Chapter II 13

28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Respon Respon diartikan sebagai suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud balik sebelum pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Selain itu menurut Daryl Beum respon juga diartikan sebagai tingkahlaku balas atau sikap yang menjadi tingkahlaku atau adu kuat. Respon pada hakekatnya merupakan tingkahlaku balas atau juga sikap yang menjadi tingkah laku balik, yang juga merupakan proses pengorganisasian rangsang dimana rangsangan-rangsangan proksimal diorganisasikan sedemikian rupa sehingga terjadi representasi fenomenal dari rangsangan-rangsangan proksimal tersebut (Adi, 1994:105). Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang, karena sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku dalam menghadapi suatu rangsangan tertentu. Melihat sikap seseorang atau sekelompok orang terhadap sesuatu maka akan diketahui bagaimana respon mereka terhadap kondisi tersebut. Menurut Louis Thursone, respon merupakan jumlah kecenderungan dan perasaan, kecurigaan dan prasangka, pra pemahaman yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal yang khusus. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa cara pengungkapan sikap dapat melalui: Universitas Sumatera Utara

description

h

Transcript of Chapter II 13

Page 1: Chapter II 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Respon

Respon diartikan sebagai suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud

balik sebelum pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan,

suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Selain itu

menurut Daryl Beum respon juga diartikan sebagai tingkahlaku balas atau sikap

yang menjadi tingkahlaku atau adu kuat. Respon pada hakekatnya merupakan

tingkahlaku balas atau juga sikap yang menjadi tingkah laku balik, yang juga

merupakan proses pengorganisasian rangsang dimana rangsangan-rangsangan

proksimal diorganisasikan sedemikian rupa sehingga terjadi representasi

fenomenal dari rangsangan-rangsangan proksimal tersebut (Adi, 1994:105).

Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang, karena sikap

merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku dalam

menghadapi suatu rangsangan tertentu. Melihat sikap seseorang atau sekelompok

orang terhadap sesuatu maka akan diketahui bagaimana respon mereka terhadap

kondisi tersebut. Menurut Louis Thursone, respon merupakan jumlah

kecenderungan dan perasaan, kecurigaan dan prasangka, pra pemahaman yang

mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal yang

khusus. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa cara pengungkapan sikap

dapat melalui:

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II 13

1. Pengaruh atau penolakan.

2. Penilaian.

3. Suka atau tidak suka.

4. Kepositifan atau kenegatifan suatu objek psikologi.

Perubahan sikap dapat menggambarkan respon seseorang atau

sekelompok orang terhadap objek-objek tertentu seperti perubahan lingkungan.

Sikap yang muncul dapat positif yakni cenderung menyenangi, mendekati dan

mengharapkan suatu objek, seseorang disebut mempunyai respon positif dilihat

dari tahap kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Sebaliknya seseorang mempunyai

respon negatif apabila informasi yang didengarkan atau perubahan suatu subjek

tidak mempengaruhi tindakan atau malah menghindar dan membenci objek

tertentu. Terdapat dua jenis variabel yang mempengaruhi respon, yaitu:

1. Variabel struktural yakni faktor-faktor yang terkandung dalam rangsangan

fisik.

2. Variabel fungsional yakni faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat,

misalnya kebutuhan suasana hati, pengalaman masa lalu.

Menurut Hunt (1962) orang dewasa mempunyai sejumlah unit untuk

memproses informasi-informasi. Unit-unit ini dibuat khusus untuk menangani

representasi fenomenal dari keadaan di luar yang ada dalam diri individu.

Lingkungan internal ini dapat digunakan untuk memperkirakan peristiwa-

peristiwa yang terjadi di luar. Proses yang berlangsung secara rutin inilah yang

disebut Hunt sebagai suatu Respon (Adi, 1994:109).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II 13

2.2 Narapidana

2.2.1 Pengertian Narapidana Wanita

Kehidupan narapidana adalah suatu pola kegiatan atau aktifitas yang

dilakukan oleh narapidana dan dikelompokkan pada suatu tempat yang tidak

bebas sifatnya (geraknya) guna mempertanggungjawabkan perbuatannya serta

mengarahkannya kepada perbuatan yang benar menurut hukum dan agama agar

mereka dapat bertobat bila sudah bebas nanti. Narapidana wanita yang dibina

dalam lembaga pemasyarakatan disebut warga binaan pemasyarakatan atau klien

pemasyarakatan. Narapidana atau warga binaan adalah terpidana yang menjalani

pidana di LAPAS, yaitu seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Seseorang yang dipenjara berarti telah terbukti melakukan pelanggaran,

yang tentu saja tidak disukai dan ditentang oleh masyarakat. Masyarakat pun pada

akhirnya mendiskreditkan atau menurunkan status seorang narapidana dari

seseorang yang seutuhnya menjadi seseorang yang tercemar dan diabaikan karena

perbuatan yang pernah dilakukan oleh para terpidana.

