Crs Drug Eruption Vrk1

23
CLINICAL SCIENCE SESSION DRUG ERUPTION Vanitha Ratha Krishnan 1301-1212-3562 Preseptor : dr.Risa Miliawati N.H., SpKK dr.Risa Miliawati N.H., SpKK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

description

fff

Transcript of Crs Drug Eruption Vrk1

Page 1: Crs Drug Eruption Vrk1

CLINICAL SCIENCE SESSION

DRUG ERUPTION

Vanitha Ratha Krishnan 1301-1212-3562

Preseptor : dr.Risa Miliawati N.H., SpKKdr.Risa Miliawati N.H., SpKK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2014

Page 2: Crs Drug Eruption Vrk1

I. Definisi

Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption adalah reaksi alergik pada

kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang

biasanya sistemik.

Obat masuk ke dalam tubuh secara sistemik, berarti masuknya obat

melalui mulut, hidung, rektum, vagina, dan secara suntikan atau infus. Juga dapat

sebagai obat mata, obat kumur, tapal gigi, dan obat topikal.

Yang dimaksud dengan obat, ialah zat yang dipakai untuk menegakkan

diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Termasuk dalam pengertian obat ialah

jamu. Pemberian obat secara topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik,

akibat penyerapan obat oleh kulit.

II. Epidemiologi

Komplikasi dari terapi obat merupakan penyebab utama dari morbiditas

pasien dan menyebabkan jumlah kematian yang signifikan. Kurang lebih 14

persen dari kejadian Adverse Cutaneous Drug Reactions (ACDR) yang terjadi

memiliki mekanisme alergi sebagai penyebabnya.

Erupsi obat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari erupsi yang

umum terjadi hingga suatu keadaan yang mengancam jiwa. Erupsi obat dapat

terjadi terbatas secara lokal pada kulit, atau menjadi bagian dari reaksi sistemik,

seperti contohnya drug hypersensitivity syndrome atau TEN

Erupsi obat merupakan suatu penyakit yang memiliki ciri khas tertentu,

dan harus ditangani sebagaimana penyakit kulit lainnya. Diagnosis yang akurat

dari pola reaksi yang terjadi dapat mempersempit penyebab-penyebab yang

mungkin terjadi. Umumnya obat-obat yang berbeda memiliki tipe reaksi yang

berbeda pula.

III. Etiologi, Patogenesis dan Patofisiologi

Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik

atau nonimunologik.

Page 3: Crs Drug Eruption Vrk1

Classification

Immunologically Mediated ACDR

See Table 20-1. It should be noted, however, that classification of

immunologically mediated ACDR according to the Gell and Coombs

classification is an oversimplification because in most reactions both cellular and

humoral immune reactions are involved.

Table 20-1 Immunologically Mediated Adverse Cutaneous Drug Reactions*

Type of

Reaction

Pathogenesis Examples of

Causative Drug

Clinical Patterns

Type I IgE-mediated;

immediate-type

immunologic

reactions

Penicillin Urticaria/angioedema of

skin/mucosa, edema of other

organs, and anaphylactic

shock

Type II Drug + cytotoxic

antibodies cause

lysis of cells such as

platelets or

leukocytes

Penicillin,

sulfonamides,

quinidine, isoniazid

Petechiae due to

thrombocytopenic purpura,

drug-induced pemphigus

Type III IgG or IgM

antibodies formed to

drug; immune

complexes deposited

in small vessels

activate complement

Immunoglobulins,

antibiotics

Vasculitis, urticaria, serum

sickness

Page 4: Crs Drug Eruption Vrk1

Type of

Reaction

Pathogenesis Examples of

Causative Drug

Clinical Patterns

and recruitment of

granulocytes

Type IV Cell-mediated

immune reaction;

sensitized

lymphocytes react

with drug,

liberating cytokines,

which trigger

cutaneous

inflammatory

response

Sulfamethoxazole,

anticonvulsants,

allopurinol

Morbilliform exanthematous

reactions, fixed drug

eruption, lichenoid

eruptions, Stevens-Johnson

syndrome, toxic epidermal

necrolysis

* After the Gell and Coombs classification of immune reactions.

