Chapter I

21
BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum Letak geografis daerah Namu Sira-sira berada pada kisaran 3’ 31’ LU dan 98’ 27’ BT. Mencakup empat bagian kecamatan yaitu kecamatan Sei Binge, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai, dan Kecamatan Binjai Selatan. Kecamatan yang paling luas mendapat pelayanan dari irigasi Namu Sira – Sira adalah Kecamatan Sei Binge. Daerah irigasi Namu Sira – Sira digagas sejak tahun 70an. Studi kelayakannya diselesaikan pada bulan maret 1978 yang didanai oleh pemerintah inggris (Overseas Development Administration), sedang desain teknisnya selesai pada tahun 1980. Kedua dokumen perencanaan tersebut dikaji ulang dan disempurnakan pada tahun 1982. Pada tanggal 4 juni 1992 Daerah Irigasi Namu Sira-Sira diresmikan oleh presiden Soeharto di Bah Bolon . Sumber air irigasi Namu Sira – sira berasal dari Sungai Bingei dan memiliki dua saluran primer, yaitu saluran primer kanan dan saluran primer kiri. Irigasi adalah suatu usaha manusia untuk menambah kekurangan air dari pasokan hujan untuk pertumbuhan tanaman yang optimum. Bendung merupakan bangunan air yang dibangun secara melintang sungai, sedemikian rupa agar permukaan air sungai disekitarnya naik sampai ketinggian tertentu, sehingga air sungai tadi dapat dialirkan melalui pintu sadap ke saluran – saluran pembagi kemudian hingga ke lahan – lahan pertanian (Kartasapoetra, 1991: 37).Drainase Universitas Sumatera Utara

description

fgg

Transcript of Chapter I

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Umum

Letak geografis daerah Namu Sira-sira berada pada kisaran 3’ 31’ LU dan

98’ 27’ BT. Mencakup empat bagian kecamatan yaitu kecamatan Sei Binge,

Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai, dan Kecamatan Binjai Selatan. Kecamatan

yang paling luas mendapat pelayanan dari irigasi Namu Sira – Sira adalah

Kecamatan Sei Binge.

Daerah irigasi Namu Sira – Sira digagas sejak tahun 70an. Studi

kelayakannya diselesaikan pada bulan maret 1978 yang didanai oleh pemerintah

inggris (Overseas Development Administration), sedang desain teknisnya selesai

pada tahun 1980. Kedua dokumen perencanaan tersebut dikaji ulang dan

disempurnakan pada tahun 1982.

Pada tanggal 4 juni 1992 Daerah Irigasi Namu Sira-Sira diresmikan oleh

presiden Soeharto di Bah Bolon . Sumber air irigasi Namu Sira – sira berasal dari

Sungai Bingei dan memiliki dua saluran primer, yaitu saluran primer kanan dan

saluran primer kiri.

Irigasi adalah suatu usaha manusia untuk menambah kekurangan air dari

pasokan hujan untuk pertumbuhan tanaman yang optimum. Bendung merupakan

bangunan air yang dibangun secara melintang sungai, sedemikian rupa agar

permukaan air sungai disekitarnya naik sampai ketinggian tertentu, sehingga air

sungai tadi dapat dialirkan melalui pintu sadap ke saluran – saluran pembagi

kemudian hingga ke lahan – lahan pertanian (Kartasapoetra, 1991: 37).Drainase

Universitas Sumatera Utara

adalah suatu usaha manusia untuk membuang kelebihan air yang merugikan

tanaman. Peranan irigasi dalam meningkatkan dan menstabilkan produksi

pertanian tidak hanya bersandar pada produktifitas saja tetapi juga pada

kemampuannya untuk meningkatkan faktor-faktor pertumbuhan lainnya yang

berhubungan dengan input produksi. Irigasi mengurangi resiko kegagalan panen

karena ketidak-pastian hujan dan kekeringan, membuat unsur hara yang tersedia

menjadi lebih efektif, menciptakan kondisi kelembaban tanah optimum untuk

pertumbuhan tanaman, serta hasil dan kualitas tanaman yang lebih baik.

