Chapter II_2.pdf
-
Upload
romdhoni-m-fadhol -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
description
Transcript of Chapter II_2.pdf
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nutrisi
Nutrisi adalah substansi-substansi yang harus disediakan melalui diet
karena tubuh tidak dapat mensintesa substansi-substansi tersebut dalam jumlah
yang adekuat. Manusia membutuhkan nutrisi penghasil energi (protein, lemak,
dan karbohidrat), vitamin, mineral, dan air agar tetap sehat (Fauci et al. 2008).
Jumlah nutrisi yang harus dikonsumsi untuk menjaga kesehatan manusia dan
makhluk hidup berada dalam rentang yang luas, namun kemampuan adaptasi
tubuh terhadap jumlah nutrisi yang masuk memiliki batas. Nutrisi dalam jumlah
terlalu banyak atau terlalu sedikit akan memberikan efek yang tidak
menguntungkan terhadap kesehatan tubuh (Fauci et al. 2008).
Kebutuhan nutrisi tubuh seseorang dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin,
pertumbuhan, kehamilan, menyusui, aktivitas fisik, komposisi menu makanan,
penyakit yang dialami, dan obat-obatan yang dikonsumsi dan berbeda-beda untuk
setiap orangnya (Fauci et al. 2008).
2.2 Rasa lapar dan nafsu makan
2.2.1 Definisi
Rasa lapar didefinisikan sebagai suatu keinginan intrinsik seseorang untuk
mendapatkan jumlah makanan tertentu untuk dikonsumsi. Sedangkan nafsu
makan didefinisikan sebagai preferensi seseorang terhadap jenis makanan tertentu
yang ingin dikonsumsi. Mekanisme rasa lapar dan nafsu makan adalah suatu
sistem regulator otomatis yang penting dalam usaha tubuh untuk mencukupi
kebutuhan nutrisi intrinsiknya (Guyton dan Hall, 2006).
2.2.2 Fisiologi nafsu makan
Nafsu makan dan rasa lapar muncul sebagai akibat perangsangan beberapa
area di hipotalamus yang menimbulkan rasa lapar dan keinginan untuk mencari
dan mendapatkan makanan (Guyton dan Hall, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Nukleus ventromedial pada hipotalamus berperan sebagai pusat rasa
kenyang. Pusat ini dipercaya berfungsi memberi sinyal kepuasan nutrisional yang
akan menghambat pusat nafsu makan. Stimulasi elektrik pada daerah ini akan
menyebabkan rasa kenyang dan puas, yang dengan keberadaan makanan pun akan
menyebabkan hewan coba menolak makanan tersebut (aphagia). Sedangkan
kerusakan pada daerah ini menyebabkan hewan coba makan secara berlebihan dan
terus menerus sehingga menyebabkan keadaan obesitas yang sangat ekstrim
(Guyton dan Hall, 2006).
Jumlah makanan yang dapat diterima tubuh diatur oleh nukleus
paraventrikuler, dorsomedial, dan arkuatus hipotalamus. Lesi pada daerah
paraventrikuler akan menyebabkan pola makan yang meningkat secara eksesif,
sedangkan lesi pada daerah dorsomedial akan menekan perilaku makan. Nukleus
arkuatus sendiri adalah lokasi berkumpulnya hormon-hormon dari saluran
gastrointestinal dan jaringan lemak yang kemudian akan mengatur jumlah
makanan yang dimakan dan juga penggunaan energi (Guyton dan Hall, 2006).
Pusat-pusat nafsu makan tersebut saling terhubung melalui sinyal-sinyal
kimia sehingga dapat mengkoordinasikan perilaku makan dan persepsi rasa
kenyang. Nukleus-nukleus tersebut juga mempengaruhi sekresi berbagai hormon
yang mengatur energi dan metabolisme, termasuk hormon dari kelenjar tiroid,
adrenal dan juga pulau-pulau Langerhans dari pankreas (Guyton dan Hall, 2006).
Pusat rasa lapar dan kenyang pada hipotalamus tersebut dipadati oleh
reseptor untuk neurotransmitter dan hormon yang mempengaruhi perilaku makan.
