Chapter I
description
Transcript of Chapter I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara Umum, angka kelulusan ujian nasional untuk tingkat SMA secara
nasional tahun ini mengalami kenaikan sebesar 2,3% dari tahun sebelumnya. Data yang
dirilis Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) beberapa waktu lalu bisa jadi
menggembirakan banyak pihak. Namun di sisi lain, data tersebut justru sangat
memilukan sekaligus mengecewakan, khususnya bila mengingat upaya untuk
mendapatkan angka kelulusan dimaksud.
Data resmi dari BSNP memang mencerminkan tingkat kelulusan siswa tahun ini
yang lebih baik daripada tahun sebelumnya. Tahun lalu, tingkat kelulusan pada ujian
nasional SLTA adalah 91,3%, sedangkan tahun ini naik menjadi 93,6%. Tidak hanya itu.
Nilai rata-rata dari enam mata pelajaran yang diujikan pun mengalami kenaikan 0,03
dari 7,21 pada 2008 menjadi 7,24 pada tahun ini. Artinya, bahwa pada tahun ini semakin
banyak siswa SLTA yang dapat menjawab soal-soal dalam ujian yang diselenggarakan
secara nasional itu. Juga, semakin besar proporsi siswa kita yang kualitasnya memenuhi
standar yang ditentukan pemerintah pusat. Hal ini tentunya dianggap sebagai berita baik
bagi dunia pendidikan, namun dianggap berita baik bila kita hanya melihat dan
memberikan ukuran normatif semata. Tetapi bagaimana pula bila kita lihat upaya
maupun tahapan dan pelaksanaan untuk mendapatkan angka yang menggembirakan itu?
Nampaknya tidak ada yang bisa dibanggakan, sebab di sana-sini justru terjadi berbagai
bentuk pelanggaran. Seolah semua upaya menjadi halal demi memperoleh predikat lulus
Universitas Sumatera Utara
dalam Ujian Nasional (UN). Semua menjadi sah-sah saja sepanjang mampu
mengantarkan siswa ke pintu kelulusan. Ironisnya, berbagai bentuk pelanggaran dan
kecurangan itu tidak lagi hanya dilakukan oleh para siswa, tetapi sudah melibatkan pihak
sekolah masing-masing.
Lebih lanjut Guru Besar Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST)
Yogyakarta mengatakan, pertumbuhan lembaga pendidikan nonformal di Indonesia
relatif pesat. Catatan Ditjen Diklusepa Departemen Pendidikan Nasional tahun 2003
menyebutkan, di Indonesia terdapat 22.510 lembaga kursus, sebanyak 2.822 buah di
antaranya adalah LBB bahasa. Bandingkan dengan jumlah SMA sebanyak 7.900 buah
dan SMK 4.169 lembaga. "Sekolah harus berani membuka diri terhadap lembaga
bimbingan belajar dalam upaya meningkatkan prestasi siswa. Tujuannya supaya para
siswa lebih mampu berbicara di tingkat nasional dan internasional," tegasnya.
Munculnya kursus-kursus ketrampilan, bimbingan belajar, dan kegiatan-kegiatan
lain yang sejenis, baik yang dilakukan perorangan maupun lembaga, sebenarnya
mengindikasikan bahwa sekolah saja tidaklah sanggup untuk mewujudkan mutu
pendidikan yang kita harapkan.
Pada awalnya bimbel atau bimtes didirikan oleh sekelompok mahasiswa yang
pada umumnya berasal dari PTN (Perguruan Tinggi Negeri) terkemuka. Mereka melihat
peluang bisnis ketika musim penerimaan mahasiswa baru. Tingginya minat siswa untuk
dapat kuliah di PTN menyebabkan ketimpangan antara daya tampung PTN yang terbatas
dengan peminat yang jumlahnya jauh lebih besar. Sehingga terjadi persaingan yang
sangat ketat untuk memperoleh kursi di PTN. Akhirnya sekelompok mahasiswa tadi
membentuk kelompok belajar yang memberikan jasa untuk dapat membantu agar lulus
Universitas Sumatera Utara
Bimbingan belajar yang ada saat ini sebenarnya juga sama yakni mengantarkan
siswanya untuk dapat lulus tes/ujian baik UN, US, SPMB maupun ujian masuk
perguruan tinggi lainya. Sampai saat ini kepercayaan masayarakat pun masih tinggi
terhadap lembaga ini. Terbukti tak pernah sepinya lembaga bimbingan belajar dari
pendaftar, siswanya bahkan kini telah merambah ke Siswa SD dan SMP. Bagi siswa SD
dan SMP selain untuk meningkatkan prestasinya disekolah juga untuk mempersiapkan
UN dan seleksi masuk SMP dan SMA favorit. Lantas dimana posisi sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal? Apakah kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tidak
lebih baik dari lembaga bimbel atau bimtes. Siswa pun agaknya kurang Pede (percaya
diri) dalam menghadapi UN dan SPMB kalau belum mengikuti bimbel di luar
sekolahnya. Ironinya banyak sekolah yang mulai mejalin kerjasama dengan bimbel-
bimbel ternama untuk mengantarkan siswanya agar lulus UN.