Sistem irigasi di Indonesia merupakan bagian dari sistem kehidupan sosial

masyarakat yang cukup tua keberadaannya. Dari sisi kesejarahan, sistem irigasi di

Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan sebelum penjajahan Belanda datang.

Sehingga ketika ada pihak-pihak yang membicarakan kebijakan sistem irigasi,

siapapun pihak tersebut, perlu selalu berpijak pada realitas sistem irigasi yang

telah ada.

Oleh karenanya sebagai bagian dari suatu sistem sosial, sistem irigasi

merupakan suatu realitas dari gabungan dari berbagai aspek pengetahuan dan

kewenangan. Sistem irigasi tidak dapat hanya ditentukan hanya oleh faktor fisik

atau artefak (keberadaan air dan lahan) saja. Begitu pula sistem irigasi tidak cukup

hanya ditentukan oleh faktor kelembagaan saja. Atau pada sisi lain, sistem irigasi

tidak dapat hanya ditentukan oleh faktor teknik pengaturan air atau bercocok

tanam semata. Sistem irigasi merupakan aspek untuk mendukung hidup

masyarakat yang memilih komoditi beras sebagai bahan makanan pokok untuk

kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karenanya dalam diri sistem irigasi selalu

Universitas Sumatera Utara

terdapat gabungan dari berbagai faktor, yaitu faktor fisik (artefak), faktor sosial

masyarakat, dan faktor teknologi pengaturan air dan cocok tanam. Yang pada

akhirnya faktor-faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat

setempat, selaku subyek pengguna dan pengelola, dalam memperlakukan sistem

irigasi yang ada.

Dengan pemahaman tersebut maka akan dapat memandu kita untuk

membangun pemahaman, bahwa upaya untuk meningkatkan efektivitas

pembangunan dan pengelolaan sistem irigasi harus berbasis pada berbagai faktor

di atas. Begitu juga dalam membahas pembagian peran (role sharing) dalam

pembangunan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif, semua pihak perlu

membangun kesepahaman bersama, bahwa pembagian peran tersebut perlu selalu

diarahkan dan bermuara pada upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam

bentuk pemberdayaan masyarakat yang secara langsung meningkatkan efektivitas

pembangunan dan pengelolaan sistem irigasi.

Kebutuhan pangan terutama beras terus meningkat dari waktu ke waktu

sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Di sisi lain ketersediaan pangan

terbatas sehubungan dengan terbatasnya lahan yang ada untuk bercocok tanam,

teknologi, modal, dan tenaga kerja, sehingga defisit penyediaan bahan pangan

masih sering terjadi.

Untuk itu berbagai pihak tidak henti-hentinya berupaya mengatasi

masalah tersebut melalui berbagai kebijaksanaan dan program (Sudjarwadi,

1990).

Universitas Sumatera Utara

Sudjarwadi (1990) mendefinisikan irigasi merupakan salah satu faktor

penting dalam produksi pangan. Sistem irigasi dapat diartikan sebagai satu

kesatuan yang tersusun dari berbagai komponen, menyangkut upaya

penyediaan, pembagian, pengelolaan, dan pengaturan air dalam rangka

meningkatkan produksi pertanian. Beberapa komponen dalam sistem irigasi

diantaranya adalah :

a. Siklus hidrologi (iklim, air atmosfer, air permukaan, air bawah

permukaan)

b. Kondisi fisik dan kimiawi (topografi, infrastruktur, sifat fisik, dan

kimiawi lahan)

c. Kondisi biologis tanaman

d. Aktivitas manusia (teknologi, sosial, budaya, ekonomi)

Selain itu pengembangan sistem irigasi di masa lalu dilaksanakan bila

beberapa syarat dapat dipenuhi antara lain.: adanya lahan, sumber air yang cukup,

tenaga penggarap, jalan masuk, input usaha pertanian, pemanfaat / pasar dan dana

pembangunan yang memadai. Pengembangan umumnya memanfaatkan aliran air

sungai (run off water) dengan membangun bendung melintang sungai atau waduk-

waduk kecil. Efisiensi pemanfaatan air belum mendapatkan perhatian sepenuhnya.

