Crs Drug Eruption Vrk1
-
Upload
karthik-nair -
Category
Documents
-
view
30 -
download
6
description
Transcript of Crs Drug Eruption Vrk1
CLINICAL SCIENCE SESSION
DRUG ERUPTION
Vanitha Ratha Krishnan 1301-1212-3562
Preseptor : dr.Risa Miliawati N.H., SpKKdr.Risa Miliawati N.H., SpKK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2014
I. Definisi
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption adalah reaksi alergik pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang
biasanya sistemik.
Obat masuk ke dalam tubuh secara sistemik, berarti masuknya obat
melalui mulut, hidung, rektum, vagina, dan secara suntikan atau infus. Juga dapat
sebagai obat mata, obat kumur, tapal gigi, dan obat topikal.
Yang dimaksud dengan obat, ialah zat yang dipakai untuk menegakkan
diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Termasuk dalam pengertian obat ialah
jamu. Pemberian obat secara topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik,
akibat penyerapan obat oleh kulit.
II. Epidemiologi
Komplikasi dari terapi obat merupakan penyebab utama dari morbiditas
pasien dan menyebabkan jumlah kematian yang signifikan. Kurang lebih 14
persen dari kejadian Adverse Cutaneous Drug Reactions (ACDR) yang terjadi
memiliki mekanisme alergi sebagai penyebabnya.
Erupsi obat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari erupsi yang
umum terjadi hingga suatu keadaan yang mengancam jiwa. Erupsi obat dapat
terjadi terbatas secara lokal pada kulit, atau menjadi bagian dari reaksi sistemik,
seperti contohnya drug hypersensitivity syndrome atau TEN
Erupsi obat merupakan suatu penyakit yang memiliki ciri khas tertentu,
dan harus ditangani sebagaimana penyakit kulit lainnya. Diagnosis yang akurat
dari pola reaksi yang terjadi dapat mempersempit penyebab-penyebab yang
mungkin terjadi. Umumnya obat-obat yang berbeda memiliki tipe reaksi yang
berbeda pula.
III. Etiologi, Patogenesis dan Patofisiologi
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik
atau nonimunologik.
Classification
Immunologically Mediated ACDR
See Table 20-1. It should be noted, however, that classification of
immunologically mediated ACDR according to the Gell and Coombs
classification is an oversimplification because in most reactions both cellular and
humoral immune reactions are involved.
Table 20-1 Immunologically Mediated Adverse Cutaneous Drug Reactions*
Type of
Reaction
Pathogenesis Examples of
Causative Drug
Clinical Patterns
Type I IgE-mediated;
immediate-type
immunologic
reactions
Penicillin Urticaria/angioedema of
skin/mucosa, edema of other
organs, and anaphylactic
shock
Type II Drug + cytotoxic
antibodies cause
lysis of cells such as
platelets or
leukocytes
Penicillin,
sulfonamides,
quinidine, isoniazid
Petechiae due to
thrombocytopenic purpura,
drug-induced pemphigus
Type III IgG or IgM
antibodies formed to
drug; immune
complexes deposited
in small vessels
activate complement
Immunoglobulins,
antibiotics
Vasculitis, urticaria, serum
sickness
Type of
Reaction
Pathogenesis Examples of
Causative Drug
Clinical Patterns
and recruitment of
granulocytes
Type IV Cell-mediated
immune reaction;
sensitized
lymphocytes react
with drug,
liberating cytokines,
which trigger
cutaneous
inflammatory
response
Sulfamethoxazole,
anticonvulsants,
allopurinol
Morbilliform exanthematous
reactions, fixed drug
eruption, lichenoid
eruptions, Stevens-Johnson
syndrome, toxic epidermal
necrolysis
* After the Gell and Coombs classification of immune reactions.
Nonimmunologic Drug Eruptions
1. Idiosyncrasy Reactions due to hereditary enzyme deficiencies.
2. Cumulation Reactions are dose dependent, based on the total amount of
drug ingested: pigmentation due to gold, amiodarone, or minocycline.
3. Reactions due to combination of a drug with ultraviolet irradiation
(photosensitivity) Reactions may have a toxic or immunologic (allergic)
pathogenesis (see Section 10).
4. Irritancy/toxicity of a topically applied drug 5-Fluorouracil, imiquimod.
5. Individual idiosyncrasy to a topical or systemic drug. Mechanisms not
yet known.
Yang dimaksud dengan erupsi obat alergik ialah alergi terhadap obat yang
terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat
kepada pasien yang sudah mempunyai hipersensitivitas terhadap obat tersebut.
