Content Presus GA Pd Makrosefali

46
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya seluruh potensi bangsa bagi masyarakat, swasta maupun pemerintah, untuk mencapai tujuan akhirnya yaitu kesejahteraan masyarakat.Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia pada tahun 1997, angka kematian bayi (AKB ) di Indonesia adalah sekitar 46 per 1000 kelahiran, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2007 sebanyak 35 per 10000 kelahiran, bila dirincikan 157000 bayi meninggal per tahun dan 430 bayi meninggal per hari. Hasil tersebut menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Indonesia tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN( USU, 2007). Hydrocephalus adalah suatu kondisi patologis berupa ketidakseimbangan antara pembentukan dan penyerapan cairan cerebrospinal yang menyebabkan terkumpulnya cairan tersebut dalam jumlah berlebih di dalam ventrikel serebri. Hydrocephalus adalah suatu kondisi patologis berupa ketidakseimbangan antara pembentukan dan penyerapan cairan cerebrospinal yang menyebabkan terkumpulnya cairan tersebut dalam jumlah berlebih di dalam ventrikel serebri. Hydrocephalus dapat terjadi pada semua 1

description

makro

Transcript of Content Presus GA Pd Makrosefali

Page 1: Content Presus GA Pd Makrosefali

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan upaya seluruh potensi bangsa bagi

masyarakat, swasta maupun pemerintah, untuk mencapai tujuan akhirnya yaitu

kesejahteraan masyarakat.Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia

pada tahun 1997, angka kematian bayi (AKB ) di Indonesia adalah sekitar 46

per 1000 kelahiran, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2007

sebanyak 35 per 10000 kelahiran, bila dirincikan 157000 bayi meninggal per

tahun dan 430 bayi meninggal per hari. Hasil tersebut menunjukkan bahwa

angka kematian bayi di Indonesia tertinggi jika dibandingkan dengan negara-

negara ASEAN( USU, 2007).

Hydrocephalus adalah suatu kondisi patologis berupa ketidakseimbangan

antara pembentukan dan penyerapan cairan cerebrospinal yang menyebabkan

terkumpulnya cairan tersebut dalam jumlah berlebih di dalam ventrikel

serebri. Hydrocephalus adalah suatu kondisi patologis berupa

ketidakseimbangan antara pembentukan dan penyerapan cairan cerebrospinal

yang menyebabkan terkumpulnya cairan tersebut dalam jumlah berlebih di

dalam ventrikel serebri. Hydrocephalus dapat terjadi pada semua golongan

umur karena berbagai hal yang menyebabkannya. Sekarang dokter mulai

mengidentifikasi dan menemukan hal yang berbeda dari hydrocephalus yang

muncul pada golongan dewasa. Tekanan normal intracranial ditemukan pada

orang dewasa yang menderita hydrochepalus berbeda pada hydrocephalus

yang didiagnosis pada bayi dan kanak-kanak ( USU, 2007).

Hydrocephalus komunikans merupakan salah satu dari klasifikasi

berdasarkan sirkulasi cairan cerebrospinal. Hydrocephalus komunikans dapat

disebabkan oleh meningitis bakterialis, toksoplasmosis, infeksi virus

sitomegalo, dan perdarahan subarachnoid. Hydrocephalus ini terjadi ketika

aliran CSF diblokir setelah keluar dari ventrikel ( USU, 2007).

Secara keseluruhan insiden hydrocephalus infantile di dunia tahun 2002

adalah sekitar 1-2 per 1000 kelahiran.Insiden hydrocephalus pada orang

1

Page 2: Content Presus GA Pd Makrosefali

dewasa tidak diketahui karena terjadi sebagai akibat dari cedera, penyakit atau

faktor lingkungan. Hydrocephalus pada orang dewasa dapat terjadi pada 1 per

1000 orang ( USU, 2007).

Di Inggris tahun 2005 hydrocephalus terjadi 6,46 pada 10000 kelahiran, 1

kematian janin akibat hydrocephalus dan 5 kasus aborsi diinduksi terjadi

setelah diagnosis pralahir hydrocephalus (USU, 2007).

Insiden hydrocephalus kongenital di Amerika serikat pada tahun 2008

adalah 3 per 1000 kelahiran hidup, kasus spina bifida disertakan bawaan

hydrocephalus terjadi 2-5 per 1000 kelahiran. Sedangkan insidens

hydrocephalus akuisita tidak diketahui persis karena berbagai gangguan yang

menyebabkan itu (USU, 2007).

Prevalensi hydrocephalus pada tahun 2008 cukup tinggi, di Belanda

dilaporkan terjadi sekitar 6,5 per 10000 kelahiran per tahun dan di Amerika

sekitar 2 per 1000 kelahiran per tahun. Pada tahun 1996 kasus hydrocephalus

di Indonesia mencapai 26 per 10000 kelahiran. Sementara itu berdasarkan

penelitian Thanman (2006) melaporkan bahwa insidens hydrocephalus antara

2-40 per 10000 kelahiran. Dari hasil survey di RSUP H. Adam Malik Medan

tahun 2005-2009 di peroleh jumlah penderita hydrocephalus sebanyak 141

orang, dengan rincian tahun 2005 sebanyak 33 orang, 2006 sebanyak 36

orang, 2007 sebanyak 39 orang, tahun 2008 sebanyak 21 orang dan tahun

2009 sebanyak 12 orang (USU, 2007).Tingginya prevalensi hydrocephalus

menunjukkan penanganan yang lebih adekuat diperlukan.

B. Tujuan

Tujuan dari presentasi kasus ini adalah memaparkan mengenai kasus

operasi pada pasien Makrosefali et causa SDH bilateral kronik, hidrosefalus

dan disgenesis cerebri pro burhole drainase dengan general anestesi mulai dari

saat preoperatif hingga postoperatif.

2

Page 3: Content Presus GA Pd Makrosefali

C. Manfaat

Manfaat dari presentasi kasus ini adalah membuat pembaca mengerti

manajemen anestesi pada kasus hydrosersefalus serta penanganannya saat

preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif.

3

Page 4: Content Presus GA Pd Makrosefali

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HIDROSEFALUS

1. Definisi

Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang

berarti kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan serebrospinal

(CSS) secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak

dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan pada satu atau lebih

ventrikel atau ruang subarachnoid. Keadaan ini disebabkan oleh karena

terdapat ketidak seimbangan antara produksi dan absorpsi dari CSS. Bila

akumulasi CSS yang berlebihan terjadi diatas hemisfer serebral, keadaan

ini disebut higroma subdural atau koleksi cairan subdural. Pada kasus

akumulasi cairan yang berlebihan terjadi pada sistem ventrikuler, keadaan

ini disebut sebagai hidrosefalus internal (Sjamsuhidayat&Jong, 2004).

