CR .doc
Transcript of CR .doc
PENDAHULUAN
Latar Belakang
pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang
tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra.
Pterygium tumbuh berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Asal kata pterygium
adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya sayap.
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas
dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang
sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak
kurang 37Lintang Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22%
di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas
40Lintang. Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah
ekuator, yaitu 13,1%.
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium
meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden
tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada
umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan
berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan
di luar rumah.
Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik dokter muda di SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Jenderal
Ahmad Yani Kota Metro.
STATUS PENDERITA
Masuk RSAY : 12 Januari 2015
Pukul : 11.30 WIB
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Supidah
Umur : 67 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : 21 C – Metro
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
2. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 12 januari 2015 pukul 11.35 WIB
Keluhan utama : Mata kiri terasa mengganjal
Keluhan tambahan : Mata kiri kemerahan, perih, sering
mengeluarkan air dan terasa kabur.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSAY dengan keluhan penglihatan mata kiri terasa
mengganjal, Keluhan ini dirasakan sejak + 6 bulan yang lalu. Namun keluhan
dirasakan semakin lama semakin berat dan mengganggu pasien dalam
beraktivitas. Awalnya pasien mengeluhkan mata sebelah kiri terasa perih,
gatal, kemerahan dan terasa mengganjal. Namun sejak 3 bulan yang lalu,
pandangan mata kiri mulai terasa kabur dan sejak 1 bulan yang lalu pandangan
terasa semakin mengganjal dan semakin kabur.
Riwayat Penyakit Dahulu:
R/ Hipetensi (+)
R/ Diabetes Melitus (+)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga lain yang memiliki keluhan serupa seperti pasien.
3. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 84 x/menit
RR : 24/menit
Suhu : 36,6 ° C
TD : 160/90 mmHg
Sistem Kardiovaskuler : dalam batas normal
Sistem respirasi : dalam batas normal
Kulit : dalam batas normal
Ekstremitas : dalam batas normal
STATUS OFTALMOLOGIS
DEXTRA SINISTRA
6/60 VISUS 1/60
Tidak dilakukan Koreksi Tidak dilakukan
Dalam batas
normalSupersilia Dalam batas normal
Edema (-), spasme (-) Palpebra superior Edema (-), spasme (-)
Edema (-), spasme (-) Palpebra inferior Edema (-), spasme (-)
Dalam batas normal Silia Dalam batas normal
Orthoforia (-),
eksoftalmus (-),
strabismus (-)
Bulbus oculi
Orthoforia (-),
eksoftalmus (-),
strabismus (-)
Baik ke segala arah Gerakan bola mata Baik ke segala arah
Injeksi konjungtiva (-) Conjungtiva bulbi
tampak selaput
berbentuk segitiga dari
arah nasal mencapai
pupil
Sekret (-) Conjungtiva fornices Sekret (-)
Hiperemis (-)
Sikatrik (-)Conjungtiva palpebra
Hiperemis (-)
Sikatrik (-)
Siliar injeksi (-) Sclera Siliar injeksi (-)
Jernih Cornea Jernih
Kedalaman cukup,
beningCamera oculi Anterior
Kedalaman cukup,
bening
Gambaran Kripta Baik,
warna coklatIris
Gambaran Kripta Baik,
warna coklat
Bulat, regular, sentral,
ϴ 3 mm, reflek cahaya
(+)
PupilBulat, regular, sentral, ϴ
3 mm, reflek cahaya (+)
Jernih Lensa Jernih
Tidak diperiksa Fundus refleks Tidak diperiksa
Tidak diperiksa Corpus vitreum Tidak diperiksa
Tono dig N Tensio oculi Tono dig N
Dalam batas normal Sistem canalis Lacrimalis Dalam batas normal
Gambar 1. Pemeriksaan Fisik pada Oculi Sinistra
A. Resume
Seorang wanita, 67 tahun datang ke poliklinik mata RSAY dengan keluhan
penglihatan mata kiri terasa mengganjal, Keluhan ini dirasakan sejak + 6 bulan yang
lalu. Namun keluhan dirasakan semakin lama semakin berat dan mengganggu pasien
dalam beraktivitas. Awalnya pasien mengeluhkan mata sebelah kiri terasa perih, gatal,
kemerahan dan terasa mengganjal. Namun sejak 3 bulan yang lalu, pandangan mata
kiri mulai terasa kabur dan sejak 1 bulan yang lalu pandangan terasa semakin
mengganjal dan semakin kabur.
Pada pemeriksaan Generalis, Keadaan umum baik, Kesadaran compos mentis, Nadi :
84x/menit, RR : 24x/menit, Suhu : 36,6 ° C, TD : 160/90 mmHg, Sistem
Kardiovaskular dalam batas normal, sistem respirasi dalam batas normal, Kulit dalam
batas normal, ekstremitas dalam batas normal.
