Contoh Cerpen

18
Dua Kekalahan DWI KARTIKA SARI Mendadak sebuah kenangan menempeleng kepalaku. Aku yang sedang mengemasi majalah-majalah lama ke dalam kardus tak siap dengan serangan itu. Dari sebuah majalah kampus lawas yang kupegang, si kenangan meloncat keluar lalu menghantami kepalaku tanpa ampun. Aku jatuh terduduk, tapi si kenangan tetap tak memberi ampun. Lalu tiba-tiba ia menghentikan serangannya. Aku terengah, mencoba mengumpulkan kesadaranku. Naas, belum selesai upayaku mengumpulkan kesadaran, serangan selanjutnya keburu datang. Kali ini ia tidak memukul, ia masuk ke dalam kepalaku lewat lubang telingaku. Di dalam kepala, ia menggiring otakku pada ingatan enam tahun silam. Tanpa bisa mengelak, ingatanku menerawang pada peristiwa itu. Kandas sudah rencanaku mengemasi buku dan majalah yang akan kubawa pindah ke ibukota. *** Hari itu tak akan pernah lenyap dari ingatanku, Kamis, 26 September 2004. Aku ingat persis bagaimana garis-garis wajah Bapak Suriyanto mengeras. Senyum yang biasanya ramah telah lenyap. Jari telunjuk tangan kananku terus mengetuk-ngetuk paha. Aku tak bisa menyembunyikan kecemasanku. Kursi kayu yang kududuki terasa sangat tidak nyaman. Walaupun ruangan dosen ini ber-AC, aku merasakan setetes keringat dingin yang mengalir turun dari tengkukku. “Kamu pintar, Andi. Nilai tugas dan kuismu selalu bagus. Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya tidak masuk kelas. Kamu tidak masuk tujuh pertemuan dan sekarang kamu minta saya mengizinkan kamu ikut ujian akhir semester. Mengapa kamu sering tidak masuk kelas?” Aku memberanikan diri menatap matanya yang terbingkai kacamata bulat. “Semester ini saya mengerjakan majalah kampus, Pak. Saya

description

CERITA PENDEK

Transcript of Contoh Cerpen

Page 1: Contoh Cerpen

Dua KekalahanDWI KARTIKA SARI

Mendadak sebuah kenangan menempeleng kepalaku. Aku yang sedang mengemasi majalah-majalah lama ke dalam kardus tak siap dengan serangan itu. Dari sebuah majalah kampus lawas yang kupegang, si kenangan meloncat keluar lalu menghantami kepalaku tanpa ampun. Aku jatuh terduduk, tapi si kenangan tetap tak memberi ampun.

Lalu tiba-tiba ia menghentikan serangannya. Aku terengah, mencoba mengumpulkan kesadaranku. Naas, belum selesai upayaku mengumpulkan kesadaran, serangan selanjutnya keburu datang. Kali ini ia tidak memukul, ia masuk ke dalam kepalaku lewat lubang telingaku.

Di dalam kepala, ia menggiring otakku pada ingatan enam tahun silam. Tanpa bisa mengelak, ingatanku menerawang pada peristiwa itu. Kandas sudah rencanaku mengemasi buku dan majalah yang akan kubawa pindah ke ibukota.

***

Hari itu tak akan pernah lenyap dari ingatanku, Kamis, 26 September 2004. Aku ingat persis bagaimana garis-garis wajah Bapak Suriyanto mengeras. Senyum yang biasanya ramah telah lenyap. Jari telunjuk tangan kananku terus mengetuk-ngetuk paha. Aku tak bisa menyembunyikan kecemasanku. Kursi kayu yang kududuki terasa sangat tidak nyaman. Walaupun ruangan dosen ini ber-AC, aku merasakan setetes keringat dingin yang mengalir turun dari tengkukku.

“Kamu pintar, Andi. Nilai tugas dan kuismu selalu bagus. Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya tidak masuk kelas. Kamu tidak masuk tujuh pertemuan dan sekarang kamu minta saya mengizinkan kamu ikut ujian akhir semester. Mengapa kamu sering tidak masuk kelas?”

Aku memberanikan diri menatap matanya yang terbingkai kacamata bulat. “Semester ini saya mengerjakan majalah kampus, Pak. Saya pemimpin redaksinya. Karena berpacu dengan tenggat waktu dan lima orang staf redaksinya mangkir, saya terpaksa membolos beberapa kali untuk menyelesaikan liputan majalah. Maaf, Pak,” dua kata yang terakhir itu kuucapkan dengan sangat lirih. Ia tersenyum dengan hanya menarik sebelah bibirnya, meremehkan argumenku.

