Dalih Pelepasan Lahan Massal - repository.usd.ac.id · menemukan ilustrasi empat buah diagram Venn...
Transcript of Dalih Pelepasan Lahan Massal - repository.usd.ac.id · menemukan ilustrasi empat buah diagram Venn...
DALIH PELEPASAN LAHAN MASSAL: ANALISIS WACANA
PENGAMBILAN KEPUTUSAN PELEPASAN LAHAN UNTUK
TAMBANG PADA PETANI LAHAN PANTAI KULON PROGO
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Rifki Akbar Pratama
129114118
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERSEMBAHAN
Untuk mereka yang masih berusaha mengepalkan tangan sekuat tenaga
dan tak kenal henti menggelorakan
serta mewujudkan kredo: menanam adalah melawan!
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTTO
“Jika kita genggam kerikil dan melemparnya ke air, maka permukaan air akan
kacau. Tapi jika kita melempar satu kerikil ke tengah air, maka riaknya akan
terus bergelombang ke tepian.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
DALIH PELEPASAN LAHAN MASSAL: ANALISIS WACANA
PENGAMBILAN KEPUTUSAN PELEPASAN LAHAN UNTUK
TAMBANG PADA PETANI LAHAN PANTAI KULON PROGO
Rifki Akbar Pratama
ABSTRAK
Perubahan fungsi lahan kerap dimengerti sebagai suatu proses makro meski
ada akar-akar mikro yang turut melandasi persoalan: seperti adanya keputusan
atau keputusasaan. Ciri itu pulalah yang kerap kali mendorong sebuah gerakan
petani kemudian menyerah dan memungkinkan alih fungsi lahan yang terjadi.
Studi ini hendak meneluri kasus serupa dengan mengarahkan fokus pada proses
pengambilan keputusan pelepasan lahan oleh petani lahan pantai di Kulon Progo.
Foucauldian Discourse Analysis digunakan untuk mengungkap dinamika wacana
yang menjadi prakondisi pelepasan lahan. Penyelidikan yang dilakukan
menemukan bahwa pengambilan keputusan pelepasan lahan dimungkinkan karena
wacana yang berkembang mengerucut dalam pembentukan petani sebagai figur
manusia ekonomi yang mengandalkan penaksiran untung-rugi. Sebuah posisi
yang turut dikondisikan oleh karakteristik petani lahan pantai sebagai produsen
komoditas skala kecil. Keterlibatan petani dalam arus pasar serta komodifikasi
atas produksi subsisten perlu dimengerti lebih jauh untuk menghindarkan diri
meromantisir petani dan lebih memahami posisi petani. Di sisi lain, studi ini juga
menemukan bahwa anggota gerakan petani mampu memperkuat posisinya jika
menyadari otonomi yang mereka punyai. Utamanya terkait otonomi kerja harian
mereka yang dipandang lebih membebaskan daripada iming-iming kerja upahan
yang ditawarkan perusahaan atau tambang. Dengan kata lain, menggemakan
kredo: menanam adalah melawan!
Kata kunci: petani, lahan pantai, pengambilan keputusan, apropriasi lahan,
analisis wacana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
PRETEXT OF MASS LAND DEALS: THE UNDERLYING DISCOURSE
ON DECISION MAKING OF PEASANT WHO ACCEPTS LAND DEALS
FOR MINING
Rifki Akbar Pratama
ABSTRACT
Without further ado, the event of land acquisition has often been ascribed to
macro-structural process. The consent that given to blueprint of regional
development or signed contract by the resident‘s representative has been
considered as the main reasons escorting the land deals. What has gone astray by
aforementioned reasoning was the chance to grasp the idea that some decisions
tightly bound with desperation in the hand of individual. Avoiding those
misleading, this study traces the process of decision making by peasants at coastal
areas in Kulon Progo, Yogyakarta that leads to land deals. This case is intriguing
to be explored further because it occurs in the middle of the feud between peasant
movement and iron mining project. Foucauldian Discourse Analysis is utilized to
unveil the discourse dynamics of the land deals. This study finds that economic
discourse that manifested in the formation of homo oeconomicus subject reigned
over the peasant rationale. Bolster by their identity as petty commodity producers
and the idea of self-interested agents, those peasants are propelled to accept the
offer to let go their land. The other side of the coin shows us that the working time
of the peasants gave them autonomy to clench their fist and shout their slogan:
cultivate to resist!
Keywords: farmer, petty commodity producers, decision making,
foucauldian discourse analysis, coastal sandy lands
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Pertama kali berpikir tentang topik studi ini membuat penulis menengok
dasar berpijak. Penulis bertanya apakah penelitian remeh yang coba
disumbangkan ini berbekal visi ataukah sekadar aspirasi belaka. Dalam budaya
Jepang ada sebuah konsep yang bisa menggambarkan keresahan ini: ikigai. Kita
biasa mengenalinya sebagai, ‗alasan keberadaan‘ atau dalam frase lain raison
d'être. Bila anda mengetiknya di mesin pencari anda dengan cepat akan
menemukan ilustrasi empat buah diagram Venn yang saling beririsan. Sekilas
anda akan melihat sebentuk lotus sebagai hasil irisan dari empat lingkaran
tersebut. Empat lingkaran itu sendiri mewakili empat hal: apa yang kamu cintai,
apa yang diperlukan oleh dunia, apa yang kamu mahir lakukan, apa yang dapat
kamu lakukan untuk memperoleh bayaran. Setiap irisan di antara dua lingkaran,
juga di antara tiga lingkaran akan menggambarkan suatu cara kita memaknai
kehidupan kita di dunia. Penulis tahu bahwa dalam studi ini penulis berbekal pada
dua hal utama, ‗apa yang saya cintai‘ dan ‗apa yang saya rasa bisa saya lakukan‘.
Hanya saja, terjun di tengah sebuah kisah resistensi petani mendorong penulis
untuk memberanikan diri mengklaim bahwa studi ini juga diperlukan.
Verba volant, scripta manent atau ‗yang terkatakan melayang pergi, yang
tertuliskan tinggal abadi‘ melukiskan bagaimana peneliti menemukan topik ini.
Ialah catatan kecil dari Sonny Mumbunan tentang pilihan antarwaktu juga
wawancara Widodo, petani lahan pantai Kulon Progo, yang dicatat rapi oleh
Azhar Irfansyah dan Ferdhi Putra yang menuntun peneliti. Menggemari gagasan
soal waktu serta imajinasi akan irisannya dengan kehidupan petani menjadi suatu
awal bagi langkah penulis untuk memulai studi ini. Meski akhirnya penulis
berpisah dengan topik tersebut penulis cukup merasa gembira ketika studi yang
menyusuri jalan berbeda ini menghadirkan kembali penekanan akan pentingnya
konsepsi tentang waktu di kalangan petani. Bagi penulis aktivitas menulis
tampaknya satu-satunya yang bisa penulis andalkan untuk berbagai kesempatan
dalam hidup. Maka hanya itulah yang dapat penulis lakukan untuk
menyumbangkan sedikit jawaban kecil atas apa yang ditekankan Widodo: bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
―mengabaikan hal-hal kecil adalah kesalahan besar‖. Penting atau tidaknya hasil
dari studi ini penulis pikir akan berarti bila diwujudkan dalam praktik.
Seorang kawan dalam pelbagai kesempatan mengenalkan saya dengan
trilema: saat ada tiga hal yang menarik tetapi hanya dua yang bisa dipenuhi.
Begitu pula halnya dengan proses menulis studi ini. Saya juga menemui tiga hal:
membaca buku serta menonton film mencerahkan yang tidak relevan dengan
skripsi, mengerjakan skripsi dengan lancar, dan meluangkan waktu dengan orang
terdekat. Bila dua yang lain dipilih kamu akan mengorbankan opsi ketiga. Pada
akhirnya, pilihan saya mengabaikan aturan dalam trilema tersebut dengan
merotasi korban. Namun demikian, hal terakhir ialah yang selalu saya selamatkan:
orang-orang terdekat, yang tanpa mereka studi ini akan ditangguhkan lebih lama
dalam benak penulis.
Kepada dua orang berikut saya layangkan rasa terima kasih yang tidak
terhingga. Setiawati Tjandra, seorang yang selalu mengingatkan penulis akan
epigram Fernando Pessoa: ―to define the beautiful is to misunderstand it‖. Ia
adalah seorang gadis yang tak pernah lelah menemani dan mencomeli dalam
pelbagai kesempatan untuk mendorong penulis segera merampungkan studi.
Sosok penerjemah nilai compassion dalam kehidupan nyata sedari pikiran hingga
perbuatan yang membolehkan penulis hadir menjadi saksi kemurnian hatinya.
Dari dirinyalah penulis belajar menyemai berbagai hal sederhana yang mampu
membawa kehangatan di dalam dada. Ia menemani penulis dalam
menyederhanakan pelbagai hal tanpa membuatnya remeh. Tanpa kehadirannya
penulis masih masih akan berkubang dalam suatu kerumitan berpikir. Mas Johan,
sosok Gemini pertama, yang muncul sebagai sosok kakak dan memberikan
kepercayaan tiada putus bagi penulis untuk terus menjadi saksi upaya mendasari
sikap dari nilai-nilai yang egaliter pun altruis. Ialah seorang ayah penyayang yang
membuat argumen Guy Corneau bagi penulis bahwa, ―ayah sulit menjalin relasi
emosional yang hangat dengan anak laki-lakinya serta lebih sering hadir dalam
diam‖ menjadi semacam isapan jempol belaka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
Tanpa mengecilkan peranan mereka yang disebut berikut penulis ingin
menghaturkan terima kasih pula kepada:
1. Dr. YB. Cahya Widiyanto, M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi, sosok
Gemini kedua, yang tak pernah berhenti meluangkan waktu, tenaga, serta
perhatian untuk menunjukkan tempat penulis harus mencari tanpa
menunjukkan apa yang harus peneliti lihat dan temukan. Dengan kata lain,
terus menantang penulis untuk berpikir mandiri menemukan kebenaran.
Pula untuk kesempatan menyusuri jejak kegelisahan yang sama dalam
studi tentang kehidupan petani yang ia telah lakukan sebelumnya maupun
praktik nyata yang terus berlanjut. Tak lupa juga untuk kejenakaan serta
kehangatan yang membuat penulis beroleh daya lenting yang nyata. Juga
untuk kedegilannya mempopulerkan kredo, ―Manusia bukan amuba,
mereka tak dapat membelah diri, hanya membela diri‖.
2. Para petani di Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo yang masih
bertahan: Mas Wid yang menunjukkan secara nyata bahwa perjuangan
memanglah perwujudan kata-kata dan dengan terbuka menerima
mahasiswa bengal yang memberanikan diri menulis studi ini. Pak Tukijo
yang menyuguhkan kenyataan bahwa petani yang bodoh dan tak bisa
menyusun strategi ialah mitos. Apa yang sering ditemui ialah petani yang
dianggap bodoh atau dibodohi. Pak Parno, persona yang memesona, petani
Karangwuni yang masih bertahan. Kisahnya, bahkan untuk rekan-
rekannya yang telah melepas lahan, tampak seperti perwujudan nyata kata-
kata Njoto, satu kerikil yang jatuh di tengah-tengah air yang riaknya akan
terus bergelombang ke tepian. Sebuah kisah yang bila didengar akan terus
menggelorakan kredo, Menanam Adalah Melawan!
3. Dicky Putra Ermandara, seorang kawan yang sejak mula mengenal
tulisannya tentang Li Ta-Chao, pengasuh sebuah kelompok belajar Marxis,
sudah mencerahkan dan membawa semangat untuk mendaki jalan terjal
pengetahuan. Dari dirinyalah penulis memeroleh kesempatan melempar
obrolan dari satu topik ke topik lain ala metode Sokrates yang terkadang
jenaka, lebih sering mencerahkan. Dengan penuh kerendahan hati ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
mengaku bahwa kelebihan yang ia miliki hanyalah mudah untuk diajak
berdialog. Meskipun demikian, penulis selalu membawa setumpuk ilmu
darinya yang bisa dicatat dalam satu buku utuh dalam setiap obrolan yang
mengalir. Lahir satu tahun lebih awal dibanding penulis membuatnya
diberkahi kebijakan yang hakiki, bahwa ―sesungguhnya pencerahan hanya
untuk yang bangun di pagi hari‖.
4. Dewi Kharisma Michellia, seorang karib yang sudah penulis anggap
seperti adik sendiri. Kemurahan hatinya tak bisa dibeli. Menyelam di
dunia fiksi tak membuatnya lupa merawat hubungan persahabatan di dunia
nyata. Penulis berhutang atas kebaikan hatinya telah rela direpotkan untuk
menggali arsip ini-itu di waktu senggangnya. Tanpa dirinya dan Shandy
Wilobudiargo kecil kemungkinan terbersit dalam pikiran penulis untuk
menekuni disiplin ilmu psikologi.
5. Mendiang Dra. Lusia Pratidarmanastiti M.S. untuk pelajarannya yang
berharga bahwa dalam ilmu kita perlu memahami sesuatu hingga titik
paling dasar guna mendapat tempat berpijak. Juga untuk Monica
Eviandaru Madyaningrum yang kelasnya melukiskan bagaimana
kesadaran kritis bisa dibangun bersama dengan menopang pemahaman
satu sama lain. Th. Dewi Irianty Galang, FCJ dan Lidwina Tri Astuti, FCJ
dua suster yang selalu hadir menyuntikkan semangat serta usaha untuk
mendalami dan menemui diri lebih jauh. Juga untuk para staf dan
karyawan yang telah meluangkan tenaganya untuk mengurus segala
bentuk kerumitan yang sangat mungkin tak bisa penulis jalani sebagai
sebuah profesi.
6. Kawan-kawan baik di Fakultas Psikologi. Lenny Lawren sosok adik yang
kerap menemani berbagi air mata juga tawa. Ricky Januarto yang baik
budi dan seringkali rela direpotkan menyediakan tempat bernaung saat
pagi-pagi buta. Leonardus Dimas Aditya, yang juga telah dengan baik hati
membuka pintu rumah untuk berbagi kisah, melepas lelah, atau
membiarkan penulis memuji keahlian orang tuanya, Antonius Suhartoyo
dan Eming Mariska, yang mahir memasak, menyeduh kopi dan berbagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
inspirasi. Klemens Nugraha Rezkijaya Saani yang perjuangannya
mengingatkan pada penulis bahwa jalan memutar itu selalu beroleh
pengalaman yang setimpal dan juga menyadarkan penulis bahwa begitu
panjang namanya. Katarina Novitasari yang telah bergabung dalam klub
rahasia empat sekawan dengan segala keganjilannya serta ketulusan
hatinya untuk mengantar ke pelbagai pengalaman berharga. Segenap
kawan-kawan dalam naungan Pieta Glorious: teruntuk Karmelita Galuh
yang menjadi rekan menguji ketelitian diri bersama Foucault dan begitu
percaya gurauan Marquez bahwa ―...kekuatan yang tak terkalahkan yang
telah mengguncang dunia ini adalah cinta yang tak terbalas, bukan cinta
yang bahagia‖. Tak lupa Alfredo Hendrasta, Priska Eldiana, Kurnia
Novariany, Maria Karina, Devi Putri, yang menanti Gaudeamus Igitur
mengalun dan menghidupi kredo: iuvenes dum sumus.
7. Kedua orang tua penulis, Bambang Isnaeni E.P. dan Tri Atmani. Dua
manusia yang menunjukkan dalam rentang hidup mereka suatu
pengabdian kepada sesama. Baik dalam pekerjaan maupun kehidupan.
Mereka yang mengingatkan, ialah sebentuk kesia-siaan menangisi nasib
diri bila masih ada orang lain yang membutuhkan lebih dari sekadar
tangisan. Dalam diam mereka memberi ruang kebebasan bagi penulis
untuk mengelana ke belantara jauh. Dalam diam mereka merawat akar
yang mengikat seutas rasa yang selalu membuat penulis teringat untuk
pulang.
8. Sb, Sr, Sj, dan Ey yang tanpa kebaikan hati mereka, untuk meluangkan
waktu di tengah jadwal menanam mereka, penulis tak akan bisa
menangkap dinamika pergulatan petani di tengah hempasan arus
kapitalisme. Uluran tangan merekalah yang memungkinkan studi ini
dilakukan dan tidak mengendap di pikiran penulis. Terlepas dari keputusan
atau keputusaan mereka yang berujung pelepasan lahan penulis mengucap
salam takzim bagi mereka berempat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
Mengambil satu posisi tertentu dalam jalan mendaki pengetahuan
tentu memuat risiko kesalahan. Ini semacam truisme yang sukar dibantah.
Dengan demikian, penulis hanya bisa bersadar diri bahwa kritik dan
praktik ialah yang memungkinkan hasil studi ini dibantah atau didorong
lebih jauh.
Yogyakarta, 30 Januari 2018
Rifki Akbar Pratama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ..................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv
HALAMAN MOTTO .......................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................... vi
ABSTRAK .......................................................................................................... vii
ABSTRACT ....................................................................................................... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .......................... ix
KATA PENGANTAR ......................................................................................... x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xx
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xxi
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian ..................................................................... 15
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 15
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 17
A. Petani ............................................................................................. 17
1. Posisi dan Definisi Petani .......................................................... 17
2. Petani Lahan Pantai dan Identitas Petty Commodity Producers 24
3. Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) ................................... 29
B. Pengambilan Keputusan ................................................................ 33
C. Dinamika Pengambilan Keputusan Petani .................................... 42
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 51
A. Paradigma dan Strategi Penelitian ................................................. 51
B. Refleksivitas Peneliti ..................................................................... 54
C. Fokus Penelitian ............................................................................. 56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
D. Informan Penelitian ........................................................................ 57
E. Metode Pengambilan Data ............................................................. 58
F. Metode Analisis Data ..................................................................... 60
G. Kualitas Penelitian ......................................................................... 68
H. Pedoman Wawancara ..................................................................... 70
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 74
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ........................................... 74
1. Persiapan dan perizinan ............................................................. 74
2. Pelaksanaan penelitian ............................................................... 76
B. Informan Penelitian ........................................................................ 77
1. Demografi informan .................................................................. 77
2. Latar Belakang Informan ........................................................... 78
C. Hasil Analisis Data ........................................................................ 84
1. Tahap 1: Konstruksi Diskursus .................................................. 84
a. Identitas Petani ...................................................................... 84
b. Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan ................ 90
c. Makna dan Kepemilikan Lahan ............................................ 97
2. Tahap 2: Pemerian Diskursus-diskursus .................................... 99
a. Identitas Petani .................................................................... 100
b. Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan .............. 101
c. Makna dan Kepemilikan Lahan .......................................... 102
3. Tahap 3: Orientasi Aksi ........................................................... 102
a. Identitas Petani ................................................................... 103
b. Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan .............. 106
c. Makna dan Kepemilikan Lahan .......................................... 112
4. Tahap 4: Pemosisian ............................................................... 113
a. Identitas Petani ................................................................... 113
b. Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan .............. 114
c. Makna dan Kepemilikan Lahan .......................................... 116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
5. Tahap 5: Praktik ....................................................................... 117
a. Identitas Petani ................................................................... 117
b. Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan .............. 119
c. Makna dan Kepemilikan Lahan .......................................... 121
6. Tahap 6: Subjektivitas ............................................................. 122
a. Identitas Petani .................................................................... 122
b. Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan .............. 124
c. Makna dan Kepemilikan Lahan .......................................... 126
D. Pembahasan ................................................................................. 128
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 160
A. Kesimpulan .................................................................................. 160
B. Saran ............................................................................................ 162
1. Kepada Gerakan Petani ............................................................ 162
2. Kepada Aktivis Pendamping Gerakan Petani .......................... 163
3. Kepada Peneliti Selanjutnya .................................................... 164
C. Keterbatasan Penelitian ................................................................ 166
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 168
LAMPIRAN ...................................................................................................... 174
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Transformasi Sosial Ekonomi Pra dan Pasca Inisiatif .......................... 27
Tabel 2. Pertanyaan-pertanyaan Kunci dalam Tahapan Analisis FDA............... 67
Tabel 3. Pelaksanaan Penelitian .......................................................................... 76
Tabel 4. Demografi Informan ............................................................................. 77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lembar Persetujuan Informan
Thematic Coding Informan 1
Thematic Coding Informan 2
Thematic Coding Informan 3
Thematic Coding Informan 4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Pembahasan ...........................................................................159
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Kami terlalu santai karena beranggapan situasi di Karangwuni kondusif...Di
sini kami merasa kecolongan, karena pada awalnya kami tidak terlalu merespon.
Artinya, kami juga kurang berkomunikasi dengan warga Karangwuni secara
langsung.. Kami pun tidak merespon provokasi-provokasi itu sampai akhirnya
Karangwuni lepas. Sampai sekarang saya masih merasa terpukul lantaran ada
salah satu warga Karangwuni yang menangis di teras rumah saya lantaran
terlanjur melepas lahannya...
Tapi ya mau apa lagi?”
Sejarah mencatat dalam pelbagai kisah konflik agraria upaya halus dalam
mendepak petani keluar dari ruang hidup atau kerja hariannya ialah konsekuensi
yang perlu dihadapi para petani saat desakan kapitalisme semakin intens. Kronik
seputar resistensi para petani merekam duel mereka dengan ekspansi kapitalisme,
dalam rupa kawasan industri khususnya, seringkali berujung pada kekalahan.
Tercatat, setidaknya 5 juta keluarga petani keluar dari profesinya sejak 2003
hingga 2013, yakni sekitar 500.000 tiap tahunnya, dengan kata lain, hampir setiap
satu menit satu keluarga petani meninggalkan tanah pertaniannya (Pembaruan
Tani, 2014). Apa yang menjadi korban tak hanya petani yang tersingkir dari upaya
pemenuhan kebutuhan harian. Pertanian pun tersudut dalam ingatan. Pergantian
nama desa Soroako menjadi desa Nikkel sejak pertambangan nikel merangsek
masuk menggusur tanah pertanian ialah salah satu contoh (Robinson, 1986).
Sekilas, proses perubahan sosial-ekonomi tersebut tampak terlihat sebagai
dampak sebuah pergeseran di tataran makro-struktural. Namun, perlu dimengerti,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
layaknya sebuah tumbuhan yang tercerabut di dasar perubahan makro tersebut
teruntai pula akar-akar yang bersifat mikro-individual. Pada tingkatan makro kita
bisa melihat cetak biru proyek pengembangan berisi pelbagai proyeksi
keuntungan yang berbuah kesepakatan legal di atas kertas. Hal demikian yang
kemudian dianggap sebagai alas maupun alasan pengembangan. Kendatipun
begitu, pada ranah mikro kita bisa melihat bahwa berbagai perubahan yang terjadi
dimungkinkan pula oleh adanya keputusan maupun keputusasaan. Mencoba
menggali lebih dalam mengenai persoalan mikro-individual tersebut, dengan
menyuguhkan potret riil mengenai persoalan keputusan pelepasan lahan pantai di
Kulon Progo, ialah yang hendak ditempuh studi ini.
Ialah Widodo yang mengutarakan keresahan dalam kutipan di atas dalam
sebuah wawancara di situs Indoprogress (dalam Irfansyah dan Putra, 2014). Ia
merefleksikan adanya kekeliruan dalam sebuah gerakan petani yang, sejak 2007,
berusaha menghimpun kekuatan untuk bertahan dari gempuran proyek tambang
pasir besi: Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo. Koordinator
Bagian Eksternal Paguyuban PPLP Kulon Progo itu melihat kelalaian tersebut
turut memungkinkan mayoritas warga salah satu desa yang tergabung dalam
paguyuban, Desa Karangwuni, akhirnya melepaskan lahan mereka kepada PT
Jogja Magasa Iron (JMI) pada pertengahan 2013. Sebuah pukulan besar bagi
komunitas petani yang mencoba terus mempertahankan ruang hidup dari proyek
tambang PT JMI yang merangsek masuk relung penghidupan mereka. Menyitir
seorang penulis Jepang, Haruki Murakami, ―begitulah kiranya kisah tercipta—
dengan sebuah titik balik, sebuah pelintiran tidak terduga. Hanya ada satu jenis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
kebahagiaan, tetapi kemalangan hadir dalam pelbagai bentuk dan ukuran.
Sebagaimana yang dibilang Tolstoy.‖ Ia lantas melanjutkan, ―Kebahagiaan ialah
sebuah kiasan, ketidakbahagiaan ialah sebuah kisah‖ (Murakami, 2005). Serupa
itulah kita akan menelusuri sebuah titik balik dalam gerakan petani yang dianggap
sebagai kemalangan serta menyusup melalui sejenis kelalaian. Usaha ini akan
memanfaatkan studi tentang pengambilan keputusan pelepasan lahan sebagai
sarana penyelidikan. Sebuah studi sederhana guna menyumbangkan narasi sebuah
kisah perihal dalih pelepasan lahan massal.
Sebagaimana sebuah kisah pergolakan, ada awal mula mengapa keriuhan
terjadi. Bila ditilik lebih lanjut para petani yang bernaung di bawah PPLP
sekarang ini sebenarnya menandai sebuah kesegaran dalam kisah tentang petani di
Indonesia. Petani dalam kisah ini tidak identik dengan kata kemiskinan. Justru
sebaliknya, menjadi petani ialah sebuah jalan yang diretas untuk keluar dari
belenggu kemiskinan. Terkait hal itu kita perlu sejenak menengok ke belakang.
Seperti yang telah dicatat Yanuardy (2014), dalam sejarah kita akan melihat
bahwa lahan pasir yang kemudian ditanami oleh para petani mulanya ialah lahan
yang gersang dan tandus. Apa yang tumbuh di atasnya tidak bisa dimakan ataupun
layak untuk dijual. Hanyalah rumput duri, pandan duri, serta sidaguri yang
tumbuh. Kenyataan menunjukkan kemiskinan begitu lekat pada narasi hidup
penduduk pesisir Kulon Progo. Masyarakat kerap dilabeli sebagai ‗wong cubung‘
layaknya kecubung beracun yang tumbuh di sekitar lahan pasir. Mayoritas
penghidupan warga ialah buruh tani dan tuna kisma yang bergantung pada petani
kaya dengan lahan bukan pasir.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Kisah itu berganti sejak 1985. Pelbagai upaya yang dilakukan untuk
mengubah lahan pasir menjadi lahan pertanian yang produktif akhirnya
membuahkan hasil. Proses ini kemudian meningkatkan produktivitas pertanian
lahan pasir. Berbagai tanaman hortikultura dijadikan sarana utama bagi para
petani di pesisir untuk mengadu nasib. Pada perhelatan panen raya tahun 2012
yang bertajuk ―Merayakan Bu(di)daya Pertanian Kita: Bertani atau Mati‖
organisasi petani mengklaim bahwa setiap desa pesisir berhasil panen 8-9 ton/hari
dengan nilai jual Rp 15.000/kg, serta setidaknya mendapat Rp. 130 juta rupiah
dalam setiap kali panen (Yanuardy, 2014). Dalam taksiran lain, rata-rata petani
lahan pasir dengan luas lahan 1000 m2
bisa menghasilkan pendapatan setidaknya
2.250.000 per bulan dengan asumsi harga cabai 7.500 rupiah per kilogram
(Wibowo dan Santosa, 2011). Gambaran lain juga bisa dilihat dari penelitian
Wilastinova (2012) terkait komoditas semangka di tiga desa pesisir. Ia
menunjukkan setidaknya total pendapatan yang diperoleh oleh petani mencapai
Rp. 2.625.509 per usaha tani. Bermodal data tersebut secara intuitif kita bisa
menaksir keuntungan yang mungkin diperoleh dari lahan pesisir dengan
menengok nilai Kebutuhan Hidup Layak Yogyakarta, pada tahun 2012, yang
berkisar di nilai Rp 1.046.514 (―KHL Yogyakarta Ditetapkan‖, 2012).
Fondasi kuat pertanian sebagai tumpuan hidup juga memiliki efek positif
lain bila kita mengamati sebentar sumbangan para petani bagi Kulon Progo. Ialah
sebuah pernyataan yang lantas mudah dibantah bila kita menempatkan petani
seolah begitu akrab dengan waktu luang dan minim bekerja. Pertanian tercatat
memegang peranan besar dalam perputaran roda ekonomi. Sebagai gambaran kita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
bisa menengok catatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten
Kulon Progo pada 2012—satu tahun sebelum para petani Karangwuni meneken
kontrak pelepasan lahan dengan PT JMI. Tercatat dalam data Badan Pusat
Statistik Kabupaten Kulon Progo (BPS) tahun 2016, lapangan usaha pertanian,
kehutanan, dan perikanan menempati sumbangan tertinggi sebesar 21,22 % dari
seluruh PDRB Kulon Progo pada tahun 2012. Secara lebih spesifik tanaman
hortikultura, yang menjadi sandaran hidup para petani lahan pantai, pada tahun
yang sama, menyumbangkan 27,98% dari seluruh PDRB dari kategori pertanian,
peternakan, perburuan dan jasa pertanian atau bila PDRB didasarkan harga terdata
sebesar 279,26 milyar rupiah (BPS Kabupaten Kulon Progo, 2016).
Hanya saja, sebagaimana kata Murakami, kisah bermula dengan sebuah titik
balik. Persis di lahan yang juga digunakan petani untuk bertani hortikultura
terkandung pula pasir besi yang dianggap komoditas berharga: pasir besi. Seperti
dicatat Attamami dan Heru (2011), kandungan pasir besi ini tak hanya
mengandung titanium tetapi juga vanadium. Bahan ini biasa diproduksi sebagai
logam anti karat dan peralatan berkecepatan tinggi, seperti tank atau pesawat
ulang-alik (Attamami dan Heru, 2011). Klaim yang kemudian muncul ialah pasir
besi dengan kandungan vanadium kualitas baik hanya ada di Meksiko dan di
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut Gubernur DIY, Sri Sultan
Hamengkubuwono X, ―pasir besi di pesisir selatan dapat dikatakan emas hitam,
karena harganya bisa lipat seribu dibandingkan besi biasa‖ (Perkasa, 2014).
Ketenteraman para petani untuk menanam serta menjadi penyokong
ekonomi daerah ini berubah sejak Bupati Kulonprogo Periode 2001-2006, Toyo
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Santoso Dipo menerbitkan izin Kuasa Pertambangan bagi PT Jogja Magasa
Mining pada Oktober 2005 (Perkasa, 2014). Perusahaan buah karya RMH Hario
Seno, GBPH Joyokusumo serta GKR Pembayun ini bersama dengan kolaborator
modal Indo Mines Limited, yang berbasis di Australia, melahirkan PT JMI pada
September 2008. Seperti yang dicatat Perkasa (2014) perusahaan ini kemudian
memegang hak atas kontrak karya dengan konsesi seluas 2.987 hektar. Areal ini
meliputi empat kecamatan dengan sebelas desa terdampak, yakni Jangkaran dan
Palihan di kecamatan Temon; Glagah dan Karangwuni di Kecamatan Wates;
Nomporejo, Kranggan, dan Banaran di Kecamatan Galur; serta Garongan, Pleret,
Bugel, dan Karangsewu di Kecamatan Panjatan (Cahyono, Yanuardy, Sauki,
Budhiawan, dan Syaifullah. 2009). Narasi pihak Jogja Magasa Mining sendiri
berusaha melukiskan betapa menawannya industri pertambangan. Melalui
pertambangan pasir besi itulah mereka mengklaim bahwa ketersediaan 50% dari
stok nasional atas besi dan baja dapat terpenuhi. Selain itu, pihak perusahaan
berargumen, melalui pertambangan pendapatan negara dan peningkatan kualitas
hidup manusia dapat terjamin (Yanuardy, 2014).
Kepemilikan perusahaan oleh keluarga keraton tersebut lantas menempatkan
para petani dalam posisi yang dilematis. Hal ini lantaran muncul pernyataan
bahwa sekitar 80% tanah yang digunakan masyarakat pesisir untuk lahan
pertanian ialah tanah milik Pakualaman Ground, berdasar Rikjsblaad Kesultanan
1918, yang menjadi dasar untuk mendaku penguasaan tanah dalam area tersebut
(Yanuardy, 2014). Situasi dilematis bagi petani semakin menjadi dengan terbitnya
Perda No 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
DIY. Poin terkait RTRW ini menjadi kunci karena memungkinkan bagi
pelaksanaan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Perda ini
memuat perubahan substansi dari Raperda RTRWP DIY yang telah disahkan.
Salah satunya perubahan substansi Perda No. 2 Tahun 2010 Pasal 60 ayat 2 huruf
b nomor 2 yang menyatakan soal penetapan kawasan peruntukan pertambangan di
Kulon Progo berbunyi ―Kawasan Pesisir Pantai Selatan untuk pertambangan pasir
besi di Kecamatan Wates, Panjatan, dan Galur‖.
Konteks historis di atas kemudian menginisiasi lahirnya gerakan tandingan
dari para petani lahan pantai di Kulon Progo. Gerakan perlawanan terhadap
proyek pertambangan pasir besi dari berbagai kelompok tani mengerucut, pada 1
April 2007, dengan terbentuknya Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP). Posisi
‖menolak harga mati dengan berbagai alasan‖ serta kredo ―menanam adalah
melawan‖ menjadi acuan bergerak. Hanya saja, seperti yang sudah-sudah, sebuah
kisah kerap dimulai dengan suatu pelintiran yang tak terduga. Pada pertengahan
2013, sebagian besar petani di Desa Karangwuni akhirnya melepas lahan pesisir
yang mereka miliki. Jumat, 2 Agustus 2013, menjadi titi mangsa yang menandai
arus balik ini. Sekitar 310 warga Desa Karangwuni menerima down payment, 10
juta, untuk pelepasan lahan mereka di Gedung Kaca (―Warga Karangwuni
Terima‖, 2013).
Persoalan hilangnya akses terhadap lahan ini sendiri perlu mendapat
perhatian khusus. Terutama bila kita melihat catatan bahwa sekitar 0,25 hektar
lahan setiap menit telah dikonversi dari pertanian ke non-pertanian (Nurdin,
2014). Menjadi hal yang kemudian menarik bila kita menggarisbawahi bahwa hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
tersebut terjadi pula di Yogyakarta. Dalam konteks Kulonprogo hal tersebut
menjadi krusial. Seperti yang dicatat Yanuardy (2012), selama beberapa dekade
kemiskinan di Kulonprogo secara mendasar merefleksikan kondisi umum dari
kemiskinan yang terus bertahan di daerah pedesaan kota Yogyakarta. Lantaran
seperti yang dipaparkan Tauchid (2009, dalam Yanuardy, 2012), kemiskinan di
kawasan pedesaan di Yogyakarta berasal mula dan diakibatkan oleh petani yang
tak memiliki lahan ataupun adanya suatu kondisi yang membatasi dan membebani
terkait akses terhadap lahan karena adanya kontrol dari peraturan dari kesultanan
feodal terhadap lahan. Setidaknya hingga tahun 1948 keluarga tani di daerah
Yogyakarta hanya mempunyai rata-rata 1/4 atau 1/3 hektare lahan (Tauchid,
2009). Sejenak menengok pada data statistik tahun 2012 kita bisa melihat
pentingnya persoalan ini untuk ditelisik lebih jauh. Tercatat dengan garis
kemiskinan sebesar 256.575 ribu per kapita per bulan prosentase tingkat
kemiskinan Kabupaten Kulon Progo mencapai 23,3 % dan menempati posisi
teratas dibandingkan daerah lain di Yogyakarta (BPS Daerah Istimewa
Yogyakarta, 2016).
Peristiwa pelepasan lahan yang telah diuraikan di atas kemudian
mencetuskan sebuah pertanyaan di benak penulis. Bila kehidupan yang layak
dimungkinkan diraih melalui pertanian, mengapa para petani akhirnya melepaskan
lahannya? Demi mengurai jawaban atas pertanyaan tersebut, studi ini kemudian
dilakukan. Upaya menyelidiki perkara apa saja yang memungkinkan pelepasan
lahan membawa penulis kepada studi tentang pengambilan keputusan. Hal ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
lantaran pilihan para petani untuk melepas atau tidak melepas lahan kemudian
menjadi suatu simpul penentu terkait persoalan pengambilalihan lahan.
Sampai di titik ini kita perlu berhenti sejenak dan mengintrodusir pemikiran
kritis agar tidak terjebak pada usaha meromantisir posisi petani. White (2006,
dalam Ermandara, 2015) telah mengingatkan bahwa ada kecenderungan dalam
studi agraria untuk ―melukiskan latar masyarakat agraris (terutama di Jawa)
tersusun atas komunitas ‗kaum tani kecil‘ yang egaliter dan homogen‖. Cara
pandang ini memuat suatu masalah tersendiri. Karena ―dengan mengandaikan
masyarakat agraris sebagai jenis masyarakat yang secara asali tentrem-aman-
sentosa, masalah-masalah agraria kerap dikerdilkan menjadi sekadar isu
penyerobotan dan perampasan lahan yang sumber masalahnya eksternal‖
(Ermandara, 2015). Posisi ilusif seperti ini akan mendorong kita pada kebuntuan
untuk menjawab apa yang memungkinkan keputusan pelepasan lahan dan
kegagalan memahami karakteristik petani lebih jauh.
Celah yang kemudian ditawarkan ialah dengan melihat identitas petani
lahan pantai itu sendiri yang berpijak pada produksi komoditas skala kecil. Di
tengah kapitalisme petani harus menghadapi komodifikasi atas subsistensi.
Mereka beralih menjadi produsen komoditas skala kecil (petty commodity
producers), yang menggantungkan pemenuhan kehidupan sehari-hari mereka
―melalui integrasi ke dalam pembagian kerja masyarakat serta berbagai pasar
yang lebih luas‖ (Bernstein, 2010). Posisi petani yang terjun jauh dalam arus pasar
seturut perubahan logika produksi mereka ini memunculkan karakteristik khusus
untuk mengupayakan akumulasi laba, demi memenuhi hajat hidup. Utamanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
karena ―hal-hal yang semula diproduksi untuk konsumsi sendiri kemudian
diproduksi terutama untuk dipertukarkan‖ (Farid, 2017, dalam Farid dan Luthfi,
2017). Laba dalam bentuk uang ialah sarana mereka untuk memenuhi konsumsi
sehari-hari.
Apa yang disebut terakhir mengondisikan pula karakteristik para petani saat
ini. Sekarang, petani pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan produksi pertanian:
pupuk, obat pestisida, bahkan bibit pertanian yang dulunya mampu diproduksi
sendiri (Widiyanto, 2007). Tak hanya soal produksi, gaya hidup petani, khususnya
produsen komoditas skala kecil, yang telah beralih dari produksi tanaman
subsisten, pun terpengaruh karena beredar dalam sirkuit kapitalisme. Para petani
umumnya perlu ―menyambung hidup melalui mekanisme pertukaran karena
semakin sedikit barang dan jasa yang langsung diproduksi untuk memenuhi
kebutuhan yang sifatnya langsung‖ (Farid, 2017, dalam Farid dan Luthfi, 2017).
Hal ini dicatat Widiyanto (2007), turut ―mendorong egoisme di kalangan petani
karena sulitnya keadaan serta beratnya beban kebutuhan yang harus ditanggung.
Mereka tidak lagi punya keleluasaan untuk memperhatikan kepentingan orang
lain, dan perhatiannya lebih tersita bagi diri dan keluarganya yang belum
tercukupi‖.
Berbagai kondisi dilematis yang dihadapi petani tersebut berkesesuaian
dengan pendapat Beck (1992), bahwa dalam kehidupan modern secara mendasar
tak ada lagi orang yang menaruh perhatian pada pencapaian sesuatu yang ‗baik
atau layak‘ tetapi lebih kepada mencegah yang terburuk. Para petani terdorong
untuk menggenggam erat risiko di tengah hembusan angin kapitalisme yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
semakin kencang. Sebagaimana yang juga telah diingatkan Chomsky (dalam
Schupp dan Ohlemacher, 2000), saat kita memasuki pintu ekonomi industrial,
kerugian dan risiko akan terbagi rata sedangkan segala keuntungan mengarah
pada satu pihak saja. Lebih lanjut Beck, dalam tafsiran Denney (2005), juga
mengemukakan bahwa sejalan dengan tercerabutnya masyarakat dari situasi
tradisional ―perhatian bergerak dari hal yang nyata, seperti kemiskinan material
dan diskriminasi, menjadi kegelisahan serta ketakutan akan pelbagai risiko yang
muncul‖.
Mencoba menggali pelbagai hal yang memungkinkan munculnya
kegelisahan serta kecemasan di tengah pengambilan keputusan ialah hal lain yang
dituju dari studi ini. Memanfaatkan pendekatan kualitatif peneliti ingin
menyelidiki dinamika pengambilan keputusan dalam realitas riil sehari-hari.
Logika induktif yang menuntun pendekatan kualitatif peneliti amini akan
menghindarkan diri dari usaha membopong berbagai teori ke praktik riil untuk
disesuaikan dengan realita. Hal ini untuk mengelak dari sudut pandang positivistik
yang kerap ditawarkan ilmu ekonomi berkenaan dengan riset pengambilan
keputusan. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan Susianto (2008), cara
pandang ekonom cenderung mengedepankan prediksi dan pembentukan model
dibanding penyusunan pemaparan yang realistis. Hal ini membawa implikasi
menelurkan teori-teori yang bersifat normatif: tentang apa yang seharusnya serta
ideal. Sedangkan di sudut yang lain, tambah Susianto (2008), cara psikolog
membangun asumsinya perlu bersifat realistis. Dengan demikian, teori yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
dihasilkan membawa tendensi deskriptif atau memaparkan apa yang benar-benar
dilakukan manusia.
Tepat di titik inilah penulis membidik potensi positif dari penelitian
kualitatif mengenai pengambilan keputusan pada petani yang telah melepaskan
lahan. Paparan penelitian sebagai sebuah studi kasus dirasa dapat digunakan untuk
menelisik pelbagai wacana yang menjadi prakondisi riil pengambilan keputusan
pelepasan lahan. Usaha penulis untuk mencoba memaparkan permasalahan
dengan pisau analisis Foucauldian Discourse Analysis (FDA) dirasa akan
menguntungkan demi tujuan tersebut. Hal ini lantaran FDA ‗menaruh perhatian
terhadap bahasa dan perannya dalam pembentukan kehidupan sosial dan
psikologis‘ (Willig, 2013). Fokus atas ‗pembentukan‘ ini akan mengantarkan pada
pemaparan mengenai proses serta dinamika berkenaan dengan pengambilan
keputusan—yang tidak hanya digambarkan dalam bagian-bagian yang terpisah
tetapi juga relasi yang menyertainya. Hal ini penting karena dengan menyelidiki
relasi dimungkinkan didapat pula gambaran mengenai determinan atau penentu
utama dalam relasi tersebut. Dengan demikian, gambaran yang cenderung
deksriptif bisa didorong ke arah paparan mengenai landasan dasar bagi suatu
penjelasan.
Di sisi yang lain, ada satu kunci utama mengapa pendekatan FDA dianggap
menjadi pisau yang tangguh dalam studi proses pengambilan keputusan ini. FDA
akan membantu dalam penggalian wacana yang memungkinkan kita melihat
landasan dasar keputusan. Ini seturut yang dikemukakan Parker (1992, dalam
Willig 2013) bahwa dari sudut pandang Foucauldian, ‗wacana memfasilitasi dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
membatasi, memungkinkan dan mendesak apa yang dapat dikatakan, oleh
siapapun, kapanpun, di manapun‖. Dalam hal ini, keberadaan wacana yang
beredar dan memengaruhi individu-individu akan ditilik dan digambarkan secara
umum. Begitu pula, bila merujuk paparan Parker (1992, dalam Willig 2013)
tersebut, FDA akan menjadi piranti guna menyelidiki implikasi-implikasi yang
muncul dari wacana-wacana yang berkembang seputar pengambilan keputusan
terhadap individu yang hidup di antara wacana-wacana tersebut.
Dalam kerangka yang terakhir disebut terdapat gagasan implisit mengenai
posisi subjek. Perihal subjek ini penting karena di sinilah letak keunggulan FDA
dalam menelisik proses pengambilan keputusan. Seperti yang disampaikan Parker
(1994, dalam Willig, 2013) wacana dapat didefinisikan sebagai ―sekumpulan
pernyataan yang mengkonstruksi objek-objek serta mengatur posisi subjek-
subjek‖. Dengan demikian, melalui penggunaan FDA, yang berpusar pada
wacana, penelitian ini dimungkinkan untuk menggambarkan dinamika wacana
yang memungkinkan pengambilan keputusan pelepasan lahan terjadi, batasan
yang dihadapi serta turut menyokong pelepasan, dan posisi individu yang melepas
lahan di tengah konstelasi gerakan perlawanan. Hal terakhir ini persis
dimungkinkan karena wacana atau diskursus, ―menawarkan sebuah posisi-posisi
bagi subjek, yang ketika diterima, membawa implikasi bagi subjektivitas dan
pengalaman‖ (Willig, 2013). Demikian, di tengah hamparan wacana, kita pun bisa
melihat apa yang disebut Michel Foucault sebagai truth-effect. Saat ―sesuatu yang
dianggap benar kemudian menjadi kenyataan dan memberi struktur pada
pemikiran dan tindakan sosial‖ (Farid, 2017, dalam Farid dan Luthfi, 2017).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Gambaran mengenai ‗sesuatu yang dianggap benar‘ di mata para petani ini
ialah yang hendak ditilik lebih jauh dalam penelitian ini. Upaya ini bisa
menempatkan penelitian ini pada posisi strategis di tengah rumpun studi tentang
agraria. Lantaran seperti yang dicatat Farid (2017, dalam Farid dan Luthfi, 2017),
penduduk kerap ―muncul hanya dalam bentuk angka statistik atau kategori
abstrak‖. Terlebih lagi, ―hampir seluruh kehidupannya diasumsikan, misalnya
bahwa angka pertumbuhan tinggi dengan sendirinya berarti peningkatan taraf
hidup dan kebahagiaan, tanpa pernah melihat atau mendengar perspektif petani
mengenai kehidupan mereka sendiri‖ (Farid, 2017 dalam Farid dan Luthfi, 2017).
Usaha ‗melihat‘ dan ‗mendengar‘ perspektif petani ini jugalah yang hendak
diupayakan dalam studi ini.
Kemungkinan mengetahui bagaimana wacana memengaruhi dan
menempatkan subjek ini pula yang akan membawa penelitian ini untuk
menyelidiki pelbagai hal kecil yang merangkai wacana dalam pengambilan
keputusan pelepasan lahan. Hal-hal kecil ini penting. Seperti yang ditekankan
Widodo, dalam wawancara di Indoprogress (2014), yang menggarisbawahi bahwa
―mengabaikan hal kecil adalah kesalahan besar.‖ Ia mengisyaratkan bahwa adalah
sebuah kesalahan yang berujung pada penyesalan saat hal sekecil apapun
dilalaikan sebagai dasar pertimbangan dalam sebuah penentuan pilihan. Setali tiga
uang, penyesalan pulalah yang ditunjukkan salah seorang warga Karangwuni yang
menangis setelah terlanjur melepas lahannya. Sebuah ilustrasi nyata yang
menggambarkan suatu pilihan yang dirasa keliru. Apa yang hendak diraih dari
tuturan kisah tentang pengambilan keputusan dalam studi ini hanyalah upaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
membalik hal di atas. Sebuah usaha memperhatikan hal kecil guna membangun
sebuah gerakan yang besar. Atapun bila hal terakhir ini gagal pun kita bisa, seperti
kata Samuel Beckett, ―gagal dengan lebih elok‖.
B. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana dinamika wacana yang berkembang dalam proses pengambilan
keputusan pada petani lahan pantai di Kulon Progo yang telah melepaskan
lahannya untuk tambang?
C. Tujuan Penelitian
Mengeksplorasi dinamika wacana yang berkembang dalam proses
pengambilan keputusan pada petani yang melepaskan lahannya untuk tambang.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini memberikan tambahan referensi bagi
bidang psikologi sosial terkait dinamika wacana pengambilan keputusan
petani. Di sisi lain, penelitian ini juga menawarkan pendekatan penelitian
dengan sudut pandang baru dalam mengungkap dinamika proses pengambilan
keputusan secara naturalistik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
2. Manfaat Praktis
Menyuguhkan informasi bagi aktivis pendamping gerakan petani
tentang dinamika pengambilan keputusan petani guna menyokong rancangan
advokasi yang kontekstual bagi gerakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Petani
“Tugas seorang intelektual bukanlah untuk membentuk kehendak politik orang
lain; ialah, melalui analisis yang ia lakukan di bidangnya sendiri, untuk
mempertanyakan lagi dan lagi apa yang telah diterima sebagai dalil dan terbukti
dengan sendirinya, untuk mengusik kebiasaan mental seseorang, cara mereka
melakukan dan berpikir tentang seuatu, untuk mengurai apa yang telah dikenal
dan diterima, untuk memeriksa peraturan dan institusi dan juga dasar dari
problematisasi ulang ini (di mana ia menjalankan tugas spesifiknya sebagai
intelektual) untuk berpartisipasi dalam pembentukan kehendak politis (di mana ia
memiliki peran sebagai warga untuk dilakoni)
—Michel Foucault (1988)
1. Posisi dan Definisi Petani
Bila menengok sejenak mengenai asal kata ‗petani‘, perihal kepemilikan
tanah menempati suatu posisi penting. Tani sebagai kata dasar dari petani memuat
arti ‗palemahan sing ditanduri‘, yakni ‗bidang tanah yang ditanami‘. Tanpa
adanya tanah sebagai sarana untuk ditanami petani kehilangan posisinya untuk
disebut sebagai petani, setidaknya bila kita menilik secara etimologis. Hanya saja
kita perlu kembali pada pendapat Foucault di atas: untuk mengurai kembali apa
yang kita kenali sebagai petani. Sebagai awal mula kita bisa mempertimbangkan
pendapat Eric R. Wolf sebagai tumpuan pendefinisian. Wolf (1966) memberi
penekanan bahwa petani ialah ‗para pengolah tanah pedesaan yang menghasilkan
surplus dari usaha mereka sendiri yang kemudian dipindah-tangankan kepada
suatu kelompok penguasa dominan‘. Adanya penekanan yang diberikan atas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
proses pindah tangan ini mendorong pengertian, seperti apa yang digarisbawahi
Landsberger (1974), bahwa bukan kepemilikan lahan, melainkan hilangnya
kekuasaan atas hal tersebut—dan juga kontrol atas kerja yang dicurahkan—yang
perlu dijadikan acuan bagi pendefinisian identitas petani. Hadirnya eksploitasi
menjadi suatu kerangka utama dalam usaha pendefinisian. Petani, seturut
kerangka tersebut, dengan demikian menempati posisi seperti yang dikemukakan
Bernstein dan Byres (2008), sebagai ―korban sekaligus protagonis aktif dalam
drama sejarah pembentukan modernitas.‖
Dalam narasi mengenai pembentukan modernitas kapitalis kaum petani
seringkali dianggap sebagai ‗anakronisme sejarah‘—berada di zaman yang
salah—maupun sebagai ―garis pangkal pembangunan yang semakin surut‖
(McMichael, 2008). Narasi modernitas dalam kapitalisme melukiskan kemajuan
sebagai proses bertahap yang kerap menempatkan kaum petani sebagai
penghalang bagi gerak maju pembangunan. Cap ini sehaluan dengan pandangan
Rostow (1960) terkait pembangunan yang menempatkan petani sebagai suatu
garis pangkal, sebagai sebuah ―fase tradisional dari sejarah umat manusia.‖
Modernitas, yang dapat dimengerti sebagai ―keadaan sosioekonomi yang berdasar
pada industrialisasi serta urbanisasi, kondisi menjadi maju‖, (Kitching 1982 &
2001, dalam Bernstein, 2011) lantas mendepak petani dari posisinya yang
dianggap terbelakang. Deru modernitas ini menggilas petani dan menyingkirkan
mereka menjadi sebatas apa yang disebut W. Arthur Lewis (1954) sebagai ‗suplai
tenaga kerja yang tak terbatas‘ bagi ekonomi industri. Di sini kita bisa melihat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
bahwa kian terhapusnya kaum petani turut memperlancar bergeraknya roda
industrialisasi, begitu pula tegaknya modernitas.
Mazoyer dan Roudart (2006) melukiskan nuansa pengorbanan kaum petani
ini dalam peran serta mereka di tengah proses pembentukan modernitas. Mereka
mencatat bahwa, kebanyakan dari penduduk dunia yang kelaparan bukanlah para
konsumen dan pembeli bahan makanan yang hidup di wilayah urban melainkan
para petani serta penjual produk-produk agrikultur. Lebih lanjut lagi, mereka
menggarisbawahi, ―tingginya jumlah mereka tidak sekadar sesuatu yang secara
sederhana diwarisi dari masa lalu tetapi adalah hasil dari proses yang terus
berjalan yang mengarahkan pada kemiskinan ekstrem untuk ratusan juta petani
yang hidup berkekurangan‖. Tampak bahwa modernitas memberikan ruang hidup
bagi kaum petani, tetapi dalam posisi yang tersudutkan.
Modernitas sendiri masih mewadahi kaum petani dan turut membentuk
pelbagai jenis kelas petani yang masih bertahan (Bernstein, 2010). Namun
demikian, ini memuat situasi paradoks yang dialami petani sebagai protagonis
aktif sekaligus korban seperti yang dikemukakan Bernstein dan Byres. Bahwa, di
satu sisi, sebagian dari mereka berada dalam posisi layaknya paparan Wolf dalam
karyanya Peasant Wars of The Twentieth Century (1970), yakni mempunyai
otonomi terkait pengolahan tanah. Wolf, yang bergeser dari posisi sebelumnya
dalam Peasant (1966), menjelaskan bahwa petani ialah ―penduduk yang secara
eksistensial terlibat dalam pengolahan tanah dan membuat keputusan yang
otonom berkenaan dengan proses pengolahan tanah. Kategori ini dengan demikian
dibuat guna menyertakan para petani penyewa (tenants) dan petani bagi hasil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
(sharecroppers) sebagaimana juga pemilik tanah swakelola sepanjang mereka
dalam posisi untuk membuat keputusan yang relevan mengenai bagaimana
tanaman panenan mereka dibudidayakan‖ (Wolf, 1970). Meski terkadang
penegasan sifat otonom ini masih memuat persoalan pindah tangan bila menilik
praktik para petani penyewa dan petani bagi hasil. Kedua jenis petani ini
cenderung sedikit atau bahkan tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk
menentukan tanaman apa yang akan dibudidayakan (Landsberger, 1974).
Karakter otonom, dalam definisi Wolf tersebut mencerminkan sisi aktif
petani dalam menentukan arah eksistensinya sebagai tuan atas tanahnya sendiri.
Teodor Shanin (1973) menawarkan suatu pengertian mengenai petani yang dapat
digunakan untuk menyisir persoalan otonomi tersebut dan menunjukkan problem
yang kemudian dihadapi petani. Ia menyebut ada empat karakteristik esensial dan
saling terhubung yang mendefinisikan petani. Bahwa ―pertanian milik keluarga
adalah basis bagi unit pengorganisasian sosial yang multifungsi, peternakan dan
biasanya pemeliharaan hewan adalah satu sarana mata pencaharian, budaya
tradisional lekat hubungannya dengan cara hidup dari suatu komunitas kecil
pedesaan dan suatu penundukkan diri terhadap kekuatan luar yang begitu kuat
serta bersifat multi-direksional‖.
Apa yang disebut terakhir menunjukkan bahwa otonomi yang dimiliki
petani bukanlah sesuatu yang terberi melainkan suatu hasil dari proses tarik-ulur.
Hal ini menggambarkan bahwa sebagian petani juga menempati posisi lain, yakni
sebagai korban penundukkan. Kedudukan sebagai korban ini juga senada dengan
catatan Dede Mulyanto (2011), bahwa ―petani selalu menjadi bagian dari sistem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
ekonomi, politik, dan budaya yang lebih luas dalam kedudukan yang lebih
rendah.‖ Di sini kita bisa melihat bahwa kita tidak bisa pukul rata dalam
mengkategorisasi dan mendefinisikan petani. Persoalan mendasar ini muncul
sebagai akibat dari posisi petani yang kompleks: satu kaki menjejak karakter
otonom dan kaki yang lain terkekang dalam spektrum yang lebih luas.
Landsberger (1974) sendiri telah mengingatkan akan hal ini berkenaan dengan
mereka yang memakai konsep budaya untuk mendefinisikan petani, yang
―seringkali berpikir bahwa petani hidup dalam sebuah komunitas yang tertutup,
terisolasi (yang mana kekerabatan memegang peranan besar), sehingga secara
eksplisit maupun implisit berkontradiksi dengan beberapa individu yang memberi
penekanan begitu besar pada pertalian ekonomi secara eksternal‖.
Keterlibatan ke dalam spektrum yang lebih luas mau tidak mau akan
membawa kita untuk menilik karakteristik petani berkenaan dengan keputusan
atas tanah yang ia olah. Karena otonomi tersebut juga sendiri membawa implikasi
pada kategorisasi petani (peasant) yang digagas. Wolf (1966) sendiri
mengusulkan pembedaan antara petani dalam artian peasant dengan petani dalam
artian farmer. Sosok yang disebut pertama memanfaatkan agrikultur sebagai
sarana mata pencaharian. Sedangkan yang disebut terakhir, selayaknya di
Amerika Serikat, lebih mengarah pada usaha bisnis yang mengejar keuntungan.
Persoalan otonomi yang beririsan dengan ekonomi kembali memainkan peranan
di sini. Seperti apa yang dikemukakan Landsberger (1974), tanpa adanya otonomi
keputusan atas tanaman yang ditanam kita tidak bisa secara sewenang-wenang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
mengatakan bahwa petani (peasant) secara subtantif berorientasi pada pertanian
subsisten (penyambung hidup).
Hal ini yang membuat kita perlu juga mencatat pendapat Sidney Mintz
(1973). Mintz mengikuti karakterisasi Wolf dan Shanin, mencatat fakta ―bahwa
kaum tani tidak dimanapun juga membentuk suatu masa yang homogen atau yang
berkelompok, melainkan selalu dan dimana-mana melambangkan diri mereka
dengan perbedaan internal melalui berbagai jalur‖. Ia menambahkan bahwa
perlunya sebuah definisi dengan cakupan-menengah dari kaum tani dan
masyarakat tani. Definisi yang meliputi masyarakat petani sesungguhnya
‗sebagaimana di lapangan‘ dan suatu definisi dengan cakupan-luas yang memadai
untuk mendeskripsikan semua petani. ―Definisi atau tipologi mengenai kaum
tani‖, ia bilang, ―perlu berurusan dengan berbagai macam ‗campuran‘ dari kelas
petani, ataupun dari kelompok etnis, dalam tata masyarakat yang berbeda‖ (Mintz,
1973).
Dalam paparan kontemporer usaha pendefinisian ini dianggap bermasalah
oleh Henry Bernstein. Persoalan mendasar yang menjadi titik berangkat ialah
kedudukan petani yang lepas dari gagasan romantik mengenai wilayah terisolir.
Posisinya sebagai bagian dari sistem ekonomi, politik, dan budaya yang lebih luas
menuntut mereka menghadapi komodifikasi subsistensi di dalam kapitalisme.
Cara mereka bertahan hidup (subsistensi) telah mengalami komodifikasi.
Komodifikasi ini membuat segala jenis elemen-elemen produksi dan reproduksi
sosial diproduksi untuk, dan didapat dari, pertukaran pasar serta tunduk pada
aturan dan tekanan yang menyertainya (Bernstein, 2010). Hal yang secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
langsung ataupun tidak langsung dapat menempatkan para petani kini untuk
disertakan pula dalam ‗kelas-kelas tenaga kerja‘. Layaknya apa yang dijelaskan
oleh Panitch dan Leys (2001) sebagai ‗sejumlah angka yang meningkat...yang kini
bergantung—secara langsung maupun tidak langsung—terhadap penjualan tenaga
kerja mereka untuk memenuhi reproduksi sehari-hari mereka sendiri.‘ Mereka
harus mengejar usaha reproduksi ini dengan mengikutsertakan diri dalam ranah
kerja upahan atau sektor informal.
Berstein (2010) juga berpendapat bahwa, dari perspektif Marxis,
―terminologi ‗petani‘ (peasant) dan ‗kaum tani‘ (peasantry) hanya berguna dalam
mempertimbangkan struktur masyarakat pra-kapitalis, yang dihuni kebanyakan
oleh keluarga petani skala kecil...dan dalam suatu proses transisi menuju
kapitalisme.‖ Dalam kapitalisme ia mengusulkan suatu pembedaan petani ke
dalam tiga kelas, yakni ―petani kapitalis skala-kecil, produsen komoditas skala
kecil, dan pekerja upahan‖ (Bernstein, 2010). Tawaran untuk melekatkan serta
meleburkan kategori petani dengan produsen komoditas skala kecil yang akan
diambil di sini. Argumen utama yang mendasari ialah kecocokan karakteristik
dengan para petani lahan pantai yang menjadikan produksi komoditas sebagai
sandaran hidup mereka. Bernstein (2010) sendiri menggarisbawahi bahwa
kategori produsen komoditi skala-kecil (petty commodity producers) ini memiliki
karakteristik ganda, yakni sebagai pemilik kapital (dalam bentuk lahan dan
segenap kekuatan produksi lain) sekaligus pekerja bagi dirinya sendiri.
Studi ini sendiri menyandarkan diri pada tawaran pendefinisian Bernstein di
atas. Dengan kata lain melihat petani berada di bawah kategori yang sama dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
produsen komoditas skala kecil. Dalam artian petani di sini dilihat sebagai
pengolah lahan yang telah mengalami komodifikasi subsistensi, yakni
menggantungkan pemenuhan kehidupan sehari-hari mereka melalui integrasi ke
dalam pembagian kerja masyarakat serta berbagai pasar yang lebih luas.
2. Petani Lahan Pantai dan Identitas Petty Commodity Producers
Lahan pasir telah dianggap sebagai urat nadi bagi para petani lahan pantai di
Kulon Progo. Lahan tersebut, yang pada mulanya adalah lahan tandus, menjadi
tumpuan para petani lahan pantai melalui inisiatif-inisiatif yang dilakukan, keluar
dari kemiskinan kronik. Pada paparan berikut kisah historis tentang inisiatif dan
perguliran nasib para petani lahan pantai akan diceritakan dengan menyandarkan
diri pada catatan Yanuardy (2014) dan beberapa sumber lain yang tertaut.
