Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
catatan perjalanan gn slamet.pdf.pdf
-
Upload
priyo-akuntomo -
Category
Documents
-
view
258 -
download
13
description
Transcript of catatan perjalanan gn slamet.pdf.pdf
LERENG TIMUR SLAMET SELEMBAR CATATAN EKSPEDISI Edisi Khusus, ekspedisi alumni MPA Mahameru 2012
LERENG TIMUR SLAMET, SELEMBAR CATATAN EKSPEDISI Edisi Khusus, ekspedisi alumni MPA Mahameru 2012 Arif Ashari, N Rohmad Safarudin, T T P Setyo Utomo, Agus Budi S, Riza Charistina, Anggita Dian Hartanto
© MPA MAHAMERU 2012 FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Kampus Karangmalang Sleman – Yogyakarta 55281
Tim Ekspedisi Slamet MPA Mahameru: 7 – 9 Juli 2012 Josh Rocxmad M-I/003 (Ketua) Tyo 31 PSU M-I/006 Arie Carstensz M-I/002 Agus Topan Mississippi M-II/004 Riza Charisteas M-III/001 Anggita Porter Polio M-V/006
i
MPA MAHAMERU FIS UNY adalah sebuah kelompok mahasiswa pecinta alam yang
memiliki motto “Mahasiswa Marsudhi Buwana” yang dirintis sejak tahun 2005 di lingkungan
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. Terdapat tiga “aliran” yang menjadi ciri
khas Mahameru, yaitu “Ekspedisi”, “Konservasi”, dan “Akademik”. Ekspedisi dan Konservasi
jika dikaitkan dengan kegiatan mapala mungkin sudah lumrah, tidak begitu halnya jika
dikaitkan dengan kegiatan akademik. Sebuah perjalanan di alam liar dapat memberikan kita
ilmu, banyak yang menarik untuk di pelajari bahkan diteliti di sana, belajar tidak hanya bisa
dilakukan di ruangan dengan duduk di kursi dan mendengarkan dosen, ada kalanya belajar
dengan berjalan, merunduk bahkan merangkak dan alam yang menjadi dosen kita.
Pelaksanaan kegiatan ekspedisi ke gunung tertinggi ke dua di Pulau Jawa, yaitu
Gunung Slamet (3428 mdpl) oleh alumni MPA Mahameru pada tanggal 7,8,9 Juli 2012 yang
lalu telah dilaksanakan dengan lancar tanpa suatu halangan yang berarti, dengan seluruh
peserta ekspedisi yang berjumlah enam orang yaitu Mas Arie, Mas Tyo, Mas Agus Topan,
Mas Rohmad, Mas Anggita, dan Mbak Riza. Saya ucapkan terimakasih yang sebesar
besarnya kepada sesepuh Mahameru yang telah menyempatkan diri membuat catatan
perjalanan sehingga dapat di rangkum dalam sebuah buku dengan judul “LERENG TIMUR
SLAMET' sebuah oleh-oleh dari gunung yang Insyaallah bermanfaat untuk menambah
referensi para pembaca yang akan atau sudah mendaki gunung Slamet. Semoga catatan ini
dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air dan bangsa Indonesia serta menularkan semangat
berkegiatan positif kepada kaum muda Indonesia.
“Gunung bukan sekedar onggokan kerucut besar kumpulan tanah berpasir. Laut bukan
sekumpulan air dalam wadah raksasa. Hutan bukan sekedar sekumpulan tumbuhan dalam
pot besar. Sungai bukan sekedar mengalirnya air untuk riasan bumi. Lebih dari itu karena
sesungguhnya pada diri mereka ada diri kita” (Harley B. Sastha/ dalam Majalah MountMag
Edisi 2)
Yogyakarta, Agustus 2012
Toffan Hussein W (M-VI/003)
SAMBUTAN KETUA MPA MAHAMERU 2012
ii
ii
Sambutan Ketua MPA Mahameru
iv
Pengantar
1 Kering di Lereng Slamet
7 Lingkungan Fisik Gunungapi Slamet
18 Kisah-kisah dibalik Perjalanan yang Begitu Susah
iii
DAFTAR ISI
27 Jalur Pendakian Gunung Slamet Via Bambangan
31 Mendaki Puncak Tertinggi di Jawa Tengah
Jika anda orang yang sudah cukup lama bermukim di Jawa Tengah dan daerah
sekitarnya dapat dipastikan anda pernah mendengar cerita tentang mistisnya Gunung
Slamet. Gunung Slamet yang berdiri tegak setinggi 3428 mdpal merupakan gunung tertinggi
di Jawa Tengah sekaligus tertiggi kedua di Pulau Jawa. Gunung ini termasuk dalam kategori
gunungapi aktif di Indonesia. Meskipun tidak ganas seperti Merapi namun Slamet adalah
gunung yang sangat kaya akan cerita mistik. Di kalangan masyarakat sekitarnya pun
Gunung Slamet memiliki kedudukan yang sangat penting, baik dalam konteks lingkungan
hidup maupun kepercayaan.
Bukan gunung sembarang gunung, demikian label yang terlanjur terpampang bagi
setiap calon pendaki Gunung Slamet. Perlu perencanaan matang dan persiapan ekstra baik
mental, fisik, maupun peralatan. Tekad dan jam terbang mendaki yang sudah tinggi saja
tidak cukup untuk meladeni medan dan “suasana” di Slamet. Hal inilah yang kami sadari
betul sebelum memulai ekspedisi ini. Beberapa pekan sebelum ekspedisi ini Gunung Slamet
baru saja membuat tersesat dua pendaki pemula. Awalnya kami sempat ragu, tetapi dengan
persiapan yang dikebut dalam waktu yang mepet akhirnya kami berangkat juga. Anggota tim
dalam ekspedisi ini adalah golongan tua, yang waktunya untuk medaki sangat terbatas jadi
benar-benar merindukan pendakian, terlebih dengan gengsi tinggi seperti di Gunung Slamet
ini. Entah kebetulan atau tidak semua anggota tim sudah menyandang predikat alumni dan
bergelar sarjana pendidikan. Jadi ekspedisi ini adalah pendakiannya para sarjana. Hehe...
Medan di Gunung Slamet juga tidak bisa dipandang remeh. Meskipun lintasannya
tidak panjang seperti gunung-gunung di Jawa Timur, tapi cukup membuat badan lelah, kaki
gempor, dan mental frustrasi. Puncak Gunung Slamet tingginya 3.428 mdpal, Base Camp
Bambangan yang kami lewati berada pada ketinggian 1.500 mdpal jadi kira-kira “hanya”
menempuh jarak vertikal 1.900an meter. Bandingkan dengan ekspedisi MPA Mahameru
sebelumnya di Gunung Welirang, Jawa Timur yang jarak vertikal antara base camp (800
mdpal) dengan puncak (3.153 mdpal) kira-kira 2300an meter walaupun puncaknya jauh
lebih rendah daripada Slamet. Soe Hok Gie, pionir pecinta alam di Indonesia dalam
tulisannya yang dimuat di Harian Kompas tanggal 14, 15, 16, dan 18 September 1967
mengisahkan tentang perjalanannya dalam mendaki Gunung Slamet. Di awal tulisan Soe
Hok Gie menulis: ketika saya menyatakan akan memimpin pendakian Gunung Slamet
bersama para mahasiswa, seorang kawan menyatakan bahwa saya gila. Gunung itu
tingginya 3422 m, gunung nomor dua di Pulau Jawa. Dan menurut Junghun, ia mendaki
gunung itu dengan merangkak. Di puncaknya pada musim-musim tertentu suhu dapat turun
sekitar nol derajat. Lagipula di Gunung Slamet tak ada air.
PENGANTAR
iv
Pada akhirnya Gunung Slamet benar-benar memberikan pengalaman tak terlupakan
bagi kami semua. Ada rasa bangga dan haru telah mengibarkan bendera MPA Mahameru di
puncak. Melalui catatan perjalanan ini masing-masing anggota tim memberikan ulasan dan
kesan-kesan pasca pendakian. Sesuai dengan semangat MPA Mahameru yang selalu ingin
‘berbagi pengalaman dan pengetahuan’ hasil dari perjalanan ke lapangan, dan sekaligus
sebagai ajang belajar menulis bagi kami maka kami hadirkan tulisan yang berada di tangan
anda saat ini. Pimpinan ekspedisi kali ini, N Rohmad Safarudin (Josh Rocxmad, M-I/003)
menyoroti tentang kekeringan yang melanda Dusun Bambangan. Mengapa dusun yang
berada di kaki gunungapi aktif bisa mengalami kekeringan, padahal gunungapi umumnya
merupakan akuifer yang potensial yang mampu menyimpan dan menyalurkan air dalam
jumlah cukup. Sementara itu TTP Setyo Utomo (Tyo 31 PSU, M-I/006) meyampaikan kesan-
kesannya selama pendakian serta menyoroti sosiologi perdesaan masyarakat Bambangan.
Arif Ashari (Arie Carstensz, M-I/002) mencoba membuat ulasan mengenai lingkungan fisik
Gunungapi Slamet. Riza Charistina (M-III/001) membuat ulasan tentang vegetasi di lereng
timur Slamet, Anggita Dian H (M-V/006) menapak tilas jalur pendakian menuju puncak
Slamet, dan tak ketinggalan kesan-kesan mendalam dari Agus Budi S (Topan Mississippi,
M-II/004) mengenai perjalanan di Gunung Slamet.
Ucapan syukur tak terhingga kepada Tuhan YME atas keberhasilan ekspedisi ini.
Terima kasih kami haturkan kepada Ketua MPA Mahameru, Toffan Hussein (M-VI/003),
Priyo Akuntomo, MSc. (M-LB-001-2011) atas batuannya dalam penyusunan buku laporan
perjalanan ini, serta seluruh warga MPA Mahameru semua angkatan. Semoga ekspedisi ini
memberikan manfaat sebesar-besarnya tidak hanya bagi anggota tim tetapi juga bagi
organisasi MPA Mahameru.
Terakhir, mengutip kata-kata Sir Edmund Hillary “it is not the mountain we conquer,
but ourselves”, pendakian memang bukan upaya kita untuk menaklukkan gunung. Tidak ada
yang menaklukkan atau ditaklukkan, mendaki gunung merupakan upaya untuk belajar dari
alam, menikmati keindahan alam, mengenal masyarakat dari dekat, menumbuhkan rasa
cinta tanah air, mendapatkan kepuasan dari olahraga dan petualangan, dan tentu saja
mendekatkan diri kepadaNya. Junko Tabei, pendaki perempuan pertama yang mencapai
puncak everest pernah mengatakan: “pergilah ke luar, nikmati alam ini, dan gunung akan
jadi guru yang baik. Tulisan kami tentu juga masih jauh dari sempurna, tapi semoga menjadi
cambuk bagi adik-adik kami di MPA Mahameru untuk berkarya. Sudah saatnya minat dan
bakat dalam berkegiatan di alam bebas juga disalurkan melalui tulisan-tulisan karena selain
‘berbagi pengalaman dan pengetahuan’ juga bisa menjadi sarana berlatih untuk menulis.
Salam
Arie, Rohmad, Tyo, Topan, Riza, Anggita v
Laporan Utama
KERING DI LERENG SLAMET
KERING DI LERENG SLAMET N. Rohmad Safarudin, S.Pd. (Josh Rocxmad, M-I/003)
Sabtu – Senin (7 – 9 Juli 2012) Tim pendaki Mahameru melakukan pendakian
menuju Gunung Slamet, sesuai tujuan kami semula yang telah direncanakan jauh hari. Tim
terdiri atas Arie Carstensz, N. Rocxmad Co, TTP Tyo, Agus Topan Mississippi, Riza
Caresteas, dan si junior Anggita. Tim berangkat menuju tujuan ekspedisi tepat pukul 09.30
wib dari terminal Giwangan dan Agen Bus Gamping. Menempuh waktu 4,5 jam akhirnya
kami sampai di pertigaan Sokaraja. Dari soka raja kami melanjutkan perjalanan menuju
Simpang Serayu menggunakan bus jurusan Bobotsari. Perjalanan belum berakhir karena
masih harus menempuh rute menuju bescamp dengan menggunakan mobil yang lebih kecil
tentunya untuk kendaraan di daerah pegunungan.
Slamet, adalah Gunung berapi yang masih aktif yang terletak di perbatasan 5
Kabupaten di Jawa Tengah Yaitu Kabupaten Brebes, Kabupaten Banyumas, Kabupaten
Purbalingga, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Pemalang. Gunung Slamet merupakan
salah satu tujuan utama pendakian gunung di daerah Jawa Tengah bagi para pecinta alam
seluruh Indonesia. Setelah kami sampai di Bascamp yang terletak didesa Bambangan,
Kutabawa, Purbalingga, Jawa Tengah suasana khas pegunungan menyerebak dalam
kerinduan kami. Entah mengapa memang sebagian besar anggota tim yang berangkat rata
rata sudah lama tidak bersua dengan alam pegununguan, harap maklum karena kesibukan
sendiri sendiri …..heeee….. (udah boyok tuwo)….
Bambangan yang terletak di timur laut Gunung Slamet merupakan desa terdekat dari
puncak gunung slamet. Seperti biasa aktifitas masyarakatnya yang sebagian besar petani
sedang melakukan cocok tanam, panen dan istirahat kala itu. Pandangan tak henti hentinya
kami tujukan pada puncak gunung yang dapat kita lihat secara langsung, memang cuaca
sangat cerah di sore itu. Dan hawa pegunungan yang luar biasa yang kami rindukan.
Aktifitas warga yang sedang memanen sayuran dengan mudah kami jumpai, sayuran segar
seperti tomat, wortel, kubis, daun bawang, seledri, daun selada hijau dan aneka sayuran
lainnya, tak jarang dapat kami temui juga buah segar seperti jeruk, dan strowberi. Hem
lengkap sudah rasanya yang suasana yang kami rindukan itu. Tapi ada sesuatu yang
menggelitik dan menjadi bahan pertanyaan dalam diri saya setelah melihat suasana di
sekitar Desa Bambangan. Ada ciri khas daerah pegunungan yang tak dapat kami rasakan
seperti di lereng gunung – gunung yang sudah kami daki sebelumnya, yaitu tak ada suara
gemercik air di setiap rumah waraga dan sepanjang drainase pinggir jalam yang kami lewati.
Yaaa air pegunungan, dimanakah keberadaannnya?
Informasi kami dapatkan terjadi kekeringan yang telah melanda seluruh daerah
lereng Gunung Slamet tak terkecuali disebelah lereng timur. Desa Bambangan yang berada 2
diketinggian ± 1500-1550 dpal telah mengalami kekeringan setelah hujan tidak turun sejak
kurun 3 bulan lamanya. Aktivitas warga yang membutuhkan keberadaan air sangat
terganggu, oleh karena itu warga desa Bambangan melakukan pengeboran tanah untuk
membuat sumur bor. Keberadaan sumur bor ini menjadi alternatif cara paling mudah dan
murah untuk mendapatkan air.
Mengapa Kekeringan terjadi? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan bodoh yang pernah
kami rasakan jikalau mengacu pada seluruh wilayah Pulau jawa. Sudah jelas jawabanya
karena pada saat ini di bulan Juli di Pulau Jawa memasuki musim kemarau. Tetapi jawaban
yang lain yang kami cari, mengacu keberadaan kami saat ini ketika kami berdiri di suatu
daerah lereng gunung, Gunung Slamet. Gunung yang notabennya daerah penyimpan air
seharusnya menyimpan kandungan air yang sangat melimpah meskipun memasuki musim
kemarau. Dan jawaban terus kami gali. Dan sebagai alternatif jawaban sebagai informasi
kepada saya daerah lereng gunung slamet terjadi kekeringan dikarenakan adanya beberapa
faktor yang antara lain faktor iklim dan faktor jenis tanah di daerah Gunung Slamet.
Kawasan Gunung Slamet pada waktu kami melakukan pendakian memasuki musim
kemarau, tentunya hal yang sama dirasakan di beberapa gunung di Pulau Jawa lainnya
yaitu akan terjadi kekeringan. Untuk tahun 2012 curah hujan yang mengguyur kawasan
Slamet mengalami masa puncak pada bulan Januari 2012, kemudian memasuki bulan April
kawasan Gunung Slamet mengalami penurunan intensitas hujan. Memasuki bulan Mei
sampai bulan Juli tahun 2012 ini kawasan Gunung Slamet tidak mengalami hujan. Dengan
singkatnya waktu turunnya hujan menjadikan kawasan lereng Gunung Slamet ini mengalami
musim kemarau yang lebih awal dari pada daerah pegunungan yang lainnya. Tak seperti
halnya gunung yang lain di Jawa Tengah seperti Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro,
Sumbing yang masih di guyur hujan pada bulan April dan Mei.
Akibat kekeringan ini sungai sungai di sepanjang jalur pendakian kering. Masyarakat
kehilangan sumber air untuk mencukupi kebutuhan sehari hari. Dari hasil wawancara dan
pengamatan kami, akibat keringnya sumber air banyak masyarakat yang mengharapkan
hujan sebagai satu satunya sumber air, untuk itu masyarakat membuat penampungan
penampungan air sebagai persiapan apabila turun hujan. Namun demikian bukankah musim
hujan masih cukup lama? Base camp pendakian yang kami tempati juga termasuk salah
satu dari sekian rumah yang kehilangan akses sumber air. Untuk keperluan MCK kami
bahkan harus mengambil air dari masjid (yang sepertinya memiliki sumur bor) dan
mengangkutnya sampai ke base camp. Kekeringan memang merupakan permasalahan
yang telah terjadi secara nyata, maka dari itu sudah saatnya kita untuk lebih memperhatikan
dan mengelola lingkungan dengan bijak agar kondisi semacam ini dapat diperbaiki.
3
Suasana di Dusun Bambangan. Masjid yang terletak di sebelah kanan merupakan salah satu (diantara sedikit) yang masih memiliki akses sumberdaya air di dusun ini.
Tiba di Base Camp Bambangan,
Purbalingga
Berbincang dengan pihak base camp,
selain membahas teknis pendakian juga
membicarakan permasalahan kekeringan
Foto bersama di base camp menjelang pendakian
Sesaat sebelum pemberangkatan pendakian
Lingkungan fisik Gunungapi Slamet
SAKSI BISU RIBUAN KISAH SEPANJANG KURUN WAKTU GEOLOGI
LINGKUNGAN FISIK GUNUNGAPI SLAMET Arif Ashari, M.Sc. (Arie Carstensz, M-I/002)
Slamet adalah salah satu vulkan aktif di Pulau Jawa. Keberadaannya telah menyertai
sepanjang sejarah kehidupan manusia di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah. Puncak
Gunungapi Slamet menjulang setinggi 3.428 mdpal dan merupakan puncak tertinggi di Jawa
Tengah atau tertinggi ke dua di Pulau Jawa setelah Puncak Mahameru (3.676 mdpal) di
Gunung Semeru, Jawa Timur. Puncak berupa igir sempit yang mengelilingi kaldera lautan
pasir hasil beberapa periode letusan dalam kurun waktu yang sangat lama. Bagian
tertingginya berada pada koordinat 70 14’ 30” LS dan 1090 12’ 30” BT. Sebagai gunungapi
aktif, Slamet telah mengalami beberapa kali letusan. Menurut PVMBG letusan pertama yang
tercatat dalam sejarah dimulai pada tahun 1772, letusan terbaru terjadi pada tahun 1992
kemudian terjadi kembali letusan pada tahun 2009-2010. Masa istirahat terpendek adalah
satu tahun sedangkan yang terpanjang 53 tahun. Sebagai gunungapi aktif yang masuk
dalam Tipe A, Gunung Slamet berada pada daerah berpenduduk padat, bahkan wilayahnya
cukup luas karena meliputi lima kabupaten yaitu Purbalingga, Pemalang, Tegal, Brebes, dan
Banyumas1
Geomorfologi pada hakikatnya membicarakan tentang bentuklahan di permukaan
bumi, dimana bentuklahan yang ada sekarang tidak terlepas dari genesis (asal usul), proses
yang bekerja dari masa lalu hingga menghasilkan bentuk yang sekarang, dan terus
berlangsung hingga menghasilkan bentuk pada masa yang akan datang. Jadi dengan
melihat kondisi geomorfologi yang ada sekarang kita dapat “merekonstruksi” masa lalu,
“menerawang” proses yang pernah dan sedang terjadi hingga menghasilkan bentuk yang
ada sekarang, serta “memprediksi” kondisi bentuklahan pada masa yang akan datang
dengan melihat proses yang masih terus berlangsung. Manfaat yang didapat dengan
mempelajari geomorfologi suatu wilayah sangat banyak, termasuk memberikan informasi
mengenai potensi untuk pengembangan wilayah hingga bahaya (bencana) yang dapat
terjadi pada wilayah tersebut
.
Geomorfologi Gunungapi Slamet
2
Menurut pembagian wilayah geomorfologi regional Pulau Jawa oleh A.J. Pannekoek
. 3
1 Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Slamet, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2 Verstappen, H. Th. 1983. Applied Geomorphology. Amsterdam: Elsevier. 3 Pannekoek, A.J. 1949. Outline of the Geomorphology of Java. Leiden: E.J. Brill
Gunung Slamet terletak di Zona Utara Jawa Tengah, lebih spesifik lagi pada bagian paling
barat. Pada bagian ini Slamet berdiri sebagai vulkan tunggal yang dikelilingi oleh
Pegunungan Serayu Utara yang merupakan zona pelipatan. Pegunungan Serayu Utara
8
(zona pelipatan) sendiri mendominasi wilayah di sekitar Gunungapi Slamet, wilayahnya
membentang dari timur di sebelah selatan Grup Jembangan (kelompok vulkan
Rogojembangan) dan meluas ke arah barat. Pelipatan kemudian bercabang dua yaitu ke
selatan dan ke utara. Sebelah selatan mengarah ke barat, sedangkan pelipatan yang paling
utara menuju barat laut sampai ke dataran pantai utara. Pelipatan-pelipatan dilanjutkan
sampai di bawah Laut Jawa ke arah Sumatera. Sebagian dari pelipatan tersebut membelok
lagi ke arah selatan membentuk semacam lengkungan di sekitar lereng utara Gunungapi
Slamet. Sumbu utama topografi zona pelipatan ini mengarah lurus ke barat ke arah
Gunungapi Slamet dan diselingi oleh beberapa lembah transversal yang dalam. Aliran
vulkanis yang sangat banyak telah menerobos masuk ke dalam semua lembah baik di
daerah pelipatan sebelah utara maupun selatan Gunungapi Slamet. Aliran vulkanis yang ke
arah utara mencapai daerah pantai utara membentuk kipas aluvial yang luas, sehingga zona
pelipatan terbagi menjadi semacam pulau terpencil yang dikelilingi oleh aliran vulkanis. Di
sebelah barat Gunung Slamet, rantai pelipatan muncul lagi.
Gunungapi Slamet
Lembah Serayu
Peg Serayu Utara
Peg Serayu Selatan
Gunungapi Ciremai
Kedudukan Gunungapi Slamet dalam geomorfologi Pulau Jawa
Gunungapi Slamet termasuk ke dalam tipe gunungapi strato, yaitu berbentuk
menyerupai kerucut. Secara geomorfologi biasanya gunungapi strato terbagi menjadi
beberapa bagian yaitu: kepundan (kawah) sebagai pusat aktivitas vulkanisme, kerucut
vulkan (bingkai sisi luar kawah) yang curam, lereng gunungapi (bisa dibedakan menjadi
lereng atas, tengah, dan bawah), dan dataran kaki gunungapi. Semakin mendekati
kepundan lerengnya semakin curam sementara semakin menuju kaki gunungapi semakin
landai. Jadi, kerucut gunungapi strato walaupun seringkali nampak sebagai satu tubuh
gunungapi saja, sebenarnya terdiri dari beberapa segmen yang dapat dibedakan
berdasarkan tingkat kecuraman lerengnya. Masing-masing segmen tersebut dibatasi oleh
takik lereng (tekuk lereng) yaitu ketika terjadi perubahan kemiringan secara tegas. Apabila
kita melakukan pendakian, seringkali pada awal pendakian kita menjumpai lereng yang
landai kemudian semakin lama semakin curam dan ketika mendekati puncak kemiringan
lerengnya menjadi sangat curam. Hal ini merupakan ciri dari gunungapi strato. Mengapa
dapat terjadi bentuk seperti demikian? Bentuk yang terjadi tidak terlepas dari proses
pembentukan gunungapi itu sendiri. Pada gunungapi strato biasanya terjadi letusan secara
eksplosif dan efusif secara berselang-seling, materialnya juga berselang-seling antara
material piroklastik dan lava. Material yang berat dan kental diendapkan dekat kepundan
sehingga menghasilkan lereng yang curam, sedangkan material yang halus diendapkan
lebih jauh sehingga membentuk lereng yang landai. Proses selang-seling ini nampak seperti
peristiwa penumpukan material secara bertingkat, oleh karena itu hasilnya dinamakan
gunungapi strato (bertingkat).
Bagaimana dengan kondisi geomorfologi Gunungapi Slamet? Apakah memiliki
bentuk yang lebih spesifik atau umum sebagaimana geomorfologi gunungapi strato seperti
disebutkan diatas? Menurut Martopo (1984) Gunung Slamet dibedakan menjadi; (a) bagian
yang tua yaitu bagian barat yang mengalami gangguan tektonik, (b) kerucut muda yang
terletak di sebelah timurnya, dan (c) beberapa tempat erupsi yang kecil pada lereng
timurnya. Gunungapi Slamet dengan ketinggian 3.428 mdpal adalah gunung tertinggi di
Jawa Tengah. Secara morfologi Gunungapi Slamet dibedakan menjadi lima bagian yaitu
lereng atas yang tertutup oleh medan lava, breksi fluvial, breksi piroklastik, dan debu
vulkanik; lereng tengah yang tertutup oleh breksi fluvio vulkanik, lava, aglomerat, dan debu
dengan material hasil pelapukan; lereng bawah dan lerengkaki yang tertutup oleh breksi
fluviovulkanik, lahar, deposit aliran rombakan (debris), dan deposit aliran sungai serta
material hasil pelapukan; dan bagian Gunung Slamet tua dengan breksi fluvial pleistosen,
lempung, breksi, dan lempung tidak terstruktur.
10
Gunung Slamet Tua
Kerucut Gunung Slamet Muda
Lereng atas
Lereng tengah
Lereng bawah
Gunung Samet Tua
Pembagian geomorfologi Gunung Slamet menurut Martopo (1984) dilihat dari DEM SRTM vertikal
Pembagian geomorfologi Gunung Slamet dilihat dari arah selatan. DEM SRTM 450
Model 3D geomorfologi lereng timur Gunungapi Slamet pada citra SPOT Google Earth. Perhatikan perubahan kemiringan lereng sebagai penanda batas masing masing bentuklahan
Kerucut vulkan
Lereng atas
Lereng tengah
Lereng bawah
Kaki vulkan
Geomorfologi Sekitar Gunungapi Slamet Secara geomorfologis, wilayah di sekitar Gunungapi Slamet didominasi oleh
Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu Selatan, diantara dua pegunungan
tersebut terdapat Lembah Serayu. Menurut Van Bemmelen (1949) Pegunungan Serayu
Utara berada dalam satu hubungan rangkaian pegunungan dengan Perbukitan Bogor di
Jawa Barat dan Igir Kendeng di Jawa Timur, sedangkan Pegunungan Serayu Selatan
merupakan hasil pengangkatan baru yang terletak searah dengan Depresi Bandung di Jawa
Barat. Pegunungan Serayu Utara lebarnya 30-50 km. Pada bagian barat dibatasi oleh
Gunungapi Slamet, sedangkan bagian timurnya dibatasi oleh endapan hasil vulkanik dari
Pegunungan Rogojembangan, Komplek Gunungapi Dieng, dan Gunungapi Ungaran.
Lembah serayu memanjang diantara Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu
Selatan meliputi wilayah Majenang, Ajibarang, Purwokerto, Banjarnegara, dan Wonosobo.
Diatara Purwokerto dan Banjarnegara, lebar Lembah Serayu mencapai 15 km.
Apabila kita dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Purwokerto, rute yang kita
lewati yaitu Purworejo, Kebumen, Banyumas secara geomorfologi merupakan dataran
rendah selatan Jawa Tengah. Menurut Pannekoek (1949) sebagaimana di Jawa Barat, zona
selatan Jawa Tengah ini juga merupakan plateau yang miring ke arah selatan. Akan tetapi di
Jawa Tengah hanya tinggal beberapa sisa plateau yang masih tampak pada zona selatan
ini karena sebagian besar telah tertutup oleh dataran aluvial. Sisa yang paling timur terdapat
di Pegunungan Kulon Progo. Sisa ini agak berbentuk dome yang memanjang terdiri dari
batuan andesit berusia Oligosen4 dan breksi serta sebagian tertutup oleh batugamping
berusia Miosen5. Kemudian dari Perempatan Buntu (wilayah Kabupaten Banyumas)
perjalanan dianjutkan dengan mengambil arau utara menuju Purwokerto melintasi wilayah
pegunungan, wilayah ini merupakan bagian dari Pegunungan Serayu Selatan. Secara
geologis Pegunungan Serayu Selatan merupakan zona yang mengalami pelipatan hebat
dan dorongan selama Miosen. Akibatnya tidak hanya batuan Tersier tua yang tersingkap
tetapi juga batuan Mesozoik6
Sama halnya dengan pendapat A.J. Pannekoek, seorang ahli geologi Belanda
Reinout Willem Van Bemmelen dalam bukunya The Geology of Indonesia (1949)
mengungkapkan Slamet merupakan vulkan aktif yang berdiri terpisah dari vulkan lainnya,
dan terhubung oleh rantai pegunungan lipatan. Gunungapi Slamet termasuk tipe A, yang
lainnya.
Geologi Gunungapi Slamet
4 Waktu geologi pada zaman Tersier setelah Oligosen dan sebelum Miosen, dengan rentang waktu selama 13 juta tahun, berumur 37 hingga 24 juta tahun yang lalu. 5 Bagian rentang waktu geologi pada era Kenozoikum, periode/zaman Tersier, dengan lama rentang waktu selama 19 juta tahun dan umur 24 hingga 5 juta tahun yang lalu. 6 Era pada skala waktu geologi dengan usia245 hingga 66 juta tahun yang lalu. 13
dalam catatan Van Bemmelen telah meletus pada tahun 1948. Menurut Suryana
Prawiradisastra dkk (2009)7
1. Kawasan Rawan Bencana (KRB) III, mempunyai radius 2 km dari pusat kawah, terdiri
dari endapan piroklastik batu dan pasir. Letusan normal penyebaran piroklastiknya hanya
sekitar KRB III ini, namun jika terjadi letusan besar yang diikuti aliran awan panas,
luncurannya dapat mencapai 6 km dari kawah aktif, mengarah ke barat laut (arah Guci).
Jika ada letusan besar, kawasan ini berpotensi terlanda lontaran material pijar, hujan abu
lebat, aliran lava, dan sebaran gas beracun.
berdasarkan kegiatan Gunung Slamet dalam catatan sejarah,
karakter letusan Gunung Slamet cenderung bersifat eksplosif diselingi letusan bersifat
effusive berskala menengah-kecil. Letusannya diklasifikasikan kedalam tipe vulkano dan
Stromboli secara bergantian.
Dalam kurun waktu 40 tahun terakhir terjadi letusan abu (1969), semburan lava pijar
di kawah (1973), letusan abu dan leleran lava (1988), kenaikan kegiatan vulkanis (1989),
kenaikan kegiatan vulkanis dengan krisis gempa vulkanis diakhiri dengan letusan kecil
(1991, 1992). Sejak 1995 sampai 2007 tidak pernah terjadi letusan yang signifikan kecuali
hembusan solfatar dan fumarol di kawah 3 dan kawah 4 dengan intensitas sedang-tinggi,
dan bau gas sangat kuat. Suhu gas yang diukur pada tahun 2002 berkisar antara 79-81
derajat celcius, dengan suhu solfatar diperkirakan lebih dari 390 derajat celcius. Letusan
terakhir Gunung Slamet terjadi pada pada tanggal 13 Juli 1988. Tipe letusan dari Gunung
Slamet ini bertipe eksplosif, yaitu letusan dengan melemparkan material piroklastik dan abu,
atau juga disebut stromboli. Material letusan yang lapuk memberikan kesuburan untuk
berbagai tanaman, mudah diolah sebagai lahan pertanian, material letusan mempunyai
daya serap air tinggi, kemudian dikeluarkan dalam bentuk mata air dingin dan panas.
Sementara peningkatan aktivitas vulkanik pada tahun 2009 ditandai dengan adanya
letusan kecil dengan mengeluarkan material piroklastik, asap dan debu vulkanik;
peningkatan gempa permukaan dan gempa tremor vulkanik; serta peningkatan temperatur
air di Taman Wisata Pemandian Guci. Gunung Slamet bukan tipe gunungapi yang rutin
mengalami letusan da bahkan sudah agak lama tidak terjadi letusan. Tidak seperti Gunung
Merapi yang tiap lima tahun terjadi letusan besar. Menurut data dari Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, Kawasan Rawan Bencana (KRB) Letusan Gunung Slamet, dibagi
menjadi tiga kawasan:
2. Kawasan Rawan Bencana (KRB) II, mempunyai radius hingga 4 km dari kawah aktif. Jika
terjadi letusan besar berpotensi terjadi perluasan luncuran awan panas, lontaran material
pijar, dan hujan abu lebat.
7 Suryana Prawiradisastra, Bambang Marwanta, Cornelius Wisyanto, Dian Nuraini Melati Damayanti Sarodja. 2009. Laporan Kajian Cepat Peningkatan Aktivitas Gunungapi Slamet Jawa Tengah. BPPT. 14
3. Kawasan Rawan Bencana (KRB) I, mempunyai radius hingga 8 km, terdapat di alur
sungai dan lembah yang berhulu di Gunung Slamet. Kawasan ini berpotensi terjadi aliran
lahar/bahan rombakan, juga berpotensi terjadi hujan abu lebat jika terjadi letusan besar.
Kawasan ini meliputi radius 8 km dari kawah aktif.
Litologi lereng Gunungapi Slamet menurut Martopo (1984)8
1. Lereng atas Gunungapi Slamet tertutup oleh padang lava, breksi fluvial, piroklastik, dan
debu vulkanik.
terdiri dari:
2. Lereng tengah Gunungapi Slamet tertutup oleh breksi fluviovulkan, lava, aglomerat, dan
debu. Umumnya wilayah ini mengalami pelapukan sedang hingga tebal.
3. Lereng bawah dan lereng kaki Gunungapi Slamet tertutup oleh breksi fluviovulkan, lahar,
dan deposit aliran debris.
4. Kaki gunungapi dan dataran kaki gunungapi tertutup oleh tuff berpasir, gravel, dan
lapisan batu hasil aktivitas vulkanik dan fluvial.
5. Bagian Gunungapi Slamet tua yang tertutup oleh berksi fluvial berusia pleistosen,
lempung, batupasir, dan breksi aliran.
Sumberdaya air Gunungapi Slamet Dalam kajian mengenai hidrogeomorfologi (kaitan antara kondisi geomorfologi
dengan potensi sumberdaya air), gunung merupakan sumber air yang cukup potensial.
Sumberdaya air yang ada di Bumi ini mengalami sirkulasi, yang disebut siklus hidrologi.
Dalam siklus hidrologi lautan, danau, dan tubuh air lainnya akan mengalami penguapan
(evaporasi) selain itu penguapan juga terjadi pada vegetasi dan lengas tanah
(evapotranspirasi) kedua faktor ini kemudian memberikan kontribusi bagi keberadaan air di
atmosfer yang apabila mengalami kondensasi akan berubah menjadi awan, dan seterusnya
hujan. Hujan inilah yang menjadi pemasok sumberdaya air yang ada di darat (air tawar)
yang kemudian digunakan untuk berbagai keperluan hidup seperti air minum dan MCK
(kebutuhan domestik), industri, pertanian, wisata, dan sebagainya. Pertanyaannya adalah
mengapa gunung memiliki potensi sumberdaya air yang baik?
Dalam teori hidrologi salah satu syarat terbentuknya hujan adalah adanya
pendinginan udara karena pengangkatan udara sehingga uap air yang terkandung dapat
mengalami kondensasi. Salah satu faktor yang menyebabkan pengangkatan udara adalah
adanya penghalang gunung. Jadi udara yang bergerak menuju gunung, karena terhalang
oleh gunung tersebut kemudian bergerak naik, pada saat naik inilah uap air mengalami
kondensasi kemudian terjadi hujan. Oleh karena itu di daerah pegunungan (gunung) banyak
terjadi hujan yang disebut sebagai hujan orografis. Karena banyak hujan, maka pasokan 8 Sugeng Martopo. 1984. Hydrological Potential of the Southern Flank of Slamet Volcano Central Java. The Indonesian Journal of Geography 14 (48): 55-66 15
sumberdaya air juga banyak di daerah gunung. Ini merupakan faktor pertama yang
mempengaruhi tingginya potensi sumberdaya air di gunung.
Faktor lainnya adalah material penyusun (litologi). Lereng gunungapi yang masih
aktif biasanya tersusun oleh material hasil letusan yang belum padu (pasir, kerikil, kerakal)
yang dapat berperan dengan baik untuk menyerap, menyimpan, dan mengalirkan
sumberdaya air khususnya airtanah. Oleh karena itu daerah gunung juga merupakan daerah
dengan kondisi akuifer (lapisan penyimpan airtanah) yang baik. Jika kondisi vegetasi
hutannya masih terjaga dengan baik maka potensi sumberdaya airnya akan lebih baik lagi.
Namun demikian air permukaan jarang dijumpai terutama di lereng atas karena faktor
topografi yang miring menyebabkan aliran permukaan cepat terjadi setelah hujan. Adanya
aliran permukaan (sungai-sungai kecil di daerah hulu) terutama karena keluarnya airtanah
melalui rembesan (seepage) atau mataair (spring), ini biasanya dijumpai pada tekuk-tekuk
lereng sebagai penanda batas perubahan morfologi.
Bagaimana dengan Gunungapi Slamet? Berdasarkan karakteristik hujan, kondisi
geomorfologi, geologi, dan vegetasi yang ada sebenarnya potensi sumberdaya air di
Gunungapi Slamet sangat baik. Menurut Martopo (1984) terdapat unit-unit geohidologi di
lereng Gunungapi Slamet yang kedudukannya mengikuti unit geomorfologi. Karakteristik
masing-masing unit geohidrologi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Lereng atas Gunungapi Slamet merupakan wilayah ini merupakan zona pengambilan
(intake) airtanah. Di wilayah ini hanya terdapat sungai ephemeral (mengalir hanya saat
hujan dan sesaat setelah hujan)
2. Lereng tengah Gunungapi Slamet, di wilayah ini airtanah tersimpan kemudian dilepaskan
menuju lembah-lembah yang dalam. Airtanah diperoleh dari unit diatasnya yaitu lereng
Gunungapi Slamet. Batas terbawah unit ini ditandai oleh muncunya mataair.
3. Lereng bawah dan lereng kaki Gunungapi Slamet merupakan zona luah
(keluaran=discharge) airtanah.
4. Kaki gunungapi dan dataran kaki gunungapi merupakan akuifer yang baik.
Masing-masing unit geohidrologi tersebut saling berkaitan. Lereng atas sebagai zona
pengambilan memberikan imbuhan airtanah ke lereng tengah. Lereng tengah merupakan
wilayah pengisian airtanah yang potensial. Wilayah penyimpanan dan luah airtanah terdapat
di bagian bawahnya yang memiliki akuifer baik yaitu lereng bawah dan dataran kaki
gunungapi. Berdasarkan hasil penelitian Martopo (1984) di lereng selatan Gunungapi
Slamet, debit airtanah diketahui sebesar 0,0138 m3/hari di lereng atas gunungapi; 0,0110
m3/hari di lereng tengah gunungapi; dan 0,0085 m3/hari di dataran fluviovulkan. Di wilayah
tersebut terdapat kurang lebih 100 mataair, dua diantaranya adalah mataair panas. Terdapat
19 tipe mataair retakan (fracture spring) dengan debit antara 15 liter/detik hingga 200
liter/detik. 21 mataair kontak (contact spring) dengan debit 2,9 liter/detik hingga 6.8 16
liter/detik. 48 mataair depresi (depression spring) dengan debit 0,9 liter/detik hingga 5
liter/detik. Selain itu juga terdapat rembesan (seepage) dengan debit 1,5 liter/detik hingga 5
liter/detik. Sungai-sungai yang mengalir di kaki Gunungapi Slamet umumnya merupakan
sungai permanen, sedangkan sungai ephemeral maupun intermitten mengalir di lereng atas
hingga lereng bawah Gunungapi Slamet. Namun demikian karena Gunungapi Slamet
termasuk kategori gunungapi aktif serta proses eksogen yang berlangsung padannya juga
cukup aktif dan dinamis maka hasil penelitian terdahulu ini perlu diikuti dengan penelitian
lagi untuk dapat memberikan informasi yang akurat mengenai kondisi terkini di Gunungapi
Slamet.
17
KISAH-KISAH DI BALIK PERJALANAN YANG BEGITU SUSAH
Banyak kisah di balik perjalanan yang sangat susah. Ya, kiranya memang demikian.
Lelah mental dan fisik itu pasti terasa oleh masing-masing diantara kami semua selama
mengikuti ekspedisi, tapi kesempatan mencoba merasakan medan Gunung Slamet memang
tidak ada bandingannya, terlebih ketika kita berhasil menapaki puncak. Rasa lelah selama
perjalanan terkadang justru menjadi indah bila diingat dan diceritakan kembali. Dan dibalik
segala kesulitan itu memang banyak cerita yang sangat sayang bila dilewatkan. Untuk itulah
pada bagian ini Riza, Tyo, dan Topan akan menceritakan kesan-kesan mereka sepanjang
perjalanan.
Sambil menceritakan tentang pengalamannya selama mengikuti ekspedisi ini, Riza
mencoba untuk sedikit mengulas kondisi vegetasi yang ada di lereng timur Slamet serta
kondisi medan yang dilalui. Sesuai dengan motto: “berbagi pengalaman dan pengetahuan”.
Harapannya tentu bisa menginspirasi para pembaca sekalian untuk turut mengenal dan
menikmati sendiri kondisi medan dan vegetasi hutan hujan tropis di lereng timur Gunung
Slamet. Sementara itu Tyo yang bertutur panjang lebar mengenai pengalaman “susah-
senangnya” di Gunung Slamet, tak lupa juga menceritakan kondisi sosial masyarakat di
Dusun Bambangan lengkap dengan analisisnya dari sudut pandang sosiologi. Tyo dan
Topan yang alumni pendidikan sosiologi memang mendapatkan misi khusus untuk memotret
dan menggambarkan kembali situasi sosial masyarakat di Dusun Bambangan dari tinjauan
sosiologi. Meskipun hanya tiga hari bergaul bersama masyarakat disana mudah-mudahan
bisa sedikit memberikan gambaran mengenai kondisi kehidupan masyarakat, kehidupan,
dan karakteristik hubungan sosialnya.
Selamat mengikuti...
CATATAN DARI BAMBANGAN Riza Charistina, S.Pd. (M-III/001)
Kisah ini bermula dari saat pemberangkatan di Termial Giwangan, Jogja. Satu-
satunya hal yang menjengkelkan adalah Tiket Patas Bus Efisiensi habis, ya sudah terpaksa
naik bus Ekonomipun jadi. Padahal karena ekspedisi ini kelasnya adalah “kelas alumni”,
maunya sedikit mewah lah, sebagaimana perencanaan awal sebelum berangkat. Setelah
menempuh perjalanan panjang dengan bus ekonomi yang penuh dengan kegiatan ekonomi
kami turun di Sokaraja depan Klenteng, seteah sarapan dilanjutkan dengan Bus “tuyul”
jurusan Bobotsari menuju pertigaan Serayu lalu naik “carry” menuju Pos Bambangan. Kira-
kira pukul 16.00 sampailah di Basecamp Bambangan.
Setelah mendaftar di base camp lalu packing ulang dan berdo’a kamipun berangkat.
Dalam pejalanan dari Basecamp ke Pos I ada kisah yang mungkin takkan terlupakan.
Awalnya jalan santai tetap penuh semangat dan percaya diri, walaupun kemudian timbul
macam-macam kecurigaan, ragu salah jalur. Dan semakin jauh berjalan, justru semakin
memasuki ladang penduduk, medan landai, jalan menurun kemudian memasuki ladang
jagung. Ini yang benar-benar ganjil dan ternyata akhirnya benar diketahui bahwa kami
kesasar. Setelah mendapatkan pencerahan dari penjaga ladang, akhirnya balik kanan
kembali ke jalan yang benar, lewat gerbang, jembatan belok kanan melewati ladang
penduduk. Namun demikian ternyata kami masih dihantui bayang-bayang nyasar, ragu,
akhirnya kami memutuskan istirahat sambil menunggu tim di belakangnya hingga akhirnya
bertemu Liza dan Papahnya.
Memasuki hutan pinus, populasi agak jarang, dan umumnya berupa vegetasi
peralihan (boswoisen), medan masih santai semi menanjak, anggota tim berjalan terpisah-
pisah dan kadang saling susul menyusul, ketika lelah rehat bersama tim lain. Kondisi
vegetasi berupa hutan, semak belukar, dan masih ada beberapa pohon pinus, dan sesekali
bertemu pohon besar. Suasana yang menjelang larut malam menyebabkan sedikit lelah,
dan rasa kantuk kemudian datang menepati jadwalnya. Tak lama berselang sampailah kami
di Pos I. Istirahat sejenak melepas lelah dan berniat merem sejenak, eh malah kantuk ilang.
Akhirnya waktu dihabiskan dengan isi amunisi, “togo” menjadi menu favorit untuk kemudian
jalan lagi.
Pos I ke Pos II vegetasi semakin rapat, medan menanjak. Kondisi vegetasi sekilas
masih sama dengan vegetasi di gunung-gunung yang lain, belum nampak ada yang
istimewa dari hutan Gunung Slamet. Jalur tanah kering yang menyebabkan rawan
terpeleset. Sesekali dijumpai akar pohon menyimpang ditengah jalur dan ada beberapa area
terbuka cukup untuk camp 1 dome. Dalam perjalanan ini tim terbagi menjadi dua sub tim, 3
orang pertama racing, 3 orang terakhir tim kicot. Tim kicot memanfaatkan beberapa tempat 20
longgar dan datar yang sering ditemui di jalur antara Pos I – Pos II guna melepas lelah.
Perjalanan malam yang melelahkan dan kantuk yang menyerang menyebabkan beberapa
personil tim kicot terlelap disela rehatnnya menuju pos II. Sesekali terdengar keras suara
binatang malam khas hutan tropis yang sering pula kami dengar di gunung-gunung lain,
entah binatang apa itu. tak terlalu lama beristirahat kamipun berjalan lagi setelah dingin
menyerang dengan kesepakatan tidur sejenak sesampainya di pos II.
Pos II ke Pos III diwarnai dengan istirahat cukup lama (tiduran). Hawa dingin teramat
sangat yang menyebabkan kami harus berjalan lagi menuju pos III sambil menahan kantuk.
Disini vegetasi semakin rapat dan semakin banyak dijumpai akar pohon malang melintang
membentuk undak-undakan. Medan menanjak, terasa semakin berat dengan kondisi fisik
semakin melemah. Kami masih berjalan dengan formasi sub tim yang sama. Ketika bertemu
dengan pos bayangan kamipun istirahat (tiduran lagi), awalnya berencana nge-camp di pos
ini, tetapi diurungkan (lebih baik di pos III). Dari sinilah perjalanan menuju pos III terasa
“nge-taste” dengan kondisi fisik yang sangat lemah serasa bekicot yang dipaksa berlari. Dan
istimewanya (dengan berjalan ngebut) ternyata pos III hanya berada sedikit diatas pos
bayangan yang kami gunakan untuk istirahat tadi. Setelah sempat masak-masak kemudian
semua tidur sampai pagi. Dome sengaja tidak dipasang, guna memperlancar perjalanan.
Tahap berikutnya adalah perjalanan panjang non stop: Pos III – Pos IV – Pos V –
Pos VI – Pos VII. Perjalanan pagi dimulai pukul 06.00, kondisi vegetasi relatif sama dan
mulai menampakkan kekhasan vegetasi gunung slamet yang berupa vegetasi hutan tropis,
sangat rapat. Beberapa bohon besar ditemui di kanan dan kiri jalur. Dijumpai pula akar
menjulur yang membentuk undak-undakan. Sesekali dijumpai tanaman merambat yang
memayungi jalur pendakian (yang semakin menanjak) hingga membentuk kanopi alami
dengan akar-akar tanaman merambat yang menjuntai. Di Pos IV terdapat batang pohon
besar yang sudah mati, cocok untuk tempat istirahat- duduk-duduk melepas lelah. Pos V
terdapat sebuah pondok (saat itusangat penuh) sedangkan Pos VI lebih kecil (saat itu
dipakai 1 dome, cukup untuk 2 dome ukuran besar. Pos VII juga terdapat pondok dan
dataran yang cukup lapang (ukuran sama seperti pos V) di pojokan pondok tumbuh
segerombol pohon edelweis, dari pos ini kita bisa melihat beberapa gerombolan pohon
edelweis di jurang bawah pondok dan jalur menuju pos VIII yang berada tepat dikanan atas
pondok.
Saat berjalan melewati antara pos V keatas membuat saya teringat akan jalur
pendakian di gunung yang pernah saya daki sebelumnya, antara lain Sumbing tepatnya
pada Jalur Pestan. Satu pertanyaan dalam pikiran saya, mungkinkah pada jaman dahulunya
jalur dikanan dan kiri pestan juga ditutupi padatnya vegetasi seperti di gunung slamet?. Dari
base camp hingga Pos VII saya tidak menemukan cantigi, tetapi menemui beberapa pohon
berdaun hijau berujung merah (dan apakah benar jenis cantigi di Gunung Slamet? 21
mengingat pohonya terlalu besar dan tidak bergerombol, serta membetuk semak khas
cantigi, seperti cantigi di puncak sindoro). Atau cantigi dapat ditemukan di atas pos VII,
mengingat saya hanya mentog di pos VII dan nggak kepikiran mencari vegetasi tersebut
sebelumnya. Sampai setelah berjalan turun menuju base camp, dan muncullah kemauan
kembali mendaki Si Slamet ini lagi lain waktu.
SYUKUR DAN KEKAGUMAN Agus Budi Setyawan (Topan Mississippi, M-II/004)
Tulisan ini tersesaikan satu bulan pasca ekspedisi Gunung Slamet oleh tim MPA
Mahameru. Selama kurun waktu itu pula semua anggota tim tidak bisa bersama-sama
karena faktor pekerjaan. Hanya satu dua diantara anggota tim yang masih bisa sering
bertemu atau berkumpul, selebihnya mungkin harus menunggu hingga satu tahun lagi untuk
menemukan momen bersama-sama seperti saat ekspedisi. Kendala-kendala semacam
inilah yang menyebabkan penyusunan tulisan ini harus dilakukan melalui komunikasi jarak
jauh, termasuk dengan Agus Topan. Dari beberapa kali komunikasi jarak jauh inilah, Topan
menyampaikan kesan-kesannya yang begitu mendalam mengenai ekspedisi Slamet.
Hampir sama dengan perasaan teman-teman yang lain tentunya, Topan juga masih
dalam situasi antara percaya tidak percaya telah menjejakkan kakinya di Puncak Gunung
Slamet. Sempat beberapa menit merasakan menjadi orang tertinggi di Jawa Tengah.
Pernah melintasi salah satu jalur pendakian gunung yang cukup “bergengsi” di Pulau Jawa,
dan menyaksikan sendiri keindahan sekaligus kedahsyatan alam Gunung Slamet. Atas itu
semua Topan tidak habis-habisnya mengucap syukur. Mendapatkan kesempatan langka
disela-sela kesibukan dan berhasil mencapai hasil maksimal tentu merupakan pencapaian
yang tidak biasa. Selain itu rasa bangga sebagai bagian tim MPA Mahameru yang
mengibarkan bendera di Puncak Slamet, walaupun sudah berstatus “golongan tua” rasanya
memang tiada duanya.
Melalui pesan singkat Topan menulis: Slamet adalah gunung yang sangat eksotis.
Mendapatkan kesempatan medaki kesana adalah hal yang luar biasa. Bukan saja karena
Slamet adalah gunung tertinggi di Jawa Tengah, tetapi lebih dari itu. Slamet adalah gunung
yang memiliki keindahan alam, selain itu kehidupan masyarakatnya masih mempertahankan
budaya dan kearifan lokal yang jauh dari hingar-bingar dan tidak terkikis modernisasi seperti
di kota. Pendakian Slamet mampu mengembalikan kesejukan dalam diri saya. Lebih dari itu
kebersamaan dengan sahabat-sahabat terbaik yang telah terpisahkan oleh jarak dan waktu
mampu mengobati rasa rindu. Rasanya berat sekali untuk sekian kalinya berpisah. Semoga
masih banyak kesempatan lagi untuk medapatkan kebersamaa yang indah itu.
22
MENGGALI MAKNA KEHIDUPAN DI LERENG SLAMET TTP Setyo Utomo, S.Pd. (Tyo 31 PSU, M-I/006)
Alhamdulillah setelah sekian lama pingin merencanakan dan belum kesampaian
akhirnya berhasil juga rencana untuk naik gunung lagi. Bermula dari SMS agus kitring atau
dikenal dengan nama “Topan Misisipi” bahwa temen-temen tua Mahameru fix untuk
pendakian ke Gunung Slamet, Personilnya antara lain saya sendiri (Tyo’31 PSU), agus
kitring , kang ari, Rohmad, Anggita, dan Riza (satu-satunya personel cewek yang ikut
pendakian ini). Wah gak nyangka yang ikut bisa sebanyak itu padahal awalnya saya juga
tidak terlalu berencana banget gara-gara ada isu mengalihkan pendakian ke Merapi, tapi
karena tiba- tiba saya kangen dengan suasana alam yang menentramkan ( ciee) dan
dengan sedikit egois tetap kekeh pingin ke Slamet, akhirnya merekapun manut, hahaha...
Alhasil mulailah kita berpetualang mendaki gunung Slamet yang terletak di sebelah utara
kota Purwokerto dan sebelah barat kota Purbalingga ini. Perjalanan ini merupakan hasil dari
pemikiran panjang sambil mengurai benang merah di antara kerumitan hidup. Maklum di
tengah rutinitas kesibukan kerja, kerja dan kerja, saya yakin saya sangat membutuhkan
petualangan ini untuk mencari sebuah filosofi ‘perjuangan’ dan temu kangen temen-temen
perjuangan. Dengan modal bismillah dan tekat yang bulat saya meninggalkan zona
kenyamanan saya demi mencari arti sebuah ‘perjuangan’. Saya ingat betul waktu awal
pertama mendaki gunung sungguh begitu berat rasanya, namun efeknya begitu sangat
besar bagi saya sendiri. Saya menjadi menghargai apa itu perjuangan menantang diri
sendiri dengan modal ‘paksa’. Dan itu yang akan saya ambil manfaatnya sebagai modal
semangat kerja hari ke depan nantinya.
Di sabtu pagi yang cerah kami memutuskan untuk ngumpul di terminal Giwangan
untuk berangkat. Ya , walaupun dari rencana awal jam 7 pagi sudah berangkat namun karna
kendala “RoyaL” yang tidak sesuai rencana kita jadi berangkat sekitar pukul 10.00 WIB .
Akhirnya sampai di tempat sekitar pukul lima sore di pos perijinan, dengan masuk tiket per
orang 8 ribu rupiah kalau nggak salah. Setelah beristirahat dan persiapan, kami
memutuskan untuk berangkat ba’da isya’ untuk mulai petualangan perjalanan kita.
Asyeeek,,,.
Baru menit-menit pertama, rasanya juga sudah lumayan wah di sini. Nafas sudah
mulai terengah-engah (maklum balung tuo, sebuah kata-kata untuk alibi hehehe) namun kita
masih bersemangat meskipun sempat nyasar salah jalur. Di lanjutkan lagi, kami mulai
mengobrol ringan agar lupa dengan perjalanan yang melelahkan itu. Sesekali kita juga
berhenti untuk istirahat jika dari kita ada yang butuh istirahat, sambil meneguk air minum
bawaan kita dan melihat pemandangan malam sekitar. Setelah kira-kira jam 12 malam angin
sudah mulai menunjukkan kedinginannya karena efek ketinggian, sehingga badan ini 23
rasanya makin sulit untuk bergerak dan saya pun kena penyakit itu lagi deh kalo lagi dingin:
malas. Weeeh tidak baik nih kalo lagi di tengah-tengah kaya gini. Benar saja, karena lelah
yang telah menguras tenaga, berkeringat namun dalam sekejap menjadi dingin karena suhu
yang rendah. Sehingga membuat saya terkapar sambil menunggu berharap temen-temen
mendirikan tenda yang akhirnya tidak terwujud karena Kang Ari punya pemikiran lain (apes
bakal kademen dan masuk angin kelas berat kie nak nggak dapet tempat ngusel pikirku).
Benar saja, waktu yang dalam sekejab, cepat sekali membuat saya agak tertidur dan
menggigil kedinginan.
Singkat kata, kita melanjutkan perjalan pagi harinya. Perjalanan semakin menguras
tenaga karena trek menanjak yang tidak ada putusnya dan jarang-jarang pula kami
menemukan tempat datar yang bisa dipakai untuk beristirahat sejenak. Tentu saja trek ini
merupakan trek penyesuaian langkah kami lagi menuju trek selanjutnya yang kelihatanya
juga tidak kalah menantang menuju puncak. Di tengah asyiknya perjalanan, perut saya agak
rewel saat itu. “Oh tidak, semoga ini cepat mereda” saya berkata dalam hati. Ternyata di
perjalanan selanjutnya perut saya sudah mulai nggak enak, rasa-rasa mau kenthut tapi
susah. Sudah berkali-kali saya bilang, “cah, pengen kenthut” dan akhirnya kentut itu keluar,
tak ada bunyinya tapi jelas berbau “maaf ya” hahaha, sehingga bikin malu namun sebentar
saja deh karena makian dan pujian telah keluar dari mulut temen-temen dengan tulus dan
jujur ahihihihihi, tapi terlihat satu orang yang sangat bahagia karena “aroma” itu, ya,, dia
adalah Rohmad, dia begitu menikmatinya sampai berulang kali dan mencapai klimaksnya
sampai hampir muntah ahahahahaha.
Sampailah kita di pos terakhir yang terdapat bangunannya setelah pos 1 dan 5.
Hmm,,, Cocok untuk istirahat dan membuka logistik, namun tidak ada sumber mata air
disekitar pos ini. Sarapan ala kadarnya pendaki seperti umumnya, mungkin dari kalian juga
pernah merasakannya walaupun sangat sederhana tetapi sangat nikmat. Mungkin akan
beda cerita dan rasa tentunya kala kita makan makanan itu di rumah atau di kosan, gak
doyan blas. Setelah perut kenyang terisi dan tenagapun kembali fit kita melanjutkan
perjalanan kembali. Barang bawaan seperti carier kami tinggal di Pos karena tidak
memungkinkan untuk dibawa kepuncak (mumpung ada Si Riza yang mau jaga hehehe), Air
minum, makanan ringan dan camera saja yang di bawa sampai puncak. Hal itu akan sangat
membatu kami berjalan mudah di bebatuan material letusan setelah batas vegetasi. Hutan-
hutan yang asri akan hilang ketika sampai di tempat yang dinamakan Sanghyang Rangkah,
dan berganti dengan semak-semak dan sesekali ditemui pohon khas pendaki atau pohon
eidelweis. Semak - semak yang asri juga akan tiba-tiba menghilang tanpa bekas ketika
sampai di Pelawangan (lawang = pintu) atau pintu menuju ke Puncak Slamet. Perjalanan
akan semakin menarik sekaligus juga berbahaya ketika kita melalui pelawangan ini.
Disamping hanya pasir dan batu dan sudut pendakian yang semakin membesar bahkan 24
sekilas seperti mendaki tebing, di daerah ini sangat rawan kecelakaan karena di kanan kiri
hanya ada jurang dan tidak ada satupun pohon untuk pegangan. Maka dibutuhkan ekstra
hati-hati dalam mendaki daerah ini, bahkan untuk keadaan tertentu sebaiknya sambil
merayap, karena pijakan kita bisa tiba-tiba longsor, karena medan yang dilalui adalah bukan
lagi tanah, namun batuan material letusan gunung yang labil. Jalan berpasir serta berbatu
dan sangat rentan untuk longsor. Nah dari pelawangan sampai puncak pola berjalan antar
rekan perjalanan harus diatur. Sehingga pola perjalanan disarankan jangan sejajar, harus
zig zag ataupun berpencar. Dengan dilaluinya daerah pelawangan ini maka akan
menemukan dataran yang tidak begitu besar dan disana tidak ada lagi daerah yang lebih
tinggi atau dengan kata lain telah sampai ke Puncak Slamet. Akhirnya sebuah perasaan
bangga sekaligus haru ketika saya berada di puncak tertinggi di Jawa Tengah karena harus
ditempuh dengan susah payah. Sebuah pemandangan yang sulit dibayangkan terbentang
disekeliling pandangan mata. Mulai dari bibir kawah yang masih sangat aktif sampai puncak
Gunung Suumbing yang letaknya sekitar 100 km arah timur Gunung Slamet terlihat dengan
jelas dan betapa indahnya ciptaan Tuhan. Dan satu hikmah yang didapatkan bahwa
ternyata manusia sangat kecil dihadapan Yang Maha Kuasa. Alhamdulillah kami mampu
menembus puncak 3428 Mdpl hari Minggu, tanggal 08 Juli 2012 dengan selamat. Meskipun
saya pendaki terakhir yang sampai puncak di antara rombongan yang ada, saya
PUAASSS....!!!
Kami menghabiskan waktu di puncak tidak lebih dari 1 jam. Karena hari sudah
semakin siang kami putuskan untuk turun. Perjalanan turun memang memerlukan waktu
lebih cepat. kami tiba kembali ke basecamp dengan personel lengkap meskipun dengan
langkah tertatih-tatih. Terima kasih.. Subhanallah walhamdulillah. Luar biasa..!!
kami bermalam dibasecamp untuk istirahat dan pulang ke Jogja pada pagi harinya. Disini
kami bersama masyarakat lereng Gunung Slamet, dan saya belajar banyak. Masyarakat
mempercayai bahwa Gunung Slamet adalah pusat dari pulau Jawa (bahkan sebagian
masyarakat jawa mempercayai hal itu). Posisinya sangat penting secara kosmologis,
geografis, budaya, sosial, ekonomi, hingga historis bagi wilayah di sekitarnya. Bahkan
mereka juga percaya bahwa gunung ini adalah gunung yang angker, yang banyak didiami
oleh mahluk halus. Masyarakat sekitar percaya gunung itu tempat sakral dan didiami
makhluk halus dan roh-roh leluhur. Kepercayaan itu menyebabkan Gunung Slamet sangat
penting dalam penciptaan keseimbangan alam. Mereka yakin, gunung itu memiliki daya
magis besar. Dalam perkembangannya, sistem kepercayaan masyarakat sekitar Gunung
Slamet ini menciptakan kearifan lokal untuk menjaga kelestarian alam Gunung Slamet.
Maka pemberian nama “Slamet” merupakan bagian dari kearifan lokal untuk menyadarkan
manusia agar mau menjaga keselamatan hidup dengan menjaga lingkungan secara baik.
Tujuannya, agar penunggu gunung tidak marah hingga memuntahkan material vulkaniknya. 25
kuatnya kepercayaan lokal terhadap kekuatan supranatural Gunung Slamet menyebabkan
kelestarian hutan di gunung itu hingga kini relatif terjaga. Hutan-hutan di lereng Slamet relatif
terpelihara.
Secara sosiologis dapat dilihat setiap masyarakat memerlukan solidaritas (dua tipe :
solidaritas mekanis dan solidaritas organis), begitupun kehidupan masyarakat lereng
Gunung Slamet. Solidaritas mekanis mudah di jumpai pada masyarakat “segmental” seperti
pada masyarakat di sekitar lereng Gunung Slamet, pada masyarakat seperti ini dengan tipe
solidaritas mekanis merupakan suatu tipe solidaritas yang didasarkan atas persamaan,
dengan demikian tidak terdapat kesalingketergantungan antara kelompok-kelompok
berbeda, tipe solidaritas yang didasarkan atas kepercayaan dan setiakawan ini di ikat oleh
seperti yang dikatakan Durkheim dinamakan conscience collective (hati nurani kolektif)
suatu sistem kepercayaan dan perasaan yang menyebar merata pada semua anggota
masyarakat. Yang dapat diuraikan sebagai kearifan lokal yang di praktekan dalam
kehidupan masyarakat disekitar lereng Slamet. Dari situ muncul budaya khas masyarakat
Jawa di lereng Gunung Slamet yang berbeda dengan Jawa arus utama seperti dialek
ngapak, karakter masyarakatnya yang terbuka atau blakasuta (selalu berkata jujur). Dan kita
tahu, dalam realitasnya, Gunung Slamet tampak lebih bersahabat dengan manusia.
Meskipun dalam tataran geologis tergolong gunung yang masih aktif, toh warga sekitar tidak
terlalu merisaukannya. Mungkin ada semacam keyakinan bahwa nama “Slamet” telah
menjadi gembok pengunci pintu bencana.
Terlepas dari mitos dan kepercayaan yang ada, gunung ini merupakan gunung yang
indah, terutama di Pelawangan yaitu daerah sebelum puncak. terima kasih buat teman-
teman semua, atas kesan-kesan yang indah selama perjalanan. Walaupun terasa sangat
berat perjalanan kita namun senyum kita tidak boleh hilang oleh apa pun. Semoga ini bisa
menjadi kenangan indah saat masing-masing dari kita sudah merasakan tidak muda lagi.
# hemm,,, jdi pengen nangis Hiks,,hiks,,,
26
JALUR PENDAKIAN GUNUNG SLAMET Via Bambangan
MENAPAK TILAS “JALUR SETAN” Anggita Dian H (M-V/006)
Gunung Slamet (3428 mdpal) terletak di wilayah lima kabupaten yaitu Kabupaten
Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, dan
Kabupaten Brebes. Sebagai gunung tertinggi di Jawa Tengah dan tertinggi ke dua di Pulau
Jawa gunung ini banyak menarik minat para pendaki. Sejak era awal Wanadri dan Mapala
UI jaman Soe Hok Gie gunung ini sudah mulai banyak dikunjungi. Suasana kejawen yang
mistik, hutan hujan tropis, serta keldera lautan pasir seakan menjadi magnet bagi para
pendaki. Untuk mencapai Puncak Gunung Slamet setidaknya ada enam jalur utama yaitu
Jalur Bambangan (Purbalingga), Jalur Baturraden (Banyumas), Jalur Kaliwadas (Brebes),
dan Jalur Dukuh Liwung (Tegal), Jalur Guci (Tegal), dan Jalur Gajah Nguling (Pemalang). Di
luar jalur-jalur yang umum di kalangan pendaki tersebut kemungkinan ada pula jalur-jalur
“tidak resmi” dari daerah yang lain.
Diantara semua jalur tersebut yang paling banyak dilewati pendaki adalah Jalur
Bambangan. Jalur ini dikenal memiliki mendan yang paling mudah. Meskipun demikian
jangan dibayangkan bahwa jalur pendakian ini mulus seperti jalan beraspal, atau ada anak
tangga seperti Jalur Cemorosewu Gunung Lawu. Jalur ini sama sekali tidak mudah. Selain
kemiringan rata-rata yang terjal kondisi lintasan juga cukup menyulitkan. Sekilas situasi di
Jalur Bambangan akan diuraikan dalam tulisan ini.
Bambangan merupakan sebuah dusun yang berada di ketinggian 1.500an mdpal.
Secara administratif termasuk dalam wilayah Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja,
Kabupaten Purbalingga. Bambangan konon berasal dari kata bamba yang berarti perapian
dari kayu bakar. Untuk mencapai Dusun Bambangan dari Yogyakarta kami menumpang bus
jurusan Yogya – Purwokerto, turun di klenteng pertigaan Sokaraja. Dari sana dilanjutkan
dengan menumpang bus jurusan Purwokerto – Bobotsari atau Purwokerto – Pemalang,
turun di Pertigaan Serayu. Dari Pertigaan Serayu terakhir kami naik angkot omprengan plat
hitam langsung menuju base camp di Dusun Bambangan.
Perjalanan dimulai dari Base Camp yang berada berseberangan jalan dengan masjid
berlantai tiga. Selain base camp, di ujung dusun ini juga terdapat pondok pendaki slamet.
Dari base camp perjalanan dilakukan dengan menyusuri sisa jalan aspal Dusun Bambangan
kemudian menjumpai gapura pendakian. Dari gapura ambil jalur ke kanan, jalur yang lurus
adalah jalan buntu menuju ladang petani. Apabila mengikuti jalur ke kanan selanjutnya akan
melewati ladang yang di sebelah kirinya ada sungai kering. Secara umum dari basecamp
menuju pos 1 merupakan daerah yang masih berupa perladangan yang sebagian besar
ditanami oleh sayur-sayuran seperti kol dan sawi. Setelah melewati perladangan akan
memasuki kawasan hutan yang banyak ditumbuhi oleh pohon pinus. Kira-kira 1 jam hingga 28
1,5 jam kita akan sampai di Pos 1 (Pondok Gembirung). Pos 1 berupa pondokan yang
dijadikan sebagai tempat gardu pandang bagi para wisatawan maupun pendaki yang ingin
melihat kota Purbalingga dan sekitarnya.
Begitu meninggalkan Pos 1 kita akan langsung memasuki kawasan hutan. Pos 1
sampai pos 5 bahkan sampai pos 7 kondisi vegetasi yang ada di hutan gunung slamet relatif
sama yaitu berupa semak belukar dan pohon-pohon besar sehingga cahaya matahari tidak
dapat menembusnya. Dari Pos 1 ke Pos 2 (Pondok Walang) membutuhkan waktu sekitar 2
jam. Setelah lewat pos 2 dengan berjalan 1 jam kita akan melewati 2 pohon besar yang
nampak seperti sebuah pintu raksasa. Konon katanya pintu tersebut adalah jalan gaib
menuju alam halus Gunung Slamet. Dari pohon besar tersebut kemudian berjalan lagi
sekitar 30 menit kita akan sampai di Pos 3 (Pondok Cemara). Pos ini sangat cocok untuk
camping site apabila tenaga dan kondisi tidak memungkinkan untuk camp di Pos 5 atau Pos
7. Walaupun diberi nama Pondok Walang dan Pondok Cemara namun di kedua pos
tersebut sama sekali tidak ada pondok. Satu-satunya pondok yang dijumpai dalam
perjalanan menuju Pos 3 hanya ada di Pos 1. Selain itu perjalanan dari basecamp ke Pos 3
relatif melelahkan dan membosankan karena kondisi vegetasi yang cenderung homogen. Di
Pos 3 tajuk pohon-pohonnya reatif rendah, selain itu tempat ini agak lapang dan bisa
menampung 3 tenda dome.
Dari Pos 3 kita akan mengambil jalur di sudut kiri, melintasi pohon tumbang. Karena
jalur yang sebenarnya terhalang oleh pohon tumbang tersebut maka banyak pendaki yag
membuat jalur baru dengan agak memutar ke bawah. Dari Pos 3 perjalanan dilanjutkan
menuju ke Pos 4 dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Pos 4 bernama Samaranthu yang
berasal dari 2 suku kata yaitu samar dan hantu yang berarti hantu yang samar atau tidak
terlihat jelas. Pos 4 terletak di sebelah kanan jalur pendakian, tempatnya agak lapang dan
biasa digunakan untuk camp. Setelah dari Pos 4 jalur pendakian akan semakin menanjak.
Dari titik ini kita sudah bisa melihat Puncak Gunug Slamet dan jalur pendakiannya yang
botak dan berbatu. Selanjutnya kita akan melewati jalur sempit dengan jurang yang dalam di
sebelah kiri jalur kemudian menanjak lagi hingga tiba di Pos 5.
Di Pos 5 (Samyang Rangkah) terdapat pondok yang cukup besar serta sumber air.
Pada musim kemarau sumber air ini kering, jadi para pendaki lebih disarankan untuk
membawa air dalam jumlah yang cukup banyak dari base camp. Pos 5 juga merupakan
pertemuan antara Jalur Bambangan dengan Jalur Baturraden. Selain pondok, di Pos 5 juga
ada tanah yang relatif lapang untuk mendirikan tenda oleh karena itu biasanya banyak
pendaki yang camp di pos ini. Jarak dari pos 5 ke pos 6 tidak terlalu jauh, kira-kira 30 menit
sudah sampai di pos 6 (Samyang Jampang), di pos 6 ini ada sebuah tanah lapang yang
juga bisa dipakai untuk mendirikan tenda oleh pendaki, namun cukup terbatas hanya bisa
menampung 1 atau 2 tenda dome. Selain itu tajuk pohon lamtoro di pos ini juga cukup 29
rendah. Pos 6 lebih cocok untuk istirahat sementara. Bila merencanakan untuk camp atau
bermalam maka lokasi yang menjadi favorit para pendaki adalah Pos 7 (Samyang
Katebonan). Untuk sampai pos 7 kita memerlukan waktu sekitar 45 menit perjalanan dari
Pos 6. Di pos 7 ada sebuah bangunan yang cukup besar di sebelah kanan jalur pendakian
yang dapat digunakan pendaki untuk bermalam. Di sini tempat yang cocok untuk
mempersiapakan diri sebelum summit attack ke puncak. Selain tempatnya yang lapang,
vegetasi di Pos 7 juga masih cukup rimbun, jadi terhalang dari angin atau badai gunung.
Diatas Pos 7 masih ada Pos 8 dan Pos 9 namun lokasi untuk mendirikan tenda hampir tidak
ada serta tidak terlindung dari angin, walaupun jarak ke puncak lebih dekat.
Lepas dari pos 7 jalur menuju pos 8 dilewati berupa rumput hijau yang disela-sela
pohon yang terbakar. Berdasarkan beberapa keterangan kawasan ini memang sering
mengalami kebakaran sejak tahun 1995. Pos 8 (Samyang Kendit) merupakan daerah yang
sangat sempit dan banyak ditumbuhi oleh semak-semak dan pohon-pohon kecil. Disebelah
kanan jalur terdapat jurang yang dalam. Jadi lokasi ini tidak sesuai untuk camp walaupun
pemandangan puncak dengan bebatuannya yang cadas nampak sangat indah. Dari Pos 8
sekitar 30-45 menit perjalanan kita akan sampai batas vegetasi antara tumbuhan dan
batuan. Daerah ini sering disebut daerah Plawangan yang artinya lawang atau pintu. Jadi
semacam pintu gerbang menuju Puncak Gunung Slamet. Plawangan juga merupakan Pos
9. Wilayah ini sangat rawan terjadi badai gunung.
Setelah melewati batas vegetasi jalan yang ditempuh menuju puncak berupa batuan
dan pasir, di tempat ini tidak akan menemui tumbuh-tumbuhan. Dalam perjalanan melewati
lintasan ini sebaiknya kita berhati-hati karena batuan yang labil sangat mudah longsor, jadi
bisa menyebabkan kita tergelincir. Selain itu anggota tim sebaiknya tidak menggunakan
lintasan yang sama untuk menghindari jatuhan batu akibat longsoran tadi. Lebih baik
berpencar tetapi jaraknya diusahakan tetap rapat. Apabila terjadi badai gunung maka jangan
sampai berpencar melebihi batas pandangan, usahakan tetap berkumpul dan tidak terlalu
mengambil jalur ke kiri atau ke kanan karena merupakan jurang yang dalam. Setelah
berjalan sekitar 90-120 menit dari Pelawangan maka pendaki akan mencapai Puncak
Gunung Slamet. Puncak gunung slamet berupa batuan yang sempit, tetapi di bawahnya ada
“lautan pasir” yang cukup luas. Di ujung lautan pasir terdapat kawah yang masih aktif dan
menghembuskan solfatara. Jika cuaca sedang cerah dari puncak ini kita bisa melihat pesisir
pantai utara, Gunung Ciremai di sebelah barat laut, serta Gunung Sumbing dan Sindoro di
sebelah timur.
30
MENDAKI PUNCAK TERTINGGI DI JAWA TENGAH
PERJALANAN MENDAKI PUNCAK SLAMET (3428 MDPAL) Arie Carstensz (M-I/002)
Lima tahun yang lalu aku berada di tempat ini. Suasana begitu mencekam saat itu.
Hanya kami berempat merayap di batu merah, tidak ada pemandangan indah, tawa riang,
atau sekedar sapaan hangat dari pendaki lain. Tidak, sama sekali tidak ada itu semua,
selain badai gunung yang meraung-raung dan jurang menganga di sisi kiri dan kanan
bebatuan merah. Kami merasa diawasi, burung jalak sesekali menghampiri. Setelah sejenak
berdiri di puncak dan pulang dibawah guyuran hujan, kisah pun diakhiri dengan manis.
Bendera MPA Mahameru telah berkibar menantang badai di Puncak Slamet yang cadas.
Hari ini aku berada di sini lagi, membawa segenggam harapan untuk kembali
mengibarkan bendera yang sama di puncak. Suasana begitu hidup bersama belasan
pendaki lain yang bersama-sama merayap menuju puncak. Tinggal beberapa puluh meter
lagi, walaupun nafas serasa hampir putus tapi aku merasa begitu bergairah. Rohmad yang
beberapa meter dibawahku masih kembang kempis memperjuangkan nafasnya. Topan,
Anggita dan Tyo beberapa puluh meter di bawah, tapi masih nampak jelas dengan baju
hitamnya. Cuaca sangat cerah, awan yang bergerak dari dasar lembah hanya naik sampai
di batas hutan untuk kemudian lenyap tak berbekas, sama sekali tidak menyentuh puncak.
Lalu sebentar kemudian semua lelah yang sedari tadi terasa mendadak sirna.
Rupanya tak ada lagi tempat yang lebih tinggi. Bendera kami kibarkan di puncak ketika
matahari tepat berada di atas kepala. Dibawah ada lautan pasir yang sangat luas.
Sedangkan agak jauh di batas pandangan nampak kawah mengepulkan asap pekat. Kini
kami telah berada di puncak memandangi keindahan di bawah sana, memandangi jalan
yang kami lalui untuk sampai disini dan akan kembali kami lalui untuk pulang. Jalan yang
telah memberi banyak kisah, banyak ujian, banyak kesan, dan banyak pelajaran untuk kami
menjadi pribadi yang lebih baik. Suatu kesempatan yang luar biasa, bisa memanjat
menyusuri lereng timur Slamet yang begitu dingin di waktu malam.
** ** ** ** **
“Libur telah tiba, libur telah tiba, hatiku gembira...” begitu sebaris lirik dari lagu anak-
anak. Walaupun kami bukan lagi anak-anak (bahkan bapak-bapak) tapi kami tentu juga
merasakan kegembiraan yang sama dalam menyambut hari libur panjang kenaikan kelas.
Dan meskipun tidak dengan perasaan sukacita yang menggebu-gebu seperti murid
muridnya, namun bapak-bapak guru ini juga mempunyai semangat yang sama besarnya
dalam menyambut libur panjang. Waktu yang telah ditunggu satu tahun lamanya akhirnya
datang juga, inilah saatnya, kami akan kembali mendaki gunung. 32
Ini adalah acara tahunan, begitu kami menyebutnya. Karena bagi kami anggota MPA
Mahameru yang sudah alumni dan tersebar untuk mengajar di berbagai tempat,
kesempatan untuk mendaki gunung tidaklah sebanyak ketika masih kuliah. Tentunya
terkendala masalah pekerjaan dan kalender akademik sekolah masing masing yang
seringkali tidak sama. Kebetulan karena libur panjang semuanya berada dalam kondisi
“ready”, jadi benar-benar momen yang pas bisa mengumpulkan para alumni sekaligus
merencanakan perjalanan bersama sama yang sudah sangat sulit dilakukan pada waktu
waktu normal selain liburan. Sebuah acara tahunan, moment yang sangat langka dan
mahal. Kami akan membayarnya dengan ekspedisi yang besar pula, mendaki ke atas
Puncak Gunung Slamet, puncak tertinggi di Jawa Tengah dan tertinggi kedua di Pulau
Jawa.
Pendakian gunung merupakan ekspedisi yang sama sekali tidak ringan, oleh
karenanya butuh perencanaan dan persiapan yang matang mencakup semua aspek yang
berkaitan dengan pelaksanaan ekspedisi ini. Meskipun ini libur panjang bukan berarti waktu
kami untuk berkumpul juga panjang, tetap saja terbatas karena kalender akademik masing-
masing daerah berbeda. Inilah yang menjadi kendala. Peserta dalam pendakian ini yaitu
aku, Riza, Anggita (kami bertiga “ready” di jogja), Rohmad (mengajar di Kabupaten OKU
Timur, Sumatera Selatan), Tyo (mengajar di Kabupaten Batang, Jawa Tengah), dan Agus
Topan (mengajar di Kabupaten Pati, Jawa Tengah), terkendala sulitnya koordinasi karena
semuanya tidak segera bisa berkumpul bersama untuk membicarakan perencanaan dan
persiapan pendakian. Jarak yang saling berjauhan dan tanggal libur yang tidak sama
menyebabkan koordinasi bersama sulit dilakukan dan terkesan kurang mantap. Sementara
pendakian Slamet termasuk dalam kategori berat, waktu semakin mepet, kondisi sulit yang
sempat membuat kami berpikir ulang untuk ke Slamet, alternatifnya jika gagal adalah
Merapi.
Awalnya kami merencanakan ekspedisi dilaksanakan tanggal 6, 7, 8 Juli 2012.
Tanggal 7 Juli merupakan target kami mencapai puncak, bertepatan dengan hari ulang
tahun MPA Mahameru yang ke 7. Tapi karena berbagai kendala akhirnya pemberangkatan
ditunda satu hari menjadi 7, 8, 9 Juli. Dan karenanya salah seorang anggota tim, Adiarto,
terpaksa mengundurkan diri karena tanggal 9 sudah harus kembali mengajar di sekolahnya.
Persiapan yang rumit, tapi akhirnya kami berangkat tanggal 7, bulan 7, tahun 2012.
Bertepatan dengan hari ulang tahun ke 7 MPA Mahameru.
Awal perjalanan Buntut dari koordinasi yang kurang mantap tadi adalah aku harus terpisah bis dengan
teman-teman dalam perjalanan Jogja-Purwokerto. Tapi tentu ini bukanlah permasalahan
besar yang menyebabkan terhambatnya ekspedisi. Kami kemudian berhenti di Sokaraja 33
untuk menumpang bis jurusan Bobotsari. Perjalanan masih akan sangat panjang, dan untuk
itu kami merasa perlu melakukan ritual penting terlebih dahulu di Sokaraja, makan siang.
Kebetulan diujung jalan nampak ada warteg yang begitu menarik pandangan kami.
Beberapa teman sudah lebih dulu makan siang dengan menu yang lebih mewah, “maklum
PNS” kata mereka. Haha..
Selesai makan siang dan urusan ‘ke belakang’, kami segera ke pangkalan untuk
menunggu bis jurusan Bobotsari. Kebetulan dapat bis jurusan Pekalongan yang agak
lumayan ugal-ugalan, jadi kami bisa menghemat waktu perjalanan menuju base camp.
Entah karena apa, rupanya kami menarik perhatian para penumpang dalam bis. Rata-rata
mereka bertanya “saking pundi mas?” (dari mana mas?) “bade tidak pundi mas?” (mau
kemana mas?) lengkap dengan logat ngapaknya. Kami jawab saja kalau kami dari Jogja
dan mau ke Slamet. “oh, mau mendaki to mas?, ngantos antos nggih” (oh, mau mendaki to
mas?, hati-hati ya) begitu pesan dari beberapa penumpang yang bersama-sama dengan
kami di dalam bis. Kata-kata ini nantinya akan semakin banyak kami degar dari orang-orang
lain menjelang pendakian ke Gunung Slamet.
Tiba di Pertigaan Serayu kami sudah disambut sebuah omprengan merah. “kita mulai
perjalanan yang menyenangkan menuju base camp Bambangan, kawan-kawan” kataku
disambut antusias oleh yang lain. Perjalanan melintasi tanjakan terjal dan kadang-kadang
berliku, melintasi kampung-kampung dan sesekali hutan pinus. Hawa dingin pegunungan
mulai berhembus memasuki jendela mobil yang sengaja kami buka, sekedar mengusir
aroma tidak sedap dari kami dan penumpang lain yang berjubel di dalam angkot
omprengan. Sesampainya di Kutabawa, mobil yang kami tumpangi belok ke kiri dan masih
tetap nanjak. Cuaca cerah dan di depan mata kami nampak Gunung Slamet berdiri
menjulang dengan gagah. “itu dia” kata hati kami, “kok tegak banget ya mas?” kata Anggita
tiba-tiba disusul dengan ledakan tawa kami semua di dalam omprengan yang terasa
semakin pengap.
Selesai sudah cerita kami di dalam omprengan yang penuh gelak tawa. “sudah
sampai di base camp, mas” kata bapak sopir? Hah.. aku kaget, diantara anggota tim ini aku
satu satunya yang pernah mendaki Gunung Slamet bersama Tim Mahameru. Itupun sudah
lima tahun yang lalu. Terus terang aku sudah lupa dimana base camp. “ya ini base camp,
mas. Masa iya saya bohong” kata pak sopir lagi. Kami segera turun mengangkuti barang
barang ke dalam base camp lalu berbincang dengan petugas disana.
“Disini sekarang lagi kesulitan air, hujan sudah tiga bulan tidak turun” kata orang base
camp memberi informasi. Ada lagi: “sekarang pendakian lagi ramai-ramainya, diatas
mungkin ada sekitar 80an pendaki, rata-rata camp di Pos 7 atau Pos 8” lanjutnya. Waduh,
terus kita mau camp dimana nih? Jalur pendakian Gunung Slamet via Bambangan ada 9
pos. Dari base camp ke Pos 1 kemudian ke Pos 2 dan Pos 3 jaraknya saling berjauhan. 34
Sementara dari Pos 4, 5, 6, 7, 8, 9 jaraknya saling berdekatan. Diantara pos pos tersebut
Pos 7 yang paling sesuai untuk camp karena jaraknya yang tidak terlalu jauh untuk summit
attack serta medannya yang sangat baik sehingga terlindung dari angin kencang dan badai
gunung. Tapi sebagaimana informasi, pos ini sudah penuh ditempati pendaki. “kalau camp
di Samarantu (pos 4), gimana?” tanyaku kepada pihak base camp. “wah, terlalu jauh mas,
kalau mau summit attack”.
Selepas sholat maghrib dan isya di masjid, tentu dengan dibekali pesan ‘hati-hati’ dari
warga kampung yang bersama-sama sholat di masjid, kami segera packing ulang dan
memulai perjalanan. Rohmad selaku ketua rombongan memimpin doa. “semoga perjalanan
kita ini dilindungi oleh Tuhan, semoga diberi keselamatan sampai pulang kembali, dan
semoga menjadi awal perjalanan yang baik untuk MPA Mahameru” selesai berdoa kami
berjalan di sisa-sisa aspal Dusun Bambangan sampai ke gerbang pendakian untuk berfoto
bersama, kemudian jalan satu-satu setelah aspal habis dan tinggal jalan setapak menuju
puncak.
Kesasar karena terlalu bersemangat Tyo, Agus Topan, dan Rohmad berjalan di depan, orang-orang yang begitu
bersemangat karena rindu pendakian. Baru saja melintasi gerbang kami menjumpai
percabangan jalan. Mereka bertanya kepadaku, “yang mana?” “wah, aku sudah lupa, tapi
sepertinya sih lurus aja terus” kataku. Awal perjalanan yang penuh semangat, kami melintasi
jalan setapak membelah ladang, nyaris tanpa berhenti. Baru ketika jalur semakin mengarah
ke kiri kami mulai merasakan janggal, “aneh jangan-jangan nyasar nih” kata Rohmad.
Sementara di igir sebelah kanan nampak ada cahaya lampu senter dari beberapa pendaki
yang sedang dalam perjalanan turun. “Sepertinya kita memang nyasar, tapi coba kita lanjut
sebentar lagi” begitu kira-kira kesepakatan kami.
Karena terlalu bersemangat dan terburu-buru, kami luput mencermati petunjuk di base
camp. Disana ada keterangan yang mengatakan, dari gerbang pendakian ambil jalur ke
kanan untuk menuju Puncak Slamet. Kami malah ambil jalan lurus yang buntu. Kebodohan
kecil akibat kurang teliti untuk memperhatikan petujuk-petunjuk kecil inilah yang membuat
kami nyasar di awal pendakian, membuang waktu, energi, dan semangat. Sayang sekali...
“Hus.. hus.. heaa.. heaa..” suara teriakan memecah keheningan malam, mengagetkan
kami yang sedang bingung antara nyasar atau tidak. Kami berhenti sejenak ditengah ladang
jagung, sepertinya memang sudah jelas bahwa kami nyasar. Jejak sepatu yang tadi kami
ikuti ternyata bukan sepatu pendaki tapi sepatu boot petani. Ditengah-tengah kami berpikir
suara teriakan berlanjut lagi. 35
“siapa disitu?”
“pendaki pak”
“mau ke puncak?”
“ya pak”
“wah, nyasar mas... kalau mau ke puncak jalurnya bukan disini, sampeyan harus kembali ke
gapura pendakian terus ambil kanan” kata bapak itu setengah berteriak.
Ternyata kami memang benar-benar kesasar. “Untung ketemu bapak ini ya?” kata
teman-teman “coba kalau tidak mau sampai dimana kita”. Dan malam yang hening menjadi
hangat oleh pembicaraan kami dengan bapak penjaga ladang ini, walau hanya sebentar
cukuplah ada informasi yang memberi petunjuk jalur mana yang harus kami lewati.
“maaf mas, saya kira babi hutan tadi” kata bapak itu, kami saling berpandangan satu sama
lain, “memangnya kita mirip babi hutan ya?”
“disini banyak babi hutan, mas. Suka merusak tanaman jagung, jadi kami harus berjaga
disini setiap malam” bapak itu melanjutkan bicara sambil berjalan mendekati kami.
“sendirian pak?” kata salah seorang teman.
“sama istri dan anak saya juga” lanjutnya.
Setelah berterima kasih kepada bapak dan keluarganya kamipun kembali turun untuk
menuju jalur yang benar menuju puncak. Ternyata untuk kesasar ini kami menghabiskan
waktu satu jam bolak balik. Kembali ke gapura pendakian, kembali mengawali perjalanan
dari nol, dan artinya jadwal keberangkatan tertunda satu jam. Inilah akibat terlalu semangat
dan penyakit lupa yang berkombinasi jadi satu. Kami semua tertawa, semangat masih tetap
ada.
Menggigil di Pondok Cemara Kami segera bergegas setelah mengambil ‘jalur yang benar’, dan tentu saja kamipun
bertemu dengan pendaki turun yang nyala lampu senternya sempat kami lihat tadi.
Perjalanan mulai terasa menjemukan, setelah melewati ladang sayur kami memasuki
wilayah sabana dengan hutan yang tumbuh jarang-jarang. Ditengah perjalanan kami disusul
oleh dua pendaki ‘bapak dan anak’ yang kemudian menjadi teman baru kami dalam
pendakian ini. Ceritanya, si anak (perempuan yang tentu saja membuat Anggita senang
bukan kepalang) baru saja lulus SMP dan diterima di SMA. Sesuai janji dengan bapaknya
kalau lulus SMP akan diperbolehkan untuk ikut mendaki, pengalaman pertama, tapi
sepertinya dia begitu antusias. Awalnya ada beberapa keluarga tetapi batal jadi tinggal
bapak dan anak ini saja yang mendaki. Mungkin karena merasa senasib, atau karena terlalu
riskan mendaki berdua dengan anaknya yang baru pemula, mereka akhirnya memutuskan
bersama dengan kami sepanjang perjalanan. Kami jalan mereka ikut dalam rombongan,
kami istirahat mereka juga istirahat, kami tidur-tidur ayam di pos mereka juga turut serta. 36
Berfoto bersama di awal perjalanan
Pos I tepat berada pada batas antara hutan pinus/sabana dengan hutan hujan tropis
yang lebat, kami tiba disini setelah kurang lebih satu jam berjalan dari gapura pendakian.
Pos I merupakan sebuah gubuk besar, di dalamnya ada ruang yang luas dan kursi-kursi
panjang. Sepertinya nyaman sekali membaringkan punggung di atas kursi itu, tapi jangan
coba-coba tergoda sebab perjalanan masih sangat jauh. Kami kemudian melanjutkan
langkah merambah hutan hujan, melewati jalan setapak yang tertutup oleh seresah
dedaunan yang gugur. Jalanan nanjak dan terus nanjak tanpa bonus. Perlu semangat dan
tenaga ekstra untuk sampai di Pos II. Waktu tempuh juga cukup lama. Hampir tengah
malam akhirnya kami sampai di Pos II. Kantuk rasanya tak tertahankan, mungkin karena
lelah setelah menempuh perjalanan jauh dari Jogja. Sesekali sambil beristirahat kami
tertidur, hanya sebentar karena ketika dingin mulai terasa kami harus bergerak lagi.
Malam mulai terasa menjemukan, pemandangan jutaan bintang sudah jarang terlihat
karena lebatnya hutan, selain itu jalur juga membosankan ditambah dengan kantuk yang
benar-benar susah dilawan. Kami bergerak perlaha-lahan menuju Pos III. Suatu ketika tim
terbagi menjadi II, Tyo, Topan, dan Rohmad bersama dua teman baru kami beristirahat
pada satu pos bayangan, sementara aku, Riza, dan Anggita beberapa meter di bawahnya.
Tidak jauh sebenarnya, tetapi karena lebatnya hutan seakan-akan kami terpisah. Sambil
beristirahat kuajak Anggita dan Riza mengobrol. Sial, mereka malah tidur, jadi tinggal hanya
aku sendirian yag berjaga di tengah hutan. Agak seram juga, dalam situasi seperti ini
terbayang kembali reputasi agker Gunung Slamet dan juga pengalaman seram lima tahun
yang lalu. Tanpa berlama-lama kubangunkan teman-teman dan kami bergerak menyusul
rombongan pertama diatas, ketika berhasil menyusul kami menjumpai mereka tengah
menggigil menahan dingin.
Setelah berlama-lama berjalan akhirnya kami sampai juga di Pos III, sepertinya waktu
sudah mulai dini hari. Dingin benar-benar tak tertahankan serasa menembus sampai ke
tulang. Godaan rasa kantuk dan gempuran hawa dingin tak bisa dilawan lagi. Setelah
berunding kami akhirnya memutuskan untuk camp di Pos III ini. Rohmad meminta
pedapatku apa sebaiknya camp dan membuat tenda disini. Menurutku tidak perlu, selain
karena waktu yang sudah menjelang pagi dan perjalanan masih jauh, berada di dalam tenda
akan membuat kami semakin malas dan kesiangan untuk menuju puncak. Sementara
pencapaian kami sejauh ini baru kurang lebih setengah perjalanan. Melihat rendahya tajuk
pohon yang tumbuh dan lebatnya hutan, kami tidur saja dengan matras dan sleeping bag
tanpa tenda. Di sisa waktu menjelang pagi ini kami menginap disini. Sebelum tidur Rohmad
dan Tyo sempat memasak, sementara aku dan Topan membuat api, Anggita memberesi
Pos yang akan dipakai untuk tidur, sedangkan Riza yang tadi nampak masih ikut memasak
nampaknya tak kuasa dibius kantuk. Setelah makan dan minum sedikit asupan hangat kami
tidur berdesakan seperti dendeng, malam ini benar-benar dingin. 38
Memberesi lokasi camp di POS III sebelum ke puncak. Gambar bawah: foto terakhir sebelum berpisah dengan ‘teman baru’ kami
Summit Attack Setengah Perjalanan Matahari sudah mulai terbit ketika satu persatu kami mulai menggeliat. Agak
disayangkan memang kami beristirahat baru di Pos III, padahal maksud hati di Pos VII.
Tentu konsekuensinya kami harus segera berangkat tanpa ada malas malasan. Di Pos III
inipun akhirnya kami berpisah dengan dua teman baru kami. Mereka turun ke base camp
sementara kami melanjutkan pendakian ke puncak, berjalan perlahan lahan menuju Pos IV.
Aku merasa sangat segar, begitu juga nampaknya dengan teman-teman. Satu satunya yag
tidak segar adalah ketut Tyo sepanjang jalan, buset baunya... kami semua pasti tidak akan
bisa melupakan kentut di Gunung Slamet ini, begitu bau sampai-sampai Rohmad yang
sedari tadi berjalan persis di belakang Tyo sempat muntah, menghirup aroma yang oleh Tyo
diklaim sebagai “belerang yang sudah turun dari kawah” begitu katanya. Aku kemudian
memilih berjalan di depan (menghindari kentut) tapi tidak jauh jauh dari Topan sebab dia
yang selalu punya makanan-makanan menyenangkan dalam careernya. Anggita berjalan
bersama Riza di belakang yang nampaknya kurang sehat.
Pos IV kami lewati begitu saja dan langsung menuju Pos V. Di Pos V kami sudah
mulai bertemu dengan pendaki yang camp, beberapa malah sudah dalam perjalanan turun
mungkin baru kembali dari mengejar sunrise di puncak. Pos V, Pos VI berlalu. Berjalan di
bawah rimbuh hutan lamtoro sangat membantu, sebab tanpa pepohonan ini pasti akan
terasa sangat panas. Tiba di Pos VII Riza nampak pucat, sepertinya kurang sehat dan
akhirnya memilih untuk beristirahat disini sambil menunggu kami kembali dari puncak.
Lucunya, kami mendaki ke puncak bersama para pendaki yang sejak tadi malam camp di
Pos VII. “ngapain aja ya mereka?” salah seorang teman meyeletuk. Untuk menghemat
energi hanya careerku saja yang dibawa ke puncak, cukup untuk membawa bekal bolak
balik ke Pos VII, dan yang tidak kalah penting untuk bergaya waktu difoto di puncak. Ada
ada saja.
Di Pos VIII vegetasi mulai jarang-jarang, hanya ada satu dua pohon lamtoro dan
semak belukar, sesekali dari sini nampak jalur cadas menuju puncak. Aku bisa
membayangkan betapa panasnya melewati jalur itu nanti. Kami hanya berharap semoga
tidak dehidrasi, selain itu kamipun harus berhemat air minum karena di lereng samet sama
sekali tidak dijumpai mataair. Dulu ketika aku mendaki kesini lima tahun yang lalu masih ada
sumber air dekat Pos V, tapi nampaknya sekarang sudah mati akibat kekeringan
berkepanjangan di wilayah Gunung Slamet. Kami mulai tidak sabar, ketika ada pendaki
turun aku sempat menanyakan apakah memoriam masih jauh? “ga ada memoriam tuh
mas?” jawab salah seorang pendaki. Loh, bukankah Pos IX perbatasan antara vegetasi
dengan bebatuan cadas ada memoriamnya. Disinilah pusat segala rasa seram lima tahun
lalu. Ternyata jalur sudah lebih lebar dan ada beberapa lintasan yang bisa dipilih, pantas
saja... 40
Pos 9 Pos 8
Pos 7 Pos 6
Pos 5
Pos 4 Pos 3
Pos 2
Pos 1
Lintasan pendakian melalui Jalur Bambangan dari basecamp hingga puncak. Dilihat dari citra SPOT Google Earth
Inilah pertarungan terakhir, benar benar summit attack. Melewati jalur cadas yang licin
sulitnya setengah mati. Sekali-sekali kami mendongak keatas, puncak nampak masih jauh,
masa bodoh kami jalan lagi, melangkah dua genjotan melorot satu langah begitu
seterusnya, dan jika tidak hati-hati kami bisa saja terbanting. Ternyata terik matahari tak
sepanas yang aku bayangkan tadi. Dalam hati kami tak henti-hentinya mengucap syukur.
Apalagi setiap ada gumpalan awan hitam merayap cepat dari dasar lembah, segera saja
terhambur dan menghilang ketika melewati batas hutan. Cuaca benar-benar cerah, padahal
kami telah was was kalau-kalau cuaca memburuk dan berawan karena kami baru mendaki
ke puncak selepas tengah hari. Dan satu hal lagi, pelawangan tanah merah yang sedang
kami lewati ini sangat rawan terjadi badai gunung.
Aku sendiri merasa begitu sehat, mugkin karena cuaca bagus jadi tidak ada lagi
ketakutan akan adanya badai seperti lima tahun lalu. Rohmad berjalan tepat di belakangku,
tetapi kemudian mengambil jalur sebelah kiri. Maklum saja, mengambil lintasan yang sama
dengan teman pada jarak yang terlalu dekat berarti menghadang gelinciran batu. Lintasan
sangat labil, apabila kami salah mengambil pijakan maka akan menggulirkan batu ke bawah
dan bersama dengan itu kamipun merosot beberapa meter ke bawah. Benar-benar
melelahkan. Ada tiga jalur menuju puncak yang mempunyai karakter seperti ini, Slamet yang
sedang kami daki sekarang, Merapi yang cenderung berbatu tetapi sekarang berpasir
setelah letusan tahun 2010, dan Semeru yang berpasir kasar. Semuanya sulit dilalui, jika
kita melangkah dua tiga genjotan maka ada satu perosotan ke bawah, begitu seterusnya.
Tyo, Topan, dan Anggita tertinggal beberapa puluh meter di bawah. Aku sempat
cemas karena akulah yang membawa career berisi bekal untuk ke puncak. Tapi kata
Rohmad, Topan juga membawa beberapa botol air, jadi cukuplah untuk ke puncak. Jika saja
mereka terlalu jauh dan baru menyusul kami setelah sampai di puncak. Ternyata bukan
hanya kami yang kelelahan, belasan pendaki lain juga merasakan hal yang sama. Sebentar
sebentar mereka berhenti lalu berjalan lagi. Ada pula yang tadi berjalan bersama kami lalu
entah kemana, setelah dicari ternnyata istirahat lama atau malah menyerah dan turun.
Perjalanan terakhir yang benar-benar menyulitkan.
Hampir satu jam lamanya melewati lintasan cadas, akhirnya aku dan rohmad tiba di
puncak. Pukul 12.10 WIB tanggal 8 Juli 2012. Tidak ada pendaki lain selain aku dan
Rohmad. Bendera segera kami kibarkan di puncak yang sempit, sementara di bawah
puncak terbentang lautan pasir yang sangat luas, di belakangnya terdapat kawah Slamet
yang mengepulkan solfatara. Akhirnya semua lelah dalam perjalanan ini terbayarkan. Kami
sujud syukur meluapkan kegembiraan. Cukup lama kami hanya berdua di puncak karena
hampir 30 menit kemudian Tyo, Topan, dan Anggita datang bergabung bersama pendaki
lainnya. Tyo bercerita bahwa dia tadi hampir menyerah dan putus asa melihat puncak yang
seakan tak bisa digapai. Tapi syukurlah sekarang kami semua telah sampai di puncak. 42
Melintasi hutan di waktu malam Kami tidak berlama-lama di puncak, karena perjalanan masih panjang untuk kembali
ke base camp. Jika tidak ingin kemalaman di dalam hutan kami harus bergegas. Target
kami adalah sampai di Pos I pada saat maghrib, jadi bisa sampai di basecamp menjelang
isya. Perjalanan turun jauh lebih cepat daripada naik, tentu saja karena kami tinggal
memerosotkan badan melalui pasir yang gembur. Tapi jangan salah memilih jalur, karena
jika mendapat batuan cadas dengan pasir tipis diatasnya maka kami bisa saja tergelincir.
Ternyata menjaga keseimbangan pada saat main perosotan ini juga cukup menguras
energi, hanya saja kami cukup diuntungkan karena singkatnya waktu perjalanan. Jika dalam
pendakian ke puncak kami menghabiskan waktu 1,5 jam dari Pos VII maka dalam
perjalanan turun ini kurang lebih 30 menit saja kami telah sampai di tempat Riza beristirahat
di Pos VII.
Perjalanan turun kami rasanya begitu cepat. Tentu karena dikejar target tidak mau
kemalaman dalam hutan. Kami berjalan dan terus berjalan dengan sedikit istirahat. Pos VI,
V, IV kami lewati begitu saja. Baru ketika sampai di Pos III kami beristirahat agak lama,
disinilah kami tidur semalam. Ternyata dalam perjalanan turun ini kami menjumpai banyak
pendaki yang sedang naik. Aku jadi ingat kata-kata jahil Fajrin, salah seorang kawan di
Mahameru, saat bersama-sama mendaki Gunung Welirag di Jawa Timur akhir Bulan April
lalu, “kebahagiaan terbesar dalam mendaki gunung adalah saat pulang dari puncak dan
melihat pendaki lain sedang naik menuju puncak”. dasar...
Kami berusaha untuk secepat-cepatnya toh maghrib kami baru sampai di Pos II.
Seingatku Pos II dan Pos I cukup jauh, mungkin perjalanan turun bisa menghabiskan waktu
1 jam. Sudahlah, aku mencoba berpikir positif karena ini perjalanan turun siapa tahu
perjalanan bisa lebih cepat. Yang jelas kemalaman di hutan benar-benar tidak
mengenakkan. Lima tahun lalu aku dan teman-teman menghadapi situasi paling kritis ketika
kehujanan di tengah gelapnya hutan, salah seorang anggota tim ada yang terserang
hypothermia, panik dan nyaris tersesat. Jam 11 malam kami baru tiba di base camp waktu
itu dalam kondisi yang sangat lelah.
Terus terang kamipun saat ini mulai mengalami kelelahan dan merasa kurang sehat.
Aku sendiri agak masuk angin, dan sepertinya merasa diare. Yang lain sedikit menderita
cedera sepulangnya dari puncak tadi. Hutan benar-benar lebat dan seperti tidak berujung.
Kami mulai frustrasi, ingin segera sampai ke luar hutan tetapi rasanya malah seperti
berputar putar saja. Sementara lampu senter satu demi satu padam, kabut tebal datang
meskipun tidak sampai turun hujan. Aku, Anggita, dan Rohmad terpisah dari Tyo, Topan,
dan Riza. Sebenarnya tidak terlalu jauh jarak diantara kami tetapi karena berada di dalam
hutan dan kondisi yang tidak nyaman rasanya kami seperti terpisah jauh menjadi dua
rombongan dengan beban dan kesulitan masing-masing. 45
Ketika rasa frustrasi sudah sampai puncaknya akhirnya kami tiba di Pos I. Perjalanan
sampai ke base camp mungkin masih 1 jam lagi. Kami semua yang menahan lelah dan ingin
segera sampai base camp menjadi mudah “korsleting”. Tapi tetap berusaha sabar dan
menegakkan disiplin mapala. Akhirnya kami berjalan perlahan membelah hutan pinus dan
ladang, berputar berbelok sampai bosan. Kabut tebal datang menyiramkan hawa dingin
sementara lampu Dusun Bambangan nampak samar-samar di kejauhan. Rasa lelah
memang menurunkan kemampuan berpikir secara logis, sampai-sampai kami merasa
nyasar padahal berada di jalur yang benar.
Setibanya di pintu gerbang pendakian aku segera bergegas menuju pondok pendaki,
mencari kamar mandi tetapi tidak ada lalu lanjut ke base camp melewati jalan aspal.
Ternyata berjalan di aspak rasanya jauh lebih menyakitkan kaki daripada jalan setapak di
gunung. Kaki sudah gempor dan seperti tidak mau digerakkan lagi. Anggita berjalan seperti
orang sakit polio sehingga dijuluki porter polio. Setelah melewati turunan curam yang
membuat kami harus mengerem kaki mati matian agar tidak jatuh, akhirnya kami sampai di
base camp, rasanya kami begitu bahagia saat itu. kira-kira 15 menit kemudian rombongan
kedua sampai di base camp juga dengan sumpah serapah karena lelah. Setelah bersih-
bersih kami semua makan malam, lalu masuk ke kantong tidur masing-masing dan tidur
seperti balok.
Pulang ke Jogja Pagi ini kami bangun dengan malas. Rasa lelah sedikit demi sedikit sudah hilang tapi
pegal pegal di kaki justru baru mulai terasa. Keluar dari base camp kami disuguhi
pemandangan keren, Gunung Slamet dari kaki hingga ke puncak, jalur yang kami lalui
kemarin nampak dengan jelas. Sayangnya Gunung Sumbing dan Sindoro di sebelah timur
tidak nampak karena berawan. Kami segera packing untuk pulang dan supaya bisa
mengejar bis “kelas mewah”, anggap saja hadiah untuk badan yang sudah bekerja keras
selama pendakian pergi pulang.
Omprengan merah telah setia menunggu dan menawarkan carter langsung ke agen
bis di Sokaraja. Ya sudahlah, daripada harus ganti-ganti bis akhirnya kami jadi diantar
omprengan dari Bambangan sampai Sokaraja berjalan mengelilingi lereng timur hingga
lereng selatan Gunung Slamet. “ternyata gunungnya gede banget ya, dan di lereng yang
lain hutannya lebat sampai di kaki gunung, gak seperti di Bambangan yang kaki gunungya
tertutup hutan pinus jarang-jarang” kata teman-teman.
Sialnya, sampai ke agen bis tiket sudah habis. Terpaksa aku dan Rohmad harus ke
terminal Purwokerto untuk mendapat bis yang lain. Sementara itu teman-teman yang lain
menunggu di Sokaraja. Ada cerita lucu, sambil menunggu aku dan Rohmad mencari bis
teman-teman yang kelaparan mencari sarapan. Tidak tanggung-tanggung mereka pesan 46
sarapan mewah: tongseng. Belum sampai makanan yang dipesan matang, aku telepon
Anggita bahwa 30 menit lagi bis sudah sampai Sokaraja dan lanjut pulang ke Jogja, teman-
teman kelabakan, tongseng dibungkus dan dimakan dalam bis. Haha.. “rasakan, biar sama
rasa sama suka” kataku dan Rohmad yang memang tidak sempat mencari sarapan sama
sekali di terminal Purwokerto. Kami semua tertawa...
Perjalanan ke Jogja di dalam bis “kelas mewah” terasa sangat menyenangkan.
Akhirnya ekspedisi selesai, kami telah berhasil mengibarkan bendera MPA Mahameru di
Puncak Slamet, kami telah melihat alam Indonesia, kami telah mengenal masyarakat
Indonesia dan kehidupannya dari dekat. Kamipun pulang membawa kabar dari Gunung
Slamet, tentang Dusun Bambangan yang tenteram, tentang masyarakatnya yang sederhana
dan bersahaja, tentang kekeringan yang belum teratasi, dan banyak kisah lainnya yang
mengajarkan kami untuk lebih dewasa. Seperti kata Rohmad “semangat pendakian yang
selalu aku terapkan dalam dunia kerja sehari-hari, semangat pendakian yang
mengajarkanku untuk tidak mudah mengeluh, tidak mudah putus asa, dan senantiasa
bersyukur. Kota demi kota kami lewati dan akhirnya kami tiba di Jogja sore hari 9 Juli 2012,
membawa setumpuk kisah dari Gunung Slamet.
47
Tempat Tanggal Lahir: Gunungkidul, 19 November 1984 Alamat: Belitang BK 10, Kabupaten Ogan Komering Ulu
Timur, Sumatera Selatan Kesan dari Slamet: “bersama sahabat ku dapat kama, bersama bintang ku berjalan menuju puncak, ku dapat samirana”
JOSH ROCXMAD M-I/003
Rohmad adalah pimpinan rombongan dalam ekspedisi ini.
Pria asli Jogja yang bekerja sebagai pengajar di Sumatera
Selatan ini sekarang sedang aktif memperkenalkan kegiatan
kepecintaalaman di kalangan generasi muda di tempatnya
bekerja.
Tempat Tanggal Lahir: Alamat:
TYO 31 PSU M-I/006
Tempat Tanggal Lahir: Pekalongan 9 Agustus 1987 Alamat: Pekalongan, Jawa Tengah Kesan dari Slamet: “WOW Amazing, Alhamdulillah ea kakak...” Riza adalah satu-satunya anggota tim perempuan dalam ekspedisi ini. Dia adalah alumni Jurusan Pendidikan Geografi FIS UNY angkatan 2005.
RIZA CHARISTINA, M-III/001
Tempat Tanggal Lahir: Bantul 4 Juni 1985 Alamat: Piyungan, Bantul, DIY Kesan dari Slamet: “Subhanallah, maha besar Allah yang telah menciptakan bumi ini beserta isinya” Agus Topan, alumni Jurusan Pendidikan Sosiologi FIS UNY angkatan 2004 ini sekarang bekerja sebagai pengajar sekaligus pembina pecinta alam di SMAN 1 Kayen, Kabupaten Pati Jawa Tengah
AGUS TOPAN, M-II/004
Tempat Tanggal Lahir: Magelang, 2 Maret 1986 Alamat: Magelang, Jawa Tengah Kesan dari Slamet: “Perjalanan yang luar biasa” Pria yang sehari-hari disapa Kang Arie ini merupakan alumni Jurusan Pendidikan Geografi Angkatan 2003. Pernah jug belajar di UGM dan sekarang bekerja di UNY ARIE CARSTENSZ, M-I/002
Tempat Tanggal Lahir: Jakarta, 21 Desember 1989 Alamat: Kedaton, Pleret, Bantul Kesan dari Slamet: “pengalaman yang istimewa bisa melakukan perjalanan bareng senior menuju puncak tertinggi”
ANGGITA DIAN, M-VI/006 Dia adalah anggota tim yang termuda diantara yang tua, dan saat ini menjabat sebagai ketua senat MPA Mahameru. Alumni Jurusan Pendidikan Geografi Angkatan 2007, ini akan wisuda pada bulan september 2012