cr udt fix
-
Upload
mike-fandri -
Category
Documents
-
view
96 -
download
7
Transcript of cr udt fix
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undescendcus testis (UDT) atau biasa disebut Kriptorkismus merupakan kelainan
bawaan genitalia yang paling sering ditemukan pada anak laki-laki. Sepertiga
kasus anak-anak dengan UDT adalah bilateral sedangkan dua-pertiganya adalah
unilateral. Insiden UDT terkait erat dengan umur kehamilan, dan maturasi bayi.
Insiden meningkat pada bayi yang lahir prematur dan menurun pada bayi-bayi
yang dilahirkan cukup bulan. Peningkatan umur bayi akan diikuti dengan
penurunan insiden UDT.
Insidensnya 3 – 6% pada bayi laki-laki yang lahir cukup bulan dan meningkat
menjadi 30% pada bayi prematur. Dua pertiga kasus mengalami UDT unilateral
dan UDT bilateral. Setelah 100 tahun penelitian mengenai UDT, masih terdapat
beberapa aspek yang menjadi kontroversial. Faktor predisposisi terjadinya UDT
adalah prematuritas, berat bayi baru lahir yang rendah, kecil untuk masa
kehamilan, kembar dan pemberian estrogen pada trimester pertama.
Testis yang belum turun ke kantung skrotum dan masih berada dijalurnya
mungkin terletak di kanalis inguinalis atau di rongga abdomen, yaitu terletak
diantara fossa renalis dan annulus inguinalis internus. Testis ektopik mungkin
berada diperineal, di luar kanalis inguinalis yaitu diantara aponeurosis oblikus
eksternus dan jaringan subkutan, suprapubik, atau di regio femoral.
UDT dapat kembali turun spontan ke testis sekitar 70 – 77% pada usia bulan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan testis ke dalam skrotum, antara
lain: (1) adanya tarikan dari gubernakulum testis (suatu pemadatan mesenkim
yang kaya akan matriks ekstraseluler) dan refleks dari otot kremaster, (2)
perbedaan pertumbuhan gubernakulum dengan pertumbuhan badan, dan (3)
dorongan dari tekanan intraabdominal.
1
Gambar 1. Undescended testis
Alasan utama dilakukan terapi adalah meningkatnya risiko infertilitas,
meningkatnya risiko keganasan testis, meningkatnya risiko torsio testis, reisiko
trauma testis terhadap tulang pubis dan faktor psikologis terhadap kantong
skrotum yang kosong.
Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada testis di
kemudian hari. UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan
risiko tumor sel germinal yang meningkat 3 – 10 kali. Atrofi testis terjadi pada
usia 5 – 7 tahun, akan tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1 – 2 tahun.
Risiko kerusakan histologi testis juga berhubungan dengan letak abnormal testis.
Pada awal pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel germinalnya pada kasus
intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal, penurunan sel
geminal mencapai 41% dan 20%.
Esensi terapi rasional yang dianut hingga saat ini adalah memperkecil terjadinya
risiko komplikasi dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik dengan
menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy).
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Undescended testis (UDT) adalah suatu kondisi dimana testis tidak dijumpai pada
tempat yang semestinya yaitu di dalam skrotum. Dalam hal ini mungkin testis
tidak mampu mencapai skrotum tetapi masih berada pada jalurnya yang normal,
keadaan ini disebut kriptorkismus, atau pada proses desensus, testis tersesat
(keluar) dari jalurnya yang normal, keadaan ini disebut sebagai testis ektopik.
B. Epidemiologi
UDT merupakan kelainan genitalia kongenital tersering pada anak laki-laki. Pada
bayi prematur sekitar 30,3% dan sekitar 3,4% pada bayi cukup bulan. Bayi
dengan berat lahir < 900 gram seluruhnya mengalami UDT, sedangkan dengan
berat lahir < 1800 gram sekitar 68,5 % UDT. Dengan bertambahnya umur
menjadi 1 tahun, insidennya menurun menjadi 0,8 %, angka ini hampir sama
dengan populasi dewasa.
