Chapter II (1).rtf

download Chapter II (1).rtf

of 15

Transcript of Chapter II (1).rtf

  • INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar belakang

    Dalam GBHN, dinyatakan bahwa pola dasar pembangunan pada hakekatnya

    adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat

    Indonesia. Jadi jelas bahwa hubungan antara usaha peningkatan kesehatan masyarakat

    dengan pembangunan, karena tanpa modal kesehatan maka akan gagal pula

    pembangunan.

    Usaha peningkatan kesehatan masyarakat pada kenyataannya tidaklah mudah

    seperti membalikkan telapak tangan saja, karena masalah ini sangatlah kompleks,

    dimana penyakit yang terbanyak diderita oleh masyarakat terutama pada yang paling

    rawan yaitu ibu dan anak, ibu hamil dan ibu meneteki serta anak bawah lima tahun.

    Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama adalah ISPA

    (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran pernapasan

    bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah. ISPA adalah suatu

    penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik dinegara berkembang maupun

    dinegara maju dan sudah mampu. dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit

    karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa

    bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada,masa dewasa. dimana

    ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya Chronic Obstructive Pulmonary

    Disease.

    ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan

    kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang

    terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. 40 %

    -60 % dari kunjungan diPuskesmas adalah oleh penyakit ISPA. Dari seluruh kematian

    yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % -30 %. Kematian yang terbesar

    umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan.

  • Hingga saat ini angka mortalitas ISPA yang berat masih sangat tinggi.

    Kematian seringkali disebabkan karena penderita datang untuk berobat dalam

    keadaan berat dan sering disertai penyulit-penyulit dan kurang gizi. Data morbiditas

    penyakit pneumonia di Indonesia per tahun berkisar antara 10 -20 % dari populasi

    balita. Bila kita mengambil angka morbiditas 10 % pertahun, ini berarti setiap tahun

    jumlah penderita pneumonia di Indonesia berkisar 2,3 juta .Penderita yang dilaporkan

    baik dari rumah sakit maupun dari Puskesmas pada tahun 1991 hanya berjumlah

    98.271. Diperkirakan bahwa separuh dari penderita pneumonia didapat pada

    kelompok umur 0-6 bulan.

    Program pemberantasan ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984,

    dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian khususnya

    pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA, namun kelihatannya angka

    kesakitan dan kematian tersebut masih tetap tinggi seperti yang telah dilaporkan

    berdasarkan penelitian yang telah disebutkan di atas.

    1.2. Permasalahan

    Berdasarkan uraian yang telah disebutkan diatas maka penulis ingin mencoba

    untuk mengemukakan upaya pemberantasan ISPA dengan prioritas kepada

    penatalaksanaan kasus ISPA pada bayi dan anak-anak. Mengingat tujuan dalam upaya

    menurunkan angka mortalitas dan morbilitas.

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Definisi ISPA

  • ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Istilah ini diadaptasidari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut. Infeksi adalah masuk dan berkembangbiaknya agent infeksi pada jaringan tubuh manusia yang berakibat terjadinya kerusakan sel atau jaringan yang patologis. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, dimana secara klinis tanda dan gejala akut akibat infeksi terjadi di setiap bagian saluran pernafasan tidak lebih dari 14 hari.Menurut Alsagaff dkk, ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus maupun riketsia, tanpa atau disertairadang parenkim paru.

    2.2. Klasifikasi ISPA 2.2.1. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi

    a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, sinusitis, otitis media (infeksi pada telinga tengah), dan faringitis (infeksi pada tenggorokan).

  • b. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia.

    2.2.2. Klasifikasi ISPA Pada BalitaPneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang dan sulit dibangunkan. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa penarikan dinding dada. Pernafasan cepat adalah 40 kali per menit atau lebih pada usia 12 bulan hingga 5 tahun. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.