Keberadaan jaringan irigasi dalam hubungannya dengan upaya

peningkatan produktivitas tanaman pangan khususnya padi sawah telah menjadi

pembahasan berbagai pakar pertanian. Mereka menelaahnya dari berbagai segi

baik teknis maupun sosial ekonomi dan kelembagaan. Dari aspek teknis,

Universitas Sumatera Utara

pembahasan irigasi telah dikemukakan antara lain oleh Ismindarwati (1983),

Arief (1996), sedangkan dari aspek sosial ekonomi dan kelembagaan antara lain

dibahas oleh Pasandaran (1995), Sumaryanto (2001), Saptana, dkk (2001),

Purwoto, dkk (1998). Pentingnya jaringan irigasi ini ditunjukkan pula dengan

terbitnya Peraturan Pemerintah (PP), antara lain PP No 77/2001 yang

diperbaharui dengan PP. No.20 /2006 Tentang Irigasi.

Di dalam peraturan yang ada (PP No 20/2006) dikemukakan pengertian

jaringan irigasi adalah saluran, bangunan dan bangunan pelengkapnya yang

merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian,

pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi. Selanjutnya secara

operasional dibedakan ke dalam tiga kategori yaitu jaringan irigasi primer,

sekunder dan tersier. Dari ketiga kelompok jaringan tersebut, yang langsung

berfungsi sebagai prasarana pelayanan air irigasi dalam ke dalam petakan sawah

adalah jaringan irigasi tersier yang terdiri dari saluran tersier, saluran kuarter dan

saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter serta bangunan pelengkapnya.

Menurut Purwoto (1998) dan Sumaryanto (2001), dalam sepuluh tahun

terakhir ini di wilayah-wilayah yang semula didesain sebagai lahan beririgasi

teknis dan semi teknis telah terjadi penurunan kapasitas lahan irigasi, karena

degradasi sumber air irigasi dan menurunnya kinerja jaringan irigasi. Degradasi

sumber air irigasi berupa menurunnya stabilitas debit air sungai, sedangkan

menurunnya kinerja jaringan irigasi disebabkan oleh rusaknya saluran-saluran

tersier dan tidak berfungsinya saluran tersebut akibat elevasi dan dasar saluran

Universitas Sumatera Utara

lebih tinggi dari permukaan air di saluran sekunder. Disamping itu ditengarai

oleh Arief (1996), bahwa menurunnya kapasitas lahan irigasi bisa juga

disebabkan karena rancang bangun jaringan irigasi yang kurang baik.

Di dalam pengelolaan jaringan irigasi ini, terdapat tiga kegiatan utama

yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan (Ismindarwati, 1983).

Selanjutnya Kast dan Rosenweig (1985), mengemukakan bahwa tolak ukur

keberhasilan pengelolaan jaringan irigasi adalah efisiensi dan efektifitas. Dalam

hal ini efisiensi teknis diukur dari tiga indikator yaitu Pasok Irigasi per Area (PIA),

Pasok Irigasi Relatif (PIR) dan Pasok Air Relatif (PAR). Sedangkan efektivitas

ditunjukkan oleh indeks luas areal (IA).

Pengembangan sumber daya air secara terpadu dalam skala besar untuk

berbagai kepentingan dilaksanakan dengan membangun bendungan/waduk oleh

karena itu faktor efisiensi pemanfaatan air tidak dapat di abaikan lagi. Irigasi

umumnya merupakan pemanfaat terbesar dalam pengembangan sumber daya

air satuan wilayah sungai, berkisar antara 70% sampai 90%. Peningkatan efisiensi

penggunaan air akan sangat besar manfaatnya bagi kepentingan lain terutama

pada kondisi iklim yang sangat kering.

Efisiensi penyaluran air dari sumber air ke lahan pertanian menyangkut

beberapa faktor, yaitu: kondisi prasarana dan sarana pengairan, kepiawaian

pengelola prasarana dan sarana pengairan, pelaksanaan budidaya pertanian serta

mekanisme paska panen.

