Polymer CNT Composite

download Polymer CNT Composite

of 16

Transcript of Polymer CNT Composite

2011

Polymer - Carbon Nanotube Composite

Kelompok 1 Erwin (0806315950) Terry

Polymer - Carbon Nanotube (CNT) CompositePendahuluan Pada tahun 1985, Richard E. Smalley, Robert F. Curl, Jr (keduanya dari Rice University, Houston, Amerika Serikat), dan Sir Harold W. Kroto (dari University of Sussex, Brighton, Inggris) menemukan struktur karbon murni yang tersusun atas 60 atom karbon (C60). Penemuan ini cukup menarik mengingat selama ini hanya ada dua bentuk unsur karbon murni yang dikenal, yaitu grafit dan intan. Struktur C60 tersebut diberi nama buckminsterfullerene atau disebut juga bucky ball. Nama ini dipilih karena strukturnya menyerupai bangunan berkubah seperti bola yang dirancang oleh seorang arsitek Amerika Serikat, R. Buckminster Fuller untuk World Exhibition pada tahun 1967 di Montreal, Kanada. Penemuan yang dipublikasikan dalam jurnal Nature pada tanggal 14 November 1985 ini mengantarkan mereka memperoleh hadiah Nobel Kimia pada tahun 1996. Dalam perkembangan berikutnya, molekul C60 ini lebih dikenal dengan nama fullerene dan digunakan pula untuk untuk menamai molekul-molekul serupa yang ditemukan sesudahnya, seperti C70, C74, dan C82.

Gambar 1. Struktur Molekul buckminsterfullerene (Sebuah Bucky Ball) Penemuan fullerene ini kemudian memicu ditemukannya material baru bernama carbon nanotube (CNT). Struktur carbon nanotube mirip dengan fullerene. Bedanya, atomatom karbon pada fullerene membentuk struktur seperti bola, sedangkan carbon nanotube berbentuk silinder yang tiap ujungnya ditutup oleh atom-atom karbon yang berbentuk setengah struktur fullerene.[1]

[1]

Kusumadewi, Anggraeni. Perangkat Memori Berbasis Carbon Nanotube. 2010.

Carbon nanotube merupakan salah satu material baru dan mulai dikembangkan dalam 30 tahun terakhir ini. Sifat-sifatnya yang luar biasa sangat menarik perhatian para ilmuwan, dan juga pihak industri, dan menjadikan carbon nanotube sebagai subjek penelitian utama sehingga dapat menghasilkan paper bertema nanotube sebanyak tujuh buah per harinya. Ledakan perhatian dalam carbon nanotube dimulai saat struktur carbon nanotube pertama kali ditemukan oleh Sumio Iijima dari NEC Laboratories di Jepang. Iijima menggunakan HRTEM (High Resolution Transmission Electron Microscopy) untuk menguji karbon yang diproduksi oleh busur yang mengevaporasi grafit dalam atmosfer helium. Percobaan Iijima dimulai saat ditemukannya lapisan keras yang terbentuk di katoda grafit dalam proses busur evaporasi. Pada bagian tengah lapisan berisi banyak tabung-tabung kecil karbon grafit, yang terdiri dari silinder-silinder grafit yang tersusun secara konsentris dengan diameter sekitar 10 nm dengan ujung seperti bentuk fullerene.[2] Walaupun tabung karbon ini diproduksi secara katalitis, struktur yang diperoleh Iijima merupakan yang paling sempurna dibandingkan struktur yang telah ditemukan sebelumnya, sehingga menghasilkan sifat-sifat yang istimewa. Dewasa ini, sangat banyak percobaan yang membuktikan sifat-sifat istimewa dari carbon nanotube, terutama kekakuan dan kekuatannya yang luar biasa. Pengukuran menggunakan in situ transmission electron microscopy (TEM) dan atomic force microscopy (AFM) menunjukkan nilai modulus kekakuan (modulus Young) mencapai 1 TPa. Untuk perbandingan, serat karbon terkaku memiliki modulus kekakuan sebesar 800 GPa, sedangkan fiber glass memiliki kekakuan hanya sekitar 70 GPa.[2] Pengukuran sebuah nanotube secara langsung menggunakan atomic force microscopy menunjukkan bahwa nanotube dapat mengakomodasi deformasi ekstrim tanpa terjadi perpatahan. Carbon nanotube juga memiliki kemampuan untuk kembali ke bentuk asalnya, bentuk yang lurus, setelah terjadi deformasi. Carbon nanotube juga memiliki konduktivitas listrik yang baik, dengan rapat arus sebesar 1011 A m-2, dan memiliki konduktivitas panas yang baik. Sifat-sifat ini dapat dimanfaatkan dengan cara mengkombinasikan carbon nanotube ke dalam suatu matriks dan membuatnya menjadi suatu material komposit. Dalam banyak kasus, komposit ini menggunakan polimer sebagai matriksnya. Struktur dan Sifat Carbon Nanotube Carbon nanotube yang ditemukan oleh Iijima memiliki struktur yang mendekati fullerene. Bentuk ini dapat diilustrasikan dengan memotong molekul C 60 menjadi dua bagian dan menyisipkan silinder grafit di tengahnya. Berdasarkan jumlah dindingnya, carbon[2]