Tahun 1985 merupakan titimangsa penanda keberhasilan penemuan teknik
pertanian lahan pasir pantai setelah berbagai upaya untuk mengubah lahan pasir
sebagai lahan pertanian menemui kegagalan. Berbagai teknik pengairan seperti
sumur renteng (sumur induk yang dilengkapi dengan sumur-sumur kecil yang
dihubungkan dengan pipa), hingga hidrolik dipakai sebagai sarana untuk
mengatasi kendala yang ada. Setelah kerja sama dengan peneliti Universitas Gajah
Mada ditemukanlah pula teknik lain penutupan tanah menggunakan jerami dan
pelapisan tanah liat. Keduanya terbukti membuat tanaman lebih subur.
Produktivitas lahan pasir pun meningkat dari pelbagai upaya yang dilakukan
ini. Kemungkinan akses terhadap lahan yang semula tandus ini pun membawa
para petani ke pembagian penguasaan atas tanah. Pada mulanya para petani tak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
bertanah serta penggembala ternak yang biasa memanfaatkan lahan tersebut
mendapat bagian. Lahan garapan tersebut dihitung dengan sistem ―kotakan‖ (satu
kotak), yang memiliki luasan antara 2000-3000 m2. Bagian yang terluas sekitar
7000 m2.
Pemetaan sederhana yang dilakukan oleh para petani menghasilkan status
tanah menjadi dua, yakni tanah pemajekan (atau tanah yang bersertifikat dan
wajib pajak) dan tanah garapan. Tanah pemajekan ini, sekitar 400-500 m dari
bibir pantai, tidak tergolong kategori lahan pasir dan telah bisa ditanami sejak
dulu, baik tanaman pangan utama (seperti padi, jagung, ubi) maupun buah-
buahan, meski memang tidak sesubur saat ini. Kepemilikan tanah ini ialah warisan
dari nenek moyang para petani serta bersertifikat legal. Sedangkan tanah garapan
ialah lahan pasir yang berbatasan langsung dengan bibir pantai. Lahan ini dahulu
merupakan perbukitan gumuk pasir yang kering serta tandus. Setelah penemuan
teknologi pertanian lahan pasir tanah ini kemudian digarap para petani pesisir
menjadi lahan subur dengan pelbagai tanaman holtikutura: seperti cabai,
semangka, melon, palawija, serta sebagian kecil padi. Inovasi teknologi para
petani ini bergerak maju setelah ditemukan teknik penanggulangan hama dengan
teknik-teknik sederhana tanpa penggunaan bahan-bahan kimiawi. Para petani
pelopor pembaharuan pertanian ini juga berusaha mengembangkan dan
memuliakan bibit cabe sendiri, sehingga ketergantungan terhadap produksi bibit
cabai pabrik menurun.
Tak berhenti sampai di situ para petani juga mengembangkan sistem lelang.
Sistem lelang ini merupakan alternatif guna menjawab keresahan para petani
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
pesisir yang merasa selalu dirugikan oleh tengkulak. Selain itu lelang ini diadakan
guna menurunkan pula frekuensi konflik antarpetani karena ketidaksamaan harga
yang kerap kali dimainkan oleh para tengkulak. Lelang ini dilakukan dengan cara
petani mengumpulkan hasil panen cabai di kelompok tani masing-masing
wilayah. Para pembeli cabai atau tengkulak kemudian diminta menuliskan harga
penawaran terhadap hasil panenan padi dalam sebuah kertas yang kemudian
dimasukkan dalam kotak tertutup. Harga tertinggi dari para pembeli dan tengkulak
yang mengingkan cabai inilah yang lantas menjadi patokan utama untuk harga
dasar cabai di daerah tersebut. Sistem lelang yang diduplikasi di berbagai tempat
di wilayah pesisir ini meningkatkan perolehan para petani.
Para petani pesisir ini lantas membekukan penemuan cara pengolahan lahan
pasir besi ini sebagai sebuah pengetahuan sosial kolektif. Muncul kesadaran
bahwa pengetahuan tersebut harus disebarluaskan agar masyarakat pesisir yang
hidup dalam kemiskinan dapat mengalami perubahan nasib serta memperoleh
kesejahteraan seperti halnya mereka. Melalui ―endong-endongan‖, yang awalnya
merupakan tradisi berkumpul dan bersilaturahmi, suatu forum lokal untuk berbagi
pengetahuan dirintis. Pelbagai organisasi petani juga memanfaatkan forum
tersebut sebagai sarana berembug untuk menentukan berbagai hal. Hal ini
meliputi penentuan musim tanam serta panen agar bisa dimulai secara serentak—
kesepakatan yang mereka telurkan untuk mengatasi hama; cara mengatasi
ketergantungan terhadap sarana produksi pertanian industrial seperti pupuk,
pestisida, dan pembasmi hama; juga penentuan jenis tanaman apa yang ditanam
pada musim tertentu; dan tak lupa, termasuk membicarakan bagaimana strategi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
serta pilihan-pilihan yang memungkinkan untuk membangun gerakan perlawanan
dan lain sebagainya. Terkait dengan perubahan sosial ekonomi pra inisiatif
pengelolaan lahan pasir dan sesudahnya Yanuardy (2014) meringkasnya dalam
tabel sebagai berikut:
Tabel 1
Transformasi Sosial Ekonomi Pra dan Pasca Inisiatif
Aspek Pra-Inisiatif Pasca Inisiatif
Identitas Budaya
dan
Martabat
Disebut wong cubung secara
peyoratif karena dianggap
terbelakang, dan kelas
terendah. secara kebudayaan
termarginalisasi
Petani pioner dan
inovator
pertanian lahan
pasir.
Sistem
Penghidupan
dominan
Pekerja pedesaan; pekerja
migran
Produsen
komoditas skala
kecil dengan
tanaman
holtikultura.
Posisi sosial Dianggap terbelakang;
masyarakat ―kurang
berpendidikan dan kurang
berkembang‖
Menjadi
pembicara dan
pemateri di
berbagai acara
ilmiah di
universitas, LSM,
gerakan sosial dan
media massa.
Tanaman utama Tidak ada, hanya semak-
semak
dan sedikit kelapa.
Cabe, padi,
melon,
semangka, dll.
Proses inisiatif pengelolaan lahan pasir ini, sebagaimana klaim para petani
pesisir bersandar pada pengetahuan sosial kolektif yang mereka dapatkan melalui
pengalaman bertani di lahan pasir. Selain itu proses ini juga mendorong proses
integrasi dan reintegrasi mereka terhadap tanah. Yanuardy (2014) mencatat bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
berbagai proses ini memunculkan pelbagai perubahan-perubahan pada masyarakat
pesisir di daerah Kulon Progo. Ia mencatat setidaknya terdapat tiga perubahan
signifikan yang muncul. Pertama, terjadi reintegrasi masyarakat dengan tanah:
lahan pasir yang dianggap mampu memenuhi keberlangsungan hidup masyarakat
membuat para petani ini terikat kembali kepada tanah mereka dan mendorong
pula adanya arus balik ke pedesaan. Seorang pentolan PPLP sebagai contoh
menyatakan bahwa, ―ia memilih untuk pulang ke desa dan menjadi petani setelah
ia menghabiskan hidup di kota sebagai buruh‖.
Kedua, meningkatnya kesejahteraan petani pesisir: participatory poverty
assessment menemukan bahwa kesejahteraan petani pesisir semakin meningkat
melihat semakin beragamnya dan meningkatnya indikator kesejahteraan seperti
kepemilikan terhadap bangunan rumah, luasan lahan, dan jumlah modal bertani
serta kepemilikan perhiasan (Shohibuddin dan Savitri, 2009 dalam Yanuardy,
2014). Di tahun 2012, dalam acara Panen Raya yang bertajuk ―Merayakan
Bu(di)daya Pertanian Kita: Bertani atau Mati‖, organisasi petani mengklaim
bahwa hasil panen di setiap desa pesisir berkisar antara 8-9 ton/hari dengan nilai
sekitar Rp 15.000/kg, serta mengemukakan bahwa mereka memiliki setidaknya
Rp. 130 juta rupiah setiap kali musim panen.
Ketiga, sebagai salah satu implikasi yang muncul karena inisiatif
pengelolaan lahan pasir ini ialah meningkatnya martabat dan harkat penghuni
daerah pesisir. Hal ini dimungkinkan bukan hanya karena akumulasi berbasis
pertanian yang mereka lakukan melainkan karena mereka dipandang sebagai
penggagas serta penemu teknik pertanian di lahan pasir. Citra ini mendorong para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
petani tersebut untuk diundang menjadi pembicara atau pemateri dalam pelbagai
forum-forum ilmiah di kampus, organisasi masyarakat sipil, media massa ataupun
gerakan sosial. Pembicaraan dengan tema-tema yang beragam mulai teknologi
pertanian lahan pasir, sistem lelang, maupun organisasi perlawanan bukanlah hal
yang asing bagi mereka.
3. Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP)
Area konsesi pertambangan seluas hampir 3000 hektare yang akan dikeruk
PT. Jogja Magasa Iron dalam kasus pertambangan pasir besi di Kulon Progo
menyentuh relung kehidupan para petani lahan pantai. Setidaknya delapan desa
beserta lahan garapan yang telah mereka tanami selama bertahun-tahun akan
terkena dampak pertambangan. Yanuardy (2014) menamai proses ini dengan
‗proyek perampasan tanah‘ dengan argumen ―karena perampasan tanah secara
aktual terhadap seluruh tanah di tapak proyek belum terjadi.‖ Penangguhan
proyek perampasan tanah ini karena munculnya gerakan tandingan dari para
petani lahan pantai. Pada 1 April 2017, para petani dari berbagai kelompok tani
membentuk perkumpulan bernama Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP)
sebagai sarana konsolidasi melawan pertambangan pasir besi.
Dalam catatan harian seorang anggota PPLP yang telah dibukukan, Widodo
(2012) dapat dilihat bahwa PPLP memang terlahir dari rahim perlawanan terhadap
proyek pertambangan pasir besi. Ia mencatat:
―Selanjutnya pada tanggal 1 April 2007 terbentuklah sebuah wadah
petani yang bernama ―Paguyuban Petani Lahan Pantai‖ (PPLP) Kulon
Progo. Seorang petani mencoba memberanikan diri dan sekarang
sudah dianggap sebagai petani pemberani yang bernama Sukarman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
dari desa Bugel yang juga merupakan salah satu desa di pesisir Kulon
Progo. Mengundang seluruh kelompok tani yang berada di pesisir
Kulon Progo, yang notabene akan menjadi korban pembantaian
tambang untuk berkumpul di rumahnya, membahas semua kejadian-
kejadian terkait dengan situasi pesisir saat itu terutama tentang
rencana penambangan yang pasti menggusur tempat mereka hidup dan
menghidupi keluarganya. Pada hari itu muncul tiga opsi untuk dipilih
oleh peserta rapat, yaitu:
1. Menerima tambang besi
2. Menerima dengan syarat
3. Menolak harga mati dengan berbagai alasan
Tanpa dikomando dan dikoordinir peserta rapat pada siang itu
serentak menyatakan memilih pilihan yang ke-3 yaitu: ‖Menolak
harga mati dengan berbagai alasan‖. Sehingga tanpa meninggalkan
proses kolektif maka keputusan diambil dengan pilihan angka tiga.
Tidak hanya modal otot, petani di sini sudah mulai berpikir tentang
kelangsungan hidup mereka dan anak cucu serta kehidupan di masa
mendatang. Mereka (petani) berpikir ketika alam memberi manfaat
maka mereka harus bisa menjaga dan melestarikan dan juga
sebetulnya bahwa yang bisa meredam kemurkaan alam juga cuma
alam itu sendiri. Mereka tidak selalu berpikir bahwa kekayaan adalah
segala-galanya. Kehidupan yang tenteram damai dan sejahtera itu cita-
cita mereka.‖
Yanuardy (2014) mencatat bahwa basis sosial paling utama dari PPLP
adalah para petani lahan pasir yang menggantungkan hidupnya dari pertanian
lahan pasir di sepanjang pesisir Yogyakarta. Ia menggarisbawahi bahwa para
petani ini bertransformasi dari kelompok miskin pedesaan menjadi produsen
skala-kecil (petty commodity producers). Para petani ini meski tidak mempunyai
lahan dalam skala luas dapat menghasilkan komoditi untuk dilepas ke pasar.
Pengolahan lahan pesisir ini turut memanfaatkan berbagai suplai tenaga kerja
seperti buruh tani, pekerja musiman, perempuan yang bekerja di rumah tangga di
desa-desa yang menggantungkan hidupnya pada usaha tani persawahan dari desa-
desa di Kabupaten Kulon Progo. Bagi beberapa petani hal ini turut menumbuhkan
rasa bangga karena mendongkrak posisi serta citra sosial mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Yanuardy (2014) juga menggarisbawahi bahwa ciri penting yang menandai
transformasi pedesaan di daerah pesisir ialah ―akumulasi kekayaan yang
didapatkan melalui pengelolaan sumber daya bersama beserta reproduksinya
terus-menerus‖. Menurut Yanuardy, akumulasi kekayaan ini memungkinkan para
petani lahan pasir untuk menimbang-nimbang trade-off yang muncul dari
perbandingan antara pertambangan dengan usaha tani lahan pantai yang sejauh ini
mereka kerjakan. Lebih lanjut bagi Yanuardy, ―sangat mudah bagi PPLP untuk
memutuskan untuk sama sekali menolak proyek pertambangan pasir besi tersebut‖
berdasar penaksiran atas keuntungan yang dilakukan.
Hadirnya PPLP bukan dipergunakan untuk wadah pengorganisasian massa
untuk menolak pertambangan saja tetapi juga sebagai wadah untuk berembug
dalam penentuan kesepakatan-kesepakatan sosial-ekonomis melalui adanya forum
yang dinamakan endong-endongan. Forum ini membahas pula pelbagai
pertimbangan atas keputusan serta pilihan strategi yang akan digunakan oleh
organisasi dalam bertahan dari gempuran tambang. Hal lain yang turut diatur
dalam wadah ini ialah terkait wewenang, peran serta tugas para petani yang
terlibat dalam paguyuban. Salah satu yang terpenting ialah persoalan aturan,
pengelolaan, serta batasan terhadap pihak-pihak dari luar paguyuban maupun dari
anggota paguyuban yang boleh terlibat, beraliansi maupun bergabung ke dalam
gerakan perlawanan mereka. PPLP dengan demikian menempati posisi sebagai
‗pintu masuk‘ bagi orang ‗luar‘ untuk menjalin hubungan dengan gerakan
perlawanan petani pesisir Kulon Progo. Menurut beberapa aktivis PPLP, seperti
yang dicatat Yanuardy (2014) hal ini dianggap penting karena organisasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
berulangkali disusupi orang-orang ‗titipan' yang berusaha membuat gerakan
perlawanan ini mengendur. Di sisi lain, sebagai palang pintu, mereka juga
menaruh sikap tegas pun selektif terhadap berbagai kalangan yang hendak
menjalin jejaring serta membantu mereka seperti NGO/LSM lokal, nasional
maupun internasional. Menempati posisi sentral membuat PPLP tidak bisa
menerima kelompok LSM/NGO bila sudah menyentuh persoalan pengorganisiran
warga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
B. Pengambilan Keputusan
Hammond, Mcleland, dan Mumpower (1980), menyergah dengan studinya
mengenai pengambilan keputusan yang mengandalkan pada dua gagasan utama:
ekonomi dan psikologi. Dalam ekonomi, orang dipercaya mengambil keputusan
dalam suatu tindakan rasional (secara umum berkaitan dengan menerima atau
tidak menerima suatu alternatif) karena mereka mengacu pada nilai tertentu
(utilitas) dan berdasar kepercayaan tentang mungkin tidaknya sebuah kejadian
terjadi (probabilitas). Pandangan ini memunculkan apa yang dinamakan dengan
―manusia rasional‖. Gagasan yang menjadi acuan para ekonom guna
mengeksplorasi konsekuensi dari pilihan serta tindakan—yang bersandar pada
berbagai macam kegunaan subjektif (utilitas) dan kepercayaan (beliefs). Psikolog,
di lain sisi, ingin mengetahui apa yang menjadi sumber kepercayaan, harapan,
serta preferensi dibandingkan hanya untuk mengeksplorasi apa konsekuensi dari
bersandar pada tiga hal tersebut.
Sebetulnya pembicaraan mengenai pengambilan keputusan secara umum
akan beredar pada dua hal utama, yakni pengambilan keputusan yang berdasar
pada pengetahuan dengan ukuran saintifik dan hal yang berdasar pada nalar
umum. Bila mengikuti paparan Edwards (1954) kajian mengenai pengambilan
keputusan terlihat menaruh risiko sebagai salah satu isu sentral. Bila kita sejenak
menilik survei teoretis yang dilakukan Edwards (1954) ada dua hal utama yang
dijadikan fokus, yakni pengambilan keputusan yang tidak disertai risiko dan
pengambilan keputusan yang disertai risiko.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Berkenaan dengan yang pertama, terdapat asumsi yang melandasi teori dari
pilihan tanpa risiko ini, yakni subjek pengambil keputusan yang dijelaskan dalam
teori ini adalah ‗seorang manusia ekonomi‘. Manusia ekonomi ini setidaknya
memiliki tiga kriteria: (1) memiliki informasi yang lengkap (2) berwatak sensitif
secara tak terbatas (infinitely sensitive) dan (3) bersifat rasional (Edwards, 1954).
Karakteristik pertama mengarah pada asumsi bahwa manusia ekonomi sang
penentu pilihan ini mengetahui tidak hanya berbagai alternatif tindakan yang ia
punyai tetapi juga kemungkinan hasil dari setiap tindakan yang ia lakukan.
Karakteristik kedua berkaitan dengan pandangan bahwa alternatif yang ada bagi
individu muncul terus-menerus, mengikuti fungsi infinitely divisible, bahwa harga
dapat dibagi secara tak terbatas, dan bahwa manusia ekonomi memiliki
sensitivitas terhadap hal tersebut secara tak terbatas. Hal-hal ini demi menyokong
fungsi yang mereka susun bersifat kontinu (continous) dan dapat diturunkan
(differentiable).
Karakteristik ketiga adalah rasionalitas, yang mengacu pada dipenuhinya
dua hal, yakni manusia ekonomi (1) dapat mengatur preferensinya atas alternatif
yang ia dapatkan (weak ordering) dan (2) ia dapat memilih guna memaksimalkan
sesuatu. Guna melakukan pengaturan preferensi ada hal yang diandakan, yakni ia
dapat mengatakan preferensinya atas dua hal dan bahwa preferensi bersifat
transitif (jika individu memilih A dibandingkan B, dan B dibandingkan C, maka ia
harusnya memilih A bila diperbandingkan dengan C). Pemenuhan atas gagasan
bahwa manusia ekonomi akan membuat pilihan dengan suatu cara untuk
memaksimalkan sesuatu adalah asas dasar dari teori pilihan (theory of choice).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Dalam kasus teori pilihan tanpa risiko apa yang dimaksimalkan adalah kegunaan
subjektif (utility) dari sesuatu. Muatan mendasar dari gagasan memaksimalkan
(maximation) ini ialah bahwa manusia ekonomi selalu memilih alternatif terbaik
dari semua pilihan yang tersedia baginya.
Pandangan mengenai alternatif terbaik ini akan membawa kita pada gagasan
teoretikus Jeremy Bentham (dalam Edwards, 1954) yang memegang pandangan
bahwa tujuan dari tindakan manusia adalah mencari kenikmatan dan menghindari
kesakitan. Setiap objek ataupun tindakan akan dipertimbangkan dari sudut
pandang yang mellihat apakah sifatnya memunculkan kenikmatan atau rasa sakit.
Sifat ini terkadang disebut pula sebagai kegunaan subjektif (utility) dari suatu
objek. Tujuan dari sebuah tindakan merunut cara pandang ini ialah guna
memaksimalkan kegunaan subjektif. Gagasan hedonisme terkait kondisi di masa
yang akan datang ini yang secara implisit tercantum dalam teori pilihan yang
bersandar pada kegunaan subjektif (utility). Perihal teori ini, Edwards memberikan
catatan bahwa ada beberapa hal yang akan tampak dalam observasi biasa yang
dilakukan psikolog ketika mencoba mengamati proses pilihan tanpa risiko ini
dalam situasi eksperimental. Pertama dan terutama adalah bahwa manusia
tidaklah secara sempurna bertindak konsisten ataupun memiliki sensitivitas yang
sempurna. Kita bisa menambahkan apa yang telah dikemukakan Vlek (1938)
terkait pilihan tanpa risiko ini. Dalam pilihan tanpa risiko penentu keputusan
dihadapkan pada kepastian mengenai konsekuensi dari masing-masing pilihan
yang mungkin diambil. Esensi dalam pilihan jenis ini adalah memilih dari
tindakan yang akan dilakukan (course of action). Dalam hal ini ketidakpastian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
akan konsekuensi hanya muncul dalam rentang antara penentuan pilihan dan saat
individu akhirnya mengalami hasil dari pilihannya.
Mengenai pilihan yang disertai dengan risiko Edwards (1954) terlebih
dahulu menjelaskan perbedaan antara risiko (risk) dengan ketidakpastian
(uncertainty). Ia memberikan dua contoh untuk mengurai dua konsep tersebut. Ia
menjelaskan konsep risiko dengan memberi gambaran bahwa kebanyakan orang
akan setuju bahwa probabilitas seseorang mendapatkan gambar saat melempar
koin adalah sebesar 0,5. Proposisi mengenai sesuatu yang akan terjadi di masa
yang akan datang dimana angka dapat dikenakan pada proposisi, yang
merepresentasikan kemungkinan bahwa proposisi itu bernilai benar, tersebut
dinamakan risiko tataran-pertama (first order risk). Dalam kesempatan lain,
seseorang bisa saja bersumpah, bahwa bila ia mendapatkan gambar saat melempar
koin ia akan memasukkan koinnya ke dalam saku, sedangkan bila angka yang
muncul ia akan melempar kembali koin itu. Dalam kondisi seperti ini, proposisi
‗aku akan mendapatkan angka saat melempar koin untuk kali kedua‘
mengisyaratkan adanya dua fungsi distribusi probabilitas. Pertama, probabilitas
yang mengarah pada lemparan pertama dan yang probabilitas yang mengarah
pada lemparan kedua. Gagasan ini dinamakan risiko tataran-kedua (second order-
risk).
Sedangkan ketidakpastian terlukiskan dari contoh yang menunjukkan
proposisi mengenai masa yang akan datang tanpa probabilitas yang dikenakan
terhadap proposisi tersebut. Sebagaimana yang terlukiskan dalam kemungkinan
proposisi berikut ini bernilai benar: segera setelah saya membaca paragraf ini saya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
akan meminum sekaleng bir. Pernyataan tersebut bisa saja bersifat sudah pasti
ataupun bisa juga tidak mungkin, sehingga probabilitasnya berkisar di rentang
antara satu dan nol, tetapi tak ada cara untuk mengetahui probabilitas dari
pernyataan tersebut dan menyusun suatu aturan umum untuk mengetahuinya.
Proposisi tersebut dianggap sebagai salah satu contoh ketidakpastian
(uncertainty).
Dalam koridor pilihan yang disertai risiko Edwards (1954) mencatat bahwa
gagasan ini akan mengikuti usaha memaksimalkan kegunaan subjektif yang
diharapkan (expected utility) dibandingkan nilai harapan (expected value). Hal ini
lantaran nilai harapan berkontradiksi dengan berbagai perilaku dalam konteks
situasi berisiko. Seperti yang terlihat dari kemauan seseorang untuk membeli togel
meskipun tahu penjual togel juga berusaha mendapatkan untung. Gambaran
mengenai ini juga bisa dilihat dari paradox St. Petersburg yang menggambarkan
bagaimana anehnya nilai harapan yang 'terdorong sampai tak terhingga‘ ketika
seseorang menghadapi sebuah judi koin—yang dapat dipertukarkan dengan
sejumlah uang ‗yang terhingga‘ untuk mengikuti judi tersebut. Munculnya
gagasan mengenai kegunaan subjektif menjadi salah satu usaha penyelesaian
paradoks ini. Sebagaimana seperti yang dipaparkan Daniel Bernoulli (1954),
―kegunaan subjektif (utilitas), betapapun, bergantung pada suatu situasi tertentu
dari orang yang membuat perkiraan.‖ Ia kemudian memberi penekanan, ―dengan
demikian tak disangkal lagi bahwa mendapatkan seribu keping emas bernilai lebih
signifikan bagi seorang yang miskin dibandingkan seorang yang kaya raya
meskipun sesungguhnya keduanya mendapatkan jumlah yang sama.‖
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Sedang dalam pandangan yang lain Vlek (1938), mengingatkan bahwa teori
pengambilan keputusan yang bersandar pada proses statistis hanya dapat
diaplikasikan hanya pada suatu kelompok tertentu dari suatu problem yang telah
terdefinisikan secara baik (well-defined) atau bersifat tertutup. Apa yang disebut
terakhir berarti diketahuinya segala konsekuensi hasil yang mungkin muncul.
Dengan kata lain pula diketahuinya segala kontingensi—segala kemungkinan
yang kemunculannya mengubah hasil akhir—menjadi penentu dari segala
konsekuensi yang mungkin muncul dari suatu tindakan yang diambil. Pilihan
istilah kontingensi dipakai Vlek untuk mengindikasikan, sebagai contoh, bahwa
suatu tindakan yang diambil oleh orang lain selain individu penentu keputusan
turut diikutsertakan dalam pertimbangan. Padahal dalam kehidupan nyata hanya
sedikit saja keputusan yang terdefinisikan secara baik (well-defined). Kasus yang
masuk ke dalam kategori sedikit itu pun sangat mungkin dibantu oleh praktik lain
yang dijadikan dasar ataupun mengalami penyederhanaan. Kemungkinan
simplifikasi atas masalah yang muncul ini membawa implikasi lain. Sebuah
penegasan bahwa individu secara umum tak akan mampu untuk memilih jalannya
tindakan mereka dalam rangka memaksimalkan kegunaan subjektif yang mereka
harapkan (expected utility). Sebagai gantinya mereka akan mencoba mencukupkan
diri (satisfice). Semisal memilih suatu proses yang membawa mereka memenuhi
suatu standar yang dapat dianggap sebagai hasil yang ―cukup baik‖. Masih
berkaitan erat, Simon mengusulkan konsep ―bounded rationality‖ yang mengarah
pada penjelasan bahwa individu penentu keputusan, dikarenakan keterbatasan
kapasitas mereka dalam memroses informasi, akan mengembangkan suatu model
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
yang disederhanakan dalam suatu tugas guna bisa berlaku secara rasional. Sejauh
mana penyederhanaan terjadi bergantung pada proses belajar, persepsi, serta
proses berpikir individu penentu keputusan (Simon, 1957).
Keterbukaan atas logika tertutup ini akan membawa pembahasan mengenai
pengambilan keputusan ke dalam penyusunan model yang lebih realistis. Bresson
dan Matalon (1969, dalam Vlek, 1938) menekankan bahwa model pengambilan
keputusan yang realistis perlu mempertimbangkan setidaknya enam hal. Pertama,
bahwa keputusan bukanlah sebuah tindakan yang unik, tetapi merupakan suatu
proses kompleks yang terjadi pada suatu waktu. Kedua, keputusan dapat dipecah
menjadi pilihan-pilihan dasar. Ketiga, kapanpun saja penentu keputusan tidak
perlu mempertimbangkan seluruh alternatif yang ada; area pilihan yang dia hadapi
akan bervariasi dalam prosesnya. Keempat, suatu pilihan dasar mungkin untuk
dipertimbangkan ulang; penentu keputusan dapat kembali pada titik awal dalam
prosesnya. Kelima, dimensi kegunaan subjektif dan kriteria yang dipakai guna
memperbandingkan alternatif bisa bervariasi seturut waktu. Keenam, penundaan
pengambilan keputusan bisa saja merugikan.
Vlek (1938) sendiri mencatat bahwa pengambilan keputusan memiliki ciri
khusus, yakni alternatif tindakan dan pilihan hanya dapat dievaluasi berdasarkan
kegunaan subjektif yang diinginkan (expected utility) berkaitan dengan solusi
yang diinginkan atas permasalahan yang dihadapi. Hal ini karena pengujian aktual
atas pilihan disertai alokasi sumber daya yang tidak bisa diubah. Selain itu,
pengujian terhadap alternatif pilihan tidak selalu langsung memberikan hasil,
karena konsekuensi yang mungkin muncul akan dirasakan di masa yang akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
datang. Terkait dengan solusi pun ada hal yang cukup rumit, semisal dipenuhinya
kegunaan subjektif yang diinginkan (expected utility), tidak serta merta akan
mendapat label sebagai konsekuensi yang paling menarik dari berbagai
konsekuensi yang dapat dipikirkan. Begitu pula, tindakan paling optimal mungkin
saja tidak menghasilkan konsekuensi terbaik dari segala konsekuensi yang
mungkin muncul. Vlek, menggarisbawahi, ―suatu keputusan yang baik tidak serta
merta menghasilkan sebuah hasil yang baik pula.‖ Kesemuanya ini
menggarisbawahi bahwa dalam pengambilan keputusan pemilihan suatu tindakan
yang akan dilakukan merupakan suatu bentuk komitmen penentu keputusan
dengan masa depan—yang seringkali bersifat tidak pasti.
Persoalan trayektori komitmen akan kondisi di masa depan ini menjadi
penting karena ini akan menjadi kunci dari apa yang menjadi sentral dalam sebuah
pengambilan keputusan: perumusan problem. Vlek (1938) menganggap salah satu
hal yang penting dalam pengambilan keputusan ialah penentuan sesuatu yang
dianggap sebagai problem (sehingga harus diputuskan). Perlu dilihat di sini
apakah pengambilan keputusan mengikuti alur umum terkait perlu adanya
‗problem‘, yakni suatu kesenjangan antara kondisi terkini dengan suatu keadaan
yang diinginkan, yang mendorong individu membangun motivasi guna
memperkecil kesenjangan yang ada. Bila sebuah pengambilan keputusan
ditentukan berdasar seleksi atas tindakan yang akan dilakukan yang bertolak dari
suatu keadaan terkini (status quo yang dimiliki individu) ke arah keadaan yang
diinginkan, perlu kiranya adanya pengetahuan relevan yang cukup atas kondisi
terkini individu penentu keputusan. Titik mula situasi ini menjadi relevan bagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
tugas menentukan suatu keadaan yang memiliki nilai kegunaan subjektif (utility)
lebih tinggi dari keadaan terkini di mana individu penentu keputusan sekarang ini
berada. Status quo di mana individu penentu keputusan berada sekarang bisa saja
memburuk secara objektif sehingga mendorong individu untuk mencari alternatif
yang lebih baik. Ataupun status quo yang ada sebenarnya tak berubah tetapi
menjadi dilihat secara berbeda karena adanya perubahan dari sistem nilai yang
diacu individu.
Apa yang dikemukakan terakhir ini secara tidak langsung hal
menggarisbawahi pentingnya sistem nilai yang diacu individu penentu keputusan.
Sistem nilai yang diacu individu penentu keputusan, mengungkapkan suatu
preferensi yang ia miliki. Sistem nilai yang ia pakai juga merefleksikan aspek
informasional yang beredar di lingkungannya. Keterkaitan implisit antara
informasi dan sistem nilai ini ditekankan Vlek (1938) yang menekankan bahwa
‗sesuatu perlu diketahui terlebih dahulu sebelum hal tersebut dievaluasi
(berdasarkan sistem nilai tertentu) dan hanya suatu hal yang dievaluasi (berdasar
nilai subjektif) tertentu yang akan terpilih untuk disimpan (sebagai suatu
informasi) dan diingat.‘ Situasi terkini yang dihadapi individu penentu keputusan
akan terepresentasikan pula dalam sistem nilai yang ia acu.
Berkenaan dengan ini kita bisa melongok sebentar terhadap pendapat
Henrich (2002) yang melihat kunci pemahaman atas pola perilaku pengambilan
keputusan yang berdasar pada penaksiran untung-rugi akan menekankan pada
pembahasan mengenai pengintegrasian persepsi individu (atau evaluasi atas
informasi yang dilakukannya) atas suatu problem tertentu dengan preferensi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
kepercayaan (beliefs), dan juga ekspektasi mereka. Dengan begitu ―dengan
memahami lebih tentang bagaimana individu mendapatkan informasi kultural dari
pikiran orang lain (dalam bentuk gagasan, perilaku, kepercayaan, nilai dan cara
pandang terhadap dunia), kita akan bisa menyediakan baik penjelasan pelengkap
ataupun alternatif terhadap pola perilaku, adaptasi (juga di dalamnya maladaptasi),
perubahan, tradisi, serta evolusi kultural.‖
Merunut pelbagai paparan mengenai pengambilan keputusan di atas studi ini
mencoba mengerucutkan pengertian pengambilan keputusan dalam penelitian ini.
Pengambilan keputusan dalam penelitian ini dimengerti sebagai usaha penentuan
suatu hal sebagai problem, sehingga harus diputuskan, yang memuat penafsiran
subjektif berbasis penaksiran kegunaan subjektif (utilitas) maupun suatu
kepercayaan yang disertai penaksiran atas risiko dalam prosesnya.
C. Dinamika Pengambilan Keputusan Petani
Kebebasan selalu menyelipkan sebuah pilihan dan risiko. Jean Paul Sartre,
dalam salah satu kuliahnya pada 1946 pernah mengungkapkan, ―Aku akan selalu
dapat memilih, tetapi aku juga harus tahu bahwa jika aku tak memilih pun, itu
tetaplah sebuah pilihan.‖ Bagi Sartre pilihan adalah sebuah risiko, sebuah risiko
dari kebebasan. ―Manusia,‖ ia bilang, ―terkutuk untuk menjadi bebas. Terkutuk,
karena ia tidak menciptakan dirinya sendiri, namun meskipun demikian memiliki
kemerdekaan, dan sedari saat ia terlempar ke dunia ini ia bertanggung jawab atas
segala hal yang dilakukannya.‖ Kebebasan menyuguhkan kebebasan akan pilihan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
dan kebebasan memilih menuai tanggung jawab atasnya. Tanggung jawab ini
menurut Sartre (1958) memunculkan kecemasan yang ia gambarkan layaknya
orang yang berdiri di tepi jurang yang curam. Sartre menegaskan bahwa apa yang
membuat orang tersebut cemas bukanlah karena ia bisa saja terjatuh, tetapi karena
ia memiliki kebebasan untuk melemparkan dirinya sendiri ke arah jurang.
Kita bisa menafsir bahwa, bagi Sartre pilihan itu radikal. Sebuah pilihan
akan membawa kita ke ceruk terdasar keinginan seseorang. Sebagaimana
ilustrasinya tentang seorang pelajar yang menghadapi dilema untuk meninggalkan
rumah dan berjuang bagi perlawanan rakyat atau tinggal di rumah guna mengurus
ibunya yang sedang menderita. Tidak dapat dipertanyakan lagi bahwa pelajar
tersebut perlu mengambil keputusan, namun demikian menurut Sartre tak ada
dasar untuk menentukan pilihan mana yang perlu diambil. Pelajar itu dalam
‗keadaan ditinggalkan‘, ‗terkutuk untuk bebas‘, dan karena itu perlu membuat
suatu keputusan yang sembarang. Ia harus memilih satu pilihan atau pilihan yang
lain tanpa perlu adanya pembenaran atau pertimbangan.
Sartre menyokong gagasan bahwa semua pilihan pada akhirnya tidak
memilki suatu dasar karena dengan demikian, mengacu pada pandangannya, hal
tersebut menyingkapkan suatu citraan mendalam dari kebebasan. McGill (1949)
melihat ini sebagai ‗olok-olok terhadap peran masa lalu dan stimulus yang hadir
pada saat pilihan diambil, hingga mendorong keputusan sebagai suatu misteri‘. Di
sisi lain, Karl Marx dalam Brumaire Kedelapan-belas Louis Bonaparte (1852),
telah mengingatkan akan hal ini. Bahwa ―manusia membuat sejarahnya sendiri,
tetapi mereka tak melakukannya semau mereka sendiri. Mereka tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
membuatnya dalam keadaan yang mereka pilih sendiri, melainkan dalam keadaan
yang secara langsung dihadapi, terberikan, dan tersalurkan dari masa lalu‖. Marx
melanjutkan dengan penekanan, ―Tradisi seluruh angkatan yang mati memberat
bagaikan mimpi buruk dalam otak mereka yang hidup.‖
Kredo tersebut layak disematkan sebagai landasan pembahasan
pengambilan keputusan petani. Bahwa, pengambilan keputusan petani dalam
rangka mengukir sejarah mereka sendiri perlu ditempatkan dalam suatu konteks
tertentu yang menjadi prasyarat bagi kemungkinan atau ketidakmungkinan usaha
mengukir nasib tersebut. Untuk lebih memperdalam pemahaman atas
pengambilan keputusan kita akan mengikuti paparan Sutti Ortiz (1967) mengenai
petani berbahasa Paez di Kolombia. Dalam paparan berikut rujukan kepada
argumen yang dikemukakan Ortiz akan mengacu pada studi Ortiz tersebut (Ortiz,
1967). Bila merunut paparan Ortiz (1967) kita bisa melihat bahwa perubahan
suatu teknik/teknologi akan mempengaruhi relasi sosial yang menjadi sandaran
bagi pertanian yang rasional di suatu lingkungan petani. Ortiz menekankan bahwa
suatu ―perilaku ekonomi tidak bisa diperlakukan secara terpisah dari konteks
sosial yang menjadi tempat hal tersebut terjadi‖ (Ortiz, 1967). Kontribusi yang
dapat diberikan kemudian terletak tidak hanya pada usaha mendaftar faktor-faktor
sosial dari produksi yang mungkin saja diabaikan ekonom, tetapi juga mencoba
menguraikan struktur dari situasi tempat petani harus membuat keputusan-
keputusan berkenaan dengan produksi begitu pula proses dari pengambilan
keputusan itu sendiri. Lantaran faktor-faktor sosial mungkin saja memengaruhi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
faktor-faktor produksi dengan cara yang berbeda berkenaan dengan seluruh
konteks sosial dan ekonomi tempat segala hal itu beroperasi.
Ortiz (1967) dalam kajiannya menekankan bahwa ―kehati-hatian dan alokasi
sumber daya secara rasional yang dilakukan petani telah memberikan mereka
suatu adaptibilitas yang besar terhadap pengaturan ekonomi yang harus bersaing
dengan ekonomi petani yang mendapat informasi secara lebih baik dan lebih
terkapitalisasi.‖ Paparan ini menjadi isyarat bahwa ada rasionalitas yang dijadikan
sandaran pengambilan keputusan petani. Namun, proposisi rasionalitas ini tidak
seturut dengan kerangka acuan ekonomi secara umum. Hal ini karena ‗preferensi‘,
atas pilihan, biasanya ―diukur berdasarkan pengkajian atas kemungkinan hasil
yang didapat (dari pilihan tersebut)‖ sedangkan pada kehidupan petani berlaku
juga pola lain. Semisal, dalam penentuan pertukaran tenaga kerja, guna
menggarap lahan, satu tipe tertentu dipilih bukan karena efisiensi melainkan
karena merupakan ―suatu cara yang lebih dapat ditanggung‖ dalam penyelesaian
suatu pekerjaan. Walhasil penaksiran mengenai keuntungan bukan hanya berdasar
pada hasil yang diperoleh tetapi juga soal ketepatgunaan. Dengan melihat ini perlu
kiranya bahwa keuntungan jenis ini turut disertakan dalam pembahasan mengenai
keuntungan yang didapatkan.
Apa yang disebut terakhir ini juga perlu kita tilik ulang karena dengan
demikian dalam kehidupan petani kita bisa berargumen bahwa apa yang
didapatkan tidak harus selalu dalam bentuk yang pasti. Ortiz mengingatkan, ―hasil
tidak harus dalam bentuk prospek riil tetapi bisa juga dalam bentuk ekspektasi
atas prospek‖ (Ortiz, 1967). Karena bila kita lihat dalam kehidupan petani lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
jauh, petani memiliki pelbagai ekspektasi terkait berbagai kemungkinan dan
mengevaluasi mana dari sekian hal tersebut yang lebih memungkinkan untuk
terjadi. Ortiz (1967) sendiri berdasar studinya menggarisbawahi bahwa petani
menyesuaikan keputusannnya terhadap suatu rentang ekspektasi dan tidak hanya
bersandar pada satu saja hasil yang memungkinkan untuk didapat. Semisal dalam
hal ekspektasi akan keuntungan dari panen petani akan bergantung pada
penaksiran akan kondisi iklim, problem teknis, fluktuasi harga, dlsb.
Berkenaan dengan ini yang perlu ditandai ialah petani harus mengevaluasi
secara subjektif pelbagai kemungkinan yang terentan. Ia juga tidak bisa secara
pasti mengestimasi dengan penuh keyakinan mana dari sekian hal tersebut yang
lebih mungkin terjadi. Problem ini yang menandai bahwa keputusan dalam ranah
pertanian dibuat dalam kondisi ketidakpastian. Berdasar hal tersebut secara intuitif
kita bisa memberi penekanan bahwa tingkat ketidakpastian begitu penting dalam
penentuan pilihan yang akan diambil oleh petani. Telah dibilang bahwa dalam
kondisi seperti itu pengambilan keputusan tak bisa bersifat rasional. Akan tetapi
paparan Das Gupta (1964 dalam Joy, 2008) dapat menangkal keberatan ini.
Das Gupta dalam penelitiannya tentang petani di Punjab (1964 dalam Joy,
2008), mengilustrasikan bahwa dalam hal penolakan terhadap inovasi yang
tampaknya irasional ternyata konsisten dengan keinginan para petani untuk
menghindari meningkatnya risiko yang dihadapi. Dalam paparannya Das Gupta
menunjukkan bahwa pola tanam para petani Punjab nampak efisien. Hal ini dalam
arti telah terlihat bahwa tak ada kemungkinan untuk meningkatkan hasil pertanian
yang dapat diraih tanpa disertai peningkatan risiko.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Para petani mengacu pada paparan Das Gupta (1964 dalam Joy, 2008)
menunjukkan bahwa mereka mengikuti suatu sistem yang menunjukkan adanya
penghindaran atas risiko (risk aversions). Ilustrasinya bisa dipaparkan sebagai
berikut. Bila petani meningkatkan masukan benih, pupuk, atau insektisida maka
kemungkinan besar petani akan mendapatkan hasil yang lebih besar dibandingkan
biaya jangka panjang yang dikeluarkan. Akan tetapi, bila di tahun ketika biaya
(modal) yang dikeluarkan tidak dapat ditutupi maka kerugian serta hutang yang
harus ditanggung menjadi begitu tidak terbayangkan. Terutama bila hal tersebut
dibandingkan dengan sistem tradisional yang telah biasa dipakai. Melalui paparan
tersebut, sebagaimana yang ditekankan Ortiz (1967), kita bisa melihat bahwa
rendahnya pendapatan kotor dari luaran (output) ekonomi petani tak bisa
dilekatkan secara sederhana pada kurangnya kemampuan atau pada penghematan
yang dilakukan petani. Demikian pula citra bahwa petani memberi penghargaan
yang lebih tinggi atas waktu luang dibanding bekerja.
Dengan kata lain, seperti yang digarisbawahi Joy (2008), bahwa petani
dapat menghadapi risiko yang mungkin mengorbankan pelbagai aset-aset yang
tidak produktif (seperti uang, lembu, atau perhiasan) yang dapat menghasilkan
suatu aset likuiditas pencegahan yang tak ternilai harganya untuk aset-aset
produktif yang mereka mungkin lihat secara potensial sebagai suatu perjudian
yang merugikan. Perjudian ini akan semakin buruk jika, karena inovasi yang
mereka ambil, mereka menjadi diasingkan dari komunitas mereka dan kehilangan
jejaring jaminan sosial. Dengan demikian, kondisi tanpa adanya kepastian dapat
yang kerap dihadapi petani tidak serta merta membuat keputusan yang dihasilkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak rasional. Kenneth J. Arrow (1951)
juga memberikan penekanan yang dapat dijadikan dasar terkait hal ini ketika
menyatakan bahwa, ―dalam kenyataannya mayoritas keputusan dibuat dalam
kondisi penuh ketidakpastian.‖
Rasionalitas menyiratkan bahwa ketika seorang aktor di sini, dihadapkan
pada sekumpulan alternatif tindakan ia akan mengevaluasi dan mengurutkannya
berdasarkan preferensi khusus yang ia pegang. Ia akan memilih suatu tindakan
yang ia taruh paling atas dalam urutan yang ia buat. Dengan kata lain, ia akan
mencegah dirinya untuk mengabaikan dan tidak memilih tindakan yang sejatinya
paling ia gemari. Di sini, Ortiz (1967) mengingatkan, bahwa sama pentingnya
untuk mempertimbangkan tentang apa yang harus direlakan sebagaimana halnya
tentang apa yang akan ia terima. Ini mengingat preferensi memungkinkan untuk
secara erat tersusun ataupun terkait ke dalam pasangan-pasangan atau himpunan-
himpunan: satu di antara dua pilihan, atau beberapa di antara sekian banyak
pilihan.
Apa yang menarik dalam pilihan petani yang sudah disinggung oleh Ortiz
(1967), bahwa penilaian akan preferensi petani berbasis ekspektasi atas hasil
yang mungkin didapat. Signifikansi hasil bagi petani tidak bersandar pada produk
yang dihasilkan itu sendiri tetapi terhadap pelbagai kebutuhan yang terpenuhi dari
hasil tersebut. Oleh karena itu, saat mendiskusikan perihal rasionalitas, menurut
Ortiz (1967), lebih signifikan untuk melihatnya dalam koridor kegunaan subjektif
(utilitas) dibandingkan kuantitas. Terkait kehidupan petani, Ortiz (1967) memberi
penekanan bahwa kita tidak bisa serta merta mengandaikan bahwa pendapatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
selalu dalam bentuk uang. Dengan demikian, ada problem utama berkenaan
dengan ini yang muncul dalam usaha mengasumsikan bahwa preferensi dituntun
oleh tingkat kemenarikan dari dipenuhinya pelbagai keinginan. Hanya saja,
seperti kata Ortiz (1967), keinginan atau cara mendapatkan suatu keinginan
tertentu tidak mudah untuk dioper dan dijelaskan. Preferensi dalam hal ini
mengikutsertakan suatu pertimbangan atas relasi antara keinginan dengan cara
mendapatkan keinginan tersebut. Persoalan mengemuka karena relasi tersebut bisa
diandaikan sebagai suatu batasan atas sebuah keputusan yang sudah pasti, karena
pilihan yang diambil akan disertai oleh pilihan lain yang harus dibatalkan.
Di sisi lain, telah juga banyak ditunjukkan bahwa keinginan-keinginan kita
terdefinisikan secara sosial dan oleh karenanya bervariasi dari satu budaya ke
budaya lain. Dengan demikian pilihan untuk mengejar suatu keinginan tidak
semata-mata menambah kuantitas produk melainkan lebih kepada mencapai suatu
hasil akhir yang memiliki suatu kegunaan subyektif. (utilitas). Dalam kehidupan
petani ini bisa berupa hasrat konsumsi karena hasil tersebut diperlukan secara
sosial ataupun fisik bagi produser (atau petani). Ataupun karena hasil tersebut
dapat diwujudkan menjadi suatu keinginan yang telah terberi, yang dalam
masyarakat berbentuk uang. Namun, bisa juga karena hasil tersebut ialah cara
yang menjembatani suatu tindakan. Di sini konsep rasionalitas, pada petani
terutama, perlu mempertimbangkannya sebagai rangkaian dari tindakan sosial dan
tidak hanya sesederhana relasi antara cara dan hasil yang didapatkan. Ortiz (1967)
memberi contoh, saat seorang Indian memutuskan untuk menanam lebih banyak
kopi ia harus mengikutsertakan dalam perhitungan bahwa ia mungkin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
melakukannya hanya jika ia meminta bantuan tenaga kerja. Dengan kata lain, ia
harus memperhitungkan relasi mereka dengan para tetangga atau sanak famili
untuk menarik mereka untuk bekerja sama.
Terkait dengan hal tersebut pula Ortiz (1967) mengingatkan bahwa benar
bahwa perilaku rasional tak bisa dianalisis kecuali mengiyakan praduga mengenai
keinginan manusia yang tak terbatas. Individu dilihat bertindak rasional persis
karena ingin memaksimalkan aset sosial dan material. Jika pun tidak itu karena
hadiah yang didapatkan lebih kecil dari apa yang diusahakan. Hanya saja Ortiz
juga menggarisbawahi bahwa dalam masyarakat yang terstruktur ke dalam kelas-
kelas sosial, individu dipandang akan mencoba mendaki tangga untuk meraih
status sosial yang lebih tinggi. Sedangkan di masyrarakat yang lebih egaliter ia
dipandang akan mengutamakan penghormatan yang lebih besar dan pertemanan
yang lebih luas. Meskipun, tambah Ortiz, dalam kasus tertentu asumsi tersebut
terbukti salah. Namun demikian, hal tersebut tetaplah menjadi pengandaian dasar
dari konsep pilihan serta gagasan relasi antara cara dan hasil yang didapat.
Berdasar paparan di atas studi ini hendak mengarahkan fokus pada dinamika
pengambilan keputusan petani berdasar satu pengertian utama. Dinamika
pengambilan keputusan petani seturut penelitian ini mengarah pada, dinamika
individu petani dalam menentukan suatu keputusan berdasar penaksiran rasional
dalam suatu rentang keinginan dan harapan akan hasil yang menyertakan suatu
penaksiran pula risiko atas hal tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Paradigma dan Strategi Penelitian
Penelitian ini berusaha mengeksplorasi dinamika wacana yang beredar dan
menyertai proses pengambilan keputusan yang melatarbelakangi pelepasan lahan
yang dilakukan oleh beberapa petani di satu desa di Kulon Progo. Para petani
tersebut merupakan warga dari desa yang bersinggungan langsung dengan
dibangunnya tambang pasir besi di Kulon Progo. Alasan utama dari diambilnya
keputusan untuk merelakan lahan serta berbagai dinamika psikologis yang
muncul—seturut konteks sosial yang melingkupi pengambilan keputusan—
merupakan fokus lain dari studi ini.
Demi menelusuri kasus tersebut paradigma kualitatif dikedepankan dalam
penelitian ini. Paradigma kualitatif dipilih seturut paparan Lincoln dan Guba
(2000, dalam Stake, 2005) yang menggarisbawahi bahwa ‗kebanyakan penelitian
kualitatif berdasar pada pandangan bahwa fenomena sosial, dilema manusia, dan
sifat dasar sebuah kasus semuanya bersifat situasional, dan berusaha mengungkap
pengalaman mengenai berbagai hal-ihwal‖. Di luar kesesuaian tersebut,
kekhususan konteks kasus yang diteliti mendorong penelitian ini memanfaatkan
studi kasus sebagai kerangka dalam mengeksplorasi proses pengambilan
keputusan. Hal ini seperti apa yang disampaikan Babbie (2013), bahwa ―studi
kasus menaruh fokus perhatian pada suatu peristiwa tunggal dari sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
fenomena sosial, seperti sebuah desa, suatu keluarga, ataupun suatu geng anak
muda.‖ Hal yang senada juga dinyatakan Cresswell (2007), bahwa ―...riset studi
kasus melibatkan penyelidikan sebuah isu yang dieksplorasi melalui satu kasus
atau lebih dalam sebuah sistem terbatas (semisal, suatu latar, suatu konteks).‖ Di
sisi lain, pendekatan studi kasus sebagaimana tuturan Yin (2003), memungkinkan
peneliti mempertahankan karakteristik peristiwa kehidupan nyata secara holistik
dan bermakna.
Cresswell (2007) mencatat, berdasar argumen Stake (1995) setidaknya ada
lima tahapan yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan studi kasus. Pertama,
peneliti menentukan apakah studi kasus merupakan pendekatan yang sesuai bagi
rumusan masalah penelitian. Penentu utama kesesuaian ini ialah penyelidik telah
dapat mengidentifikasikan kasus secara jelas beserta batasan atas kasus tersebut.
Selain itu apa yang menjadi fokus ialah usaha menyajikan suatu pemahaman yang
mendalam terkait kasus yang diteliti ataupun perbandingan dari beberapa kasus.
Kedua, peneliti perlu mengidentifikasikan kasus yang akan diteliti. Dalam hal ini
setidaknya ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yakni jenis studi kasus yang
hendak dilakukan (apakah tunggal atau kolektif, apakah di beberapa situs atau di
satu situs saja, apakah berfokus pada kasus atau isu (intrinsik atau instrumental),
dan kemungkinan pemilihan informan.
Ketiga, koleksi data dalam riset studi kasus bersifat ektensif, dan mengambil
dari berbagai sumber informasi, seperti observasi, wawancara, dokumen, dan
materi audiovisual. Keempat, berkenaan dengan tipe analisis, meminjam paparan
Yin (2003) data yang didapat dapat dianalisis secara holistik dari keseluruhan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
kasus (holistic analysis) atau aspek spesifik dari kasus (embedded analysis).
Melalui kumpulan data ini, deskripsi detail kasus akan muncul (Stake, 1995) di
mana peneliti memerinci aspek-aspek seperti sejarah dari kasus, kronologi
peristiwa, ataupun gambaran aktivitas hari-per-hari. Setelah deskripsi ini
dilakukan peneliti kemudian akan berfokus pada beberapa isu kunci (atau
melakukan analisis atas tema), tidak untuk melakukan generalisasi melampaui
kasus, tetapi guna memahami kompleksitas masalah.
Salah satu strategi analisis dalam hal ini (menurut Yin, 2003) adalah
mencoba mengidentifikasi isu pada tiap kasus dan kemudian mencari tema yang
serupa yang memungkinkan melampaui kasus yang diteliti (Yin, 2003). Analisis
ini bersifat kaya dalam konteks kasus yang diteliti atau latar di mana kasus
tersebut terjadi (Merriam, 1988). Kelima, dan yang merupakan fase interpretif
terakhir, peneliti melaporkan makna dari kasus, baik makna yang datang dari
pembelajaran mengenai isu dari kasus yang diteliti (kasus instrumental) ataupun
pembelajaran mengenai situasi yang tak biasa (kasus intrinsik). Seperti apa yang
Lincoln dan Guba (1985) sebutkan, fase ini mengkonstitusikan ‗pelajaran yang
dipelajari‘ dari kasus yang diteliti. Secara intuitif kelima hal tersebut dijadikan
pertimbangan dalam mengerangkai studi pengambilan keputusan para petani ini
sebagai sebuh studi kasus.
Pendekatan studi kasus ini sendiri, bila mengacu pada paparan Stake (1995),
mengarah pada salah satu jenis kasus khusus, yakni kasus instrumental.
Penekanan karakteristik instrumental di sini ialah perihal fungsi intensitas fokus
terhadap kasus. Bila pada kasus intrinsik ada perhatian intrinsik terhadap kasus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
(kasus adalah sesuatu yang dominan dalam hal ini) pada kasus instrumental ada
perhatian terhadap hal lain di luar kasus yang diteliti—isu menjadi sesuatu yang
dominan. Bila menelusuri kembali tujuan dari penelitian, pengambilan keputusan
petani sebagai kasus tidak semata-mata dikupas sebagai kasus tunggal melainkan
sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar, yakni ‗isu‘ pelepasan lahan yang
menjadi konteks yang melingkupi. Secara mendasar ini sejalan dengan apa yang
ditekankan Stake (2005) bahwa studi kasus sendiri di sini ditempatkan bukanlah
sebagai suatu pilihan metodologis melainkan suatu pilihan atas ‗apa yang akan
diteliti‘ (what is to be studied).
B. Refleksivitas Peneliti
Saya seorang pelajar yang menimba ilmu di bawah disiplin psikologi.
Demikian saya mengidentifikasi diri. Meskipun begitu, saya memiliki
kecenderungan untuk melihat diri sebagai pembelajar. Tak ayal, sekolah dasar,
sekolah menengah pertama, serta sekolah menengah atas ialah tahap yang perlu
saya lalui sebelum bergelut dengan ilmu psikologi. Satu hal yang tak bisa lepas
dari pandangan serta ingatan dalam perjalanan komuter untuk menuntut ilmu
selama ini ialah hamparan sawah berwarna hijau yang luas. Pengalaman dan
kenangan itu yang melatarbelakangi kecenderungan saya untuk melihat pertanian
sebagai sesuatu yang romantis: ada cinta yang dipertukarkan antara petani dengan
alam. Di kesempatan yang lain saya menyaksikan sendiri bagaimana suka cita
para petani lahan pantai merayakan panen mereka saat panen raya. Setidaknya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
empati pribadi saya muncul sejak 2010, saat mengetahui bahwa kesejahteraan
petani mulai dirongrong tambang pasir besi.
Dalam studi ini saya sepenuhnya sadar bahwa saya meski membawa nuansa
romantis seperti di atas mengikuti apa kata Foucault, ―saya tidak menghadirkan
suatu problem dari suatu pertanyaan personal, (karena) dengan mengemukakan
pertanyaan personal saya meniadakan masalah‖. Persoalan yang dikaji bukanlah
sebuah pertanyaan personal meski bersandar pada kegelisahan pribadi. Posisi itu
setidaknya mengurangi kecenderungan saya untuk meromantisir posisi informan.
Di sisi lain, saya menyadari adanya kedekatan baik yang bersifat emosional
maupun ideologis atas posisi informan bisa mengaburkan persoalan. Oleh karena
itu, saya mencoba berhati-hati dalam melakukan interpretasi yang mengurai
pelbagai posisi informan. Keterlibatan dosen pembimbing sebagai penafsir
alternatif atas usaha interpretatif yang saya lakukan juga meminimalisir persoalan
tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
C. Fokus Penelitian
Eksplorasi proses dinamika wacana pengambilan keputusan yang
melatarbelakangi pelepasan lahan guna dibangunnya tambang yang dilakukan
oleh beberapa petani di Kulon Progo adalah fokus penelitian ini. Usaha eksplorasi
ini sendiri mengarah pada wacana-wacana yang memungkinkan para petani
tersebut menjual lahan yang dimiliki serta dinamika psikologis yang melingkupi
pengambilan keputusan mereka. Para petani itu sendiri merupakan warga dari
beberapa desa yang bersinggungan langsung dengan dibangunnya tambang pasir
besi di Kulon Progo, khususnya yang bergabung dengan Paguyuban Petani Lahan
Pantai (PPLP).
Usaha eksplorasi ini akan bersandar pada narasi yang informan berikan
melalui proses wawancara. Narasi yang diperoleh ini akan dianalisa
memanfaatkan Foucauldian Discourse Analysis (FDA), setelah melalui analisis
tematik, guna melihat khususnya ‗mengapa‘ mereka pada akhirnya mengambil
keputusan pelepasan lahan dan ‗bagaimana‘ proses yang melatarbelakangi hal
tersebut menutup jalur alternatif lain, yakni mempertahankan lahan mereka. FDA
dipakai untuk mengeksplisitkan wacana-wacana yang berkembang dan turut
memengaruhi keputusan para petani untuk melepaskan lahan. Seperti kata Willig
(2008, dalam Smith, 2008), FDA mengarahkan pembahasan guna menjawab
pertanyaan mengenai ―Apa yang mencirikan dunia wacana yang ditinggali
individu dan apa implikasinya terhadap pelbagai kemungkinan individu itu untuk
hidup di dalamnya?‖
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
D. Informan Penelitian
Penentuan informan dalam penelitian ini mengikuti paparan Stake (2005)
yang menggarisbawahi bahwa studi lapangan kualitatif (qualitative fieldwork)
‗menggunakan sampel purposif, yang dibangun dalam suatu keanekaragaman dan
menyadari kesempatan untuk melakukan studi secara intensif‘. Dengan kata lain
adanya kesadaran atas pemilihan informan yang terlibat dalam studi. Informan
dalam penelitian ini sendiri ialah para petani yang telah melepaskan lahannya
guna sarana penambangan di Kulon Progo. Secara khusus para petani ini ialah
individu yang pernah menjadi anggota dari Paguyuban Petani Lahan Pantai dan
tinggal di Desa Karangwuni. Keanggotaan dalam paguyuban tersebut menjadi
penting sebagai suatu karakteristik yang diacu mengingat ada dinamika khusus
atas status tersebut. Keanggotaan dalam paguyuban ini diasumsikan memiliki
nuansa yang berbeda terkait proses pengambilan keputusan yang diambil
dibandingkan dengan petani yang tidak terlibat dalam paguyuban. Penekanan ini
dimunculkan peneliti dengan anggapan bahwa proses pelepasan lahan petani yang
tidak tergabung dalam paguyuban dapat digolongkan dalam proses pertukaran
atau perdagangan biasa. Perdagangan biasa yang dimaksud mengacu pada
didapatnya keuntungan secara finansial oleh individu atau mendapatkan
pertukaran yang adil menurut individu terkait. Dengan demikian keadilan di sini
hanya berpusat pada kesetaraan apa yang dipertukarkan atau tidak merugi.
Sedangkan pada para petani yang terlibat dalam paguyuban pengalaman yang
sama memiliki nuansa lain berkenaan dengan status mereka. Apa yang dimaksud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
ialah identitas petani sebagai pemilik lahan yang kemudian melepaskan lahannya
yang bertolak belakang dengan identitasnya sebagai anggota paguyuban: yang
mengambil posisi menolak pelepasan lahan. Atas dasar hal inilah petani yang
melepaskan lahannya dan sebelumnya tergabung dalam paguyuban petani yang
dipilih sebagai informan dalam penelitian ini.
Dalam hal ini tidak ada pembatasan secara khusus mengenai jenis kelamin
dari informan yang terlibat dalam penelitian ini. Informan secara mendasar ialah
individu pemilik lahan yang sebelumnya tergabung dengan Paguyuban Petani
Lahan Pantai, tinggal di Desa Karangwuni, dan mengambil keputusan untuk
melepas lahannya guna dialihfungsikan sebagai sarana pertambangan pasir besi.
E. Metode Pengambilan Data
Data sebagai keperluan penelitian ini akan disandarkan pada proses
pemerolehan data melalui wawancara dengan informan terkait. Sebagai sarana
pemerolehan data wawancara yang akan digunakan ialah bentuk wawancara semi
terstruktur. Wawancara jenis ini merupakan ‗wilayah yang dihuni oleh peneliti
kualitatif‘. Penanda utama dari model wawancara ini ialah ‗peningkatan dari
tingkat fleksibilitas dan kurang adanya struktur‘ (Edwards & Holland, 2013).
