Chapter II 13

22
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Inti Sawit Kelapa sawit didasarkan atas bukti-bukti fosil, sejarah, dan linguistik yang ada, diyakini berasal dari Afrika Barat. Di tempat asalnya ini, kelapa sawit (yang pada saat yang lalu dibiarkan tumbuh liar di hutan-hutan) sejak awal telah dikenal sebagai tanaman pangan yang penting. Oleh penduduk setempat kelapa sawit telah diproses secara amat sederhana menjadi minyak dan tuak sawit. Gambar 2.1. Tanaman Kelapa Sawit Di luar benua Afrika, kelapa sawit mulai diperhitungkan sebagai tanaman komoditas (penghasil produk dagangan) sejak Revolusi Industri bergaung keras di Eropa. Saat itu, di Eropa mulai bermunculan industri atau pabrik (antara lain industri sabun dan margarin) yang membutuhkan bahan mentah/baku untuk operasionalnya. Minyak Universitas Sumatera Utara

description

cha

Transcript of Chapter II 13

Page 1: Chapter II 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Minyak Inti Sawit

Kelapa sawit didasarkan atas bukti-bukti fosil, sejarah, dan linguistik yang ada,

diyakini berasal dari Afrika Barat. Di tempat asalnya ini, kelapa sawit (yang pada saat

yang lalu dibiarkan tumbuh liar di hutan-hutan) sejak awal telah dikenal sebagai

tanaman pangan yang penting. Oleh penduduk setempat kelapa sawit telah diproses

secara amat sederhana menjadi minyak dan tuak sawit.

Gambar 2.1. Tanaman Kelapa Sawit

Di luar benua Afrika, kelapa sawit mulai diperhitungkan sebagai tanaman komoditas

(penghasil produk dagangan) sejak Revolusi Industri bergaung keras di Eropa. Saat

itu, di Eropa mulai bermunculan industri atau pabrik (antara lain industri sabun dan

margarin) yang membutuhkan bahan mentah/baku untuk operasionalnya. Minyak

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II 13

sawit dan minyak inti sawit yang bermunculan kemudian, adalah dua produk yang

dibutuhkan untuk bahan mentah/baku tersebut (Satyawibawa, 1993).

Minyak inti sawit (Palm Kernel Oil) adalah minyak yang diperoleh secara ekstraksi

pelarut dari inti kelapa sawit (Trisakti, 1996). Asam laurat merupakan komposisi asam

lemak paling besar di dalam minyak inti sawit, oleh karena itu minyak inti sawit dapat

digolongkan ke dalam minyak asam laurat. Minyak inti sawit yang baik berkadar asam

lemak bebas yang rendah dan berwarna kuning terang serta mudah dipucatkan

(Ketaren, 1986).

Gambar 2.2 Tandan Buah Kelapa Sawit

Minyak inti sawit mengandung berbagai komponen asam lemak. Komposisi

trigliserida yang mendominasi minyak inti sawit adalah trilaurin, yaitu trigliserida

dengan tiga asam laurat sebagai ester asam lemaknya. Minyak inti sawit memiliki

kandungan asam laurat yang tinggi dan kisaran titik leleh yang sempit, sedangkan

minyak sawit mentah hanya memiliki sedikit kandungan asam laurat dan kisaran titik

leleh yang luas. Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh asam palmitat (C16)

sekitar (40-46%), kandungan asam lemak tidak jenuh yaitu asam oleat (C 18:1) sekitar

(39-45%) dan asam linoleat (7-11%), sedangkan pada minyak inti sawit didominasi

oleh asam laurat (46-52%), asam miristat (14-17%) dan asam oleat (13-19%).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II 13

Kandungan asam lemak dalam kedua jenis minyak tersebut secara dapat dilihat pada

Tabel 1 :

Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit (%) Minyak Inti Sawit (%)

Asam kaprilat - 3 – 4

Asam laurat - 46 – 52

Asam miristat 1,1 – 2,5 14 – 17

Asam palmitat 40 – 46 6,5 – 9

Asam stearat 3,6 – 4,7 1 – 2,5

Asam oleat 39 – 45 13- 19

Asam linoleat 7 – 11 0,5 – 2

Tabel 2.1. Komposisi Minyak Kelapa Sawit dan Minyak Inti Kelapa

Sawit

Minyak inti sawit memiliki kemiripan sifat dan komposisi asam lemak dengan minyak

kelapa, sehingga dalam penggunaannya dapat bersifat sebagai bahan subtitusi. PKO

dan minyak kelapa sering digunakan oleh industri oleokimia sebagai bahan baku

untuk menghasilkan produk surfaktan dan emulsifier. Kandungan asam laurat yang

cukup tinggi pada minyak sawit menjadi salah satu kelebihan karena karena asam

lemak ini memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh.