P. J. F. Harris. Carbon Nanotube Composites. 2004. Vol. 49. 31-43.

nanotube secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu carbon nanotube berdinding tunggal (single-walled carbon nanotube atau SWNT) dan carbon nanotube berdinding banyak atau berlapis (multi-walled carbon nanotube atau MWNT). Sifat-sifat carbon nanotube yang luar biasa itu kemudian dapat diturunkan secara spesifik dengan menganalisis lembaran penyusun dinding tersebut, yaitu graphene (grafit berbentuk lembaran) yang digulung menjadi silinder. Ada banyak cara untuk menggulung lembaran graphene menjadi sebuah carbon nanotube, persis seperti ketika kita ingin menggulung selembar kertas. Arah dari penggulungan lembaran tersebut akan menentukan arah ikatan heksagonal pada carbon nanotube, yang kemudian sangat menentukan sifat listrik carbon nanotube dengan geometri tersebut. Untuk mengkarakterisasi sebuah carbon nanotube dengan geometri tertentu, diberikan parameter bilangan bulat (n, m), yang disebut dengan vektor chiral. Panjang dari vektor chiral ini akan menjadi keliling carbon nanotube, yaitu bagian panah vektor harus bertemu dengan bagian ekornya ketika diputar menjadi lingkaran.[3]

Silinder yang dibentuk dikarakterisasi berdasarkan diameter dan sudut kiralnya (chiral angle), atau oleh nilai indeks (n,m). Struktur carbon nanotube bernilai indeks (n,0) disebut struktur zigzag. Jika nilai indeksnya (n,n), strukturnya disebut struktur armchair. Struktur- struktur lainnya disebut struktur intermediate (antara zigzag dan armchair).

Gambar 2. a) Lembaran Graphene yang digulung membentuk CNT b) Besar dan Arah Penggulungan CNT[3]

Suhadi, Andry Nurta. Carbon Nanotube. 2009. Padang: Universitas Andalas.

Pada gambar 2b, a1 dan a2 menyatakan vektor kisi (lattice vector), sedangkan Ch=na1+ma2 adalah vektor penggulungan (roll-up vector). Garis putus-putus menandai susunan atom-atom karbon pada carbon nanotube yang mewakili indeks (n,0) atau struktur zigzag, dan indeks (n,n) atau struktur armchair. T menyatakan vektor translasi (translation vector). Bagian yang diarsir menyatakan bagian yang akan digulung membentuk carbon nanotube dengan nilai indeks (4,2).[1]

Gambar 3. Tiga Jenis Struktur Carbon Nanotube Gambar 4a menunjukkan sampel MWNT pada perbesaran sedang. Dapat dilihat pada gambar tersebut, carbon nanotube dikelilingi oleh material yang lain, seperti nano partikel (berlubang, seperti bentuk fullerene) dan beberapa karbon yang tersusun secara acak. Pada resolusi yang tinggi, terlihat bahwa MWNT terdiri dari lapisan-lapisan tunggal yang tersusun membentuk tabung konsentris (gambar 4b dan gambar 5). MWNT memiliki panjang antara 10 nm hingga beberapa mikrometer, dengan diameter luar sekitar 2,5 hingga 30 nm.[2]

Gambar 4. MWNT yang diamati dengan menggunakan TEM a. resolusi sedang b. resolusi tinggi.

