composite

21
LAPORAN PRAKTIKUM ILMU MATERIAL II Topik : Resin Komposit Kelompok : C6 Tgl. Praktikum : 21 November 2013 Pembimbing : Dr. Elly Munadziroh, drg,.Msi Penyusun: No. Nama NIM 1. Reno Andrey S. 021211133048 2. Luluk Rahmawati 021211133049 3. Amelia Sinta M. 021211133050 4. Dita Dwi Firza P. 021211133051 5. Indira Ika Christianti 021211133052

description

laporan mengenai hasil praktikum material kedokteran gigi menggunakan komposit. dalam praktikkum ini kami menggunakan light curing, komposite yang menggunakan light cure, lebih cepat pengeerasannya. dalam praktikum ini kami menggunakan jarak penyinaran sebagai variabel pembeda.

Transcript of composite

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU MATERIAL II

Topik : Resin Komposit

Kelompok : C6

Tgl. Praktikum : 21 November 2013

Pembimbing : Dr. Elly Munadziroh, drg,.Msi

Penyusun:

No. Nama NIM

1. Reno Andrey S. 021211133048

2. Luluk Rahmawati 021211133049

3. Amelia Sinta M. 021211133050

4. Dita Dwi Firza P. 021211133051

5. Indira Ika Christianti 021211133052

6. Valita Aulia Andari 021211133053

DEPARTEMEN MATERIAL KEDOKTERAN GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2013

I. TUJUAN

a. Mahasiswa mampu melakukan manipulasi komposit secara tepat

b. Mahasiswa mampu mengetahui perbedaan kekerasan hasil polimerisasi resin

komposit berdasarkan pengamatan

II. ALAT DAN BAHAN

a. Resin komposit aktivasi sinar tampak (light activated resin composite),

bentuk sediaan pasta tunggal.

b. Vaselin

c. Sonde

d. Plastic filling

e. Pisau model

f. Celluloid strip

g.

h.

i.

j.

k.

1

l. Cetakan teflon ukuran diameter 4 mm . tebal 2 mm dan tebal 5 mm

m. Plat kaca

n. Light curing unit (halogen atau LED)

o. Visible curing light meter

2

III. CARA KERJA

Untuk cetakan teflon tinggi 2 mm, dilakukan penyinaran dengan jarak 0 mm dan 10

mm. Untuk cetakan teflon tinggi 5 mm, dilakukan penyinaran dengan jarak 0 mm dan

10 mm.

a. Permukaan cetakan teflon diulasi dengan vaselin, kemudian cetakan teflon

diletakkan di atas lempeng kaca yang telah dilapisi celluloid strip.

b. Bahan tumpatan resin komposit dikeluarkan dari tube, kemudian masukkan sedikit

demi sedikit ke dalam cetakan teflon tinggi 2 mm memakai plastic filling

instrument. Cetakan harus terisi penuh dengan resin komposit tanpa ada rongga

(diusahakan setinggi cetakan teflon)

c. Sebelum menggunakan light curing halogen, intensitas sinar di cek dahulu dengan

cure light meter (antara 400 - 500 nm). Bila menggunakan LED, intensitas sinar

dicek dengan menempelkan light tip pada perangkat yang tersedia.

d. Celluloid strip diletakkan di atas cetakan teflon yang telah diisi resin komposit,

kemudian diberi pemberat 1 kg selama 30 detik, ujung alat curing (light tip)

ditempelkan pada celluloid strip dan sinari setama 20 - 40 detik (lihat aturan

pabrik)

e. Resin komposit yang telah berpolimerisasi / mengeras dilepas dari cetakan Teflon

dengan hati-hati

f. Hasil kekerasan permukaan yang terkena light tip alat curing langsung ( 0 mm )

dibedakan dengan permukaan yang jauh dari light tip alat curing (10 mm) dengan

cara digores dengan sonde.

g. Tahap a - f diulangi pada cetakan dengan tinggi 5 mm

3

IV.HASIL PRAKTIKUM

Tabel 1. Tabel Hasil Percobaan Manipulasi Komposit

V. PEMBAHASAN4

Komposit Dalam CetakanIntensitas

Penyinaran

(Nw/Cm2)

Tingkat

KekerasanKetebalan Jarak

PermukaanCetakan Penyinaran

2 Mm

0 MmAtas

427Keras

Bawah Keras

10 Mm

Atas

228

Keras

BawahKeras, Ada

Goresan

5 Mm

0 MmAtas

392Keras

Bawah Lunak

10 MmAtas

179Keras

Bawah Lunak

8 Mm

0 MmAtas

403Keras

Bawah Sangat Lunak

0 Mm (layer by

layer, 4x aplikasi)

Atas420

Sangat Keras

Bawah Sangat Keras

Penggunaan bahan restorasi estetik mengalami peningkatan yang pesat dalam

beberapa tahun terakhir sejalan dengan tuntutan pasien dalam hal estetik. Dewasa ini,

bahan restorasi resin komposit secara umum telah menjadi pilihan bagi dokter gigi

untuk merestorasi lesi karies pada daerah servikal sesuai dengan kualitas estetik dan

kemampuan bahan tersebut untuk berikatan dengan stuktur gigi. Resin komposit

berkembang sebagai bahan restorasi karena kelebihannya, antara lain: mempunyai

sifat estetik yang baik, penghantar panas yang rendah, relatif mudah dimanipulasi,

tahan lama untuk gigi anterior dan tidak larut dalam cairan mulut (Annusavice, 2003).

Resin komposit merupakan bahan restorasi yang terdiri atas tiga komponen

utama, yaitu: komponen organik (resin) yang membentuk matriks, bahan pengisi

(filler) inorganik, dan bahan interfasial untuk menyatukan resin dan filler yang disebut

sebagai coupling agent. Selain itu, resin komposit juga mengandung pigmen agar

warna resin komposit dapat menyerupai warna stuktur gigi dan inisiator serta

akselerator untuk mengaktifkan mekanisme pengerasan/polimerisasi (Annusavice,

2003).

Resin komposit terdiri dari sejumlah komponen yaitu matriks organik, filler

(bahan pengisi), dan coupling agent (bahan pengikat filler dengan matriks resin).

Matriks organik yang umum digunakan dalam komposit gigi antara lain dimetakrilat

monomer (Bis-GMA), urethan dimetakrilat (UDMA), dan trietilen glikol dimetakrilat

(TEGDMA). Monomer dengan berat molekul yang tinggi khusunya Bis-GMA,

memiliki tingkat kekentalan yang tinggi pada temperatur ruang. Penggunaan

monomer yang kental penting untuk memperoleh tingkat pengisian yang tinggi dan

menghasilkan konsistensi pasta yang baik untuk digunakan secara klinis. Meskipun

sifat mekanik resin Bis-GMA lebih unggul dibandingkan resin akrilik, bahan tersebut

tidak mengikat struktur gigi lebih efektif. Karena itu, pengerutan polimerisasi dan

perubahan dimensi termal masih merupakan pertimbangan penting termasuk untuk

resin yang diisi. Bahan pengencer dapat berupa monomer metakrilat namun yang

biasa digunakan adalah monomer dimetakrilat seperti TEGDMA. Selain monomer,

bahan tambahan lain dalam matriks resin adalah aktivator-inisiator, stabilizer,

pigmens, dan lain sebagainya. Komponen-komponen ini terdapat dalam konsentrasi

kecil (Anusavice, 2003).

5

Filler atau partikel bahan pengisi anorganik dapat berupa silica, Ba-fluoro-

silicate glasses, Sr-fluoro-silicate glasses, dan Si-Zr mixed. Ukuran dan bentuk

partikel dapat mempengaruhi kekuatan mekanis serta fisik. Filler dapat meningkatkan

sifat bahan matriks bila partikel filler berikatan kuat dengan matriks. Bila tidak,

partikel filler dapat melemahkan bahan. Pentingnya bahan pengisi yang berikatan

kuat, penggunaannya sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu bahan komposit.

Partikel filler anorganik umumnya dihasilkan dari penggilingan atau pengolahan

quartz atau kaca untuk menghasilkan partikel yang memiliki ukuran antara 0,1-100

µm. Partikel silika dengan ukuran koloidal (sekitar 0,4 µm) secara kolektif disebut

micro filler dan diperoleh dari proses priolitik atau pengendapan (Anusavice, 2003).

Coupling agent (bahan pengikat) merupakan bahan yang penting dalam resin

komposit. Coupling agent berfungsi sebagai bahan pengikat filler dengan matriks

resin. Pengikatan yang bagus memastikan matriks polimer lebih fleksibel dalam

meneruskan tekanan ke partikel filler yang lebih kaku. Aplikasi coupling agent yang

tepat dapat meningkatkan sifat mekanis dan fisik serta memberikan kestabilan

hidrolitik dengan mencegah air menembus sepanjang perbatasan antara filler dan

resin. Titanat dan zirkonat dapat digunakan sebagai bahan coupling agent, tetapi

organosilan seperti silane lebih sering digunakan. Silane mengandung gugus silanol

yang dapat berikatan dengan silanol pada permukaan filler melalui pembentukan

ikatan siloxane (S-O-Si). Gugus metakrilat dari gabungan organosilen membentuk

ikatan kovalen dengan resin bila terpolimerisasi, sehingga menyempurnakan proses

coupling. Peran coupling yang tepat dengan bantuan organosilan sangatlah penting

terhadap penampilan klinis dari resin komposit (Anusavice, 2003).

Resin komposit mengeras melalui mekanisme polimerisasi yang dapat

dilakukan dengan dua cara, yaitu :

a. Resin diaktivasi secara kimiawi

Resin yang diaktivasi secara kimiawi ini diperjualbelikan dalam bentuk dua

pasta. Salah satu pastanya berisi inisiator benzoyl peroxide, sedangkan yang

lainnya berisi aktivator tertiary amine. Bila kedua bahan ini diaduk, amine akan

bereaksi dengan benzoyl peroxide dan membentuk radikal bebas sehingga

mekanisme pengerasan akan dimulai.

6

b.Resin diaktivasi oleh sinar

Bahan resin komposit yang dipolimerisasi dengan sinar dalam bentuk satu pasta

dan dimasukkan dalam sebuah semprit. Sistem pembentuk radikal bebas yang

terdiri atas molekul-molekul fotoinisiator dan aktivator amine terdapat

dalam pasta tersebut. Bila tidak disinari, maka kedua komponen tersebut tidak

akan bereaksi. Sebaliknya, sinar dengan panjang gelombang yang tepat dapat

merangsang fotoinisiator bereaksi dengan amine dan membentuk radikal bebas

(Andri Sinulingga, 2009).

Resin komposit mengeras melalui proses polimerisasi secara adisi yaitu reaksi

antar dua molekul sama besar atau berlainan untuk membentuk molekul yang lebih

besar tanpa menghilangkan molekul yang lebih kecil. Proses polimerisasi ada

beberapa macam, antara lain polimerisasi secara kimia (self curing atau cold curing),

polimerisasi dengan sinar tampak (light curing), dan polimerisasi dengan panas (heat

curing). Resin komposit dengan sinar tampak digunakan untuk bahan tumpatan

(Anusavice, 2003).

Reaksi polimerisasi matriks resin komposit pada tahap inisiasi terbentuk

radikal bebas oleh katalis diketon dan aselerator alifatik amina. Reaksi polimerisasi

termasuk tipe adisi polimerisasi radikal bebas. Sinar tampak yang berasal dari bola

lampu halogen atau LED menyebabkan molekul keton tereksitasi. Polimerisasi resin

komposit dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketebalan, sifat alamiah bahan,

intensitas, panjang gelombang sinar, jarak, dan posisi sumber sinar terhadap resin

komposit serta lama penyinaran (Anusavice, 2003).

Resin komposit adalah monomer dimetakrilat di mana bahan ini mengeras

melalui mekanisme tambahan yang diawali oleh radikal bebas. Radikal bebas ini

dapat diperoleh melalui aktivasi kimia atau energi dari luar (panas, penyinaran).

Polimerisasi adalah reaksi intermolekuler yang berantai yang secara fungsional

mampu berlangsung secara tidak terbatas. Polimerisasi terjadi melalui serangkaian

reaksi kimia di mana polimerisasi dibentuk oleh sejumlah monomer individual. Unit

monomer tersebut berhubungan satu dengan yang lain sepanjang rantai polimer oleh

ikatan kovalen (Phillips, 2004).

Camphorquinone adalah photoinitiator yang terkandung dalam resin komposit.

Ketika camphorquinone terkena sinar, maka akan terbentuk radikal bebas yang

7

menginisiasi terjadinya polimerisasi. Camphorquinone mengabsorbsi sinar biru

dengan panjang gelombang 470 nm. Spektrum cahaya ini berhubungan erat terhadap

keefektifan light curing unit. Intensitas sinar yang memadai merupakan persyaratan

dasar untuk mendapatkan sifat bahan yang optimal untuk penggunaan intraoral baik

pada kavitas yang menerima tekanan maupun mencegah diskolorisasi dan degradasi

prematur (Kramer, 2008).

Empat jenis lampu dapat digunakan untuk photoinitiation dari proses

polimerisasi. Berikut ini daftar lampu ini dalam urutan intensitas terendah untuk

intensitas tertinggi:

1. Lampu LED. Menggunakan solid-state, proses elektronik, sumber cahaya ini

memancarkan radiasi hanya di bagian biru dari spektrum yang terlihat antara

440 dan 480 nm, serta tidak memerlukan filter. LED memakai watt rendah,

bisa bertenaga baterai, tidak menghasilkan panas, dan tidak mengeluarkan

bunyi karena kipas pendingin tidak diperlukan. Meskipun mereka

menghasilkan intensitas radiasi terendah, teknologi baru dengan cepat

mengatasi keterbatasan ini.

2. Lampu QTH. Lampu QTH memiliki lampu kuarsa dengan filamen tungsten

yang menyinari baik sinar UV dan putih yang juga harus disaring untuk

menghilangkan panas dan semua panjang gelombang kecuali yang berada di

kisaran ungu-biru (~ 400 sampai 500 nm). Intensitas pembungaan bohlam

berkurang dengan penggunaan, sehingga meteran kalibrasi diperlukan untuk

mengukur intensitas output.

3. Lampu PAC. Lampu PAC menggunakan gas xenon yang terionisasi untuk

menghasilkan plasma. Cahaya putih dengan intensitas tinggi disaring untuk

menghilangkan panas dan memungkinkan cahaya biru (~ 400 sampai 500 nm)

akan dipancarkan.

4. Argon lampu laser yang. Argon lampu laser yang memiliki intensitas tertinggi

dan memancarkan pada panjang gelombang tunggal. Lampu yang tersedia saat

ini memancarkan -490 nm

(Annusavice, 2003)

8

Faktor yang mempengaruhi kualitas polimerisasi resin komposit yaitu

intensitas cahaya, lama penyinaran, panjang gelombang cahaya, ketebalan resin

komposit, jarak ujung light curing unit dengan permukaan restorasi, warna resin

komposit, dan komposisi bahan resin komposit itu sendiri. Intensitas cahaya suatu

light curing unit dipengaruhi oleh jarak ujung light curing unit dengan permukaan

resin komposit. Semakin besar jarak penyinaran, maka dispersi cahaya light curing

unit akan meningkat sehingga akan sulit untuk memperoleh polimerisasi yang efektif

(Phillips, 2004).

Untuk memperoleh hasil polimerisasi yang maksimal, lapisan restorasi resin

komposit yang dimasukkan ke dalam suatu kavitas tidak boleh melebihi ketebalan 2

mm dengan jarak yang ideal antara ujung light curing unit dengan resin komposit

adalah 1 mm, dan sumber cahaya diposisikan 90o (tegak lurus) dengan permukaan

resin komposit. Akan tetapi, jarak penyinaran distandarisasi 5 mm. Jika sudut

penyinaran menyimpang dari 90o terhadap permukaan restorasi, energi cahaya akan

menjadi bias dan kemampuan penetrasinya akan berkurang (Craig, 2002)

Diameter ujung light curing unit juga dapat mempengaruhi kualitas

polimerisasi serta intensitas cahaya yang dihasilkan. Ditemukan bahwa cahaya yang

dihasilkan dari ujung light curing unit yang berdiameter 8 mm dan 10 mm adalah

45% dan 32% dari ujung yang berdiameter 4 mm. Akan tetapi, resin komposit yang

disinari baik dengan ujung yang berdiameter 4 mm, 8 mm, maupun 10 mm tidak

menunjukkan nilai knoop hardness dengan perbedaan yang signifikan pada waktu

penyinaran yang lebih dari 10 detik. Selain itu, tidak boleh digunakan light curing

unit dengan ujung yang berdiameter yang lebih kecil daripada diameter kavitas

dengan daerah penyinaran yang terisolasi pada daerah tertentu. Untuk memastikan

polimerisasi resin komposit yang adekuat, diperlukan penyinaran yang overlap jika

menggunakan ujung light curing unit yang berdiameter kecil (Craig,2002).

Peningkatan jarak antara sumber sinar dengan bahan komposit resin dapat

menyebabkan berkurangnya intensitas sinar yang diterima oleh bahan tersebut.

Sehingga polimerisasi menjadi tidak optimal, akibatnya dapat mempengaruhi sifat

fisik dan mekanik dari bahan restorasi. Jarak sumber sinar yang paling ideal guna

mendapatkan polimerisasi yang optimal adalah 1-2 mm dengan ketebalan material

komposit resin 1,5-2 mm. Jika jarak sumber sinar mencapai 5-6 mm, maka sinar yang

diterima oleh material komposit resin tidak dapat mempolimerisasi komposit resin

9

dengan optimal, yang secara langsung akan menyebabkan penurunan sifat fisik dan

mekanik (Price, 2000). Polimerisasi yang tidak sempurna pada komposit resin dapat

menurunkan kekerasan, kekuatan dan stabilitas warna serta meningkatnya penyerapan

air (Herrero, 2005). Untuk polimerisasi maksimal digunakan sinar tampak intensitas

tinggi, paparan sinar harus dekat dengan bahan restorasi, dan waktu paparan harus

kurang dari 40-60 detik (Manappallil, 2003).

Polimerisasi pada resin komposit dalam percobaan ini maksimal karena

ketepatan waktu pemaparan sinar yang kurang dari 40-60 detik. Pada praktikum ini

waktu paparannya adalah 20 detik. Berdasarkan hasil praktikum, cetakan dengan

ukuran 5 mm dan 2 mm yang disinari dengan jarak penyinaran 0 mm, terjadi proses

polimerisasi yang ditandai dengan resin komposit yang mengeras. Sedangkan, pada

cetakan dengan ukuran yang sama tetapi jarak penyinaran yang dilakukan adalah 10

mm, tidak dapat terjadi polimerisasi secara optimal. Hal ini sesuai dengan teori, yaitu

jarak sumber sinar mencapai 5-6 mm, maka sinar yang diterima oleh material

komposit resin tidak dapat memolimerisasi komposit resin dengan optimal. jarak

penyinaran 0 mm, intensitas sinar maksimal sehingga polimerisasi berlangsung

sempurna dan tingkat kebocoran mikro yang dihasilkan rata-rata kecil. Sedangkan

pada jarak penyinaran 4 mm intensitas sinar hanya 75% sehingga derajat polimerisasi

menurun. Pada jarak penyinaran 2 mm dengan intensitas sinar sebesar 93% masih

dapat menghasilkan polimerisasi yang optimal.

Un tuk mem as t i kan  polimerisasi maksimal dan keberhasilan klinis, harus

digunakan unit sinar dengan intensitas tinggi, dan intensitas sinar harus

dievaluasi secara periodik. U ju ng s i na r ha rus d i l e t akka n s ed eka t

mun gk in dengan pe r muk aan r e s in . ketebalan resin harus tidak lebih

tebal dari 2-2,5 mm. Warna yang lebih gelap memerlukan pemaparan yang

lebih lama,seperti resin yang terpol imerisasi melalui email dan dentin.

(Anusavice, 2003, Hal. 410).

Berkurangnya intensitas sinar juga dapat menyebabkan polimerisasi menurun.

Seperti pada praktikum yang telah dilakukan, pada penyinaran dengan intensitas 427,

cetakan dengan ketebalan 2 mm mengalami pengerasan optimal. Sedangkan, pada

cetakan 5 mm dengan intensitas 392, pengerasan menjadi menurun dan didapatkan

pada bagian bawah cetakan resin komposit masih lunak. Hal tersebut didukung juga

karena ketebalan cetakan yang digunakan berbeda, yaitu 2 mm dan 5 mm. Ketebalan

cetakan merupakan salah satu faktor polimerisasi tidak optimal. Pengaruh ketebalan

10

cetakan pada hasil akhir polimerisasi juga terlihat pada cetakan 8 mm yang pada sisi

bawah cetakan, adonan masih lunak. Sehingga, cetakan dengan ketebalan 2 mm lebih

mengalami polimerisasi optimal dibandingkan cetakan dengan ketebalan 5 mm dan 8

mm.

Pengaruh intensitas juga dapat terlihat pada cetakan 2 mm dengan jarak

penyinaran 0 mm dan intensitas 427 yang menghasilkan hasil polimerisasi yang

optimal, sehingga resin komposit mengeras. Sedangkan, pada cetakan 2 mm dengan

jarak penyinaran 10 mm dan intensitas 228, menghasilkan resin komposit bagian

bawah cetakan masih lunak. Semakin jauh jarak penyinaran, maka intensitas juga

akan semakin berkurang. Sehingga, polimerisasi resin komposit juga semakin

menurun.

Pada hasil praktikum dengan penggunaan cetakan juga dapat dilihat bahwa

intensitas, jarak, dan ketebalan mempengaruhi polimerisasi resin komposit. Hasil

yang diapatkan adalah polimerisasi yang tidak optimal karena pada bagian bawah

cetakan, resin komposit masih lunak. Berbeda dengan resin komposit pada cetakan 2

mm dengan jarak sinar yang dihasilkan resin komposit yang telah mengeras di bagian

bawah maupun atas cetakan. Hal ini disebabkan karena intensitas sinar maksimum

dan ketebalan cetakan tidak lebih dari 2-2,5 mm, sehingga terjadi polimerisasi resin

komposit yang optimal. Sedangkan pada cetakan 8 mm yang dilakukan penyinaran

dengan teknik layer per layer menghasilkan resin komposit yang mengeras pada

bagian atas dan bawah cetakan dikarenakan perlakuan penyinaran dengan jarak 0 mm,

sehingga penyinaran optimal. Selain itu, penyinaran dilakukan dengan ketebalan

setiap 2 mm hingga mencapai 8 mm, sehingga dilakukan 4 kali penyinaran, namun

dengan intensitas yang berbeda, yaitu penyinaran pertama adalah 420, penyinaran ke-

2 adalah 394, penyinaran ke-3 adalah 414, dan penyinaran ke-4 adalah 413. Sehingga,

didapatkan polimerisasi yang optimal.

11

VI. KESIMPULAN

Manipulasi polimerisasi resin komposit diharapkan mendapatkan

bahan yang adekuat dengan sifat fisik dan kimia yang optimal. Polmerisasi

light activation dipengaruhi oleh teknik penyinaran seperti, intensitas sinar,

jarak penyinaran dan ketebalan bahan. Semakin kecil jarak penyinaran dan

tebal bahan yang digunakan, maka intensitas cahaya akan semakin besar

sehingga proses polimerisasi lebih cepat dan dihasilkan permukaan dari hasil

resin komposit yang keras.

12

DAFTAR PUSTAKA

Annusavice, Kenneth J 2003, Phillip’s Science of Dental Materials 11th Edition,

Saunders Company, Pennsylvania.

Craig RG and Powers JM. 2002. Restorative Dental Materials. 11th ed. Mosby Inc.

McCabe, John F., Walls, Angus W., 2008, Applied Dental Materials 9th Edition,

Blackwell Publishing, Oxford.

O’Brien WJ. 2002. Dental Materials and Their Selection. 3rd ed. Quintessence.

Anadioti, E vanthia. "Internal and marginal fit Of pressed and cad lithium disilicate

crowns made from digital and conventional impressions." Master ' s thesis,

University of Iowa, 2013. http://ir. uiowa.edu/etd/2435.

Diansari, Viona, Eriwati, YK, dan Indrani DJ. 2008. KEBOCORAN MIKRO PADA

RESTORASI KOMPOSIT RESIN DENGAN SISTEM TOTAL-ETCH DAN

SELF-ETCH PADA BERBAGAI JARAK PENYINARAN. Indonesian

Journal of Dentistry. Vol. 15 (2): 121-130. Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Indonesia.

Philips RW. Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. 10th ed. Philadelphia: Saunders

Company, 2004 : 410-411

13