PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

71
“ WARIS KALÂLAH DALAM PANDANGAN WAHBAH AZ-ZUHAILY ” ( Tafsir QS. Al-nisâ’ (4) ayat 12 dan ayat 176 ) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) Oleh: Putri Ajeng Fatimah 107034001546 PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYRIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H/2011M

Transcript of PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

Page 1: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

“ WARIS KALÂLAH

DALAM PANDANGAN WAHBAH AZ-ZUHAILY ”

( Tafsir QS. Al-nisâ’ (4) ayat 12 dan ayat 176 )

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh:

Putri Ajeng Fatimah

107034001546

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYRIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432H/2011M

Page 2: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf
Page 3: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf
Page 4: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 22 Juni 2011

Putri Ajeng Fatimah

Page 5: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

i

ABSTRAK

Putri Ajeng Fatimah

“ Waris Kalâlah Dalam Pandangan Wahbah Az-Zuhaily ” ( Tafsir QS. Al-

nisâ’ (4) ayat 12 dan ayat 176 ).

Kalâlah dalam warisan Islam pada dasarnya membahas tentang hak kedua

saudara dan saudari untuk mewarisi uang, properti,dll, sebagai akibat dari

meninggalnya seseorang. Ada pendapat yang berbeda tentang makna kalâlah itu

sendiri. Sebagian ulama ataupun mufassir mendefinisikan sebagai seseorang yang

meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah atau seseorang yang meninggal

tanpa meninggalkan anak dan orang tua. Selain itu, beberapa pihak dari ulama

atau mufassir pula berpendapat bahwa dipandang hanya dari seseorang yang

meninggal tanpa meninggalkan anak saja.

Berdasarkan analisis dari kedua ayat dalam surat Al-nisâ’ (4) ayat 12 dan

ayat 176 ) disini, dapat disimpulkan bahwa terbukti perbedaan makna kalâlah di

antara para ulama ataupun mufassir – mufassir dengan Wahbah Az-Zuhaili, yakni

mendefinisikan sebagai seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak dan

orang tua, seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah ataupun

seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak saja. Adapun mengenai

pembagian – pembagiannya terhadap orang yang menerima waris, pendapat

Wahbah Az-zuhaily memiliki persamaan dengan mufassir lainnya. Hanya saja

terdapat penambahan dalam setiap pembagiannya. Dengan demikian yang disebut

sebagai kalâlah adalah saudara baik laki – laki maupun perempuan sebagai posisi

seseorang yang menjadi pewaris. Ini berarti ketidakmungkinan dari saudara

seseorang untuk menerima beberapa warisan jika seseorang meninggal dunia

meninggalkan anak (anak laki atau putri) dan ayah.

Page 6: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

ii

Page 7: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT

Yang Maha Esa, Tuhan pencipta dan pemelihara alam semesta. Shalawat serta

salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga,

sahabat, serta para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman. Atas berkat

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dalam rangka

memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) di

Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penyusunan, penulis tidak luput dari hambatan dan kesulitan. Namun,

berkat bantuan, motivasi dan dukungan dari semua pihak yang terkait dengan

penulis, alhamdulillah skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah .

3. Bapak Dr. Bustamin, M.Si , selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis.

4. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, Selaku sekretaris Jurusan Tafsir

Hadis.

5. Ibu Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA selaku Pembimbing yang telah

banyak meluangkan waktu dalam memberikan pengarahan, bimbingan

serta dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Page 8: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

iii

6. Seluruh staf pengajar Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah meluangkan waktu dan tenaga

serta pikiran dan membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama

penulis kuliah di UIN Jakarta.

7. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan FUF,

Pusat Studi Alqur’an dan Perpustakaan Iman Jama'.

8. Ayahanda tercinta ( H. Lasiyo ) dan Ibunda tersayang ( Hj. Tri

Kusmiyati ) yang selalu mencurahkan kasih sayangnya, untaian do’a,

dukungan moril maupun materil, semangat dan rasa cintanya yang tak

terhingga dan begitu mendalam, yang selalu dicurahkan sepanjang masa.

Kakakku tersayang ( Almh. Ayu Wulandari ) yang selalu memberikan

arahan dan supportnya sampai engkau menutup mata untuk selamanya.

Semoga Allah memberikan tempat yang terindah di surga untukmu.

Kemudian adikku (Intan Tri Aisyah dan Nurlatifah Tusa’diyah) dan

keponakanku yang imut ( Aluthfi Galih Setyadika ) yang selalu ceria

menemaniku dengan segenap keceriaan canda dan tawa. Serta seluruh

keluarga besarku yang memberikan motivasi kepada penulis dalam

pembuatan skripsi ini.

9. Teman-teman seperjuangan TH B “07 UIN Jakarta, Special buat

( Nuril, May, Zahro & Reva, dan Bundaqu Ana Fauziyah & Rafa ).

Buat semua Makasih ya untuk kebersamaanya dan supportnya selama

ini. Banyak sekali kenangan – kenangan indah yang telah kita lewati

bersama.

Page 9: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

iv

10. Sahabat-sahabatku, Ka ief, teteh Yati, ka Nca, Jaur, Ie_baL dll.

Terimakasih untuk persaudaraan, persahabatan, kebersamaan dan

keceriaannnya. Semoga akan terus terjalin indah.

11. Furkon Hidayat ( seseorang yang selalu sabar sekali dalam menghadapi

kepusingan saya selama pembuatan skripsi ini dan selalu meluangkan

waktunya setiap saat, serta selalu membuat tersenyum dalam kondisi

apapun ). makasih untuk smua’a..Ayaah ..

12. Kholis dan Ruri ( yang telah banyak membantu penulis dan meluangkan

waktu serta membekali penulis dengan ilmu pengetahuan dalam

menyelesaikan skripsi ini.

13. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan telah banyak

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Bagaimanapun penulis menyadari bahwa dalam karya tulis ini masih

banyak terdapat kekurangan-kekurangan. Untuk itu, penulis akan sangat berterima

kasih atas saran dan kritik yang membangun dari pembaca, besar harapan penulis

agar karya tulis ini dapat bermanfaat.

Akhirnya, penulis hanya dapat berdo’a kepada Allah SWT semoga segala

bantuan dan jasa dari berbagai pihak nantinya akan dilimpahkan pahala yang

berlipat ganda baik di dunia maupun di akhirat.

Jakarta, Juni 2011

Putri Ajeng Fatimah

Page 10: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK...................................................................................................... i

KATA PENGANTAR…………………………………………………….... ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………….…... v

PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………..... vii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………….…........ 1

A. Latar Belakang Masalah……………………………….….. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………….…….. 9

C. Tujuan Penelitian .…………………………………...…… 10

D. Kajian Pustaka …..………………………………………… 10

E. Metodologi Penelitian……………..………………………. 12

F. Sistematika Penulisan……………………………...………. 13

BAB II TAFSIR AL-MUNIR DAN PENULISNYA ........................... 15

A. Biografi Wahbah az-Zuhaily ………….....……..………… 15

1. Kehidupan dan Pendidikan Wahbah az-Zuhaily……... 15

2. Karir Akademis Wahbah az-Zuhaily………………… 17

3. Karya – karya Wahbah az-Zuhaily…………………... 18

B. Tafsir Al – Munir………………..…..……………………... 19

1. Motivasi......................................................................... 19

2. Sumber Penafsiran.......................................................... 19

3. Referensi Utama............................................................. 20

4. Metode .......................................................................... 21

5. Corak............................................................................. 21

6. Sistematika.................................................................... 22

Page 11: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

vi

BAB III PENGERTIAN KALÂLAH DAN PENAFSIRAN AYAT

KALÂLAH ……………………………………………….…… 24

A. Pengertian.............................................................................. 24

1. Pengertian Warisan…………………………………… 24

2. Pengertian kalâlah………………………………………… 25

B. Penafsiran Ayat kalâlah........................................................ 28

1. Penafsiran Surat al-Nisa (4) ayat 12………………….. 28

2. Penafsiran Surat al-Nisa (4) ayat 176………………… 39

C. Analisa.................................................................................... 43

BAB IV PENUTUP…………………………………………………….. 52

A. Kesimpulan………………………………………………… 52

B. Saran……………………………………………………….. 53

DAFTAR PUSTAKA……………………..…………………………………... 54

Page 12: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI1

Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan

B Be

T Te

Ts te dan es

J Je

H h dengan garis bawah

Kh ka dan ha

D da

Dz De dan zet

R Er

Z Zet

S Es

Sy es dan ye

S es dengan garis bawah

D de dengan garis bawah

T te dengan garis bawah

Z zet dengan garis bawah

„ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan

Gh ge dan ha

1 Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105

Page 13: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

viii

F Ef

Q Ki

K Ka

L El

M Em

N En

W We

H Ha

„ Apostrof

Y Ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih

aksaranya adalah sebai beeriku:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

___َ___ a fathah

____ِ__ i kasrah

___ُ___ u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai a dan i _َ___ي

و__ َ__ au a dan u

Page 14: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

ix

Vokal Panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas ــَا

î i dengan topi di atas ــي

û u dengan topi di atas ـــو

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh

huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân

bukan ad-dîwân.

Syaddah (Tashdid)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan

berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,

demikian seterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut

diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf

/t/ (lihat contoh 3).

Page 15: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

x

Contoh:

no Kata Arab Alih aksara

1 tarîqah

2 al-jâmî ah al-islâmiyyah

3 wahdat al-wujûd

Huruf Kapital

Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain

yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan

lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang

ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal

atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-

Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Page 16: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kata “ Qur’an ” menurut bahasa berarti “bacaan”. Adapun definisi Al-

Qur’an ialah : “ Kalam Allah swt yang merupakan merupakan mukjizat yang

diturunkan ( diwahyukan ) kepada Nabi Muhammad saw.1 Sewaktu Al-Qur’an

diturunkan pada kira – kira tiga belas setengah abad yang lalu, di dunia sudah

terdapat banyak agama dan banyak kitab yang dianggap suci oleh pengikut –

pengikutnya, dan itulah salah satu sebab mengapa al-Quran harus diturunkan.2

Al-Quran diturunkan untuk menjadi pegangan bagi mereka ( umat

manusia ), yang ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tidak diturunkan

hanya untuk suatu umat atau untuk suatu abad, tetapi untuk seluruh umat manusia

dan untuk sepanjang masa. Karena itu luas ajaran – ajarannya adalah sama dengan

luasnya umat manusia.3

Al-Qur’an diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang

gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Pada

saat problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar –

dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan utnuk langkah – langkah

1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Semarang : CV . Alwaah,

1989) Hal : 16 2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Semarang : CV . Alwaah,

1989) Hal : 38 3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Semarang : CV . Alwaah,

1989) Hal : 87

Page 17: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

2

manusia, dan yang sesuai pula untuk setiap zaman. Manusia yang kini tersiksa

hati nuraninya dan akhlaknya yang sudah rusak, tidak mempunyai pelindung lagi

dari kejatuhannya dalam jurang kehinaan selain al-Quran.4

Sebagaimana Allah telah berfirman dalam surat Tâhâ ayat 123 – 124 :

Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama,

sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang

kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku,

ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.Dan barangsiapa berpaling dari

peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami

akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".5

Al-Quran karim sebagai mukjizat yang terbesar bagi Nabi Muhammad

saw, amat dicintai oleh kaum muslimin, karena fasahah serta balaghahnya

( keindahan susunan dan gaya bahasanya ) yang tidak dapat dibandingi dari

bacaan lainnya dan sebagai sumber kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.6

Al-Quran yang diwahyukan Allah swt. kepada Nabi saw. memiliki

sejumlah mukjizat yang tidak akan pernah di kalahkan. Mukjizat yang dikandung

al-Quran ini hadir dalam berbagai aspek baik dari segi pemaparannya,

pemberitaannya, bahasa dan lainnya. Banyak sekali literature yang sudah

4 Asep Murdana, Lafazh yang bermakna kebaikan dalam perspektif al-qur’an,

( Jakarta : Hal 1-2 ) 5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Bandung : Diponegoro,

2005) 6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Semarang : CV . Alwaah,

1989) Hal : 110

Page 18: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

3

menyusun tentang kemukjizatan ini, salah satu contoh yang paling dekat adalah

mufassir Indonesia, M.Quraish Shihab yang menurunkan tema ini dalam bukunya

Mukjizat al-Qur’an.