Sebetulnya kerjasama bimbel dan sekolah tidak dapat diartikan sebagai bentuk
percaya atau tidak dipercayainya lembaga sekolah oleh masyarakat, ataupun pertanda
guru tidak melaksanakan profesinya secara profesional dan total sebagaimana yang
diungkapkan dalam tulisan tersebut. Bentuk kerjasama tersebut tidak lain adalah karena
dorongan saling membutuhkan dan saling melengkapi peranannya dari masing-masing
lembaga. Dalam pasal 13 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa “Jalur
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Tipe soal yang diberikan pun berbeda, disekolah tidak diberikan model soal
pilihan ganda kompleks dan soal sebab-akibat sedang dalam ujian SPMB ataupun ujian
masuk perguruan tinggi yang lain ada. Disekolah siswa diberi Belum lagi kurikulum
yang tidak sinkron dengan materi SPMB. Misal siswa kelas XII program IPS tidak
mendapatkan pelajaran geografi tapi dalam SPMB materinya ada dalam mata ujian
kemampuan IPS dan Disekolah tidak ada pelajaran IPS /IPA terpadu tapi di SPMB ada
mata ujiannya. Dan masih banyak hal lain yang tidak didapatkan disekolah tapi
dibutuhkan siswa dalam persiapan mengahadapi ujian SPMB atau lainya.
Dengan demikian antara lembaga sekolah dan bimbel sebetulnya merupakan
mitra yang dapat saling melengkapi fungsi dan perananya masing-masing. Karena baik
sekolah maupun bimbel sama-sama memiliki kekurangan dan keterbatasan. Dan
kehadiran bimbel justru menambah kekayaan khasanah pendidikan kita. Diakui atau
tidak berhasilnya siswa-siswi Indonesia dalam kancah pendidikan internasional melalui
olimpiade ada andil dari lembaga bimbingan belajar. Kedua-duanya memberikan bekal
yang sangat dibutuhkan siswa dalam menghadapi soal-soal ujian yang menetukan masa
depannya. Berkaitan dengan masalah ini yang perlu dilakukan pemerintah adalah upaya
untuk terus menyempurnakan sistem evaluasi yang ada baik berkaitan dengan UN
ataupun seleksi masuk perguruan tinggi agar adanya kesinambungan dalam menilai
antara proses belajar dan hasil belajar.
Universitas Sumatera Utara
Jauh-jauh hari Ki Hajar Dewantara menekankan tentang perlunya tri pusat
pendidikan-keluarga, sekolah, dan masyarakat-bersinergi dan berkolaborasi untuk
mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Mendiang Pater Drost juga mengingatkan
kita semua bahwa sekolah sebenarnya lebih banyak porsi pengajarannya daripada
pendidikannya. Karena itu keluarga menjadi pilar pertama dan utama dalam membentuk
moral dan karakter anak.
Jika dilihat dari teori pemasaran dan mekanisme pasar, hadirnya bimbingan
belajar adalah buah dari kejelian orang melihat kebutuhan murid yang tidak terpenuhi di
sekolah maupun di rumah. Yakni kebutuhan yang berkait dengan proses belajar yang
variatif dan menyenangkan, serta kebutuhan untuk memperoleh hasil belajar yang
maksimal dengan menggunakan cara-cara yang lebih simpel dan praktis.
