chapter I proposal skripsi "Hubungan Personal Hygiene Dengan Angka Kejadian Pityriasis Versicolor"

69
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sehat merupakan hak bagi setiap individu baik secara fisik maupun mental. Menurut WHO sehat adalah suatu keadaan sehat jasmani, rohani dan sosial yang merupakan aspek positif dan tidak hanya bebas dari penyakit serta kecacatan yang merupakan aspek negatif. Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dijelaskan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. 1

description

proposal skripsi gua 2015

Transcript of chapter I proposal skripsi "Hubungan Personal Hygiene Dengan Angka Kejadian Pityriasis Versicolor"

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangSehat merupakan hak bagi setiap individu baik secara fisik maupun mental. Menurut WHO sehat adalah suatu keadaan sehat jasmani, rohani dan sosial yang merupakan aspek positif dan tidak hanya bebas dari penyakit serta kecacatan yang merupakan aspek negatif. Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dijelaskan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

Kesehatan tidak terjadi serta merta melainkan ada usaha-usaha yang harus dilakukan untuk mewujudkannya. Salah satu hal yang harus diperhatikan untuk mewujudkan hidup sehat adalah personal hygiene (Sander, 2005). Personal hygiene adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan yang sangat penting untuk diperhatikan. Pemeliharaan personal hygiene diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanan dan kesehatan. Hal tersebut menjadi penting karena personal hygiene yang baik akan meminimalkan pintu masuk (port de entry) mikroorganisme yang pada akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit (Potter, 2005).

Pemeliharaan personal hygiene sangat menentukan status kesehatan, dimana individu secara sadar dan atas inisiatif pribadi menjaga kesehatan dan mencegah terjadinya penyakit. Upaya kebersihan diri ini mencakup tentang kebersihan rambut, mata, telinga, gigi, mulut, kulit, kuku, serta kebersihan dalam berpakaian (Notoatmodjo, 2003).

Salah satu upaya personal hygiene adalah merawat kebersihan kulit karena kulit berfungsi untuk melindungi permukaan tubuh, memelihara suhu tubuh dan mengeluarkan kotoran-kotoran tertentu. Mengingat kulit penting sebagai pelindung organ-organ tubuh, maka kulit perlu dijaga kesehatannya. Penyakit kulit dapat disebabkan oleh jamur, virus, kuman, parasit (Djuanda, 2007).

Penyakit yang sering timbul adalah Penyakit kulit akibat jamur superficialis contohnya Pityriasis Versicolor. Penyakit ini timbul lebih banyak di daerah dengan tingkat kelembaban yang tinggi yaitu negara-negara tropis seperti Indonesia. Dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan oleh remaja pria yang mengeluarkan banyak keringat ditambah tidak memperhatikan personal hygiene, dapat dipastikan akan menjadi faktor pemicu terinfeksinya Pityriasis Versicolor (Ashbee dan Scheynius, 2010 ).

Laporan jumlah penderita dermatomikosis superfisial khususnya pitiriasis versikolor di Indoesia belum diketahui, namun dari beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa jumlah penderita pytiriasis versicolor cukup tinggi (40%). Penyakit ini banyak ditemukan pada penduduk sosial ekonomi yang rendah dan berhubugan dengan tinggi rendahnya kebersihan perseorangan (personal hygiene). Pytiriasis versicolor dipengaruhi dengan beberapa keadaan seperti iklim tropis yang panas, banyak keringat dan lembab (Banerjee, 2011).Berdasarkan hal tersebut, santri (siswa) pondok pesantren memiliki potensi tinggi mengalami pytiriasis versicolor disebabkan oleh personal hygiene yang kurang baik. Maka dari itu penulis memilih judul Hubungan Persnal Hygiene dengan Angka Kejadian Pytiriasis Versicolor di Pondok Pesantren Daarul Huffazh.

1.2 Rumusan masalahApakah terdapat hubungan antara personal hygiene dengan angka kejadian pytiriasis versicolor pada santri di Pondok Pesantren Daarul Huffazh Pesawaran.

1.3 Tujuan penelitian1. Tujuan UmumMengetahui hubungan antara personal hygiene dengan angka kejadian pytiriasis versicolor pada santri di Pondok Pesantren Daarul Huffazh Pesawaran.

2. Tujuan Khususa. Mengetahui gambaran personal hygiene pada santri di Pondok Pesantren Daarul Huffazh Pesawaran.b. Mengetahui angka kejadia pytiriasis versicolor pada santri di Pondok Pesantren Daarul Huffazh Pesawaran.Pesawaran. 1.3 Manfaat Penelitian1. Bagi penelitiUntuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana dan menambah pengetahuan tentang pengaruh personal hygiene dengan kejadian pityriasis versicolor.

2. Bagi pondok pesantren Daarul HuffazhMenambah pengetahan bagi pengurus dan para santri tentang personal hygiene yang baik dan pengetahuan tentang pytiriasis versicolor mulai dari factor resiko, penyebab, cara penularan, pencegahan, dan pengobatan. Diharapkan setelah pengurus dan para santri mengetahui personal hygiene dan pytiriasis versicolor, mereka dapat melakukan pengobatan, pencegahan, dan memperbaiki personal hygiene.

3. Bagi peneliti lainPenelitian ini dapat dijadikan suatu penelitian dasar untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pytiriasis versicolor pada santri di pondok pesantren Daarul Huuffazh Pesawaran.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikosis superfisialMikosis superfisial merupakan penyakit jamur yang menyerang lapisan terluar kulit yang disebut stratum korneum, rambut dan kuku. Dalam perkembangannya mikosis superfisial dibagi menjadi dua kelompok: 1) dermatofitosis, disebabkan oleh jamur golongan dermatofita, dan 2) nondermatofitosis, disebabkan oleh jamur yang bukan golongan dermatofita seperti pytiriasis versicolor, otomikosis, piedra hitam, piedra putih, tinea nigra palmaris dan onikomikosis (Budimulja, 2010).