Gambar 5. Struktur MWNT

Ada banyak teori dan eksperimen yang menjelaskan sifat-sifat mekanis dari carbon nanotube. Pengukuran pertama untuk kekakuan carbon nanotube dilakukan pada tahun 1996 oleh Treacy, yang melakukan pengukuan in situ multiwalled carbon nanotube dalam TEM. Dari pengukuran ini didapatkan bahwa carbon nanotube memiliki modulus kekakuan yang sangat tinggi, walaupun kesalahan pengukuran saat itu masih besar, yaitu antara 410 GPa hingga 4,15 TPa, dengan rata-rata sekitar 1,8 TPa. Pengukuran yang lebih akurat dilakukan menggunakan nanostressing stage di dalam SEM. Percobaan ini menyatakan bahwa nilai modulus Young dari lapisan terluar MWNT berada antara 270 hingga 950 GPa.[4] Molekul carbon nanotube sangat kuat, ulet, fleksibel, dan tidak mudah patah. Pada tekanan tinggi, molekul-molekul carbon nanotube dapat bergabung membentuk struktur seperti tali yang disebut nanorope. Ada dua macam nanorope, yang pertama terbentuk karena adanya gaya van der waals, yang kedua terbentuk karena adanya ikatan kovalen antar molekul carbon nanotube.[1]

Gambar 6. Dua jenis carbon nanotube ynag berbeda sifatnya (a dan b), digabungkan membentuk struktur c. Selain sifat mekanik dari carbon nanotube, beberapa percobaan juga mempelajari sifat listrik dari carbon nanotube. Resistivitas atau hambatan listrik yang terukur dari sebuah carbon nanotube berkisar antara 0,05 m-10 m m. Sebagai perbandingan, kristal tunggal

[4]

M. S. P. Shaffer dan J. K. W. Sandler. Carbon Nanotube/Nanofibre Polymer Composites. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.

grafit memiliki hambatan listrik sebesar 0,4 m dan tembaga memiliki hambatan listrik sekitar 0,017 m. Carbon nanotube juga memiliki konduktivitas listrik yang baik, dengan rapat arus sebesar 1011 A m-2.[4] Dr. Alex Zettl dan rekan-rekannya dari University of California, Berkeley, berhasil membuktikan bahwa jika dua molekul carbon nanotube dengan struktur yang berbeda digabungkan, junction atau titik pertemuan antara keduanya dapat berfungsi sebagai diode (gambar 6). Nilai indeks (n,m) SWNT menentukan sifat listriknya.[1,3] Struktur armchair bersifat seperti logam, struktur zigzag dapat bersifat semilogam atau semikonduktor, tergantung dari ukuran diameter spesifiknya, sedangkan struktur intermediate bersifat semilogam dan semikonduktor. Pada MWNT, meskipun terjadi interaksi antar cangkang yang memengaruhi sifat listriknya, biasanya pengaruhnya dapat diabaikan. Keunikan sifat listrik carbon nanotube pada dasarnya merupakan turunan sifat dari struktur elektronik yang tidak biasa dari graphene dengan konfigurasi elektron sp2. Graphene memiliki keadaan yang mampu menghantarkan listrik dengan tingkat energi yang ada di perbatasan struktur elektronik. Keadaan ini biasa disebut zero bandgap semiconductor atau semilogam karena bersifat logam (konduktor) pada arah tertentu dan semikonduktor pada arah lainnya. Kekerasan carbon nanotube dapat diukur dengan memberikan tekanan lokal pada carbon nanotube. SWNT dapat menahan tekanan antara 24 hingga 55 GPa tanpa terjadi deformasi. Modulus bulk dari fasa terkeras carbon nanotube bernilai sekitar 462-546 GPa, nilai ini bahkan lebih tinggi dibandingkan intan (420 GPa).[5] MWNT lebih mudah diproduksi dan biaya produksinya lebih rendah. Biaya produksi SWNT lebih tinggi karena diperlukan biaya tambahan untuk pemurniannya. SWNT dan MWNT akan memiliki kegunaan yang berbeda sesuai dengan sifat-sifatnya. Di masa yang akan datang, MWNT mungkin akan menjadi material yang dipilih untuk membangun struktur yang kuat (structural reinforcement), karena harganya murah dan kemurniannya tidak menjadi masalah. Sedangkan SWNT mungkin akan lebih banyak digunakan untuk membangun sirkuit komputer. Pembuatan Carbon Nanotube/Polymer Composites Carbon nanotube dapat dibuat dengan proses penumbuhan melalui kombinasi sumber karbon dengan material katalisator, seperti besi atau kobalt, pada temperatur tertentu. Sumber karbon di sini dapat beragam bentuknya, misalnya, hidrokarbon, grafit, dan karbon monoksida. Carbon nanotube akan tumbuh menurut arah tertentu setelah katalis bercampur