    2.3. Etiologi ISPAEtiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA misalnya dari genus Streptococcus, Haemophylus, Stafilococcus, Pneumococcus, Bordetella, dan Corynebakterium.

    Virus penyebab ISPA antara lain grup Mixovirus (virus influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus), Enterovirus (Coxsackie virus, echovirus), Adenovirus, Rhinovirus, Herpesvirus, Sitomegalovirus, virus Epstein-Barr.Jamur penyebab ISPA antara lain Aspergillus sp, Candidia albicans, Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans.Selain itu juga ISPA dapat disebabkan oleh karena inspirasi asap kendaraan bermotor, Bahan Bakar Minyak/BBM biasanya minyak tanah dan, cairan amonium pada saat lahir.

    2.4. Gejala ISPAPenyakit ISPA pada anak dapat menimbulkan bermacam-macam tanda dan gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan demam.

    Gejala dari ISPA Ringan Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu

  • atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:Batuk Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu berbicara atau menangis) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C

    Gejala dari ISPA Sedang Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:Pernafasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih dan kelompok umur 2 bulan -< 5 tahun : frekuensi nafas 50 kali atau lebih untuk umur 2 - < 12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan -

  • Dust adalah bentuk partikel dengan berbagai ukuran sebagai hasil dari resuspensi partikel yang menempel di lantai, di tempat tidur serta yang tertiup angin bersama debu lantai/tanah.

    2.6. Epidemiologi Penyakit ISPAEpidemiologi penyakit ISPA yaitu mempelajari frekuensi, distribusi penyakit ISPA serta faktor-faktor (determinan) yang mempengaruhinya.

    2.6.1. Distribusi dan Frekuensi Penyakit ISPAISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Daya tahan tubuh anakberbeda dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya belum kuat. Apabila di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek, anak-anak akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat. Dalam setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 3 - 6 kali penyakit ISPA.Di Indonesia, ISPA menempati urutan pertama penyebeb kematian pada kelompok bayi dan balita. Berdasarkan data Survei Kesehatan Nasional 2001 menunjukkan bahwa proporsi ISPA sebagai penyebab kematian bayi adalah 27,6% sedangkan proporsi ISPA sebagai penyebab kematian anak balita 22,8%.Hasil survei Program P2 ISPA di 12 propinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat) pada tahun 1993 diketahui bahwa jumlah angka kesakitan tertinggi karena ISPA, yaitu 2,9 per 1000 balita. Selama kurun waktu 2000-2002, jumlah kasus ISPA terlihat berflutuasi. Pada tahun 2000 terdapat 479.283 kasus (30,1%), tahun 2001 menjadi 620.147 kasus (22,6%) dan pada tahun 2002 menjadi 532.742 kasus (22,1%).

    2.6.2. Determinan Penyakit ISPAa. Faktor Agent (Bibit Penyakit)Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. ISPA juga dapat disebabkan oleh karena jamur dan inspirasi asap kendaraan bermotor, Bahan Bakar Minyak/BBM biasanya minyak tanah, dan cairan amonium pada saat lahir.

    b. Faktor Host (Pejamu) 1. UmurUmur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akanmemberikan gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Sedangkan orang dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya.Data SKRT tahun 1991 sampai 2002 menunjukkan kelompok umur dengan prevalensikematian ISPA tertinggi di Indonesia ada pada kelompok umur bayi dan balita yaitu tahun 1991 umur 12 - 23 bulan (9,8%), tahun 1994 umur 6 - 35 bulan (10%), tahun 1997 umur 6 - 11 bulan (10%), tahun 2002 umur 6 - 23 tahun (8%).Berdasarkan hasil penelitian Mairusnita pada balita yang Berobat ke Badan PelayananKesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (BPKRSUD) Kota Langsa Tahun 2006, didapatkan bahwa proporsi balita penderita ISPA terbesar pada kelompok umur 2 - 59

  • bulan yaitu 86,4% sementara kelompok umur dibawah 2 bulan yaitu 13,6%.