Pada daerah tropis kejadian mikosis superfisial cukup tinggi. Di Indonesia sendiri insiden mikosis superfisial belum diketahui dengan pasti, namun pada beberapa daerah seperti Denpasar mikosis superfisial menempati peringkat kedua pada gangguan kulit setelah dermatitis. Insiden tersebut diperkirakan sama pada kota-kota besar lainnya di Indonesia. Sedangkan untuk daerah pedalaman, untuk insidensi mikosis superfisial diperkirakan lebih tinggi dan lebih bervariasi dibandingkan dengan daerah perkotaan. Mikosis superfisial di Indonesia menyerang berbagai kalangan umur tanpa pandang bulu (Bramono, 2004).Data yang dikumpulkan dari berbagai rumah sakit di kota besar terutama rumah sakit pendidikan kedokteran negri. Didapatkan data insidens dermatomikosis tahun 1996, 1997 dan 1998 di berbagai rumah sakit pendidikan dokter di Indonesia yang menunjukkan angka persentase terhadap seluruh kasus dermatosis, bervariasi dari 2,93 (Semarang) yang terendah hingga 27,6 (Padang) yang tertinggi. Variasi ini dapat terjadi karena sistem pencatatan penderita yang kurang akurat atau pasien enggan berobat ke rumah sakit besar, cenderung berobat ke fasilitas pengobatan lain. Perbandingan insidens berdasarkan jenis kelamin berbeda bervariasi pada beberapa negara, dapat lebih tinggi pada pria, sama, atau lebih tinggi pada wanita (Riani, 2014).

2.2 Pytiriasis versicolorPityriasis versicolor merupakan mikosis superfisial golongan non-dermatofitosis. Pityriasis versicolor bersifat ringan kronik pada stratum korneum yang disebabkan oleh Malassezia Globosa, M restricta, dan anggota kompleks M furfur lainnya (Mitchell, 2004). Invasi pada kulit berkerain dan respon pejamu bersifat minimal. Efloresensi yang ditemukan berupa bercak berskuama halus yang berwarna puih sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut (Budimulja, 2010).2.2.1 EpidemiologiPityriasis versicolor merupakan penyakit universal dan terutama ditemukan di daerah tropis. Penyakit ini banyak ditemukan pada penduduk sosial ekonomi yang rendah dan berhubugan dengan tinggi rendahnya kebersihan perseorangan.5,8 pityriasis versicolor dipengaruhi dengan beberapa keadaan seperti iklim tropis yang panas, banyak keringat dan lembab (Partogi, 2008). Tidak ada perbedaan prevalensi pityriasis versicolor antara pria dan wanita, walaupun di Amerika Serikat dilaporkan bahwa Universitas Sumatera Utara 6 penderita pada usia 20-30 tahun dengan perbandingan 1,09% pria dan 0,6% wanita. Insiden yang akurat di Indonesia belum ada, namun diperkirakan 40-50% dari populasi di negara tropis terkena penyakit ini, sedangkan di negara subtropis yaitu Eropa tengah dan utara hanya 0,5-1% dari semua penyakit jamur (Partogi, 2008).

Pityriasis versicolor dapat mengenai semua kelompok umur mulai dari anak-anak sampai orangtua, tetapi lebih sering mengenai dewasa muda. Pada wilayah yang beriklim sedang, penyakit ini lebih sering muncul pada bulan Mei sampai September. Diduga para pekerja atau orang dengan aktifitas tinggi dengan higiene yang jelek dan keringat yang berlebihan menjadi faktor predisposisi penting timbulnya penyakit ini. Pengobatan dengan kortikosteroid sistemik dan Sindrom Cushing, diduga meningkatkan kerentanan terkena penyakit ini. Faktor predisposisi yang lain termasuk malnutrisi, tingkat kesehatan yang rendah dan kehamilan.

2.2.2EtiologiPenyebab dari pityriasis versicolor adalah jamur dimorfik, lipofilik (Lipophilic yeast) yaitu malassezia furfur yang merupakan flora normal pada permukaan kulit manusia. Pada kulit bayi sekitar 18% dan pada kulit orang dewasa sekitar 90-100%. Malassezia furfur memiliki nama lain yaitu pityrosporum orbiculae dan pytirosporum ovale, yang hanya bias dibiakkan pada media kaya asam lemak rantai C12-C14 (Haffeman dan Janik, 2008).

2.2.3 PatogenesisMalassezia furfur sebagai penyebab dari pityriasis versicolor berubah dari spora menjadi miselium disebabkan oleh faktor predisposisi yang dapat berupa endogen atau eksogen. Endogen dapat berupa defisiensi imun dan faktor lainnya, sedangkan eksogen dapat disebabkan oleh faktor suhu, kelembaban udara, keringat yang didukung oleh personal hygiene yang kurang baik (Budimulja, 2010).

Faktor endogen yaitu defisiensi imun dapat disebabkan oleh hal-hal berupa malnutrisi, dermatitis seboroik, chusing sindrom, terapi imunosupresan, hiperhidrosis dan riwayat keluarga yang positif. Faktor eksogen yang secara garis besar dipengaruhi oleh suhu dan personal hygiene menjadikan Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan kelembaban udara yang tinggi memiliki faktor resiko tinggi terhadap pityriasis versicolor (Partogi, 2008).

Pada eksperimental inokulasi malassezia dibawah oklusi dapat menyebabkan infeksi. Hasil dari eksperimen tersebu menunjukkan bahwa peningkatan kelembaban, suhu, dan kadar CO2 kemungkinan merupakan faktor penting yang membuat kulit menjadi rentan terhadap infeksi. Eksperimen tersebut juga menunjukkan bahwa saat oklusi dihentikan kemudian terjadilah proses penyembuhan namun jamur ini masih dapat dijumpai pada beberapa daerah dan dapat dikultur namun tidak menimbulkan manifestasi klinis pada daerah tersebut. Malassezia furfur dapat membentuk kolonisasi pada folikel sehingga menyebabkan angka rekurensi yang tinggi (Haffeman dan Janik, 2008).

Malassezia furfur adalah ragi yang bersifat lipofili, sehingga dalam pertumbuhannya sebagian besar spesies ini membutuhkan lipid dalam medium pertumbuhan (Mitchell, 2008). Patogenesis pityriasis versicolor adalah adanya toksin yang dilepaskan oleh malassezia furfur yang menyebabkan terhambatnya sinar matahari yang masuk kedalam lapisan kulit yang akan mengganggu proses pembentukan melanin. Selain itu adanya asam azelat yang dilepaskan oleh malassezia furfur dari asam lemak dalam sebum yang merupakan inhibitior kompetitif dari tirosinase yang juga menyebabkan terganggunya pembentukan pigmen kulit oleh melanosit. Dua hal tersebu menjadi dasar dari terjadinya efloresensi hipopigmentasi pada pityriasis versicolor (partogi, 2008).