Sesunguhnya keagungan al-Qur’an tidak terbatas, Setiap manusia yang

hidup di atas muka bumi ini wajib mempelajari dan mendalaminya. Al-qur’an

adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, pembawa

hidayah dan kebenaran kepada umatnya.7

1. Alif laam raa8. inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah (

Yunus : 1.)

Sesuai dengan sejarahnya yang murni dan kandungannya yang lengkap,

sempurna dan objektif serta langgeng , adalah wajar apabila al-Qur’an berfungsi

sebagai pedoman hidup, petunjuk jalan, pegangan yang kukuh, penerangan yang

jelas antara yang benar dan salah bagi umat manusia sepanjang masa . dengan

fungsi inilah al-qur’an diturunkan oleh Allah swt kepada nabi Muhammad saw

untuk disampaikan kepda umat manusia di muka bumi ini .

7 Syazwani , hak perempuan dalam pembagian harta warisan menurut al-qur’an

,( Jakarta : Hal . 1 ) 8 ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat

Al Quran seperti: Alif laam miim, Alif laam raa, Alif laam miim shaad dan sebagainya.

diantara ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah Karena

dipandang termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya.

golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada

pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian

para Pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa

Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf

abjad. kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan dari Allah dan Hanya

buatan Muhammad s.a.w. semata-mata, Maka cobalah mereka buat semacam Al Quran

itu.

Page 19: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

4

Maka sangatlah pantas apabila Rasulullah saw, sebagai manusia pertama

yang menjadi transmitter pewahyuan al-Qur’an yang mempunyai tanggung jawab

yang besar terhadap keutuhan dan keontetikan al-Qur’an. Setiap kali wahyu turun

beliau langsung menyampaikannya kepada para sahabatnya serta memerintahkan

mereka untuk langsung mencatatnya. 9

Di dalam Al-Quran banyak sekali pembahasan mengenai permasalahan

yang terjadi di dunia ini, salah satu masalah pokok yang dibicarakan oleh al-

qur’an adalah kewarisan. Kewarisan , pada dasarnya, merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari hukum, sedang hukum adalah bagian aspek ajaran Islam

yang pokok .

Dari seluruh hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka hukum

perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem

kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat.10

Oleh karena itu, dalam

mengaktualisasikan hukum kewarisan yang terdapat dalam al-qur’an, maka

eksistensinya harus dijabarkan dalam bentuk praktik faktualnya.11

Di awal perkembangan dan pertumbuhan Islam, Nabi Muhammad adalah

idola yang ideal untuk menyelesaikan hukum kewarisan, karena beliau menduduki

posisi yang paling istimewa. Beliau berfungsi menafsirkan dan menjelaskan

hukum berdasarkan wahyu yang turun pada beliau. Kemudian beliau berwenang

9 Ahcmad syukron, Takhrij Hadis Hak Waris Di Luar Nikah, ( Jakarta : hal . 1 )

10

Hazairin, hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-qur’an dan Al-hadits, Tinta

Mas, Jakarta, hal 11.

11

Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, Raja Grafindo , 19995, Jakarta

Utara . Hal 1

Page 20: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

5

pula membuat hukum kewarisan di luar dari wahyu. Lahirlah hadis sebagai

pernyataan, pengalaman, taqrir, dan hal – ihwal Nabi Muhammad saw12

setelah

beliau wafat.

Sebagai pelanjut risalah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad,

maka di tangan para sahabat beliau terletak tanggung jawab lebih lanjut

menafsirkan ajaran hukum yang terdapat dalam Al-qur’an. Itulah sebabnya,

sehingga aspek hukum pada umumnya, termasuk hukum kewarisan, menjadi

penting bagi para sahabat Di Makkah dan Madinah. Dengan demikian,

permasalahan hukum keluarga semakin kompleks sehingga aktivitas pengalihan

harta setelah pewaris wafat memerlukan pemikiran hukum dari para sahabat .

Abu Bakar sebagai khalifah pertama sekaligus ulama pernah

memutuskan bahwa semua harta peninggalan di warisi oleh nenek dari ibu

meskipun ia bersama nenek dari ayah.13

Demikian pula Umar bin Khattab,

khalifah kedua, pada awalnya hanya memberikan saham kepada ahli waris: suami,

ibu, dan dua saudara laki – laki seibu tanpa memberikan saham kepada saudara

laki – laki sekandung. Dalam kasus lain, Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat,

yang mula – mula mengurangi nilai saham para ahli waris secara proposional

karena saham – saham yang telah ditetapkan dalam al-qur’an ternyata melebihi

12 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, Bulan Bintang, Jakarta,

1988, hal 3

13

Keputusan Abu Bakar tentang kasus tersebut berdasarkan atas ijtihadnya

sendiri dengan pertimbangan bahwa Al-qur’an tidak menyebut secara tegas nenek sebagai

ahli waris. Karena itu, nenek dan ibu, beliau lebih utamakan dari pada nenek dari ayah.

Meskipun begitu, keputusan beliau ia cabut setelah mendengar pertimbangan dari abd.

Rahman bin Sahl, seorang sahabat Nabi, bahwa nenek dari ayah termasuk berhak

mendapat warisan. karena itu, Abu Bakar memberkan saham kepada dua nenek secara

bersama.lihat Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an.

Page 21: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

6

kesatuan. Dalam hal ini, Ali memberikan saham kepada istri kurang dari nilai

saham yang seharusnya. Dengan demikian , ahli waris : dua anak perempuan,

ayah , ibu, secara otomatis berkurang nilainya secara proporsional14

pula.15

Demikian penafsiran ayat kewarisan dalam Al-qur’an telah dilakukan

oleh para sahabat Nabi Muhammad sejauh yang mereka dapat lakukan. Karena

itu, sahabat lain pun yang tidak termasuk khalifah16

mempunyai otoritas

melakukan pemikiran hukum kewarisan yang dapat menjadi landasan praktis

kewarisan untuk masa berikutnya.

Oleh karena itu , al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan

penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang di

ambil dari hadis Rasulullah saw dan ijma para ulama sangat sedikit. Dapat

dikatakan bahwa hukum dalam syariat Islam sedikit sekali ayat al-qur’an yang

merinci suatu hukum, kecuali hukum waris. Hal demikian disebabkan kewarisan

merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan Allah swt.

Disamping bahwa harta tonggak penegak kehidupan baik individu maupun

kelompok masyarakat .

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat

teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap

14 Kasus tersebut disebut mimbariyah karena Ali bin Abi Thalib memutuskan di

atas mimbar ketika sementara khotbah pada saat seseorang bertanya tentang persoalan

kewarisan. Dalam implementasi pembagian harta warisan, kasus tersebut aul, yakni ahli

waris berkurang nilai sahamnya karena adanya factor pembilang dalam aljabar lebih besar

dari penyebut.lihat Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an.

15

Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an Raja Grafindo , 19995, Jakarta

Utara . Hal 2

16

Sahabat Nabi Muhammad yang termasuk ahli dalam hak kewarisan antara lain;

Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Ibn abbas, dan lain – lain

Page 22: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

7

manusia, baik laki – laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat

Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah

meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa

memebedakan antara laki – laki dan perempuan, besar atau kecil. Al-qur’an

menjelaskan secara rinci dan detail hukum – hukum yang berkaitan dengan hak

kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterimanya di

jelaskan sesuai kedudukan nasab terhadapa pewaris, apakah ia sebagai anak, ayah

, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah

seibu .

Ayat alquran yang dijelaskan di atas adalah mengenai hukum waris Islam

yang telah termaktub dalm kitab al-qur’an, sebagian ulama mengatakan bahwa di

dalam ayat tersebut terdapat tiga persoalan : 1. Menerangkan alasan pewarisan,

yakni kekerabatan; 2. Hubungan kekerabatan secara umum; dan 3. Menyebutkan

bagian warisan yang ditetapkan secara global.

Di dalam permasalahan kewarisan ini penulis menemukan permasalahan

kewarisan yang unik. Dan warisan tersebut di namakan waris kalâlah. Letak

keunikan disini dikarenakan seorang yang meninggal yang tidak meninggalkan

anak dan orang tua . Jika di lihat permasalahn yang ada terhadap permasalahan

waris yakni ketika pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnya

Page 23: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

8

keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karena keserakahan dan

ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan oleh kekurangtahuan ahli

waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya. Maka dengan adanya

permasalahan waris kalâlah yang memang jarang terdengar ini, penulis tertarik

untuk mengetahui apa makna waris kalâlah di sini, dan pembagian warisannya

tersebut diperuntukkan untuk siapa kelak .

Dalam pembahasan mengenai waris kalâlah ini, penulis menggunakan

pendapat seorang ulama fikih kontemporer peringkat dunia, pemikiran fikihnya

menyebar ke seluruh dunia Islam melalui kitab-kitab fikihnya, terutama kitabnya

yang berjudul al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, dan beliau adalah Syeikh

Prof.Dr.Wahbah Az-Zuhaili dalam karyanya tafsir Al - Munir.

Dari segi ketokohan Wahbah Az-Zuhaili sebagai seorang ahli fiqih,

kemudian menjadi mufassir yang hidup di era global sekarang ini, selain itu beliau

banyak berinteraksi dengan tokoh – tokoh dunia. Dan dari segi kitab atau objek

kajian bahwa tafsir al-Munir dikonsumsi oleh masyarakat umum. Dikaitkan

dengan masyarakat Indonesia, tafsir al-Munir banyak dijadikan referensi, dapat

dikatakan seluruh perpustakaan STAIN/IAIN/UIN dilengkapi oleh tafsir al-Munir.

Tafsir ini ditulis setelah beliau selesai menulis dua buku lainnya, yaitu Ushul Fiqh

al-Islamy (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (8 Jilid). Dalam

Muqaddimah, beliau mengatakan bahwa tujuan dari penulisan tafsir ini adalah

menyarankan kepada umat Islam agar berpegang teguh kepada al-Qu'ran secara

ilmiah.

Page 24: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

9

Untuk menjawab apa perbedaannya waris kalâlah dengan waris – waris

lainnya, serta permasalahan yang ada pada kalâlah tersebut, maka penulis tertarik

untuk membahas kalâlah ini dengan judul skripsi “ WARIS KALÂLAH

DALAM PANDANGAN WAHBAH AZ-ZUHAILY ” ( Tafsir QS. Al-nisâ’

(4) ayat 12 dan ayat 176 ).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dari pembahasan latar belakang masalah di atas dapatlah dibataskan lagi

pembahasan mengenai kewarisan, kepada beberapa point penting, yaitu :

Didalam al-Quran terdapat identifikasi permasalahan mengenai kewarisan.

Di awali dengan apa definisi waris, bagian – bagian untuk beberapa ahli waris,

syarat – syarat siapa saja yang berhak mendapatkan hak waris, apa itu waris

kalâlah, syarat – syarat bagi waris kalâlah, siapa saja yang mendapatkan waris

pada kalâlah ini, dan tentunya banyak pula mufasir yang menafsirkan mengenai

kalâlah ini. Oleh karena itu dengan keterbatasan waktu dalam penulisan skripsi

ini, serta untuk menghindari pembahasan yang berbelit-belit dan tidak mengarah

kepada maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini, maka penulis perlu

membatasi permasalahan skripsi ini, yakni lebih menitikberatkan pada penafsiran

Wahbah az-Zuhaily terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan waris kalâlah

dalam tafsîr-nya, yaitu Tafsir Al - Munir . Adapun ayat-ayat yang akan dibahas,

penulis membatasinya dalam dua ayat dengan surat yang sama, yaitu :

1. Surat al-Nisâ’ (4) ayat 12

Page 25: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

10

2. Surat al-Nisâ’ (4) ayat 176

2. Perumusan Masalah

Dari pembatasan tersebut, Dengan demikian penulis merumuskan

permasalahan utama dalam skripsi ini, yakni :

Bagaimana Penafsiran Wahbah az-Zuhaily terhadap waris kalâlah ?

C. Tujuan Penelitian

1. Ingin mengetahui lebih dalam permasalahan dalam waris kalâlah,

apakah beda dengan waris – waris yang lainnya .

2. Ingin mengetahui penafsiran Wahbah az-Zuhaily mengenai kalâlah

dalam tafsirnya Al – Munir.

Sedangkan kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan dan penambahan informasi mengenai waris kalâlah yang memamg

jarang terdengar dengan harapan dapat menjadi bahan kajian keislaman,

khususnya di bidang Tafsir – Hadis, Sekaligus penulis dapat memberikan

sumbangsih dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam. Serta Memenuhi tugas

akhir perkuliahan untuk mencapai gelar kesarjanaan Strata Satu (S-1) pada

Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Kajian Pustaka

Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini

dengan skripsi yang lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan

atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan

Page 26: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

11

penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga diharapkan

kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada.

