Chapter III-V Usu 3
Transcript of Chapter III-V Usu 3
BAB 3
ETIOLOGI TERJADINYA DENTAL FOBIA
Fobia terhadap perawatan gigi pada anak merupakan fenomena yang
multifaktorial dan kompleks. Fobia akan mempengaruhi tingkah laku anak dan
dapat menentukan keberhasilan kunjungan ke dokter gigi.
Dental fobia dapat dibagi dua yaitu ringan dan berat. Etiologi terjadinya
dental fobia dapat dibagi menjadi beberapa faktor. Kebanyakan orang dengan
dental fobia ringan hanya memiliki satu faktor etiologi, sedangkan mereka dengan
dental fobia berat mungkin takut akan semua atau sebagian besar faktor etiologi
tersebut. Faktor-faktor etiologi tersebut adalah sebagai berikut:
3.1. Dokter gigi
Dokter gigi sering dianggap sebagai seorang yang bersikap dingin dan tidak
berperasaan. Jas dokter gigi yang dipakai berwarna putih dapat menyebabkan rasa
takut terhadap anak.7
3.2. Fobia terhadap alat kedokteran gigi.
Fobia ini disebabkan karena ketidaktahuan anak terhadap penggunaan setiap
alat yang terdapat di ruang perawatan sehingga anak menjadi cemas serta takut.
Sebagai contoh, sebagian anak memiliki rasa takut terhadap jarum suntik
(trypanophobia) dan sebagian lagi takut terhadap suntikan yang digunakan oleh
dokter gigi untuk menganestesi rongga mulut. 7
Universitas Sumatera Utara
Beberapa faktor yang menyebabkan injeksi yang dilakukan terasa sakit yaitu
tidak menggunakan anestesi topikal sebelum melakukan injeksi, terlalu kuat,
menggunakan jarum tumpul, memasukkan obat anestesi terlalu cepat ke dalam
jaringan dan tidak menarik jaringan dengan kuat. 4,10 Beberapa anak yang setelah
dianestesi mempunyai pengalaman tersedak atau kesulitan bernapas, sehingga
pasien mungkin khawatir bahwa mereka tidak dapat bernapas atau menelan.7
Sebagian anak yang mengidap dental fobia, hanya mendengar bunyi bor atau
handpiece akan merasa cemas serta menggigil ketakutan. 4
3.3. Faktor Orang Tua
Pengalaman dari orang tua tentang ketakutan mereka terhadap dokter gigi,
mempunyai pengaruh yang besar terhadap pandangan seorang anak ke dokter gigi.
Jika orang tua menunjukkan ketakutan terhadap dokter gigi, maka si anakpun akan
memiliki perasaan yang sama karena orang tua merupakan orang yang pertama
sekali ditiru atau dicontoh oleh anak.3
Sikap orang tua dapat diidentifikasikan untuk menentukan perilaku tertentu
yang kurang baik pada anak mereka antara lain :
a. Overprotection (melindungi anak dengan berlebihan)
Orang tua seperti ini tidak memberi kesempatan kepada anak untuk
mengalami dan belajar mengatasi permasalahan. Sebagai akibatnya anak menjadi
pemalu, takut terhadap situasi yang baru, dan kurang rasa percaya diri. Anak sering
menolak kewajiban dan menunjukkan tingkah laku tak bertanggung jawab.9,16
b. Overaffection (memanjakan anaknya)
Universitas Sumatera Utara
Biasanya anak ini berasal dari keluarga yang terlambat mempunyai anak,
pasangan yang usia lanjut, anak tunggal atau anak yang paling kecil. Anak seperti
ini kurang dipersiapkan untuk mendapatkan tempat yang tepat di masyarakat, di
