Chapter I

16
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara Umum, angka kelulusan ujian nasional untuk tingkat SMA secara nasional tahun ini mengalami kenaikan sebesar 2,3% dari tahun sebelumnya. Data yang dirilis Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) beberapa waktu lalu bisa jadi menggembirakan banyak pihak. Namun di sisi lain, data tersebut justru sangat memilukan sekaligus mengecewakan, khususnya bila mengingat upaya untuk mendapatkan angka kelulusan dimaksud. Data resmi dari BSNP memang mencerminkan tingkat kelulusan siswa tahun ini yang lebih baik daripada tahun sebelumnya. Tahun lalu, tingkat kelulusan pada ujian nasional SLTA adalah 91,3%, sedangkan tahun ini naik menjadi 93,6%. Tidak hanya itu. Nilai rata-rata dari enam mata pelajaran yang diujikan pun mengalami kenaikan 0,03 dari 7,21 pada 2008 menjadi 7,24 pada tahun ini. Artinya, bahwa pada tahun ini semakin banyak siswa SLTA yang dapat menjawab soal-soal dalam ujian yang diselenggarakan secara nasional itu. Juga, semakin besar proporsi siswa kita yang kualitasnya memenuhi standar yang ditentukan pemerintah pusat. Hal ini tentunya dianggap sebagai berita baik bagi dunia pendidikan, namun dianggap berita baik bila kita hanya melihat dan memberikan ukuran normatif semata. Tetapi bagaimana pula bila kita lihat upaya maupun tahapan dan pelaksanaan untuk mendapatkan angka yang menggembirakan itu? Nampaknya tidak ada yang bisa dibanggakan, sebab di sana-sini justru terjadi berbagai bentuk pelanggaran. Seolah semua upaya menjadi halal demi memperoleh predikat lulus Universitas Sumatera Utara

description

Teori

Transcript of Chapter I

Page 1: Chapter I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara Umum, angka kelulusan ujian nasional untuk tingkat SMA secara

nasional tahun ini mengalami kenaikan sebesar 2,3% dari tahun sebelumnya. Data yang

dirilis Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) beberapa waktu lalu bisa jadi

menggembirakan banyak pihak. Namun di sisi lain, data tersebut justru sangat

memilukan sekaligus mengecewakan, khususnya bila mengingat upaya untuk

mendapatkan angka kelulusan dimaksud.

Data resmi dari BSNP memang mencerminkan tingkat kelulusan siswa tahun ini

yang lebih baik daripada tahun sebelumnya. Tahun lalu, tingkat kelulusan pada ujian

nasional SLTA adalah 91,3%, sedangkan tahun ini naik menjadi 93,6%. Tidak hanya itu.

Nilai rata-rata dari enam mata pelajaran yang diujikan pun mengalami kenaikan 0,03

dari 7,21 pada 2008 menjadi 7,24 pada tahun ini. Artinya, bahwa pada tahun ini semakin

banyak siswa SLTA yang dapat menjawab soal-soal dalam ujian yang diselenggarakan

secara nasional itu. Juga, semakin besar proporsi siswa kita yang kualitasnya memenuhi

standar yang ditentukan pemerintah pusat. Hal ini tentunya dianggap sebagai berita baik

bagi dunia pendidikan, namun dianggap berita baik bila kita hanya melihat dan

memberikan ukuran normatif semata. Tetapi bagaimana pula bila kita lihat upaya

maupun tahapan dan pelaksanaan untuk mendapatkan angka yang menggembirakan itu?

Nampaknya tidak ada yang bisa dibanggakan, sebab di sana-sini justru terjadi berbagai

bentuk pelanggaran. Seolah semua upaya menjadi halal demi memperoleh predikat lulus

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter I

dalam Ujian Nasional (UN). Semua menjadi sah-sah saja sepanjang mampu

mengantarkan siswa ke pintu kelulusan. Ironisnya, berbagai bentuk pelanggaran dan

kecurangan itu tidak lagi hanya dilakukan oleh para siswa, tetapi sudah melibatkan pihak

sekolah masing-masing.