Wawancara jenis semi terstruktur ini, merunut paparan Mason (2002, dalam
Edwards & Holland, 2013), memiliki beberapa ciri utama, yakni 1) Adanya
pertukaran secara interaksional dari percakapan yang didapat—baik dalam kasus
dua partisipan yang bertatap muka atau, dalam konteks yang berlainan 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Merupakan suatu pendekatan tematik, berpusat pada suatu topik, bernuansa
biografis ataupun naratif, di mana peneliti memiliki topik, tema, atau isu tertentu
yang ingin mereka cakup, tetapi dengan struktur yang cair dan fleksibel 3)
Sebagai suatu perspektif yang menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang
tersituasikan dan kontekstual, yang menuntut peneliti memastikan bahwa konteks
yang relevan diikutsertakan dalam fokus sehingga pengetahuan yang tersituasikan
dapat diproduksi. Dalam hal ini makna dan pemahaman diciptakan dalam
interaksi, yang mana secara efektif diproduksi-bersama, mengikutsertakan
konstruksi atau rekonstruksi dari suatu pengetahuan.
Ciri-ciri yang telah disebutkan di atas relevan bagi penelitian ini karena
setidaknya ada tiga hal yang akan tereksplorasi merujuk pada pendekatan studi
kasus yang dipakai. Pertama, metode pengambilan data ini memungkinkan adanya
perbandingan antarkasus pengambilan keputusan pelepasan lahan. Hal yang
terbantu oleh ciri kedua yang mendorong usaha menyajikan secara naratif isu
pelepasan lahan. Ketiga, hal ini beririsan dengan jenis kasus yang dipakai dalam
studi, yakni kasus instrumental. Ciri terakhir tersebut meneguhkan bahwa isu
(bukan ‗kasus secara spesifik‘) yang menjadi perhatian dalam pendekatan studi
kasus ini dan mengedepankan konteks yang melingkupi kasus per kasus. Ada dua
pertanyaan utama yang akan dikedepankan. Pertama, berkenaan dengan kisah
hidup petani yang akan menjadi latar bagi keputusan yang ia ambil guna
mengeksplorasi ‗mengapa‘ mereka melepas lahannya. Kedua, bagaimana opsi lain
yang sebelumnya mereka acu sebagai anggota paguyuban, yakni menolak
pelepasan lahan, terlempar dari kerangka acu yang dipakai. Hal ini digunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
untuk menggambarkan ‗bagaimana‘ proses yang melatarbelakangi pengambilan
keputusan pelepasan lahan.
F. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah Foucaldian
Discourse Analysis (FDA). FDA memberi perhatian pada bahasa dan perannya
dalam mengonstitusikan kehidupan sosial dan psikologis. Meskipun demikian
perhatian FDA terhadap bahasa melampaui konteks langsung penggunaan bahasa
yang mungkin dipakai oleh individu dalam wicara. FDA akan menggulirkan
pertanyaan-pertanyaan tentang ―hubungan antara diskursus dan bagaimana
seseorang berpikir atau merasa (subjektivitas), apa yang mungkin mereka lakukan
dan kondisi material tempat pengalaman-pengalaman seperti itu mungkin terjadi‖
(Willig, 2013). Sebagaimana pernyataan Parker (1999) FDA bisa dilakukan ‗di
mana saja terdapat makna‘ (dalam Willig, 2008). Mengikuti paparan Willig
(2013) analisis data yang dilakukan akan bersandar pada enam tahapan analisis
diskursus. Tahapan yang dipaparkan ini memungkinkan peneliti untuk
menggambarkan peta umum wacana-wacana yang beredar serta posisi-posisi
subjek yang muncul sebagai implikasi atas wacana tersebut. Tahapan ini juga
akan membawa pembahasan ke arah subjektivitas dan praktik yang dimungkinkan
berdasar wacana yang ada. Berikut ini adalah enam tahap yang terdiri dari 1)
konstruksi diskursus, 2) pemaparan diskursus-diskursus, 3) orientasi aksi, 4)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
pemosisian, 5) praktik, dan 6) subjektivitas. Berikut ini paparan lebih lanjut atas
keenam tahapan yang ditelusuri:
1. Konstruksi Diskursus
Tahapan pertama analisis akan menelusuri setiap objek diskursus dan
melihat bagaimana dan dalam bentuk apa saja objek tersebut dikonstruksi.
Apa yang akan menjadi objek diskursus bergantung pada pertanyaan
penelitian. Willig (2013) memberi contoh, semisal saat kita tertarik tentang
bagaimana individu berbicara tentang ‗cinta‘ dan apa konsekuensinya, maka
objek diskursus yang akan dibahas ialah ‗cinta‘. Tahapan pertama analisis
akan melibatkan identifikasi dari berbagai cara objek diskursus dikonstruksi
dalam teks. Pada tahapan ini pula berbagai hal yang mengacu pada objek
diskursus akan disoroti. Tidak hanya kata kunci-kata kunci eksplisit yang
merepresentasikan objek diskursus yang mendapat perhatian tetapi juga
acuan implisit atas objek diskursus. Ada penekanan pada makna yang
dibagi bersama dibanding perbandingan kosakata dalam pencarian
konstruksi atas objek diskursus. Bagaimana para petani mengkonstruksi
objek-objek berkenaan dengan pengambilan keputusan pelepasan lahan
serta implikasi apa yang muncul darinya yang akan menjadi fokus. Pada
tahapan ini identifikasi mengenai bagaimana objek wacana dikonstruksi
dalam narasi para informan adalah hal yang akan dilakukan. Apa yang
ditelusuri kita tidak hanya mengamati berbagai kata-kata kunci yang
terdapat dalam narasi tetapi juga pelbagai hal yang secara implisit terdapat
dalam narasi para informan. Utamanya karena seperti yang di Willig (2013)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
kemukakan, ―fakta bahwa sebuah teks tidak memuat acuan langsung
terhadap objek diskursus dapat menunjukkan banyak hal pada kita tentang
bagaimana objek diskursus tersebut dikonstruksi‖.
2. Pemerian Diskursus-diskursus
Setelah mengidentifikasi semua bagian dari teks yang berperan dalam
konstruksi atas objek diskursus, pada tahap kedua ini akan berfokus pada
perbedaan-perbedaan antara pelbagai konstruksi yang muncul. Apa yang
tampak seperti objek diskursus yang tunggal dan sama dapat terkonstruksi
secara berlainan. Pada tahapan kedua ini analisis akan mengarahkan fokus
pada menempatkan berbagai konstruksi atas objek diskursus dalam
konstelasi diskursus yang lebih luas. Hal ini coba diupayakan dengan
menyelidiki diskursus apa saja yang mengarahkan individu mengonstruksi
objek diskursus seperti yang telah dipaparkan dalam tahap pertama. Pada
tahap kedua, yakni pemaparan diskursus-diskursus ini konstruksi-konstruksi
atas objek diskursus yang digali pada tahap pertama akan ditempatkan pada
konstruksi diskursus yang lebih luas. Setelah identifikasi seluruh narasi
informan dan mendaftar bagaimana dan dalam bentuk apa saja objek
diskursus dikonstruksi dalam tahapan ini perbedaan yang muncul di antara
pelbagai konstruksi coba dipetakan. Pada tahapan ini diskursus umum yang
muncul dan mengerangkai bagaimana konstruksi objek pada tahapan
pertama coba dipaparkan dan dielaborasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
3. Orientasi Aksi
Pada tahapan ketiga analisis mengikutsertakan penelusuran yang lebih
mendalam konteks-konteks dari diskursus yang mengemuka. Utamanya
guna melihat apa yang didapat dari konstruksi objek dengan suatu cara
tertentu pada bagian tertentu dari teks. Apa yang hendak dilihat ialah apa
yang didapat dari mengkonstruksi objek dengan cara tertentu pada titik
tertentu dalam teks. Serta guna melihat apa fungsi konstruksi tersebut di
tengah-tengah konstruksi yang melingkupi teks tersebut. Willig (2013)
merujuk hal ini sebagai orientasi aksi. Sebagai permisalan, saat seorang istri
membicarakan mengenai kanker yang dialami suamiya, pemakaian
diskursus medis memungkinkan dirinya untuk mengatribusikan tanggung
jawab atas diagnosis dan perawatan terhadap profesional di bidang medis
serta untuk menekankan bahwa suaminya ia rawat dengan baik. Fokus pada
orientasi atas aksi yang mungkin dilakukan berdasar diskursus yang
mengemuka ialah yang menjadi fokus pada tahapan ketiga. Penekanan atas
hal tersebut terutama karena orientasi aksi memungkinkan kita untuk
mendapat pemahaman yang lebih jelas tentang potensi dimungkinkannya
suatu hal berdasar berbagai konstruksi atas objek diskursus dalam teks.
4. Pemosisian
Setelah mengidentifikasi berbagai konstruksi atas objek diskursus dalam
teks, dan telah menempatkan mereka di dalam konstelasi diskursus yang
lebih luas, berikutnya kita akan melihat lebih dekat pada posisi subjek yang
ditawarkan. Posisi subjek dalam sebuah wacana melukiskan ‗lokasi tertentu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
bagi orang-orang dalam struktur yang menunjukkan hak dan kewajiban
mereka dalam menggunakan kisi-kisi interpretasi itu‘ (Dabies dan Harre,
1999 dalam Smith, 2013). Dengan kata lain, diskursus akan mengkonstruksi
subjek pula selain objek, alhasil menyediakan posisi-posisi di tengah
jejaring makna yang dapat diambil oleh subjek (demikian pula
menempatkan orang lain ke dalamnya). Apa yang perlu dimengerti ialah
posisi subjek berbeda dengan peran yang menentukan suatu posisi tertentu
(yang telah pasti) untuk diperankan. Posisi subjek di sini perlu dimengerti
sebagai lokasi subjek di tengah diskursus yang memungkinkan dirinya
berbicara maupun bertindak. Willig (2013) menambahkan bahwa, ―peran
dapat dimainkan tanpa adanya identifikasi subjektif , sebaliknya menempati
suatu posisi subjek tertentu memiliki implikasi terhadap subjektivitas‖. Pada
tahap keempat ini, dalam ‗pemosisian‘, akan dikemukakan pengandaian
posisi subjek seperti apa yang muncul berpatokan pada diskursus-diskursus
yang telah mengemuka sebelumnya.
5. Praktik
Pada tahap kelima ini, yakni praktik, akan dikemukakan relasi antara
diskursus dan praktik. Hal ini akan menyuguhkan eksplorasi sistematis
tentang cara-cara saat konstruksi diskursus dan posisi subjek yang ada di
tengah-tengahnya yang menyertakan implikasi membuka atau menutup
kemungkinan untuk aksi. Dengan mengkonstruksikan suatu cara pandang
tertentu terhadap realitas, dan dengan menaruh posisi subjek berdasar hal
tersebut, diskursus akan membatasi apa yang dapat dikemukakan dan dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
dilakukan. Willig (1995, dalam Willig 2013) memberikan contoh, praktik
seks tanpa proteksi memliliki keterkaitan dengan diskursus perkawinan
yang mengkontruksi pernikahan dan padanannya, hubungan jangka panjang,
sebagai suatu yang tidak dapat cocok dengan penggunaan kondom. Dengan
demikian, suatu praktik tertentu menjadi suatu tindakan yang terlegitimasi
dari suatu diskursus tertentu. Praktik semacam itu pada gilirannya
mereproduksi diskursus yang melegitimasinya. Dengan kata lain,
mengemukakan sesuatu dan bertindak menyokong satu sama lain dalam
sebuah konstruksi subjek dan objek.
6. Subjektivitas
Pada tahapan ini, yakni subjektivitas akan dilukiskan bagaimana
perasaan, apa yang dipikirkan, serta rasakan informan dalam pemosisian
yang dilakukan. Hal ini dimungkinkan karena diskursus memungkinkan
suatu cara pandang tertentu terhadap dunia serta suatu cara mengada yang
tertentu pula di dunia. Diskursus mengkonstruksi realitas sosial juga
psikologis. Pada tahap terakhir ini analisis menyusuri konsekuensi yang
muncul dari pengambilan berbagai posisi subjek terhadap pengalaman
subjektif individu. Setelah mengemukakan pertanyaan tentang apa yang bisa
dikatakan dan lakukan dari berbagai diskursus pada tahapan sebelumnya,
pada tahap ini apa yang mungkin dirasakan, dipikirkan, atau dialami dari
berbagai posisi subjek yang ada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Dalam rangka memperjelas tahapan-tahapan dalam FDA, berikut ini
digambarkan pertanyaan-pertanyaan kunci untuk menuntun pada proses analisis
yang diadaptasi dari Vingoe (2008) dalam paparan Willig (2013) berikut ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Tabel 2
Pertanyaan-pertanyaan Kunci dalam Tahapan Analisis Diskursus Foucaldian
Pertanyaan-pertanyaan Kunci Tahapan Analisis
Bagaimana objek diskursus
dikonstruksi melalui pernyataan?
Jenis objek seperti apa yang
dikonstruksi?
Wacana apa yang digunakan?
Apa relasi suatu diskursus dengan
dengan yang lain?
Apa yang didapat dari konstruksi
tersebut?
Apa yang diperoleh dari penggunaan
konstruksi tersebut?
Apa fungsi-fungsi konstruksi tersebut?
Apa yang mungkin dilakukan subjek
berdasar hal tersebut?
Posisi subjek seperti apa yang tersedia
dari hasil konstruksi tersebut?
Kemungkinan aksi seperti apa yang
dapat dipetakan dari hasil konstruksi
tersebut?
Apa yang bisa dikatakan dan
dilakukan dalam posisi subjek yang
demikian?
Apa yang secara potensial dirasakan,
dipikirkan, dan dialami dari posisi-
posisi subjek yang tersedia?
Tahap 1: Konstruksi Wacana
Tahapan 2: Pemerian Diskursus-
diskursus
Tahapan 3: Orientasi Aksi
Tahapan 4: Pemosisian
Tahapan 5: Praktik
Tahapan 6: Subjektivitas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
G. Kualitas Penelitian
Creswell dan Miller mencatat dalam membangun validitas dalam riset
―peneliti kualitatif menggunakan cara pandang yang tidak berdasar pada skor,
instrumen, ataupun desain penelitian melainkan cara pandang yang ditentukan
dari penggunaan pandangan orang yang melakukan, terlibat dalam, atau membaca
serta melakukan tinjauan atas penelitian terkait‖ (Creswell & Miller, 2000).
Mereka melanjutkan, terkait pandangan ‗orang yang melakukan penelitian‘ sendiri
tergambar dari peran peneliti yang ―menentukan berapa lama untuk tetap berada
di lapangan, apakah data yang didapat mencapai saturasi atau telah memunculkan
tema serta kategori yang tepat, dan bagaimana analisis data diubah ke dalam
narasi yang persuasif.‖
Cara pandang kedua bergantung pada informan yang terlibat dalam
penelitian. Cara pandang ini menekankan pada usaha memeriksa seberapa akurat
realita yang dihadapi partisipan berhasil direpresentasikan dalam laporan final
penelitian. Berkenaan dengan hal ini Stake (2005) mengikuti paparan Glesne &
Peshkin (1992) dan Lincoln & Guba (1985) menggarisbawahi bahwa
―penggunaan secara kreatif dari ―member checking‖, yakni dengan
menyampaikan draf untuk peninjauan oleh penyedia data (atau informan) adalah
salah satu bentuk yang paling dibutuhkan dalam validasi riset kualitatif‖.
Penelitian ini dengan demikian akan memanfaatkan member checking guna
mencocokkan kembali kesesuaian hasil yang ditemukan oleh peneliti dengan
pemaknaan informan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Cara pandang terakhir mengarah pada adanya penaksiran kredibilitas
laporan penelitian oleh individu yang tidak terlibat langsung dalam studi.
Penilaian ini dapat dijembatani melalui proses triangulasi. Stake (2004, dalam
Stake 2005) menekankan riset studi kasus yang baik mengikuti praktik analisis
yang tertib dan adanya triangulasi guna menyisir apa yang kita anggap sesuai
untuk disebut sebagai pengetahuan eksperiensial dari opini dan preferensi.
Triangulasi yang dimaksud di sini ialah proses menggunakan beberapa persepsi
dari individu berlainan untuk mengklarifikasi makna, serta melakukan verifikasi
atas kemungkinan pengulangan (repeatability) atas interpretasi. Triangulasi yang
akan dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi interpretasi. Triangulasi
interpretasi dilaksanakan dengan cara membandingkan hasil interpretasi data dan
analisis dengan ahli terkait. Di sisi lain guna mengusahakan adanya dependabilitas
atas studi ini dipakai pula protocol guide interview yang diturunkan menjadi
pedoman wawancara yang bersandar pada fokus penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
H. Pedoman Wawancara
1. Untuk mengetahui sisi historis kepemilikan lahan dan makna kepemilikan
lahan serta menjadi petani bagi informan
a. Bisa ceritakan kepada saya bagaimana dulu anda mendapatkan tanah
yang telah anda lepaskan sekarang?
b. Sejauh ini apakah adanya lahan yang anda miliki membantu anda dalam
kehidupan anda?
c. Adakah kesulitan yang anda dapatkan dengan memiliki lahan pertanian?
1) Jika iya, bisa tolong jelaskan apa kesulitan yang dihadapi?
2) Jika tidak, apa yang membuat proses pengelolaan begitu
lancar?
d. Sejak kapan anda mulai menjalani hidup sebagai seorang petani?
e. Seperti apakah makna menjadi petani bagi anda?
f. Apakah menurut anda menjadi petani bisa menjadi sandaran hidup?
g. Bisa ceritakan pada saya apakah ada pikiran lain yang terlintas dalam
pikiran selain hidup sebagai petani?
2. Untuk mengetahui makna lahan bagi informan
a. Bisa tolong sampaikan pada saya dari sudut pandang anda apa
pentingnya anda memiliki lahan?
b. Sampai sejauh ini menurut anda apa fungsi pentingnya dari sejumlah
lahan garapan yang anda miliki?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
c. Adakah luas lahan berpengaruh bagi anda, bisa tolong jelaskan pada
saya?
d. Menurut anda pribadi apakah penting seseorang memiliki lahan yang
didapat secara turun-temurun?
1) Jika iya, bisa tolong jelaskan mengapa hal itu menjadi penting?
2) Jika tidak, bisa tolong jelaskan mengapa hal itu menjadi tak
begitu penting?
e. Berdasar sudut pandang anda apakah memungkinkan seseorang dapat
menghidupi tanpa tanah garapan di sini?
3. Untuk mengeksplorasi pemaknaan atas pelepasan lahan yang dilakukan oleh
informan
a. Sejak dari kapan atau peristiwa apa yang menjadi awal mula anda terpikir
mengenai melepas lahan?
b. Bagaimana tepatnya anda mana pertama kali anda tahu tentang adanya
penawaran untuk melepaskan lahan?
c. Menurut anda sendiri mengapa pilihan untuk melepaskan lahan itu
menjadi suatu perhatian bagi diri anda sendiri?
d. Apakah anda mulai memikirkan tentang ide untuk melepaskan lahan itu
atas pemikiran pribadi atau karena ada anjuran dari orang lain? Kalau ada
anjuran bisa jelaskan dari siapa dan mengapa anda mulai memikirkan hal
tersebut?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
4. Untuk mengetahui berbagai hal yang menjadi pertimbangan informan
a. Apa yang paling sering anda pikirkan ketika anda akan melakukan
pelepasan lahan?
b. Apa yang menjadi pertimbangan bagi anda untuk akhirnya melepaskan
lahan?
c. Bisa ceritakan bagi seperti apa anda menimbang-nimbang dua alternatif,
mempertahankan lahan dan melepaskan lahan?
d. Bisa tolong ceritakan kepada saya, waktu itu mana yang terlihat
menguntungkan dan mengapa?
e. Bagaimana anda melihat keputusan lain, yakni tetap mempertahankan
lahan bisa tidak dipilih?
f. Apakah menurut anda keputusan untuk mempertahankan lahan justru
membawa efek yang tidak menyenangkan bagi anda?
g. Menurut anda apa yang membuat anda yakin pilihan anda sudah paling
baik saat itu?
5. Untuk mengetahui apakah informan memikirkan kembali keputusan yang
telah diambil
a. Apa yang anda rasakan setelah merelakan lahan untuk sarana tambang?
b. Setelah anda mengambil keputusan untuk melepaskan lahan apakah anda
pernah berpikir kembali tentang hal itu dan memikirkannya? Kalau iya,
apa yang anda pikirkan?
1) Menurut anda mengapa pikiran itu muncul?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
c. Setelah mengambil keputusan merelakan lahan apakah anda merasa
keputusan yang telah anda buat adalah yang paling menguntungkan, bisa
ceritakan?
6. Untuk mengetahui hal yang memantapkan informan atas pilihan
a. Apakah anda pernah ragu saat hendak memutuskan keputusan ini, bisa
ceritakan pada saya kapan hal itu terjadi? Menurut anda apa yang
membuat itu terjadi?
b. Apakah anda merasa sudah cukup puas dengan pilihan anda, bisa tolong
ceritakan?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menjelaskan mengenai pelaksanaan penelitian dan hasil dari
penelitian yang telah dilakukan. Selanjutnya akan dipaparkan pula analisis data
yang telah dilakukan peneliti. Pada bagian terakhir, akan dipaparkan dinamika dan
pembahasan hasil penelitian.
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan dan Perizinan
Dalam penelitian ini, peneliti melibatkan empat orang petani lahan pantai
sebagai informan. Sebelum memulai pengambilan data, peneliti meminta
kesediaan informan untuk berkenan menandatangani informed consent guna
terlibat dalam penelitian. Terkait proses ini, peneliti membantu membacakan
poin-poin yang tercantum dalam informed consent. Peneliti juga menjelaskan
setiap poin yang dijabarkan dalam lembar informed consent sehingga
informan dengan sadar memahami proses dan memaklumi konsekuenesi dari
penelitian yang akan dilakukan.
Peneliti sendiri, melakukan pendekatan kepada informan sebelum proses
wawancara untuk memperoleh informasi yang tepat dan mendalam. Hal ini
dilakukan dengan memaparkan maksud serta tujuan peneliti melakukan studi
ini. Dengan demikian dapat diperoleh kepercayaan dan keterbukaan dari para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
informan. Pendekatan yang dilakukan mengandalkan intensitas hubungan dan
bukan menyandarkan pada jumlah pertemuan. Hal ini coba diraih dengan
memaparkan maksud penelitian dan memberikan pengertian bahwa
pengalaman informan berguna dalam spektrum yang lebih luas. Guna
menghadirkan keleluasaan, yang merupakan kunci bagi setiap penelitian yang
melibatkan petani, peneliti memberi kebebasan kepada informan untuk
menentukan waktu serta tempat pengambilan data. Demi menghadirkan
kenyamanan pada informan peneliti juga mengurangi penggunaan catatan
serta menjelaskan maksud dari pemakaian alat perekam. Hal ini termasuk,
mematikan alat perekam bila informan mengemukakan bahwa pernyataan
yang ia berikan bersifat rahasia.
Selama wawancara, peneliti menggunakan teknik wawancara semi
terstruktur yang lebih memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk
menentukan alur wawancara yang nyaman bagi informan dan melakukan
probing. Selama proses wawancara berlangsung, setiap kali informan merasa
sedih saat mengingat pengalaman tidak menyenangkan, peneliti akan
memberikan waktu jeda dan berusaha untuk menghadirkan ketenangan dan
juga penghiburan bagi informan. Atas izin dari para informan, peneliti
menggunakan alat perekam berupa ponsel untuk merekam proses wawancara.
Hasil rekaman suara tersebut kemudian ditranskrip oleh peneliti sehingga
menghasilkan dokumentasi tertulis berupa verbatim dan kemudian
melanjutkan ke langkah berikutnya yaitu analisis tematik atas data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
2. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian bersama empat informan dilakukan secara
terpisah sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dan informan. Berikut ini
merupakan waktu dan tempat pelaksanaan penelitian :
Tabel 3
Pelaksanaan Penelitian
No Keterangan
Informan
1
(Sb)
Informan
2 (Sr)
Informan
3
(Sj)
Informan
4 (Ey)
1 Pendekatan
dengan
Informan
Minggu,
18 Juni
2017;
Rumah
Pribadi Sb
Selasa,
18 Juli
2017;
Ladang
yang
dikelola Sr
Senin,
7 Agustus
2017;
Rumah
Pribadi Sj
Selasa,
8 Agustus
2017;
Rumah
Pribadi Ey
2 Wawancara
Informan
Rabu,
21 Juni
2017;
Rumah
Pribadi Sb
Kamis,
20 Juli
2017;
Rumah
Pribadi Sr
Kamis,
10
Agustus
2017;
Rumah
Pribadi Sj
Sabtu,
12
Agustus
2017‘
Rumah
Pribadi Ey
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
B. Informan Penelitian
1. Demografi Informan
Tabel 4
Demografi Informan
No Keterangan Informan
1
Informan
2
Informan
3
Informan 4
1. Inisial Sb Sr Sj Ey
2. Usia 60 tahun 49 tahun 57 tahun 50 tahun
3. Jenis
Kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
4.
Tingkat
Pendidikan
Terakhir
SD SMP SMA SMA
5. Kepemilikan
Lahan ± 8000 m
2 ± 4000 m
2 ± 5000 m
2 ± 3400 m
2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
2. Latar Belakang Informan
Berikut ini ialah latar belakang informan secara umum serta berkenaan
dengan posisi mereka sebagai petani lahan pantai di Kulon Progo. Riwayat
singkat mengenai kehidupan informan tersebut akan dijabarkan sebagai
berikut:
a) Informan 1 (Sb)
Sb memulai kehidupannya sebagai petani lahan pantai sejak 1989. Ia
yang waktu itu kurang lebih berusia 22 tahun meneruskan lahan yang telah
diolah oleh orang tuanya selama kurang lebih 25 tahun. Setelah lulus
sekolah dasar Sb langsung terjun sebagai seorang petani mengingat
ketiadaan biaya. Sb sendiri selain meneruskan menggarap lahan milik
orang tuanya juga mematok sebagian besar lahan yang kemudian ia miliki.
Bermula dari kursus dan berbagi pengalaman dengan petani daerah lain ia
mulai terjun mengolah tanah pesisir. Sb mendaku dirinya ialah salah
seorang perintis pertanian lahan pantai khususnya di dusun tempat
tinggalnya. Dalam mematok ia sengaja mematok lahan yang cukup luas
dengan pemikiran sebagai warisan bagi anak-cucunya. Setelah naik turun
mengelola Sb akhirnya meraih keberhasilan dalam aktivitas menanam
cabai dan produk hortikultura. Rumah yang ia tinggali sekarang bisa
dibangun juga dengan mengandalkan lahan di pesisir. Sb mengakui
ketidakpuasan atas pengelolaan tanah persawahan dengan sistem bagi hasil
yang ia alami mendorongnya untuk menanggung tantangan mengelola
lahan pantai. Selain persoalan potensi dijadikan sebagai sandaran hidup,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Sb berpandangan bahwa petani punya ciri khas bersifat jujur. Apa yang
dikelola petani pun menjajikan akhirat karena mengusahakan pelbagai
bahan pangan bagi orang lain. Selain itu, ia juga menganggap menjadi
petani mencegah dirinya melakukan korupsi, terutama korupsi waktu yang
kerap ia temui pada buruh atau karyawan. Risiko yang dihadapi pun
menurutnya minim karena netral dihadapan hukum. Berkenaan dengan
klaim atas tanah pesisir dikuasai pihak keraton ia mengaku tidak tahu
bahwa tanah yang ia kelola ialah tanah milik Pakualaman Ground. Sb
memandang tanah tersebut ialah hak masyarakat meski ada berbagai
pengakuan bahwa tanah tersebut masuk ke dalam area milik Kasultanan.
Sb sendiri akhirnya memutuskan untuk melepaskan lahannya yang
mencapai kisaran luas 8000 m2, termasuk lahan warisan dari orang tuanya.
b) Informan 2 (Sr)
Sr memulai pengelolaan lahan pasir sejak menemui nasib yang kurang
menguntungkan saat bekerja sebagai pekerja upahan sebuah pabrik di
Jawa Barat. Sebenarnya, menurut pengakuan Sr, posisi pengawas yang ia
pegang sudah membuat dia nyaman. Terutama karena adanya jaminan
yang datang dari asuransi yang diberikan oleh perusahaan. Namun
demikian, nasib berbalik saat perusahaan itu pailit. Sr kemudian mengadu
nasib di pesisir sejak bisnis yang ia rintis tak membuahkan hasil dan
diwarnai berbagai masalah seperti hutang hingga penipuan. Pria kelahiran
1968 ini terjun ke dunia pertanian lahan pantai sejak 2007. Keberhasilan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
saat panen perdana menumbuhkan keinginan Sr untuk melakoni aktivitas
bertani. Hal itu yang membuat dia turut serta sebagai bentuk asimilasi
sosial dalam demo para petani menolak pertambangan. Hanya saja itu tak
bisa terus bertahan. Sr yang kemudian melepaskan lahannya harus
menemui tantangan berat di tengah proses perlawanan: anak bungsunya
didiagnosa mengidap Thallasaemia. Usaha pemenuhan kebutuhan sehari-
hari menjadi sulit bagi Sr dan di saat yang sama ia mengaku kurang
mendapat dukungan sosial dari lingkungan sekitar. Keputusan pelepasan
lahan yang diambil ia akui cukup besar menyertakan pelbagai masalah
tersebut. Apalagi di tengah perjuangan lahannya terhimpit oleh para petani
dari RT lain yang telah terlebih dahulu melepaskan. Anak keempat dari
enam bersaudara ini juga memandang akan cenderung lebih memilih untuk
bertani dibanding bergabung dengan perusahaan. Menurut pengakuannya
kondisi sebelum pelepasan lebih menguntungkan karena dia bisa mengolah
dua lahan. Sr berpendapat bahwa dengan begitu ia bisa mengistirahatkan
lahan dan mempertahankan kesuburan. Adanya waktu istirahat bagi lahan
ini menurutnya sudah ia buktikan dalam bentuk hasil yang nyata. Namun
demikian, bila mempertimbangkan pelbagai risiko ia juga menimbang
untuk menjadi pekerja upahan yang mendapat akses jaminan asuransi
kesehatan. Petani bagi Sr ialah jalan terakhir. Sr mengakui menurut
pengetahuan dan pengalaman masa kecil yang ia miliki lahan pantai itu
ialah lahan kosong dan merupakan warisan dari nenek moyang terdahulu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
c) Informan 3 (Sj)
Sj mendapatkan lahan yang telah ia lepas dari usahanya untuk
mengolah sendiri tanah pesisir. Mulai dari 1981 ia telah terjun untuk
mengolah tanah di pesisir. Ia menganggap tanah itu tanah kosong yang
hanya memerlukan pengolahan saja. Meskipun begitu ia mengungkapkan
bahwa pada mulanya tanah itu menurut orang tua zaman dahulu tanah
tersebut milik Paku Alam. Ia sendiri mengakui termasuk pionir dalam
pengolahan lahan pasir. Ia dan Sb memulai pengolahan lahan pasir di masa
yang kurang lebih serempak. Pria lulusan SMA ini segera bertani sejak
membangun keluarga pasca kembali dari Sumatera. Sj merasa penghasilan
yang ia dapat dari pengelolaan perkebunan belum mensejahterakan. Di sisi
lain, ia juga melihat petani lekat dengan ketentraman hidup karena dalam
hal aktivitas bekerja ia merasa tidak diawasi. Sj juga melihat kehidupan
petani sangat bergantung dari hasil pertanian sehingga tidak tentu. Apa
yang bisa petani lakukan hanya menanam dan berharap nasib baik akan
datang. Keinginan untuk bekerja di ranah selain pertanian pun ia rasa
kurang dimungkinkan karena ketiadaan akses serta keterbatasan diri. Sj
sendiri menganggap selain otonomi atas kerja pertanian bisa dijadikan
sandaran hidup, meski lagi-lagi bergantung pada harga pasar. Mengganti
rumah berdinding bambu menjadi permanen ialah hasil yang diperoleh
dari bertani di lahan pantai. Ia sendiri pada akhirnya melepaskan lahannya
karena merasa perjuangannya akan percuma saja bila kawan-kawannya di
paguyuban tidak bertahan teguh dan telah menentukan untuk melepas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
lahan. Selain itu baginya pilihan melepaskan lahan juga akan memudahkan
untuk menjaga ketentraman di lingkungan tempat ia tinggal.
d) Informan 4 (Ey)
Ey mengolah lahan guntai nan amburadul di pesisir dalam proses yang
memakan waktu cukup lama. Sekitar 3400 m2
lahan pasir ia olah sejak
2002. Ia melihat dan turut mempromosikan adanya lahan pasir yang dapat
menjadi titik tolak perubahan ekonomi yang signifikan. Di usia 35 ia
memulai terjun mengolah lahan pasir. Sebelumya ia mencoba peruntungan
dengan berdagang . Hanya saja, ia mengakui, bila sudah merasakan
keuntungan dari pengolahan lahan pesisir pilihan akan jatuh ke aktivitas
pertanian. Ey menekankan, sejak adanya pertanian lahan pantai kehidupan
perekonomian berubah drastis. Bila dahulu rumah gedong bisa dihitung
dengan jari, sekarang mencari rumah berdinding anyaman bambu ialah hal
yang mustahil. Ia mendaku mayoritas kendaraan bermotor yang dimiliki
para petani ialah hasil dari panen cabai mereka. Ia sendiri melihat petani
lahan pantai bukanlah profesi yang menempati pilihan terakhir. Ini dengan
melihat bagaimana banyak orang lokal yang merantau pada akhirnya
kembali pulang untuk bertani. Baginya ada kebanggan tersendiri untuk
tetap bertani. Walaupun begitu ia mengakui menyampaikan kepada anak-
anaknya untuk tidak menjadi seorang petani. Namun demikian, semua itu
berubah menurutnya sejak Paku Alam turun tangan, di tengah proses ia
juga menemui pelbagai kejanggalan. Masyarakat yang menurutnya tertipu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
akhirnya kemudian mayoritas melepaskan lahannya. Sebagai suatu alasan
pelepasan ia sendiri menyadari bahwa konflik internal di dalam rumah
tangganya akibat terbelahnya masyarakat menjadi perhatian utamanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
C. Hasil Analisis Data
Analisis ini dilakukan mengacu pada analisis enam tahap yang disajikan
oleh Willig (dalam Smith, 2008). Analisis enam tahap ini terdiri dari 1) konstruksi
diskursus, 2) pemaparan diskursus-diskursus, 3) orientasi aksi, 4) pemosisian, 5)
praktik, dan 6) subjektivitas. Sebagaimana yang dipaparkan Willig (dalam Smith,
2008) objek diskursus yang menjadi fokus penelitian bersandar pada pertanyaan
penelitian. Dengan demikian, apa yang menjadi fokus kajian ini ialah diskursus
mengenai identitas petani, makna dan kepemilikan lahan, serta proses
pengambilan keputusan.
Tahap 1: Konstruksi Diskursus
Pada tahap pertama, yakni konstruksi diskursus ini akan menelusuri setiap
objek diskursus dan melihat bagaimana dan dalam bentuk apa saja objek tersebut
dikonstruksi.
a) Identitas Petani
Mengacu pada analisis tematik atas proses wawancara empat informan
bisa dilihat bahwa berkenaan dengan identitas petani setidaknya terdapat
dua pandangan umum. Pertama, identitas petani dikonstruksikan sebagai
suatu profesi yang dipilih bersandar pada penaksiran untung-rugi. Kedua,
berkaitan dengan identitas petani yang dikonstruksikan sebagai suatu
profesi yang memiliki otonomi lebih atas pola kerja dibandingkan
pekerja upahan. Berkenaan dengan cara pandang yang pertama, ini erat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
kaitannya dengan pandangan terhadap kemasukakalan petani sebagai
profesi untuk dihidupi serta adanya batasan yang menyertai pilihan
menghidupi profesi petani. Penaksiran kemasukakalan profesi petani
utamanya bertolak pada kemampuan profesi petani menjadi sandaran
hidup atau menjamin kesejahteraan. Sebagaimana yang mereka
sampaikan dalam petikan berikut,
Terus satu-satunya jalan ya saya ikut kakak saya itu yang jadi
tukang bangunan itu, selama tiga bulan. Tetapi gajinya juga
dahulu itu cuma dua puluh dua lah untuk kehidupan. Terus
bertemu teman saya orang Glagah itu yang di TPR itu, teman
saya SMP. Saya bilang ke dia, dia itu sukses dari bertani. Ya,
alhamdulillah mobil punya, dahulu rumahnya juga alhamdulillah
bagus. Ibaratnya sudah sukses kehidupannya saya mengobrol
dengan dia, teman saya itu bilang, kalau kamu hanya di
bangunan tidak akan ada kemajuan. Masalahnya kan hasilnya
hanya cukup sebesar itu saja. Sekarang kamu bertani saja, kalau
ada lahan buka lahan, buka lahan di sebelah selatan. 'Wah aku
enggak punya modal'. 'Modalnya butuh berapa aku carikan'. Ya
kan memang tidak punya tetapi uang itu kan dari bank. Dia yang
mencarikan modal awal itu. Modalnya kurang lebih lima juta,
untuk beli diesel dua juta seratus, sisanya untuk modal itu,
alhamdulillah. Nah, mulai waktu itu saya menekuni bertani (SR
baris 139-140).
Iya, makanya itu sumber, bahkan pokok itu. Kalau sandaran
hidup bagi saya itu ya kurang tepat. Untuk sandaran enggak ada
yang bertani, nyopir pun bisa kan. Tetapi bagi sini kan sumber
ekonominya di sana yang paling utama. Karena hasilnya
menjanjikan, begitu lho (EY baris 319-322).
Ya jelas. Termasuk dari segi ekonominya. Semenjak mengolah
tanah pesisir itu dari segi ekonomi sangat meningkat sekali di
wilayah sepanjang Karangwuni. Dahulu yang rumahnya pakai
bambu sekarang sudah permanen (SJ baris 231-234).
Ha, anu, sebelum menggarap lahan di selatan, tetapi kalau
sekarang ya sudah jadi petani. Sebelum menggarap di lahan
pesisir. Setelah menggarap di pesisir malah saya ini tidak jadi
orang yang bekerja sebagai buruh, malah jadi orang yang
mempekerjakan buruh, seperti itu lho. Jadi dulu karyawan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
sekarang ini, anu, di pesisir itu termasuk jadi bos begitu lho,
hehehe. Untuk mengunduh cabai, terus menggarap tanah, ha
saya itu mempekerjakan orang dari daerah Pleret juga itu, orang
jauh-jauh. Pekerja saya itu kan tadinya ya dari daerah situ itu,
terus dari Ngentakrejo situ itu, daerah Brosot itu (SB baris 513-
521).
Pilihan menjadi petani yang mengacu pada jaminan kesejahteraan ini
erat kaitannya dengan penaksiran informan atas potensi produksi. Bagi
para informan potensi produksi dari proses bertani ialah pintu masuk
untuk hidup sebagai petani. Dalam kata-kata mereka sendiri,
Ya karena yang jelas. Sekarang kalau kita berdagang, saya
sudah berdagang ikan, udah pernah itu dengan petani, enak di
pertanian begitu. Enaknya yang jelas kita bisa langsung
istilahnya merawat perkembangan tanaman sampai proses
penjualan sampai panen sampai penjualan kita tahu. Tapi kalau
kita dagang, kita belum tentu istilahnya mendapatkan
keuntungan yang benar-benar bisa menyamai. Karena yang
jelas pedagang, misalkan pedagang, pedagang ikan dari
penampung sekian satu kilo. Nah, paling kan nek dijual kan
selisihnya 3000 atau 4000. Tapi kalau lahan pertanian kan bisa
sampai tiga kali, lima kali lipat (EY baris 224-232).
...orang yang di perantauan itu kalah dengan bocah yang masih
kecil-kecil. Orang yang di Jakarta, Bandung, dengan bocah
yang lulus SMA enggak pergi dan bertani itu yang dipegang
jutaan kok ya. Itu dengan menanam cabai itu (SR baris (SR
baris 833-836).
Kalau lagi, dua tempat itu sewaktu harganya tinggi itu, dapat 10
pak itu, yang selatan itu 5 pak itu dapatnya 50 juta, bersih itu.
Dua bulan itu mulai merah, empat bulan lah masa panen itu.
Tetapi kalau cabai di pesisir itu habis, daunnya berguguran itu,
dipupuk kompos lagi bisa tembus lagi mas (SJ baris 221-224).
Ya sekitar 15 juta. Ya maksudnya itu pas harganya bagus.
Harga bagus itu, tetapi cabainya ya termasuk tidak, tidak apa
itu, termasuk tidak sukses seperti itu, kalau kisaran segitu. Ya
cabainya termasuk sedang lah, cabainya sedang itu. Orang itu
yang berhasil itu, maksudnya orang selain saya itu lho, itu per
pak bisa menghasilkan satu kuintal. Kalau punya saya itu ya
paling-paling ya. Paling-paling punya saya sepuluh pak itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
paling tujuh kuintal/delapan kuintal, sepuluh pak. Kalau yang
berhasil itu tadi bisa menghasilkan satu ton, sekali petik itu lho.
Itu berapa petik itu, kalau sekali petik itu satu ton itu tadi (SB
baris 589-597).
Di sisi lain, pilihan untuk menghidupi profesi petani tidak serta merta
dipilih oleh informan secara bebas tetapi lebih karena adanya suatu
keterbatasan yang dimiliki berkenaan dengan akses terhadap sumber
daya. Akses atas sumber daya ini dianggap sebagai prakondisi pilihan
mereka untuk hidup sebagai seorang petani. Mereka mengungkapkan,
Ya karena mau mencari pekerjaan sulit kan mas. Mau cari
pekerjaan di pemerintahan juga susah, enggak gampang.
Soalnya harus punya kenalan 'orang dalam'. Kalau enggak
punya kenalan kan susah kan mas, hehehe. Dasarnya orangtua
saya enggak ada biaya. Ya, akhirnya saya terus menerima jadi
petani saja (SJ baris 118-122).
Iya, iya, sudah. Kan karena orangtua dulu tidak bisa membiayai
kan. Di apa, menengah (sekolah menengah) tidak bisa
membiayai jadi saya terus langsung itu tadi, bertani (SB baris
21-23).
Tutup terus saya kehidupan itu istri saya ya buka wiraswasta,
saya hidupnya di jalan, apa saja yang penting halal. Ha, istri
saya buka warung kios sudah maju, selama 2005 sampai 2007
itu tetapi pas itu saya diajak bisnis teman saya, seperti ini, ini,
ini, tetapi. Waduh, mas ngeri-ngeri itu ceritanya itu. Wah apa
ya, segala sudah saya, beban ya, ya pinjam uang itu namanya
buat bisnis ternyata dibawa lari seperti itu ya terus. Ya pertama
lancar, lama-kelamaan langsung, wah semakin lama semakin
besar, ha terus rumah saya jual habis, motor dua saya jual,
daripada saya punya hutang dengan orang, ya saya tutup. Saya
pulang ke sini, pulang ke sini ya cuma bawa uang 20 juta,
punya anak tiga, masih kebayang. Terus membangun rumah
yang di belakang yang dipakai anak saya itu, ya kecil-kecilan
yang penting dapat tinggal di situ. Itu tahun 2007, dahulu juga
sudah ada pro-kontra, tetapi saya belum hapal masalah pro-
kontra masalah JMI dengan petani itu. Itu awal saya, pertama di
sini, itu sudah ada tetapi belum cukup keras lah seperti itu. Saya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
membuka lahan di sana itu satu bulan, di pesisir selatan sana,
sebulan (SR baris 14-29)
Sebagaimana akses terhadap sumber daya yang dianggap sebagai suatu
keterbatasan untuk menjalani profesi lain, ada pula keterbatasan inheren
yang menurut informan tak bisa ditolak, yakni usia. Usia ialah batasan
untuk mereka mengakses profesi lain atau terlibat dalam sistem kerja
upahan. Para informan merefleksikan,
Tetapi ya karena keadaan umur ya sudah menjadi faktor ya
sudah enggak boleh, hampir 50 (SR baris 701-702).
Ya, karena keadaan kalau mau bekerja kalau sudah berumur
seperti saya ini kalau enggak bertani seperti ini. Kalau orang
muda masih bisa ke mana-mana, mau melamar ke mana saja
masih bisa. Tetapi kalau seperti saya sendiri ini sudah tua ini ya
larinya ya ke tani dan berdagang (SR baris 770-774).
Ya, ya kalau saya terus sekarang ini sudah, karena keadaan
sudah semakin, semakin apa umur saya ya sudah tua kan. Ya
sepertinya pikiran itu juga sudah, sudah semakin saya netralkan
begitu lho. Masalah apa-apa itu ya sudah saya netralkan. Jadinya
masalah pesisir ya, enggak, enggak sudah enggak saya pikirkan.
Yang pokok itu terus cuma itu saya lah, bekerjanya di sini ini
terus cuma semampunya begitu lho terusan. Jadi istilahnya itu
pikiran itu sudah lelah dulu sudah, begitu lho juga. Sudah,
sekarang ini sudah tinggal menetralkan keinginan itu. Keinginan
saya ini sendiri seperti itu kan. Ya soalnya anak sudah besar itu
juga jadi biar anak yang generasi penerus (SB baris 1399-1408).
...masih ada harapan untuk menanami. Masalah kerja saya
enggak mungkin karena saya sudah tua, walaupun mungkin ya,
bagaimanapun ada prioritas tetapi saya enggak mau (SJ baris
729-731).
Pada pandangan kedua, identitas petani dikonstruksikan sebagai suatu
profesi yang memiliki otonomi lebih atas pola kerja dibandingkan
pekerja upahan. Dalam konsepsi ini, keleluasaan terkait waktu kerja dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
penentuan standar pekerjaan yang harus dilakukan ialah yang menjadi
acuan ukuran otonomi.
Pernah bekerja, dagang, ya kalau diperbandingkan, dagang sama
bertani kalau sudah merasakan lahan di pesisir, enak bertani.
Yang jelas satu sisi kita kerja ya, dari pagi sampai jam 11,
istirahat nanti jam 3 kerja lagi, bisa melihat dari
pertumbuhannya (EY baris 83-85).
Ya kalau jadi pegawai, kalau misalnya lama. Terkekang kan,
terkekang, kita berangkat jam sekian pulang jam sekian, satu
(EY baris 244-245).
Iya, bertani itu kalau menurut apa yang saya rasakan itu sudah
termasuk posisi yang enak untuk orang itu. Ya, itu yang lega
pikirannya, enggak ada yang menyuruh. Kalau nanti lelah ya
istirahat. Bertani itu sendiri, bukan buruh tani ya, kalau buruh
tani kan di bawah pimpinan. Kalau bertani sendiri kan ya
dipimpin sendiri. (SJ baris 132-134).
Kalau itu ya kalau menurut yang saya rasakan, saya paling
nyaman itu tadi itu bertani. Bertani, bekerja untuk diri sendiri
tidak ada yang mengatur, tidak ada yang memarahi, tidak ada
yang mengusik. Kalau karyawan itu tadi, nanti terlihat agak
lemah sedikit nanti yang punya rumah, misalkan bekerja
membangun rumah di tempat orang itu, yang punya rumah ya
pasti merasani. (SB baris 492-496).
Di sisi lain, berdasarkan pertimbangan kesejahteraan informan
memiliki tendensi meletakkan profesi petani sebagai pilihan terakhir.
Penekanan ini muncul terutama berkenaan dengan penaksiran informan
mengenai pengandaian bila anak mereka mengambil profesi yang sama
dengan mereka, yaitu sebagai petani. Seturut pendapat mereka bahwa,
...cita-cita saya kepada anak saya, jangan sampailah jadi petani
begitu lho ya. Karena, mungkin akan lebih baik. Walaupun
petani menurut saya sendiri yang jalani bisa baik, bisa
menyekolahkan anak saya, tetapi anak saya jangan sampai, yang
lebih baik lagi lah, begitu. Petani pun bagus karena saya
menjalani. Makanya saya jadi petani, alhamdulillah ternyata
hasilnya bagus bisa menyekolahkan anak, dan saya tidak ingin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
anak saya jadi petani. Walaupun hasilnya lumayan, satu sisi
kerja, kalau tidak kerja jadi petani kan enggak bisa dapat hasil,
satu... (EY baris 943-951).
...situasi sekarang kan sudah tidak ada lahan otomatis kan tidak
mungkin jadi petani toh. Wallahu a'lam, karena kalau dilihat dari
situasi sekarang, lingkup di internal Karangwuni itu ternyata
banyak yang keluar, kembali, balik kandang jadi petani lagi,
begitu. Makanya ya, mudah-mudahan lah ya (EY baris 951-
955).
Ya saya bilang ke anak-anak saya itu. Kalau bisa enggak jadi
petani, petani itu jalan terakhir, menurut saya ya ini. Menurut
saya petani itu jalan yang terakhir, iya. Kalau ada pekerjaan lain
enggak usah bertani ... Petani itu jalan terakhir, itu menurut saya
itu lho. Kalau ada pekerjaan lainnya, kerja yang lain (SR baris
340-342 dan 349-350).
b) Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan
Analisis tematik atas proses wawancara menghasilkan beberapa
pandangan umum mengenai pengambilan keputusan yang telah
dilakukan oleh keempat informan. Secara umum pengambilan keputusan
yang terjadi terkonstruksikan menjadi tiga cara pandang. Pertama,
pengambilan keputusan dipandang sebagai bentuk keterpaksaan atas
adanya kondisi yang mendesak. Kedua, pengambilan keputusan dilihat
sebagai sarana penanggulangan risiko. Ketiga, pengambilan keputusan
sebagai titik puncak tegangan mempertahankan sarana produksi dengan
melemahnya gerakan kolektif.
Berkenaan dengan hal yang pertama, perspektif akan adanya kondisi
mendesak didorong oleh dua hal utama, yaitu perhatian terhadap kondisi
yang menekan keluarga (terjadi pada SR dan EY) serta adanya
ketegangan sosial yang dianggap harus dinetralkan (dialami SB dan SJ).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Kondisi yang menekan keluarga dalam kasus SR hadir dalam bentuk
kondisi anak yang sakit sehingga menuntut perhatian lebih serta
menuntut mendesak pengaturan ekonomi domestik.
...suatu saat yang juga jadi musibah lagi, anak saya yang nomor,
yang bungsu itu kena penyakit Thallasaemia itu. Itu dua tahun
lah lho, saya menanam apapun itu alhamdulillah ya mas.
Menanam setancap-tancapnya tanaman saya berhasil. Tetapi ya
hanya untuk berobat anak saya terus. Sebulan sekali itu cuci
darah, minimal 2 botol atau 3 botol. Minimal itu 2 botol,
kadang-kadang 3 botol atau 2 botol. Lha HB-nya itu sampai
hanya 4 lho itu. Sampai pucat anak saya yang kelas 6 itu. dua
tahunlah itu saya tidak punya Jamkesmas, tidak punya apa-apa.
Wah pusing mas, pusing (SR baris 38-46).
...kalau warisan dari nenek-moyang itu kalau bisa jangan dijual
kalau enggak kepepet. Kalau kepepet ya, namanya musibah
enggak tahu kan mas. Hidup, kalau misalnya kecelakaan atau
apa kan kalau enggak punya apa-apa kan, ya apapun bisa dijual
ibaratnya, yang penting nyawa dahulu, kalau saya sendiri seperti
itu (SR baris 740-744).
Saya dan istri saya sudah, "sudah diniati aja Bu, Kun Fayakun."
Masalahnya saya juga bukan yang pertama kali melepas,
masalahnya posisinya sudah kepepet, kiri-kanan seperti itu dan
keadaan anak saya. Kadang mengeluarkan biaya yang banyak,
ekonomi saya juga sedang lemah. Anak saya yang paling besar
sedang membutuhkan biaya sekolah, kekurangan juga belum
dibayar 2 juta empat ratus kalau zaman itu aduh pusing, mau
lulus belum ketebus ijazah (SR baris 1304-1310).
Sedangkan, pada kasus EY kondisi yang menekan keluarga muncul
dalam bentuk adanya tekanan terhadap anggota keluarga. Hal ini dirasa
mendesak bagi EY karena menimbulkan ketidakharmonisan dalam
keluarga.
Saya begini mas, saya kan menumpang, saya kan ikut istri, saya
berkontribusi yang punya kan istri, itu. Saya mau enggak mau
kan tetap ikut istri, apa-apa. Istri kan namanya perempuan,
banyak tekanan-tekanan. Sampai sekarang pun sebenarnya
enggak terima. Kalau pun mau dikembalikan tak kembalikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
uangnya kok, kalau toh bisa lho, tak kembalikan uangnya (EY
baris 575-580).
Peristiwanya ya kekhawatiran kita sebagai petani kalau
seandainya enggak ikut melepaskan kan isunya kan akan
ditutup. Konflik horizontal antara saya, mertua, dan istri, begitu
lho. Akhirnya mendesak lho, saya otomatis kan terpojok. Ya
kan maksudnya kalau saya itu ikut, kedua kalinya, daripada
keluarga ribut sendiri. Saya sampai, sampai, mau pisah lho pada
waktu itu, benar. Banyak yang tahu, tanya warga sini (EY baris
616-621).
Di sisi lain, desakan untuk mengambil keputusan oleh SB dan SJ
dipersepsi hadir akibat perasaan tidak nyaman sejak munculnya
ketegangan sosial. Keputusan pelepasan dalam hal ini dianggap sebagai
pilihan tepat guna menetralkan persoalan ini.
Gantian yang dihukum adat malah yang, yang kontra (tambang).
Yang pro (tambang) gantian menghukum secara adat, seperti itu
lho. Jadi dibalik seperti itu lho. Wah, kalau seperti ini caranya ya
enggak selesai-selesai masalahnya. Ya itu tadi, terpaksa, terpaksa,
saya ini ya memang anu, terus. Terus, dengan teman-teman, ‗sudah,
itu yuk biar dianu aja lah, daripada kok itu tadi cuma bertengkar
dengan tetangga itu tadi, ya sudah mau bagaimana lagi‘. Ya aslinya
berat-berat beneran, berat untuk berat untuk melepaskan, lebih kuat
ingin mempertahankan termasuk seperti itu. ‗Ya sudah itu ya jadi
dilepaskan saja lah daripada kok nanti‘, meskipun nanti, kalau
nanti, pernah dengar dakwahnya kiai itu ‗siapa yang memutuskan
tali silaturahmi enggak bakal diberi jatah tempat di surga‘ seperti
itu juga, saya yang berat itu, yang pokok itu. Ha bagaimana kalau
tidak ingin memutuskan (hubungan) orang yang dirasakan saja
dongkol kok tidak ingin memutuskan. Ha ya tapi mau memutuskan
(hubungan) saya itu tadi memikirkan tidak punya jatah tempat di
surga itu tadi kan. Yang tidak kuat itu yang jelas. Kalau belum
pernah mendengar hal seperti itu saya masih, ya istilahnya, masih
agak kuat begitu lho. Tetapi sejak kok urusannya dengan persoalan
akhirat saya ya memang terus anu terusan malah. Ya sepertinya itu
usaha mempertahankannya itu semakin, semakin melelahkan,
semakin melelahkan begitu lho. Saya akhirnya pergi ke teman-
teman saya ajak, ajak melepas saja lah (SB baris 794-815).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Karena kalau melepaskan diri, sendiri-sendiri kan nantinya
jadinya cekcok, ada kecurigaan. Ah, situ menyerahkan, jengkel, ya
akhirnya ada konflik sosial. Kalau sudah berbarengan, sudah
enggak ada menyimpan perasaan tidak enak itu (SJ baris 375-378)
Kedua, pengambilan keputusan dilihat sebagai sarana
penanggulangan risiko. Secara mendasar pengambilan keputusan
melepas sebagai sarana mengatasi risiko ini mengacu pada dua bentuk
risiko riil. Pertama berkenaan dengan pengolahan lahan, sedangkan yang
kedua mengenai antisipasi atas risiko sosial yang muncul. Keduanya
berkaitan erat dengan pencarian jaminan yang lebih memiliki kepastian
kondisi dibandingkan kondisi yang lain yang coba diantisipasi.
Hal ini bisa dilihat dari bagaimana SB mencoba mengatasi penaksiran
risiko bertani dengan pengandaian menanganinya dengan adanya jaminan
pelepasan,
Ya kalau pasar itu tergantung apa ya, soal harga itu tergantung
ini barangnya. Kalau pas musimnya, musim itu cuacanya
enggak mendukung itu kan susah toh itu tidak ada barang, ha itu
harganya kan lumayan. Kalau sewaktu, pas musimnya itu tadi di
tengah itu tadi kan barang lumayan banyak toh, pasar banyak
terus itu tadi, harganya terus agak murah (SB baris 317-321).
Enggak, anu, saya ini ya, mohon maaf ini saya ini tadinya diberi
iming-iming oleh timnya itu. Ya itu, diberi iming-iming timnya,
‗Kalau anda, Mbah anda tidak usah minta‘. Sama satu orang
kawan besok bakal dicarikan pekerjaan di, anu itu tadi (SB baris
199-202).
Sedangkan di sisi yang lain, SJ, EY, dan SR, menyandarkan diri pada
keputusan pelepasan guna menendang risiko ketidakpastian pengelolaan
lahan bila tetap bertahan jauh-jauh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Ya iya. Kalau saya enggak melepas lahan, saya mau lewat mana,
kalau mau bekerja di situ, mengolah lahan, menanami di situ
lewat mana, ya tetap enggak bisa. Ya, daripada enggak dapat
ganti rugi mending dapat ganti rugi. Dapat ganti rugi terus nanti
dicarikan ganti yang benar-benar (SJ baris 767-768).
Ya, daripada enggak dapat ya harus dapat. Kalau enggak dapat
ganti rugi, enggak dapat ganti rugi pelepasan hak garap lebih
baik mendapat ganti rugi. Ganti rugi yang didapat itu nanti
jangan digunakan untuk disia-siakan. Untuk dibelikan tanah
seperti itu, tanah lagi. Jadi besok nanti bisa diberikan ke anak-
cucu. Pemikiran saya seperti itu mas melepasnya itu. Daripada
saya enggak dapat mending saya dapat (SJ baris 522-524).
Peristiwanya ya kekhawatiran kita sebagai petani kalau
seandainya enggak ikut melepaskan kan isunya kan akan
ditutup... masih ada harapan untuk menanami (EY baris 616-617
dan 729).
...karena saya ini pendatang baru di sini, lahan milik saya itu
bagiannya di RT 09. Di RT 09 itu sudah dilepas semua, tempat
saya itu sudah terjepit di situ. Saya itu di sebelah selatannya,
selatannya itu sudah daerah laut, barat, utara, timur itu sudah
dijual, punya saya bagaimana? (SJ baris 914-918).
Ya, sudah enggak enak kan kalau seperti itu ya, perasaan ya
mas. Itu ada orang dari sebelah berat-berat banyak yang bekerja
di situ saya cuma sendiri di situ kan enggak enak di hati (SJ
baris 932-934).
Di sisi lain, pencarian jejaring penyelamat ini juga menunjukkan
bahwa antisipasi atas risiko yang coba diusahakan juga menyentuh
persoalan risiko sosial. Seperti apa yang dialami oleh SB,
...cuma mau emosi saja dengan, dengan yang melepas itu tadi.
Itu yang saya cegah itu tadi. Nanti takutnya nanti lepas kontrol,
nanti akhirnya apa, bisa menimbulkan yang tidak diinginkan
begitu lho sepertinya begitu itu. Dengan tiba-tiba ya nanti terus,
bertemu di jalan dua-duanya sendiri seperti itu, nanti yang saya
khawatirkan kan seperti itu tadi (SB baris 1278-1283).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Kan karena PPLP itu menyeluruh kan, menyeluruh itu. Terus
dari sini ke sana, yang di sini pokoknya, soal persaudaraan itu
tadi, soal bergaul itu tadi sehari-harinya. Kalau di sana kan
istilahnya kan berapa bulan sekali, berapa hari sekali, itu saya
terus bisa melepas ya begitu itu. Mengutamakan yang lebih
dekat, iya. Masalahnya saya itu ya hidupnya di, di lingkungan
masyarakat sini. Lingkungan masyarakat yang sudah pada lepas
begitu. Sudah pada habis, melepas itu tadi (SB baris 1171-
1178).
Ketiga, pengambilan keputusan sebagai titik puncak tegangan
mempertahankan sarana produksi dengan melemahnya gerakan kolektif.
Ketegangan di sini muncul sebagai akibat penaksiran antara usaha
mempertahankan dengan kolektivitas gerakan yang semakin terbelah.
Usaha para informan untuk mempertahankan sarana produksi terutama
didasari oleh potensi produksi lahan.
Ya itu tadi, kalau soal saya berpikirnya itu bisa dipertahankan
kan? Kalau nanti jadi uang nanti sekian bulan, sekian tahun
sudah habis. Tapi kalau, bisa bertahan, harapan, harapannya
kalau seumur hidup hasilnya ya, hasilnya ya seumur hidup
begitu lho, seanak-cucu itu masih ada hasilnya. Tapi kan kalau
begini ini kan sudah, sudah habis terusan, itu saya berpikirnya
kan seperti itu tadinya, mempertahankannya. Kalau kuat pun
kan itu tadi, seperti itu tadi. Jadi kalau, kalau sudah jadi uang
kan seperti itu tadi, sudah langsung habis seperti itu. Kalau
masih bertani kan itu tadi, sampai anak, turun-temurun kan
masih, masih ada hasilnya kan seperti itu (SB 1145-1153).
Penghasilan pendapatan. Ya, ibaratnya ya untuk menyekolahkan
dan memberi kendaraan, untuk membangun rumah itu
sebenarnya bisa. Kalau dahulu bertani, awal-awalnya saya itu
ya. Itu seperti gampang itu lho mas. Harga itu, berturut-turut
harga mahal terus itu cabai itu. Ibaratnya anak saya minta
kendaraan ya saya mampu, ibaratnya untuk membangun gubuk-
gubuk ya mampu (SR baris 481-486).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Kalau menurut saya ya sudah. Karena lahan tersebut lahan
produktif untuk mencukupi kebutuhan hidup. Yang mendasar ya
itu. Enggak menolak karena itu kepunyaan Pakualam itu
enggak. Pokoknya menolak untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Itu kan cocok karena lahan tersebut lahan produktif, titik, seperti
itu (SJ baris 876-880).