2. Epidemiologi

Angka kejadian hidrosefalus secara pasti blum diketahui, namun angka

kejadian hidrosefalus kongenital adalah 2-5 bayi setiap 1000 kelahiran.

Angka kejadian hidrosefalus yang di dapat belum diktahui secara pasti

(Engelhard, 2012).

3. Klasifikasi

Hidrosefalus dapat diklasifikasikan atas beberapa hal, antara lain

(Sjamsuhidayat&Jong, 2004; Engelhard, 2012):

a. Berdasarkan Anatomi / tempat obstruksi CSS

1) Hidrosefalus tipe obstruksi / non komunikan

Terjadi bila CSS otak terganggu (Gangguan di dalam atau pada

sistem ventrikel yang mengakibatkan penyumbatan aliran CSS

dalam sistem ventrikel otak), yang kebanyakan disebabkan oleh

kongenital : stenosis akuaduktus Sylvius (menyebabkan dilatasi

ventrikel lateralis dan ventrikel III. Ventrikel IV biasanya normal

dalam ukuran dan lokasinya). Yang agak jarang ditemukan sebagai

4

Page 5: Content Presus GA Pd Makrosefali

penyebab hidrosefalus adalah sindrom Dandy-Walker, Atresia

foramen Monro, malformasi vaskuler atau tumor bawaan. Radang

(Eksudat, infeksi meningeal). Perdarahan/trauma (hematoma

subdural). Tumor dalam sistem ventrikel (tumor intraventrikuler,

tumor parasellar, tumor fossa posterior).

2) Hidrosefalus tipe komunikans

Jarang ditemukan. Terjadi karena proses berlebihan atau gangguan

penyerapan (Gangguan di luar system ventrikel).

3) Perdarahan akibat trauma kelahiran menyebabkan perlekatan lalu

menimbulkan blokade villi arachnoid.

4) Radang meningeal

5) Kongenital :

a) Perlekatan arachnoid/sisterna karena gangguan pembentukan.

b) Gangguan pembentukan villi arachnoid

c) Papilloma plexus choroideus

b. Berdasarkan Etiologinya :

1) Tipe obstruksi

a) Kongenital

i. Stenosis akuaduktus serebri

Mempunyai berbagai penyebab. Kebanyakan disebabkan oleh

infeksi atau perdarahan selama kehidupan fetal; stenosis

kongenital sejati adalah sangat jarang. (Toxoplasma/T.gondii,

Rubella/German measles, X-linked hidrosefalus).

ii. Sindrom Dandy-Walker

Malformasi ini melibatkan 2-4% bayi baru lahir dengan

hidrosefalus. Etiologinya tidak diketahui. Malformasi ini

berupa ekspansi kistik ventrikel IV dan hipoplasia vermis

serebelum. Hidrosefalus yang terjadi diakibatkan oleh

hubungan antara dilatasi ventrikel IV dan rongga

subarachnoid yang tidak adekuat; dan hal ini dapat tampil

pada saat lahir, namun 80% kasusnya biasanya tampak dalam

3 bulan pertama. Kasus semacam ini sering terjadi bersamaan

5

Page 6: Content Presus GA Pd Makrosefali

dengan anomali lainnya seperti agenesis korpus kalosum,

labiopalatoskhisis, anomali okuler, anomali jantung, dan

sebagainya.

iii. Malformasi Arnold-Chiari

Anomali kongenital yang jarang dimana 2 bagian otak yaitu

batang otak dan cerebelum mengalami perpanjangan dari

ukuran normal dan menonjol keluar menuju canalis spinalis

iv. Aneurisma vena Galeni

Kerusakan vaskuler yang terjadi pada saat kelahiran, tetapi

secara normal tidak dapat dideteksi sampai anak berusia

beberapa bulan. Hal ini terjadi karena vena Galen mengalir di

atas akuaduktus Sylvii, menggembung dan membentuk

kantong aneurisma. Seringkali menyebabkan hidrosefalus.

v. Hidrancephaly

Suatu kondisi dimana hemisfer otak tidak adadan diganti

dengan kantong CSS.

b) Didapat (Acquired)

i. Stenosis akuaduktus serebri (setelah infeksi atau perdarahan)

Infeksi oleh bakteri Meningitis , menyebabkan radang pada

selaput (meningen) di sekitar otak dan spinal cord.

Hidrosefalus berkembang ketika jaringan parut dari infeksi

meningen menghambat aliran CSS dalam ruang subarachnoid,

yang melalui akuaduktus pada sistem ventrikel atau

mempengaruhi penyerapan CSS dalam villi arachnoid. Jika

saat itu tidak mendapat pengobatan, bakteri meningitis dapat

menyebabkan kematian dalam beberapa hari. Tanda-tanda dan

gejala meningitis meliputi demam, sakit kepala, panas tinggi,

kehilangan nafsu makan, kaku kuduk. Pada kasus yang

ekstrim, gejala meningitis ditunjukkan dengan muntah dan

kejang. Dapat diobati dengan antibiotik dosis tinggi.

ii. Herniasi tentorial akibat tumor supratentorial

iii. Hematoma intraventrikuler

6

Page 7: Content Presus GA Pd Makrosefali

Jika cukup berat dapat mempengaruhi ventrikel,

mengakibatkan darah mengalir dalam jaringan otak sekitar

dan mengakibatkan perubahan neurologis. Kemungkinan

hidrosefalus berkembang disebabkan oleh penyumbatan atau

penurunan kemampuan otak untuk menyerap CSS.

iv. Tumor (ventrikel, regio vinialis, fosa posterior)

Sebagian besar tumor otak dialami oleh anak-anak pada usia

5-10 tahun. 70% tumor ini terjadi dibagian belakang otak

yang disebut fosa posterior. Jenis lain dari tumor otakyang

dapat menyebabkan hidrosefalus adalah tumor

intraventrikuler dan kasus yang sering terjadi adalah tumor

plexus choroideus (termasuk papiloma dan carsinoma).

Tumor yang berada di bagian belakang otak sebagian besar

akan menyumbat aliran CSS yang keluar dari ventrikel IV.