sekolah atau di tengah keluarga dan mereka kurang keberanian untuk masuk ke
dalam kamar praktek gigi.9,16
c. Overanxiety (rasa cemas yang berlebihan)
Biasanya terdapat pada keluarga yang pernah mengalami kematian anaknya
atau pada anak tunggal sehingga si anak menjadi sangat tergantung pada orang tua,
penakut dan pemalu.9,16
d. Overauthority (sikap yang keras)
Orang tua bersikap kritis selalu mengkritik anak-anaknya, bahkan bisa
menolak semua kemauan dan keinginan anaknya. Sebagai akibatnya anak
menyatakan perasaannya dalam bentuk negatif, selalu mempertahankan diri
terhadap segala bentuk yang dianggap merintangi dan merugikan dirinya.9,1
e. Under affection (sikap kurang kasih sayang)
Sikap kurang kasih sayang dari orang tua terhadap anaknya akan
menimbulkan sifat anak menjadi pemalu, pendiam, suka menyendiri, kurang
percaya diri dan suka menipu orang lain.9,16
f. Rejection (sikap menolak)
Sikap ini dapat timbul dari keluarga yang tidak harmonis, anak yang tidak
diharapkan kelahirannya, perkawinan usia muda dan persoalan ekonomi. Anak akan
Universitas Sumatera Utara
berkembang menjadi egois, suka membenci, suka melukai, kasar dan kegiatannya
berlebihan.9,16
3.4. Faktor Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi keluarga secara langsung mempengaruhi sikap anak
terhadap pemeliharaan dan perawatan kesehatan gigi. Beberapa pengamatan dan
penelitian telah menunjukkan bahwa masyarakat dengan status sosial ekonomi yang
rendah cenderung untuk lebih takut terhadap perawatan gigi dibandingkan dengan
masyarakat dengan status sosial ekonomi menengah ke atas. Hal ini disebabkan
perawatan gigi tersebut kurang umum bagi masyarakat yang status ekonominya
rendah. Masyarakat merasa bahwa biaya perawatan gigi sangat mahal, sedangkan
masyarakat yang berasal dari status ekonomi menengah ke atas mampu untuk pergi
ke program pencegahan yang diadakan dan juga untuk membayar biaya perawatan
gigi.8
3.5. Faktor Pendidikan
Kurangnya pendidikan khususnya pengetahuan mengenai perawatan gigi
dapat menyebabkan timbulnya rasa takut pada perawatan gigi. Hal ini disebabkan
anak yang tidak mendapat pendidikan yang baik kurang mendapat informasi
mengenai perawatan gigi sehingga mereka menganggap hal tersebut sebagai
sesuatu yang menakutkan. Sering anak datang ke dokter gigi dalam keadaan sakit
gigi yang sudah parah sehingga membutuhkan perawatan dan pengobatan yang
ekstensif. 8
Universitas Sumatera Utara
BAB 4
PENANGGULANGAN DENTAL FOBIA SECARA NON-FARMAKOLOGI
Bidang kedokteran gigi anak sebagai cabang dari kedokteran gigi mempunyai
filosofi dasar : rawat pasiennya bukan giginya. Pernyataan tersebut adalah dokter
gigi harus memiliki komitmen memperhatikan perasaan anak untuk mendapatkan
kepercayaan dan membuatnya kooperatif.23,24
Agar perawatan gigi pada anak dapat berhasil maka dokter gigi perlu
mengetahui perkembangan anak meliputi perkembangan fisik, kognitif, emosional
dan sosial serta berbagai perilaku anak pada anak usia 3 hingga 6 tahun.