Disebabkan oleh berat molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada
mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat atau metabolitnya,
yang berupa hapten, harus berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya
jaringan, serum, atau protein dari membran sel, untuk membentuk kompleks
antigen, yaitu kompleks hapten-protein. Obat-obat dengan berat molekul tinggi
dapat berfungsi langsung sebagai antigen yang lengkap.
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan oleh
Coombs dan Gell. Suatu reaksi alergik terhadap obat atau erupsi obat alergik
dapat mengikuti salah satu dari keempat jalur ini:
1. Tipe I (Reaksi Anafilaktik)
Reaksi ini penting dan umum dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap
obat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan. Tetapi pajanan selanjutnya dapat
menimbulkan reaksi. Yang berperan adalah IgE yang mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap mastosit dan basofil.
Pada pemberian obat yang sama, maka antigen akan menimbulkan
perubahan berupa dibebaskannya berbagai macam mediator, antara lain histamin,
serotonin, bradikinin, heparin, SRSA, dan lain-lain. Mediator-mediator ini
mengakibatkan bermacam-macam efek, antara lain:
- Urtikaria
- Edema angioneurotik
- Syok anafilaktik
2. Tipe II (Reaksi Sitotoksik)
Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan
penggabungan antara IgG dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Jika
sistem komplemen teraktivasi akan dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan
lisis.
3. Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi mengadakan reaksi dengan antigen membentuk kompleks
antigen antibodi yang kemudian mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh dan mengakibatkan reaksi radang. Dengan adanya aktivasi sistem
komplemen terjadi pelepasan anafilatoksin yang merangsang pelepasan berbagai
mediator oleh mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen, akan terjadi
kerusakan jaringan.
4. Tipe IV (Reaksi Alergik Selular Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitisasi mengadakan
reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat, karena baru timbul
12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.
Terdapat 2 macam bentuk reaksi:
1. Reaksi tipe tuberkulin
Terjadi akibat limfosit yang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan
antigen yang biasanya berlokasi di sekitar pembuluh darah dalam dermis. Melalui
ikatan khusus antigen di permukaan limfosit, terjadi reaksi dengan akibat
pelepasan bermacam-macam limfokin. Hal ini mengakibatkan reaksi radang
dengan vasodilatasi, permeabilitas vaskular meninggi, dan edema, yang secara
klinis dapat terlihat sebagai ruam-ruam morbiliformis, skarlatiniformis, eritema
nodosum, atau eksantema fikstum.
2. Reaksi tipe kontak
Reaksi ini terutama melibatkan bagian epidermis kulit. Antigen yang
masuk melalui stratum korneum akan bertemu dengan limfosit yang telah
tersensitisasi sebelumnya dengan akibat dibebaskannya limfokin dan timbul reaksi
berupa dermatitis yang secara klinis terlihat sebagai dermatitis kontak.
Di dalam Robbins’ Pathological Basic of Disease reaksi tipe IV ini dibagi
menjadi:
1. Delayed-type hypersensitivity
2. T cell-mediated cytolysis
IV. Gambaran Klinis
Erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan gangguan
kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya;
a) Urtikaria
Kelainan kulit terdiri atas urtika yang tampak eritem disertai edema akibat
tertimbunnya serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan jaringan
subkutan mengalami edema, maka timbul reaksi yang disebut angioedema.
Angioedema ini biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka waktu
1-2 jam. Tetapi kadang dapat bertahan selama dua sampai lima hari. Pelepasan
mediator inflamasi dari suatu aktifasi yang bersifat non imunologis juga dapat
menimbulkan reaksi urtikaria. Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan dengan
Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap penisilin maupun antibiotik lainnya. Obat
lain misalnya angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dalam jangka waktu
satu jam juga dapat menimbulkan urtikaria
b) Eritema
Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah akan
hilang pada penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam. Jika besarnya
lentikuler maka disebut eritema morbiliformis, dan bila besarnya numular disebut
eritema skarlatiniformis.
c) Purpura
Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang tidak
hilang bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan eritem dan biasanya
disebabkan oleh permeabilitas kapiler yang meningkat
d) Erupsi eksantematosa
Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa.
Erupsi yang muncul dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler. Pada
mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa
didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar
ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi
baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri
dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan
warna kullit dari merah terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai dengan
adanya deskuamasi kulit.