Hormon dan neurotransmitter tersebut terbagi atas substansi orexigenik yang
menstimulasi nafsu makan dan anorexigenik yang menghambat nafsu makan,
seperti terlihat pada Tabel 2.1
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Substansi yang mempengaruhi pusat rasa lapar dan kenyang di
Hipotalamus
Sumber: Guyton dan Hall, 2006
Sinyal yang menuju hipotalamus dapat berupa sinyal neural, hormon, dan
metabolit. Informasi dari organ viseral, seperti distensi abdomen, akan
dihantarkan melalui nervus vagus ke sistem saraf pusat. Sinyal hormonal seperti
leptin, insulin, dan beberapa peptida usus seperti peptida YY dan kolesistokinin
akan menekan nafsu makan (senyawa anorexigenic), sedangkan kortisol dan
peptida usus ghrelin akan merangsang nafsu makan (senyawa orexigenic).
Kolesistokinin, adalah peptida yang dihasilkan oleh usus halus dan memberi
sinyal ke otak secara langsung melalui pusat kontrol hipotalamus atau melalui
nervus vagus, seperti terlihat pada Gambar 2.1 (Fauci et al. 2008). Selain sinyal
neural dan hormonal, metabolit-metabolit juga dapat mempengaruhi nafsu makan,
seperti efek hipoglikemia akan menimbulkan rasa lapar. Namun, metabolit-
metabolit tersebut bukanlah regulator nafsu makan utama karena melepaskan
sinyal-sinyal hormonal, metabolik, dan neural tidak secara langsung, namun
dengan mempengaruhi pelepasan berbagai macam peptida-peptida pada
hipotalamus (Neuropeptide Y, Agouti-related Peptide,Melanocyte Stimulating
Hormone, Melanin Concentrating Hormone). Peptida-peptida tersebut terintegrasi
Universitas Sumatera Utara
dengan jalur sinyal daripada sistem serotonergik, katekolaminergik,
endocannabinoid, dan opioid. (Fauci et al. 2008).
Gambar 2.1 Mekanisme kontrol umpan balik nafsu makan (Guyton dan Hall,
2006)
Ket: (-) Menekan nafsu makan
(+) Merangsang nafsu makan
2.3 Keseimbangan energi
Berat badan adalah hasil pengaturan daripada kontrol neural dan hormonal
yang secara substansial mengatur keseimbangan antara pemasukan dan
Universitas Sumatera Utara
pengeluaran energi. Sistem regulatori yang kompleks ini dibutuhkan karena
sedikit ketidakseimbangan antara pemasukan dan penggunaan energi akan
memberi efek yang cukup signifikan pada berat badan (Fauci et al. 2008).
Pengaturan keseimbangan energi ini tidak dapat dimonitor dengan mudah dengan
penghitungan kalori dan hubungannya terhadap aktifitas fisik. Pengaturan berat
badan sendiri cenderung lebih bergantung terhadap signal-signal kompleks sistem
neural dan hormonal. Gangguan pada berat badan yang stabil dengan pemberian
makanan secara berlebihan ataupun pengurangan jumlah makanan yang
dikonsumsi akan merangsang perubahan fisiologis yang melawan gangguan
tersebut (Fauci et al. 2008). Jika terjadi penurunan berat badan, nafsu makan akan
meningkat dan penggunaan energi akan menurun. Jika terjadi konsumsi makanan
berlebih, nafsu makan akan menurun dan penggunaan energi meningkat. Hal ini
bisa terjadi disebabkan oleh perangsangan-perangsangan maupun penghambatan
yang dilakukan oleh hormon-hormon dan modulator-modulator tubuh lainnya.
Namun sering terjadi kegagalan mekanisme kompensasi yang menyebabkan
terjadinya obesitas ketika jumlah makanan yang masuk meningkat dan aktifitas
fisik terbatas. Regulator yang berperan penting dalam mekanisme adaptasi ini
adalah hormon turunan lemak, leptin. Leptin bekerja melalui sirkuit otak untuk
menekan nafsu makan, penggunaan energi, dan fungsi neuroendokrin (Fauci et al.
2008).
2.3.1 Pengeluaran energi
Pengeluaran energi terdiri atas komponen-komponen berikut:
A. Energi metabolisme basal
B. Energi untuk metabolisme dan penyimpanan zat-zat makanan
C. Energi termal untuk kegiatan tubuh
D. Energi termogenesis adaptif (bervariasi sebagai respon terhadap
pemasukan kalori kronis)
Energi metabolisme basal berjumlah sekitar 70% dari penggunaan energi
harian, sedangkan aktifitas fisik sekitar 5-10% (Fauci et al. 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Peningkatan berat badan
Ketika jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh (dalam bentuk
makanan) melebihi jumlah energi yang digunakan, berat badan akan meningkat,
dan kebanyakan dari energi yang berlebih akan disimpan dalam bentuk lemak.
Oleh karena itu, adipositas yang berlebihan (obesitas) disebabkan oleh konsumsi
energi yang berlebihan dibandingkan dengan penggunaannya. Setiap 9.3 kalori
berlebih di dalam tubuh akan disimpan dalam bentuk 1 gram lemak. Lokasi
penyimpanan lemak yang utama adalah pada jaringan subkutan dan pada rongga
intraperitoneal, walaupun hati dan jaringan lainnya didalam tubuh juga terkadang
menyimpan lemak dalam jumlah yang signifikan (Guyton dan Hall, 2006).
2.4 Madu
2.4.1 Definisi
Madu adalah suatu cairan kental dan manis yang dikumpulkan oleh lebah
dari nektar tumbuh-tumbuhan, yang terutama berupa bunga, ditransportasikan ke
sarang lebah untuk pematangan dan disimpan sebagai makanan (White Jr, 1980),
atau suatu substansi manis yang dihasilkan secara natural oleh lebah madu dari
nektar tumbuh-tumbuhan ataupun dari sekresi tumbuhan atau sekresi tumbuhan
pemakan serangga pada bagian yang hidup daripada tumbuhan tersebut, yang
mana dikumpulkan oleh lebah, ditransformasi dengan menggunakan substansi
spesifik oleh lebah, didehidrasikan, disimpan, dan kemudian ditinggalkan pada
sarang lebah untuk pematangan (American Revised Codex Standard for Honey,
2001).
Madu sendiri terbagi 2, yaitu:
A. Blossom honey yang berasal dari nektar tumbuh-tumbuhan
B. Honeydew honey yang secara umum berasal dari eksresi tumbuhan
pemakan serangga (Hemiptera) oleh bagian yang hidup dari tumbuhan
tersebut, ataupun sekresi dari bagian tersebut.
Di Indonesia jenis lebah yang paling banyak digunakan sebagai penghasil
madu adalah lebah lokal (Apis cerana), lebah hutan (Apis dorsata) dan lebah
Eropa (Apis melifera) (Heriyati, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Komposisi
Karakteristik properti fisik dari madu seperti viskos, lengket, manis,
kepadatan tinggi, kecenderungan menyerap uap air dari udara, dan ketahanan
terhadap perlakuan tertentu semua berdasar dari fakta bahwa madu adalah suatu
larutan kental alami yang tersusun atas berbagai macam gula (White Jr, 1980).
Berikut adalah komponen-komponen yang terdapat didalam madu :
Tabel 2.2 Komposisi Madu
Sumber: National Honey Board, 2003
Fruktosa memiliki rasa sedikit lebih manis dibandingkan sukrosa, glukosa
lebih tidak manis, dan maltosa adalah yang paling tidak manis. Pada kebanyakan
madu, fruktosa berjumlah lebih banyak sehingga madu cenderung lebih manis
dibandingkan dengan gula. Beberapa jenis madu yang sangat kaya fruktosa akan
memiliki rasa yang sangat manis (National Honey board, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.5 Efek fruktosa terhadap nafsu makan
Homeostasis energi diatur secara jangka panjang oleh kerja insulin dan
leptin pada sistem saraf pusat. Fruktosa tidak merangsang sekresi insulin dari sel-
sel Pulau Langerhans pankreas, sehingga konsumsi makanan dan minuman yang
mengandung fruktosa akan menghasilkan sekresi insulin yang lebih rendah
dibandingkan konsumsi makanan dan minuman berkarbohidrat yang mengandung
glukosa (Elliott et al. 2002).