Berdasarkan hasil penelusuran penulis, penulis menemukan ada satu karya

yang membahas permasalahan ini, yaitu :

1. Skripsi oleh Imadudin dengan judul “Implikasi Pendefinisian Makna

Kalâlah Menurut Ulama Klasik dan Orientalis Terhadap

Pembagian Harta Waris”. Fakultas Syari’ah dan Hukum. UIN

Syarif Hidayatullah, tahun 2003, no. 846. ASS s.

Skripsi tersebut membahas tentang perbandingan makna kalâlah

berdasarkan ulama klasik dengan kaum orientalis, yang kemudian

dikaitkan dengan situasi yang ada pada saat itu. Skripsi tersebut-pun

tidak menitikberatkan pada ke salah satu tokoh penafsiran baik dari

ulama klasik maupun dari tokoh orientalis.

2. Skripsi oleh Mardiono dengan judul ”Pembagian Harta Waris (Studi

Komparatif Penafsiran surat Al-nisa’ Ayat 11-12 dengan Adat

Minangkbau . Fakultas Ushuluddin. UIN Syarif Hidayatullah,

tahun 2010.

Skripsi tersebut membahas tentang Pembagian Harta Waris ( Waris

secara umum ) didalam surat al-Nisa’ ayat 11-12 yang kemudian

dikaitkan dengan menggunakan adat Minangkabau. Skripsi tersebut-

pun tidak menitikberatkan pada salah satu tokoh penafsiran.

Page 27: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

12

3. Skripsi oleh Achmad Syukron dengan judul ” Takhrij Hadis Hak

Waris Anak di Luar Nikah ( Studi Kritik Sanad dan Matan ).

Fakultas Ushuluddin. UIN Syarif Hidayatullah , tahun 2006.

Skripsi tersebut membahas Hak Waris Anak di Luat Nikah yang

kemudian menakhrij hadis dengan metode kritik saad dan matan

hadis.

Jadi, dari hasil penulusuran penulis terhadap karya-karya yang ada. Penulis

bisa katakan bahwa skripsi yang sedang dikaji ini adalah benar-benar asli dan

berbeda dengan skripsi di atas. Karena skripsi ini membahas seputar penafsiran

terhadap dua ayat dalam surat al-Nisâ’ yang berkaitan dengan kalâlah. Dalam hal

ini penulis mengambil dari salah satu tokoh ulama fikih kontemporer peringkat

dunia, untuk melihat penafsirannya tehadap dua ayat tersebut, yaitu berdasarkan

penafsiran Wahbah az-Zuhaily dalam tafsîr-nya Al - Munir, terhadap ayat-ayat

yang sudah penulis sebutkan di atas.

E. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode Library

Research (penelitian kepustakaan), yaitu suatu metode dengan mengadakan studi

kepustakaan terhadap buku-buku/kitab-kitab, kamus, majalah, koran, artikel dan

sebagainya yang ada hubungan dengan masalah yang akan dibahas.

Ada dua jenis data dalam pembuatan skripsi ini, yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer adalah sumber kepustakaan yang berasal dari sumber

utama yang digunakan dalam pembahasan ini, yaitu tafsîr Al - Munir karya

Page 28: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

13

Wahbah az-Zuhaily. Sedangkan data sekunder adalah data pendukung berupa

buku-buku, tulisan-tulisan dan artikel-artikel, makalah dan lain-lain yang

berkaitan dengan pembahasan ini.

Teknik pembahasan dalam skripsi ini, adalah deskriftif-analisis, yaitu

suatu pendekatan masalah dengan menguraikannya terlebih dahulu sebagai

gambaran awal dan setelah itu baru di analisis. Metode deskriftif dimaksudkan

untuk menggambarkan objek apa adanya, sedangkan metode analisis dianggap

perlu guna menganalisis objek yang telah digambarkan sebelumnya sehingga

diharapkan tersingkapnya penafsiran Wahbah az-Zuhaily atas ayat-ayat kalâlah.

Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku

“Pedoman Akademik –Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan

Disertasi)- yang disusun oleh Hamid Nasuhi, dkk. Terbitan CeQDA (Center for

Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun

2007-2008

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terbagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari beberapa sub-

sub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyusunan serta

mempelajarinya, dengan sistematika sebagai berikut :

Bab Pertama merupakan pendahuluan yang meliputi : latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,

metodologi penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab ini berusaha

Page 29: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

14

memberikan gambaran singkat tentang masalah yang akan dibahas pada bab-bab

selanjutnya.

Bab Kedua merupakan sekilas tentang kitab tafsîr Al – Munir dan

Penulisnya, yang berisikan sistematika penulisan yang terdiri dari motivasi,

sumber penafsiran, referensi utama, metode penulisan, corak penafsiran dan

sistematika. Serta biografi penulis yang berisikan Kehidupan dan Pendidikan

Wahbah az-Zuhaily, Karir Ilmiah Wahbah az-Zuhaily, Karya – karya Wahbah az-

Zuhaily.

Bab Ketiga membahas tentang Pengertian Kalâlah , [ Pengertian Warisan,

( Lughatan dan istilah ) Pengertian kalâlah ( Lughatan dan istilah ), ] Penafsiran

Ayat kalâlah : Penafsiran Surat al-Nisa (4) ayat 12 ( Munasabah, Asbabun Nuzul,

Penafsiran ) , Penafsiran Surat al-Nisa (4) ayat 176 ( Munasabah, Asbabun Nuzul,

Penafsiran ), dan terakhir Analisa .

Bab Keempat merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan yang

didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada

bab-bab sebelumnya, juga memuat saran-saran yang diperlukan.

Page 30: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

15

BAB II

TAFSIR AL-MUNIR FI AL AQIDAH WA ASY-SYARI’AH WA AL-

MANHAJ DAN PENULISNYA

A. Biografi Wahbah Zuhaili

1. Kehidupan dan Pendidikan Wahbah Zuhaili

Prof. Dr. Wahbah az- Zuhaili lahir di Dair „Atiyah, yang terletak di

pelosok Kota Damaskus, Suriah, pada tahun 1351 H/ 1932 M. Nama lengkapnya

Wahbah bin Mushtafa az-Zuhaili . ia putra Syekh Mushtafa az-Zuhaili, seorang

petani sederhana nan alim, hafal alquran, rajin beribadah dan gemar berpuasa .

Di bawah bimbingan ayahnya, Wahbah mengenyam dasar – dasar agama

Islam. Setelah itu, ia bersekolah di madrasah ibtidaiyyah di kampungnya, hingga

jenjang pendidikan formal berikutnya. Gelar sarjana diraihnya pada tahun 1953 M

di Fakultas Syariah Universitas Damaskus. Tahun 1956 M, ia meraih gelar doktor

dalam bidang syariah dari Universitas al-Azhar Kairo.1

Beliau mendapat pendidikan dasar di desanya, Pada tahun 1946, pada

tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di Damsyiq selama 6 tahun

hingga pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan modal

awal dia masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di al-Azhar dan Fakultas

Syari‟ah di Universitas „Ain Syam dalam waktu yang bersamaan. Ketika itu

Wahbah memperoleh tiga Ijazah antara lain :

1 Saiful Amin Ghofur , profil para mufassir al-qur‟an,- Yogyakarta:Pustaka

Insan Madani, 2088. Hal 174

Page 31: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

16

1. Ijazah B.A dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956

2. Ijazah Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-

Azhar pada tahun 1957

3. Ijazah B.A dari Fakultas Syari‟ah Universitas „Ain Syam pada tahun 1957.

Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian

diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama

dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira‟i fi as-

Siyasah as-Syar‟iyyah wa al-Fiqh al-Islami”, dan merasa belum puas dengan

pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya

pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Isalmi” di

bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.

Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari‟ah

Universitas Damaskus dan secara berturut-turut menjadi Wakil Dekan, kemudian

Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami wa Madzahabih di fakultas yang sama. Ia

mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang Fiqh,

Tafsir dan Dirasah Islamiyyah. Adapun guru-gurunya adalah Muhammad Hashim

al-Khatib al-Syafie, (w. 1958M) seorang khatib di Masjid Umawi. Beliau belajar

darinya fiqh al-Syafie; mempelajari ilmu Fiqh dari Abdul Razaq al-Hamasi (w.

1969M); ilmu Hadits dari Mahmud Yassin (w.1948M); ilmu faraid dan wakaf

dari Judat al-Mardini (w. 1957M), Hassan al-Shati (w. 1962M), ilmu Tafsir dari

Hassan Habnakah al-Midani (w. 1978M); ilmu bahasa Arab dari Muhammad

Page 32: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

17

Shaleh Farfur (w. 1986M); ilmu usul fiqh dan Mustalah Hadits dari Muhammad

Lutfi al-Fayumi (w. 1990M); ilmu akidah dan kalam dari Mahmud al-Rankusi.

Sementara selama di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu Zuhrah,

(w. 1395H), Mahmud Shaltut (w. 1963M) Abdul Rahman Taj, Isa Manun

(1376H), Ali Muhammad Khafif (w. 1978M), Jad al-Rabb Ramadhan (w.1994M),

Abdul Ghani Abdul Khaliq (w.1983M) dan Muhammad Hafiz Ghanim. Di

samping itu, beliau amat terkesan dengan buku-buku tulisan Abdul Rahman Azam

seperti al-Risalah al-Khalidah dan buku karangan Abu Hassan al-Nadwi berjudul

Ma dza Khasira al-„alam bi Inkhitat al-Muslimin.

2. Karir ilmiah Wahbah Zuhaili

Wahbah kemudian mengabdikan diri sebagai dosen di almamaternya ,

Fakultas Syariah Universitas Damaskus, pada tahun 1963 M. Karier akademiknya

terus menanjak . Tak berapa lama ia diangkat sebagai pembantu dekan pada

fakultas yang sama. Jabatan dekan sekaligus ketua Jurusan Fiqih al-Islami juga di

genggamnya dalam waktu relatife singkat dari masa pengangkatannya sebagai

pembantu dekan . Selanjutnya, ia di lantik sebagai guru besar dalam disiplin

hukum islam pada salah satu universitas di Suriah.2

Sebagai guru besar, ia menjadi dosen tamu pada sejumlah univesritas di

negara-negara Arab, seperti pada Fakultas Syariah dan Hukum serta Fakultas

Adab Pascasarjana Universitas Benghazi, Libya ; pada Universitas Khurtum,

2 Saiful Amin Ghofur , profil para mufassir al-qur‟an,- Yogyakarta:Pustaka Insan

Madani, 2088. Hal 174

Page 33: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

18

Universitas Ummu Darman, Universitas Afrika yang ketiganya berada di Sudan.

Dia juga pernah mengajar pada Universitas Emirat Arab.

Ketangguhan pengetahuan Wahbah berbanding lurus dengan

produktivitasnya dalam ranah tulis-menullis . Selain menyusun makalah/artikel

untuk jurnal ilmiah, ia telah merampungkan tak kurang dari 30 buku.

3. Karya – Karya Wahbah Zuhaili

Sebagian Karya Wahbah Az-Zuhayli dari Buku-bukunya yang jumlahnya

melebihi 133 buah buku dan jika dicampur dengan risalah-risalah kecil melebihi

lebih 500 makalah, sebagai berikut ;

1. Usul al-fiqh al islami ( 2 jilid),

2. Al-fiqh al-islami wa adillatuhu ( 8 jilid ),

3. At-tafsir al-munir (16 jilid),

4. Asar al-harb fi al-fiqh al-islami,

5. Takkhrij wa tahqiq ahadis “tuhfah al-fuqaha” ( 4 jilid),

6. Nazariyyat ad-damman wa ahkam al-mas‟ulliyyyat al-madaniyyat wa al-

jina‟iyyat fi al-fiqih islami,

7. Al-wasaya wa al-waqf,

8. At-tanwir fi at-tafsir ala hamisy al-qur‟an al-azim,

9. Al-qur‟an syariah al-mujtama‟.3

10. Tafsir al-munir

11. Tafsir al-wajiz4

3 Saiful Amin Ghofur , profil para mufassir al-qur‟an,- Yogyakarta:Pustaka Insan

Madani, 2088. Hal 175

Page 34: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

19

Dari sekian karya wahbah, Tafsir al-Munir bisa dibilang sebagai karya

puncak. Dalam tafsir ini, ia mengupas seluruh ayat Al-Qur‟an, dari Surah al-

Fatihah hingga Surah an-Nas. Namun penjelasannya didasarkan atas topik - topik

tertentu.