    2. Jenis KelaminBerdasarkan Pedoman Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional Penanggulangan Pneumonia Balita Tahun 2005 - 2009 menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki risiko lebih tinggi daripada anak perempuan untuk terkena ISPA.Berdasarkan hasil penelitian Taisir di Kabupaten Aceh Selatan tahun 2005, menunjukkan bahwa proporsi ISPA berdasarkan jenis kelamin pada balita laki-laki (43,3%) lebih tinggi dari pada proporsi ISPA pada balita perempuan (33,7%), tetapi secara statistik, tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada balita di kelurahan Lhok Bengkuang.

    3. Status GiziKeadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia.Batita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankandiri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi menurun. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA lebih berat bahkan serangannya lebih lama.Hasil penelitian Sirait di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2010 dengan desain cross sectional menunjukkan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPaA pada anak balita dengan nilai p = 0,017. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPaA pada anak balita dengan status gizi kurang dibanding dengan anak balita dengan ststus gizi baik adalah 1,438 (95% CI: 1,134-1,827). Artinya balita yang mempunyai status gizi kurang merupakan faktor risiko terjadinyaISPaA.

    4. Berat Bayi LahirBayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang kurang 2.500 gram. Berat bayi lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya.Bayi dengan BBLR sering mengalami gangguan pernafasan. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna dan otot pernafasan yang masih lemah.Berdasarkan hasil penelitian Sadono, dkk di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 menunjukkan proporsi bayi BBLR yang mengalami ISPA (64,3%) lebih tinggi dari pada proporsi BBLR yang tidak mengalami ISPA (35,7%). Hasil statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian ISPA dengan BBLR dengan nilai p = 0,009. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPA pada BBLR dibanding dengan BBLN adalah 2,5 (95% CI: 1,238-5,012). Artinya BBLR merupakan faktor

  • risiko terjadinya ISPA.

    5. Status ASI EksklusifAir Susu Ibu (ASI) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih dan sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi kebutuhan gizibayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan.ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa mamberikan makanan/cairan lain.Pada waktu lahir sampai berusia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. ASI mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi dan alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi itu sendiri. Dengan adanya zat anti infeksi pada ASI maka bayi dengan ASI eksklusif akan terlindungi dari berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau parasit.Keunggulan lainnya, ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan komposisinya disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehingga dapat menyebabkan susah buang air besar pada bayi. Proses pembuatan susu formula yang tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal ini akan menjadi pemicu terjadinya kurang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi anak lebih mudah terserang penyakit infeksi.Hasil penelitian Harianja di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2010 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan antara status ASI Eksklusif dengan kejadian ISPaA pada anak balita dengan nilai p = 0,000. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPaA pada anak balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif dibanding dengan anak balita yang mendapatkan ASI Eksklusif adalah 2,698 (95% CI: 1,328-5,478). Artinya tidak mendapatkan ASI Eksklusif merupakan faktor risiko terjadinya ISPaA.

    6. Status ImunisasiImunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Anak yang diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Dalam imunologi, kuman atau racun kuman (toksin) disebut antigen. Imunisasi merupakan upaya pemberian kekebalan tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi.Imunisasi bermafaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit infeksi seperti polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematiandari akibat penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus ISPA merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk rejan.Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakityang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasiCampak dan DPT.Hasil penelitian Sadono, dkk di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 dengan desain cross sectional diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada bayi dengan nilai p = 0,027 dan Ratio Prevalens 1,8 (95% CI: 1,068-3,168). Artinya bayi dengan status imunisasi tidak lengkap merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