Lebih lanjut Guru Besar Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST)

Yogyakarta mengatakan, pertumbuhan lembaga pendidikan nonformal di Indonesia

relatif pesat. Catatan Ditjen Diklusepa Departemen Pendidikan Nasional tahun 2003

menyebutkan, di Indonesia terdapat 22.510 lembaga kursus, sebanyak 2.822 buah di

antaranya adalah LBB bahasa. Bandingkan dengan jumlah SMA sebanyak 7.900 buah

dan SMK 4.169 lembaga. "Sekolah harus berani membuka diri terhadap lembaga

bimbingan belajar dalam upaya meningkatkan prestasi siswa. Tujuannya supaya para

siswa lebih mampu berbicara di tingkat nasional dan internasional," tegasnya.

Munculnya kursus-kursus ketrampilan, bimbingan belajar, dan kegiatan-kegiatan

lain yang sejenis, baik yang dilakukan perorangan maupun lembaga, sebenarnya

mengindikasikan bahwa sekolah saja tidaklah sanggup untuk mewujudkan mutu

pendidikan yang kita harapkan.

Pada awalnya bimbel atau bimtes didirikan oleh sekelompok mahasiswa yang

pada umumnya berasal dari PTN (Perguruan Tinggi Negeri) terkemuka. Mereka melihat

peluang bisnis ketika musim penerimaan mahasiswa baru. Tingginya minat siswa untuk

dapat kuliah di PTN menyebabkan ketimpangan antara daya tampung PTN yang terbatas

dengan peminat yang jumlahnya jauh lebih besar. Sehingga terjadi persaingan yang

sangat ketat untuk memperoleh kursi di PTN. Akhirnya sekelompok mahasiswa tadi

membentuk kelompok belajar yang memberikan jasa untuk dapat membantu agar lulus

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter I

Bimbingan belajar yang ada saat ini sebenarnya juga sama yakni mengantarkan

siswanya untuk dapat lulus tes/ujian baik UN, US, SPMB maupun ujian masuk

perguruan tinggi lainya. Sampai saat ini kepercayaan masayarakat pun masih tinggi

terhadap lembaga ini. Terbukti tak pernah sepinya lembaga bimbingan belajar dari

pendaftar, siswanya bahkan kini telah merambah ke Siswa SD dan SMP. Bagi siswa SD

dan SMP selain untuk meningkatkan prestasinya disekolah juga untuk mempersiapkan

UN dan seleksi masuk SMP dan SMA favorit. Lantas dimana posisi sekolah sebagai

lembaga pendidikan formal? Apakah kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tidak

lebih baik dari lembaga bimbel atau bimtes. Siswa pun agaknya kurang Pede (percaya

diri) dalam menghadapi UN dan SPMB kalau belum mengikuti bimbel di luar

sekolahnya. Ironinya banyak sekolah yang mulai mejalin kerjasama dengan bimbel-

bimbel ternama untuk mengantarkan siswanya agar lulus UN.

Sebetulnya kerjasama bimbel dan sekolah tidak dapat diartikan sebagai bentuk

percaya atau tidak dipercayainya lembaga sekolah oleh masyarakat, ataupun pertanda

guru tidak melaksanakan profesinya secara profesional dan total sebagaimana yang

diungkapkan dalam tulisan tersebut. Bentuk kerjasama tersebut tidak lain adalah karena

dorongan saling membutuhkan dan saling melengkapi peranannya dari masing-masing

lembaga. Dalam pasal 13 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa “Jalur

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter I

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter I

Tipe soal yang diberikan pun berbeda, disekolah tidak diberikan model soal

pilihan ganda kompleks dan soal sebab-akibat sedang dalam ujian SPMB ataupun ujian

masuk perguruan tinggi yang lain ada. Disekolah siswa diberi Belum lagi kurikulum

yang tidak sinkron dengan materi SPMB. Misal siswa kelas XII program IPS tidak

mendapatkan pelajaran geografi tapi dalam SPMB materinya ada dalam mata ujian

kemampuan IPS dan Disekolah tidak ada pelajaran IPS /IPA terpadu tapi di SPMB ada

mata ujiannya. Dan masih banyak hal lain yang tidak didapatkan disekolah tapi

dibutuhkan siswa dalam persiapan mengahadapi ujian SPMB atau lainya.