B. Tafsir Al- Munir

1. Motivasi

Tafsir ini ditulis berdasar pada keprihatinan Wahbah atas pandangan yang

menyudutkan tafsir klasik karena dianggap tidak mampu menawarkan solusi atas

problematika kontemporer. Di tempat terpisah, di mata Wahbah, para mufasir

kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat alqur‟an

dengan dalih pembaruan. Karena itulah, Wahbah berpendapat bahwa tafsir klasik

harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten

sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi.

Lalu lahirlah at-Tafsir al-Munir yang memadukan orisinalitas tafsir klasik dan

keindahan tafsir kontemporer. Dengan begitu apik, Wahbah mengawinkan

keduanya.5

2. Sumber Penafsiran

Muhammad Ali Iyazi dalam bukunya, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa

Manahijuhum, mengatakan bahwa pembahasan kitab tafsir ini menggunakan

gabungan antara tafsîr bi al-Ma‟tsûr dengan tafsîr bi ar-ra‟yi, serta menggunakan

4 Ahmad Al-Kaf Hudaya, Hawa dan Nafsu ,Menurut Al-Qur‟an Kajian Tafsir Al-

Munir , Hal 14

5 Saiful Amin Ghofur , profil para mufassir al-qur‟an,- Yogyakarta:Pustaka Insan

Madani, 2088. Hal 175

Page 35: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

20

gaya bahasa dan ungkapan yang jelas, yakni gaya bahasa kontemporer yang

mudah dipahami bagi generasi sekarang ini. Oleh sebab itu, beliau membagi ayat-

ayat berdasarkan topik untuk memelihara bahasan dan penjelasan di dalamnya.

3. Referensi Utama

Dalam memahami alquran dengan benar menurut wahbah dapat dilakukan

, salah satunya dengan membuka khazanah klasik seperti kitab – kitab tafsir,

seperti tafsir ar-razi, tafsir tabari, tafsir qurtubi dan kitab – kitab tafsir lainnya.

Menurutnya diantara kitab tafsir yang cukup penting dibaca non arab yaitu

kitab tafsir al- kasy-syaf . Dengan memahami seluruh tafsir tersebut kita akan

mendapat gambaran yang sangat jelas . Satu ayat bisa mengandung beberapa

makna yang dalam , karena banyak menggunkan lafaz tasybih. setelah membuka

kitab tafsir klasik yang baru, lalu wahbah menyaring kitab manakah yang paling

shahih dengan menyertakan dalil – dalil al-qur‟an.

Wahbah dalam tafsir al-Munir menambahkan dalil baik dari Al-qur‟an,

hadits dan ijma (kesepakatan/konsensus para ulama pada suatu masa atau suatu

hukum). Dalam setiap pembahasan, beliau mengemukakan pendapat – pendapat

mujtahid (orang – orang yang melakukan ijtihad, berfikir keras untuk menentukan

hokum mengolah al-qur‟an dan sunnah) dengan mutlak atau Fuqaha ( para ahli di

bidang Fiqih) yang mu‟tamad ( bisa dpertanggung jawabkan.6

6 Ahmad Al-Kaf Hudaya, Hawa dan Nafsu ,Menurut Al-Qur‟an Kajian Tafsir Al-

Munir , Hal 16

Page 36: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

21

4. Metode

Dengan mengamati beberapa metode yang terdapat dalam beberapa kitab

„Ulum al-Qur‟an Secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah az-

Zuhaili pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan

dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara

garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup aspek bahasa,

dengan menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan

menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya.

Sehingga dengan demikian maka metode penafsiran yang dipakai adalah

metode tahlili dan semi tematik, karena beliau menafsirkan al-Qur‟an dari surat

al-Fatihah sampai dengan surat an-Nas dan memberi tema pada setiap kajian ayat

yang sesuai dengan kandungannya, seperti dalam menafsirkan surat al-Baqarah

ayat satu sampai lima, beliau memberi tema sifat-sifat orang mukmin dan balasan

bagi orang-orang yang bertaqwa. Dan seterusnya sampai surat an-Nas selalu

memberi tema bahasan di setiap kelompok ayat yang saling berhubungan.

5. Corak Penafsiran

Ada tujuh corak penafsiran seperti pendapat yang dikemukakan oleh Abd

al-Hayy al-Farmawi dalam bukunya muqaddimah fi al-tafsir al-maudhu‟i di

antaranya adalah: al-tafsir bi al-ma‟tsur, al-tafsir bi al-ra‟yi, altafsir al-shufi, al-

tafsir fiqh, al-tafsir falsafi, tafsir al-„ilm, dan tafsir adabi „ijtima‟i, maka corak

tafsir al-Munir, dengan melihat kriteria-kriteria yang ada penulis dapat simpulkan

bahwa tafsir tersebut bercorak „addabi „ijtima‟i dan fiqhi, karena memang

Page 37: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

22

Wahbah az-Zuhaili mempunyai basik keilmuan Fiqh namun dalam tafsirnya

beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti,

penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang berkembang dan dibutuhkan

dalam di tengah-tengah masyarakat. Sedikit sekali dia menggunakan tafsir bi al-

„ilmi, karena memang sudah disebutkan dalam tujuan penulisan tafsirnya bahwa

dia akan meng-counter beberapa penyimpangan tafsir kontemporer. Di mata

Wahbah, para mufasir kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi

terhadap ayat alqur‟an dengan dalih pembaruan. Karena itulah, Wahbah

berpendapat bahwa tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer

dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada

penyimpangan interpretasi.

Dalam tafsir al-munir Wahbah menginkan kejelasan hukum yang diambil

dari ayat – ayat al-qur‟an , ia tidak meringkas penjelasan tentang hukum fiqih

secara makna sempit ( ringkas ). menurutnya dalam setiap bab buku ia selalu

mengikuti metode para fuqaha.

6. Sistematika

Sebelum menafsirkan Surah al-Fatihah, Wahbah terlebih dahulu

menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu Al-Qur‟an. Dalam proses

penafsiran selanjutnya, ia selalu menguraikan keutamaan dan kandungan surah

serta sejumlah tema yang terkait dengan surah tersebut. Tema tersebut lantas

diungkap dari tiga aspek.

Page 38: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

23

Pertama, aspek bahasa (al-lughah). Ia mengudar istilah-istilah yang

termaktub dalam ayat sembari mengupas segi balaghah dan gramatika bahasanya.

Kedua, aspek tafsir dan bayan. Wahbah memaparkan ayat dengan bahasa

yang ringan sehingga diperoleh kejelasan makna. Jika tidak ada permasalahan

yang pelik, ia menyingkat pembahasannya. Akan tetapi, jika ayat yang di tafsir

memuat permasalahan tertentu, Wahbah menyuguhkan penjelasan yang relatife

panjang, seperti ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan problem naskh.

Ketiga , aspek fiqih kehidupan dan hukum ( fiqh al-hayah wa al-ahkam).

Dalam aspek ini, Wahbah merinci sejumlah kesimpulan ayat terkait dengan

realitas kehidupan manusia.

Dalam pengantar Tafsir al-Munir, Wahbah menerangkan bahwa

penafsirannya berlandaskan pada ayat Al-Qur‟an dan hadis – hadis sahih. Ia

mengurai asbabun nuzul dan takhrij al-hadis, menghindari cerita – cerita

Isra‟illiyat, riwayat yang lemah, dan polemik yang berlarut – larut. Tafsir ini di

publikasikan oleh Penerbit maktabah al-Babi al-Halabi ( Kairo ) pada tahun

1957 M7 .

7 Saiful Amin Ghofur , profil para mufassir al-qur‟an,- Yogyakarta:Pustaka Insan

Madani, 2088. Hal 177

Page 39: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

24

BAB III

PENGERTIAN KALALAH DAN PENAFSIRAN AYAT KALÂLAH

A. Pengertian

1. Pengertian Warisan

, adalah jama‟ dari . Maka dimaksud dengan , demikian pula

, , , dan , yang di ma‟nakan dengan , ialah : “harta

peninggalan orang yang telah meninggal yang diwarisi oleh para warisnya.”

Orang yang meninggalkan harta yang dipusakai oleh waris disebut

muwarits. sedang yang berhak menerima pusaka di namakan “ ”.1

Seorang penulis dan ahli hukum Indonesia “ Wirjono Prodjodikoro ” telah

mencoba memberikan rumusan mengenai pengertian hukum waris yang disusun

dalam bentuk batasan ( definisi ). Sebagai pedoman dalam upaya memahami

pengertian hukum waris secara utuh. Beliau mengemukakan bahwa warisan

adalah : soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak – hak dan kewajiban –

kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan

beralih kepada orang yang masih hidup.2

2. Pengertian Kalâlah

Kalâlah berarti berasal dari akar kata yang tersusun dari huruf-huruf

kaf (ك) dan lam (ل). Menurut Ibnu Faris, makna dasar kata ini berkisar pada tiga

1 Prof.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, FIQHUL MAWARIS, Hukum – hukum warisan

dalam syari‟at Islam, Bulan Bintang : Jakarta , Hal : 17

2 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Prespektif Islam, Adat, & BW,

Refika Aditama : Bandung , Hal : 3

Page 40: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

25

hal, yaitu : “tumpul (lawan tajam)”, “melingkari sesuatu dengan sesuatu”, dan

“salah satu organ tubuh (dada)‟. Yang pertama, seperti ungkapan kalla as-saifu

( = pedang itu menjadi tumpul), dan kalil ( = pedang tumpul). Yang

kedua, seperti iklil ( ) yang berarti ikat kepala atau mahkota. Dinamai demikian

karena melingkari kepala. Selain tiga makna ini, Sayyid Thanthawi, memberikan

makna lain lagi, yaitu “hilangnya kekuatan karena lelah”. Makna ini

disimpulkannya dari syair Al-A‟sya yang mengatakan : alaitu la urtsi laha min

kallin ( ) yang maksudnya : “saya jadi tidak meratapinya lagi

karena lelah.”3

Demikianlah, makna dasar dari kata kalalah. Adapun secara

terminologis, seperti diungkapkan oleh Az-Zamakhsyari4 dalam tafsirnya, Al-

Kasyyaf 5

, kata kalâlah mencakup tiga hal, yaitu : pertama, orang yang mati, tanpa

meninggalkan anak dan bapak; kedua, ahli waris selain anak dan bapak; dan

ketiga, kerabat yang tidak berasal dari jalur anak dan bapak. Kerabat demikian,

dinamakan kalalah karena pertaliannya dengan pewaris lemah tau tumpul ( tidak

3 Sahabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia alqur’an : kajian kosakata. Jakarta: Lentera

Hati, cet.I, 2007 hal.422

4 Nama lengkap Az-Zamakhsyari adalah Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin

Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Ia lahir pada hari

Rabu tanggal 27 Rajab 467 H, bertepatan dengan tahun 1074 M di Zamakhsyar. Ia

seorang ulama dan imam besar dalam bidang bahasa dan retorika.

5 Kitab tafsir al-Kasyaf ini, menurut sejarahnya, disusun oleh al-Zamakhsyari

selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan 528 H, di Makkah al-

Mukarramah, metode penafsiran al-Kasyaf adalah bahwa al-Zamakhsyari menggunakan

metode dialog. Artinya, ketika al-Zamakhsyari hendak menjelaskan makna sebuah kata

atau kalimat atau kandungan suatu ayat. Ia selalu menggunakan kata “قلت ان” yang berarti

“jika engkau bertanya”. Tafsir al-Kasyaf merupakan salah satu tafsir yang menggunakan

corak al-tafsir bi al-ra‟yi.

Page 41: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

26

tajam). Atau Karena mereka mengelilingi pewaris dari tepian, bukn dari tengah.

Seperti ikat kepala yang melingkari tepian kepala sedang tengah-tengahnya

kosong.

Dalam Al-Qur‟an,kata kalâlah tersebut dua kali. Yang semuanya dalam

surah An-Nisa [4] . yang pertama ayat 12 dan yang kedua ayat 176, ayat terakhir

dari surah itu.