Pengolahan minyak dari kelapa sawit ini akan mengalami peningkatan seiring dengan

semakin tingginya permintaan pasar dan majunya teknologi rekayasa pengolahan

minyak. Teknologi tersebut diharapkan dapat menghasilkan produk yang dapat

diaplikasikan di berbagai aspek industri pengolahan serta dapat bersaing dengan

produk minyak nabati lainnya di pasar dalam negeri maupun internasional.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II 13

2.2. Monogliserida dan Digliserida

Monogliserida adalah monoester asam lemak dari gliserol. Monogliserida merupakan

lemak yang terdiri dari suatu kepala lipofilik dan ekor hidrofilik, yang memberikan

sifat detergen. Sifat inilah yang dapat mengurangi tegangan antar muka dari sistem

minyak-air, sehingga monogliserida dapat digunakan sebagai zat pengemulsi dan

penstabil dalam industri makanan (Birkhahn et al, 1997).

Monogliserida dan digliserida adalah emulsifier anionik w/o yang umum digunakan

dalam makanan, kosmetik dan farmasi (kristensen et al, 2005). Sifat dari bahan

pengemulsi ini adalah mudah larut dengan bentuk yang bervariasi yakni cair, plastis,

maupun padat, bergantung pada proses dan bahan baku yang digunakan. Selain itu

mono- dan digliserida digunakan sebagai bahan intermediet dalam industri kimia

seperti detergen dan alkalin resin (Pantzaris, 1995). Seringkali campuran

monogliserida dan digliserida digunakan dalam aplikasi-aplikasi tersebut, dikarenakan

keduanya lebih ekonomis dan memberikan performa yang sesuai (Fregolente, 2008).

Penggunaannya dalam bahan-bahan yang dipanggang, industri permen, es krim,

margarin, selai kacang, whipped cream, suatu emulsifier dengan konsentrasi

monogliserida yang tinggi yang disebut monogliserida terdistilasi sangat penting

peranannya. Monogliserida terdiri dari beberapa jenis, salah satunya adalah gliserol

monolaurat atau monolaurin adalah senyawa multifungsi yang memiliki sifat

antimikroba . Keistimewaan dari monolaurin adalah dapat menghambat sel vegetatif

Bacillus cereus (Cotton et al, 1997). Monolaurin dapat menghambat aktivitas Listeria

monocytogenes, B. stearothermophilus dan B. cublitis (Kabara, 1983).

Gliserida dalam bentuk digliserida tidak hanya digunakan bersama-sama dengan

monogliserida sebagai emulsifier, namun juga sebagai tujuan untuk meningkatkan

nutrisi dari bahan pangan tersebut sebagai pengganti dari minyak trigliserida yang

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II 13

biasa digunakan dalam makanan. Digliserida menunjukkan pengaruh yang

menguntungkan secara luas mengenai kemampuannya untuk mengurangi berat badan

(Meng, 2006).

Dewasa ini, monogliserida diproduksi dengan sintesis kimia menggunakan gliserol,

lemak, dan suatu katalis alkali yang dicampur dan dipanaskan pada suhu hampir

250˚C. Ca(OH)2 digunakan sebagai katalis dalam produksi monogliserida untuk

industri makanan (Sonntag, 1982). Produksi ini menghasilkan yield 40-60%

monogliserida; sisanya adalah campuran digliserida dan trigliserida (Krog, 1990).

Karena digliserida tidak cukup baik digunakan sebagai emulsifier (Henry, 1995)

destilasi vakum harus digunakan untuk memperoleh jumlah monogliserida yang

tinggi, biasanya 95% (Krog, 1990). Namun proses tersebut membutuhkan penggunaan

energi yang sangat tinggi untuk sintesis kimia dan dan destilasi untuk memperoleh

produk. Temperatur yang tinggi juga mengubah warna dan rasa dari produk. Oleh

karena itu penggunaan sintesis enzimatis menggunakan lipase lebih diminati, yang

membutuhkan temperatur yang rendah dan menghasilkan produk yang lebih baik

(Berger, 1992).

2.3. Modifikasi Lemak dan Minyak yang Dikatalisis Enzim Lipase

Umumnya interesterifikasi dalam kimia secara umum memproduksi lemak dan

minyak termodifikasi. Enzim lipase dapat mengkatalisis reaksi hidrolisis trigliserida,

digliserida, dan monogliserida, dalam kondisi air berlebi, namun di bawah kondisi air

yang terbatas dapat terjadi reaksi balik yakni pembentukan ester. Interesterifikasi dan

hidrolisis yang dikatalisis enzim lipase mengikuti reaksi Ping Pong Bi Bi untuk multi

substrat. (Macata et al, 1992)