Perkembangan fisik anak usia 3 hingga 6 tahun dapat terlihat lebih lincah,
aktif, tidak dapat duduk diam selama perawatan maka pengetahuan akan
penanganan anak selama perawatan penting agar perawatan dapat berlangsung
dengan baik. Perkembangan kognitif usia 3 hingga 6 tahun berupa penigkatan
kemampuan berbahasa dan fungsi berfikir sehingga komunikasi berupa penjelasan
sederhana sudah dapat dilakukan. Perkembangan emosional mulai terjadi pada usia
3 tahun, di mana ketakutan akan orang asing, dipisahkan dari orang tua dan
pengalaman baru sudah berkurang. Perkembangan sosial juga mulai terjadi pada
usia 3 tahun, di mana sudah dapat bermain dengan teman seusianya. Menurut
Bowly (1968) usia 3 tahun sudah dapat diajak kerjasama. Usia 3-5 tahun
kemampuan dan daya tangkap bertambah sesuai usia. Pada anak usia sekolah (6
tahun), mulai ada kecenderungan untuk berkelompok, tidak suka dicela, disalahkan
Universitas Sumatera Utara
atau dihukum, suka ngambek, dan mulai susah diatur, karena anak berpendapat
bahwa orang lain harus dapat mengikuti pendapatnya, dan bukan sebaliknya.25
Perilaku anak usia 3 hingga 6 tahun pada perawatan gigi sering dipakai
terutama untuk penilaian adalah menurut Frankl dan Wright. Frankl membagi
derajat tingkah laku anak dalam 4 kategori yaitu jelas negatif, negatif, positif dan
jelas positif. Anak dalam kategori jelas negatif akan menolak perawatan, menangis
keras, ketakutan, menunjukkan sikap negatif, menarik diri dari perawatan, tidak
terkendali dan tidak kooperatif. Anak enggan menerima perawatan gigi, tidak
kooperatif, berwajah muram, enggan mendengar dan merespon kepada dokter gigi
dalam kategori negatif sedangkan dalam kategori positif, anak menerima perawatan
gigi, tidak menolak petunjuk dokter gigi, bekerjasama dengan dokter gigi dengan
mengikuti dan mematuhi arahan dokter gigi. Kategori jelas positif menunjukkan
anak dengan gembira menerima perawatan, tertarik dengan tindakan yang
dilakukan oleh dokter gigi, banyak bertanya, hubungan yang ramah dengan dokter
gigi dan sangat kooperatif. Wright membagi beberapa kategori berdasarkan
kooperatif anak sebagai berikut yaitu anak tidak mampu menjadi kooperatif, anak
belum mampu menjadi kooperatif dan anak mempunyai potensi menjadi kooperatif.
Anak yang tidak mampu menjadi kooperatif adalah anak tuna mental,
kemampuannya terbatas sedangkan anak usia terlalu muda termasuk dalam kategori
belum mampu menjadi kooperatif. Awal pertama anak tidak kooperatif, dengan
pendekatan yang baik, tingkah lakunya berubah termasuk dalam kategori berpotensi
menjadi kooperatif.26
Universitas Sumatera Utara
4.1. Komunikasi
Tanda keberhasilan dokter gigi mengelola pasien anak adalah
kesanggupannya berkomunikasi dan memperoleh rasa percaya dari anak, sehingga
bersikap koperatif. Komunikasi dibagi atas komunikasi verbal dan non verbal,
sebaiknya pembicaraan dilakukan secara wajar. Banyak cara untuk memulai
komunikasi verbal, misalnya untuk anak kecil dapat ditanyakan tentang pakaian
baru, kakak adik, benda atau binatang kesayangan. Anak yang lebih besar dapat
ditanyakan tentang sekolah, aktifitas, olah raga atau teman.11,14,15,16
Komunikasi nonverbal dapat dilakukan misalnya dengan menjabat tangan
anak, tersenyum dengan penuh kehangatan, menggandeng anak sebelum
mendudukkannya ke kursi gigi dan lain-lain.12,16
Perubahan nada dan volume suara dapat digunakan untuk mengubah perilaku
dan mengkomunikasikan perasaan kepada anak. Perintah yang tiba-tiba dan tegas
dapat mengejutkan dan menarik perhatian anak sehingga anak dapat menghentikan
apa yang sedang dilakukannya.12,14,17
Sebuah artikel yang diterbitkan Szasz dan Hollender (1956) membedakan 3
model komunikasi dokter gigi-pasien yaitu:
1. Aktif-pasif. Hal ini terlihat pada kasus pembedahan yang membutuhkan
anastesi. Dokter gigi aktif dalam mengendalikan dan pasien pasif menerima
perawatan.