  • c. Faktor Lingkungan (Environment) 1. VentilasiFaktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan ISPA, dimana ventilasi dapat memelihara kondisi udara yang sehat bagi manusia.Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah yang berarti kadar karbon dioksida yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal 10% dari luas lantai.Berdasarkan hasil penelitian Sulistyowati di Kabupaten Trenggalek tahun 2010 didapatkan bahwa proporsi anak balita penderita pneumonia yang memiliki ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebesar 57,8%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia dengan ventilasi (p = 0,042). Nilai OR 1,9 (95% CI: 1,0-3,4), artinya anak balita kemungkinan menderita pneumonia 1,9 kali pada balita yang memiliki ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

    2. Kepadatan Hunian Ruang TidurBerdasarkan KepMenkes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya oksigen didalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA.Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pemanasan tersebut. Dengandemikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, makakadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan karbon dioksida dan dampak peningkatan karbon dioksida dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.Hasil penelitian Gulo di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias tahun 2009 menunjukkan proporsi balita yang tinggal di rumah yang kepadatan hunian rumahnyatergolong padat menderita ISPA sebesar 88,9%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara kapadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0,037. Nilai Ratio Prevalens kejadian ISPA pada balita yang tinggal di rumah yang kepadatan hunian rumahnya tergolong padat dibanding dengan balita yang tinggal di rumah yang kepadatan hunian rumahnya tergolong tidakpadat adalah 1,189. Artinya hunian rumah yang tergolong padat merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

    3. Pemakaian Anti NyamukPenggunaan anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menurunkan kualitas udara dalam ruangan sehingga menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udaradi lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.

  • Berdasarkan hasil penelitian Naria, dkk di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan tahun 2008 menunjukkan proporsi balita yang menggunakan obat nyamuk menderita ISPA sebanyak 48 orang (73,8%) sedangakan balita yang tidak menderita ISPA sebanyak 17 orang (27,2%). Hasil uji Chi Square diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan obat nyamuk dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0,010. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPA pada balita yang menggunakan obat nyamuk dibanding dengan balita yang tidak menggunakan obat nyamuk adalah 1,8. Artinya penggunaan obat nyamuk merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

    4. Keberadaan PerokokPaparan asap rokok merupakan penyebab signifikan masalah kesehatan seperti pernafasan akut infeksi (ISPA) pada anak. Satu batang rokok dibakar maka akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin, gas carbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen cianida, amonia, acrolein, acetilen, benzoldehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol, ortcresor peryline dan lainnya.Hasil penelitian Harianja di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2010 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPaA pada anak balita dengan nilai p = 0,001. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPaA pada anak balita yang memiliki anggota keluarga perokok dibanding dengan anak balita yang tidak memiliki anggota keluarga perokok adalah 3,211 (95% CI: 1,154-8,932). Artinya keberadaan anggota keluarga perokok merupakan faktor risiko terjadinya ISPaA.Berdasarkan hasil penelitian Mukono di Puskesmas Pati I tahun 2006 dengan desain case control, berdasarkan analisis bivariat hubungan keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh nilai p = 0,000 dan OR 4,63 (95% CI: 2,04-10,52). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita. OR 4,63 artinya anak balita yang tinggal di rumah dengan anggota keluarga yang merokok kemungkinan untuk menderita ISPA 4,65 kali dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan anggota keluarga yang tidak merokok.

    5. Bahan Bakar Untuk MemasakPencemaran udara di dalam rumah banyak terjadi di negara-negara berkembang. Diperkirakan setengah dari rumah tangga di dunia memasak dengan bahan bakar yang belum diproses seperti kayu, sisa tanaman dan batubara sehingga akan melepaskan emisi sisa pembakaran di dalam ruangan tersebut. Pembakaran pada kegiatan rumah tangga dapat menghasilkan bahan pencemar antara lain asap, debu, grid (pasir halus) dan gas (CO dan NO).Tingkat polusi yang dihasilkan bahan bakar menggunakan kayu jauh lebih tinggi dibandingkan bahan bakar menggunakan gas. Sejumlah penelitian menunjukkan paparan polusi dalam ruangan meningkatkan risiko kejadian ISPA pada anak-anak.Berdasarkan hasil penelitian Naria, dkk di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan tahun 2008 menunjukkan proporsi balita yang tinggal di rumah yang menggunakan bahan bakar kayu menderita ISPA sebanyak 39 orang (81,25%), sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 9 orang (19,75%). Hasil uji Chi Square diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara bahan bakar dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0,001. Nilai Ratio Prevalens kejadian ISPA pada balita yang menggunakan bahan bakar kayu dibanding dengan balita yang menggunakan bahan bakar minyak/gas adalah 1,715. Artinya penggunaan bahan bakar kayu merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