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II 13

Dalam aplikasi enzim lipase untuk modifikasi lemak dan minyak enzim lipase yang

bersifat tidak spesifik menghasilkan posisi sebaran yang sama yang dinilai kurang

efisien dari segi biaya dan peralatan untuk aplikasi ini. Spesifitas posisi 1 dan 3 dari

trigliserida disebabkan oleh ketidakmampuan dari enzim lipase untuk berikatan pada

posisi 2 dikarenakan halangan sterik mencengah jalan masuk dari asam lemak pada

posisi sn-2 terhadap sisi aktif enzim. Posisi dan spesifitas asam lemak dari enzim

lipase yang berbeda telah digunakan reaksi yang dikatalisis enzim lipase yakni

meliputi transesterifikasi, asidolisis, gliserolisis, dan esterifikasi untuk

mengembangkan kualitas lemak dan minyak.

• Transesterifikasi

Transesterifikasi yang dikatalisis oleh enzim lipase didefinisikan sebagai pergantian

dari gugus asil antara dua ester yang adalah trigliserida, walaupun juga dapat

berbentuk etil ester atau metil ester.

• Asidolisis

Asidolisis didefinisikan sebagai transfer suatu gugus asil antara asam dan ester, dan

biasanya menggabungkan asam lemak menjadi trigliserida

• Gliserolisis

Gliserolisis adalah suatu reaksi antara trigliserida dan gliserol, sedangkan esterifikasi

adalah reaksi antara gliserol dan asam lemak bebas

2.4. Gliserolisis

Gliserolisis adalah reaksi penting antara gliserol dengan minyak atau lemak untuk

memproduksi mono- dan digliserida. Reaksi gliserol akan berjalan lambat jika

dilakukan tanpa menggunakan katalis. Untuk mendapatkan konversi yang tinggi

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II 13

dengan waktu yang relatif singkat perlu adanya bantuan katalis. Reaksi dapat

dijalankan dengan adanya katalis asam maupun basa. Reaksi dengan katalis basa

biasanya lebih cepat (Kimmel, 2004).

Proses gliserolisis kimiawi dengan menggunakan metode batch atau proses kontinu.

Temperatur tinggi (berkisar antara 220-250˚C) dan katalis alkali anorganik digunakan

untuk mempercepat reaksi. Prosedur proses kontinu menghasilkan monogliserida

dengan kualitas lebih baik daripada dengan menggunakan metode batch karena proses

kontinu menggunakan pemanasan dan waktu reaksi yang singkat. Keterbatasan dalam

proses kimia meliputi bentuk warna produk yang gelap dan rasa seperti terbakar. Yield

monogliserida yang dihasilkan melalui gliserolisi kimiawi adalah 40-60% dan

membutuhkan proses destilasi molekuler yang mahal. Proses gliserolisis kimiawi tidak

relevan terhadap aplikasi untuk biologi dan nutrisi (Yamane, 1999).

Selain menggunakan katalis kimia, reaksi gliserolisis bisa juga dilakukan dengan

katalis enzim. Enzim yang sering dipakai adalah enzim lipase. Temperatur yang

digunakan reaksi gliserolisis dengan katalis enzim sekitar 30˚C. Hal ini disebabkan

katalis enzim tidak bisa bekerja atau akan mati pada suhu yang tinggi. Oleh karena

temperatur yang digunakan rendah, reaksi gliserolisis dengan katalis enzim sebagai

katalis adalah mahalnya harga enzim (Kaewthong et al, 2005).

Gliserolisis secara kimia menghasilkan yield 25-35% (McNeill, 1991). Yield

tertinggi hanya terjadi jika dalam proses di mana monogliserida dipindahkan dari

campuran reaksi. Dalam gliserolisis fase padat, temperatur reaksi dikurangi setelah

selang waktu tertentu dan monogliserida mulai menbentuk kristal secara langsung

dalam tabung pereaksi. Yield akhir dari 50-95% dihasilkan dengan metode ini. Pada

penelitian Berger dan Schneider menggunakan suatu sistem dengan reaktor dan

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II 13

tabung kristalisasi yang didinginkan, dan campuran reaksi mengalir di antara kedua

tabung. Pada akhir reaksi di dapat yield mencapai 95-98% (Berger et al, 1992).

Monogiserida yang dihasikan melalui gliserolisis secara bioteknoogi yang

telah dilakukan adalah pemanfaatan lipase terjebak lipase immobil pada pembentukan

monogliserida dari minyak zaitun. Pada reaksi enzimatis ini, pembentukan

monogliserida dilakukan dengan menggunakan fase padat penjebak mikroba agar

dapat dipisahkan kembali dari campurannya dengan hasil reaksi untuk digunakan

kembali sehingga menurunkan biaya produksi. Bahan penopang padat yang berfungsi

sebagai adsorben yang berpori adalah CaCO3, CaSO4.2H2O, Ca2P2O7, dan celite.