Universitas Sumatera Utara
2. Bimbingan kerjasama. Pada model komunikasi ini anak diharapkan
mematuhi dokter gigi. Operator membimbing (seperti guru) sementara pasien
koperatif (seperti pelajar).
3. Saling berpatisipasi. Jelas terlihat pada tindakan pencegahan, dokter gigi
dan pasien menggunakan respon untuk pemeliharaan kesehatan mulut.
Model komunikasi antara dokter gigi-pasien yang terbaik adalah dengan
bimbingan kerjasama, pada perawatan ini, anak diharapkan mematuhi dokter gigi.
Penelitian yang dilakukan pada klinik Pedodontik University of Washington
menunjukkan bahwa metode ini memberikan hasil yang baik, terlihat dari perilaku
anak yang menjadi koperatif.
Contoh komunikasi dengan bimbingan kerjasama misalnya “buka sedikit
lebih lebar anak manis!”, atau “apakah engkau siap untuk dimulai sekarang,
maukah manis?”. Komunikasi ini dapat lebih dikuatkan dengan cara menambahkan
kata-kata seperti “saya suka cara kamu membuka mulutmu tetap lebar”.13
4.2. Mengalihkan perhatian
Mengalihkan perhatian adalah suatu metode yang berguna untuk mengurangi
rasa takut, tidak nyaman, stress dan menghilangkan rasa bosan selama periode
perawatan.
Semakin banyak mengetahui tentang anak, lebih besar taktik yang dapat
dilakukan untuk mengalihkan anak, untuk memberikan kesempatan melakukan
prosedur perawatan yang diperlukan. Bahan pengalih perhatian yang terbukti untuk
Universitas Sumatera Utara
membantu mengurangi rasa takut pada anak misalnya radio, program anak di tv dan
lain-lain.13,18
4.3. Teknik Tell-Show-Do
TSD merupakan suatu rangkaian pendekatan secara berurutan, sebagai
metode persiapan, dipopulerkan pertama kali oleh Addelston (1959) dan dapat
diterapkan pada anak dengan sikap dan umur yang berbeda, terutama pada anak
yang pertama kali berkunjung ke dokter gigi.13 Sebelum melakukan perawatan,
dokter gigi selangkah demi selangkah menjelaskan terlebih dahulu kepada anak apa
yang akan dilakukan dengan bahasa yang dapat dimengerti anak dan menunjukkan
berbagai instrumen yang akan digunakan. Kemudian kepada anak dijelaskan
bagaimana prosedur yang akan dilakukan, setelah itu dokter gigi
mendemonstrasikannya.11 Proses ini memerlukan waktu yang cukup lama pada
anak dengan ketakutan yang berlebihan.12
TELL : Anak diberitahu apa yang akan dilakukan terhadap dirinya, bahasa
sesederhana mungkin agar mudah dipahami. Istilah-istilah kedokteran gigi dapat
diganti dengan bahasa sehari-hari. Misalnya ; karies diganti dengan gigi berlobang,
disuntik diganti dengan ditidurkan dan bor diganti dengan giginya akan dibersihkan
supaya bahan tambalan dapat dimasukkan.12,13
SHOW : Memperlihatkan cara kerja dokter gigi menggunakan alat bantu
peraga, misalnya pantom yang terbuat dari gips ataupun melalui gambar, slide dan
film yang pendek. Pekerjaan dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak
menimbulkan rasa takut dan terkejut pada anak.12,13
Universitas Sumatera Utara
DO : Dokter gigi akan melakukan apa yang telah diterangkan dan
diperlihatkan. Anak tidak boleh dibohongi, karena bila terjadi penyimpangan dari
apa yang telah diterangkan dan diperlihatkan tadi, besar kemungkinan si anak tidak
mau lagi dirawat giginya.12,13
Berikan pujian dan hadiah apabila anak telah menunjukkan kerja sama yang
baik dalam menerima perawatan.13
4.4. Modeling
Anak mempunyai sifat ingin tahu, menirukan hal-hal yang baru dan yang
menarik perhatiannya serta sifat bersaing. Sifat-sifat ini dapat dimanfaatkan dalam
merawat gigi anak.12 Menurut Bandura (1969) modeling adalah suatu proses
sosialisasi yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
interaksinya dengan lingkungan sosial. Gordon (1974) mengatakan bahwa
modeling adalah proses belajar dengan memperhatikan model. Sedangkan
Eichenbaum (1977) berpendapat bahwa modeling merupakan suatu teknik yang
memakai kemampuan anak untuk meniru model yang sudah berpengalaman.