  • BAB III

    PENATALAKSANAAN KASUS ISPA

    3. 1. Pemeriksaan

    Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit anak dengan

    mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan mendengarkan anak.

    Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak menangis (bila menangis

    akan meningkatkan frekuensi napas), untuk ini diusahakan agar anak tetap dipangku

    oleh ibunya. Menghitung napas dapat dilakukan tanpa membuka baju anak. Bila baju

    anak tebal, mungkin perlu membuka sedikit untuk melihat gerakan dada. Untuk

    melihat tarikan dada bagian bawah, baju anak harus dibuka sedikit. Tanpa

    pemeriksaan auskultasi dengan steteskop penyakit pneumonia dapat didiagnosa dan

    diklasifikasi.

    3.2. Pencegahan

    3.2.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)

    Ditujukan pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat kesehatan (health

    promotion) dan pencegahan khusus (specific protection) terhadap penyakit tertentu.

    Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan dalam pencegahan primer yaitu:

    a. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan

    dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat

  • meningkatkan faktor risiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat

    berupa penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan

    imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan

    kesehatan lingkungan rumah, penyuluhan bahaya rokok.

    b. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka

    kesakitan (insiden) pneumonia.

    c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A.

    d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat lahir rendah.

    e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah

    polusi di dalam maupun di luar rumah.

    3.2.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)

    Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini mungkin.

    Upaya pengobatan yang dilakukan untuk kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun

    dibedakan atas klasifikasi ISPA yaitu :

    a. Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi

    antibiotik dengan memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6

    jam. Apabila pada anak terjadi perbaikan (biasanya setelah 3 - 5 hari),

    pemberiannya diubah menjadi kloramfenikol oral, obati demam, obati mengi,

    perawatan suportif, hati-hati dengan pemberian terapi cairan, nilai ulang dua

    kali sehari.

    b. Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik

    dengan memberikan benzilpenesilin secara intramuskular setiap 6 jam paling

    sedikit selama 3 hari, obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati

    pada pemberian terapi cairan, nilai ulang setiap hari.

    c. Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan

    kotrimoksasol, ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain

    intramuskular per hari, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah,

    obati demam, obati mengi, nilai ulang setelah 2 hari.

  • d. Bukan Pneumonia (batuk atau pilek): obati di rumah, terapi antibiotik

    sebaiknya tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati

    demam, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah.

    e. Pneumonia Persisten: rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan memberikan

    kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan adanya infeksi

    pneumokistik, perawatan suportif, penilaian ulang.

    3.2.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)

    Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak bertambah

    parah dan mengakibatkan kematian.

    a. Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah pemberian

    kloram fenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan

    kloksasilin ditambah gentamisin jika diduga suatu pneumonia stafilokokus.

    b. Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian benzilpenisilin

    dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah pemberian benzilpenisilin

    kemudian periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloramfenikol. Jika

    anak masih menunjukkan tanda pneumonia setelah 10 hari pengobatan

    antibiotik maka cari penyebab pneumonia persistensi.

    c. Pneumonia: Coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan periksa

    adanya tanda-tanda perbaikan (pernafasan lebih lambat, demam berkurang,

    nafsu makan membaik. Nilai kembali dan kemudian putuskan jika anak dapat

    minum, terdapat penarikan dinding dada atau tanda penyakit sangat berat

    maka lakukan kegiatan ini yaitu rawat, obati sebagai pneumonia berat atau

    pneumonia sangat berat. Jika anak tidak membaik sama sekali tetapi tidak

    terdapat tanda pneumonia berat atau tanda lain penyakit sangat berat, maka

    ganti antibiotik dan pantau secara ketat.