Mikroba yang digunakan adalah Pseudomonas sp KWI-56 lipase (PSL),

Chromobacterium Viscosum lipase (CPL) dan Pseudomonas pseudoalkali lipase

(PPL). Reaksi gliserolisis minyak zaitun secara enzimatis di atas dapat menghasilkan

90% monogliserida dengan lama reaksi 72 jam (Rosu dkk, 1997).

Reaksi gliserolisis enzimatis pada suhu rendah memiliki kelemahan karena

mengandung tiga fase, yaitu fase hidrofobik minyak, fase gliserol hidrofilik, dan fase

enzim padat. Karena enzim memiliki karakteristik hidrofilik, gliserol sering mengikat

partikel enzim dan membuat akses molekul minyak ke partikel enzim menjadi sulit.

Hal ini menyebabkan rendemen monogliserida menjadi relatif rendah dan waktu

reaksi tidak praktis dari sudut pandang industri.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II 13

Gambar 2.3. Reaksi Gliserolisis

2.5. Trigliserida

Trigliserida merupakan ester antara gliserol dengan asam lemak. Trigliserida ini

secara alami terdapat hewan dan minyak nabati. Lemak hewan sebenarnya bukan

terminologi yang tepat karena ada juga trigliserida dari hewan yang dikategorikan

sebagai minyak misalnya minyak ratif yang berasal dari jenis burung unta dan

kaswari, di samping itu trigliserida yang berasal dari ikan juga adalah kategori

minyak seperti minyak ikan.

Minyak nabati tidak semua dapat dimakan, karena minyak nabati seperti minyak jarak

dan minyak tall tidak dapat digunakan sebagai minyak makan. Minyak jarak luas

penggunaannya sebagai pelapis pelindung, bahan dasar pembuatan plastik dengan

menggubahnya terlebih dahulu menjadi asam azelat, plastisizer, pelumas dan cairan

hidrolik. Sedangkan minyak yang dapat dimakan seperti minyak kelapa, minyak

kelapa sawit, minyak inti sawit, minyak kacang kedelai dan sebagainya (Austin,

1998).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II 13

Trigliserida antara gliserol dengan asam lemak biasanya berkisar dari C4-C24 baik

yang jenuh maupun yang tidak jenuh. Asam lemak jenuh diantaranya butirat (C4),

kaprilat (C8), kaprat (C10), laurat (C12), palmitat (C16), stearat (C180) dan arakhidat

(C20); sedangkan asam lemak tak jenuh di antara oleat (C18:1), linoleat (C18:2),

linolenat (C18:3) dan sebagainya (Meyer, 1973).

Gambar 2.4. Struktur Trigliserida

Trigliserida yang tersusun dari asam lemak tidak jenuh akan berrwujud cair dan

mempunyai titik cair yang rendah, umumnya trigliserida ini terdapat pada minyak

nabati. Trigliserida yang tersusun dari asam lemak jenuh akan berwujud padat dan

mempunyai titik didih cair yang lebih tinggi, umumnya trigliserida ini terdapat pada

minyak hewani. Gliserida dalam minyak dan lemak bukan merupakan gliserida

sederhana (tiga gugus hidroksinya berikatan dengan tiga asam dari jenis yang sama

pada gliserol, tetapi merupakan gliserida campuran (Christie, 1982).

2.6. Gliserol

Gliserol adalah senyawa yang ttidak berwarna, larutan kental, tidak berbau, dengan

rasa yang sangat manis, mempunyai titik lebur 20˚C, titik did ih 290̊C (sedikit

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II 13

terdekomposisi). Dapat bercampur sempurna dengan air dan alkohol, sedikit larut

dalam eter, tidak larut dalam koroform (Austin, 1985).

Gliserol mengandung tiga gugus hidroksi yang terdiri dari dua gugus alkohol primer

dan satu gugus akohol sekunder. Atom karbon yang terdapat dalam giserol dapat

ditunjukan sebagai atam karbon α, β, dan γ.

CH2OH.CHOH.CH2OH

α β γ

Gambar 2.5. Struktur Gliserol

Gliserol juga merupakan produk sampingan dari produksi biodiesel melalui

transesterifikasi, membentuk gliserol mentah yang berwarna gelap dan kental seperti

sirup. Reaksi pembentukan gliserol melalui transesterifikasi sebagai berikut .

Gambar 2.6. Pembentukan Gliserol Melalui Reaksi Transesterifikasi

2.7. Pelarut

Penggunaan pelarut yang cocok pada sistem akan memperbaiki bercampurnya

substrat sehingga sistem akan homogen dan meningkatkan konversi substrat, waktu

reaksi, dan distribusi produk membentuk monogliserida (Damstrup et al, 2005).