Berdasarkan survei pada sebuah Sekolah Menengah Pertama yang tergolong
bonafit dan faforit di kota Malang. Survei tersebut berusaha menjaring data yang terkait
dengan aspek-aspek Pembinaan Menjelang UN di sekolah, dibandingkan
LBB/Bimbingan Belajar (Bimbel) yang berada di luar sekolah. Setelah diadakan survei
diperoleh data, terdapat 79,13% siswa telah mengikuti Bimbel di luar sekolah dan
20,87% belum/tidak mengikuti Bimbel. Data ini diperoleh dari seratus lima belas (115)
siswa kelas 9 yang telah mengisi angket.
Berdasarkan isian angket di atas, diketahui bahwa persentasi siswa lebih banyak
yang menyatakan Bimbel jauh lebih baik dibandingkan Pembinaan di Sekolah. Dengan
kata lain, persentasi siswa lebih sedikit yang menyatakan Pembinaan di Sekolah lebih
baik dibandingkan Bimbel. Hal di atas, berangkat dari penilaian siswa berdasarkan
aspek-aspek: kualitas (program); kompetensi guru; kecocokan/representasi materi; dan
Universitas Sumatera Utara
pengaruhnya terhadap kelulusan siswa, baik pada Pembinaan di Sekolah maupun pada
Bimbel termasuk didalamya kualitas jasa pelayanan dari lembaga bimbel.
Memang, terdapat persentasi siswa lebih banyak yang menyatakan Pembinaan di
Sekolah lebih berpengaruh pada kelulusan siswa. Namun, pendapat tersebut bukan
disebabkan oleh keyakinan siswa akan kualitas pembinaan di sekolah, kompetensi guru,
ataupun kecocokan materinya. Pendapat tersebut lebih dipengaruhi oleh keyakinan siswa
bahwa guru adalah salah satu pemegang palu kelulusan siswa, sama seperti pendapat
bahwa guru adalah salah satu penentu kenaikan kelas siswa.
Peran Bimbel ternyata tidak hanya sebagai tempat memperdalam edukasi saja,
akan tetapi dapat juga dijadikan sebagai alternatif lain untuk meminimalisir
kekhawatiran. ”Bimbel merupakan tempat pelarian dalam batas-batas dan orang-orang
tertentu, tetapi itu bukan kesimpulan signifikan. Bimbel dapat menjadi alternatif untuk
mengurangi stres,” ujar Juliani Prasetyaningrum, pakar psikologi yang juga sebagai
dosen psikologi UMS saat ditemui Pabelan Pos Senin (28/4) di ruang kerjanya. Terlebih
apabila bimbel didukung tutor yang kompeten maka fungsi edukasinya sangat optimal.
”Jika bimbel atau tutor diberikan oleh orang yang kompeten dan itu untuk membantu
memahami materi lebih optimal, ” tambahnya.diberikan oleh orang yang kompeten dan
itu untuk membantu memahami materi lebih optimal, ” tambahnya. Sementara itu, pakar
pendidikan Harun Joko Prayitno, berpendapat bahwa tidak menutup kemungkinan peran
bimbel justru akan mengebiri peran orang tua dan guru. ”Pada bimbel sebenarnya terjadi
pendangkalan materi melalui metode pembelajaran, disisi lain bimbel dapat juga
memotong proses belajar, memotong peran dan kewajiban orang tua, memotong peran
dan kewajiban guru.” ungkapnya kepada Pabelan Pos, Senin (28/4).
Universitas Sumatera Utara
Berbagai cara dilakukan baik pihak sekolah maupun siswa itu sendiri demi
mengurangi beban psikis siswa yang dirasa semakin berat Menurut Juliani
Prasetyaningrum, stres yang dialami siswa dapat diminimalisir oleh siswa itu sendiri.
”Stres dapat diminimalisir dengan memanage stres yang bersifat individual atau
personal,” ungkapnya. Menurutnya hal tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara subjek
mandalami penyebab stressor dan di deskripsikan. Kemudian subjek membayangkan hal
paling buruk yang mungkin terjadi dari rasa takutnya. Lantas subjek mencari solusi dari
hasil retrospeksi diatas. Dan solusinya itu dipersiapkan sebelum subjek menghadapi
langsung stressornya
Jika dilihat dari aspek edukasi, hadirnya bimbingan belajar sesungguhnya telah
menghadirkan banyak manfaat positif bagi anak didik.
