D $ODP Seminar...1. Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, yang diwakili oleh Ibu Dr. Yayuk...

300

Transcript of D $ODP Seminar...1. Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, yang diwakili oleh Ibu Dr. Yayuk...

  • Prosiding Seminar Nasional Manado, 24 Oktober 2018

    Meningkatkan Sinergitas Dalam UpayaPelestarian Sumber Daya Alam

    Editor:Julianus Kinho, S.Hut., M.Sc.Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut., M.Sc.Lis Nurrani, S.Hut., M.Sc.

    Diselenggarakan oleh:Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado&SEAMEO BIOTROP

    Bekerjasama dengan:Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi UtaraWallacea NaturePT. Antam Tbk Halmahera TimurPT. Cargill IndonesiaBank Mandiri Area Manado

    ISBN 978-602-60715-3-8

  • i

    MENINGKATKAN SINERGITAS

    DALAM UPAYA PELESTARIAN SUMBER DAYA ALAM

    PROSIDING SEMINAR NASIONAL Manado, 24 OKTOBER 2018

    Diselenggarakan oleh:

    Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan

    Kehutanan Manado

    SEAMEO BIOTROP

    Berkerjasama dengan:

    Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara

    Wallacea Nature

    PT. Antam Tbk Halmahera Timur

    PT. Cargill Indonesia

    Bank Mandiri

  • ii

    ISBN 978-602-60715-3-8

    Prosiding Seminar Nasional Tema:

    Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam

    Steering Committee:

    Ir. Dodi Garnadi, M.Si.

    Rinto Hidayat, S.Hut.

    Lulus Turbianti, S.Hut.

    Organizing Committee:

    Cahyo Riyadi, S.Hut., M.Ap., M.Agr.Sc.

    Esther Randa Bunga, SE.

    Alex Novandra, S.Hut., M.S.E.

    Isdomo Yuliantoro, S.Sos., M.Si.

    Muhammad Farid Fahmi, S.Kom., MT

    Hanif Nurul Hidayah, S.Hut.

    Tulus Sarah Samosir, A.Md.

    Rinna Mamonto

    Hendra S. Mokodompit

    Editor:

    Julianus Kinho, S.Hut, M.Sc.

    Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut., M.Sc.

    Lis Nurrani, S.Hut., M.Sc.

    Reviewer:

    Dr. Ir, Mahfudz, M.P.

    Dr. Ir. Johny S. Tasirin, M.Sc.F.

    Diterbitkan oleh:

    Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado

    Jalan Raya Adipura, Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Manado

    Telp. 0431 7242949

    Email: [email protected]; [email protected]

    Website: http://manado.litbang.menlhk.go.id

    mailto:[email protected]

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Potensi pemanfaatan hutan merupakan penerapan Nawacita dari sektor

    kehutanan, yang ditandai dengan indeks kualitas lingkungan hidup harus

    lebih baik yang artinya kualitas air, udara, dan land cover juga harus lebih

    baik.

    Potensi pemanfaatan hutan dan pasokan bahan baku industri tahun 2045,

    dapat menghasilkan devisa US$ 97,51 milyar/tahun, atau setara dengan 8,9

    kali devisa tahun 2017. Hal ini dapat terwujud melalui konfigurasi bisnis

    baru kehutanan yaitu industri berbasis hasil hutan bukan kayu,

    pengembangan agroforestry, ekowisata, jasa lingkungan, dan bio energi

    (KLHK, 2018).

    Konservasi flora fauna dan rehabilitasi lahan merupakan upaya dalam

    rangka mendukung terwujudnya program konfigurasi bisnis baru kehutanan

    dengan tidak mengabaikan upaya pelestarian sumber daya alam. Beberapa

    penelitian dan pengembangan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan

    Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Manado pun searah dengan

    cita-cita tersebut seperti peningkatan populasi flora dan fauna endemik

    Sulawesi Utara, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, pengembangan

    potensi obat dari tanaman kehutanan, dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai.

    Menilik sejarah organisasi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam

    dan Ekosistem ternyata kegiatan konservasi sudah digagas sejak

    Pemerintahan Hindia Belanda pada tanggal 22 Juli 1912 dengan

    terbentuknya suatu Perkumpulan Perlindungan Alam yang bernama

    ”Netherlandsh Indische Vereeniging Tot Natuur Bescherming” yang

    mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk ”melindungi alam Indonesia dari

    kerusakan”. Kini konservasi flora fauna mengacu pada UU Nomor 5 Tahun

    1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

    Rehabilitasi lahan hutan saat ini melibatkan peran serta masyarakat melalui

    program hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat,

    kemitraan kehutanan, dan hutan adat sebagaimana diatur dalam Peraturan

    Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan Nomor

    P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, hal ini

    sejalan dengan program pemerintah mengenai peningkatan kesejahteraan

    masyarakat sekitar hutan.

  • iv

    Keberhasilan upaya pelestarian sumber daya alam dapat terwujud dengan

    adanya koordinasi antara stakeholder dengan stakeholder lainnya untuk

    dapat bahu membahu serta menutup kekurangan serta membantu adanya

    solusi atas kendala/hambatan yang dihadapi.

    Prosiding ini memuat 16 judul materi yang dibahas, 3 materi Keynote

    Speech, dan rumusan seminar berdasarkan hasil diskusi.

    Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada SEAMEO

    BIOTROP, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara, Wallacea Nature dan

    PT. Antam (Persero) Tbk. UBPN Maluku Utara, PT. Cargill Indonesia, Bank

    Mandiri, penyaji materi, panitia penyelenggara, moderator, peserta serta

    semua pihak yang telah membantu penyelenggaraan kegiatan seminar

    nasional hingga penyusunan prosiding.

    Semoga prosiding ini bermanfaat.

    Manado, Januari 2020

    Kepala BP2LHK Manado

    Mohclis, S.Hut.T., M.P.

    NIP. 197411091994031001

  • v

    DAFTAR ISI

    Kata Pengantar .............................................................................. iii

    Daftar Isi ...................................................................................... v

    Laporan Penyelenggaraan .............................................................. vii

    Sambutan Kepala Badan Litbang dan Inovasi .................................. xii

    Rumusan ...................................................................................... xvi

    MAKALAH PRESENTASI

    Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik

    di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati .. 1-16

    Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) Jenis Kayu Lokal Potensial di Sulawesi Utara Julianus Kinho, Jafred Halawane, Arif Irawan,

    Hanif Nurul Hidayah, dan Reny Sawitri ....................................... 17-30

    El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku Makan dan Luasan Daerah Jelajah Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) di Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Tangkoko Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt ..... 31-48

    Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre Ditinjau dari Motivasi Pengunjung

    Rahma Suryaningsih, Diah Irawati Dwi Arini , Julianus Kinho, Jafred E.Halawane, Ady Suryawan, Anita Mayasari, Margaretta Cristita,

    dan Adven T.A.J. Simamora ........................................................... 49-62

    Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak (Elephas maximus sumatranus) di Sumatera Utara Wanda Kuswanda, Sriyanti Puspita Barus, dan Asep Sukmana ... 63-78

    Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Patanyamang,

    Kecamatan Camba, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan Nur Hayati ....................................................................................... 79-94

    Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove: Studi Kasus Teluk Bone, Kota Palopo Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, dan Afandi Ahmad ............ 95-106

    Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara

    untuk Mitigasi Perubahan Iklim Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih ......................... 107-124

  • vi

    Karakteristik dan Kesediaan Membayar Pengunjung Wisata Alam Air Terjun Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin ............................................ 125-138

    Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan

    Hutan di Provinsi Sulawesi Utara Pernando Sinabutar, Anton Cahyo Nugroho,

    dan Lidya Suryati Biringkanae..................................................... 139-156

    Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat

    di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, dan Evita Hapsari ........ 157-174

    Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba Skema Kemitraan di KPHP Model Poigar Arif Irawan, Isdomo Yuliantoro, Jafred Elsjoni Halawane, dan Iwanuddin ............................................................................ 175-184

    Modal Sosial Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Malleleng Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, dan Achmad Rizal HB ............. 185-198

    Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) di Desa Rurukan 1, Kecamatan Tomohon Timur, Kota Tomohon, Sulawesi Utara Andi Wildah, Isdomo Yuliantoro, dan Ramdana Sari ..................... 199-216

    Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan Terhadap Keberhasilan Daya Kecambah Benih Gaharu

    (Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke) Jafred E. Halawane dan Arif Irawan .............................................. 217-226

    Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba (Syzygium luzonense (Merr.) Merr)Pada Berbagai Metode Pengeringan Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani ............................................. 227-239

    PRESENTASI TAMU

    Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pengelolaan

    Sumberdaya Alam

    Irdika Mansur .................................................................................... 243-254

    Sinergitas Pengelolaan Keanekaragaman Hayati

    Puja Utama ........................................................................................ 255-260

    Pergeseran Paradigma Pembangunan Hutan: Tindakan Korektif

    Yayuk Siswiyanti ............................................................................... 261-267

  • vii

    LAPORAN PENYELENGGARAAN

    KEPALA BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN

    HIDUP DAN KEHUTANAN (BP2LHK) MANADO

    PADA SEMINAR NASIONAL

    “MENINGKATKAN SINERGITAS DALAM UPAYA PELESTARIAN

    SUMBER DAYA ALAM”

    Manado, 24 Oktober 2018

    Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

    Yang terhormat:

    1. Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, yang diwakili oleh Ibu Dr.

    Yayuk Siswiyanti, S.Hut, M.Si (Kabid. Program dan Evaluasi Pusat

    Litbang Hutan)

    2. Direktur Konservasi Sumber Daya Alam & Konservasi (KSDAE) KLHK,

    atau yang mewakili

    3. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Utara

    4. Direktur SEAMEO BIOTROP, Bapak Irdika Mansur

    5. Bapak Simon Pulser dari Wallacea Nature

    6. Para Kepala UPT Lingkup KLHK

    7. Para Kepala KPHP/KPHL di Sulawesi Utara

    8. Para Akademisi

    9. Para Pimpinan Perusahaan

    10. Para Pejabat Struktural dan Fungsional

    11. Para awak media dan Tamu Undangan Peserta Seminar Nasional yang

    berbahagia

    Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua

    Syallom,

    Pertama-tama marilah kita memanjatkan segala puji dan syukur kehadirat

    Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari yang baik ini

    kita semua dapat berkumpul ditempat ini dalam rangka mengikuti Seminar

    Nasional yang terselenggara atas kerjasama BP2LHK Manado dengan

    SEAMEO BIOTROP dan didukung oleh PT. Antam Persero Tbk, Wallacea

    Nature, dan Bank Mandiri.

    Jumlah peserta sebanyak : ± 130 orang

  • viii

    Peserta terdiri dari : UPT di bawah Badan Litbang dan Inovasi, P3E Sulawesi

    dan Maluku, UPT KLHK di Sulawesi dan Maluku Utara, Dinas Kehutanan

    Daerah Provinsi Sulawesi Utara/Gorontalo/Maluku Utara, Badan Lingkungan

    Hidup Provinsi Sulawesi Utara/Gorontalo/Maluku Utara, Badan Litbang

    Daerah Sulawesi Utara, Dinas Lingkungan Hidup Kota Manado dan Kab.