Pelarut seperti n-heksan, n-heptan, dioksan, asetonitril, aseton, isooktan, 2-metil 2-

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II 13

propanol (ter-butanol), 2-metil 2-butanol (ter-pentanol), atau campuran beberapa

pelarut akan berguna untuk reaksi interesterifikasi. Tabel II menunjukkan kandungan

monogliserida setelah reaksi gliserolisis dalam berbagai pelarut :

Pelarut Kandungan Monogliserida

Tidak menggunakan pelarut 0.0 ± 0.00

Kloroform 0.0 ± 0.00

n-Heptan 1.1 ± 0.02

n-Heksan 1.4 ± 0.03

Iso-oktan 1.5 ± 0.17

Asetonitril 2.0 ± 0.07

Toluen 2.9 ± 0.20

2-Butanon 5.4 ± 0.10

Aseton 11.5 ± 0.73

Isopropanol 18.0 ± 0.31

Etanol 21.0 ± 0.18

3-Pentanon 29.4 ± 0.26

Tert-pentanol 64.9 ± 1.12

Tert-Butanol 83.6 ± 0.14

Tabel 2.2. Yield Monogliserida dengan Perbandingan Jenis Pelarut

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II 13

Sumber : Dramstrup et al (2005)

Pelarut tunggal yang dapat mengikat minyak dan gliserol dalam sistem homogen

sebenarnya sangat sulit didapatkan, terutama mengenai dampak pelarut tersebut bagi

aplikasi makanan. Pelarut hidrokarbon umumnya tidak mungkin digunakan untuk

tujuan ini, di samping bersifat toksin pelarut hidrokarbon juga jarang dipakai dalam

proses ini, dan efeknya terhadap aktivitas katalitik enzim.

Sementara itu, beberapa alkohol yang memiliki lebih dari lima atom karbon dapat

digunakan karena terdiri dari gugus –OH yang bersifat polar dan rantai karbon yang

bersifat nonpolar. Pelarut tersebut memberikan kemungkinan untuk dapat mengikat

minyak dan gliserol dalam satu sistem. Alkohol sebenarnya bersifat kompetitif

terhadap gliserol, khususnya alkohol primer. Penggunaan alkohol tersier walau

bagaimanapun adalah pertimbangan utama karena struktur alkohol tersier memiliki

hydrant sterik yang kuat untuk aktivitas enzim. Asumsi ini juga telah dikemukakan

oleh studi terdahulu dengan penggunaan alkohol tert-butanol (Rendon et al, 2001).

2.8. Enzim

Kata enzim berasal dari bahasa Yunani enzyme yang berarti di dalam sel. Willy

Kuchne (1876) mendefinisikan enzim sebagai fermen (ragi) yang bentuknya tidak

tertentu dan tidak teratur, yang dapat bekerja tanpa adanya mikroba dan dapat bekerja

di luar mikroba. Definisi tersebut berubah setelah dilakukan penelitian lanjutan oleh

Buchner pada tahun 1897. Enzim dapat diproduksi oleh mikroba atau bahan lainnya

seperti hewan dan tumbuhan. Enzim juga dapat diisolasi dalam bentuk murni

(Winarno, 1986).

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II 13

Enzim merupakan suatu protein yaitu suatu senyawa yang tersusun dari rangkaian

asam amino yang terikat satu sama lain dengan ikatan peptida. Karena merupakan

suatau protein, maka sifat yang dimiliki oleh suatu protein tentunya dimiliki oleh

enzim juga. Enzim dapat didenaturasi dan dipresipitasi dengan garam, pelarut, dan

reagen lain. Enzim merupakan senyawa protein yang dapat mengkatalisis seluruh

reaksi kimia dalam sistem biologis. Semua enzim murni yang telah diamati sampai

saat ini adalah protein. Aktivitas katalitiknya bergantung kepada integritas strukturnya

sebagai protein. Enzim dapat mempercepat reaksi biologis, dari reaksi yang sederhana,

sampai ke reaksi yang sangat rumit. Enzim bekerja dengan cara menempel pada

permukaan molekul zat-zat yang bereaksi sehingga mempercepat proses reaksi.

Percepatan reaksi terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan

sendirinya akan mempermudah terjadinya reaksi. Enzim mengikat molekul substrat

membentuk kompleks enzim substrat yang bersifat sementara dan lalu terurai

membentuk enzim bebas dan produknya (Lehninger, 1995).