2.2.4 Manifestasi klinisManifestasi klinis dari pityriasis versicolor dapat ditemukan terutama di badan dan bersifat sangat superfisial karna hanya menyerang stratum corneum kulit saja. Dapat pula dijumpai lesi pada lipatan aksila, inguinal, atau pada lipat paha, kulit muka dan kepala. Efloresensi yang terlihat berupa makula hipopigmentasi atau hiperpigmentasi, yang berkelok-kelok dan diskret, timbul dikulit biasanya di dada, punggung bagian atas, atau abdomen (Mitchell, 2008).

Ukuran dan bentuk lesi dangat bervariasi bergantung lama sakit dan luasnya lesi. Pada lesi baru sering dijumpai makula skuamosa folikular. Sedangkan pada lesi primer tunggal berupa makula dengan batas sangat tegas tertutup skuama halus. Warna kulit juga menyebabkan perbedaan bentuk lesi, pada kulit hitam atau coklat umumnya berwarna putting sedang pada kulit putih atau terang cenderung berwarna coklat atau kemerahan. Macula umumnya khas bulat atau oval tersebar, pada lokasi yang selalu lembab kadang batas lesi dan skuama menjadi tidak jelas (Partogi, 2008).

Penderita pityriasis versicolor biasanya mengeluhkan gatal-gatal yang menjadikan alasannya berobat. Pseudoakromia akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan akibat dari toksin dari malassezia furfur terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan pasien (Budimulja, 2010).

Pada kasus pityriasis versicolor yang lama dan tanpa pengobatan lesi dapat berbentuk polisiklik. Beberapa kasus di daerah berhawa dingin pasien dapat sembuh total tanpa meninggalkan bekas lesi berupa makula hipopigmentasi, namun pada sebagian besar kasus pengobatan pada pityriasis versicolor menyebabkan lesi meninggalkan bekas makula hipopigmentasi yang dapat hilang dalam beberapa bulan tanpa disertai skuama (Partogi, 2008).

2.2.5 DiagnosisDiagnosis pityriasis versicolor ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan flouresensi, lesi kulit dengan lampu wood, dan sediaan langsung (Budimulja, 2010). Gambaran klinis dari pityriasis versicolor berupa adanya efloresensi berupa makula hipopigmentasi, hiperpigmentasi, atau kemerahan dengan batas sangat tegas, tertup skuama halus. Pemeriksaan flouresensi dengan lampu wood akan menunjukkan adanya pendaran (flouresensi) berwarna kuning keemasan pada lesi yang bersisik. Sedangkan pada pemeriksaan sediaan langsung (uji kerok) menggunakaan larutan KOH 20% memperlihatkan kelompok sel ragi bulat berdinding tebal dengan miselium kasar, sering terputus-putus atau pendek. Specimen akan lebih mudah dilihat dengan melakukan penambahan zat warna Parker blue-black ink atau biru laktofenol. Gambaran yang ditemukan sering dilukisakan sebagai meat ball dan spaghetti (Partogi, 2008).

2.2.6 Diagnosis bandingDiagnosis banding pityriasis versicolor diambil berdasarkan jenis efloresensi berupa berupa makula hipopigmentasi diantaranya yaitu vitiligo, pitiriasis alba, morbus hansen, hipopigmentasi post inflamasi, chemical leukoderma, progressive makular hipomelanosis, dan pinta.

1. Vetiligo Vitiligo adalah suatu hipopigmentasi yang dapat bersifat progresif, sering kali ditandai dengan makula hpopigmentasi pada kulit, berbatas tegas dan asimtomatis.

Macula hipopigmentasi pada vitiligo yang khas berupa bercak putih seperti putih kapur, berdiameter beberapa mili sampai beberapa sentimeter, berbentuk bulat atau lonjong dengan tepi berbatas tegas dan kuli pada tempat tersebut normal dan tidak mempunyai skuama. Vetiligo mempunyai distribusi yang khas. Lesi teruama terdapat pada daerah yang terpajan (wajah, dada bagian atas, dorsum manus), daerah intertriginosa (aksila, lipat paha), daerah orifisium (sekitar mulut, hidung, mata, rectum), pada bagian ekstensor permukaan tulang yang menonjol (jari-jari, lutut, siku-siku). Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan sel melanosit dan reaksi dopa untuk melanosit negative. Pada pemeriksaan menggunakan lampu wood makula hipomelanotik pada vitiligo tampak putih berkilau, hal ini membedakan lesi vitiligo dengan makula hipomelanotik pada kelainan hipopigmentas lainnya (Supardiman 2005).

Patogenesis vitiligo belum dapat dijelaskan secara pasti. Terdapat 3 teori yaitu:1. Teori autoimunVitiligo merupakan penyakit autoimun karna pada tubuh penderita vitiligo dapat ditemukan autoantibody anti melanosit, yang bersifat toksik terhada melanosit atau menghambat pembentukan melanin. Hal ini disokong dengan meningkatnya insiden vitiligo pada penderita penyakit autoimun.2. Teori neurogenikTeori menyatakan bahwa mediator neurokimia seperti asetilkolin, epinefrin dan norepinefrin yang dilepaskan oleh ujung saraf perifer merupakan bahan neurotoksik yang menghancurkan melanosit atau menghambat pembentukan melanin. Bila zat-zat tersebut diproduksi berlebihan maka sel melanosit didekatnya akan rusak.3. Teori autotoksikTeori ini berdasarkan biokimia melanin dan prekursornya. Dikatakan bahwa produk antara dari biosintesis melanin adalah monofenol atau polifenol. Produksi berlebihan dari zat antara tersebut akan bersifat toksik terhadap melanosit (Achyar, 1988).

2. Pitiriasis albaPitiriasis alba sering dijumpai pada anak usia 2-16 tahun (30-4-%). Denga perbandingan wanita dan pria sama. Lesi berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya lesi berwarna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama halus diatasnya. Setelah eritema hilang lesi yang dijumpai hanya hipopgmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita datang berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna. Bercak biasanya multiple 4 sampai 20. Pada anak-anak lokasi kelainan pada wajah 50-60%, paling sering desekitar mulut, dagu, pipi serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstrimitas dan batang tubuh. Lesi umumnya asimtomatik tetapi juga dapat terasa gatal dan panas (Ortonne, 2003).

Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan melanin distratum basal dan terdapat hiperkeratosis dan parakeratosis. Kelainan ini dapat dibedakan dari vitiligo dengan adanya batas yang tidak tegas dan lesi yang tidak amelanotik serta pemerisaan menggunakan lampu wood (Achyar, 1988).

Kelaian hipopigmentasi ini apat terjadi akibat perubahan-perubahan pasca infalamasi dan eferk penghambatan sinar ultra violet oleh epidermis yang mengalami hyperkeratosis dan para keratosis (Ortonne, 2003).

Terapi pitiriasis alba kadang tidak memuaskan tetapi penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinyaseiring dengan meningkatnya usia, namun pernah dilaporkan lesi yang menetap hingga dewasa. Terapi yang dapat diberikan berupa kortikosteroid topikal. Untuk lesi pitiriasis alba yang luas dapat diberikan PUVA (Ortonne, 2003)

3. Morbus hansenMakula hipopigmnetasi yang terdapat pada penderita morbus hansen mempunyai ciri-ciri khas yaitu makula anestesi, alopesia, anhidrosis, dan atrofi. Lesi dapat satu atau banyak, berbatas tegas dengan ukuran bervariasi. Terdapat penebalan saraf perifer. Kelainan ini terjadi akibat menurunnya aktifitas melanosit. Pada pemeriksaan histopatologi jumlah melanosit dapat normal atau menurun. Terdapat melanosit dengan vakuolisasi dan mengalami atrofi serta menurunnya jumlah melanosom (Ortonne, 2003).

Patogenesis terjadnya hipomelanosis pada morbus hansen ini adalah sebagai berikut:1. Efek langsung invasi Mycobacterium Leprae ke dalam melanosit.2. Digunakan dopa sebagai substrat oleh system enzim Mycobacterium Leprae.3. Perubahan pembuluh darah yang mengakibatkan atrofi melanosit.Terapi untuk makula hipopigmentasi pada morbus hansen dapat dipertimbangkan pemberian PUVA (Ortonne, 2003).

4.Hipopigmentasi post inflamasiBerbagai proses inflamasi pada penyakit kulit dapat pula menybabkan hipopigmentasi misalnya lupus diskiod, dermatitis atopic, psoariasis, parapsoariasis gutata kronis, dan lain-lain. Predileksi dan bentuk kelain hipopigmentasi yang terjadi sesuai dengan lesi primernya. Hal ini khas pada kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesudah menderita psoariasis (Soepardiman, 2005).Hipomelanosis terjadi setelah resolusi penyakit primer dan mulai menghilang setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan terutama pada area yang terpapar sinar matahari. Patogenesis proses ini dianggap hasil dari gangguan transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit. Pada dermatitis hipopigmentasi mungkin merupakan akibat dari edema sedangkan pada psoarasis mungkin disebabkan oleh meningkatnya epidermal turnover (Ortonne, 2003).Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang berhubungan sebelumnya. Jika diagnosis belum berhasil ditegakkan maka biopsy pada lesi hipomelanosis akan menunjukkan gambaran penyakit kulit primernya (Ortonne, 2003).Terapi biasanya sesuai dengan penyakit dasarnya. Setelah proses inflamasi penyembuhan maka warna kulit asli akan perlahan kebali. Hali ini mungkin dapat dipercepat dengan paparan sinar maahari (Ortonne, 2003)

5. Chemical leukodermaChemical leukoderma adalah hipomelanosis yang dapat akibat paparan berulang bahan kimia tertentu terutama derivate phenol dan sulfhydril. Telah dilaporkan terjadi leukoderma pada pekerja yang terpajan monobenzil eter hidrokuinon (MBEH) yang digunakan sebagai antioksidan. MBEH tidak hanya ditemukan pada disenfektan dan germisida tapi jug apada tape adhesive, kontrasepsi diafragma, baju karet, kondom karet, boneka karet, sarung tangan karet, dan lain-lainnya (Partosuwiryo, 1992).Leukoderma yang diakibatkan ole MBEH dapat menyerupai vitiligo. Macula hipopigmentasi berwarna putih susu tidak hanya terjadi di tempat aplikasi tetapi juga dapat terjadi lesi satelit berupa makula hipopigmentasi gutata pada bagian tubuh lainnya yang biasanya permanen. Untuk berkembangnya leukoderma ini dapat tidak didahului erupsi iritan atau dermatitis kontak sebelumnya. Pada stadium awal leukoderma bersifat reversible jika paparan dihentikan (Ortonne, 2003).Hipomelanosis oleh karna hidrokuinin biasanya tidak berbatas tegas, tidak terjadi depigmentasi yang khas untuk dibedakan dengan vitiligo. Pada makula tidak ditemukan melanosit dan tidak ada perubahan pada epidermis dan dermis (Soepardiman, 2005).Terdapat benyak kemungkinan mekanisme terjadinya leukoderma akibat bahan kimia. Hal-hal ini mencakup inhibitor kompetitif tosinanse, hambatan oksidasi sintesis tirosinase, gangguan pada sintesis melanosom, gangguan transfer melanosom dari melanosit ke keratosit atau berkurangnya sintesis melanin ke melanosom. Sulfihidril merupakan bahan sitotoksik yang mengganggu pembentukan melanin dengan cara menghambat irosinase atan lebih mengutamakan pembentukan phaeomelanin dan metabolitnya dibandingkan melanogenesis (Ortonne, 2003).

Diagnosis dugaan chemical leukoderma dapat dibuat berdasarkan riwayat paparan ulang terhadap bahan kimia yan gtelah diketahui menyebabkan leukoderma. Chemical leukoderma harus selalu dijadikan diagnosis banding vitiligo. Namun tidak ada tes defintif atau histologis atau membedakan vitiligo dengan chemical leukoderma (Ortonne, 2003).

Chemical leukoderma bersifat irreversible jika bahan kimia tersebut tidak segera dieliminasi dengan segera. Leukoderma local dan masih pada tahap awal dapat pulih kembali dengan cara menghentikan bahan kimia yang dicurigai dan jika perlu dengan oral atau topikal PUVA.

Leukoderma yang disebabkan oleh hidrokuinin biasanya pulih secara spontan, terutama jika ditambah dengan sinar ultra violet.