Cara modeling dilakukan dalam mengatasi dan merubah tingkah laku anak
yang tidak koperatif.
Seorang dokter gigi juga dapat bertindak sebagai model yang akan ditiru oleh
anak dengan syarat harus bersikap tenang, santai dan mantap. Jika dokter gigi tidak
tenang, cemas dan ragu-ragu, akan menambah rasa takut dan cemas seorang anak.20
Universitas Sumatera Utara
4.5. Desensitisasi
Cara lain yang dipakai untuk merubah tingkah laku anak adalah desensitisasi,
yaitu suatu cara untuk mengurangi rasa takut dan cemas seorang anak dengan jalan
memberi rangsangan sehingga rasa takut/cemas sedikit demi sedikit akan
berkurang. Rangsangan tersebut diberikan terus, sampai anak tidak merasa takut
lagi.
Cara ini terdiri atas tiga tahap, yaitu :
• Pertama: latih pasien agar merasa santai/relaks
• Kedua: susun secara berurutan hal-hal yang membuat pasien cemas/ takut
yaitu dari hal yang paling menakutkan sampai ke hal-hal yang tidak begitu
menakutkan.
• Ketiga: memberi rangsangan dari hal yang tidak begitu menakutkan
sampai anak tidak merasa takut lagi dan rangsangan ini ditingkatkan menurut
urutan yang telah disusun tersebut di atas.20
4.6. Hand – Over – Mouth Exercise (HOME)
Teknik hand-over-mouth biasanya dianggap sebagai cara yang ekstrem dalam
menangani anak yang tidak koperatif, misalnya anak yang menangis histeris.21
Anak seperti ini biasanya tidak takut, tetapi mereka tidak mau bekerja sama dan
mencari jalan untuk menghindar. Tingkah laku biasanya segera terlihat pada
kunjungan pertama dan dipertegas oleh cara penolakan terhadap pemeriksaan.12
Teknik ini dilakukan dengan cara menahan anak yang melawan dengan pelan
tetapi kuat pada kursi perawatan gigi, meletakkan tangan di atas mulutnya untuk
Universitas Sumatera Utara
menahan perlawanannya dan berbicara dengan perlahan tetapi jelas ke dalam
telinganya. Selanjutnya pada anak dikatakan bahwa tangan akan diangkat bila ia
berhenti menangis. Bila ia menanggapi dengan baik, tangan segera diangkat dari
mulutnya dan ia diberi pujian atas sikap baiknya. Teknik ini bukan untuk menakuti
anak, tetapi untuk mendiamkannya dan mendapatkan perhatiannya, agar ia dapat
mendengar apa yang dikatakan dokter gigi dan menerima perawatan gigi yang
diperlukannya.21
Teknik HOME digunakan sampai anak menyadari bahwa dokter gigi tidak
terpengaruh oleh tingkah laku dan perlawanannya. Metode ini memperlihatkan pada
anak bahwa usahanya untuk menghindari keadaan tidak perlu dan tidak
berguna.12,13,17
4.7. Hipnotis
Hipnotis diartikan oleh Hartland (1971) sebagai “suatu teknik yang dapat
mempengaruhi pikiran orang lain sehingga anjuran-anjuran yang diberikan akan
diterima pasien dengan baik”.19
Hipnotis paling sering digunakan dalam kedokteran gigi sebagai suatu metode
untuk membantu pasien yang takut dan cemas supaya relaks, sehingga akan dapat
menerima prosedur perawatan yang sebelumnya ditolak. Indikasi lain untuk
hipnotis membantu pasien yang mual sewaktu sesuatu benda masuk ke dalam
rongga mulutnya, mendorong anak untuk memakai peralatan ortodonti dan