E + S ES E + P

E = enzim S = substrat P= Produk

Enzim memiliki keunggulan sifat, antara lain mempunyai aktivitas yang tinggi,

efektif, spesifik dan ramah lingkungan (Lidya dan Djenar, 2000), sedangkan menurut

(Saktiwansyah, 2001), enzim memiliki sifat yang khas, yaitu sangat aktif walaupun

konsentrasinya amat rendah, sangat selektif dan bekerja pada kondisi yang ramah

(mild), yaitu tanpa temperatur atau tekanan tinggi dan tanpa logam yang umumnya

beracun. Hal inilah yang menyebabkan reaksi yang dikatalisis secara enzimatik

menjadi lebih efisien dibandingkan dengan reaksi yang dikatalisis oleh katalis kimia

(August, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II 13

Enzim mempunyai kekhususan aktivitas, yaitu peranannya sebagai katalis hanya

terhadap satu reaksi atau beberapa reaksi yang sejenis saja. Jadi dapat melibatkan

beberapa jenis substrat (Winarno, 1986). Sifat spesifik (spesifisitas enzim)

didefinisikan sebagai kemampuan suatu enzim untuk mendiskriminasikan substratnya

berdasarkan perbedaan afinitas substrat-substrat untuk mencapai sisi aktif enzim

(August, 2000). Sifat spesifinitas ini dapat dimanfaatkan untuk tujuan reaksi atau jenis

produk yang diharapkan. Sifat ini sangat menguntungkan karena tidak akan dijumpai

reaksi-reaksi samping, sehingga lebih ramah lingkungan. Berdasarkan biosintesisnya,

enzim dibedakan menjadi enzim konstitutif dan enzim induktif. Enzim konstitutif

adalah enzim yang selalu tersedia di dalam sel mikroba dalam jumlah yang relatif

konstan, sedangkan enzim induktif adalah enzim yang ada dalam jumlah sel yang

tidak tetap, tergantung pada adanya induser. Enzim induktif ini jumlahnya akan

bertambah sampai beberapa ribu kali bahkan lebih apabila dalam medium

mengandung substrat yang menginduksi terutama bila substrat penginduksi

merupakan satu-satunya sumber karbon (Lidya dan Djenar, 2000).

Berdasarkan tempat bekerjanya, enzim dapat dibedakan dalam 2 golongan, yaitu

endoenzim dan eksoenzim. Endoenzim disebut juga enzim intraseluler, dihasilkan di

dalam sel yaitu pada bagian membran sitoplasma dan melakukan metabolisme di

dalam sel. Eksoenzim (enzim ekstraseluler) merupakan enzim yang dihasilkan sel

kemudian dikeluarkan melalui dinding sel sehingga terdapat bebas dalam media yang

mengelilingi sel dan bereaksi memecah bahan organik tanpa tergantung pada sel yang

melepaskannya (Soedigdo, 1988).

1. Kemampuan katalitik

Enzim merupakan katalis yang paling efisien, bisa meningkatkan kecepatan sampai

sejuta kali lebih

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II 13

2. Spesifitas

Enzim bersifat sangat spesifik, baik jenis reaksi maupun substratnya

3. Kemampuan untuk diatur (regulasi)

Enzim tidak ikut bereaksi dengan substrata tau produknya . Aktifitas dapat dikontrol

sesuai dengan kebutuhan organismeitu sendiri. Beberapa enzim disintesis dalam

bentuk tidak aktif, dan akan diaktifkan dalam kondisi dan waktu yang sesuai,

precursor yang tidak aktif disebut zymogen.

Interaksi enzim-substrat merupakan interaksi yang lemah, khususnya ketika atom

terlibat lebih dari satu amstrong dari yang lainnya. Sehingga kesuksesan pengikatan

enzim dengan substrat memerlukan kedua molekul untuk berdekatan dengan

permukaan yang bersentuhan lebar. Hal ini memerlukan konfigurasi yang saling

berkomplemen antara substrat dengan enzim, dan hal ini menjelaskan spesifitas

kebanyakan enzim yang diberikan dalam mengkatalisis hanya satu macam reaksi

kimia (Saryono, 2011).

2.8.1. Enzim Lipase

Lipase merupakan salah satu enzim yang telah diaplikasikan pada proses proses

industri baik industri pangan maupun non pangan. Lipase dikenal sebagai lipolytic

enzyme dan didefinisikan sebagai long chain fatty acid ester hydrolase atau sebagai

any esterase capable of hydrolyzing esters of oleic acid berfungsi sebagai katalis pada

reaksi hidrolisis trigliserida dan ester selain dari asilgliserol (Ngom, 2000) dan juga

beberapa jenis lipase seperti Lipase Candida rugosa digunakan dalam reaksi

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II 13

esterifikasi dan transesterifikasi (Pandey, 1999). Lipase memisahkan lemak (glycerol

esters) di- atau monogliserida asam lemak. (Crueger et al, 1984).

Gambar 2.7. Struktur Enzim Lipase

2.8.2. Spesifisitas dan Klasifikasi Enzim Lipase

Spesifitas enzim didefinisikan sebagai ekspresi kemampuan suatu enzim untuk

membedakan substrat-substratnya berdasarkan pada perbedaan afinitas substrat dalam

berasosiasi dengan sisi aktif enzim untuk membentuk komplek enzim substrat dan

akhirnya menghasilkan produk. Sifat spesifisitas dari enzim tersebut sangat

bermanfaat untuk menghasilkan produk yang diinginkan serta dapat digunakan secara

optimal untuk tujuan reaksi.

