cerpen

9
Sebatas Mimpi Cowok pemegang kamera canon itu terus saja menatapku dan bahkan, ia mengambil gambarku tanpa meminta izin terlebih dulu padaku. Cowok itu terus saja menyorotkan kameranya ke arahku. Ia berdiri tak jauh dari tempatku berdiri, bersama seorang temannya yang sebaya dengannya. Begitupun aku, yang tengah bersama Evi, sahabatku. “Dea… bangun!” suara mama membangunkanku. Membuyarkan semua mimpi indahku. Ini memang sudah ke 5 kalinya terjadi pada mimpiku. Mimpi tentang seorang cowok yang sebelumnya tidak pernah ku kenal. Jangankan mengenalnya, melihatnya saja tidak pernah. Kecuali dalam mimpiku. Bayangan itu tak bisa ku musnahkan dalam benakku. Mungkin sebagian orang akan menganggapku aneh atau bahkan gila, karena jatuh cinta pada seseorang lewat sebuah mimpi. Ingin sekali aku bisa bertemu dengannya di kehidupan nyata. Yah, perasaan itu kini menjadi cinta. Dan semenjak saat itu, aku jadi antusias untuk memiliki sebuah kamera canon. “Ayo cepat mandi, dan pergi sekolah!” perintah mama. Aku hanya bisa menuruti perintahnya. Bosan juga sih jadi siswa. Pagi-pagi buta harus sudah bangun dan buru-buru bersiap-siap berangkat sekolah agar tidak kesiangan. Tapi, hal membosankan itu akan terlepas setahun lagi. Sekarang aku sudah duduk di bangku kelas tiga SMA. Sekolah berkultur islami. Dan hanya satu-satunya di kotaku. The best, kan? “Dea…” Panggil salah satu temanku, Evi. “Kebiasaan deh, kalo baru dateng langsung teriak-teriak.” Ujarku. “Iya sorry. Biar surprice gitu.” Katanya tertawa. “O ya, semalem aku mimpi…” “Cowok pemegang kamera itu?” potongnya. Ia memang sudah hafal dengan ceritaku tentang cowok dalam mimpiku itu.

description

oke

Transcript of cerpen

Sebatas Mimpi

Cowok pemegang kamera canon itu terus saja menatapku dan bahkan, ia mengambil gambarku tanpa meminta izin terlebih dulu padaku. Cowok itu terus saja menyorotkan kameranya ke arahku. Ia berdiri tak jauh dari tempatku berdiri, bersama seorang temannya yang sebaya dengannya. Begitupun aku, yang tengah bersama Evi, sahabatku.

“Dea… bangun!” suara mama membangunkanku. Membuyarkan semua mimpi indahku. Ini memang sudah ke 5 kalinya terjadi pada mimpiku. Mimpi tentang seorang cowok yang sebelumnya tidak pernah ku kenal. Jangankan mengenalnya, melihatnya saja tidak pernah. Kecuali dalam mimpiku.

Bayangan itu tak bisa ku musnahkan dalam benakku. Mungkin sebagian orang akan menganggapku aneh atau bahkan gila, karena jatuh cinta pada seseorang lewat sebuah mimpi. Ingin sekali aku bisa bertemu dengannya di kehidupan nyata. Yah, perasaan itu kini menjadi cinta. Dan semenjak saat itu, aku jadi antusias untuk memiliki sebuah kamera canon.“Ayo cepat mandi, dan pergi sekolah!” perintah mama.Aku hanya bisa menuruti perintahnya. Bosan juga sih jadi siswa. Pagi-pagi buta harus sudah bangun dan buru-buru bersiap-siap berangkat sekolah agar tidak kesiangan. Tapi, hal membosankan itu akan terlepas setahun lagi. Sekarang aku sudah duduk di bangku kelas tiga SMA. Sekolah berkultur islami. Dan hanya satu-satunya di kotaku. The best, kan?“Dea…” Panggil salah satu temanku, Evi.“Kebiasaan deh, kalo baru dateng langsung teriak-teriak.” Ujarku.“Iya sorry. Biar surprice gitu.” Katanya tertawa.“O ya, semalem aku mimpi…”“Cowok pemegang kamera itu?” potongnya. Ia memang sudah hafal dengan ceritaku tentang cowok dalam mimpiku itu.Aku hanya mengangguk pelan.“Come on girls… itu hanya mimpi. Hanya bunga tidur aja.”“Tapi, mimpi itu sangat nyata.” Ujarku menjelaskan.“See… setelah kamu bangun, apa cowok itu ada di samping kamu?”Aku tak menjawabnya. Karena hal itu hanya akan membuatnya semakin menang dariku. Aku tau, kalau semua itu hanya sebuah mimpi. Tapi mimpi itu datang padaku selama 5 kali setelah tadi malam. Dan selama 5 kali pertemuanku dengannya di alam mimpi, aku telah jatuh cinta padanya.“Kenapa gak dijawab?” tanyanya mengagetkanku.“Ya udahlah, kamu emang gak bakalan bisa ngerasain apa yang aku rasain sekarang.” Ujarku. Lalu aku pergi dari hadapannya. Terdengar ia memanggilku untuk beberapa kali, namun aku tak menoleh. Aku masih kecewa dengannya. Aku kira, dengan aku cerita padanya akan membantuku mencarinya. Tapi, malah sebaliknya, dia sama sekali tidak bisa mengerti perasaanku sekarang.

