Chapter II_39.pdf

18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. FUNGSI KOGNITIF II.1.1. Definisi Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi (Strub dkk. 2000). II.1.2. Domain Fungsi Kognitif Fungsi kognitif terdiri dari: (Modul Neurobehavior PERDOSSI, 2008) a. Atensi Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbik dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan Universitas Sumatera Utara

Transcript of Chapter II_39.pdf

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    II.1. FUNGSI KOGNITIF

    II.1.1. Definisi

    Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar

    seperti berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi

    kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan,

    pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan,

    menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi (Strub dkk. 2000).

    II.1.2. Domain Fungsi Kognitif

    Fungsi kognitif terdiri dari: (Modul Neurobehavior PERDOSSI,

    2008)

    a. Atensi

    Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau

    memperhatikan satu stimulus dengan mampu mengabaikan

    stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi merupakan hasil

    hubungan antara batang otak, aktivitas limbik dan aktivitas korteks

    sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan

    mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi

    merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam

    periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan

    Universitas Sumatera Utara

  • mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan

    fungsi eksekutif.

    b. Bahasa

    Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan

    modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika

    terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori

    verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak

    dapat dilakukan. Fungsi bahasa meliputi 4 parameter, yaitu :

    1. Kelancaran

    Kelancaran mengacu pada kemampuan untuk

    menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi

    yang normal. Metode yang dapat membantu menilai

    kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien

    menulis atau berbicara secara spontan.

    2. Pemahaman

    Pemahaman mengacu pada kemampuan untuk

    memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan

    dengan kemampuan seseorang untuk melakukan

    perintah tersebut.

    3. Pengulangan

    Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu

    pernyataan atau kalimat yang diucapkan seseorang.

    Universitas Sumatera Utara

  • 4. Penamaan

    Merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai

    suatu objek beserta bagian-bagiannya.

    Gangguan bahasa sering terlihat pada lesi otak fokal

    maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi

    otak. Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa

    karena hubungan yang spesifik antara sindroma afasia dengan lesi

    neuroanatomi.

    c. Memori

    Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan

    penyandian informasi, proses penyimpanan serta proses

    mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam ketiga proses

    tersebut akan mempengaruhi fungsi memori. Fungsi memori dibagi

    dalam tiga tingkatan bergantung pada lamanya rentang waktu

    antara stimulus dengan recall, yaitu :

    1. Memori segera (immediate memory), rentang waktu

    antara stimulus dengan recall hanya beberapa detik.

    Disini hanya dibutuhkan pemusatan perhatian untuk

    mengingat (attention)

    2. Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama

    yaitu beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun.

    3. Memori lama (remote memory), rentang waktunya

    bertahun-tahun bahkan seusia hidup.

    Universitas Sumatera Utara

  • Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering

    dikeluhkan pasien. Istilah amnesia secara umum merupakan efek

    fungsi memori. Ketidakmampuan mempelajari materi baru setelah

    brain insult disebut amnesia anterograd. Sedangkan amnesia

    retrograd merujuk pada amnesia pada yang terjadi sebelum brain

    insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah

    memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan

    memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas

    sering mengalami kesulitan memori. Istilah amnesia psikogenik jika

    amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan

    tidak dijumpai defek pada recent memory.

    d. Visuospasial

    Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan

    konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam

    gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok.

    Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan lobus

    parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan.

    Menggambar jam sering digunakan untuk skrining

    kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan

    dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.

    e. Fungsi eksekutif

    Fungsi eksekutif dari otak dapat didefenisikan sebagai suatu

    proses kompleks seseorang dalam memecahkan masalah /

    Universitas Sumatera Utara

  • persoalan baru. Proses ini meliputi kesadaran akan keberadaan

    suatu masalah, mengevaluasinya, menganalisa serta memecahkan

    / mencari jalan keluar suatu persoalan.

    II.1.3. Anatomi Fungsi Kognitif

    Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri-sendiri

    dalam menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satu kesatuan, yang disebut

    sistem limbik. Sistem limbik terdiri dari amygdala, hipokampus, nukleus

    talamik anterior, girus subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus,

    formasio hipokampus dan korpus mamilare. Alveus, fimbria, forniks,

    traktus mammilotalmikus dan striae terminalis membentuk jaras-jaras

    penghubung sistem ini (Waxman, 2007).

