case anestesi resiko dm.doc

download case anestesi resiko dm.doc

of 39

Transcript of case anestesi resiko dm.doc

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    1/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    BAB I

    TINJAUAN PUSTAKA

    1.1. PENGERTIAN DIABETES MELITUS

    Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai kelainan

    metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada

    mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah (Mansjoer dkk,1999). Sedangkan menurut Francis

    dan John (2000), Diabetes Mellitus klinis adalah suatu sindroma gangguan metabolisme

    dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin

    atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau keduanya.(5)

    DM merupakan sekelompok kelainan yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah

    (hiperglikemi). Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah.

    Glukosa dibentuk di hati dalam makanan yang dikonsumsi. Insulin, yaitu suatu hormon yang

    diproduksi pankreas, mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi

    dan penyimpanannya.(5)

    Pada diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, atau

    pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini dapat menimbulkan

    hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti dibetes

    ketoasidosis dan sindrom hiperglikemia hiperosmolar nonketotik (HHNK). Hiperglikemia

    jangka panjang dapat mengakibatkan komplikasi mikrovaskular yang kronis (penyakit ginjal

    dan mata) dan komplikasi neuropati (penyakit pada saraf). DM juga meningkatkan insiden

    penyakit makrovaskuler yang mencakup insiden infark miokard, stroke dan penyakit vaskuler

    perifer.

    Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli anestesi

    dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat mengidap diabetes

    mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat mengalami tindakan

    pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di atas 50 tahun. Sedangkan di

    Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 %

    penderita diabetes mellitus akan mengalami pembiusan dan pembedahan. Karena faktor

    penyulit inilah mereka lebih banyak memerlukan pembedahan dari pada orang lain.(5)

    Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karenapenyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka

    1

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    2/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan

    disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, hipertensi,

    insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gangguan persendian jaringan kolagen

    (keterbatasan ekstensi leher, penyembuhan luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi

    granulosit yang inadekuat. Oleh karena itu perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada

    evaluasi preoperatif dan penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi

    preoperatif yang optimal.

    1.2. KLASIFIKASI

    American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in Diabetes(2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam (Dewi,

    Debhryta Ayu, 2009):

    1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya

    destruksi sel pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin.

    2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan

    sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.

    3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor

    lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel pankreas, kelainan genetik pada

    aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat

    penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan

    terapi setelah transplantasi organ).

    4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialamiselama masa kehamilan.

    1.3. PATOFISIOLOGI

    Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin

    dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada

    permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu

    rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes

    2

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    3/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak

    efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

    Tabel diunduh darihttp://ifan050285.wordpress.com/2010/03/15/diabetes-mellitus/pada tanggal 16

    Maret 2013 pukul 23.00

    Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah

    harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa

    terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan

    dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun jika sel-sel tidak

    mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan

    meningkat dan terjadi diabetes tipe II.

    3

    http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/15/diabetes-mellitus/http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/15/diabetes-mellitus/
  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    4/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II,

    namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi

    badan keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II.

    Meskipun demikan, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut

    lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi

    glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka diabetes tipe II dapat berjalan tanpa

    terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas,

    poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang

    kabur

    Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelainan yang heterogenik dengan karakter

    utama hiperglikemia kronis. Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor genetik

    dikatakan memiliki peran yang kuat dalam munculnya DM ini. Faktor genetik ini akan

    berinteraksi dengan faktor lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktivitas fisik,

    obesitas dan tingginya kadar asam lemak bebas. Pada DM terjadi defek sekresi insulin,

    resistensi insulin di perifer dan gangguan regulasi produksi glukosa oleh hepar.

    Penyakit diabetes membuat gangguan/komplikasi melalui kerusakan pada pembuluh

    darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik. Penyakit ini berjalan kronis dan terbagi

    dua yaitu gangguan pada pembuluh darah besar (makrovaskular) disebut makroangiopati, dan

    pada pembuluh darah halus (mikrovaskular) disebut mikroangiopati. Bila yang terkena

    pembuluh darah di otak timbul stroke, bila pada mata terjadi kebutaan, pada jantung penyakit

    jantung koroner yang dapat berakibat serangan jantung/infark jantung, pada ginjal menjadi

    penyakit ginjal kronik sampai gagal ginjal tahap akhir sehingga harus cuci darah atau

    transplantasi. Bila pada kaki timbul luka yang sukar sembuh sampai menjadi busuk

    (gangren). Selain itu bila saraf yang terkena timbul neuropati diabetik, sehingga ada bagian

    yang tidak berasa apa-apa/mati rasa, sekalipun tertusuk jarum /paku atau terkena benda

    panas.

    Kelainan tungkai bawah karena diabetes disebabkan adanya gangguan pembuluh darah,

    gangguan saraf, dan adanya infeksi. Pada gangguan pembuluh darah, kaki bisa terasa sakit,

    jika diraba terasa dingin, jika ada luka sukar sembuh karena aliran darah ke bagian tersebut

    sudah berkurang. Pemeriksaan nadi pada kaki sukar diraba, kulit tampak pucat atau kebiru-

    biruan, kemudian pada akhirnya dapat menjadi gangren/jaringan busuk, kemudian terinfeksi

    dan kuman tumbuh subur, hal ini akan membahayakan pasien karena infeksi bisa menjalar ke

    seluruh tubuh (sepsis). Bila terjadi gangguan saraf, disebut neuropati diabetik dapat timbul

    4

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    5/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    gangguan rasa sensorik, kurang berasa sampai mati rasa. Selain itu gangguan motorik, timbul

    kelemahan otot, otot mengecil, kram otot, mudah lelah. Kaki yang tidak berasa akan

    berbahaya karena bila menginjak benda tajam tidak akan dirasa padahal telah timbul luka,

    ditambah dengan mudahnya terjadi infeksi. Jika sudah gangren, kaki harus dipotong di atas

    bagian yang membusuk tersebut. Gangren diabetik merupakan dampak jangka lama

    arteriosclerosis dan emboli trombus kecil. Angiopati diabetik hampir selalu juga

    mengakibatkan neuropati perifer. Neuropati diabetik ini berupa gangguan motorik, sensorik

    dan autonom yang masing-masing memegang peranan pada terjadinya luka kaki. Paralisis

    otot kaki menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan di sendi kaki, perubahan cara

    berjalan, dan akan menimbulkan titik tekean baru pada telapak kaki sehingga terjadi kalus

    pada tempat itu.

    Gangguan sensorik menyebabkan mati rasa setempat dan hilangnya perlindungan

    terhadap trauma sehingga penderita mengalami cedera tanpa disadari. Akibatnya, kalus dapat

    berubah menjadi ulkus yang bila disertai dengan infeksi berkembang menjadi selulitis dan

    berakhir dengan gangren. Gangguan saraf autonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit

    sehingga kulit kering dan mudah mengalami luka yang sukar sembuh. Infeksi dan luka ini

    sukar sembuh dan mudah mengalami nekrosis akibat dari tiga faktor. Faktor pertama adalah

    angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik sehingga mekanisme

    radang jadi tidak efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah yang subur untuk

    perkembangan bakteri patogen. Faktor ketiga terbukanya pintas arteri-vena di subkutis, aliran

    nutrien akan memintas tempat infeksi di kulit.