Nonimmunologic Drug Eruptions

1. Idiosyncrasy Reactions due to hereditary enzyme deficiencies.

2. Cumulation Reactions are dose dependent, based on the total amount of

drug ingested: pigmentation due to gold, amiodarone, or minocycline.

3. Reactions due to combination of a drug with ultraviolet irradiation

(photosensitivity) Reactions may have a toxic or immunologic (allergic)

pathogenesis (see Section 10).

4. Irritancy/toxicity of a topically applied drug 5-Fluorouracil, imiquimod.

5. Individual idiosyncrasy to a topical or systemic drug. Mechanisms not

yet known.

Page 5: Crs Drug Eruption Vrk1

Yang dimaksud dengan erupsi obat alergik ialah alergi terhadap obat yang

terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat

kepada pasien yang sudah mempunyai hipersensitivitas terhadap obat tersebut.

Disebabkan oleh berat molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada

mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat atau metabolitnya,

yang berupa hapten, harus berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya

jaringan, serum, atau protein dari membran sel, untuk membentuk kompleks

antigen, yaitu kompleks hapten-protein. Obat-obat dengan berat molekul tinggi

dapat berfungsi langsung sebagai antigen yang lengkap.

Page 6: Crs Drug Eruption Vrk1

Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan oleh

Coombs dan Gell. Suatu reaksi alergik terhadap obat atau erupsi obat alergik

dapat mengikuti salah satu dari keempat jalur ini:

1. Tipe I (Reaksi Anafilaktik)

Reaksi ini penting dan umum dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap

obat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan. Tetapi pajanan selanjutnya dapat

menimbulkan reaksi. Yang berperan adalah IgE yang mempunyai afinitas yang

tinggi terhadap mastosit dan basofil.

Pada pemberian obat yang sama, maka antigen akan menimbulkan

perubahan berupa dibebaskannya berbagai macam mediator, antara lain histamin,

serotonin, bradikinin, heparin, SRSA, dan lain-lain. Mediator-mediator ini

mengakibatkan bermacam-macam efek, antara lain:

- Urtikaria

- Edema angioneurotik

- Syok anafilaktik

2. Tipe II (Reaksi Sitotoksik)

Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan

penggabungan antara IgG dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Jika

sistem komplemen teraktivasi akan dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan

lisis.

3. Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)

Antibodi mengadakan reaksi dengan antigen membentuk kompleks

antigen antibodi yang kemudian mengendap pada salah satu tempat dalam

jaringan tubuh dan mengakibatkan reaksi radang. Dengan adanya aktivasi sistem

komplemen terjadi pelepasan anafilatoksin yang merangsang pelepasan berbagai

mediator oleh mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen, akan terjadi

kerusakan jaringan.

4. Tipe IV (Reaksi Alergik Selular Tipe Lambat)

Page 7: Crs Drug Eruption Vrk1

Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitisasi mengadakan

reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat, karena baru timbul

12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.

Terdapat 2 macam bentuk reaksi:

1. Reaksi tipe tuberkulin

Terjadi akibat limfosit yang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan

antigen yang biasanya berlokasi di sekitar pembuluh darah dalam dermis. Melalui

ikatan khusus antigen di permukaan limfosit, terjadi reaksi dengan akibat

pelepasan bermacam-macam limfokin. Hal ini mengakibatkan reaksi radang

dengan vasodilatasi, permeabilitas vaskular meninggi, dan edema, yang secara

klinis dapat terlihat sebagai ruam-ruam morbiliformis, skarlatiniformis, eritema

nodosum, atau eksantema fikstum.

2. Reaksi tipe kontak

Reaksi ini terutama melibatkan bagian epidermis kulit. Antigen yang

masuk melalui stratum korneum akan bertemu dengan limfosit yang telah

tersensitisasi sebelumnya dengan akibat dibebaskannya limfokin dan timbul reaksi

berupa dermatitis yang secara klinis terlihat sebagai dermatitis kontak.

