Chronic Myieloid Leukemia
-
Upload
laura-adam -
Category
Documents
-
view
460 -
download
5
Transcript of Chronic Myieloid Leukemia
chronic myieloid leukemia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Definisi
Leukemia adalah neoplasma yang berasal dari sel hematopoitik yang pada awalnya berpoliferasi di
sumsum tulang sebelum menyebar kedarah tepi, limpa, kelenjar limfe, dan akhirnya jaringan
lainnya(Isselbacher et al, 2000). Definisi lain menyebutkan leukemia adalah keganasan
hematologik akibat proses neoplastik yang disertai gangguan deferensiasi (maturation arrest) pada
berbagai tingkatan sel induk hemopoetik sehingga terjadi ekspansi progesif dari kelompok (clone)
sel ganas tersebut dalam sumsung tulang, kemudian sel leukemia beredar sistematik (Bakta,
2006).
Penyakit mieloproliperatif adalah sekelompok penyakit yang ditandai oleh peningkatan
pembentukan sel darah yang muncul secara klonal akibat kelainan di tingkat sel individu
hematopoitik. Gangguan mieloproliferatif biasanya berjalan kronik tetapi juga dapat berubah
menjadi fase agresif atau leukemia akut (Isselbacher et al, 2000).
Leukemia mieloid kronik (CML) merupakan penyakit klonal sel induk pluripoten dan di golongkan
sebagai salah satu penyakit mieloproliperatif (Hoffbrand,et al, 2005). CML termasuk leukemia
kronik dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel leukemia berasal dari transformasi sel
induk mieloid (Bakta, 2006).
CML adalaha penyakit sel bakal klonal yang ditandai oleh peningkatan mencolok mieloposis dan
adanya kromosom Philadelphia (Ph).(Isselbaccher,et al, 2000)
CML dianggap sebagai kelainan mieloproliferatip karena sumsum tulang penderita ini menunjukan
gambaran hiperseluler disertai adanya proliferasi pada semua garis diferensiasi. (Price dan Loraine,
2006)
Dari beberapa definisi diatas bahwa Chronic myelogenous leukemia adalah suatu penyakit
mieloproliferatip yang bersifat kronik dengan peningkatan oleh sebagian besar myeloid sel di
sumsum tulang oleh karena terjadinya resiprokal translokasi pada kromosom 22 dan kromosom 9
dengan ciri khas adanya kromosom Philadelphia (Ph).
B. Prevalensi
CML merupakan leukemia yang terjadi pada usia pertengahan, paling sering pada usia antara 40-
60 tahun pada anak pun dapat terjadi bentuk Juvaile CML dan CML ditenukan sebesar 15-20 % dari
leukemia yang merupakan leukemia yang paling sering ditemukan di Indonesia. Di jepang
kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atomdi Nagasaki dan Hiroshima, dan demikian pula
terjadi pada Rusia setelah reaktor atom Chernobil meledak (Sudoyo, 2006).
Di Amerika Serikat, insidensi penyakit ini adalah 1,5 / 100.000 pnduduk / tahun dimana sebagian
besar mengenai usia pertengahan dan merupakan 20% dari seluruh leukemia yang ditemukan
pada kelompok usia dewasa (Sedana dan Wulansari, 2007)
Kromosom Ph(22q-) selalu ditenukan pada semua penderita CML, BCR-ABL pada 9q+ hanya pada
70% penderita CML. Pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blast ditemukan adanya
trisomi 8, trisomi 19 dan kromosom 17i (Sudoyo, 2006).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Etiologi
Penyebab dari penyakit CML masih belum jelas sampai saat ini. Meskipun demekian paparan
terhadap radiasi dan benzene telah diketahui dapat meningkatkan resiko menderita penyakit ini
(Sedana dan Wulansari, 2007).