    1.4. DIAGNOSIS

    Diagnosis klinis DM umumnya akan akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa

    poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

    sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal,

    mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika

    keluhan khas, pemeriksaaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk

    menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga

    digunakan untuk patokan diagnosis DM karena lebih mudah diterima oleh pasien serta

    murah. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM , hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru

    satu kali saja abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl. Kadar glukosa darah

    5

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    6/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    sewaktu mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO)

    didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200mg/dl. Namun TTGO dalam

    prakteknya sangat jarang dilakukan. (Reno Gustaviani, 2007. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam

    edisi keempat Jilid III).(4)

    Tabel Kriteria diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006

    Tabel diunduh darihttp://ifan050285.wordpress.com/2010/03/15/diabetes-mellitus/pada tanggal 16

    Maret 2013 pukul 23.00

    1.5. EFEK PEMBEDAHAN DAN ANESTESI PADA METABOLISME PENDERITA

    DIABETES MELITUS

    Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah karena

    salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau karena resistensi

    insulin. Kadar gula darah tergantung dari produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama

    pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi

    katekolamin, glukagon, kortisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi

    pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan

    glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi

    juga oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon

    dan prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia epidural

    tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara blokade aferen.

    6

    http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/15/diabetes-mellitus/http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/15/diabetes-mellitus/
  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    7/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 /kg) sebagian dapat mencegah

    respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek menghambat yang lebih kecil,

    meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi.

    1.6. FAKTOR RESIKO PEMBEDAHAN DAN ANESTESI PADA PENDERITA

    DIBETES MELITUS

    Proses pembedahan merupakan stres fisik tersendiri yang ditandai proses katabolisme,

    peningkatan metabolisme, peningkatan pemecahan protein dan lemak, balans nitrogen

    negatif, starvasi, dan intoleransi glukosa. Derajat perubahan metabolik sangat terkait dengan

    prosedur pembedahannya, lama pembedahan, dan komplikasi yang terjadi. Terjadi juga

    peningkatan sekresi hormon-hormon katekolamin, ACTH, kortisol, hormon pertumbuhan( GH ), dan glukagon selama operasi sebagai akibat kekacauan metabolisme.

    Respon stres terhadap pembedahan berupa peningkatan kadar gula darah pada

    penderita non diabetes adalah akibat sekresi dari hormon katabolik dan terdapatnya defisiensi

    insulin relatif. Defisiensi relative terjadi akibat kombinasi penurunan sekresi insulin dan

    resistensi insulin. Resistensi insulin terjadi akibat meningkatnya sekresi hormon anti insulin

    ( kortisol, growth hormon, epinefrin, dan katekolamin ) serta tejadinya perubahan pada paska

    reseptor insulin yang mengakibatkan penurunan transport glukosa transmembran.

    Jenis anastesi juga mempunyai pengaruh metabolik pada penderita diabetes. Anastesi

    ekstradural dan spinal mempunyai pengaruh yang lebih ringan dibandingkan general. Obat-

    obat anastesi seperti eter, chloroform, dan cyclopropane dapat meningkatkan kadar gula

    darah, mobilisasi asam lemak, inhibisi sekresi insulin, dan peningkatan sekresi katekolamin

    dan ACTH.

    Semua efek metabolik pembedahan di atas akan memperberat kondisi pada pendeita

    diabetes. Adanya katabolisme dapat menyebabkan pelepasan asam lemak, ketogenesis,

    hiperglikemia, dan bahkan dapat menyebabkan ketoasidosis. Oleh karena itu tujuan utama

    dari pengelolaan selama pembedahan adalah mencegah terjadinya dekompensasi

    metabolisme bersamaan mencegah terjadinya hipoglikemia sehingga tercapai kontrol diabetik

    yang baik selama pembedahan.

    Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan

    morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat muncul

    adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11

    % pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi

    7

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    8/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah

    4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung.(6)

    Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan

    mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh:

    1. Sepsis

    2. Neuropati autonomik

    3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah

    perifer)

    4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar

    Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati

    autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap

    penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 %

    untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke

    mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya

    disfungsi autonomik meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada

    hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa

    pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini

    terjadi karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun

    belum ada penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko

    tinggi.(6)

    Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan

    mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens

    kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi

    ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration

    rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus

    difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang

    aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme

    yang hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia

    sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan

    peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal

    tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan

    kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit

    akan pulih.

    8

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    9/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Maka Faktor Resiko pada Penderita diabetes melitus :

    1. Infeksi & sepsis : fungsi leukosit terganggu, dan bila gula darah < 250 mg/dl fungsi

    leukosit pulih

    2. Neuropatik otonom

    - Hipotensi ortostatis (Penurunan TD > 30 mmHg pada perubanhan posisi tegak berdiri)

    - Hipotensi berat setelah pemberian anestesi

    - Penurunan respon Heart Rate terhadap atropin dan propanolol

    - Respon abnormal hipoksia yang dapat menyebabkan pasien meninggal mendadak

    - Hipotermia intra operatif

    - Nyeri berkurang pada pasien dengan Myocard iskemik (Sailent Myocard Iscemic)

    - Nerogenic Bladder yang dapat menyebabkan retensi urin

    - Gastroparesis menyebabkan resiko aspirasi, cegah dengan pemberian metroclopamid

    untuk mempercepat pengosongan lambung.

    - Keringat berkurang

    - Impotensi

    3. Gangguan ginjal

    - Mikroalbuminuria proteinuria

    - Gangguan GFR Kreatinin menigkat

    - Penurunan GFR menyebabkan hipertensi ringan

    - Stenosis arteri renalis (sklerotik) menyebabkan hipertensi berat / hipertensi tiba-tiba

    - Gagal Ginjal

    4. Diuresis hipoosmolar, pasien mudah terjadi dehidrasi

    5. Stift Join Sindrome , timbul kekakuan sendi atlantooccipitalis yang dapat menyebabkan

    kesulitan melakukan tindakan intubasi.

    1.7. PENILAIAN PRABEDAH

    Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan

    susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik pasien.

    Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa,

    elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri koroner,

    gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan dengan

    meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus . Pasien dengan hipertensi mempunyai

    9

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    10/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    insidensi neuropati autonomik hingga 50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai

    insiden hanya 10%. Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan

    pra bedah.

    PHYSICAL STATUS

    Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan pra bedah, selanjutnya dapat dibuat

    penilaian status fisis. ASA mengklasifikasikan pasien kedalam beberapa tingkatan pasien

    berdasarkan kondisi pasien :

    - ASA I : Pasien normal, sehat fisik dan mental

    - ASA II : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsi

    - ASA III: pasien dengan penyakit sedang hingga berat dan mengalami keterbatasan

    fungsi

    - ASA IV : pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam nyawa.

    - ASA V : penderita yang diperkirakan tidak akan selamat dalam 24 jam, dengan atau

    tanpa operasi.