Spesifisitas lipase terhadap substrat dapat dikelompokkan menjadi spesifisitas jenis

lipid, spesifisitas posisi, spesifisitas asam lemak, spesifisitas alkohol, dan spesifisitas

gabungan (Saktiwansyah, 2001).

1. Spesifisitas Jenis Lipid

Spesifisitas jenis lipid merupakan kemampuan suatu lipase untuk bereaksi dengan

jenis lipid tertentu. Lipase yang memiliki kemampuan ini misalnya adalah lipase

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II 13

pankreatik yang memiliki tingkat hidrolitik tinggi terhadap triasilgliserol

dibandingkan dengan diasilgliserol dan monoasilgliserol. Lipase P. cyclopium

memiliki tingkat hidrolitik yang lebih tinggi terhadap diolein dan monoolein daripada

terhadap triolein. Lipase Aspergillus oryzae mampu menghidrolisis monoasilgliserol

dan diasilgliserol, tetapi tidak pada triasilgliserol.

2. Spesifisitas Posisi

Spesifisitas posisi merupakan kemampuan lipase untuk membedakan substrat

berdasarkan posisi ikatan ester pada triasilgliserol. Perbedaan spesifisitas posisi lipase

didasarkan atas kemampuan lipase untuk menghidrolisis ikatan ester pada

triasilgliserol pada posisi primer (sn-1 dan atau sn-3) atau posisi sekunder (sn-2).

Lipase mikroorganisme yang memiliki spesifikasi posisi pada sn-1(3) adalah lipase

Mucor javanicus, R. javanicus, R. delemar, Penicillium sp., Aspergillus niger dan R.

miehei.

3. Spesifisitas Asam Lemak

Spesifisitas asam lemak merupakan kemampuan lipase untuk membedakan substrat

berdasarkan panjang rantai dan derajat kejenuhan dari asam lemak.

4. Spesifisitas Alkohol

Spesifisitas alkohol merupakan spesifisitas yang berhubungan dengan reaksi sintesis

ester, dimana dalam aktifitas esterifikasinya setiap jenis lipase memiliki perbedaan

terhadap jenis alkohol selain terhadap jenis asam lemaknya. Lipase yang berasal dari

A. niger, R. delemar, G. candidum dan P. cyclopium mampu mensintesis berbagai

jenis ester dari asam oleat dengan alkohol primer, namun hanya lipase G. candidum

yang mampu mensintesis ester asam oleat dengan alkohol sekunder

5. Spesifisitas gabungan

Spesifisitas ini merupakan gabungan dari beberapa jenis spesifisitas yang

menyebabkan suatu lipase dapat mempunyai lebih dari satu spesifisitas. Dilaporkan

bahwa lipase lipoprotein dari air susu ibu menghidrolisis triasilgliserol dengan asam

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II 13

lemak berantai sedang pada posisi sn-1. Lipase lingual pada tikus dapat

menghidrolisis triasilgliserol dengan asam lemak berantai sedang pada posisi sn-3.

Berdasarkan kemampuannya dalam mensintesis ikatan ester, lipase diklasifikasikan ke

dalam 3 golongan menurut kekhasannya (Deman, 1997), yaitu:

1. Golongan pertama adalah lipase yang tidak khas. Enzim ini tidak menunjukkan

kekhasan dari segi posisi ikatan ester dalam molekul gliserol atau sifat asam lemak.

Contoh enzim golongan ini ialah lipase dari Candida cylindracae, Corynebacterium

acnes, dan Staphylococcus aureus.

2. Golongan kedua mencakup lipase yang mempunyai kekhasan posisi untuk posisi-1

dan -3 gliserida. Hal ini umum untuk lipase mikroba dan merupakan akibat dari

ketidakmampuan ikatan ester posisi-2 untuk memasuki pusat aktif enzim (active

center) karena hambatan ruang. Lipase ini diperoleh dari Aspergillus niger, Mucor

javanicus, dan Rhizopus arrhizus.

3. Golongan lipase ketiga menunjukkan kekhasan untuk asam lemak tertentu.

Contohnya lipase dari Geothricum candidum, yang mempunyai kekhasan menonjol

untuk asam lemak rantai panjang yang mengandung ikatan rangkap dua cis pada

posisi ke 2.

2.9. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Pemisahan KLT dikembangkan oleh Ismailoff dan Schraiber pada tahun 1938.

Tekniknya menggunakan penyokong fase diam berupa lapisan tipis seprti lempeng

kaca, aluminium atau pelat inert.