6. Progressive makular hipomelanosisProgressive makular hipomelanosis (PMH) adalah suatu kondisi yang sering dijumpai di India Barat ditandai dengan makula hipopigmentasi yang menyebar cepat pada badan. Ditemukan pada usia muda terutama wanita usia 18-25 tahun. Sering disangka sebagai pitiriasis vesikolor dan pitiriasis alba (Westerhoff, 2004).Lesi berbentuk makula hipopigmentasi dengan batas tidak tegas, berskuama, berukular nummular dan dapat berkonfluen dengan predileksi dibadan bagian muka dan punggung. Patogenesis terjadinya PMH belum diketahui. Bebera hipotesa telah diajukan. Meurut Guilet dkk. kelainan ini terjadi karna campuran gen kulit hitam dan kulit putih dari orang tua penderita. Dugaan ini timbul karna kelainan inii banyak dijumpai pada ras campuran. Menurut Wiete dkk. kelainan ini diakibakan oleh Propionibacterium Acnes. Macula hipopigmentasi timbl karna P. Acnes diduga menghasilkan zat yang menghambat melanogenesis seperti mekanisme hipopigmentasi pada pitiriasis versikolor. Hal ini berdasarkan pengamatan bahwa lesi makula hipopigmentasi pada PMH memberikan fluoresensi berwarna merah dan bersifat folikular jika dilakukan pemeriksaan lampu wood. Borelli menduga kelaian ini karna genodermatosis namun tidak ada data-data yang mendukung (Westerhoff, 2004).

Gambaran mikroskopis pada lesi menunjukkan melanin sedikit berkurang. Pemerikasaan ultrastruktural menunjukkan pergeseran melanosom tipe IV ke melanosom tipe I-III yang kecil. Penemuan ini menunjukkan kelainan ini mungkin merupakan hasil dari perubahan ukuran dan distribusi dari melanosom (Westerhof, 2004).Kelainan ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan apaun tetapi dapat sembuh secara spontan dalam 3 bulan hingga 4 tahun. Wiete dkk. (2004) melakukan penelitian pengobatan dengan benzoil peroxide dan antobiotik topikal yang berfungsi untuk menekan pertumbuhan P. Acnes dan merangsang melanogenesis dengan hasil yang bagus (Westerhoff, 2005).

7. PintaPinta memiliki arti bercak berwarna dalam bahasa Spanyol, disebabkan oleh Treponema carateum. Pinta dalah satu-satunya treponematosis dengan manifestasi klinis terbatas hanya pada kulit. Seperti sifilis, pada pinta terdapat 3 stadium klinis namun berbeda dengan sifilis, pada pinta lesi dari lesi dari berbagai stadium dapat ditemukan dalam satu pasien (Sanches, 2003).Lesi primer timbul antara 3 hingga 60 hari setelah inokulasi, berupa papul eritem, satu atau lebuh. Dalam beberapa minggu berubah menjadi plak ireguler, hiperkeratotik, likenifikasi dan dapat mencapai ukuran 20 cm. lesi timbul pada daerah yang terbuka misalnya tangan, kaki, lengan, wajah, dan leher. Lesi dapat bertahan sampai bertahun-tahun atau sembuh secara spontan dengan sisa berupa hipopigmentasi (Sanches, 2003).Lesi sekunder (pintids) timbil antara 1 hingga 12 bulan kadang tahunan setelah munculnya lesi peimer, berupa papul eritem yang berkembang menjadi plak. Lesi sekunder mungkin tidak dapat dibedakan dengan lesi primer, namun biasanya lebih kecil dan tidak gatal. Bebrapa lesi dapat berbentu anlar atau sirsinar dengan batas yang meninggi dengan jumlah treponema yang ditemukan jug atinggi. Lokasi lesi dapat pada lesi primer yang pertama, atau di badan, ditelapak tangan, den kadang telapak kaki. Sejalan dengan waktu, lesi berubah menjadi colat atau kekuningan dan kadang kebiruan, abu-abu hitam. Dalam 1 plak dapat dijumpai lebih dari satu warna (Kahn, 1999 dan Sanches, 2003).Lesi tersier timbul 3 bulan sampai 10 tahun setelah lesi sekunder. Gambaran klinis utama berupa depigmentasi seperti vitiligo disertai warna coklat, biru, merah , dan ungu. Lesi memppunyai batas yang tidak teratur dan berukuran bervariasi. Macula timbul simetris pada penonjolan tulang misalnya pergelangan tangan, jari tangan, tumit, dan disekitar lesi lama. Hanya pasien dengan stadium lanjut yang bias mengalami vitiligo (vitiligo pinta) (Kahn, 1999 dan Sanches, 2003).Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan akantosis, spongosis, hyperkeratosis, degenerasi mencair sel basal. Treponema dapat ditemukan diepidermis pada stadium primer, sekunder, dan tersier tetapi tidak ditemukan treponema pada makula depigmentasi (Kahn, 1999).

2.2.7 PengobatanPityriasis versicolor dapat diterapi secara topikal maupun sistemik. Tingginya angka kekambuhan merupakan masalah, dimana mencapai 60% pada tahun pertama dan 80% setelah tahun kedua. Oleh sebab itu diperlukan terapi profilaksis untuk mencegah rekurensi (Faegemann, 1990).1. Pengobatan topikalPengobatan topikal harus dilakukan secara menyeluruh, tekun, dan konsisten. Beberapa obat topikal yang digunakan ialah sebagai berikut: Selenium sulfide 1,8% dalam bentuk shampoo 2-3 kali seminggu. Obat dioleskan dan digosok pada lesi dan didiamkan selama 15-30 menit sebelum mandi. Salisil spiritus 10%. Turunan azol seperti misalnya mikonazol, klotrimazol, isokanazol, san ekanazol dalam bentuk topikal. Sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%. Larutan Tiosulfas natrikus 25%, dioleskan sehari 2 kali sehabis mandi selama 2 minggu (Daili, 2005).2. Pengobatan sistemikPengobatan sistemik diberikan pada kasus Pityriasis versicolor yang luas atau jika pemakaian obat topikal tidak berhasil. Obat yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: Ketokonazol dosis 200 mg/hari selama 10 hari. Itrakonazol diosis 200 mg/hari selama 5-7 hari, disarankan untuk kasus kambuh atau tidak responsive dengan terapi lainnya (Weeks, 2003). 2.2.8 PencegahanUntuk pencegahan dapat disarankan pemakaian 50% propilen glikol dalam air atau sistemik ketokonazol 400 mg/hari sekali sebulan (Radiono, 2001).

Pada daerah endemik untuk pencegahan penyakit dapat disarankan pemakaian ketokonazol 200 mg/hari selama 3 hari setiap bulan atau itrakonazol 200 mg sekali sebulan atau pemakaian sampo selenium sulfide sekali seminggu (Radiono, 2001 & Partogi, 2008).

2.2.9 PrognosisPengobatan baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun, dan konsisten. Pengobatan harus terus dilakukan setelah 2 minggu flouresensi negative dengan pemeriksaan lampu wood dan sediaan langsung negative (Faegemann, 1990).

Jamur penyebab pityriasis versicolor merupakan bagian dari flora normal dan kadang-kadang tertinggal dalam folikel rambut. Hal ini yang mengakibatkan angka rekurensi yang tinggi sehingga diperlukan pengobatan profilaksis untuk mencegah kekambuhan.

Masalah lain adalah menetapnya hipopigmentasi dan diperlukan waktu yang cukup lama untuk repigmentasi. Namun gal tersebut bukan akibat dari kegagalan terapi, sehingga penting untuk memberikan informasi kepada pasien bahwawa bercak putih tersebut dapat menetap selama bebrapa bulan setelah terapi dan akan menghilang secara perlahan (Budimulja, 2010).

2.3 Personal hygienePersonal hygiene dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan. Kebersihan perorangan sangat penting untuk diperhatikan. Pemeliharaan kebersihan perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanan dan kesehatan (Potter, 2005).

Penilaian terhadap suatu individu dengan personal hygiene yang baik apabila, orang tersebut dapat menjaga kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit, tangan dan kuku,dan kebersihan genitalia (Frenki, 2011).

Personal hygiene menjadi penting karena personal hygiene yang baik akan meminimalkan pintu masuk (port de entry) mikroorganisme yang pada akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit. Personal hygiene merupakan perawatan diri dimana seseorang merawat fungsi-fungsi tertentu seperti mandi dan kebersihan tubuh secara umum. Kebersihan diri diperlukan untuk kenyamanan, keamanan dan kesehatan seseorang. Kebersihan diri merupakan langkah awal mewujudkan kesehatan diri. Dengan tubuh yang bersih meminimalkan risiko seseorang terhadap kemungkinan terjangkitnya suatu penyakit terutama penyakit yang berhubungan dengan kebersihan diri yang tidak baik. Personal hygiene yang tidak baik akan mempermudah tubuh terserang berbagai penyakit seperti penyakit kulit, penyakit infeksi, penyakit mulut dan penyakit saluran cerna (Listautin, 2012).

Usaha kesehatan pribadi adalah daya upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri (Entjang, 2000). Menurut Listautin (2012), menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara personal hygiene diantaranya kebersihan kulit, tangan dan kuku terhadap keluhan kesehatan.

a. Kebersihan kulitKulit merupakan organ terbesar manusia, kulit berfungsi untuk melindungi jaringan dibawahnya dari cidera, mengatur suhu, menghasilkan minyak, mentransmisikan sensasi melalui reseptor saraf, menghasilkan dan mengabsorpsi vitamin D (Listautin 2012). Kulit sebagai organ yang berfungsi sebagai proteksi, kulit memegang peranan penting dalam meminimalkan setiap gangguan dan ancaman yang masuk melewati kulit (Isroin dan Andarmayo, 2012).

Sabun dan air merupakan hal yang penting untuk mempertahankan kebersihan kulit. Hal-hal yang harus dilakukan untuk menjaga kebersihan diri adalah sebagai berikut:1. Membersihkan tubuh dengan menggunakan air bersih.2. Mandi dilakukan oleh setiap orang setidaknya minimal 2 kali dalam sehari .3. Mandi dengan menggunakan sabun.4. Menjaga kebersihan pakaian dengan mengganti pakaian setiap hari 5. Makan-makanan yang bergizi terutama sayur dan buah 6. Menjaga kebersihan lingkungan.Sedangkan kriteria mandi yang baik adalah : 1. Mandi satu sampai dua kali sehari, khususnya di daerah tropis. 2. Bagi yang terlibat dalam kegiatan olah raga atau pekerjaan lain yang mengeluarkan banyak keringat dianjurkan untuk segera mandi setelah selesai kegiatan tersebut. 3. Gunakan sabun yang lembut. Germisidal atau sabun antiseptic tidak dianjurkan untuk mandi sehari-hari. 4. Bersihkan anus dan genitalia dengan baik karena pada kondisi tidak bersih, sekresi normal dari anus dan genitalia akan menyebabkan iritasi dan infeksi. 5. Bersihkan badan dari sabun dengan air lalu keringkan dengan handuk yang kering dan tidak dipakai oleh orang lain (Web Health Center, 2012).Menurut penelitian Sajida (2012) terdapat hubungan yang bermakna antara kebersihan kulit dengan keluhan penyakit kulit.

b. Kebersihan tangan, kaki, dan kukuIndonesia adalah negara yang sebagian besar masyarakatnya menggunakan tangan untuk makan, mempersiapkan makanan, bekerja dan lain sebagainya. Oleh karena itu, butuh perhatian ekstra untuk kebersihan tangan dan kuku sebelum dan sesudah beraktivitas. 1. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan, setelah ke kamar mandi dengan menggunakan sabun. Mencuci dengan menggunakan sabun harus meliputi area antara jari tangan, kuku dan punggung tangan.2. Handuk yang digunakan untuk mengeringkan tangan sebaiknya dicuci dan diganti setiap hari. 3. Pelihara kuku agar tetap pendek, jangan memotong kuku terlalu pendek sehingga bisa mengenai kulit (Web Health Center, 2012).

Begitu pula menjaga kebersihan tangan, kaki dan kuku yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut : 1. Hindari penggunaan sepatu yang sempit 2. Hindari penggunaan kaos kaki yang sempit, sudah lama dan kotor3. Memotong kuku jari tangan dan kaki secara teratur

c. Kebersihan rambutPenampilan dan kesejahteraan seseorang seringkali tergantung dari cara penampilan dan perasaan mengenai rambutnya. Kurangnya kebersihan rambut seseorang akan membuat penampilan tampak kusut, kusam, dan tidak rapi selain itu dapat menimbulkan permasalahan atau gangguan kesehatan (Isroin dan Andarmoyo, 2012). Hal-hal yang diperlukan dalam perawatan rambut dan kulit kepala agar tetap ebrsih dan sehat yaitu: 1. Mencuci rambut sekurang-kurangnya dua kali seminggu 2. Mencuci rambut dengan menggunakan sampo 3. Menggunakan alat-alat pmeliharaan rambut sendiri (Silalahi, 2010).

d. Kebesihan genetaliaArea genitalia merupakan tempat yang lembab yang berpotensi mengalami infeksi. Karena minimnya pengetahuan tentang kebersihan genitalia, banyak kaum remaja putri maupun putra mengalami infeksi di alat reproduksinya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjaga kebersihan genital yaitu: Membersihkan genitalia dengan benar (dari depan kebelakang). Pemakaian celana dalam yang kering dan harus diganti setiap hari.

Kebersihan diri merupakan faktor penting dalam usaha pemeliharaan kesehatan, agar kita selalu dapat hidup sehat. Menjaga kebersihan diri berarti juga menjaga kesehatan umum. Menurut Wolf (2000) dalam Frenki (2011) cara menjaga kebersihan diri dapat dilakukan sebagai berikut :

Mandi setiap hari minimal 2 kali sehari secara teratur dengan menggunakan sabun, muka harus bersih, telinga juga harus dibersihkan serta bagian genitalia. Tangan harus dicuci sebelum menyiapkan makanan dan minuman, sebelum makan, sesudah buang air besar atau buang air kecil. Kuku digunting pendek dan bersih, agar tak melukai kulit atau menjadi sumber infeksi. Pakaian perlu diganti sehabis mandi dengan pakaian yang habis dicuci bersih dengan sabun/ detergen, dijemur di bawah sinar matahari dan di setrika.

2.3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi personal hiygieneMenurut Potter dan Perry (2005), sikap seseorang melakukan personal hygiene dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain:

a. Citra tubuh (Body Image) Penampilan umum pasien dapat menggambarkan pentingnya personal hygiene pada orang tersebut. Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang tentang penampilan fisiknya. Personal hygiene yang baik akan mempengaruhi terhadap peningkatan citra tubuh individu (Stuart & Sudeen, 1999 dalam setiadi, 2005). Citra tubuh dapat berubah, karena operasi, pembedahan atau penyakit fisik maka perawat harus membuat suatu usaha ekstra untuk meningkatkan hygiene dimana citra tubuh mempengaruhi cara mempertahankan hygiene. Body image seseorang berpengaruhi dalam pemenuhan personal hygiene karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli terhadap kebersihannya.b. Praktik sosial Kelompok-kelompok sosial wadah seorang pasien berhubungan dapat mempengaruhi bagaimana pasien dalam pelaksanaan praktik personal hygiene. Perawat harus menentukan apakah pasien dapat menyediakan bahan-bahan yang penting seperti deodorant, sampo, pasta gigi, dan kosmetik. Perawat juga harus menentukan jika penggunaan dari produk-produk ini merupakan bagian dari kebiasaan sosial yang dipraktekkan oleh kelompok sosial pasien.c. Status sosial ekonomiMenurut Friedman (1998) dalam Pratiwi (2008), pendapatan keluarga akan mempengaruhi kemampuan keluarga untuk menyediakan fasilitas dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang hidup dan kelangsungan hidup keluarga. Sumber daya ekonomi seseorang mempengaruhi jenis dan tingkatan praktik personal hygiene. Untuk melakukan personal hygiene yang baik dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, seperti kamar mandi, peralatan mandi, serta peralatan mansi yang cukup.d. Pengetahuan Pengetahuan tentang personal hygiene sangat penting, karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Pengetahuan tentang pentingnya hygiene dan implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktik hygiene. Kendati demikian, pengetahuan itu sendiri tidaklah cukup, pasien juga harus termotivasi untuk memelihara personal hygiene. Individu dengan pengetahuan tentang pentingnya personal higene akan selalu menjaga kebersihan dirinya untuk mencegah dari kondisi atau keadaan sakit (Notoatmodjo, 1998 dalam pratiwi, 2008).e. Kebudayaan Kebudayaan dan nilai pribadi mempengaruhi kemampuan perawatan personal hygiene. Seseorang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, mengikuti praktek perawatan personal hygiene yang berbeda. Keyakinan yang didasari kultur sering menentukan defenisi tentang kesehatan dan perawatan diri. Dalam merawat pasien dengan praktik higiene yang berbeda, perawat menghindari menjadi pembuat keputusan atau mencoba untuk menentukan standar kebersihannya (Potter & Perry, 2005).f. Kebiasaan dan kondisi fisik seseorang Setiap pasien memiliki keinginan individu dan pilihan tentang kapan untuk mandi, bercukur, dan melakukan perawatan rambut. Orang yang menderita penyakit tertentu atau yang menjalani operasi seringkali kekurangan energi fisik atau ketangkasan untuk melakukan personal hygiene. Seorang pasien yang menggunakan gips pada tangannya atau menggunakan traksi membutuhkan bantuan untuk mandi yang lengkap. Kondisi jantung, neurologis, paru-paru, dan metabolik yang serius dapat melemahkan atau menjadikan pasien tidak mampu dan memerlukan perawatan personal hygiene total.

2.3.2 Tujuan personal hygieneMenurut Tarwoto dan Wartonah (2010), bertujuan untuk:a. Meningkatkan derajat kesehatan seseorang b. Memelihara kebersihan diri seseorang c. Memperbaiki personal hygiene yang kurang d. Meningkatkan percaya diri seseorang e. Mencegah penyakit f. Menciptakan keindahan

Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene. Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010) dampak yang bisa timbul adalah:

a. Dampak fisik Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik. Gangguan fisik yang sering terjadi adalah gangguan integritas kulit. Gangguan mukosa mulut, gangguan pada mata dan telinga, gangguan pada kuku. b. Dampak psikososialMasalah sosial yang berhubunagan dengan personal hygiene adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.

2.4 Hubungan personal hygiene dengan pitiriasis versikolorDalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Kurangnya kebersihan diri merupakan salah satu faktor predisposisi timbulnya penyakit seperti pitiriasis versikolor ( Tarwoto & Wartonah, 2010).