Ayat pertama membicarakan ketentuan kewarisan orang yang

meninggal dunia dan tidak memiliki ahli waris utama, tetapi memiliki saudara

atau saudari seibu. Bahkan Sa‟ad bin abu Waqqash telah membaca firman Allah

tersebut dengan bacaan “Wa lahu akhun au ukhtun min ummin” ( tetapi

mempuyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara wanita seibu saja).6

Secara garis besar, ayat ini menetapkan dua ketentuan terkait bagian saudara dan

saudari almarhum tersebut, yaitu: pertama, satu orang saudara atau saudari

mendapatkan seperenam jika sendirian; dan kedua , mendapatkan bagian bersama

sebesar sepertiga jika jumlah mereka banyak, tanpa mempertimbangkan jenis

kelamin; laki-laki dari perempuan.7

Ayat kedua yang menyebutkan kata kalâlah biasa disebut dengan ayat

“musim panas”. Ayat itu memang turun pada saat musim panas. Seperti kita

singgung di atas, kandungannya mengenai ketentuan pembagian warisan orang

yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan ahli waris utama: hanya

6 Syaikh Asy-Syanqithi ; penerjemah Fathurazi, Tafsir Adhwaul Bayan ( Tafsir

Al-qur’an dengan Al-qur’an ), pustaka Azzam Jakarta Selatan , 2006 . Hal 629 7 Sahabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia alqur’an : kajian kosakata. Jakarta: Lentera

Hati, cet.I, 2007 hal.422

Page 42: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

27

meninggalkan saudara atau saudari seayah atau seayah seibu. Dikatakan demikian

karena sebab turunnya ayat 176 ini mengenai pertanyaan Jabir bin Abdullah pada

ayat terakhir surat an-Nisa‟ ini berkenaan dengan hubungan darah dari pihak

ayah.8 Jika dibaca, secara saksama, sedikitnya ada empat ketentuan yang

terkandung dalam ayat ini, yaitu :

a. Bila yang meninggal laki-laki dan meninggalkan satu orang saudari, maka

bagiannya adalah separoh, sedang separohnya yang lain untuk ashabah

(asabat), kalau ada, atau dia ambil semua, jika tidak ada ashabah (asabat).

b. Bila yang meninggal perempuan dan meninggalkan seorang saudara laki-

laki, maka bagiannya adalah seluruh harta.

c. Bila yang meninggal laki-laki dan meninggalkan dua orang saudari, maka

bagian mereka dua pertiga.

d. Jika yang ditinggalkan sejumlah saudara dan saudari, maka ketentuannya,

bagian saudara dua kali lipat bagian saudari .9

Dalam pembahasan lain Arti kalâlah telah dijelaskan oleh Allah sendiri

dalam Surah Al-nisa‟ : 176, yaitu, jika seorang mati dengan tidak ada baginya

walad” (inimru’un halaka laisa lahu walad) sehingga definisi itu baru jelas jika

telah diketahui apa maksudnya walad”. Dalam surati al-nisa‟ : 11 dijumpai bentuk

jama‟ dari walad yaitu awlad dan disana tegas dinyatakan bahwa awlad itu

mungkin anak laki – laki, mungkin anak perempuan, mungkin bergandengan

kedua jenis anak – anak itu dan mungkin pula tidak, seperti dalam bagian kalimat

8 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi , Tafsir Asy-Sya’rawi tim penerjemah

Safir al - Azhar , Duta al - Azhar, , PT ikrar mandiri abadi , Jakarta, hal : 491 9 Sahabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia alqur’an : kajian kosakata. Jakarta: Lentera

Hati, cet.I, 2007 . . hal.422

Page 43: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

28

“fa’in kunna nisa’an” maka teranglah bahwa arti walad setiap macam anak boleh

anak laki – laki, boleh anak perempuan, sehingga arti kalâlah dalam surah al-nisa

: 12 dan al-nisa‟ : 176 ialah keadaan seseorang yang mati dengan tidak ada

baginya seorang anakpun, baik anak laki – laki maupun anak perempuan”.

Dihubungkan dengan arti mawali dalam surah al-nisa : 33, maka arti anak mesti

pula diperluas dengan keturunan, sehingga arti kalâlah selengkapnya ialah

keadaan seseorang yang mati punah, artinya mati dengan tidak berketurunan”.

Dalam sistim bilateral yang dianut oleh Qur‟an maka keturunan artinya setiap

orang digaris ke bawah, tidak peduli apakah garis itu melalui laki – laki atau

perempuan.10

B. Penafsiran Ayat Kalalah

1. An-Nisa Ayat 12

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan

oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika Isteri-isterimu

10 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadist, Tirtamas

Indonesia.cet III Juni 1964, hlm 50

Page 44: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

29

itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang

ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)

seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang

kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai

anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu

tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah

dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun

perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,

tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang

saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua

jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika Saudara-saudara seibu itu

lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,

sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar

hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)11

. (Allah

menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari

Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.12

a) Munasabah

ayat – ayat yang terdahulu menjelaskan tentang haram memakan harta

anak yatim dan diperintahkan menyerahkan semua hartanya kepadanya bila telah

dewasa dan juga larangan mengambil mahar perempuan yang sudah dinikahi atau

menikahimya tanpa mahar. Maka dalam ayat ini dijelaskan tentang pembagian

harta pusaka dan perlakuan terhadap anak – anak yatim dan hartanya.13

11

Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a.

mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. berwasiat dengan maksud mengurangi

harta warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga

tidak diperbolehkan.(Penjelasan dalam Al-Qur‟an)

12 Dalam tafsir al-bayan karya hasbi ash-shiddieqy , semua ulama menetapkan

bahwa dikehendaki dengan saudara disini adalah saudara seibu. Al-qurthuby mengatakan

bahwa seluruh ahli ilmu menetapkan bahwa yang dikehendaki dengan saudara disini ,

ialah saudara seibu. lafal kalalah disebut dua kali dalam al-qur‟an , yang satu lagi dalam

ayat 176 surat an-Nisa juga .

13

Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Tafsirnya , Jakarta : Departemen

Agama RI, Hal 123

Page 45: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

30

b) Asbabun Nuzul

Dikemukakan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Al Hakim

yang bersumber dari Jabir. Jabir berkata : “Isteri Sa‟id bin ar-Rabi menghadap

Rasulullah SAW . Lalu berkata : “Ya Rasulullah, kedua anak perempuan saya ini

adalah anak Sa‟id bin ar-Rabi yang telah gugur sewaktu bersama engkau di

perang uhud. Dan sesungguhnya paman kedua anak perempuan itu mengambil

harta bendanya dan tidak ditinggalkannya sedikitpun harta , sedangkan mereka

susah nikah kecuali mereka mempunnai harta benda”. maka beliau saw, bersabda :

“Allah akan memberi keputusan hukum perkara itu”. Maka turunlah ayatul mirast

(ayat mengenai hukum warisan)”14

Al Hafizh Ibnu Hajar, bedasarkan hadis yang mengisahkan kedua anak

perempuan sa‟id itu berkata : “bahwa ayat tersebut diturunkan mengenai kedua

anak perempuan sa‟id tadi bukan mengenai jabir, karena pada waktu itu jabir

belum mempunyai anak”. Beliau berkata lagi : “sebagai jawaban, bahwa turunya

ayat tadi mengenai keduanya secara berssama, mungkkin ayat pertama ( ayat 11 )

mengenai kedua anak perempuan sa‟id, sedangkan bagian akhir ayat di ( ayat : 12

“ WAIN KAANA RAJULUN YUURATSU KALÂALATAN”) adalah mengenai

kisah jabir . Adapun yang dimaksud kata – kata Jabir : “maka turunlah ayat “

YUUSHIIKUMULLAAHU FII AULAADIKUM ”. ialah hanya untuk

menyebutkan hal penetapan hukum waris bagi kalâlah yang terdapat di dalam

ayat berikutnya.

14 Al-Imam Jalaludin As-Suyuti, Riwayat turunya ayat – ayat suci Al-Qur’an,

Mutiara Ilmu – Surabaya, Hal 142

Page 46: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

31

c) Penafsiran Wahbah Zuhaili

Penjelasan Wahbah Zuhaili sebelum membahas kalâlah secara jelas,

beliau menjelaskan terlebih dahulu pembagian waris untuk anak, orang tua, suami

dan istri serta pembahasan untuk mendahulukan hutang dari pada wasiat yang

pembahasannya masih bersangkutan dengan pembahasan pada ayat sebelumnya,

yakni ayat 11.

Kalâlah: menurut Wahbah adalah diambil dari lafadz iklil yang berarti

rangkaian bunga yang melingkupi kepala, kata ini digunakan pada pewaris dan

yang mewarisi. Kalau dari sisi pewaris, maka diartikan sebagai seseorang yang

tidak punya orang tua dan anak .

Menurut Abu bakar : kalâlah adalah selain orang tua dan anak. Kalau

kalâlah dikatakan sebagai penerima waris maka yang meninggal bukanlah orang

tua dan anak .15

Bagian waris untuk anak.

Allah memulai ayat tentang waris dengan posisi bagian untuk anak setelah

itu posisi untuk orang tua, Sebab karena mereka ( anak – anak ) masih

membutuhkan kasih sayang dan karena mereka lemah. Adapun orang tua masih

mempunyai hak yang wajib selain dari orang yang meninggal ataupun mereka

mempunyai pekerjaan. “Diberitahukan kepada kalian untuk memberikan

kewajiban/pentingnya memberi waris kepada anak” (bagi anak laki-laki

15

Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj

, (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid IV, Hal.54

Page 47: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

32

memperoleh dua kali lipat bagian perempuan) . laki – laki lebih berhak dapat lebih

karena nantinya di tuntut membayar mahar, memberi nafkah serta menanggung

beban keluarganya. Sedangkan wanita mendapatkan lebih kecil, karena wanita

tidak dituntut untuk memberikan nafkah atau kerja karena jika sudah nikah

merupakan tanggung jawab suami.

Jika ahli waris perempuan atau saudara perempuan lebih dari dua maka

bagiannya 2/3 secara bersama dari tirkah . Kalau yang ditinggalkan anak

perempuan dan tidak anak laki – laki yang dapat ashabah, maka bagiannya ½.

Dua anak perempuan yang menerima waris tapi tinggal secara berpisah

menurut ibnu abbas diperumpamakan menjadi satu anak perempuan dan

mendapatkan ½, karena ayat ini menjelaskan bagian untuk saudara perempuan

yang lebih dari dua mendapat 2/3 secara bersamaan.

Menurut Jumhur ulama, dua anak perempuan seperti satu saudara, dan dua

- duanya dapat 2/3 secara bersamaan. Diqiyashkan lafadz dua saudara perempuan

dalam firman Allah ) ) dan dapat 2/3 dari tirkah.16

Waris bagi orang tua

Orang tua baik bapak atau Ibu memperoleh bagian 1/6 dari harta

peninggalan (pusaka), baik yang meninggal anak laki laki atau perempuan, satu

anak ataupun lebih. Sementara yang tersisa dari beberapa anak memperoleh

16

Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj

, (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal.273 - 274

Page 48: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

33

bagian sebagaimana yang telah diterangkan. Jika orang tua tidak mempunyai anak

sama sekali dan ahli warisnya hanya kedua orang tua, maka seorang Ibu

mendapatkan 1/3. sebab mengapa disamaratakannya bagian bagi bapak dan ibu

yang mempunyai anak adalah menghormati kedua secara samarata. Adapun

sebab mengapa bagian orang tua lebih kecil dari bagian anak karena orang tua

dinilai sudah dewasa (tua), cukup, ataupun adanya beberapa anak yang menafkahi

mereka. Adapun anak dinilai masih butuh terhadap beberapa nafkah, adakalanya

karena sebab masih kecil, adakalanya sebab kebutuhan untuk menikah dan

menanggung biaya hidup ketika dewasa nanti.

Jika seorang anak (mayit) meninggalkan orang tua (bapak dan ibu )

sekaligus beberapa saudara kandung baik laki laki ataupun perempuan, maka Ibu

mendapatkan bagian 1/6 pengganti dari 1/3. hal ini berlaku ketika saudaranya

sekandung ,baik dari bapak ataupun dari ibu.

Dua saudara sama saja seperti tiga saudara atau lebih, karena Nabi Saw

dan para Khalifah al-Rasyidin menetapkan hukum “Bahwa bagi dua saudara

laki-laki dan atau dua saudara perempuan yang menyebabkan ibu mereka

mendapatkan 1/6, yang tadinya memperoleh 1/3.” Ibn Jarîr meriwayatkan hadis

dari Ibn Abbâs bahwasannya Ibn Abbâs menemui Utsmân RA. Kemudian

bertanya “Mengapa dua orang saudara bisa menyebabkan seorang ibu

memperoleh 1/6, yang tadinya memperoleh 1/3 ”?, bukankah Allah Swt berfirman

( ) “jika dia(mayit) mempunyai beberapa saudara”, adapun

akhawâni (dua saudara) menurut bahasamu dan bahasa masyarakatmu (kaum)

Page 49: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

34

bukanlah ikhwah (beberapa saudara)?, Utsmân menjawab : “apakah aku sanggup

merubah hukum yang telah berlaku sebelumku, dan banyak orang yang telah

melakukan pembagian waris, dan telah berlaku dibeberapa kota/negara?