Erupsi eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk penisilin,
sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium diketahui bahwa T
sel juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat menangkap jenis obat tanpa
perlu memodifikasi protein dari hapten. Jika kelainan ini timbul berkali-kali ditempat
yang sama maka disebut eksantema fikstum
e) Eritema nodosum
Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai
gejala umum berupa demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di
regio ekstensor tungkai bawah.
f) Eritroderma
Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan eritroderma
pada umumnya yang biasanya disertai eritem dan skuama. Pada penderita
alergi obat terlihat adanya eritema tanpa skuama, skuama justru baru akan
timbul pada stadium penyembuhan
g) Erupsi pustuler
Ada jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis
Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA):
i. Erupsi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti
iodida, bromida, ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen,
litium dan actinomisin. Erupsi timbul pada daerah-daerah yang
atipikal seperti lengan dan kaki berbentuk monomorf berbentuk
akne tanpa disertai komedo.
ii.Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA)
memberikan gambaran pustul miliar non folikular yang
eritematosa disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target.
Kelainan kulit timbul bila seseorang mengalami demam tinggi
(>380C). Pustul tersebut cepat menghilang dalam jangka waktu
kurang dari 7 hari kemudian diikuti oleh deskuamasi kulit. Pada
pemeriksaan histopatologis didapat pustul intraepidermal atau
subcorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat
polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis
fokal sel-sel keratinosit. Walaupun demikian, penyakit ini sangat
jarang terjadi
h) Erupsi bulosa
Erupsi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus, fixed drug eruption
(FDE), erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan TEN
i. Pemphigus. Obat yang dapat menyebabkannya adalah golongan penisilin dan
golongan thiol. Drug-induced bullous pemphigoid dapat terlihat dalam beberapa
bentuk. Dimulai dari urtikaria hingga terbentuk bulla yang luas dengan melibatkan
kavitas mukosa mulut, dapat juga berupa beberapa bulla dalam ukuran sedang atau
berupa plak dan nodul yang disertai skar dan bulla. Gangguan ini dapat muncul
kembali pada 35-50 persen kasus sebagai pemphigus foliaceus.
ii. Fixed Drug Eruption (FDE). Lesi baru akan timbul satu minggu sampai dua
minggu setelah paparan pertama kali dan akan diikuti timbul lesi berikutnya dalam
jangka waktu 24 jam. FDE ini akan terlihat sebagai makula yang soliter, eritematosa
dan berwarna merah terang dan dapat berakhir menjadi suatu plak edematosa. Lesi
biasanya akan muncul di daerah bibir, wajah, tangan, kaki dan genitalia. Apabila
penderita memakan obat yang sama, maka FDE akan muncul kembali ditempat yang
sama. Histologisnya, FDE serupa dengan erythema multiformis yang ditandai dengan
adanya limfosit di dermal-epidermal junction dan perubahan degeneratif dari epitel
yang disertai diskeratosis. FDE kronis memberikan gambaran acanthosis,
hiperkeratosis, dan hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan neutrofil.
Terdapat peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor pada tempat lesi.
iii. Eritema multiformis merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit
dan/atau selaput lendir dengan tanda khas berupa lesi iris (target lesion).
iv. Sindrom Stevens-Johnson (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom
mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor,
eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk
v. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit kulit akut dan berat dengan
gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput
lendir di orifisium genitalia eksterna dan mata. Kelainan pada kulit dimulai dengan
eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan disertai purpura di wajah,
ekstremitas, dan badan. Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan
selaput lendir mulut berupa erosi dan ekskoriasi. Lesi kulit dimulai dengan makula
dan papul eritematosa kecil (morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan
cepat meluas dan bergabung. Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis,
yaitu epidermis terlepas dari dasarnya dengan gambaran klinisnya menyerupai luka
baker
Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang
eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas.
Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni
punggung, aksila, dan bokong. Pada sebagian pasien kelainan kulit hanya berupa
epidermolisis dan purpura tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Pada NET, kuku
dapat terlepas dan dapat terjadi bronkopneumonia. Kadang-kadang dapat terjadi
perdarahan di traktus gastrointestinal. Umumnya NET terjadi pada orang dewasa.
NET merupakan penyakit berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan
keseimbangan cairan/elektrolit atau sepsis
V. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium biasanya tidak mempunyai kelainan yang
spesifik.
2. Biopsi kulit membantu memastikan diagnosis atau menyingkirkan
diagnosis banding.
3. Selain itu, uji tempel obat dapat juga dilakukan untuk mengetahui
penyebabnya. Reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi dan untuk
mengantisipasinya dianjurkan mengamati penderita secara dalam waktu
setengah jam setelah penempelan. Secara teoritis dapat terjadi sensitisasi akibat
uji tempel, namun dalam prakteknya jarang ditemui. Tidak dianjurkan
melakukan uji tempel selama erupsi masih aktif maupun segera sesudahnya.