Dua pertiga kasus mengalami UDT unilateral dan sisanya UDT bilateral. Dengan
bertambahnya usia, testis mengalami desensus secara spontan sekitar 70-77%
biasanya pada usia 3 bulan, sehingga pada saat usia 1 tahun angka kejadian UDT
turun menjadi 1% dibandingkan saat lahir 3,7%. Setelah usia 1 tahun, testis yang
letaknya abnormal jarang dapat mengalami desensus testis secara spontan.
C. Embriologi dan Proses Penurunan Testis
Pada minggu keenam umur kehamilan primordial germ cells mengalami migrasi
dari yolk sac ke-genital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex determining region
Y), maka akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yg berisi
prekursor sel-sel Sertoli besar (yang kelak menjadi tubulus seminiferous dan sel-
sel Leydig kecil) dengan stimulasi FSH yang dihasilkan pituitary mulai aktif
berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF (Müllerian
Inhibiting Factor), yang menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus mullerian. 3
MIF juga meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig. Sel- Pada
minggu ke-10-11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin yang
dihasilkan plasenta dan LH dari pituitary sel-sel Leydig akan mensekresi
testosteron yang sangat esensial bagi diferensiasi duktus Wolfian menjadi
epididimys, vas deferens, dan vesika seminalis.
Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Walaupun mekanismenya
belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa terdapat beberapa
faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin, mekanik (anatomik), dan
neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar minggu ke-10 kehamilan segera
setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase transabdominal dan fase inguinoscrotal.
Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal yang berbeda.
Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, di mana
testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal ini terjadi
karena adanya regresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah pengaruh
androgen (testosteron), disertai pemendekan gubernaculum (ligamen yang
melekatkan bagian inferior testis ke-segmen bawah skrotum) di bawah pengaruh
MIF. Dengan perkembangan yang cepat dari regio abdominopelvic maka testis
akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3 kehamilan
terbentuk processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke-arah skrotum.
Selanjutnya fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan.
Gambar 2. Skema penurunan testis menurut Hutson.
4
Keterangan gambar :
Antara minggu ke- 8–15 gubernaculum (G) berkembang pada laki-laki,
mendekatkan testis (T) ke-inguinal. Ligamentum suspensorium cranialis (CSL)
mengalami regresi. Migrasi gubernaculum ke-skrotum terjadi pada minggu ke-
28-35.
B: Peranan gubernaculum dan CSL pada diferensiasi seksual rodent. Pada jantan
CSL mengalami regresi dan gubernaculum mengalami perkembangan; sebaliknya
pada betina CSL menetap, dan gubernaculum menipis dan memanjang.
Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai dengan
minggu ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari regio inguinal ke-
dalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Mekanismenya belum
diketahui secara pasti, namun diduga melalui mediasi pengeluaran calcitonin
gene-related peptide (CGRP). Androgen akan merangsang nervus genitofemoral
untuk mengeluarkan CGRP yang menyebabkan kontraksi ritmis dari
gubernaculum. Faktor mekanik yang turut berperan pada fase ini adalah tekanan
abdominal yang meningkat yang menyebabkan keluarnya testis dari cavum
abdomen, di samping itu tekanan abdomen akan menyebabkan terbentuknya
ujung dari processus vaginalis melalui canalis inguinalis menuju skrotum. Proses
penurunan testis ini masih bisa berlangsung sampai bayi usia 9-12 bulan.
D. Etiologi
Mekanisme terjadinya UDT berhubungan dengan banyak faktor (multifaktorial)
yaitu :
1. Perbedaaan pertumbuhan relatif tubuh terhadap funikulus spermatikus atau
gubernakulum
2. peningkatan tekanan abdomen
3. faktor hormonal: testosteron, MIS, and extrinsic estrogen,
4. Perkembangan epididimis,
5. Perlekatan gubernakular
6. Genito femoral nerve/calcitonin gene-related peptide (CGRP),
7. Sekunder pasca-operasi inguinal yang menyebabkan jaringan ikat.
5
UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada :
1. Gubernakulum testis,
2. Kelainan intrinsik testis, atau
3. Defisiensi hormon gonadotropin yang memacu proses desensus testis.
Beberapa penelitian telah mengidentifikasi kelompok bayi baru lahir yang
beresiko mengalami UDT untuk mencari riwayat alami dan faktor-faktor yang
mempengaruhi desensus setelah lahir. Penelitian ini menemukan bahwa UDT
secara signifikan lebih banyak ditemukan pada bayi prematur, kecil untuk masa
kehamilan, berat bayi baru lahir yang rendah, dan kembar.
UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri (isolated anomaly),
ataupun bersamaan dengan kelainan kromosom, endokrin, intersex, dan kelainan
bawaan lainnya. Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti hipospadia
kemungkinan lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom (sekitar 12 – 25 %).
Terdapat faktor keturunan terjadinya UDT pada kasus-kasus yang isolated, di
samping itu testis sebelah kanan lebih sering mengalami UDT. Sekitar 4,0 %
anak-anak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,2–9,8% mempunyai saudara
laki-laki UDT; atau secara umum terdapat risiko 3,6 kali terjadi UDT pada laki-
laki yang mempunyai anggota keluarga UDT dibanding dengan populasi umum.
E. Klasifikasi
UDT dikelompokkan menjadi 3 tipe:
1. UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan
parsial melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi
teraba (palpable) dan tidak teraba (impalpable).
2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang
normal.
3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke-dasar skrotum tetapi akibat
refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke-kanalis
inguinalis, bukan termasuk UDT yang sebenarnya.
Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis,
menjadi: abdominal, inguinal, dan suprascrotal.Gliding testis atau sliding testis 6
adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana testis dapat dimanipulasi
hingga bagian atas skrotum, tetapi segera kembali begitu tarikan dilepaskan.
Gliding testis harus dibedakan dengan testis yang retraktil, gliding testis terajadi
akibat tidak adanya gubernaculum attachment, dan mempunyai processus
vaginalis yang lebar sehingga testis sangat mobile dan meningkatkan risiko
terjadinya torsi. Dengan melakukan overstrecht selama 1 menit pada saat
pemeriksaan fisik (untuk melumpuhkan refleks cremaster), testis yang retraktil
akan menetap di dalam skrotum, sedangkan gliding testis akan tetap kembali ke-
kanalis inguinalis.
Gambar 3. Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik testis.
F. Patogenesis dan Patofisiologi
7
Suhu di dalam rongga abdomen kurang lebih 1-20C lebih tinggi daripada suhu di
dalam skrotum, sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih
tinggi daripada testis normal; hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel germinal
testis.
Pada usia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah
mengalami kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel germinal
yang masih normal. Kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya testis
menjadi mengecil. Karena sel-sel Leydig sebagai penghasil hormon androgen
tidak ikut rusak, maka potensi potensi seksual tidak mengalami gangguan. Akibat
lain yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada di skrotum adalah mudah
terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih mudah mengalami degenerasi
maligna.
G. Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis, tentukan apakah testis pernah teraba di skrotum, riwayat operasi
daerah inguinal, riwayat prenatal: terapi hormonal pada ibu untuk reproduksi,
kehamilan kembar, prematuritas, riwayat keluarga: UDT, hipospadia, infertilitas,
intersex, pubertas prekoks. Pada anamnesis juga, yang harus digali adalah tentang
prematuritas penderita (30% bayi prematur mengalami UDT), penggunaan obat-
obatan saat ibu hamil (estrogen), riwayat operasi inguinal. Harus dipastikan juga
apakah sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun
pertama kehidupan (testis retractile akibat refleks cremaster yang berlebihan
sering terjadi pada umur 4-6 tahun). Perlu juga digali riwayat perkembangan
mental anak, dan pada anak yang lebih besar bisa ditanyakan ada tidaknya
gangguan penciuman (biasanya penderita tidak menyadari). Riwayat keluarga
tentang UDT, infertilitas, kelainan bawaan genitalia, dan kematian neonatal.