Wanita sebagai pelaku kejahatan dianggap telah melanggar norma ganda oleh

masyarakat, yaitu norma hukum dan norma konvensional tentang bagaimana

seharusnya wanita berperilaku dan bersikap.

Bagi narapidana wanita harus mampu melakukan penyesuaian diri yang

dilakukan secara seimbang baik dalam penyesuaian secara pribadi dan sosial.

Bahwa narapidana wanita mampu menerima dirinya dan menerima orang lain,

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II 13

melakukan kerjasama, beraktivitas serta membina komunikasi sehingga mereka

mampu menyikapi diri dalam situasi dan kondisi yang selalu berubah di

lingkungan LP. Narapidana wanita tersebut tidak mengalami kesulitan yang

mendasar, akan tetapi terdapat permasalahan dalam penyesuaian diri terhadap

peraturan yang diberlakukan. Peran keluarga dan lingkungan sosial mampu

memberikan motivasi bagi narapidana untuk dapat menyesuaikan diri.

2.2.2 Hak Dan Kewajiban Narapidana

Dalam suatu proses peradilan pidana, narapidana masih mempunyai

beberapa hak yaitu:

1. Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi

sesuai dengan pancasila, UUD 1945 dan ide mengenai pemasyarakatan.

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang

merugikan/menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja.

3. Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang keluarga sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 14 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Lembaga

Pemasyarakatan adalah:

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan.

b. Mendapat perawatan jasmani maupun rohani.

c. Mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.

e. Menyampaikan keluhan.

f. Mendapatkan bahan bacaan dan media.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II 13

g. Menerima kunjungan keluarga.

h. Mendapat pengurangan masa menjalani pidana (remisi).

i. Berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.

j. Mendapat pembebasan bersyarat.

k. Mendapat cuti menjelang bebas.

l. Mendapat kewajiban mengikuti program pembinaan.

m. Mendapatkan jaminan keselamatan dan ketertiban.

Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh narapidana, yaitu bahwa setiap

narapidana pemasyarakatan wajib mengikuti program pendidikan dan bimbingan

agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Kewajiban narapidana

ditetapkan pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Pasal 15 yaitu:

1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan

tertentu.

2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

2.3 Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)

2.3.1 Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah tempat untuk melaksanakan

pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Undang-Undang Nomor

12 Pasal 1 butir 3 Tahun 1995). Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II 13

pranata masyarakat, sebagai tempat untuk mendidik para narapidana agar dapat

meluluhkan kembali kesadaran mereka dalam bermasyarakat, untuk memperbaiki

martabat dan harga diri mereka ditengah-tengah masyarakatnya. Lembaga

Pemasyarakatan adalah sebagai wadah pembinaan untuk melenyapkan sifat-sifat

jahat melalui pendidikan (Panjaitan, Petrus, 1995:10).

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan terhadap

narapidana berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang

merupakan bagian akhir dalam tata peradilan pidana. Lembaga pemasyarakatan

yang berkembang sekarang ini menganut sistem pemasyarakatan yaitu suatu

tatanan arah dan batas serta cara pembinaan terhadap narapidana berdasarkan

pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan

masyarakat untuk meningkatkan kualitas narapidana agar menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga

yang baik dan bertanggung jawab.

2.3.2 Petugas Pemasyarakatan

Kewajiban untuk mengeluarkan narapidana dari lembaga untuk kembali ke

masyarakat tidak kalah pentingnya daripada tugas untuk memasukkan narapidana

ke dalam lembaga. Berhasilnya tugas untuk mengeluarkan dan mengembalikan

narapidana menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat terhadap hukum,

digantungkan kepada petugas-petugas negara yang diserahi tugas menjalankan

sistem pemasyarakatan.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II 13

Adapun petugas pemasyarakatan yang memiliki mental yang baik dan

sehat ditunjukan dalam 5 aspek, yaitu:

1. Berpikir realitas.

2. Mempunyai kesadaran diri.

3. Mampu membina hubungan sosial dengan orang lain.

4. Mempunyai visi dan misi yang jelas.

5. Mampu mengendalikan emosi.

Berdasarkan surat edaran Dirjen Pemasyarakatan berikut ini adalah

sepuluh kewajiban petugas pemasyarakatan:

1. Menjunjung tinggi hak-hak warga binaan pemasyarakatan.

2. Bersikap belas kasih dan tidak sekali-kali menyakiti warga binaan

pemasyarakatan.