    Minahasa Tenggara, KPHP dan KPHL yang ada di Sulawesi Utara, Akademisi

    dari (Univ. Samratulangi Manado, IPB, UGM, Univ. Gorontalo, Univ. Dumoga

    Kotamobagu, Univ. Negeri Manado, dan Univ. Khairun Ternate), Peneliti

    BP2LHK Manado, Perusahaan Swasta Mitra BP2LHK Manado (PT. Antam

    Persero Tbk., PT. Cargill Indonesia, PT. J Resources Bolaang Mongondow,

    PT. Meares Soputan Mining), LSM/NGO, Tokoh Masyarakat, dan Media

    Massa.

    Hadirin dan peserta seminar yang saya hormati,

    Perkenankanlah saya berterimakasih dan berbangga atas kerjasama yang

    baik antara panitia, peserta dan semua pendukung acara sehingga seminar

    nasional ini dapat diselenggarakan dengan baik pada hari ini Rabu, 24

    Oktober 2018 bertempat Hotel Aston Manado. Tema Seminar Nasional 2018

    ini adalah “Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya

    Alam“. Pada seminar ini terdapat 4 Narasumber/pembicara utama, 16

    pemakalah yang terbagi di 4 divisi yaitu : bidang Konservasi Sumber Daya

    Alam, bidang Jasa Lingkungan, bidang Perhutanan Sosial, dan bidang Hasil

    Hutan Bukan Kayu (HHBK).

    Tamu undangan yang berbahagia,

    BP2LHK Manado telah melakukan berbagai sinergi dalam upaya pelestarian

    sumber daya alam, melalui kerjasama penelitian dan pengembangan yang

    diantaranya :

    1. Kerjasama dengan MASYARAKAT/KELOMPOK TANI :

    a. Pengembangan murbei unggul dan ulat sutera hibrid yang berlokasi di

    Tomohon,

    b. Pilot Teknologi Inokulasi Gaharu pada Tegakan Gaharu Masyarakat di

    Sulawesi Utara dan Gorontalo yang berlokasi di Bolaang Mongondow

    Timur dan Minahasa Selatan,

    c. Penguatan Kelembagaan Masyarakat Pulau Perbatasan Berbasis

    Kehutanan bersama elemen masyarakat dan aparatur pemerintahan di

  • ix

    Pulau-pulau diperbatasan dengan Filipina yaitu Pulau Miangas, Marampit

    dan Marore, termasuk dalam gugusan Kepulauan Talaud.

    2. Kerjasama dengan PEMDA :

    a. Dinas Lingkungan Hidup Kab Minahasa Tenggara tentang

    “Pengembangan demplot kebun benih dan konservasi eksitu Eboni

    (Diospyros spp)” berlokasi di Kebun Raya Megawati Ratatotok,

    b. KPHP Unit IV Poigar tentang “Upaya Penanganan Konflik Tenurial di

    KPHP Model Poigar Melalui Pengembangan Kemitraan Kehutanan” di

    Poigar Minahasa Selatan [kebetulan kami undang pula perwakilan

    kelompok taninya],

    c. KPHL Unit VI tentang “Teknologi Pemanfaatan Pakoba Sebagai Tanaman

    Hutan Berpotensi Obat” di Hutan Kenangan Minahasa Utara.

    3. Kerjasama dengan PERUSAHAAN/SWASTA :

    a. PT. Antam Tbk. tentang “Reklamasi Lahan Bekas Tambang Nikel Melalui

    Fitoremediasi dan Bioremediasi” di Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara

    [sekaligus sponsor seminar ini kami ucapkan banyak terima kasih],

    b. PT. Cargill Indonesia di Amurang yang sejak 2015 berperan banyak di

    Anoa Breeding Centre (ABC), mulai dengan Pembangunan Kandang

    anoa, bantuan tenaga dokter hewan, pembangunan Klinik Hewan serta

    Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa Sebagai Media Tumbuh Jamur Tiram

    Putih,

    c. PT. J Resoures Bolaang Mongondow tentang “Konservasi Anoa Sebagai

    Upaya Pelestarian Fauna Asli Sulawesi”,

    d. PT. Meares Soputan Mining – PT. Tambang Tondano Nusajaya tentang

    “Pemberian Bantuan Peningkatan Fasilitas ABC”.

    4. Kerjasama dengan LSM/NGO :

    a. Wallacea Nature yang dipimpin oleh Simon Purser yang turut mendukung

    berbagai kegiatan BP2LHK Manado, termasuk seminar kali ini. Beliau

    hadir dan bersedia menjadi pembicara tamu hari ini,

    b. Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Manado tentang

    ”Konservasi Keanekaragaman Jenis Flora dan Fauna (KEHATI)” di Taman

    Hutan Aqua Lestari Minahasa Utara, dll.

    5. Kolaborasi Lingkup KLHK :

    a. BKSDA Sulawesi Utara tentang “Konservasi Eksitu Anoa dan Hutan

    Penelitian di Batu Angus”

  • x

    b. BBKSDA Sulawesi Selatan tentang “Konservasi Keanekaragaman Jenis

    Fauna Indonesia”

    c. TN. Bogani Nani Wartabone tentang “Kajian Potensi Sosial dan Budaya

    Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dalam Upaya

    Mendukung Pelestarian Anoa (Bubalus spp.) sebagai satwa terancam

    punah”

    d. BPDASHL Tondano tentang “Persemaian Permanen di Kima Atas”

    [dimana salah satu programnya adalah pengadaan bibit gratis untuk

    masyarakat].

    Peserta seminar yang terhormat,

    Pada kesempatan ini saya selaku penanggung jawab acara ini mengucapkan

    terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Litbang dan

    Inovasi LHK yang diwakili oleh Ibu Dr. Yayuk Siswiyanti, S.Hut, M.Si (Kabid.

    Program dan Evaluasi Pusat Litbang Hutan) untuk berkenan membuka

    seminar ini. Ucapan Terimakasih juga saya sampaikan kepada SEAMEO

    BIOTROP yang telah ikut berpartisipasi menyelenggarakan acara seminar

    pada hari ini, dimana SEAMEO BIOTROP telah menjadi mitra BP2LHK

    Manado sejak 2012 melalui Inseminasi Buatan sejak awal merintis kegiatan

    Anoa Breeding Centre. Kami agendakan untuk menggaungkan kembali

    kerjasama kami melalui penandatangan Naskah Kesepahaman hari ini

    bersama Bapak Direktur Irdika Mansur.

    Kami ucapkan terima kasih juga untuk Wallacea Nature, PT. Antam Tbk. dan

    Bank Mandiri atas dukungannya sehingga seminar ini dapat terlaksana

    dengan lebih baik. Saya juga menyampaikan terimakasih yang sebesar-

    besarnya kepada segenap pemakalah dan tamu undangan yang berkenan

    menyediakan waktunya untuk berpartisipasi dalam acara seminar ini. Tidak

    lupa kepada tim panitia penyelenggara seminar BP2LHK Manado yang telah

    menyelenggarakan acara ini dengan baik dari awal persiapan hingga pada

    berlangsungnya acara pada hari ini.

    Akhir kata, saya berharap semoga hasil seminar ini dapat membuka

    wawasan kita untuk membangun sinergitas dalam upaya-upaya pelestarian

    sumber daya alam dan memberikan manfaat dan dampak positif yang lebih

    besar, serta meningkatkan kelestarian hutan.

  • xi

    Demikian sambutan saya, semoga Allah SWT senantiasa memberikan

    bimbingan kepada kita semua.

    Torang Samua Basudara

    Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

    Kepala BP2LHK Manado

    Ir. Dodi Garnadi, M.Si

    NIP. 19670913 199203 1 001

  • xii

    SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN INOVASI

    SEMINAR NASIONAL

    MENINGKATKAN SINERGITAS DALAM UPAYA PENGELOLAAN

    SUMBER DAYA ALAM

    MANADO, 24 OKTOBER 2018

    Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

    Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua

    Syallom..

    Yang terhormat:

    1. Direktur Seameo Biotrop, Dr. Irdika Mansur

    2. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem atau

    yang mewakili

    3. Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi

    4. Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati

    5. Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Lingkup Kementerian

    Lingkungan Hidup dan Kehutanan

    6. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara

    7. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan

    Kehutanan

    8. Para Akademisi

    9. Para Pejabat Struktural dan Fungsional

    10. Para Tamu Undangan dan Peserta Rapat yang berbahagia

    Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan

    Yang Maha Kuasa atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita

    semua dapat bersama sama hadir dalam acara Seminar Nasional

    “Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam”.

    Hadirin yang berbahagia,

    Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya terlebih dulu mengucapkan

    selamat datang di Provinsi Sulawesi Utara, bumi nyiur melambai yang indah

    kepada semua peserta, pemakalah, dan semua hadirin yang saya hormati

    dan saya banggakan.

  • xiii

    Peserta seminar yang saya hormati,

    Saya sangat mengapresiasi kegiatan Seminar Nasional yang bertema

    “Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam”.

    Mengangkat kata Sinergitas, satu kata namun berat untuk dicapai tetapi

    harus terus kita upayakan. Sinergitas berarti adanya hubungan, kerjasama

    unsur/bagian/fungsi/instansi/lembaga yang menghasilkan suatu tujuan yang

    lebih baik dan lebih besar. Indonesia kaya akan sumberdaya alam dan

    diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sehingga

    diperlukan usaha bersama dan sinergi baik antara pemerintah, masyarakat,

    peneliti, lembaga riset maupun private sector baik dalam pengelolaan

    maupun pelestariannya.

    Hadirin yang saya hormati,

    Peran strategis KLHK mencakup : Pertama: menjaga kualitas lingkungan

    hidup dan daya dukung, kualitas air, kualitas udara dan kualitas lahan yang

    dapat mendukung kehidupan, pengendalian pencemaran, pengelolaan DAS,

    keanekaragaman hayati dan perubahan iklim; Kedua : menjaga jumlah dan

    fungsi hutan serta isinya yang meliputi menjaga jumlah hutan (lindung dan

    konservasi) yang memadai untuk menopang kehidupan yang mencakup

    penyediaan hutan produksi dan APL untuk kegiatan social ekonomi

    masyarakat, menjaga jumlah flora, fauna dan endangered species; serta

    Ketiga : menjaga keseimbangan ekosistem dan keberadaan SDA untuk

    kelangsungan kehidupan yang meliputi menjaga kelangsungan ekosistem

    untuk keseimbangan alam dan kehidupan, menjaga DAS dan sumber mata

    air untuk ketersediaan air dan menjaga daya dukung fisik ruang dan kualitas

    ruang.

    Hadirin yang berbahagia,

    Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengemas kebijakan

    pengelolaan hutan untuk mewujudkan sinergitas dalam upaya pelestarian

    sumberdaya alam melalui Undang-Undang dan Peraturan Menteri

    Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan yang mendukung pelestarian

    sumber daya alam adalah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

    Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan kebijakan yang

    mendukung rehabilitasi lahan adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

    dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang

    Perhutanan Sosial. Rehabilitasi lahan hutan saat ini melibatkan peran serta

    masyarakat melalui program hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan

  • xiv

    tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat. Sedangkan pada

    kegiatan konservasi, tantangan perlindungan dan pengelolaan hutan di

    Indonesia seringkali datang dari masyarakat lokal di sekitar hutan. Padahal

    kelestarian pengelolaan hutan sangat tergantung kepada partisipasi

    masyarakat lokal dalam pengelolaannya.