Di dalam Robbins’ Pathological Basic of Disease reaksi tipe IV ini dibagi

menjadi:

1. Delayed-type hypersensitivity

2. T cell-mediated cytolysis

IV. Gambaran Klinis

Page 8: Crs Drug Eruption Vrk1

Erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan gangguan

kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya;

a) Urtikaria

Kelainan kulit terdiri atas urtika yang tampak eritem disertai edema akibat

tertimbunnya serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan jaringan

subkutan mengalami edema, maka timbul reaksi yang disebut angioedema.

Angioedema ini biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka waktu

1-2 jam. Tetapi kadang dapat bertahan selama dua sampai lima hari. Pelepasan

mediator inflamasi dari suatu aktifasi yang bersifat non imunologis juga dapat

menimbulkan reaksi urtikaria. Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan dengan

Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap penisilin maupun antibiotik lainnya. Obat

lain misalnya angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dalam jangka waktu

satu jam juga dapat menimbulkan urtikaria

b) Eritema

Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah akan

hilang pada penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam. Jika besarnya

lentikuler maka disebut eritema morbiliformis, dan bila besarnya numular disebut

eritema skarlatiniformis.

Page 9: Crs Drug Eruption Vrk1

c) Purpura

Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang tidak

hilang bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan eritem dan biasanya

disebabkan oleh permeabilitas kapiler yang meningkat

d) Erupsi eksantematosa

Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa.

Erupsi yang muncul dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler. Pada

mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa

didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar

ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi

baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri

dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan

warna kullit dari merah terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai dengan

adanya deskuamasi kulit.

Erupsi eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk penisilin,

sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium diketahui bahwa T

sel juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat menangkap jenis obat tanpa

perlu memodifikasi protein dari hapten. Jika kelainan ini timbul berkali-kali ditempat

yang sama maka disebut eksantema fikstum

e) Eritema nodosum

Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai

gejala umum berupa demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di

regio ekstensor tungkai bawah.

f) Eritroderma

Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan eritroderma

pada umumnya yang biasanya disertai eritem dan skuama. Pada penderita

Page 10: Crs Drug Eruption Vrk1

alergi obat terlihat adanya eritema tanpa skuama, skuama justru baru akan

timbul pada stadium penyembuhan

g) Erupsi pustuler

Ada jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis

Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA):

i. Erupsi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti

iodida, bromida, ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen,

litium dan actinomisin. Erupsi timbul pada daerah-daerah yang

atipikal seperti lengan dan kaki berbentuk monomorf berbentuk

akne tanpa disertai komedo.

ii.Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA)

memberikan gambaran pustul miliar non folikular yang

eritematosa disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target.

Kelainan kulit timbul bila seseorang mengalami demam tinggi

(>380C). Pustul tersebut cepat menghilang dalam jangka waktu

kurang dari 7 hari kemudian diikuti oleh deskuamasi kulit. Pada

pemeriksaan histopatologis didapat pustul intraepidermal atau

subcorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat

polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis

fokal sel-sel keratinosit. Walaupun demikian, penyakit ini sangat

jarang terjadi

h) Erupsi bulosa

Erupsi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus, fixed drug eruption

(FDE), erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan TEN

i. Pemphigus. Obat yang dapat menyebabkannya adalah golongan penisilin dan

golongan thiol. Drug-induced bullous pemphigoid dapat terlihat dalam beberapa

bentuk. Dimulai dari urtikaria hingga terbentuk bulla yang luas dengan melibatkan

kavitas mukosa mulut, dapat juga berupa beberapa bulla dalam ukuran sedang atau

Page 11: Crs Drug Eruption Vrk1

berupa plak dan nodul yang disertai skar dan bulla. Gangguan ini dapat muncul

kembali pada 35-50 persen kasus sebagai pemphigus foliaceus.