Hasil uji tempel yang negative tidak menyingkirkan diagnosis erupsi obat dan
hasil yang positif dapat menyokong diagnosis dan menentukan penyebab
meskipun peranannya masih kontroversi. Metode uji tempel masih memerlukan
banuak perbaikan di antaranya dengan menggiatkan penelitian tentang konsentrasi
yang sesuai untuk setiap obat, vehikulum yang tepat dan menentukan
metabolisme obat di kulit.
VI. Diagnosis Banding
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas.
Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala klinis, macam obat,
dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat sebelumnya penting untuk
membuat diagnosis.
1. Mastositosis : biasanya timbul urtikaria disertai tanda Darier.
2. Dermatitis kontak alergi : adanya riwayat kontak
3. Pustular psoriasis
VII. Diagnosa Klinis
Dasar diagnosis erupsi obat alergik sebagai berikut :
1. Anamnesis yang teliti mengenai :
a. Obat – obatan yang didapat, jangan lupa menanyakan tentang
jamu.
b. Kelainan yang timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari
sesudah masuknya obat
c. Rasa gatal yang dapat disertai demamyang biasanya subfebril.
2. Kelainan kulit yang ditemukan :
a. Distribusi menyebar dan simetris, atau setempat.
b. Bentuk kelainan yang timbul : eritema, urtikaria, purpura,
eksantema, papul, eritrodermia, eritema nodosum
Obat yang paling sering menyebabkan reaksi alergi
- Penisilin dan derivatnya (ampisilin, amoksisilin, kloksasilin)
- Sulfonamide
- Golongan analgetik – antipiretik misalnya asam salisilat, metamezol,
metampirin, dan parasetamol.
VIII. Pengobatan
- Umum
o Melindungi kulit → hentikan obat yang diduga penyebab
o Menjaga kondisi → pengawasan untuk mendeteksi kemungkinan
erupsi yang lebih parah
o Asupan nutrisi dan cairan tubuh → via infus bila perlu
o Transfuse darah bila tidak membaik dalam 2 – 3 hari, khususnya
pada kasus dengan purpura luas
- Khusus
o Sistemik
A. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat
sistemik, obat yang dapat diberikan prednisone. Pada kelainan
urtikaria, eritema, dermatitis, medika mentosa, purpura, eritema
nodosum, eksantema fikstum, dan P.E.G.A karena alergi obat.
Dosis standar untuk orang dewasa ialah 3 x 10 mg prednisone
sehari.
Pada eritroderma dosisnya 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari.
B. Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika
terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang
kalau dibandingkan dengan kortikosteroid.
o Topikal
Pengobatan topical bergantung pada kesadaran kelainan kulit,
apakah kering atau basah. Kalau keadaan kerin, seperti pada
eritema dan urtikaria, dapat diberikan bedak, contohnya : bedak
salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus, misalnya mentol
0.5% - 1 % untuk mengurangi rasa gatal.kalau keadaan membasah
seperti dermatitis medikamentosa, perlu digunakan kompres,
misalnya kompres larutan asam salisilat 1%
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan
pengobatan topical. Pada eksantema fikstum, jika kelainan
membasah dapat diberi kompres dan jika kering dapat diberi krim
kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2,5%
Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang
menyeluruh dan skuamasi, dapat diberi salap lanolin 10% yang
dioleskan sebagian – sebagian.
IX. Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya
dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk,
misalnya eritroderma dan kelainan – kelainan berupa sindrom Lyell dan SJS
prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena
DAFTAR PUSTAKA
1. Valencia, Isabel, Kerdel, Fransisco. Cutaneous Reactions to Drugs. IN :
Wolff, Klaus, Jhonson, Richard, Suurmond, Dick, editor. Fitzpatrick’s
Colour Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Edisi 5. USA : The
McGraw-Hill Companies, Inc., 2005 : 2324 - 2327.
2. Chrousos, George. Diseases of Immunity. IN : Cotran, editor. Robbins and
Cotran Pathological Basis of Disease. 7th ed. USA : The McGraw-Hill
Companies, Inc., 2004 : 641-658.
3. Guyton, Arthur C; Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta.
EGC. 1997 : 1203-1219.
4. Mycek, Mary, Harvey, Richard, Champe, Pamela, Fisher, Bruce.
Kortikosteroid Adrenal. Dalam : Mycek, Mary, Harvey, Richard, Champe,
Pamela, Fisher, Bruce, editor. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2.
Jakarta. Widya Medika. 1995 : 276 - 281.
5. Hamzah, Mochtar. Dermatoterapi. Dalam : Djuanda, Adhi, Hamzah,
Mochtar, Aisah, Siti, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 3.
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002 : 326 – 329.