Yang jelas mempertahankan karena itu sumber ekonomi, satu
ya. Saya sudah merasakan nyata, riil, itu memang bisa
memberikan segalanya lah bagi saya, versi saya. Memang dari
untuk masalah materi, pendidikan anak, Alhamdulillah bisa
tercapai lah. Yang paling utama itu, yang paling pokok, kalau
kita mengaku petani kalau kita punya lahan. Sekarang kalau
kamu petani lahannya mana? Kan enggak lucu toh? Otomatis
yang tanya enggak percaya. Kamu petani, jangan hanya saya
bilang teorinya begini, praktiknya, tetapi lahannya mana? Nah
itu lho (EY baris 762-765).
Di sisi yang berlainan, penaksiran bahwa lahan yang kemudian telah
dilepas itu potensial serta produktif berbenturan dengan anggapan para
informan atas kolektivitas dalam mempertahankan lahan. Mereka
mengeluhkan bahwa,
Ya itu tadi sepertinya itu sudah, sudah pada lelah atau
bagaimana. Sudah capek atau bagaimana. Ya anu, kenyataannya
saya ajak anu itu sudah langsung lepas berbarengan itu kan
termasuknya anu, apa sudah capek juga itu tadi seperti itu lho
(SB baris 981-985).
...tetapi kalau keadaan ya bagaimana mas. Orang saya juga
enggak minta. Saya enggak ingin kaya yang penting cukup
seperti itu. Kan orang yang enggak bisa memandang. Inginnya
ya ayo kita bersatu kita teguh tetapi nyatanya ada kesusahan
enggak ada yang menolong. Bagaimana ini? Kalau keinginan
saya ya bersatu kalau ada yang kesusahan ya dirangkul atau
seperti apa, ya saya sepakat kalau seperti itu. Ada salah satu
yang membutuhkan pertolongan enggak ada yang merangkul
bagaimana itu. Apa itu namanya bersatu seperti itu? Jadi kan
hanya mencari keselamatan pribadi (SR baris 1160-1168).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Wah masih sangat kuat. Tetapi setelah saya melepas itu sudah
bobol. Enggak sampai tiga minggu itu langsung jebol semua.
Ya, sewaktu itu saling tuduh-menuduh itu. Ya saya cuma ikut
dia, katanya dia. Ya, saya sewaktu itu keadaannya agak
diasingkan kan itu. Pokoknya sewaktu saya bicara di kelompok
itu ya saya tegas. Ya saya minta pertimbangan kalau lahan saya
posisinya sudah, timurnya, baratnya, utaranya sudah dilepas
lahannya. Masalahnya orang RT 09 itu sudah melepas semua.
Ya, enggak dijual, diganti rugi, dilepas (SR baris 1518-1525).
Iya, dua di sini ini yang melepas baru dua, tetapi masyarakat itu
sudah ribut, "sudah buruan dilepas saja, sudah dilepas saja"
seperti itu mas. Jadi saya dan Paklik B itu enggak bisa
mempertahankan. Mau mempertahankan "jangan, jangan
dilepas, enggak berani." Seperti itu jadi masyarakat memang
belum melepaskan tetapi pembicaraannya itu "sudah dilepas
saja", "dilepas saja, daripada besok enggak dapat apa-apa,"
seperti itu mas (SJ baris 815-820).
Ya untuk semua, tetapi setelah saya resapi ya, saya pikir,
ternyata ibaratnya balon mas. Ternyata dalamnya kosong,
percuma dipertahankan toh. Akhirnya kan pecah. Saya gembar-
gembor tetapi barisannya sudah lepas. Enggak kompak, yang
jelas enggak konsisten lah. Saya merasakan sebenarnya, setiap
kali ada panggilan di kepolisian itu enggak ada yang berani
nongol kok (EY baris 903-908).
c) Makna dan Kepemilikan Lahan
Bila menyusuri analisis tematik atas proses wawancara yang dilakukan
dapat ditemui beberapa pandangan umum mengenai makna dan persoalan
kepemilikan lahan. Kepemilikan lahan dikonstruksikan oleh keempat
informan sebagai friksi antara pencurahan kerja terhadap tanah dengan
legalitas kepemilikan. Di satu sisi, para petani memandang adanya suatu
bentuk kepemilikan berdasar kerja yang mereka curahkan.
Sisa yang kosong, masalahnya saya itu cuma sisa tanah. Di sini
sudah ada yang menggarap belum? 'Belum mas. Sudah kamu di
situ aja, menggarap di situ. Kalau kanan-kirinya sudah ada, ya
sebagian ada yang di bagian sebelah utara itu lebih luas tetapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
kondisi lahannya naik turun, jadi mencari daerah yang agak
datar sedikit, 2007 itu. Terus digarap, menanam, tetapi
menanam yang sekiranya masih bisa, semangka kan enggak
semua digarap kan, pakai jarak kira-kira empat meter, digarap,
empat meter digarap. Itu sambil berjalan sambil diratakan,
panjang prosesnya mas, itu satu bulan penuh saya sama istri dan
anak saya. Itu sudah menggarap di tegalan tempat bapak saya
tetapi hanya sedikit, kepunyaan bapak saya itu. Satu bulan
dengan anak dan istri saya itu dari subuh sampai sore, alas ya
alas beneran (SR baris 430-441).
Iya mikirnya ada lahan kosong terus diolah begitu saja (SJ baris
10).
Mengolah sendiri, istilahnya kan lahan tersebut kan lahan
kosong. Ya, dari turun-temurun terus kan istilahnya kan orang
tua ya, orang tua saya karena istilahnya lahan masih guntai terus
posisinya amburadul seperti itu saya ratakan. Pakai proses ya,
untuk jadi pertanian kan butuh proses sampai pakai angkong,
pakai alat berat ya (EY baris 3-7).Iya, ha saya itu meratakan
tanah itu saja ada yang mengatai ‗aneh-aneh saja‘ seperti itu
juga kok itu. Meratakan tanah itu, keadaannya kan seperti ini
kan (melukiskan dengan gerakan tangan tanah yang
menggunung). Terus saya timbun jadi rata pakai gerobak sorong
itu, yang buat angkut-angkut itu. Itu meratakan tanah itu tadi
supaya enak sewaktu menggarap itu tadi kan. Itu tadi kemudian
terus selepas itu pada ikut-ikutan tadi itu. Mayoritas itu tadi di
pesisir semua (SB baris 401-407).
Kalau saya kira ya cuma murni tanah pesisir begitu. Tidak tahu
kalau itu tanah PA atau bagaimana. Kalau yang saya kira ya
tanah negara. Tidak mengerti selain itu, itu milik Sultan atau
milik Paku Alam itu tidak mengerti. Kalau menurut informasi
itu dulu ya tidak termasuk tanahnya Paku Alam bukan tanahnya
Sultan itu. Tapi itu termasuk di, di, apa ya, dikuasai oleh pihak
Kasultanan seperti itu, kalau saya kira begitu. Jadi Kasultanan
diberi hak, diberi wewenang daerah sini ini lho. Kalau menurut
perkiraan saya seperti itu, tidak kok hak milik itu, tidak ada itu.
Kalau sepengetahuan saya itu termasuk hak masyarakat. Cuma
diberi wewenang menguasai daerah sini ini begitu, kalau
menurut saya seperti itu. Menurut embah, yang diceritakan
seperti itu. Enggak apa ya, hak milik itu sepertinya enggak ada,
tetap hak masyarakat (SB baris 54-65).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Di sisi yang lain, ada sebentuk kesangsian dengan berbasis argumen
legalitas bahwa tanah yang mereka olah tidak sepenuhnya mereka miliki.
Bertahan, iya. Tetapi karena yang dipertahankan itu, itu kan
bukan tanah bersertikat, bukan tanah pribadi. Kalau itu kan
bukan tanah sendiri, cuma penggarap. ibarat kasarnya kalau mau
diminta kembali ya silakan saja, ada ganti ruginya (SR baris
993-996)
Kalau yang tanah itu kan di surat perjanjian kan ada. Bahwa
tanah tersebut adalah tanah Pakualaman. Tanah Pakualam
Ground, jadi kalau itu besok diminta sewaktu-waktu, ya kita
enggak bisa mencegah, enggak bisa mempertahankan. Orang itu
dulu tanah PA. Tetapi ada yang tidak mengakui, tidak
mengakui, tetapi saya sendiri tidak terlalu jelas itu untuk yang
tidak mengakui (SJ baris 621-626).
...di sini itu lahannya negara, kalau sudah diklaim kan otomatis
anak enggak menanyakan. 'Oh, itu lahannya PA-e.' Tahunya kan
lahannya JMI. Masyarakat sini enggak tahu lahannya PA,
tahunya JMI. Tetapi kok kenapa sertifikat atas nama PA?
Begitu. Karena kita kan ini ada dua ya, yang satu pesisir yang
satu tegalan. Kalaunya petaninya dari tegalan otomatis kan anak
tahu karena legalitasnya jelas. Tegalan punya bapak saya, bukti
legalitasnya ada di sertifikat. Kalau pesisir enggak, karena yang
jelas yang saya sampaikan, walaupun itu sudah dua puluh tahun,
dua puluh lima tahun tapi kan pemerintah sendiri tidak
memberikan kepastian. Kan masih bingung kan, tanah absentia
tanah siapa toh, sebelum bilang ke pihak PA (EY baris 466-
475).
Tahap 2: Pemerian Diskursus-diskursus
Pada tahap kedua, yakni pemaparan diskursus-diskursus ini
konstruksi-konstruksi atas objek diskursus yang digali pada tahap pertama
akan ditempatkan pada konstruksi diskursus yang lebih luas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
a) Identitas Petani
Berkaitan dengan identitas petani kita bisa melihat bahwa konstruksi
petani sebagai profesi yang dipilih berdasar pada penaksiran untung dan
rugi erat kaitannya dengan diskursus ekonomi. Gagasan ini terutama
berhubungan dengan pandangan penaksiran untung-rugi pemilihan suatu
profesi. Petani dengan demikian tidak serta-merta ditempatkan sebagai
sebuah identitas diri yang dihidupi dalam hal ini melainkan suatu profesi
yang dapat dipilih berdasar penaksiran kegunaannya saja. Ini terutama
dalam konteks petani sebagai suatu jaminan sarana pencapaian
kesejahteraan. Peran penjamin kesejahteraan ini meneguhkan kerja
diskursus ekonomi dalam konstruksi ini terutama berkenaan dengan
penaksiran potensi produktifitas dari proses bertani itu sendiri.
Di sisi lain, adanya prakondisi keterbatasan yang membuat informan
mengidentifikasi dirinya sebagai seorang petani menunjukkan adanya
diskursus akses. Hal ini terutama berhubungan dengan persepsi tentang
adanya keterbatasan sumber daya yang dialami informan untuk
mengakses profesi lain. Pada titik ini posisi setengah hati menunjukkan
identitas petani yang ditunjukkan mengedepankan diskursus sistem kerja
upahan. Hal ini yang mengemuka dalam identifikasi diri berdasar usia
dalam kaitannya dengan akses terhadap pekerjaan lain. Mengikuti
susunan logika tersebut pula dapat dilihat bahwa adanya tendensi untuk
meletakkan profesi petani sebagai pilihan terakhir menandai adanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
diskursus ketimpangan yang menyertai. Gagasan ini berjalin erat dengan
adanya keterbatasan akses yang sebelumnya disampaikan.
Dalam konsepsi lain yang terbentuk berkenaan dengan identitas
petani, yakni konstruksi bahwa petani profesi yang memiliki otonomi
lebih atas pola kerja dibandingkan pekerja upahan menggambarkan
diskursus otonomi yang bekerja. Dalam konsepsi ini, keleluasaan terkait
waktu kerja dan penentuan standar pekerjaan yang harus dilakukan ialah
yang menjadi acuan ukuran otonomi.
b) Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan
Menelusuri objek diskursus lain, yakni proses pelepasan lahan kita
dapat melihat bahwa, konstruksi pelepasan sebagai efek dari
keterpaksaan atas adanya kondisi yang mendesak memuat dua diskursus
sekaligus. Pertama, diskursus keluarga batih yang menjadi prakondisi
perhatian terhadap keluarga. Kedua, diskursus kohesivitas sosial yang
turut mendasari ketidaknyamanan akan adanya ketegangan sosial.
Diskursus risiko mengemuka sebagai titik tolak konstruksi pelepasan
dilihat sebagai sarana penanggulangan risiko. Ini mendasari bagaimana
risiko berkenaan dengan pengolahan lahan maupun risiko sosial yang
muncul coba diantisipasi. Cara pandang ini mengerangkai bagaimana
pencarian jaminan yang lebih memiliki nilai kepastian lebih tinggi coba
diusahakan. Sedangkan di sisi yang lain ini juga mewadahi alasan
informan mencoba menghalau ketidakpastian jauh-jauh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Konstruksi pengambilan keputusan sebagai puncak tegangan
mempertahankan lahan produksi dengan melemahnya gerakan kolektif
juga mengandung dua diskursus yang tumpang tindih. Di satu sisi,
diskursus ekonomi berkenaan dengan usaha para informan untuk
mempertahankan sarana produksi yang alasan utamanya didasari oleh
potensi produksi lahan. Di sisi yang lain, usaha mempertahankan sarana
produksi ini berhadapan dengan penaksiran melemahnya gerakan yang
berada di bawah bayang-bayang diskursus kolektivitas.
c) Makna dan Kepemilikan Lahan
Bila kepemilikan lahan yang menjadi fokus pembahasan, satu yang
dapat ditangkap dari konstruksi friksi antara pencurahan kerja terhadap
tanah dengan legalitas kepemilikan, yakni diskursus legal dan diskursus
kepemilikan berdasar kerja. Di satu sisi, para petani memandang adanya
suatu bentuk kepemilikan pribadi berdasar kerja yang mereka curahkan
terhadap lahan. Sedang di sisi yang lain, ada suatu kesangsian yang
muncul atas dasar argumen kepemilikan pribadi mereka tidak disokong
bukti legal.
Tahap 3: Orientasi Aksi
Pada tahap ketiga, yakni orientasi aksi adalah penelusuran secara
lebih mendalam konteks-konteks dari diskursus yang mengemuka.
Utamanya guna melihat apa yang didapat dari konstruksi objek dengan
suatu cara tertentu pada bagian tertentu dari teks. Serta guna melihat apa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
fungsi konstruksi tersebut di tengah-tengah konstruksi yang melingkupi
teks tersebut.
a) Identitas Petani
Berkaitan dengan identitas petani kita bisa melihat bahwa konstruksi
petani sebagai profesi yang dipilih berdasar pada penaksiran untung dan
rugi erat kaitannya dengan pertanyaan terhadap informan mengenai
apakah adanya lahan yang dimiliki membantu dalam kehidupan. Hal
tersebut diikuti dengan paparan informan mengenai potensi petani dalam
menjadi sandaran hidup. Konstruksi penaksiran untung dan rugi ini
menunjukkan suatu tendensi implisit oleh informan mengenai penaksiran
potensi profesi petani dalam menghadirkan suatu mobilitas sosial
(seperti, ‗Saya bilang ke dia, dia itu sukses dari bertani. Ya,
alhamdulillah mobil punya, dahulu rumahnya juga alhamdulillah bagus,‘
dalam SR baris 139-140 atau ‗Dahulu yang rumahnya pakai bambu
sekarang sudah permanen.‘ SJ baris 233-234, ataupun ‗Jadi dulu
karyawan, sekarang ini, anu, di pesisir itu termasuk jadi bos begitu lho,
hehehe,‘ SB baris 516-517). Selain itu, penaksiran untung dan rugi
tersebut juga dapat menandai pandangan informan bahwa keuntungan,
atau secara lebih spesifik kesejahteraan, ialah pintu masuk bagi pilihan
untuk menjadi petani. Dengan begitu akan masuk akal bila keuntungan
yang menjadi tolok ukur awal. Seperti apa yang dikemukakan bahwa,
...orang yang di perantauan itu kalah dengan bocah yang masih
kecil-kecil. Orang yang di Jakarta, Bandung, dengan bocah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
lulus SMA enggak pergi dan bertani itu yang dipegang jutaan
kok ya. Itu dengan menanam cabai itu (SR baris 833-836).
Kalau lagi, dua tempat itu sewaktu harganya tinggi itu, dapat 10
pak itu, yang selatan itu 5 pak itu dapatnya 50 juta, bersih itu.
Dua bulan itu mulai merah, empat bulan lah masa panen itu.
Tetapi kalau cabai di pesisir itu habis, daunnya berguguran itu,
dipupuk kompos lagi bisa tembus lagi mas (SJ baris 221-224).
Di sisi yang lain, orientasi terhadap keuntungan juga berguna pula
sebagai cara informan guna menyediakan alasan mengapa mereka (para
informan) tetap bertahan menjadi seorang petani. Posisi ini relevan
mengingat petani tidak serta-merta ditempatkan sebagai sebuah identitas
diri yang dihidupi hanya karena menyimpan potensi pemenuhan
kesejahteraan. Petani ialah profesi yang kemudian dipilih dengan alasan
ketiadaan akses terhadap sumber daya (seperti, ―Ya karena mau mencari
pekerjaan sulit kan mas. Mau cari pekerjaan di pemerintahan juga susah,
enggak gampang. Soalnya harus punya kenalan 'orang dalam'‖, SJ baris
118-120 ataupun ―Kan karena orangtua dulu tidak bisa membiayai kan.
Di apa, menengah (sekolah menengah) tidak bisa membiayai jadi saya
terus langsung itu tadi, bertani‖ (SB baris 21-23). Begitu pula petani ialah
pilihan ketika terdapat batasan akses terhadap sistem kerja upahan yang
tidak mengakomodir persoalan usia (―Tetapi ya karena keadaan umur ya
sudah menjadi faktor ya sudah enggak boleh, hampir 50,‖ SR baris 701-
702 maupun ―Kalau orang muda masih bisa ke mana-mana, mau
melamar ke mana saja masih bisa. Tetapi kalau seperti saya sendiri ini
sudah tua ini ya larinya ya ke tani dan berdagang,‖ SR baris 772-774).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Konstruksi lain atas objek diskursus identitas petani berkenaan dengan
otonomi juga dapat membawa kita ke dalam orientasi yang sama, yakni
menyediakan alasan mengapa mereka (para informan) tetap bertahan
menjadi seorang petani. Ini seturut konsepsi bahwa petani profesi yang
memiliki otonomi lebih atas pola kerja dibandingkan pekerja. Dalam
konsepsi ini, keleluasaan terkait waktu kerja dan penentuan standar
pekerjaan menjadi alasan masuk akal para informan untuk bertahan
sebagai petani. Kembali ke pernyataan mereka sendiri,
Pernah bekerja, dagang, ya kalau diperbandingkan, dagang sama
bertani kalau sudah merasakan lahan di pesisir, enak bertani.
Yang jelas satu sisi kita kerja ya, dari pagi sampai jam 11,
istirahat nanti jam 3 kerja lagi, bisa melihat dari
pertumbuhannya (EY baris 83-85).
Ya kalau jadi pegawai, kalau misalnya lama. Terkekang kan,
terkekang, kita berangkat jam sekian pulang jam sekian, satu
(EY baris 244-245).
Iya, bertani itu kalau menurut apa yang saya rasakan itu sudah
termasuk posisi yang enak untuk orang itu. Ya, itu yang lega
pikirannya, enggak ada yang menyuruh. Kalau nanti lelah ya
istirahat. Bertani itu sendiri, bukan buruh tani ya, kalau buruh
tani kan di bawah pimpinan. Kalau bertani sendiri kan ya
dipimpin sendiri. (SJ baris 132-134).
Kalau itu ya kalau menurut yang saya rasakan, saya paling
nyaman itu tadi itu bertani. Bertani, bekerja untuk diri sendiri
tidak ada yang mengatur, tidak ada yang memarahi, tidak ada
yang mengusik. Kalau karyawan itu tadi, nanti terlihat agak
lemah sedikit nanti yang punya rumah, misalkan bekerja
membangun rumah di tempat orang itu, yang punya rumah ya
pasti merasani. (SB baris 492-496)
Namun, ada pula tendensi bahwa ketiadaan akses membuat konstruksi
‗petani sebagai profesi yang dipilih berdasar pada penaksiran untung dan
rugi‘ menghadirkan negasi atas profesi petani. Ini merupakan jalan logis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
yang akan ditempuh saat diskursus ekonomi mengemuka. Mereka sendiri
menyatakan,
...cita-cita saya kepada anak saya, jangan sampailah jadi petani
begitu lho ya. Karena, mungkin akan lebih baik. Walaupun
petani menurut saya sendiri yang jalani bisa baik, bisa
menyekolahkan anak saya, tetapi anak saya jangan sampai, yang
lebih baik lagi lah, begitu. Petani pun bagus karena saya
menjalani. Makanya saya jadi petani, alhamdulillah ternyata
hasilnya bagus bisa menyekolahkan anak, dan saya tidak ingin
anak saya jadi petani. Walaupun hasilnya lumayan, satu sisi
kerja, kalau tidak kerja jadi petani kan enggak bisa dapat hasil,
satu... (EY baris 943-951).
...situasi sekarang kan sudah tidak ada lahan otomatis kan tidak
mungkin jadi petani toh. Wallahu a'lam, karena kalau dilihat
dari situasi sekarang, lingkup di internal Karangwuni itu
ternyata banyak yang keluar, kembali, balik kandang jadi petani
lagi, begitu. Makanya ya, mudah-mudahan lah ya (EY baris
951-955).
Ya saya bilang ke anak-anak saya itu. Kalau bisa enggak jadi
petani, petani itu jalan terakhir, menurut saya ya ini. Menurut
saya petani itu jalan yang terakhir, iya. Kalau ada pekerjaan lain
enggak usah bertani ... Petani itu jalan terakhir, itu menurut saya
itu lho. Kalau ada pekerjaan lainnya, kerja yang lain (SR baris
340-342 dan 349-350).
b) Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan
Bergerak ke bagian lain, dalam proses pelepasan lahan kita dapat
melihat bahwa, konstruksi pelepasan sebagai efek dari keterpaksaan atas
adanya kondisi yang mendesak mendorong suatu orientasi aksi. Apa
yang dimaksud ialah pelepasan sebagai suatu representasi ‗tindakan
bertanggungjawab‘. Adanya potensi efek negatif baik di dalam keluarga
mapun lingkungan sosial. menjadi hal yang kemudian tertanggulangi
dengan proses pelepasan tersebut. Konstruksi pelepasan atas dasar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
adanya keterpaksaan karena kondisi mendesak mengisyaratkan adanya
suatu aksi mengatasi berbagai kondisi seperti berikut,
Menanam setancap-tancapnya tanaman saya berhasil. Tetapi ya
hanya untuk berobat anak saya terus. Sebulan sekali itu cuci
darah, minimal 2 botol atau 3 botol (SR baris 40-42).
Akhirnya mendesak lho, saya otomatis kan terpojok. Ya kan
maksudnya kalau saya itu ikut, kedua kalinya, daripada keluarga
ribut sendiri (EY baris 618-620).
Wah, kalau seperti ini caranya ya enggak selesai-selesai
masalahnya. Ya itu tadi, terpaksa, terpaksa, saya ini ya memang
anu, terus. Terus, dengan teman-teman, ‗sudah, itu yuk biar
dianu aja lah, daripada kok itu tadi cuma bertengkar dengan
tetangga itu tadi, ya sudah mau bagaimana lagi‘ (SB baris 797-
800).
Karena kalau melepaskan diri, sendiri-sendiri kan nantinya
jadinya cekcok, ada kecurigaan. Ah, situ menyerahkan, jengkel,
ya akhirnya ada konflik sosial. Kalau sudah berbarengan, sudah
enggak ada menyimpan perasaan tidak enak itu (SJ baris 375-
378)
Konstruksi pelepasan dilihat sebagai sarana penanggulangan risiko
sendiri di hadapan informan sendiri mengisyaratkan bahwa mereka
‗mengusahakan memasuki zona aman meskipun bukan zona nyaman‘.
Konstruksi ini sendiri menggambarkan bagaimana risiko berkenaan
dengan pengolahan lahan yang muncul coba diantisipasi. Bahwa berbagai
hal yang mereka kemukakan akan coba ditangani.
Ya kalau pasar itu tergantung apa ya, soal harga itu tergantung
ini barangnya. Kalau pas musimnya, musim itu cuacanya
enggak mendukung itu kan susah toh itu tidak ada barang, ha itu
harganya kan lumayan. Kalau sewaktu, pas musimnya itu tadi di
tengah itu tadi kan barang lumayan banyak toh, pasar banyak
terus itu tadi, harganya terus agak murah (SB baris 317-321).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Enggak, anu, saya ini ya, mohon maaf ini saya ini tadinya diberi
iming-iming oleh timnya itu. Ya itu, diberi iming-iming timnya,
‗Kalau anda, Mbah anda tidak usah minta‘. Sama satu orang
kawan besok bakal dicarikan pekerjaan di, anu itu tadi (SB baris
199-202).
Ya iya. Kalau saya enggak melepas lahan, saya mau lewat mana,
kalau mau bekerja di situ, mengolah lahan, menanami di situ
lewat mana, ya tetap enggak bisa. Ya, daripada enggak dapat
ganti rugi mending dapat ganti rugi. Dapat ganti rugi terus nanti
dicarikan ganti yang benar-benar (SJ baris 767-768).
Ya, daripada enggak dapat ya harus dapat. Kalau enggak dapat
ganti rugi, enggak dapat ganti rugi pelepasan hak garap lebih
baik mendapat ganti rugi. Ganti rugi yang didapat itu nanti
jangan digunakan untuk disia-siakan. Untuk dibelikan tanah
seperti itu, tanah lagi. Jadi besok nanti bisa diberikan ke anak-
cucu. Pemikiran saya seperti itu mas melepasnya itu. Daripada
saya enggak dapat mending saya dapat (SJ baris 522-524).
Peristiwanya ya kekhawatiran kita sebagai petani kalau
seandainya enggak ikut melepaskan kan isunya kan akan
ditutup... masih ada harapan untuk menanami (EY baris 616-617
dan 729).
...karena saya ini pendatang baru di sini, lahan milik saya itu
bagiannya di RT 09. Di RT 09 itu sudah dilepas semua, tempat
saya itu sudah terjepit di situ. Saya itu di sebelah selatannya,
selatannya itu sudah daerah laut, barat, utara, timur itu sudah
dijual, punya saya bagaimana? (SR baris 914-918).
Ya, sudah enggak enak kan kalau seperti itu ya, perasaan ya
mas. Itu ada orang dari sebelah berat-berat banyak yang bekerja
di situ saya cuma sendiri di situ kan enggak enak di hati (SR
baris 932-934).
Zona aman yang dikerangkai oleh orientasi tersebut secara umum
dalam bentuk pemilihan jaminan dalam pilihan yang memiliki nilai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
kegunaan lebih tinggi. Sejalan dengan pilihan tersebut taraf
ketidakpastian juga menjadi berkurang.
Di sisi yang lain, konstruksi pengambilan keputusan sebagai puncak
tegangan mempertahankan lahan produksi dengan melemahnya gerakan
kolektif yang mengandung dua diskursus yang tumpang tindih juga
memuat suatu orientasi aksi yang signifikan. Terutama saat alasan
jaminan kesejahteraan bagi pribadi bila bertahan direlakan atas dasar
unsur kolektivitas yang melemah. Dengan begitu, keputusan terhadap
konstruksi adanya tegangan mempertahankan lahan produksi dan
melemahnya gerakan kolektif dapat dipandang sebagai ‗pengedepanan
kepentingan bersama di atas kepentingan individual.‘
Di satu sisi, diskursus ekonomi yang mengemuka dalam penaksiran
potensi ekonomi pengolahan sarana produksi. berkenaan dengan usaha
para informan untuk mempertahankan sarana produksi yang alasan
utamanya didasari oleh potensi produksi lahan. Seperti yang para
informan kemukakan,
Ya itu tadi, kalau soal saya berpikirnya itu bisa dipertahankan
kan? Kalau nanti jadi uang nanti sekian bulan, sekian tahun
sudah habis. Tapi kalau, bisa bertahan, harapan, harapannya
kalau seumur hidup hasilnya ya, hasilnya ya seumur hidup
begitu lho, seanak-cucu itu masih ada hasilnya. Tapi kan kalau
begini ini kan sudah, sudah habis terusan, itu saya berpikirnya
kan seperti itu tadinya, mempertahankannya. Kalau kuat pun
kan itu tadi, seperti itu tadi. Jadi kalau, kalau sudah jadi uang
kan seperti itu tadi, sudah langsung habis seperti itu. Kalau
masih bertani kan itu tadi, sampai anak, turun-temurun kan
masih, masih ada hasilnya kan seperti itu (SB 1145-1153).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Penghasilan pendapatan. Ya, ibaratnya ya untuk menyekolahkan
dan memberi kendaraan, untuk membangun rumah itu
sebenarnya bisa. Kalau dahulu bertani, awal-awalnya saya itu
ya. Itu seperti gampang itu lho mas. Harga itu, berturut-turut
harga mahal terus itu cabai itu. Ibaratnya anak saya minta
kendaraan ya saya mampu, ibaratnya untuk membangun gubuk-
gubuk ya mampu (SR baris 481-486).
Kalau menurut saya ya sudah. Karena lahan tersebut lahan
produktif untuk mencukupi kebutuhan hidup. Yang mendasar ya
itu. Enggak menolak karena itu kepunyaan Pakualam itu
enggak. Pokoknya menolak untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Itu kan cocok karena lahan tersebut lahan produktif, titik, seperti
itu (SJ baris 876-880).
Yang jelas mempertahankan karena itu sumber ekonomi, satu
ya. Saya sudah merasakan nyata, riil, itu memang bisa
memberikan segalanya lah bagi saya, versi saya. Memang dari
untuk masalah materi, pendidikan anak, Alhamdulillah bisa
tercapai lah. Yang paling utama itu, yang paling pokok, kalau
kita mengaku petani kalau kita punya lahan. Sekarang kalau
kamu petani lahannya mana? Kan enggak lucu toh? Otomatis
yang tanya enggak percaya. Kamu petani, jangan hanya saya
bilang teorinya begini, praktiknya, tetapi lahannya mana? Nah
itu lho (EY baris 762-765).
Dalam konstruksi ini menjadi sebuah potensi pemenuhan kepentingan
pribadi berdasar kepemilikan lahan. Posisi yang dengan satu dan lain cara
dapat dilihat sebagai suatu sarana akumulasi keuntungan bagi pihak
dengan kepemilikan sarana produksi yang lebih banyak.
Di sisi yang lain, yang juga menarik ialah kolektivitas yang
dikonsepsikan sebagai ‗kepentingan bersama‘ menduduki posisi alasan
untuk melepaskan lahan. Bayang-bayang diskursus kolektivitas turut
bermain dalam bentuk suatu pelepasan yang dianggap didasari oleh
keputusan kolektif atau kehendak kolektif. Dalam bahasa keluhan para
informan sendiri,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Ya itu tadi sepertinya itu sudah, sudah pada lelah atau
bagaimana. Sudah capek atau bagaimana. Ya anu, kenyataannya
saya ajak anu itu sudah langsung lepas berbarengan itu kan
termasuknya anu, apa sudah capek juga itu tadi seperti itu lho
(SB baris 981-985).
...tetapi kalau keadaan ya bagaimana mas. Orang saya juga
enggak minta. Saya enggak ingin kaya yang penting cukup
seperti itu. Kan orang yang enggak bisa memandang. Inginnya
ya ayo kita bersatu kita teguh tetapi nyatanya ada kesusahan
enggak ada yang menolong. Bagaimana ini? Kalau keinginan
saya ya bersatu kalau ada yang kesusahan ya dirangkul atau
seperti apa, ya saya sepakat kalau seperti itu. Ada salah satu
yang membutuhkan pertolongan enggak ada yang merangkul
bagaimana itu. Apa itu namanya bersatu seperti itu? Jadi kan
hanya mencari keselamatan pribadi (SR baris 1160-1168).
Wah masih sangat kuat. Tetapi setelah saya melepas itu sudah
bobol. Enggak sampai tiga minggu itu langsung jebol semua.
Ya, sewaktu itu saling tuduh-menuduh itu. Ya saya cuma ikut
dia, katanya dia. Ya, saya sewaktu itu keadaannya agak
diasingkan kan itu. Pokoknya sewaktu saya bicara di kelompok
itu ya saya tegas. Ya saya minta pertimbangan kalau lahan saya
posisinya sudah, timurnya, baratnya, utaranya sudah dilepas
lahannya. Masalahnya orang RT 09 itu sudah melepas semua.
Ya, enggak dijual, diganti rugi, dilepas (SR baris 1518-1525).
Iya, dua di sini ini yang melepas baru dua, tetapi masyarakat itu
sudah ribut, "sudah buruan dilepas saja, sudah dilepas saja"
seperti itu mas. Jadi saya dan Paklik B itu enggak bisa
mempertahankan. Mau mempertahankan "jangan, jangan
dilepas, enggak berani." Seperti itu jadi masyarakat memang
belum melepaskan tetapi pembicaraannya itu "sudah dilepas
saja", "dilepas saja, daripada besok enggak dapat apa-apa,"
seperti itu mas (SJ baris 815-820).
Ya untuk semua, tetapi setelah saya resapi ya, saya pikir,
ternyata ibaratnya balon mas. Ternyata dalamnya kosong,
percuma dipertahankan toh. Akhirnya kan pecah. Saya gembar-
gembor tetapi barisannya sudah lepas. Enggak kompak, yang
jelas enggak konsisten lah. Saya merasakan sebenarnya, setiap
kali ada panggilan di kepolisian itu enggak ada yang berani
nongol kok (EY baris 903-908).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
c) Makna dan Kepemilikan Lahan
Bila kita mengarahkan pada kepemilikan lahan sebagai pokok
pembahasan, konstruksi friksi antara pencurahan kerja terhadap tanah
dengan legalitas kepemilikan dapat melukiskan sebuah orientasi
berkenaan dengan risiko. Apa yang kemudian dapat disimpulkan ialah
keputusan pelepasan sebagai ‗penanggulangan risiko kalah bertarung di
ranah legal‘. Ini berat mengacu pada diskursus umum mengenai
kepemilikan pribadi, yang akan menempatkan kepemilikan kepemilikan
pribadi berdasar kerja yang dicurahkan terhadap lahan dalam ranah legal
hanya akan berujung pada dana ganti rugi atau dana ganti pengelolaan
(kerokhiman). Sedang di sisi yang lain, hal ini diperkuat oleh adanya
kesangsian yang muncul atas dasar argumen kepemilikan pribadi mereka
tidak disokong bukti legal.
Bertahan, iya. Tetapi karena yang dipertahankan itu, itu kan
bukan tanah bersertikat, bukan tanah pribadi. Kalau itu kan
bukan tanah sendiri, cuma penggarap. ibarat kasarnya kalau mau
diminta kembali ya silakan saja, ada ganti ruginya (SR baris
993-996).
Kalau yang tanah itu kan di surat perjanjian kan ada. Bahwa
tanah tersebut adalah tanah Pakualaman. Tanah Pakualam
Ground, jadi kalau itu besok diminta sewaktu-waktu, ya kita
enggak bisa mencegah, enggak bisa mempertahankan. Orang itu
dulu tanah PA. Tetapi ada yang tidak mengakui, tidak
mengakui, tetapi saya sendiri tidak terlalu jelas itu untuk yang
tidak mengakui (SJ baris 621-626).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
...di sini itu lahannya negara, kalau sudah diklaim kan otomatis
anak enggak menanyakan. 'Oh, itu lahannya PA-e.' Tahunya kan
lahannya JMI. Masyarakat sini enggak tahu lahannya PA,
tahunya JMI. Tetapi kok kenapa sertifikat atas nama PA?
Begitu. Karena kita kan ini ada dua ya, yang satu pesisir yang
satu tegalan. Kalaunya petaninya dari tegalan otomatis kan anak
tahu karena legalitasnya jelas. Tegalan punya bapak saya, bukti
legalitasnya ada di sertifikat. Kalau pesisir enggak, karena yang
jelas yang saya sampaikan, walaupun itu sudah dua puluh tahun,
dua puluh lima tahun tapi kan pemerintah sendiri tidak
memberikan kepastian. Kan masih bingung kan, tanah absentia
tanah siapa toh, sebelum bilang ke pihak PA (EY baris 466-
475).
Tahap 4: Pemosisian
Pada tahap keempat ini, yakni pemosisian akan dikemukakan
pengandaian posisi subjek seperti apa yang muncul berpatokan pada
diskursus-diskursus yang telah mengemuka sebelumnya.
a) Identitas Petani
Berkenaan dengan identitas petani bila mengacu pada proses
konstruksi diskursus yang telah dilakukan ada dua modus pemosisian
subjek yang dapat disimpulkan. Pertama, berdasar konstruksi identitas
petani yang dilihat sebagai suatu profesi yang dipilih bersandar pada
penaksiran untung-rugi. Konstruksi ini terbentuk erat kaitannya dengan
posisi petani yang dinilai masuk akal untuk dihidupi berdasarkan potensi
menjadi sandaran hidup atau menjamin kesejahteraan. Serta muncul
dalam kondisi dengan adanya suatu keterbatasan yang secara mendasar
dimiliki. Penalaran berdasar penaksiran untung-rugi seperti ini akan
menawarkan suatu posisi bagi individu yang dihadapkan pada beberapa
pilihan yang akan berujung pada penaksiran kegunaan atau utilitas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Terutama karena ukurannya adalah mengenai kebergunaan atau kurang
bergunanya suatu pilihan maka individu akan diposisikan sebagai
penaksir rasional. Posisi subjek yang kemudian ditawarkan dari konsepsi
ini ialah seorang manusia ekonomi yang akan mengukur pilihan
berdasarkan keuntungan dan kerugian yang mungkin didapat serta
berpatokan pada keputusan yang rasional di bawah suatu keterbatasan
tertentu.
Dalam konsepsi yang kedua, yakni petani yang dikonstruksikan
sebagai suatu profesi yang memiliki otonomi lebih atas pola kerja
dibandingkan pekerja upahan kita bisa menyusuri posisi lain. Dalam
konstruksi ini, keleluasaan terkait waktu kerja serta penentuan standar
pekerjaan yang harus dilakukan ialah yang menjadi acuan utama adanya
otonomi. Dengan asumsi tersebut gagasan seperti ini akan menawarkan
suatu posisi individu yang sepenuhnya memiliki kebebasan atas pilihan
terhadap kerja yang dilakukan. Baik itu yang menyentuh persoalan waktu
kerja maupun standar operasional yang dibentuk secara mandiri.
Sehingga posisi subjek yang ditawarkan dari konsepsi ini ialah seorang
agen bebas yang memegang keputusan penuh atas pola dan sistem kerja
yang dilakukan tanpa kekhawatiran akan aturan yang membelenggu.
b) Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan
Sehubungan dengan pengambilan keputusan lahan seturut tiga
konstruksi yang muncul atas pengambilan keputusan, maka terdapat tiga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
modus pemosisian subjek yang ditawarkan. Pertama, pengambilan
keputusan dipandang sebagai bentuk keterpaksaan atas adanya kondisi
yang mendesak. Dalam konsepsi yang pertama ini, keputusan berada di
tengah suatu kondisi yang menekan serta menimbulkan suatu
ketegangan. Tegangan yang muncul menempatkan individu berhadapan
dengan pengaturan relasinya dengan pihak lain, baik itu dalam bentuk
keluarga maupun lingkungan sosial. Kondisi mendesak ini akan
menempatkan individu dalam suatu posisi yang perlu mengambil
keputusan di tengah lingkup sosialnya guna mengatasi situasi mendesak
yang dihadapi. Posisi subjek yang ditawarkan posisi ini ialah seorang
agen sosial bertanggungjawab yang akan mengambil pilihan rasional
yang menawarkan suatu cara penyelesaian masalah serta memiliki
sensitifitas atas relasi.
Kedua, pengambilan keputusan dilihat sebagai sarana
penanggulangan risiko. Dalam konsepsi ini keputusan ialah suatu bentuk
mengurangi kerugian terhadap dua bentuk risiko. Pertama berkenaan
dengan pengolahan lahan, sedangkan yang kedua mengenai antisipasi
atas risiko sosial yang muncul. Keduanya berkenaan dengan pencarian
jaminan rasional atas kemungkinan jangka panjang yang tidak bisa
dipastikan. Posisi ini menuntut individu menaksir kemungkinan-
kemungkinan serta memilih pilihan yang sekiranya paling terjamin dan
memiliki risiko lebih kecil. Dengan demikian, posisi subjek yang
ditawarkan dari konstruksi ini ialah seorang individu rasional yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
mengambil keputusan berdasarkan asumsi meminimalkan risiko dan
penaksiran jangka panjang.
Ketiga, pengambilan keputusan sebagai titik puncak tegangan
mempertahankan sarana produksi dengan melemahnya gerakan kolektif.
Dalam konsepsi ini terdapat ketegangan yang muncul sebagai akibat
penaksiran antara usaha mempertahankan sarana produksi dengan
kondisi kolektivitas gerakan yang semakin terbelah. Individu di dalam
hal ini akan dihadapkan pada pilihan mempertahankan sarana produksi
yang produktif dengan kondisi lingkungan sosial yang mengarah pada hal
yang sebaliknya. Posisi ini menempatkan individu di tengah dilema
untuk memilih mengikuti keputusan kolektif atau tetap bertahan
mempertahankan lahan. Posisi subjek yang ditawarkan dalam kondisi ini
ialah seorang individu dengan keteguhan hati serta penaksiran mengenai
konsekuensi logis dalam mengambil keputusan di tengah pilihan
dilematis antara keputusan personal atau pendapat kolektif.
c) Makna dan Kepemilikan Lahan
Berkaitan dengan kepemilikan lahan, bila mengikuti konsepsi tentang
kepemilikan lahan yang dikonstruksikan sebagai friksi antara pencurahan
kerja terhadap tanah dengan legalitas kepemilikan dapat tergambar
pemosisian subjek atasnya. Di satu sisi, individu di sini akan memandang
berdasar kerja yang mereka curahkan dan di sisi yang lain tentang
argumen legalitas. Individu dalam konsepsi ini akan ditempatkan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
kesempatan untuk memilih antara kebebasan dari aturan tanpa jaminan
atau adanya jaminan legalitas tetapi bertarung di arena legal. Posisi
subjek yang ditawarkan dalam kondisi ini ialah seorang individu dengan
kebebasan memilih yeng penuh pertimbangan atas risiko berkenaan
dengan mengambil pilihan jalan legal atau nonformal.
Tahap 5: Praktik
Pada tahap kelima ini, yakni praktik akan dikemukakan relasi antara
diskursus dan praktik. Hal ini akan menyuguhkan eksplorasi tentang cara-
cara saat konstruksi diskursus dan posisi subjek yang ada di tengah-
tengahnya membuka atau menutup kemungkinan untuk aksi. Dengan
mengkonstruksikan suatu cara pandang tertentu terhadap realitas, dan
dengan menaruh posisi subjek berdasar hal tersebut, diskursus akan
membatasi apa yang dapat dikemukakan dan dapat dilakukan.
a) Identitas Petani
Pertama, berdasar konstruksi identitas petani yang dilihat sebagai
suatu profesi yang dipilih bersandar pada penaksiran untung-rugi dan
seorang manusia ekonomi yang ditempatkan dalam konsepsi ini, kita bisa
melihat suatu potensi praktik tertentu. Kemungkinan yang terbuka ialah
tindakan untuk mengukur berbagai pilihan berdasarkan keuntungan dan
kerugian yang mungkin didapat serta berpatokan pada keputusan yang
rasional. Utamanya sebagai manusia ekonomi individu akan
mengusahakan untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Usaha untuk
menghadirkan suatu mobilitas sosial bisa menggambarkan bagaimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
keuntungan dalam bentuk status menjadi sesuatu yang perlu
diperhitungkan, seperti yang mereka sampaikan bahwa,
‗Saya bilang ke dia, dia itu sukses dari bertani. Ya,
alhamdulillah mobil punya, dahulu rumahnya juga alhamdulillah
bagus,‘ dalam SR baris 139-140 atau ‗Dahulu yang rumahnya
pakai bambu sekarang sudah permanen.‘ SJ baris 233-234,
ataupun ‗Jadi dulu karyawan, sekarang ini, anu, di pesisir itu
termasuk jadi bos begitu lho, hehehe,‘ SB baris 516-517).
Begitu pula secara spesifik potensi kesejahteraan nyata yang dipakai
sebagai ukuran memasuki pilihan menjadi petani.
...orang yang di perantauan itu kalah dengan bocah yang masih
kecil-kecil. Orang yang di Jakarta, Bandung, dengan bocah yang
lulus SMA enggak pergi dan bertani itu yang dipegang jutaan
kok ya. Itu dengan menanam cabai itu (SR baris (SR baris 833-
836).
Kalau lagi, dua tempat itu sewaktu harganya tinggi itu, dapat 10
pak itu, yang selatan itu 5 pak itu dapatnya 50 juta, bersih itu.
Dua bulan itu mulai merah, empat bulan lah masa panen itu.
Tetapi kalau cabai di pesisir itu habis, daunnya berguguran itu,
dipupuk kompos lagi bisa tembus lagi mas (SJ baris 221-224).
Kedua, seturut konsepsi petani yang dikonstruksikan sebagai suatu
profesi yang memiliki otonomi lebih atas pola kerja dibandingkan
pekerja upahan serta menempatkan seorang agen bebas yang memegang
keputusan penuh atas pola dan sistem kerja, kita bisa melihat suatu
praktik lain. Kemungkinan yang terbuka dari ini ialah potensi eksplorasi
kebebasan akan waktu kerja serta penentuan standar pekerjaan yang
harus dilakukan. Individu dalam posisi ini sepenuhnya memiliki
kebebasan atas pilihan terhadap kerja yang dilakukan. Ketidakterikatan
terhadap aturan dari orang lain ini membawa nuansa kebebasan serta
menjadi acuan mendasar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Iya, bertani itu kalau menurut apa yang saya rasakan itu sudah
termasuk posisi yang enak untuk orang itu. Ya, itu yang lega
pikirannya, enggak ada yang menyuruh. Kalau nanti lelah ya
istirahat. Bertani itu sendiri, bukan buruh tani ya, kalau buruh
tani kan di bawah pimpinan. Kalau bertani sendiri kan ya
dipimpin sendiri. (SJ baris 132-134).
Kalau itu ya kalau menurut yang saya rasakan, saya paling
nyaman itu tadi itu bertani. Bertani, bekerja untuk diri sendiri
tidak ada yang mengatur, tidak ada yang memarahi, tidak ada
yang mengusik. Kalau karyawan itu tadi, nanti terlihat agak
lemah sedikit nanti yang punya rumah, misalkan bekerja
membangun rumah di tempat orang itu, yang punya rumah ya
pasti merasani. (SB baris 492-496).
b) Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan
Pertama, pengambilan keputusan pelepasan lahan yang dipandang
sebagai bentuk keterpaksaan atas adanya kondisi yang mendesak dan
penempatan seorang agen sosial yang bertanggungjawab terhadap situasi
tersebut. Kemungkinan yang terbuka lebar berkaitan dengan ini ialah
adanya agen sosial yang melihat bahwa keputusan yang diambil apapun
caranya ialah usaha meredakan kondisi yang menekan serta
menimbulkan ketegangan yang dihadapi. Berkenaan dengan ini pula
individu ini akan mempertimbangkan betul bahwa pilihan yang ia pilih
dirasa paling tepat untuk berdasar pertimbangan-pertimbangan atas hal
tesebut.
Menanam setancap-tancapnya tanaman saya berhasil. Tetapi ya
hanya untuk berobat anak saya terus. Sebulan sekali itu cuci
darah, minimal 2 botol atau 3 botol (SR baris 40-42).
Akhirnya mendesak lho, saya otomatis kan terpojok. Ya kan
maksudnya kalau saya itu ikut, kedua kalinya, daripada keluarga
ribut sendiri (EY baris 618-620).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Wah, kalau seperti ini caranya ya enggak selesai-selesai
masalahnya. Ya itu tadi, terpaksa, terpaksa, saya ini ya memang
anu, terus. Terus, dengan teman-teman, ‗sudah, itu yuk biar
dianu aja lah, daripada kok itu tadi cuma bertengkar dengan
tetangga itu tadi, ya sudah mau bagaimana lagi‘ (SB baris 797-
800).
Karena kalau melepaskan diri, sendiri-sendiri kan nantinya
jadinya cekcok, ada kecurigaan. Ah, situ menyerahkan, jengkel,
ya akhirnya ada konflik sosial. Kalau sudah berbarengan, sudah
enggak ada menyimpan perasaan tidak enak itu (SJ baris 375-
378).
Kedua, pengambilan keputusan pelepasan lahan dilihat sebagai sarana
penanggulangan risiko serta peletakkan posisi seorang individu rasional
atas konstruksi tersebut. Di tengah konstruksi tersebut kita akan
membawa kita melihat individu menaksir kemungkinan-kemungkinan
serta memilih pilihan yang sekiranya paling terjamin dan memiliki risiko
lebih kecil. Hal tersebut semua dilakukan demi efek jangka panjang.
Ya iya. Kalau saya enggak melepas lahan, saya mau lewat mana,
kalau mau bekerja di situ, mengolah lahan, menanami di situ
lewat mana, ya tetap enggak bisa. Ya, daripada enggak dapat
ganti rugi mending dapat ganti rugi. Dapat ganti rugi terus nanti
dicarikan ganti yang benar-benar (SJ baris 767-768).
Ya, daripada enggak dapat ya harus dapat. Kalau enggak dapat
ganti rugi, enggak dapat ganti rugi pelepasan hak garap lebih
baik mendapat ganti rugi. Ganti rugi yang didapat itu nanti
jangan digunakan untuk disia-siakan. Untuk dibelikan tanah
seperti itu, tanah lagi. Jadi besok nanti bisa diberikan ke anak-
cucu. Pemikiran saya seperti itu mas melepasnya itu. Daripada
saya enggak dapat mending saya dapat (SJ baris 522-524).
...karena saya ini pendatang baru di sini, lahan milik saya itu
bagiannya di RT 09. Di RT 09 itu sudah dilepas semua, tempat
saya itu sudah terjepit di situ. Saya itu di sebelah selatannya,
selatannya itu sudah daerah laut, barat, utara, timur itu sudah
dijual, punya saya bagaimana? (SR baris 914-918)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
Ketiga, pengambilan keputusan pelepasan lahan sebagai titik puncak
tegangan mempertahankan sarana produksi dengan melemahnya gerakan
kolektif dan individu dengan keteguhan hati serta penaksiran mengenai
konsekuensi logis dalam mengambil keputusan. Dalam konsepsi ini
terbuka kemungkinan untuk melihat individu dengan keteguhan hati
mengambil keputusan yang dirasa memiliki konsekuensi logis yang
masih dapat diterima akan memperbaiki salah satu kondisi yang dipilih.
Iya, dua di sini ini yang melepas baru dua, tetapi masyarakat itu
sudah ribut, "sudah buruan dilepas saja, sudah dilepas saja"
seperti itu mas. Jadi saya dan Paklik B itu enggak bisa
mempertahankan. Mau mempertahankan "jangan, jangan
dilepas, enggak berani." Seperti itu jadi masyarakat memang
belum melepaskan tetapi pembicaraannya itu "sudah dilepas
saja", "dilepas saja, daripada besok enggak dapat apa-apa,"
seperti itu mas (SJ baris 815-820).
Ya untuk semua, tetapi setelah saya resapi ya, saya pikir,
ternyata ibaratnya balon mas. Ternyata dalamnya kosong,
percuma dipertahankan toh. Akhirnya kan pecah. Saya gembar-
gembor tetapi barisannya sudah lepas. Enggak kompak, yang
jelas enggak konsisten lah. Saya merasakan sebenarnya, setiap
kali ada panggilan di kepolisian itu enggak ada yang berani
nongol kok (EY baris 903-908).
c) Makna dan Kepemilikan Lahan
Berkaitan dengan kepemilikan lahan, bila mengikuti konsepsi tentang
kepemilikan lahan yang dikonstruksikan sebagai friksi antara pencurahan
kerja terhadap tanah dengan legalitas kepemilikan serta seorang individu
dengan kebebasan memilih yeng penuh pertimbangan atas risiko. Posisi
ini akan membuka kemungkinan individu di sini akan mengukur mana
yang memiliki risiko lebih besar serta mana yang membuka pada jaminan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
akan kepemilikan lahan yang lebih lama. Pertimbangan seperti itulah
yang akan diambil oleh subjek berkenaan dengan persoalan kepemilikan
lahan yang bersilangsengkarut dengan legalitas.
Bertahan, iya. Tetapi karena yang dipertahankan itu, itu kan
bukan tanah bersertikat, bukan tanah pribadi. Kalau itu kan
bukan tanah sendiri, cuma penggarap. ibarat kasarnya kalau mau
diminta kembali ya silakan saja, ada ganti ruginya (SR baris
993-996).
...di sini itu lahannya negara, kalau sudah diklaim kan otomatis
anak enggak menanyakan. 'Oh, itu lahannya PA-e.' Tahunya kan
lahannya JMI. Masyarakat sini enggak tahu lahannya PA,
tahunya JMI. Tetapi kok kenapa sertifikat atas nama PA?
Begitu. Karena kita kan ini ada dua ya, yang satu pesisir yang
satu tegalan. Kalaunya petaninya dari tegalan otomatis kan anak
tahu karena legalitasnya jelas. Tegalan punya bapak saya, bukti
legalitasnya ada di sertifikat. Kalau pesisir enggak, karena yang
jelas yang saya sampaikan, walaupun itu sudah dua puluh tahun,
dua puluh lima tahun tapi kan pemerintah sendiri tidak
memberikan kepastian. Kan masih bingung kan, tanah absentia
tanah siapa toh, sebelum bilang ke pihak PA (EY baris 466-
475).
Tahap 6: Subjektivitas
Pada tahapan ini, yakni subjektivitas akan dilukiskan bagaimana
perasaan, apa yang dipikirkan, serta rasakan informan dalam pemosisian
yang dilakukan.
a) Identitas Petani
Berkenaan dengan identitas petani bila mengacu pada proses
konstruksi diskursus yang telah dilakukan ada dua modus pemosisian
subjek yang dapat disimpulkan. Pertama, menempatkan diri dalam
identitas petani yang dikonstruksikan dalam konsepsi sebagai suatu
profesi yang dipilih bersandar pada penaksiran untung-rugi membawa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
kita ke suatu pemahaman akan posisi kedirian sebagai manusia ekonomi.
Terutama karena ukurannya adalah mengenai kebergunaan atau kurang
bergunanya suatu pilihan maka individu akan diposisikan sebagai
penaksir rasional. Apa yang dirasakan kemudian ialah fokus atas posisi
petani berdasarkan kategori penilaian jaminan akan kesejahteraan. Petani
tidak dilihat sebagai identitas yang terekspresikan dalam cara pandang
tetapi terkungkung oleh kategori ekonomi: untung-rugi. Ini membawa
implikasi pandangan penaksiran profesi petani berdasarkan bisa tidaknya
profesi tersebut menguntungkan dan masuk akal sebagai sandaran hidup.
Dengan demikian, petani identik dengan alat pencapaian kesejahteraan.
Ini menggeser identitas petani sebagai orang yang pekerjaannya bercocok
tanam menjadi sekadar profesi yang menguntungkan dan membawa
kesejahteraan. Ini juga seturut bahwa pandangan bahwa adanya
keterbatasan akses mendasar untuk mengambil profesi lain mendorong
diri untuk menjadi petani dan menempatkannya di profesi pilihan
terakhir.
Dalam konsepsi yang kedua, yakni petani yang dikonstruksikan
sebagai suatu profesi yang memiliki otonomi lebih atas pola kerja
dibandingkan pekerja upahan kita bisa menyusuri posisi lain yang
dikemukakan. Dalam konstruksi ini, keleluasaan terkait waktu kerja serta
penentuan standar pekerjaan yang harus dilakukan ialah yang menjadi
acuan utama adanya otonomi. Dengan asumsi tersebut gagasan seperti ini
akan menawarkan suatu posisi individu yang sepenuhnya memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
kebebasan atas pilihan terhadap kerja yang dilakukan. Baik itu yang
menyentuh persoalan waktu kerja maupun standar operasional yang
dibentuk secara mandiri. Hal ini membuat posisi petani menjadi lebih
unggul bila diperbandingkan dengan profesi lain dalam hal keleluasaan.
Sehingga ada perasaan bebas serta memegang keputusan penuh atas pola
dan sistem kerja yang dilakukan tanpa kekhawatiran akan aturan yang
membelenggu. Dalam perbandingan dengan pekerja upahan hal ini
mengemuka, bahwa,
Ya kalau jadi pegawai, kalau misalnya lama. Terkekang kan,
terkekang, kita berangkat jam sekian pulang jam sekian, satu
(EY baris 244-245).
Iya, bertani itu kalau menurut apa yang saya rasakan itu sudah
termasuk posisi yang enak untuk orang itu. Ya, itu yang lega
pikirannya, enggak ada yang menyuruh. Kalau nanti lelah ya
istirahat. Bertani itu sendiri, bukan buruh tani ya, kalau buruh
tani kan di bawah pimpinan. Kalau bertani sendiri kan ya
dipimpin sendiri. (SJ baris 132-134).
Otonomi atas kerja ini mendorong pandangan yang berbeda atas
konsepsi profesi petani sebagai cara pandang lain keterbatasan akses
yang dianggap melatarbelakangi individu untuk memilih posisi petani.
b) Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan
Sehubungan dengan pengambilan keputusan lahan seturut tiga
konstruksi yang muncul atas pengambilan keputusan, maka terdapat tiga
modus pemosisian subjek yang ditawarkan. Pertama, pengambilan
keputusan dipandang sebagai bentuk keterpaksaan atas adanya kondisi
yang mendesak. Kedua, pengambilan keputusan dilihat sebagai sarana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
penanggulangan risiko. Ketiga, berkaitan dengan pengambilan keputusan
yang dipersepsi sebagai titik puncak tegangan mempertahankan sarana
produksi dengan melemahnya gerakan kolektif. Dalam konsepsi yang
pertama, individu merasa berada di tengah suatu kondisi yang menekan
serta menimbulkan suatu ketegangan. Tegangan yang muncul
menempatkan individu berhadapan dengan pengaturan relasinya dengan
pihak lain, baik itu dalam bentuk keluarga maupun lingkungan sosial.
Kondisi mendesak ini akan menempatkan individu dalam suatu posisi
yang perlu mengambil keputusan di tengah lingkup sosialnya guna
mengatasi situasi mendesak yang dihadapi. Sebagai suatu pemikiran
umum individu petani akan mengedepankan keharmonisan relasi dan
kondisi yang baik-baik saja di dalam keluarga. Termasuk bila hal ini
dengan mengorbankan sarana produksi atau lahan mereka.
Kedua, pengambilan keputusan dilihat sebagai sarana
penanggulangan risiko. Dalam konsepsi ini, keputusan melepas lahan
ialah suatu bentuk mengurangi kerugian terhadap dua bentuk risiko.
Pertama berkenaan dengan pengolahan lahan, sedangkan yang kedua
mengenai antisipasi atas risiko sosial yang muncul. Keduanya berkenaan
dengan pencarian jaminan rasional atas kemungkinan jangka panjang
yang tidak bisa dipastikan. Posisi ini menuntut individu petani untuk
memperkirakan kemungkinan-kemungkinan serta memilih pilihan yang
sekiranya paling terjamin dan memiliki risiko lebih kecil atas persoalan
yang muncul. Tepat ketika individu petani berada dalam posisi untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
menaksir kemungkinan risiko yang muncul bila tetap bertahan di waktu
yang sama ia mengidentifikasi dirinya dalam posisi rentan. Posisi ini
mengemuka dalam kekhawatiran akan penutupan akses terhadap lahan
yang mendasari pelepasan lahan.
Ketiga, pengambilan keputusan sebagai titik puncak tegangan
mempertahankan sarana produksi dengan melemahnya gerakan kolektif.