ii. Fixed Drug Eruption (FDE). Lesi baru akan timbul satu minggu sampai dua

minggu setelah paparan pertama kali dan akan diikuti timbul lesi berikutnya dalam

jangka waktu 24 jam. FDE ini akan terlihat sebagai makula yang soliter, eritematosa

dan berwarna merah terang dan dapat berakhir menjadi suatu plak edematosa. Lesi

biasanya akan muncul di daerah bibir, wajah, tangan, kaki dan genitalia. Apabila

penderita memakan obat yang sama, maka FDE akan muncul kembali ditempat yang

sama. Histologisnya, FDE serupa dengan erythema multiformis yang ditandai dengan

adanya limfosit di dermal-epidermal junction dan perubahan degeneratif dari epitel

yang disertai diskeratosis. FDE kronis memberikan gambaran acanthosis,

hiperkeratosis, dan hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan neutrofil.

Terdapat peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor pada tempat lesi.

iii. Eritema multiformis merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit

dan/atau selaput lendir dengan tanda khas berupa lesi iris (target lesion).

iv. Sindrom Stevens-Johnson (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom

mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor,

eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,

dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan

keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk

v. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit kulit akut dan berat dengan

gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput

lendir di orifisium genitalia eksterna dan mata. Kelainan pada kulit dimulai dengan

eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan disertai purpura di wajah,

ekstremitas, dan badan. Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan

selaput lendir mulut berupa erosi dan ekskoriasi. Lesi kulit dimulai dengan makula

dan papul eritematosa kecil (morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan

cepat meluas dan bergabung. Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis,

Page 12: Crs Drug Eruption Vrk1

yaitu epidermis terlepas dari dasarnya dengan gambaran klinisnya menyerupai luka

baker

Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang

eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas.

Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni

punggung, aksila, dan bokong. Pada sebagian pasien kelainan kulit hanya berupa

epidermolisis dan purpura tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Pada NET, kuku

dapat terlepas dan dapat terjadi bronkopneumonia. Kadang-kadang dapat terjadi

perdarahan di traktus gastrointestinal. Umumnya NET terjadi pada orang dewasa.

NET merupakan penyakit berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan

keseimbangan cairan/elektrolit atau sepsis

V. Pemeriksaan Penunjang

Page 13: Crs Drug Eruption Vrk1

1. Pemeriksaan laboratorium biasanya tidak mempunyai kelainan yang

spesifik.

2. Biopsi kulit membantu memastikan diagnosis atau menyingkirkan

diagnosis banding.

3. Selain itu, uji tempel obat dapat juga dilakukan untuk mengetahui

penyebabnya. Reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi dan untuk

mengantisipasinya dianjurkan mengamati penderita secara dalam waktu

setengah jam setelah penempelan. Secara teoritis dapat terjadi sensitisasi akibat

uji tempel, namun dalam prakteknya jarang ditemui. Tidak dianjurkan

melakukan uji tempel selama erupsi masih aktif maupun segera sesudahnya.

Hasil uji tempel yang negative tidak menyingkirkan diagnosis erupsi obat dan

hasil yang positif dapat menyokong diagnosis dan menentukan penyebab

meskipun peranannya masih kontroversi. Metode uji tempel masih memerlukan

banuak perbaikan di antaranya dengan menggiatkan penelitian tentang konsentrasi

yang sesuai untuk setiap obat, vehikulum yang tepat dan menentukan

metabolisme obat di kulit.

VI. Diagnosis Banding

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas.

Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala klinis, macam obat,

dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat sebelumnya penting untuk

membuat diagnosis.

1. Mastositosis : biasanya timbul urtikaria disertai tanda Darier.

2. Dermatitis kontak alergi : adanya riwayat kontak

3. Pustular psoriasis

Page 14: Crs Drug Eruption Vrk1

VII. Diagnosa Klinis

Dasar diagnosis erupsi obat alergik sebagai berikut :

1. Anamnesis yang teliti mengenai :

a. Obat – obatan yang didapat, jangan lupa menanyakan tentang

jamu.

b. Kelainan yang timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari

sesudah masuknya obat

c. Rasa gatal yang dapat disertai demamyang biasanya subfebril.

