan kembalilah kepada Muhammadiyah."

( K.H. Ahmad Dahlan dalam junus salam, 1968 : 51 - 52 )

Selanjutnya hal tersebut tercantum dalam salah satu dari tiga

aspek pokok amal usaha muhammadiyah yang menyangkut

kepentingan masyarakat khususnya umat Islam yang menjadi

mayoritas bangsa Indonesia. yaitu: aspek keagamaan,

kemasyarakatan, dan pendidikan.43

Maka tidak mengherankan

kalau sampai saat ini muhammadiyah sudah memiliki 10.000-an

sekolah setingkat TK sampai SLTA dan seratusan perguruan tinggi

yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dan tidak hanya

dinikmati oleh warga muhammadiyah saja.44

Bahkan, dalam

laporan pada muktamar ke-45 di Malang disebutkan bahwa hingga

tahun 2000 Muhammadiyah memiliki 3.979 Taman Kanak-Kanak,

33 Taman Pendidikan Diniyah/Ibtidaiyyah, 2.143 Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama (SMP dan MTs), 979 SLTA (SMA, MA, SMK), 101

43Nur Achmad dan Pramono U. Tanthowi, ed., Muhammadiyah

“Digugat” (Jakarta: KOMPAS, 2000), cet I, h. 33. 44Pada dasarnya, kegiatan di bidang pendidikan sudah dimulai sejak awal berdirinya,

berkaitan dengan amal usaha lainnya. Tahun 1929 jumlah rumah sekolah yang didirikan oleh Muhamamdiyah di wilayah Yogyakarta, Surakarta, dan Jakarta sudah mencapai 126 buah. Selain itu, sejumlah balai pengobatan (poliklinik) di kota-kota Yagya, Surabaya, dan Malang telah mengobati sebanyak 81.000 orang pasien. Lihat H.M Farid Nasution dalam: Organisasi Sosial Keagamaan dan

Keberadaan Pendidikan Islam di Indonesia (Kasus Muhammadiyah), http://www.depdiknas.go.id, diakses pada tanggal 06 Mei 2005.

Page 87: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

sekolah Kejuruan, 13 Muallimin/Muallimat, 3 sekolah menegah

farmasi, serta 64 pondok pesantren. Dalam bidan pendidikan tinggi,

sampai tahun 2005, Muhammadiyah memiliki 36 Universitas, 72

sekolah tinggi, 54 akademi, serta 4 buah politeknik.45

Pada saat pelaksanaan mukatamar Muhammadiyah ke-44 di

Jakarta, persoalan pendidikan tetap menjadi agenda pokok bagi

gerakan dakwah Muhammadiyah. Lewat dokumen pembacaan

terhadap kondisi dan masalah nasional,46

Muhammadiyah

menyatakan:

“Masalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia sebagaimana

ditunjukan oleh Human Development Index (HDI) Indonesia yang

berada di posisi nomor 105 dalam standar UNDP (PBB) pada tahun

1999, yang memerlukan percepatan pengembangan sumberdaya

manusia melalui pendidikan untuk meningkatkan kualitas keunggulan

bangsa setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.”

Pernyataan di atas yang juga merupakan suatu statemen atas

pembacaan terhadap kondisi sosial-kemasyarakatan di Indonesia,

menunjukan bentuk dari keprihatinan Muhammadiyah terhadap

persoalan pendidikan sampai hari ini. Keprihatinan terhadap

lambatnya pembangunan sumberdaya manusia Indonesia ini juga

mencakup sebuah komunitas yang lebih khusus, yaitu umat Islam.

Hal tersebut dinyatakan oleh Muhammadiyah dalam sidang

45Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-45 tahun 2005 tentang

Program Muhammadiyah periode 2005 – 2010, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1426 / 2005).

46Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 Tahun 2000 di Jakarta

tentang Program Muhammadiyah periode 2000 – 2005, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1421 H / 2000 M).

Page 88: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

muktamar yang menilai bahwa kondisi dan masalah umat Islam di

Indonesia yang masih belum setara antara kualitas dan kuantitas

seperti mutu sumberdaya manusia yang masih rendah.47

Oleh

karena itu, manifestasi usaha yang akan dilakukan muhammadiyah

adalah memajukan dan memperbaharui pendidikan dan

kebudayaan serta memperluas ilmu pengetahuan, teknologi dan

penelitian menurut tuntunan Islam.