Hal ini menjadi konsesus (ijma‟) para ulama, dan diperkuat oleh bahasa

bahwasanya makna dua terkadang digunakan untuk jama (banyak). Allah Swt

berfirman “maka sesungguhnya hati kalian berdua telah condong (untuk

menerima kebaikan)”. (QS. Al- Tahrîm : 66 : 4), dan firmannya pula “dan adakah

sampai kepadamu berita orang –orang yang berperkara (bermasalah) ketika

mereka memanjat pagar”?. (QS. Shad :38: 21), kemudian firman Allah yang lain

“(kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat

zhalim kepada yang lain.” (QS. Shad :38:22)17

Mendahulukan membayar hutang kemudian memenuhi wasiat

Bagian dari harta waris seluruhnya dibagikan kepada ahli warisnya, tetapi

yang harus didahulukan adalah membayar hutang yang berkaitan dengan tirkah

(harta pusaka), kemudian melaksanakan wasiat. Allah Swt berwasiat dan

memerintahkan untuk membagi harta warisan sesuai dengan apa yang telah

disyaria‟atkan setelah mayit menyampaikan wasiatnya dan setelah mebayar

hutang yang ditanggung mayit sebelum dia meninggal.

Pada dasarnya wasiat layak didahulukan dari pada membayar hutang

sebagai anjuran untuk melaksanakannya, mementingkannya dan menghindari

17

Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj

, (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal.275 - 276

Page 50: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

35

untuk meniggalkannya. Adapun hutang telah kita ketahui kekuatannya

(kewajibannya) untuk dibayar didahulukan ataupun tidak.

Kemudian makna ( ) disini bermakna ( ) kebolehan, dan bukan

bermakna ( ) urutan. Dalil untuk mendahulukan membayar hutang dalah

sebuah hadis yang diriwayatkan oleh „Ali Karamallahu wajhahu dan

diriwayatkannya pula oleh jama‟ah seperti Ibn jarîr al-Thabarî : “kalian membaca

ayat

Sesungguhnya Rasul Saw menganjurkan untuk membayar hutang sebelum

wasiat, maka tidak ada hak bagi penerima warisan ataupun yang diberi wasiat

terkecuali setelah membayar hutang. walaupun tirkah (harta pusaka) habis

dikarenakan membayar hutang, maka tidak ada hak bagi siapapun..

Biaya kain kafan dan seluruh keperluan dalam mengurus jenazah lebih

diprioritaskan dari hutang ,wasiat, dan pembagian waris. Hal ini sebagai bentuk

penghormatan terhadap manusia dan terhadap anak cucu adam. Hutang lebih

didahulukan dari pada wasiat dan pembagian waris karena janji mayit tergadaikan

dengan hutangnya, melunasi hutang lebih utama dari mengerjakan kebaikan

dengan hutang.

Mendahulukan wasiat dari pembagian harta waris tidak lebih dari 1/3

tirkah (harta pusaka), karena 1/3 adalah jumlah yang diijinkan dalam wasiat,

Page 51: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

36

sebagaimana hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh jama‟ah da Sa‟d : ”1/3 dan

1/3 itu jumlah yang banyak ” ( )

Kemudian al-qur‟an memberikan redaksi Naas dengan mu‟taridho

( menentang ) untuk memperingati / mengingatkan terhadap kebodohan seseorang

yang berakibat terhadap beberapa perkara. Kemudian Allah menerangkan kepada

mereka hal – hal dalam memberi wasiat dan memberi ukuran . Mereka adalah

bapak dan anak kalian, maka janganlah berbuat dosa dalam pembagian, dan

janganlah mengosongkan / tidak memberikan. Sebagaimana di lakukan oleh orang

Arab pada masa jahiliyah karena ketidaktahuan orang yang dekat dengan si mayit

. Dengan demikian Allah mewajibkan dengan kewajiban yang pasti dan Allah swt

mengetahui apa yang lebih baik untuk makhluknya, Maha bijaksana Allah dalam

mengurusi makhluknya dengan meletakkannya berbagai cara dengan posisi yang

luas. Kecuali ada manfaat bagi kalian dan membagikan harta waris diantara kalian

berdasarkan hak keadilan dan kemaslahatan. Lakukan pembagiannya sesuai

dengan caranya dan takutlah jika tidak memberikan warisan terhadap salah satu

yang memang tergolong ahli waris, terlebih lagi itu adalah seorang perempuan

atau saudara yang lemah ( sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaum

jahiliyah).18

18

Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj

, (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal.276 - 277

Page 52: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

37

Pembagian waris bagi suami dan istri

Suami mendapatkan ½ dari tirkah yang ditinggalkan oleh istri ketika mayit

tidak meninggalkan anak ( baik anak (laki – laki / perempuan) dari suami/suami

lain ). Tetapi jika terdapat anak ( walaupun bukan dari istri melainkan dari istri

sebelumnya ), maka suami mendapatkan ¼ dan sisanya diberikan kepada kerabat

– kerabat istri yang mempunyai hubungan darah dengan istri.

Menurut pendapat Hanafi, jika hanya suami yang ditinggalkan dan tidak

ada lagi ahli waris selainnya maka sisanya lebih baik diserahkan kapada baitul

mal, tetapi hal tersebut boleh dilakukan jika sudah membayar utang dan wasiat

istri ( mayit ).

Dan jika suami yang meninggal, maka istri mendapatkan ¼ apabila tidak

mempunyai anak. Bila mempunyai anak bagian istri adalah 1/8. Lalu jika suami

meninggalkan lebih dari satu istri maka bagiannya adalah ¼ atau 1/8 dan di bagi

sesuai jumlah istri yang ditinggalkam oleh suami ( mayit ), dan tentu saja hal ini

boleh dilakukan jika sudah terlaksanakan hutang dan wasiat yang ditinggalkan

oleh suami .19

Allah menjadikan 3 bagian dalam perihal ahli waris :

1. Berhubungan dengan mayit tanpa perantara, tapi harus sehubungan

darah dengan mayit, contoh : Anak dan Orang Tua.

19

Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj

, (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal.277 - 278

Page 53: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

38

2. Berhubungan dengan mayit tanpa perantara, tapi melakukan akad

nikah, contoh : suami dan istri.

3. Berhubungan dengan mayit dengan perantara mereka adalah

kalâlah, kalâlah itu selain orang tua dan anak.

Karena bagian pertama adalah bagian yang lebih kuat, maka Allah

mendahulukan dalam pembagian waris, lalu lanjut ke bagian yang kedua dan

lanjut ke bagian yang ketiga . Hal ini disebabkan Karena dua bagian yang pertama

tidak terjadi gugur secara langsung, berbeda dengan bagian yang ketiga, yang

terkadang terjadi gugur secara keseluruhan .

Harta waris bagi kalâlah

Abu Bakar ra memiliki pendapat yang cukup kuat mengenai kalâlah.

Menurutnya kalâlah adalah orang selain orang tua dan anak . Ibnu Jarir

meriwayatkan dari Sa‟bi kemudian berkata Abu Bakar ra, “Saya punya pendapat

tentang kalâlah jika itu memang benar maka sumbernya adalah dari Allah, tidak

ada sekutu baginya, tetapi jika pendapatnya salah maka ini adalah sumberku dan

dari syaitan.

Tafsirnya diperkuat oleh sumber kalimat, bahwa kalâlah di ambil dari

sumber lafadz yang dha‟if (lemah), dan hubungan persaudaraan yang bukan

melalui kelahiran adalah kerabat yang lemah dan adapun kerabat yang melalui

kelahiran maka ia merupakan kerabat yang kuat ( maka ia tidak disebut kalâlah).

Kemudian Allah memberi hukum waris bagi saudara laki – laki / perempuan

ketika tidak mempunyai bapak, maka orang tua tidak disebut kalâlah.

Page 54: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

39

Hukum warisan bagi kalâlah sesuai dengan ayat Al-qur‟an yaitu ketika

saudara laki – laki / perempuan dari ibu, maka masing – masing mendapatkan 1/6,

jika jumlah mereka banyak maka mereka mendapatkan 1/3 secara bersama –

sama, jadi mereka dihukumi sama/tidak dibedakan antara laki – laki / perempuan .

Dalil yang menunjukkan saudara laki – laki / perempuan dalam ayat

kalâlah di rincikan menjadi dua yakni saudara ( laki – laki / perempuan) dari ibu

terdapat dalam surat an-nisa ayat 12, dan dalil yang menerangkan bagian untuk

saudara laki akan datang pembahasannya di akhir surat an-nisa yaitu ayat 176 (

maksud disini yakni akhun/ukhtun adalah saudara sekandung / saudara dari

bapak) mereka memperoleh secara penuh jika mereka tunggal . dan mereka

memperoleh sisa setelah pembagian dzawil furudh selesai.

2. An-Nisa Ayat 176

176

”Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalâlah)20

. Katakanlah:

"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal

dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka

bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,

dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan),

jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang,

Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang

meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan

perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua

orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya

kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

20

kalalah ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.

Page 55: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

40

a) Munasabah

Awal surah an-Nisa ini telah menerangkan beberapa hukum mengenai harta

kekayaan dan bagaimana mengurus dan mewariskannya; maka pada akhir surah

ini Allah menutupnya dengan keterangan mengenai harta pusaka kalalah , yaitu

harta peninggalan orang yang meninggal yang tidak mempunyai bapak atau

anak.21

b) Asbabun Nuzul

Seketika Jabir bin Andullah sedang sakit, dia diziarahi oleh Rasul saw,

ketika itu sakit jabir sedang amat keras sehingga dia tidak saa\darkan dirinya lagi.

Rasulullah saw yang dating berziarah itu lagsung mengambil wudhu‟, kemudia

dipercikkanya air ke muka Jabir, sehingga sadarlah dia akan dirinya. Waktu Jabir

sadar, bertanyalah dia kepada Rasulullah saw : “Tidak ada yang mewarisku

kecuali kalala, bagaimana cara pembagian warisnya?” Lalu turunlah ayat faraidh

ini.22

Jabir pernah berkata : “ Bahwa ayat ini ( ayat mengenai pembagian harta

warisan bagi saudara – saudara perempuan ) berkenaan pula dengan ayat “

YASTAFTUUNAKA, QILILLAAHU YUFTIIKUM FIL KALÂLAH”.23

21 Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Tafsirnya , Jakarta : Departemen

Agama RI, Hal 344 22

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke VI , PT. Pustaka Panjimas, Jakarta 1982, Hal :

97.

23

Al-Imam Jalaludin As-Suyuti, Riwayat turunya ayat – ayat suci Al-Qur’an,

Mutiara Ilmu – Surabaya, Hal 200

Page 56: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

41

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa „Umar pernah bertanya kepada

Nabi saw. tentang pembagian waris kalalah. Maka Allah menurunkan Ayat ini

sebagai pedoman pembagian waris24

c) Penafsiran Wahbah Zuhaili

Seorang meninggal tidak punya anak, tapi punya saudara perempuan

kandung/saudara dari bapak, maka ia dapat ½ dari bagian. Umar merasa kesulitan

untuk memahami tentang hukum kalâlah yang ia tulis dalam kitab shahihainnya (

Bukhari & Muslim). Tiga perkara yang umar sukai dari baginda Rasulullah saw

yakni selalu mengingatkan kepada kami dari 3 perkara itu yang termasuk dalam

masalah waris, diantaranya masalah pembagian waris untuk kakek, masalah

kalâlah dan masalah riba ( masalah riba disini sebagaimana yang sudah dijelaskan

di akhir surat al-baqarah yang menerangkan tentang riba.) Dan Ibnu Majah juga

meriwayatkan hadis mengenai 3 perkara ( kalalah, riba, khilafah ) dalam kitabnya.

Makna walad disini meliputi meliputi laki/perempuan, karena pembahasan

dalam kalalah orang yang tidak punya anak sama sekali ( baik laki/perempuan)

dan tidak punya orang tua.