2.5 Kerangka teori

Pityriasis VersicolorMalassezia Furfur

SaprofitMiselial

Faktor-faltor yang berperanPersonal hygiene burukLingkungan hangat & lembabKontrasepsi oralPengunaan kortikosteroid sistemikAntibiotic jangka lamaCushing syndromeTerapi imunosupresanHiperhidrosisKekurangan gizi

Gambar 1. Kerangka teori

2.6 Kerangka konsepBerdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Personal HygienePityriasis Versicolor

Ringan Sedang Berat

Gambar 2. Kerangka konsep2.7 HipotesisAda hubungan antara personal hygiene dengan angka kejadian pityriasis Versicolor.

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain penelitianDesain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik denga pendekatan cross sectional (Notoadmodjo, 2012), yaitu dengan cara pengumpulan data sekaligus dalam satu waktudengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara personal hygiene dengan angka kejadian pityriasis versicolor di Pondok Pesantren Daarul Huffazh, Pesawaran.

3.2 Waktu dan tempat penelitian3.2.1 Waktu penelitianPenelitian akan dilakukan pada antara bulan maret hingga juni.3.2.2 Tempat penelitianPenelitian ini akan dilakukan di Pondok Pesantren Daarul Huffazh, Pesawaran.

3.3 Populasi dan sampel3.3.1 PopulasiPopulasi merupakan subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja yang berada di Pondok Pesantren Daarul Huffazh.3.3.2 SampelSampel adalah subset (bagian) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya. Pada penelitian ini, sampel diambil keseluruhan dengan total sampling dimana sampel yang diambil dengan kriteria sebagai berikut :Kriteria inklusi:1. Santri Pondok Pesantren Daarul Huffazh yang bersedia dijadikan sampel.2. Santri Pondok Pesantren Daarul Huffazh yang berada ditempat saat penelitian.Kriteria eksklusi:1. Tidak bersedia untuk dijadikan sampel.2. Tidak hadir saat dilakukan penelitian.3. Menggunakan obat-obatan imunosupresan dalam jangka waktu lama.4. Menggunakan Antibiotik jangka lama5. Mengidap penyakit yang menyebabkan imunosupresi.

3.4 Variabel penelitian1. Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah personal hygiene.2. Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah pityriasis versicolor.

3.5 Metode pengumpulan dataData primer tentang karakteristik responden:1. Personal hygiene dilakukan dengan pengisian kuisioner.2. Penentuan pityriasis versicolor dilakukan dengan cara pemeriksaan KOH.

3.6 Definisi operasionalDefinisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel atau dapat dikatakan semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana cara mengukur suatu variabel.

Table 1. Definisi operasionalNoVariabelPengertianPengukuranskala

1Personal hygienePersonal hygiene adalahMenjaga kebersihan dirisebelum dan sesudahberaktifitas sepertimencuci tangan sebelum dan sesudah beraktifitas,mengganti pakaian dankebiasaan mandi(Rahmawati, 2010)

Handuk yang digunakan untuk mengeringkan tangan sebaiknya dicuci dan diganti setiap hari (Web Health Center, Web Health Center, 2012

Cara Ukur:Wawancara

Alat Ukur: Kuesioner

Nilai Ukur: Baik : >75% Sedang : 40% - 75% Kurang: 75%, dinilai sedang jika 40-75%, dan dinilai kurang jika < 40%.c. Lembar inform consentadalah lembar persetujuan untuk menjadi responden penelitian.d. Alat dan bahan pemeriksaan sediaan langsungAlat dan bahan untuk pengambilan kerokan sebagai berikut : Mikroskop, skalpel, pipet tetes, alkohol, tissue, cotton swab, object glass, KOH 10-20%, alkohol 70%.

3.7.2 Cara pengambilan dataDalam penelitian ini, seluruh data diambil secara langsung dari responden (data primer), yang meliputi : 3.7.2.1 Pengisian Kuesioner a) Penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian b) Pengisian informed consent c) Pencatatan hasil pengukuran pada formulir lembar penelitian 3.7.2.2 Pengambilan spesimen a) Penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian b) Pengisian informed consentc) Anamnesis dan pemeriksaan fisik efloresensi pityriasis versicolor. Bila didapatkan kecurigaan pityriasis versicolor dilanjutkan ke langkah selanjutnya.d) Pengambilan spesimen kerokan kulit pada daerah yang dicurigai. e) Pemeriksaan mikroskopik sediaan langsung KOH 10-20%. f) Pencatatan hasil pengamatan.

3.8 Pengolahan dan analisis data3.8.1 Pengolahan dataData yang telah diperoleh dari proses pengumpulan a]data akan diubah ke dalam bentuk tabel-tabel kemudian data diolah menggunakan software SPSS. Kemudian proses pengolahan data menggunakan software SPSS ini terdiri dari bebrapa langkah:a. Coding, untuk mengkonversikan data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.b. Data entry, memasukkan data kedalam komputer.c. Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan kedalam komputer.d. Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer kemudian dicetak.

3.8.2 Analisis dataAnalisis statistika ntuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan software SPSS pada komputer dimana akan dilakukan 3 jenis analisis data yaitu analisis univariat, analisis bivariat, dan analisis multivariat.a. Analisis univariat Analisis ini digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi variabel bebas dan variabel terikat.b. Analisis bivariatAnalisis bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel terikat dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statistik.Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi square. Uji chi square meruapakan uji komparatif yang dugunakan dalam data penelitian ini. Uji signifkan antaa data yang diobservasi dengan data yang diharapkan dilakukan dengan batas kemaknaan ( , berarti tidak ada hubungan yang sif=gnifikan antara variabel bebas dengan variabel terkat.Apabila uji chi square tidak memenuhi syarat parametik (nilai expected count >20%), maka dilakukan uji alternatif Kolmogorof-smirnof.c. Analisis multivariatAnalisis multivariat dapat dapat dilakukan menggunakan analisis regresi logistik ganda. Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui:1. Variabel bebas mana yang memiliki pengaruh paling besar terhadap variabel terikat.2. Mengetahui apakah hubungan beberapa variabel bebas dengan variabel terikat dipengaruhi oleh variabel lain atau tidak.3. Bentuk hubungab beberapa variabel bebas dengan variabel terikat apakah berhubungan langsung atau berhubungan tidak langsung.Uji ini mampu memasukkan beberapa variabel dalam satu model. Langkah pertama adalah menentukan varabel yang masuk kriteria sebagai kandidat model yaitu variabel dengan nilai p