Case Retensio Urine Post Partum

37
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai tempat untuk menampung produksi urine dan sebagai fungsi ekskresi. Selama kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan morfologi dan fisiologi. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa hari postpartum. Perubahan ini juga dapat memberikan gejala dan kondisi patologis yang mungkin memberikan dampak pada perkembangan fetus dan ibu. 1 Residu urine setelah berkemih normalnya kurang atau sama dengan 50 ml, jika residu urine ini lebih dari 200 ml dikatakan abnormal dan dapat juga dikatakan retensi urine. Insiden terjadinya retensi urine post partum berkisar 1,7% sampai 17,9%. Secara umum penanganannya diawali dengan kateterisasi. Jika residu urine lebih dari 700 ml, antibiotik profilaksis dapat diberikan karena penggunaan kateter dalam jangka panjang dan berulang. 1 1

description

Laporan Kasus Retensio Urine Post Partum

Transcript of Case Retensio Urine Post Partum

Page 1: Case Retensio Urine Post Partum

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu:

sebagai tempat untuk menampung produksi urine dan sebagai fungsi

ekskresi. Selama kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan

morfologi dan fisiologi.

Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat

kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urine

satu jam pertama sampai beberapa hari postpartum. Perubahan ini juga

dapat memberikan gejala dan kondisi patologis yang mungkin

memberikan dampak pada perkembangan fetus dan ibu.1

Residu urine setelah berkemih normalnya kurang atau sama dengan

50 ml, jika residu urine ini lebih dari 200 ml dikatakan abnormal dan dapat

juga dikatakan retensi urine. Insiden terjadinya retensi urine post partum

berkisar 1,7% sampai 17,9%. Secara umum penanganannya diawali

dengan kateterisasi. Jika residu urine lebih dari 700 ml, antibiotik

profilaksis dapat diberikan karena penggunaan kateter dalam jangka

panjang dan berulang.1

Retensio urin merupakan salah satu komplikasi yang bisa terjadi

pada kasus obstetri. Retensi urine postpartum dapat terjadi pada pasien

yang mengalami kelahiran normal sebagai akibat dari peregangan atau

trauma dari dasar kandung kemih dengan edema trigonum. Faktor-faktor

predisposisi lainnya dari retensio urine meliputi sectio cesarea , ekstraksi

vakum, epidural anestesia, pada gangguan sementara kontrol saraf

kandung kemih, dan trauma traktus genital.1,2

Kejadian retensio urin postpartum tercatat berkisar antara 1,7-17,9

%. Hal ini sepertinya disebabkan tidak akuatnya dan bervariasinya definisi

dan perbedaan dalam kriteria diagnostik. Penelitian secara restropektif di

bagian Ginekologi FK Unlam/RSUD Ulin Banjarmasin selama tahun

1

Page 2: Case Retensio Urine Post Partum

2002-2003 didapatkan sebesar 0,38%, dimana 11 kasus retensio urin

postpartum dari 2.850 persalinan yang dirawat diantaranya melalui dengan

cara sectio cesarea sebanyak 737 (25,85%), spontan sebanyak 1.891

(66,35%) dan vakum ekstraksi sebanyak 222 (7,78%). Usia penderita

terbanyak adalah kelompok usia 26-30 tahun, yaitu 4 kasus (36,3%) dan

paritas terbanyak adalah paritas 1, yaitu 6 kasus (54,5%). Berdasarkan

tindakan persalinan adalah spontan pervaginam 8 kasus (81,8%), vakum

ekstraksi 2 kasus (18,2%) dan sectio cesarea 1 kasus (1%).2

2

Page 3: Case Retensio Urine Post Partum

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Traktus Urinarius

A. Anatomi9

Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang,

terdapat sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri

vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak

sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal

ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan.

Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12),

sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau

iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus

transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka)

sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra

L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan

posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.

Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:

Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya

terdapat/terdiri dari korpus renalis/Malpighi (glomerulus

dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan

tubulus kontortus distalis.

Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya

terdiri dari tubulus rektus, lengkung Henle dan tubukus

pengumpul (ductus colligent).

Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid

ginjal

Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang

menonjol ke arah korteks

3

Page 4: Case Retensio Urine Post Partum

Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh

darah, serabut saraf atau duktus memasuki/meninggalkan

ginjal.

Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara

duktus pengumpul dan calix minor.

Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.

Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.

Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang

menghubungkan antara calix major dan ureter.

Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica

urinaria.

Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari

korpus renalis/ Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman),

tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus

distal yang bermuara pada tubulus pengumpul. Di sekeliling

tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh kapiler,yaitu arteriol

(yang membawa darah dari dan menuju glomerulus) serta kapiler

peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan

letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu

nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang relatif

jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle

yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu

nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki

lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan

pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai

vasa rekta.

Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan

percabangan dari aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan

bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui

hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris yang akan

4

Page 5: Case Retensio Urine Post Partum

memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen

superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.

Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk

persarafan simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui

n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini

berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan

persarafan simpatis melalui n.vagus.

Ureter

Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang

membawa hasil penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi)

dari pelvis renalis menuju vesica urinaria. Terdapat sepasang ureter

yang terletak retroperitoneal, masing-masing satu untuk setiap

ginjal. Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun

di depan m.psoas major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan

a.iliaca communis. Ureter berjalan secara postero-inferior di

dinding lateral pelvis, lalu melengkung secara ventro-medial untuk

mencapai vesica urinaria. Adanya katup uretero- vesical mencegah

aliran balik urine setelah memasuki kandung kemih. Terdapat

beberapa tempat di mana ureter mengalami penyempitan yaitu

peralihan pelvis renalis-ureter, fleksura marginalis serta muara

ureter ke dalam vesica urinaria. Tempat-tempat seperti ini sering

terbentuk batu/kalkulus.

Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta

abdominalis, a.iliaca communis, a.testicularis/ovarica serta

a.vesicalis inferior. Sedangkan persarafan ureter melalui segmen

T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus, serta

pleksus hipogastricus superior dan inferior.

5

Page 6: Case Retensio Urine Post Partum

Vesica urinaria

Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau

buli-buli, merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal

dari ginjal melalui ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke uretra

dan lingkungan eksternal tubuh melalui mekanisme relaksasi

sphincter. Vesica urinaria terletak di lantai pelvis (pelvic floor),

bersama-sama dengan organ lain seperti rektum, organ reproduksi,

bagian usus halus, serta pembuluh-pembuluh darah, limfatik dan

saraf.

Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk

tetrahedral yang terdiri atas tiga bagian yaitu apex, fundus/basis

dan collum. Serta mempunyai tiga permukaan (superior dan

inferolateral dextra dan sinistra) serta empat tepi (anterior,

posterior, dan lateral dextra dan sinistra). Dinding vesica urinaria

terdiri dari otot m.detrusor (otot spiral, longitudinal, sirkular).

Terdapat trigonum vesicae pada bagian posteroinferior dan collum

vesicae. Trigonum vesicae merupakan suatu bagian berbentuk

mirip-segitiga yang terdiri dari orifisium kedua ureter dan collum

vesicae, bagian ini berwarna lebih pucat dan tidak memiliki rugae

walaupun dalam keadaan kosong.

Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan

inferior. Namun pada perempuan, a.vesicalis inferior digantikan

oleh a.vaginalis. Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri

atas persarafan simpatis dan parasimpatis. Persarafan simpatis

melalui n.splanchnicus minor, n.splanchnicus imus, dan

n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan parasimpatis

melalui n.splanchnicus pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai

sensorik dan motorik.

6

Page 7: Case Retensio Urine Post Partum

Uretra

Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari

vesica urinaria menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa

perbedaan uretra pada pria dan wanita. Uretra pada pria memiliki

panjang sekitar 20 cm dan juga berfungsi sebagai organ seksual

(berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan uretra pada

wanita panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria memiliki dua otot

sphincter yaitu m.sphincter interna (otot polos terusan dari

m.detrusor dan bersifat involunter) dan m.sphincter externa (di

uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada wanita

hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung

kemih dan bersifat volunter).

Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars

prostatika, pars membranosa dan pars spongiosa.

Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari

collum vesicae dan aspek superior kelenjar prostat. Pars

pre-prostatika dikelilingi otot m. sphincter urethrae internal

yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat. Bagian ini

disuplai oleh persarafan simpatis.

Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang

melewati/menembus kelenjar prostat. Bagian ini dapat lebih

dapat berdilatasi/melebar dibanding bagian lainnya.

Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang

terpendek dan tersempit. Bagian ini menghubungkan dari

prostat menuju bulbus penis melintasi diafragma urogenital.

Diliputi otot polos dan di luarnya oleh m.sphincter urethrae

eksternal yang berada di bawah kendali volunter (somatis).

Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling

panjang, membentang dari pars membranosa sampai

7

Page 8: Case Retensio Urine Post Partum

orifisium di ujung kelenjar penis. Bagian ini dilapisi oleh

korpus spongiosum di bagian luarnya.

Sedangkan uretra pada wanita berukuran lebih pendek (3.5

cm) dibanding uretra pada pria. Setelah melewati diafragma

urogenital, uretra akan bermuara pada orifisiumnya di antara

klitoris dan vagina (vagina opening). Terdapat m. spchinter

urethrae yang bersifat volunter di bawah kendali somatis, namun

tidak seperti uretra pria, uretra pada wanita tidak memiliki fungsi

reproduktif.

B. Fisiologi10

Fungsi ginjal adalah a) memegang peranan penting dalam

pengeluaran zat-zat toksis atau racun, b) mempertahankan suasana

keseimbangan cairan, c) mempertahankan keseimbangan kadar

asam dan basa dari cairan tubuh, dan d) mengeluarkan sisa-sisa

metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.

Tahap pembentukan urin adalah :

1. Proses Filtrasi

Di glomerulus terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah

bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring

ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari glukosa, air,

sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus

ginjal. cairan yang di saring disebut filtrate gromerulus.

2. Proses Reabsorbsi

Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari

glikosa, sodium, klorida, fospat dan beberapa ion bikarbonat.

Prosesnya terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus

proximal. sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali

penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan tubuh.

8

Page 9: Case Retensio Urine Post Partum

Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan

sisanya dialirkan pada papilla renalis.

3. Proses sekresi.

Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal

dialirkan ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar

2.2. Definisi Retensio Urin

Retensio urin merupakan tidak adanya proses berkemih spontan

setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan dengan

urin sisa kurang dari 150 ml. Menurut Stanton, retensio urin adalah tidak

bisa berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter,

dimana tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung

kemih.1,2

2.3. Patofisiologi

Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian

dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling

berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung

kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem

saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf

simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan

meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan

oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang

dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan

proksimal uretra.1

Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang

simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi

oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama

yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik.1

9

Page 10: Case Retensio Urine Post Partum

Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf

sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan

informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat

aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase

pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral

dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.1

Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan

relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan

sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet

dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran

yang minimal.1

Retensi postpartum paling sering terjadi. Setelah terjadi kelahiran

pervaginam spontan, disfungsi kandung kemih terjadi 9-14 % pasien;

setelah kelahiran menggunakan forcep, angka ini meningkat menjadi 38

%. Retensi ini biasanya terjadi akibat dari dissinergis antara otot detrusor-

sphincter dengan relaksasi uretra yang tidak sempurna yang kemudian

menyebabkan nyeri dan edema. Sebaliknya pasien yang tidak dapat

mengosongkan kandung kemihnya setelah sectio cesaria biasanya akibat

dari tidak berkontraksi dan kurang aktifnya otot detrusor.1,2

2.4. Etiologi

Berkemih yang normal melibatkan relaksasi uretra yang diikuti

dengan kontraksi otot-otot detrusor. Pengosongan kandung kemih secara

keseluruhan dikontrol didalam pusat miksi yaitu diotak dan sakral.

Terjadinya gangguan pengosongan kandung kemih akibat dari adanya

gangguan fungsi di susunan saraf pusat dan perifer atau didalam genital

dan traktus urinarius bagian bawah.1

Pada wanita, retensi urine merupakan penyebab terbanyak

inkontinensia yang berlebihan. Dalam hal ini terdapat penyebab akut dan

kronik dari retensi urine. Pada penyebab akut lebih banyak terjadi

kerusakan yang permanen khususnya gangguan pada otot detrusor, atau

10

Page 11: Case Retensio Urine Post Partum

ganglion parasimpatis pada dinding kandung kemih. Pada kasus yang

retensi urine kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan

intravesical yang menyebabkan reflux ureter, penyakit traktus urinarius

bagian atas dan penurunan fungsi ginjal.1

Pasien post operasi dan postpartum merupakan bagian yang

terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat

dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan

pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik,

peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi

episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan

kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi

biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih

yang adekuat.1

Merujuk terhadap perubahan fisiologis masa nifas, retensi urin

postpartum dapat disebabkan oleh keadaan hipotonik dari kandung kemih.