Dengan demikian antara lembaga sekolah dan bimbel sebetulnya merupakan

mitra yang dapat saling melengkapi fungsi dan perananya masing-masing. Karena baik

sekolah maupun bimbel sama-sama memiliki kekurangan dan keterbatasan. Dan

kehadiran bimbel justru menambah kekayaan khasanah pendidikan kita. Diakui atau

tidak berhasilnya siswa-siswi Indonesia dalam kancah pendidikan internasional melalui

olimpiade ada andil dari lembaga bimbingan belajar. Kedua-duanya memberikan bekal

yang sangat dibutuhkan siswa dalam menghadapi soal-soal ujian yang menetukan masa

depannya. Berkaitan dengan masalah ini yang perlu dilakukan pemerintah adalah upaya

untuk terus menyempurnakan sistem evaluasi yang ada baik berkaitan dengan UN

ataupun seleksi masuk perguruan tinggi agar adanya kesinambungan dalam menilai

antara proses belajar dan hasil belajar.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter I

Jauh-jauh hari Ki Hajar Dewantara menekankan tentang perlunya tri pusat

pendidikan-keluarga, sekolah, dan masyarakat-bersinergi dan berkolaborasi untuk

mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Mendiang Pater Drost juga mengingatkan

kita semua bahwa sekolah sebenarnya lebih banyak porsi pengajarannya daripada

pendidikannya. Karena itu keluarga menjadi pilar pertama dan utama dalam membentuk

moral dan karakter anak.

Jika dilihat dari teori pemasaran dan mekanisme pasar, hadirnya bimbingan

belajar adalah buah dari kejelian orang melihat kebutuhan murid yang tidak terpenuhi di

sekolah maupun di rumah. Yakni kebutuhan yang berkait dengan proses belajar yang

variatif dan menyenangkan, serta kebutuhan untuk memperoleh hasil belajar yang

maksimal dengan menggunakan cara-cara yang lebih simpel dan praktis.

Berdasarkan survei pada sebuah Sekolah Menengah Pertama yang tergolong

bonafit dan faforit di kota Malang. Survei tersebut berusaha menjaring data yang terkait

dengan aspek-aspek Pembinaan Menjelang UN di sekolah, dibandingkan

LBB/Bimbingan Belajar (Bimbel) yang berada di luar sekolah. Setelah diadakan survei

diperoleh data, terdapat 79,13% siswa telah mengikuti Bimbel di luar sekolah dan

20,87% belum/tidak mengikuti Bimbel. Data ini diperoleh dari seratus lima belas (115)

siswa kelas 9 yang telah mengisi angket.

Berdasarkan isian angket di atas, diketahui bahwa persentasi siswa lebih banyak

yang menyatakan Bimbel jauh lebih baik dibandingkan Pembinaan di Sekolah. Dengan

kata lain, persentasi siswa lebih sedikit yang menyatakan Pembinaan di Sekolah lebih

baik dibandingkan Bimbel. Hal di atas, berangkat dari penilaian siswa berdasarkan

aspek-aspek: kualitas (program); kompetensi guru; kecocokan/representasi materi; dan

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter I

pengaruhnya terhadap kelulusan siswa, baik pada Pembinaan di Sekolah maupun pada

Bimbel termasuk didalamya kualitas jasa pelayanan dari lembaga bimbel.

Memang, terdapat persentasi siswa lebih banyak yang menyatakan Pembinaan di

Sekolah lebih berpengaruh pada kelulusan siswa. Namun, pendapat tersebut bukan

disebabkan oleh keyakinan siswa akan kualitas pembinaan di sekolah, kompetensi guru,

ataupun kecocokan materinya. Pendapat tersebut lebih dipengaruhi oleh keyakinan siswa

bahwa guru adalah salah satu pemegang palu kelulusan siswa, sama seperti pendapat

bahwa guru adalah salah satu penentu kenaikan kelas siswa.

Peran Bimbel ternyata tidak hanya sebagai tempat memperdalam edukasi saja,

akan tetapi dapat juga dijadikan sebagai alternatif lain untuk meminimalisir

kekhawatiran. ”Bimbel merupakan tempat pelarian dalam batas-batas dan orang-orang

tertentu, tetapi itu bukan kesimpulan signifikan. Bimbel dapat menjadi alternatif untuk

mengurangi stres,” ujar Juliani Prasetyaningrum, pakar psikologi yang juga sebagai

dosen psikologi UMS saat ditemui Pabelan Pos Senin (28/4) di ruang kerjanya. Terlebih

apabila bimbel didukung tutor yang kompeten maka fungsi edukasinya sangat optimal.

”Jika bimbel atau tutor diberikan oleh orang yang kompeten dan itu untuk membantu

memahami materi lebih optimal, ” tambahnya.diberikan oleh orang yang kompeten dan

itu untuk membantu memahami materi lebih optimal, ” tambahnya. Sementara itu, pakar

pendidikan Harun Joko Prayitno, berpendapat bahwa tidak menutup kemungkinan peran

bimbel justru akan mengebiri peran orang tua dan guru. ”Pada bimbel sebenarnya terjadi

pendangkalan materi melalui metode pembelajaran, disisi lain bimbel dapat juga

memotong proses belajar, memotong peran dan kewajiban orang tua, memotong peran

dan kewajiban guru.” ungkapnya kepada Pabelan Pos, Senin (28/4).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter I

Berbagai cara dilakukan baik pihak sekolah maupun siswa itu sendiri demi

mengurangi beban psikis siswa yang dirasa semakin berat Menurut Juliani

Prasetyaningrum, stres yang dialami siswa dapat diminimalisir oleh siswa itu sendiri.

”Stres dapat diminimalisir dengan memanage stres yang bersifat individual atau

personal,” ungkapnya. Menurutnya hal tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara subjek

mandalami penyebab stressor dan di deskripsikan. Kemudian subjek membayangkan hal

paling buruk yang mungkin terjadi dari rasa takutnya. Lantas subjek mencari solusi dari

hasil retrospeksi diatas. Dan solusinya itu dipersiapkan sebelum subjek menghadapi

langsung stressornya

Jika dilihat dari aspek edukasi, hadirnya bimbingan belajar sesungguhnya telah

menghadirkan banyak manfaat positif bagi anak didik.

Pertama, bimbingan belajar mengembangkan suasana kompetitif bagi para

murid. Jika mereka di sekolah, ‘lawan’ yang dihadapi berasal dari satu sekolah. Tidak

demikian halnya ketika mereka berada di bimbingan belajar. Sebagai bangsa yang harus

siap berkompetisi dalam era globalisasi, menanamkan jiwa dan sikap kompetitif sejak

dini merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi pendidikan itu adalah investasi, bukan

sebuah proses yang tiba-tiba, sehingga menanamkan nilai-nilai sejak awal menjadi

sebuah keharusan.

Kedua, bimbingan belajar menjadi alternatif tempat yang kondusif bagi

berkembangnya pola pikir dan nalar ilmiah, sesudah sekolah. Iklim yang berkembang di

tempat-tempat bimbingan belajar telah membentuk sikap mental anak untuk makin

terpelajar.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter I

Ketiga, bimbingan belajar yang pengelolaannya lebih fleksibel dibanding sekolah

memiliki akselerasi yang lebih tinggi dalam menyosialisasikan informasi-informasi

tentang perkembangan ilmu dan teknologi dalam pembelajaran.

Dalam hal pemilihan jurusan, misalnya, bimbingan belajar memiliki data yang

lengkap dan akurat tentang peta persaingan perguruan tinggi. Lewat data-data ini, para

siswa diberi arahan tentang fakultas, jurusan, atau program studi yang cocok dengan

minat dan kemampuan siswa, plus prospek lulusannya di kemudian hari.

Dengan demikian diharapkan agar jika kelak siswa yang bersangkutan telah

diterima di fakultas, jurusan, atau program studi pilihannya, ia akan lebih bersungguh-

sungguh dalam menekuni ilmu yang dia pelajari. Kalau ini terlaksana, para lulusan

perguruan tinggi tentu akan memiliki diferensiasi dan daya saing yang bisa diandalkan.

Hal-hal lain yang berkait dengan pengembangan pribadi yang juga sering

diberikan kepada para siswa, adalah manfaat keempat dari kehadiran bimbingan belajar.

Ceramah atau pelatihan semacam Achievement Motivation, Leadership, Emotional

Intelligence, Multiple Intelligence, adalah beberapa contoh materi yang sering diterima

peserta bimbingan belajar. Ketika materi-materi semacam itu diberikan kepada para

siswa, mereka mengaku bahwa rasa percaya dirinya menjadi makin meningkat. Padahal

rasa percaya diri merupakan bagian yang sangat penting untuk menjangkau prestasi yang

lebih maksimal.

Itulah beberapa manfaat yang bisa kita catat dari kehadiran bimbingan belajar.

Sehingga patut disesalkan jika ada segelintir orang yang mengatakan bahwa

diberlakukannya Ujian Nasional hanya akan menguntungkan lembaga-lembaga

bimbingan tes atau bimbingan belajar. Sebuah pernyataan yang terburu-buru dan

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter I

mengingkari kenyataan. Sebab fakta di lapangan menunjukkan bahwa mahasiswa yang

pernah mengikuti bimbingan belajar, sebagian besar memiliki track record yang bagus

selama di perguruan tinggi. Paling tidak, itulah yang pernah disinggung Prof. Boma saat

menjelaskan tentang mekanisme penerimaan mahasiswa baru beberapa tahun silam.

Namun agaknya penyakit reaktif dan curiga lebih mewarnai alam pikiran

masyarakat kita. Berbagai upaya yang dilakukan oleh sebagian kecil komponen

masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan, sering disikapi dengan nada miring

atau sumbang. Bimbingan belajar atau pendidikan non formal pada umumnya,

sebenarnya bukan ‘musuh’ nya sekolah, bukan pula ‘musuh’ nya para guru yang

menyelenggarakan privat di rumahnya masing-masing. Kehadiran mereka, ibarat

mozaik, adalah untuk melengkapi dan memperindah suasana.

Selanjutnya, berkenaan dengan masalah pendidikan di Indonesia, disamping

keadaan rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru, pencapaian

prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika

dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends

in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada

di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari

44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa

Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.

Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development

Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia

secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development

Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter I

dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia

berada jauh di bawahnya.

Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi

IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia

Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada

peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0

(Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan

dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan

penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan

soal pilihan ganda.

Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-

Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta,

prestasi siswa SLTA kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk

Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77

universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya

mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

Tingginya minat siswa-siswi sekolah formal mengikuti bimbingan belajar

merupakan simbol ketidakpercayaan siswa dan orangtua siswa terhadap proses

pembelajaran di sekolah formal. Karenanya, sekolah harus memperbaiki pelayanannya

kepada siswa untuk mengembalikan kepercayaan.

Sumatera Barat Intellectual Society (SIS) sebagai sebuah lembaga kajian

intelektual muda Sumbar mencoba mencermati fenomena ini dengan melakukan survey

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter I

tentang budaya les dikalangan pelajar SLTA se-derajat di Kota Padang. Survey ini

adalah survey lapangan yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan realitas

lapangan secara apa adanya. Survey ditujukan pada 100 orang pelajar SLTA se-derajat

dengan teknik pengambilan sampel secara random (acak).

Hasilnya, dari total 100 orang responden, sebanyak 74 responden menjawab

pernah mengikuti les/kursus, 26 responden tidak pernah. Dari total responden yang

mengikuti les, sebanyak 32% mulai mengikuti les sejak SD, 53% responden mulai

mengikuti les sejak SLTP, dan 15% responden mulai mengikuti les sejak SLTA.

Mengenai tempat mereka mengikuti les, mayoritas responden (65%) mengikuti les di

lembaga-lembaga les/ kursus (lembaga pendidikan non-formal), 16% responden ikut les

di sekolah, 15% responden les di di rumah guru mereka, dan ada 4% responden yang

sengaja mendatangkan guru les ke rumah mereka.

Umumnya responden mengikuti les untuk mengatasi mengatasi kesulitan belajar

di sekolah dengan persentase sebesar 58%, sementara sebanyak 39% responden

menyatakan ikut les sebagai persiapan menghadapi Ujian Akhir Nasional. Disinggung

tentang besarnya biaya les mereka, sebanyak 45% responden mengaku biaya les mereka

perbulan lebih dari 100 ribu rupiah, 38% responden mengeluarkan biaya antara 50-100

ribu rupiah per bulan, dan sekitar 18% responden menyatakan biaya les mereka perbulan

dibawah 50 ribu rupiah.Ketika ditanya apakah dengan mengikuti les responden

meningkat prestasi belajar, mayoritas responden (82%) menjawab prestasinya

meningkat, hanya 18% responden yang menyatakan les tidak membantu meningkatkan

prestasi belajar mereka. Kepada mereka juga ditanyakan, seandainya mereka tidak

mengikuti les apakah mereka yakin mampu menjawab soal ulangan di sekolah?

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter I

Sebanyak 54% responden justru yakin bisa menyelesaikan soal-soal ulangan disekolah

dengan baik meski tidak mengikuti les, sementara 43% lainnya menjawab tidak yakin

bisa menjawabnya jika tidak ikut les. Data ini melihatkan bahwa belajar bangku sekolah

saja tidak cukup membuat peserta didik percaya diri menghadapi ujian akhir (Irma T,

2009).

Masuk LBB para pelajar biasa menyebut bimbel (bimbingan belajar) memang

menjadi tren sejak pertengahan tahun 1990-an. Dari zaman sebelum tahun 1990, saat

bimbingan belajar BT/BS Bima mulai dikenal karena begitu agresif memperkenalkan

lembaganya sebagai tempat bimbingan belajar yang berhasil membawa peserta kursus

masuk ke sekolah favorit, promosi yang dilakukan memang luar biasa. Pengelola bisnis

kursus pelajaran sekolah tersebut tahu benar masalah yang satu ini. Mulai dari tidak

pede (percaya diri)-nya para orang tua terhadap pelajaran disekolah.

Benarkah peran bimbingan belajar BT/BS Bima begitu besar dalam mengasah

kemampuan anak terutama agar lolos ujian masuk sekolah favorit, bagaimana dengan

janji peserta pasti lulus tes jika ia mampu mencapai skor tertentu saat try out.

Prof Dr Soesmalijah Soewondo berkata, bohong jika mereka sampai memberikan

jaminan semacam itu. Prof Toemin secara tegas juga menyatakan tidak setuju dengan

iming-iming seperti itu. Saya tidak percaya sistem drill di bimbingan belajar, biarpun

setahun penuh akan meningkatkan kemampuan siswa sehingga sukses mengerjakan soal

ujian masuk sekolah. Kemampuan memahami persoalan tak akan terasah dengan cara

drill, baik itu yang diadakan di sekolah-sekolah tertentu (biasanya unggulan) maupun di

bimbingan belajar BT/BS Bima

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter I

Perkembangan bisnis bimbingan belajar BT/BS Bima tampaknya tak lepas dari

menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan formal. Orang tua merasa

tidak puas terhadap kemampuan yang dicapai anaknya dari belajar di sekolah. Namun

apakah dengan bimbingan belajar prestasi siswa akan lebih baik? Bimbingan belajar,

lanjut Toemin, hanya dibutuhkan oleh mereka yang malas belajar. Pada pokoknya,

belajar tak bisa dengan cara instant karena dengan belajar secara instans tak akan bisa

memahami ilmunya, karena pemahaman itu terjadi lewat proses pembelajaran secara

terus menerus.(www.kompas.com).

Dengan latar belakang bahwa dengan adanya penetapan nilai minimal kelulusan

peserta didik yang ditentukan oleh pemerintah, dengan demikian para orang tua serta

siswa merasa perlu menambah jam belajar di luar jam belajar di sekolah formal.

Salah satu sekolah favorit yang berada di wilayah Tapanuli Utara, SMU Neg.1

Tarutung, jauh-jauh hari telah berbenah diri untuk mengantisipasi dan mempersiapkan

segala sesuatunya dalam rangka kompetisi dan kompetensi seperti halnya Manajemen

Berbasis Sekolah (MBS) dan kegiatan olimpiade pendidikan yang tujuannya adalah

untuk meningkatkan kualitas siswa dan sekolah.

Dari hasil survei pendahuluan, penulis memperoleh gambaran bahwa sejak tahun

1999 BT/BS Bima telah bekerja sama dengan Sekolah SMU Neg.1 Tarutung dalam hal

pendidikan informal berupa bimbingan belajar (Bimbel). Dari survei tersebut diperoleh

informasi bahwa sebesar 70% siswa bimbel di BT/BS Bima berasal dari Sekolah SMU

Neg.1 Tarutung., dan ternyata jumlah siswa/I yang mendaftar tiap ajaran baru terus

mengalami peningkatan.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter I

Dengan asumsi adanya peningkatan jumlah dan prestasi siswa ada kaitannya

dengan kualitas lembaga pendidikan informal BT/BS Bima, Penulis ingin meneliti lebih

jauh apakah peran lembaga pendidikan informal khususnya dalam sistim pelayanan

dapat meningkatkan prestasi siswa disekolah atau tidak. Dengan demikian penulis

berminat melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Hubungan Peran Lembaga

Pendidikan Informal dengan Tingkat Kelulusan Siswa SMU (Studi Deskriptif

Peran BT/BS Bima di SMU Neg.1 Tarutung-Tapanuli Utara)”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini adalah:

Bagaimana hubungan Peran Lembaga Pendidikan Informal BT/BS Bima sebagai

Lembaga Bimbingan Belajar dalam meningkatkan jumlah kelulusan siswa di

Sekolah SMU Neg..1 Tarutung ?

1.3. Tujuan Penelitian

Dari rumusan permasalahan yang ada diatas dapat dirumuskan tujuan penelitian

ini adalah:

Untuk mengetahui hubungan Peran Lembaga Pendidikan Informal BT/BS Bima

sebagai Lembaga Bimbingan Belajar dalam meningkatkan jumlah kelulusan

siswa di Sekolah SMU Neg.1 Tarutung

1.4. Manfaat Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter I

Dari penelitian yang dilakukan maka penulis mengharapkan dapat dipergunakan

oleh pihak yang memerlukam antara lain :

1. Peneliti dapat mengetahui hubungan Peran Lembaga Pendidikan Informal BT/BS

Bima sebagai lembaga Bimbingan Belajar dalam meningkatkan jumlah

kelulusan siswa di Sekolah SMU Neg.1 Tarutung

2. Penelitian ini sebagai cakrawala ilmu pengetahuan penulis dalam berkarya

khasanah ilmu pengetahuan, disamping sebagai pengalaman yang dapat berguna

sebagai bekal apabila ingin berkecimpung didalam lingkungan penelitian.

1.5. Hipotesis

1. Hipotesis nihil/nol (h) yaitu hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan

antara Peran Bimbel dengan tingkat kelulusan siswa

2. Hipotesis alternatif (a) yaitu hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara

dua Peran Bimbel dengan tingkat kelulusan siswa

Universitas Sumatera Utara