Dalam konsepsi ini terdapat ketegangan yang muncul sebagai akibat
penaksiran antara usaha mempertahankan sarana produksi dengan
kondisi kolektivitas gerakan yang semakin terbelah. Individu di dalam
hal ini akan dihadapkan pada pilihan mempertahankan sarana produksi
yang produktif dengan kondisi lingkungan sosial yang mengarah pada hal
yang sebaliknya. Hal ini mendorong individu petani untuk merasa
kurangnya dukungan kolektif untuk berjuang di satu sisi dan besarnya
risiko personal di sisi yang lain. Posisi ini menempatkan individu di
tengah dilema untuk memilih mengikuti keputusan kolektif atau tetap
bertahan mempertahankan lahan. Keterpaksaan pelepasan lahan atas
dasar posisi terdesak ini kerap muncul dalam evaluasi negatif atas
hilangnya sumberdaya produksi.
c) Makna dan Kepemilikan Lahan
Berkenaan dengan kepemilikan lahan, bila menyusuri konsepsi tentang
kepemilikan lahan yang dikonstruksikan sebagai friksi antara pencurahan
kerja terhadap tanah dengan legalitas kepemilikan dapat tergambar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
pemosisian subjek atasnya. Di satu sisi, individu di sini akan memandang
berdasar kerja yang mereka curahkan dan di sisi yang lain tentang
argumen legalitas. Individu dalam konsepsi ini akan ditempatkan dalam
kesempatan untuk memilih antara kebebasan dari aturan tanpa jaminan
atau adanya jaminan legalitas tetapi bertaruh di arena legal dan
bekemungkinan kalah. Individu di sini diberikan kebebasan memilih yeng
penuh pertimbangan atas risiko berkenaan dengan mengambil pilihan
jalan legal atau nonformal. Posisi sebagai petani memberikan prakondisi
sendiri untuk merasa was-was akan kepastian kepemilikan lahan. Ada
kerentanan yang dirasakan untuk memperjuangkan tanah di wilayah legal
karena ada perasaan bahwa posisinya akan selalu terkalahkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
D. Pembahasan
Bila merunut analisis diskursus yang telah dilakukan ada dua hal yang
setidaknya bisa digambarkan terkait dinamika pengambilan keputusan dalam
pelepasan lahan. Dua hal tersebut saling terkait dan melukiskan petani sebagai
subjek pengambilan keputusan. Dua hal itu ialah, 1) bagaimana konsepsi petani
melihat dirinya sebagai petani serta pandangan mereka mengenai kepemilikan atas
tanah, yang turut menjadi dasar 2) bagaimana petani tersebut mengkonstruksi
pengambilan keputusan pelepasan lahan. Uraian yang berpusar pada dua hal
tersebut akan disertai pula dengan paparan tentang diskursus yang hadir
melingkupi proses-proses itu. Hal ini guna memaparkan jawaban atas pertanyaan
utama studi ini, yakni terkait bagaimana dinamika wacana yang beredar
memungkinkan pelepasan lahan. Di sisi lain, kita akan mencoba melihat apa yang
dinamakan oleh Michel Foucault sebagai ―truth effect‖ bekerja. Tentang sesuatu
yang dianggap benar oleh para petani serta menopang kenyataan yang mereka
lihat dan juga memberi struktur pada pemikiran serta tindakan pelepasan lahan
yang mereka lakukan (Farid, 2017 dalam Farid dan Luthfi, 2017). Hal itu akan
coba diungkap dengan menggambarkan diskursus apa yang secara implisit
tergambar dari pernyataan informan dan juga mensituasikan posisi informan
sebagai subjek (seperti apa ia diposisikan berdasar konstruksi tersebut). Selain itu,
akan dipaparkan pula subjektivitas apa yang mungkin muncul dari posisi tersebut,
yakni terkait apa yang dipikirkan serta rasakan oleh para petani sebagai subjek
pengambil keputusan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
Berkenaan dengan yang pertama, tentang bagaimana konsepsi petani
melihat dirinya sebagai petani kita bisa melihat bahwa identitas petani di sini
terjalin erat dengan pelbagai hal dan tidak berdiri tunggal. Kita bisa melihat
identitas sebagai ―faktor makro kultural yang bersifat resiprokral, dalam artian
bahwa identitas memberi ciri dan sekaligus merepresentasikan masyarakat‖
(Susman, 1979). Dalam kasus para petani di Karangwuni ini kita bisa melihat
setidaknya dua sisi dalam diskursus terkait identitas petani. Di satu sisi, menjadi
petani bagi mereka merupakan suatu pilihan atas pelbagai profesi lainnya.
Sedangkan, di sisi yang lain, profesi ini dianggap memuat suatu keuntungan yang
mengacu pada otonomi terkait pengaturan pola kerja. Bila ditilik lebih lanjut
terdapat satu konsepsi dasar yang melekatkan dua sisi yang tampak tak
berhubungan itu, yakni ciri yang melekat pada gagasan homo oeconomicus.
Gagasan ini bekerja pada cara pandang petani layaknya kornea pada mata:
merupakan sarana melihat tapi tak terlihat.
Kita akan melihatnya sejenak. Pada mulanya gagasan ini ialah sebuah
proyek yang tersituasikan oleh perubahan sosial terutama oleh kapitalisme. Kosik
(1976, dalam Priyono, 2006) mencatat cukup jelas ini muncul ketika ‗manusia
secara konstan diubah menjadi ‗manusia ekonomi‘. Secara mendasar Kosik
menuturkan,
‗momen ketika (ia) masuk ke dalam relasi-relasi ekonomi, ia diseret—
dengan atau tanpa kehendak dan kesadarannya—ke dalam situasi dan
relasi yang berkinerja seperti hukum, yang membuat ia bertindak
sebagai homo oeconomicus; ia hidup dan merealisasikan dirinya hanya
sejauh sesuai dengan prasyarat kinerja sistem tersebut...Kapitalisme
adalah sistem seperti itu...Di luar sistem kapitalis, homo oeconomicus
adalah fiksi...Homo oeconomicus tidak lahir dari pertanyaan ―siapakah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
manusia?‖, tetapi dari pertanyaan ―bagaimana manusia seharusnya
menjadi, agar sistem relasi ekonomi berkinerja sebagai mekanisme?‖
Apa yang bisa disimpulkan dari hal tersebut ialah sistem ekonomi
didahulukan di atas individualitas manusia. Persis seperti itulah kita bisa melihat
ketika identitas petani dikonstruksikan sebagai suatu profesi yang dipilih
bersandar pada penaksiran untung-rugi kita akan dibawa ke suatu aspek dari posisi
manusia ekonomi. Terutama karena ‗posisi petani‘ kemudian dilihat atas dasar
kebergunaan atau kekurangbergunaannya. Dengan kata lain berdasar penaksiran
kegunaan subjektif: utilitas. Pemakaian cara pandang ini membuat individu petani
sendiri kemudian memosisikan dirinya sebagai seorang penaksir keuntungan yang
rasional. Para petani dengan demikian berfokus pada apakah ―petani‖ sebagai
suatu profesi memuat suatu jaminan akan kesejahteraan. Petani tidak dilihat
sebagai suatu identitas yang sepenuhnya melekat pada kedirian mereka serta
mendasari pengambilan sikap tetapi bernaung di bawah suatu kategori ekonomi:
terkait untung-rugi. Di sini kita bisa menggarisbawahi bagaimana posisi subjek
yang terkondisikan oleh diskursus ekonomi (neoliberal pada khususnya).
Utamanya ketika para petani sudah terseret dalam produksi komoditas yang
beredar di tengah arus pasar.
Persoalan ini kita bisa perdalam bila menilik kembali posisi para petani
lahan pantai sebagai produsen komoditas skala kecil. Di tengah arus kapitalisme,
petani harus menghadapi komodifikasi atas corak subsistensi di ranah produksi.
Para petani perlu beralih menjadi produsen komoditas skala kecil (petty
commodity producers), yang menggantungkan pemenuhan kehidupan sehari-hari
mereka ―melalui integrasi ke dalam pembagian kerja masyarakat serta berbagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
pasar yang lebih luas‖ (Bernstein, 2010). Posisi petani yang terjun jauh dalam arus
pasar seturut perubahan logika produksi mereka ini memunculkan karakteristik
khusus untuk mengupayakan akumulasi laba, dalam bentuk uang, demi memenuhi
hajat hidup. Problem ini mengemuka karena apa yang produksi bukan lagi sarana
pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari—yang mencirikan produksi subsisten.
Persoalan mendasar yang memungkinkan hal ini ialah karena ada irisan yang
problematis terkait posisi petani yang telah tenggelam dalam pasar. Di satu sisi,
mereka perlu memenuhi kebutuhan harian keluarga. Sedang, di sisi yang lain,
demi mengusahakan hal itu mereka perlu mempertahankan produksi pada taraf
tertentu melalui pengolahan lahan. Dua sisi itu saling melekat pada satu hal
sentral, keduanya membutuhkan uang. Kecenderungan para petani lahan pantai,
dalam studi ini, untuk meminjam uang di bank sebagai modal ialah ekspresi nyata
dari hal ini.
Kecenderungan terseret ke dalam arus pasar yang lebih luas tak
mengecualikan persoalan konsumsi atas sarana produksi oleh para produsen
komoditas skala kecil di Kulon Progo dari sorotan. Kita bisa melihat gambaran
akan hal ini dengan menilik kebutuhan konsumsi akan sarana produksi salah satu
jenis pupuk saja: NPK Mutiara. Pupuk yang didistribusikan oleh PT. Meroke Jaya
di Medan, Sumatera Utara dan berhulu produksi di Yara International ASA dari
Norwegia menggambarkan jejaring pasar yang turut menjerat petani. Lekatnya
produksi petani dengan sirkulasi pasar ini juga bisa ditilik dalam beberapa analisis
berkaitan dengan faktor produksi petani lahan pantai. Sebagai ilustrasi, kita bisa
melihat dua penelitian tentang faktor produksi usaha tani di pesisir Kulon Progo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Kita akan melihat bahwa biaya sarana produksi pupuk, yang tumbuh dari industri
pupuk, seperti NPK Mutiara menempati urutan kedua teratas. Posisi biaya pupuk
ini dalam usaha tani cabai merah menempati urutan kedua di bawah benih
(Wilastinova, 2012) sedangkan dalam usaha tani semangka berada di peringkat
kedua setelah kompos (Anjarwati, Istiyanti, dan Hasanah, 2013).
Komodifikasi subsistensi yang dialami oleh para produsen komoditas skala
kecil membawa implikasi pada pandangan penaksiran profesi petani berdasarkan
bisa tidaknya profesi tersebut menguntungkan dan masuk akal sebagai sandaran
hidup. Ini menggeser identitas petani sebagai orang yang pekerjaannya bercocok
tanam menjadi sekadar profesi yang menguntungkan dan membawa
kesejahteraan. Di sini kita bisa melihat dampak besar dari peralihan produksi
subsisten ke pasar komoditas. Utamanya karena ―hal-hal yang semula diproduksi
untuk konsumsi sendiri kemudian diproduksi terutama untuk dipertukarkan‖
(Farid, 2017, dalam Farid dan Luthfi, 2017). Laba dalam bentuk uang ialah sarana
mereka untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari. Bila sebelumnya mereka bisa
bertani untuk bertahan hidup dan menghasilkan uang. Sekarang mereka perlu
uang untuk bertani dan bertahan hidup. Posisi para petani lantas seolah
mengiyakan kredo, ―uang bukan segalanya tetapi segalanya butuh uang‖.
Pergeseran besar ini nampak juga menggambarkan pergeseran karakteristik
petani kini. Bila di abad yang lalu identitas petani begitu erat kaitannya dengan
usaha menjaga terpenuhinya kebutuhan komunitas, sekarang hal tersebut telah
beralih. Ini merupakan efek adanya pergeseran dari identitas yang bertumpu pada
hasrat kolektif semacam itu. Munculnya dorongan hasrat atas kebutuhan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
minat personal serta pemenuhan keinginan pribadi menjadi penanda konstruksi
identitas di era modern. Pengandaian atas jenis kepribadian seperti tersebut cocok
bagi konsumerisme, motivasi pengejaran profit tanpa kekangan, dan juga pasar
bebas atas tenaga kerja (Guitart dan Ratner, 2011). Dengan demikian, petani
identik dengan alat, sarana pencapaian akumulasi kekayaan, yang terwujud dari
pemerolehan uang. Hal serupa juga tergambar dalam penelitian terdahulu oleh
Widiyanto (2007), yang menyatakan bahwa merangseknya kapitalisme
―mendorong egoisme di kalangan petani karena sulitnya keadaan serta beratnya
beban kebutuhan yang harus ditanggung. Mereka tidak lagi punya keleluasaan
untuk memperhatikan kepentingan orang lain, dan perhatiannya lebih tersita bagi
diri dan keluarganya yang belum tercukupi‖.
Menurunnya perhatian atas lingkungan sosial ini juga membawa pengaruh
terhadap bagaimana para petani memutuskan sesuatu. Ciri individualisme era
modern merasuk pula pada kepala para petani yang bertindak layaknya pebisnis.
Sebagaimana yang dicatat Block (2002), ―ketergantungan atas keberuntungan
yang bersandar pada tindakan individual meningkatkan kepercayaan pada
keputusan dan inisiatif personal‖. Petani lahan pantai pun menghadapi hal yang
serupa pasca-komodifikasi subsistensi. Jumlah bibit, pupuk, obat tanaman, juga
bensin, jumlah kredit yang diambil dari bank, jumlah buruh tanam atau petik yang
disewa tenaganya, ialah beberapa hal yang perlu diputuskan oleh para petani,
sendiri. ―Perkembangan (corak produksi) kapitalis ialah stimulus dan juga tujuan
dari munculnya kedirian yang individualistik,‖ sebagaimana yang dicatat Guitart
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
dan Ratner (2011). Hal ini akan membawa implikasi pula pada persoalan
pemosisian petani di tengah kolektivitas yang akan kita kupas nanti.
Satu hal yang menarik ialah posisi identitas petani di sini memuat suatu
pemosisian lain. Kita perlu menggarisbawahi apa yang telah dikemukakan
Susman (1979), bahwa ―...identitas memberi ciri dan sekaligus merepresentasikan
masyarakat‖. Memang, di satu sisi kita bisa melihat bahwa petani yang
merepresentasikan masyarakat di tengah corak produksi kapitalis yang beredar
luas mendorong pembentukan subjek homo oeconomicus, yakni ‗manusia (yang)
secara konstan diubah menjadi ‗manusia ekonomi‘. Terkait hal ini kita bisa
melihat bahwa identitas yang merepresentasikan struktur dalam masyarakat di
tengah kapitalisme mendorong munculnya kedirian yang individualistik di tengah
para petani. Namun demikian, identitas lain yang melekat pada profesi ini
dianggap memuat suatu keuntungan, berkenaan dengan otonomi pengaturan pola
kerja. Posisi yang terakhir ini memungkinkan kita melihat sisi emansipatif atas
posisi petani.
Para petani, dalam studi ini, telah menceritakan bahwa ada kebebasan
tersendiri yang mereka rasakan terkait pola kerja sebagai petani. Utamanya bila
diperbandingkan dengan bekerja menjadi buruh atau pegawai. Mereka
berpendapat bahwa ada kekangan, perintah, aturan, juga cercaan dalam pola kerja
buruh atau pegawai. Hal yang sejalan dengan elaborasi Mulyanto (2011) bahwa,
―di bawah kapitalisme, proses kerja disistematisasi sedemikian rupa sehingga
pergerakan tubuh dan pikiran para pekerja sesuai dengan prosedur baku yang
meningkatkan efisiensi penghisapan tenaga-kerja per detiknya.‖ Dalam bukunya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
Discipline and Punish, Michel Foucault juga menggarisbawahi hal ini. Ia
menegaskan bahwa, ―reproduksi kapital tidaklah mungkin dilepaskan dari
reproduksi manusia sebagai sumberdayanya‖ (Foucault, 1977).
Apa yang dinyatakan SB bahwa ―bertani, bekerja untuk diri sendiri tidak
ada yang mengatur, tidak ada yang memarahi, tidak ada yang mengusik...‖ atau
penekanan EY, ―Ya kalau jadi pegawai, kalau misalnya lama. Terkekang kan,
terkekang, kita berangkat jam sekian pulang jam sekian...‖ juga pendapat SJ ―Ya,
itu yang lega pikirannya, enggak ada yang menyuruh. Kalau nanti lelah ya
istirahat.‖ kemudian mendapatkan pendasarannya di sini. Karena pada dasarnya,
agar berjalan efektif, dalam pola kerja upahan perlu ditegakkan sebuah
pendisiplinan para pekerja. Segala ―ruang-ruang dan prosedur kerja dirancang
sedemikian rupa sehingga para pekerja terawasi tanpa pengawasan langsung dari
pihak manajer‖ (Mulyanto, 2011). Ini seperti penjara panoptikon yang pernah
disinggung Foucault. Dengan begitu, lanjut Mulyanto (2011), ―tenaga-kerjanya
tercurahkan sesuai dengan aturan dan prosedur yang telah dirancang sedemikian
rupa agar efisien dan efektif bagi maksimalisasi laba‖.
Keterkungkungan itu dapat diretas persis dengan pemosisian identitas
mereka sebagai petani. Hal ini lantaran ada suatu posisi mendasar yang
memungkinkan para petani merasa memiliki suatu otonomi yang besar atas pola
kerja yang mereka singgung sebelumnya. Landasan berpikir mengenai kebebasan
itu ialah apa yang juga telah dikemukakan Karl Marx (dalam Boltvinik dan Mann,
2016) berkenaan dengan ciri agrikultur, yakni perbedaan antara waktu kerja
(working time) dan waktu produksi (production time). Dalam kasus agrikultur kita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
akan melihat bahwa memang benar waktu kerja selalu merupakan waktu produksi,
tetapi tidak sebaliknya. Dalam agrikultur, waktu produksi tidak bisa diatribusikan
begitu saja pada waktu kerja yang dialokasikan petani. Hal ini karena waktu
produksi terbelah dua: ialah periode kerja yang dialokasikan untuk produksi
(seperti mengolah lahan, menanam dan semacamnya) serta ialah periode di mana
komoditas yang belum usai ditinggalkan untuk bersandar pada proses natural
(berkembang-tumbuhnya tanaman). Dalam perbedaan itulah otonomi direngkuh
petani dan tergelincir dari tangan buruh, pegawai, atau pekerja upahan secara
umum yang bisa diikat oleh waktu kerja dengan lebih mudah. Petani menuai
kebebasan dalam menentukan pola kerja karena mereka bekerja seturut irama
alam.
Dari dua posisi yang mengemuka terkait identitas di atas kita bisa melihat
bagaimana dua diskursus bekerja beserta implikasinya. Dari paparan di atas kita
bisa melihat bahwa petani yang diposisikan hanya sebagai alat dan mengalami
komodifikasi subsistensi menjadi prakondisi pelepasan lahan terjadi. Diskursus
ekonomi serta pembentukan subyek homo oeconomicus yang menumbuhkan sisi
individualistik petani untuk mengamankan posisi diri memungkinkan mereka
untuk meninggalkan usaha mempertahankan lahan, yang berupa usaha kolektif.
Lantaran pada akhirnya ada tendensi dari diri mereka sendiri untuk mengambil
keputusan personal. Hal ini juga dimungkinkan karena keterikatan emosional
dengan identitas diri sebagai petani juga tergerus oleh pandangan petani sebagai
sarana atau alat. Sebagaimana sebuah sarana, ia bisa ditanggalkan dan
ditinggalkan bila ada sarana lain atau dianggap tidak menguntungkan. Penaksiran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
mengenai untung rugi mengemuka dan mengambil alih berkenaan dengan kondisi
ini.
Di sisi lain, seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, gagasan tentang
‗manusia ekonomi‘ yang melakukan penaksiran ini menjadi bagian yang
melekatkan dua posisi yang berbeda. Pada posisi yang berlawanan kita bisa
melihat bahwa gagasan penaksiran untung-rugi ini memungkinkan para petani
untuk tetap bertahan menjadi petani. Ini diperoleh dengan melihat keuntungan
yang ditawarkan oleh profesi petani itu sendiri. Dengan mengedepankan sisi
otonom yang dimiliki para petani dapat mengukur keuntungan untuk
mempertahankan lahan. Tak lain tak bukan karena melepas lahan dan bekerja di
pertambangan sama dengan menyerahkan diri pada kungkungan waktu pekerja
upahan. Di sini kita bisa melihat sisi emansipatif dari posisi petani dan kebenaran
kredo ‗menanam adalah melawan!‘. Menanam adalah cara melawan praktik
pendisiplinan yang tumbuh dalam kapitalisme. Namun demikian, pada akhirnya
diskursus otonomi ini terkalahkan oleh diskursus ekonomi yang mengemuka lebih
luas. Apa pasal? Karena diskursus ekonomi ini pulalah yang menjadi dominan
dalam proses pengambilan keputusan pelepasan lahan. Paparan mengenai hal
tersebut akan coba digali lebih dalam setelah kita melihat aspek lain yang
berpengaruh, yakni diskursus kepemilikan lahan.
Bila menengok sejenak mengenai asal kata petani, perihal kepemilikan
tanah ini sendiri menempati posisi penting. Tani sebagai kata dasar dari petani
memuat arti palemahan sing ditanduri, yakni bidang tanah yang ditanami. Tanpa
adanya tanah sebagai sarana untuk ditanami petani kehilangan posisinya untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
disebut sebagai petani, setidaknya secara etimologis. Hal serupa juga
dikemukakan oleh para petani, sebagai contoh EY, yang menegaskan bahwa
―momen yang paling berat ya itu pas pelepasan. Yang dirasakan besok mau apa?
Ya kita enggak punya lahan. Nah kan mengaku petani, enggak punya lahan lucu
itu lho? Hanya itu saja. Orang kita di KTP kan petani.‖ Persoalan ini membawa
kita pada bagaimana makna akan lahan serta persoalan kepemilikan lahan.
Konstruksi atas hal ini sebagaimana konstruksi identitas petani juga memainkan
peranan penting dalam konstelasi diskursus yang mengemuka dan menjadi
prakondisi pelepasan lahan.
Bila menyusuri analisis tematik atas proses wawancara yang dilakukan
dapat ditemui beberapa pandangan umum mengenai makna dan persoalan
kepemilikan lahan. Kepemilikan lahan dikonstruksikan oleh keempat informan
sebagai friksi antara kepemilikan berdasarkan pencurahan kerja terhadap tanah
dengan legalitas kepemilikan. Di satu sisi, para petani memandang adanya suatu
bentuk kepemilikan berdasar kerja yang mereka curahkan atas lahan. Di sisi yang
lain, ada sebentuk kesangsian berbasis argumen legalitas bahwa tanah yang
mereka olah tidak sepenuhnya mereka miliki. Pertentangan keduanya
dimungkinkan karena ada pergulatan di bawah payung persoalan kepemilikan
pribadi yang mengemuka.
Para petani dalam hal ini mau tidak mau dipaksa untuk hengkang dari lahan
mereka karena berhadapan dengan hukum. Posisi hukum menjadi lebih superior
dan mengesampingkan petani. Sebagaimana yang diungkapkan oleh SB yang
mengandaikan hukum selayaknya pisau, ―soalnya itu tadi pisau itu tajamnya ke
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
bawah enggak ke atas itu tadi sepertinya ya toh. Pisau seperti ini kan tajamnya ya
ke bawah, kalau bagian yang ke atas itu kan tumpul begitu itu...‖ Model hukum
yang beredar terkait agraria memang kompleks dan mengedepankan aturan
tertulis. Produk hukum ini ialah suatu model yang dibawa oleh kaum borjuasi,
melalui masa kolonisasi, dan diterapkan seolah universal. Foucault (1977)
mencatat bahwa, ―kepemilikan menjadi kepemilikan absolut: semua ‗hak‘ yang
telah ditoleransi, yang telah diperoleh atau dipelihara kaum tani selama
ini...sekarang ditolak‖. Dalam perkembangan corak produksi kapitalis
kepemilikan berbasis kerja diabaikan, ―orang bisa memiliki lahan tanpa
menggarapnya. Orang bisa memiliki hasil dari lahan dengan mengambil hasil
kerja orang lain‖ (Mulyanto, 2011). Hukum akan menempatkan pihak yang
memiliki atasnya lebih tinggi dibanding yang tak memilki kuasa. Mulyanto (2011)
melanjutkan, ―Semua jenis lahan yang secara hukum tertulis menjadi milik
seseorang, meskipun bukan berasal dari upayanya menggarap, tidak bisa lagi
dimanfaatkan oleh mereka yang bisa menggarapnya.‖
Dalam sejarah, proses pengkaplingan lahan dengan model pengusiran kaum
tani ini dinamakan ―enclosure‖. Apa yang kemudian disebut Karl Polanyi (2001),
―sebuah revolusi kaum kaya melawan kaum miskin‖. Peniadaan pengakuan atas
kepemilikan berdasar kerja secara struktural dan tumbuh di atas diskursus legal ini
yang kemudian mengecilkan nyali serta keyakinan petani untuk mendaku lahan
pantai sebagai milik mereka. Proses ini sendiri memuat tujuan lebih jauh yang
menempatkan petani pada situasi yang dilematis. Karena selain perampasan
secara halus ada juga penawaran yang diberikan kepada para petani. Seperti apa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
yang digarisbawahi Mulyanto (2011), proses pengkaplingan ini ―secara dialektis
berkelindan dengan penciptaan pranata-pranata sosial yang cocok dengan model
kepemilikan pribadi kapitalis‖. Apa yang dituju ialah mendorong lebih jauh
penciptaan pasar tenaga kerja serta model kerja-upahan. Hal ini dimungkinkan
terutama bila para petani disingkirkan: tak lagi menjadi petani pengolah lahan
lagi. Posisi ini semakin miris bila kita menelisik lebih dalam bagaimana petani
membunuh dirinya sendiri secara perlahan dengan melepaskan lahannya, dengan
keputusan sendiri. Persoalan ini yang akan kita bahas dalam paparan berikut.
Dalam dinamika diskursus pengambilan keputusan sendiri, diskursus
ekonomi kembali mengemuka. Selain turut menghadirkan pembentukan identitas
manusia ekonomi yang telah dikupas sebelumnya, diskursus ini hadir pula dalam
wujud penaksiran untung-rugi yang menyertakan risiko dalam pertimbangan.
Konstruksi diskursus yang berkembang di tengah informan sendiri terkerucut
menjadi tiga. Pertama, pengambilan keputusan dipandang sebagai bentuk
keterpaksaan atas adanya kondisi yang mendesak. Kedua, pengambilan keputusan
dilihat sebagai sarana penanggulangan risiko. Ketiga, pengambilan keputusan
sebagai titik puncak tegangan mempertahankan sarana produksi dengan
melemahnya gerakan kolektif. Bila dilihat lebih jauh ketiga konstruksi tersebut
dapat dipersempit lagi menjadi suatu bentuk penaksiran untung-rugi dihadapkan
pada adanya risiko. Konstruksi pertama berkenaan dengan penaksiran atas adanya
risiko yang mendesak diri, konstruksi kedua berkaitan dengan penaksiran untung-
rugi sebagai upaya penanggulangan risiko pengolahan lahan, sedangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
konstruksi terakhir berpusat pada penaksiran keuntungan tetap mempertahankan
sarana produksi berhadapan dengan risiko pecahnya gerakan kolektif.
Dengan menanamkan pemikiran soal adanya komodifikasi subsistensi yang
dialami oleh para petani kita bisa mengurai bagaimana pelepasan itu
dimungkinkan saat berhadapan dengan risiko. Setelah terjun bebas ke dalam arus
pasar para petani tak lagi punya jejaring pengaman bagi pemenuhan kebutuhan
harian mereka. Mereka membutuhkan uang baik dalam proses produksi maupun
konsumsi. Mengandalkan diri untuk bertani dalam bentuk produksi komoditas
skala kecil seperti yang mereka lakukan dengan demikian bersinonim dengan
berhadapan satu lawan satu dengan risiko sendiri. Tak bisa dimungkiri hal ini
menjadi suatu prakondisi tersendiri bagi lemahnya posisi para petani. Karena
jejaring pengaman dari produksi subsisten telah melucut dari genggaman.
Produksi mereka bisa menghadirkan kekayaan dengan menghasilkan banyak uang
tetapi tak dengan sendirinya menjamin kesejahteraan (dapat memenuhi kehidupan
sehari-hari secara reguler).
Berkenaan dengan ini kita bisa kembali ke penegasan bahwa dalam
kehidupan modern secara mendasar tak ada lagi orang yang menaruh perhatian
pada pencapaian sesuatu yang ‗baik atau layak‘ tetapi lebih kepada mencegah
yang terburuk (Beck, 1992). Hal ini pulalah yang tampak berdasar posisi
penaksiran untung rugi yang dikemukakan para petani. Berkenaan dengan
konstruksi diskursus yang pertama, perspektif akan adanya kondisi mendesak
mengarah pada dua hal utama, yaitu perhatian terhadap kondisi yang menekan
keluarga (terjadi pada SR dan EY) serta adanya ketegangan sosial yang dianggap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
harus dinetralkan (dialami SB dan SJ). Kondisi yang menekan keluarga dalam
kasus SR hadir dalam bentuk kondisi anak yang sakit sehingga menuntut
perhatian lebih serta mendesak pengaturan ekonomi domestik. Sedangkan, pada
kasus EY kondisi yang menekan keluarga muncul dalam bentuk adanya tekanan
terhadap anggota keluarga. Hal ini dirasa mendesak bagi EY karena menimbulkan
ketidakharmonisan dalam keluarga. Di sisi lain, desakan untuk mengambil
keputusan oleh SB dan SJ dipersepsi hadir akibat perasaan tidak nyaman sejak
munculnya ketegangan sosial—antara individu yang masih bertahan dengan
tetangga mereka yang telah melepas lahan. Keputusan pelepasan dalam hal ini
dianggap sebagai pilihan tepat guna menetralkan persoalan ini. Dalam persoalan
ini relasi dengan keluarga dan relasi dengan masyarakat sekitar dipandang sebagai
sesuatu yang penting untuk dikelola dan dipertahankan. Sedangkan posisi
mempertahankan lahan dihadapkan pada kondisi tersebut memuat risiko
memperburuk kondisi dan bukan sebagai sarana bagi meniadakan implikasi yang
timbul akibat persoalan relasi tersebut.
Apa yang mengemuka di dalam pertimbangan yang telah disebut di atas
juga muncul dalam penaksiran untung-rugi dalam konstruksi kedua. Dalam
konteks konstruksi diskursus kedua, terkait ‗pengambilan keputusan dilihat
sebagai sarana penanggulangan risiko‘, kita bisa menemukan dua hal utama.
Pertama berkenaan dengan risiko berkaitan dengan pengolahan lahan. Sedangkan
yang kedua mengenai antisipasi atas risiko sosial yang muncul. Keduanya
berkaitan erat dengan pencarian jaminan yang lebih memiliki kepastian kondisi
dibandingkan kondisi yang lain yang coba diantisipasi. Hal ini bisa dilihat dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
bagaimana SB menyatakan bahwa jaminan pelepasan lebih menjamin
dibandingkan bertaruh, berhadap-hadapan dengan alam. Sedangkan di sisi yang
lain, SJ, EY, dan SR, menyandarkan diri pada keputusan pelepasan guna
menghadang risiko ketidakpastian pengelolaan lahan bila mereka tetap bertahan.
Utamanya karena pelepasan lahan yang telah dilakukan oleh warga dusun lain
dapat menutup jalan mereka untuk mengolah lahan mereka sendiri. Usaha untuk
mencegah yang terburuk kembali mengemuka di sini. Logika berpikir yang serupa
juga muncul untuk menanggulangi risiko ketegangan sosial. Hal ini sebagaimana
yang dipaparkan SB bahwa pelepasan menjadi alasan pencegahan
ketidakharmonisan dengan pihak yang bertentangan dengan diri.
Dalam konstruksi diskursus ketiga, yakni pengambilan keputusan sebagai
titik puncak tegangan mempertahankan sarana produksi dengan melemahnya
gerakan kolektif kita juga bisa menemukan pola yang sama. Ketegangan sendiri
muncul sebagai akibat penaksiran antara usaha mempertahankan lahan
berhadapan dengan kolektivitas gerakan yang dipandang semakin terbelah. Usaha
para informan untuk mempertahankan sarana produksi terutama didasari oleh
potensi produksi lahan. Keuntungan ekonomi yang dicapai oleh produksi
komoditas skala kecil yang diusahakan para petani sendiri dipandang sebagai
sesuatu yang menguntungkan. Namun demikian, di sisi yang berlainan,
penaksiran bahwa lahan yang kemudian telah dilepas itu potensial serta produktif
berbenturan dengan anggapan para informan atas kolektivitas dalam
mempertahankan lahan. Dalam pandangan mereka, usaha mempertahankan lahan
di tengah mayoritas warga yang sudah lelah bertahan serupa mempertahankan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
kapal karam. Dalam paparan para informan tergambar pula bahwa risiko
mempertahankan lahan sendirian terlampau besar.
Apa yang terakhir disebut menyinggung persoalan yang turut mengikat
ketiga konstruksi tersebut selain soal penaksiran risiko, yakni perihal kolektivitas.
Dalam konstruksi diskursus ketiga terdapat anggapan bahwa kolektivitas untuk
mempertahankan lahan melemah meski terdapat pandangan atas keuntungan
ekonomi yang mungkin didapat dari mempertahankan lahan. Kolektivitas juga
mewujud dalam relasi interpersonal dalam konstruksi pertama berkenaan kondisi
mendesak. Juga suatu bentuk tirani mayoritas dalam konstruksi kedua.
Penyesuaian individu terhadap kebutuhan keluarga, lingkungan sosial, serta
keputusasaan yang mengemuka secara kolektif ialah yang kemudian ditempuh
dalam menghadapi tiga wajah kolektivitas tersebut. Bila kita merunut kembali
penelitian Ortiz (1967) pilihan tersebut bukanlah sesuatu yang dipilih lantaran
paling baik tetapi sebagai ―suatu cara yang lebih dapat ditanggung‖ oleh petani
dalam penyelesaian masalah. Penaksiran mengenai keuntungan bukan hanya
berdasar evaluasi positif pada hasil yang diperoleh tetapi lebih kepada persoalan
ketepatgunaan cara tersebut dalam konteks saat pilihan tersebut diambil.
Hal tersebut dimungkinkan ketika kolektivitas menjadi suatu perwujudan
kategori risiko yang paling besar dalam pembahasan mengenai pelepasan lahan
pantai oleh petani. Dalam konstruksi petani yang mengalami hal mendesak,
kolektivitaslah yang memungkinkan hal mendesak tersebut muncul. Ia hadir
sebagai tekanan bagi keluarga Ey yang membuatnya pada akhirnya melepaskan
lahan. Melalui kisah Sr, kolektivitas hadir dalam dua wajah: rekan anggota
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
paguyuban yang tak mengulurkan tangan serta menghadirkan sebentuk sanksi
sosial dan juga tawaran untuk menemani dari para petani yang telah melepaskan
lahan serta menyelamatkannya dari efek sanksi sosial. Dalam bentuknya yang
berikut, kolektivitas menjadi suatu tirani mayoritas yang perlahan mendesak saat
mayoritas petani satu per satu menyepakati pelepasan lahan bersama. Sedangkan
yang terakhir merangkum pelbagai wujud kolektivitas itu sebagai bentuk
kelemahan gerakan.
Apa yang dapat dirangkum dari paparan di atas adalah posisi ambivalen dari
kolektivitas gerakan. Dalam hal ini kolektivitas memilki dua sisi yang bertolak
belakang. Di satu sisi, kolektivitas dianggap sebagai sesuatu yang diliputi oleh
risiko. Di sisi yang lain, pembentukan kolektivitas sendiri merupakan hal esensial
bagi terus berlangsungnya perjuangan mempertahankan lahan. Dengan
menempatkan kolektivitas sebagai sesuatu yang berisiko, gerakan petani tak ayal
mencerabut akar yang memungkinkan mereka tumbuh lebih kuat. Pergeseran
tindakan yang sebelumnya dianggap tepat, yakni mempertahankan lahan, menjadi
sesuatu yang tak lagi relevan—dengan memilih melepaskan lahan—dapat kita
mengerti bila kita menggali lebih mendalam mengenai norma dan makna.
Penilaian akan tindakan yang tepat dalam suatu konteks dapat kita mengerti
jika kita menelisik lebih jauh tentang norma. Norma, seturut paparan Sugiman
(2008, dalam Sugiman, Gergen, Wagner, dan Yamada, 2008), ―ialah operasi guna
membedakan suatu kumpulan tindakan yang tepat dalam jumlah yang tak hingga
dari sekumpulan tindakan yang tidak tepat dalam jumlah yang tak hingga‖ pula.
Ketepatan atas suatu tindakan mengemuka saat tindakan dievaluasi berdasar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
norma yang telah menetap (established). Kita bisa melihat apa yang dianggap
tepat saat kolektivitas dianggap masih kuat ialah memilih untuk tetap bertahan,
utamanya karena sanksi sosial (dikucilkan dan berbagai isolasi) akan diberikan
pada anggota paguyuban yang melepaskan lahan. Sedangkan begitu kolektivitas
dipandang melemah, pelepasan lahan adalah tindakan yang dianggap normatif,
dan lantas wajar.
Sugiman (2008, dalam Sugiman, Gergen, Wagner, dan Yamada, 2008),
sendiri menggarisbawahi bahwa makna dan norma adalah dua sisi dari keping
koin yang sama. Makna, dalam pengertian Sugiman, didefinisikan sebagai
identitas dari suatu objek dari tindakan yang dianggap tepat (Sugiman, 2008,
dalam Sugiman, Gergen, Wagner, dan Yamada, 2008). Dalam contoh Sugiman
(2008, dalam Sugiman, Gergen, Wagner, dan Yamada, 2008), semisal seorang
guru menghantam papan tulis dengan bagian yang keras dari penghapus untuk
mendapatkan perhatian dari siswa. Kita bisa mengatakan makna dari penghapus,
sebagai objek dari sebuah tindakan yang tepat, yakni ―sesuatu yang memproduksi
suara dengan cara menghantamkannya ke papan tulis‖. Sugiman (2008, dalam
Sugiman, Gergen, Wagner, dan Yamada, 2008) sendiri juga memberi penekanan
bahwa ―makna berkembang secara paralel dengan norma yang berkembang dalam
sebuah untaian kolektif”. Dalam ungkapan lain, Sugiman (2016), memberi
penekanan bahwa kita mengikuti norma jika kita melakukan suatu tindakan yang
dianggap sebagai hal yang dapat diperkirakan—bukan sesuatu yang dianggap luar
biasa bila hal tersebut terjadi—terlepas dari rasa suka atau tidak suka maupun
penilaian moral. Sehingga secara intuitif kita dapat menyimpulkan bila terdapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
suatu pemaknaan tertentu terhadap objek dari tindakan yang dirasa wajar terdapat
pula suatu pengandaian atas adanya norma yang saat tersebut mendasari
pemaknaan tersebut.
Guna melihat adanya pengandaian pergeseran norma kita bisa melihat
bagaimana letak kolektivitas dalam pengalaman para informan. Sr melihat bahwa
kolektivitas tidak lagi menjadi relevan karena anggota paguyuban tidak
menyuguhkan bantuan, di kala anaknya sakit dan lahannya tak memungkinkan
lagi diolah karena terjepit di tengah lahan lain yang telah dilepas. Ey memandang
bahwa kolektivitas dalam bentuk paguyuban menunjukkan sesuatu yang terbalik
dari apa yang sebelumnya terjadi. Bila semula sanksi sosial diberikan kepada para
petani yang melepas lahannya apa yang terjadi pada Ey ialah hal yang sebaliknya.
Ia mendapatkan sanksi sosial, yang juga berdampak pada istrinya, karena tetap
mempertahankan lahannya. Sb dan Sj menganggap keharmonisan perlu dijaga,
untuk menjaga kolektivitas dengan menghilangkan perbedaan. Dengan mencapai
konsensus melepaskan lahan karena usaha mempertahankan lahan bersama-sama
dianggap melemah. Kolektivitas yang dipandang melemah ini pula yang
mengemuka dalam pandangan bahwa usaha kolektif diselubungi kemungkinan
hadirnya risiko pengelolaan lahan seperti yang dialami Sr bila usaha
mempertahankan lahan terus dilanjutkan.
Demi memperdalam pembahasan terkait norma ini kita perlu menilik
sebentar pengklasifikasian Toshio Sugiman atas norma. Dalam ulasan Sugiman
(2016) kita bisa menemukan dua jenis norma yang dibedakan satu dengan yang
lain berdasarkan bagaimana tindakan yang menyimpang dari norma diperlakukan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
Jenis pertama ialah valuational norm yang mendesak individu yang menyimpang
dari norma untuk mengikuti norma yang berlaku. Contoh peristiwa dari norma
jenis ini ialah ketika seorang siswa mengobrol dengan seorang kawannya di dalam
kelas lantas mendapat teguran dari guru. Jenis kedua ialah cognitive norm, saat
norma ini tidak memerlukan orang yang melakukan tindakan yang menyimpang
dari norma untuk mengikuti norma tetapi justru norma itu sendiri yang berubah
untuk mengakui atau menyertakan tindakan menyimpang tersebut ke dalam
norma. Peristiwa yang dapat menjadi permisalan dari norma jenis ini ialah saat
seorang guru yang selalu memakai model baju yang kolot muncul suatu waktu
dengan pakaian yang mencolok. Para siswa dalam kesempatan ini tidak lantas
mendesak sang guru mengganti baju tetapi mengubah sudut pandang mereka
untuk menyertakan sang guru: bahwa guru terkadang bisa saja memakai pakaian
yang menyolok.
Berbekal pembedaan dua jenis norma tersebut kita bisa mencoba mengamati
pergeseran yang terjadi berkenaan dengan kolektivitas gerakan. Ada dua hal
utama berkenaan dengan ini. Pertama, ialah terkait pengalaman Sr yang
menunjukkan pergeseran gerakan kolektif yang sejatinya secara hakikat melebur
dan bercirikan gerak bersama menjadi hanya sekumpulan individu. Keresahan Sr
tentang keputusan paguyuban yang tak memberikan respons atas kegelisahannya
dalam mencoba menanggulangi tekanan yang hadir karena anaknya yang sakit
dan lahan yang terhimpit menjadi relevan untuk dibicarakan terkait hal ini.
Dengan tidak hadirnya konsensus bersama untuk menghadapi masalah yang
dialami salah satu anggota dan menyerahkan sepenuhnya keputusan pada individu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
yang mengalami masalah gerakan mencabut akar kolektivitas mereka sendiri.
Karena seperti apa yang telah dikemukakan Sugiman (2016) pula bahwa,
―individualisme yang berkembang di era modern ialah gambaran tentang manusia
yang bergerak atas dasar suatu penilaian atau pemikiran dalam pikirannya, atau,
lebih dari itu, suatu nilai moral yang menuntut manusia seharusnya bergerak
berdasar penilaian serta pemikiran pribadinya tanpa secara pasif dipengaruhi oleh
orang lain‖.
Di sisi lain, kebebasan memilih tanpa adanya usaha atau gerak bersama
untuk menghadapi suatu persoalan ini juga lantas menggoyahkan dasar norma
bertopang. Sugiman (2016) telah mengemukakan bahwa prinsip ambang berlaku
pula dalam pembentukan norma. Ia memberikan contoh, norma yang
mengindikasikan suatu tindakan yang dapat diasumsikan seperti ―hiduplah dengan
cara yang baik‖ terlampau umum sehingga hal tersebut dapat dikenakan pada
hampir setiap tindakan. Sugiman (2016) melanjutkan, ―apa yang harus kamu
lakukan ketika seseorang hendak melukaimu dengan pisau dan kamu mendengar
suara yang sama menyatakan, ‗hiduplah dengan cara yang baik‘? Apakah kau
harus lari, menyerang orang itu, atau membolehkan dirimu sendiri terluka?‖.
Dalam kondisi tersebut sebuah norma kemudian kehilangan fungsi asalinya, yakni
mengindikasikan suatu kumpulan tindakan yang tepat. Persis seperti itulah
kemudian norma tetap bertahan bagi Sr menjadi tidak relevan lantaran
menunjukkan suatu generalisasi norma yang melampaui ambangnya dan tidak
mengarahkan tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Anjuran bahwa segala
masalah yang dihadapi, baik personal (anak yang sakit) maupun yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
membutuhkan dukungan sosial (lahan yang terhimpit) harus ia selesaikan sendiri
bersama dengan mengikuti norma yang berlaku (mempertahankan lahan) menjadi
tidak masuk akal. Hal itu pulalah yang kemudian mendasari pelepasan lahan yang
diakukan oleh Sr.
Kedua, adalah perihal munculnya ambivalensi dalam norma yang berlaku.
Semula gerakan dianggap sebagai wadah yang memungkinkan gerak bersama
(kolektif). Hal ini berarti ada konsensus mengenai apa yang perlu dan dianggap
sebaiknya dilakukan bersama. Apa yang perlu dihindari kemudian ialah
munculnya ambivalensi. Ambivalensi menurut Sugiman (2016) memang ―tak bisa
terelakkan ketika norma terbentuk dengan peleburan beberapa tubuh‖ atau yang
bisa kita kenali sebagai internalisasi nilai antarindividual. Pada mulanya norma
ialah peleburan A dengan non-A menjadi salah satu yang disepakati sebagai
sesuatu yang lazim atau seharusnya terjadi. Namun, setelah norma terbentuk
ambivalensi yang pada awalnya muncul kemudian tersembunyi atau secara
gradual berubah menjadi laten (Sugiman, 2016). Hal ini yang kemudian perlu
mendapat perhatian lebih saat kita menelisik pendapat Sb dan Sj yang merasa
bahwa keharmonisan perlu dicapai dengan melepas lahan—hal yang bertolak
belakang dengan konsensus kolektif yang terbentuk atas nama gerakan. Secara
mendasar anggapan bahwa gerakan melemahlah yang kemudian menjadi dasar
pergeseran tindakan yang sebelumnya secara normatif diteguhkan—berjuang
bersama mempertahankan lahan—berubah menjadi hal yang sebaliknya—
bersama-sama melepas lahan. Pergeseran itu pulalah juga yang membuat kita bisa
melihat pengalaman Ey yang pada akhirnya terdesak oleh kondisi sosial menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
wajar—karena norma yang melandasi ialah tepat untuk bertahan telah bergeser
menjadi ialah tepat untuk melepas lahan. Apa yang menarik untuk ditelisik lebih
jauh, dan memerlukan penelitian lebih lanjut ialah bagaimana awal mula
pergeseran norma ini terbentuk.
Di sisi lain, kolektivitas yang melemah ini juga dapat kita lihat
memengaruhi pula subjektivitas yang dialami oleh para petani pada tataran
personal. Hal ini dapat kita telusuri lebih lanjut melalui pembahasan mengenai
perasaan psikologis yang bertautan dengan komunitas atau psychological sense of
community (PSOC). Secara umum PSOC dimengerti sebagai faktor dengan satu
kutub (unipolar) yang menunjukkan perasaan individu terhadap suatu komunitas
tertentu (Brodsky, Loomis, dan Marx, 2001, dalam Fisher, Sonn, dan Bishop,
2001). Penegasan pengertian ini ialah perasaan psikologis yang bertautan dengan
komunitas dilihat berdasar dua pilihan saja: hadir atau absen. Brodsky, Loomis,
dan Marx (2001, dalam Fisher, Sonn, dan Bishop, 2001) menawarkan perluasan
pengertian PSOC yang dimengerti sebagai suatu rentang yang bersifat kontinu,
dapat bersifat positif, netral, ataupun negatif dan juga melibatkan individu ke
dalam beberapa komunitas sekaligus (termasuk di dalamnya komunitas berdasar
perbedaan teritorial serta relasional suatu kelompok yang bersifat makro maupun
berbentuk sub-komunitas). Seseorang bisa saja hidup di suatu lokasi geografis
tertentu dan bekerja di tempat yang memiliki letak yang berbeda, bergabung di
sebuah perkumpulan skala besar seperti desa dan di sisi lain berhubungan secara
lebih intens dengan tetangga dusun, ataupun memiliki keterikatan dengan suatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
komunitas secara relasional meskipun tidak berasal dari lokasi geografis yang
sama.
Meneruskan pemaknaan mengenai kolektivitas yang telah dijabarkan
sebelumnya dan mengaitkannya dengan PSOC kita akan dapat meraba bagaimana
kemudian komunitas, dalam hal ini gerakan, dilihat menjadi tidak relevan lagi
secara subjektif. Pada pengalaman Sr kita bisa melihat bahwa bergabungnya
dirinya dalam gerakan justru tidak mewadahi kebutuhan yang ia perlukan untuk
tetap bertahan sehingga mengurangi rasa integrasinya sebagai anggota. Dalam
kajian Brodsky, Loomis, dan Marx (2001, dalam Fisher, Sonn, dan Bishop, 2001),
bila kita mengasumsikan bahwa kedua komunitas memiliki kompetensi yang
sama, individu akan dimungkinkan memeroleh sumber daya dan keuntungan dari
komunitas dengan PSOC yang bersifat positif. Sementara itu, di saat yang sama ia
akan menghindari komunitas tempat ia merasakan PSOC negatif.
Dalam tuturan kisah Sb dan Sj, mereka memandang bahwa komunitas,
dengan kata lain gerakan, memunculkan sebuah risiko. Mereka tidak melihat
komunitas, dalam kasus ini gerakan petani, berkompeten untuk menyuguhkan
sumber daya, pengaruh, dan nilai yang mereka butuhkan untuk sukses—dalam
kisah ini perihal persepsi kelemahan gerakan serta keharmonisan—dan demikian
mempertahankan suatu jarak dengan maksud tertentu dari komunitas mereka,
seperti halnya argumen Iscoe (1974, dalam Brodsky, Loomis, dan Marx, 2001).
Hal tersebut yang lantas memperkuat pemikiran mereka bahwa pelepasan lantas
dimungkinkan. Sedangkan bagi Ey hal yang lebih kompleks terjadi. Ey bersetia
terhadap semangat gerakan hingga akhir tetapi kemudian harus bernegosiasi lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
karena sub-komunitas dengan lingkup yang lebih kecil tempat ia menjadi bagian
di dalamnya, keluarganya, terancam karena usahanya mempertahankan lahan.
Bagi Ey hal tersebut menjadi isu yang krusial lantaran ia tak bisa melarikan diri
dari keluarganya sendiri dan merisikokan keutuhan keluarganya.
Pengambilan keputusan sebagai penanggulangan risiko sebetulnya bila
ditilik lebih lanjut mengikuti rasionalisasi dalam logika asuransi berhadapan
dengan risiko. Dalam logika ini risiko akan dipandang sebagai suatu yang bersifat
kolektif, memengaruhi populasi dibanding hanya menekan individu. Logika ini
―berbicara dengan ketat tak ada sesuatu yang namanya risiko individual; jika tidak
asuransi hanya akan menjadi tak lebih dari sebuah perjudian‖ (Ewald, 1991 dalam
Lupton, 2013). Kita akan bisa melihat struktur ini bila mengamati bagaimana
risiko ‗tidak dapat mengolah lahan‘ muncul. Pada mulanya masing-masing petani
dapat mengolah lahannya secara bebas. Kemudian ada proyek pertambangan yang
lantas muncul. Sebagian besar warga sepakat untuk bertahan tetapi beberapa
warga melepaskan lahannya kepada pihak tambang untuk dialihfungsikan. Ekses
dari hal tersebut terdapat warga yang tidak bisa mengolah lahannya karena
terhimpit oleh lahan yang telah dilepaskan (sebagaimana yang dialami Sr).
Kondisi tersebut lantas dikonstruksikan sebagai risiko dari usaha tetap
mempertahankan lahan. Bila kita berhenti di sini dan melihat runtutan kejadian
yang telah dipaparkan sebelumnya kita akan melihat bagaimana pihak tambang
sebagai penyedia asuransi guna menghadapi risiko pengelolaan lahan.
Sebagaimana logika yang telah dipaparkan di atas, uang yang ditawarkan
oleh pihak tambang menjadi jaminan bagi para petani yang akan mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
perbandingkan dengan risiko kemungkinan ‗tidak dapat mengolah lahan‘. Seturut
logika asuransi tersebut, seperti yang digarisbawahi Lupton (2013), ―...kehilangan
tidak dicegah atau diperbaiki, tetapi diberikan suatu harga untuk kompensasi
finansial‖. Dalam logika ini kita juga bisa menelusuri bagaimana kolektivitas
memungkinkan dipandang sebagai suatu risiko. Karena ―setiap individu dalam
suatu populasi spesifik dimengerti sebagai suatu faktor dari risiko atau terpapar
oleh risiko, tetapi masing-masing individu tidak secara sepadan memungkinkan
untuk menjadi korban dari risiko atau menyebabkan risiko dalam taraf yang sama‖
(Lupton, 2013). Mengapa bisa demikian? Karena asuransi dalam bentuk jaminan
dari pihak tambang, ―ialah suatu cara untuk berhadapan dengan liku-liku dari
nasib, suatu teknologi yang mengkonstruksi risiko sebagai suatu skema
rasionalitas, dari usaha menata elemen-elemen dari realitas, memperbolehkan
untuk suatu cara tertentu mengobjektivikasi sesuatu, orang, dan relasi di antara
mereka‖ (Lupton, 2013). Kolektivitas lantas dikonstruksi sebagai suatu objek dari
risiko begitu kompensasi menjadi bahan pertimbangan para petani dalam
keputusan pelepasan lahan.
Kolektivitas juga dapat dipandang sebagai suatu institusi yang menerapkan
sanksi atas diri. Dengan demikian ia menjadi risiko riil bagi diri. Tanpa
konformitas dengan lingkungan sekitar diri akan tertimpa sanksi sosial: dikucilkan
atau mendapat perlakuan tidak setara. Menarik ketika kita bisa melihat bahwa
sanksi yang sebelumnya dikenakan pada individu petani yang melepaskan lahan
(seperti pada kasus Sr) kemudian menghadirkan tekanan bagi individu yang masih
bertahan (seperti pada kasus Ey). Di sini kita bisa mengamati bahwa sanksi ialah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
alat yang begitu bersandar pada label normal. Apa yang normal kemudian ialah
apa yang dipraktikkan mayoritas orang. Di sinilah kuasa tirani mayoritas bekerja.
Anomali ialah apa yang minoritas, bukan persoalan benar-salah atau tepat-tidak
tepat. Gerak mayoritas ini mengarahkan betul bagaimana kemudian individu
menaksir posisi mereka, yang melemah. Karena seperti yang dielaborasi Lupton
(2013), ―...konsep risiko, sebagaimana hal tersebut berkembang melalui
normalisasi, pada awalnya mengelakkan perhatian dari indivu dan perilaku
mereka ke arah agregat atau populasi.‖
Dalam pandangan atas kolektivitas yang dipandang sebagai risiko dalam
kerangka pengambilan keputusan kolektivitas juga difokuskan sebagai suatu
bentuk kenormalan. Pembelahan posisi antara kontra dan pro tambang dianggap
sebagai ancaman. Dalam kacamata ini ada pola yang mengemuka yakni
normalisasi atas kondisi tenteram. Apa yang normal ialah kondisi yang tenteram
tanpa perpecahan: persatuan adalah kesamaan. Pelepasan lahan, menurut Sb dan
Sj setidaknya, ialah yang dapat ditempuh untuk menjadi sama dengan para petani
yang telah melepaskan lahan sebelum mereka. Karena hanyalah arah itu yang
dianggap dapat ditempuh, lantaran hal yang sebaliknya, para petani yang telah
melepas lahan kembali mempertahankan lahannya, dianggap tidak
memungkinkan. Apa yang kemudian luput untuk dilihat ialah apa yang menjadi
fokus masalah bukanlah apa yang memunculkan perbedaan di antara mereka,
yakni masuknya tambang, tetapi lebih ke persoalan efek pro dan kontra yang
seolah tak bisa didamaikan. Apa yang dipilih kemudian adalah harmoni di atas
emansipasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
Apa yang disebut terakhir dimungkinkan pula melalui cara pandang yang
mengarah pada partisipasi atas logika asuransi di atas. Karena seseorang
kemudian ―menjalani hidupnya sebagai sebuah perusahaan, untuk memastikan
bahwa bila ketidakberuntungan terjadi, hal tersebut telah direncanakan. Hal ini
bersifat secara sosial dibandingkan pendekatan individual...‖ (Dean, 1999 dalam
Lupton, 2013). Sehingga penaksiran atas efek risiko juga melibatkan pandangan
atas kolektivitas. Kolektivitas dengan demikian, mengikuti pandangan Foucault
(1984) mengenai tubuh individu, dipandang berkenaan dengan ―...antara lebih
atau kurang dapat dimanfaatkan, lebih atau kurang dapat dipertanggungjawabkan
sebagai investasi yang menguntungkan...‖ Lebih lanjut lagi kolektivitas dapat
berjalin erat dengan pandangan akan risiko, ―...karena asuransi akan
mendistribusikan tanggungan atas risiko di antara populasi yang besar dan
didukung oleh gagasan tentang hak sosial yang mendasari bahwa setiap anggota
dari perkumpulan sepakat untuk bertanggung jawab atas beban satu sama lain‖
(Dean, 1999 dalam Lupton, 2013). Pelepasan kemudian menjadi pilihan cara
seturut logika ini karena apa yang dianggap beban ialah keharmonisan yang
terganggu dan efeknya bukan bagaimana emansipasi dapat diraih dengan
menanggung beban risiko usaha mempertahankan lahan bersama-sama.
Apa yang kemudian mengemuka lagi dari paparan mengenai kolektivitas
yang dianggap sebagai risiko ini ialah diskursus ekonomi yang mengarahkan pada
penaksiran individual dalam bentuk penaksiran untung-rugi. Utamanya karena
risiko menjadi tersebar rata pada masing-masing individu sebagai penentu
keputusan penanggulangan atas risiko yang muncul. Hal ini juga menandai adanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
pengalihan perhatian dari kolektivitas sebagai jejaring pengaman. Lupton (2013)
juga menggarisbawahi ini, bahwa ―individu yang dianggap berada pada posisi
yang memiliki ‗risiko tinggi‘ baik karena menjadi korban dari risiko atau dari
sesuatu yang memuat risiko diharapkan mengambil kontrol untuk mencegah
risiko melalui tindakan mereka sendiri...‖. Penekanan atas tanggung jawab
individu ini lebih digelorakan, ―...dibanding bergantung pada pranata jaminan
sosial sebagai jejaring pengaman.‖
Pola tersebut menegaskan lagi representasi individu sebagai ―homo
oeconomicus, subjek yang terberikan suatu karakteristik moral dan politis
tambahan serta tunduk pada kepentingan pribadi serta seorang pelaku yang
bertanggung jawab dalam diskursus neo-konservatif‖ (Lupton, 2013). Mengenai
hal ini Lupton (2013) menggambarkan dalam contoh bahwa seorang pelaku
kejahatan dilihat sebagai pelaku yang menghadapi pilihan rasional (rational
choice) yang menaksir pro dan kontra sebelum melakukan penyerangan. Begitu
pula, ―para korban dimengerti sebagai pelaku pengambil keputusan atas pilihan
rasional (rational choice actors), dengan tanggung jawab untuk melindungi diri
mereka.‖ Pandangan ini mengarah pada pengedepanan keputusan individual saat
berhadapan dengan risiko. Dalam kasus studi pengambilan keputusan ini individu
petani kemudian terkondisikan memegang penuh segala keputusan dengan
pertimbangan keuntungan yang bersifat individual pula. Lantaran jejaring
pengaman dalam bentuk kolektivitas dipandang sebagai risiko dalam proses
pengambilan keputusan. Konstruksi yang mengemuka perihal risiko ini
menggarisbawahi pandangan Foucauldian bahwa ―risiko dilihat sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
‗rasionalitas untuk melakukan kalkulasi‘ dibanding sebagai sebuah hal yang nyata
dalam dirinya‖ (Dean, 1999 dalam Lupton, 2013).
Kita akan bisa mengurai hal ini dengan memberi perhatian pada argumen
Fischhoff dan Kadvany (2011) yang mengingatkan bahwa ―saat apa yang
dipertaruhkan besar, kekuatan yang berkuasa akan menghadirkan suatu
ketidakpastian, berharap hal itu akan membuat bingung pengambil keputusan
awam dan merintangi tindakan-tindakan yang mereduksi risiko itu sendiri‖.
Kekhawatiran tidak dimungkinkannya pengolahan lahan ialah bentuk dari
ketidakpastian semu yang muncul akibat adanya pertambangan pasir besi.
Pelepasan lahan perlahan mengikis kolektivitas yang merupakan elemen penting
dalam sebuah gerakan, membuatnya terabaikan dan justru dianggap sebagai suatu
yang menghambat. Dengan kata lain wacana tentang risiko menunggangi wacana
mengenai usaha kolektif guna menanggulangi risiko yang muncul akibat hadirnya
pertambangan itu sendiri. Upaya kolektif yang menjadi salah satu ciri masyarakat
tradisional yang nyata terselubungi sebentuk kegelisahan personal serta ketakutan
akan pelbagai risiko.
Guna melukiskan pemaparan yang telah dijabarkan penulis akan
menyertakan dinamika pengambilan keputusan pelepasan lahan secara skematis.
Representasi skematis ini mengadaptasi bentuk skema dalam Ranyard (2014)
yang mengadopsi dari Robson (2002). Pola ini menurut Ranyard,
―menggambarkan proses spesifik yang mendasarkan diri pada konteks yang
spesifik‖. Lebih lanjut lagi ini akan mengarah pada identifikasi ―ciri umum dari
konteks‖ pengambilan keputusan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Melalui eksplorasi atas dinamika diskursus yang mengemuka seputar
pengambilan keputusan para petani dalam konteks pelepasan lahan penulis
menemukan beberapa diskursus yang mengambil peranan dan mengondisikan
pelepasan. Studi ini menemukan bahwa pengambilan keputusan pelepasan lahan
dimungkinkan karena wacana yang berkembang mengerucut dalam pembentukan
petani sebagai figur manusia ekonomi yang mengandalkan penaksiran untung-
rugi. Sebuah posisi yang turut dikondisikan oleh karakteristik petani lahan pantai
sebagai produsen komoditas skala kecil. Identifikasi atas kategori tersebut ialah
hal yang penting. Keterlibatan petani dalam arus pasar serta komodifikasi atas
produksi subsisten perlu dimengerti lebih jauh untuk menghindarkan diri
meromantisir petani. Karena posisi petani sebagai produsen komoditas skala kecil
memuat secara implisit pengondisian mereka sebagai manusia ekonomi yang tidak
bisa terlepas dari sirkulasi dan pola-pola pasar konvensional serta perputaran
modal dalam bentuk uang secara umum. Posisi tersebut juga perlu ditempatkan
dalam konteks bagaimana resistensi para petani dilingkupi oleh pelbagai kendala
yang perlu dipecahkan, utamanya persoalan sikap terhadap risiko secara umum.
Selain itu pengondisian pelepasan juga dimungkinkan oleh adanya diskursus legal
yang mengerangkai ranah kepemilikan lahan. Posisi yang rentan yang dimiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
oleh petani menguatkan dilema yang mereka hadapi untuk mendaku lahan pantai
sebagai lahan milik mereka berdasar kerja yang telah mereka curahkan.
Di sisi lain, studi ini juga menemukan bahwa anggota gerakan petani
mampu memperkuat posisinya jika menyadari otonomi yang mereka punyai.
Utamanya terkait otonomi kerja harian mereka yang dipandang lebih
membebaskan daripada iming-iming kerja upahan yang ditawarkan perusahaan.
Hal ini dapat ditempuh dengan menggali lebih dalam posisi petani dan corak
produksi mereka yang berkaitan erat dengan identitas mereka sebagai petani atau
secara lebih jauh identitas kolektif mereka sebagai gerakan. Otonomi yang mereka
punyai ialah ciri khas dari petani itu sendiri yang mencurahkan kerja dengan suatu
dinamika bersama alam. Otonomi dari kerja mereka menanam bisa menjadi
perhatian lebih lanjut karena dengan demikian para petani yang bergabung dalam
gerakan petani bisa memosisikan diri secara lebih mantap. Dengan kata lain,
menggemakan kredo: menanam adalah melawan!