Pada tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kromosom Ph yang digunakan untuk
mengetahui adanya CML(Randolph, 2005), kemudian pada tahun 1973 Rowley menemukan bahwa
kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang 9 dan 22 ,
sehingga menimbulkan gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9(9q34) yakni
ABL dengan BCR yang terletak di lengan kromosom 22(22q11), gabungannya keduanya sering
ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya kelainan pada
CML(Sudoyo, 2006)
Dengan adanya gabungan tersebut dapat mempengaruhi pada tranduksi sinyal terutama melalui
tirosin kinase sehingga terjadi kelebihan poliferasi pada sel-sel mieloid dan menurunnya
apoptosis(Bakta, 2006)
B. Klasifikasi
Leukemia mieloid kronik enam tipe leukemia yang berbeda, yaitu :
1. leukemia mieloid kronik, Ph psostif (CML, Ph+) (chronic granulocytis leukemia, CGL)
2. leukemia mieloid kronik, Ph negatif (CML, Ph-)
3. juvenile chronic myeloid leukemia
4. chronic neutrophilic leukemia
5. eosinophilic leukemia
6. chronic myelomonocytic leukemia (CMML)
tetapi dari enam tipe CML tersebut tipe CML, Ph+ yang paling banyak dijumpai (>95%).
C. Patogenesis
Diagnosis CML kadang sulit untuk ditegakkan, dengan adanya gambaran yang khas dari CML yaitu
kromosom Ph yang khas. Kromosom ini terbentuk dari translokasi resiprokal antara lengan panjang
kromosom 9 dan 22 (t(9;22)(q23;q11)). Pada t(9;22) terjadi pemindahan sebagian materi genetik
dari lengan panjang kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9 yang bersifat resiprokal,
akibatnya protoonkogen Abselon ABL pada lengan panjang kromosom 9 di pindahkan pada gen
BCR di kromosom 22 dan bagian kromosom 22 pindah ke kromosom 9, kromosom Philadelphia (Ph)
merupakan kromosom 22 yang abnormal. Sehingga terjadi penggabungan onkogen baru (crimeric
oncogen) yaitu ekson 5’ BCR berfusi dengan akson 3’ ABL yang sering dinamakan BCR-ABL.
Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi berlebihan sel induk pluripotein pada
sistem hematopoiesis, gen inipun dapat bertahan hidup lebih lama daripada normalnya, karna gen
BCR-ABL bersifat anti-apoptosis. Dengan adanya kedua mekanisme tersebut mengakibatkan
terbentuknya klon abnormal yang mendesak sistem hematopiesis lainnya. Sehingga diperlukan
seuatu pemahaman akan mekanisme kerja dari gen BCR-ABL sangatlah penting untuk
menegakkan suatu diagnostik, perjalanan penyakit serta implikasi terapi, sehingga perlu di ketahui
sitogenik dan tingkat molekulernya.
Sitogenik
Translokasi antara kromosom 22 dan kromosom 9 mengakibatkan pembentukan gen hibrid BCR-
ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9. Gen hibrid BCR-ABL
mensintesis protein 210 kd (p210) dan pada gen resiprokal ABL-BCR tidak diketahui, protein 210
ini mempunyai aktivitas tirosin kinase yang lebih dari produk ABL 145 yang normal yang dapat
mempengaruhi transduksi sinyal ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada
sel-sel mieloid dan menurunnya apoptosis.
Diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph, varian ini dapat terbentuk karena
translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Patahan BCR dapat terjadi
pada daerah q12 atau q13 yang tidak selalu pada daerah q11 yang nantinya dari varian baru ini
didapatkan protein dengan berat molekul yang berbeda-beda. Beberapa varian dari kromosom Ph
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Dapat disimpulkan gen BCR-ABL pada kromosom Ph selalu terdapat pada semua Leukemia Mieloid
Kronik Philadelphia Positif, tetapi beda dengan gen BCR-ABL pada 9q+ hanya di dapatkan 70%
pada pasien. Pasien Ph+ yng mengalami fase krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19
dan isokromosom lengan panjang kromosom 17 i(17)q.
Biologi Molekuler
Patahan pada gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau di daerah e13-e14 pada akson 2 yang
mensintesis protein dengan berat molekul 210 kD dikenal sebagai major break cluster region(M-
bcr). Patahan lainnya ditemukan pada daerah 54,4-kb atau e1 yang dikenal sebagai minor bcr (m-
bcr) yang gen BCR-ABLnya akan mensintesis protein p190. Pada 3’ gen BCR antara e19-e20 yang
selanjutnya terbentuk protein p230 dan derah patahan ini disebut sebagai micro bcr. Tiga variasi
letak patahan pada gen BCR tersebut mempunyai hubungandengan gambaran klinik penyakit.
Pasien patahan gen BCRnya di major bcr berhunbungan dengan trombositopenia, patahan di minor
bcr berhubungan dengan monositosis yang prominen, dan dengan pasien patahan pada mikro bcr
berhubungan dengan netrofilia atau trombositosis.
Pada p210 BCR-ABL mempunyai kemampuan untuk leukemogenesis dengan cara sebagai berikut;
gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin
kinase,sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilase yang akan
mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1),
sehingga terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap
stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon apoptosis.
BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga terjadi sinyal
yang bersifat onkogenik. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses
transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses prolifarasi sel dan juga proses
apoptosis.
CML di bagi menjadi 3 fase yaitu fase kronik, fase akselerasi atau transformasi akut dan fase krisis
blas (Sudoyo, 2006).
a) fase kronik : fase ini berjalan selama 2-5 tahun dan responsif terhadap kemoterapi (Bakta,
2006). Ada sedikit sel-sel blast sekitar 5% dalam darah dan sumsum tulang dan mungkin ada
gejala-gejala dari leukemia. Pasien sering mengeluh pembesaran limpa keluhan lain sering tidak
spesifik, misalnya : rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat
malam (Sudoyo, 2006).
b) fase transformasi : proporsi sel muda meningkat, sekitar 2/3 menunjukan sel blast seri mieloid,
sedangkan 1/3 menunjukan seri limfoid. Ciri khasnya adalah terjadinya leukositosis yang sulit
dikontrol oleh obat-obatan mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%, promielosit >30%
dan trombosit < 100.000/mmk serta timbulnya petekie (Sudoyo, 2006).
c) fase krisis blas : di dalam sel darah merah dan sumsum tulang lebih dari 30 % adalah sel-sel
blast dan mungkin membentuk tumor-tumor diluar sumsum tulang pada tulang atau nodul-nodul
limfa (Bakta, 2006).
D. Manifestasi Klinik
Gejala klinik CML tergantung pada fase diman kita jumpai pada penyakit tersebut :
1. fase kronik terdiri atas :
• splenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif dengan beberapa pasien disertai
adanya rasa tidak nyaman, nyeri atau gangguan pencernaan
• hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan, 48% penderita CML (Lee,2006)
• gejala gout, ganguan penglihatan, dan priapismus (Bakta,2006)
• gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia, berkeringat malam (Bakta, 2006)
• anemia ringan
• kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara tidak langsung pada saat chek up atau
pemeriksaan penyakit lainn (Bakta, 2006)
2. fase akselerasi atau transformasi akut terdiri atas :
• respons terhadap kemoterapi menurun, leukositosis meningkat dan trombosit menurun
danakhirnya terlihat menjadi gambaran leukemia akut (Bakta, 2006)
• keluhan baru seperti demam, lelah, nyeri tulang dan mengalami perubahan secra pelan dengan
prodomal selama 6 bulan.
3. fase krisis blas
• perubahan secara mendadak tanpa prodomal disertai dengan lesi tulang, pansitopenia,
perbesaran hati dan limpa.
• Tanpa pengobatan yang baik pasien sering meninggal dunia dalam 1-2 tahun.
E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboraturium
• Hematologi rutin : fase kronis ditemuakan kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun,
leukosit antara 20-60000/mmk. Presentasi eosinofil dan atau basofil meningkat trombosit biasanya
meningkat antara 500-600.000/mmk (Sudoyo, 2006)
• Darah tepi : anemia mula-mula ringan menjadi progesif pada fase lanjut dan bersifat
normokromik normositer. Spektrum lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast sampai netrofil
( netrofil segmen dan mielosit) (Bakta, 2006). Sel mieolosit, metamielosit, eosinofil dan basofil
meningkat (Sudoyo, 2006). Fosfatase alkali netrofil yang selalu rendah dan sel blast kurang dari
5% (Bakta, 2006).
• Sumsum tulang : hiperselular akibat poliferasi dari sel leukemia dengan dominan sistem
granulosit dan peningkatan rasio mieloid terhadap eritrosit. Ditemukan stroma sumsum tulang
terjadi fibrosis kolagen(Isselbacher et al, 2000), yang ditemukan dengan pewarnaan reikulin
(Sudoyo, 2006). Komponen paling banyak adalah netrofil dan mielosit dengan sel blast kurang dari
30% (Bakta, 2006).
• Karyotipik : dengan menggunakan metode FISH (fluorescen Insitu Hybridization) ditemukan
aberasi kromosom pada LGK antara lain : +8, +9, +19, +21, i(17) (Sudoyo, 2006).
• Sitogenk dijumpai dengan adanya Ph pada 95%.
• Vitamin B12 dan B12 binding capacity meningkat.
• Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya chimeric protein bcr-abl
pada 99% kasus (Bakta, 2006).
F. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi klinis yang dapat menegakkan
diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien CML kadang tidak ditemukan kromosom Ph.
Sehingga di butuhkan suatu standar untuk menegakkan suatu diagnosis.
Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :
1. blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan/ atau dari sel sumsum tulang berinti.
2. basofil darah tepi >20%.
3. Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan dengan terapi, atau
thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak responsif terhadap terapi.
4. penigkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
5. bukti sitogenik evolusi klonal (Bakta, 2006).
Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :
1. blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti.
2. proliferasi blast ekstrameduler.
3. fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (Bakta, 2006).
Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis esensial, pada trombositosis ditemukan
adanya fosfatase normal atau meningkat sedangkan CML selalu rendah dan tidak ditemukannya Ph
kromosom seperti halnya yang selalu ditemukan Ph kromosom pada penderita CML. Untuk fase
krisis blast yaitu leukemia mieloid akut dan sindrom mielodislasia (Sudoya, 2006).
Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu pada kasus penderita yang menderita
CML tipe juvenillis yang asering dijumpai pada pasien berumur kurang dari 4 tahun. Cirinya tidak
adanya Ph kromosom, peningkatan Hb janin, trombositopenia, monositosis yang menonjol, Dan
CML juvenillis jarang mengalami transformasi blastik dan meninggal akibat infeksi atau kegagalan
organ akibat sebukan monosit dan makrofag.
G. Terapi
Hydroxiurea
Bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dan mempertahankan hitung leukosit yang normala
pada fase kronik. Dosis mulai ditritasi dari 500 mg sampai 2000 mg perhari dan kemudian
menurunkan dosisnya diturunkan pada dosis pemeliharaan 0.5-1.5 g perhari untuk mencapai
leukosit 10.000-15.000/mmk. Penggunaan dihentikan terlebih dahulu bila lekosit <8000/mmk atau
trombosit < 100000/mmk. Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai satu
minngu setelah pengobatan dihentikan. Selama pengobatan harus dipantau kadar Hb, leukosit,
trombosit, fungsi ginjal, fungsi hati.
Busulfan (myleran)
Golongan alkil yang kuat, yang tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Dosisnya 0.1-0.2
mg/kgBB/hari, dosis diturunkan setengahnya jika leukosit turun setengahnya dan dihentikan pada
jumlah leukosit 20000/mmk, dan dimulai lagi pada saat leukosit naik 5000/mmk.memiliki efek
samping yang cukup berat yaitu menyebabkan anemia aplastik dan fibrosis paru, sehingga
sekarang disisihkan untuk pasien. Interaksi obat seperti asetaminofen, siklofosfamid dan
itrakonazol dapat meningkatkan efek busulfan, sedangkan fenitoin akan menurunkan efeknya.
Inhibitor tirosin kinase
Zat STI 571 adalah suatu tirosin kinase yang merupakan inhibitor spesifik terhadap protein ABL
dan mampu mampu menberikan respon yang baik pada hampir semua pasien yang berada pada
fase kronik. Obat ini dijadikan obat lini pertama dalam menangani CML baik digunkan sendiri atau
bersama dengan interferon (Hoffbrand, 2005).
Interferon alpha
Diberikan setelah jumlah leukosit telah terkendali oleh hydroxiurea, merupakan obat terpilih untuk
fase kronik yang dapat memberikan remisi hematologik pada 80% kasus, tetapi remisi sitogenik
hanya tercapai pada 5-10% kasus. Regimen yang lazim digunakan adalah 3 sampai 9 megaunit
yang diberikan antara tiga sampai tujuh kali setiap minggu, dengan tujuan mempertahankan
jumlah leukosit tetap rendah.komplikasi yang ditimbulkan seperti Flu, anorexia, depresi dan
sitopenia. Pemberian interferon ini sendiri menimbulkan pemanjangan fase kronik dengan
peningkatan harapan hidup.