Fikiranku tertuju pada cowok itu lagi. Kenapa kamu hanya datang dalam mimpiku? Aku ingin bertemu denganmu di kehidupan nyata.

Malam hari, setelah aku selesai belajar. Mataku merasakan kantuk. Akhirnya, aku memutuskan untuk beristirahat. Agar besok, bisa bangun pagi dan gak perlu buat mama marah karena aku susah bangun.

“Kamu anak Bahasa kan?” tanya nya yang membuatku kaget.“Kok tau?” tanyaku penasaran.“Aku sering liat kamu kok, di sekolah. Aku anak IPA. Tepatnya, XII IPA 1.” Jelasnya. Aku hanya mengerutkan kening. “O ya, nama kamu siapa?”“Aku Dea. Kamu?”Dia tak menjawabnya. Namun, dia memberikan sebuah kartu nama berwarna biru. Ku buka kartu nama itu untuk mengetahui namanya. Nama seorang cowok yang membuatku rindu berat padanya. Mataku mulai menusuri setiap huruf di kertas itu. Dan…“Dea… Bangun sayang!” suara mama lagi-lagi membuatku kesal.“Mama…” teriaku memprotes.“Ada apa?” tanya nya tak mengerti.“Aku baru aja mimpi indah, tapi harus buyar karena mama membangunkan Dea.” Ujarku kesal.“Mama minta maaf. Mama kan gak tau kalau kamu lagi mimpi indah. Dan lagian, ini udah siang, kamu harus buru-buru berangkat sekolah.”Dengan langkah gontai, aku menuju kamar mandi. Berusaha melawan rasa malas yang menguasai tubuhku pagi itu. Bagaimanapun, mama benar. Kalau saja mama tidak membangunkanku, mungkin saja sekarang aku masih terlelap dalam mimpiku dan akibatnya, kesiangan ke sekolah.Tapi, tunggu deh. MIMPI… oh god, aku baru ingat, kalau aku baru saja mimpi tentangnya lagi. Namun, mimpiku kali ini beda dari yang biasanya. aku berkenalan dengannya. Dan dia memperkenalkan diri sebagai anak IPA 1. Dan namanya… sialan! aku lupa namanya. Aku hanya ingat namanya diawali dengan huruf J. Dua hal itu akan membantuku menemukan cowok dalam mimpiku.Ruangan itu tampak sepi, hanya ada desahan nafas dan suara bolpoin yang dimain-mainkan oleh beberapa siswa. Suara lembaran yang dibuka terpaksa olehnya. Tak terkecuali aku yang sedang duduk di antara 43 siswa itu. Kelas yang berlabel sastra itu, tengah melaksanakan ulangan harian Bahasa Indonesia. Yang cukup menyita fikiranku. Dan melupakan tentang cowok impianku sementara waktu. Untuk fokus pada sebuah kertas di hadapanku.

45 manit kemudian, seorang guru mengeraskan suaranya. Menyuruh semua siswa untuk mengumpulkan lembar jawaban di depan guru tersebut. Ocehan siswa memenuhi ruangan itu. Aku memilih diam, dan menyerahkan kertas menyebalkan itu pada Bu Hartik, guru Bahasa Indonesia.“Dea, pulang yuk!” ajak Evi menarik tanganku.“Tapi gak usah narik-narik gitu.” Ketusku. Namun, ia hanya tertawa.