Pertama, bimbingan belajar mengembangkan suasana kompetitif bagi para
murid. Jika mereka di sekolah, ‘lawan’ yang dihadapi berasal dari satu sekolah. Tidak
demikian halnya ketika mereka berada di bimbingan belajar. Sebagai bangsa yang harus
siap berkompetisi dalam era globalisasi, menanamkan jiwa dan sikap kompetitif sejak
dini merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi pendidikan itu adalah investasi, bukan
sebuah proses yang tiba-tiba, sehingga menanamkan nilai-nilai sejak awal menjadi
sebuah keharusan.
Kedua, bimbingan belajar menjadi alternatif tempat yang kondusif bagi
berkembangnya pola pikir dan nalar ilmiah, sesudah sekolah. Iklim yang berkembang di
tempat-tempat bimbingan belajar telah membentuk sikap mental anak untuk makin
terpelajar.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, bimbingan belajar yang pengelolaannya lebih fleksibel dibanding sekolah
memiliki akselerasi yang lebih tinggi dalam menyosialisasikan informasi-informasi
tentang perkembangan ilmu dan teknologi dalam pembelajaran.
Dalam hal pemilihan jurusan, misalnya, bimbingan belajar memiliki data yang
lengkap dan akurat tentang peta persaingan perguruan tinggi. Lewat data-data ini, para
siswa diberi arahan tentang fakultas, jurusan, atau program studi yang cocok dengan
minat dan kemampuan siswa, plus prospek lulusannya di kemudian hari.
Dengan demikian diharapkan agar jika kelak siswa yang bersangkutan telah
diterima di fakultas, jurusan, atau program studi pilihannya, ia akan lebih bersungguh-
sungguh dalam menekuni ilmu yang dia pelajari. Kalau ini terlaksana, para lulusan
perguruan tinggi tentu akan memiliki diferensiasi dan daya saing yang bisa diandalkan.
Hal-hal lain yang berkait dengan pengembangan pribadi yang juga sering
diberikan kepada para siswa, adalah manfaat keempat dari kehadiran bimbingan belajar.
Ceramah atau pelatihan semacam Achievement Motivation, Leadership, Emotional
Intelligence, Multiple Intelligence, adalah beberapa contoh materi yang sering diterima
peserta bimbingan belajar. Ketika materi-materi semacam itu diberikan kepada para
siswa, mereka mengaku bahwa rasa percaya dirinya menjadi makin meningkat. Padahal
rasa percaya diri merupakan bagian yang sangat penting untuk menjangkau prestasi yang
lebih maksimal.
Itulah beberapa manfaat yang bisa kita catat dari kehadiran bimbingan belajar.
Sehingga patut disesalkan jika ada segelintir orang yang mengatakan bahwa
diberlakukannya Ujian Nasional hanya akan menguntungkan lembaga-lembaga
bimbingan tes atau bimbingan belajar. Sebuah pernyataan yang terburu-buru dan
Universitas Sumatera Utara
mengingkari kenyataan. Sebab fakta di lapangan menunjukkan bahwa mahasiswa yang
pernah mengikuti bimbingan belajar, sebagian besar memiliki track record yang bagus
selama di perguruan tinggi. Paling tidak, itulah yang pernah disinggung Prof. Boma saat
menjelaskan tentang mekanisme penerimaan mahasiswa baru beberapa tahun silam.
Namun agaknya penyakit reaktif dan curiga lebih mewarnai alam pikiran
masyarakat kita. Berbagai upaya yang dilakukan oleh sebagian kecil komponen
masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan, sering disikapi dengan nada miring
atau sumbang. Bimbingan belajar atau pendidikan non formal pada umumnya,
sebenarnya bukan ‘musuh’ nya sekolah, bukan pula ‘musuh’ nya para guru yang
menyelenggarakan privat di rumahnya masing-masing. Kehadiran mereka, ibarat
mozaik, adalah untuk melengkapi dan memperindah suasana.
Selanjutnya, berkenaan dengan masalah pendidikan di Indonesia, disamping
keadaan rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru, pencapaian
prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika
dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends
in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada
di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari
44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development
Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia
secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development
Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111
Universitas Sumatera Utara
dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia
berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi
IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia
Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada
peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0
(Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan
dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan
penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan
soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-
Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta,
prestasi siswa SLTA kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk
Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77
universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya
mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Tingginya minat siswa-siswi sekolah formal mengikuti bimbingan belajar
merupakan simbol ketidakpercayaan siswa dan orangtua siswa terhadap proses
pembelajaran di sekolah formal. Karenanya, sekolah harus memperbaiki pelayanannya
kepada siswa untuk mengembalikan kepercayaan.
Sumatera Barat Intellectual Society (SIS) sebagai sebuah lembaga kajian
intelektual muda Sumbar mencoba mencermati fenomena ini dengan melakukan survey
Universitas Sumatera Utara
tentang budaya les dikalangan pelajar SLTA se-derajat di Kota Padang. Survey ini
adalah survey lapangan yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan realitas
lapangan secara apa adanya. Survey ditujukan pada 100 orang pelajar SLTA se-derajat
dengan teknik pengambilan sampel secara random (acak).
Hasilnya, dari total 100 orang responden, sebanyak 74 responden menjawab
pernah mengikuti les/kursus, 26 responden tidak pernah. Dari total responden yang
mengikuti les, sebanyak 32% mulai mengikuti les sejak SD, 53% responden mulai
mengikuti les sejak SLTP, dan 15% responden mulai mengikuti les sejak SLTA.
Mengenai tempat mereka mengikuti les, mayoritas responden (65%) mengikuti les di
lembaga-lembaga les/ kursus (lembaga pendidikan non-formal), 16% responden ikut les
di sekolah, 15% responden les di di rumah guru mereka, dan ada 4% responden yang
sengaja mendatangkan guru les ke rumah mereka.
Umumnya responden mengikuti les untuk mengatasi mengatasi kesulitan belajar
di sekolah dengan persentase sebesar 58%, sementara sebanyak 39% responden
menyatakan ikut les sebagai persiapan menghadapi Ujian Akhir Nasional. Disinggung
tentang besarnya biaya les mereka, sebanyak 45% responden mengaku biaya les mereka
perbulan lebih dari 100 ribu rupiah, 38% responden mengeluarkan biaya antara 50-100
ribu rupiah per bulan, dan sekitar 18% responden menyatakan biaya les mereka perbulan
dibawah 50 ribu rupiah.Ketika ditanya apakah dengan mengikuti les responden
meningkat prestasi belajar, mayoritas responden (82%) menjawab prestasinya
meningkat, hanya 18% responden yang menyatakan les tidak membantu meningkatkan
prestasi belajar mereka. Kepada mereka juga ditanyakan, seandainya mereka tidak
mengikuti les apakah mereka yakin mampu menjawab soal ulangan di sekolah?
Universitas Sumatera Utara
Sebanyak 54% responden justru yakin bisa menyelesaikan soal-soal ulangan disekolah
dengan baik meski tidak mengikuti les, sementara 43% lainnya menjawab tidak yakin
bisa menjawabnya jika tidak ikut les. Data ini melihatkan bahwa belajar bangku sekolah
saja tidak cukup membuat peserta didik percaya diri menghadapi ujian akhir (Irma T,
2009).
Masuk LBB para pelajar biasa menyebut bimbel (bimbingan belajar) memang
menjadi tren sejak pertengahan tahun 1990-an. Dari zaman sebelum tahun 1990, saat
bimbingan belajar BT/BS Bima mulai dikenal karena begitu agresif memperkenalkan
lembaganya sebagai tempat bimbingan belajar yang berhasil membawa peserta kursus
masuk ke sekolah favorit, promosi yang dilakukan memang luar biasa. Pengelola bisnis
kursus pelajaran sekolah tersebut tahu benar masalah yang satu ini. Mulai dari tidak
pede (percaya diri)-nya para orang tua terhadap pelajaran disekolah.
Benarkah peran bimbingan belajar BT/BS Bima begitu besar dalam mengasah
kemampuan anak terutama agar lolos ujian masuk sekolah favorit, bagaimana dengan
janji peserta pasti lulus tes jika ia mampu mencapai skor tertentu saat try out.