Sebagai respon terhadap masuknya makanan, insulin akan disekresikan
dan akan merangsang produksi leptin. Karena berkurangnya kadar insulin yang
dihasilkan oleh konsumsi fruktosa, maka kadar leptin dalam darah juga akan
berkurang. Efek dari kombinasi kedua hal tersebut adalah orang yang diet tinggi
fruktosa akan meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya kenaikan berat
badan (Elliott et al. 2002).
Ditemukan juga perbedaan kadar insulin dan leptin dalam sirkulasi setelah
pemberian preparat glukosa dan fruktosa. Kadar insulin setelah pemberian
glukosa dan fruktosa terlihat pada Gambar 2.2 dimana kadar serum insulin lebih
tinggi setelah konsumsi makanan tinggi glukosa dibandingkan dengan konsumsi
nutrisi yang tinggi fruktosa (Teff et al. 2004).
Gambar 2.2 Kadar Insulin
Universitas Sumatera Utara
Sebagai suatu substansi yang produksinya dirangsang oleh insulin,
terdapat juga perbedaan pada kadar leptin plasma yang dapat dilihat pada Gambar
2.3 dimana kadar leptin pada kelompok yang mengkonsumsi makanan dengan
kadar glukosa tinggi memiliki kadar leptin yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang mendapatkan makanan yang tinggi fruktosa.
Gambar 2.3 Kadar Leptin
2.6 Penggunaan madu dalam diet
Madu senagai suatu pemanis alami yang mengandung campuran dari
berbagai gula sederhana dan kompleks, dan juga mengandung banyak gula, asam
amino, vitamin, dan mineral adalah salah satu pengobatan alami terbaik untuk
penurunan berat badan (Molan, 1996), dimana konsumsi madu sebagai makanan
Universitas Sumatera Utara
tambahan untuk masyarakat dengan index massa tubuh rendah (underweight)
sangat dianjurkan (Luder dan Alton, 2005).
Aplikasi penggunaan madu sebagai tambahan nutrisi bagi anak-anak telah
menjadi rekomendasi yang cukup umum berabad-abad belakangan. Dari hal
tersebut ditemukan suatu hal yang menarik dalam observasi yang dilakukan,
dimana anak-anak dengan diet yang mengandung madu memiliki postur tubuh
dan peningkatan berat badan yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak
mengkonsumsi madu dalam diet sehari-harinya (Bogdanov, 2011).
2.6.1 Perbandingan madu dan sukrosa dalam diet anak
Madu ditoleransi lebih baik oleh anak dibandingkan dengan sukrosa dan
memberi peningkatan berat badan yang lebih baik. Ditemukan juga jumlah anak
yang muntah akibat pemberian madu lebih sedikit dibandingkan dengan anak
yang diberikan sukrosa (Bogdanov, 2011).
Konsumsi madu sebagai sumber nutrisi juga menghasilkan peningkatan
hemoglobin, warna kulit yang lebih baik, tanpa adanya masalah-masalah
pencernaan ditemukan dibandingkan dengan konsumsi sukrosa sebagai sumber
nutrisi anak (Bogdanov, 2011). Efek-efek positif madu ini diakibatkan oleh efek
madu terhadap pencernaan. Pencernaan oligosakarida dalam madu yang
dicampurkan dengan susu pada anak menghasilkan peningkatan berat badan yang
stabil. Hal ini diduga disebabkan oleh peningkatan jumlah bakteri probiotik B.
bifidus yang memberi efek protektif dan membantu proses pencernaan
(Bogdanov, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Kerangka Teori
Keterangan:
Jalur glukosa
Jalur fruktosa
Menghambat
Madu Glukosa
Fruktosa
Insulin
Sel-sel lemak
Leptin
Sinyal-sinyal anorexigenic
Hipotalamus
Nukleus dorsomedial
Peningkatan berat badan
Keseimbangan energi positif
Intake makanan meningkat
Sensasi rasa lapar
Stimulasi rasa kenyang
Nukleus ventromedia
Universitas Sumatera Utara