3. Berlaku adil terhadap warga binaan pemasyarakatan.

4. Menjaga rahasia pribadi warga binaan pemasyarakatan.

5. Memperhatikan keluhan warga binaan pemasyarakatan.

6. Menjaga rasa keadilan masyarakat.

7. Menjaga kehormatan diri dan menjadi teladan dalam sikap dan prilaku.

8. Waspada dan peka terhadap kemungkinan adanya ancaman dan gangguan

keamanan.

9. Bersikap sopan tetapi tegas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

10. Menjaga keseimbangan antara kepentingan pembinaan dan keamanan.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II 13

Petugas lembaga pemasyarakatan harus memiliki pengetahuan yang

mendalam tentang seluk-beluk sistem pemasyarakatan dan terus menerus

meningkatkan kemampuan, dalam menghadapi perangai narapidana. Petugas-

petugas yang dimaksudkan dalam uraian dimuka melakukan peranan sesuai

dengan kewenangannya yang ditunjuk oleh peraturan, dan berusaha menciptakan

bentuk kerjasama yang baik untuk membantu menyelenggarakan “proses

pemasyarakatan” sedemikian rupa dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

2.4 Sistem Pemasyarakatan

2.4.1 Konsep Sistem Pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini yaitu secara konseptual

dan historis. Sangat berbeda dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan.

Pembinaan narapidana menurut sistem kepenjaraan terkesan sebagai lembaga

pembalasan atas kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku, sedangkan dalam sistem

pemasyarakatan azas yang dianut menempatkan narapidana sebagai subjek yang

dipandang sebagai pribadi dan warga negara, serta dihadapi bukan dengan latar

belakang pembalasan melainkan dengan pembinaan terarah yang kedepannya

dapat menyadarkan sipelaku kejahatan.

Dalam Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan

ditegaskan bahwa sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan narapidana agar

dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan

kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Hal ini

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II 13

menunjukan bahwa sistem pemasyarakatan sebagai pelembagaan respon

masyarakat terhadap perlakuan pelanggar hukum pada hakekatnya merupakan

pola pembinaan yang berorientasi pada masyarakat. Peran serta masyarakat harus

dipandang sebagai suatu aspek integral dari kegiatan pembinaan.

Sahardjo merupakan tokoh yang pertama kali melontarkan perlunya

perbaikkan perlakuan bagi narapidana yang hidup dibalik tembok penjara, yaitu:

“Orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya

bekal hidup sebagai warga negara, dari pengayoman itu nyata bahwa

menjatuhkan pidana bukanlah tindakkan balas dendam dari negara,

tobat tidak akan dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan

pembinaan, terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan

terpidana kehilangan kemerdekaan, negara telah mengambil

kemerdekaan seseorang dan pada waktunya akan mengembalikan orang

itu kedalam masyarakat” (Harsono, 1995:1).

Pada tanggal 15 juli 1963, pada penganugerahan gelar Doctor Hounouris

Causa dalam ilmu hukum, Sahardjo dalam pidatonya menyatakan:

a. Tujuan dari pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita

akibat dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing

terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota

masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.

b. Tujuan dari pidana penjara adalah pemasyarakatan (Muladi,

1992:104).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II 13

Dalam Konperensi Dinas Pemasyarakatan yang pertama kali pada tanggal

27 april 1964 pokok-pokok pikiran Sahardjo tersebut pada akhirnya dijabarkan

dan dirumuskan sebagai sistem pembinaan narapidana sebagai berikut:

1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan diberikan kepadanya bekal hidup

sebagai warga yang baik, yakni masyarakat Indonesia yang menuju ke tata

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila. Bekal hidup tidak

hanya berupa finansiil dan materiil, tetapi yang juga lebih adalah mental, fisik,

keahlian, keterampilan, hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan

yang potensiil dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar

hukum dan berguna dalam pembangunan negara.

2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. Terhadap

narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara

perawatan atau penempatan. Derita yang dihilangkan hanya kemerdekaannya.

3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan.

Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma

kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang

lampau. Narapidana dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk

menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.