    Peran sentral sistem limbik meliputi memori, pembelajaran,

    motivasi, emosi, fungsi neuroendokrin dan aktivitas otonom. Struktur otak

    berikut ini merupakan bagian dari sistem limbik

    1. Amygdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada

    hemisfer kanan predominan untuk belajar emosi dalam keadaan

    tidak sadar, dan pada hemisfer kiri predominan untuk belajar

    emosi pada saat sadar.

    2. Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka

    panjang, pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses

    pembelajaran.

    Universitas Sumatera Utara

  • 3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori

    spasial.

    4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung,

    tekanan darah dan kognitif yaitu atensi.

    5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammillary

    bodies dan septal nuclei. Adapun forniks berperan dalam

    memori dan pembelajaran.

    6. Hipothalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui

    produksi dan pelepasan hormon, tekanan darah, denyut

    jantung, lapar, haus, libido dan siklus tidur / bangun, perubahan

    memori baru menjadi memori jangka panjang.

    7. Thalamus ialah kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon

    membentuk dinding lateral ventrikel tiga. Fungsi thalamus

    sebagai pusat hantaran rangsang indra dari perifer ke korteks

    serebri. Dengan kata lain, thalamus merupakan pusat

    pengaturan fungsi kognitif di otak / sebagai stasiun relay ke

    korteks serebri.

    8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan

    pembelajaran.

    9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru.

    10. Korteks enthorinal, penting dalam memori dan merupakan

    komponen asosiasi (Markam, 2003, Devinsky dkk. 2004).

    Universitas Sumatera Utara

  • Sedangkan lobus otak yang berperan dalam fungsi kognitif antara

    lain :

    1. Lobus frontalis

    Pada lobus frontalis mengatur motorik, prilaku, kepribadian,

    bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa

    dan sintesis. Sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan

    sebagai bagian sistem limbik, karena banyaknya koneksi

    anatomik dengan struktur limbik dan adanya perubahan emosi

    bila terjadi kerusakan.

    2. Lobus parietalis

    Lobus ini berfungsi dalam membaca, persepsi, memori dan

    visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensorik (input visual,

    auditori, taktil) dari area sosiasi sekunder. Karena menerima

    input dari berbagai modalitas sensori sering disebut korteks

    heteromodal dan mampu membentuk asosiasi sensorik (cross

    modal association). Sehingga manusia dapat menghubungkan

    input visual dan menggambarkan apa yang mereka lihat atau

    pegang.

    3. Lobus temporalis

    Lobus temporalis berfungsi mengatur pendengaran,

    penglihatan, emosi, memori, kategorisasi benda-benda dan

    seleksi rangsangan auditorik dan visual.

    Universitas Sumatera Utara

  • 4. Lobus oksipitalis

    Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer,

    visuospasial, memori dan bahasa (Markam, 2003).

    II.2. TES UNTUK MENILAI FUNGSI KOGNITIF

    II.2.1. Cognitive Performance Scale (CPS)

    Pemeriksaan Cognitive Performace Scale ini pertama sekali

    diperkenalkan oleh Morris pada tahun 1994, dengan 5 bentuk

    pengukuran. Dimana bentuk bentuk pengukuran tersebut meliputi status

    koma (comatose status), kemampuan dalam membuat keputusan

    (decision making), kemampuan memori (short term memory), tingkat

    pengertian (making self understood) dan makan (eating). Tiap kategori

    dibagi dalam 7 grup, dimana pada skala nol (0) dinyatakan intact sampai

    skala enam (6) dinyatakan sebagai gangguan fungsi kognitif yang sangat

    berat (very severe impairment). Penelitian yang ada menunjukkan bahwa

    CPS memberikan penilaian fungsi kognitif yang akurat dan penuh arti

    pada populasi dalam suatu institusi (Hartmaier dkk. 1995 ).

    Skor CPS didasarkan pada :

    (a) Apakah seseorang itu koma

    (b) Kemampuannya dalam membuat keputusan

    (c) Kemampuannya untuk membuat dirinya sendiri mengerti

    (d) Apakah terdapat gangguan pada short-term memory atau

    delayed recall

    Universitas Sumatera Utara

  • (e) Apakah terdapat ketergantungan dalam self performance dalam

    hal makan (eating)

    Skor CPS :

    (a) Nol : jika tidak terdapat gangguan dalam kemampuan membuat

    keputusan, membuat dirinya sendiri mengerti dan recent

    memory.

    (b) Satu : jika terdapat satu dari kriteria di bawah ini

    (i) Apabila kemampuan dalam membuat keputusan modified

    independence atau moderately impared

    (ii) Apabila kemampuan untuk membuat dirinya sendiri

    mengerti, biasanya, kadang kadang, jarang/tidak pernah

    mengerti atau

    (iii) Terdapat gangguan recent memory

    (c) Dua : jika terdapat dua dari kriteria di bawah ini

    (i) Apabila kemampuan dalam membuat keputusan modified

    independence atau moderately impared

    (ii) Apabila kemampuan untuk membuat dirinya sendiri

    mengerti, biasanya, kadang kadang, jarang/tidak pernah

    mengerti atau

    (iii) Terdapat gangguan short-term memory atau delayed recall

    Universitas Sumatera Utara

  • (d) Tiga : jika terdapat paling tidak dua dari kriteria (b) dan satu dari

    kriteria di bawah ini

    (i) Kemampuan dalam membuat keputusan moderately

    impaired atau

    (ii) Kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti,

    kadang kadang atau jarang/tidak pernah mengerti

    (e) Empat : jika kedua kriteria berikut terpenuhi

    (i) Kemampuan dalam membuat keputusan moderately

    impaired dan

    (ii) Kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti,

    kadang kadang atau jarang/tidak pernah mengerti

    (f) Lima : jika kemampuan membuat keputusan severely impaired

    (g) Enam : jika satu dari kriteria berikut terpenuhi

    (i) Kemampuan dalam membuat keputusan severely impaired

    dan terdapat ketergantungan penuh dalam hal makan atau

    (ii) Keadaan koma

    Kemampuan dalam membuat keputusan maksudnya adalah kemampuan

    membuat keputusan setiap hari tentang tugas atau aktivitas hidup sehari-

    hari, dibagi atas 4 yaitu :

    a. Independent : keputusan tentang rutinitas sehari-hari konsisten

    dan terorganisir.

    Universitas Sumatera Utara

  • b. Modified independence : aktivitas sehari-hari terorganisir, mampu

    membuat keputusan dalam situasi yang sudah biasa namun terdapat

    kesulitan dalam membuat keputusan apabila dihadapkan dengan tugas

    atau situasi yang baru.

    c. Moderately impaired : dibutuhkan peringatan, isyarat dan

    pengawasan dalam merencanakan dan memperbaiki rutinas sehari-hari.

    d. Severely impaired : pengambilan keputusan sangat terganggu,

    tidak pernah/sangat jarang membuat keputusan.

    Kemampuan membuat dirinya sendiri mengerti dibagi atas 4, yaitu :

    a. Mengerti : dapat menyatakan ide secara jelas.

    b. Biasanya mengerti : terdapat kesulitan dalam menemukan kata

    yang tepat dalam berkomunikasi sehingga responnya terlambat.

    c. Kadangkadang mengerti : terdapat kemampuan yang terbatas

    tetapi dapat menyatakan permintaan yang berhubungan dengan

    kebutuhan dasar (seperti makanan, minuman, tidur, toilet).

    d. Jarang/tidak pernah mengerti: terdapat bunyi atau bahasa tubuh

    yang spesifik yang dimengerti secara terbatas oleh orang yang merawat

    (contoh menunjukkan adanya nyeri atau butuh ke toilet).

    Universitas Sumatera Utara

  • II.2.2. Mini Mental State Examination ( MMSE)

    Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) ini awalnya

    dikembangkan untuk skrining demensia, namun sekarang digunakan

    secara luas untuk pengukuran fungsi kogntif secara umum. Pemeriksaan

    MMSE kini adalah instrumen skrining yang paling luas digunakan untuk

    menilai status kognitif dan status mental pada usia lanjut (Kochhann dkk.

    2009, Burns dkk. 2002).

    Sebagai satu penilaian awal, pemeriksaan MMSE adalah tes yang

    paling banyak dipakai. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah

    tes yang paling sering dipakai saat ini. Penilaian dengan nilai maksimal

    30, cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognitif, menetapkan data

    dasar dan memantau penurunan kognitif dalam kurun waktu tertentu. Skor

    MMSE normal 24 30. Bila skor kurang dari 24 mengindikasikan

    gangguan fungsi kognitif (Folstein dkk. 1975, Asosiasi Alzheimer

    Indonesia, 2003).

    Pada penelitian MMSE di Medan, yang dilakukan pada 473 orang

    sehat dengan rentang usia 16 75 tahun dan dengan berbagai latar

    belakang pendidikan dan pekerjaan didapatkan nilai yang berbeda untuk

    masing masing usia dan pendidikan yang berbeda (Sjahrir dkk. 2001).

    Universitas Sumatera Utara

  • Tabel 1. Nilai MMSE berdasarkan usia

    Dikutip dari : Sjahrir H.,Ritarwan K.,Tarigan S.,Rambe AS., Lubis ID., Bhakti I. The Mini Mental State Examination in healthy individuals in Medan, Indonesia by age and education level. Neurol J Southeast Asia.2001;6:19-22. Tabel 2. Nilai MMSE berdasarkan tingkat pendidikan

    Dikutip dari : Sjahrir H.,Ritarwan K.,Tarigan S.,Rambe AS., Lubis ID., Bhakti I. The Mini Mental State Examination in healthy individuals in Medan, Indonesia by age and education level. Neurol J Southeast Asia.2001;6:19-22.

    Universitas Sumatera Utara

  • Pada penelitian Sjahrir, 2001, tabel 1 menunjukkan median, kuartil

    atas dan kuartil bawah skor MMSE sesuai usia dan pada tabel 2

    menunjukkan median, kuartil atas dan kuartil bawah skor MMSE sesuai

    dengan tingkta pendidikan. Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan

    yang signifikan antara usia dan skor MMSE namun terdapat hubungan

    antara skor MMSE dengan tingkat pendidikan, dimana skor yang semakin

    tinggi ditemukan pada subjek dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi

    juga, dengan nilai korelasi +0.36, p < 0,05. Namun pada penelitian ini

    ditemukan perbedaan yang tidak signifikan antara skor MMSE dengan

    jenis kelamin. Skor MMSE rata-rata untuk pria 27,0 dan wanita 26,8

    (Sjahrir dkk. 2001).

    Instrumen ini disebut mini karena hanya fokus pada aspek kognitif

    dari fungsi mental dan tidak mencakup pertanyaan tentang mood,

    fenomena mental abnormal dan pola pikiran. Mini Mental State

    Examination (MMSE) menilai sejumlah domain kognitif, orientasi ruang

    dan waktu, working and immediate memory, atensi dan kalkulasi,

    penamaan benda, pengulangan kalimat, pelaksanaan perintah,

    pemahaman dan pelaksanaan perintah menulis, pemahaman dan

    pelaksanaan perintah verbal, perencanaan dan praksis. Instrumen ini

    direkomendasikan sebagai screening untuk penilaian kognitif global oleh

    American Academy of Neurology (AAN) (Kochhann dkk. 2010).

    Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) dijadikan

    metode skrining untuk memantau perkembangan demensia. Secara

    Universitas Sumatera Utara

  • umum MMSE berkorelasi baik dengan berbagai pemeriksaan fungsi

    kognitif lainnya. Nilai cut-off yang bervariasi menyokong nilai sensitifitas

    dan spesifisitas yang maksimal pada populasi yang berbeda. Skor nya

    dapat mengalami bias oleh karena dasar tingkat pendidikan, bahasa dan

    kultur, yang mana pasien dengan tingkat pendidikan yang rendah dapat

    diklasifikasikan sebagai demensia dan pasien lainnya dengan tingkat

    pendidikan yang tinggi dapat terlupakan. Skor 23 dengan tingkat

    pendidikan sampai high school, dan skor ke 25 dengan tingkat

    pendidikan yang lebih tinggi sering kali digunakan sebagai indikasi

    terdapat gangguan fungsi kognitif secara signifikan. Nilai MMSE secara

    umum menurun seiring dengan pertambahan usia. Meskipun skor rata

    rata yang rendah pada orang usia lanjut dapat mengakibatkan prevalensi

    demensia yang semakin meningkat pada kelompok usia lanjut. Skor 30

    tidak selalu berarti fungsi kognitifnya normal dan skor 0 tidak berarti

    secara mutlak bahwa fungsi kognitifnya tidak ada (Woodford dkk. 2007).

    II.2.3. General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG)

    Pemeriksaan General Practitioner Assessment of Cognition

    (GPCOG) merupakan salah satu bentuk dari Cambridge Cognitive

    (CAMCOG). Pemeriksaan CAMCOG merupakan bagian tersendiri untuk

    pemeriksaan fungsi kognitif dari Cambridge Examination for Mental

    Disoreders of the Elderly (CAMDEX). Cambridge Cognitive (CAMCOG)

    merupakan instrumen yang terstandarisasi yang digunakan untuk menilai

    Universitas Sumatera Utara

  • tingkat demensia dan untuk menilai tingkat gangguan kognitif. Pengukuran

    ini menilai orientasi, bahasa, memori, atensi, kemampuan berpikir abstrak,

    persepsi dan kalkulasi. Akibat adanya berbagai bentuk CAMCOG untuk

    menilai fungsi kognitif dalam berbagai tingkat kesulitan maka salah satu

    kelebihannya adalah kemampuannya untuk mendeteksi gangguan kognitif

    yang ringan (Burns dkk. 2002, Huppert dkk. 1995).

    Pemeriksaan GPCOG ini dipublikasi tahun 2002, yang terdiri 9 item

    cognitive dan 6 item informasi, yang diperoleh dari Cambridge Cognitive

    Examination, Psychogeriatric Assesssment Scale. General Practitioner

    Assessment of Cognition (GPCOG) memerlukan waktu 4 5 menit dalam

    melakukan penilaian dan memiliki akurasi diagnostik yang sama dengan

    MMSE dalam mendeteksi demensia (Brodaty dkk. 2002).

    Bentuk CAMCOG lainnya yaitu Revised CAMCOG (CAMCOG-R)

    dan Rotterdam CAMCOG (R-CAMCOG). Pemeriksaan CAMCOG-R

    dipublikasi pada tahun 1999 oleh Roth, Huppert, Mountjoy dan Tym.

    Revised CAMCOG (CAMCOG-R) meningkatkan kemampuan menilai

    dalam menentukan berbagai bentuk demensia dan untuk membuat

    diagnosa klinis yang berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV. Sedangkan R-

    CAMCOG dipublikasikan tahun 2000, R-CAMCOG merupakan versi yang

    lebih singkat dari CAMCOG yang terdiri dari 25 item. Diperlukan 10 25

    menit dalam melakukan penilaian ini dan sama akuratnya dengan

    CAMCOG pada demensia pasca stroke (Inge de Koning dkk. 2000).

    Universitas Sumatera Utara

  • II.4. KERANGKA TEORI

    GPCOG

    MMSE CPS

    FUNGSI KOGNITIF

    Jones K.dkk (2010) Skor CPS yang semakin tinggi berhubungan dengan gangguan fungsional dan demensia yang semakin besar dibandingkan dengan skor CPS yang lebih rendah.

    Bula CJ. dkk (2009) Pasien dengan CPS abnormal memiliki resiko kematian yang semakin tinggi hanya apabila disertai dengan nilai MMSE yang abnormal juga.

    Wellens dkk (2012) Skor MMSE

  • II.5. KERANGKA KONSEP

    Usia lanjut

    MMSE CPS

    GPCOG

    Universitas Sumatera Utara