Adsorben yang digunakan biasanya terdiri dari silika gel atau alumina dapat langsung

atau dicampur dengan bahan perekat misalnya kalsium sulfat untuk disalutkan

(dilapiskan) pada pelat. Pada pemisahannya, fase bergerak akan membawa komponen

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II 13

campuran sepanjang fase diam pada pelat sehingga terbentuk kromatogram.

Pemisahan yang terjadi berdasarkan adsorpsi dan partisi. Kelebihan KLT

dibandingkan kromatografi jenis lain adalah :

1. Waktu pemisahan lebih cepat

2. Sensitif, artinya meskipun jumlah cuplikan sedikit masih dapat dideteksi

3. Daya resolusi tinggi, sehingga pemisahan lebih sempurna

Penentuan harga Rf pada KLT sama dengan pada kromatografi kertas. Harga Rf dapat

digunakan untuk identifikasi kualitatif. Untuk tujuan penentuan kadar, bercak

komponen dapat dikerok lalu dilarutkan dalam pelarut yang sesuai untuk dianalisa

dengan metode lain yang tepat.

Gambar 2.8. Kromatografi Lapis Tipis

Aplikasi KLT sangat luas, termasuk dalam bidang organik dan anorganik.

Kebanyakan senyawa yang dapat dipisahkan bersifat hidrofob seperti lipida-lipida dan

hidrokarbon di mana sukar bila dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga

penting untuk pemeriksaan identitas dan kemurnian senyawa obat, kosmetika, tinta,

formulasi pewarna dan bahan pewarna (Yazid, 2005).

2.10. Kromatografi Gas

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II 13

Kromatografi gas adalah proses pemisahan campuran menjadi komponen-

komponennya dengan menggunakan gas sebagai fase bergerak yang melewati suatu

lapisan serapan (sorben) yang diam. Fase diam yang berupa zat padat yang dikenal

dengan kromatografi gas-padat (GSC) dan zat cair sebagai kromatografi gas-cair

(GLC). Keduanya hampir sama kecuali dibedakan dalam hal cara kerjanya. Pada GSC

pemisahan berdasarkan adsorpsi sedangkan GLC berdasarkan partisi. Dalam

pembicaraan kromatografi gas biasanya yang dimaksud adalag GLC.

Kromatografi gas digunakan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif terhadap cupikan

yang komponen-komponennya dapat menguap pada suhu percobaan. Keuntungan

kromatografi gas adalah waktu analisa yang singkat dan ketajaman pemisahan yang

tinggi.

Gas pembawa (biasanya digunakan helium, argon atau nitrogen) dengan tekanan

tertentu dialirkan seacara konstan melalui kolom yang berisi fase diam. Selanjutnya

sampel diinjeksikan ke dalam injektor (injector port) yang suhunya dapat diatur.

Komponen-komponen dalam sampel akan segera menjadi uap dan akan dibawa oleh

aliran gas pembawa menuju kolom. Komponen-komponen akan teradsorpsi oleh fase

diam pada kolom kemudian akan merambat dengan kecepatan berbeda sesuai dengan

nilai Kd masing-masing komponen sehingga terjadi pemisahan. Komponen yang

terpisah menuju detektor dan akan terbakar menghasilkan sinyal listrik yang besarnya

proporsional dengan komponen tersebut. Sinyal lalu diperkuat oleh amplifier dan

selanjutnya oleh pencatat (recorder) dituliskan sebagai kromatogram berupa puncak

(peak). Puncak konsentrasi yang diperoeh menggambarkan arus detector terhadap

waktu.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II 13

Gambar 2.9. Kromatografi Gas

Untuk tujuan identifikasi dan penetapan kadar dibuat kromatogram komponen zat uji

dan larutan baku (standar) lalu keduanya dibandingkan. Salah satu cara pada analisa

kualitatif adalah dengan membandingkanwaktu retensi antara kromatogram komponen

zat uji dengan larutan baku pembanding. Waktu retensi yang dihasilkan oleh masing-

masing senyawa diukur mulai saat disuntikkan atau dimasukkan ke dalam alat sampai

terjadinya respon detektor. Waktu retensi karakyteristik untuk tiap komponen dan

sebanding dengan jumlah komponen yang dikandung. Bila waktu retensi zat uji dan

baku pembanding sama berarti kedua senyawa identik. Pada analisa kuantitatif saah

satu caranya dapat dilakukan dengan membandingkan luas area puncak komponen zat

uji dengan luas area baku pembanding (Yazid, 2005).

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Bahan-Bahan

- Minyak inti sawit PT. SMART

- Gliserol p.a E’merck

- Kloroform p.a E’merck

- Silika Gel 60 G p.a E’merck

- N-heksan p.a E’merck

- Dietil eter p.a E’merck

Universitas Sumatera Utara