4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat daripada

sebelum ia masuk lembaga. Karena itu harus diadakan pemisahan antara:

a. Yang residivis dan yang bukan.

b. Yang telah melakukan tindak pidana yang berat dan yang ringan.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II 13

c. Macam tindak pidana yang dibuat.

d. Sudah tua (40 tahun keatas), dewasa (25-40 tahun), remaja (18-25 tahun).

e. Orang terpidana dan orang tahanan.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus diperkenalkan

dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya. Pada waktu

mereka menjalani pidana hilang kemerdekaan adalah identik dengan

pengasingan dari masyarakat. Kini menurut sistem pemasyarakatan mereka

tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam arti secara “kultural”. Secara

bertahap mereka akan dibimbing di tengah-tengah masyarakat yang

merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan.

6. Pekerjaan diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu,

atau hanya diperuntukan kepentingan Jawatan atau kepentingan Negara

sewaktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus suatu pekerjaan di masyarakat

yang ditujukan kepada pembangunan nasional, karena harus ada integrasi

pekerjaan narapidana dengan pembangunan.

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila. Pendidikan dan

bimbingan harus berisikan asas yang tercantum didalam pancasila, kepada

narapidana harus diberi kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan

ibadahnya, ditanamkan jiwa kegotong-royongan, toleransi, kekeluargaan,

bermusyawarah untuk bermufakat positif. Narapidana harus dimanfaatkan

untuk kegiatan demi kepentingan-kepentingan bersama dan umum.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II 13

8. Tiap manusia harus diperlakukan sebagai layaknya manusia, meskipun telah

tersesat. Tidak boleh selalu ditunjukan kepada narapidana bahwa ia itu adalah

penjahat. Ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlukan sebagai

manusia. Sehubungan dengan itu petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap

maupun memakai kata-kata yang dapat menyinggung perasaannya.

9. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan. Perlu diusahakan

agar narapidana mendapat mata pencaharian untuk keluarga dengan jalan

menyediakan/memberikan pekerjaan upah. Bagi pemuda dan anak-anak

disediakan lembaga pendidikan yang diperlukan, ataupun diberi kesempatan

kemungkinan mendapatkan pendidikan diluar lembaga.

10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang sesuai

dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan dan memindahkan

lembaga-lembaga yang berada di tengah-tengah kota ke tempat-tempat yang

sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan.

Sistem yang baru ini kemudian dikenal dengan nama “Sistem

Pemasyarakatan” yang juga merupakan tujuan dari pidana penjara. Di dalam

pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem kepenjaraan karena dalam sistem

pemasyarakatan narapidana hanya dibatasi bergeraknya saja sedangkan hak-hak

kemanusiaannya tetap dihargai. Maka dengan itu dapat diuraikan bahwa usaha

pergantian dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan yang dikenal

adalah suatu pembinaan narapidana yang didasarkan Pancasila sebagai falsafah

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II 13

Bangsa Indonesia dan memandang narapidana sebagai makhluk Tuhan, sebagai

individu dan sekaligus sebagai anggota masyarakat.

Didasarkan atas pertimbangan sistem kepenjaraan sudah tidak sesuai lagi

dengan kepribadian bangsa Indonesia yang di dalam kehidupan sehari-hari selalu

berpedoman dan berlandaskan kepada falsafah Pancasila. Sistem pemasyarakatan

2.4.2 Pembinaan dalam Sistem Pemasyarakatan

Pemasyarakatan adalah sebuah proses “therapoutie” yaitu proses

pembinaan yang bertujuan membina warga binaan yang sementara tersesat

hidupnya karena kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Narapidana yang dibina

harus bisa dikembangkan rasa tanggung jawabnya untuk menyesuaikan diri

dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat agar selanjutnya

berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi.

Untuk mencapai hal ini maka dilakukanlah pembinaan secara kelompok dan

perorangan.

Bimbingan sosial kelompok bertujuan untuk meningkatkan fungsionalitas

sosial individu-individu melalui pengalaman-pengalaman kelompok yang disusun

secara sadar dan bertujuan. Kelompok digunakan sebagai target kegiatan-kegiatan

interventifnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, karena

pertimbangan bahwa penggunaan kelompok merupakan mekanisme yang lebih

baik, dan bahwa kelompok memiliki kekuatan yang apabila digali dan

dikembangkan dapat merupakan sumber penyembuhan dan pengembangan bagi

anggota-anggotanya (Harsono, 1995:70).

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II 13

Sedangkan pembinaan yang diselenggarakan secara perorangan adalah

suatu proses yang digunakan oleh badan sosial tertentu untuk membantu individu

agar dapat memecahkan masalah didalam kehidupan sosial mereka secara lebih

efektif. Definisi ini mempunyai empat bagian pokok yang menjadi unsur-unsur

yang saling berhubungan dengan yang lainnya. Titik pokok dari bimbingan

perseorangan ini adalah: seseorang (person) dengan suatu masalah (problem)

datang ke suatu tempat (place) dimana seseorang pekerja yang berwenang

menolong dia dengan suatu proses (proces) (Perlman,1991:1).

Dalam peraturan pemerintah RI No. 31 Tahun 1999 tentang pembinaan

dan pembimbingan narapidana pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan

“pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap, perilaku, profesional, kesehatan

jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan”.

Menurut Mangunhardjuna pembinaan adalah:

“suatu proses belajar dengan melepaskan hal-hal yang dimiliki dan

mempelajari hal-hal yang baru yang belum dimiliki, dengan tujuan

membantu orang yang menjalaninya untuk membetulkan dan

mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang baru untuk

mencapai tujuan hidup dan kerja yang sedang dijalani secara lebih

efektif” (Harsono, 1995:70).

Pembinaan merupakan aspek utama dalam sistem pemasyarakatan sebagai

sistem perlakuan bagi narapidana. Pembinaan tersebut yang meliputi berbagai

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II 13

upaya pembinaan/bimbingan menjadi indikator dari pelaksanaan sistem

pemasyarakatan. Pengertian akan sebab orang melanggar norma akan dapat

membantu menemukan cara yang terbaik untuk pembinaan terhadap sipelanggar

hukum atau narapidana, karena itu ada hubungan antara mencari sebab kriminal

dengan mencari sistem pembinaan yang efektif (Mardjono Reksodiputro, 1994:3).

Berdasarkan kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa pembinaan itu

adalah membina narapidana dalam usaha perbaikan terhadap tingkah laku yang

menyimpang. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan perseorangan yaitu

metode social case work: cara menolong seseorang dengan konsultasi untuk

memperbaiki hubungan sosialnya dan penyesuaian sehingga memungkinkan

mencapai kehidupan yang memuaskan dan bermanfaat.

2.4.2.1 Wujud Pembinaan

Wujud pembinaan adalah:

1. Pembinaan yang dilakukan dalam gedung lembaga pemasyarakatan yang

meliputi:

a. Pendidikan umum, pemberantasan tiga buta (buta aksara, buta angka, buta

bahasa).

b. Pendidikan keterampilan, kerajinan tangan, menjahit, dan sebagainya.

c. Pembinaan mental, spiritual dan pendidikan agama.

d. Sosial budaya, kunjungan keluarga dan lain-lain.

e. Kegiatan rekreasi, diarahkan pada pemupukan kesegaran jasmani dan

rohani melalui: olahraga, hiburan segar, membaca.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II 13

2. Pembinaan narapidana yang dilaksanakan di luar gedung lembaga

pemasyarakatan:

a. Belajar di tempat latihan kerja milik lembaga pemasyarakatan.

b. Belajar di tempat latihan kerja milik industri/dinas lain.

c. Beribadah, sembahyang di mesjid, gereja dan lain sebagainya.

d. Berolahraga bersama masyarakat.

e. Pemberian bebas bersyarat dan cuti menjelang bebas.

f. Pengurangan masa pidana/remisi.

2.4.2.2 Proses Pembinaan

Empat tahap proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan:

Tahap pertama :Pada tahap ini dilakukan penelitian terhadap narapidana

untuk mengetahui hal ikhwal yang bersangkutan.

Tahap kedua :Bilamana proses pembinaan telah berjalan selama-

lamanya sepertiga dari masa pidananya dan menurut

Dewan Pembina Pemasyarakatan sudah terdapat kemajuan

(insyaf, disiplin, patuh terhadap peraturan tata tertib),

maka yang bersangkutan ditempatkan pada Lembaga

Pemasyarakatan dengan sistem keamanan yang medium

(medium security), dengan kebebasan yang lebih banyak.

Tahap ketiga :Bilamana proses pembinaan telah berlangsung selama

setengah dari masa pidananya dan menurut Dewan

Pembina Pemasyarakatan telah terdapat cukup kemajuan,

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II 13

baik secara fisik, mental maupun keterampilannya, maka

dapat diadakan asimilasi dengan masyarakat luar.