    Hadirin sekalian yang berbahagia,

    Potensi pemanfaatan hutan merupakan penerapan Nawacita dari sektor

    kehutanan, yang ditandai dengan indeks kualitas lingkungan hidup harus

    lebih baik yang artinya kualitas air, udara, dan land cover juga harus lebih

    baik.

    Potensi pemanfaatan hutan dan pasokan bahan baku industri tahun 2045,

    dapat menghasilkan devisa US$ 97,51 milyar/tahun, atau setara dengan 8,9

    kali devisa tahun 2017. Hal ini dapat terwujud melalui konfigurasi bisnis baru

    kehutanan yaitu industri berbasis hasil hutan bukan kayu, pengembangan

    agroforestry, ekowisata, jasa lingkungan, dan bio energi (KLHK, 2018).

    Realisasi hutan sosial per 4 Oktober 2018 seluas 2.010.156,81 juta ha yang

    dialokasikan bagi sekitar 477.135 KK. Selama periode 2007-2014 telah

    dikeluarkan izin seluas 449.104 ha, sedangkan pada periode 4 tahun Kabinet

    Kerja telah dikeluarkan izin seluas 1.561.053 Ha atau sekitar 4 kali lipat

    sebelum kabinet kerja (KLHK, 2018).

    Peserta seminar yang saya hormati,

    Salah satu agenda kerja presiden adalah untuk mendorong pertumbuhan

    ekonomi dengan keberpihakan kepada masyarakat banyak (smallholders)

    sejak tahun pertama hingga tahun keempat ini dan memasuki tahun kelima

    mengarah kepada peningkatan SDM yang satu sama lain agenda besar ini

    saling terkait untuk pemerataan pertumbuhan ekonomi. Aktualisasi

    kebijakan presiden dalam lingkup KLHK yaitu dengan keberpihakan

    pemerintah kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan pada kurang

    lebih 25 ribu Desa dan penduduknya yang relatif miskin (Harian Media

    Indonesia, 19 Okt 2018). Aktualisasi kebijakan pemerataan ekonomi itu

    didekati dari berbagai aspek seperti akses lahan untuk bekerja, berusaha

    dan berpenghasilan melalui agenda perhutanan sosial untuk mewujudkan

    masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan, berkelanjutan, ramah

    lingkungan serta membangun kemandirian ekonomi.

  • xv

    Hadirin yang berbahagia,

    Pertemuan ini merupakan salah satu upaya mendukung pencapaian

    nawacita dari sektor kehutanan melalui penyampaian hasil penelitian bidang

    Perhutanan Sosial, Konservasi Sumber Daya Alam, Hasil Hutan Bukan Kayu,

    dan Jasa Lingkungan. Diharapkan hasil-hasil penelitian yang disampaikan

    dapat memperkaya kebijakan dalam pengelolaan hutan di daerah masing-

    masing untuk mencapai pengelolaan hutan yang terpadu dan lestari

    sehingga masyarakat dapat menikmati keberadaan hutan.

    Peserta seminar yang berbahagia,

    Ucapan selamat saya sampaikan kepada seluruh panitia pelaksana dari Balai

    Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado,

    yang telah mempersiapkan acara ini dari awal hingga terselenggara dengan

    baik pada hari ini. Semoga acara ini dapat mendukung terciptanya sinergitas

    dan keterpaduan pengelolaan hutan Indonesia, secara khusus di bumi nyiur

    melambai Sulawesi Utara.

    Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

    Pakatuan Wo Pakalawiren...

    Kepala Badan Litbang dan Inovasi

    Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc

  • xvi

    RUMUSAN

    Dengan memperhatikan arahan Kepala Badan Litbang Kehutanan,

    penyampaian materi dari “Keynote speech”, presentasi dan diskusi yang

    berkembang dalam persidangan serta saran-saran dari peserta, maka

    Seminar yang bertema “Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya

    Pelestarian Sumber Daya Alam” yang diselenggarakan pada 24 Oktober

    2018 di Manado, merumuskan hal-hal sebagai berikut:

    1. Letak geografis Indonesia yang sangat strategis diantara dua benua dan

    dua samudera serta dikelilinggi oleh jajaran gunung berapi menjadikan

    Indonesia sebagai negara yang subur dan kaya akan sumberdaya alam.

    Posisi geografi, sejarah geomorfologi dan luasan Indonesia menyebabkan

    terbentuknya habitat-habitat yang sangat beragam dan dapat dihuni oleh

    beragam jenis makhluk hidup. Tidak hanya di daratan, keragaman hayati

    juga terbentuk di lautan.

    2. Daratan Indonesia terbagi menjadi Nusantara bagian barat (Sunda) yang

    jenis-jenis hidupannya serupa dengan jenis-jenis di daratan Asia,

    Nusantara bagian timur (Sahul) yang hidupannya serupa dengan jenis-

    jenis di daratan Australia, serta daerah peralihan (ecoton) Wallacea yang

    hidupannya mirip di daratan Asia maupun daratan Australia dengan

    keunikan dan endemismenya yang tinggi. Ketiga Kawasan tersebut

    dikenal memiliki jenis hidupan yang berbeda. Disamping itu lautan

    Indonesia dikenal sebagai bagian utama dari segitiga koral dunia (Coral

    Triangel) dimana jenis-jenis hidupannya yang sangat beragam tumbuh

    maupun hidup didalamnya.

    3. Hidupan yang sangat beragam tersebut memberikan jasa ekosistem yang

    sangat beragam pula. Sejumlah bahan pangan, bahan obat dan bahan

    baku industry telah dihasilkan atau diproduksi dari hidupan tersebut.

    Sejumlah besar potensi telah diketahui dan kini menunggu untuk

    diproduksi secara massal, sementara itu sejumlah potensi lainnya masih

    tersimpan di alam menunggu untuk ditemukan. Sayangnya degradasi

    alam lingkungan di Indonesia adalah salah satu yang tercepat di dunia,

    sehingga jumlah besar potensi tersebut diatas dikhawatirkan tidak

    pernah terungkap hingga kepunahannya.

    4. Di daratan; penebangan hutan secara liar yang kini dilanjutkan dengan

    konversi baik hutan yang masih alamiah atau lahan-lahan berakibat

    penebangan menjadi perkebunan merupakan ancaman utama kelestarian

  • xvii

    keanekaragaman hayati. Sementara itu, di lautan penangkapan biota

    laut secara illegal, tidak dilaporkan dan tidak dicatat merupakan ancaman

    terbesar keanekaragaman hayati. Hal ini merupakan tantangan utama

    pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

    5. Dalam seminar nasional ini diungkapkan berbagai potensi alam

    Indonesia, baik untuk konservasi keanekaragaman hayati (KKH),

    jasa lingkungan (cadangan carbon, mitigasi perubahan iklim, jasa

    lingkungan untuk sumberdaya air, ekowisata dan untuk keperluan lain,

    serta upaya pelestariannya), perhutanan sosial dan hasil hutan

    bukan kayu (HHBK).

    6. Dari hasil seminar nasional ini secara ringkas dapat dirumuskan bahwa

    kekayaan SDA dan kekayaan biodiversitas Indonesia adalah sangat luar

    biasa dan sangat berpotensi untuk menjamin kedaulatan bangsa dalam

    hal bahan pangan, bahan obat dan bahan baku industry.

    7. Sinergitas dapat dilakukan melalui kerjasama/kemitraan/ kolaborasi

    sehingga perlu meningkatkan mutual trust dan mutual benefit antara

    para pihak sehingga pada tataran pelaksanaan, sinergitas para pihak

    dapat berjalan sebagimana yang diharapkan, untuk menjaga terjaminnya

    kelestarian SDA dan keanekaragaman hayati. Ke depan, diperlukan

    adanya peta prioritas pengelolaan sumberdaya alam yang “small dan

    impact full” namun sinergis antara pemerintah pusat, pemerintah

    daerah, akademisi, masyarakat, private sector dan lembaga-lembaga

    lainnya.

    Dirumuskan di : Manado

    Pada Tanggal : 24 Oktober 2018

    Tim Perumus :

    1. Julianus Kinho, S.Hut., M.Sc.

    2. Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut., M.Sc.

    3. Arif Irawan, S.Si.

  • Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

    1

    Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi1

    Ecosystem Restoration Based On Genetic Approach

    in Gunung Merapi National Park

    AYPBC Widyatmoko2, Bangun Baramantya3, dan Ammy Nurwati3

    ABSTRACT

    The forest area around Mount Merapi has been designated as Gunung Merapi

    National Park (GMNP) through a Decree of the Minister of Forestry No: SK. 3627

    / Menhut-VII / KUH / 2014 dated May 6, 2014 with an area of 6,607.52 ha.The

    existence of Mount Merapi which can erupt at any time causes the ecosystem in

    GMNP to have a high level of fragility. The eruption of Mount Merapi in 2010 had

    a major impact on ecosystem damage so that the restoration of ecosystem

    activities after the Merapi eruption in 2010 has become one of the priority

    programs of the GMNP. Until now, various ecosystem restoration activities have

    been carried out in the GMNP area based on the types of land cover in the GMNP

    area, but the origin of the seedlings were from outside the GMNP area. Based on

    Government Regulation No. 7 of 1999 concerning Preservation of Plant and Animal

    Types, several important things for preservation of plants are maintaining genetic

    purity, maintaining genetic diversity and location of planting as part of the original

    distribution of this species. Therefore, ecosystem restoration activities in

    conservation areas, such as in the GMNP area, should pay attention to these three

    things. The material for ecosystem restoration in the GMNP area must come from

    within the GMNP area. Information about genetic diversity and genetic distribution

    patterns of a species in the GMNP area is important for the selection of genetic

    sources in the context of restoration activities. This restoration plan is called

    1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya

    Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018

    2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582, Telp/Fax. 0274-896080

    3 Balai Taman Nasional Gunung Merapi, Jl. Kaliurang Km. 22,6, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582, Telp. 0274-4478664, Fax. 0274-4478665; E-mail: [email protected]

  • 2

    Ecosystem Restoration Based on Genetic Approach. The main activities of

    Ecosystem Restoration Based on Genetic Approach that need to be done are

    survey of location and collection of genetic material of potential flora species of

    Mount Merapi, selection of reference population and establishment of permanent

    measure plot, analysis of genetic diversity with DNA markers, multiplication of

    genetic material by involving communities around the area, design, and

    development of ecosystem restoration plots.

    Keywords: genetic purity, conservation, DNA markers, Mount Merapi

    I. PENDAHULUAN

    Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi aktif yang terletak

    di bagian tengah Pulau Jawa, yang secara administratif berada di Provinsi

    Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Kawasan sekitar

    Gunung Merapi ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)

    dengan luas 6.410 Ha, melalui Keputusan Menteri Kehutanan SK Nomor

    134/Menhut-II/2004 tanggal 04 Mei 2004, dan kemudian ditetapkan melalui

    Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: SK. 3627/Menhut-VII/KUH/2014

    tanggal 6 Mei 2014 dengan luas 6.607,52 ha.