Dengan tetap mengekor di belakang Evi, aku terus berfikir tentang mimpiku semalam. Apa aku cerita aja sama Evi, siapa tau aja dia mau bantuin gue nyariin tuh cowok. Dia kan banyak kenalan anak IPA 1.“Lo lagi mikirin apa sih?” tanya nya setelah akhirnya kita sampai di depan rumahku.“Oh, nggak kok. Gue gak mikirin apa-apa.” Jawabku asal.“Atau jangan-jangan, lo masih mikirin cowok dalam mimpi lo itu?” tuduhnya dengan menunjukkan jari telunjuknya ke arahku.Tanpa ragu, aku pun menjawabnya. “Iya. Gue emang mikirin cowok itu.” Perlahan aku menatapnya. “Please, bantu gue nemuin tuh cowok!” pintaku dengan membentuk kedua tanganku seperti layaknya orang yang sedang amin.“Lho gila ya. Gue bukan para normal yang bisa nemuin orang tanpa tau nama atau alamatnya.”“Gue tau kok.”“Siapa?”“Emmmm, dia anak XII IPA 1.” Jelasku perlahan.“Namanya?”“Kalo namanya, gue Cuma tau huruf awalnya J. abis waktu gue mau baca kartu nama yang dikasi dia, tiba-tiba mama bangunin gue.”Matanya membelalak melihatku. “Jadi, lo tau itu semua lagi-lagi dari mimpi?” tanyanya dengan nada keras.Aku hanya mengangguk pelan. Tak berani melihat ke arahnya yang geram karena ulahku. Aku sudah mengira kalau dia gak bakalan bisa percaya dengan mimpiku. Dan dia gak bakal bantuin aku nemuin cowok yang berinisial J itu. Memang aneh sih, percaya pada sebuah mimpi. Tapi, kenapa aku gak bisa untuk tidak mempercayainya. Karena, mimpi itu begitu nyata bagiku.Akhirnya, sejak kejadian itu aku tidak pernah bercerita apa-apa lagi tentang mimpiku pada Evi. Aku hanya memendamnya sendiri. Tapi aku tidak pernah putus asa untuk mencari cowok itu. Lewat semua sosial media pun kulakukan untuk menemukan cowok impianku itu. Namun, hasilnya tetap nihil.

“Dea, lho harus ke ruang interaktif sekarang!” teriak salah satu teman kelasku dengan nafas tak teratur. “Class Competition Bahasa Indonesia udah mau dimulai.” Lanjutnya.Aku baru ingat, kalau hari ini Class Competition Bahasa Indonesia. Mampuss… aku sama sekali tidak ada persiapan hari itu. Dengan segera, ku ambil kertas kusut dalam tasku. Aku berlari keluar kelas. Tiba-tiba ada yang lupa lagi.“Vi, ikut gue ke ruang interaktif!” ajakku padanya.“Oke. Yuk!” katanya menyetujui.Aku berlari menyusuri jalan menuju ruang interaktif. Langkahku semakin cepat ketika ku lihat beberapa siswi berbondong-bondong menuju ruangan tersebut. Terdengar ocehan dari Evi karena ku tinggal. Namun aku tak menggubrisnya. Aku hanya fokus pada teks yang ada di tanganku.

Karena persyaratannya teks yang dibawa harus difotocopy sebanyak 3 lembar, maka aku pun langsung menuju ruang fotocopy yang tak jauh dari ruangan yang akan ditempati Class Competition tersebut. Ternyata ruang itu sudah penuh dengan peserta yang lain.

Setelah menunggu beberapa menit, kertas yang ku punya pun sudah selesai difotocopy. Ku keluarkan selembar uang 5 ribuan, namun seseorang di depanku melarangku untuk membayarnya, karena semua fotocopy sudah dibayar olehnya.Aku langsung menuju ruangan yang sudah penuh dengan peserta itu. Aku semakin minder, saat ku lihat beberapa peserta berusaha menghafal teksnya untuk memberikan penampilan yang maksimal. Ku buka kertas itu dengan perlahan. Ku coba untuk menghafalnya pula, namun Dewan juri sudah menduduki kursi yang sudah disediakan.Pembawa acara sudah berdiri di atas podium. Dan mulai membacakan peserta pertama yang akan tampil. Sedangkan, nomor urutku tepat di angka kesukaanku, yaitu LIMA. Kurang empat peserta lagi untuk aku tampil. Dag dig dug kurasakan, namun segera kutepis perasaan itu. Aku berusaha tenang dan berusaha tampil dengan baik untuk kelasku. Kini, pembawa acara itu sudah memanggil peserta dengan nomor urut 5. Aku berjalan peserta yang lain, dan ketiga Dewan juri untuk sampai di atas podium. Ku torehkan senyum termanisku pada mereka semua. Perkataan salah satu temanku terngiang di telingaku. ‘Anggap aja audien dan Deaan juri tidak ada’.