Pada banyak kasus, cara terbaik untuk mengobati hidrosefalus

yang berhubungan dengan tumor adalah menghilangkan

tumor penyebab sumbatan.

v. Abses/granuloma

vi. Kista arakhnoid

Kista adalah kantung lunak atau lubang tertutup yang berisi

cairan. Jika terdapat kista arachnoid maka kantung berisi CSS

dan dilapisi dengan jaringan pada membran arachnoid. Kista

biasanya ditemukan pada anak-anak dan berada pada ventrikel

otak atau pada ruang subarachnoid. Kista subarachnoid dapat

menyebabkan hidrosefalus non komunikans dengan cara

menyumbat aliran CSS dalam ventrikel khususnya ventrikel

III. Berdasarkan lokasi kista, dokter bedah saraf dapat

menghilangkan dinding kista dan mengeringkan cairan kista.

Jika kista terdapat pada tempat yang tidak dapat dioperasi

(dekat batang otak), dokter dapat memasang shunt untuk

mengalirkan cairan agar bisa diserap. Hal ini akan

menghentikan pertumbuhan kista dan melindungi batang otak.

7

Page 8: Content Presus GA Pd Makrosefali

c. Berdasarkan Usia

1) Hidrosefalus tipe kongenital / infantil ( bayi )

2) Hidrosefalus tipe juvenile / adult ( anak-anak / dewasa )

Selain pembagian berdasarkan anatomi, etiologi, dan usia, terdapat juga

jenis Hidrosefalus Tekanan Normal ; sesuai konvensi, sindroma

hidrosefalik termasuk tanda dan gejala peninggian TIK, seperti kepala

yang besar dengan penonjolan fontanel. Akhir-akhir ini, dilaporkan

temuan klinis hidrosefalus yang tidak bersamaan dengan peninggian TIK.

Seseorang bisa didiagnosa mengalami hidrosefalus tekanan normal jika

ventrikel otaknya mengalami pembesaran, tetapi hanya sedikit atau tidak

ada peningkatan tekanan dalam ventrikel. Biasanya dialami oleh pasien

usia lanjut, dan sebagian besar disebabkan aliran CSS yang terganggu dan

compliance otak yang tidak normal.

Pada dewasa dapat timbul “hidrosefalus tekanan normal” akibat dari

Perdarahan subarachnoid, Meningitis, trauma kepala, dan idiopathic.

Dengan trias gejala yaitu gangguan mental (dementia), gangguan

koordinasi (ataksia), dan gangguan kencing (inkontinentia urin)

4. Patofisiologi

CSS dihasilkan oleh plexus choroideus dan mengalir dari ventrikel lateral

ke dalam ventrikel III, dan dari sini melalui aquaductus masuk ke ventrikel

IV. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor serebrospinalis externum

melalui foramen lateralis dan medialis dari ventrikel IV. Pengaliran CSS

ke dalam sirkulasi vena sebagian terjadi melalui villi arachnoidea, yang

menonjol ke dalam sinus venosus atau ke dalam lacuna laterales; dan

sebagian lagi pada tempat keluarnya nervi spinalis, tempat terjadinya

peralihan ke dalam plexus venosus yang padat dan ke dalam selubung-

selubung saraf (suatu jalan ke circulus lymphaticus)

(Sjamsuhidayat&Jong, 2004; Engelhard, 2012):.

Kecepatan pembentukan CSS 0,3-0,4 cc/menit atau antara 0,2- 0,5%

volume total per menit dan ada yang menyebut antara 14-38 cc/jam.

Sekresi total CSS dalam 24 jam adalah sekitar 500-600cc, sedangkan

8

Page 9: Content Presus GA Pd Makrosefali

jumblah total CSS adalah 150 cc, berarti dalam 1 hari terjadi pertukaran

atau pembaharuan dari CSS sebanyak 4-5 kali/hari. Pada neonatus jumblah

total CSS berkisar 20-50 cc dan akan meningkat sesuai usia sampai

mencapai 150 cc pada orang dewasa. Hidrosefalus timbul akibat terjadi

ketidak seimbangan antara produksi dengan absorpsi dan gangguan

sirkulasi CSS (Sjamsuhidayat&Jong, 2004; Engelhard, 2012):.

5. Gejala Klinis

Gambaran klinis pada permulaan adalah pembesaran tengkorak yang

disusul oleh gangguan neurologik akibat tekanan likuor yang meningkat

yang menyebabkan hipotrofi otak.

a. Hidrosefalus pada bayi (sutura masih terbuka pada umur kurang dari 1

tahun) didapatkan gambaran :

1) Kepala membesar

2) Sutura melebar

3) Fontanella kepala prominen

4) Mata kearah bawah (sunset phenomena)

5) Nistagmus horizontal

6) Perkusi kepala : “cracked pot sign” atau seperti semangka masak.

b. Gejala pada anak-anak dan dewasa:

1) Sakit kepala

2) Kesadaran menurun

3) Gelisah

4) Mual, muntah

5) Hiperfleksi seperti kenaikan tonus anggota gerak

6) Gangguan perkembangan fisik dan mental

7) Papil edema; ketajaman penglihatan akan menurun dan lebih lanjut

dapat mengakibatkan kebutaan bila terjadi atrofi papila N.II.

Tekanan intrakranial meninggi oleh karena ubun-ubun dan sutura sudah

menutup, nyeri kepala terutama di daerah bifrontal dan bioksipital.

Aktivitas fisik dan mental secara bertahap akan menurun dengan gangguan

mental yang sering dijumpai seperti : respon terhadap lingkungan lambat,

kurang perhatian tidak mampu merencanakan aktivitasnya.

9

Page 10: Content Presus GA Pd Makrosefali

6. Penatalaksanaan

a. Terapi medikamentosa

Ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya

mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau upaya

meningkatkan resorpsinya. Dapat dicoba pada pasien yang tidak

gawat, terutama pada pusatpusat kesehatan dimana sarana bedah saraf

tidak ada.

Obat yang sering digunakan adalah: Asetasolamid per oral 2-3 x 125

mg/hari, dosis ini dapat ditingkatkan sampai maksimal 1.200 mg/hari,

Furosemid per oral, 1,2 mg/kgBB 1x/hari atau injeksi iv 0,6

mg/kgBB/hari. Bila tidak ada perubahan setelah satu minggu pasien

diprogramkan untuk operasi.

b. Lumbal pungsi berulang (serial lumbar puncture)

Mekanisme pungsi lumbal berulang dalam hal menghentikan

progresivitas hidrosefalus belum diketahui secara pasti. Pada pungsi

lumbal berulang akan terjadi penurunan tekanan CSS secara intermiten

yang memungkinkan absorpsi CSS oleh vili arakhnoidalis akan lebih

mudah.