Universitas Sumatera Utara

Sumber daya irigasi juga tidak hanya mempengaruhi produktivitas, tetapi

juga mempengaruhi spektrum pengusahaan komoditas pertanian. Oleh karena itu

kinerja irigasi bukan hanya berpengaruh pada pertumbuhan produksi pertanian

tetapi juga berimplikasi pada strategi pengusahaan komoditas pertanian dalam arti

luas.

Di masa mendatang, seiring dengan pertumbuhan penduduk, maka

kebutuhan terhadap air irigasi untuk memproduksi pangan (padi) akan terus

meningkat. Hal ini terkait dengan fakta bahwa pertumbuhan produktivitas

usahatani padi mengalami kemandegan sehingga peningkatan luas panen padi

masih tetap merupakan salah satu tumpuan pertumbuhan produksi padi.

Kemandegan produktivitas itu terkait dengan menurunnya kualitas lahan sawah

akibat dari sindroma over-intensifikasi pada lahan sawah dan penurunan kualitas

irigasi (Simatupang, 2001). Sindroma over-intensifikasi terkait dengan dosis

pemupukan yang cenderung melebihi kebutuhan optimal (Adiningsih, 1997),

sedangkan turunnya kualitas irigasi merupakan akibat dari degradasi kinerja

jaringan irigasi (Arif, 1996:Sumaryanto et al, 2006).

Di sisi lain, permintaan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,

industri, dan untuk memelihara keberlanjutan fungsi sumber daya air itu sendiri

(misalnya penggelontoran sungai), semakin meningkat seiring dengan

pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi dan perluasan perkotaan.

Dengan demikian, kompetisi penggunaan air antarsektor meningkat.

Jadi, tantangan yang dihadapi adalah di satu sisi kebutuhan air irigasi

meningkat, di sisi lain air yang tersedia untuk irigasi justru semakin langka.

Universitas Sumatera Utara

Jawaban terhadap kelangkaan tersebut adalah peningkatan efisiensi irigasi. Untuk

meningkatkan efisiensi, dibutuhkan perbaikan sistem pengelolaan irigasi dalam

semua level, bukan hanya di tingkat akuisisi, distribusi, maupun drainase, tetapi

juga di tingkat usaha tani. Kesemuanya itu membutuhkan perbaikan secara

simultan dalam aspek teknis di bidang irigasi maupun usaha tani, peningkatan

kapasitas pembiyaan, dan penyempurnaan sistem kelembagaan dalam pengelolaan

irigasi.

Bagi negara-negara berkembang, meningkatnya kelangkaan sumber daya

air diprediksikan akan menyebabkan turunnya tingkat produksi pangan. Hal ini

disebabkan karena :

a. kemampuan untuk melakukan perluasan lahan irigasi makin terbatas

disebabkan kendala anggaran dan investasi irigasi semakin mahal.

b. sumber daya lahan dan air yang secara teknis dan air yang secara

teknis dan ekonomi layak dikembangkan sebagai lahan pertanian

beririgasi semakin sedikit.

c. kebutuhan air untuk sektor lain (rumah tangga, industri) semakin

tinggi.

d. pada sistem irigasi yang telah ada, terjadi kemunduran kinerja

manajemen sistem irigasi dalam skala yang luas.

Menurut sudut pandang ekonomi, efisiensi penggunaan air irigasi lebih

mudah ditingkatkan jika apresiasi terhadap nilai ekonomi air irigasi terbentuk dan

menjadi dasar pengambilan keputusan dalam alokasi sumber daya tersebut. Jika

Universitas Sumatera Utara

kondisi seperti itu terbentuk, maka instrument ekonomi dapat diterapkan untuk

mendorong motivasi petani menggunakan air irigasi secara lebih efisien.

Pertumbuhan produksi pangan sendiri sangat ditentukan oleh ketersediaan

air irigasi. Sampai dengan dasawarsa 1990-an, dari seluruh lahan di dunia yang

dapat digarap, sekitar 237 juta hektar atau 18 persen diantaranya adalah lahan

pertanian beririgasi yang menghasilkan lebih dari 33 persen produk pertanian

dunia. Dari keseluruhan areal pertanian beririgasi tersebut, sekitar 71 persennya

berada di negara-negara berkembang dimana 60 persen diantaranya berlokasi di

Asia.