    - ASA VI : penedrita mati batang otak yang organ-organya dapat digunakan untuk

    donor.

    - E : Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA

    diikuti huruf E ( e.g I E atau II E )

    1.8. ANESTESI PADA PENDERITA DIABETES MELITUS

    Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam

    metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat

    induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif.

    Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol

    jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan

    menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan

    menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika

    midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara

    kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.

    Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan

    hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara efektil

    10

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    11/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan

    melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon

    hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada

    pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.

    Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, mencegah efek insulin untuk transport

    glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas

    simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan

    pada pasien cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap peningkatan

    hormon ; pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian

    invitro halotan dapat menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia,

    tetapi tidak sama pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran

    dan isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap kadar gula darah.

    Pengaruh propofol pada sekresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik

    menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi. Meskipun hal

    tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau

    hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat

    propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa

    diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang

    menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.

    Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau

    subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada

    pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi

    penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan

    komplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam

    mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan

    tindakan operasi.

    1.9. TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM

    Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade

    regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin residual,

    Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai

    pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum

    dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat

    11

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    12/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    kompetitif reseptor adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan

    menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parstal.

    Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia

    umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan pembedahan

    dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko

    yang lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik. Hipotensi yang dalam

    dapat terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria,

    serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat

    dengan penggunaan teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi

    pada anestesia spinal dan epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah

    anestesia epidural dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional.

    Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar

    terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.

    1.10. KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF

    Tujuan pokok adalah :

    1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.

    2. Memberikan kecukupan karbohidrat untuk mencegah metabolisme

    katabolik dan ketoasidosis.

    3. Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.

    Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya

    membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Untuk bedah yang relatif

    kecil, jangan diberikan obat anti diabetes oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat kerja

    lama 2 hari sebelum pembedahan. Untuk bedah besar, dosis kecil insulin mungkindibutuhkan untuk mengontrol kadar gula darah dan glikosuria

    Indikasi pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi di bawah ini:

    1. Gula darah puasa > 180 mg/dl

    2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%

    3. Lama pembedahan lebih 2 jam

    Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol metabolik yang buruk, mungkin

    perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis insulin. Untuk

    12

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    13/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    bedah minor cukup dengan pemberian insulin subkutan. Pada pagi hari sebelum pembedahan,

    pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara subkutan, bersamaan dengan

    pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga dosis insulin normal

    diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin normal

    untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis insulin normal untuk

    kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar glukosa darah rendah, atau normal

    tetap membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik

    stres pembedahan, penurunan metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin,

    DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis dengan pembedahan.(6)

    Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling

    sering digunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total insulin

    pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:

    Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin

    perioperatif pada pasien DM

    Pemberian secara bolus Infus kontinyu

    Preoperatif D5W (1,5 ml/kg/jam)

    NPH insulin (1/2 dosis biasa

    pagi hari) (NPH=neutral

    protamine Hagedorn)

    D5W (1 ml/kg/jam)

    Regular insulin Unit/jam =

    Glukosa plasma : 150

    Intraoperatif Regular insulin

    (berdasarkan sliding scale)

    Sama dengan preoperatif

    Pascaoperatif Sama dengan intraoperatif Sama dengan preoperatif

    Tabel diunduh darihttp://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feedspadapada

    tanggal 20Maret 2013 pukul 21.00

    Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena

    dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien yang normalnya

    mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150

    13

    http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feedshttp://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feeds
  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    14/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m. sebelum pembedahan bersama-sama dengan

    infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam). Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien

    mengalami hipoglikemia (250 mg/dl)

    diobati dengan RI intravena berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada

    orang dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus diingat

    bahwa dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien dalam keadaan

    katabolik (sepsis, hipertermi).6,8

    Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus secara

    kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih tepat

    dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat

    ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1

    unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam

    250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi

    fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus

    Roizen):

    Gukosa plasma (mg/dl)

    Unit perjam = atau

    150

    Glukosa plasma (mg/dl)

    Unit per jam =

    100

    pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi

    Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin

    menyebabkan pergeseran kalium intraselular.6,8

    Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama.

    Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:

    Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan

    intra vena. Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi

    ginjal. Infus lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:

    1. Campur 50 RI kedalam 500cc 0,9%Nacl.

    2. Infuskan dengan larutan 0,5-1 /jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).

    14

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    15/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    3. Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di bawah

    ini :

    Kadar gula darah mmol (mg/dl) Kebutuhan insulin

    4,4 ( 80 ) Matikan pompa, beri glukosa IV

    4,4 - 6,6 ( 80 - 120 ) Kurangi insulin menjadi 0,2 - 0,7

    u/jam

    6,6-9,9 (120 - 180) teruskan insulin 0,5 - 1 /jam

    9,9 - 13,2 (180 - 240) . Naikkan laju insulin 0,8 - 1,5 /jam

    > 13,75 (>250) Laju insulin 1,5 /jam atau lebih

    Tabel diunduh darihttp://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feedspadapada

    tanggal 20Maret 2013 pukul 21.00

    Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal

    penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah

    menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan

    terapi sesuai sasaran.1,9

    Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan

    regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah satu

    teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5%

    ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan

    mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc

    larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian

    cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di

    bawah ini:

    Kadar gula Infus insulin

    < 150 mg/dl 5 cc/jam (1 unit/jam)

    150 - 250 mg/dl 10 cc/jam (2 unit/jam)

    15

    http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feedshttp://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feeds
  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    16/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    250 - 300 mg/dl 15 cc/jam (3 unit/jam)

    300 - 400 mg/dl 20 cc/jam (4 unit/jam)

    Tabel diunduh darihttp://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feedspadapada

    tanggal 20Maret 2013 pukul 21.00

    Diabetes adalah salah satu penyebab paling umum dari stadium akhir gagal ginjal.

    Periksa urea, kreatinin dan elektrolit. Khusus memeriksa kalium terutama dalam pandangan

    dari kebutuhan yang mungkin untuk suksametonium sebagai akibat dari gastroparesis. Jika

    tidak tersedia, proteinuria ini mungkin mengindikasikan kerusakan ginjal. Pastikan hidrasi

    yang cukup untuk mengurangi disfungsi ginjal pasca operasi.

    Pasien dengan diabetes memiliki faktor risiko bedah khusus untuk kesehatan yaitu

    mereka, faktor risiko kardiovaskular yang mungkin atau tidak mungkin sebelumnya telah

    didiagnosa. Pasien dengan diabetes mungkin memiliki silent ischemia, manifestasi atipikal

    dari iskemia koroner, atau kardiomiopati mendasarinya. Banyak pasien dengan diabetes tipe

    2 memiliki hipertensi, yang dapat mempersulit manajemen perioperatif. Faktor-faktor risiko

    yang umum bedah pada populasi ini termasuk obesitas, penyakit ginjal kronis, dan disfungsi

    otonom tidak terdiagnosis, yang dapat mengganggu stabilitas hemodinamik pada periode

    perioperatif. Selain itu, pasien dengan lama pengurangan diabetes pengalaman dalam fungsi

    paru (misalnya, volume ekspirasi paksa, arus puncak ekspirasi, dan kapasitas difusi untuk

    karbon monoksida) terkait dengan durasi penyakit dan cedera pembuluh darah, yang dapat

    mempersulit 2 menyapih dari dukungan ventilasi.

    Karakteristik prosedur dan anestesi

    Kedua operasi dan anestesi dapat menyebabkan peningkatan kadar hormon stres

    (epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan) dan sitokin inflamasi (interleukin-6 dan tumor

    necrosis factor-alpha), mengakibatkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin (bahkan

    di antara pasien yang hadir dengan sekresi insulin yang memadai). Ini pada gilirannya

    memberikan kontribusi lipolisis dan katabolisme protein, menyebabkan hiperglikemia dan,

    16

    http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feedshttp://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feeds
  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    17/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    jika pasien yang sangat kekurangan insulin, ketoasidosis. Faktor lain yang sangat

    mempengaruhi resistensi insulin dan sekresi termasuk operasi bypass jantung, sepsis,

    kebutuhan nutrisi parenteral total, dan terapi steroid.

    Karakteristik dari prosedur bedah, termasuk jenis operasi serta urgensinya, durasi, dan

    waktu (pagi vs di kemudian hari), yang penting dalam perencanaan pengelolaan glikemik

    perioperatif. Misalnya, prosedur, pendek kecil mungkin memerlukan pengamatan saja,

    sedangkan prosedur yang lebih luas menjamin pemantauan berkala dan manajemen glikemik

    aktif dengan infus insulin.

    Jenis anestesi juga harus dipertimbangkan. Dibandingkan dengan anestesi epidural,

    anestesi umum dikaitkan dengan stimulasi yang lebih besar dari sistem saraf simpatik dan

    kadar katekolamin meningkat, sehingga lebih jelas.

    1.11. PERAWATAN PASCA BEDAH

    Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien

    stabil dan pasien sudah boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah

    pemberian subkutan insulin kerja pendek. Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan

    insulin harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-pasien ini,

    kegunaan dari suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja

    sedang pada waktu tidur dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah infus glukosa dan

    insulin dihentikan dan sebelum regimen insulin pasien dilanjutkan.

    Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien

    pasca bedah terutama bite terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus

    dipantau kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada

    pasien DM usia lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung Infark

    miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada

    perubahan status mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskan atau disritmia, maka perlu

    diwaspadai kemungkinan terjadinya infark miokard.

    1.12. DEBRIDEMENT DAN AMPUTASI GANGRENE

    a. Definisi

    Kaki diabetes gangrene merupakan salah satu komplikasi dari penyakit vascular akibat

    penyakit diabetes.

    b. Ruang lingkup

    17

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    18/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Diagnosis diabetes tidak sukar untuk ditegakkan. Sebaiknya dibiasakan mencari tanda

    tanda kelainan vaskuler pada pasien diabetes, seperti mengecilnya atau menghilangnya

    pulsasi perifer. Osteomyelitis tulang metatarsal atau tulang tulang kaki yang lain akan

    terlihat pada pemeriksaan radiologik. Pemeriksaan Doppler Ultrasound akan

    menjelaskan kelainan hemodinamik dan vaskularisasi setempat, sedangkan arteriografi

    menggambarkan secara rinci lokasi, kelainan dan kolateral dari sistem arteri, yang

    diperlukan untuk menentukan jenis operasi dan prognosisnya biasanya berbeda untuk

    setiap pasien diabetik.

    c. Indikasi operasi

    Tindakan bedah akut diperlukan pada ulkus dengan infeksi berat yang disertai selulitis

    luas, limfangitis, nekrosis jaringan dan nanah. Debridemen dan drainase darah yang

    terinfeksi sebaiknya dilakukan di kamar operasi dan secepat mungkin. Debridemen

    harus tetap dilaksanakan biarpun keadaan vascular masih belum optimal.

    d. Kontra indikasi operasi:

    Adanya penyakit dasar yang masih aktif dalam hal ini adalah diabetes militus yang tidak

    terkontrol merupakan kontraindikasi dilakukannya operasi amputasi. Kemudian adanya

    infeksi yang masih aktif pada kaki gangrene tersebut.

    e. Diagnosis Banding gangrene diabetikum adalah :

    Gangrene karena sebab yang lain

    f. Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaa penunjang untuk kasus oklusi arteri dan gangren diantaranya pemeriksaan

    laboratorium, dopler Ultrasound blood flow director, Arteriografi, magnetic Resonance

    Agiography

    1. 12. 1. Tehnik Operasi (Tehnik perawatan konservatif)

    Tindakan bedah akut diperlukan pada ulkus dengan infeksi berat yang diserti

    selulitis luas, limfangitis, nekrosis jaringan dan nanah. Debridemen dan drainase daerah

    yang terinfeksi sebaiknya di lakukan di kamar operasi dan dilakukan secepat mukin.

    Biasanya diperlukan beberapa insisi untuk mencapai drainase yang adekuat. Debridemen

    harus tetap dilakukan biarpun keadaan vascular masih belum optimal. Baru setelah jelas

    batas antara jaringan sehat dan jaringan mati, kita melakukan nekrotomi, membuang

    semua jaringan mati termasuk amputasi jari, bila diperlukan. Tapi selalu diingat untuk

    18

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    19/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    mempertahankan jaringan sehat sebanyak mungkin. Hasil akhir pengelolaan kaki diabetes

    ini ditentukan oleh lokasi ulkus, luasnya infeksi, kontrol gula darah dan cukup atau

    tidaknya sirkulasi vaskuler. Lingkungan yang lembab disekitar ulkus akan merangsang

    penyembuhan. Kelembaban ( kompres ) ini dipertahankan dengan mengganti kain kasa

    pembalut 3 4 kali sehari. Cairan yang dipakai sebaiknya cairan isotonik, dan hanya bila

    korengnya sangat kotor, penuh nanah jaringan mati dicoba dengan merendam kaki

    tersebut dengan larutan betadine. Ulkus yang mulai membaik dilakukan nekrotomi dan

    bila sudah terlihat jaringan granulasi dapat dilakukan skin graft.

    Bila terjadi peradangan yang tidak dapat diatasi dan ada tanda tanda penyebaran

    yang sangat cepat, maka amputasi harus dipertimbangkan dengan segera dan jangan

    ditunggu sampai terlambat. Biasanya dalam waktu 24 48 jam sudah terlihat jelas

    perjalanan penyakit tersebut. Pertahanan badan daerah sendi tumit lebih kurang terhadap

    peradangan dan akan terlihat penyebaran yang cepat yang dapat mengakibatkan

    septikemi. Seringkali amputasi harus dikerjakan setinggi paha untuk menghentikan

    peradangan berlanjut yang kadang kadang bersifat life saving. Tindakan amputasi dapat

    dilakukan setinggi above knee, below knee, syme amputation, transmetatarsal

    Tindakan debridement berupa eksisi atau nekrotomi

    1. 12. 2. ALGORITMA DAN PROSEDUR

    Algoritma

    19

    Iskemia Tun kai

    Apakah dari sumbatan vena atau

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    20/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    1. 12. 3. Komplikasi operasi

    Komplikasi operasi meliputi

    Residen lmb ischemia merupakan komplikasi yang jarang namun jika terkena akan

    mengakibatkan angka mortalitas yang tinggi.