“Dulu saya juga aktivis ketika mahasiswa. Tapi saya tidak pernah sampai melobi dosen untuk diizinkan ikut ujian,” ujarnya. Aku hanya bisa diam mendengar kata-kata dosen Matematika Ekonomi itu. Tentu saja dulu Bapak tidak pernah melobi dosen. Dulu mana ada peraturan sialan yang mengharuskan kehadiran minimal tujuh puluh persen!

Page 2: Contoh Cerpen

Sesaat tercipta keheningan yang tidak nyaman. Aku tak tahu harus berkata apa untuk memecah keheningan itu. Bapak Suriyanto menghela nafas panjang. “Kamu bawa majalahnya? Coba saya lihat, apa benar kamu sibuk mengerjakan majalah kampus.” Aku meraih tas ranselku yang kutaruh di lantai. Kukeluarkan sebuah majalah yang masih mulus dari tas ransel usang, tas yang sudah kupakai sejak masih di sekolah menengah atas.

Aku mengulurkan majalah berkulit muka warna merah itu kepada Bapak Suriyanto. Ia menerimanya dengan agak kasar. Dahinya sedikit mengernyit ketika melihat kulit mukanya. Ia mulai membaca, sesekali membalik halaman. Kacamatanya sedikit melorot di batang hidung. Sekali lagi tercipta keheningan.

Hening itu memberi ruang bagi pikiranku untuk melayang ke mana-mana. Pikiranku terbang menembus dinding-dinding ruang dosen, melayang ke ingatan sebulan lalu. Ingatan tentang proyek pembangunan mal di sebuah jalan utama. Jalan yang dinamai dengan nama seorang pahlawan.

Aku dan Wisnu, fotografer majalah kampus, meliput pembangunan Ambar Plaza, sebuah mal yang katanya akan jadi mal terbesar di Yogyakarta. Memang pembangunan tersebut sedang ramai jadi buah bibir masyarakat Yogyakarta. Terutama ketika tersiar kabar bahwa pembangunan itu akan menggerus sebagian tembok Gedhong Kanan. Gedhong Kanan ialah paviliun sebelah kanan dari situs bangunan bersejarah kraton Pesanggrahan Ambar.

Rupanya kabar itu benar. Sehari setelah beredar kabar tentang penggerusan tembok Gedhong Kanan, pukul enam pagi aku dan Wisnu langsung menuju lokasi pembangunan Ambar Plaza. Seng-seng putih tebal setinggi dua meter tersusun rapi untuk menutupi pemandangan di dalam proyek pembangunan mal. Kami masuk lewat gerbang kecil yang tidak dijaga satpam.

Begitu masuk ke dalam lokasi proyek, kami terkejut! Ternyata sebagian tembok Gedhong Kanan telah benar-benar digerus. Alat berat yang digunakan untuk merobohkan tembok masih diparkir di dekat reruntuhannya.

Aku setengah tak percaya. Kuasa kapital telah menghancurkan nilai sejarah. Dewa Kapital lebih berkuasa daripada Kerajaan Yogyakarta. Dengan iming-iming pendapatan asli daerah yang besar, mereka yang memerintah Yogyakarta telah bertekuk lutut pada Dewa Kapital. Mereka melalaikan apa yang telah dimiliki, yang seharusnya dijaga bersama.

Oh, Dewa Kapital. Tahukah kau, Dewa Kapital? Gedhong Kanan itu bangunan dengan nilai sejarah yang tak terhingga. Tempat ini menjadi peristirahatan terakhir Raja Ketujuh dan pernah menjadi tempat tetirah bagi para utusan dari Kasunanan!

Page 3: Contoh Cerpen

Suara shutter kamera SLR milik Wisnu menyadarkanku dari lamunan tentang Dewa Kapital. Wisnu terus memotret. Aku mengedarkan pandangan, belum ada siapa-siapa di lokasi proyek. Aku dan Wisnu berjalan mendekati reruntuhan tembok Gedhong Kanan. Wisnu berjalan lebih cepat di depanku. Ia ingin mengambil gambar reruntuhan itu dari dekat.

“Hei! Jangan memotret!” Tiba-tiba sebuah suara kasar dan berat menghardik kami. Seorang satpam berlari ke arah kami. Kulitnya hitam, tubuhnya tinggi besar. Wisnu tetap memotret, mengacuhkan teriakan itu.

“Jangan memotret!” teriaknya sekali lagi. Wisnu tetap mengabaikan perintah itu. Jika Wisnu sudah berkeyakinan bahwa suatu peristiwa layak diberitakan, ia tak mau dihentikan. Keyakinan bahwa kebenaran harus disiarkan menjadi harga mati bagi Wisnu.