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
B. Saran
1. Kepada gerakan petani
Identifikasi atas posisi agensi dalam suatu gerakan petani ialah hal yang
penting dan perlu digali lebih lanjut dalam usaha pemosisian diri di tengah
pencaplokan lahan yang marak dan semakin masif. Penekanan atas hal ini
dikemukakan karena terkadang suatu gerakan bersama membentuk kolektivitas
semu. Dengan kata lain, tidak ada imajinasi kolektif tentang apa yang akan dituju
dan diusahakan bersama-sama. Studi ini menunjukkan bahwa pemahaman akan
posisi agensi di tengah gerakan kolektif pertama-tama perlu dipahami. Ini meliputi
kondisi riil yang dialami oleh agen yang terlibat dalam gerakan dan lantas gerakan
itu sendiri dalam mewadahi kebutuhan anggotanya. Persoalan ini tampaknya
begitu klasik, tetapi sesuatu yang perlu menjadi perhatian gerakan. Suatu bentuk
komitmen bersama atas tujuan yang hendak dicapai perlu dikemukakan dalam
memperjuangkan dan mempertahankan sesuatu. Posisi ini, berkaca dari para
pengalaman petani dalam studi tak hanya berlandaskan janji dan kata-kata serta
mengajukan sebuah kesepakatan kolektif. Lebih daripada itu perlu adanya
perwujudan kata-kata menjadi perbuatan juga kesepakatan yang ditopang
pengorbanan. Apa yang disebut terakhir ini yang perlu dikemukakan dan menjadi
perhatian bersama semua anggota sebuah gerakan kolektif. Bila rasa welas kasih
untuk berkorban demi sesama anggota tidak nampak maka kolektivitas yang
dibangun hanya berbekal nama dan pengakuan tidak bertumpu pada perbuatan. Di
sisi yang lain, ini juga akan mengurangi friksi akibat perbandingan antaranggota
berdasar perbedaan kondisi sosial, ekonomi, atau psikologis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
Pemosisian juga penting untuk melihat kondisi riil material yang
memungkinkan gerak. Ini penting mengingat dinamika resistensi di kalangan
petani tidak hanya berkenaan dengan berjuang di tengah desakan pihak eksternal
yang merangsek masuk. Apa yang perlu diperjuangkan turut amenyertakan usaha
konsolidasi berbagai perbedaan. Bukan dengan lantas meleburkan perbedaan
begitu saja seolah itu dimungkinkan di tengah banyaknya variasi. Apa yang perlu
dilakukan ialah mengelola perbedaan dan mengambil satu irisan sebagai identitas
bersama. Pemahaman atas otonomi pola kerja oleh para petani bisa menjadi
contoh mengenai hal ini. Dengan mengusahakan suatu kesepahaman di antara
agen dalam gerakan bahwa ada satu ciri khusus yang dapat dikemukakan sebagai
acuan membangun identitas kolektif gerak bersama jadi dimungkinkan.
2. Kepada aktivis pendamping gerakan petani
Menghindari usaha meromantisir petani dapat dijadikan patokan bagi para
aktivis pendamping suatu gerakan petani. Usaha ini dapat dimulai dengan tidak
memukul rata seluruh petani dalam gerakan sebagai suatu agregat yang homogen.
Posisi sosial, ekonomi, serta bahkan politik pun perlu dimengerti secara
menyeluruh. Dengan demikian wacana yang berkembang dan mengerangkai
gerakan petani dapat dimengerti secara utuh. Dari titik ini aktivis pendamping bisa
memosisikan diri sebagai rekan dialog bagi para anggota gerakan petani. Memberi
ruang yang lebih bagi para petani untuk mengemukakan pendapat secara mandiri
ialah suatu hal yang penting. Dari apa yang mereka kemukakan para aktivis bisa
memosisikan diri dengan lebih baik. Apa yang terkadang luput dari gerakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
bersama semacam ini adalah mendengar dari bawah. Ada kalanya gerakan akar
rumput pun terjebak oleh adanya ilusi perwakilan yang mengedepankan
koordinator, ketua, tetua, dan semacamnya sebagai jembatan menyuarakan posisi.
Apa yang kemudian terlewat ialah lubang tidak muncul dari mata rantai yang
terkuat, tetapi dari mata rantai yang terlemah. Tanpa memberi kesempatan untuk
mendapatkan gambaran akan apa yang menjadi kelemahan atau luput diperhatikan
sebuah kendala dalam usaha gerakan untuk bertahan tidak akan mengemuka dan
nampak.
Apa yang aktivis pendamping gerakan dapat lakukan adalah menempatkan
diri untuk menjadi cermin dalam kondisi seperti ini. Membantu sebagai individu
yang tidak terdampak secara langsung serta merupakan bagian eksternal dari
gerakan untuk mencerminkan kondisi gerakan. Hal ini ialah sesuatu yang penting
untuk dilakukan untuk menghadirkan kesadaran bagi gerakan petani dan
mengambil suatu tindakan yang relevan atas kondisi yang ada. Di sisi yang lain
aktivis tidak lagi menjadi sosok mesias yang seolah bisa mengatasi semua hal.
Apa yang perlu dilakukan ialah memberi kesempatan untuk mendengarkan
pendapat, keluhan, juga posisi anggota gerakan untuk kemudian memetakan lantas
mengembalikan lagi dalam bentuk cerminan bagi gerakan untuk mengambil
langkah mandiri.
3. Kepada peneliti selanjutnya
Serupa tapi tak sama, peneliti selanjutnya juga perlu bergerak dari posisi
yang tidak meromantisir petani di satu sisi dan di sisi yang lain juga tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
mendiskreditkan petani begitu saja. Keduanya memuat jebakan pemberian label
terhadap gerakan petani, baik yang mengagungkan sebab kekuatan atau
menyepelekan sebab kelemahan. Hal tersebut akan berimplikasi terhadap cara
pendekatan peneliti terhadap kasus proses pelepasan lahan. Kedua hal yang
disebut sebelumnya akan menjegal peneliti untuk menggali lebih jauh
kompleksitas masalah. Salah satu yang menjadi titik tolak dari studi ini bagi
peneliti selanjutnya adalah jalan masuk melalui otonomi petani. Utamanya dengan
menjadikan otonomi sebagai fokus peneliti selanjutnya dapat melihat potensi
kekuatan yang dimiliki petani di satu sisi. Tentang bagaimana sebuah gerakan
petani memiliki posisi tawar yang dapat menjadi sumber kekuatan bagi
pergerakan. Sedang di sisi yang lain, otonomi yang dimiliki dalam sebuah gerakan
yang mendapat pukulan besar melalui pelepasan lahan besar-besaran seperti
dalam studi ini akan menunjukkan titik lemah yang dimiliki. Karena dengan
demikian peneliti akan bisa melihat bagaimana potensi kekuatan yang dimiliki
melalui otonomi para petani dikalahkan oleh sesuatu hal yang lebih kuat. Menyisir
hal-hal apa saja yang dapat menjegal langkah petani akan menambah pengetahuan
lebih mengenai bagaimana dinamika sebuah gerakan mencoba mengatasi suatu
kendala. Dengan demikian mengetahui bagaimana cara mereka berhasil dan
bagaimana mereka gagal.
Selain itu, dalam studi mengenai pengambilan keputusan petani studi ini
dapat menggambarkan bahwa prakondisi-prakondisi bagi pelepasan lahan saling
terkait dan bersifat kompleks. Dengan demikian suatu studi yang hendak mencari
penyebab utama atau prakondisi yang dominan bagi dimungkinkannya suatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
keputusan perlu menyisir berbagai hal. Bila dalam studi ini apa yang menjadi
fokus ialah kondisi psikologis serta prakondisi sosial-ekonomi yang
menyertainya, studi berikutnya perlu memberi perhatian pula pada konstelasi
politik dan diferensiasi posisi sosial-ekonomi anggota gerakan. Hal ini penting
untuk melihat bagaimana variasi dalam gerakan itu sendiri memuat suatu
kecenderungan terhadap diambilnya suatu arah keputusan berbekal latar belakang
sosial-ekonomi serta politik. Dengan begitu peneliti selanjutnya dapat
mengeksplorasi dan mendapat gambaran bagaimana berbagai kondisi tersebut
memungkinkan suatu posisi subjek yang tertentu. Dengan kata lain, peneliti
selanjutnya dapat memiliki kesadaran dan kewaspadaan atas bagaimana pengaruh
kondisi-kondisi di luar diri terhadap kondisi psikologis para petani.
C. Keterbatasan Penelitian
Ialah hal yang tak dapat ditampik bahwa studi ini memiliki sekian
keterbatasan. Keterbatasan yang paling utama adalah persoalan sensitivitas dari
topik terkait studi pengambilan keputusan di tengah konflik pengambilalihan
lahan yang hendak coba digali. Di satu sisi, peneliti mendapat keuntungan karena
menggali kondisi para petani setelah peristiwa pelepasan terjadi dalam rentang
yang cukup jauh. Namun demikian, eksplorasi atas emosi menjadi kurang tergali
secara penuh. Hal ini bukan hanya karena jebakan studi yang memanfaatkan
sumber sejarah lisan seperti ini dipengaruhi besar oleh ingatan tetapi juga karena
ada kalanya informan akan resisten untuk membuka kembali semua luka lama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
yang dirasakan. Dalam hal ini, ada kemungkinan tendensi jawaban yang
diberikan ialah sesuatu yang mengikuti harapan sosial secara umum karena sifat
studi di tengah konflik semacam ini. Berkait ini, penulis memahami bahwa atas
dasar keterbatasan penulis, terkait waktu untuk menjalin hubungan yang lebih
intens, tenggat penelitian, serta berbagai area pertanyaan yang belum diajukan,
akan saling berkait memengaruhi temuan yang didapatkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
DAFTAR PUSTAKA
Arrow, K.J. (1951). Alternative approaches to the theory of choice in risk-taking
situations. Econometrica, 19: 404-437.
Attamami, M. & Heru. (2011, Maret 31). Menambang pasir besi di lahan petani
Kulon Progo. Diakses dari
https://www.antaranews.com/berita/252134/menambang-pasir-besi-di-
lahan-petani-kulon-progo pada 12 desember 2017.
Babbie, E.R. (2013). The practice of social research. Wadsworth Publishing:
California.
Beck, U. (1992). Risk society: Towards a new modernity. Sage: London.
Bernstein, H. (2010). Class dynamics of agrarian change. Fernwood Publishing
dan Kumarian Press: Halifax.
Bernstein, H. (2011). Can modernity accommodate african 'peasants'? 7'J
Congresso Ibe'rico de Estudos Africanos. Diunduh dari
https://repositorio.iscte-
iul.pt/bitstream/10071/2337/1/CIEA7_24_BERNSTEIN_Can%20Modernity
%20Accommodate%20African%20%E2%80%98Peasants%E2%80%99.pdf
Bernstein, H. & Byres, T.J. (2008). Foreword. Dalam Borras, S.M., Edelman, M.,
& Kay, C. (penyunting). Transnational agrarian movements: Confronting
globalization. Wiley-Blackwell: Oxford.
Boltvinik, J. & Mann, S.A. (penyunting) (2016). Peasant poverty and persistence
in the 21st Century. Zed Books: London.
Block, J. (2002). A nation of agents: The American path to a modern self and
society. Cambridge: Harvard University Press.
Brodsky, A.E, Loomis, C., & Marx, C.M. (2001). Expanding the
conceptualization of PSOC. Dalam Fisher, A.T., Sonn, C.C., & Bishop. B. J.
(penyunting). Psychological sense of community: Research, applications,
and implications. Springer: New York.
BPS Daerah Istimewa Yogyakarta. (2016). Statistik daerah Daerah Istimewa
Yogyakarta 2016. Diakses dari
https://yogyakarta.bps.go.id/publication/2016/09/26/4330f3c88e66467f8d04
e343/statistik-daerah-provinsi-di-yogyakarta-2016.html
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
BPS Kabupaten Kulon Progo. (2016). Produk domestik regional bruto kabupaten
kulon progo menurut lapangan usaha 2011-2015. Diakses dari
https://kulonprogokab.bps.go.id/backend/pdf_publikasi/Produk-Domestik-
Regional-Bruto-Kabupaten-Kulon-Progo-menurut-Lapangan-Usaha-2011-
2015.pdf pada 12 Desember 2017.
Cahyono, E., Yanuardy, D., Sauki,M., W, P.H., Budhiawan, H., & Syaifullah, A.
(2009). Konflik lahan pasir besi dan dinamika sosial-ekonomi petani pesisir
Kulon Progo. Dalam Savitri, L.A., Shohibuddin, M., & Saluang, S.
(penyunting). Memahami dan menemukan jalan keluar dari problem
agraria dan krisis sosial ekologi. STPN: Yogyakarta.
Creswell, J.W. (2007). Qualitative inquiry and research design: Choosing among
five approaches. Sage: California.
Denney, D. (2005). Risk and society. Sage Publications: London.
Edwards, W. (1954). The theory of decision making. Psychological Bulletin.
51(4), 380-417.
Edwards, R. & Holland, J. (2013). What is qualitative interviewing? Bloomsbury
Academic: London.
Ermandara, D.P. (2015, Mei 18). Dinamika klas dalam perubahan agraria. Diakses
dari http://etnohistori.org/dinamika-klas-dalam-perubahan-agraria-ulasan-
buku-oleh-dicky-putra-ermandara.html pada 16 Desember 2017.
Farid, H. (2017). Prolog: Menuju sejarah/geografi agraria. Dalam Farid, H. &
Luthfi, A.N. (penyunting). Sejarah/Geografi agraria. STPN Press:
Yogyakarta.
Fischhoff, B & Kadvany, J. (2011). Risk: A very short introduction. Oxford
University Press: New York.
Foucault, M., (1977). Discipline and punish : the birth of the prison. Pantheon
Books: New York.
Foucault, M. (1984). The concern for the truth. Dalam Kritzman, L.D.
(penyunting). Politics, philosophy, culture: Interviews and other writings
1977-1984. Routledge: New York.
Esteban-Guitart, M. & Ratner, C. (2011) A macro cultural psychological theory of
identity. Journal of Social Distress 20 (1&2): 1–22.
Hammond, K.R., McClelland, G.H., & Mumpower, J. (1980). Human judgement
and decision making: Theories, methods, and procedures. Praeger
Publisher: New York.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
Henrich, J. (2002). Decision-making, cultural transmission and adaptation in
economic anthropology. Dalam Ensminger, J. (penyunting), Theory in
economic anthropology. Walnut Creek: AltaMira Press.
Irfansyah, A. & Putra, F. (2014, April 14). Widodo: Mengabaikan hal-hal kecil
adalah kesalahan besar. Diakses dari
https://indoprogress.com/2014/04/widodo-mengabaikan-hal-hal-kecil-
adalah-kesalahan-besar/ pada 9 Januari 2018.
Joy, J.L. (2008). Diagnosis, prediction, and policy formulation. Dalam Wharton,
C.R. Subsistence agriculture and economic development. Transaction
Publisher: New Jersey.
Landsberger, H.A. (1974). Rural protest: Peasant movements and social change.
Barnes & Noble: New York.
Lewis, W.A. (1954). Economic development with unlimited supplies of labour.
Manchester School of Economic and Social Studies. 22(2): 139–91.
Lupton, D. (2013). Risk: Second edition. Routledge: New York.
Marx, K. (1852). Brumaire kedelapan-belas Louis Bonaparte. Dalam Suryajaya,
M. (penyunting). Teks-teks Kunci Filsafat Marx. Resist Book: Yogyakarta.
Mazoyer, M. & Roudart, L. (2006). A history of world agriculture: From the
neolithic age to the current crisis. Monthly Review Press: New York.
McGill, V.J. (1949). Sartre's doctrine of freedom. Revue Internationale de
Philosophie 3 (9): 329.
McMichael, P. (2008). Peasants make their own history, but not just as they
please... Journal of Agrarian Change 8 (2-3): 205–228.
Merriam, S. (1988). Case study research in education: A qualitative approach.
Jossey-Bass: San Francisco.
Mintz, S. W. (1973). A Note on the Definition of Peasantries. Journal of Peasant
Studies. 1 (1): 91–106.
Mulyanto, D. (2011). Antropologi Marx: Karl Marx tentang masyarakat dan
kebudayaan. Penerbit Buku Ultimus: Bandung.
Mulyanto, D. (2012). Genealogi kapitalisme: Antropologi dan ekonomi politik
pranata eksploitasi kapitalistik. Resist Book: Yogyakarta.
Murakami, H. (2005). Kafka on the shore. Alfred A. Knopf: New York.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
Nurdin, I. (2014). Catatan akhir tahun 2014 Konsorsium Pembaruan Agraria.
Diunduh dari https://media.neliti.com/media/publications/227-ID-catatan-
akhir-tahun-2014-konsorsium-pembaruan-agraria-membenahi-masalah-
agraria.pdf pada 30 Januari 2018.
Ortiz, S. (1967). The structure of decision-making among Indians of Colombia.
Dalam Firth, R. (penyunting). Themes in economic anthropology. Tavistock
Publications: London.
Panitch, L., & Leys, C. (2000). Preface. Dalam Panitch, L. & Leys, C.
(penyunting). The socialist register. Merlin Press: London.
Parker, I. (1999) ‗Introduction: Varieties of discourse and analysis‘. Dalam Parker
I. & Bolton Discourse Network. Critical textwork: An introduction to
varieties of discourse and analysis. Open University Press: Buckingham.
Pembaruan Tani (2014). Hari pangan sedunia 2014: Menempatkan kembali
pertanian keluarga sebagai kekuatan utama dalam penegakan kedaulatan
pangan. PEMBARUAN TANI, 129, 6. Diunduh dari
https://www.spi.or.id/wp-content/uploads/2014/12/PT_November_2014.pdf
pada 30 Januari 2018.
Perkasa, A. (2014, April 18). Jejak hitam keraton di kulonprogo. Diakses dari
https://indoprogress.com/2014/04/jejak-hitam-keraton-di-kulonprogo/ pada
12 Desember 2017.
Polanyi, K. (2001). The great transformation: The political and economic
origins of our time. Boston: Beacon Press.
Priyono, B.H. (2006). Homo oeconomicus: Dari pengandaian ke kenyataan.
Dalam Wibowo, I. & Priyono, B.H. (penyunting). Sesudah filsafat: Esai-
esai untuk Franz Magnis-Suseno. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Ranyard, R. (2014). A Critical Realist Perspective on Decisions Involving Risk
and Uncertainty. Polish Psychological Bulletin, 45 (1), 3-11.
Robinson, K.M. (1986). The stepchildren of progress: The political economy of
development in an Indonesian mining town. State University of New York
Press: New York.
Rostow, W.W. (1960). The stages of economic growth: A non-communist
manifesto. Cambridge University Press: Cambridge.
Sartre, J.P. (1946). Existentialism is a humanism. Diakses dari
https://www.marxists.org/reference/archive/sartre/works/exist/sartre.htm
pada 20 November 2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
Sartre, J.P. (1978). Being and nothingness: An essay on phenomenological
ontology. Methuen: London.
Schupp, R.A., & Ohlemacher, R.L. (2000). Marginalizing the masses. Journal of
International Affair, 53 (2). Diakses dari https://chomsky.info/20000303/
pada 29 Desember 2017.
Shanin, T. (1973). The nature and logic of the peasant economy 1: A
generalisation. Journal of Peasant Studies 1(1): 63–64.
Simon, H.A. (1957). Models of man, Wiley & Sons: New York.
Smith, J.A. (2007). Qualitative psychology: A practical guide to research
methods. Sage: California.
Stake, R.E. (2005). Qualitative studies. Dalam Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S.
(penyunting), The Sage Handbook of Qualitative Research. Sage
Publications: California.
Susianto, H. (2008). Psikologi, ekonomi, dan Indonesia. Jurnal Psikologi Sosial.
13 (01): 83-94.
Sugiman, T. (2008). A Theory of Construction of Norm and Meaning: Osawa‘s
Theory of Body. Dalam Sugiman, T., Gergen, K.J., Wagner, W., &
Yamada, Y. (penyunting). Meaning in action: Constructions, narratives,
and representations. Springer: New York.
Sugiman, T. (2016). Introduction to group dynamics: Social construction
approach to organizational development and community revitalization.
Taos Institute Publications: Ohio.
Susman, W. (1979). Personality and the making of twentieth-century culture.
Dalam Higham, J. & Conkin, P. (penyunting.). New directions in American
intellectual history. Johns Hopkins University Press: Baltimore.
Tauchid, M. (2009). Masalah agraria dan kemakmuran rakyat Indonesia. STPN
Press: Yogyakarta.
Vlek, C.A.J. (1938). Notes on the integration of decision-making and problem
solving research. Dalam Vlek, C.A.J. Psychological Studies In Probability
And Decision Making. Den Haag: S.N.
Wibowo, I.A. & Santosa A. (2011). Kelestarian lahan ijo royo royo yang terusik.
SWARA33, 1, 17-18. Diunduh dari http://ebook.repo.mercubuana-
yogya.ac.id/Kuliah/materi_20132_doc/SWARA33_2011MEI_001%20updat
ed.pdf pada 20 Desember 2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
Widiyanto, YB. C. (2007). Pengalaman deprivasi relatif dan alienasi di kalangan
petani: Studi fenomenologis pengalaman petani di bawah kebijakan pasar
bebas. Tesis tidak dipublikasikan. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Willig, C. (2008). Discourse analysis. Dalam Smith, J.A. Qualitative psychology:
A practical guide to research methods. Sage: California.
Willig, C. (2013). Introducing qualitative research in psychology. Open
University Press: Maidenhead.
Wolf, E.R. (1966). Peasants. Prentice-Hall: New Jersey.
Wolf, E.R. (1970). Peasant wars of the twentieth century. Harper and Row: New
York.
Yanuardy, D. (2014). Bara di tanah raja: Proses dan mekanisme proyek
perampasan tanah dan perlawanan petani pesisir di yogyakarta. Diunduh
dari
http://www.academia.edu/12302917/_BARA_DI_TANAH_RAJA_Proses_
dan_Mekanisme_Proyek_Perampasan_Tanah_dan_Perlawanan_Petani_Pesi
sir_di_Yogyakarta pada 12 Desember 2017.
Yin, R. K. (2003). Case study research: Design and methods. Sage Publications:
California.
Widodo. (2013). Menanam adalah melawan! Paguyuban Petani Lahan Pantai dan
Tanah Air Beta: Yogyakarta.
Wilastinova, R.F. (2012). Analisis pengaruh faktor-faktor produksi usahatani
semangka (citullus vulgaris) pada lahan pasir di pantai Kabupaten Kulon
Progo. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Sebelas Maret: Surakarta.
Situs
KHL Yogyakarta ditetapkan Rp 1.046.514,56. (2012, Oktober 5). Diakses dari
https://jogja.antaranews.com/berita/304593/khl-yogyakarta-ditetapkan-
rp10465145 pada 20 desember 2017.
Warga karangwuni terima uang muka Rp10 juta. (2013, Agustus 2). Diakses dari
http://www.harianjogja.com/baca/2013/08/02/tambang-pasir-besi-warga-
karangwuni-terima-uang-muka-rp10-juta-434012 pada 13 Desember 2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Kampus III Universitas Sanata Dharma Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman
LEMBAR PERSETUJUAN
(INFORMED CONSENT)
Lembar persetujuan ini dibuat terkait dengan penelitian yang akan dilakukan oleh saya:
Nama : Rifki Akbar Pratama
Sebagai : Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
NIM : 129 114 118
yang saat ini sedang mengerjakan tugas akhir mengenai studi kasus wacana pengambilan
keputusan pelepasan lahan oleh petani lahan pantai. Saya akan berperan sebagai peneliti dalam
proses pengambilan data sehubungan dengan penelitian ini. Dengan ini, saya memohon
kesediaan Anda :
Nama :
Sebagai : Informan
untuk berpartisipasi dalam penelitian ini karena Anda memiliki informasi kunci dan mendasar
bagi dilaksanakannya penelitian ini. Penelitian ini sendiri bertujuan untuk memahami hal apa
saja yang mendasari pengambilan keputusan petani lahan pantai dalam pelepasan lahan guna
dialihfungsikan sebagai tambang. Proses pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan
metode wawancara yang melibatkan pertanyaan-pertanyaan mengenai kasus yang sedang saya
teliti serta penggunaan alat perekam untuk membantu keseluruhan proses. Oleh karena itu, saya
memohon kesediaan Anda untuk meluangkan waktu bagi pengambilan data serta persetujuan
atas penggunaan alat perekam tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selama wawancara, Anda mungkin akan mengingat peristiwa sedih ataupun peristiwa tidak
menyenangkan terkait pengalaman Anda memutuskan untuk melepaskan lahan. Apabila hal
tersebut terjadi, peneliti akan memberi watku dan berusaha menenangkan Anda sesuai konteks
situasi terkait.
Dalam setiap proses ini, Anda bebas mengajukan keberatan jika merasa ada perlakuan yang tidak
sesuai dengan harapan dan informasi yang tidak berkesesuaian dengan kenyataan yang anda
percayai. Anda juga berhak menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Apabila Anda
telah bersedia mengikuti penelitian ini, Anda juga bebas mengundurkan diri setiap saat bila hal-
hal di atas terjadi.
Manfaat dari penelitian ini sendiri ialah Anda dapat semakin memahami diri Anda melalui
refleksi atas jawaban dari pertanyaan yang akan diajukan. Selain itu, hasil penelitian ini juga
digunakan sebagai informasi bagi upaya pembangunan gerakan petani yang lebih solid baik
dalam konteks sosial yang terkait maupun berlainan.
Informasi yang disampaikan dalam keseluruhan proses ini akan diolah untuk kepentingan
penelitian dan bersifat rahasia. Keterangan mengenai identitas serta informasi yang Anda berikan
akan sepenuhnya menjadi tanggung jawab peneliti sehingga Anda diharapkan dapat memberikan
informasi dengan apa adanya.
Rifki Akbar Pratama,
Peneliti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lembar Pernyataan Persetujuan
Berdasarkan penjelasan yang sudah saya baca, saya yang bertanda tangan di bawah ini
menyatakan kesediaan saya untuk mengikuti penelitian mengenai studi kasus wacana
pengambilan keputusan pelepasan lahan. Keikutsertaan saya dalam penelitian ini didasarkan atas
rasa sukarela dan tanpa paksaan dari pihak manapun.
Saya bersedia untuk mengikuti prosedur penelitian berupa wawancara sesuai dengan kesepakatan
waktu dan tempat antara peneliti dengan saya. Saya juga bersedia apabila wawancara dengan
peneliti direkam dengan alat perekam.
Saya juga memberikan izin kepada peneliti untuk mengetahui, menyimpan, serta mengolah data-
data pribadi dan pengalaman saya sebagai salah seorang petani lahan pantai yang telah
melepaskan lahannya untuk dialihfungsikan.
, ……………………..
Informan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
1
No Verbatim Tema
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Ya sudah maju ibaratnya tetapi ketipu sama luntang-lantung seperti itu aduh. Saya pulang ini ya ibaratnya ya saya sebenarnya sudah betah. Saya itu di Jawa Barat dari tahun 1988 sampai, di pabrik ya, di perusahaan, itu saya juga sudah punya anak buah. Kalau ya sebutan kasarnya kalau di sini mandor, kalau di sana pengawas. Itu sudah nyaman bagi saya, tetapi karena dahulu itu ada pabrik Liem Sioe Liong, Salim Group. Saya masuknya ke Salim Group itu dahulu, dekat terminal itu. Kalau menurut saya sebenarnya posisinya sudah nyaman untuk memenuhi sandang pangan ya. Kalau dahulu kan, Astek (Asuransi Tenaga Kerja), saya masuknya ke Astek itu ya anak ketiga, satu-dua-tiga itu terjamin dipenuhi. Ibaratnya makan ya dikasih, menurut saya sudah sejahtera dahulu ya meskipun ikut orang lain, tetapi sudah nyaman. Karena lama-kelamaan ada yang demo-demo itu, terus jangka setahun itu, tahun 2005 itu bangkrut itu. Tutup terus saya kehidupan itu istri saya ya buka wiraswasta, saya hidupnya di jalan, apa saja yang penting halal. Ha, istri saya buka warung kios sudah maju, selama 2005 sampai 2007 itu tetapi pas itu saya diajak bisnis teman saya, seperti ini, ini, ini, tetapi. Waduh, mas ngeri-ngeri itu ceritanya itu. Wah apa ya, segala sudah saya, beban ya, ya pinjam uang itu namanya buat bisnis ternyata dibawa lari seperti itu ya terus. Ya pertama lancar, lama-kelamaan langsung, wah semakin lama semakin besar, ha terus rumah saya jual habis, motor dua saya jual, daripada saya punya hutang dengan orang, ya saya tutup. Saya pulang ke sini, pulang ke sini ya cuma bawa uang 20 juta, punya anak tiga, masih kebayang. Terus membangun rumah yang di belakang yang dipakai anak saya itu, ya kecil-kecilan yang penting dapat tinggal di situ. Itu tahun 2007, dahulu juga sudah ada pro-kontra, tetapi saya belum hapal masalah pro-kontra masalah JMI dengan petani itu. Itu awal saya, pertama di sini, itu sudah ada tetapi belum cukup keras lah seperti itu. Saya membuka lahan di sana itu satu bulan, di pesisir selatan sana, sebulan. Wah, perjalanan panjang mas kalau seperti itu, musibah ya ada saja. Saya panen pertama itu berhasil mas, alhamdulillah. Semangka itu cuma dua bungkus itu sampai satu rit. Setelah itu menanam cabai, berapa bungkus ya? Enam bungkus, satu petik itu delapan kwintal, alhamdulillah. Pas harga bagus itu 20-25 itu.
preferensi menjadi pekerja upahan (2-4) preferensi atas posisi sosial yang lebih tinggi (4-5) preferensi atas posisi sosial yang lebih tinggi (7-9) preferensi atas jenis pekerjaan lain atas dasar jaminan kesejahteraan (9-12) persepsi atas risiko dalam usaha wiraswasta (14-22) pengidentifikasian diri sebagai pendatang (22-25) pengetahuan akan adanya konflik pengambilalihan lahan (25-28) rasa kepemilikan berdasarkan kerja yang dicurahkan (28-30) pengalaman keberhasilan bertani (30-35) penaksiran atas dampak ekonomi yang positif atas pengolahan lahan (31-35)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
2
34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67.
Delapan kwintal kalau dua puluh sudah berapa itu. Sudah 16 juta itu seminggu sekali, alhamdulillah ya. Tetapi lama-kelamaan ada pro-kontra ha model saya sendiri ini kan cuma orang baru ya. Ya, saya hanya ikut saja, bagaimana caranya orang di lingkungan sini. Misalnya demo, ya ayo demo, tetapi ya, suatu saat yang juga jadi musibah lagi, anak saya yang nomor, yang bungsu itu kena penyakit Thallasaemia itu. Itu dua tahun lah lho, saya menanam apapun itu alhamdulillah ya mas. Menanam setancap-tancapnya tanaman saya berhasil. Tetapi ya hanya untuk berobat anak saya terus. Sebulan sekali itu cuci darah, minimal 2 botol atau 3 botol. Minimal itu 2 botol, kadang-kadang 3 botol atau 2 botol. Lha HB-nya itu sampai hanya 4 lho itu. Sampai pucat anak saya yang kelas 6 itu. dua tahunlah itu saya tidak punya Jamkesmas, tidak punya apa-apa. Wah pusing mas, pusing. Tahun berapa itu ya pak? Waktu saya ada cobaan anak saya sakit itu, tahun 2009 itu. Tahun 2009 itu masuk rumah sakit hampir tiap bulan, ke Sardjito, ke mana itu, tiap bulan sekali selama dua tahun kok mas. Penyakit thallasaemia itu yang se-DIY itu lho. Alhamdulillah anak saya sekarang sudah sembuh, ya itu karena penyakit itu dari Allah ya semua diambil Allah. Tetapi menurut kedokteran itu belum ada obatnya itu. Saya sampai cekcok dengan dokter Jogja dahulu. Katanya kan, ya namanya orang tua ya mas, maksud saya kalau bilang sama orang tua nya itu ini enggak bakal sembuh, bakal seumur hidup. Jangan begitulah, jadi orang tua was-was kan, bagaimana lah? Ya kamu menerangkannya enak kan ya, 'Ah, ini sementara ini belum ada obatnya. Bisa, mudah-mudahan nanti ada obatnya.' apa bagaimana. ini kan bilang sama istri saya kan 'Bu, ini anak kamu enggak bakal sembuh. Seumur hidup bakal cuci darah terus setiap bulan.' Kan sebagai orang tua kan, istri kalau saya juga. Istri saya tiap hari menangis terus setiap malam itu. Kalau begini terus saya punya rezeki juga pasti hanya untuk berobat semua. Dokter itu minimal satu juta setengah itu sebulan sekali sudah masuk minimal itu cuci darah. Darah sekarang, kan katanya enggak bayar, tetapi tetap prosesnya dua ratus lima puluh mas. Juga kalau mengambil sama orang lain juga enggak cuma-cuma mas sekarang. Saya sudah ke tukang becak kan kalau darah itu diambilnya hanya 3 bulan sekali baru
pengidentifikasian diri sebagai pendatang (35-36) motif bertahan atas dasar asimilasi sosial (36-38) penaksiran atas dampak ekonomi yang positif atas pengolahan lahan (39-41) kondisi kesehatan anak menjadi tantangan pemenuhan kebutuhan ekonomi (38-46) kondisi kesehatan anak menuntut perhatian penuh (48-50) kondisi kesehatan anak menjadi tantangan pemenuhan kebutuhan ekonomi (61-78) kondisi kesehatan anak menuntut perhatian penuh (66-73)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
3
68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99.
100. 101.
bisa diambil. Kan kalau saya ini, sebulan ini diambil nanti bulan depan kan enggak bisa, harus cari lagi sama orang lain. Cari ke sana kemari, ke empat penjuru mata angin (mlayu ngalor, ngidul ngetan ngulon) sampai ke Polres, ke Kodim itu minta tolong. Ya, ada yang kadang-kadang yang diberi uang ada yang enggak mau ada yang mau, terkadang sering tawar-menawar itu. Mau enggak? Kadang-kadang kalau yang di depan, di tempat tukang becak juga kan harga pasarnya sudah seratus lima puluh per botol, satu orang. Belum prosesnya dua ratus lima puluh, empat ratus satu botol, kalau tiga botol sudah berapa? Sudah satu juta dua ratus, belum mondoknya di situ, minimal satu juta setengah atau dua juta itu saya dahulu, dua tahun saya itu ngeri. Saya sudah pasrah sama Allah, terus saya itu ada JMI yang masuk itu saya terus terang ya itu. Saya, saudara saya sudah angkat tangan, maksudnya ya membantu ya sudah enggak bisa, tiap bulan anaknya begini, darah anak, membantu masalah keuangan tahu begini, tiap bantu dia juga malas kan. Saya sudah bingung enggak punya uang sama sekali mas berobat. Terus ada penawaran JMI itu saya bingung sekali itu, harusnya bagaimana? Enak dahulu di pabrik, dahulu kalau perasaan saya ya. Dahulu di pabrik kan, kesehatan dijamin, makan juga ibarat dikasih lah, makannya kalau di pabrik, sekenyangnya kalau saya dahulu. Ini kalau ini, tani begini, ini saya sudah pusing itu mas. Bertani begini tidak punya jaminan ibaratnya. Sudah, apa-apa bayar sendiri, apa-apa bayar sendiri. Tetapi kalau di perusahaan yang saya dahulu itu anak saya sakit, atau istri saya sakit sudah dibiayai perusahaan. Saya ikutnya apa itu Astek terus Jamsostek yang terakhir ini. Kalau sekarang enggak tahu entah ada atau enggak ada. Itu terus dari JMI itu, datang ke rumah pegawai JMI itu mengiming-imingi dasarnya kalau ini dianu boleh enggak, nanti soalnya begini, begini, begini. Kesejahteraan keluarga terjamin toh. Tapi kalau enggak kepaksa, saya juga mending bertani mas, kalau enggak terpaksa. Tetapi karena namanya hidup manusia mas ya, kalau sudah terpaksa mau bagaimana lagi? Awalnya saya itu kalau di RT sini ya, kalau yang RT situ sudah melepas lebih dahulu tahun 2013. Yang barat, sepuluh, itu daripada yang RT 09 lebih dahulu yang RT 10 mas. Kalau yang di sini ini termasuk? Sini RT 10. Yang sebelah barat situ RT 09.
kepasrahan atas kondisi memberi ruang bagi penawaran pelepasan lahan (78-79) persepsi akan minimnya dukungan dari sanak saudara (79-83) keterpaksaan atas dasar kondisi ekonomi dipersepsi sebagai alasan pelepasan (82-84) preferensi atas jenis pekerjaan lain atas dasar jaminan kesejahteraan (84-92) pertimbangan atas penawaran atas dasar jaminan kesejahteraan (83-84) keterpaksaan atas dasar kondisi ekonomi dipersepsi sebagai alasan pelepasan (95-97)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
4
102. 103.
104. 105.
106. 107.
108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126.
Berarti yang lepas terlebih dahulu RT 09? RT 09 sudah lepas dahulu. Tetapi karena keadaan anak saya ya begitu ya. Ekonomi terus terang saja mas kepepet banget saya sudah pusing. Bagaimana, saudara juga enggak mau membantu. Saya mikir, ha itu ada yang pegawai atau apa enggak tahu. Bagaimana kalau lahannya dilepas, ini begini, begini, begini? Nanti kehidupannya dijamin ini, ada sakitnya dijamin, ini, ini begitu. Ya, saya mengobrol dengan istri, bagaimana? Tetapi ini tetangga belum ada yang melepas bagaimana? Tetapi tetangga enggak ada yang mau membantu kan kita ini. Ya, saya mikir mengikuti yang RT itu saja. Jadi saya melepas dahulu yang di RT 10 ini saya ini. Itu saya melepasnya gara-gara kepepet mas. Tetapi kalau suruh memilih mas, ya kalau saya disuruh memilih begitu ya, milih bertani itu, itu. Tetapi karena keadaan ekonomi sudah kepepet, mau bagaimana lagi. Karena saya juga pernah mengalami di perusahaan begitu. Saya kira mungkin anak saya bisa kerja atau bagaimana, bagaimana, tetapi ternyata sampai sekarang juga terbengkalai. Ya saya ya enaknya begini, itu ya ada kebijaksanaan itu yang lahan yang sudah diganti rugi itu ya, sekarang itu bisa ditanami lagi sementara. Itu ya, alhamdulillah seperti itu. Yang saya mohon itu ya, misalnya yang punya JMI itu ya kalau belum dikerjakan itu ya biarlah digarap masyarakat. Nanti kalau mau diminta kembali silahkan, kalau saya seperti itu prinsipnya. Masalahnya itu juga bukan hak saya, maksudnya bukan tanah sertifikat, hanya penggarap saja. Saya juga memaklumi, kalau hanya penggarap kalau diminta yang punya ya silahkan saja, tetapi ya dampaknya itu bagaimana nantinya itu saya bilang. Kalau suruh memilih ya memang saya milih bertani.
persepsi akan minimnya dukungan dari sanak saudara (105) pertimbangan atas penawaran atas dasar jaminan kesejahteraan (106-108) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (108-110) keterpaksaan atas dasar kondisi ekonomi dipersepsi sebagai alasan pelepasan (111-114) pertimbangan atas penawaran atas dasar jaminan kesejahteraan (114-116) evaluasi negatif atas kondisi tambang mangkrak pascapelepasan (116-117) keinginan atas jaminan pengolahan lahan sementara pascapelepasan (106-108) identifikasi diri sebagai petani penggarap bukan pemilik (121-124) keterpaksaan atas dasar kondisi ekonomi dipersepsi sebagai alasan pelepasan (125-126)
127. 128. 129.
130. 131. 132. 133. 134. 135.
Kalau dahulu bapak ke sini, 2007 akhir begitu? Awalnya untuk menanam di pesisir itu seperti apa pak? Awalnya kan anu mas, saya pulang dari Bandung itu kan bekerja apa ya? Nah, dalam jangka sebulan sampai tiga bulan saya itu ikut kakak saya. Kakak saya jadi buruh bangunan. Bapak asli sini ya? Iya asli sini, sini sebelah utara sini, orang tua saya, daerah P, di Blok III. Ini tanah orang tua saya juga tetapi sudah lama meninggal. Ha itu, pulang dari Bandung itu saya bingung mau bekerja apa saya ini. Terus satu-
pengidentifikasian diri sebagai warga lokal (133-135) pilihan bertani atas perbandingan kesejahteraan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
5
136. 137.
138. 139.
140. 141. 142. 143.
144. 145.
146. 147.
148. 149. 150. 151. 152. 153. 154. 155.
156. 157.
158. 159. 160. 161. 162.
163. 164. 165. 166. 167.
168. 169.
satunya jalan ya saya ikut kakak saya itu yang jadi tukang bangunan itu, selama tiga bulan. Tetapi gajinya juga dahulu itu cuma dua puluh dua lah untuk kehidupan. Terus bertemu teman saya orang Glagah itu yang di TPR itu, teman saya SMP. Saya bilang ke dia, dia itu sukses dari bertani. Ya, alhamdulillah mobil punya, dahulu rumahnya juga alhamdulillah bagus. Ibaratnya sudah sukses kehidupannya saya mengobrol dengan dia, teman saya itu bilang, kalau kamu hanya di bangunan tidak akan ada kemajuan. Masalahnya kan hasilnya hanya cukup sebesar itu saja. Sekarang kamu bertani saja, kalau ada lahan buka lahan, buka lahan di sebelah selatan. 'Wah aku enggak punya modal'. 'Modalnya butuh berapa aku carikan'. Ya kan memang tidak punya tetapi uang itu kan dari bank. Dia yang mencarikan modal awal itu. Modalnya kurang lebih lima juta, untuk beli diesel dua juta seratus, sisanya untuk modal itu, alhamdulillah. Nah, mulai waktu itu saya menekuni bertani. Padahal saya belum pernah bertani juga, hanya tanya-tanya ke adik-adik saya yang ada di sini. Bagaimana caranya? Seperti ini, ini, ini. Tetapi malah adik saya kalah dengan saya, masalahnya kan dia bilang 'kalau obatnya garamnya yang baik ini mas' ya saya pakai yang baik, adik-adik saya enggak karena harganya mahal. Ya itu ada jangka tahun hampir dua tahun atau satu tahun setengah dapat musibah anak saya itu yang sakit itu. Bapak sendiri berapa bersaudara ya? Saya enam, satu di Sumatera. Saya nomor empat, adik saya dua. Kakak perempuan saya yang paling besar yang di Sumatera, di Kelapa Sawit. Mereka juga kena pasir besi. Kalau kakak saya itu tukang bangunan tetapi serabutan bertani, khususnya bangunan. Kalau adik saya yang dua bertani dan berdagang sayuran. Kalau saya disuruh memilih mending bertani. Enak bertani daripada tawaran dari JMI itu. Tetapi kalau pas, ya bagaimana ya, kalau pas melepas awal itu ya seperti yang saya bilang tadi, kepepet, karena keadaan itu. Tetapi kalau di perusahaan kalau sudah jalan itu ya, saya ya juga kalau ada jaminan ya mending di situ. Masalahnya sekarang ini bertani itu diakali oleh tengkulak mas. Harganya sesuka hati mas, itu. Tengkulak itu enggak kasihan terhadap petani. Sesuka hatinya kalau membeli itu. Model cabai itu kalau menjelang lebaran itu di televisi harga sampai 30 atau 25, di sini cuma 7.000 atau 6.000 alasannya
dengan profesi lain (135-149) preferensi atas posisi sosial yang lebih tinggi (139-140) ketergantungan terhadap penyedia modal awal (145-148) kepercayaan diri atas dasar keberhasilan bertani (151-153) keterpaksaan atas dasar kondisi ekonomi dipersepsi sebagai alasan pelepasan (161-164) preferensi atas jenis pekerjaan lain atas dasar jaminan kesejahteraan (164-165) evaluasi negatif atas pola sirkulasi pasar konvensional (166-171)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
6
170. 171. 172. 173. 174. 175. 176. 177. 178. 179.
180. 181. 182.
183. 184. 185. 186. 187.
188. 189. 190. 191. 192. 193.
194. 195. 196. 197.
198. 199. 200. 201.
202. 203.
mobilnya enggak bisa bolak-balik. Kalau petani itu, yang kaya dan sukses itu justru tengkulak-tengkulak itu. Jadi pemerintah itu enggak bisa membuat solusi supaya harga standar untuk tengkulak itu. Tengkulak itu paling enak kalau panen cabai, wah, ibaratnya per kg 3.000 kali satu ton berapa itu, sehari? Tiga juta sudah nangkring sudah diantarkan. Kalau di sini banyak tengkulak ya? Iya yang untung tengkulak, tengkulak itu sudah enak mas, dianterin barang di rumah dia, enggak bekerja hanya menunggu nanti ada penjual dari jauh mengambil. Keuntungannya minimal seribu atau lima ratus sudah enak nangkring. Model terong itu mas, itu enggak mau itu tengkulak mengambilnya lima ratus. Paling tujuh ratus lima puluh minimal itu, per kg, satu kwintal sudah berapa? 75.000. Itu dia hanya diam di rumah hanya menimbang saja, itu. Kalau sekarang sudah mending, dahulu cuma satu dua mas. Sekarang sudah banyak, jadi saingannya banyak sekarang, tinggal milih. Ini adik saya sekarang juga jual sayur, saya bicara sama adik saya 'kalau ambil sama petani itu, ambil laba tetapi juga menguntungkan petani.' Jadi jangan terlalu besar mengambil keuntungan dari petani, kasihan. Tetapi kadang-kadang saya berpikir seperti ini mas. Ini petani juga ditipu tengkulak. Jadi petani capek pergi ke sana kemari tetapi tengkulak enak, tinggal menunggu. Kalau saya sendiri ya mas ya, saya pribadi ya. Karena saya ini juga orang yang tidak sekolah, saya ini pengennya ingin tidak ribet hanya tenteram. Itu kalau ada perusahaan yang kira-kira tidak merugikan masyarakat lingkungan ya saya mending di perusahaan. Masalahnya kan ada jaminan, ada kesehatan juga yang penting itu, keluarga, pasti kalau berangkat pasti dapat. Kalau petani belum tentu. Saya hampir selama sudah ada pasir besi, harga cabai itu mas, belum pernah naik, bangkrut terus saya, harganya itu lho mas. Cabainya bagus tetapi harganya di bawah sepuluh ribu mas. Kalau di daerah pantai sini, kalau ditanyai semua orang di sini, kalau harganya di bawah sepuluh ribu itu sudah bangkrut, untuk operasional. Beda dengan kalau di sawah sana. Kalau di persawahan kan enggak banyak mengeluarkan modal. Kalau di sini kan bensin. Itu berarti sejak 2007 bapak menanam di lahan pasir itu? Itu di daerah situ yang membuat bapak berpikir akan menanam di daerah situ dengan
evaluasi negatif atas peran pemerintah dalam mengatur tengkulak (171-172) evaluasi negatif atas pola sirkulasi pasar konvensional (171-172) pandangan positif atas adanya pilihan sarana penjualan hasil produksi (182-184) artikulasi kebutuhan petani berdasar identifikasi diri sebagai petani (184-187) evaluasi negatif atas pola sirkulasi pasar konvensional (187-189) keinginan menjalani kehidupan yang tenteram (189-191) preferensi atas jenis pekerjaan lain atas dasar jaminan kesejahteraan (191-194) penaksiran akan ketidakpastian serta risiko dalam bertani (194-201)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
7
204. 205. 206. 207. 208. 209. 210. 211. 212. 213. 214. 215. 216. 217. 218. 219.
220. 221.
222. 223. 224. 225. 226. 227. 228. 229. 230. 231.
232. 233. 234. 235. 236. 237.
luasan seluas ini dahulu apa yang dipikirkan awalnya? Saya enggak banyak, ya hanya sisa yang belum digarap sewaktu itu. Luasnya itu, berapa ya? Hampir 4000-an, 4000 meter persegi lebih. 4000 itu ada satu hektar enggak? Pokoknya itu ditanami cabai habis tujuh bungkus. Tetapi hasil yang di tambang sama yang di sini, bagus yang di sana mas pasirnya, untuk tanaman segala lah, yang penting jangan padi. Kalau padi kan harus banyak air. Di lahan pesisir itu model semangka, melon, cabai, segala itu bagus di sana pasir, hasilnya. Lha itu enam bungkus dapat 8 kwintal satu minggu sekali, gampang perawatannya. Kalau di sini kan susah mengaturnya air. Kalau di sana kan air itu disirami langsung nyerap ke bawah. Jadi bagus yang pasir daripada yang tanah ini. Ini masih tegalan ini ya? Tegalan yang ini, yang selatan benteng itu yang sudah tanah pasir. Jadi tanaman palawija itu bagus yang di tanah berpasir mas. Kalau yang ditanami bapak itu? Itu termasuknya tegalan, itu tanah sertifikat, Itu tanah berpajak kan. Jadi, sebelum diambil oleh JMI itu yang daerah tegalan itu jarang ditanami mas. Paling hanya tanaman yang kira-kira enggak banyak modalnya jagung atau apa ibaratnya begitu. Khususnya yang dipentingkan di sana mas, di sana bagus mas. Karena di sana sudah diambil oleh yang punya jadi terpaksa pindahnya ke sini. Tetapi ya alhamdulillah sekarang ini ya boleh ditanami kembali, sebagian, tetapi kan dibagi-bagi rata. Kalau dahulu kan model pak B itu banyak dahulu. Karena dia menanam sudah lama kan, pak B itu banyak, paling banyak di daerah RT sini, paling banyak sendiri, karena mematoknya sudah lama kan. Mematoknya itu cuma digarap saja ya? Kalau dahulu itu belum ada kemajuan model memakai diesel atau pakai apa. Jadi disirami manual sesuai kemampuan orang masing-masing. Terus lapangan pekerjaan itu kan dahulu masih mudah, di kota-kota. Kalau sekarang kan makin lama, dunia itu makin sempit toh. Orangnya bertambah banyak tetapi pekerjaan tidak ada. Jadi yang tadinya merantau ke mana-mana pasti pulangnya, ibaratnya adik-kakak saya di Malaysia, nanti di sini mau enggak mau kan hanya bertani. Jadi kan, kalau dahulu kan, saya masih SMP sewaktu kecil kalau jam sebelas-dua belas itu ya
penaksiran positif atas potensi organik tanah (207-209 dan 213-214) penaksiran dampak ekonomi yang positif atas pengolahan lahan (210-212) penaksiran atas kemudahan pengolahan lahan pesisir (212) penaksiran positif atas potensi organik tanah (208-209 dan 216-217) penaksiran positif atas potensi organik tanah (208-209 dan 222-223) keinginan atas jaminan pengolahan lahan sementara pascapelepasan (224-225) pengetahuan tentang perbedaan kelas petani berdasar kepemilikan lahan (225-228) rasa kepemilikan berdasarkan kerja yang dicurahkan (230-231) pilihan bertani atas dasar sempitnya lapangan pekerjaan (232-236)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
8
238. 239. 240. 241.
242. 243.
tidak berani ke daerah selatan itu. Jam sebelas-dua belas itu sudah sepi di selatan itu, alas soalnya dahulu itu, sewaktu saya SMP. Mohon maaf, bapak kelahiran? 1968. Berarti mulai jadi petani? 2007 sampai sekarang.
keterikatan personal dengan lahan (243)
244. 245. 246. . 247. 248. . 249. 250. . 251.
252. . 253. 254. 255. 256. 257. 258. . 259. 260. . 261.
262. 263. 264. 265. 266. 267. 268. 269. 270. 271.
Berarti dengan orang tua dahulu? Ya bertani, tetapi belum ikut. Paling hanya menggembala kambing. Ya, cuma sering menonton dahulu. Karena kambing orang tua banyak kalau menggembala ya dilepas di pesisir itu nanti jam setengah sebelas diambil lagi, dibawa pulang. Dahulu masih angker di daerah selatan itu dahulu. Jam sebelas-dua belas siang itu sudah sepi di daerah selatan itu dahulu yang menanam sewaktu saya kecil itu juga belum banyak. Itu sewaktu saya merantau itu ya sudah ada satu-dua tetapi belum memakai diesel. Dahulu kalau saya pulang itu sering jalan-jalan di pesisir itu kan, sumurnya ya itu masih pakai sumur bronjong, semakin lama semakin ada kemajuan, entah orang dari mana, cara membuat sumur itu pakai diesel, semakin lama semakin maju. Kalau dahulu tidak pakai selang, tetapi pakai bak terus diambil pakai gembor (ceret besar) disirami, terus ada yang makin lama, makin maju memakai selang. Kalau dahulu orang tua di tegal atau di? Di tegal sini, iya. Ya di pesisir itu juga punya tapi hanya ditanami kacang, musimnya hanya musim hujan saja, musim hujan. Menanam kacang, kacang tanah itu lho. Tetapi orang tua itu punya itu sudah lama, saya masih kecil itu, mereka sudah punya di pesisir di pinggir laut itu, mbelik istilahnya, di masa zaman penjajahan Belanda sudah punya di situ. Ya diolah, ditanami model kacang tolo, kacang panjang, seperti itu, tetapi kan hanya tanaman orang biasa. Kalau sekarang kan sudah lebih maju. Kalau dahulu kan tanamannya cuma kacang tanah, terus jagung, kacang tolo, seperti itu saja. Enggak cabai, cabai belum ada juga dahulu. Cabai itu di persawahan kalau dahulu. Saya masih kecil saja sudah diajak orang tua untuk ke pesisir, lahan yang dipakai JMI itu. Dahulu itu sudah ada, punya. Tetapi kan mencari yang daerah yang datar saja, terus dipatok, ini kepunyaanku. Tetapi masih yang kosong itu masih banyak
rasa kepemilikan berdasarkan kerja yang dicurahkan (252-257) rasa kepemilikan berdasar internalisasi pola tradisi (261-270)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
9
272. 273. 274. 275. 276. 277. 278. 279. 280. 281.
282. 283. 284. 285. 286. 287. 288. 289. 290. 291.
292. 293. 294. 295. 296. 297. 298. 299. 300. 301. 302.
kalau dahulu itu. Sejak ada kemajuan zaman itu ditanami cabai bisa berhasil, yang namanya orang itu ikut-ikutan terus banyak yang mematok. Kalau bapak dahulu sekolah hingga? Saya hanya SMP. SMP terus di Pojok Beteng jogja itu satu tahun, hanya usaha dagang asongan. Terus mulai ke Bandung? Tahun 1988, dahulu di sana itu tahun 1988 itu masih di perusahaan-perusahaan itu di PT. PT., ibaratnya yang dapat baca itu mungkin masuk. Bukan, orang yang mencari pekerjaan tetapi perusahaan yang mencari pekerja dahulu. Saya itu memasukkan lamaran ke empat tempat dipanggil semua, tetapi gantian itu, enggak seperti saat ini. Saya dahulu gaji pokok itu mas, sehari itu cuma 900 perak. Gaji pokok itu 900, kalau gajian itu dua minggu sekali, dua minggu dapat delapan belas. Saya sama lembur itu sudah bisa untuk membayar kontrakan itu kalau dahulu, arisan juga. 18.000 seminggu kalau sama lembur itu, ongkos itu kalau ketinggalan jemputan masih murah, masih 50 perak. Tetapi ya itu, merintis agak awal itu kalau enggak bangkrut menurut saya enak itu, kalau menurut saya, karena saya cuma orang tidak mengenyam pendidikan. Kalau menurut saya sudah nyaman itu. Masalahnya kalau kerja ikut orang itu, prinsip saya itu ikut aturan tidak usah macam-macam sudah bagus, alhamdulillah. Karena saya saingan saya itu STM untuk masuk ke situ, tetapi alhamdulillah yang dipilih saya. Karena kan saya kakak saya bilang 'kamu bekerja di sini meski kamu lulusan SMP', mekanik saya bagian mekanik. 'Kalau kamu rajin enggak masalah, di kelulusan yang penting kerajinan praktik di lapangan.' Kalau saya ya bekerja ya sportif mas, mengikuti aturan yang penting tidak melawan, waktunya istirahat ya langsung istirahat, bekerja ya bekerja. Alhamdulilah ya saya itu tahun 1988, 1992 itu saya diangkat jadi itu. Tetapi ya di perusahaan ada yang syirik ada yang iri juga ya biasa. Soalnya cuma lulusan SMP kok bisa jadi anu macam-macam itu. Kalau saya bekerja ikut orang ya mengikuti dengan yang akan membayar itu, aturan ya dipakai begitu.
pilihan bertani atas dasar sempitnya lapangan pekerjaan (278-282) preferensi atas jenis pekerjaan lain atas dasar jaminan kesejahteraan (282-290) preferensi menjadi pekerja upahan (290-298) kepatuhan terhadap aturan sebagai sarana menghindari risiko (290-291 dan 296-298) preferensi atas posisi sosial yang lebih tinggi (298-299) kepatuhan terhadap aturan sebagai sarana menghindari risiko (301-302)
303. 304. . 305.
Kalau sepengetahuan bapak lahan itu lahan kosong ya? Lahan kosong, alas, saya itu satu bulan membongkar alas itu, dengan anak-istri saya itu satu bulan penuh itu. Masih ada pepohonan yang tidak,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
10
306. . 307. . 308. 309. 310. 311. 312. 313. 314. 315.
316. 317.
318. 319.
320. 321.
322. . 323. . 324. . 325. 326. . 327. . 328. . 329. 330. 331.
332. . 333. 334. 335. 336. 337. 338. 339.
model widara, pepohonan yang tidak bisa dimanfaatkan itu lho. Pokoknya pepohonan yang besar-besar itu juga ada, bukan tanaman, tetumbuhan yang hidup di alas, ha itu, saya membongkar itu satu bulan. Satu bulan itu belum maksimal, yang penting kalau dahulu itu asal masih bisa ditanami dahulu. Nanti untuk meratakan itu sambil jalan, seperti itu. Tetapi dahulu itu ya, karena saran teman saya. Pertamanya ya saya ragu-ragu, karena bertani itu modal sendiri, terus tiap hari tidak ada yang membayar untuk pengeluaran sehari-hari uang dari mana? Di pikiran saya itu. Ya, memikirkan tetapi saya lihat teman saya yang sudah berhasil itu. Kalau model ikut di bangunan itu ya enggak ada kesejahteraan, kesehatan juga tidak ada, penghasilan gaji segitu habis untuk per harinya. Kalau bertani itu kalau pas ada harga yang bagus itu keliatan. Saya itu karena melihat teman saya maju itu saya ikut itu. Kalau dahulu itu masih lahan kosong langsung digarap? Belum tahu kepunyaan siapa? Kosong, kalau milik bapak saya, atau yang ini, masih dari nenek moyang yang dahulu. Enggak tahu, saya enggak tahu. Bapak itu bilangnya kalau bekerja ini kalau jadi petani awalnya masih khawatir soal pengeluaran sehari-hari bagaimana, kalau sampai sekarang sebagai petani makna petani itu seperti apa pak? Ya seperti ini mas, pertama, kalau dijalani, kalau saya punya panen itu jangan dihabiskan uang itu. Misalnya panen 10 juta, itu diambil 5 juta, per bulan itu pengeluaran berapa, itu harus disimpan, disisihkan, kalau nanti enggak punya uang ya ambil, misalnya ada panenan yang kecil-kecil itu. Harus punya simpanan untuk ke depannya, hari berikutnya petani sistemnya begitu. Misalnya, sekarang panen 10 juta, dihabisin kita mau makan apa? Kalau enggak kepepet ya, kalau namanya juga musibah kan enggak tahu. Musibah jangan dibilang, kalau musibah apapun yang ada dijual. Tetapi kalau menurut saya sih, ekonomi pengaturannya seperti itu. Misalnya punya panen begitu jangan dihabiskan, kita hidup sehari-hari pengeluaran segini ya harusnya segini saja. Ya, sekali-kali makan agak enak enggak apa-apa yang penting hari-hari biasa makannya biasa saja. Kalau sebagai profesi sendiri, kalau untuk bapak sendiri makna petani seperti apa?
rasa kepemilikan berdasarkan kerja yang dicurahkan (304-310) penaksiran akan ketidakpastian serta risiko dalam bertani (310-313) pilihan bertani atas perbandingan kesejahteraan dengan profesi lain (315-316) Pilhan bertani atas dasar penaksiran dampak ekonomi yang positif atas pengolahan lahan (314 dan 316-318) kesangsian soal hak milik dan legalitas lahan (321-322) pengalokasian modal sebagai sarana keberlangsungan produksi (326-331) kondisi mendesak dirasakan memengaruhi pola pengaturan ekonomi domestik (332-334) preferensi atas kehidupan sederhana guna pengelolaan ekonomi domestik (334-337)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
11
340. 341.
342. 343. 344. 345. 346. 347. 348. 349. 350. 351.
352. 353. 354. 355. 356. 357. 358. 359. 360. 361. 362. 363. 364. 365. 366. 367. 368. 369. 370. 371.
372. 373.