Prof Dr Soesmalijah Soewondo berkata, bohong jika mereka sampai memberikan
jaminan semacam itu. Prof Toemin secara tegas juga menyatakan tidak setuju dengan
iming-iming seperti itu. Saya tidak percaya sistem drill di bimbingan belajar, biarpun
setahun penuh akan meningkatkan kemampuan siswa sehingga sukses mengerjakan soal
ujian masuk sekolah. Kemampuan memahami persoalan tak akan terasah dengan cara
drill, baik itu yang diadakan di sekolah-sekolah tertentu (biasanya unggulan) maupun di
bimbingan belajar BT/BS Bima
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan bisnis bimbingan belajar BT/BS Bima tampaknya tak lepas dari
menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan formal. Orang tua merasa
tidak puas terhadap kemampuan yang dicapai anaknya dari belajar di sekolah. Namun
apakah dengan bimbingan belajar prestasi siswa akan lebih baik? Bimbingan belajar,
lanjut Toemin, hanya dibutuhkan oleh mereka yang malas belajar. Pada pokoknya,
belajar tak bisa dengan cara instant karena dengan belajar secara instans tak akan bisa
memahami ilmunya, karena pemahaman itu terjadi lewat proses pembelajaran secara
terus menerus.(www.kompas.com).
Dengan latar belakang bahwa dengan adanya penetapan nilai minimal kelulusan
peserta didik yang ditentukan oleh pemerintah, dengan demikian para orang tua serta
siswa merasa perlu menambah jam belajar di luar jam belajar di sekolah formal.
Salah satu sekolah favorit yang berada di wilayah Tapanuli Utara, SMU Neg.1
Tarutung, jauh-jauh hari telah berbenah diri untuk mengantisipasi dan mempersiapkan
segala sesuatunya dalam rangka kompetisi dan kompetensi seperti halnya Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) dan kegiatan olimpiade pendidikan yang tujuannya adalah
untuk meningkatkan kualitas siswa dan sekolah.
Dari hasil survei pendahuluan, penulis memperoleh gambaran bahwa sejak tahun
1999 BT/BS Bima telah bekerja sama dengan Sekolah SMU Neg.1 Tarutung dalam hal
pendidikan informal berupa bimbingan belajar (Bimbel). Dari survei tersebut diperoleh
informasi bahwa sebesar 70% siswa bimbel di BT/BS Bima berasal dari Sekolah SMU
Neg.1 Tarutung., dan ternyata jumlah siswa/I yang mendaftar tiap ajaran baru terus
mengalami peningkatan.
Universitas Sumatera Utara
Dengan asumsi adanya peningkatan jumlah dan prestasi siswa ada kaitannya
dengan kualitas lembaga pendidikan informal BT/BS Bima, Penulis ingin meneliti lebih
jauh apakah peran lembaga pendidikan informal khususnya dalam sistim pelayanan
dapat meningkatkan prestasi siswa disekolah atau tidak. Dengan demikian penulis
berminat melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Hubungan Peran Lembaga
Pendidikan Informal dengan Tingkat Kelulusan Siswa SMU (Studi Deskriptif
Peran BT/BS Bima di SMU Neg.1 Tarutung-Tapanuli Utara)”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah:
Bagaimana hubungan Peran Lembaga Pendidikan Informal BT/BS Bima sebagai
Lembaga Bimbingan Belajar dalam meningkatkan jumlah kelulusan siswa di
Sekolah SMU Neg..1 Tarutung ?
1.3. Tujuan Penelitian
Dari rumusan permasalahan yang ada diatas dapat dirumuskan tujuan penelitian
ini adalah:
Untuk mengetahui hubungan Peran Lembaga Pendidikan Informal BT/BS Bima
sebagai Lembaga Bimbingan Belajar dalam meningkatkan jumlah kelulusan
siswa di Sekolah SMU Neg.1 Tarutung
1.4. Manfaat Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Dari penelitian yang dilakukan maka penulis mengharapkan dapat dipergunakan
oleh pihak yang memerlukam antara lain :
1. Peneliti dapat mengetahui hubungan Peran Lembaga Pendidikan Informal BT/BS
Bima sebagai lembaga Bimbingan Belajar dalam meningkatkan jumlah
kelulusan siswa di Sekolah SMU Neg.1 Tarutung
2. Penelitian ini sebagai cakrawala ilmu pengetahuan penulis dalam berkarya
khasanah ilmu pengetahuan, disamping sebagai pengalaman yang dapat berguna
sebagai bekal apabila ingin berkecimpung didalam lingkungan penelitian.
1.5. Hipotesis
1. Hipotesis nihil/nol (h) yaitu hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan
antara Peran Bimbel dengan tingkat kelulusan siswa
2. Hipotesis alternatif (a) yaitu hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara
dua Peran Bimbel dengan tingkat kelulusan siswa
Universitas Sumatera Utara