Perubahan ini dapat berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa

minggu postpartum.

Selama proses persalinan, trauma tidak langsung dapat terjadi pada

uretra dan kandung kemih. Dinding kandung kemih dapat mengalami

hiperemis dan edema serta sering kali disertai daerah hemoragik. Rasa

nyeri pada panggul yang timbul akibat dorongan kepala bayi saat

persalinan serta rasa nyeri akibat laserasi vagina atau episiotomi dapat

mempengaruhi proses berkemih.

2.5. Gambaran Klinis

Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk

diantaranya kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat,

dan terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan

atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih.1

Suatu penelitian melaporkan bahwa gejala yang paling bermakna

dalam memprediksikan adanya gangguan berkemih adalah pancaran

11

Page 12: Case Retensio Urine Post Partum

kencing yang lemah, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna,

mengedan saat berkemih, dan nokturia.1,2

2.6. Diagnosis

Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga

pelvis, pemeriksaan neurologik, jumlah urine yang dikeluarkan spontan

dalam 24 jam, pemeriksaan urinalisis dan kultur urine, pengukuran volume

residu urine, sangat dibutuhkan.1

Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat

digunakan uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan

voiding cystourethrography.1

Dikatakan normal jika volume residu urine adalah kurang atau

sama dengan 50ml, sehingga jika volume residu urine lebih dari 200ml

dapat dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urine. Namun volume

residu urine antara 50-200ml menjadi pertanyaan, sehingga telah

disepakati bahwa volume residu urine normal adalah 25% dari total

volume vesika urinaria.1,2

2.7. Penatalaksanaan

Mengatasi masalah berkemih salah satunya dapat dilakukan dengan

intervensi bladder training diantaranya kateterisasi baik secara intermitten

4-6 jam sampai tercapai residu urin <150 ml, bila residu urin >150 ml

dipasang kateter menetap selama 24-48 jam. Bladder training merupakan

penatalaksanaan yang bertujuan melatih kembali kandung kemih mencapai

tonus otot otot kandung kemih yang normal sehingga tercapai kembali

pola berkemih normal. Pada perawatan maternal, bladder training

dilakukan pada ibu yang mengalami gangguan berkemih diantaranya pada

kasus retensi urin postpartum.

Ketika kandung kemih menjadi sangat menggembung diperlukan

kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48

12

Page 13: Case Retensio Urine Post Partum

jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan

kandung kemih menemukan kembali tonus normal dan sensasi.1

Bila kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan

dalam waktu 4 jam. Setelah berkemih secara spontan, kandung kemih

harus dikateter kembali untuk memastikan bahwa residu urine minimal.

Bila kandung kemih mengandung lebih dari 100 ml urine, drainase

kandung kemih dilanjutkan lagi.1

Dilakukan bladder training yaitu salah satu upaya untuk

mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke

keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik. Bladder training

merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi nonfarmakologi.

Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises

(latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay

urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal

berkemih). Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan

kencing (menunda untuk berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter,

Bladder training dapat dilakukan dengan mengklem aliran urin ke urin

bag. Bladder training dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan.

Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem

kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem

selama 20 menit dan kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini

memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot destrusor berkontraksi

sedangkan pelepasan klem memungkinkan kandung kemih untuk

mengosongkan isinya.

Dari beberapa literatur, bladder training dapat dilakukan sebelum

masalah berkemih terjadi pada ibu postpartum, sehingga dapat mencegah

intervensi invasif yang dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi

saluran kemih. Tujuan dari bladder training adalah melatih kandung kemih

untuk meningkatkan kemampuan mengontrol, mengendalikan dan

meningkatkan kemampuan berkemih. Secara umum pertama sekali

13

Page 14: Case Retensio Urine Post Partum

diupayakan dengan cara yang non invasif agar pasien tersebut dapat

berkemih spontan.

Dari beberapa literatur, salah satu intervensi non invasif yang dapat

dilakukan untuk mengatasi masalah perkemihan adalah menggunakan

alat Sitz bath dengan prinsip hidroterapi. Terapi ini menggunakan air

dengan posisi duduk pada alat Sitz bath. Prinsip hidroterapi ini untuk

menstimulasi sirkulasi darah di daerah pelvis. Aplikasi ini menggunakan

alternatif air dingin dan hangat. Sitz bath juga digunakan secara luas

dalam praktek medis salah satunya pada pasien retensi urin dan nyeri di

daerah pelvis tanpa gangguan neurologis. Dari literatur, aplikasi ini

terbukti bermanfaat untuk pemulihan organ urogenitalia eksterna.