Pada pemeriksaan oftalmologi, VOD : 6/60, VOS 1/60. Pada mata kiri ditemukan
selaput berbentuk segitiga dari arah nasal mencapai pupil berwarna putih kemerahan,
kornea jernih, lensa jernih dan tidak ditemukan adanya injeksi konjungtiva ataupun
injeksi siliar.
B. Diagnosis
OS Pterigium Grade III-IV+ Hipertensi + Diabetes Melitus
C. Terapi
1. Nonmedikamentosa
a. Gunakan kacamata pelindung saat aktivitas di luar rumah
2. Medikamentosa
a. Cendo lyteers ED OS
b. Captopril 2x25 mg
D. Anjuran
OS Ekstirpasi pterigium
E. Prognosis
1. Quo ad vitam : ad bonam
2. Quo ad functionam : ad bonam
3. Quo ada sanationam : ad bonam
III. TINJAUAN PUSTAKAA. KONJUNGTIVA
1. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan
epitel kornea dilimbus.
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata
dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke
bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut
dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari
limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut
membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang
bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior.
Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat
ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem
lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari
limbus.
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:
a. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian
posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi
menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan
dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona
marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada
mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara
pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga
terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal.
Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva
palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat
vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai
dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata
menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata
terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah
dimana reaksi patologis bisa ditemui.
b. Konjungtiva BulbiMenutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat
translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan.
Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan
alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva
bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh
kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu
dengan kapsula tenon dan sklera.
c. Konjungtiva Forniks
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva
bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada
struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan
struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta
muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka
konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-
otot tersebut berkontraksi.
Gambar 2. Potongan Sagital Konjugtiva
2. Histologi Konjungtiva
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan
epitel konjungtiva terdiri atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat,
superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas
caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata
terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung
sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air
mata prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat
dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung
pigmen.
Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan
lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di
beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus
bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular.
Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang
konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar
lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya
mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar
krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring
terletak di tepi tarsus atas.
Gambar 3. Histologi Konjungtiva
Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan
pembuluh lemfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus
oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.
B. PTERIGIUM
1. Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya sayap
(wing). Pterigium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler
pada konjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya
bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex
menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada
cantus.
2. Epidemiologi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah
<370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di
daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar
kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk
daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan
prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah
garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang
atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.Pasien di bawah
umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi pterigium meningkat
dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada
umur antara 20-49 tahun. Pterigium rekuren sering terjadi pada umur muda
dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada
perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat
paparan lingkungan di luar rumah.
3. Etiologi
Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara
pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet,
mikrotrauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa
kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun
kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi
menimbulkan pterigium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi
pterigium merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan
lingkungan dengan banyak angin karena sering terdapat pada orang yang
sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar
matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa kasus dilaporkan sekelompok
anggota keluarga dengan pterigium dan berdasarkan penelitian menunjukkan
riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom
dominan.
4. Klasifikasi
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah
episklera , yaitu:
a. Berdasarkan Tipenya pterigium dibagi atas 3 :
1) Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari
kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel
kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun
sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2) Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea
sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh
dengan tear film dan menimbulkan astigmat.
3) Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona
optik. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan
zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai
kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis
subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan
gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan
b. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
1) Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
2) Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai
pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
3) Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter
pupil sekitar 3-4 mm).
4) Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.
Gambar 4. Stadium Pterigium
c. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi yaitu:
1) Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2) Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.
d. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan
harus diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:
1) T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2) T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3) T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.
5. Patofisiologi
Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar
matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi,
dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan
faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel
basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF
(vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase,
migrasi sel, dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi
elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular
di bawah epitel yaitu substansi propia yang akhirnya menembus kornea.
Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan
oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi
ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang
diperlukan untuk pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis
dan kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterigium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral
limbal stem cell. Pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen
serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan
histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik
tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin
dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat
khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic,
hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia
dari sel goblet.
6. Gambaran Klinik
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti
mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat
timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3
dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan
menurun.
Pterigium memiliki tiga bagian :
a. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area kornea yang kering.
b. Bagian whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan
vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
c. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak),
lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan
area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk
dilakukannya koreksi pembedahan.
7. Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata
merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di
luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, serta
dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.
b. Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat.
Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi
ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah
temporal.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Pterigium
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian
obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan
bedah dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah
juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah
mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan tidak diperlukan karena
bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterigium
meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.
Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara
kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata
buatan bila perlu dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan
kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor
maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat perbaikan
pengobatan dihentikan.
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan
yang progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan
pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan
normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah
yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium adalah dengan
menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah limbus.
Walaupun memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada
limbus lebih disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara
berlebihan di daerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul
perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot.
Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple
surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat
menurunkan tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft
Dimana pterigium yang dibuang digantikan dengan konjungtiva normal
yang belum terpapar sinar UV (misalnya konjungtiva yang secara normal
berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva normal ini biasaya
akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk
menyebabkan pterigium rekuren.
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva
yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka
kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C
(MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat
komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
Indikasi Operasi pterigium
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak
teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara
universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik
yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan.
Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari
kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih
cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan
89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan
pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal,
dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut.
Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan
pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft
konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi
akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan
telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.
3. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan
bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat
peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan
sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen
untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia.
Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah
pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di
atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma
menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan
penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion
menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan
dalam autografts konjungtiva.
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke
dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat
rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada
komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun
tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun,
efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan
pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroidselama 1 minggu.
Gambar 4. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,
(b).Pterygium removed, (c).Leaving bare area, (d).Graft outlined,
(e).Graft sutured into place
9. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada
orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar
matahari, debu, dan angin panas. Yang membedakan pterigium dengan
pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan
elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang.
Gambar. Pinguekula
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat.Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea,
sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan
sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea.Pseudopterigium
dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk oblieq.
Sedangkan pterigium ditemukan secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9.
Gambar. Pseudopterigium
Tabel. Perbedaan Pterigium dan Pseudopterigium
10. Komplikasi
Komplikasi pterigium meliputi sebagai berikut:
a. Astigmatisma
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterigium adalah
astigmat karena pterigium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea
akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterigium serta terdapat
pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang berhubungan
dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas.
Hal ini diduga akibat “tear meniscus” antara puncak kornea dan
peninggian pterigium. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterigium adalah
astigmat “with the rule” dan iireguler astigmat.
b. Kemerahan
c. Iritasi
d. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
e. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan
menyebabkan diplopia.
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
a. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft
konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.
b. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau
nekrosis sklera dan kornea
c. Pterigium rekuren
11. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien
dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion
IV. DISKUSI
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada konjungtiva
dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal,
biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea
dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus. Etiologi pterigium masih
belum jelas namun terdapat beberapa faktor resiko pterigium antara lain paparan
ultraviolet, mikrotrauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus.
Pterigium dibagi atas 4 stadium berdasarkan stadiumnya, mulai dari hanya
sebatas limbus hingga melewati pupil. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, seperti pada kasus. Tatalaksana terbagi atas
konservatif dan pembedahan. Prognosis pterigium adalah baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.
2. Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared
with subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive
primary pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu
Kedokteran, Volume 39, No. 4, Desember 2007: 186-19.
3. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in
Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of
Ophthalmology. 2002; 86(12): 1341–1346. Avaiable at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
4. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal
119.
5. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis
Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. 2009.
6. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2012 August 9]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
7. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in pterigium
treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006
8. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas.
New York : Thieme Stutgart. 2000
9. Vemuganti, Geeta dkk. International review of cell and molecular biology.
[online] 2009. [cited 2012 August 23]. Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1937644809750051
10. Efstathios T. Pathogenetic Mechanism and Treatment Options for
Ophthalmic Pterygium: Trends and Perspectives (Review). International
Journal of Melecular Medicine. 2009.
11. Solomon A.S. Pterygium. British.Journal.Ophtalmology.p.665 [online]. 2010.
[cited 2011 December 12]. Availble from : http:// bjo.bmjjournals.com
12. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In:
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366
13. Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in
Pterigium Surgery. Postgraduate Department of Opthalmology, Govt. Medical
College, Jammu. 2004
CASE REPORT
OS PTERIGIUM GRADE III-IV + HIPERTENSI +
DIABETES MELITUS
Oleh :
Dian Revita Sari, S.Ked 1018011052
M. Novsandri Syuhar, S.Ked 1018011015
PEMBIMBING :
dr. H. Yul Khaizar, Sp.M
SMF ILMU PENYAKIT MATA
RSU JENDERAL AHMAD YANI METRO
JANUARI 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus kedokteran Ilmu Penyakit Mata “OS PTERIGIUM GRADE III-IV
+ HIPERTENSI + DIABETES MELITUS ” dalam rangka menyelesaikan
tugas kepaniteraan klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. H.
Yul Khaizar Sp.M sebagai pembimbing laporan kasus saya selama di Rumah Sakit
Umum Jend. Ahmad Yani Metro. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih
jauh dari sempurna sehingga setiap kritik dan saran untuk pengembangan makalah ini
sangat diharapkan demi kesempurnaan laporan hasil studi kasus ini dan sebagai bekal
penulis di masa yang akan datang.
Akhir kata penulis juga berharap kiranya laporan hasil studi kasus ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bandar Lampung, Januari 2015
Penulis