Satpam itu semakin mendekat. Wisnu berbalik dan memotret satpam itu. Setiap ia melarang Wisnu memotret, Wisnu malah memotretnya berkali-kali. Satpam itu naik pitam. Ia berusaha merampas kamera Wisnu. Wisnu mengamankan kameranya dengan tangkas.

“Saya wartawan, Pak,” kata Wisnu sambil menunjukkan kartu pers yang dikalungkan di leher.

“Saya bilang jangan memotret!”

“Kenapa tidak boleh memotret?”

“Saya bilang jangan memotret! Sini! Berikan filmnya!”

“Enggak!” Wisnu balas berteriak.

Sekali lagi satpam berusaha merampas kamera. Wisnu mulai kewalahan mengamankan kamera. Tubuh kurusnya nyaris terjatuh ketika berusaha menjauhkan kamera dari jangkauan satpam. Aku berlari ke arah Wisnu. Aku menarik tangan si satpam, mencegahnya mengambil kamera. Dengan gerakan cepat, satpam mendorongku. Tubuhku yang sama kurusnya dengan Wisnu langsung terjerembab di tanah. Lututku membentur batu. Nyeri hebat langsung menikam.

Aku meludahkan butiran-butiran tanah yang masuk ke mulut. Cepat-cepat bangkit berdiri untuk membantu Wisnu. Tak kuhiraukan nyeri di lutut. Aku mencengkeram kerah belakang baju si satpam, menariknya menjauhi Wisnu.

Page 4: Contoh Cerpen

Di tengah pergumulan, sebuah suara mengejutkan kami, “Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?” Kami berhenti berebut, menoleh ke sumber suara. Seorang laki-laki separuh baya berkulit putih mendekati kami. Wajahnya tampak marah. Ia mengenakan celana kain warna hitam dan kemeja biru muda. Dasi coklat melengkapi penampilannya yang rapi. Kelihatannya ia orang yang punya kuasa di proyek.

“Ada apa ini?” tanyanya pada satpam.

“Anu… mereka memotret di proyek ini tanpa izin, Pak.”

“Di proyek ini tidak ada peringatan dilarang memotret, Pak,” Wisnu menyela.

Lelaki berkulit putih itu melihat ke sekeliling. Kami yang sibuk berebut kamera tidak memperhatikan kalau beberapa wartawan lain juga sudah mulai berdatangan. Sebagian dari mereka menenteng kamera. Kedatangan wartawan-wartawan lain membuat si lelaki berkulit putih tampak gusar. “Lelaki itu pasti tidak mau keributan kami diketahui wartawan lain,” kataku dalam hati. Benar saja. Ia minta maaf atas kelakuan si satpam. Ia juga meminta kami segera meninggalkan lokasi proyek.

Kami langsung meninggalkan lokasi proyek. Aku berjalan tertatih. Nyeri masih merambati kakiku. Wisnu jalan di sampingku sambil memasukkan kamera ke dalam tas. Aku melirik arlojiku. Sekarang jam 07.30. Tidak mungkin aku mengikuti kelas Bapak Suriyanto. Aku sudah terlambat tiga puluh menit. Sekali lagi aku terpaksa membolos. Aku tak ingat ini kali keberapa aku membolos kelasnya. Sialan! Lima orang staf redaksi yang mangkir membuatku terpaksa mengerjakan jatah liputan mereka. Semoga aku masih bisa ikut ujian.

***

Sekarang pikiranku terbang ke kampung halamanku di Notog, Banyumas. Sumpah! Aku tak akan memohon pada dosen jika tidak ingat keluargaku di kampung. Bapak-ibuku yang petani sudah mulai renta. Tangan mereka yang keriput kucium setiap kali aku pamit kembali ke Yogyakarta.

Sekira enam bulan lalu ketika aku pulang kampung, kuperhatikan benar bagaimana dinding anyaman bambu rumahku mulai lapuk. Beberapa kayu penyangga rumah keropos di sana-sini.

Pada suatu malam, di teras rumah aku dan bapak duduk-duduk di kursi bambu. Kami mengobrol sambil menyantap sepiring pisang rebus buatan ibu. Tak ketinggalan, dua gelas kopi ikut menemani

Page 5: Contoh Cerpen

kami. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik dari sawah-sawah dekat rumah. Angin malam berhembus sesekali, mengantarkan hawa dingin.