    3.3. Pelaksana pemberantasan

  • Tugas pemberatasan penyakit ISPA merupakan tanggung jawab bersama.

    Kepala Puskesmas bertanggung jawab bagi keberhasilan pemberantasan di wilayah

    kerjanya.

    Sebagian besar kematiaan akibat penyakit pneumonia terjadi sebelum

    penderita mendapat pengobatan petugas Puskesmas. Karena itu peran serta aktif

    masyarakat melalui aktifitas kader akan sangat'membantu menemukan kasus-kasus

    pneumonia yang perlu mendapat pengobatan antibiotik (kotrimoksasol) dan kasus-

    kasus pneumonia berat yang perlu segera dirujuk ke rumah sakit .

    Dokter puskesmas mempunyai tugas sebagai berikut :

    a. Membuat rencana aktifitas pemberantasan ISPA sesuai dengan dana atau

    sarana dan tenaga yang tersedia.

    b. Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan standar

    kasus-kasus ISPA kepada perawat atau paramedis.

    c. Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus- kasus pneumonia berat/penyakit

    dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh perawat/paramedis dan

    merujuknya ke rumah sakit bila dianggap perlu.

    d. Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa dirujuk ke

    rumah sakit.

    e. Bersama dengan staff puskesmas memberi kan penyuluhan kepada ibu-ibu

    yang mempunyai anak balita. perihal pengenalan tanda-tanda penyakit

    pneumonia serta tindakan penunjang di rumah,

    f. Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang di beri

    wewenang mengobati penderita penyakit ISPA,

    g. Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat memberikan

    penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyaki ISPA,

    h. Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi keberhasilan

    pemberantasan penyakit ISPA. menditeksi hambatan yang ada serta

    menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan dan pelaporan serta

    pencapaian target.

    3.4. Paramedis Puskesmas Puskesmas pembantu

  • a. Melakukan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA sesuai petunjuk yang

    ada.

    b. Melakukan konsultasi kepada dokter Puskesmas untuk kasus-kasus ISPA

    tertentu seperti pneumoni berat, penderita dengan weezhing dan stridor.

    c. Bersama dokter atau dibawah, petunjuk dokter melatih kader.

    d. Memberi penyuluhan terutama kepada ibu-ibu.

    e. Melakukan tugas-tugas lain yang diberikan oleh pimpinan Puskesmas

    sehubungan dengan pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA.

    3.5. Kader kesehatan

    Dilatih untuk bisa membedakan kasus pneumonia (pneumonia berat dan

    pneumonia tidak berat) dari kasus-kasus bukan pneumonia.

    Memberikan penjelasan dan komunikasi perihal penyakit batuk pilek biasa

    (bukan pneumonia) serta penyakit pneumonia kepada ibu-ibu serta perihal

    tindakan yang perlu dilakukan oleh ibu yang anaknya menderita penyakit

    a. Memberikan pengobatan sederhana untuk kasus-kasus batuk pilek (bukan

    pneumonia) dengan tablet parasetamol dan obat batuk tradisional obat batuk

    putih.

    b. Merujuk kasus pneumonia berat ke Puskesmas/Rumah Sakit terdekat.

    c. Atas pertimbangan dokter Puskesmas maka bagi kader-kader di daerah-daerah

    yang terpencil (atau bila cakupan layanan Puskesmas tidak menjangkau

    daerah tersebut) dapat diberi wewenang mengobati kasus-kasus pneumonia

    (tidak berat) dengan antibiotik kontrimoksasol.

    Mencatat kasus yang ditolong dan dirujuk.