[5] [5]

http://en.wikipedia.org/wiki/Carbon_nanotube http://en.wikipedia.org/wiki/Carbon_nanotube

dengan sumber karbon. Penumbuhan yang terus menerus akan menambah panjang carbon nanotube hingga dapat mencapai beberapa ratus mikron. Pengaturan kondisi yang tepat untuk proses penumbuhan dapat dilakukan dengan cara yang beragam. Dari sudut pandang fabrikasi perangkat elektronik, teknik-teknik penumbuhan itu dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah penumbuhan carbon nanotube dengan teknik sintesis material besar yang dideposisi pada substrat untuk membuat perangkat elektronik tertentu. Metode yang umum untuk kategori ini adalah arc synthesis, seperti yang dilakukan Iijima, dan laser ablation. Kategori kedua adalah penumbuhan carbon nanotube langsung pada wafer atau substrat. Caranya biasa dilakukan dengan teknik chemical vapour deposition atau disingkat CVD. Metode CVD ini pun ada beragam lagi macamnya, misalnya thermal CVD dan plasma CVD. Material katalis ditempatkan pada permukaan wafer dalam tungku dengan temperatur standar 700 hingga 1000oC yang dilalui aliran sumber karbon seperti gas metana.[6] Metode ini merupakan metode yang paling mudah dilakukan, namun impuritas yang dihasilkan cukup tinggi. Impuritas dapat diminimalkan dengan proses purifikasi carbon nanotube. Metode CVD dilakukan dengan mengalirkan sumber karbon dalam fase gas melalui sumber energi seperti sebuah plasma atau koil pemanas untuk mentransfer energi ke molekul karbon. Secara umum, gas yang digunakan adalah metana, CO, dan asetilena. Selain itu, fullerene dapat juga digunakan sebagai sumber karbon. Sumber energi digunakan untuk meng-crack molekul karbon menjadi atom karbon reaktif. Karbon berdifusi ke substrat yang telah panas dan tertempel dengan sebuah katalis. Katalis biasanya adalah logam transisi seperti Ni, Fe, atau Co. Dewasa ini, pemakaian polimer dan polymer matrix composite (PMC) terus bertambah jumlahnya dalam dunia industri, seperti transportasi, otomotif, aerospace, pertahanan, alat-alat olahraga, infrastruktur, dan sektor energi. Hal ini disebabkan oleh sifatnya yang baik, seperti durabilitas yang tinggi, kekuatan yang tinggi, bobot yang ringan, serta memiliki fleksibilitas desain dan proses. Polimer, seperti epoxy, thermoplastic, gel, dan polymethyl methacrylate (PMMA) banyak digunakan sebagai matiks komposit. Sedangkan sifat lain, seperti konduktivitas, kekuatan, elastisitas, ketangguhan, dan durabilitas dari komposit dapat dicapai dengan menambahkan nanotube. Penambahan carbon nanotube ini juga dapat meningkatkan sifat konduktivitas listrik dari polymer matrix composite sehingga dapat dibuat polimer yang bersifat konduktif. Carbon nanotube ini juga dapat menggantikan filler konduktif konvensional untuk aplikasi electrostatic discharge (ESD) dan pembungkus electromagnetic interference (EMI), dengan bobot yang lebih ringan tetapi memiliki level konduktivitas yang sama.