    Trauma dari residal limb dapat disebabkan oleh karena cara jalan yang belum biasa

    sehingga kemungkinan pasien dapat terjatuh mengakibatkan fraktur terutama pada

    residual limb.

    Hematoma

    Tromboembolisme dapat terjadi karena amputasi merupakan faktor resiko ntk terjadinya

    Deep Vein. Trombosis hal ini disebabkan oleh karena mobilisasi yang terlalu lama pasca

    operasi, penyakit dasar yang tidak diobati, dan meligasi vena pada saat operasi bisa

    mengakibatkan stagnasi dan aliran darah.

    1. 12. 4. Mortalitas

    Kurang dari 1 %

    1. 12. 5. Perawatan Pasca Bedah

    Setelah operasi meliputi :

    Residual limb ischemia merupakan komplikasi yang jarang namun jika terkena akan

    mengakibatkan angka mortalitas yang tinggi.

    Trauma dari residual

    20

    Arteri ULKUS ? YA

    Apaka tungkai masih

    YA TIDAK

    Konservat Amputasi

    TIDAK

    Debrideme

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    21/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    1. 12. 6. Perawatan Pasta Bedah

    Setelah operasi, pada luka bekas operasi cliberikan kasa steril setengah basah oleh

    NaCl dan dilepas setelah 3 5 hari, biasanya dilakukan di dalam ruang operasi.

    Dilakukan pemasangan drain dan jaringan nekrotik yang tersisa dapat dilakukan

    nekrotomi. Karena pasien pasien ini pada dasarnya masih mempunyai masalah

    pada dirinya neuropathy dan ischemia - maka pasien ini beresiko untuk

    mengalami kerusakan jarrigan yang lebih parch. Penyakit dasar dari pasien harus

    diobati pula. infeksi dapat diatasi dengan pemberian antibiotik sesuai dengan

    tingkat resistensinya.

    1. 12. 7.Follow-Up

    Follow up pasien pasca amputasi adalah melakukan rehabilitasi (fisioterapi,

    konseling) dan pemasangan prostese. Pada pasien yang muda biasanya

    dilakukan tempi yang lebih agresif sehingga mempercepat kesembuhan dan

    dapat bekerja seperti dahulu kala meskipun dengan menggunakan alat bantu. Pada

    orang dengan lebih tua biasanya memerlukan waktu rehabilitasi yang lebih lama

    oleh karena resiko terkena infeksi sangat besar yang diakibatkan oleh menurunnya

    daya penyembuhan luka. Pada waktu follow up juga harus diperhatikan keadaan

    tertentu yang mengakinbatkan pasien menjadi terhambat dalam melakukan

    rehabilitasi, keadaan keadaan seperti adanya penyakit jantung, diabetes melitus harus

    menjadi perhatian.

    Jika pasien menghendaki dapat dipasang prostese sehingga fungsi tubuh pasien dapat

    mendekati normal dan menambah rasa percaya diri.

    Pasien sebelum meninggalkan rumah sakit hendaknya diberi pengarahan

    mengenai jadwal follow up, cara merawat bekas amputasi terutama dalam hal kebersihan.

    Jadwal follow-up :

    Tahun ke 1 : tiap 6 bulan

    Tahun ke 2: tiap I tahun

    Tahun ke 3-4 : -

    Tahun ke 5: -

    Yang dievaluasi :

    Kemampuan pasien dalam melakuka aktivitas sehari hari dengan bagian yang

    teramputasi

    Pengkerutan dari sisa amputasi

    21

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    22/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    BAB II

    LAPORAN KASUS

    2.1 Identitas

    Nama : Ny. Sumiati

    Umur : 50 tahun

    Jenis Kelamin : Perempuan

    Agama : Islam

    22

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    23/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Alamat : Jl. Kh. Abd. Hamid gang II no. 10 RT II RW I, Jrebeng Lor

    Tanggal MRS : Sabtu, 9 Maret 2013, Pukul : 15.00 WIB

    No. RM : 429635

    Ruangan : Kelas III R. Bougenville

    2.2 Anamnesa

    Keluhan Utama : Bengkak pada kaki kanan

    Riwayat Penyakit Sekarang :

    Kaki kanan Bengkak sejak 2 bulan yang lalu. Sebelumnya sempat merasa kesemutan pada

    kaki kanan, namun hilang timbul. Semakin lama bengkak makin bertambah besar. Terasa

    hangat pada bagian bengkak. Muncul luka yang awalnya kecil beserta nanah pada jari kaki

    kanan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Luka dengan cepat makin melebar dan

    menghasilkan nanah lebih banyak dari sebelumnya. Seminggu kemudian baru melakukan

    pemeriksaan di poliklinik bedah umum RSUD DR MOH. SALEH Kota Probolinggo dan

    disarankan rawat inap. Pasien menolak anjuran rawat inap. Luka semakin parah dan

    bernanah kemudian meluas kearah tungkai bawah. Selain keluhan timbulnya pembengkakan

    kaki, pasien merasa kurang enak badan sejak satu bulan yang lalu. Sempat merasa badan agak

    hangat. Pasien mengatakan hangatnya badan berangsur-angsur hilang sendiri. Seminggu

    sebelum masuk Rumah sakit pasien merasa lemas, keadaan semakin lemah. Pasien masuk

    Rumah sakit, Ruang Bougenville kelas III pada hari Sabtu, 9 Maret 2013 pukul 15.00.

    Riwayat Penyakit Dahulu

    Sebelumnya pasien tidak pernah seperti ini. Sebelumnya bila pasien merasa ada keluhan

    kesehatan jarang kontrol ke dokter.

    Riwayat Penyakit Keluarga

    Keluarga riwayat DM.

    Riwayat Pengobatan

    Pasien tidak pernah operasi sebelumnya

    Riwayat Alergi

    Pasien tidak mempunyai riwayat alergi obat-obatan maupun makanan.

    23

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    24/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Riwayat Kebiasaan

    - Merokok (-), Alkohol (-)

    2.3 Pemeriksaan Fisik

    Keadaan Umum : Lemah

    Kesadaran : Compos Mentis

    GCS : 4 5 6

    Airway : Jalan Napas Bebas, batuk (-)

    Breathing : RR : 25 x/menit

    Sesak : (-)

    Asthma : (-)

    Suara Napas Tambahan : (-)

    Circulation : Tensi : 120/90

    Nadi : 85 x/menit

    Perfusi : merah, hangat, berkeringat

    Suhu : 36 o C

    Grimace : (+)

    Makan/Minum : nafsu makan turun.