2.8. Komplikasi

Retensi urin postpartum menimbulkan komplikasi pada masa nifas.

Beberapa komplikasi akibat retensi urin postpartum adalah terjadinya

uremia, infeksi, sepsis, bahkan ada penulis yang melaporkan terjadinya

ruptur spontan vesika urinaria.

Peningkatan tekanan intravesika akibat retensi urin pada periode

postpartum ini menimbukan komplikasi akut dan kronik pada ibu. Retensi

urin postpartum yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya

inkontinensia urin. Pada komplikasi akut, manifestasi yang nyata adalah

menimbulkan rasa nyeri sampai menyebabkan kerusakan permanen

khususnya gangguan pada otot detrusor dan ganglion parasimpatis pada

dinding kandung kemih. Sedangkan komplikasi kronik dari retensi urin,

menyebabkan refluks ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan

penurunan fungsi ginjal.

Karena terjadinya retensi urine yang berkepanjangan, maka

kemampuan elastisitas vesica urinaria menurun, dan terjadi peningkatan

tekanan intra vesika yang menyebabkan terjadinya reflux, sehingga

penting untuk dilakukan pemeriksaan USG pada ginjal dan ureter atau

dapat juga dilakukan foto BNO- IVP.1

14

Page 15: Case Retensio Urine Post Partum

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. M

Usia : 34 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Tunas Saur

Pekerjaan : Tenun

Agama : Islam

Dokter Pemeriksa : dr. Severina Adella, Sp.OG

Co. Assisten : Winda Rolita Firda, S.Ked

MRS : 18 Agustus 2014

SUAMI

Nama : Tn. S

Usia : 35 tahun

Jenis Kelamin : Laki - Laki

Alamat : Tunas Saur

Pekerjaan : Petani

Agama : Islam

3.2. Anamnesis

a. Keluhan Utama :

Pasien P2A0 mengeluh bengkak diperut bagian bawah dan sulit

BAK sejak 2 minggu yang lalu.

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Os MRS melalui poli kebidanan RSMP. Os post partus

anak kedua, sudah 20 hari mengeluh bengkak di perut bagian

bawah dan sulit BAK sejak 2 minggu yang lalu. Os mengeluh

BAK sedikit-sedikit dan mengedan. Os juga mengeluh demam

15

Page 16: Case Retensio Urine Post Partum

sejak 2 hari yang lalu. Kemudian Os berobat ke puskesmas

Indralaya, lalu dirujuk oleh bidan ke RSMP. Riwayat dengan

keluhan yang sama pada anak pertama (+).

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Asma (-), Hipertensi (-), DM (-), dan alergi obat (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Asma (-), Hipertensi (-), DM (-), Hepatitis (-)

e. Riwayat Menstruasi :

Menarche : 15 tahun

Siklus : 28 hari

f. Riwayat Perkawinan

Menikah satu kali, status masih menikah

g. Riwayat Persalinan

1. Perempuan, usia 8 tahun, lahir spontan, 3600 gr

2. Laki-laki, usia 22 hari, lahir spontan, 3500 gr

h. Riwayat KB :

KB suntik

i. Riwayat Operasi

Penderita belum pernah operasi sebelumnya

j. Riwayat ANC

Os mengaku melakukan pemeriksaan 9 kali selama kehamilan di

bidan puskesmas.

16

Page 17: Case Retensio Urine Post Partum

k. Kebiasaan Hidup

Merokok (-), Alkohol (-)

3.3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital

TD : 120 / 80 mmHg

N : 81x / menit

RR : 20 x / menit

Suhu : 39 º C

Kepala : Normocephali, rambut hitam, tidak mudah rontok

Mata : Conjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,

edema palpebra -/-

THT : Sekret telinga -/-, sekret hidung -/-, tonsil tidak

hiperemis, T1 – T1

Leher : KGB tidak membesar, tiroid tidak teraba membesar.

Thorax

Mammae : Simetris

Pulmo : Suara nafas vesikuler, ronki - / -, wheezing - / -

Cor : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Nyeri tekan dan pembesaran pada daerah

hypogastrica

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

3.4. Pemeriksaan Laboratorium

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal

1. Hb : 9,7 gr/dl 11,7-15,5 g/dl

2. Leukosit : 14.160 4000-11.000 g/dl

17

Page 18: Case Retensio Urine Post Partum

3. Diffcount : 0/0/2/86/7/5 1-2/0-1/3-5/54-62/25-33/3-7

4. LED : 96 mm/jam <15 mm/jam

5. Golongan darah : O A/B/AB/O

6. Rhesus Factor : + Negatif/Positif

7. Clotting time : 9 menit <15 menit

8. Bleeding time : 3 menit 1-6 menit

Urine Lengkap

9. Warna urin : Kuning tua kuning muda

10. Kejernihan : keruh jernih

11. PH urin : 6,5 4,6-8,0

12. Berat jenis : 1.010 1,001-1,035

13. Protein urin : ++ negatif

14. Bilirubin : negatif negatif

15. Urobilinogen urin : + positif

16. Nitrit : negatif negatif

17. Keton : negatif negatif

18. Leukosit urin : Penuh <5/LPB

19. Eritrosit urin : Penuh <2/LPB

20. Epitel urin : positif positif

21. Silinder urin : Granuler (+) negatif

22. Reduksi urin : negative negatif

23. Kristal urin : negatif negatif

24. Kristal Amorf : negatif negatif

25. Kristal Ca. Oxalat : negatif negatif

26. Kristal Uric Acid : negatif negatif

3.5. Diagnosis

Retensio urine postpartum

18

Page 19: Case Retensio Urine Post Partum

3.6. Penatalaksanaan

Observasi tanda-tanda vital

Cek laboratorium darah dan urine

IVFD RL xx gtt/menit

Injeksi ceftriaxone 2x1

Citrosol 3x1

Paracetamol 3x1

Nonflamin 2x1

Dc menetap 2x24 jam

Bladder training

3.7. Prognosis

Dubia ad Bonam

3.8. Follow Up Pasien

TANGGAL

/JAM

PERKEMBANGAN PASIEN

S O A P

18/08/2014 Tidak

bisa

BAK

KU: Baik

Sensorium:

Compos mentis

TD:120/80 mmhg

N: 80 x/m,

RR: 20 x/m

T: 39 o C

Retensio

urine

postpartum

IVFD RL

injeksi ceftriaxone

2x1

Citrosol 3x1

Paracetamol 3x1

Nonflamin 2x1

Kateter menetap

2x24 jam

19/07/2014 Sakit

kepala

KU: Baik

Sensorium:

Compos mentis

Retensio

urine

IVFD RL

injeksi ceftriaxone

2x1

19

Page 20: Case Retensio Urine Post Partum

TD:110/70 mmHg

HR: 84x/menit

RR: 20x/menit

T: 38,7°C

postpartum Citrosol 3x1

Paracetamol 3x1

Nonflamin 2x1

Kateter (+)

20/08/2014 Tidak

ada

keluhan

KU: Baik

Sensorium:

Compos mentis

TD:130/80 mmHg

HR: 86x/menit

RR: 20x/menit

T: 36,3°C

Retensio

urine

postpartum

IVFD RL

injeksi ceftriaxone

2x1

Citrosol 3x1

Paracetamol 3x1

Nonflamin 2x1

Bladder training /

4 jam

21/08/2014 Tidak

bisa

BAK

KU: Baik

Sensorium:

Compos mentis

TD:130/80 mmHg

HR: 86x/menit

RR: 20x/menit

T: 36,3°C

Retensio

urine

postpartum

Citrosol 3x1

Ciprofloxacin 2x1

Paracetamol 3x1

Nonflamin 2x1

Kompres air

hangat di daerah

suprapubik

Bladder training

intermitten / 2 jam

20

Page 21: Case Retensio Urine Post Partum

BAB IV

ANALISA KASUS

Pada kasus ini Ny. M 30 tahun datang ke poli kebidanan mengeluh sulit

BAK sejak 2 minggu yang lalu setelah melahirkan. Os didiagnosa retensio urine

postpartum ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang yang disesuaikan dengan literatur.

Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien P2A0 mengeluh sulit BAK sejak 2

minggu yang lalu. Keluhan dirasakan saat setelah Os pulang kerumah 1 minggu

setelah melahirkan. Os juga mengeluh BAK sedikit-sedikit dan mengedan saat

BAK. Selain itu Os mengeluh demam sejak 2 hari yang lalu. Os memiliki riwayat

keluhan yang sama pada anak pertama.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan dan pembesaran pada daerah

hypogastric. Sedangkan pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal.

Untuk penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat. Pasien diberikan terapi

injeksi berupa antibiotik ceftriaxone berfungsi untuk mencegah adanya infeksi

mikroorganisme berupa bakteri, antipiretik berupa paracetamol untuk tatalaksana

demam dan citrosol merupakan golongan prostaglandin. Prostaglandin telah

terbukti dapat mempengaruhi kerja otot-otot detrusor, meningkatkan sensitifitas

kandung kemih, meningkatkan tonus dan kontraktilitas otot detrusor. Nonflamin

digunakan untuk mengurangi peradangan serta nyeri dan pemasangan kateter

2x24 jam.

Ketika kandung kemih menjadi sangat menggembung diperlukan

kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam

untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih

menemukan kembali tonus normal dan sensasi.

Mengatasi masalah perkemihan salah satunya dapat dilakukan dengan

bladder training. Setelah pemasangan kateter 2x24 jam dilakukan bladder training

pada pasien, pasien disuruh berkemih setiap 4 jam, dilakukan selama 24 jam.

Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung

kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal

21

Page 22: Case Retensio Urine Post Partum

neurogenik. Bladder training adalah kegiatan melatih kandung kemih untuk

mengembalikan pola normal berkemih dengan menghambat atau menstimulasi

pengeluaran urin. Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di

antara terapi nonfarmakologi.

Pada perawatan maternitas, bladder training dilakukan pada ibu yang telah

mengalami gangguan berkemih seperti inkontinensia urin atau retensio urin.

Padahal sesungguhnya bladder training dapat mulai dilakukan sebelum masalah

berkemih terjadi pada ibu postpartum, sehingga dapat mencegah intervensi invasif

seperti pemasangan kateter yang justru akan meningkatkan kejadian infeksi

kandung kemih. Selama ini apabila ibu postpartum mengalami masalah BAK,

maka salah satu tindakan penyelesaiannya adalah melalui pemasangan kateter

untuk mencegah peregangan kandung kemih yang berlebihan. Dengan bladder

training diharapkan ibu postpartum dapat BAK secara spontan dalam enam jam

postpartum. Program latihan dalam bladder training meliputi penyuluhan, upaya

berkemih terjadwal, dan memberikan umpan balik positif.

Pada hari ketiga kateter pasien dilepas dan pasien diharapkan dapat

berkemih sendiri tanpa kateter. Namun, setelah kateter dilepas pasien masih sulit

untuk BAK. Kemudian kateter dipasang kembali dan didapatkan jumlah residu

urine sebanyak 800cc. Jika residu urine lebih dari 700 ml, antibiotik profilaksis

dapat diberikan karena penggunaan kateter dalam jangka panjang dan berulang.

Penatalaksanaan terhadap pasien ini adalah dilakukan bladder training kembali

secara intermitten 2 jam sampai tercapai residu urin <150 ml, bila residu urin

>150 ml dipasang kateter menetap selama 24-48 jam

22

Page 23: Case Retensio Urine Post Partum

DAFTAR PUSTAKA

1. Andi. Retensio Urin Post Partum. Dalam : Jurnal kedokteran

Indonesia, 20 Agustus 2014.

2. Junizaf. Tinjauan Kasus Retensio Urin Post Partum di RSUD Ulin

Banjarmasin 2002-2003. Jurnal Kedokteran dan Farmasi, Vol

19/1/2006. 10-13.

3. Hadi R. Persalinan dengan Cara Ekstraksi Vakum di RSUD dr.

Soedomo Madiun. Cermin Dunia Kedokteran No.133/2001. 31-34.

4. Diaa M, Mowafi E. Obstetrics Simplified. Department of Obstetric

and Gynaecology. Benha Faculty of Medcine, Egypt. 2002

5. Hamilton D, Fairly. Obstetric and Gynaecology. Second Edition.

Blackwell Publishing. 193-196

6. Sophie. AC, etc. Obstetric in Remote Setting. First Edition. 2007.

French. 88-90

7. P’ O Grady J. Vacuum Extraction. http://www.emedicine.com/med

/topic3389.htm

8. Barus PR. Infeksi dalam Kehamilan dan Persalinan. Cermin Dunia

Kedokteran. Edisi Khusus. No 80. 1992. 57-59

9. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa

Kedokteran; alih bahasa Liliana Sugiharto; Ed 6. EGC : Jakarta.

10. Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN

Edisi II. EGC: Jakarta

23