[6]

http://102fm-itb.org/2008/04/26/dari-sebatang-karbon/

Keefektifan mencampur carbon nanotube ke dalam suatu aplikasi komposit sangat tergantung dari kemampuan carbon nanotube didispersikan ke dalam suatu matriks tanpa merusak ikatan (interface) yang terjadi. Ikatan yang baik ini dibutuhkan agar beban yang diterima komposit dapat disalurkan melalui interface antara carbon nanotube dan matriks, sebuah kondisi yang diperlukan untuk meningkatkan sifat mekanik dari komposit. Transfer beban dari matriks ke carbon nanotube memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan sifat mekanik dari suatu komposit. Jika sifat adhesi antara matriks dan carbon nanotube tidak cukup kuat untuk menahan beban yang tinggi, keuntungan dari carbon nanotube dengan kekuatan tariknya yang tinggi tidak akan tercapai. Transfer beban ini tergantung dari tekanan geser antarmuka (interfacial shear stress) antara penguat (reinforce) dengan matriksnya. Tekanan geser antarmuka yang tinggi akan mentransfer beban yang diterima ke penguat (reinforce) dalam jarak yang singkat, dan sebaliknya, jika tekanan geser antarmuka rendah, maka jarak yang dibutuhkan akan semakin panjang. Ada tiga mekanisme utama transfer beban dari matriks ke penguatnya:[7] 1. Micro-mechanical interlocking Ikatan ini sulit dicapai pada komposit carbon nanotube karena permukaannya yang cukup rata dalam skala atomik. Ketidakseragaman lokal sepanjang carbon nanotube, termasuk perbedaan diameter dan adanya cacat non-heksagonal, membuat ikatan antara carbon nanotube dan polimer menjadi mechanical interlocking. 2. Ikatan kimia antara carbon nanotube dan matriks Adanya ikatan kimia ini akan meningkatkan interaksi antarmuka melalui ikatan ionik atau ikatan kovalen yang akan memungkinkan terjadinya transfer beban.3. Ikatan lemah van der waals antara carbon nanotube dan matriks

Jika tidak ada ikatan kimia antara polimer dengan carbon nanotube, interaksi yang terjadi antara mereka adalah gaya elektostatik dan ikatan van der waals. Meskipun kemajuan signifikan telah dibuat dalam beberapa tahun terakhir untuk mengatasi kesulitan dengan pembuatan komposit polimer/CNT, proses pengolahan tetap menjadi tantangan utama dalam memanfaatkan sepenuhnya sifat-sifat penguatan yang diberikan oleh nanotube. Kesulitan utama adalah untuk mencapai dispersi yang tepat dari nanotube dalam matriks polimer. Tanpa dispersi yang tepat, agregat penguat cenderung bertindak sebagai sumber cacat yang membatasi kinerja mekanik. Aglomerat tersebut juga mempengaruhi sifat komposit fisik.[8]

[7]

[8]

S. Bal dan S. S. Samal. Carbon Nanotube Reinforced Polymer Composite-A State of the Art. 2007. Vol. 30. 379-386. https://sites.google.com/site/cntcomposites/processing-of-cnt-polymer-composites

Metode sederhana yang biasa dilakukan untuk membuat polymer/carbon nanotube composite adalah dengan mencampur dan mendispersikan nanotube dengan larutan polimer kemudian mengevaporasi pelarutnya, metode disebut juga solution processing.[8] Metode ini dapat digunakan untuk membuat komposit nanotube/PVA (polyvinyl alcohol), dengan cara mencampur dan mendispersikan larutan nanotube dengan larutan aqueous dari polyvinyl alcohol, kemudian mencetaknya sebagai sebuah lapisan film dan menguapkan kandungan air (pelarut) yang ada. Metode berbasiskan larutan ini juga dapat digunakan untuk memproduksi komposit polymer/polystyrene. Hal yang pertama dilakukan adalah memberikan perlakuan asam kepada nanotube, kemudian melakukan esterifikasi pada permukaan nanotube sehingga nanotube terikat oleh suatu asam karboksilat. Carbon nanotube yang telah dimodifikasi dengan polimer ini dapat larut dengan baik di dalam pelarut organik. Untuk mempersiapkan komposit, polystyrene dilarutkan dalam larutan nanotube tadi, dan komposit nanotube/polystyren berbentuk film tipis ini dapat dibentuk dengan menggunakan teknik pengecoran basah (wet casting).[2] Metode ini dianggap paling efektif untuk mempersiapkan komposit dengan CNT yang terdistribusi homogen dan sering digunakan untuk membuat lapisan tipis. Namun, metode ini masih bergantung pada tingkat efisiensi dispersi nanotube dalam pelarut yang digunakan. Pemilihan pelarut umumnya berdasarkan kelarutan dari polimer. Modifikasi metode solution processing dilakukan oleh Qian dkk. Dalam percobaannya, Qian menggunakan probe ultrasonik berenergi tinggi untuk mendispersikan MWNT dalam toluena dan kemudian mencampur suspensi ini dengan larutan encer polystyrene dalam toluena dengan agitasi ultrasonik. Viskositas yang rendah dari larutan polimer memungkinkan nanotube untuk bergerak bebas melalui matriksnya (polimer). Campuran ini kemudian dicetak pada kaca dan pelarutnya dihilangkan sehingga dihasilkan MWNT-doped film. Spesimen komposit dipersiapkan untuk diuji dengan TEM, dengan meneteskan larutan campuran pada grid tembaga TEM. Saat toluena menguap, sebuah film tipis komposit tersisa pada grid (gambar 7), dan ini menggambarkan dispersi yang sangat baik dari nanotube dalam polimer.[2]