memperkenalkan anak pada sedasi inhalasi atau anestesia umum.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum melakukan hipnotis, dokter gigi harus mempersiapkan pasien
dengan menjelaskan apa yang akan dilakukan. Pada anak hanya memerlukan
persiapan minimal, kata-kata hipnotis tidak perlu digunakan pada anak. Anak kecil
dapat diberitahu bahwa mereka akan merasa seperti tidur, dengan mata tertutup
walaupun ada sedikit perbedaan, mereka masih dapat mendengar segala sesuatu
yang dikatakan oleh dokter gigi dan mampu berbicara. Anak yang lebih besar hanya
perlu diberitahu bahwa tujuannya adalah membantu mereka untuk relaks sehingga
kekhawatiran mereka terhadap perawatan gigi dapat diatasi.1,18
Universitas Sumatera Utara
BAB 5
KESIMPULAN
Dental fobia adalah secara asasnya sinonim dengan rasa takut, tetapi rasa
takut yang berlebihan. Pasien akan cenderung untuk menghindar dari melakukan
perawatan gigi. Dengan hanya mendengar perkataan ‘dokter gigi’ sahaja, mereka
mula merasa takut.4,24 Fobia terbagi kepada dua yaitu fobia sosial dan fobia
spesifik. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSMN),
dental fobia merupakan salah satu fobia spesifik. Antara kriteria untuk pengidap
fobia spesifik adalah adanya rasa takut yang persisten, berlebihan dan tanpa alasan
terhadap objek atau situasi tertentu, adanya respon secara tiba-tiba terhadap
stimulus atau rangsangan yang ditakuti.3,4,22
Terbentuknya dental fobia ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman sosial
semasa kecil, seperti sikap dokter gigi yang dingin dan tidak berperasaan, beberapa
prosedur kedokteran gigi yang dapat menyebabkan nyeri walaupun sedikit
menyebabkan anak merasa takut, kebanyakan anak yang pernah memiliki
pengalaman buruk dengan dokter gigi cenderung takut terhadap suara terutama
suara bor dan bau ruangan praktek dokter gigi dan ketakutan anak terhadap mati
rasa atau tersedak juga bisa menyebabkan penghindaran ke praktek dokter gigi.7
Hal ini didukung lagi dengan beberapa faktor pendukung terjadinya dental
fobia yaitu pengaruh orang tua seperti sikap dan pengalaman keluarga yang buruk
terhadap perawatan kesehatan gigi, status sosial ekonomi keluarga, serta faktor
Universitas Sumatera Utara
pendidikan yaitu anak yang tidak mendapat pendidikan yang baik kurang mendapat
informasi mengenai perawatan gigi sehingga mereka menganggap hal tersebut
sebagai sesuatu yang menakutkan, dan sering anak datang ke dokter gigi dalam
keadaan sakit gigi yang sudah parah sehingga membutuhkan perawatan dan
pengobatan yang ekstensif. 8
Dalam usaha menunjang keberhasilan perawatan gigi dan mulut maka dokter
gigi harus tahu cara menangani anak terutama yang berusia 3 hingga 6 tahun
dengan baik. Perawatan secara non-farmakologi adalah salah satu cara dalam
mengatasi dental fobia tanpa menggunakan obat-obatan.1 Perawatan tersebut antara
lain TSD, komunikasi, mengalihkan perhatian, hipnotis, modeling, desensitisasi dan
HOME. Disamping itu seorang dokter gigi juga diharapkan untuk lebih
memperhatikan segi psikologis berikut penyimpangan perilakunya.1
Universitas Sumatera Utara