Maksud saudara perempuan (sekandung/dari bapak) di jelaskan dalam ayat

176 adapun saudara perempuan dari ibu Allah telah menerangkan hukumnya di

awal surat an-nisaa dengan kesepakatan para ulama sebagaimana yang telah

diterangkan.

24 K.H.Q Shaleh, H.A.A Dahlan , dkk , ASBABUN NUZUL , CV Penerbit

Diponegoro , Bandung, cet 10 Hal 180

Page 57: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

42

Saudara perempuan mendapatkan ½ kalau seseorang yang meninggal

mempunyai anak perempuan. Kalau misalnya mepunyai anak laki – laki saudara

perempuan tidak mendapatkan apa-apa. Adapun ayat tersebut menerangkan

saudara perempuan yang memperoleh ½ ketika tidak punya anak laki

laki/perempuan, maka hal itu bukanlah yang dikehendaki. Dan diisyaratkan pula

dalam memperoleh ½ jika sang mayat tidak punya orang tua. Dan syarat ini sudah

menjadikan ijma para ulama .

Allah berfirman ( ) yakni saudara laki – laki yang mewarisi tirkah

kepada saudara perempuannya secara keseluruhan dengan ashabah , jika saudara

perempuan tersebut tidak punya anak & tidak ada ortu yang menghijabnya dari

waris. Maksud saudara disini adalah saudara perempuan kandung / saudara dari

bapak . Adapun saudara perempuan dari ibu maka ia tidak bisa dapat secara

penuh, tetapi bagiannya hanya 1/6.

Jika saudara perempuan terdapat dua orang ( sekandung/dari bapak bukan

ibu) / lebih, maka bagi keduanya dapat 2/3 dari apa yang ditinggalkan saudara laki

– laki. Maksud disini adalah 2 saudara perempuan mendapatkan 2/3 secara

bersamaan.

Page 58: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

43

Kalau yang menerima waris beberapa saudara laki/perempuan ( kandung ),

maka bagiannya laki - laki seumpama bagian 2 wanita. Adapun beberapa saudara

dari ibu maka mereka mendapatkan sama 2/3.25

C. Analisa

Pendapat Wahbah mengenai Kalâlah adalah seseorang yang

meninggal dan tidak memiliki orang tua serta anak .26

Pendapat Wahbah

mengenai Kalâlah disini memiliki persamaan dengan ulama sebelumnya

yakni Syeikh Asy - Syinqithi dan Buya Hamka yang mendefinisikan

Kalâlah adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak lagi memiliki ( ayah

ibu dan seterusnya) dan kerabat yang merupakan cabangnya ( anak dan

seterusnya)27

, ataupun ( ada orang yang meninggal dan tidak ada lagi ayah

– bundanya ( telah meninggal lebih dahulu ), serta tidak pula mempunyai

anak yang akan menerima pusakanya.28

Namun M.Quraish Syihab tidak

sependapat dengan Wahbah dalam mendefinisikan Kalâlah yakni seseorang

yang meninggal tidak meninggalkan ayah serta tidak meninggalkan anak,29

dan pendapat Kalâlah menurut M.Quraish Syihab ini memiliki persamaan

dengan ulama sebelumnya yakni Ibnu Katsir yang mendefinisikan Kalâlah

25

Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj

, (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid IV, Hal.56 - 58 26

Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj

, (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid IV, Hal.54 27

Syaikh Asy-Syanqithi ; penerjemah Fathurazi, Tafsir Adhwaul Bayan ( Tafsir

Al-qur’an dengan Al-qur’an ), pustaka Azzam Jakarta Selatan , 2006 . Hal : 629 28

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke IV , PT. Pustaka PAnjimas, Jakarta 1983. Cet.

I , Hal : 285 29

M. Quraish Syihab, Tafsir al - Misbah , Pesan,Kesan, dan Keserasian Al-

Qur’an , Jilid 2 , Hal.348

Page 59: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

44

adalah seseorang yang meninggal dan tidak memiliki anak dan ayah.30

Lain

halnya Syeikh asy – Sya’rawi mempunyai pendapat yang berbeda sendiri

mengenai definisi Kalâlah yakni , ( seseorang yang meninggal dunia , dan

dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perenpuan ).31

Penjelasan mengenai bagian – bagian untuk ahli waris :

Bagian untuk saudara laki – laki dan perempuan ( seibu ) yang

ditinggalkan oleh pewaris

Pada Pembagian ini Wahbah berpendapat bahwa seseorang yang meninggal dan

ia meninggalkan saudara laki – laki atau saudara perempuan dari ibu, maka

masing – masing mendapatkan 1/6 dari tirkah32

. Akan tetapi jika jumlah mereka

banyak, maka mereka mendapatkan 1/3 secara bersama – sama. jadi mereka

dihukumi sama atau tidak dibedakan antara laki – laki atau perempuan.33

Pendapat

Wahbah mengenai pembagian ini memiliki persamaan dengan para mufasir

lainnya, baik ulama sebelumnya maupun penerusnya. Pertama, M.Quraish

Shihab berpendapat mengenai pembagian ini jika ada seseorang lelaki meninggal

tetapi tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, atau jika ada

perempuan yang meninggal tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki atau

seorang saudara perempuan dari ibu, maka masing-masing dari kedua jenis

30

M.Nasib ar-Rifa‟I, Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Penerjemah : Syihabuddin, Gema

Insai : Hal 865 31

Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi , Tafsir Asy-Sya’rawi tim penerjemah

Safir al - Azhar , Duta al - Azhar, , PT ikrar mandiri abadi , Jakarta, hal : 492 32

Wahbah Az-Zuhaili, Pnrjmh abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Fiqih Islam Wa

adillatuhu , (Dimasyq : Dar al-Fikri & Jakarta : Gema Insani, Mei 2011 cet I), Jilid 10

Hal : 394 33

Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj

, (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal : 279

Page 60: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

45

saudara itu seperenam bagian dari harta warisan. Tetapi jika saudara-saudara seibu

itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang 1/3 itu, dibagi dengan

rata sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya.34

Kedua, Syeikh Asy-

Syanqithi berpendapat mengenai pembagian ini yang dimaksud dengan saudara –

saudara dalam ayat ini adalah jika jumlah saudara itu hanya satu orang maka ia

akan mendapat seperenam dari harta warisan, sedangkan jika jumlahnya banyak

maka mereka akan bersekutu dalam 1/3 dari harta warisan baik laki – laki maupun

perempuan35

. dan Ketiga, Buya Hamka berpendapat mengenai pembagian ini

seseorang lelaki meninggal dalam keadaan tidak meninggalkan orang tua dan

tidak meninggalkan anak, atau demikian juga jika ada perempuan yang meniggal

tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan

dari ibu, maka masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam bagian dari

harta warisan. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Buya

Hamka berbeda pendapat, yakni mereka mendapatkan 1/3 dengan ketentuan

yang laki – laki mendapat dua kali bagian perempuan.36

Bagian suami jika istri yang meninggal dan bagian istri jika suami

meninggal

Pada pembagian suami maupun istri, Wahbah berpendapat Suami

mendapatkan ½ dari tirkah yang ditinggalkan oleh istri ketika mayit tidak

meninggalkan anak ( baik anak (laki – laki / perempuan) dari suami/suami lain ),

34

M. Quraish Syihab, Tafsir al - Misbah , Pesan,Kesan, dan Keserasian Al-

Qur’an , Jilid 2 , Hal 349 35

Syaikh Asy-Syanqithi ; penerjemah Fathurazi, Tafsir Adhwaul Bayan ( Tafsir

Al-qur’an dengan Al-qur’an ), pustaka Azzam Jakarta Selatan , 2006 . Hal 628 36

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke IV , PT. Pustaka Panjimas, Jakarta 1983. Cet.

I , Hal : 286

Page 61: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

46

dan sisa utnuk saudara laki – laki. Tetapi jika terdapat anak ( walaupun bukan dari

istri melainkan dari istri sebelumnya ), maka suami mendapatkan ¼.37

Dan jika

suami yang meninggal, maka istri mendapatkan ¼ apabila tidak mempunyai

anak.38

Pendapat Wahbah tersebut memiliki persamaan pendapat dengan para

mufasir lainnya, baik ulama sebelumnya maupun penerusnya. Pertama

M.Qurasih Syihab berpendapat mengenai pembagian suami dan istri yakni (

bagi kamu wahai para suami seperdua dari harta yang di tinggalkan oleh isteri-

isteri kamu, jika mereka, yakni isteri kamu yang meninggal itu masing-masing

tidak mempunyai anak dari kamu atau dari selain kamu; tetapi jika isteri- isteri

kamu itu mempunyai anak yang berhak mendapat waris, baik lelaki maupun

perempuan, maka kamu mendapat seperempat bagian dari harta warisan yang

mereka tinggalkan masing-masing sesudah dipenuhi wasiat mereka, yakni sesudah

dibayar hutang mereka.Setelah menjelaskan bagian suami, kini dijelaskan bagian

istri, yaitu istri baik suami bermonogami maupun berpoligami,yakni baik isteri

suami yang meniggal itu seorang diri, maupun empat orang, maka mereka semua

memperoleh seperempat harta suami yang ditinggalkan, jika kamu tidak

mempunyai anak dari salah seorang diantara isteri-isteri kamu itu. ).39

Dan kedua,

Buya Hamka berpendapat mengenai pembagian suami dan istri yakni jika

seorang suami meninggal kemudian meninggalkan istri saja, maka istri mendapat

¼ dan berbeda jika ada anak istri mendapat 1/8 atau sebaliknya seorang istri

37 Wahbah Az-Zuhaili, Pnrjmh abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Fiqih Islam Wa

adillatuhu , (Dimasyq : Dar al-Fikri & Jakarta : Gema Insani, Mei 2011 cet I), Jilid 10

Hal : 394 38

Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj ,

(Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal : 277 39

M. Quraish Syihab, Tafsir al - Misbah , Pesan,Kesan, dan Keserasian Al-

Qur’an , Jilid 2 , Hal 348

Page 62: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

47

meninggal dan meniggalkan suami , maka bagian suami mendapatkan ½ dari

tirkah ( jika tidak ada anak ), tetapi bila terdapat anak suami mendapatkan 1/4 .40

Bagian istri – istri yang ditinggalkan oleh suami ( lebih dari satu )

Pada pembagian istri - istri ( lebih dari satu ), Wahbah berpendapat jika

suami meninggalkan lebih dari satu istri maka bagiannya adalah ¼ atau 1/8 dan di

bagi sesuai jumlah istri yang ditinggalkam oleh suami ( pewaris ), dan tentu saja

hal ini boleh dilakukan jika sudah terlaksanakan hutang dan wasiat yang

ditinggalkan oleh suami .41

Pendapat Wahbah mengenai pembagian ini memiliki

persamaan dengan mufasir sebelumnya, yakni Buya Hamka yang berpendapat

sama apabila istri yang ditinggalkan suami berjumlah dua, tiga atau empat orang,

maka mereka hanya mendapat ¼ atau 1/8 secara rata.42

Lain halnya pendapat

Quraish Syihab yang berbeda dengan Wahbah mengenai pembagian istri – istri

( lebih dari satu ), yakni baik istri dari suami yang meninggal itu seorang diri,

maupun empat orang, maka mereka semua memperoleh seperempat harta saja

( jika kamu tidak mempunyai anak dari salah seorang diantara isteri-usteri kamu

itu ) dan yang seperempat itu dibagi secara rata tanpa membedakan isteri pertama

dengan yang lain, tetapi hal itu dapat di laksanakan sesudah dipenuhi wasiat dan

sesudah dibayar hutang-hutang suami.43

40

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke IV , PT. Pustaka PAnjimas, Jakarta 1983. Cet.

I , Hal : 284 41

Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj

, (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal.58 42 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke IV , PT. Pustaka PAnjimas, Jakarta 1983. Cet.

I , Hal : 285 43

M. Quraish Syihab, Tafsir al - Misbah , Pesan,Kesan, dan Keserasian Al-

Qur’an , Jilid 2 , Hal 348

Page 63: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

48

Bagian dua saudara perempuan atau lebih yang ditinggalkan oleh

pewaris.