Indikasi : umumnya dikerjakan pada hidrosefalus komunikan terutama

pada hidrosefalus yang terjadi setelah perdarahan subarakhnoid,

periventrikular-intraventrikular dan meningitis TBC. Diindikasikan

juga pada hidrosefalus komunikan dimana shunt tidak bisa dikerjakan

atau kemungkinan akan terjadi herniasi (impending herniation)

c. Terapi Operasi

Operasi biasanya langsung dikerjakan pada penderita hidrosefalus.

Pada penderita gawat yang menunggu operasi biasanya diberikan :

Mannitol per infus 0,5-2 g/kgBB/hari yang diberikan dalam jangka

waktu 10-30 menit.

1) “Third Ventrikulostomi”/Ventrikel III

Lewat kraniotom, ventrikel III dibuka melalui daerah khiasma

optikum, dengan bantuan endoskopi. Selanjutnya dibuat lubang

sehingga CSS dari ventrikel III dapat mengalir keluar.

10

Page 11: Content Presus GA Pd Makrosefali

2) Operasi pintas/”Shunting”

Ada 2 macam :

a) Eksternal

CSS dialirkan dari ventrikel ke luar tubuh, dan bersifat hanya

sementara. Misalnya: pungsi lumbal yang berulang-ulang untuk

terapi hidrosefalus tekanan normal.

b) Internal

CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota tubuh lain.

i. Ventrikulo-Sisternal, CSS dialirkan ke sisterna magna

(Thor- Kjeldsen)

ii. Ventrikulo-Atrial, CSS dialirkan ke atrium kanan.

iii. Ventrikulo-Sinus, CSS dialirkan ke sinus sagitalis superior

iv. Ventrikulo-Bronkhial, CSS dialirkan ke Bronkhus

v. Ventrikulo-Mediastinal, CSS dialirkan ke mediastinum

vi. Ventrikulo-Peritoneal, CSS dialirkan ke rongga peritoneum

c) Lumbo Peritoneal Shunt

CSS dialirkan dari Resessus Spinalis Lumbalis ke rongga

peritoneum dengan operasi terbuka atau dengan jarum Touhy

secara perkutan.

d. Komplikasi

pembesaran ukuran kepala yang cepaat merupakan permasalahan pada

bayi. Pada berbagi kasus, makrosefali disebabkan oleh hidrosefalus

komunikans maupun non komunikan. Makrosefali sering disebut juga

sebagai eksternal hidrosefalus, dimana terjadi pelebaran ruang

subarakhnoid dengn atau tanpa pelebaran ventrikel. Eksternal

hidrosefalus banyak menimbulkan atrofi otak pada bayi (Maytal et.al.,

1987).

B. PEDIATRIK ANESTESI

Anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa. Neonatus (0-1 bulan),

bayi (1-12 bulan), toddlers (1-3 tahun), anak-anak (4-12 tahun) memiliki

perbedaan dalam kebutuhan terhadap obat-obat anestesi. Pemberian obat

11

Page 12: Content Presus GA Pd Makrosefali

anestesi yang aman harus mempertimbangkan karakteristik dari faktor

fisiologi, anatomi dan farmakologi dari masing-masing tingkatan usia.

Karateristik inilah yang membedakan mereka dengan orang dewasa, sehingga

membutuhkan peralatan dan teknik yang berbeda dalam anestesi. Neonatus

dan bayi memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih besar terhadap

obat anestesi dibanding anak dengan usia yang lebih tua (Morgan, 2006).

Table 2.1. Karakteristik pada neonatus dan bayi yang berbeda dengan pasien dewasa.

Fisiologi

  Heart-rate-tergantung pada cardiac output

  Heart rate yang cepat

  Tekanan darah rendah

  Frekuensi nafas cepat

  Compliance paru rendah

  Compliance dinding dada tinggi

  Functional residual capacity rendah

  Ratio of body surface area terhadap body weight besar

  Total body water content tinggi

Anatomis 

  Noncompliant left ventricle

  Residual fetal circulation

  Venous and arterial cannulasi sulit

  Lidah dan kepala lebih besar

  Nasal passages dangkal

  Anterior and cephalad larynx

  Epiglottis panjang

  Trachea dan leher pendek

  Prominent adenoids dan tonsils

  Otot intercostal dan diaphragmatic lemah

  Resistance aliran udara tinggi

12

Page 13: Content Presus GA Pd Makrosefali

Farmakologis

  Immature hepatic biotransformation

  Protein binding menurun

  Peningkatan FA/FI  cepat

  Induksi dan pemulihan cepat

  Minimum alveolar concentration meningkat

  Volume distribusi obat-obat yang larut air meningkat

  Immature neuromuscular junction

1. Perbedaan-Perbedaan Farmakologi

Dosis obat pada anak diberikan berdasarkan per kilo gram berat

badan. Berat anak dapat diukur secara kasar berdasarkan umur dengan

rumus:

Atau

Keterangan : N dalam bulan

Atau

Keterangan: N dalam tahun

Namun, berat badan tidak dapat digunakan dalam menilai

besarnya cairan intravaskuler dan ekstraseluler, imaturitas jalur

biotransformasi hepatik, meningkatnya aliran darah ke organ, rendahnya

protein binding, atau meningkatnya nilai metabolic. Variable-variabel ini

harus dipertimbangkan secara tersendiri (Morgan, 2006).

Neonatus dan bayi memiliki kadar cairan yang lebih tinggi yaitu

sekitar 70-75% sedangkan orang dewasa sekitar 50-60%. Total cairan

tubuh akan menurun seiring dengan meningkatnya kadar lemak dan otot

dalam tubuh. Hal ini mengakibatkan volume distribusi obat yang diberikan

secara intravena lebih besar pada anak dibandingkan dengan orang

13

50th percentile weight (kg) = (umur x 2) + 9

¼ N + 4

2 N + 8

Page 14: Content Presus GA Pd Makrosefali

dewasa. Rendahnya massa otot pada neonaus menyebabkan pemanjangan

efek farmakologis dari thiopental dan fentanyl. Selain itu, neonatus juga

memiliki GFR dan aliran darah ke hati yang relatif lebih rendah, akibat

dari tubulus renal dan sistem enzim hepar yang imatur (Morgan, 2006).