Ya saya bilang ke anak-anak saya itu. Kalau bisa enggak jadi petani, petani itu jalan terakhir, menurut saya ya ini. Menurut saya petani itu jalan yang terakhir, iya. Kalau ada pekerjaan lain enggak usah bertani. Karena apa itu pak? Karena petani itu ya dibilang susah ya susah banget. Susahnya begini mas, yang saya alami itu lho, itu ya kalau dahulu itu wah enak ini, pas karena saya bilang enak, karena awal saya terjun bertani saya menanam ini, ini, ini, berturut-turut empat kali hasil terus itu enak. Tetapi lama-lama dipikir pas ini enggak berhasil, enggak punya apa-apa, ini kadang sering dibohongi sama tengkulak, lah itu risikonya. Makanya saya bilang ke anak saya kalau bisa jangan jadi petani. Petani itu jalan terakhir, itu menurut saya itu lho. Kalau ada pekerjaan lainnya, kerja yang lain. "Enggak apa-apa bapak jadi petani seperti ini tetapi kamu jangan sampai jadi petani. Carilah pekerjaan yang lebih baik, kalau bisa pegawai negeri atau apa." Kalau saya seperti itu. Benar, kalau bertani itu mas, sekarang berpikirnya tanah itu makin lama, makin enggak subur. Masalahnya ditanami terus menerus kan, harusnya tanah itu ditanami, misalnya sekali panen, istirahat dahulu sebulan dua bulan baru ditanami lagi. Kalau terus-menerus ditanami tanah itu jadi enggak subur. Itu sudah, contohnya saya dahulu membuka lahan pertama itu ditanami semangka itu enggak ada yang dua kg satu biji itu sepuluh atau delapan kg. Sekarang enggak bisa besar mas, masalahnya kan efek sampingnya tanah itu kan makin lama makin tandus ditanami terus-menerus. Ibarat manusia kalau kerja terus-terusan juga capek harusnya sekali-kali istirahat, tetapi mau istirahat di mana karena enggak punya lahan lagi, seperti itu. Model cabai, setelah semangka cabai, baru tanam cabai pertama itu kan mas, makanya kalau bisa itu mau pindah-pindah tempat itu. Misalnya sekarang cabai, satu musim istirahat dahulu, dua bulan-tiga bulan, pindah yang lain, maunya seperti itu saya itu. Tetapi kalau seperti itu sekarang petani enggak mampu makan sekarang ini. Kalau seperti itu waktu masih kosong memungkinkan? Iya, seharusnya seperti itu. Tetapi karena keadaan sekarang ini ya, karena banyaknya orang yang butuh tanah ya punyanya hanya itu ya ditanami terus saja, seperti itu mas. Harusnya tanah itu juga memerlukan penyegaran ibaratnya. Tetapi karena keadaannya seperti itu ya, bagaimana?
persepsi atas petani sebagai profesi pilihan terakhir (340-342 dan 349-350) penaksiran akan ketidakpastian serta risiko dalam bertani (343-348) pandangan akan risiko bertani atas dasar potensi organik tanah yang menurun (352-356) persepsi bahwa tanah perlu dirawat dan rehat agar produktif (356-366) dilema perawatan tanah dan pemenuhan kebutuhan ekonomi (366-367) dilema perawatan tanah dan pemenuhan kebutuhan ekonomi (369-373)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
12
374. 375. 376. 377. 378. 379. 380. 381. 382. 383. 384. 385. 386. 387. 388. 389. 390. 391.
392. 393. 394. 395. 396. 397. 398. 399. 400. 401. 402. 403. 404. 405. 406. 407.
Kalau dahulu seperti itu? Kalau dahulu itu seperti itu pindah-pindah mas. Dahulu saya awal itu kan tempatnya enggak cuma satu itu di daerah selatan itu. Maksudnya ya ditanami toh, nanti panen habis semusim habis, pindah dahulu, supaya bisa diistirahatkan dahulu. Sekarang ini tidak bisa sudah. Apa yang ditanam itu cuma sedikit, cuma seperempat yang banyak itu. Jadi dahulu kan ada tegal juga itu, jadi pindah. Dua tempat saya dahulu, di lahan pesisir dan tegalan, tetapi gantian, yang sekarang ini saya mengontrak. Kalau pembukaan menurut saya sendiri sebenarnya pembukaan awal lahan itu tanaman dua musim bisa mas. Dua musim, tiga musim itu sudah, harus sudah ada pupuk organik untuk meredam supaya tanah itu enggak mati, kalau kebanyakan kimia kan tanah bisa mati. Tetapi ya, karena keadaan sekarang saking banyaknya orang yang membutuhkan lahan itu. Ya karena punyanya lahan ya cuma itu ya itu terus saja. Kapan mau menghasilkan yang bagus? Kalau dahulu itu, saya itu tanaman yang namanya terong itu setancap-tancapnya hidup, terong itu. Kalau sekarang itu sudah diobati apa saja, tetap saja gampang mati, banyak penyakit sekarang ini. Kalau dahulu itu enggak, terong itu memanennya sampai lelah dahulu itu. Sampai berkali-kali sampai dua puluh atau tiga puluh sekali. Kalau sekarang ini cuma sampai enam atau tujuh sudah mati. Itu akibat apa, akibat virus karena tidak pernah istirahat dalam pemakaian tanah itu. Model Sumatera yang tanahnya luas-luas, ditanami ya akan selalu bagus, masalahnya kan jarang ditanamkan. Makanya saya pesan ke anak saya itu kalau bisa enggak bertani, cari yang lain, bertani itu jalan pintas terakhir, menurut saya sendiri. Kalau mengobrol sekarang ini petani itu mengeluh masalahnya selain sewaktu jual itu dipermainkan tengkulak itu lho enggak sesuai. Sekarang itu obat-obatan mahal tetapi penjualannya seenaknya sendiri kadang proses pembeliannya itu, seringkali seperti itu. Kalau ada pekerjaan yang lain mending pekerjaan yang lain, kalau saya seperti itu, sekarang ini seperti itu. Kalau bagi bapak sendiri jadi petani itu bisa menjadi sandaran hidup tidak pak? Ya, menurut saya karena keadaan terpaksa ya bisa. Tetapi diatur-atur sendiri saja, pengaturan kehidupan sehari-hari itu. Tetapi kalau yang
pandangan akan ketidakmungkinan perawatan tanah pascapelepasan lahan (375-381) persepsi bahwa tanah perlu dirawat dan rehat agar produktif (383-385) dilema perawatan tanah dan pemenuhan kebutuhan ekonomi (382-387) pandangan akan risiko bertani atas dasar potensi organik tanah yang menurun (387-396) persepsi bahwa tanah perlu dirawat dan rehat agar produktif (387-396) persepsi atas petani sebagai profesi pilihan terakhir (396-398) evaluasi negatif atas pola sirkulasi pasar konvensional (398-402) pandangan akan potensi petani sebagai sandaran hidup atas dasar keterpaksaan kondisi (406-408)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
13
408. 409. 410. 411.
lahannya banyak, bisa berpindah-pindah itu. Kalau cuma pas-pasan itu ya karena akhirnya saya juga kontrak di situ. Sehingga bisa diistirahatkan yang sementara, yang di selatan kan sudah dua bulan tidak saya tanami. Nanti akan saya tanami lagi.
persepsi bahwa tanah perlu dirawat dan rehat agar produktif (408-411)
412. 413.
414. . 415.
416. . 417.
418. . 419. . 420. . 421.
422. . 423. . 424. 425. 426. 427. 428. 429. 430. 431.
432. 433. 434. . 435. 436. . 437. . 438. . 439. . 440. . 441. .
Masih ada yang bisa ditanami ya? Yang pasir besi itu kan, sekarang ini boleh ditanami kan. Kemarin saya tanami, sudah dua bulan ini saya anggurkan saya pindah ke sini. Tetap? Berbeda mas, dibagi-bagi mas, kaplingan. Seribu-an meter persegi, satu kapling. Dua bulan ini tidak saya tanami. Nanti baru saya akan tanami semangka lagi. Jadi biar tanahnya agak istirahat dahulu itu lho. Makanya ada tanah yang pembukaan lahan baru itu saya senang. Pasti tanaman pertamanya pasti bagus. Pertama dan kedua itu pasti bagus. Modelnya di selatan beteng ini, itu kan sudah tiga tahun tidak ditanami. Ditanami pasti bagus, pasti itu. Tetapi itu tempatnya sudah ditentukan kaplingannya? Ya sudah ditentukan itu, dibagi rata. Enggak seperti dahulu, mana yang dahulu yang mengelola, sekarang dibagi rata. Ya, karena sudah ada yang memiliki kan, JMI. Jadi bapak dahulu mengolah sendiri, terus pas waktu itu kan masih kosong. Berpikirnya ini, 4000-an, itu kan masih sisanya yang kosong cuma itu atau? Sisa yang kosong, masalahnya saya itu cuma sisa tanah. Di sini sudah ada yang menggarap belum? 'Belum mas. Sudah kamu di situ aja, menggarap di situ. Kalau kanan-kirinya sudah ada, ya sebagian ada yang di bagian sebelah utara itu lebih luas tetapi kondisi lahannya naik turun, jadi mencari daerah yang agak datar sedikit, 2007 itu. Terus digarap, menanam, tetapi menanam yang sekiranya masih bisa, semangka kan enggak semua digarap kan, pakai jarak kira-kira empat meter, digarap, empat meter digarap. Itu sambil berjalan sambil diratakan, panjang prosesnya mas, itu satu bulan penuh saya sama istri dan anak saya. Itu sudah menggarap di tegalan tempat bapak saya tetapi hanya sedikit, kepunyaan bapak saya itu. Satu bulan dengan anak dan istri saya itu dari subuh sampai sore, alas ya alas beneran. Ya enggak berpikir akan ada masa pelepasan itu juga
persepsi bahwa tanah perlu dirawat dan rehat agar produktif (413-414) persepsi bahwa tanah perlu dirawat dan rehat agar produktif (416-422) pandangan akan perbedaan aturan pengelolaan pascapelepasan (424-426) rasa kepemilikan berdasarkan kerja yang dicurahkan (430-441)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
14
442. . 443. . 444. . 445. 446. . 447. . 448. . 449. . 450. . 451.
452. . 453. . 454. . 455. 456. . 457. . 458. . 459. . 460. . 461. . 462. . 463. . 464. . 465. 466. . 467. . 468. . 469. . 470. . 471.
472. . 473. . 474. . 475.
saya. Terus tahun berapa itu kan ada, kontrak-kontrak yang bilang akan diambil JMI seperti itu. Setelah berapa tahun seperti itu. Terus saya, seperti yang saya jelaskan tadi, karena keadaan, kepepet itu tadi. Masalahnya saya sudah pernah bekerja di perusahaan itu ya menurut saya sudah cukup enak. Karena saya juga tidak memiliki ijazah toh. Standar seperti saya sendiri ini sudah enak. Kalau sampai saat ini, berarti kalau, kalau tadi kan bertani itu masih bisa jadi sandaran hidup. Kalau bagi bapak sendiri membantu kehidupan bapak sendiri? Kalau 2007 sampai pelepasan itu menurut saya bisa sebagai sandaran hidup untuk membiayai anak-istri saya. Tetapi setelah itu, sekarang ini bertani itu kacau. Ya, otomatis karena keadaan menanamnya itu tidak di sana (lahan pasir), hasilnya itu sudah turun drastis penghasilannya itu. Harga cabai sudah, empat kali menanam, empat tahun itu, enggak pernah tembus, saya bangkrut terus. Modal 15 juta/10 juta itu enggak balik. Karena harga mas, selain harga juga cabainya enggak seperti yang dahulu. Panennya itu, jumlahnya itu. Sama-sama enam pak, itu paling-paling menghasilkan empat kwintal, setengahnya. Kalau dahulu di selatan wah enak sekali itu. Kalau sebelum lepas itu bisa membantu kehidupan ya? Ya, seperti itu. Tetapi ya karena keadaan ya saya mendapat musibah seperti itu ya. Karena namanya bertani itu ya, modal awalnya modal sendiri, terus tiap harinya ya. Kalau di perusahaan kan yang penting saya istirahat, berangkat ada yang membayar, dan juga ada jaminan kesehatan. Makanya itu saya lepas kan berharap supaya kalau maju itu anak saya bisa bekerja di situ. Saya, saya sendiri, katanya ya kalau saya mampu, kalau itu jalan ya saya bisa bekerja bagian bersih-bersih atau apa, yang penting jadi karyawan tetap. Saya melepasnya juga kan karena seperti itu. Diberi iming-iming nanti kesejahteraan keluarga dijamin. Itu dari orang JMI? Sewaktu pertemuan itu, direkturnya ya bilang seperti itu. Terus sampai sekarang, hehe, jadi seperti ini ya, bagaimana ini? Tetapi kalau saya mohon itu ya mas, selama belum dikerjakan saya mohon itu yang di pantai pesisir ini diberikan masyarakat untuk menggarap. Nanti kalau diminta lagi
keterpaksaan atas dasar kondisi ekonomi dipersepsi sebagai alasan pelepasan (442-444) preferensi atas jenis pekerjaan lain atas dasar jaminan kesejahteraan (445-447) pandangan bahwa sebelum pelepasan bertani bisa sebagai sandaran (451-452) evaluasi negatif atas proses bertani pascapelepasan lahan akibat penurunan produksi (453-460) evaluasi negatif atas pola sirkulasi pasar konvensional (457) kondisi mendesak dirasakan memengaruhi pola pengaturan ekonomi domestik (462-463) penaksiran akan ketidakpastian serta risiko dalam bertani (463-464) preferensi atas jenis pekerjaan lain atas dasar jaminan kesejahteraan (464-469) jaminan kesejahteraan dipandang sebagai alasan pelepasan lahan (469-470) evaluasi negatif atas kondisi pascapelepasan terkait jaminan pekerjaan (472-473) keinginan atas jaminan pengolahan lahan sementara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
15
476. . 477. . 478. . 479. . 480. . 481. . 482. . 483. . 484. . 485. 486. . 487. . 488. . 489. . 490. . 491. . 492. . 493. . 494. . 495. 496. 497. 498. 499. 500. 501. 502. 503. 504. 505. 506. 507. 508. 509.
silahkan ambil, begitu saja, yang penting jangan dadakan, misalnya satu bulan atau dua bulan diberi pemberitahuan. Kalau saya enggak ada masalah, masalahnya bukan hak saya sendiri. Jadi setelah dilepas itu agak mengurangi...? Kalau dahulu bisa untuk apa saja? Penghasilan pendapatan. Ya, ibaratnya ya untuk menyekolahkan dan memberi kendaraan, untuk membangun rumah itu sebenarnya bisa. Kalau dahulu bertani, awal-awalnya saya itu ya. Itu seperti gampang itu lho mas. Harga itu, berturut-turut harga mahal terus itu cabai itu. Ibaratnya anak saya minta kendaraan ya saya mampu, ibaratnya untuk membangun gubuk-gubuk ya mampu, tetapi enggak tahu. Tetapi saya memahaminya seperti ini mas; jadi tanah itu kalau terus-terusan ditanami akan jadi tandus itu. Sesudah pelepasan JMI itu sekarang ini penghasilan itu, tanya orang-orang di sekitar sini, sesudah uang ganti rugi itu, kelihatannya penghasilan itu enggak bisa dibandingkan, menurun drastis. Enggak tahu, habis tanahnya atau seperti apa. Tetapi kalau dahulu itu enggak, model terong itu kalau dipanen sampai lelah. Sekarang ini, memanen lima sampai enam kali sudah mati, kalau dahulu enggak. Karena tanahnya masih subur, enggak tahu, atau bagaimana enggak tahu. 2008 itu saya mulai membangun yang belakang, yang ini juga ada tetapi baru diperbaiki, memperbaikinya setelah mendapat ganti rugi itu saya perbaiki. Kalau fondasi-fondasi sudah ada sejak ada sebelum proyek pasir besi itu, hasil bertani sebelumnya. Kalau anak bapak ada berapa ya pak? Saya tiga, yang pertama sudah berkeluarga, di rumah saya yang dahulu. Terus nomor dua SMK di Pengasih. Sayangnya di sini itu enggak ada angkutan mas, jadi serba salah, anak saya yang nomor dua itu sudah ketangkap polisi sudah tiga kali apa ya. Serba salah kalau saya terus tiap hari mengantar, terbengkalai kerjaan saya juga. Belum ada SIM, sayangnya tidak ada angkutan dari sini. Laki-laki semua anak saya, yang terakhir SD kelas 6. Itu yang sakit. Saya itu divonis dokter seumur hidup itu saya pikirannya melayang. Tetapi alhamdulillah saya tanya ustaz itu bisa sembuh. Alhamdulillah, masalahnya bukan dari kelahiran. Kalau saat ini ya mas, sebenarnya bertani itu pekerjaan terakhir kalau ada pekerjaan
pascapelepasan (473-478) penaksiran menurunnya keuntungan pascapelepasan lahan (481-482) penaksiran dampak positif atas kepemilikan lahan berdasar potensi produksi (481-486) pandangan akan ketidakmungkinan perawatan tanah pascapelepasan lahan (486-494) pengetahuan tentang potensi komoditas (491-493) alokasi ganti rugi sebagai sarana perbaikan tempat tinggal (496) penaksiran dampak ekonomi yang positif atas pengolahan lahan (496-498) keberadaan dua anak yang masih menjadi tanggungan menjadi bahan pertimbangan (500-507) persepsi atas petani sebagai profesi pilihan terakhir (508-509)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
16
510. 511. 512. 513. 514. 515.
516. 517.
518. 519. 520. 521.
522. 523. 524. 525. 526. 527. 528. 529. 530. 531.
532. 533. 534. 535. 536. 537. 538. 539. 540. 541.
542. 543.
lainnya saya ingin berwiraswasta, dagang mas. Kalau untuk bapak sendiri, ada kesulitan yang dihadapi memiliki lahan pertanian? Enggak, ya itu kalau banyak ya malah enak. Tetapi karena keadaannya punya saya itu, orang enam kan ya, dibagi-bagi bagiannya cuma hehehe...cuma sedikit-sedikit. Sebenarnya saya juga ingin bertani itu punya lahan yang banyak itu lho. Jadi bisa pindah-pindah itu pasti hasilnya bagus mas. Tetapi kalau cuma lahan yang dari warisan, warisan kalau sekarang sudah tidak ada orang tua, bagian saya itu ditanami oleh anak saya, terus saya kontrak. Saya mengontrak, mengalah untuk anak saya. Itu kalau punya tanah banyak itu saya mending bertani, tetapi karena keadaan tanah itu tidak punya tanah, ya terus bertanam di situ terus saja itu ya repot, hasilnya kurang memuaskan. Berarti lahan yang digarap di tegalan itu kurang ya bagi bapak? Kurang, umpama sekarang ini. Tetapi dahulu pas sewaktu masih di pesisir itu ya enak, dua tempat, tiga tempat. Dua tempat, tiga tempat dengan tegalan itu enak saya dahulu. Misalnya tempat ini, ditanami sekarang, semusim, yang ini besok, ganti terus seperti itu sukses mas. Tetapi kalau hanya satu tempat mas, bangkrut. Kalau bertani itu paling enggak dua tempat punya itu. Kalau hanya satu tempat sudah mas. Kalau sebelum melepas itu saya enak, karena lahanya punya banyak, jadi pindah-pindah, itu enak. Hasilnya juga dua kali lipat daripada sekarang tanaman itu subur. Saya itu membuka lahan pertama itu tiga kali ditanami berturut-turut bagus terus itu, satu tempat itu lho. Terus yang keempat kalinya sudah jelek terus pindah lagi tempat yang sebelahnya jadi gantian. Oh ternyata bagus gantian, gantian tempat. Paling enggak dua bulan itu istirahat minimal dua bulan itu istirahat total, dinetralkan. Ya dibersihkan, dipupuk, netral dua bulan jangan ditanami apa-apa, nanti ditanami lagi subur lagi. Tetapi kalau ini sudah ditanami, diolah lagi, ditanami lagi sudah. Hasilnya hanya hasil-hasilan mas. Makanya ada sales yang ini harus disepertiinikan. Ya tempatnya juga enggak ada toh. Kalau soal tantangan yang ada saat mengolah? Kalau mengolah enggak ada tantangannya. Tetapi ya kendalanya banyak modal itu.
penaksiran dampak positif atas kepemilikan lahan berdasar potensi produksi (513-515) preferensi untuk memiliki lahan luas agar dapat diistirahatkan dan produktif (515-517) evaluasi negatif atas kepemilikan sarana produksi pascapelepasan lahan (517-522) penaksiran menurunnya keuntungan pascapelepasan lahan (524-528) evaluasi negatif atas proses bertani pascapelepasan lahan akibat penurunan produksi (528-531) persepsi bahwa tanah perlu dirawat dan rehat agar produktif (532-539) pandangan akan ketidakmungkinan perawatan tanah pascapelepasan lahan (540) modal dipersepsi sebagai tantangan pengelolaan (542-543)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
17
544. 545. 546. 547. 548. 549. 550. 551.
552. 553. 554. 555. 556. 557. 558. 559. 560. 561. 562. 563. 564. 565. 566. 567. 568. 569. 570. 571.
572. 573. 574. 575. 576. 577.
Daripada lahan soal modal itu ya? Modal dahulu. Jadi awal-awalnya begini, ini mau menanam ini punya modal enggak. Pengennya menanam banyak, dananya hanya segini ya disesuaikan dengan modal. Kalau cabai kan, modalnya banyak. Kalau modelnya caisim itu kan murah meriah tetapi kan hasilnya sedikit tetapi cepat. Ya, didahulukan yang kira-kira untuk sehari-hari jadi kalau saya itu yang kira-kira terjangkau dahulu. Saya itu modal juga dari bank terus, terus terang. Rata-rata petani ini kerja sama dengan bank. Kebanyakan itu kan enam bulan sekali. Kalau khusus petani itu enam bulan sekali, jadi kalau udah enam bulan bayar. Enam bulan sekali itu, ya periode jangka waktu enam bulan. Misalnya sekarang ini mengambil Juli, nanti bayar bulan Januari. Saat Januari sudah langsung lunas sekaligus. Kebanyakan, hampir 90% orang sini kebanyakan seperti itu. Saya bisa seperti ini kan karena teman saya seperti ini, ini, ini, tetapi sekarang itu sudah langganan tetap, hehehe. Meski punya uang tetapi tetap mengambil juga, tetapi hanya sedikit, ibaratnya untuk, supaya perangsang kerja, semangat. Kadang-kadang kalau modal sendiri saya enggak apa-apa enggak menghasilkan, modalnya milik sendiri. Kadang-kadang saya seperti itu. Tantangannya malah modal ya, kalau bapak operasionalnya mengerjakan sendiri atau memakai jasa buruh? Ya memakai buruh itu mas kalau nraktor. Kalau dahulu sendiri, pas petik itu pakai buruh. Itu paling enggak sepuluh orang mas, memetik itu. Ya, sewaktu memetik sama menanam. Memetik sama menanam, kalau mengolah lahan itu sendiri mas. Itu orang sini? Wah orang luar daerah sini kalau orang sini enggak mau. Jadi pas musim panen, menyerap tenaga kerja di sini ini. Tenaga kerja dari luar daerah sini. Pas panen itu tenaga kerjanya dari daerah utara sini. Ongkos yang dikeluarkan kan agak murah. Kalau orang sini enggak mau mas, dibayar murah, hehehe. Kalau perputarannya itu, seperti apa? Kalau saya itu dahulu, sewaktu awal-awal itu, jadi modal itu kira-kira cabai itu harganya berapa. Jadi membayar itu tergantung juga cabai. Kalau harganya cabai mahal membayarnya agak mahal sedikit. Kalau harga
modal dipersepsi sebagai tantangan pengelolaan (545-550) ketergantungan terhadap penyedia modal awal (550-556) kredit sebagai perangsang aktivitas bertani (558-561) keberadaan tenaga kerja dalam proses produksi (564-567) keberadaan tenaga kerja dalam proses produksi (569-573) ketergantungan sirkulasi terhadap pola pasar konvensional (575-578)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
18
578. 579. 580. 581. 582. 583. 584. 585. 586.
murah ya standar harian. Itu seluruh lahan habis? Modal awal sampai akhir itu satu bungkus itu satu juta. Satu bungkus cabai itu, kalau saya menanam enam bungkus minimal harus punya enam juta. Untuk keseluruhan itu sampai mau memetik. Memetiknya beda lagi mas itu. Itu perawatan, bibit cabai, menanam terus untuk memberi pupuk atau apa itu. Kalau misalnya enam bungkus kurang lebih enam juta atau lima juta. Makanya kita kalau minjam di bank ya kira-kira kita menanam berapa?
penaksiran rasional atas proses produksi (580-586)
587. . 588. . 589. . 590. . 591. . 592. . 593. . 594. . 595. . 596. . 597. . 598. . 599. . 600. . 601. . 602. . 603. . 604. . 605. . 606. . 607. . 608. . 609. . 610. . 611.
Berarti enggak tentu ya kalau di lahan pesisir, karena belum tentu semua? Iya, enggak semua, sesuai kemampuan kita saja. Selainnya ditanami apa, sayuran yang untuk dikonsumsi jangka pendek, model terong atau kacang panjang. Kalau cabai kan tujuh puluh dua hari atau delapan puluh hari bisa dipetik. Tetapi kalau terong kan empat puluh hari sudah memetik, untuk membeli bensin tiap harinya. Luasan lahan sendiri bagi bapak sendiri penting atau tidak? Yang jelas begini, kalau luas itu penting karena kita kan bisa memprediksi. Kita menanam kalau luasnya sekian, otomatis sesuai dengan tanaman. Kalau cuma satu pak dua pak tidak ada masyarakat sini yang segitu. Minimal itu empat pak. Empat pak itu enam ribu pohon. Jadi ditentukan luas lahannya itu memang harus ditentukan. Nanti kita bisa memprediksi kita menanam sekian pak. Wah, lahannya sekian, muatnya sekian pak. Kita beli sekian pak, begitu. Taruhlah lahan 1500 meter itu empat pak. Tiga pak lah. Jadi setiap pak itu 500 meter persegi. Itu dilhat dari jarak tanam lho. Kan ada jarak tanam satu dengan yang lain itu 30, 40cm lah, begitu. Jadi kita bisa memprediksi luasannya sekian kita menanam sekian pak. Jadi yang jelas masyarakat sini, khususnya petani itu menanam berdasarkan luas lahan. Lahan saya segitu, kemampuan begitu lho, kemampuan dan modal. Karena satu pak itu kita modal itu 1.000.000 satu pak kita modal untuk perawatan, dari tanam, dari penyemaian bibit, sampai panen, itu satu pak satu juta. Kisaran kalau hitungan kotor dengan bersihnya kalau yang dahulu, yang rata-rata per musim? Ini kalau saya sendiri, saya sendiri waktu awal itu enam bungkus itu.
pengolahan lahan berdasar kemampuan dan sumber daya pribadi (588-592) pengetahuan tentang potensi komoditas (588-591) penaksiran rasional atas proses produksi (594-608) penaksiran rasional atas proses produksi (611-618)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
19
612. 613. 614. 615. 616. 617.
618. 619. 620. 621.
622. 623. 624. 625. 626. 627. . 628. 629. 630. 631. 632. 633. 634. 635. 636. 637. 638. 639. 640. 641. 642. 643. 644. 645.
Modal saya dahulu itu kalau di bank itu enam juta tetapi harga pasarnya itu sampai enam puluh juta, tetapi kotor itu. Terima bersih sih, kebagianlah 20 atau 15 belas, per tanam dan tergantung harga. Kalau model semangka itu hanya 50 hari, cabai itu 70 hari baru mulai memetik. Kalau cabai itu modal berapa-berapa juga habis mas. Kita mau lebih bagus, peralatannya harus yang mahal-mahal, obat-obatan, pupuknya harus yang banyak begitu. Nah, yang model menanam cabai kita hanya sesuaikan kemampuan. Kalau di sini enggak ada lelang itu? Tetapi lelang cabai itu, tengkulaknya begini (mengatikan kedua jari telunjuk; isyarat kongkalikong) sama saja. Iya, ini kan lelang di depan pak B itu dahulu, pertama di balai desa, terus di kelompok saya sendiri di daerah sini, terus itu satu blok itu lelang ada tiga, satu RW itu ada tiga lelang. Awal-awal yang pertama itu bagus mas, tetapi lama kelamaan ke sini sudah dari sana tengkulaknya begini (kongkalikong), harganya enggak jauh. Misalnya begini, kamu tengkulak mas, saya juga tengkulak, 'kamu butuh berapa ton?' 'saya masih butuh dua ton, harganya setinggi ini saja', kasarnya seperti itu. Jadi sekarang itu lelang dan enggak hampir sama mas, percuma mas. Enggak seperti awal dahulu, enggak kenal kan mas, benar-benar bersaing kalau dahulu itu. Kalau dahulu ada penjual yang dari Semarang itu, langsung dicegat di jalan oleh tengkulak dari daerah sini. "Kamu enggak usah beli dari petani, langsung saja kamu butuh berapa ton nanti diantar," ibaratnya seperti itu dengan tengkulak dari sini. Itu dahulu anak Pak Haji dari Semarang itu enak sekali itu, itu sewaktu menjaga lelang sekali itu. Harga berapa dibayar tunai terus itu. Harganya selisihnya 2000 per kilo. Terus ditelepon itu enggak menyahut. "Maaf saya enggak berani ke situ di daerah Karangwuni." "Enggak apa-apa", mau dikawal oleh petani tetap enggak berani itu. Kalau tengkulak sekarang kalau lelang itu sudah seperti ini (mengaitkan jari; kongkalikong), itu, lewat telepon genggam kan sekarang itu. "Sudah kamu butuhnya berapa?" Itu dibagi rata. Jadi kalau dahulu lelang itu menurut saya itu kalau dahulu sangat menguntungkan. Kalau sekarang sudah kerja sama mas. Itu akal-akalannya tengkulak seperti itu, saling melindungi. Terus cabai yang tahun berapa itu, setelah JMI-pasir besi itu sampai lelah mengusung cabai itu
pengetahuan tentang potensi komoditas (614-615) pengolahan lahan berdasar kemampuan dan sumber daya pribadi (618-619) kesangsian akan pasar alternatif karena kongkalingkong tengkulak (621-630) persepsi positif atas adanya pasar alternatif (530-531) kesangsian akan pasar alternatif karena kuasa tengkulak (631-639) kesangsian akan pasar alternatif karena kuasa tengkulak (639-649)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
20
646. 647. 648. 649. 650. 651. 652. 653. 654. 655. 656. 657. 658. 659. 660. 661. 662. 663. 664. 665. 666. 667. 668. 669. 670. 671.
672. 673. 674. 675. 676. 677. 678. 679.
mas, tujuh kwintal, enam kwintal, harga cuma 3000 mas. Di timur Bugel itu ada harga 4000 orang sini pada pergi ke timur semua, hanya dua hari mas. Di sana didatangi tengkulak, ditelepon, terus harganya sama dengan di sini harganya itu. Kalau dahulu harganya kalau masih bersaing? Kalau masih bersaing itu selisihnya banyak mas, misalnya tengkulak kalau dahulu kan di pelelangan dimasukkan ke kotak dengan potongan kertas kecil itu. Misalnya si anu, si A 10.000, si B 12.000, penjual itu saling bersaing. Kalau sekarang, halah bedanya 50 perak sama 10 perak, seperti itu. Itu mas, sudah susah itu. Jadi sekarang ini kalau petani itu yang paling kaya ya tengkulak itu. Tengkulak sewaktu musim panen cabai itu tengkulak itu pasti panen raya uang, uang pasti panen. Kalau bagi bapak, punya lahan itu enggak terasa beratnya, malah persoalannya soal modal tadi ya? Iya, kalau di pesisir itu menguntungkan sekali. Tetapi sekarang kalau sudah seperti ini. Masalah tempatnya ini ya sudah terbatas kan, paling satu kapling itu hanya 1000an, dikasihnya 1000 meter persegi. Seribu meter itu kalau ditanami terus-terusan ya. Makanya, saya mengontrak di situ kan karena gantian dengan yang di daerah selatan. Kalau orang-orang diberondong terus-terusan ya cuma mati mas. Jadi waktunya sudah menjelang panen itu banyak yang mati tanaman itu. Kalau dahulu kan masih ada, kan peminatnya belum banyak sekali sewaktu saya pulang itu. Ya itu, pindah-pindah itu hasilnya juga bagus mas. Tetapi ya bagaimana ya. Kalau misalnya punya lahan banyak. Misalkan tiga tempat, kalau saya bertani semangat sekali. Tetapi kalau enggak punya, tempatnya hanya satu itu ya wah sudah mas gulung tikar ibaratnya. Makanya sekarang ini karena anak saya sudah besar, sudah berkeluarga, kalau ada pekerjaan lainnya saya mending bekerja yang lain yang sudah pasti. Kalau dahulu, ada pemikiran kalau enggak jadi petani jadi karyawan itu? Kalau saya sendiri kalau sekarang ini mas, karena keadaannya saya tidak punya tanah. Tanahnya juga sudah hanya sedikit, kalau saya mending jadi karyawan. Meskipun ikut orang lain. Ibaratnya, "Ah, enggak enak diatur orang lain." Ya namanya orang cuma ikut ya menurut saja, disuruh ke sana ya sa ke sana, ke sini ya ke sini, yang penting asal saya benar kan sesuai.
persepsi positif atas adanya pasar alternatif (651-654) kesangsian akan pasar alternatif karena kongkalingkong tengkulak (654-657) evaluasi negatif atas kepemilikan sarana produksi pascapelepasan lahan (660-664) pandangan akan ketidakmungkinan perawatan tanah pascapelepasan lahan (663-666) evaluasi negatif atas proses bertani pascapelepasan lahan akibat penurunan produksi (660-671) persepsi atas petani sebagai profesi pilihan terakhir (672-673) preferensi atas jenis pekerjaan lain atas dasar jaminan kesejahteraan (675-677)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
21
680. 681. 682. 683. 684. 685. 686. 687. 688. 689. 690. 691. 692. 693. 694. 695. 696. 697. 698. 699. 700. 701.
702. 703. 704. 705. 706. 707. 708. 709. 710. 711. 712. 713.
Masalahnya saya juga pernah dari tahun 1988 sampai 2005 ikut orang Cina (Tionghoa) itu yang penting benar kalau orang Cina itu akan diperlakukan baik. Tetapi kalau pernah menipu orang Cina mau seperti apapun enggak bakal dipercaya. Kepercayaan itu, kalau orang Cina itu yang penting jujur. Kalau sekarang ini kalau bertani susah. Masalahnya ada di lahan, lahan terlalu sedikit sedangkan peminatnya banyak. Jadi ibaratnya saya, anak saya kan belum bekerja sebagai petani, itu kan saya bisa berpindah-pindah. Sekarang ini sudah dikerjakan anak saya ya saya sudah enggak bisa berpindah-pindah. Masalahnya lahan dan modal, kalau dahulu lahannya masih banyak kan. Kalau modal itu bisa dicari tetapi kalau lahan banyak itu kan bisa dipastikan pasti hasilnya pasti bagus, masalah harga belakangan. Kalau dari pemikiran bapak pentingnya punya lahan? Iya, bisa pindah-pindah tempat, kalau bertani itu lho. Yang utama itu lahan dahulu, yang utama itu lahan. Kalau punya lahan, banyak ibaratnya dua atau tiga tempat itu kemungkinan besar itu berhasil. Tetapi kalau hanya satu tempat, sudah pasti bangkrut. Makin lama, tanah itu kalau ditanami makin tandus. Misalnya begini mas, kalau hanya satu tempat. Ini saya tanami satu musim, nanti saya dua bulan mau makan apa kalau enggak bekerja di situ? Begitu. Tetapi kalau ditanami lagi hasilnya jelek juga terus-terusan, begitu. Makanya kalau sekarang ini kalau ada pekerjaan lain, saya mending di pekerjaan yang lain. Tetapi ya karena keadaan umur ya sudah menjadi faktor ya sudah enggak boleh, hampir 50. Anak saya yang SMK itu "Capek pak bertani?" "Capek nak, tetapi kalau enggak bertani ya besok enggak panen." Kalau bisa itu ya pegawai negeri, kalau enggak bisa ya yang penting tidak bertani, jadi pegawai swasta. Ini, bisa pindah-pindah tempat, bisa dibutuhkan dengan apa, model pertanian yang sekolah di pertanian terus itu kan pasti tandus, pasti. Kalau dahulu itu awalnya saya itu kan bisa pindah-pindah tempat lahannya itu. Jadinya hasilnya juga memuaskan tetapi sekarang itu yang namanya cabai itu satu bungkus itu paling-paling hanya 50 kg satu kali petik. Kalau dahulu bisa sampai dua kwintal, satu kwital setengah satu bungkus itu lho. Kadang-kadang punya saya dahulu bisa sampai dua kwintal satu bungkus. Menanam tiga bungkus, itu pernah dapat enam kwintal, berarti satu bungkusnya dua
kepatuhan terhadap aturan sebagai sarana menghindari risiko (675-683) evaluasi negatif atas kepemilikan sarana produksi pascapelepasan lahan (684-691) penaksiran dampak positif atas kepemilikan lahan berdasar potensi produksi (689-690) penaksiran dampak positif atas kepemilikan lahan berdasar potensi produksi (693-696) dilema perawatan tanah dan pemenuhan kebutuhan ekonomi (696-700) identifikasi diri berdasar usia menutup keinginan mengambil profesi lain (701-702) pandangan akan potensi petani sebagai sandaran hidup atas dasar keterpaksaan kondisi (702-704) persepsi atas petani sebagai profesi pilihan terakhir (700-701 dan 704-705) evaluasi negatif atas proses bertani pascapelepasan lahan akibat penurunan produksi (708-716)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
22
714. 715. 716. 717. 718. 719.
720. 721.
722. 723. 724. 725. 726. 727. 728. 729. 730. 731.
732. 733. 734. 735. 736. 737. 738. 739. 740. 741.
742. 743. 744. 745. 746. 747.
kwintal kan, pas bagus itu. Kalau sekarang mas paling saya menanam sedikit seperti ini, tiga bungkus dapatnya berapa mas? Satu kwintal hehehe. Itu juga bingung, pengaruhnya itu pengaruh dari mana. Apakah tanahnya atau bagaimana, tetapi kalau menurut saya sendiri tanahnya itu. Karena diberondong terus tidak pernah berhenti. Orang saya membuktikan itu, kemarin ada pembagian lagi di sebelah utara ini punya anak saya. Dari Sri Sultan kan diberi yang punya lahan anak yang belum kebagian kan ada lagi yang daerah situ. Pembukaannya itu subur mas, karena sudah tiga tahun kan tidak ditanami. Begitu ditanami itu subur sekali mas, subur. Berarti kalau bagi bapak, luasnya lahan itu penting ya pak? Untuk ekonomi ya pak ya? Wah, penting, sangat penting. Tetapi kalau saya sendiri seperti ini mas, makin lama itu makin sempit. Anak nanti punya cucu, jadi tanah hanya warisan segitu, ibaratnya dibagi-bagi kan habis. Ke depannya itu bagaimana kehidupannya anak-cucu itu. Kalau menurut pemikiran bapak sendiri, penting enggak orang itu punya lahan terus turun-temurun? Ya penting, kalau bisa kalau warisan itu jangan sampai dijual, sampai anak-cucu itu. Ya, nanti kan kalau dijual mas, ini menurut saya ya, misalnya saya hanya kebagian sepetak itu, anak saya tiga. Nanti kalau saya jual, iya kalau bisa beli lagi, kalau enggak nanti tinggalnya dimana? Ibaratnya untuk membangun rumah, ibarat kasarnya seperti itu. Misalnya, di sana hanya satu petak segini, ini anak saya tiga. Nanti pasti dibagi tiga kan itu. Dibagi tiga, kalau anak saya punya anak-anak lagi. Itu dibagi-bagi habis, nanti kalau dijual anak-cucu saya kebagian darimana? Mau tinggal dimana? Jadi kalau warisan dari nenek-moyang itu kalau bisa jangan dijual kalau enggak kepepet. Kalau kepepet ya, namanya musibah enggak tahu kan mas. Hidup, kalau misalnya kecelakaan atau apa kan kalau enggak punya apa-apa kan, ya apapun bisa dijual ibaratnya, yang penting nyawa dahulu, kalau saya sendiri seperti itu. Kurang tahu kalau orang lain, kalau saya sendiri prinsipnya seperti itu, keluarga saya itu. Itu kakak perempuan yang ke Sumatera itu, itu bagian dari Bapak saya itu kemarin itu minta uang. Minta tolong untuk menjual tanah yang dari orang tua saya itu, mau untuk
persepsi bahwa tanah perlu dirawat dan rehat agar produktif (716-718) persepsi bahwa tanah perlu dirawat dan rehat agar produktif (718-723) pandangan akan perbandingan terbalik pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan lahan (726-729) pentingnya kepemilikan lahan atas dasar perbandingan terbalik pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan lahan (732-739) keterpaksaan atas dasar kondisi ekonomi dipersepsi sebagai alasan pelepasan (740-744)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
23
748. 749. 750. 751.
752. 753. 754. 755. 756. 757. 758. 759. 760.
beli di sana. Saya bilang "enggak usah. Kalau mampu kamu menambah lahan jangan menjual." Itu keponakan saya yang mau menjual, "Ini bagian Ibuku." Saya bilang, "enggak bisa, kalau mau dijual pun, saya carikan uang." Kan di Riau, bilangnya untuk tambah biaya membeli tanah kelapa sawit di sana. Ya, saya bisa saja ditipu, ibaratnya. "Kalau punya tanah seperti ini tidak usah dijual," kata saya, "tidak usah dijual ke orang lain. Kalau mau saya beli, saya carikan uang, tetapi enggak usah terlalu mahal. Mintanya berapa? Segini, kalau saya tawar segini boleh enggak?" Katanya "Wah, enggak boleh. Soalnya butuhnya banyak." Saya bilang, "Kalau banyak enggak usah dijual, tetapi kalau mau menjual milik Bapak (dari pihak suami) ya silakan. Tetapi kalau dari Ibu enggak usah dari keluarga saya enggak usah." Sampai sekarang ini malah enggak ada kontak lagi selama sekitar dua tahun dengan saya.
rasa kepemilikan berdasar internalisasi pola tradisi (744-760)
761. 762. . 763. . 764. . 765. . 766. . 767. . 768. . 769. . 770. . 771.
772. . 773. . 774. . 775. . 776. . 777. . 778. . 779. . 780. . 781.
Tetapi belum dijual tanahnya itu? Belum. Itu mau ditawarkan ke orang lain, enggak boleh kalau saya sendiri. Masalahnya kan amanat orang tua mas, "Enggak usah dijual, ini nanti untuk anak-cucu." Kecuali kalau kondisi kepepet. Kalau misalnya mau dijual itu, dibelikan di sana lagi kan enggak kepepet mas. Kalau kepepet kan misalnya sudah hidup-mati orang. Kalau menurut bapak sendiri kalau enggak punya lahan garapan itu susah enggak kalau mau bekerja? Wah, berat mas, berat. Kalau di daerah sini kalau enggak punya lahan sendiri mau bekerja yang lain berat. Ya, karena keadaan kalau mau bekerja kalau sudah berumur seperti saya ini kalau enggak bertani seperti ini. Kalau orang muda masih bisa ke mana-mana, mau melamar ke mana saja masih bisa. Tetapi kalau seperti saya sendiri ini sudah tua ini ya larinya ya ke tani dan berdagang. Sebenarnya saya itu ingin bekerja wiraswasta, berdagang. Tetapi karena keadaannya, mau berdagang apa yang ada, dan bisa dijual atau wiraswasta itu. Selain petani kalau di sini untuk kehidupan itu, kalau masih muda bisa bekerja di tempat lain? Kalau sudah tua ya enggak bisa. Makanya anak saya yang kedua ini yang sekolah, "Besok kamu enggak usah bertani nak. Cari pekerjaan yang lain." Karena keadaan sekarang ini kalau bertani sekarang itu susah.
rasa kepemilikan berdasar internalisasi pola tradisi (762-766) keterpaksaan atas dasar kondisi ekonomi dipersepsi sebagai alasan pelepasan (765-766) persepsi lahan garapan sebagai sarana penghidupan (769-770) identifikasi diri berdasar usia menutup keinginan mengambil profesi lain (770-774) preferensi atas jenis pekerjaan lain (774-776) identifikasi diri berdasar usia menutup keinginan mengambil profesi lain (779)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
24
782. . 783. . 784. . 785. . 786. . 787. . 788. . 789. . 790. . 791.
792. . 793. 794. 795. 796. 797. 798. 799. 800. 801. 802. 803. 804. 805. 806. 807. 808. 809. 810. 811. 812.
813. 814. 815.
Masalahnya kondisinya juga kendalanya di lahan, hanya itu saja. Kalau dahulu itu, saya awal di sini itu enak mas. Masalahnya lahan masih agak luas, meskipun bukan lahan milik sendiri. Kalau sekarang ini kan, lahannya orang saja yang mau dikontrak-kontrak saja enggak ada sekarang ini. Untuk yang bisa disewa itu enggak ada sekarang ini. Kalau dahulu kan masih banyak. Kendalanya di lahan itu. Kalau bertani hanya mengandalkan satu lahan, satu tempat, udah mas enggak bakal maju sampai kapan pun, saya jamin mas itu. Kalau lahannya banyak kemungkinan maju itu ada, tergantung orangnya. Tetapi kalau lahannya hanya satu tempat itu, itu saya sudah pasti bilang 100% enggak bakalan maju, kalau hanya satu tempat. Kalau bapak sendiri, ini sewaktu tahun 2013, apa, pelepasannya. Kalau bapak sendiri dari kapan pertama bapak tahu ada informasi mengenai adanya penawaran pelepasan lahan itu? Kalau dahulu prosesnya? Ya, 2012'an itu. Ya, didatangi sama tim-tim itu lho. Tim-tim dari JMI itu kan mendatangi masyarakat. Besok itu akan begini, begini, begini. Demo, itu beberapa kali ya saya juga sudah ikut, demo ke Gadjah Mada (Universitas Gadjah Mada) itu berapa kali itu? Dua apa ya? Saya juga ikut. Tetapi kan saya juga cuma orang baru kan di sini, jadi diajak ke sana ya ke sana, ayo. Tetapi itu dalam posisi dahulu itu, saya itu masih teguh mempertahankan juga itu karena masih gampang, pertanian itu masih gampang dahulu. Ya, 2007 sampai 2010, itu penghasilan petani masih melipat, gampang itu hasilnya. Tetapi kan lahan masih banyak mas, kalau dibilang masih ada yang ibarat yang belum, kosong ibaratnya belum digarap, dahulu ada. Kalau model sekarang itu sudah ya enggak digarap, yang digarap hanya seperlima atau seperenamnya. Sekarang itu hanya mengerjakan yang di tegalan itu hasilnya juga hanya setengahnya kurang, seperempatnya sekarang. Masalahnya daerah sini-ini kehidupannya enggak sama dengan yang jalan ke sana itu. Kalau di sini termasuknya agak mewah sih. Ya, jadi pengeluarannya itu lho mas, jadi besar. Maksudnya pengeluaran untuk sehari-hari itu besar kalau diperhitungkan. Kalau yang di daerah di sana itu penghasilan kecil tetapi cukup. Ya, Denen ke sana, Temon itu, Kokap itu juga lho. Itu kan, itu anu mas, pekerja dari sana itu ke sini kalau sudah panen. Wah, beriringan di jalan mulai dari jam setengah tujuh itu sudah
persepsi atas petani sebagai profesi pilihan terakhir (780-781) penaksiran dampak positif atas kepemilikan lahan berdasar potensi produksi (783-784) evaluasi negatif atas kepemilikan sarana produksi pascapelepasan lahan (783-792) pengetahuan akan adanya konflik pengambilalihan lahan (796-797) motif bertahan atas dasar asimilasi sosial (799-800) motif bertahan atas dasar kepemilikan sarana produksi yang mencukupi (801-805) evaluasi negatif atas kepemilikan sarana produksi pascapelepasan lahan (806-809) persepsi mengenai gaya hidup yang mewah atas lingkungan sosial (809-813) perbandingan status sosial dengan daerah lain (817-818)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
25
816. 817.
818. 819. 820. 821.
822. 823. 824. 825. 826. 827. 828. 829. 830. 831. 832. 833. 834. 835. 836. 837. 838. 839. 840. 841. 842. 843. 844. 845. 846. 847. 848. 849.
jalan pakai sepeda ke arah selatan semua itu. Menyerap tenaga kerja dahulu itu. Ya, orang sini memang enggak ada yang mau untuk jadi buruh itu karena punya lahan sendiri kan. Itu kalau bayarannya sedikit ya enggak pada mau. Kalau itu kan dahulu ibaratnya 30.000 atau 35.000 itu mau. Kalau orang sebelah utara bisa dibayar 30.000 di sini paling enggak 40.000 mas, seperti itu. Bayarannya dibandingkan dengan orang yang dari utara enggak mau sama. Kalau dahulu berarti sebelum 2012 itu ada yang dari JMI, mendatangi Bapak dan bilang soal pelepasan lahan itu? Ya, bilang ini akan dibangun kan supaya untuk maju ke depannya ibaratnya itu. Ya diberi iming-iming yang enak-enak itu, hehehe. Ya, saya nanti juga dapat seperti itu, hehehe. Itu kan kalau dahulu itu lho, mempertahankannya begitu kuat itu karena penghasilan petani itu masih ibaratnya melimpah lah, enggak kekurangan, untuk makan sehari-hari. Masalahnya lahannya juga banyak-banyak kan dahulu. Terus pekerjaanya juga belum banyak ibaratnya, masih anak-anak itu masih di perantauan, sekolah di mana. Sekarang ini kan anaknya sudah berkeluarga ya, larinya pada ke bertani. Dahulu itu, orang yang di perantauan itu kalah dengan bocah yang masih kecil-kecil. Orang yang di Jakarta, Bandung, dengan bocah yang lulus SMA enggak pergi dan bertani itu yang dipegang jutaan kok ya. Itu dengan menanam cabai itu. Tetapi sekarang ini ya sudah. Seperti saya sendiri kalau sekarang ini ada pekerjaan lainnya, yang punya gaji tetap, mending pilih yang bergaji tetap itu. Berarti sejak 2012 itu ya bapak mendapat informasi itu? Itu kalau saya, tetapi 2010 itu sudah demo juga bareng dari Trisik itu. 2009 itu juga sudah demo kok. Tetapi kalau saya awal menanam itu belum mas. Itu belum dengar saya. Kira-kira sudah ada dua tahunan baru dengar, diajak demo. Saya terus demo tahun 2009 itu. Itu masih teguh mempertahankan. Terus mulai kepikiran soal melepas lahan itu, sewaktu dengar informasi itu terus berpikir soal melepas lahan atau? Atau setelah ada yang datang ke sini baru mulai berpikir soal pelepasan lahan itu? Itu sudah dilepas dahulu itu, di daerah saya itu sudah setahun dilepas. Saya juga melepas tahun 2013 tetapi kan sudah agak terakhir. Tetapi yang
persepsi akan preferensi atas kerja kolektif berdasar penaksiran untung-rugi (817-822) pertimbangan atas penawaran atas dasar jaminan kesejahteraan (825-827) motif bertahan atas dasar kepemilikan sarana produksi yang mencukupi (827-830) Pandangan bahwa potensi produksi dipengaruhi oleh banyaknya jumlah penggarap lahan (830-833) rasa bangga atas profesi petani sebagai sandaran hidup (833-836) preferensi atas jenis pekerjaan lain atas dasar jaminan kesejahteraan (836-838) motif bertahan atas dasar asimilasi sosial (840-844) pengetahuan akan adanya konflik pengambilalihan lahan (840-844)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
26
850. 851. 852. 853. 854. 855. 856. 857. 858. 859. 860. 861. 862. 863. 864. 865. 866. 867. 868. 869. 870. 871.
872. 873. 874. 875. 876. 877. 878. 879. 880. 881. 882. 883.
situ kan sudah setahun berjalan itu 2000 berapa ya. Lupa saya, pokoknya beda setahun dengan yang di Balai Desa itu. Tahu kan daerah Balai Desa ke Barat itu sudah setahun berjalan, yang sebelah sini belum. Kalau bapak sendiri itu berbarengan dengan yang di tahun 2013 atau berbarengan dengan yang sebelah sana? 2013 tetapi di belakangnya yang pertama itu. Tetapi kan yang di Balai Desa ke barat itu sudah setahun berjalan. Terus yang Balai Desa sampai sini, yang RT 09 itu lho itu agak lebih dahulu itu, ya sehabis yang sebelah barat itu, itu. Ha, terus itu kan kelompok yang tempat saya, RT 10 itu kan dikompakkan itu ya. Karena keadaannya yang saya bilang tadi, masalah ekonomi saya sudah berat anak saya kena musibah seperti itu enggak ada yang membantu. Ada orang yang masuk dari pegawai JMI itu, "ini, ini, ini." Saya terus berpikir, berpikir, berpikir lagi, saya berdiskusi dengan istri saya, "Bagaimana Bu, kalau nanti kita enggak punya uang, anak kita, enggak ada yang membantu. Sudah siap, ibaratnya dikucilkan enggak dengan tetangga sekitar?" Terus ada tembusan saya dari, saya berpikir-pikir, sudah ganti hari, saya bilangnya di Wates itu lho ada pegawai, mengobrol dengan pegawai kantoran seperti itu. Di warung itu mengobrol dengan saya, "Saya dari Karangwuni, wah Karangwuni agak kisruh dengan JMI." Dia menimpali "Anu mas, ini suatu saat jebol enggak bakal enggak lolos. Pasti habis semua ini." Itu kan pegawai, orang dalam, entah pegawai apa enggak tahu saya. Saya kemudian berpikir dengan pertimbangan istri juga ya sudah dilepas saja. Waktu didatangi orang yang menawarkan "Bagaimana jadi ikut enggak? Katanya mau dilepas?" Ya sudah dilepas, kan diberi iming-iming kesejahteraan keluarga begini, begini, terus saya lepas itu. Kan se-RT ini baru saya sendiri yang melepas di sini. Sewaktu itu berarti agak berat ya pak? Wah, berat itu mas dengan lingkungan. Anak saya mas, mengaji enggak ada temannya mas, dikucilkan. Enggak ada orang yang menegur sapa, wah sakit mas. Tetapi karena terpaksa mas, sakit mas, enggak ada orang yang menyapa. Saya sendiri ya kalau bersosialisasi ya dengan RT 09 itu. RT 09 kan sudah, sudah sebelum saya itu. Sudah lebih dahulu melepas, ya saya di situ. Istri saya setiap kali belanja di itu, wah omongannya sudah
pengetahuan tentang pelepasan lahan dari wilayah sekitar (848-852) pengetahuan tentang pelepasan lahan dari wilayah sekitar (848-852) pengetahuan tentang pelepasan lahan massal (858-859) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (859-865) penaksiran akan kelemahan gerakan menjadi pertimbangan pelepasan lahan (867-872) jaminan kesejahteraan dipandang sebagai alasan pelepasan lahan (872-876) penyesalan atas dampak sosial yang diterima keluarga pascapelepasan lahan (878-886)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
27
884. 885. 886. 887. 888. 889. 890. 891. 892. 893. 894. 895. 896. 897. 898. 899. 900. 901. 902. 903. 904. 905. 906. 907. 908. 909. 910. 911. 912. 913.
914. 915. 916. 917.
enggak enak itu. Waduh, sakit benar mas, benar mas waktu dikucilkan itu mas. Tetapi ya mau bagaimana lagi, terpaksa itu. Ya, tetapi saya lepaskan ya mas, enggak selang berapa lama, tiga minggu lepas semua di sini. Berarti jaraknya masih dekat dengan yang dilepas berbarengan? Iya, tiga minggu atau dua minggu, kira-kira tiga minggu, lepas semua, se-RT itu. Itu ya, yang sebelumnya pertama, dengan istri saya dengan anak saya pada membenci dibalik sekarang. Ada yang bilang najis, pokoknya omongan yang enggak enak itu. Bilang yang pengkhianat najis, haram ternyata dilepas, sewaktu bertemu saya bilang, "Uang haram kok dibelikan mobil, ha itu." Jadi orang itu kalau belum mengalami sendiri itu mas belum. Kalau sudah mengalami mas. Itu saya melepas itu karena keadaan mas. Kalau disuruh memilih untuk memiliki lahan banyak saya memilih untuk bercocok tanam. Itu tadi anak saya yang sakit-sakitan itu tadi, kelas enam. Se-RT itu, ini kan RT 10 ya. RT 10 yang pertama melepas itu saya. Wah itu ada dalam jangka dua minggu enggak ada yang menyapa tetangga sekitar rumah itu. Tetapi ya sudah saya bliang istri, "Ya sudah diniati Bu, enggak apa-apa kalau enggak terima ya sudah. Kita sendiri tidak merugikan tetangga kanan kiri kita. Enggak minta apa-apa juga, yang penting kita sehat, anak kita juga bisa tertolong." Sakit sekali mas kalau dikucilkan seperti itu. Mengaji enggak ada yang menemani. Bermain enggak ada yang menemani. Kalau sewaktu belanja, istri saya terus bubar semua, sakit mas. Pas rapat kelompok di Pak B itu kan saya ikut berkumpul, wah itu omongannya macam-macam. Tetapi sebelum saya melepas itu, besok mau melepas itu saya ikut kumpulan, saya bicara dengan bapak-bapak itu. "Saya minta maaf pak, seluruhnya saja. Saya sekarang ini sudah mau saya lepas karena keadaan saya seperti ini, begini, begini. Kalau saudara bisa ganti dengan saya, saya tidak akan melepaskan. Sekarang lahannya bertukar tempat saja, kalau ada yang mau bertukar tempat dengan lahan saya." Masalahnya lahan saya itu seperti ini mas, yang kiri-kanan, timur-barat, utara-selatan itu sudah dilepas semuanya. Punya saya itu terjepit di situ-itu dahulu. Ya, karena saya ini pendatang baru di sini, lahan milik saya itu bagiannya di RT 09. Di RT 09 itu sudah dilepas semua, tempat saya itu sudah terjepit di situ. Saya itu di sebelah selatannya, selatannya itu sudah daerah laut, barat, utara, timur itu sudah
persepsi negatif atas pihak yang menghujat tetapi tidak memiliki konsistensi (888-894) dilema atas penaksiran konsekuensi pelepasan lahan dengan kondisi ekonomi keluarga (894-900) kondisi mendesak terkait kesehatan anak menjadi alasan pelepasan lahan (900-903) penyesalan atas dampak sosial yang diterima keluarga pascapelepasan lahan (902-906) perasaan tidak nyaman atas respons negatif usaha permintaan bantuan kolektif (906-914 dan 918-930) posisi lahan yang terjepit lahan menjadi beban pemenuhan kebutuhan ekonomi (914-918)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
28
918. 919. 920. 921.
922. 923. 924. 925. 926. 927. 928. 929. 930.
dijual, punya saya bagaimana? Pas rapat kumpulan itu saya bilang. "Sekarang begini pak, saya terus terang saja, kalau saudara dapat memberi pertolongan saya. Atau lahannya bisa bertukar tempat, silakan saya tidak apa-apa.Tetapi kalau memang enggak ada yang mau bertukar tempat, enggak ada yang dapat menolong saya terpaksa melepas. Terserah kalau saudara-saudara mau marah pada saya silakan." Saya kan sudah terus terang itu. Sebelumnya itu sudah memaki-maki saya itu, wah omongannya enggak enak itu. "Ya, sudah silakan. Sekarang sudah, Pak, anda yang omongannya agak kasar, sekarang lahan anda di sebelah timur bertukar tempat dengan tempat saya mau enggak?" saya bilang seperti itu. "Ya enggak mau." Enggak mau kenapa omongannya seperti itu, saya sudah kepepet. Selain terdesak secara ekonomi, karena anak saya sakit-sakitan, saya di lahan itu juga terjepit.
931. 932. 933. 934. 935. 936. 937. 938. 939. 940. 941. 942. 943. 944. 945. 946. 947. 948. 949.
Ha itu masih bisa diolah enggak pak kalau kepepet seperti itu? Ya, sudah enggak enak kan kalau seperti itu ya, perasaan ya mas. Itu ada orang dari sebelah berat-berat banyak yang bekerja di situ saya cuma sendiri di situ kan enggak enak di hati. Nyatanya saya sudah meminta, "coba pindah gantian." Saya cuma, "itu yang lahannya banyak pindah di tempat saya. Saya pindah ke tempatmu, enggak bakal saya lepas lahan saya." Nyatanya ya enggak mau. Ya, saya terpaksa akhirnya "kalau ada apa-apa, saya lepas, enggak usah marah pada saya." Saya lepas, tahu "wah itu tempat S sudah dilepas." mulai itu ada dua minggu atau berapa enggak ada yang menyapa. Berjumpa dengan saya, yang sebelumnya sangat ramah dengan saya, itu sama sekali enggak menegur sapa sama sekali. Wah itu yang sakit itu, beratnya. Tetapi kalau enggak terpaksa ya enggak saya lepas, karena keadaan. Yang paling berat di hati bapak itu ya, anak sama keadaaan? Karena keadaannya yang di kiri-kanannya itu sudah dilepas itu. Sebenarnya kalau yang punya lahan luas itu coba bertukar tempat. Kan lahan kepunyaannya di sebelah timur banyak. Kehilangan satu kapling saya pakai, terus tempat saya jadi kepunyaannya untuk digarap mau atau enggak. Nyatanya ya enggak mau.
posisi lahan yang terjepit lahan menjadi beban pemenuhan kebutuhan ekonomi (932-934) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (934-943) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (945-949)
950. . 951. .
Masih satu RT itu orangnya? Itu saya bilangnya sudah sewaktu rapat kumpulan kelompok itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
29
952. . 953. . 954. . 955. . 956. . 957. . 958. . 959. . 960. . 961. . 962. . 963. . 964. . 965. . 966. . 967. . 968. . 969. . 970. . 971.
972. . 973. . 974. . 975. . 976. . 977. . 978. . 979. . 980. . 981. . 982. . 983. . 984. . 985. .