Gambar 7. Hasil uji TEM untuk lapisan tipis MWNT/polystyrene (tanda panah menunjukkan daerah penyusutan polimer). Inset: distribusi panjang dari nanotube.

Gambar 8. Metode Solution Processing untuk Membuat Komposit Polimer/CNT

Metode kedua adalah metode melt processing. Metode ini adalah alternatif yang serbaguna dan umum untuk polimer larut, terutama untuk polimer jenis termoplastik. Teknik ini memanfaatkan fakta bahwa bijih polimer termoplastik melunak bila dipanaskan. Secara umum, melt processing melibatkan lelehan pelet polimer untuk membentuk cairan kental. Aditif, seperti carbon nanotube, dapat dicampur ke dalam lelehan dengan memanfaatkan efek reologi geser. Komposit dapat dibuat dengan menggunakan proses ekstrusi. Keuntungan dari teknik ini adalah kecepatan dan kesederhanaannya, dan juga kompatibilitasnya dengan standar industri.[8]

Gambar 9. Metode Melt Processing untuk Membuat Komposit Polimer/CNT Metode ketiga adalah reaction processing. Reaction processing atau polimerisasi in situ dianggap sebagai metode yang sangat efisien untuk meningkatkan dispersi carbon nanotube dan interaksi antara carbon nanotube dengan matriks polimer secara signifikan. Umumnya, pertama kali, carbon nanotube dicampur dengan monomer dan kemudian komposit carbon nanotube/polimer dapat diperoleh dengan polimerisasi monomer dalam kondisi tertentu. Untuk polimer termoset, seperti epoxies atau poliester tidak jenuh, curing agent atau peroksida ditambahkan untuk memulai proses polimerisasi. Untuk termoplastik, polimerisasi dapat dimulai baik oleh penambahan inisiator atau dengan peningkatan suhu. Teknik ini sangat penting untuk pembuatan polimer tidak larut dan polimer yang tidak stabil dalam panas, yang tidak dapat diproses oleh solution atau melt processing.[8]

Gambar 10. Metode Reaction Processing untuk Membuat Komposit Polimer/CNT Aplikasi Carbon Nanotube/Polymer Composites Beragam aplikasi dalam elektronik, obat-obatan, pertahanan, dan aerospace telah dibayangkan karena sifat luar biasa dari komposit ini. Berikut ini adalah beberapa aplikasi nanotube/polymer composites. 1. Aktuator Material-material seperti shape memory alloys atau liquid crystal elastomer menunjukkan kemampuan laten untuk dapat aktif di bawah kondisi yang tepat, sementara sistem lainnya membutuhkan campuran dari dua atau lebih material untuk memberikan respon fisik baru agar bisa berjalan. Dewasa ini, polimer nanocomposites muncul sebagai subjek studi baru, tetapi kebanyakan percobaan ini terkonsentrasi pada perbaikan sifat dari matriks dengan menambahkan nanotube. Pada tahun 2003, ditemukan adanya respon baru aktuator yang didorong oleh medan listrik karena adanya MWNT di dalam suatu elastomer, polysiloxane. Mereka menghasilkan bahan komposit dengan carbon nanotube yang memiliki sifat anisotropi dielektrik yang efektif, dengan banyak sifat-sifat yang lebih unggul daripada liquid crystal elastomer biasa. Koerner dkk. membuat komposit MWNT-polydimethylsiloxane yang menghasilkan respon mekanik terhadap radiasi infra-merah. Mereka melaporkan bahwa sampel secara spontan berkontraksi dan memanjang dengan adanya radiasi. Mereka lebih lanjut menunjukkan bahwa respon mekanik ini disebabkan karena penyerapan foton dan bukan karena pemanasan bahan akibat radiasi.[9]