Tabel 2.2. Dosis Obat pada Anak

     Drug Comment Dosage

Atropine IV 0.01–0.02 mg/kg

  IM 0.02 mg/kg

  Minimum dose 0.1 mg

  Premedication (PO) 0.03–0.05 mg/kg

Dexamethasone IV 0.1–0.5 mg/kg

Ketorolac IV 0.5–0.75 mg/kg

Fentanyl Pain relief (IV) 1–2 g/kg

  Pain relief (Intranasal) 2 g/kg

  Premedication (Actiq) 10–15 g/kg

  Anesthetic adjunct (IV) 1–5 g/kg

  Maintenance infusion 2–4 g/kg/h

  Main anesthetic (IV) 50–100 g/kg

a. Anestesi Inhalasi

14

Page 15: Content Presus GA Pd Makrosefali

Neonatus, bayi, dan anak-anak memiliki ventilasi alveolar yang

relatif lebih tinggi dan FRC yang lebih rendah dibandingkan dengan

anak yang lebih besar dan orang dewasa. Namun, koefisien volatil

anestesi dalam darah lebih rendah pada neonatus dan bayi sehingga

dapat mempercepat proses induksi dan m emiliki risiko yang lebih

besar untuk terjadi overdosis (Morgan, 2006).

The minimum alveolar concentration (MAC) bahan halogen

lebih tinggi pada bayi dibandigkan pada nenatus dan orang dewasa.

Tidak seperti agen lainnya, sevfluran memiliki nilai MAC yang sama

anataraneonatus dan bayi (Morgan, 2006).

Table 2.2. Approximate MAC Values for Pediatric Patients.

Agent Neonates Infants Small Children Adults

Halothane 0.87 1.1–1.2 0.87 0.75

Sevoflurane 3.2 3.2 2.5 2.0

Isoflurane 1.60 1.8–1.9 1.3–1.6 1.2

Desflurane 8–9 9–10 7–8 6.0

Tekanan darah pada neonatus dan bayi sangat sensitif terhadap

anestesi volatil, hal ini mungkin disebabkan karena tidak

berkembangnya sistem kompensasi (vasokonstriksi dan takikardi) serta

miokardium yang imatur sehingga sangat mudah untuk terjadi depresi

miokardium. Depresi sistem kardiovaskuler, bradikardi, dan aritmia

lebih jarang terjadi setelah pemberian sevofluran dibandingan dengan

setelah pemberian halothan. Halothan dan sevofluran dapat

menimbulkan iritasi pada jalan nafas dan dapat menyebabkan

terjadinya laringospasme selama induksi. Volatil anestesi lebih sering

menimbulkan depresi sistem pernapasan pada bayi dibandingkan pada

15

Page 16: Content Presus GA Pd Makrosefali

anak yang lebh besar. Sevofluran sangat berhubungan dengan depresi

sistem pernapasan (Morgan, 2006).

b. Anestesi Nonvolatile

Berdasarkan berat badan, bayi dan anak-anak membutuhkan

dosis propofol yang lebih besar karena besarnya volume distribusinya

lebih besar dibandingkan pada orang dewasa. Selain itu, pemberian

propofol pada anak-anak memiliki eliminasi waktu paruh yang lebih

singkat dan clearance plasma yang lebih tinggi. Namun, pemulihan

setelah pemberian bolus tunggal tidak jauh berbeda dengan orang

dewasa, sedangkan pemulihan setelah pemberian melalui infus lebih

cepat. Sehingga anak-anak membutuhkan dosis yang lebih tinggi pada

pemberian anestesi melalui infus (hingga 250 µg/kg/min). Pemberian

propofol tidak direkomendasikan pada anak-anak yang dalam keadaan

kritis di ICU. Pemberian obat ini menyebabkan mortalitas yang lebih

tinggi dibandingkan obat serta dapat meyebabkan terjadinya propofol

infusion syndrom. Gambaran klinisnya dapat berupa asidosis

metabolik, hemodinamik yang tidak stabil, hepatomegali,

rhabdomiolisis, dan kegagalan multiorgan. Meskipun sindrom ini

biasanya terjadi pada anak-anak yang kritis, sindrom ini juga pernah

diaporkan terjadi pada pasien dewasa yang diberikan propofol infus

dalam jangka waktu yang panjang (lebih dari 48 jam) dengan dosis

sedasi lebih dari 5mg/kgBB/jam (Morgan, 2006).

Anak-anak membutuhkan dosis thiopental relatif lebih tinggi

dibandingkan dengan orang dewasa. Eiminasi waktu paruhnya lebih

singkat dan plasma clearance lebih tinggi dibandingkan pada orang

dewasa (Morgan, 2006).

c. Pelemah Otot

Secara umum semua pelemah otot memiliki onset yang lebih

singkat (hingga kurang dari 50%) pada anak-anak karena waktu

sirkuasi pada anak-anak lebih singkat dibanding orang dewasa. Bayi

membutuhkan dosis pelemah otot yang lebih rendah diabndingkan

16

Page 17: Content Presus GA Pd Makrosefali

anak yang lebih besar, kecuali pada pemberian suksinilkolin,

mivacurium, cisatracurium. Bayi membutuhkan dosis suksinilkolin

yang lebih tinggi (2-3 mg/kg) dibangdingkan anak yag lebih tua dan

orang dewasa, hal ini disebabkan karena besarnya volume

distribusinya (ruang ekstraselular). Ketidaksesuain ini akan tampak

jika dosis berdasarkan luas permukaan tubuh (Morgan, 2006).

2. Risiko Anestesi Pada Pediatrik

Berdasarkan data yang didapatkan dari Pediatric Periopertaif

Cardiac Arrest (POCA), dari 289 kasus henti jantung pada pasien pediatri,

150 kasus berhubungan dengan pemberian obat anestesi. Pasien dengan

status fisik ASA 1 dan 2 memiliki angka mortalitas sebesar 4%, sedangkan

pasien dengan ASA 3-5 sebesar 37% (Morgan, 2006).

Lebih dari 82% kasus henti jantung selama induksi dengan anestesi

didahului dengan gejala bradikardi, hipotensi, dan rendahnya saturasi

oksigen. Penyebab henti jantung pada anestesi disebabkan karena

gangguan pada sistem kardiovaskuer, sistem respirasi, obat-obatan dan

berhubungan dengan peralatan anestesi (Morgan, 2006).