2. Kelainan kulit yang ditemukan :

a. Distribusi menyebar dan simetris, atau setempat.

b. Bentuk kelainan yang timbul : eritema, urtikaria, purpura,

eksantema, papul, eritrodermia, eritema nodosum

Obat yang paling sering menyebabkan reaksi alergi

- Penisilin dan derivatnya (ampisilin, amoksisilin, kloksasilin)

- Sulfonamide

- Golongan analgetik – antipiretik misalnya asam salisilat, metamezol,

metampirin, dan parasetamol.

VIII. Pengobatan

- Umum

o Melindungi kulit → hentikan obat yang diduga penyebab

o Menjaga kondisi → pengawasan untuk mendeteksi kemungkinan

erupsi yang lebih parah

o Asupan nutrisi dan cairan tubuh → via infus bila perlu

o Transfuse darah bila tidak membaik dalam 2 – 3 hari, khususnya

pada kasus dengan purpura luas

- Khusus

o Sistemik

Page 15: Crs Drug Eruption Vrk1

A. Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat

sistemik, obat yang dapat diberikan prednisone. Pada kelainan

urtikaria, eritema, dermatitis, medika mentosa, purpura, eritema

nodosum, eksantema fikstum, dan P.E.G.A karena alergi obat.

Dosis standar untuk orang dewasa ialah 3 x 10 mg prednisone

sehari.

Pada eritroderma dosisnya 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari.

B. Antihistamin

Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika

terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang

kalau dibandingkan dengan kortikosteroid.

o Topikal

Pengobatan topical bergantung pada kesadaran kelainan kulit,

apakah kering atau basah. Kalau keadaan kerin, seperti pada

eritema dan urtikaria, dapat diberikan bedak, contohnya : bedak

salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus, misalnya mentol

0.5% - 1 % untuk mengurangi rasa gatal.kalau keadaan membasah

seperti dermatitis medikamentosa, perlu digunakan kompres,

misalnya kompres larutan asam salisilat 1%

Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan

pengobatan topical. Pada eksantema fikstum, jika kelainan

membasah dapat diberi kompres dan jika kering dapat diberi krim

kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2,5%

Page 16: Crs Drug Eruption Vrk1

Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang

menyeluruh dan skuamasi, dapat diberi salap lanolin 10% yang

dioleskan sebagian – sebagian.

IX. Prognosis

Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya

dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk,

misalnya eritroderma dan kelainan – kelainan berupa sindrom Lyell dan SJS

prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena

DAFTAR PUSTAKA

1. Valencia, Isabel, Kerdel, Fransisco. Cutaneous Reactions to Drugs. IN :

Wolff, Klaus, Jhonson, Richard, Suurmond, Dick, editor. Fitzpatrick’s

Colour Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Edisi 5. USA : The

McGraw-Hill Companies, Inc., 2005 : 2324 - 2327.

2. Chrousos, George. Diseases of Immunity. IN : Cotran, editor. Robbins and

Cotran Pathological Basis of Disease. 7th ed. USA : The McGraw-Hill

Companies, Inc., 2004 : 641-658.

3. Guyton, Arthur C; Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta.

EGC. 1997 : 1203-1219.

4. Mycek, Mary, Harvey, Richard, Champe, Pamela, Fisher, Bruce.

Kortikosteroid Adrenal. Dalam : Mycek, Mary, Harvey, Richard, Champe,

Pamela, Fisher, Bruce, editor. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2.

Jakarta. Widya Medika. 1995 : 276 - 281.

5. Hamzah, Mochtar. Dermatoterapi. Dalam : Djuanda, Adhi, Hamzah,

Mochtar, Aisah, Siti, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 3.

Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002 : 326 – 329.

Page 17: Crs Drug Eruption Vrk1