Tema yang kubawakan saat itu tentang Nark*ba yang terjadi di kalangan remaja. Sesekali ku melihat teks untuk memperlancar pidatoku. Menurutku, lebih baik menggunakan teks dari pada harus mati gaya di depan mereka. Dan akhirnya, pidato yang kubawakan selesai. Semua peserta bertepuk tangan dengan penampilanku. Lega rasanya setelah turun dari podium itu. Aku melangkah keluar dari ruangan itu, namun tiba-tiba langkahku terhenti ketika sang pembawa acara memanggil peserta berikutnya. Ada getaran di hatiku saat mendengar namanya, kelasnya sudah tak asing lagi ku dengar. Niat hati yang sebelumnya ingin segera keluar dari tempat membosankan itu, seketika langsung ku urungkan niatku. Dan menoleh ke arah podium.

Orang itu kini telah berdiri di atas podium dengan berbalut seragam putih dan berjas almamater sekolah. Rambutnya yang tertata rapi membuatnya semakin mempesona. Begitu pula dengan senyum manisnya yang sudah sering ku lihat. Aku masih berada di tempat semula. Aku tercengang melihat lelaki itu.“Dea… ayo ke kelas!” suara Evi mengagetkanku yang tengah memperhatikan cowok berkulit putih itu.“Vi, gue gak lagi mimpi kan?” tanyaku memastikan.Namun, Evi hanya mengerutkan keningnya. Ia masih heran dengan pertanyaanku. Ada tatapan penuh curiga yang ku tangkap dari dirinya. “Lo kenapa sih?” tanya nya kemudian.Tanpa ragu, aku pun menjawabnya. “Cowok yang sedang berpidato sekarang ini, dia yang selama ini hadir dalam mimpi gue.” Jelasku girang.Evi menempelkan kepalanya di ambang pintu, namun menyembunyikan tubuhnya di belakang pintu. Ia tampak sedang memperhatikan cowok yang sedang berpidato itu dengan teliti setelah akhirnya ia membalikkan badannya menghadap ke arahku.

“Dia kan Junior, XII IPA 1.” Jelasnya padaku.Aku mengangguk sembari tersenyum padanya.“Jadi, cowok yang selama ini lo ceritain, pangeran dalam mimpi lo itu. Dia?” tanya nya sembari menunjuk ke arah cowok di atas podium itu.“Iya. Dia yang selama ini hadir dalam mimpi gue.” Jelasku. “Dan bener kan, kalo dia dari kelas XII IPA 1. Dan namanya diawali dengan huruf J.”Evi mengangguk pelan. “Kenapa bisa kebetulan gini yah?”

Beberapa hari semenjak aku melihat dia dalam kehidupan nyata, membuatku semakin tidak bisa melepaskan fikiranku yang telah tersita olehnya. Dan semenjak saat itu, kita sering bertemu walaupun semua itu tanpa unsur kesengajaan. Dan walaupun dia tidak pernah melihatku.Seperti pagi ini, aku dan kedua temanku menuju ruang guru untuk menanyakan tugas pada wali kelasku. Sampai di parkiran, aku berpapasan dengannya. Hatiku bergetar tak karuan, darah dalam tubuhku mendesir tak menentu. Jantung ini seperti sedang memainkan drum yang sangat keras.

Aku tersipu malu berusaha untuk melihatnya. Dia sedang tersenyum manis sekali… aku suka gaya dan senyumnya, meskipun senyum itu bukan untukku. Dia terus melewatiku. Ingin sekali aku menoleh ke arahnya, namun rasa gengsiku terlalu besar. Karena saat itu aku tidak sedang sendiri. Ada kedua temanku yang sedang bersamaku. Hanya Evi yang mengetahui tentang cowok impianku itu.Di sekolahku, ada kebiasaan yang tidak pernah bisa untuk ditinggalkan, yaitu Shalat Dhuha berjama’ah. Pagi itu, aku dan teman-teman yang lain sedang menuju Mushalla sekolah yang letaknya di utara kelas JR. Setiap kali aku hendak ke mushalla, aku selalu curi pandang melihatnya.“Dea, sini duduk!” ajaknya padaku.“Gak. Jangan disitu dong!” pintaku pada Windy yang sedang duduk-duduk di tangga mushalla.“Kenapa?” tanya nya. “O ya, kamu kan sedang Mens ya.” Katanya lagi yang sekaligus membuatku malu setengah mati.

Alasanku tidak mau duduk-duduk disana karena di utara tangga yang diduduki Windy ada Junior dan teman-temannya. Tapi, hal itu malah semakin mempermalukanku. Ingin sekali saat itu ku seret Windy dan memarahinya. Tapi, itu juga bukan sepenuhnya salah dia.Hari demi hari kian berat kujalani dengan tetap memendam rasa ini. Banyak orang bilang, lebih baik dicintai dari pada mencintai. Apa memang sebaiknya aku berhenti mengharapkan dia yang tak pernah mencintaiku? Berat rasanya mencintai seseorang yang tidak pernah mencintai kita. Aku harus melupakanmu, namun itu terlalu sulit jika kita masih sering bertemu. Kita masih dalam satu sekolah. Sekeras apapun aku berusaha untuk melupakanmu, itu hanya akan membuatku semakin terluka.

Dalam setiap sujud, ku berdo’a. “Ya Allah, Engkau takdirkan dia hadir dalam hidupku? Kenapa Engkau takdirkan hamba mencintainya? Hamba tidak pernah mengeluh jika memang dia bukan jodoh hamba. Tapi, hamba mohon bantulah hamba untuk berhenti mencintainya.” Sesekali aku menyeka air mata yang tak mampu ku tahan. Dia jauh dari sisi kesempurnan. Dia jauh dari karakteristik imam. Tapi kenapa hati ini yakin kalau orang itu adalah dia…Aku tak mungkin menyalahkanmu yang telah menyebabkan dadaku sedikit sesak setiap kali tak kuasa untuk mengusirmu dari fikiranku. Aku tak mungkin menyalahkanmu karena kau tak tahu apa-apa tentang perasaan yang kurasakan saat ini terhadapmu. Aku hanya bisa menekan dadaku dan berteriak sekeras-kerasnya dalam hati, bahwa aku sangat mencintaimu.Ku raih sebuah buku diary bercover Micky Mouse, kartoon kesukaanku. Dan ku raih pula sebuah bulpoint dengan gambar yang sama. Aku mulai menuangkan isi hatiku pada sebuah kertas putih itu. Kutuliskan semua yang kurasakan saat itu. Berharap, semua akan membuatku sedikit tenang. Membuatku mengalihkan fikiranku darimu.

Kamis, 12 november 2015Dear, diary… kenapa aku mempunyai perasaan seperti ini? Kenapa aku harus menyukai seseorang yang tak pernah menyukaiku, bahkan dia tidak pernah mengenalku. Hati dan rasa ini telah diperbudak oleh cinta. Aku hanya berharap dan berdo’a semoga Allah menghendaki apa yang aku rasakan sekarang. Perasaanku terhadapnya, suatu saat nanti juga akan ia rasakan padaku. Andai saja kau dan aku bisa bertukar tempat sebentar saja. Agar kau tau bahwa aku sangat mencintaimu. Kau ada dalam fikiran dan hatiku setiap hari. Kau tak mau pergi. Kenapa kau terus menyiksakau?Mencintaimu, apakah harus sesakit ini…?Mungkin kau memang hanya sebatas mimpiku…

Esok harinya, aku datang ke sekolah dengan perasaan sedikit takut. Takut karena nilai yang akan diterima nanti. Hari ini penerimaan rapot untuk semester pertama. Senang, sekaligus sedih. Senang, karena aku sudah melewati semester pertama dan akan melewati hari liburku. Sekaligus sedih, karena akan berpisah dengan teman-temanku selama dua minggu lamanya. Berpisah dengan mereka, itu artinya aku tidak akan melihatnya selama dua minggu.

Mungkin ini saatnya untuk aku melupakan dia. Tidak bertemu dengannya akan mempermudah usahaku untuk melupakannya. Apa waktu akan menyembuhkan semua ini? Jika waktu berlalu, akankah segalanya berlalu begitu seperti yang kuharapkan? Semoga saja. Hanya waktu yang akan menjawabnya.Aku akan baik-baik saja…Ku hanya ingin sendiri…Hanya ingin habiskan rasa ini…Hanya ingin lukiskan senyummu dalam sepi…