Penyebab gangguan pada sistem kardiovaskuler secara pasti tidak

jelas, tapi lebih dari 50% kasus ditemukan pada pasien dengan penyakit

jantung bawaan. Pada gangguan kardiovaskuler yang teridentifikasi,

biasanya berhubungan dengan perdarahan, transfusi dan terapi cairan yang

tidak adekuat. Sedangkan gangguan pada sistem respirasi biasanya

berhubbungan dengan spasme laring, obstruksi jalan napas dan kesulitan

dalam intubasi. Pada banyak kasus, spasme laring terjadi selama induksi

(Morgan, 2006).

3. Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif

a. Infeksi Saluran Pernapasan Bagian Atas

Anak-anak biasanya sering menderita demam, pilek, batuk dan nyeri

tenggorokan. Infeksi virus dalam 2 hingga 4 minggu sebelum

dilakukan general anetesi dan intubasi endotrakea dapat meningkat

risiko terjadinya komplikasi perioperatif pada paru seperti wheezing,

spasme laring, hipoksemia, dan atelektasis. Pertimbangan anestesi

17

Page 18: Content Presus GA Pd Makrosefali

pada anak dengan gejala infeksi saluran napas bagian atas yang cukup

berat menimbulkan berbagai kontroversi, sehingga harus

dipertimbangkan kembali urgensi dari tindakan bedah yang akan

dilakukan. Jika operasi harus tetap dlakukan, maka pasien dapat

diberikan premedikasi dengan antikolinergik, mask ventilation, dan di

tempatkan di ruangpemulihan dalam waktu yag lebih lama (Morgan,

2006).

b. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium preoperatif harus memandang dari

segi cost effective. Pada beberapa pusat kesehatan, pemeriksaan

labolatorium pada anak yang sehat dan akan dilakukan tindakan bedah

minor tidaklah diperlukan. Namun, pada pasien dengan tindakan bedah

yang rumit akan diperiksa oleh bagian anestesi, bedah dan anak untuk

melakukan prosedur preoperatif (Morgan, 2006).

c. Puasa Preoperatif

Anak-anak sangat rentan untuk menderita dehidrasi, sehingga

kebutuhan cairan preoperatif harus dijaga. Pada berbagai studi

menunjukan bahwa rendahnya kadar asam lambung (pH < 2,5) dan

volume residu yang relatif tinggi pada pasien yang dijadwalkan untuk

melakukan operasi berisiko untuk mengalami aspirasi. Kejadian ini

dilaporkan pada 1:1000 kasus. Puasa yang panjang tidaklah

dibutuhkan untuk menghindari bahaya ini, pada beberapa studi

memperlihatkan bahwa rendahnya volume residual dan tingginya pH

lambung terjadi pada pasien yang mendapatkan air putih beberapa jam

sebelum dilakukannya induksi (Morgan, 2006).

Puasa preoperatif biasanya dilakukan 4-8 jam sebelum operasi,

tergantung dari usianya. Anak dengan usia kurang dari 6 bulan dapat

mengkonsumsi makanan padat atau susu formula 2-4 jam sebelum

operasi, meminum air putih 2 jam sebelum operasi. Anak usia 6 hingga

36 bulan dapat mengkonsumsi makanan padat atau susu formula 4-6

jam sebelum operasi, meminum air putih 3 jam sebelum operasi.

18

Page 19: Content Presus GA Pd Makrosefali

Sedangkan anak dengan usia lebih dari 36 bulan dapat mengkonsumsi

makanan padat atau susu formula 6-8 jam sebelum operasi, meminum

air putih 3 jam sebelum operasi (Morgan, 2006).

d. Premedikasi

Terdapat berbagai variasi rekomendasi terhadap premedikasi

pada pasien pediatri. Pemberian obat-obat sedatif sebagai premedikasi

sebaiknya dihindari pada neonatus dan bayi yang sedang sakit. Namun,

anak-anak yang tidak kooperatif dapat diberikan sedatif seperti

midazolam (0,3-0,5 mg/kgBB, dosis maksimal 15 mg). Pemberian per

oral lebih dianjurkan karena efek traumatiknya lebih kecil dibanding

dengan pemberian secara intramuskular, meskipun efeknya timbul 20-

45 menit setelah pemberian (Morgan, 2006).

Beberapa anestesiolog biasanya memberikan premedikasi pada

anak-anak dengan antikolinegik (Atropine 0.02 mg/kgBB i.m) untuk

mengurangi bradikardi selama induksi. Atropine dapat mengurangi

kejadian hipotensi selama induksi pada neonatus dan bayi kurang dari

3 bulan. Atropine juga dapat mencegah terjadinya akumulasi sekret

yang dapat menyumbat jalan napas kecil dan endotrakeal tube

(Morgan, 2006).

19

Page 20: Content Presus GA Pd Makrosefali

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Tn. I

Jenis Kelamin : Laki - laki

Usia : 73 Tahun

Berat badan : 65 Kg

No. RM : 049255

B. Primary Survey

1. Airway

Clear,

2. Breathing

Napas spontan, gerakan dada simetris, RR 24x per menit, reguler, suara

dasar bronkovesikuler, whezzing.

3. Circulation

Heart rate 69x per menit, S1 > S2, regular, tidak terdapat murmur dan

gallop.

4. Disability

Keadaan umum aktif, kesadaran compos mentis, Suhu 36,3 0C, Berat

Badan 65 kg.

C. Secondary Survey

1. Anamnesis ( Alloanamnesis, 28 /6/2012 pukul 15.00 )

a. Keluhan utama : nyeri perut kanan bawah

b. Keluhan tambahan : batuk, muntah, mual, sesak, demam, cepat lelah,

c. RPS : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut disebelah kanan

bawah.. Keluhan ini mulai dirasakan sejak 5 bulan yang lalu.

20

Page 21: Content Presus GA Pd Makrosefali

d. RPD :

Riwayat Asma positif

Riwayat Alergi disangkal

Riwayat Kebiruan/kuning disangkal

Riwayat Kejang disangkal

Riwayat Batuk pilek disangkal

Riwayat Diare disangkal

Riwayat Operasi sebelumnya disangkal

e. Riwayat asma, alergi, hipertensi, DM, penyakit jantung dan penyakit

yang sama pada keluarga disangkal

2. Pemeriksaan Fisik

KU / Kesadaran: aktif / menangis kuat

Vital Sign

TD : 100/70 mmHg

Nadi : HR = 69 x . menit, reguler

Suhu : 36,3 oC

RR : 24 x/menit

Status Generalis

a. Kulit

Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit

cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba hangat.

b. Mata

Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik

c. Hidung

21

Page 22: Content Presus GA Pd Makrosefali

Tidak terdapat deviasi septum. Tidak terdapat discharge

d. Mulut/gigi

Tidak terdapat bibir sianosis

e. Telinga

Simetris dan tidak didapatkan discharge(darah atau cairan).

f. Thorax

Jantung : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur

Paru : Tidak terdapat ketertinggalan gerak, suara dasar vesikuler

Terdapat wheezing,

g. Abdomen

Datar, simetris, tegang.

h. Ekstremitas

Inspeksi: Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis

Palpasi : Turgor kulit cukup, Tidak terdapat edema, Akral hangat

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan 20-6-2012 Nilai normal

Hematologi

Hemoglobin 11,7 g/dL 13-18 g/dL

Eritrosit 3,8 x106/mm3 4,5-6,5

Leukosit 7,5 x 103/mm3 4 – 11

Hematokrit 32,9 37- 47 %

RDW 14,2 % 11 – 15 %

Trombosit 268 x 103/mm3 150-450 x/L

CT 8 detik 5 - 11 detik

BT 2 detik < 5 detik

22

Page 23: Content Presus GA Pd Makrosefali

D. Diagnosis

Makrosefali et causa SDH bilateral kronik, hidrosefalus dan disgenesis

cerebri; pro burhole drainage

E. Kesimpulan

ASA II dengan Spinal Anestesi

F. Tindakan

1. Informed consent

2. Puasa ± 4-6 jam pre-operasi ( makanan padat/ susu) atau puasa 3 jam pre-

operasi ( air putih)

3. Pasang RL 30 gtt/i

4. O2 kanul 2l / i

5. Premedikasi di ruang operasi

G. Laporan Anestesi

1. Diagnosis pra bedah Apendisitis

2. Penatalaksanaan Durante Operasi

a. Jenis pembedahan : Apendektomi

b. Jenis anestesi : Sub Arachnoid Block

c. Teknik anestesi : Regional

d. Mulai anestesi : 10.25

e. Mulai operasi : 10.30

f. Respirasi : Spontan

g. Posisi : Supine

h. Review durante operasi

Jam Keterangan

10.25 Terpasang Infus RL

HR 76x/mnt Sp O2 99%

TD 132/65

Masuk Bivucain spinal

10.30 Operasi mulai

HR 76x/mnt Sp O2 98%

TD 123/55

10.31 HR 76x/mnt Sp O2 99

23

Page 24: Content Presus GA Pd Makrosefali

TD 117/52

10.33 HR 75/mnt Sp O2 98%

TD 106/51

10.34 HR 74x/mnt Sp O2 99%

TD 96/48

Masuk Efedrin 2cc

10.36 HR 76x/mnt Sp O2 98%

TD 112/54

10.38 HR 73 x/mnt Sp O2 97%

TD 106 /51 mmHg

10.41 HR 73 x/mnt Sp O2 97%

TD 95 /50 mmHg

10.43 Masuk efedrin 2cc

HR 70 x/mnt Sp O2 92%

TD 88 /47 mmHg

10.45 HR 79 x/mnt Sp O2 98%

TD 110 /56 mmHg

10.47 HR 75 x/mnt Sp O2 97%

TD 123 /59 mmHg

10.50 HR 77 x/mnt Sp O2 97%

TD 120 /57 mmHg

10.52 HR 72 x/mnt Sp O2 97%

TD 120 /57 mmHg

10.57 Ganti infis ke 23

HR 76 x/mnt Sp O2 97%

TD 113 /57 mmHg

10.59 HR 76 x/mnt Sp O2 97%

TD 108 /56 mmHg

11.01 HR 73 x/mnt Sp O2 97%

TD 106 /51 mmHg

11.05 HR 73 x/mnt Sp O2 97%

TD 105 /54 mmHg

24

Page 25: Content Presus GA Pd Makrosefali

11.07 HR 73 x/mnt Sp O2 98%

TD 111 /59 mmHg

11.14 Masuk petidin 2,5 cc

HR 75 x/mnt Sp O2 99%

TD 102 /53 mmHg

11.17 HR 70 x/mnt Sp O2 99%

TD 98 /51 mmHg

11.20 HR 69 x/mnt Sp O2 99%

TD 100 /52 mmHg

Operasi selesai

11.37 HR 73 x/mnt Sp O2 99%

Pasien dijemput

i. Selesai operasi : 11.20

j. Selesai anestesi : 11.37

k. Perdarahan : ± 50 cc

3. Penatalaksanaan Post Operasi

Rawat bedah pria

BAB IV

PEMBAHASAN

25

Page 26: Content Presus GA Pd Makrosefali

A. Preoperatif

Pasien di rawat di ruang bedah pria, pasien dalam keadaan stabil,

bergerak aktif. Saat di ruang bedah pria pasien diberikan infus RL.

Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan

yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang

untuk menentukan ASA. Kondisi pasien yang akan di operasi dalam kasus ini

adalah ASA III yaitu pasien dengan penyakit sistemik berat, tetapi belum

mengancam jiwa. Selanjutnya ditentukan rencana jenis anestesi yang akan

digunakan yaitu sub arachnoid block/ spinal anestesi. Persiapan yang

dilakukan pada pasien ini sebelum operasi :

a. Informed consent

Informed consent digunakan sebagai bukti bahwa pasien telah

menyetujui tindakan yang akan dilakukan setelah mendapatkan informasi

selengkap – lengkapnya tentang manfaat dan risiko tindakan yang akan

dilakukan. Dalam kasus ini, informed consent ditandatangani pasien

sendiri. Informed consent yang dilakukan meliputi penjelasan mengenai

penyakit yang diderita pasien, tindakan-tindakan yang akan dilakukan,

alasan dilakukannya tindakan tersebut, resiko dilakukannya tindakan,

komplikasi, prognosis, biaya dan hal-hal lainnya yang berhubungan

dengan kondisi pasien maupun tindakan yang dilakukan kepada pasien dan

keluarga terdekat yang bertanggung jawab terhadap pasien. Tujuannya

untuk mendapatkan persetujuan dan ijin dari pasien atau keluarga pasien

dalam melakukan tindakan anestesi dan operasi sehingga resiko-resiko

yang mungkin akan terjadi pada saat operasi dapat dipertimbangkan

dengan baik.

b. Puasa

Tujuan puasa adalah untuk mencegah terjadinya aspirasi isi

lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan

anestesi akibat efek samping dari obat anastesi yang diberikan sehingga

refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Puasa preoperatif

biasanya dilakukan 4-8 jam sebelum operasi, tergantung dari usianya.