Tahap keempat :Bilamana proses pembinaannya telah berlangsung selama

dua pertiga dari masa pidananya atau sekurang-kurangnya

sembilan bulan, maka kepada yang bersangkutan dapat

diberikan lepas bersyarat, atas usul dari Dewan Pembina

Pemasyarakatan.

Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik

pemasyarakatan di dalam kehidupan masyarakat. Untuk memperoleh asimilasi

narapidana harus telah menjalani ½ (setengah) dari masa pidana dikurangi masa

tahanan dan remisi, dihitung sejak tanggal putusan pengadilan berkekuatan hukum

tetap. Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar lembaga

pemasyarakatan. Untuk memperoleh pembebasan bersyarat narapidana harus telah

menjalani ⅔ (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan

dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap

(Harsono, 1995:31).

Cuti Menjelang Bebas (CMB) adalah proses pembinaan narapidana luar

lembaga pemasyarakatan, bagi terpidana yang tidak dapat diberikan pelepasan

bersyarat karena masa hukuman atau masa pidananya pendek, untuk dapat

diberikan CMB narapidana harus telah menjalani ⅔ (dua pertiga) dari masa

pidananya setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal

putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dan jangka waktu cuti sama dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II 13

cuti terakhir paling lama enam bulan. Remisi adalah pengurangan masa pidana

yang diberikan kepada narapidana karena telah memenuhi persyaratan yang telah

ditetapkan dan berkelakuan baik selama menjalani masa pidana.

2.4.2.3 Tujuan Pembinaan

Secara umum tujuan pembinaan adalah:

1. Memantapkan iman (ketahanan mental).

2. Membina mereka agar segera mampu berintegrasi secara wajar dalam

kehidupan kelompok selama dalam lembaga pemasyarakatan dan kehidupan

yang lebih luas (masyarakat), setelah selesai menjalani pidana.

Sedangkan secara khusus tujuan pembinaan adalah:

1. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta

bersikap optimis akan masa depannya.

2. Berhasil memperoleh pengetahuan minimal keterampilan untuk bekal hidup

mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional.

3. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum dengan tidak lagi melakukan

perbuatan yang melanggar hukum.

4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengadilan terhadap bangsa dan negara.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembinaan narapidana

berusaha kearah memasyarakatkan kembali seseorang yang pernah mengalami

konflik sosial, sebagai suatu cara baru untuk menjadi seseorang yang dapat

berguna bagi negara, hal ini merupakan usaha yang dilakukan untuk mencapai

negara yang sejahtera.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II 13

2.4.3 Sasaran Pemasyarakatan

Sasaran pemasyarakatan dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1. Sasaran khusus

Sasaran pembinaan terhadap individu warga binaan pemasyarakatan adalah

menungkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan, yang meliputi:

a. Kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

b. Kualitas intelektual.

c. Kualitas profesionalisme/keterampilan.

d. Kualitas kesehatan jasmani dan rohani.

e. Kualitas sikap dan perilaku.

2. Sasaran umum

Sasaran umum ini pada dasarnya juga merupakan indikator-indikator yang

digunakan untuk mengukur sejauh mana keberhasilan dari pelaksanaan sistem

pemasyarakatan. Indikator-indikator tersebut antara lain:

a. Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka dan gangguan

keamanan.

b. LAPAS berisi lebih rendah dari pada kapasitas (pemerataan isi LAPAS).

c. Meningkatnya secara bertahap dari tahun ke tahun jumlah narapidana yang

bebas sebelum waktunya melalui proses asimilasi dan integrasi.

d. Semakin menurunnya dari tahun ke tahun angka residivis.

e. Semakin banyaknya jenis institusi UPT pemasyarakatan sesuai dengan

kebutuhan berbagai jenis/golongan warga binaan pemasyarakatan.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II 13

f. Presentase kematian dan sakit narapidana/tahanan lebih sedikit atau sama

dengan angka kematian dan sakit dari anggota masyarakat.

g. Biaya perawatan narapidana dan tahanan sama dengan kebutuhan minimal

manusia Indonesia pada umumnya.

h. LAPAS dan RUTAN adalah instansi terbersih di lingkungan masing-

masing.

i. semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan

proyeksi nilai-nilai masyarakat ke dalam LAPAS dan sebaliknya semakin

berkurangnya nilai-nilai subkultur penjara dan LAPAS.

2.5 Konsep Kesejahteraan Sosial dan Keberfungsian Sosial

2.5.1 Konsep Kesejahteraan Sosial

Konsep “Kesejahteraan Sosial” sebagai suatu program yang terorganisir

dan sistematis yang dilengkapi dengan segala macam keterampilan ilmiah,

merupakan suatu konsep yang relatif baru berkembang, terutama di negara-negara

berkembang. Masalah-masalah kemiskinan, penyakit dan disorganisasi sosial

merupakan masalah sosial yang sudah lama ada sepanjang sejarah kehidupan

manusia. Permasalahan kesejahteraan sosial yang begitu luas dan kompleks telah

menyebabkan timbulnya beraneka pemahaman konsepsi dan usaha perwujudan

kesejahteraan sosial itu dalam masyarakat setiap negara.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak mulai berdirinya telah memikirkan

tentang peranan kesejahteraan sosial di dalam pembangunan nasional.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II 13

Kesejahteraan sosial didefinisikan sebagai “suatu kegiatan terorganisasi yang

membantu tercapainya penyesuaian timbal balik diantara perorangan dengan

lingkungannya”. Tujuan ini diwujudkan melalui penggunaan teknik-teknik dan

metode-metode untuk membantu perorangan, kelompok-kelompok dan kesatuan-

kesatuan masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka serta

memecahkan masalah-masalah penyesuaian diri mereka terhadap pola-pola

kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perubahan (dinamis), dan melalui

tindakan kerjasama untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial.

Menurut Walter A. Friedlander (1961), “Kesejahteraan Sosial” adalah

sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga yang

bertujuan mengangkat individu dan kelompok untuk mencapai standard hidup dan

kesehatan yang memuaskan, serta relasi-relasi pribadi dan sosial yang

memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan

meningkatkan kesejahteraannya selaras dengan kebutuhan keluarga dan

masyarakatnya.

Definisi diatas menjelaskan:

1. Konsep kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem yang berintikan lembaga-

lembaga dan pelayanan sosial.

2. Tujuan sistem tersebut adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang

sejahtera dalam arti tingkat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan,

kesehatan dan juga relasi-relasi sosial dengan lingkungannya.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II 13

3. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara meningkatkan “kemampuan

individu” baik dalam memecahkan masalahnya maupun dalam memenuhi

kebutuhannya (Perlman, 1991:18).

Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.6 Tahun 1974 tentang ketentuan-

ketentuan pokok kesejahteraan sosial berbunyi:

“Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan

sosial material maupun spiritual yang meliputi rasa keselamatan,

kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap

warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan

jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga

serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta

kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila”.

Definisi tersebut menjelaskan bahwa kesejahteraan sosial itu adalah

keadaan yang sebaik-baiknya yaitu pemenuhan kebutuhan manusia yang terdiri

dari aspek jasmaniah dan rohaniah. Manusia membutuhkan makanan, pakaian,

tempat tinggal, air, udara dan pemeliharaan kesehatan serta kebutuhan kerohanian.

2.5.2 Keberfungsian Sosial

Fungsi sosial yaitu pelaksanaan tugas-tugas pokok yang dilaksanakan oleh

individu dan anggota masyarakat sebagai suatu petunjuk umum kearah kehidupan

bersama manusia dan masyarakat yang berupa fungsi pengaturan, pemilikan,

pelaksanaan dan pengawasan. Kemampuan berfungsi sosial yaitu mengacu kepada

cara-cara individu atau kolektivitas (seperti keluarga, perkumpulan-perkumpulan,

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter II 13

masyarakat dan sebagainya) bertindak dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan

dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.

Keberfungsian sosial dapat dipandang dari berbagai segi, yaitu:

1. Dipandang sebagai kemampuan melaksanakan peranan sosial

Keberfungsian sosial dapat dipandang sebagai penampilan/pelaksanaan

peranan yang diharapkan sebagai anggota suatu kolektivitas.

2. Dipandang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan

Orang selalu dihadapkan untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu,

keberfungsian sosial juga mengacu kepada cara-cara yang digunakan oleh

individu maupun kolektivitas dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

3. Dipandang sebagai kemampuan untuk memecahkan permasalahan sosial

Orang dalam usahanya memenuhi kebutuhan, melaksanakan tugas-tugas

kehidupan dan mewujudkan aspirasinya tidaklah mudah. Ia dihadapkan kepada

keterbatasan, hambatan dan kesulitan serta permasalahan yang harus ditangani

dan dipecahkan.