[9]

K. Mylvaganam dan L. C. Zhang. Fabrication and Aplication of Polymer Composites Comprosing Carbon Nanotubes. 2006. Vol.1. 59-65.

Ounaies dkk. mengembangkan teknik untuk membuat bahan komposit penggerak (aktuator) dengan gugus terpolarisasi (polyimide) dan carbon nanotube. Dengan metode polimerisasi in-situ dan pengadukan, mereka dapat meningkatkan konstanta dielektrik dari 4,0 hingga 31 dengan fraksi volume sebesar 0,1% SWNT. 2. Sensor Alat sensor molekul gas sangat penting untuk pemantauan lingkungan, misi ruang angkasa dan industri, aplikasi pertanian, dan peralatan medis. Sebagai contoh, pendeteksian NO2 dan CO adalah bagian terpenting dalam memantau pencemaran lingkungan, pendeteksian NH3 diperlukan di lingkungan industri dan medis. Kong dkk. menunjukkan sensor kimia yang ditunjukkan oleh SWNT. Mereka menemukan bahwa tahanan listrik dari sifat semikonduktor SWNT berubah secara dramatis setelah terpapar molekul gas seperti NO2 atau NH3. Bahan sensor listrik, seperti komposit karbon hitampolimer beroperasi pada suhu tinggi untuk sensitivitas yang dibutuhkan, sedangkan sensor yang dibuat dari SWNT menunjukkan respon yang cepat dan sensitivitas yang lebih tinggi pada suhu kamar. Beberapa paten telah menunjukkan penggunaan komposit carbon nanotube-polimer sebagai sensor. Ajayan dkk. mengembangkan metode untuk memproduksi komposit film nanotube-polimer yang dapat digunakan untuk membentuk nanosensor, yang berisi setidaknya satu saluran konduktif yang terdiri dari sebuah carbon nanotube yang tertanam dalam bahan matriks (misalnya polydimethylsiloxane). Bahan ini dapat digunakan untuk menentukan kondisi fisik material secara nyata, seperti pemantauan kondisi fisik sayap pesawat terbang atau rangka pesawat saat pesawat berada dalam penerbangan.[9] Meskipun, komposit nanotube-polimer menunjukkan sifat yang lebih baik, belum banyak industri yang membuatnya. Dalam rangka mewujudkan potensi dari material komposit, beberapa metode harus dilakukan untuk mengembangkan teknik produksi massal carbon nanotube dengan biaya yang wajar. Tingkat produksi saat ini hanya cukup di tingkat penelitian dan membangun pengetahuan tentang komposit carbon nanotube-polimer. Faktor yang paling penting adalah biaya produksi. Arc discharge, laser ablation, solar, plasma, dan CVD telah menjadi metode utama yang digunakan untuk memproduksi carbon nanotube. Tiga metode yang pertama menggunakan proses dengan suhu tinggi dan telah mencapai batas produksi karena masalah biaya. Pada tahun 2004, TIMCAL dari Belgia mengenalkan sebuah metode baru dengan proses plasma, yang dikenal sebagai 3-phase AC

plasma technology untuk membuat carbon nanotube dalam skala massal. CVD adalah sederhana dan ekonomi teknik. Iwasaki dkk. mensintesis carbon nanotube menjadi beberapa milimeter dengan teknik CVD. Karya-karya ini menunjukkan produksi massal untuk memproduksi carbon nanotube yang panjang, seragam, dan selaras dengan biaya rendah. Sebuah contoh yang baik bahwa nanotube kini telah tersedia di pasar dalam jumlah besar (kilogram).[9]