    Mual/muntah : mual (+) muntah (-)

    Status Generalis

    - Kepala Leher :

    o Kepala : bentuk simetris

    o Mata : Konjunctiva Anemi (+) sclera Icterus (-)

    o Leher : Pembesaran KGB (-)

    - Thorax :

    o Jantung

    Inspeksi : bentuk dada simetris, Gerakan dada simetris

    Palpasi : iktus kordis (-)

    Perkusi : batas jantung kesan normal

    Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, murmur (-)

    o Paru

    Inspeksi : bentuk dada kifosis, retraksi (-), Gerakan dada simetris

    24

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    25/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Palpasi : fremitus vocal simetris

    Perkusi : sonor

    o Auskultasi : suara napas vesikuler (+), wheezing (-), ronchi (-)

    - Abdomen

    Inspeksi - Distensi (-), asites (-), jejas (-)

    Palpasi - Defans muskuler (-), nyeri tekan (-), hepar dan

    lien tidak teraba

    Perkusi - Timpani

    Auskultasi - Bising usus (+) normal

    - Extremitas : akral hangat + + Edema - -

    + + + -

    Tungkai atas Inspeksi - Memar (-), Bengkak (-), Deformitas (-), Perubahan warna kulit (-),

    Palpasi - Deformitas (-), krepitasi (-) , perubahan suhu (-), nyeri tekan (-), akral dingin

    Status Lokalis

    (Tungkai bawah- regio cruris dextra)

    Look

    - Kulit : warna kulit menjadi kehitaman, hiperemi

    - Tampak odema pada Regio cruris dextra

    - Tampak ulkus dengan pus

    Feel: suhu kulit meningkat pada daerah bengkak, nyeri tekan positif

    Move : gerak pasien terbatas karena bengkak dan merasa nyeri

    25

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    26/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    2.4 Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan Laboratorium (Sabtu, 9 Maret 2013)

    N

    o

    Jenis

    Pemeriksaan

    Hasi

    l

    Nilai

    Normal

    N

    o

    Jenis

    Pemeriksaan

    Hasil Nilai Normal

    I Fungsi Hati II Fungsi Ginjal

    1 Billirubin

    Direct

    1,25 0,5 mg/dl 1 BUN 46 10-20 mg/dl

    2 Billirubin Total 2,45 1,0 mg/dl 2 Creatinine 1,9 0,5 1,7

    mg/dl

    3 SGOT 45 31 U/I 3 Uric Acid 12,1 L: 3-7; P: 2-6

    mg/dl

    4 SGPT 28 31 U/I IV Darah

    Lengkap

    5 Alkali

    Fosfatase

    265 60-240

    mg/dl

    1 Haemoglobin 8,1 L: 13-18 g/dl

    P: 12-16 g/dl

    III Gula Darah 2 Leukosit 15.900 4000-

    11000/cmm

    1 Acak (sewaktu) 266 140 mg/dl 3 Diff.Count -/-/74/1

    3/2

    0-2/0-1/1-

    3/45-70/35-50/0-2%

    4 PCV

    (hematokrit)

    26 L:40-50%

    P:35-47%

    5 Trombosit 382.000 150.000-

    450.000/cmm

    Pemeriksaan EKG (Sabtu, 9 Maret 2013)

    26

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    27/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Pemeriksaan Laboratorium (Senin, 11 Maret 2013)

    Pemeriksaan Hasil Harga Normal

    Hb 9,9 L: 13-18 P: 12-16 g/dl

    Trombosit 192.000 150.000 450.000/cm

    Gula darah sewaktu 242 < 140 mg/ dl

    gdp 172 < 125 mg/dl

    Bilirubin total 2,45 < 1,1 mg/dl

    Bilirubin direct 1,25 < 0,25 mg/dl

    SKr 1,49 0,5-1,7 mg/dl

    BUN 46 10-20 mg/dL

    2.5 Assestment

    Ulkus DM Redio Pedis dextra + DM type II + nefropathy DM

    2.6 Planning

    Nekrotomy (debridement)

    2.7 Physical Status : ASA III ( DM + Nefropati DM )

    27

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    28/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    2.8 Premedikasi : Ondancetron 4 mg sebagai anti emetik

    2.9 Anestesi yang diberikan

    Pada kasus ini digunakan teknik Regional Anestesi (RA) dengan menggunakan Sub

    Arakhnoid Block (SAB/Spinal Block)

    Induksi dan Durante operatif

    Teknik Regional Anestesi (RA) dengan menggunakan Sub Arakhnoid Block (SAB/Spinal

    Block) dengan menggunakan Bupivacain HCl 20 mg yang merupakan anestesi lokal

    golongan amida. Setelah itu pasien diberikan O2 murni sebesar 2 liter per menit melalui nasal

    prong.

    Selama tindakan anestesi berlangsung, pasien diberikan ephedrine sebagai vasopressor untuk

    meningkatkan tekanan darah. Tekanan darah dan nadi senantiasa dikontrol. Tekanan darah

    sistolik berkisar antara 82-124 mmHg. Tekanan diastolik berkisar antara 45-70 mmHg. Nadi

    berkisar antara 88-100 x/menit. Infus RL diberikan kepada pasien sebagai rumatan, selama

    operasi pasien kira-kira menghabiskan 500 cc cairan RL.

    Gambar: Obat premedikasi dan induksi ; ondansetron, lidocain, bupivacaine dan ephedrin

    Post Operasi

    28

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    29/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Operasi berlangsung kurang lebih 35 menit. Setelah operasi selesai diberikan Injeksi

    Ketopain 30mg secara Intravena sebagai analgesik. Kemudian O2 diberhentikan. Setelah

    Operasi Selesai, pasien dibawa ke ruangan pada pukul 14.05.

    Keadaan umum baik, kesadaran baik, GCS 4-5-6, napas spontan, Ronchi (-), wheezing (-) S1

    dan S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-), Mual/muntah (-), Tensi 92/50 mmHg, Nadi

    100 x/menit.

    Gambar: Ketopain 30 mg post-op

    Terapi Post Op

    - Infus RL 1000cc/24 jam

    - Injeksi Ciprofloxasin 2 x 1

    - Injeksi Metronidazole 3 x 1- Injeksi Ketorolac 3 x 1

    - Injeksi Ranitidine 2 x 1

    Monitoring Post Op

    a. Rabu, 13 Maret 2013 Pk. 19.00

    Kesadaran Compos mentis, GCS 456, posisi berbaring, pasien mengatakan nyeri pada

    daerah bekas operasi, mual/muntah (-).Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 88

    x/menit, RR 18 kali per menit, Suhu axilla 36,8 0C infus RL 1000 cc. GDA: 197

    konsul dokter spesialis interna, terapi Injeksi RI 3 x 6 IU Secara Subkutan.

    b. Kamis, 14 Maret 2013 Pk. 16.00

    Kesadaran Compos mentis, GCS 456, posisi berbaring, pasien mengatakan nyeri pada

    daerah bekas operasi dan merasa lemas, dari rawat luka ditemukan luka bekas operasi

    bernanah. mual/muntah (-). Tekanan darah 110/80 mmHg, Nadi 84 x/menit, RR 18

    kali per menit, Suhu axilla 37 0C infus RL 500 cc 20 tpm.