    Wilayah TNGM berada pada ketinggian antara 600-2.968 mdpl, yang

    tersebar di 4 (empat kabupaten), yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten

    Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten. Wilayah TNGM yang

    terdapat di 4 kabupaten tersebut juga terbagi menjadi 7 resort, yaitu Resort

    Pakem-Turi, Resort Cangkringan, Resort Srumbung, Resort Dukun, Resort

    Selo, Resort Musuk Cepogo, dan Resort Kemalang. Berdasarkan zonasinya,

    kawasan TNGM juga terbagi menjadi 7 zona, yaitu Zona Inti, Zona Rimba,

    Zona Pemanfaatan, Zona Rehabilitasi, Zona Khusus Mitigasi dan Rekonstruksi,

    Zona Tradisional dan Zona Religi, Budaya dan Sejarah. Peta Resort dan zonasi

    Taman Nasional Gunung Merapi dapat dilihat pada Gambar 1.

    Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) memiliki beberapa

    keunikan. Selain menyangga gunung api paling aktif di Indonesia, ekosistem

    hutan di TNGM berfungsi sebagai daerah tangkapan air kawasan Provinsi

    Jawa Tengah dan DIY, habitat berbagai flora dan fauna yang dilindungi,

    kantong berbagai plasma nutfah yang potensial, serta fungsi sosial, dan

    religius (Dove, 2008). Marhaento dan Farida (2015) menyebutkan bahwa

    keberadaan Gunung Merapi yang dapat meletus sewaktu-waktu dapat

    menyebabkan ekosistem di TNGM memiliki tingkat kerapuhan yang tinggi.

    Karakteristik Gunung Api Merapi yang secara periodik selalu meletus

  • Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

    3

    menyebabkan perubahan pula terhadap ekosistemnya. Soewandita dan

    Sudiana (2014) menyampaikan bagaimana melakukan analisis penggunaan

    dan kesesuaian lahan berdasarkan potensi bahaya letusan Gunung Merapi,

    sedangkan Pujiasmanto (2011) menyampaikan strategi pemulihan lahan

    pasca erupsi gunung api.

    Gambar 1. Peta Resort dan Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi

    Salah satu peristiwa erupsi Gunung Merapi yang berdampak pada

    kerusakan ekosistem dalam skala besar adalah erupsi tahun 2010. Hasil

    klasifikasi kelas kerusakan kawasan dari citra LANDSAT dan survey lapangan

    menunjukkan bahwa akibat erupsi Gunung Merapi Tahun 2010, kawasan

    TNGM mengalami 3 kelas tingkat kerusakan. Kerusakan berat terjadi pada

    kawasan seluas ±1.242 ha (19,37%), kerusakan sedang seluas ±1.208 ha

    (18,84%) dan kerusakan ringan seluas 2.544 ha (39,68%). Sisa kawasan

    TNGM lainnya adalah medan lava dan lahar seluas 1.416 ha (22,11%) yang

    sudah ada sejak sebelum erupsi 2010. Tidak dijumpai kelas tidak terdampak

  • 4

    erupsi karena seluruh kawasan TNGM menunjukkan adanya jejak abu vulkanik

    sehingga kelas terdampak paling rendah adalah kerusakan ringan.

    Saat ini, kegiatan pemulihan ekosistem paska erupsi Merapi 2010 telah

    menjadi salah satu program prioritas Balai TNGM. Di dalam mendukung

    kegiatan tersebut, melalui kerjasama dengan Balai TNGM, berbagai pihak

    telah terlibat. Tercatat beberapa pihak, baik akademisi (Fakultas Kehutanan

    UGM), LSM (JICA, Sumitomo), kelompok masyarakat maupun mitra lainnya

    telah melakukan pemulihan ekosistem di kawasan TNGM. Meski demikian,

    praktek pemulihan ekosistem kawasan TNGM hingga saat ini belum

    menggunakan informasi keragaman genetik dari jenis-jenis tumbuhan di

    kawasan TNGM sebagai salah satu pertimbangan teknis yang perlu

    diperhatikan dalam melakukan pemulihan ekosistem. Hal inilah yang

    mendorong perlunya dilakukan kegiatan bersama antara Balai TNGM dan Balai

    Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman

    Hutan (B2P2BPTH) Yogyakarta dalam bentuk “Kegiatan Bersama Penguatan

    Fungsi Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan Lokal melalui Pembuatan Demplot

    Restorasi di Kawasan TNGM”.

    II. RESTORASI EKOSISTEM BERBASIS GENETIK

    Definisi restorasi ekosistem, menurut P.48/Menhut-II/2014 tentang Tata

    Cara Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem pada Kawasan Suaka Alam dan

    Kawasan Pelestarian Alam, adalah suatu tindakan pemulihan terhadap

    ekosistem yang mengalami kerusakan fungsi berupa berkurangnya penutupan

    lahan, kerusakan badan air atau bentang alam laut serta terganggunya status

    satwa liar, biota air, atau biota laut melalui tindakan penanaman, rehabilitasi

    badan air atau rehabilitasi bentang alam laut, pembinaan habitat dan populasi

    untuk tujuan tercapainya keseimbangan sumberdaya alam hayati dan

    ekosistemnya mendekati kondisi aslinya. Peraturan Pemerintah Republik

    Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

    Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan menyebutkan bahwa restorasi

    ekosistem dilakukan dengan mempertahankan fungsi hutan melalui berbagai

    kegiatan sehingga dapat tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya, serta

    untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, kegiatan

    restorasi ekosistem bertujuan untuk memulihkan ekosistem yang telah

    terdegradasi, rusak atau musnah ke kondisi awal atau menyerupai kondisi

    awal (SER Primer, 2004). Pulihnya suatu ekosistem apabila ekosistem tersebut

    telah memiliki cukup sumberdaya biotik dan abiotik untuk terus berkembang

    tanpa bantuan atau campur tangan manusia serta dapat melestarikan fungsi

  • Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

    5

    dan strukturnya sendiri dan memiliki resiliensi terhadap tekanan dan

    gangguan lingkungan (SER Primer, 2004). Hingga saat ini belum banyak

    dilaporkan mengenai pengaruh dari restorasi genetik untuk flora.

    Thongkumkoon et al. (2019) melaporkan keragaman genetik 3 jenis Fagaceae

    pada percobaan restorasi hutan. Untuk fauna, telah dilaporkan pengaruh

    restorasi genetik untuk jenis panther (Johnson et al., 2010; Hostetler et al.,

    2013) dan prairie-chickens (Bateson et al., 2014). Dalam kegiatan restorasi,

    perlu dilakukan analisis mengenai kriteria penetapan prioritas tipe restorasi

    untuk menentukan lokasi mana yang perlu dilakukan kegiatan pemulihan

    fungsi habitat, hidrologi, dan lain-lain (Gunawan dan Subiandono, 2014).

    Dalam melakukan kegiatan restorasi ekosistem, diperlukan strategi untuk

    berbagai tujuan, temasuk diantaranya untuk meningkatkan keuntungan

    secara ekologi maupun ekonomi (Franklin dan Johnson, 2012).

    Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis

    Tumbuhan dan Satwa, merupakan salah satu dari Peraturan Pemerintah yang

    dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan kegiatan restorasi ekosistem

    kawasan yang dilindungi, seperti Taman Nasional Gunung Merapi. Beberapa

    hal penting yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah tersebut yang perlu

    diperhatikan adalah sebagai berikut:

    1. Menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan

    satwa (Pasal 2b)

    2. Memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada, agar

    dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan

    (Pasal 2c)

    3. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan

    pengelolaan di dalam habitatnya (in-situ) (Pasal 8a)

    4. Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

    dilakukan kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (eks-situ) untuk

    menambah dan memulihkan populasi (Pasal 8b)

    5. Pengembangbiakan jenis di luar habitatnya wajib memenuhi syarat yaitu

    menjaga kemurnian genetik, menjaga keanekaragaman genetik dan

    melakukan penandaan (Pasal 16).

    Variasi genetik suatu jenis tanaman sangat diperlukan oleh tanaman

    tersebut untuk dapat beradaptasi pada kondisi lingkungan yang berubah

    untuk mempertahankan eksistensinya, baik jangka pendek maupun jangka

    panjang. Perubahan lingkungan merupakan proses yang secara nyata

    berlangsung secara kontinyu. Oleh karenanya, suatu jenis tanaman harus

    https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0006320714001165#!

  • 6

    mampu untuk mempertahankan keragaman genetiknya agar tidak menjadi

    semakin menurun populasinya atau bahkan bisa menjadi punah.

    Berkurangnya keragaman genetik suatu jenis tanaman, menyebabkan

    berkurangnya kemampuan adaptabilitas untuk mempertahankan hidupnya

    dan kemampuan reproduksinya. Thomas et al. (2014) dan Reynolds et al.

    (2012) menegaskan pentingnya menggunakan jenis tanaman asli untuk

    mempertahankan genetik dalam kegiatan restorasi ekosistem. Ruiz-Jaen dan

    Mitchell (2005) serta Reusch dan Hughes (2006) mengatakan bahwa dengan

    memberikan perhatian kepada keragaman materi genetik yang digunakan,

    baik keragaman antar jenis maupun di dalam jenis, akan berpengaruh positif

    terhadap keberhasilan kegiatan restorasi ekosistem

    Informasi mengenai keragaman genetik sangat diperlukan untuk

    mengetahui kondisi yang ada saat ini dalam rangka konservasi jenis-jenis

    tumbuhan lokal di TNGM. Data pola sebaran genetik dari suatu jenis tanaman

    yang ada di kawasan TNGM menjadi penting untuk pemilihan sumber genetik

    dalam rangka kegiatan restorasi. Rencana restorasi ekosistem yang

    menggunakan informasi keragaman genetik dan pola persebarannya inilah

    yang disebut dengan restorasi ekosistem berbasis genetik. Baramantya et al.

    (2016) melaporkan keragaman genetik puspa yang ditanam di kawasan

    Gunung Merapi.

    III. KEGIATAN RESTORASI EKOSISTEM BERBASIS GENETIK

    Restorasi ekosistem yang merupakan proses pemulihan suatu ekosistem

    tentunya memerlukan berbagai kegiatan agar ekosistem yang telah

    terdegradasi, rusak atau musnah dapat kembali pada kondisi awal atau

    menyerupai kondisi awal. Seperti yang tercantum pada P.48/Menhut-II/2014,

    kegiatan restorasi ekosistem di kawasan konservasi antara lain berupa

    penanaman serta pembinaan habitat dan populasi. Kegiatan kerjasama antara

    TNGM dan B2P2BPTH secara garis besar tidak berbeda jauh dari kegiatan

    restorasi ekosistem yang selama ini sudah dilakukan.Kegiatan pada restorasi

    ekosistem berbasis genetik di TNGM adalah sebagai berikut:

    1. Survei populasi dan potensi jenis-jenis potensial Gunung Merapi, antara

    lain: sarangan/saninten (Castanopsis argentea), tesek (Dodonaea

    viscosa), puspa (Schima wallichii), pasang (Lithocarpus sp.), sowo

    (Engelhardia spicata), dadap duri (Erythrina lithosperma) dan beberapa

    jenis dari family Orchidaceae;

    2. Pemilihan populasi referensi dan pembuatan Petak Ukur Permanen (PUP);

    3. Pengumpulan materi genetik;

  • Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

    7

    4. Analisa keragaman genetik menggunakan penanda DNA;

    5. Perbanyakan secara vegetatif dan generatif;

    6. Pengayaan menggunakan jenis-jenis asli TNGM;

    7. Pembuatan desain dan pembangunan demplot restorasi;

    8. Pelibatan masyarakat.

    A. Survei populasi dan potensi jenis-jenis potensial

    Kegiatan inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis pohon asli dilakukan

    bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi. Inventarisasi jenis pohon asli

    dilakukan dengan cara membuat daftar jenis pohon dan mencocokkan dengan

    deskripsi sebaran alaminya yang ada di referensi terpercaya seperti Buku

    Tumbuhan Berguna Indonesia (Heyne, 1987) dan Buku Flora Pegunungan

    Jawa (van Steenis, 2006), atau buku-buku yang relevan dari serial PROSEA

    (Plant Resources of South-East Asia). Identifikasi jenis pohon asli meliputi

    pengenalan jenis secara morfologi, fenologi, ekologi (tempat tumbuh dan

    sebarannya) serta kegunaannya.

    Perlunya tindakan penanaman kembali areal terdegradasi membawa

    konsekuensi kebutuhan bibit. Salah satu syarat bibit untuk tanaman restorasi

    adalah harus merupakan jenis asli setempat. Untuk itu perlu dilakukan

    inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis pohon asli Gunung Merapi. Informasi

    yang diperlukan dari jenis-jenis pohon asli tersebut adalah: status keaslian

    (endemisitas), distribusi geografis, sebaran menurut elevasi di Gunung Merapi,

    fungsi atau peranan dalam ekosistem, kegunaan bagi masyarakat, teknik

    perbanyakan atau regenerasi, kesesuaian tumbuh dengan tapak khusus, dan

    sifat-sifat khusus seperti jenis toleran, intoleran, pionir atau klimaks. Gunawan

    et al. (2012) telah mengidentifikasi 50 jenis pohon asli Gunung Merapi yang

    dapat digunakan sebagai tanaman restorasi Gunung Merapi.

    Kegiatan survei potensi dan populasi jenis-jenis yang terdapat di TNGM

    difokuskan pada beberapa spesies, yaitu sarangan/saninten (Castanopsis

    argentea), tesek (Dodonaea viscosa), puspa (Schima wallichii), pasang

    (Lithocarpus sp.), sowo (Engelhardia spicata), dadap duri (Erythrina

    lithosperma) dan beberapa jenis dari family Orchidaceae. Jenis-jenis ini dipilih

    karena selain merupakan jenis asli Gunung Merapi, potensi dan sebaran

    populasinya masih cukup tersedia sehingga akan sangat membantu di dalam

    pemetaan struktur genetik jenis-jenis yang berada di kawasan TNGM.

    B. Pemilihan populasi referensi dan pembuatan PUP

    Kegiatan restorasi ekosistem memerlukan populasi referensi untuk

    menjadi dasar untuk mengembalikan kondisi hutan yang telah terdegradasi

  • 8

    atau rusak. Kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik yang dilakukan di

    TNGM juga membutuhkan populasi referensi agar seluruh kegiatan yang

    mengarah pada kondisi populasi referensi tersebut. Untuk itu, salah satu

    kegiatan yang dilakukan adalah memilih beberapa populasi yang berada di

    kawasan TNGM yang sama sekali tidak mengalami gangguan baik oleh erupsi

    maupun gangguan lainnya, atau mungkin hanya sedikit sekali gangguan yang

    ada. Selanjutnya, Petak Ukur Permanen (PUP) dibangun pada populasi

    referensi tersebut sebagai lokasi permanen untuk pengukuran dan

    pengumpulan data yang dilakukan secara berkala. PUP dibangun berbentuk

    persegi panjang dengan ukuran 50 meter X 20 meter untuk pengukuran

    pohon dan tiang. Di dalam petak tersebut dibangun 3 buah sub-petak,

    masing-masing berukuran 5 meter X 5 meter untuk pengukuran tumbuhan

    bawah, semai dan sapihan. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil

    pengukuran dan pengamatan yang berkala pada populasi referensi tersebut

    antara lain:

    - Jenis-jenis tanaman yang ada, mulai dari tingkat perdu sampai tingkat

    pohon;

    - Perbandingan jumlah individu antar jenis-jenis yang ada;

    - Perbandingan penutupan tajuk dari masing-masing jenis;

    - Tinggi dan diameter tingkat pancang sampai dengan pohon untuk masing

    jenis-jenis pohon;

    - Perbandingan antara jumlah pohon, tiang, pancang dan semai untuk

    luasan tertentu.

    C. Pengumpulan materi genetik

    Kegiatan pengumpulan materi genetik, baik untuk analisis keragaman

    genetik maupun untuk kegiatan penanaman menjadi sangat penting untuk

    keberhasilan dari keseluruhan kegiatan. Materi genetik yang cukup untuk

    masing-masing populasi dan tersebar di kawasan TNGM akan memberikan

    informasi yang lengkap untuk keragaman genetik dan dapat mewakili sebaran

    genetik dari kawasan TNGM. Di dalam kegiatan pengumpulan materi genetik

    ini, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

    1. Pemilihan pohon induk

    Pohon induk yang dipilih sebagai indukan untuk pengumpulan materi

    genetik adalah yang secara fenotipik lebih baik daripada pohon lainnya.

    Selain faktor fenotipik, sebaran dari pohon induk juga harus diperhatikan

    untuk mengurangi hubungan kekerabatan yang dekat antar pohon induk

    dan dapat mewakili keberadaan pohon-pohon di dalam suatu populasi.

  • Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

    9

    2. Pengumpulan biji

    Biji yang dikumpulkan sebisa mungkin dipisahkan per pohon induk, dengan

    tujuan agar keterwakilan masing-masing pohon induk nantinya akan lebih

    proporsional di dalam pembangunan plot penanaman maupun pengayaan.

    Biji yang telah masak diunduh dari atas pohon dan dimasukkan dalam

    kantong plastik yang berbeda dengan pohon induk lainnya. Apabila biji

    yang dikumpulkan berada di bawah pohon, perlu dipastikan bahwa biji

    tersebut berasal dari pohon yang telah diketahui atau tidak bercampur

    dengan pohon lainnya.

    3. Pelabelan

    Apabila biji telah terkumpul, maka masing-masing diberi label dengan

    penomoran yang mudah dimengerti oleh semua pihak dan bisa

    membedakan dengan biji dari pohon lainnya, baik yang berasal dari

    populasi yang sama atau populasi yang berbeda.

    D. Analisis keragaman genetik menggunakan penanda DNA

    Kegiatan analisis keragaman genetik menggunakan penanda DNA

    merupakan kegiatan penting karena informasi yang diperoleh akan digunakan

    untuk mengetahui sebaran genetik dari jenis-jenis yang terdapat di TNGM,

    untuk menentukan sumber benih dan untuk menyusun strategi penanaman

    dalam rangka restorasi ekosistem. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam

    kegiatan ini adalah sebagai berikut:

    1. Pemilihan sampel untuk analisis

    Sampel yang digunakan untuk kegiatan analisis keragaman genetik dapat

    berupa daun atau kambium dari sampel pohon yang mewakili populasi.

    Sampel ini bisa berasal dari pohon-pohon induk yang telah dipilih, tetapi

    bisa juga berasal dari pohon-pohon lain yang bukan pohon induk karena

    tujuannya adalah ingin mengetahui keragaman genetik dari suatu

    populasi. Yang terpenting di dalam kegiatan ini adalah sampel yang

    digunakan harus bisa mewakili sebaran dari keseluruhan pohon yang

    terdapat di dalam suatu populasi.

    2. Analisis keragaman genetik menggunakan penanda DNA

    Penanda yang digunakan di dalam analisis keragaman genetik adalah

    Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Pemilihan penanda DNA ini

    didasarkan pada beberapa hal, yaitu biaya, peralatan yang dibutuhkan,

    dan ketersediaan informasi mengenai penanda DNA yang akan digunakan.

    Walaupun memiliki kekurangan, penanda RAPD lebih mudah dan murah

    dibandingkan dengan penanda DNA lainnya serta tidak membutuhkan

  • 10

    primer khusus. Selain itu, penanda RAPD merupakan penanda yang cukup

    banyak digunakan untuk analisis keragaman genetik karena tingkat

    polimorfismenya yang cukup tinggi.

    3. Pengelompokan populasi berdasarkan jarak genetik antar populasi

    Hasil analisis menggunakan penanda DNA yang diharapkan adalah

    keragaman genetik masing-masing jenis di wilayah TNGM dan jarak

    genetik antar populasi. Berdasarkan informasi yang dihasilkan tersebut,

    akan dilakukan pengelompokan populasi di wilayah TNGM.

    Pengelompokan ini akan bermanfaat di dalam menentukan sumber benih

    maupun asal-usul bibit yang akan ditanam pada suatu lokasi.

    E. Perbanyakan secara vegetatif dan generatif

    Kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik ini sangat berkaitan

    dengan ketersediaan bibit dan asal-usul bibit yang akan digunakan di dalam

    kegiatan penanaman. Untuk itu, harus dipastikan bahwa bibit yang ditanam

    di suatu lokasi di TNGM haruslah berasal dari populasi yang disepakati dengan

    jumlah yang cukup. Untuk mencukupi kebutuhan bibit dalam kegiatan

    penanaman, berbagai upaya perbanyakan perlu dilakukan, baik perbanyakan

    secara generatif maupun vegetatif.

    Seperti disampaikan di atas, untuk tetap menjaga asal-usul biji maka

    mulai dari pengumpulan di lapangan perlu dilakukan pelabelan yang jelas

    dengan memisahkan biji yang berasal dari pohon yang berbeda. Pemisahan

    bibit juga perlu dilakukan di persemaian agar tidak tercampur antara bibit

    yang berasal dari pohon dan populasi yang berbeda (Gambar 2). Untuk

    perbanyakan secara vegetatif, tidak jauh berbeda dengan biji. Sejak dari

    pengambilan materi vegetatif di lapangan, harus dipisahkan antara pohon

    yang berbeda dan diberi label yang jelas. Perbanyakan vegetatif di

    persemaian (melalui stek) perlu dipisahkan antara hasil stek dari pohon dan

    populasi yang berbeda.

  • Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

    11

    Gambar 2. Pembibitan tesek berdasarkan masing-masing pohon induk

    F. Pengayaan menggunakan jenis-jenis asli TNGM

    Erupsi di kawasan TNGM menyebabkan beberapa lokasi mempunyai

    tutupan lahan yang sedikit dan atau jumlah jenis maupun individu yang

    sedikit. Oleh karena itu, kegiatan pengayaan perlu dilakukan di lokasi tersebut

    dengan penanaman jenis-jenis yang sebelumnya ada di situ atau jenis yang

    masih ada tetapi jumlah individunya sedikit. Mengingat tujuan dari kegiatan

    ini tidak sekedar menambah jumlah pohon yang ada tetapi juga

    memperhatikan asal-usul dari bibit yang ditanam, maka kegiatan pengayaan

    ini harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

    1. Jenis yang ditanam untuk kegiatan pengayaan sama dengan yang ada di

    lokasi tersebut.

    2. Jenis yang ditanam diutamakan dari 6 jenis yang diprioritaskan (seperti

    disebut sebelumnya), selanjutnya bisa dipilih jenis-jenis lainnya.

    3. Asal-usul bibit yang ditanam haruslah berasal dari lokasi yang sama atau

    lokasi yang sangat berdekatan, atau dari populasi yang secara genetik

    mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan lokasi

    tersebut berdasarkan hasil dari analisis menggunakan penanda DNA.

    4. Bibit yang digunakan semaksimal mungkin berasal dari jumlah individu

    pohon yang cukup untuk menghindari keragaman genetik bibit yang

    rendah. Posisi penanaman dari juga diperhatikan agar bibit yang berasal

    dari pohon induk yang sama tidak saling berdekatan untuk mengurangi

    perkawinan kerabat di masa mendatang.

  • 12

    G. Pembuatan Desain dan Pembangunan Demplot Restorasi

    Kegiatan lain selain pengayaan yang perlu dilakukan adalah membangun

    demplot restorasi. Berbeda dengan kegiatan pengayaan, pembangunan

    demplot ini bertujuan untuk mengumpulkan materi genetik dari 6 jenis

    prioritas yang disebutkan di atas dan ditanam di lokasi yang tidak ada

    tanaman dari keenam jenis tersebut. Dengan demikian, demplot ini akan

    berfungsi juga sebagai konservasi eks-situ dari keenam jenis yang ditanam di

    luar populasinya, walaupun lokasi penanaman masih di dalam kawasan TNGM.

    Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan demplot ini adalah

    sebagai berikut:

    1. Materi genetik dari keenam jenis prioritas tersebut dikoleksi dari sebanyak

    mungkin populasi yang berada di kawasan TNGM. Materi genetik bisa

    berupa biji yang disemaikan atau berupa cabutan. Bibit dari masing-

    masing populasi harus dipisahkan.

    2. Bibit yang berasal dari pohon-pohon pada populasi yang sama, selanjutnya

    dicampur dengan jumlah antar pohon yang seimbang mungkin

    (tergantung dari ketersediaan bibit dari masing-masing pohon).

    3. Luas dan desain penanaman demplot disusun berdasarkan ketersediaan

    bibit dan jumlah populasinya. Bibit dari populasi yang berbeda ditanam

    pada blok yang berbeda agar tidak tercampur.

    4. Pemeliharaan, pengamatan dan evaluasi secara rutin dilakukan agar bibit

    yang ditanam bisa tumbuh dengan baik. Apabila bibit tersedia, dapat

    dilakukan penyulaman untuk tanaman yang mati. Bibit yang digunakan

    untuk menyulam haruslah berasal dari populasi yang sama.

    H. Pelibatan Masyarakat

    Kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik ini perlu melibatkan

    masyarakat, khususnya masyarakat sekitar kawasan TNGM, untuk berbagai

    kegiatan yang dilakukan. Masyarakat sekitar kawasan TNGM sudah terbiasa

    keluar masuk kawasan TNGM untuk mencari rumput atau untuk keperluan

    lainnya, sehingga mereka sedikit banyak mengetahui kondisi tanaman yang

    berada di dalam kawasan. Dengan melibatkan masyarakat, selain

    mempermudah pelaksanaan kegiatan, juga dapat menambah pendapatan

    dengan ikut dilibatkan. Supartono dan Yudayana (2019) menekankan

    pentingnya partisipasi masyarakat di berbagai kegiatan di taman nasional,

    terlebih di dalam menentukan jenis lokal potensial. Sadono (2013)

    menyarankan untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan pelestarian

    taman nasional, khususnya untuk menjaga fungsi ekologis. Hampir semua

  • Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

    13

    kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik yang sudah disebutkan di atas

    dapat melibatkan masyarakat, yaitu:

    - Survei pohon induk.

    - Pengambilan materi genetik, baik biji, cabutan maupun bahan stek.

    - Membibitkan biji yang dikoleksi dan atau memelihara hasil cabutan.

    - Penanaman, baik untuk kegiatan pengayaan maupun pembangunan

    demplot, dan pemeliharaan.

    IV. PENUTUP

    Restorasi ekosistem berbasis genetik secara garis besar tidak berbeda

    jauh dengan kegiatan restorasi ekosistem yang selama ini sudah dilakukan.

    Yang membedakan terutama adalah jenis dan asal usul bibit yang digunakan

    dalam kegiatan restorasi. Jenis yang digunakan haruslah jenis yang tumbuh

    secara alami di kawasan TNGM, dan bibit yang digunakan juga harus berasal

    dari populasi yag berada di kawasan TNGM. Analisis keragaman genetik

    menggunakan penanda DNA sangat diperlukan untuk mengetahui keragaman

    genetik dari masing-masing populasi dan hubungan kekerabatan antar

    populasi. Untuk populasi yang mempunyai hubungan kekerabatan yang

    sangat dekat, bibitnya dapat digunakan untuk keduanya. Untuk itu, kegiatan

    pembuatan bibit mulai dari pengumpulan di lapangan sampai di persemaian

    harus diberi label dan dipisahkan antar populasi. Dengan adanya kegiatan

    restorasi berbasis genetik ini, kemurnian jenis maupun genetik dari tanaman

    yang berada di kawasan TNGM dapat terjaga dengan baik sesuai dengan

    ketentuan yang tercantum dalam PP No 7 tahun 1999. Kegiatan restorasi

    berbasis genetik ini juga harus memperhatikan populasi referensi, yang

    merupakan contoh populasi di TNGM yang tidak atau sedikit

    sekaliterpengaruh dengan erupsi merapi atau gangguan manusia. Diharapkan

    kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan bisa menyerupai populasi

    referensi tersebut. Komitmen dan partisipasi dari berbagai pihak diperlukan

    agar kegiatan ini bisa terlaksana dengan baik. Keterlibatan masyarakat,

    khususnya masyarakat di sekitar kawasan TNGM, sangat diperlukan untuk

    menjamin keberhasilan kegiatan ini dan keberlangsungannya di masa

    mendatang. Dengan kegiatan ini, ke depan diharapkan masyarakat dapat

    merasakan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung.

  • 14

    V. DAFTAR PUSTAKA

    Baramantya, B., Indrioko, S., Faida,L. R. W. & Hadiyan, Y. (2016). Keragaman

    genetik dan permudaan alam puspa (Schima Wallichii (Dc.) Korth.) di

    Taman Nasional Gunung Merapi pasca erupsi tahun 2010. Jurnal

    PemuliaanTanaman Hutan, 10(2), 111-121.

    Bateson, Z. W., Dunna, P. O., Hull, S. D., Henschen, A. E. Johnson, J. A. &

    Whittinghama, L. A. (2014). Genetic restoration of a threatened

    population of greater prairie-chickens. Biological Conservation, 174, 12-

    19. https://doi.org/10.1016/j.biocon. 2014.03.008. Diakses tanggal 12

    Februari 2019.

    Dove, M. R. (2008). Perception of volcanic eruption as agent of change on

    Merapi volcano, Central Java. Journal of Volcanology and Geothermal

    Research, 172(3), 329-337.

    Franklin, J. F. & Johnson, K. N. (2012). A restoration framework for Federal

    Forests in the Pacific Northwest. J. For., 110(8), 429–439.

    http://dx.doi.org/10.5849/jof.10-006. Diakses tanggal 12 Februari 2019

    Gunawan, H. & Subiandono, E. (2014). Disain ruang restorasi ekosistem

    terdegradasi di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Indonesian

    Forest Rehabilitation Journal, (1), 67-78.

    Gunawan, H., Mas'ud, A. F., Subiandono, E., Krisnawati, H. & Heriyanto, N. M.

    (2012). Manajemen Habitat dan Populasi Satwaliar Langka Pasca

    Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan

    Insentif Riset Terapan. Dalam Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca

    Erupsi. Editor Partomiharjo, T, (2014). Pusat Penelitian dan Konservasi

    Rehabilitasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.

    Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia Volume II. Yayasan Sarana

    Wana Jaya: Diedarkan oleh Koperasi Karyawan, Badan Litbang

    Kehutanan, Jakarta.

    Hostetler, J. A., Onorato, D. P., Jansen, D., & Oli, M. K. (2013). A cat’s tale:

    the impact of genetic restoration on Florida panther population dynamics

    and persistence. Journal of Animal Ecology, 82, 608-620.

    Johnson, W. E., Onorato, D. P., Roelke, M. E., Land, E. D., Cunningham, M.,

    Belden, R. C., McBride, R., Jansen, D., Lotz, M., Shindle, D., Howard, J.,

    Wildt, D. E., Penfold, L. M., Hostetler, J. A., Oli, M. K., & O’Brien, S. J.

    (2010). Genetic restoration of the florida panther. Science, 329, 1641-

    1645. DOI: 10.1126/science.1192891. Diakses tanggal 12 Februari 2019

    https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0006320714001165#!https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0006320714001165#!https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0006320714001165#!https://www.sciencedirect.com/science/journal/00063207https://doi.org/10.1016/j.biocon.%202014.03.008http://dx.doi.org/10.5849/jof.10-006

  • Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

    15

    Marhaento, H. & Faida, L. R. W. (2015). Analisis risiko kepunahan

    keanekaragaman hayati di Taman Nasional Gunung Merapi. Jurnal Ilmu

    Kehutanan, 9(2), 75-84.

    Pujiasmanto, B. (2011). Strategi pemulihan lahan pasca erupsi gunung api

    (segi agroekosistem, domestikasi tumbuhan herba untuk obat; dan

    action research). Journal of Rural and Development, 2(2), 85-96.

    Reusch, T. B. H. & Hughes, A. R. (2006). The emerging role of genetic

    diversity for ecosystem functioning: Estuarine macrophytes as models.

    Estuaries and Coasts, 29(1), 159-164.

    Reynolds, L. K., McGlathery, K. J., & Waycot, M. (2012). Genetic diversity

    enhances restoration success by augmenting ecosystem services. PLoS

    ONE, 7(6),e38397. doi:10.1371/journal.pone.0038397. Diakses tanggal

    10 Februari 2019

    Ruiz-Jaen, M. C. & Mitchell, A. T. (2005). Restoration success: How is it being

    measured?. Restoration Ecology, 13(3), 569-577.

    Sadono, Y. (2013). Peran serta masyarakat dalam pengelolaan Taman

    Nasional Gunung Merbabu di Desa Jeruk Kecamatan Selo, Kabupaten

    Boyolali. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, 9(1), 53‐64.

    SER Primer. The SER International Primer on Ecological Restoration. (2004).

    Society for ecological Restoration International Science & Policy Working

    Group (Version 2, October, 2004) (1),

    http://www.ser.org/content/ecological_restoration_primer.asp. Diakses

    tanggal 6 Februari 2019.

    Soewandita, H. & Sudiana, N. (2014). Analisis penggunaan dan kesesuaian

    lahan berdasarkan potensi bahaya letusan Gunung Merapi. Jurnal Sains

    dan Teknologi Indonesia, 16(3), 8-19.

    Steenis, V. (2006). Flora Pegunungan Jawa. Cetakan Kelima. Jakarta: PT.

    Pradya Paramita. Dalam Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca

    Erupsi. Editor Partomiharjo, T, (2014). Pusat Penelitian dan Konservasi

    Rehabilitasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.

    Supartono, T. & Yudayana, B. (2019). Partisipasi masyarakat dalam

    peningkatan pertumbuhan permudaan alami di Bumi Perkemahan Pasir

    Batang Taman Nasional Gunung Ciremai Desa Karangsari, Kecamatan

    Darma, Kuningan, Jawa Barat. Jurnal Pengabdian Masyarakat, 02(01),

    38-45.

    Thomas, E., Jalonen, R., Loo, J., Boshier, D., Gallo, L., Cavers, S., Bordács,

    S., Smith, P. & Bozzano, M. (2014). Genetic considerations in ecosystem

    http://www.ser.org/content/ecological_restoration_primer.asphttps://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!

  • 16

    restoration using native tree species. Forest Ecology and Management,

    333, 66-75.

    Thongkumkoon, P., Chomdej, S., Kampuansai, J., Pradit, W., Waikham, P.,

    Elliott, S., Chairuangsri, S., Shannon, D. P., Wangpakapattanawong, P.,

    & Liu, A. 2019. Genetic assessment of three Fagaceae species in forest

    restoration trials. PeerJ 7:e6958 https://doi.org/10.7717/peerj.6958.

    Diakses tanggal 8 Februari 2019.

    https://www.sciencedirect.com/science/journal/03781127https://doi.org/10.7717/peerj.6958

  • Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.

    17

    Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) Jenis Kayu Lokal Potensial

    di Sulawesi Utara1

    The Important Conservation Genetic Resources of Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) as Potential Trees Species

    in North Sulawesi

    Julianus Kinho2, Jafred Halawane2, Arif Irawan2, Hanif Nurul

    Hidayah2 dan Reny Sawitri3

    ABSTRACT

    Conservation of genetic resources are protection and maintenance of genetic

    variation of a species in order to preserve the potential of genetic resources for

    conservation and breeding purposes in the future. Forest plant genetic resource

    conservation programs in North Sulawesi, especially for potential local wood

    species and have good economic prospects, should be prioritized and urgent to

    work on in context of protection on genetic resources of forest plants. Nantu

    (Palaquium obtusifolium) are one of local potential species in North Sulawesi who

    have economic prospects. This species have wide distribution from coastal forests

    to mountain forests in North Sulawesi. Todays nature stands of Nantu in North

    Sulawesi are mostly in protected forest and conservation forest, while its demand

    were continues to increase every year that is the reason why this species needs

    attention in genetic resource conservation programs for conservation purpose and

    tree improvement in the future.

    Keywords: Conservation, nantu, tree improvement, genetic resources

    1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

    Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.

    2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kima Atas Mapanget, Manado 95259, Indonesia; e-mail: [email protected]

    3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan; Jl. Gunung Batu No. 5, Po.Box. 165, Bogor 16610; Telp. (0251)-8633234, 520067, Fax. (0251) 8638111; e-mail: [email protected]

  • 18

    I. PENDAHULUAN

    Konservasi sumberdaya genetik merupakan perlindungan dan

    pemeliharaan variasi genetik dari suatu species dalam rangka menjaga

    potensi sumberdaya genetik untuk tujuan konservasi dan pemuliaan dimasa

    depan. Program konservasi dapat dilakukan bagi sebagian kecil jenis-jenis

    yang ada di hutan tropis yang memiliki kekayaan jenis yang sangat tinggi

    (Finkeldey, 2005). Strategi konservasi sumberdaya genetik terdiri dari

    konservasi in situ dan ex situ, dimana keduanya saling melengkapi satu sama

    lainnya. Konservasi ex situ merupakan back up dari kegiatan konservasi in

    situ, terutama jika materi genetik atau jenis target di populasi alaminya sangat

    terbatas atau terancam punah. Materi genetik yang berasal dari areal

    konservasi in situ dapat berfungsi sebagai materi untuk pembangunan

    konservasi ex situ dan sekaligus berfungsi sebagai materi untuk tujuan

    pemuliaan.

    Konservasi ex situ sangat penting bagi program pemuliaan, karena

    konservasi tersebut dirancang untuk mampu mendukung program breeding

    dan bioteknologi di masa yang akan datang. Menurut Neel et al., (2001),

    sasaran dari program konservasi sumberdaya genetik adalah untuk

    mempertahankan diversitas genetik dan meminimalkan proses yang dapat

    mengurangi diversitas tersebut. Kehilangan diversitas genetik dapat

    menyebabkan berkurangnya kemampuan suatu spesies untuk tetap bertahan

    hidup dengan baik pada kondisi lingkungan yang dinamis dan cenderung

    berubah.

    Kayu nantu atau nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck.) dikenal sebagai

    kayu yang memiliki penampilan dekoratif dan tegolong mudah dikerjakan

    dengan harga yang cukup murah. Nantu merupakan salah satu jenis asli

    (native species) di Sulawesi Utara yang memiliki banyak manfaat seperti

    bahan bangunan, bahan baku industri bahan baku peralatan rumah tangga.

    Berbagai manfaat dan keunggulan kayu nantu menyebabkan terjadinya

    ketidakseimbangan antara produksi dan permintaan kayu, karena sebagian

    besar pemenuhan kebutuhan kayu masih bersumber dari hutan alam

    sehingga berdampak pada ketersediaan kayu nantu yang makin sulit dijumpai

    di habitat alaminya.

    Saat ini hutan tanaman rakyat untuk jenis kayu nantu di Sulawesi Utara

    telah dan sedang dikembangkan oleh masyarakat dalam skala kecil maupun

    skala menengah. Menurut Irawan et al. (2019) pengembangan jenis cempaka

    wasian (Magnolia tsiampaca), nantu (P. obtusifolium) dan mahoni (Swietenia

    macrophylla) sudah lama dilakukan oleh masyarakat di Sulawesi Utara karena

  • Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.

    19

    memiliki prospek yang sangat baik. Hal ini tidak lepas dari kesadaran

    masyarakat bahwa potensi nantu dari alam semakin terbatas sementara

    permintaan pasar terhadap jenis kayu ini masih cukup tinggi, sehingga jenis

    ini masih sangat prospektif untuk dikembangkan. Untuk mendukung

    pembangunan hutan tanaman rakyat nantu yang produktif dan berkelanjutan

    perlu dibarengi dengan upaya konservasi sumberdaya genetik baik in situ

    maupun ex situ. Tujuan penulisan makalah ini untuk memberikan gambaran

    pentingnya konservasi sumberdaya genetik nantu (P. obtusifolium) sebagai

    jenis kayu lokal potensial di Sulawesi Utara.

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. Deskripsi Kayu Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.)

    1. Taksonomi

    Kingdom : Plantae

    Divisio : Spermatophyta

    Sub Divisio : Magnoliophyta

    Class : Magnoliopsida

    Ordo : Ericales

    Famili : Sapotaceae

    Genus : Palaquium

    Spesies : Palaquium obtusifolium Burck.

    Kayu nantu (P. obtusifolium) merupakan salah satu dari anggota famili

    Sapotaceae. Famili ini terdiri dari lima suku, 54 genera dan 1.250 spesies yang

    tersebar di daerah sub tropis dan tropis (Pennington, 1991; Govaerts et al.,

    2001). Distribusi famili Sapotaceae di region Malesia diperikarakan sebanyak

    15 genera, 300 species dan di Indonesia sebanyak 158 species (Hutabarat

    dan Wilkie, 2018).

  • 20

    Ket : (A). Pohon nantu, (B) Daun dan buah, (C) Permukaan kayu nantu

    Gambar 1. Nantu (P. obtusifolium)

    B. Sebaran dan Sifat Kayu

    Nantu atau nyatoh merupakan jenis kayu yang penyebaran alaminya

    meliputi seluruh Indonesia. Jenis ini tumbuh pada tanah berawa dan tanah

    kering pada ketinggian 20-500 mdpl (Martawijaya et al., 2005), namun

    kadang masih dijumpai pada daerah ketinggian sampai 1.700 mdpl

    (Ratnaningrum dan Wibisono, 2002; Wilkie, 2011; Pitopang dan Ihsan, 2014).

    Jenis ini dilaporkan berasosiasi kuat dengan mentibus (Dactylocladus

    stenostachys), ubah (Eugenia sp.), tekam (Hopea dasyphyla), jelutung (Dyera

    costulata), kayu malam (Diospyros macrophylla), melaban (Aporrosa

    sphaeridophera) dan rengas (Gluta renghas) (Florensius et al., 2018). Tinggi

    pohon bisa mencapai 30-35 m. Tinggi bebas cabang 15-30 m. Diameter

    batang 50-100 cm. Bentuk batang lurus dan silindris, kadang-kadang memiliki

    banir 1-2 m. Permukaan kulit luar berwarna coklat atau kelabu coklat. Berat

    jenis 0,56. Kelas kuat III – V, kelas awet IV - V (Martawijaya et al., 2005;

  • Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.

    21

    Muslich dan Sumarni, 2005). Ciri anatomi kayu meliputi lingkar tumbuh

    memiliki batas samar-samar, pembuluh baur, jari-jari heteroselular, serat

    dengan noktah sederhana dan dinding agak tipis, inklusi mineral kristal

    prismatik ada, berderet vertikal dalam utas parenkim bersekat (Mandang dan

    Suhaendra, 2003).

    (Sumber : Mandang dan Suhaendra, 2003) Ket : A. Penampang lintang skala 200 mikron B. Penampang radial skala 200 mikron

    C. Penampang tangensial skala 200 mikron

    Gambar 2. Ciri anatomi kayu nantu (P. obtusifolium)

    C. Kegunaan

    Nantu (P. obtusifolium) dilaporkan termasuk salah satu dari 10 jenis

    dominan pada tingkat pancang dan tiang di bekas Hak Pengusahaan Hutan

    (HPH) Wanasaklar Nunuka, Bolaang Mongondow Utara (Wahyuni dan Kafiar,

    2017), sedangkan pada tingkat pohon tidak ditemukan hal ini

    mengindikasikan bahwa jenis ini termasuk salah satu jenis yang banyak

    dipanen pada saat HPH tersebut masih karena memiliki berbagai manfaat dan

    kegunaan. Kayu nantu umumnya baik digunakan beroperasi untuk

    perkapalan, bahan konstruksi rumah seperti papan perumahan, balok, tiang,

    rusuk, papan lantai, dinding pemisah, bahan baku mebelir dan alat musik.

    Banir kayu nantu dapat digunakan sebagai dayung, gagang cangkul dan roda

  • 22

    gerobak sapi. Kayu nantu/nyatoh (Sapotaceae) banyak dimanfaatkan untuk

    bahan perkapalan, bahan konstruksi rumah, bahan meubel dan furniture

    (Samingan, 1982; Hutabarat dan Wilkie, 2018).

    III. PEMBAHASAN

    A. Urgensi Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu

    (P. obtusifolium) di Sulawesi Utara

    Keragaman genetik sangat diperlukan bagi suatu spesies untuk

    mempertahankan eksistensinya, baik untuk mempertahankan kemampuan

    hidup dan reproduksinya dalam jangka pendek maupun untuk menjaga

    potensi evolusi adaptif dalam jangka panjang. Suatu spesies yang memiliki

    keragaman genetik yang rendah cenderung memiliki kemampuan reproduksi

    yang rendah dan diikuti oleh potensi adaptif dan evolusi yang rendah sehingga

    lebih rentan terhadap kepunahan (Indrioko, 2012).

    Keragaman genetik nantu perlu diketahui dengan baik untuk

    menentukan langkah-langkah pengelolaannya kedepan. Upaya konservasi

    sumberdaya genetik nantu sebagai jenis kayu unggulan lokal di Sulawesi

    Utara telah dilakukan sejak tahun 2002 seluas 100 ha di areal HPH PT.

    INHUTANI I Camp Pangi, KM. 17 Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara

    (Ratnaningrum dan Wibisono, 2002), namun kelanjutan dari program tersebut

    tidak dilaporkan. Upaya konservasi sumberdaya genetik nantu oleh Balai

    Penelitian Kehutanan Manado pada tahun 2011 dengan mengoleksi materi

    genetik nantu sebanyak 45 famili dari 6 provenans (Irawan et al., 2011).

    Materi genetik tersebut selanjutnya dimapankan atau ditanam dalam bentuk

    pertanaman uji keturunan (progeny test) di Hutan Penelitian Batuangus,

    Bitung pada tahun 2012. Pada tanggal 30 September 2014 terjadi kebakaran

    di Hutan Penelitian Batuangus dan menghabiskan materi genetik tanaman uji

    keturunan nantu (Halawane et al., 2014). Pada tahun 2017 dilakukan

    eksplorasi untuk mengumpulkan materi genetik nantu dari beberapa lokasi di

    Sulawesi Utara. Sebanyak 79 famili berhasil dikumpulkan dari eksplorasi ini

    yang berasal dari enam Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara yang meliputi Kota

    Bitung, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa, Kabupaten

    Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara dan Kabupaten Bolaang

    Mongondow Timur (Kinho et al., 2017).

    Sulawesi Utara merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan

    hutan tanaman rakyat. Hutan tanaman rakyat sebagai salah satu penyedia

    bahan baku kayu bagi industri kehutanan di Sulawesi Utara perlu dikelola

    dengan baik agar dapat menghasilkan tegakan-tegakan yang berkualitas

  • Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.

    23

    dengan produksi kayu yang lestari. Rachman et al. (2005) menyebutkan

    bahwa pembangunan hutan tanaman rakyat sekarang diharapkan dapat

    berperan penting sebagai pemasok kayu baik untuk kebutuhan industri dalam

    negeri mapun ekspor. Sistem pengelolaan hutan tanaman rakyat di Sulawesi

    Utara selama ini umumnya masih konvensional dengan menggunakan bibit

    yang mudah tersedia dan murah untuk membangun hutan tanaman rakyat,

    sehingga hasil yang diperoleh belum maksimal. Perkembangan pembangunan

    hutan tanaman rakyat di Sulawesi Utara semakin pesat setelah perhatian

    masyarakat berorientasi pada pasar. Adanya jaminan pasar kayu yang

    semakin baik dan kemudahan dari sisi regulasi terkait dengan semakin

    mudahnya pengurusan ijin untuk penjualan kayu rakyat sehingga

    meningkatkan animo masyarakat untuk menanam berbagai jenis kayu

    pertukangan termasuk kayu nantu sebagai salah satu jenis yang paling

    diminati untuk ditanam oleh masyarakat.

    Pengembangan hutan tanaman rakyat untuk jenis nantu di Sulawesi

    Utara perlu didukung dengan penyediaan benih unggul berkualitas yang

    dihasilkan dari program pemuliaan. Saat ini benih unggul nantu yang

    dihasilkan dari program pemuliaan belum tersedia, sehingga kegiatan

    pemuliaan pohon sangat dibutuhkan dan mendesak untuk dikerjakan.

    Konservasi keragaman genetik nantu perlu dilakukan untuk mendukung

    program pemuliaan nantu. Menurut Zobel dan Talbert (1984), pemuliaan

    tanaman hutan memerlukan keragaman genetik yang luas untuk

    mendapatkan kemajuan genetik yang tinggi. Keragaman genetik dapat

    diartikan sebagai variasi gen dan genotype antar dan dalam spesies (Melchias,

    2001). Keragaman genetik dalam spesies memberikan kemampuan untuk

    beradaptasi atau melawan perubahan lingkungan, iklim atau hama dan

    penyakit baru. Kemampuan tanaman untuk beradaptasi dengan perubahan

    lingkungan tempat tumbuh, gangguan hama dan penyakit ditentukan oleh

    potensi keragaman genetik yang dimilikinya, sehingga keragaman genetik

    merupakan modal dasar bagi suatu jenis tanaman untuk tumbuh,

    berkembang dan bertahan hidup dari generasi ke generasi. Semakin tinggi

    keragaman genetiknya semakin besar peluang tanaman untuk beradaptasi

    terhadap lingkungan tempat tumbuhnya.

    Kemajuan program pemuliaan pohon akan sangat ditentukan oleh materi

    genetik yang tersedia. Semakin luas basis genetik yang dilibatkan dalam

    program pemuliaan suatu jenis, semakin besar peluang untuk mendapatkan

    peningkatan perolehan genetik (genetic gain) dari sifat yang diinginkan.

    Keberadaan sumberdaya genetik suatu jenis dengan basis yang luas menjadi

  • 24

    suatu keharusan dan memiliki arti yang sangat penting agar program

    pemuliaan dari generasi ke generasi berikutnya tetap terjamin. Menurut

    Suryawan et al. (2011) bahwa nyatoh atau nantu tergolong jenis dominan di

    Cagar Alam (CA) Tangkoko, Bitung dan Taman Nasional (TN) Bogani Nani

    Wartabone. Jenis ini tersebar cukup merata dari semenanjung utara Pulau

    Sulawesi sampai Daerah Gorontalo. Berdasarkan perhitungan indeks nilai

    penting, kerapatan dan frekuensi kehadiran, nantu di CA. Tangkoko lebih

    dominan dibanding TN. Bogani Nani Wartabone. Populasi nantu pada tingkat

    semai sangat melimpah dibawah tegakan induk (Suryawan et al., 2011). Jenis

    ini dilaporkan sebagai salah satu dari 10 spesies pohon dominan pada

    ketinggian 300 – 400 mdpl di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah (Risma et al.,

    2019). Nantu (P. obtusifolium) biasanya memiliki permudaan yang melimpah

    dibawah tegakan induknya. Pengambilan materi genetik dalam bentuk buah

    atau biji apabila tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, maka dapat

    dilakukan dalam bentuk cabutan.

    Berkaitan dengan uraian di atas maka kegiatan konservasi genetik dan

    pemuliaan pohon khususnya untuk jenis unggulan lokal seperti nantu (P.

    obtusifolium) sangat mendesak untuk dilakukan dalam rangka peningkatan

    kualitas tegakan nantu dari hutan tanaman rakyat di Sulawesi Utara.

    B. Strategi Pembangunan Plot Konservasi Ex Situ Sumberdaya

    Genetik Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) di Sulawesi Utara

    1. Strategi Sampling Dalam Rangka Koleksi Materi Genetik

    a. Jumlah Populasi

    Penentuan jumlah populasi yang akan disampling sebagai materi genetik

    dalam pembangunan konservasi ex situ untuk jenis yang jarang dan terancam

    punah harus mempertimbangkan derajat diferensiasi genetik antar populasi,

    sehingga mewakili keragaman genetik pada tingkat populasi. Spesies dengan

    sebaran yang luas, 3 sampai 5 populasi dianggap cukup mewakili keragaman

    genetik dari spesies target (Centre for Plant Conservation, 1991). Menurut

    Jaramilo dan Baena (2002), populasi dengan potensi aliran gen (gene flow)

    yang rendah perlu dilakukan sampling dengan lebih dari 5 populasi. Sampling

    sebaiknya dilakukan mulai dari populasi yang melimpah atau yang memiliki

    keragaman genetik yang tinggi.

    b. Jumlah Pohon Induk Per Populasi

    Jumlah individu dari pohon induk yang dikoleksi dari setiap populasi

    harus bisa mewakili sebanyak mungkin keragaman genetik yang pada

    kebanyakan spesies berada pada setiap individu (Centre for Plant

  • Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.

    25

    Conservation, 1991). Menurut Jaramillo dan Baena (2002), sebanyak 50

    individu yang harus diambil sebagai sampel untuk satu populasi. Jumlah

    sampel perlu ditingkatkan apabila terdapat variasi ecogeografi atau iklim.

    Brown dan Brown (1991) menyebutkan bahwa untuk menangkap keragaman

    alel secara efisien, 10 individu untuk satu populasi sudah dianggap cukup

    mewakili, sehingga jumlah sampel yang banyak dari satu populasi tidak

    diperlukan. Menurut Centre for Plant Conservation (1991) dengan

    mempertimbangkan karakteristik tumbuh, sejarah populasi dan faktor-faktor

    lain yang mempengaruhi sebaran keragaman, sehingga direkomendasikan

    sebanyak 10 - 50 individu per populasi untuk disampel pada saat koleksi

    materi genetik untuk konservasi ex situ. Dengan mempertimbangkan berbagai

    rujukan diatas dan pertimbangan teknis maka koleksi materi genetik nantu

    (P. obtusifolium) untuk pembangunan plot konservasi ex situ dapat diwakili

    oleh minimal 20 individu pohon induk per populasi.

    c. Jumlah Biji Atau Anakan Alam Per Pohon Induk

    Jumlah biji atau anakan alam per pohon induk yang diambil pada

    prinsipnya harus memperhatikan angka viabilitas dan persistensi populasi dan

    tidak sampai menyebabkan penurunan populasi. Frankhman et al. (2002)

    menyebutkan bahwa jumlah antara 1 - 20 individu per pohon induk sudah

    dianggap cukup.

    Materi genetik yang berasal dari semai cabutan dapat digunakan sebagai

    materi genetik untuk pembangunan plot konservasi ex situ dengan

    pertimbangan bahwa :

    1. Anakan melimpah dibawah tegakan induk, sehingga lebih mudah dalam

    teknis pengambilan materi di lapangan.

    2. Buah nantu yang sudah matang secara fisiologis sangat mudah

    berkecambah di bawah tegakan induk.

    3. Anakan nantu relatif memiliki daya survival yang tinggi.