Inspeksi pada regio skrotum terlihat hipoplasia kulit skrotum karena tidak pernah
ditempati oleh testis. Pada palpasi, testis tidak teraba di kantung skrotum,
8
melainkan berada di inguinal atau di tempat lain. Pada saat melakukan palpasi
untuk mencari keberadaan testis, jari tangan pemeriksa harus dalam keadaan
hangat. Jika kedua buah testis tidak diketahui tempatnya, harus dibedakan dengan
anorkismus bilateral (tidak mempunyai testis). Untuk itu perlu dilakukan
pemeriksaan hormonal antara lain hormon testosteron, kemudian dilakukan uji
dengan pemberian hormon hCG (human chorionic gonadotropin).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat.
Pemeriksaan secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda
sindrom tertentu, dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigua. Pemeriksaan
testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan ”frog leg position” dan
jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan lebih baik bila menggunakan
jelly atau sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis ke-arah medial
dan skrotum. Bila teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke-skrotum, dengan
kombinasi ”menyapu” dan ”menarik” terkadang testis dapat didorong ke-dalam
skrotum. Dengan mempertahankan posisi testis didalam skrotum selama 1 menit,
otot-otot cremaster diharapkan akan mengalami ”fatigue”; bila testis dapat
bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis yang retractile sedangkan pada
UDT akan segera kembali begitu testis dilepas. Tentukan lokasi, ukuran dan
tekstur testis.
Testis yang atropi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur penurunan yang
normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal akibat torsi.
Testis kontra lateralnya biasanya mengalami hipertrofi. Lokasi UDT tersering
terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti supraskrotal (20%), dan intra-
abdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang baik dapat menentukan lokasi
UDT tersebut.
Adanya UDT bilateral yang tidak teraba gonad/testis apalagi disertai hipospadia
dan virilisasi, harus dipikirkan kemungkinan intersex, individu dengan kromosom
XX yang mengalami female pseudo-hermaphroditism yang berat; atau Anorchia 9
kongenital sebagai akibat torsi testis in utero.3,13,15 Sedangkan simple UDT
merupakan hal yang seringkali dijumpai terutama pada bayi yang prematur, akan
tetapi masih dapat terjadi penurunan testis dalam tahun pertama kehidupannya.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium
lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan disertai
hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan
hormonal (yang terpenting adalah 17 hydroxyprogesterone) untuk menyingkirkan
kemungkinan intersex.
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT bilateral
dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH, dan
testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak.
Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus
dilakukan dengan melakukan stimulasi test menggunakan hCG (human chorionic
gonadotropin hormone). Ketiadaan peningkatan kadar testosteron disertai
peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia.
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar hormon
testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon
testosteron normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi,
respon normal setelah hCHG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa
kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas,
dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi
hCG hanya sekitar 2-3x.
d. Pemeriksaan Radiologi
USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah
inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan.
10
Pada penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba testis, USG
hanya dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan tidak dapat
mendeteksi testis intra-abdomen. Hal ini tentunya sangat tergantung dari
pengalaman dan kwalitas alat yang digunakan.
CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG
terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis). MRI mempunyai
sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih besar
(belasan tahun). MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan keganasan testis. Baik
USG, CT scan maupun MRI tidak dapat dipakai untuk mendeteksi vanishing testis
ataupun anorchia.
Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka penggunaan
angiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi semakin
berkurang. Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan vanishing testis
ataupun anorchia. Dengan metode ini akan dapat dievaluasi pleksus
pampiniformis, parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis (pada
anorchia).5 Kelemahannya selain infasif, juga terbatas pada umur anak-anak yang
lebih besar mengingat kecilnya ukuran vena-vena gonad.
e. Laparoskopi
Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi UDT tidak teraba
testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode infasif yang cukup aman
oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih besar
dan setelah pemeriksaan lain tidak dapat mendeteksi adanya testis di inguinal.
Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah: kondisi cincin
inguinalis interna, processus vaginalis (patent atau non-patent), testis dan
vaskularisasinya serta struktur wolfian-nya. Tiga hal yang sering dijumpai saat
laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan
anorchia (44%), testis intra-abdomen (36%), dan struktur cord (vasa dan vas
deferens) yang keluar ke-dalam cincin inguinalis interna.
H. Diagnosis Banding
11
Seringkali dijumpai testis yang biasanya berada di kantung skrotum tiba-tiba
berada di daerah inguinal dan pada keadaan lain kembali ke tempat semula.
Keadaan ini terjadi karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca
dingin, atau setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis
retraktil atau kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati. Selain
itu UDT perlu dibedakan dengan anorkismus, yaitu testis memang tidak ada. Hal
ini biasa terjadi secara congenital memang tidak terbentuk testis, atau testis yang
mengalami atrofi akibat torsio in utero atau torsio pada saat neonatus.
I. Penatalaksanaan
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil
risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis
kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara
pembedahan (orchiopexy).
Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada testis di
kemudian hari. Dengan asumsi bahwa jika dibiarkan testis tidak dapat turun
sendiri setelah usia 1 tahun, sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis
yang cukup bermakna, maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah pada
usia 1 tahun. Pada prinsipnya testis yang tidak berada di skrotum harus diturunkan
ke tempatnya, baik dengan cara medikamentosa maupun pembedahan.
UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko tumor sel
germinal yang meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5-7 tahun, akan
tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1-2 tahun. Risiko kerusakan
histologi testis juga berhubungan dengan letak abnormal testis. Pada awal
pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel germinalnya pada kasus
intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal, penurunan sel
geminal mencapai 41% dan 20%.
a. Terapi Hormonal
Terapi hormonal primer lebih banyak digunakan di Eropa. Hormon yang
diberikan adalah hCG, gonadotropinreleasing hormone (GnRH) atau LH-
releasing hormone (LHRH). Terapi hormonal meningkatkan produksi testosteron
12
dengan menstimulasi berbagai tingkat jalur hipotalamus-pituitary-gonadal. Terapi
ini berdasarkan observasi bahwa proses turunnya testis berhubungan dengan
androgen. Tingkat testosteron lebih tinggi bila diberikan hCG dibandingkan
GnRH. Semakin rendah letak testis, semakin besar kemungkinan keberhasilan
terapi hormonal.
International Health Foundation menyarankan dosis hCG sebanyak 250 IU/ kali
pada bayi, 500 IU pada anak sampai usia 6 tahun dan 1000 IU pada anak lebih
dari 6 tahun. Terapi diberikan 2 kali seminggu selama 5 minggu. Angka
keberhasilannya 6 – 55%. Secara keseluruhan, terapi hormon efektif pada
beberapa kelompok kasus, yaitu testis yang terletak di leher skrotum atau UDT
bilateral. Efek samping adalah peningkatan rugae skrotum, pigmentasi, rambut
pubis dan pertumbuhan penis. Pemberian dosis lebih dari 15000 IU dapat
menginduksi fusi epiphyseal plate dan mengurangi pertumbuhan somatik.
Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak memberikan hasil terutama pada
kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya masih belum
memuaskan. Obat yang sering dipergunakan adalah hormone hCG yang
disemprotkan intranasal.
b. Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT
adalah orchiopexy. Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus
mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologis
anak, dan risiko bila operasi tersebut ditunda. Operasi pada kriptorkismus adalah
orchiopexy. Tujuan operasi pada kriptorkismus adalah:
1. Mempertahankan fertilitas,
2. Mencegah timbulnya degenerasi maligna,
3. Mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis,
4. Melakukan koreksi hernia,
5. Secara psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri karena tidak
mempunyai testis. Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu
13
meletakkan testis ke dalam skrotum dengan melakukan fiksasi pada
kantung sub dartos.
Tabel 1. Jenis Tindakan Pembedahan pada Kelaianan UDT dan Tingkat
Keberhasilannya
Gambar Orchiopexy.
Keterangan gambar:
Orchiopexy digunakan untuk memperbaiki UDT pada anak-anak. Satu insisi
dibuat pada abdomen yang merupakan lokasi UDT, dan insisi lain dibuat pada
skrotum (A). Testis dipisahkan dari jaringan sekitarnya (B) dan dikeluarkan dari
14
insisi abdomen menempel pada spermatic cord (C). Testis kemudian dimasukkan
turun ke dalam skrotum (D) dan dijahit (E).
Komplikasi Orchiopexy
Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan pembedahan Orchiopexy
antara lain :
1. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidak
komplit (10% kasus)
2. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus (5% kasus)
3. Trauma pada vas deferens ( 1–2% kasus)
4. Pasca-operasi torsio
5. Epididimoorkhitis
6. Pembengkakan skrotum
J. Komplikasi UDT
Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi pada UDT
adalah keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testis Di samping itu
disebut juga terjadinya torsi testis, dan hernia inguinalis.
a. Risiko Keganasan
Teradapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden
keganasan testis sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko
terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada anak dengan UDT dilaporkan
berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan testis normal. Makin tinggi
lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis abdominal mempunyai risiko
menjadi ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal. Orchiopexi sendiri tidak
akan mengurangi risiko terjadinya keganasan, tetapi akan lebih mudah melakukan
deteksi dini keganasan pada penderita yang telah dilakukan orchiopexy.
b. Infertilitas
Penderita UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat
dibandingkan penderita UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan
populasi normal. Penderita UDT bilateral mempunyai risiko infertilitas 6x lebih
15
besar dibandingkan populasi normal (38% infertil pada UDT bilateral
dibandingkan 6% infertil pada populasi normal), sedangkan pada UDT unilateral
berisiko hanya 2x lebih besar.
Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada UDT.
Biopsi pada anak-anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya penurunan
volume testis, jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkan dengan testis
yang normal. Biopsi testis pada anak dengan UDT unilateral yang dilakukan
sebelum umur 1 tahun menunjukkan gambaran yang tidak berbeda bermakna
dengan testis yang normal. Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai
tampak setelah umur 1 tahun, semakin memburuk dengan bertambahnya umur.
Tidak seperti risiko keganasan, penurunan testis lebih dini akan mencegah proses
degenerasi lebih lanjut.
BAB III. PENUTUP
16
Undescended testis (UDT) adalah suatu kondisi dimana testis tidak dijumpai pada
tempat yang semestinya yaitu di dalam skrotum. UDT juga dapat terjadi karena
adanya kelainan pada (1) gubernakulum testis, (2) kelainan intrinsik testis, atau
(3) defisiensi hormon gonadotropin yang memacu proses desensus testis.
Penegakkan diagnosis UDT harus dapat dilakukan lebih awal sehingga
penatalaksanaan baik hormonal atau pembedahan dapat dilakukan lebih awal.
Dengan penatalaksanaan lebih awal, diharapkan terjadi penurunan risiko yang
terjadi pada testis terutama risiko infertilitas.
Esensi terapi rasional yang dianut hingga saat ini adalah memperkecil terjadinya
risiko komplikasi dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik dengan
menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy).
DAFTAR PUSTAKA
17
Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto; 2003. hlm.137-
140.
Kolon TF. Cryptorchidism. 2002.http://www.emedicine.com/med/topic2707.html.
Sadler. Embriologi Kedokteran LANGMAN. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2000. h.280-310.
Dogra VS, Mojibian.Cryptorchidism. http://www.emedicine.com/radio/topic201.
UNDESCENDED TESTIS
18
(UDT)
Oleh
DWI VERAYATI
ERICH SAMUEL S.
MIKE YULIA FANDRI
Pembimbing :
Dr. MARS DWI TJAHJO, Sp. U
SMF BEDAH
RSUD DR. HI. ABDOEL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
JUNI 2012
DAFTAR ISI
19
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..............................................................................................1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ..........................................................................................................1
B. Epidemiologi .................................................................................................3
C. Embriologi dan Proses Penurunan Testis ......................................................3
D. Etiologi ..........................................................................................................5
E. Klasifikasi ......................................................................................................6
F. Patogenesis dan Patofisiologi ........................................................................8
G. Diagnosis .......................................................................................................8
........................................................................................................................
........................................................................................................................
H. Diagnosis Banding ........................................................................................12
I. Penatalaksanaan .............................................................................................12
J. Komplikasi UDT ...........................................................................................16
III. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
20