Uraian diatas menggambarkan bahwa setiap orang selalu dihadapkan

kepada permasalahan sosial. Kemampuan seseorang di dalam mengatasi dan

memecahkan permasalahan yang dialami menunjukan kemampuannya dalam

melaksanakan keberfungsian sosial.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Chapter II 13

2.6 Kerangka Pemikiran

Penempatan para pelaku tindak pidana di lembaga pemasyarakatan

bertujuan untuk mengintegrasikan warga binaan pemasyarakatan ke dalam

masyarakat. Pemasyarakatan merupakan bagian yang paling akhir dari sistem

peradilan pidana. Sebagai sebuah tahapan yang terakhir sudah semestinya terdapat

harapan dan tujuan berupa pembinaan dari penghuni lembaga pemasyarakatan.

Pada prinsipnya di Indonesia, tujuan pemberian sanksi pidana haruslah berfungsi

untuk membina, yaitu bagaimana narapidana setelah keluar dari lembaga

pemasyarakatan menjadi baik, mempunyai keterampilan hidup yang dibutuhkan,

keseimbangan mental dan fisik pulih, dihormati segala hak dan kewajibannya

sesuai dengan harkat dan martabat manusia.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Chapter II 13

Bagan berikut menunjukan kerangka pemikiran secara skematis, yaitu:

Bagan 1

Bagan Kerangka Pemikiran

PROGRAM PEMBINAAN 1. Pendidikan umum. 2. Pendidikan keterampilan. 3. Pendidikan rohani. 4. Sosial budaya, kunjungan

keluarga. 5. Kegiatan rekreasi: olahraga,

hiburan, membaca.

NARAPIDANA WANITA KLAS IIA TANJUNG GUSTA MEDAN

RESPON POSITIF

RESPON NEGATIF

RESPON NARAPIDANA WANITA TERHADAP

PROGRAM PEMBINAAN DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN

LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Chapter II 13

2.7 Definisi Konsep dan Definisi Operasional

2.7.1 Definisi Konsep

Konsep adalah istilah, yaitu satu kata atau lebih yang menggambarkan

suatu gejala atau menyatakan suatu ide (gagasan) tertentu. Untuk lebih

mengetahui pengertian mengenai konsep-konsep yang digunakan, maka dibatasi

konsep yang akan digunakan sebagai berikut:

1. Respon yaitu pandangan, pemahaman dan persepsi terhadap objek tertentu.

2. Warga binaan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu narapidana wanita

dewasa yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di lembaga

pemasyarakatan wanita dan telah menjalani masa pidana 1 (satu) tahun.

3. Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan

narapidana/warga binaan pemasyarakatan.

4. Pembinaan yaitu semua usaha atau kegiatan yang ditujukan untuk

memperbaiki dan mengembangkan pengetahuan warga binaan.

2.7.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan cara

mengukur suatu variabel. Dalam penelitian ini variabel yang diteliti, yakni:

1. Respon warga binaan yaitu pandangan, pemahaman, dan persepsi warga

binaan lembaga pemasyarakatan terhadap pembinaan, yang diukur dari

penilaian, menyenangi atau menolak, suka atau tidak suka, mengharapkan atau

menghindari pembinaan, dengan indikatornya:

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Chapter II 13

a. Sikap warga binaan terhadap pembinaan.

b. Reaksi warga binaan terhadap pembinaan yang dapat dilihat dari

partisipasi atau keterlibatan dalam pembinaan.

2. Adapun indikator-indikator pembinaan adalah:

a. Pengetahuan narapidana terhadap jenis-jenis pembinaan:

1) Pendidikan umum.

2) Pendidikan keterampilan.

3) Pendidikan rohani.

4) Sosial budaya, kunjungan keluarga.

5) Kegiatan rekreasi: olahraga, hiburan, membaca.

b. Pemahaman narapidana terhadap tujuan pembinaan.

Membina narapidana agar dapat berintegrasi, setelah selesai menjalani

pidana kembali menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

c. Pemahaman narapidana pelaksanaan pembinaan yang dilakukan oleh

petugas lembaga pemasyarakatan dan instansi terkait.

d. Manfaat pembinaan yang diterima narapidana.

Agar seorang narapidana menyadari akan perbuatannya dan kembali

menuju masyarakat yang sejahtera.

e. Pemahaman narapidana terhadap sarana dan prasarana yang disediakan,

meliputi:

1) Ruangan/bangunan fisik.

2) Poliklinik.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Chapter II 13

3) Peralatan pendukung pembinaan.

4) Sarana hiburan, olahraga, keterampilan dan sebagainya.

5) Sarana ibadah seperti mesjid dan gereja.

Universitas Sumatera Utara