Urusan pendidikan bukanlah merupakan tanggung jawab

Muhammadiyah pribadi. Tetapi juga menuntut keterlibatan dari

institusi politik negara untuk berperan aktif di dalamnya. Perihal

keterlibatan dan peran negara, ada dua hal pokok yang menjadi

perhatian. Pertama, Muhammadiyah menyatakan perlunya

perbaikan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional oleh

negara, khususnya pembenahan kurikulum dan tenaga

kependidikan. Aspek ini oleh Muhammadiyah dinilai penting untuk

dilakukan, untuk lebih menyempurnakan penyelenggaraan sistem

pendidikan di Indonesia. Dalam pandangan Muhammadiyah,

penyelenggaraan sistem pendidikan nasional haruslah meliputi tiga

komponen pokok, yaitu sebagai proses alih pengetahuan (transfer of

Knowledge), alih kemampuan/keterampilan (transfer of competency)

dan alih nilai (transfer of values). Termasuk pendidikan akhlak.

Adanya sistem pendidikan nasional yang diatur dalam

perangkat perundang-undangan –dalam konteks perdebatan tentang

RUU SISDIKNAS-, Muhammadiyah menyatakan bahwa hal

47Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 Tahun 2000 di Jakarta

tentang Program Muhammadiyah periode 2000 – 2005, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1421 H / 2000 M).

Page 89: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

tersebut merupakan suatu landasan penting untuk mewujudkan

penyelenggaraan pendidikan guna mencerdaskan kehidupan bangsa

sekaligus bisa memberikan payung terhadap beberapa persoalan,

yang negara masih memiliki tanggung jawab untuk melindunginya.48

Hal kedua, dan menjadi salah satu point penting dari pokok-

pokok pikiran hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah terakhir,

adalah tanggung jawab negara untuk meningkatkan anggaran

pendidikan sebesar 25% yang pelaksanaannya dilakukan secara

bertahap serta memperbaiki manajemen pendidikan.49

Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Kesehatan

Jika pada suatu waktu kita mendengar berita tentang

meninggalnya orang miskin dikarenakan penyakit yang dideritanya,

kita patut bertanya sebab apa dia meninggal. Apakah karena dia

menghinggap penyakit kronis sehingga sulit diobati, atau karena

faktor lain, seperti ketidakmampuan membayar biaya pengobatan?.

Kesehatan merupakan masalah sosial, ekonomi dan politik dan merupakan hak

asazi manusia yang paling penting. Kesenjangan, kemiskinan, eksploitasi, kekerasan

dan ketidakadilan merupakan sumber penyakit dan kematian di antara orang-orang

yang miskin dan termarginalisasi. Bila kita ingin mengusahakan kesehatan bagi

semua orang (health for all), kepentingan-kepentingan orang-orang yang berkuasa

harus dikaji ulang, globalisasi harus dilawan, dan prioritas politik dan ekonomi harus

diubah secara besar-besaran.

48Ahmad Jainuri, “Muhammadiyah dan RUU Sisdiknas,” artikel

diakses tanggal 10 Juni 2003 dari http://www.surya.co.id/rubrik.php?id=12

49Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 Tahun 2000.

Page 90: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Masalah pelayanan serta akses masyarakat terhadap kesehatan

merupakan the dominant factor dari problem kesehatan di Indonesia.

Akibat tingkat pelayanan kesehatan yang buruk serta rendahnya

akses publik, hingga saat ini Indonesia masih dihantui bayang-

bayang tingkat kematian ibu dan anak yang masih tinggi. Pada

tahun 2002 Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 35 Jiwa per 1000

kelahiran. Sedangkan Angka Kematian Ibu (AKI) tercatat sebanyak

307 jiwa per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2003.50

Untuk menjawab persoalan di atas, setidaknya kita bisa melihat

dua pendekatan/perspektif yang relevan.11

Pertama, perspektif yang

memfokuskan pada alokasi sumberdaya (resource allocation).

Penganut pandangan ini berpendapat bahwa alokasi sumber daya

yang tidak adil tidak hanya menimbulkan kemiskinan, tetapi juga

menjadi penyebab buruknya kesehatan masyarakat. Artinya

ketidakadilan alokasi sumber daya, menjadi penyebab dari

buruknya kondisi pemukiman, sanitasi yang tidak layak, serta

rendahnya tingkat nutrisi yang dialami oleh masyarakat.

Kedua, perspektif yang melihat ketidakmampuan masyarakat

(miskin) terhadap pelayanan kesehatan lebih merupakan masalah

struktural yang diciptakan (baik oleh negara atau pemilik kapital)

dalam bentuk pengelolaan pelayanan kesehatan yang diskriminatif

(hanya menguntungkan kelompok tertentu) dan merugikan

kelompok miskin.

50Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sakit (Sleman, Resist Book,

2004), cet. I, h. 38. 11Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; Evaluasi

Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Jakarta, Elsam, 2003), cet. II, h. 82.

Page 91: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Berkaitan dengan dua permasalahan dari pendekatan di atas,

hukum Hak Asasi Manusia Internasional menetapkan dua aturan

yang berhubungan dengan hal tersebut: pertama, perlindungan

terhadap kesehatan masyarakat yang secara sah membatasi hak

asasi manusia; dan kedua, hak kesehatan individu serta kewajiban

pemerintah untuk memberikannya. Dalam peraturan hukum

internasional, yaitu Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya, hak atas kesehatan disebutkan dalam pasal 12 yaitu:

“Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk

menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik

dan mental”.12

Artinya, persoalan kesehatan telah menjadi

keprihatinan komunitas internasional sejak lama. Bahkan, di

beberapa aturan-aturan regional, seperti Konvensi Eropa untuk

Hak Asasi Manusia (ECHR) dan Piagam Sosial Eropa (ESC), juga di

peraturan yang termuat dalam Internasional Labour Organization

(ILO) dan World Health Organization (WHO), secara jelas

mengakui pemberlakuan hak asasi manusia dalam bidang

kesehatan.

Melihat sejumlah standar hukum internasional yang sudah

diuraikan, dan meninjaunya di Indonesia, terlihat betapa

pemenuhan hak atas kesehatan di negeri ini masih jauh dari ideal.

Sebagai contoh, pada sektor anggaran kesehatan tahun 2005,

pemerintah saat ini memberikan anggaran untuk pelayanan

kesehatan dasar hanya sekitar Rp. 6,791 Trilyun. Hal tersebut

12Buku Saku Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,

diterbitkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Ratifikasi Kovenan Ekosob, 2003.

Page 92: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

sangat jauh bila membandingkan standar yang dibuat oleh Bank

Dunia untuk meningkatkan pemenuhan hak atas kesehatan,

terutama bagi masyarakat miskin, diperlukan biaya Rp 13,6 triliun

per tahun, termasuk di situ layanan rumah sakit dan rawat inap

dalam bentuk “Hibah kesehatan untuk kaum miskin”.

Muhammadiyah, lewat kegiatan dakwah yang dilakukannya,

mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap persoalan kesehatan.

Salah satu amal usaha yang diteguhkan dalam Anggaran Dasar

Muhammadiyah adalah untuk menggerakan dan menghidup-

suburkan amal tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa dalam

bidang kesehatan, sosial, pengembangan masyarakat, dan keluarga

sejahtera.13

oleh karena itu sejak awal kali gerakannya dibangun,

Muhammadiyah juga gencar mendirikan berbagai sarana pelayanan

kesehatan sebagai “Penolong Kesengsaraan Oemoem” seperti rumah

sakit dan puskesmas untuk membantu meningkatkan kualitas

kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam.

Dalam bidang kesehatan, hingga tahun 2000 Muhammadiyah

memiliki 30 Rumah Sakit Umum, 13 rumah Sakit Bersalin, 80

Rumah Bersalin, 35 Balai Kesehatan Ibu dan Anak, 63 Balai

Pengobatan, 20 Poliklinik, Balkesmas, dan layanan kesehatan lain.

Dalam program kerja yang disepakati lewat Muktamar ke-44

tahun 2000 di Jakarta, Muhammadiyah juga meneguhkan usahanya

dalam bidang kesehatan dan peningkatan kualitas hidup

masyarakat. Enam point yang tertera dalam keputusan tersebut

13Anggaran Dasar Muhammadiyah, keputusan Muktamar ke-44, Jakarta

, 2000.

Page 93: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

menunjukan tingkat kepedulian dalam bentuk partisipasi secara

menyeluruh terhadap penyelenggaraan pelayan kesehatan di

Indonesia. Amal usaha Muhammadiyah bidang kesehatan

mempunyai misi untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar

dapat mencapai derajat kesehatan yang lebih baik, sebagai bagian

dari upaya menuju terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan

sakinah sebagaimana dicita-citakan Muhammadiyah.

Kewajiban negara dalam pemenuhan hak atas kesehatan

masyarakat, tidak dapat disangsikan lagi bagi Muhammadiyah.

Meskipun Muhammadiyah sendiri melakukan fungsi sosial yang

mempunyai tujuan yang kurang lebih sama. Tetapi pengakuan

deklaratif dari pidato Syafii Maarif pada pembukaan sidang Tanwir

di Mataram, secara jelas mengatakan bahwa tugas mencerdaskan

dan mencerahkan negara adalah kewajiban pemerintah yang tidak

bisa ditoleril.

Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pangan

Pangan adalah kebutuhan pokok sekaligus menjadi esensi kehidupan manusia,

karenanya hak atas pangan menjadi bagian sangat penting dari hak azasi manusia.

Ketersediaan pangan yang cukup bagi rakyat dalam suatu negara, menunjukan tingkat

kesejahteraan yang relatif baik dalam negera tersebut. Hak atas pangan dapat

ditafsirkan sebagai rights not to be hungry, yaitu hak bagi setiap orang atau kelompok

orang dalan suatu masyarakat, wilayah atau dalam satu negara untuk mendapatkan

Page 94: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

kecukupan makanan yang dibutuhkan bagi keperluan menjalankan aktivitas hidupnya

seperti bekerja dalam batas-batas yang masih memenuhi ukuran kesehatan.14

Hak atas pangan telah sejak lama dideklarasikan sebagai hak asasi manusia

melalui berbagai perjanjian internasional. Sebut saja di antaranya Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia (DUHAM), pembukaan konstitusi FAO, dan Kovenan

Internasional Hak-hak ekonomi Sosial dan Budaya (ekosob). Meskipun demikian,

hak atas pangan terus menerus disangkal keberadaannya. Lebih parah lagi, pangan

saat ini lebih dianggap sebagai komoditi perdagangan semata ketimbang sebagai

sebuah unsur penopang hidup manusia.

Parahnya, saat ini komoditas memang telah menjadi barang komoditas yang

dikuasai dan dikontrol oleh perusahaan-perusahaan besar internasional. Setidaknya,

dalam catatan yang dihimpun oleh Khudori,15 sepuluh perusahaan mengontrol 32%

dari bibit yang diperdagangkan senilai US$ 32 miliar, dan 100% dari pasar bibit

transgenik. Hanya lima perusahaan yang mengontrol perdagangan biji-bijian. Tahun

1998, bisnis pestisida yang bernilai sekitar US$ 31 juta 73%-nya dikontrol oleh

sepuluh perusahaan pertanian transnasional. Sudah barang tentu, kenyataan ini

menyulitkan negara-negara yang tidak food self-sufficient untuk menjamin tidak

terjadi kelaparan warganya.

Di negara agraris seperti Indonesia, di mana sebagaian besar penduduknya

menggantungkan hidup pada usaha pertanian, kerawanan pangan masih menjadi

14Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; Evaluasi

Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Jakarta, ELSAM, 2003), cet. II, h. 52.

15Khudori, Lapar: Negeri salah Urus, (Yogyakarta: Resist Book,

2005) cet. I, h. 23

Page 95: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

berita buruk yang terus menghantui masyarakat. Berbagai kebijakan yang ada

berkaitan dengan usaha negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to

protect), dan memenuhi (to fullfil) hak atas pangan bagi rakyat masih jadi kendala

besar. Bahkan dalam banyak hal negara dapat dinyatakan gagal dalam menjalankan

fungsinya untuk menjamin ketersediaan pangan seperti yang tertera di atas. Padahal,

kewajiban ini secara legal diakui dan didukung oleh mayoritas negara-negara di

dunia, sebagaimana tercermin dalam pasal 25 dari Deklarasi Universal Hak-hak Asasi

Manusia 1948 dan diperkuat oleh Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya (HESB) 1966. Pasal 11 ayat 2 HESB terdapat komitmen negara-negara

peserta untuk, antara lain, melakukan pembaruan sistem agraria sedemikian rupa

sehingga menjamin terwujudnya hak-hak untuk memperoleh pangan yang layak (the

right to edequate food).16

Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan yang kuat di

Indonesia memberi perhatian besar terhadap persoalan tersebut. Setidaknya hal

tersebut tercantum dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah yang menekankan

pembinaan dan pemberdayaan terhadap petani.17 Perhatian Muhammadiyah terhadap

petani dan kelompok lemah lainnya merupakan tuntutan akan pemerataan dalam

bidang ekonomi sebagai upaya untuk mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan.

Muhammadiyah menyatakan bahwa pembangunan yang lebih berorientasi untuk

mengangkat martabat golongan lemah harus lebih diprioritaskan, agar proses dan

16 Khudori, Lapar: Negeri Salah Urus, h. 29

17Anggaran Dasar Muhammadiyah, 2000.

Page 96: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

hasil pembangunan benar-benar memihak pada semua warga negara, sehingga

keadilan ekonomi seperti dimaksud pasal 33 UUD 1945 dapat menjadi kenyataan.18

Poin penting dari sikap Muhammadiyah tentang hak atas pangan dengan tegas

tercermin dalam pokok-pokok pikiran tentang kehidupan berbangsa dan bernegara

tentang pertanian. yang lahir dari keputusan sidang Muktamar Muhammadiyah ke-44

di Jakarta. Dalam pandangan tersebut Muhammadiyah berpendapat bahwa:

“…Pembangunan pertanian hendaknya didasarkan pada pemberdayaan petani.

Khususnya berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan stok pangan nasional,

maka pemerintah harus secara sungguh-sungguh meningkatkan kemampuan

produksi dan penghasilan petani, serta memberi perlindungan dari perlakuan yang

tidak adil dalam memperoleh haknya....”.19

Jika kita lihat di atas, isu ketahanan pangan menjadi perhatian penting

Muhammadiyah bagi terwujudnya hak atas pangan di Indonesia. Ketahanan pangan

merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan

salah satu pilar utama hak azasi manusia. Ketahanan pangan juga merupakan bagian

sangat penting dari ketahanan nasional. Dalam hal ini hak atas pangan seharusnya

mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi

manusia lain. Kelaparan dan kekurangan pangan merupakan bentuk terburuk dari

kemiskinan yang dihadapi rakyat, dimana kelaparan itu sendiri merupakan suatu

proses sebab-akibat dari kemiskinan. Oleh sebab itu usaha pengembangan ketahanan

18Program Muhammadiyah 1995-2000, Keputusan Hasil Muktamar

Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh, 1995. 19Pokok-pokok Pikiran dan Rekomendasi Muhammadiyah Tentang

Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta, 2000.

Page 97: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

pangan tidak dapat dipisahkan dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan.

Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang

cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan

tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun.20 Dalam hal inilah

petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan: petani adalah produsen

pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian

masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani

harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus

memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri.

Sikap Muhammadiyah yang menjadi rekomendasi keputusan Muktamar tentang

hak-hak petani di atas sesungguhnya mencerminkan keprihatinan dari arus

globalisasi. Dalam pandangan umum yang tertera di risalah keputusan tersebut,

Muhammadiyah melihat bahwa globalisasi dalam kehidupan ekonomi akan makin

memperkokoh dan memperluas ekspansi perusahaan-perusahaan multinasional,

multikorporasi, dan transnasionalisme menuju terbentuknya global market (pasar

dunia) yang semakin terbuka dan berada dalam jalur dunia pasar bebas yang

menuntut daya kompetisi yang tinggi, yang membawa pula muatan kepentingan dan

ekspansi kapitalisme global yang dapat menjadi ancaman bagi perusahaan-

perusahaan nasional dan lokal.

Hal yang paling esensial dari pemikiran Muhammadiyah tentang hak atas

pangan lahir dari keinginan untuk lebih menempatkan kelompok-kelompok rentan

20 Bayu Krisnamurthi, “Agenda Pemberdayaan Petani Dalam Rangka

Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional,” Jurnal ekonomi Kerakyatan, Th. II - No. 7 - Oktober 2003, artikel diakses tanggal 2 April 2005 dari http://www.ekonomirakyat.org/edisi_19/artikel_3.htm

Page 98: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

yang selama ini terpinggirkan, termasuk petani mendapatkan perlindungan yang

maksimal dari negara. Bentuk perlindungan yang dimaksud dapat berupa

perlindungan terhadap nasib kesejahteraan petani dan memberikan subsidi bagi

usaha-usaha pertanian.

Jika kita melihat relisasi keberpihakan pemerintah/negara terhadap petani

sebagai wujud dari pemenuhan hak asasi manusia atas pangan sangatlah

mengecewakan. salah satu indikator untuk mengukurnya kita dapat menggunakan

jumlah alokasi subsidi pertanian dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) setiap tahunnya. Subsidi pertanian, dalam APBN hanya dikenal dalam

komponen subsidi pupuk dan pangan. Kalau kita melihat besaran alokasinya, sangat

tidak pantas untuk sebuah negara agraris seperti Indonesia. Yang paling

menyedihkan, total pengeluaran negara dalam APBN untuk membayar cicilan bunga

dan pokok utang dalam dan luar negeri, jumlahnya jauh melebihi anggaran sosial

(pendidikan, kesehatan, dan pangan).

Subsisi Pemerintah untuk Pertanian dalam APBN 2001 - 2004 (dalam trilyun) 21

Kategori Subsidi

2001 Rp

2002 Rp

2003 Rp

2004 Rp

Pangan 2,435 5,3 4,8 5,4 Pupuk Na 1,2 1,3 0,95

Sumber: Nota Keuangan APBN, diolah

Permasalah menjadi semakin rumit, ketika persoalan pertanian masuk dalam

kerangka negosisi dalam World Trade Organization (WTO). Ini sama artinya sektor

pertanian sedang mengalami ancaman serius akibat masuknya angin liberalisasi.

21Nota Keuangan APBN 2001 – 2004, diolah.

Page 99: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Sudah barang tentu sebagai prasyarat liberalisasi, produk-produk pertanian akan

dihadapkan pada persaingan dalam medan pasar bebas dengan para perusahaan-

perusahaan agribisnis internasional bermodal besar. Akhirnya, para petani kecil

penghuni mayoritas Republik Indonesia ini akan menyaksikan ladang-ladang kering

karena tidak mampu lagi berproduksi.

BAB V

PENUTUP

Page 100: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Kesimpulan

Diskursus tentang negara dalam berbagai penelitian ilmiah

menunjukan tingkat eksplorasi yang sangat mendalam. Hal tersebut

juga berlaku dalam disiplin pemikiran politik Islam. Debat akademis

tentang negara khususnya yang berkaitan dengan persoalan Islam

dan Negara, menyedot seluruh perhatian para intelektual muslim di

dalamnya. Tentu saja membutuhkan energi ekstra untuk

memindahkan perdebatan tersebut menjadi usaha untuk menjawab

persoalan kontemporer yang berkaitan dengan masalah negara.

Bagi penulis, berdasarkan pemikiran yang dangkal dan subyektif,

salah satu persoalan kontemporer tersebut adalah debat negara dan

globalisasi seperti yang sudah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.

Buah dari penelitian yang sederhana ini penulis mencoba mengurai

beberapa kesimpulan yang bisa kita ambil untuk menstimulus

diskursus akademis selanjutnya dalam ranah pemikiran politik

Islam.

Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa negara adalah sebuah lembaga

yang netral, tidak berpihak kepada satu kelompok atau kelas tertentu, cenderung bias

kepentingan. Pemikiran tersebut melahirkan prilaku birokrasi dan elit yang

Page 101: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

menguasai negara dapat berbuat semaunya untuk melayani kepentingan individu dan

kelompok. Kenyataannya, para elit dan birokasi penguasa negara berasal dari

kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat. Umumnya mereka adalah para kelas

borjuis atau kelas menegah. Dapat dimengerti bahwa kebijakan yang lahir dari negara

akan lebih mengutamakan kelangsungan dari kekuasaan politik dan ekonomi kelas

borjuis tersebut. Karena wataknya yang sangat individualistis, kelompok ini juga

sangat adaptif bagi berbagai kepentingan politik dan ekonomi para borjuis

internasional yang datang lewat propaganda globalisasi.

Kedua, globalisasi sebagai sebuah proyek ekonomi dan politik, berkembang

atas keinginan untuk melanggengkan kekuasaan pasar domestik di negara-negara

maju. Dalam perspektif ini, globalisasi akan melayani hasrat ekspansif dari modal

domestik itu untuk dapat disalurkan ke berbagai negara di belahan bumi ini. Lewat

cara-cara demikian, kekuatan modal dapat bertahan dalam situasi seperti ini. Proses

globalisasi dalam cara pandang seperti ini kemudian melahirkan jargon pasar bebas

sebagai sebuah konsekwensinya. Sayangnya, seperti yang telah diungkapkan oleh

para ekonom liberal “uang tidak punya tanah air”, adalah menggambarkan betapa

modal dapat bergerak ke mana dan kapan saja tanpa ada satupun regulasi yang dapat

menghalanginya, termasuk kedaulatan negara bangsa. Di sinilah kita meyakini bahwa

globalisasi juga punya jenis kelamin ideologi, yaitu kapitalisme liberal. Kemampuan

kita mengenal ideologi globalisasi, membuat kemudahan untuk melihat pembatasan

wewenang negara dalam era globalisasi dan pasar bebas sebagai sesuatu yang pasti

akan dilakukan. Sebab dalam pandangan ini, kekuasaan negara yang besar merupakan

hambatan yang serius bagi perkembangan pasar bebas. Oleh sebab itu diperlukan

Page 102: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

sebuah upaya, yang dalam prakteknya salah satunya dilakukan oleh lembaga-lembaga

keuangan internasional (IMF, Bank Dunia) untuk membuat negara menjadi tidak

perkasa. Proyek tersebut biasa dikenal dengan sebutan “Konsensus Washington”,

yaitu liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.

Ketiga, hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) merupakan hak dasar setiap

manusia. Implementasi pemenuhan hak ekosob merupakan tanggung jawab negara.

Setidaknya hal tersebut yang tercermin dari sejumlah peraturan, deklarasi maupun

kovenan internasional yang mengatur hak tersebut. Penghargaan negara terhadap

pemenuhan hak ini merupakan penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Dan

pengingkaran negara merupakan tindakan tercela dan membunuh kemanusiaan.

dalam prakteknya, pemenuhan hak ekosob dalam era globalisasi mengalami kendala.

Yang sangat serius adalah penentangan dari kelompok neoliberal yang dengan

anjurannya, membuat kelompok miskin dalam masyarakat tidak dapat terpenuhi hak-

hak dasarnya. Praktek tersebut dapat kita temukan dalam kebijakan Indonesia saat ini.

Dengan alasan pemulihan krisis ekonomi dan prasyarat bagi pinjaman luar negeri

pemerintah diharuskan memotong anggaran sosial dalam APBN. Tidak hanya itu,

kebijakan neoliberal yang dijalankan di Indonesia saat ini menyebabkan ekses

masyarakat terhadap sumber-sumber kehidupan yang dimilikinya, seperti tanah dan

pertanian, air, hutan, tambang semakin jauh. Padahal sejauh yang kita pahami

pemenuhan hak dasar rakyat secara jelas diatur dalam konstitusi negara ini, yaitu

Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak

atas pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan dan pengusaan terhadap sumber-

sumber kehidupan diatur oleh negara untuk tujuan mensejahterakan masyarakat.