Bapak membuka obrolan dengan bercerita tentang harga pupuk yang terus naik. “Regane larang lan angel digolet,” kata bapak dengan logat Banyumasnya yang kental. Bapak terus berkisah tentang pupuk yang mahal dan sulit dicari itu. Ia membandingkannya dengan dua puluh tahun yang lalu. Sekarang kehidupan petani semakin sulit. Pada musim tanam, sebagian petani terpaksa berhutang untuk membeli bibit dan pupuk karena harganya tak lagi murah. Hutang itu baru bisa dibayar ketika panen. Namun jika panen gagal, petani dipastikan merugi. Bapak sendiri sudah hutang dua juta rupiah pada pak lurah. Ia juga bercerita tentang teman-temannya yang akhirnya menjual sawah mereka untuk melunasi hutang.

Aku menyalakan rokok. Giliran aku yang bercerita pada bapak tentang beasiswa prestasi yang kudapatkan. Bapak tak perlu mengkhawatirkan biaya kuliahku semester ini. Bapak tersenyum penuh arti. Matanya menyiratkan kebanggaan. Ia menepuk bahuku sambil mendoakanku supaya jadi anak yang berhasil. “Ya muga-muga dadi bocah sing mulya,” katanya.

Bapak mengambil rokok kretek yang ia selipkan di telinga. Rambutnya yang sudah memutih membuatku tak sadar kalau ia menyelipkan rokok di telinga. Ia pinjam korekku untuk menyalakan rokok. Bapak tidak berkata apa-apa lagi. Kepalanya sedikit mendongak; matanya menerawang memandang langit yang berbintang. Seulas senyum belum lenyap dari bibirnya. Setelah rokoknya habis, bapak membetulkan lilitan sarung yang dikenakan. Tangan kirinya menarik lengan kaus lusuh yang agak melorot ketika ia membetulkan sarung. Bapak menepuk bahuku sekali lagi, ia lalu masuk ke rumah.

Aku masih bergeming di teras, menyandarkan tubuhku di punggung kursi bambu. Dua juta rupiah… jumlah yang sangat besar bagi keluargaku. Padahal baru tiga minggu lalu bapak berhasil melunasi hutangnya pada pak lurah, jumlahnya tiga juta rupiah. Uang pinjaman itu ia gunakan untuk membayar biaya masuk kuliahku setahun yang lalu.

Aku menatap kursi yang tadi diduduki bapak. Senyum penuh arti bapak terpatri di kepalaku. Bapakku, laki-laki kampung yang punya kemauan keras untuk menyekolahkan anak semata wayangnya sampai perguruan tinggi. Bapak ingin aku punya kesempatan yang lebih baik daripada membantunya di sawah, daripada menjadi petani.

Malam itu aku berjanji. Walaupun aku sibuk jadi pemimpin redaksi, aku akan berusaha mempertahankan beasiswa yang kudapat. Aku tak ingin memberatkanmu, Pak....

***

Page 6: Contoh Cerpen

“Baiklah, Andi.” Kata-kata Bapak Suriyanto langsung membawa pikiranku kembali ke ruang dosen. Pengembaraannya ke lokasi proyek dan Notog telah selesai. Bapak Suriyanto meletakkan majalah di meja. Sekarang ia menatapku tajam.

“Saya tahu kamu dapat beasiswa. Kalau tidak ikut ujian mata kuliah saya, kamu khawatir IPmu jatuh dan beasiswamu dicabut?” Aku mengangguk. “Aku akan menyulitkan bapak jika beasiswaku sampai dicabut,” kataku dalam hati.

Bapak Suriyanto melanjutkan, “Padahal kamu butuh beasiswa. Lalu kenapa kamu aktif di pers kampus? Kesibukannya malah membuatmu tidak bisa ikut kelas saya.”

Aku diam sejenak, bingung harus berkata apa. Akhirnya aku memberikan penjelasan. “Karena di kantor pers kampus saya bisa pakai komputer, Pak. Saya baru bisa mengoperasikan komputer sejak ikut pers kampus. Saya juga jadi memiliki sahabat-sahabat, mereka selalu membantu saya jika saya mengalami kesulitan. Mereka sering meminjami saya buku, bahkan uang. Satu lagi, Pak. Saya pernah mewawancarai seorang guru besar fakultas ekonomi dan sempat bertukar pikiran dengan beliau setelah wawancara selesai. Saya cuma orang dusun, Pak. Kalau bukan karena ikut pers kampus, saya tak mungkin memiliki peluang-peluang itu,” kataku.

Bapak Suriyanto bersandar pada punggung kursi. Ia melepas kacamatanya, meletakkan di meja. Ia menggosok-gosokkan tangan ke wajahnya. “Ya sudah. Besok pagi saya akan bilang ke pengajaran supaya kamu diperbolehkan ikut ujian.” Aku mengucapkan terima kasih. Sekeitka itu juga rasa lega memenuhi hatiku. Karena tak tahu lagi apa yang harus kukatakan, aku mohon diri.

Aku sudah bersiap membuka pintu ruang dosen ketika Bapak Suriyanto bertanya lagi padaku, “Saya mau tanya satu hal lagi sama kamu. Menurutmu, apa tindakanmu melobi saya ini adalah hal yang benar?”

“Salah, Pak. Saya telah melanggar peraturan. Peraturan tetap saja peraturan, walaupun saya membenci aturan itu. Jujur, jika keuangan keluarga saya sedang baik, saya lebih pilih mengulang mata kuliah Bapak tahun depan,” ujarku lirih.

“Kamu tahu, Andi? Saya yakin orang-orang yang kamu beritakan di majalahmu itu awalnya seperti kamu.”

“Maksud, Bapak?” tanyaku bingung.

Page 7: Contoh Cerpen

“Mereka tidak kuasa melawan apa yang mereka anggap salah. Saya yakin, jauh di lubuk hati mereka, mereka pun menganggap merobohkan tembok Gedhong Kanan bukanlah tindakan yang benar. Tapi mereka tak berdaya melawan apa yang mereka anggap salah. Sama seperti kamu, Andi. Kamu mengamini kalau tindakanmu salah. Tapi karena takut uang beasiswa dicabut, kamu tetap melakukan tindakan yang kamu anggap salah… jangan sampai kelak kamu juga jadi seperti mereka. Hati-hati dengan sikapmu sendiri, Andi....”

Tanganku gemetar ketika membuka pintu ruang dosen. Kata-kata Bapak Suriyanto bagaikan pisau yang menusuk dadaku, menghunjam tepat di jantung....

***

Kenangan itu sudah keluar dari kepalaku. Tetapi ia tidak pergi. Sekarang ia duduk di sudut kamar kosku yang berantakan. Aku membenamkan wajahku ke kedua telapak tangan. Badanku gemetar. Enam tahun sudah berlalu, tapi kenangan itu masih mampu membuat perasaanku tercabik. Bagiku kenangan itu adalah dua kekalahan dalam waktu yang bersamaan. Warisan sejarah yang ditumbangkan Dewa Kapital dan ketidakberdayaanku dalam melawan sikap salah itu.

Aku meraih bungkus rokok yang tergeletak di lantai. Merokok biasanya bisa membuatku lebih tenang. Kuhisap rokokku dalam-dalam, berharap efek nikotinnya mampu menyingkirkan kata-kata Bapak Suriyanto yang sekarang terus bergaung di telingaku. “…. Tapi karena takut uang beasiswa dicabut, kamu tetap melakukan tindakan yang kamu anggap salah… jangan sampai kelak kamu juga jadi seperti mereka. Hati-hati dengan sikapmu sendiri, Andi....”

Kuhisap rokokku lebih dalam. Aku mengalihkan pikiranku dengan membayangkan pekerjaan baruku di ibu kota. Aku diterima sebagai salah satu peneliti di sebuah lembaga ilmu pengetahuan. Pekerjaan itu jauh lebih menarik minatku daripada pekerjaanku sekarang, outsourcing di bank swasta. Lagipula aku sudah bosan tinggal di Yogyakarta.

Aku melirik ke sudut kamar. Sialan! Si kenangan masih duduk di sana. Ada yang bilang kenangan itu seperti tato, tidak pernah benar-benar hilang….

Ada juga yang bilang kenangan itu seperti perantau, mereka selalu kembali pulang…. []

Page 8: Contoh Cerpen

Aku Ingin Melihat Matahari Terbit BersamamuRR YUNI KRISTYANINGSIH PRAMUDHANINGRAT

Aku ingin melihat matahari terbit bersamamu.

Aku membuka daun jendela kayu jati berukir bunga-bunga bulat yang menjulur ke sana ke mari itu dan melihat langit sudah terang tapi matahari belum tampak. Apakah aku bangun terlambat?

Aku melihat seseorang berdiri di jalan setapak di dalam taman, di antara batang-batang melati. Aku melangkah ke pintu dan kemudian berjalan mengitari bunga azalea dalam pot keramik besar dan serumpun mawar putih menuju ke arahnya. “Guten morgen,”sapaku. Berjalan tanpa alas kaki di atas batu-batu bulat pada pagi hari adalah rutinitas penghuni rumah itu. Aku mengetahuinya dari sisa-sisa ingatanku.

Sapaanku tidak dijawab. Orang itu hanya menoleh sebentar lalu tanpa mengubah gerakannya yang meliuk dengan lembut mengikuti pola-pola tertentu dia berkata, “Tidurmu nyenyak?”

“Iya. Terima kasih.” Semalam aku tidak dapat tidur sekejap pun. Rumah tradisional itu tidak memiliki palang pintu. Dia bisa masuk dan menusuk dadaku dengan pisau kapan saja. Aku tidak takut mati. Aku hanya tidak ingin tidak terjaga ketika dia sedang membalaskan dendamnya. Aku berharap dia melakukannya. Setidaknya dengan begitu aku punya alasan untuk meminta maaf. Saat ini mustahil meminta maaf padanya tanpa melukai harga dirinya.

“Ini apa?” Aku mengamatinya. “Tai-chi?”

Andrew dan aku berlatih tai-chi setiap pagi. Aku suka gerakannya yang seperti menari. Dalam taraf tertentu ini adalah jurus bela diri yang berbahaya. Prinsipnya adalah memukul balik musuh dengan memanfaatkan tenaga musuh itu sendiri. Aku belum pernah menggunakannya untuk memukul orang tapi mungkin Andrew pernah.

“Maukah Anda mengajariku?” kataku. Dia punya kebiasaan berbicara dengan kalimat-kalimat pendek. Aku berharap kesopansantunan akan mengubahnya sedikit. Aku percaya pada kata-kata. Orang yang sedikit bicara membuatku ngeri. Sejak aku datang kemarin kami belum bertukar kata lebih dari setengah lusin.

“Tidak. Ini tidak cocok untuk anak muda sepertimu.”

Page 9: Contoh Cerpen

“Saya sudah tua. Umur saya tiga puluh tiga saat ini.”

Dia tertawa tapi tidak ada nada senang di dalam tawanya. “Itu umur di mana orang-orang bertindak bodoh,” katanya. Puterinya meninggal saat berusia tiga puluh tiga. “Bukan untuk disebut tua.”

Aku melihat sosoknya yang tinggi dan besar. Matanya yang berwarna seperti laut pada musim badai dan rambut kecokelatan dengan beberapa jumput warna keperakan. Dia tidak memperlihatkan definisi kata ‘tua’. “Saya bodoh sejak lahir. Dan mungkin akan tetap begitu sampai mati,” kataku.

Dia menghentikan gerakannya. Sepertinya merasa terganggu.

“Sepertinya kau terbiasa mendapatkan pemaafan,” ucapnya sambil berjalan ke arah bangku taman dan meraih handuk kecil yang tersampir di kursi. Tubuhnya berkeringat. Aku mengikuti berjalan di belakangnya.

“Tidak dari diri saya sendiri,” jawabku. Tidak juga dari pria ini dan kekasihku, kurasa.

“Oya? Yang seperti itu susah untuk dilihat. Orang mungkin iri padamu.” Aku tahu dia mengatakannya untuk melampiaskan kemarahan. “Orang cenderung tidak menyukai orang yang melakukan sesuatu tanpa mendapat risiko apa pun.”

“Apakah ada orang yang begitu?”

“Aku tidak tahu. Mungkin beberapa.”

Dia duduk di bangku taman dan mengusap lututnya.

Dia mendapat kecelakaan ketika masih muda yang membuatnya berhenti menjadi tentara dan mulai belajar kedokteran. Dia perlu membawa tongkat ke mana-mana tapi dia tetap tipe pria Eropa yang elegan dan menakutkan. He has my bad temper in an original version.

“Masih pagi,” ujarnya. “Kembalilah ke kamar. Kami baru sarapan sekitar jam delapan.”

Page 10: Contoh Cerpen

“Saya ingin pergi ke suatu tempat.”

Sebelah alisnya menaik. “Menurutku kau akan tetap pergi walau aku melarangmu ke sana.”

“Saya ingin melihat matahari terbit.”

“Matahari terbit setiap hari.”

Aku ingin melihat matahari terbit bersamamu. Kekasihku berkata begitu tahun lalu dan juga tahun-tahun sebelumnya.

Saat itu aku tertarik pada banyak hal tetapi matahari terbit tidaklah termasuk di dalamnya.

Aku tidak percaya akan masa depan. Meskipun aku tahu bahwa dalam hidup ini orang selalu akan ngunduh wohing pakarti, ketidakpercayaan itu membuatku hidup sesuka hatiku. Aku sama sekali tidak tahu kalau pada suatu hari dia akan menjadi salah satu buah perbuatan yang harus aku petik.