Secara historis juga dapat dilihat bahwa pasca perang dunia II, upaya

sebagian besar negara-negara berkembang dalam memenuhi kebutuhan pangan

domestiknya ditempuh melalui investasi pendayagunaan sumber daya air untuk

pertanian secara besar-besaran. Ini berlangsung secara konsisten sampai tahun

1978. Akan tetapi sejak tahun 1979, laju perluasan lahan irigasi cenderung turun,

bahkan dalam periode 20 tahun terakhir ini diperkirakan berkurang sekitar 6

persen.

Melambatnya laju perluasan lahan irigasi yang terjadi sejak dekade 1980-

an itu merupakan akibat simultan dari turunnya investasi pemerintah di bidang

irigasi akibat beban hutang, resistensi politik, meningkatnya biaya riil untuk

investasi irigasi, turunnya harga-harga riil komoditas pangan, dan perluasan

perkotaan (Rosegrant and Svendsen, 1993). Meningkatnya beban hutang yang

terus terjadi sampai dengan pertengahan dekade 1970-an mendorong lembaga-

lembaga donor menurunkan pinjaman luar negeri. Sebagai contoh, dalam periode

Universitas Sumatera Utara

1978-1992 rata-rata pinjaman World Bank untuk proyek irigasi turun sekitar 50

persen (Wichelns, 1998).

Pengembangan sektor pertanian saat ini lebih diarahkan pada usaha

intensifikasi daripada ekstensifikasi mengingat makin terbatasnya lahan pertanian

akibat terbatasnya lahan pertanian, akibat meningkatnya konversi lahan menjadi

area terbangun. Pembangunan sistem jaringan irigasi merupakan salah satu bentuk

intensifikasi dalam rangka mengoptimalkan produktivitas lahan pertanian,

sehingga diperoleh cara-cara eksploitasi dan pemeliharaan yang efektif dan

efisien. Sebagai tindak lanjutnya, maka pemerintah perlu membantu menyediakan

sarana dan prasarana yang dibutuhkan dengan melihat potensi sumber daya alam

yang ada.

Sesungguhnya permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang

dalam bidang penyediaan air irigasi bukan hanya biaya investasi yang makin

mahal, tetapi juga kinerja irigasi yang telah ada ternyata semakin menurun.

Kemunduran kinerja tersebut disebabkan oleh degradasi fungsi infrastruktur

dalam sistem irigasi maupun manajemen operasi dan pemeliharaan (OP) irigasi.

Degradasi fungsi infrastruktur antara lain disebabkan oleh kerusakan infrastruktur,

sedimentasi di dalam jaringan irigasi, meluasnya tanaman pengganggu di saluran-

saluran drainase, serta perubahan permukaan air tanah yang berlebihan.

Di sisi lain, seringkali manajemen OP tidak memiliki kapabilitas yang

memadai dan untuk sekedar mempertahankan kinerja fungsi irigasi seperti desain

semula. Ini disebabkan oleh banyak faktor dan beragam diantaranya adalah :

Universitas Sumatera Utara

a. desain kelembagaan irigasi tidak sesuai dengan dengan aspirasi

pengguna.

b. sistem kelembagaan tidak efisien karena perilaku free rider dan

praktek-praktek rent seeking.

c. degradasi kemandirian komunitas petani dalam pengelolaan irigasi

akibat kooptasi yang berlebihan dari pemerintah dalam pengembangan

irigasi. Degradasi fungsi irigasi tersebut cenderung berlanjut jika

kemampuan petani untuk ikut membiayai operasi dan pemeliharaan

irigasi tidak dikembangkan. Ini dilatarbelakangi fakta bahwa di

sebagian besar negara berkembang, anggaran riil yang dapat

disediakan pemerintah untuk ikut membiayai operasi dan pemeliharaan

irigasi semakin menurun (Rosegrant et al, 2002).