Page 103: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Keempat, Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan mempunyai peran yang penting dalam mendorong terpenuhinya hak-hak ekosob oleh negara. Pemikiran tentang hak ekosob tersebut tertuang dalam dokumen muktamar Muhammadiyah. Walaupun penyebutannya tidak secara eksplisit, tetapi dapat dipahami bahwa persoalan pendidikan, kesehatan, pangan dan pertanian serta masalah ketenagakerjaan bagi Muhammadiyah merupakan tanggung jawab negara. Tugas gerakan Muhammdiyah yang juga meliputi peran sosial kemasyarakatan, tidak menghilangkan tugas dan fungsi negara untuk menyelenggarakan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam konteks ini, terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara

tugas negara dan civil society seperti Muhammadiyah. Bahkan kecenderungan yang

terjadi, fungsi-fungsi pelayanan sosial-kemasyarakatan yang dijalankan oleh

Muhammadiyah semakin meningkat. Secara politik, kondisi demikian terjadi pada

saat negara dianggap tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya sebagaimana

dimandatkan dalam konstitusi UUD 1945.

Saran-saran

Kendati gagasan tentang globalisasi dan liberalisme dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tetapi akibat yang

ditimbulkan sangatlah besar artinya bagi kemanusiaan. Khususnya

bagi perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan

yang merupakan hak asasi manusia. Oleh sebab itu sebagai sebuah

karya tulis yang sederhana dan sangat terbatas, penulis ingin

Page 104: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

memberikan saran berkenaan dengan penulisan karya ilmiah

selanjutnya bagi usaha memajukan dan mempromosikan hak ekosob

oleh negara.

Pertama, berangkat dari keterbatasan pengkajian yang dilakukan

dalam karya ilmiah ini, penulis beranggapan perlunya ke depan

dikembangkan gagasan alternatif dari pemikiran tentang peran dan

fungsi negara. Dominasi wacana dan persepsi tentang negara,

menyebabkan terjadinya distorsi dan simplipikasi (penyederhanaan)

bagi pengertian yang sesungguhnya beragam. Gagasan alternatif

penting sebagai sebuah cara melakukan counter hegemony, untuk

tidak mengesankan hanya memiliki semangat “anti” dan “tolak”.

Dalam konteks Indonesia, gagasan tentang negara sosial demokrasi

sesungguhnya mempunyai akar sejarah dan konteksnya pada masa

lalu.

Kedua, diperlukan kesungguhan dari para elit dan penguasa di

negeri ini untuk menjalankan amanat kontitusi dalam UUD 1945.

Yaitu dengan menjadikan persoalan pemenuhan hak ekosob sebagai

agenda prioritas pembangunan Indonesia. ketersediaan sumber daya

alam yang cukup di Indonesia memungkinkan negeri kaya raya ini

Page 105: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

untuk dapat memberikan pelayanan minimal bagi kebutuhan sosial

masyarakat. Seperti pendidikan dasar dan menengah secara gratis,

pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat tidak mampu dan

melakukan reformasi kebijakan agraria di Indonesia untuk

meningkatkan produktivitas petani dan memenuhi kebutuhan

pangan domestik yang berkelanjutan.

Ketiga, sebagai bagian dari Civil Society, ormas Islam terbilang

gagap dalam menjelaskan dampak dari perkembangan globalisasi.

Terutama hal yang berkaitan dengan pemenuhan hak dasar

masyarakat oleh negara. Karena itu diperlukan kajian yang

mendalam tentang bagaimana peran yang harus dimainkan oleh

ormas Islam khususnya Muhammadiyah, untuk menjadi kekuatan

pendorong terhadap negara agar menjalankan kewajiban

konstitusionalnya. Peranan aktif tersebut juga termasuk

memberikan kontribusi positif bagi pengembangan gagasan

alternatif dari sistem ekonomi liberal yang eksploitatif seperti saat

ini.

Keempat, diperlukan kerjasama yang erat antara negara dan civil

society dalam menjalankan fungsi-fungsi pemenuhan hak ekonomi,

Page 106: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

sosial, dan budaya di Indonesia. dalam perkembangannya,

Muhammadiyah dan banyak ormas lainnya di Indonesia menempuh

jalur sunyi dalam menjalankan tugas-tugas ini. Ke depan, seiring

dengan semakin kuatnya pengaruh globalisasi neoliberal yang

mengancam terhalangnya pemenuhan hak ekosob ini, kesatuan

pikiran dan tindakan antara negara dan civil society sangat

diperlukan dalam menghadapi kekuatan modal global yang

eksploitatif dan menajajah. Wallahu’alam.

DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Muslim, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, cet. III

-----------, Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural, Jakarta: Ideo Press dan Maarif Institute, 2003, cet. II

Achmad, Nur et.al., Muhammadiyah Digugat, Jakarta: KOMPAS, 2000, cet. I

Page 107: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Ali, Fachry, Artikulasi Islam Kultural; Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah, Jakarta: PT RajaGrafindo Utama, 2004, cet. I

Baswir, Revrisond, Pembangunan Tanpa Perasaan, Jakarta: ELSAM, 2003, cet. II

-----------, Terjajah di Negeri Sendiri, Jakarta, ELSAM, 2003, cet. I

Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, cet. XXI

Budiman, Arif, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 1996, cet. I Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta:

INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2002, cet. I -----------, Bebas Dari Neoliberalisme, Yogyakarta: INSIST, 2003, cet. I

George, Susan, Republik Pasar Bebas, Jakarta: INFID, 2002, cet. I

Giddens, Anthony, Beyond Left & Right; Tarian “Ideologi Alternatif” di atas

Pusaran

Sosialisme dan Kapitalisme, Yogyakarta, IRCiSoD, 2003, cet. I ----------, Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003, cet. I

----------, The Third Way; Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi sosial, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, Cet. IV

Grant, Ted & Woods, A, Melawan Imperialisme, Yogyakarta: Komunitas PROSES,

2001, cet. I Hatta, Mohammad, Satu Abad Bung Hatta; Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi

Masa Depan, Jakarta: UI Press, 2002, cet. I Haynes, Jeff, Demokrasi dan Masyarakat sipil di Dunia Ketiga, Jakarta: Yayasan

Obor, 2000, cet. I Jha, Avinas, Background to Globalisation, Bombay: CED, 2000, cet. I

Kasim, Ifdhal (ed.), Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; Esai-Esai Pilihan, Jakarta: ELSAM, 2001, cet. I

Khudori, Lapar: Negeri salah Urus, Yogyakarta: Resist Book, 2005, cet. I

Page 108: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Kleden, Ignas, Masyarakat dan Negara; Sebuah Persoalan, Magelang: Indonesia Tera, 2004, Cet. I

Mallaranggeng, Rizal, Mendobrak Sentralisme Ekonomi; Indonesia 1986 – 1992,

Jakarta: KPG, 2002, cet. I Mc Vey, Ruth, Kaum Kapitalis Asia Tenggara, Jakarta: YOI, 1998, cet. I

Nasri, Imron (ed.), Amin Rais Menjawab, Jakarta: Mizan, 1999, cet. I

Petras, James dan Veltmeyer, Henry, Imperialisme Abad 21, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002, cet. I

Pontoh, Coen Husain, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Teori Menuju Garakan

Massa, Jakarta: C-Book, 2003, Cet. I Prasetyo, Eko, Orang Miskin Dilarang Sakit, Klaten: Resist Book, 2004, cet. I

Radjab, Suryadi, Indonesia: Hilangnya Rasa Aman; HAM dan Transisi Politik

Indonesia, Jakarta: PBHI dan TAF, 2002, Cet. I Robertson QC, Geoffrey, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; Perjuangan untuk

Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta: KOMNAS HAM, 2002, cet. I Saleh, M. Ridha, ECOCIDE; Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak

Asasi Manusia, Jakarta: WALHI, 2005, cet. I Stiglitz, Joseph E, Washington Consensus; Arah Menuju Jurang Kemiskinan, Jakarta:

INFID, 2002, cet. I Stiglitz, Joseph E, Dekade Keserakahan; Era 90-an dan Awal Mula Petaka ekonomi

Dunia, Tangerang: Marjin Kiri, 2006, Cet. I Strahm, Rudolf H., Kemiskinan Dunia Ketiga; Menelaah Kegagalan Pembangunan

di Negara Berkembang, Jakarta: CIDESINDO, 1999, cet. I Sugiono, Muhadi, Kritik Antonio Gramsci Terhadap pembangunan Dunia Ketiga,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cet. I Syamsudin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, cet. I

Wibowo, Ignatius, et.al, Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras, 2003, cet. I

Winarno, Budi, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru; Peran Negara Dalam

Pembangunan, Yogyakarta: Tajidu Press, 2005, cet. I

Page 109: DANI SETIAWAN-FUH.pdf

Jurnal: Diponegoro 74, Jurnal Pemikiran Sosial-Politik, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia,

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, tahun VIII/2004/No.12/Oktober – Desember 2004.

TANWIR, Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban, PSAP Muhammadiyah, edisi ke-

3, Vol. I, No. 3, September 2003. WACANA, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, INSIST, edisi 8, tahun II, 2001. Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Vol.3 tahun 2005. INOVASI, Jurnal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, No.2 th. X/2000. Website: http://www.kompas-online.co.id

http://www.kau.or.id

http://www.depdiknas.go.id

http://www.depkes.go.id

http://www.deptan.go.id

http://www.mediaindo.co.id