Tergeted theraphy
Dengan menggunakan obat baru imatinib mesylate (Gleevec) yang merupakan antibodi
monoklonal yang dirancang khusus untuk menghambat aktivitas tirosin kinase dari fungsi gen
BCR-ABL dengan cara menduduki ETP-binding site of abl oncogen sehingga dapat menekan
proliferasi mieloid. Dosis untuk fase kronik yaitu 400mg/hari setelah makan, dapat ditingkatkan
menjadi 600mg/hari apabila tidak mencapai respon hematologikm selama 3 bulan pemberian.
Untuk fase akselerasi dan krisis blas diberikan langsung 800mg/hari, untuk netropeni berat
( <500/mmk) atau trombositopenia berat (<50000/mmk) dosis harus diturunkan.obat ini tidak
boleh diberikan pada wanita hamil, obat ini sendiri dapat menghasilkan remisi sitogenik yang
ditandai dengan hilangnya kromosom Ph dan juga remisi biologis yang ditandai dengan
berkurangnya akspresi den BCR-ABL.
Transplantasi sumsung tulang
Transplantasi sel induk (SCT), dapat bersifat alogenik atau autolog. Transplantasi sumsum tulang
alogen merupakan pengobatan kuratif CML dengan hasil yang baik bila dilakukan pada fase kronik
dan hanya pasien berumur dibawah 60 tahun yang dapat mentolerin prosedur ini.tidak dilakukan
pada CML dengan kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif.
Terapi radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar tenaga tinggi secara external
radiation therapy untuk menghilangkan gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan
sebelum transplantasi sumsum tulang.
Prognosis
Setelah ditemukannya obat-obat baru, maka kelangsungan hidup pasien dapat bertambah pang,
yang dahulunya berkisar antara 3-5 tahun sekarang bisa mencapai 6-9 tahun setelah pemberian
hidre dan interferon, imatinibmesilat juga memberikan hasil yang menjanjikan.
Faktor-faktor yang dapat memperburuk prognosis pasien CML antara lain :
• usia lanjut
• keadaan umum buruk
• anemia berat
• trombositopenia
• trombositosis
• basofilia dan eosinofilia
• kromosom Ph dan BCR-ABL negatif (Sudoyo, 2006).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Chronic myelogenous adalah suatu penyakit mieloproliferatip yang bersifat kronik dengan
peningkatan oleh sebagian besar myeloid sel di suumsum tulang oleh karena terjadinya resiprokal
translokasi pada kromosom 22 dan kromosom 9 dengan ciri khas adanya kromosom Philadelphia
(Ph). Dibagi menjadi tiga fase dalam perjalan penyakitnya dan juga digunakan untuk menentukan
terapi yaitu fase kronik, fase akselerasi, fase krisis blast.
Dalam hal terapi pada CML ini antara lain dengan :
• Busulfan
• Hydroxyurea
• Imatinib mesylate
• Interferon alpha
• Tirosin kinase
• Radiasi
• Transplantasi sumsum tulang
Daftar Pustaka
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta. EGC
Hoffbrand, et al. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta. EGC
Isselbecher, K.J., et al 2000, Harrison’s Principles of Internal Medicine, 13th ed, McGraw-Hill,
Singapore
Lee, G. Richard. 2006. Wintrobe’s Clinical Hematology 9th Ed. Lea & Febiger, Philadelphia
Price, Sylvia and Loraine M.W. 2006. Patofisiologi. Jakarta. EGC
Sedana, Made Putra, Wulansari, T. Ivone. Penyakit mieloproliperatif. Jenis Penyakit Dalam. 2007.
18(1):55-65.
Sudoyo, Setiahadi, Alwi, Simadibrata, Seliati. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4, Balai Penerbit FK
UI, Jakarta
Randolph, Tim R. Chronic Myelocytis Leukemia-Part I:History, Clinical Presentation, and Moleculer
Biology. Clinical Laboratory Science.2005. 18(1):38-48
Randolph, Tim R. Chronic Myelocytis Leukemia-Part II: Approaches to and Moleculer Monitoring of
Therapy. Clinical Laboratory Science.2005. 18(1):49-56