Beranjak dari fenomena empiris terkini, tantangan utama yang dihadapi

Indonesia dalam bidang irigasi dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama,

bagaimana meningkatkan efisiensi dalam penggunaan atau produktivitas air

irigasi. Kedua, bagaimana memberdayakan petani agar dapat meningkatkan

kontribusinya dalam pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi. Kedua

tantangan itu berkaitan dan jawabannya membutuhkan pendekatan yang sistematis

dan simultan.

Urgensi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi terkait

dengan kondisi empiris berikut, yaitu :

a. air irigasi semakin langka.

Universitas Sumatera Utara

b. potensi untuk meningkatkan efisiensi cukup terbuka karena sampai

saat ini tingkat efisiensi yang dicapai masih sangat rendah.

c. dampak positif peningkatan efisiensi irigasi terhadap ketersediaan air

untuk kepentingan yang lebih luas akan sangat nyata karena pangsa

penggunaan air untuk irigasi sangat besar (sekitar 80 persen).

d. perluasan lahan irigasi baru (new construction) hanya dapat dilakukan

dalam skala yang sangat terbatas.

Secara umum, sejak sepuluh tahun terakhir ini, kinerja ketersediaan air

irigasi di Indonesia semakin tidak kondusif untuk mendukung keberlanjutan

produktivitas usahatani yang tinggi. Insiden banjir dan kekeringan semakin sering

terjadi dan cakupan wilayah yang terkena semakin meluas (Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, 1999). Menurunnya kinerja irigasi pada umumnya

terlihat dari :

a. pada musim kemarau, luas areal layanan irigasi cenderung menyusut

dari tahun ke tahun.

b. rentang waktu kecukupan air semakin pendek.

c. pada musim hujan hamparan sawah layanan irigasi semakin rentan

terhadap banjir. Penyebab utama menurunnya kinerja irigasi adalah

karena memburuknya kinerja jaringan irigasi, menurunnya

ketersediaan air yang menjadi sumber air irigasi, dan kombinasi

keduanya. Memburuknya kinerja jaringan irigasi selain disebabkan

oleh desain jaringan irigasi yang tidak tepat, juga disebabkan oleh

sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang jelek, atau kombinasi

Universitas Sumatera Utara

keduanya. Sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang tidak

memadai tersebut antara lain disebabkan oleh sangat terbatasnya dana

yang tersedia.

Penurunan sumber pasokan air irigasi terutama disebabkan oleh

menurunnya fungsi sungai yang dicirikan oleh stabilitas debit yang semakin

rendah. Hal ini terkait dengan degradasi lingkungan daerah tangkapan air

(cacthment area) yang ternyata sampai saat ini masih sulit.

I.2 Latar Belakang

Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa dalam beberapa

tahun mendatang banyak negara berkembang yang diprediksikan akan mengalami

kelangkaan air yang gawat. Tanpa upaya serius dan sistematis, maka akan terjadi

kelangkaan air bersih, ketahanan pangan melemah, frekuensi konflik meningkat,

dan kemiskinan meluas (Gleick, 2000).

Serupa dengan fenomena yang dialami negara-negara berkembang

lainnya, kebutuhan air di seluruh sektor perekonomian di Indonesia juga terus

meningkat seiring dengan perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk.

Di sisi yang lain, pasokan air yang layak dikategorikan sebagai sumberdaya yang

dapat dimanfaatkan semakin langka seiring dengan terjadinya penurunan fungsi

sungai dan degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS). Sebagai ilustrasi, pada tahun

1985 dari 85 DAS di Jawa, Sumatera dan Kalimantan yang diobservasi ternyata

ada 22 DAS yang termasuk kategori kritis.

Universitas Sumatera Utara

Tahun 1995 meningkat menjadi 60 DAS yang kritis, bahkan 20

diantaranya termasuk kategori sangat kritis. Khususnya di Pulau Jawa, menurut

Soenarno dan Syarief (1994) meskipun secara agregat air yang tersedia masih

cukup tetapi ada 3 DAS yang telah mengalami defisit air yaitu DAS Cisadane-

Ciliwung, DAS Citarum Hilir dan DAS Brantas Hilir.

Fenomena umum yang terjadi di negara-negara berkembang di Asia dan

Afrika menunjukkan lebih dari 75 persen air digunakan untuk kegiatan pertanian

dengan tingkat efisien penggunaan yang rendah sangat rendah. Oleh sebab itu,

peningkatan efisiensi irigasi dapat berperan sebagai salah satu cara yang sangat

strategis untuk memecahkan masalah kelangkaan air, baik di sektor pertanian itu

sendiri maupun sektor lain yang terkait (Rosegrant et al, 2002; Seckler et al,

1998).

Secara garis besar ada tiga simpul strategis yang tercakup dalam

peningkatan efisiensi irigasi. Pertama, pengembangan persepsi publik bahwa air

irigasi adalah barang ekonomi yang berharga. Kedua, berdasarkan prinsip itu

dikembangkan insentif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya

tersebut atau optimasi pola pengusahaan komoditas pertanian berdasarkan air

yang tersedia. Ketiga, kebijakan yang ditujukan untuk mengantisipasi dampak

negatif yang terjadi karena implikasinya terhadap pasokan pangan tidak selalu

sinergis dengan upaya pengurangan kemiskinan (Postel, 1994).

Mengingat begitu pentingnya irigasi maka kebijaksanaan pemerintah

dalam pembangunan pengairan harus diikuti dengan perluasan jaringan

irigasi.Pembangunan dan rehabilitas jaringan irigasi perlu ditingkatkan untuk

Universitas Sumatera Utara

memelihara tetap berfungsinya sumber air dan jaringan irigasi bagi pertanian.

Dalam rangka usaha meningkatkan pembangunan di sektor pertanian untuk

mencukupi kebutuhan pangan khususnya beras, salah satu upaya pemerintah

Indonesia adalah menempatkan pembangunan di sektor irigasi.

Mengingat pentingnya efisiensi jaringan irigasi sehubungan dengan

pengaruhnya terhadap produksi pertanian, maka dalam tugas akhir ini saya

mengambil topik kajian tentang “EVALUASI EFISIENSI DAN

EFEKTIFITAS JARINGAN IRIGASI DALAM RANGKA PENINGKATAN

PRODUKSI PERTANIAN DI NAMU SIRA-SIRA”

I.3 Permasalahan

Irigasi merupakan prasarana untuk meningkatkan produktifitas persatuan

lahan dan persatuan waktu (ha/tahun). Mengingat begitu pentingnya irigasi bagi

tanaman padi maka perlu diadakan pengkajian tentang irigasi agar persoalan –

persoalan irigasi yang beragam dapat terselesaikan.Selain itu umur bangunan yang

sudah lama mengakibatkan banyak kerusakan di sana sini sehingga efisiensi

jaringan menjadi berkurang. Sehubungan dengan hal tersebut, maka permasalahan

yang dirumuskan adalah bagaimana mengevaluasi jaringan irigasi di Namu Sira –

Sira dengan rehabilitasi saluran serta membuat studi kelayakan rehabilitasi

tersebut menggunakan analisa ekonomi sederhana.

I.4 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari tugas akhir ini adalah :

Universitas Sumatera Utara

1. Untuk mengevaluasi jaringan irigasi di Namu Sira-Sira dengan adanya

rehabilitasi saluran.

2. Untuk mengetahui apakah rehabilitasi tersebut layak dilakukan dengan

menggunakan analisa ekonomi sederhana dengan membandingkan

peningkatan produksi pertanian yang terjadi.

3. Meninjau kondisi eksisting jaringan irigasi serta produksi pertanian

sebelum rehab.

4. Mengetahui tingkat efektifitas bendung sebelum dan sesudah rehab

dan pengaruhnya terhadap peningkatan produksi pertanian.

1.5 Pembatasan Masalah

Permasalahan pada tugas akhir ini dibatasi pada :

1. Studi kasus pada konstruksi bendung Namu Sira - Sira.

2. Debit banjir sungai Bingei.

3. Kebutuhan air untuk petak persawahan

4. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui efektifitas

Bendung Namu Sira-Sira sebelum dan sesudah Rehab.

5. Peningkatan produksi pertanian yang terjadi serta studi kelayakan

rehabilitasi yang dilakukan.

1.6 Metodologi Penulisan

Dalam penulisan tugas akhir ini penulis menggunakan metode penelitian

sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

1. Mencari dan mengumpulkan data-data, jurnal, ataupun artikel yang terkait

dengan proses Pembangunan Rehabilitasi Namu Sira - Sira.

2. Mencari dan mengumpulkan data tentang dimensi dan ukuran bangunan

intake dan saluran irigasi di Namu Sira – Sira Serta menghitung debit pada

saluran dengan menggunakan rumus :

a. SCRW (Standard Contracted Rectangular Weir) Francis formula

Q =1.84L 0,2H 3 / 2

b. Standard Trapezoidal (Cipolletti) Weir : Q = 1,86 L H 3/ 2

3. Melakukan penelitian dan pengamatan kondisi bangunan intake dan

saluran irigasi di Namu Sira - Sira.

4. Melakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait, khususnya instansi

Dinas Pengairan dan Irigasi Propinsi Sumatera Utara dalam pengumpulan

data-data.

5. Melakukan pengujian lapangan guna melengkapi data-data apabila

diperlukan.

6. Mencari dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan bendung

dan jaringan irigasi yang telah terangkum dalam buku dan telah diteliti

kebenarannya oleh para ahli (sebagai informasi pembanding).

7. Menghitung Efisiensi dan Efektifitas.

Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

(a) Tingkat efisiensi akan diukur dari nilai Pasok Irigasi per Area (PIA),

Pasok Irigasi Relatif (PIR) dan Pasok Air Relatif (PAR) dengan

rumusan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

(a.1) PIA = TerairiLahan LuasIrigasiAir Pasok Liter/Detik/Ha

(a.2) PIR/RIS = TanamanAir Kebutuhan Total IrigasiPasok Liter/Detik/Ha

(a.3) PAR/RWS = TanamanAir Kebutuhan

AirPasok Total Liter/Detik/Ha

Kaidah keputusannya adalah : Semakin kecil nilai PIA, PIR dan PAR, maka

pengelolaan irigasi semakin efisien.

(b) Tingkat efektivitas akan diukur dari nilai Indek Luas Areal (IA), dengan

rumusan berikut:

IA = Rancangan Luas

Terairi Areal Luas X 100 %

Dalam hal ini, semakin tinggi nilai IA menunjukkan semakin efektif

pengelolaan jaringan irigasi.

8. Menghitung Kenaikan produksi pertanian akibat adanya rehab

Universitas Sumatera Utara

9. Melakukan Studi Kelayakan Rehabilitasi.

1.7 Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran garis besar penulisan tugas akhir ini, maka

isi tugas akhir ini dapat diuraikan sebagai berikut :

Bab I . PENDAHULUAN Terdiri dari Umum, Latar Belakang,

Tujuan, Pembatasan Masalah, Metodologi, dan Sistematika

Penulisan.

Bab II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Terdiri dari Sumber Daya Air

(irigasi) di Namu Sira - Sira Sebagai Suatu Lokalitas dan

Kesatuan. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Air

Irigasi dan Evapotranspirasi serta membahas profil Daerah

Irigasi Namu Sira-Sira dan kondisi eksisting di D.I tersebut.

Bab III. METODOLOGI PENELITIAN (Metode-Metode Empiris

Untuk Mengetahui Analisa debit pada saluran, evaluasi

efisiensi, studi kelayakan.)

BabIV. Analisa dan pembahasan mengenai EVALUASI EFISIENSI

DAN EFEKTIFITAS JARINGAN IRIGASI DALAM

RANGKA PENINGKATAN PRODUKSI PERTANIAN DI

NAMU SIRA-SIRA

Bab V. ANALISIS MENGENAI PENINGKATAN HASIL

PRODUKSI PERTANIAN SEBELUM REHABILITASI

DENGAN SETELAH ADANYA REHABILITASI. SERTA

Universitas Sumatera Utara

STUDI KELAYAKAN TERHADAP REHABILITASI

TERSEBUT.

Bab VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Daftar Pustaka

Universitas Sumatera Utara

Gambar I.1. Peta Lokasi Daerah Irigasi Namu Sira-Sira

Universitas Sumatera Utara