Bagiku cinta baru bisa dipikirkan setelah semua hal yang lain diurus dengan baik. Itu baru fair. Kebanyakan orang memperlakukan cinta seperti semacam hiburan saja. Sesuatu yang diam-diam mereka nikmati ketika mereka kelelahan atau melarikan diri dari hal-hal lain yang lebih serius dan realistis.

Kekasihku wanita yang terlalu romantis, dia gembira karena hal-hal kecil dan sangat mudah terluka. Dia mencintaiku dengan sepenuh perasaan. Sesuatu yang selalu membangkitkan rasa kasihanku

“Saya tahu,” jawabku, menatap laki-laki itu. “Tapi matahari tidak sama setiap harinya.”

Aku mengangguk padanya dan hendak melangkah pergi. Beberapa langkah aku mendengar suaranya. “Apa kau tahu dia mengidap hemochromatosis?”

Aku berbalik. “Apa itu?”

“Jadi kau tidak tahu?”

Page 11: Contoh Cerpen

“Maaf saya tidak tahu. Tolong Anda jelaskan apa itu.”

“Aku tidak suka padamu.” Dia berbicara dengan nada datar seperti biasanya. “Ketika dia meminta persetujuanku atas pernikahan kalian kami bertengkar hebat. Kukatakan dalam hubungan semacam itu orang sepertimulah yang akan lebih cepat bosan dibandingkan orang seperti dia. Tapi rupanya dia sangat percaya kepadamu. Dia mewarisi kebodohan ibunya.”

Saat pertama kali bertemu ayahku, ibuku jatuh cinta padanya dan menyerahkan seluruh hatinya. Ayahku terlalu manja untuk bisa mengambil tanggungjawab semacam itu jadi dia pergi. Perlu waktu dua puluh tahun baginya untuk menyadari bahwa aku adalah anak yang lahir karena kecerobohannya.

“Saya....” Aku ingin sekali meminta maaf tapi tidak mampu mengucapkannya.

“Lalu ketika kau memutuskan hubungan dengannya aku berpikir aku harus meluangkan waktu untuk membujukmu.” Dia tertawa kecil. Sangat satir. “Kau harus lihat bagaimana dia begitu antusias menyiapkan pernikahannya. Kau tahu dia menganggap dirinya harus menjalani hidup seperti biarawati karena pandangan orang-orang yang kolot tentang anak haram. Dia tidak pernah peduli pada pria manapun seumur hidupnya. Ide tentang pernikahan dan keluarga tidak pernah singgah di kepalanya. Sampai dia bertemu denganmu dan kau berhasil menyusupkan ide itu ke dalam angan-angannya. Dia mengikuti pelayanku sepanjang hari dan mengganggunya dengan pertanyaan bagaimana melakukan ini dan itu. Dia belajar memasak dan menangis ketika ikan yang dia goreng gosong. Katanya kau suka makan ikan. Dia membeli bermeter-meter kain brokat untuk dijahit menjadi kebaya. Dia memang sangat lugu dan bodoh.” Dia menatapiku. “Kenapa kau tiba-tiba membatalkan pernikahan?”

“Saya sudah menikah. Saya pikir tidak adil bagi...”

“Lalu kenapa kau memulainya, demi Tuhan?” Suaranya meninggi. “Seorang pria terhormat tidak seharusnya memulai sesuatu yang tidak dapat dia lakukan sampai akhir. Tidakkah kau mendapatkan pelajaran itu ketika kecil?”

“Saya bukan pria terhormat.”

“Oh, itu jelas sekali.” Ketajaman suaranya membuatku merasa agak nyaman. Aku harus mendapatkan hukuman darinya entah bagaimana. Itu akan membuatku merasa lebih baik. “Aku seharusnya membunuhmu. Semua orang akan maklum kalau kulakukan itu. Tapi bahkan puteriku sendiri saja tidak membuat keributan sedikit pun. Walaupun sebenarnya dia punya hak untuk itu. Katanya itu supaya hidupmu tidak terusik. Kau punya keluarga dan anak-anak. Kau punya pekerjaan

Page 12: Contoh Cerpen

yang mengharuskanmu menjaga martabat. Dia lebih memilih menghinakan dirinya sendiri dengan berkumpul bersama iblis di neraka.”

Aku menyaksikan kesedihan mendalam yang tersembunyi di dalam kata-kata kerasnya. “Kalau membunuhku dapat....”

“Tidak. Aku tidak bisa membiarkanmu menemuinya di sana. Setidaknya itulah yang kuharapkan.” Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Lakukan apa yang kau mau dan segeralah pergi. Sudah cukup aku melihat wajahmu hari ini dan kemarin.”

Berjalan kaki aku mengikuti jalan yang sudah kuketahui. Jalanan desa yang mengikuti arah tepian sungai. Langit sudah terang dan aku melihat beberapa orang berjalan di pematang sawah. Mungkin ini waktu dimulainya jam kerja bagi petani.

Aku berjalan dengan langkah yang makin kupercepat. Di langit sebelah timur, di balik pegunungan sudah terlihat semburat merah keemasan meskipun ujung celanaku basah kuyup oleh embun. Setelah mendaki dua bukit kecil, menyeberangi sungai, melewati beberapa rumah, berjalan di daerah persawahan, aku sampai di tempat itu. Masih sama seperti yang ada dalam ingatanku.

Aku melihat cahaya pertama matahari menyinari ujung-ujung ranting jati yang kering.

Tempat paling indah di desaku adalah pemakaman. Berada di satu bagian dari tanah milik keluargaku. Di atas sebuah bukit kecil yang kanan-kirinya diapit oleh dua sungai berlereng terjal. Di lereng-lereng itu tumbuh bunga-bunga anggrek liar. Bunga yang akan mati jika kau mencoba memindahkannya dari tempatnya tumbuh. Pemakaman itu dikelilingi hutan jati. Dahulu tidak ada satu pun pohon di situ kecuali pohon pulai tua yang bunganya melimpah ruah pada musim penghujan. Kemudian kakekku menanaminya dengan pohon jati satu demi satu sejak dia masih kecil sambil membayangkan batang-batangnya yang tumbuh lurus akan menjadi tiang-tiang dari rumah-rumah yang akan dibangun anak cucunya kelak. Kalau kau sempat berada di sana pada saat matahari terbit atau tenggelam kau akan berpikir hidup itu lumayan menyenangkan.

Aku melepas sandal yang aku pakai di pintu masuk pemakaman yang hanya berupa dua pohon kamboja berjarak dua atau tiga meter yang ranting-rantingnya saling bertautan membentuk semacam lengkungan. Banyak sekali bunga kamboja yang gugur berserakan di tanah. Aku memungut salah satunya.

Sewaktu kecil aku suka mencari bunga kamboja dengan jumlah mahkota genap karena katanya siapa yang menemukannya akan beruntung. Aku tidak tahu kalau bunga kamboja itu makhota bunganya selalu ganjil. Aku memang tidak pernah beruntung.

Page 13: Contoh Cerpen

Aku berjalan berkeliling sebentar lalu duduk di dekat sebuah nisan dari marmer hitam. “Aku datang untuk melihat matahari terbit bersamamu.” Aku berkata sambil melihat ukiran huruf emas di bagian kepala nisan itu. Di sana terukir nama wanita itu.

Aku melihat cahaya menyilaukan memantul dari embun di pucuk-pucuk daun sesemakan liar.

Aku ingat setiap patah kata yang ditulisnya dalam surat terakhirnya padaku:

Dear I.

Everything that happened was to save you. Your family and your name. And that’s okay, because I love you so much. But somehow I’m always the one who get hurt. How can I deal with it?

Today, I did things I abhor to protect the one thing I value most, my pride. If anyone can understand it, it’s you. Your compassion is a gift, I. Carry it with you, as I will carry my regret. Always and forever.

Y.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku mengakui aku merasa kesepian. Barangkali inilah yang dirasakan kekasihku ketika dia berjalan masuk ke danau dan menenggelamkan dirinya. []

Catatan:

Guten morgen: bahasa Jerman, berarti selamat pagi.

Ngunduh wohing pakarti: memetik buah perbuatan sendiri

Hemochromatosis adalah penyakit genetis dimana tubuh mengalami ketidakmampuan memetabolisme zat besi sehingga menyebabkan kerusakan mental dan fisik. Penyakit ini banyak diderita oleh orang keturunan Eropa. Pada beberapa kasus, penyakit ini diduga menyebabkan

Page 14: Contoh Cerpen

penderitanya memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Hemingway dikabarkan menderita penyakit ini.

Pemakaman yang saya gambarkan dalam tulisan ini adalah pemakaman Thuk Sekar di desa Wotan kecamatan Pulung kabupaten Ponorogo. Nama Thuk itu adalah penggalan dari kata puthuk yang berarti bukit. Pemakaman ini berada di atas bukit dikelilingi hutan jati. Bukit dan tanah-tanah di sekitarnya dimiliki oleh keluarga saya sejak turun-temurun.