Kelompok tempat saya itu ada 34 anggota, tempat Pak B itu. Itu sewaktu kumpulan itu saya bilangnya itu. Enggak ada yang mau menolong. Siapa yang mau menolong? Nyatanya anak saya sakit juga enggak ada orang yang menolong. Saya cari enggak ada yang mau menolong. Itu yang jadi pertimbangan bapak juga? Sewaktu saya bilang seperti itu pada diam semua. Tetapi setelah tahu saya melepas itu, sama sekali enggak ada mendekat, seperti itu. Itu ada yang cukup dekat dengan bapak? Enggak ada, paling yang dari RT 09 yang dekat. "Sudah, kalau enggak ada temannya, main ke sini saja," seperti itu. Yang ini, satu-dua, itu kan terus sebelah baratnya sudah RT 09. Sebelah timur sekolah itu RT 09. Jadi anak saya itu enggak main di sini, mainnya di RT 09, temannya anak RT 09 semua. Tetapi ya sekitar tiga minggu itu. Setelah dilepas semua ya kembali menghampiri tanya ini-itu. Ya, orang itu kalau belum pernah terkena, kalau sudah merasakan ya. Ya, yang omongannya agak kasar ya ternyata dilepas. Mau bagaimana lagi namanya orang kepepet. Ada yang bilang haram, najis, omongannya buruk-buruk semua. Istri saya itu enggak berani keluar. Kalau belanja, belanja ke pasar saja, enggak ada orang yang menyapa. Kalau orang kan punya perasaan kan mas, enggak pernah disapa tetangga sekitar kan perasaannya bagaimana ya. Berarti juga bergesekan dengan tetangga sekitar sini ya? Iya, itu. Sewaktu itu kan, pas mengobrol di Wates itu dengan orang kantoran, pegawai PNS, tetapi tahu seluk-beluknya seperti apa. "Itu bakal jebol itu pak. Enggak, akan, pasti lepas itu." Masalahnya kan yang sebelah sana separuh kan sudah lepas. "Ya, anda mau demo ke mana saja pasti lepas. Kalau di daerahnya anda itu. Masalahnya sudah separuh lepas. Kalau yang sebelah sana belum kemungkinannya mungkin bisa." RT tujuh-delapan kan sudah lepas pertama, setahun. Saya itu kalau hidup dengan tetangga kalau enggak akur, ngeri sekali mas, seperti tinggal di hutan, bahkan lebih dari seperti tinggal di hutan. Iya karena orang itu cuma egonya sendiri-sendiri, enggak pernah merasakan. Kalau sudah merasakan nyatanya ya untuk dibelikan mobil, beli apa saja enak, sekarang enggak ada haram-haraman ibarat kasarnya seperti itu. Berarti dahulu pemikiran bapak sendiri ini ya ya sudah ini terpaksa dilepas?
dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (951-955) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (957-958) penyesalan atas dampak sosial yang diterima keluarga pascapelepasan lahan (960-964 dan 967-971) persepsi negatif atas pihak yang menghujat tetapi tidak memiliki konsistensi (964-967) penaksiran akan kelemahan gerakan menjadi pertimbangan pelepasan lahan (973-979) penyesalan atas dampak sosial yang diterima keluarga pascapelepasan lahan (979-981) persepsi negatif atas pihak yang menghujat tetapi tidak memiliki konsistensi (981-984) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
30
986. . 987. . 988. . 989. . 990. . 991. . 992. . 993. . 994. . 995. . 996. . 997. . 998. . 999. . 1000. . 1001. . 1002. . 1003. . 1004. . 1005. . 1006. . 1007. . 1008. . 1009. . 1010. . 1011. . 1012. . 1013. . 1014. . 1015. . 1016. . 1017. . 1018. . 1019. .
Iya saya sudah bilang itu di rapat itu. Kalau enggak ada yang mau bertukar tempat atau membantu saya, ya saya terpaksa melepas. Terserah anda mau berpikir apa terhadap saya, terserah itu pandangan anda terserah silakan. Tetapi kalau sewaktu-waktu saya lepas enggak usah kaget. Tetapi kan saya sudah berpamitan terlebih dahulu. Enggak sembunyi-sembunyi enggak, saya berpamitan terlebih dahulu. Iya karena keadaan itu ya? Kalau bisa memilih ingin bertahan? Bertahan, iya. Tetapi karena yang dipertahankan itu, itu kan bukan tanah bersertikat, bukan tanah pribadi. Kalau itu kan bukan tanah sendiri, cuma penggarap. ibarat kasarnya kalau mau diminta kembali ya silakan saja, ada ganti ruginya. Bapak dahulu ikut juga di paguyuban? Dahulu ya ikut. Ikut saja karena orang baru ya mas. Hanya ikut-ikut saja ke utara ya ke utara, ke selatan ya ke selatan. Karena keadaan di desa kalau enggak guyub seperti apa. Tetapi kalau bertani sekarang itu susah. Susahnya apa? Obat-obatan mahal mas. Terus lahannya sekarang juga sempit, ya pokoknya itu lahan. Terus penjualan sekarang itu seenaknya tengkulak, maksudnya, dipermainkan. Petani itu enggak bisa menentukan harga mas. Tiap mau lebaran itu saya melihat di televisi itu harga cabai sampai melonjak tinggi kok di sini cuma seperlimanya itu lho. Ya, minimal kalau di Jakarta itu ibaratnya tiga puluh, kalau di sini belinya lima belas atau dua puluh ya wajar. Lha, ini lihat di televisi di Jakarta harga tiga puluh, dua puluh lima, di sini hanya tujuh ribu atau enam ribu, bagaimana itu? Itu kan permainan siapa yang itu. Ibaratnya ongkos paling hanya dua juta, sini Jakarta kalau pengiriman itu. Dua juta kalau harganya satu kg lima ribu, satu ton sudah lima juta, ya kan. Satu truk itu lima ton. Kok mengambil untungnya separuh lebih itu ya memang. Nanti kalau petani enggak panen, tengkulaknya ya ngeri mas. Anak saya yang tengah itu saya tanya mau kuliah enggak? "Ah enggak, kasihan bapak." Ingin pergi ke Jepang. Masalahnya kan di sekolahnya itu kalau enggak kuliah disalurkan kerja, di SMK di Wates itu. Jepang kan ya lumayan, dua tahun-tiga tahun kan cukup untuk modal di sini. Kalau di SMK itu, kan yang lulusan kemarin itu ada lima belas sekolah tempat anak saya itu. Ya kemarin sewaktu rapat itu kan gurunya sewaktu rapat itu. "Pokoknya enggak usah khawatir pak
dukungan sosial bagi diri (986-991) pandangan diri bertindak jujur dalam proses pelepasan lahan (990-991) kesangsian soal hak milik dan legalitas lahan (993-996) motif bertahan atas dasar asimilasi sosial (998-1000) penaksiran akan ketidakpastian serta risiko dalam bertani (1000-1002) evaluasi negatif atas pola sirkulasi pasar konvensional (1002-1013) pertimbangan atas penawaran atas dasar jaminan kesejahteraan (1013-1021)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
31
1020. . 1021. . 1022. . 1023. . 1024. . 1025. . 1026. . 1027. . 1028. . 1029. . 1030. . 1031. . 1032. . 1033. . 1034. . 1035. . 1036. . 1037. . 1038. . 1039. . 1040. . 1041. . 1042. . 1043. . 1044. . 1045. . 1046. . 1047. . 1048. . 1049. . 1050. . 1051. . 1052. . 1053. .
kalau anaknya enggak bisa bekerja nanti, yang penting anaknya pintar nanti mau bekerja gampang." Kalau enggak kuliah itu nanti disalurkan. Kalau dari paguyuban itu juga enggak ada yang bertanya soal keadaan bapak sewaktu itu? Wah enggak. Wah itu juga yang mengajak demo-demo itu juga cari kesenangan pribadi. Sekarang dia sudah senang ya sudah kok, berpisah. Bagaimana itu maksudnya? Politik kan sepertinya itu. Jadi katanya misalnya sudah diberi uang segini, segini terus menghilang yang mengajak-ajak itu. Awal-awalnya dahulu itu lho. Maksudnya seperti ini mas, misalnya anda orang yang pintar berpendapat ayo ini jangan dilepas. Ibaratnya yang mengajak-ajak demo ibaratnya enggak usah dilepas, ini tanah hak. Kalau dahulu itu lima belas tahun digarap berarti sudah hak milik. Tetapi saya juga benar atau salahnya juga enggak tahu saya. Itu kalau lima belas tahun digarap sudah hak milik petani. Itu yang mengajak-ajak itu sudah sukses, kaya raya, entah pergi kemana itu. Ibarat kasarnya sudah disogok sama JMI atau seperti apa enggak tahu. Aslinya orang mana itu, orang Papua atau mana? Bukan orang dari daerah sini? Bukan, aslinya cuma punya saudara di darah sini, yang juru bicara itu. Kalau yang orang sini, yang cari enaknya sendiri. Kalau yang dari paguyuban sendiri? Dari paguyuban yang masih bertahan? Sekarang itu kalah dengan harta. Ibaratnya diberi iming-iming itu sudah menurut saja. Ya enggak, masa bodoh itu dari yang masih bertahan. Yang penting kan, dipertahankan, jangan sampai dilepas, ibaratnya itu saja. Enggak tahu keadaannya orang-orang kecil itu enggak, pokoknya pertahankan itu saja, jangan sampai dilepas. Ini hak milik, kita sudah menggarap lima belas tahun itu hak. Bukan orang sini itu, yang daerah Garongan ke timur itu, dengan orang yang dari Papua, Flores atau Papua itu. Diminta untuk tetap bertahan tetapi keadaannya diperhatikan atau enggak? Karena menurut pandangan saya ya, orang itu beda-beda. Kadang-kadang mengajak begini, begini, begini. Ibaratnya saya itu, ya ini dipertahankan begini, begini, begini. Saya yang diciduk ya, "sudah kamu enggak usah
pandangan negatif atas kolektivitas semu dalam perjuangan (1024-1025) pandangan negatif atas kolektivitas semu dalam perjuangan (1027-1031) kesangsian terhadap unsur dalam gerakan yang tidak konsisten (1031-1036 dan 1038) pandangan akan kurangnya paguyuban dalam memperhatikan kebutuhan anggota (1041-1045) kesangsian terhadap unsur dalam gerakan yang tidak konsisten (1045-1048) kesangsian terhadap unsur dalam gerakan yang tidak konsisten (1051-1063)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
32
1054. . 1055. . 1056. . 1057. . 1058. . 1059. . 1060. . 1061. . 1062. . 1063. . 1064. . 1065. . 1066. . 1067. . 1068. . 1069. . 1070. . 1071. . 1072. . 1073. . 1074. . 1075. . 1076. . 1077. . 1078. . 1079. . 1080. . 1081. . 1082. . 1083. . 1084. . 1085. . 1086. . 1087. .
kebanyakan bicara saya beri uang. Saya lama kelamaan semakin lama menghilang, menghilang, terus enggak terdengar lagi." Jadi ibaratnya saya yang mengajak tetapi saya punya pamrih ibaratnya. Kadang-kadang seperti itu. Tetapi bukan yang orang daerah sini itu bukan itu. Kadang-kadang orang yang, oh saya punya teman, orang kuliahan orang pintar yang tahu jalur hukumnya, ini-ini-ini. Nah, itu yang dibawa itu, nah itu kan yang memberi komando, yang bicara itu seperti pintar, begini, begini, begini. Ternyata semakin lama semakin menghilang itu. Kalau dengar-dengar ada kabar yang sudah diberi berapa milyar atau berapa juta, tetapi entah benar atau enggak tahu. Ini juga isu-isunya orang itu. Yang lain yang masih bertahan itu tetapi tidak tahu keadaan bapak terus bisa membantu ya enggak ada? Enggak, masa bodoh itu. Sepertinya itu, jadi enggak terjun, ini di sebelah barat itu teman-teman seperti ini, seperti ini. Ada orang seperti ini, seperti ini, enggak masing-masing.Intinya itu kalau bisa dipertahankan saja untuk anak-cucu, keturunan. Karena keadaan orang itu tidak bisa mengukur hatinya orang lain kan. Sepertinya baik tetapi tahu-tahu menjerumuskan. Makanya saya sendiri itu kalau dengan orang itu percaya enggak percaya. Ya percaya ya bisa, enggak juga bisa, harus waspada itu. Curiga enggak tetapi waspada iya. Karena keadaan pernah mengalami hal-hal seperti itu, kalau belum pernah mengalami ya. Kalau saya jadi berhati-hati. Kalau putra bapak bisa sembuh itu tahun berapa ya pak? Tahun berapa itu ya. Pokoknya SD kelas, TK itu masuk SD kelas 1. Dua tahun. 2009-2011 atau berapa itu, pokoknya 2010 sampai 2011 atau 2012, pokoknya dua tahun. Itu sampai lelah berurusan dengan rumah sakit itu. Tetapi jalannya orang hidup itu. Sewaktu ke tempat Pak Ustaz itu enggak diapa-apakan. Pokoknya orangtuanya sholat tahajud, sama kirim doa, enggak pakai jampi-jampi apa-apa...Ya saya bingungnya karena itu juga, karena keadaan itu, yang kedua, lahannya sudah terjepit. Tetapi kan orang lain enggak mau tahu kan, yang penting kalau di paguyuban harus seperti ini. Tetapi kan enggak merasakan ya. Enggak merasakan, enggak membantu seperti apa enggak. Ya, kalau bilang "kamu harus seperti ini, aku ya membantu" ya. Kamu harus seperti ini tapi aku enggak mau tahu urusanmu kan repot ya kan.
pandangan akan kurangnya paguyuban dalam memperhatikan kebutuhan anggota (1066-1069) kesangsian terhadap unsur dalam gerakan yang tidak konsisten (1069-1074) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (1081-1084) pandangan akan kurangnya paguyuban dalam memperhatikan kebutuhan anggota (1084-1087)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
33
1088. . 1089. . 1090. . 1091. . 1092. . 1093. . 1094. . 1095. . 1096. . 1097. . 1098. . 1099. . 1100. . 1101. . 1102. . 1103. . 1104. . 1105. . 1106. . 1107. . 1108. . 1109. . 1110. . 1111. . 1112. . 1113. . 1114. . 1115. . 1116. . 1117. . 1118. . 1119. . 1120. . 1121. .
Berarti sewaktu prosesnya sendiri ada yang datang ke sini, terus menawarkan untuk dilepas, terus bapak sepakat. Itu prosesnya, ceritanya seperti apa itu pak? Pokoknya anaknya nanti salah satu kalau ingin kerja gampang, masuk kerja di situ, kesejahteraan keluarga dijamin, dan keperluan apa-apa dipenuhi. Pokoknya yang enak-enak itulah. Selain itu kan, keadaan saya baru, baru di rumah keadaan saya lagi pusing memikirkan keluarga itu. Apalagi ada penawaran seperti itu kan? Ya okelah saya akui. Masalahnya yang RT sebelah saya kan sudah dilepas semua. Selain itu kan posisinya tempat lahan saya itu kiri-kanannya sudah dilepas. Masalahnya saya ini RT 10 tetapi lahannya bertempat di RT 09. Karena saya ini terakhir ibaratnya, belakangan masuknya ke pesisir itu. Yang paling sering dirasakan dan dipikirkan waktu itu apa pak sewaktu dapat penawaran? Yang saya pikirkan cuma takut dengan tetangga kiri-kanan saya. Takut enggak diakui begitu lho. Makanya ada penawaran itu, sebelumya saya mengobrol dengan kelompok itu sudah ada penawaran dari JMI itu. Saya, bolak-balik, bolak-balik mengobrol dengan istri saya. "Bagaimana Bu kalau nanti enggak disapa tetangga kiri-kanan?" "Ya bagaimana pak, saya ya takut, tetapi keadaan kita seperti ini." Ya sewaktu ada rapat malam itu saya ikut kumpul saya ceritakan. "Kira-kira yang punya lahan luas yang di sebelah timur itu ada yang mau bertukar tempat enggak dengan saya?" Nyatanya enggak ada yang mau. Terus saya itu ada anak yang sakit ada yang mau membantu, ibaratnya memberikan solusi apa kan enggak ada. Saya kan pamitan terlebih dahulu itu. Kalau enggak percaya nanti kalau pergi ke tempat Pak M bisa ditanyakan. Sebelum saya melepas, saya pamit terlebih dahulu. Pak M itu bilang "terus terang saya salut dengan kamu Di. Kamu melepas enggak sembunyi-sembunyi, terus terang dahulu." Ya keadaan saya seperti ini enggak ada yang mau membantu, lahan mau saya tukar enggak ada yang mau. Orang-orang itu hanya diam saja, enggak ada yang berkomentar apa-apa. Sekitar jangka dua hari itu kan sudah terdengar, saya didatangi tim, "jadi dilepas enggak punyamu? sebelah kiri-kananmu sudah dilepas semua." "Ya enggak apa-apa tetapi saya jadi enggak punya tetangga, kiri-kanan bakal..." "Ya enggak apa-apa,
jaminan kesejahteraan dipandang sebagai alasan pelepasan lahan (1091-1093) posisi lahan yang terjepit lahan menjadi beban pemenuhan kebutuhan ekonomi (1093-1099) dilema atas penaksiran konsekuensi pelepasan lahan dengan kondisi ekonomi keluarga (1102-1111) pandangan diri bertindak jujur dalam proses pelepasan lahan (1112-1116) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (1116-1118) jaminan dukungan sosial dari pihak yang telah melepas lahan lebih dahulu (1120-1122)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
34
1122. . 1123. . 1124. . 1125. . 1126. . 1127. . 1128. 1129. 1130. 1131. 1132. 1133. 1134. 1135. 1136. 1137. 1138. 1139. 1140. 1141. 1142. 1143. 1144. 1145. 1146. 1147. 1148. 1149. 1150. 1151. 1152. 1153. 1154. 1155.
gabung dengan yang sebelah barat saja." Timnya itu orang sini yang sudah melepas terlebih dahulu begitu? Iya yang sudah melepas terlebih dahulu. Sebagian ya mungkin sudah jadi karyawan JMI tetapi orang Karangwuni yang punya lahan. Ya saya terus melepas itu. Setelah melepas itu seperti ditusuk duri, benar mas. Enggak ada yang menegur sapa, sakit mas. Kalau enggak kepepet saya enggak melepas. Omongannya wah enggak ada yang enak. Tetapi enggak lama itu langsung keluar semua. Ha itu saya agak lebih enteng. Waktu bertemu saya terus menegur sapa. Sebelumya semuanya enggak ada yang menegur sapa. Setiap saya lewat itu disindir. Sakit hati saya, jadi pas dilepas itu langsung plong saya. Ya itu, terus yang pas dilepas berbarengan itu sikapnya terus jadi baik sekali. Jadi terbuka ya, aku juga melepas. Mereka enggak merasakan hidup saya, seperti itu mas. Kalau saya enggak terdesak enggak saya lepas. Ya, saya mengikuti kiri-kanan saya, tetapi keadaan saya itu terdesak. Saya juga hanya terus terang, tempat saya sudah terjepit. Sebelah utaranya sudah diberikan, timur-baratnya sudah dikasihkan semua sudah dikasihkan, saya harus kemana? Masalahnya lahan saya itu posisinya di RT 09. RT 09 sudah dilepas semua. Terus sama orang yang punya lahan luas di sebelah timur itu saya minta bertukar tempat enggak mau, mau bagaimana? Kalau memang dia mau mengajak berguyub, "ya sudah karena punyaku luas, kamu menggarap lahan punyaku, yang itu biar aku yang menanggung. Enggak saya garap tetapi jatahku," kasarannya seperti itu kalau mau berguyub seperti itu lho. Nyatanya enggak ada yang merespons saya bilang seperti itu enggak ada yang merespons ya sudah begini, begini, begini. Orang pak M itu, "wah saya salut dengan kamu Di. Kamu terus terang berani bicara seperti itu. Ha bagaimana pak keadaan saya seperti ini. Daripada saya sembunyi-sembunyi saya dikira pengkhianat." Sebelum saya melepas itu saya sudah bilang, ada yang mau menolong enggak, bertukar lahan ada yang mau atau enggak. Ha itu awalnya. Kalau sekarang ini bertani itu enggak bisa diandalkan masalahnya posisinya, pertama itu lahan mas. Lahan itu enggak punya banyak. Kalau hanya punya satu itu sudah, aduh. Kalau dahulu kan lahannya masih banyak, jadi bisa berpindah-pindah. Kalau bagi bapak berat ya sewaktu menimbang-nimbang?
pertimbangan atas penawaran atas dasar jaminan kesejahteraan (1124-1125) penyesalan atas dampak sosial yang diterima keluarga pascapelepasan lahan (1126-1128) rasa lega pascapelepasan lahan massal berkaitan dengan kehidupan sosial (1128-1134) posisi lahan yang terjepit lahan menjadi beban pemenuhan kebutuhan ekonomi (1134-1139) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (1140-1146) pandangan diri bertindak jujur dalam proses pelepasan lahan (1146-1149) evaluasi negatif atas kepemilikan sarana produksi pascapelepasan lahan (1151-1154)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
35
1156. 1157. 1158. 1159. 1160. 1161. 1162. 1163. 1164. 1165. 1166. 1167. 1168. 1169. 1170. 1171. 1172. 1173. 1174. 1175. 1176. 1177. 1178. 1179. 1180. 1181. 1182. 1183. 1184. 1185. 1186. 1187. 1188. 1189.
Iya berat itu mas. Orang saya itu mas, sudah tinggal di mana-mana. Di Jawa Barat itu sudah hampir 20 tahun, yang seperti apa-apa sudah saya lakukan. Ibaratnya susah-enak itu sudah saya jalani. Saya itu inginnya hidup itu tenteram mas, dengan tetangga tenteram eggak ada masalah. Inginnya seperti itu, tetapi kalau keadaan ya bagaimana mas. Orang saya juga enggak minta. Saya enggak ingin kaya yang penting cukup seperti itu. Kan orang yang enggak bisa memandang. Inginnya ya ayo kita bersatu kita teguh tetapi nyatanya ada kesusahan enggak ada yang menolong. Bagaimana ini? Kalau keinginan saya ya bersatu kalau ada yang kesusahan ya dirangkul atau seperti apa, ya saya sepakat kalau seperti itu. Ada salah satu yang membutuhkan pertolongan enggak ada yang merangkul bagaimana itu. Apa itu namanya bersatu seperti itu? Jadi kan hanya mencari keselamatan pribadi. Ya saya bilang ke Pak M, "coba kalau posisimu seperti aku bagaimana?" saya bilang seperti itu. Enggak bisa jawab Pak M juga itu. Teman saya yang sebelah timur, yang di RT 11 itu sebelumnya begitu dekat dengan saya. Sewaktu saya melepaskan, sama sekali melengos, menatap saja enggak itu sewaktu bertemu itu. Omongannya sudah enggak enak itu. Wah itu kalau sudah dilepas bareng-bareng saya gojlok nanti. Sesudah melepas saya kembalikan perkataannya ya terus diam saja. "Ya, saya cuma ikut-ikutan orang". Saya pikir ya enggak seperti itu. Dahulu dengan saya seperti apa? Ada masalah seperti itu kok, "Kamu enggak melihat keadaanku," saya bilang. Ya terus minta maaf temanku itu, "Ya maaf, aku enggak enak dengan teman-teman." Ya enggak seperti itu dengan saya." Kalau dulu dengan saya itu sahabat dekat tetapi terkena pengaruh dengan kiri-kanan itu juga. Kalau Pak M itu ya terbuka, enggak banyak bicara hanya, "Wah aku salut padamu Di, kamu berani terus terang dengan banyak orang." Saya jawab, "Ya bagaimana ya Pak M orang yang baik itu terus terang, enggak bagus, enggak jelek, tetapi terus terang. Saya juga enggak bersembunyi di belakang itu juga enggak." Kadang-kadang kan ada yang sembunyi-sembunyi itu tahu-tahu sudah dijual. Bilangnya enggak, enggak, tetapi tahu-tahu sudah dilepas. Kalau dulu itu sewaktu itu ada bapak dan yang lain yang melepas awal-awal itu? Ada yang mengikuti satu. Orang sebelah timur, RT 11 itu. Dia bilang "kamu
keinginan menjalani kehidupan yang tenteram (1156-1159) pandangan negatif atas kolektivitas semu dalam perjuangan (1160-1168) pandangan akan kurangnya paguyuban dalam memperhatikan kebutuhan anggota (1165-1168) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (1168-1171) persepsi negatif atas pihak yang menghujat tetapi tidak memiliki konsistensi (1171-1180) pandangan diri bertindak jujur dalam proses pelepasan lahan (1180-1186)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
36
1190. 1191. 1192. 1193. 1194. 1195. 1196. 1197. 1198. 1199. 1200. 1201. 1202. 1203. 1204. 1205. 1206. 1207. 1208. 1209. 1210. 1211. 1212. 1213. 1214. 1215. 1216. 1217. 1218. 1219. 1220. 1221. 1222. 1223.
mau ditukar?" Iya saya jawab, soalnya keadaannya seperti begini, begini, begini. Saya juga enggak mau mempengaruhi terserah prinsipnya masing-masing, saya ceritakan seperti itu. Terus orang itu dalam jangka waktu yang enggak begitu lama, seminggu apa ya, ikut dilepas. Di situ keadaanya juga sama? Wah itu, tetangga sekitar itu sudah enggak enak itu. Kalau saya bilang, "kalau kamu kuat tutup telingamu. Kalau saya karena keadaannya kalau aku." Itu hampir tiap malam juga berkunjung ke rumah, "halah mas, aku di sebelah timur, diperlakukan seperti ini." Ya sudah risikonya saya bilang, "aku enggak mengajakmu lho." Orang itu memang harus punya pendirian sendiri-sendiri. "Jangan hanya ikut-ikutan," saya bilang seperti itu. Sewaktu itu kalau ditimbang-timbang yang paling menguntungkan itu ya Pak? Pokoknya sewaktu lahan dilepas. Pokoknya setelah tidak dikerjakan yang di sebelah selatan. Tanaman hingga sekarang itu hasil pertanian itu jelek. Sewaktu menimbang-nimbang itu ya, sebenarnya enak sebelum dilepas itu. Jadi kalau untuk pertanian enak itu. Mending enggak dapat ganti rugi tetapi masih bisa menggarap lahan terus seperti itu. Masalahnya kalau seperti saya itu, bisanya cuma ke bertani mas. Kalau enggak dilepas kan bisa berpindah-pindah tempat. Kalau sekarang kan enggak punya lahan. Tetapi sekarang ini ya alhamdulillah diberi lagi satu kapling. Tetapi cuma satu kapling saja. Itu setelah pelepasan? Sudah lama itu, sudah ada satu tahun, diberi lahan satu kapling itu. Ha itu bisa untuk operan bekerja dari yang di tegalan sini, untuk pergantian. Tetapi kalau sekarang ini itu enggak bisa ditanami wah sudah mas, harapan untuk bertani sudah kecil, kalau enggak bisa ditanami yang di sebelah selatan itu. Kalau seperti saya itu lho, masalahnya saya enggak punya tanah, tanahnya hanya sedikit. Kalau yang punya tanah banyak seperti Pak B itu enggak masalah. Pak B itu banyak tanahnya. Itu bisa pindah-pindah. Tetapi seperti saya dan orang lain yang tanahnya pas-pasan ya remuk. Menyewa saja sekarang ini saling berebut. Misalkan ada lahan yang disewakan di mana, saling berebut, tawar menawar harga. Ha saya ini menyewa setahun tiga juta, belum tahu bagaimana hasilnya nanti,
konsistensi dalam memegang prinsip pribadi (1189-1193) Konsistensi dalam memegang prinsip pribadi (1195-1200) evaluasi negatif atas kepemilikan sarana produksi pascapelepasan lahan (1203-1209) keinginan atas jaminan pengolahan lahan sementara pascapelepasan (1210-1211) evaluasi negatif atas kepemilikan sarana produksi pascapelepasan lahan (1213-1216) pengetahuan tentang perbedaan kelas petani berdasar kepemilikan lahan (1218-1221) penaksiran akan ketidakpastian serta risiko dalam bertani (1221-1224)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
37
1224. 1225. 1226. 1227. 1228. 1229. 1230. 1231. 1232. 1233. 1234. 1235. 1236. 1237. 1238. 1239. 1240. 1241. 1242. 1243. 1244. 1245. 1246. 1247. 1248. 1249. 1250. 1251. 1252. 1253. 1254. 1255. 1256. 1257.
tiga juta setahun itu. Berapa luasnya ini? Ya 1500 meter persegi itu. Ya sekulen, itu kalau di sini, lebarnya 12 meter, panjangnya 150 meter. Kalau saya mengontraknya hanya 1/2 kulen, tiga juta itu. Itu karena mengontrak itu karena ingin punya lahan yang bisa untuk berpindah. Jadi kalau enggak punya lahan untuk berpindah, hanya di situ terus nanti hasilnya enggak bagus. Kalau dulu kan enggak mas. Jadi punya di sana dua tempat di sana, dua kapling kan dulu di selatan itu, hampir tiga kapling itu kan bisa ganti-gantian. Bulan ini yang sebelah timur, besok dua bulan lagi yang sebelah barat. Terus berganti ke tegal, dulu kalau pindah-pindah kan tanahnya juga bisa diistirahatkan juga. Tetapi sekarang ini sudah diminta mau bertani apa? Remuk mas setelah yang sebelah selatan enggak bisa ditanami. Itu ada kontrak tertulis itu? Iya, sewaktu-waktu diambil. Iya misalnya diberi waktu menggarap 8 bulan. Nanti sewaktu-waktu mau digarap enggak ada ganti rugi itu ada tanda-tangan di atas materai itu ada. Tetapi kalau belum digarap (oleh JMI) bisa diperpanjang lagi, minta lagi ke sana. Itu yang terakhir itu lho. Takutnya dari mereka dari puro itu, kalau enggak ditandatangani itu kalau nanti mau diminta kembali nanti enggak boleh. Kalau seperti saya sendiri enggak tanda-tangan enggak apa-apa. Kalau mau diminta ya silakan karena hak milik mereka. Tetapi kan sebulan sebelumnya sudah diberi pengertian kalau ini bulan yang akan datang sudah enggak boleh digarap lagi. Tetapi karena orang banyak kan ya, ada yang beda-beda, sayang. Kalau saya enggak bukan hak saya soalnya, haknya orang lain ya silakan kalau bagi saya. Saya tidak punya hak. Tetapi yang di demo itu menggarap lima belas tahun hak milik. Hak milik darimana kalau saya, hehehe. Tidak punya surat-surat kok. Saya juga orang bodoh tetapi kan ya. Kalau bapak pikir-pikir masih menguntungkan yang bertahan ya pak? Bertahan, menurut saya sendiri lho. Masalahnya saya enggak punya tanah sertifikat yang luas begitu lho. Kalau seperti Pak B kan banyak tanahnya itu. Tetapi kan hanya segelintir orang yang. Kalau saya sendiri kan keadaannya tidak punya banyak tanah. Kalau saya teliti itu kalau pertanian itu paling enggak itu minimal punya dua tempat. Jadi gantian waktu
persepsi bahwa tanah perlu dirawat dan rehat agar produktif (1228-1234) evaluasi negatif atas proses bertani pascapelepasan lahan akibat penurunan produksi (1235-1236) keinginan atas jaminan pengolahan lahan sementara pascapelepasan (1238-1241 dan 1243-1249) kekhawatiran atas jaminan pengolahan lahan sementara pascapelepasan (1241-1243) kesangsian soal hak milik dan legalitas lahan (1249-1251) motif bertahan atas dasar kepemilikan sarana produksi yang mencukupi (1253 dan 1256-1259) (1253-1256) pengetahuan tentang perbedaan kelas petani berdasar kepemilikan lahan (1254-1256)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
38
1258. 1259. 1260. 1261. 1262. 1263. 1264. 1265. 1266. 1267. 1268. 1269. 1270. 1271. 1272. 1273. 1274. 1275. 1276. 1277. 1278. 1279. 1280. 1281. 1282. 1283. 1284. 1285. 1286. 1287. 1288. 1289. 1290. 1291.
mengerjakannya. Dikerjakan, jalan dua bulan istirahat ganti yang satu, baru bagus. Tetapi kalau terus menerus mas, hancur benar. Tetapi berarti pilihan yang bertahan itu bisa dikesampingkan karena bapak punya keadaan itu tadi ya. Tadi kan masih menimbang-nimbang tetapi lebih memberatkan? Iya, keadaan yang mendesak itu lho mas itu. Yang dipikirkan waktu itu? Pusing saya mas, memikirkan itu, sampai beberapa hari enggak bisa tidur. Ini saya lepas atau enggak, saya lepas atau enggak. Saya enggak bisa tidur. Kalau saya lepas pasti saya tetangga kiri-kanan pasti pada jengkel. Tetapi kalau enggak dilepas keadaannya seperti ini. Ya saya kan dengan istri, ya sudah bilang terus terang saja di rapat, coba lihat ada yang mau menolong enggak. Ternyata ya enggak ada yang mau menolong. Berarti itu juga jadi pertimbangan berat? Iya, sudah sebelum saya lepas itu saya pertimbangkan dulu. Saya sudah berpikir tentang efeknya itu lho mas. Masalahnya yang setahun itu lho mas, yang sebelah saya itu dilepas setahun itu enggak ada orang di sini yang kenal dengan orang yang di sebelah sana, bermusuhan. Itu jauh, yang ada di barat balai desa sana itu. Itu enggak ada orang yang kenal, ibaratnya musuh, sudah sangar-sangar itu. Ya umpama saya di lingkungan sini ini, saya sudah berpikirnya macam-macam, saya enggak bisa berpikir tentang ini. Terus setelah itu diadakan rapat di kelompok tanggal segini, terus saya kompromi dengan istri saya. "Coba bu, sebelum kita lepas, kita minta pertimbangan kira-kira lahan milik kita ada yang mau bertukar tempat enggak. Ada yang mau menolong, memberi saran bagaimana caranya." Nyatanya enggak ada, ya seperti sudah saya bilang, ya saya nanti saya lepas enggak usah marah sama saya. Jadi bapak waktu itu, pamitan sama apa berunding dengan istri terlebih dahulu? Iya, saya berunding dengan istri terlebih dahulu. Ya untuk pertimbangan itu, efek yang jelek itu saya berunding dulu dengan istri saya. "Kalau mau dilepas kamu siap enggak dengan tetangga sekitar, mentalnya." Pasti mas, ya keadaannya bagaimana, anak saya belum sembuh untuk biaya, ya sudah seperti itu. Sekitar berapa hari dua hari atau tiga hari, ada yang
preferensi untuk memiliki lahan luas agar dapat diistirahatkan dan produktif (1256-1259) persepsi bahwa tanah perlu dirawat dan rehat agar produktif (1259) kondisi mendesak terkait kesehatan anak menjadi alasan pelepasan lahan (1263) dilema atas penaksiran konsekuensi pelepasan lahan dengan kondisi ekonomi keluarga (1265-1270) dilema atas penaksiran konsekuensi pelepasan lahan dengan kondisi ekonomi keluarga (1272-1284) pengambilan keputusan dilakukan bersama atas persetujuan istri (1287-1288) kondisi mendesak terkait kesehatan anak menjadi alasan pelepasan lahan (1289-1291)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
39
1292. 1293. 1294. 1295. 1296. 1297. 1298. 1299. 1300. 1301. 1302. 1303. 1304. 1305. 1306. 1307. 1308. 1309. 1310. 1311. 1312. 1313. 1314. 1315. 1316. 1317. 1318. 1319. 1320. 1321. 1322. 1323. 1324. 1325.
bilang saya sudah melepas. Sesudah itu sudah stres saya dahulu, hehehe. Kiri-kanan enggak ada yang menyapa. Anak yang biasa mengaji enggak ada yang menemani. Istri saya mengajinya akhirnya di RT 09. Temannya di sebelah barat semua. Biasanya di sini teman-temannya di sini banyak, terus enggak ada teman. Bermainnya ke RT 09 terus. Itu ya perasaan, mas, perasaan mas enggak bisa hidup dengan tetangga itu wah mas, sakit sekali mas. Saya sudah pernah merasakan, benar mas, dikucilkan masyarakat itu sakit. Boro-boro seperti itu, saudara saya juga seperti itu, adik saya itu. Anaknya yang tadi itu enggak boleh bermain ke sini. Anak adik saya yang paling kecil, yang ke sini tadi. Itu biasanya sering keluar-masuk, ke sini enggak boleh. Tetapi saya mintai tolong juga ya juga enggak mau kok. Satu RT sama saya, keadaan saya seperti itu sudah saya sampaikan. Saya dan istri saya sudah, "sudah diniati aja Bu, Kun Fayakun." Masalahnya saya juga bukan yang pertama kali melepas, masalahnya posisinya sudah kepepet, kiri-kanan seperti itu dan keadaan anak saya. Kadang mengeluarkan biaya yang banyak, ekonomi saya juga sedang lemah. Anak saya yang paling besar sedang membutuhkan biaya sekolah, kekurangan juga belum dibayar 2 juta empat ratus kalau zaman itu aduh pusing, mau lulus belum ketebus ijazah. Kalau mempertahankan lahan, efeknya semakin? Kalau orang ibaratnya ada persatuan ada kebersaaman ya sudah, gotong-royong ya saya bantu. Besok kalau ada rezeki juga ibaratnya. Itu ya, enggak masalah. Nyatanya respons dari teman-teman ya enggak ada. Pak M, itu, "aku mengaku jempol kamu seperti itu. Salut kamu berani berterus terang enggak sembunyi-sembunyi. Ha itu Pak M." Enggak seperti yang lain-lain, diam-diam tahu-tahu sudah habis, sudah kelar. Kalau saya terus terang, sebelum berjalan itu saya menimbang bagaimana cara solusinya. Nyatanya saya blak-blakkan ya enggak ada yang membantu. Ya sebenarnya berat, tetapi mau bagaimana lagi. Selain itu kan saya pernah bekerja di perusahaan. Apapun yang saya mampu kan, dulu kan, "wah kamu bisa masuk, gampang." Nyatanya sewaktu melamar itu, "wah sudah terlalu tua, enggak bisa. Besok anakmu saja." Payah kalau saya kalau seperti itu kan. Itu makanya orang itu kadang-kadang omongannya sulit untuk dipegang. Bilangnya sebelum pelepasan itu, "nanti kamu kalau mau
penyesalan atas dampak sosial yang diterima keluarga pascapelepasan lahan (1291-1304) keterpaksaan atas dasar kondisi ekonomi dipersepsi sebagai alasan pelepasan (1304-1310) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (1312-1314) pandangan diri bertindak jujur dalam proses pelepasan lahan (1314-1317) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (1317-1320) evaluasi negatif atas kondisi pascapelepasan terkait
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
40
1326. 1327. 1328. 1329. 1330. 1331. 1332. 1333. 1334. 1335. 1336. 1337. 1338. 1339. 1340. 1341. 1342. 1343. 1344. 1345. 1346. 1347. 1348. 1349. 1350. 1351. 1352. 1353. 1354. 1355. 1356. 1357. 1358. 1359.
bekerja gampang." Sewaktu ada lowongan kerja di satpam itu mau melamar alasannya sudah terlalu tua. Ya, saya buat muda apa bagaimana? Ha enggak bisa, KTPnya. Berarti pilihannya saat itu yang paling bagus melepas itu ya? Iya, sewaktu pelepasan itu iya. Masalahnya saya enggak berbarengan. Kalau Pak B itu berbarengan, setelah saya. Ya tetapi ya semua itu galak itu, ngeri sekali, benar. Ternyata dalam jangka dua minggu atau tiga minggu. Paling lama tiga minggu itu sudah lepas semuanya berbarengan. Yang sebelumnya tidak ada yang menyapa saya, ya melihat saya ya senyam-senyum. Ya saya balikkan kata-katanya. Ya kalau saya bilang kalau mau bersatu itu ya, misalnya ada anggota yang kesusahan ya ditolong apa bagaimana. Ibaratnya seperti itu, itu kan bersatu tetapi ada anggotanya yang melemah tetapi tidak digandeng ya bagaimana itu? Katanya persatuan. Setelah melepas itu yang dirasakan oleh bapak apa, selain ada respons yang tidak menyenangkan itu? Maaf bila ini membuka luka lama? Enggak apa-apa. Cuma memang kalau ingat terus merasa sedih itu. Ya sebenarnya setelahnya itu ya saya agak menyesal itu ya. Masalahnya seperti ini mas, nyatanya mau dibangun jangka setahun, dua tahun, nyatanya enggak jadi dibangun-bangun. Sebenarnya karena terbengkalai itu mas. Ya karena apa, ini yang kemarin diberi iming-iming bisa bekerja di situ ternyata enggak bisa, enggak jadi. Itu (lahan ganti rugi) ya enggak digarap, yang dikerjakan hanya sepersepuluhnya, atau seperduapuluhnya yang bisa digarap oleh petani itu. Menyesal saya, tidak sesuai dengan janji yang sudah diberikan. Kalau dulu itu kan nanti langsung dikerjakan, diutamakan yang punya lahan akan dipekerjakan di situ. Ternyata sampai sekarang malah belum jalan, malah bangkrut. Ya kalau lahannya bisa digarap semua, bebas menggarapnya itu enggak apa-apa. Tetapi sekarang ini dikapling-kapling itu. Ya tetapi tetap bersyukur masih diberi. Ya itu kalau nanti dibuat apa, ibaratnya petani itu ya mati mas. Ya, mati model-model saya ini yang enggak punya tanah. Kalau yang punya tanah banyak itu bisa berpindah-pindah. Tetapi seperti saya ini dengan yang enggak punya tanah ya itu hanya bisa jadi buruh-buruh apa begitu. Daripada menjadi buruh perorangan mending direkrut di perusahaan, mendapat
jaminan pekerjaan (1321-1328) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (1330-1339) persepsi negatif atas pihak yang menghujat tetapi tidak memiliki konsistensi (1334-1335) evaluasi negatif atas janji pascapelepasan (1342-1352) keinginan atas jaminan pengolahan lahan sementara pascapelepasan (1352-1354) posisi rentan sebagai petani tanpa kepemilikan lahan (1355—1360)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
41
1360. 1361. 1362. 1363. 1364. 1365. 1366. 1367. 1368. 1369. 1370. 1371. 1372. 1373. 1374. 1375. 1376. 1377. 1378. 1379. 1380. 1381. 1382. 1383. 1384. 1385. 1386. 1387. 1388. 1389. 1390. 1391. 1392. 1393.
jaminan kesejahteraan, kesehatan. Berarti bapak masih berpikir sewaktu itu? Saya berpikir jangka panjangnya mas dulu sewaktu akan dilepas, itu jangka panjangnya seperti apa kira-kira kalau enggak punya lahan. Ya bisa bekerja di sana atau enggak? Kalau dari mereka kan bilangnya "Bisa." Ya kalau bisa ya okelah saya kalau begitu, bisa bekerja di sana. "Kamu dan anak kamu bisa bekerja di sana." Sesuai dengan kemampuan ya. Oke, ibaratnya jadi tukang kebun, tetapi kalau jadi karyawan tetap enggak masalah. Yang penting saya itu kan kesejahteraan keluarga, kesehatan ada itu ya. Soalnya kesehatan itu paling mahal itu lho mas. Benar mas, punya uang berapa banyak, berjuta-juta itu kalau enggak sehat tetap susah. Untuk berobat berapa juta habis. Yang penting ada jaminan kesehatan, ya misalnya saya lepas, saya bisa bekerja di sana enggak? "Bisa, anak-anakmu juga bisa. Sesuai dengan kemampuan." Oke. Ya, saya lepas itu kan karena saya sudah pernah bekerja di perusahaan. Sistemnya di perusahaan itu kan sudah "kamu bisa, anak kamu bisa diasuransikan, masalah jaminan kesehatan, ada keluarga ada." Gaji ya kira-kira segini, ibaratnya saya hitung-hitung bagi orang yang nrimo itu ibaratnya cukup lah, ibaratnya untuk hidup sehari-hari. Ternyata ya setelah itu peluang kerja itu saya melamar, "Ha kamu terlampau tua." "Ya, lainnya." "Lainnya bagian bangunan itu dulu." Wah kalau kerja di bangunan kalau jadi karyawan tetap enggak masalah aku, yang penting saya jadi karyawan tetap. Kalau jadi harian biasa itu percuma mas. Jadi kalau kerja biasa itu sama saja dengan jadi buruh di tempat orang seperti itu. Kerja ya enggak ada jaminan kesejahteraan keluarga atau kesehatan itu enggak ada. Tetapi kalau ikut perusahaan kan kalau jadi karyawan itu kan ya memang, yang JMI itu juga, kalau anaknya sakit atau apa-apa itu ya dibiayai. Sudah banyak bukti itu banyak itu, dari yang sudah bekerja jadi karyawan itu. Ya dari dusun sini? Iya yang dioperasi habis berapa juta katanya ya yang membiayai itu dari JMI itu. Tetapi ya nyatanya enggak berfungsi kan. Sewaktu pelepasan itu berarti bapak berpikir jangka panjangnya itu ya? Ya, memikirkan tentang jangka panjangnya. Enggak cuma memikirkan yang sekilas itu enggak. Ya kan saya wawancara dengan orang yang
jaminan kesejahteraan dipandang sebagai alasan pelepasan lahan (1362-1368) pandangan pentingnya jaminan kesehatan bagi diri dan keluarga (1368-1376) identifikasi diri sebagai orang sederhana dan menerima keadaan (377-378) evaluasi negatif atas janji pascapelepasan (1378-1379) pertimbangan atas penawaran atas dasar jaminan kesejahteraan (1380-1387) evaluasi negatif atas kondisi tambang mangkrak pascapelepasan (1389-1390)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
42
1394. 1395. 1396. 1397. 1398. 1399. 1400. 1401. 1402. 1403. 1404. 1405. 1406. 1407. 1408. 1409. 1410. 1411. 1412. 1413. 1414. 1415. 1416. 1417. 1418. 1419. 1420. 1421. 1422. 1423. 1424. 1425. 1426. 1427.
mendatangi saya itu. Kira-kira bisa bekerja enggak? Ada jaminannya enggak, seperti apa? Ada itu bukunya kalau jadi karyawan di situ bagaimana, bagaimana? Ya baca itu menurut saya sudah bagus itu, menurut saya, semuanya ditanggung ibaratnya. Makanya saya terus mantap seperti itu dengan istri saya. Yang paling utama bagi bapak sewaktu itu apa pak? Ya saya yang paling penting itu berpikirnya tentang kesehatan keluarga. Masalahnya saya pernah merasakan. Sewaktu saya keluarga saya kena musibah itu. Itu mas uang seberapapun habis mas, untuk berobat itu. Tetapi kalau ada jaminan kesehatan dari perusahaan itu kan saya enggak terlampau berpikir pusing. Sudah ada yang membantu berpikir yang membiayai itu. Itu mas yang utama soal kesehatan. Perekonomian itu ya utama tetapi kan nomor dua, yang penting kan kesehatan keluarga, anak-istri saya sendiri, itu yang saya utamakan. Kalau yang lain-lain, model ekonomi bisa di, yang penting itu menerima atau enggaknya diri kita sendiri. Namanya manusia kan pasti kurang saja. Tetapi kalau menerima ya, standar gaji di Jogja kan sudah tahu ya mas, 1,5 juta atau berapa itu. Berarti enggak cuma persoalan ekonomi? Enggak, kalau saya yang diutamakan kesehatan. Kesehatan keluarga saya dengan saya sendiri itu. Itu kan kemarin ada, kesehatan keluarga diutamakan, ada itu. Di kertasnya itu ada, di buku itu. Harapan saya itu, ya kalau saya sendiri itu, mau dibangun apapun silakan. Yang penting kesejahteraan daerah sini ya, khususnya penduduk sini itu diutamakan itu. Makanya saya dulu melepas itu kan saya ingin bekerja di situ. Maksudnya saya bekerja di situ arahannya apa? Supaya, yang saya incar itu kesehatan keluarga anak saya itu lho. Kalau gaji itu sudah dihitung standar gaji Kulon Progo sudah segitu itu sudah tahu saya. Yang penting kesejahteraan keluarga, kesehatan itu lho. Masalahnya saya sudah merasakan dua tahun, keluarga itu. Tetapi enggak seperti bayangan saya dulu itu. Itu sudah paling menguntungkan, tetapi setelah mengambil keputusan sekarang ini? Ya saat ini kecewa, hehehe. Iya, tetapi ya misalnya nanti kalau yang di sebelah selatan itu boleh digarap dan bisa memilih tempat sendiri enggak kecewa saya, enggak apa-apa. Tetapi ya alhamdulillah sekarang ini anak
pertimbangan atas penawaran atas dasar jaminan kesejahteraan (1392-1398) pandangan pentingnya jaminan kesehatan bagi diri dan keluarga (1400-1407) identifikasi diri sebagai orang sederhana dan menerima keadaan (377-378) pandangan pentingnya jaminan kesehatan bagi diri dan keluarga (1412-1422) evaluasi negatif atas janji pascapelepasan (1425)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
43
1428. 1429. 1430. 1431. 1432. 1433. 1434. 1435. 1436. 1437. 1438. 1439. 1440. 1441. 1442. 1443. 1444. 1445. 1446. 1447. 1448. 1449. 1450. 1451. 1452. 1453. 1454. 1455. 1456. 1457. 1458. 1459. 1460. 1461.
saya ya punya lahan di selatan itu, saya juga punya. Itu kan agak tenteram. Tetapi itu kan tidak lama, setahun itu. Ini kan yang di sebelah utara milik anak saya itu kan hanya delapan bulan, kontraknya itu. Oh, masing-masing orang berbeda-beda ya kontraknya itu? Ya yang pertama itu, sebelum dibangun itu bebas. Tetapi yang belakangan itu cuma delapan bulan, yang belum lama ini. Yang baru berapa bulan, tiga atau empat bulan itu yang periode kedua, karena bersama-sama mengusulkan daripada lahannya itu tidak digarap diusulkan ke Pura itu, ke Sri Sultan itu, perwakilan dari sini. Itu bilangnya delapan bulan, Agustus ini sudah terakhir ini nanti itu. Tetapi itu kemungkinan, saya mengobrol dengan ketua tim sewaktu bertemu di undangan itu. Itu kok enggak lancar, seperti yang sudah ditawarkan. Ya, Pak S, semoga agak lama itu boleh mengelola yang di pesisir itu. Sepertinya ya bakal diperpanjang lagi yang belakangan itu, yang kepunyaan anak saya itu. Tetapi itu kan jadi enggak tahu sampai kapan, setahun atau dua tahun itu tidak tahu. Kalau dulu kan sewaktu belum diusik JMI, itu kan berpikirnya untuk seterusnya. Ya itu, dengar-dengar enggak jadi dibangun JMI pasir besi itu kan gara-gara ada bandara di sebelah barat itu. Kemungkinan nanti jadi perumahan, kemungkinan tetapi enggak tahu. Jadi kalau bapak sudah mantap, atau pernah ragu-ragu? Kalau sewaktu pelepasan awal itu saya sudah mantap. Masalahnya sudah ada janji, ya nanti saya berikan peluang sesuai kemampuanmu, itu. Jadi enggak ragu. Tetapi kalau disuruh memilih benar lebih memilih enggak ada yang mengusik, atau dilepas itu enggak itu. Karena keadaan ya mau bagaimana lagi? Berarti sudah mantap sewaktu itu? Saya sudah mantap waktu itu. Masalahnya yang saya pertimbangkan itu kesehatan keluarga saya, terus saya bisa bekerja seperti itu. Tetapi ya enggak sesuai harapan. Hanya harapan belaka. Sekarang ini sudah memutuskan itu puas atas keputusan bapak sendiri? Enggak puas saya. Ya, sekarang ini kan terkatung-katung itu. Dibangun juga enggak boleh digarap juga enggak, ya bagaimana itu? Kalau misalkan sesuai dengan rencana, sudah dibangun kan sudah menyerap tenaga kerja
keinginan atas jaminan pengolahan lahan sementara pascapelepasan (1425-1430) evaluasi negatif atas kepemilikan sarana produksi pascapelepasan lahan (1432-1447) jaminan kesejahteraan dipandang sebagai alasan pelepasan lahan (1449-1450) keterpaksaan atas dasar kondisi ekonomi dipersepsi sebagai alasan pelepasan (1451-1453) jaminan kesejahteraan dipandang sebagai alasan pelepasan lahan (1455-1456) evaluasi negatif atas janji pascapelepasan (1456-1457) evaluasi negatif atas janji pascapelepasan (1459-1461)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
44
1462. 1463. 1464. 1465. 1466. 1467. 1468. 1469. 1470. 1471. 1472. 1473. 1474. 1475. 1476. 1477. 1478. 1479. 1480. 1481. 1482. 1483. 1484. 1485. 1486. 1487. 1488. 1489. 1490. 1491. 1492. 1493. 1494. 1495.
penduduk sini kan. Kemungkinan kalau sudah dibangun ya saya bisa bekerja juga di situ. Ya paling enggak bersih-bersih, bagian kebun atau apa, yang penting jadi karyawan tetap. Bayangan saya seperti ini lho mas. Kalau jadi karyawan itu, ibaratnya keluarga itu kesehatan itu lho yang saya utamakan. Karena kesehatan itu yang paling mahal menurut saya itu. Paling utama itu menurut saya. Kalau masalah gaji itu relatif, menurut aturan, aturan menteri untuk daerah masing-masing. Enggak bisa kalau Jogja minta gaji pokok 3 juta, seperti Jakarta enggak bisa, Jogja ya Jogja sendiri, Jakarta ya Jakarta, Bogor ya Bogor seperti itu. Jakarta dengan Bandung kan besar Jakarta. Makin ke sini makin kecil. Masalah gaji sudah relatif tempatnya masing-masing. Tiap daerah beda, beda. Yang penting kalau saya seperti itu. Ada jaminan kesehatan keluarga saya, itu saya dukung. Masalahnya saya sudah merasakan soal kesehatan itu. Waduh itu paling mahal. Mau kayanya seperti apa, kalau punya penyakit yang berkepanjangan ya sudah itu habisnya, kesehatan itu nomor satu. Ya, saya bayangannya seperti itu. Paling enggak satu tahun sudah mulai jalan, nanti bisa menyerap tenaga kerja, ya saya yang sudah agak tua ini bisa bekerja atau enggak? "Bisa, pokoknya masuk sesuai kemampuan." Ya saya sewaktu ada lowongan kerja itu saya mendaftar, bagian satpam tetapi enggak bisa, alasannya sudah tua. "Ya anak kamu saja." Anak saya waktu itu yang paling besar kerjanya di Bandung, ya saya sudah saya suruh balik ke sini saja. Tetapi sewaktu sudah di sini sudah keduluan orang lain. Ya sudah susah, saya mau menagih janji yang dulu diberikan. Ada banyak yang masih bekerja di situ? Ha itu sebelah barat itu. Itu yang karyawan dari Jogja itu pegawai JMI itu. Itu masih, enggak bekerja tetapi mendapat bayaran terus itu dengan satpam-satpam itu juga. Yang mendapat pekerjaan ya enggak semua itu? Enggak, wah itu mas. Bagaimana anak saya? Mau bekerja, sudah melepas pekerjaan yang sebelumnya. Ya anak saya itu hanya dua tahun, atau satu tahun setengah itu bekerja di situ, jadi jaga harian, bukan karyawan, cuma diperbantukan. Kalau berangkat ya dibayar, kalau enggak ya enggak dibayar. Ya enggak apa-apa sementara. Hanya menjaga tetapi bukan jadi satpam, hanya membantu satpam jaga gantian itu. Sekarang ini sudah
preferensi atas jenis pekerjaan lain atas dasar jaminan kesejahteraan (1462-1464) pandangan pentingnya jaminan kesehatan bagi diri dan keluarga (1465-1467) identifikasi diri sebagai orang sederhana dan menerima keadaan (1467-1472) pandangan pentingnya jaminan kesehatan bagi diri dan keluarga (1472-1477) evaluasi negatif atas janji pascapelepasan (1477-1484)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
45
1496. 1497. 1498. 1499. 1500. 1501. 1502. 1503. 1504. 1505. 1506. 1507. 1508. 1509. 1510. 1511. 1512. 1513. 1514. 1515. 1516. 1517. 1518. 1519. 1520. 1521. 1522. 1523. 1524. 1525. 1526. 1527. 1528. 1529.
enggak, sudah bangkrut. Ya, jadi angan-angan yang di pikiran dulu itu enggak sesuai. Ya saya ini sudah ya sudah dilepas, tetapi ya itu tadi angan-angan itu dari brosurnya itu bisa bekerja di situ ya kalau enggak kamu anakmu, kesejahteraan dijamin. Ya saya sudah membayangkan. Kemungkinan ini kan terbesar di sini kan. Ternyata ya enggak ada apa-apanya sampai sekarang. Menyesal saya mas. Menyesalnya kenapa? Dikerjakan ya enggak terkatung-terkatung, digarap juga enggak, sayangnya seperti itu lho mas. Kalau langsung dikerjakan sesuai apa yang diperlukan. Terus seperti saya sudah tua ini,cuma jadi tukang kebun atau apa, yang penting bekerja di situ enggak masalah. Ya, saat ini kan enggak jalan, terus tanahnya ya enggak digarap, bagaimana itu? Padahal memungkinkan itu? Iya yang di sebelah sana itu kan sudah ada yang dikeruk, tetapi kan berbenturan dengan proyek bandara itu. Kalau enggak berbenturan dengan bandara ya mungkin tetap jalan. Baru tahun berapa itu, bandara dengan JMI, pasir besi itu kan lebih dahulu pasir besi itu. Kalau saya memahaminya itu ya mas, siapa yang punya uang itu yang kuat, hehehe. Nyatanya ya model keamanan-keamanan itu, polisi-polisi itu, enggak bakal membela sama rakyat, benar. Demo-demo juga itu enggak bakal membela rakyat, membela yang punya uang. Menurut sepengetahuan bapak setelah bapak bisa berbarengan lepas itu, kan sebelumnya masih kuat mempertahankan kan ya? Wah masih sangat kuat. Tetapi setelah saya melepas itu sudah bobol. Enggak sampai tiga minggu itu langsung jebol semua. Ya, sewaktu itu saling tuduh-menuduh itu. Ya saya cuma ikut dia, katanya dia. Ya, saya sewaktu itu keadaannya agak diasingkan kan itu. Pokoknya sewaktu saya bicara di kelompok itu ya saya tegas. Ya saya minta pertimbangan kalau lahan saya posisinya sudah, timurnya, baratnya, utaranya sudah dilepas lahannya. Masalahnya orang RT 09 itu sudah melepas semua. Ya, enggak dijual, diganti rugi, dilepas. Ini lahan posisi lahan saya di sana, sekarang yang punya lahan yang sebelah timur yang punya lahan banyak, coba saya tukar minta lahan yang sebelah timur, ada yang mau atau enggak? Kenyataannya enggak ada yang mau. Ya, saya ceritakan jujur keadaan anak saya, seperti ini, seperti ini, enggak ada yang merespons. Kalau
evaluasi negatif atas janji pascapelepasan (1490-1506) pandangan akan adanya benturan dengan proyek lain membuat tambang jadi mangkrak (1508-1515) posisi lahan yang terjepit lahan menjadi beban pemenuhan kebutuhan ekonomi (1518-1525) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (1525-1535)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
46
1530. 1531. 1532. 1533. 1534. 1535. 1536. 1537. 1538. 1539. 1540. 1541. 1542. 1543. 1544. 1545. 1546. 1547. 1548. 1549. 1550. 1551. 1552. 1553. 1554. 1555. 1556. 1557. 1558. 1559. 1560. 1561. 1562. 1563.
begini caranya kalau misalkan suatu kali nanti lepas jangan menyalahkan saya. Kalau misalnya lahan milik saya, saya lepas, anda terserah mau bilang apa. Misalnya saya ada kekurangan ya enggak ada yang menolong, enggak ada yang membantu saya. Ya silakan anda mau bilang apa, tetapi jangan menyalahkan saya. Kenyataannya saya bicara seperti itu enggak ada sama sekali yang merespons itu enggak ada. Cuma ada salah satu orang yang melepas yang ditanyai "Ya itu dilepas." "Ha, kamu seperti apa?" Ikut sana-ikut sana. Lama-lama saya diberi tahu. Itu yang kemarin memusuhi kamu sekarang jebol semua. Se-RT itu saya sendiri yang melepas awalnya, tetapi kan saya terus terang mas. Posisi saya ya sudah seperti itu. Makanya Pak M itu, bilang, "Aku salut Di denganmu. Kamu berani berterus terang, jantan kamu." Saya ya, seperti yang sudah saya bilang keadaan saya seperti ini. "Terserah kalau anda mau memarahi saya." "Kalau saya enggak." Kalau Pak M itu berbarengan, berbarengan dengan Pak B juga itu. Pokoknya RT 10, 11, dan 12 itu bersamaan. Kalau RT yang 14, 15 cuma sedikit. RT nya banyak tetapi blok-blokkan. Satu blok itu ada 4 RT. 6 Blok ini. Blok 3 ini, yang awalnya ditawari itu blok 2, RT 08, 07 dan 06. Kalau blok 03 itu ada 4; RT, 09, 10, 11, dan 12. Yang lepas duluan 09 itu, terus saya diincar itu. "Lahanmu di RT 09 kok enggak dilepas itu mau bagaimana?" Ya saya punya keadaan seperti itu tadi. Lahan saya di RT 09 tetapi saya tinggalnya di RT 10. Ya saya meminta pertimbangan di RT sini ternyata enggak ada respons. Saya benar mas, kalau teringat yang dahulu, ngeri betul. Kasihan anak istri saya, benar mas. Enggak pengen seperti itu lagi, berat diasingkan tetangga sekitar. Hidup itu seperti enggak punya tetangga. Omongannya orang itu pedasnya, sewaktu datang ke tempat orang yang hajatan saya berangkat, datang mendekat orang-orang menjauh semua. Ya, sudah cobaan untuk saya, kuat atau enggak saya. Sewaktu itu ada hajatan di sebelah Pak B itu. Waktu mengundang saya hajatan kan sebelum saya melepas lahan. Sewaktu kumpul itu orang-orang pada menghindar. Sekarang sesudah lepas itu dengan saya itu baiknya minta ampun. Kalau lahannya cuma satu dan enggak punya lagi sudah, kalau di sini ya, enggak bakal ada kemajuan. Tetapi ya keadaannya nasi sudah jadi bubur mau seperti apa mas. Ya, cuma menyayangkan enggak ada kelanjutannya seperti apa. Kalau enggak dibangun, saya
pandangan diri bertindak jujur dalam proses pelepasan lahan (1538-1542) pengetahuan tentang pelepasan lahan dari wilayah sekitar (1544-1548) dilema pilihan antara kekolektifan dan kurangnya dukungan sosial bagi diri (1548-1551) penyesalan atas dampak sosial yang diterima keluarga pascapelepasan lahan (1552-1559) persepsi negatif atas pihak yang menghujat tetapi tidak memiliki konsistensi (1559-1560) evaluasi negatif atas kepemilikan sarana produksi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Thematic Coding Informan 2 (Sr)
47
1564. 1565. 1566. 1567. 1568. 1569. 1570. 1571. 1572.
punya keinginan untuk bisa digarap lagi kalau keinginan saya, bisa digarap semua. Kalau nanti waktunya diminta, diminta enggak apa-apa, kalau saya seperti itu. Tetapi enggak terkatung-katung seperti ini lho. Dikerjakan enggak, lahan masih menganggur. Itu masih banyak, yang diberikan ke masyarakat itu hanya sepersepuluhnya saja. 6 blok itu cuma 2 blok yang digarap, dibagi-bagi 6 blok mas. Yang sebelah selatan ini sampai sebelah timur Garongan itu menganggur. Yang dikerjakan cuma sebelah selatan ini sampai selatan sekolah itu. Orang yang RT 09 itu dengan yang blok 04 itu lebih dulu yang blok 04 itu, yang RT 13, RT 14 itu.
pascapelepasan lahan (1560-1562) evaluasi negatif atas janji pascapelepasan (1562-1572)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI