Commutio Cerebri

46
BAB I ILUSTRASI KASUS I. IDENTITAS Nama : Tn. OA Jenis kelamin : Laki-laki Umur : 34 tahun Pekerjaan : Pegawai swasta Pendidikan : Tamat SLTA Agama : Islam Status perkawinan : Menikah Suku bangsa : Indonesia Alamat : Kp. Setu, Kabupaten Tangerang Selatan Tanggal masuk RS : 2 Februari 2014 II. ANAMNESIS Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 3 Februari 2014. Keluhan Utama : Tidak sadarkan diri sejak 3 jam sebelum masuk RS Keluhan Tambahan : Pusing 1

description

case for neurology

Transcript of Commutio Cerebri

Page 1: Commutio Cerebri

BAB I

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Tn. OA

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 34 tahun

Pekerjaan : Pegawai swasta

Pendidikan : Tamat SLTA

Agama : Islam

Status perkawinan : Menikah

Suku bangsa : Indonesia

Alamat : Kp. Setu, Kabupaten Tangerang Selatan

Tanggal masuk RS : 2 Februari 2014

II. ANAMNESIS

Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 3 Februari 2014.

Keluhan Utama :

Tidak sadarkan diri sejak 3 jam sebelum masuk RS

Keluhan Tambahan :

Pusing

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan keluhan tidak sadarkan diri

sejak 3 jam SMRS. Pasien sebelumnya mengalami kecelakaan motor

tunggal saat berangkat kerja dan langsung dibawa ke IGD RSUP Fatmawati.

Saat itu pasien memakai helm. Pasien mengaku tidak ingat kejadiannya dan

1

Page 2: Commutio Cerebri

berapa lama pingsannya. Pasien tersadar saat sudah berada di IGD dan

merasa kepala pusing setiap kali bergerak. Pasien mengaku bahu kirinya

sakit dan susah digerakkan. Pasien BAK banyak dan belum bisa BAB sejak

masuk RS tapi ada keinginan untuk BAB. Pasien mengaku tidak ada keluar

cairan atau darah dari hidung dan telinga. Pendengaran berkurang atau

berdenging disangkal. Keluhan muntah, kejang, demam, gangguan

penglihatan, nyeri leher, kelemahan anggota tubuh, dan rasa kesemutan

pada anggota tubuh disangkal. Saat kejadian pasien tidak sedang

mengkonsumsi alcohol atau obat-obatan.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Tidak ada riwayat epilepsi pada pasien.

Riwayat Kebiasaan:

Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan terlarang maupun minuman

beralkohol.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik di IGD RSUP Fatmawati tanggal 2 Februari 2014 pukul

07.30 WIB:

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : GCS: E4M6V5

Tekanan Darah : 110 / 70 mmHg

Nadi : 80 x/mnt

Suhu : 36 0C

Pernafasan : 20 x/menit, teratur

Pengisian kapiler : < 3 detik

Ekstremitas : Akral hangat

Pemeriksaan fisik di ruang perawatan tanggal 3 Februari 2014:

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

2

Page 3: Commutio Cerebri

Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4M6V5

Sikap : Berbaring

Koperasi : Kooperatif

Keadaan Gizi : Cukup

Tekanan Darah : 120 / 80 mmHg

Nadi : 76 x/mnt

Suhu : 36,5 0C

Pernafasan : 20 x/mnt

Keadaan Lokal

Trauma Stigmata : vulnus laserasasi pada kepala bagian belakang,

vulnus ekskoriasi pada alis mata kiri, hematom

palpebra kiri, tampak bengkak dan vulnus

ekskoriasi pada wajah sebelah kiri, vulnus

eksoriasi pada bahu kiri dan punggung kiri, vulnus

ekskoriasi pada punggung tangan kiri, dan vulnus

ekskoriasi pada lutut kiri.

Pulsasi A.Carotis : Teraba, kanan = kiri, reguler

Perdarahan Perifer : capilary refil < 2 detik

Columna Vertebralis : Letak ditengah, skoliosis (-), lordosis (-)

Status Generalis

Kulit : Warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)

Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi merata, tidak

mudah dicabut, tidak ada alopesia, vulnus laserasi

pada bagian parietal kanan, bengkak dan vulnus

ekskoriasi pada wajah sebelah kiri.

Mata : konjungtiva anemis +/+, sclera ikterik -/-, ptosis

-/+, lagoftalmus -/-, raccoon eyes -/-, hematom

subkonjungtiva sinistra, hematoma periorbita

sinistra, vulnus ekskoriasi pada alis sinistra, pupil

3

Page 4: Commutio Cerebri

bulat isokor, 3mm/3mm, refleks cahaya

langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+.

Telinga : Normotia +/+, perdarahan -/-, lapang +/+, battle

sign -/-

Hidung : Deviasi septum -/-, epistaksis -/-

Mulut : Bibir sianosis -, lidah kotor -

Tenggorok : Tidak dilakukan pemeriksaan

Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba

pembesaran KGB dan tiroid.

Pemeriksaan Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba di ICS 5 linea midklavikula

sinistra.

Perkusi : batas kanan jantung di ICS 4 linea sternalis dekstra,

batas kiri jantung di 1 ICS 5 linea midklavikula

sinistra, pinggang jantung di ICS 3 linea para

sternalis sinistra.

Auskultasi : S1 dan S2 normal reguler, murmur -, gallop -

Pemeriksaan Paru

Inspeksi : pergerakkan dada simetris pada statis dan dinamis

Palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama

Perkusi : perkusi di seluruh lapang paru sonor

Auskultasi : suara nafas vesikuler, rhonki - / -, wheezing - /-

Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : datar, efloresensi -, venektasi -

Palpasi : supel, nyeri tekan -, hepar dan lien tidak teraba

membesar

Perkusi : timpani

4

Page 5: Commutio Cerebri

Auskultasi : bising usus + normal, 5 x/menit

Punggung : vulnus ekskoriasi pada punggung kiri

Pemeriksaan Ekstremitas

Atas : akral hangat + / +, edema - / -, tampak vulnus

ekskoriasi pada bahu kiri, vulnus ekskoriasi pada

punggung tangan kiri

Bawah : akral hangat + / +, edema - / -, tampak vulnus

ekskoriasi pada lutut kiri

Status Lokalis regio bahu kiri

Look : Deformitas -, perdarahan -, luka terbuka -

Feel : Nyeri tekan Vas 4, krepitasi -

Move : pergerakan aktif dan pasif terbatas nyeri

IV. STATUS NEUROLOGIS

Tanda Rangsang Meningeal

Kaku kuduk : -

Laseque : >700 / >700

Kerniq : > 1350 / > 1350

Brudzinsky I : -

Brudzinsky II : - / -

Saraf-saraf Kranialis

N.I (olfaktorius) : normosmia +/+

N.II (optikus)

Acies visus : baik / baik (3/60, terbatas ruangan)

Visus campus : baik / baik

Lihat warna : baik / baik

5

Page 6: Commutio Cerebri

Funduskopi : tidak dilakukan

N.III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducen)

Kedudukkan bola mata : ortoposisi + / +

Pergerakkan bola mata : baik ke segala arah +/+ (nasal, temporal,

superior, inferior, nasal atas dan bawah,

temporal atas dan bawah)

Exopthalmus : - / -

Nystagmus : - / -

Pupil

Bentuk : bulat, isokor, 3mm/3mm

Reflek cahaya langsung : +/+

Reflek cahaya tidak langsung : +/+

Reflek akomodasi : +/+

Reflek konvergensi : +/+

N.V (Trigeminus)

Cabang Motorik : baik / baik

Cabang sensorik

Ophtalmikus : baik / baik

Maksilaris : baik / baik

Mandibularis : baik / baik

N.VII (Fasialis)

Motorik

Orbitofrontalis : baik / baik

Orbikularis okuli : baik / baik

Orbikularis oris : baik / baik

Pengecapan lidah : tidak dilakukan

N.VIII (Vestibulocochlearis)

6

Page 7: Commutio Cerebri

Vestibular

Vertigo : +

Nistagmus : - / -

Koklearis

Tuli Konduktif : - / -

Tuli Perseptif : - / -

Test penala weber : tidak ada lateralisasi

N.IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)

Motorik : tidak dilakukan

Sensorik : tidak dilakukan

N.XI (Accesorius)

Mengangkat bahu : baik / tidak dilakukan

Menoleh : tidak dilakukan / baik

N.XII (Hypoglossus)

Pergerakkan lidah : baik

Atrofi : -

Fasikulasi : -

Tremor : -

Sistem Motorik

Ekstremitas atas proksimal - distal : 5555 / TVD

Ekstremitas bawah proksimal - distal : 5555 / 5555

Gerakkan Involunter

Tremor : - / -

Chorea : - / -

Atetose : - / -

Miokloni : - / -

7

Page 8: Commutio Cerebri

Tics : - / -

Trofik : eutrofik + / +

Tonus : normotonus + / +

Sistem Sensorik

Propioseptif : baik

Eksteroseptif : baik

Fungsi Serebelar

Ataxia : tidak dilakukan

Tes Romberg : tidak dilakukan

Disdiadokokinesia : baik

Jari-jari : baik

Jari-hidung : baik

Tumit-lutut : baik

Rebound phenomenon : baik

Hipotoni : - / -

Fungsi Luhur

Astereognosia : -

Apraxia : -

Afasia : -

Fungsi Otonom

Miksi : baik

Defekasi : baik

Sekresi keringat : baik

Refleks Fisiologis

Kornea : + / +

Biceps : +2 / +2

8

Page 9: Commutio Cerebri

Triceps : +2 / +2

Dinding perut : + / +

Otot perut : + / +

Lutut : +2 / tidak dilakukan

Tumit : +2 / +2

Kremaster : tidak dilakukan

Refleks Patologis

Hoffman Tromer : - / -

Babinsky : - / -

Chaddok : - / -

Gordon : - / -

Schaefer : - / -

Klonus lutut : - / tidak dilakukan

Klonus tumit : - / -

Keadaan Psikis

Intelegensia : baik

Tanda regresi : -

Demensia : -

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tanggal 2 Februari 2014

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL

HEMATOLOGI

Hb 17,2 14 – 18 g/dL

Ht 47 33 – 45 %

Leukosit 22,0 (4,5 – 13). 103/uL

Trombosit 259 (150 – 440). 103/uL

Eritrosit 5,30 3.8-5,2 106/uL

9

Page 10: Commutio Cerebri

VER/HER/KHER/RDW

VER 89,3 80,0 - 100,0 fl

HER 32,4 26,0 - 34,0 pg

KHER 36,3 32,0 - 36,0 g/dl

RDW 12,3 11,5 - 14,5%

HEMOSTASIS

APTT 28,2 27,4 – 39,3 detik

Kontrol APTT 31,5 -

PT 11,7 11,3 – 14,7 detik

Kontrol PT 13,5 -

INR 0,83 -

FUNGSI HATI

SGOT 48 0 - 34 u/L

SGPT 28 0 - 40 u/L

FUNGSI GINJAL

Ureum Darah 13 20 - 40 mg/dl

Kreatinin Darah 0,6 0,6 - 1,5 mg/dl

DIABETES

GDS 98 70 - 240 mg/dl

ELEKTROLIT

Natrium 143 135 - 147 mmol/L

Kalium 3,90 3,10 - 5,10 mmol/L

Klorida 103 95 - 108 mmol/L

SERO - IMUNOLOGI

Golongan Darah O / Rh (+)

VI. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

CT scan kepala potongan axial dengan tebal irisan 3 mm di basis dan 10

mm di serebral tanpa kontras IV:

10

Page 11: Commutio Cerebri

11

Page 12: Commutio Cerebri

Deskripsi : Sulci dan gyri baik

Sistem ventrikel normal dan simetris

Fissure sylvii dan sisterna ambiens tidak menyempit

Tak tampak pergeseran garis tengah

Tak tampak perdarahan intraparenkimal perdarahan

subarachnoid ataupun subdural / epidural hematom

Serebellum dan pons baik

12

Page 13: Commutio Cerebri

Tampak perselubungan dengan densitas perdarahan di

sinus maksilaris kiri

Tampak fraktur linier komplit dinding lateral dan anterior

sinus maksilaris kiri dan os zygoma kiri

Tampak soft tissue swelling region maksila kiri dan

zygoma kiri dan orbita kiri dengan gambaran udara di

dalamnya

Kesan : Fraktur linier komplit dinding lateral dan anterior sinus

maksilaris kiri dan os zygoma kiri

Perselubungan di sinus maksilaris kiri dd/ hematosinus

maksilaris kiri

Soft tissue swelling region maksila kiri dan zygoma kiri

dan orbita kiri dengan gambaran udara di dalamnya

Tak tampak perdarahan intraprenkimal / perdarahan

subarachnoid ataupun subdural / epidural hematom

VII. RESUME

Pasien laki-laki 34 tahun datang ke IGD dengan keluhan tidak sadarkan diri

sejak 3 jam SMRS. Pasien mengalami kecelakaan motor dan menggunakan

helm. Amnesia retrograde +. Pasien tersadar di IGD dan kepala pusing

setiap kali bergerak. Bahu kirinya sakit dan susah digerakkan. Bisa BAK

dan ada rasa ingin BAB. Dari pemeriksaan fisik didapatkan vulnus laserasasi

pada kepala bagian belakang, vulnus ekskoriasi pada alis mata kiri,

hematom palpebra kiri, tampak bengkak dan vulnus ekskoriasi pada wajah

sebelah kiri, vulnus eksoriasi pada bahu kiri, punggung kiri, punggung

tangan kiri, dan lutut kiri. Perdarahan subkonjungtiva sinistra. Keterbatasan

gerak pada ekstrimitas atas sinistra. Pada pemeriksaan laboratorium

didapatkan leukosit 22.000 u/L dan SGOT 48 u/L. pada pemeriksaan CT

scan kepala tanpa kontras didapatkan fraktur linier komplit dinding lateral

dan anterior sinus maksilaris kiri dan os zygoma kiri, perselubungan di sinus

maksilaris kiri dd/ hematosinus maksilaris kiri, soft tissue swelling region

13

Page 14: Commutio Cerebri

maksila kiri dan zygoma kiri dan orbita kiri dengan gambaran udara di

dalamnya, tak tampak perdarahan intraprenkimal / perdarahan subarachnoid

ataupun subdural / epidural hematoma.

VIII. DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis klinis : riwayat penurunan kesadaran, vertigo, amnesia

retrograde, hematom palpebra sinistra, perdarahan

subkonjungtiva sinistra, vulnus laserasi, dan

vulnus ekskoriasi

Diagnosis etiologi : commusio cerebri

Diagnosis topis : dinding lateral dan anterior sinus maksilaris kiri

dan os zygoma kiri, orbita kiri

IX. TATALAKSANA

Head elevation 30, tidak boleh menunduk

Diet tinggi kalori, tinggi protein, dan tinggi serat ± 1800 kkal/hari dengan

konsistensi makanan lunak

Perawatan luka

Kompres hangat mata kanan

IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12 jam

IVFD manitol 4 x 100 cc IV

Ceftriaxone 1 x 2 g IV

Neurotam 3 x 3 g IV

Meloxicam 1 x 15 mg PO

Nonflamin 3 x 2 tab PO

Kalnex 2 x 500 mg PO

X. PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad functionam : bonam

Ad sanationam : bonam

14

Page 15: Commutio Cerebri

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara

langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi

neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer

maupun permanen.

B. EPIDEMIOLOGI

Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala,

52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga

merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan

dengan kematian.

Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan

diagnosa trauma kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000.

Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki

dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000.

Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas, kematian akibat trauma kepala

mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami

trauma kepala akibat terjatuh. Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala

pada tahun 1995 sampai 1998 terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala

yaitu trauma kepala ringan sebanyak 60,3% (2463 kasus), trauma kepala

sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus) dan trauma kepala berat sebanyak

12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kepala mencatatkan sebanyak

11% berjumlah 448 kasus. Angka kejadian trauma kepala pada tahun 2004

dan 2005 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), FKUI mencatat

sebanyak 1426 kasus.

15

Page 16: Commutio Cerebri

Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan

dan terjatuh. Pejalan kaki yang mengalami tabrakan kendaraan bermotor

merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien anak-anak bila

dibandingkan dengan pasien dewasa.

C. KLASIFIKASI

Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai

aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;

mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.

1. Mekanisme Cedera Kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera

tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,

atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak

ataupun tusukan.

2. Beratnya Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi

beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua

matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai

nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan

otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak

bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS

sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat.

Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-

13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai

GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.

Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi

keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu :

16

Page 17: Commutio Cerebri

3. Morfologi

a. Fraktur Kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat

berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka

ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan

pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone Universitas Sumatera

Utarawindow” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-

tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan

untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka

dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala

dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur

tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa

benturan yang terjadi cukup berat.

Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai

berikut;

Gambaran fraktur, dibedakan atas :

o Linier

o Diastase

o Comminuted

o Depressed

17

Page 18: Commutio Cerebri

Lokasi Anatomis, dibedakan atas :

o Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )

o Basis cranii ( dasar tengkorak )

Keadaan luka, dibedakan atas :

o Terbuka

o Tertutup

b. Lesi Intra Kraniald

Cedera otak difus

Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan

normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita

biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia

retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya

diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang

berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah

trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan

gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih

dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera

Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat

dengan Universitas Sumatera Utaraprognosis yang buruk.

Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan

pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.

Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak di luar

dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan

gambarannya berbentuk bikonveks atau

menyerupai lensa cembung. Sering terletak di

area temporal atau temporo parietal yang

18

Page 19: Commutio Cerebri

biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat

fraktur tulang tengkorak.

Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi

daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini

terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di

permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural

biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer

otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan

prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan

perdarahan epidural.

Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian

besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal,

walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian

19

Page 20: Commutio Cerebri

dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau

hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral yang

membutuhkan tindakan operasi.

D. PATOFISIOLOGI

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu

cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada

kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh

benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses

akselerasi-deselerasi gerakan kepala.

Pada trauma

kapitis, dapat timbul

suatu lesi yang bisa

berupa perdarahan

pada permukaan otak

yang berbentuk titik-

titik besar dan kecil,

tanpa kerusakan pada

duramater, dan

dinamakan lesi

kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”,

di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak

terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio

“countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan

akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah

akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik

adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa

akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup

dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang

berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup.

20

Page 21: Commutio Cerebri

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara

mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang

tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan

tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi

dalam tengkorak memaksa membentur permukaan dalam tengkorak pada

tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan

dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya

merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa

jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan

ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan

berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.

Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan,

kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada

dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan

pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak,

21

Page 22: Commutio Cerebri

bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam

bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila

suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak

untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia

pada beberapa daerah tertentu dalam otak.

E. DIAGNOSIS

Anamnesis:

Hampir selalu ditemukan riwayat trauma oleh karena kecelakaan lalu

lintas, kecelakaan kerja atau trauma lainnya. Anamnesis yang lebih terperinci

meliputi sifat kecelakaan atau sebab-sebab trauma untuk estimasi berat

ringannya benturan, saat terjadi beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah

sakit, ada tidaknya benturan kepala langsung dan keadaan penderita saat

kecelakaan misalnya kejang, kelemahan motorik, gangguan bicara dan

perubahan kesadaran sampai saat diperiksa serta adanya nyeri kepala, mual

muntah.

Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwa sejak

sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk

mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat

disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam

keadaan pingsan (hilang/turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan

bingung/disorientasi (kesadaran berubah).

Pemeriksaan fisik:

1. Pemeriksaan kesadaran

Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan

Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang

didasari pada tiga pengukuran, yaitu: pembukaan mata, respon motorik,

22

Page 23: Commutio Cerebri

dan respon verbal. Skor dari masing-masing komponen dijumlahkan dan

memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai

tertinggi adalah 15. Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk

mengkategorikan pasien menjadi:

GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat

GCS 9 – 13 : cedera kepala sedang

GCS > 13 : cedera kepala ringan

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada

satu kali pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif

terhadap tingkat kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam

penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih

baik atau lebih buruk.

Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale

pada tahun 1974. Sejak itu GCS merupakan tolak ukur klinis yang

digunakan untuk menilai beratnya cedera kepala. GCS seharusnya telah

diperiksa pada penderita-penderita awal cedera terutama sebelum

mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi. Derajat kesadaran

tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup

23

Page 24: Commutio Cerebri

dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam

menentukan prognosa.

Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan

skor GCS sesudah resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai

prediksi GCS. Pada beberapa penderita, skor mata dan skor verbal sulit

ditentukan pada atau yang bengkak dan setelah tindakan intubasi

endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi rediksi yang kuat; penderita

dengan skor mototrik 1 (bilateral flaksid) mempunyai mortalitas 90 %.

Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera dan usia di

atas 60 tahun merupakan kombinasi yang mematikan. Penentuan skor awal

GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi pengobatan apapun atau

sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang sangat penting.

2. Pemeriksaan Pupil

Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap

cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm

adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya

penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu

terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan

saraf perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus

diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak

Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar.

Kedalaman leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat.

Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa

diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

24

Page 25: Commutio Cerebri

Pemeriksaan penunjang:

1. X-ray Tengkorak

Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera

kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan

kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas

lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum,

Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap,

Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos

kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut

tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka

dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.

2. CT-Scan

Penemuan awal computed tomography scanner (CT Scan) penting

dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang

normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala

berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan

fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita

yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa

semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih

baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang

lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan

tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang

cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi

seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.

Indikasi CT scan:

Nyeri kepala menetap atau muntah–muntah yang tidak menghilang

setelah pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.

Adanya kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi

intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.

25

Page 26: Commutio Cerebri

Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor–faktor ekstracranial telah

disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi

shock, febris, dll).

Adanya lateralisasi.

Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal

fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.

Luka tembus akibat benda tajam dan peluru

Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.

Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam

menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan

batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan

bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi

batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk

untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal

normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik.

Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)

menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode

yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas

penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan

penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS

ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.

Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera

kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat

menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan

kognitif pada penderita cedera kepala ringan.

F. PENATALAKSANAAN

26

Page 27: Commutio Cerebri

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili

tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder

serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat

membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera

kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan,

sedang, atau berat.

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.

Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain

airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian

dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan

cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera

otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.

Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.

Indikasi rawat antara lain:

a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)

b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

c. Penurunan tingkat kesadaran

d. Nyeri kepala sedang hingga berat

e. Intoksikasi alkohol atau obat

f. Fraktur tengkorak

g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea

h. Cedera penyerta yang jelas

i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan

j. CT scan abnormal

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk

memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang

dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena,

hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan

antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan

tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi

27

Page 28: Commutio Cerebri

klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum

digunakan panduan sebagai berikut:

a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah

supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial

b. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis

c. tanda fokal neurologis semakin berat

d. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat

e. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm

f. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.

g. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan

h. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak

i. terjadi kompresi/obliterasi sisterna basalis

G. KOMPLIKASI

1. Koma

Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma.

Pada situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,

setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus

lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih

tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada

vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.

2. Kejang/Seizure

Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami

sekurang-kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah

cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.

3. Infeksi

Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan

membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini

28

Page 29: Commutio Cerebri

biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar

ke system saraf yang lain.

4. Hilangnya kemampuan kognitif

Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan

memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera

kepala mengalami masalah kesadaran.

5. Penyakit Alzheimer dan Parkinson

Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya

penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan

semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera.

H. PROGNOSIS

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial

Collaborators (2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah,

pupil tidak reaktif, dan terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan

prediksi buruknya prognosis. Skor Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu

hubungan linier yang jelas terhadap mortalitas pasien. Adapun ditemukannya

angka mortalitas yang lebih rendah pada GCS 3 dibandingkan dengan GCS 4

mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi dianggap sebagai 3.

Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah

mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki

daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai

kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala. Selain

itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat

mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

29

Page 30: Commutio Cerebri

BAB III

KESIMPULAN

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara

langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi

yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun

permanen. Trauma ini bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa

mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada

lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.

Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu

cedera primer dan cedera sekunder. Trauma kapitis diklasifikasikan berdasarkan

mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Kerusakan

otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi

tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih

menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian

otak mana yang terkena. Penatalaksanaan awal penderita memikili tujuan untuk

memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta

memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu

penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Prognosis tergantung usia, Glasgow Coma

Scale, deficit neurologis, dan cedera ekstrakranial.

30

Page 31: Commutio Cerebri

DAFTAR PUSTAKA

1. Lenzlinger PM, Saatman K, Raghupati R. Overview of basic mechanism

underlying neuropathological consequences of head trauma. In: Miller LP,

Hayer RL, editors. Head trauma basic, preclinical and clinical directions. New

York: Wiley-Liss; 2001. p. 3-23.

2. Mardjono mahar, Sidharta priguna. Neurologi Klinis Dasar.Cetakan ke 9.

Dian Rakyat.2003.Bab.VIII Mekanisme trauma susunan saraf. Hal 248-63.

3. Buku Pedoman SPM dan SPO NEUROLOGI. PERDOSSI. Bab. IX.

Neurotrauma. Hal.147-58.

4. Proceeding Updates In Neuroemergencies II. Hotel Aston Atrium. 28

Februari. FKUI. Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranio serebral. Hal 51-

72.

5. Penatalaksanaan fase akut cedera kepala, Cermin Dunia Kedokteran No. 77,

1992.

6. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,

Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016.

7. A Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi

Kilinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259.

8. Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L.

Thieme Medical Publisher, New York,1996, 22.

9. Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition,

Williams & Wilkins, Arizona, 1993, 117 – 178.

10. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,

Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314.

31