    29

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    30/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Terapi yang diberikan Injeksi Actrapid 3 x 4 IU secara Subkutan, Injeksi

    Ciprofloxasin 2 x 1, Metronidazole 3 x 1, injeksi Ketorolac 3 x 1, injeksi Ranitidine 3

    x 1.

    c. Jumat, 15 Maret 2013 pukul 17.00

    Kesadaran Compos mentis, GCS 456, posisi berbaring, pasien mengatakan nyeri pada

    daerah bekas operasi dan merasa lemas, dari rawat luka ditemukan luka bekas operasi

    bernanah dan bau (+). mual/muntah (-). Tekanan darah 110/80 mmHg, Nadi 80

    x/menit, RR 18 kali per menit, Suhu axilla 37 0C infus RL 500 cc 20 tpm.

    Terapi yang diberikan Injeksi RI 3 x 4 IU secara Subkutan, Injeksi Ciprofloxasin 2 x

    1, Metronidazole 3 x 1, injeksi Ketorolac 3 x 1, injeksi Ranitidine 3 x 1.

    Hasil konsul dokter bedah umum : Pro debridement ulang

    d. Sabtu, 16 Maret 2013 pukul 19.00

    Kesadaran Compos mentis, GCS 456, keadaan umum lemah, posisi berbaring. Keluar

    darah dari anus bergumpal-gumpal. Tekanan darah 50/palpasi, Nadi 110 x/menit

    (lemah dan cepat), konjungtiva anemis (+), Hb 5,9 g/dl, Leukosit 20.520/cmm,

    Hematokrit 20%, GDA 240 gr/dl, RR 24 kali per menit, Suhu axilla 36,30C infus HES

    1000 cc (guyur), Rh -/-.

    Terapi yang diberikan Injeksi RI 3 x 4 IU secara Subkutan, Injeksi Asam tranexamat

    1 ampul IV, Infus HES habis diganti RL drip Adora 1ampul 30 tpm, Injeksi Vitamin

    K 3 x 1 , Injeksi Ciprofloxasin 2 x 1, Metronidazole 3 x 1, injeksi Ketorolac 3 x 1,

    injeksi Ranitidine 3 x 1. Pemasangan DC, Tampon dan penggunaan nasal prong O2 2

    lpm.

    e. Sabtu, 16 Maret 2013 pukul 22.30

    Kesadaran Compos mentis, GCS 456, keadaan umum lemah, pasien keringat dingin.

    Ganti tampon karena darah masih merembes. Tekanan darah 50/palpasi, Nadi 110

    x/menit (lemah dan cepat), konjungtiva anemis (+),Hb 5,9 g/dl, Leukosit

    20.520/cmm, Hematokrit 20%, GDA 235 gr/dl, RR 24 kali per menit, Suhu axilla

    36,30C, Rh -/-.

    Terapi yang diberikan Tranfusi darah PRC kedua, Injeksi RI 3 x 4 IU secara

    Subkutan, Injeksi Asam tranexamat 1 ampul IV, Injeksi Vitamin K 3 x 1, Injeksi

    30

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    31/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Ciprofloxasin 2 x 1, Metronidazole 3 x 1, injeksi Ketorolac 3 x 1, injeksi Ranitidine 3

    x 1. Pemasangan DC 450 cc, Tampon dan penggunaan O2 masker 10 lpm.

    f. Minggu, 17 Maret 2013 pukul 07.30

    Kesadaran Compos mentis, GCS 456, keadaan umum gelisah, pasien sesak, keluar

    darah segar dari anus. Tekanan darah 60/palpasi, Nadi lemah dan cepat, konjungtiva

    anemis (+), RR 100x per menit, Suhu axilla 36 0C.

    Terapi yang diberikan Tranfusi darah PRC, Injeksi Asam tranexid 2 x 1 ampul,

    Injeksi Vitamin K 3 x 1. Tampon (+) dan penggunaan O2 masker 10 lpm.

    g. Minggu, 17 Maret 2013 pukul 08.20

    Pasien tidak sadarkan diri, Midarasi +/+, Nadi tidak teraba, tekanan darah (-), RR (-).

    Pasien dinyatakan meninggal dunia.

    BAB III

    PEMBAHASAN

    31

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    32/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Pada pasien ini status fisiknya adalah ASA III, artinya pasien ini mempunyai kelainan

    sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan keterbatasan fungsi. Penyulitnya adalah DM

    dan Nefropati DM. Penyulit pada pasien DM lanjut, organ lain bisa terkena imbasnya makadiperlukan. Pasien DM ada kemungkinan dapat terjadi komplikasi hipoglikemia atau

    hiperglikemia karena regulasi tubuh sudah mengalami kekacauan. Maka dari itu pentingnya

    sebelum operasi dilakukan pengendalian metabolik maupun monitor keadaan kardiovaskular,

    neurologi maupun fungsi ginjal.

    Jenis operasi yang dilakukan yakni debridement, dimana jenis anestesi yang

    digunakan adalah anestesi spinal untuk meberikan efek yang cepat serta dalam dan

    keseimbangan blockade motorik maupun sensorik dalam prosesnya. Tindakan bedah akut

    diperlukan pada ulkus dengan infeksi berat yang disertai selulitis luas, limfangitis, nekrosis

    jaringan dan nanah. Debridemen dan drainase darah yang terinfeksi sebaiknya dilakukan di

    kamar operasi dan secepat mungkin. Debridemen harus tetap dilaksanakan biarpun keadaan

    vascular masih belum optimal. Tindakan debridement berupa eksisi atau nekrotomi.

    Proses pembedahan merupakan stres fisik tersendiri yang ditandai proses katabolisme,

    peningkatan metabolisme, peningkatan pemecahan protein dan lemak, balans nitrogen

    negatif, starvasi, dan intoleransi glukosa. Derajat perubahan metabolik sangat terkait dengan

    prosedur pembedahannya, lama pembedahan, dan komplikasi yang terjadi. Terjadi juga

    peningkatan sekresi hormon-hormon katekolamin, ACTH, kortisol, hormon pertumbuhan

    ( GH ), dan glukagon selama operasi sebagai akibat kekacauan metabolisme.

    Respon stres terhadap pembedahan berupa peningkatan kadar gula darah pada

    penderita non diabetes adalah akibat sekresi dari hormon katabolik dan terdapatnya defisiensi

    insulin relatif. Defisiensi relative terjadi akibat kombinasi penurunan sekresi insulin dan

    resistensi insulin. Resistensi insulin terjadi akibat meningkatnya sekresi hormon anti insulin

    ( kortisol, growth hormon, epinefrin, dan katekolamin ) serta tejadinya perubahan pada paska

    reseptor insulin yang mengakibatkan penurunan transport glukosa transmembran.

    Semua efek metabolik pembedahan di atas akan memperberat kondisi pada pendeita

    diabetes. Adanya katabolisme dapat menyebabkan pelepasan asam lemak, ketogenesis,

    hiperglikemia, dan bahkan dapat menyebabkan ketoasidosis. Oleh karena itu tujuan utama

    dari pengelolaan selama pembedahan adalah mencegah terjadinya dekompensasi

    metabolisme bersamaan mencegah terjadinya hipoglikemia sehingga tercapai kontrol diabetik

    yang baik selama pembedahan.