26

Page 27: Content Presus GA Pd Makrosefali

c. Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini secara umum baik

sehingga memenuhi toleransi operasi. Adapun pemeriksaan laboratorium

pada pasien ini meliputi: pemeriksaan darah lengkap, waktu perdarahan

dan, waktu pembekuan. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk

menilai ada tidaknya gangguan dan merencanakan koreksi jika terdapat

gangguan.

Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan guna memfasilitasi

distribusi oksigenasi ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida.

Oksigenasi atau perfusi yang baik diperlukan jaringan guna mencegah

terjadinya syok. Jumlah trombosit, masa pembekuan dan defisiensi faktor

pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantisipasi risiko komplikasi

perdarahan. Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat

meningkatkan koagulasi. Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak

kurang dari 50% nilai normal akan menyebabkan perdarahan. Protombin

time (PT) akan mengukur kemampuan pembekuan faktor I (fibrinogen), II

(protrombin), V, VII, dan X. Protrombin akan dikonversi menjadi trombin

akibat aksi tromboplastin, yang diperlukan dalam pembekuan darah.

Activated protrombin time (APTT) digunakan untuk mendeteksi apakah

terdapat defisiensi terhadap seluruh faktor pembekuan kecuali faktor VII

dan XII. Pada pasien ini, nilai PT, dan APTT dalam batas normal sehingga

diharapkan tidak terjadi perdarahan hebat (Latief, 2001).

Elektrolit penting juga untuk dievaluasi mengingat peranannya

dalam berbagai proses fisiologis tubuh. Natrium adalah ion yang

dominan berada di petak cairan ekstrasel dengan nilai normal 136-145

mEq/L. Keadaan hiponatremia, bila tidak dikoreksi secara cepat dan tepat

dapat mengakibatkan edema otak, selanjutnya menimbulkan kerusakan

otak yang ireversibel. Hipernatremia jarang terjadi, sebagai akibat ginjal

sangat efisien dalam mengeksresikan Na. Hipo dan hiperkalemia

merupakan keadaan yang gawat karena dapat menyebabkan aritmia

jantung dan perlu segera dikoreksi (Mangku dan Senapathi, 2010).

27

Page 28: Content Presus GA Pd Makrosefali

B. Intraoperatif

Pasien pada kasus menjalani operasi dengan Spinal Anestesi.

Kebutuhan cairan selama operasi harus dijaga agar pasien tetap dalam

keadaan optimal dalam menjalani operasi. Kebutuhan cairan pasien adalah

sebagai berikut.

1. Maintenance (4 x BB) = 40 cc

2. Stress operasi (8 x BB) = 80 cc

3. Pengganti puasa (6 x maintenance) = 120 cc

4. EBV (70 x BB) = 700 cc

5. ABL (20% x EBV) = 140 cc

Kebutuhan cairan pasien pada jam pertama operasi adalah

Maintenance + Stress operasi + 50% Pengganti puasa yaitu 180 cc. Selama

operasi, 10% EBV pasien harus diganti dengan cairan kristaloid (70 cc

kristaloid). Pasien tidak mengalami perdarahan melebihi Allowed Blood Loss

(ABL) sehingga tidak harus mendapatkan transfusi darah selama operasi

berlangsung. Manajemen cairan selama operasi berjalan dengan baik. Operasi

berlangsung 1 jam, pasien mendapatkan 500 cc KAEN 1B.

C. Postoperatif

Keadaan pasien post operasi harus diawasi dengan ketat hingga pasien

sadar dan stabil kondisinya. Keadaan pasien pada kasus ini cukup stabil pada

saat postoperatif sehingga pasien langsung d rawat di bangssal cempaka dan

mendapat pengawasan disana.

Selama di Ruang Cempaka, jalan nafas dalam keadaaan baik,

pernapasan spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis. Setelah 3 hari

perawatan di ruang Cempaka, pasien diperbolehkan pulang.

28

Page 29: Content Presus GA Pd Makrosefali

BAB V

KESIMPULAN

1. An. I pada kasus ini mengalamiMakrosefali et causa SDH bilateral kronik,

hidrosefalus dan disgenesis cerebridan menjalani burhole drainage.

2. Operasi dilakukan dengan General Anestesi, medikasi yang diberikan adalah

fentanil 10 µg, sulfas atropine 0,125 mg, dexamethasone 2,5 mg, ketorolac1

ampul, maintenance menggunakan isoflurane.

29

Page 30: Content Presus GA Pd Makrosefali

3. Cairan yang diberikan selama operasi adalah 250 cc KAEN 1B,Pasien tidak

mengalami perdarahan melebihi Allowed Blood Loss (ABL) sehingga tidak

harus mendapatkan transfusi darah selama operasi berlangsung.

4. Operasi berjalan selama 1 jam. Keadaan pasien pada kasus ini cukup stabil

pada saat postoperatif sehingga pasien langsung di rawat di bangsal cempaka,

selama di Ruang Cempaka, jalan nafas dalam keadaaan baik, pernapasan

spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis. Setelah 3 hari perawatan

di ruang Cempaka, pasien diperbolehkan pulang.

DAFTAR PUSTAKA

Engelhard, HH. 2011. Neurosurgery for Hydrocephalus treatment mangement.

Available from: http://www.emedicine.com. Retrivied on July 9 2012.

Katzung, Betram G. Farmkologi Dasar dan Klinik. Edisi VI Jakarta: EGC.

Latief, 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi II. Jakarta: FK UI.

Listiono, L. Djoko. 1998. Ilmu Beda Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

30

Page 31: Content Presus GA Pd Makrosefali

Mangku, G., dan Senapathi, T. G. A. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan

Reanimasi.  Jakarta: Indeks Jakarta.

Maytal J, Alvarez LA., Elkin CM, & Shinnar S. 1987. External Hydrochepalus:

Radioogic Spectrum and Differentiation from Cerebral Atrophy. American

Roentgen Ray Society. 148:1223-1230.

Morgan GE., Maget SM., Michael JM. 2006. Clinical anesthesiology 4th Edition.

USA: Mc Graw-Hill Companies, Inc.

Sjamsuhidayat & Jong WD. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC: Jakarta.

USU, 2005.Hydrocephalus. Available from: www.respiratoryusu.ac.id

Vallery et al. 2007.Hydrochepalus.. Available from :isjd.pdii.lipi.go.id

31