Pada pembagian dua saudara perempuan ini Wahbah berpendapat Jika

ahli waris perempuan atau saudara perempuan seayah lebih dari dua maka

bagiannya 2/3 secara bersama dari tirkah.44 Dan dua saudara perempuan seibu

mendapatkan 1/3.45

Pendapat Wahbah mengenai pembagian dua saudara

perempuan ini memiliki persamaan tersebut memiliki persamaan pendapat

dengan para mufasir lainnya, baik ulama sebelumnya maupun penerusnya.yakni

Sya’rawi berpendapat (apabila “kalal” atau (laki-laki) yang meninggalkan dua

orang saudara perempuannya atau saudara perempuan atau lebih (mereka seayah),

maka mereka mewarisi 2/3 dari harta yang ditinggalkannya.)46

lalu Ibnu Katsir

berpendapat ( seseorang yang meninggal dan ia meninggalkan dua orang saudara

perempuannya atau lebih (mereka seayah), maka mereka mewarisi 2/3 dari harta

yang ditinggalkannya. )47

. Berikutnya Quraish Syihab berpendapat jika saudara

perempuan itu dua orang ( sekandung atau tidak dan mereka seayah ), maka bagi

keduanya dua pertiga dari harta yang di tinggalkan oleh yang meninggal.48

Dan

yang terakhir Buya Hamka berpendapat mengenai pembagian dua saudara

44

Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj

, (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal.274 45 Wahbah Az-Zuhaili, Pnrjmh abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Fiqih Islam Wa

adillatuhu , (Dimasyq : Dar al-Fikri & Jakarta : Gema Insani, Mei 2011 cet I), Jilid 10

Hal : 394 46

Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi , Tafsir Asy-Sya’rawi tim penerjemah

Safir al - Azhar , Duta al - Azhar, , PT ikrar mandiri abadi , Jakarta, hal 492 47

M.Nasib ar-Rifa‟I, Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Penerjemah : Syihabuddin, Gema

Insai : Hal 867 48 M. Quraish Syihab, Tafsir al - Misbah , Pesan,Kesan, dan Keserasian Al-

Qur’an , Jilid 2 , Hal 656

Page 64: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

49

perempuan seayah yakni jika yang meninggal saudara laki – laki dan

meninggalkan dua saudara perempuan seayah, maka untuk keduanya itu dua

pertiga dari apa yang dia ditinggalkan.49

serta mengenai pembagian dua saudara

perempuan seibu, jika seseorang meninggal dan meninggalkan dua saudara

perempuan seibu maka mereka mendapatkan sepertiga.50

Bagian saudara perempuan atau laki – laki ( se-ayah ) yang

ditinggalkan oleh pewaris tanpa ada ahli waris selainnya.

Pada pembagian saudara – saudara tersebut Wahbah berpendapat

( seseorang yang meninggal dan tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara

perempuan kandung/saudara dari bapak, maka saudaranya tersebut mendapatkan

½ dari tirkah ).51

pendapat Wahbah ini memiliki persamaan dengan mufasir

sebelumnya di antaranya adalah, Sya’rawi berpendapat yang sama (jika seseorang

meninggal dunia , dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara

perenpuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang

ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki – laki mempusakai ( seluruh harta

saudara perempuan ) jika dia tidak mempunyai anak.52

lalu Ibnu Katsir

berpendapat (jika saudara laki meninggal maka saudara perempuannya

mendapatkan ½ dari tirkah apabila tidak ada anak, dan jika saudara perempuan

49 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke VI , PT. Pustaka Panjimas, Jakarta 1982, Hal :

97. 50 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke IV , PT. Pustaka Panjimas, Jakarta 1983, Hal :

286 51

Wahbah Az-Zuhaili, Pnrjmh abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Fiqih Islam Wa

adillatuhu , (Dimasyq : Dar al-Fikri & Jakarta : Gema Insani, Mei 2011 cet I), Jilid 10

Hal : 406 52

Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi , Tafsir Asy-Sya’rawi tim penerjemah

Safir al - Azhar , Duta al - Azhar, , PT ikrar mandiri abadi , Jakarta, hal 492

Page 65: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

50

yang meninggal maka saudara laki – lakinya mewarisi seluruh harta saudara

perempuan.53

Begitu juga Buya Hamka berpendapat bahwa saudara perempuan

orang kalalah itu mendapat separuh. Lain halnya Asy - Syanqithi yang berbeda

pendapat (jika jumlah saudaranya hanya satu orang maka ia akan mewarisi

seluruh harta seorang diri).54

Saudara laki – laki dan perempuan ( se-ayah ) yang ditinggalkan

oleh pewaris dengan jumlah yang banyak

Pada pembagian saudara – saudara tersebut Wahbah berpendapat ( kalau

yang menerima waris beberapa saudara laki/perempuan ( kandung ), maka

bagiannya laki - laki seumpama bagian 2 wanita. Adapun beberapa saudara dari

ibu maka mereka mendapatkan 1/3 ).55

Pendapat Wahbah tersebut memiliki

persamaan dengan mufasir lainnya, baik ulama sebelumnya maupun

penerusnya.yakni diantaranya Asy - Syanqithi berpendapat (jika mereka (ahli

waris itu terdiri dari) saudara – saudara laki dan perempuan , maka bagian seorang

saudara laki – laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan.”),56

lalu

Sya’rawi berpendapat (dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-

saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak

53

M.Nasib ar-Rifa‟I, Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Penerjemah : Syihabuddin, Gema

Insai : Hal 866-867 54

Syaikh Asy-Syanqithi ; penerjemah Fathurazi, Tafsir Adhwaul Bayan ( Tafsir

Al-qur’an dengan Al-qur’an ), pustaka Azzam Jakarta Selatan , 2006 . Hal 628 55

Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj

, (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid IV, Hal.58 56

Syaikh Asy-Syanqithi ; penerjemah Fathurazi, Tafsir Adhwaul Bayan ( Tafsir

Al-qur’an dengan Al-qur’an ), pustaka Azzam Jakarta Selatan , 2006 . Hal 629

Page 66: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

51

bahagian dua orang saudara perempuan).57 Berikutnya Ibnu Katsir berpendapat

( seseorang yang meninggal dan meninggalkan saudara laki – laki dan perempuan,

maka bagian saudara laki – laki mendapat dua bagian perempuan).58

Dan yang

terakhir Buya Hamka juga berpendapat yang sama, tetapi beliau menyebutkan

perihal jumlahnya yakni ( jika ahli waris terdiri dari saudara laki – laki dan

perempuan mendapatkan 2/3, maka bagian saudara laki – laki sebanyak bagian

dua orang perempuan, dan bagian dari saudara seibu mendapatkan ½ )59.

57

Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi , Tafsir Asy-Sya’rawi tim penerjemah

Safir al - Azhar , Duta al - Azhar, , PT ikrar mandiri abadi , Jakarta, hal 492 58

M.Nasib ar-Rifa‟I, Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Penerjemah : Syihabuddin, Gema

Insai : Hal 867 59

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke IV , PT. Pustaka PAnjimas, Jakarta 1983. Cet.

I , Hal : 286

Page 67: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

52

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :

Definisi Kalâlah memiliki beberapa arti. Wahbah mendefinisikan sebagai

seseorang yang seseorang yang meninggal dan tidak memiliki orang tua serta

anak . Pendapat beliau memiliki persamaan dengan Asy-syanqithi, dan Hamka.

Namun pendapat tersebut di bantah oleh Quraish Syihab, dan M.Nasib Ar-rifa’i

yang mendefinisikan Kalâlah adalah seseorang yang meniggal tidak

meninggalkan ayah serta tidak meninggalkan anak. Lain halnya Asy-Sya’rawi

yang mendefinisikan Kalâlah adalah seseorang yang meninggal dunia , dan dia

tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perenpuan.

Selanjutnya mengenai bagian – bagian untuk ahli warisnya, seperti Bagian

untuk saudara laki – laki dan perempuan yang ditinggalkan oleh pewaris, Bagian

suami jika istri yang meninggal dan bagian istri jika suami meninggal, Bagian istri

– istri yang ditinggalkan oleh suami ( lebih dari satu ), Bagian dua saudara

perempuan atau lebih yang ditinggalkan oleh pewaris, Bagian saudara perempuan

atau laki – laki yang ditinggalkan oleh pewaris tanpa ada ahli waris selainnya, dan

Saudara laki – laki dan perempuan yang ditinggalkan oleh pewaris dengan jumlah

yang banyak. Dari semua pembagian, pendapat Wahbah memiliki persamaan

dengan beberapa mufasir lainnya, diantaranya yang penulis lampirkan dalam

skripsi ini yakni ( Ibnu Katsir,Asy-Sya’rawi, Buya Hamka, Asy-Syanqithi, dan

Page 68: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

53

M.Quraish Shihab). Namun terdapat pula penambahan – penambahan yang di

jelaskan dalam penafsiran Wahbah tersebut, tetapi tidak berbeda di dalam

pembagian awalnya .

B. Saran – saran

Tidak banyak yang dapat penulis sarankan dalam skripsi ini kecuali beberapa hal:

1. Dalam Skripsi ini penulis hanya memfokuskan pada permasalahan makna

kalalah dan pembagian – pembagiannya dalam tafsir al – munir. Maka

dari itu penulis berharap di kemudian hari, ada penulis yang

menyempurnakan penelitian ini dengan menambahkan pembahasan yang

lebih luas lagi. Karena penulis sadar kesimpulan akhir dari skripsi ini tidak

menutup kemungkinan ada kesimpulan lain dari analisis yang dilakukan

penulis.

2. Penulis juga berharap ada penelitian lanjutan yang lebih komprehensif,

terhadap permasalahan waris kalalah dan tidak hanya menggunakan tafsir

al- munir saja.

Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sedikit

pengetahuan bagi penulis khususnya, dan bagi para pembaca sekalian. Amiin.

Wallahu A’lam Bi as-Sawwab.

Page 69: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

54

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Bandung : Diponegoro, 2005).

………………………., Al-qur’an dan Tafsirnya , Jakarta ).

………………………., Al-Qur’an dan Terjemah ( Semarang : CV . Alwaah,

1989).

Ghofur, Saiful Amin , Profil Para Mufassir Al-Qur’an,- Yogyakarta:Pustaka

Insan Madani, 2008.

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke IV , PT. Pustaka PAnjimas, Jakarta 1983. Cet. I.

………, Tafsir al-Azhar, Jilid ke VI , PT. Pustaka Panjimas, Jakarta 1982.

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadist, Tirtamas

Indonesia.cet III Juni 1964.

Hudaya, Ahmad Al-Kaf , Hawa dan Nafsu ,Menurut Al-Qur’an Kajian Tafsir Al-

Munir, : Jakarta.

Ismail, M. Syuhudi, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, Bulan Bintang, Jakarta,

1988.

Murdana, Asep Lafazh yang bermakna kebaikan dalam perspektif al-qur’an,

( Jakarta ).

Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Qur’an Raja Grafindo , 19995, Jakarta Utara .

Ar-Rifa’I M.Nasib , , Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Penerjemah : Syihabuddin, Gema

Insani.

Sahabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia alqur’an : kajian kosakata. Jakarta: Lentera

Hati, cet.I, 2007.

Page 70: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

55

Shaleh, Dahlan. A , dkk , ASBABUN NUZUL , CV Penerbit Diponegoro ,

Bandung, cet 10.

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, FIQHUL MAWARIS, Hukum – hukum warisan

dalam syari’at Islam, Bulan Bintang : Jakarta.

Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia Dalam Prespektif Islam, Adat, & BW,

Refika Aditama : Bandung.

As-Suyuti, Al-Imam Jalaludin, Riwayat turunya ayat – ayat suci Al-Qur’an,

Mutiara Ilmu – Surabaya.

Asy-Syanqith,i Syaikh; penerjemah Fathurazi, Tafsir Adhwaul Bayan ( Tafsir Al-

qur’an dengan Al-qur’an ), pustaka Azzam Jakarta Selatan , 2006.

Sya’rawi, Syeikh Muhammad Mutawalli , tim penerjemah Safir al - Azhar , Duta

al - Azhar, Tafsir Asy-Sya’rawi , PT ikrar mandiri abadi , Jakarta.

Syazwani , hak perempuan dalam pembagian harta warisan menurut al-qur’an ,

Jakarta.

Syihab, M. Quraish, Tafsir al - Misbah , Pesan,Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an

, Jilid 2.

Syukron, Ahcmad Takhrij Hadis Hak Waris Di Luar Nikah, : Jakarta.

Az-Zuhaili, Wahbah, Pnrjmh al-Kattani, abdul Hayyie, dkk. Fiqih Islam Wa

adillatuhu , (Dimasyq : Dar al-Fikri & Jakarta : Gema Insani, Mei 2011 cet

I), Jilid 10.

..............................., Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj ,

(Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III.

Page 71: PUTRI AJENG FATIMAH-FUH.pdf

56

.............................., Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj ,

(Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid IV.