    32

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    33/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Jenis anastesi juga mempunyai pengaruh metabolik pada penderita diabetes. Anastesi

    ekstradural dan spinal mempunyai pengaruh yang lebih ringan dibandingkan general. Secara

    teori hampir semua obat anestesi meningkatkan glukosa darah terutama untuk anestesi

    inhalasi dan umum Obat-obat anastesi seperti eter, chloroform, dan cyclopropane dapat

    meningkatkan kadar gula darah, mobilisasi asam lemak, inhibisi sekresi insulin, dan

    peningkatan sekresi katekolamin dan ACTH. Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi

    dapat mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan

    tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa

    perioperatif. Untuk itu Anestesi lokal dan dan regional merupakan alternatif bagi pasien

    dengan diabetes.

    Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau

    subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada

    pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi

    penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan

    komplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam

    mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan

    tindakan operasi.

    Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade

    regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin residual,

    Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai

    pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum

    dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat

    kompetitif reseptor adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan

    menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parsial.

    Obat-Obatan yang Dipakai

    1. Ondancetron 4 mg

    Antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah karena

    sitostatika misalnya ciplastin dan radiasi. Mekanisme kerjanya diduga langsung

    mengantagonisasikan reseptor 5-HT yang terdapat pada chemoreceptor trigger zone

    di area postrema otak dan mungkin juga averen vagal saluran cerna. Selain itu juga

    mempercepat pengosongan lambung bila pengosongan kecepatan basal rendah, tetapi

    waktu transit saluran cerna memanjang sehingga terjadi konstipasi.

    Kadar maksimum tercapai setelah 1-1,5 jam.

    33

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    34/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Dosisnya 0,1-0,2 mg/kgBB IV.

    Efek sampingnya konstipasi, sakit kepala, flushingm mengantuk, gangguan saluran

    cerna.

    Kontra indikasinya hipersensitivitas. Peringatan pada ibu menyusui, penyakit hati dan

    insufisiensi ginjal.

    2. Bupivacaine HCl 20 mg (Marcaine)

    Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai berikut : 1-

    butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride. Bupivakain adalah

    derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya.

    Derivat anilide yang lebih kuat dan lebih lama efeknya dibandingkan Lidocaine dan

    Mepivacaine. Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain dari kerjanya

    yang panjang adalah sifat blockade motorisnya yang lemah. Digunakan pada

    konsentrasi 0,25 % - 0,75 %. Jumlah total satu kali pembagian maksimal 200-500 mg.

    Pada konstentrasi rendah, blok motorik kurang adekuat. Untuk operasi abdominal

    diperlukan konsentrasi 75 %. Onsetnya lebih lambat dari Lidocain dan

    Mepivacaine,tetapi lama kerjanya 2-3 x lebih lama.

    Secara komersial bupivakain tersedia dalam 5 mg/mlsolutions. Pemberian bupivakain

    isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-

    20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume

    2-4ml dan total dosis 15-22,5 mg.

    Pada dosis 0,25 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik

    paska bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 0,75 %) digunakan untuk

    pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 0,5 %, epidural

    0,5 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg.

    Dosis rata-ratanya 3 4 mg / kgBB.

    3. Ketopain 30mg

    Ketorolac termasuk golongan obat antiinflamasi non steroid (NSAID), obat ini untuk

    penggunaan jangka pendek (tidak lebih dari 5 hari). Ketorolac adalah derivat dari

    pyrrolo-pyrolepada kelompok NSAID

    Ketorolac tidak mempengaruhi hemodinamik pasien. Ketorolac tidak menstimulasi

    reseptor opioid sehingga tidak menimbulkan efek depresi pernafasan, sedatif dan

    euforia.

    34

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    35/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 1030 mg tiap 4

    sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif terendah. Dosis harian

    total tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa dan 60 mg untuk orang lanjut

    usia, pasien gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg.

    Indikasi Ketorolac untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang

    sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolac tidak boleh lebih dari

    lima hari.

    Resiko yang paling serius yang berhubungan dengan ketorolac adalah, seperti NSAID

    lainnya, gastrointestinal ulkus, perdarahan dan perforasi, ginjal peristiwa mulai dari

    interstisial nefritis untuk menyelesaikan gagal ginjal,perdarahan, dan hipersensitivitas

    reaksi. Pada hepar, terjadi peningkatan fungsi hepar dalam batas normal yang sifatnya

    sementara selama terapi. Maka Ketorolak kontra indikasi dengan faktor resiko diatas.

    Efek samping Ketorolac: diare, dispepsia, nyeri GI, mual, sakit kepala, mengantuk,

    berkeringat, edema, melena, tukak peptik, konstipasi, perdarahan per rektal, purpura,

    gangguan fungsi hati, maupun ganggguan fungsi ginjal poliuria maupun oligouria.

    4. Ephedrine 50 mg/ ml

    Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang secara alami

    ditemukan di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai gugus OH pada

    cincin benzena , gugus ini memegang peranan dalam efek secara langsung pada sel

    efektor.

    Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor , 1, 2. Efek pada 1 di

    perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase. Efek pada 1 dan 2

    adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat. Efek 1 berupa takikardi

    tidak nyata karena terjadi penekanan pada baroreseptor karena efek peningkatan TD 20.

    Efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Kerja

    tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis (pemberian efedrin yang terus

    menerus dalam jangka waktu singkat akan menimbulkan efek yang makin lemah

    karena semakin sedikitnya sumber NE yang dapat dilepas, efek yang menurun ini

    disebut takifilaksis terhadap efek perifernya. Hanya I-efedrin dan efedrin rasemik

    yang digunakan dalam klinik.

    Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan

    mendesak NE keluar. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi

    berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya

    35

    http://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&ei=gyZHUebsBobNmgX8wICgBw&hl=id&prev=/search%3Fq%3Dketorolac%26hl%3Did%26biw%3D1280%26bih%3D654&rurl=translate.google.co.id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Gastrointestinal_tract&usg=ALkJrhiP4w_RhpWTe2TjGsdqtaPNGknE_ghttp://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&ei=gyZHUebsBobNmgX8wICgBw&hl=id&prev=/search%3Fq%3Dketorolac%26hl%3Did%26biw%3D1280%26bih%3D654&rurl=translate.google.co.id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Nephritis&usg=ALkJrhhlqXntREdp02f-xX2EY2lv54jH5ghttp://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&ei=gyZHUebsBobNmgX8wICgBw&hl=id&prev=/search%3Fq%3Dketorolac%26hl%3Did%26biw%3D1280%26bih%3D654&rurl=translate.google.co.id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Kidney_failure&usg=ALkJrhjYBCI2cNDLjL6ED8bHbKDRuGv0hQhttp://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&ei=gyZHUebsBobNmgX8wICgBw&hl=id&prev=/search%3Fq%3Dketorolac%26hl%3Did%26biw%3D1280%26bih%3D654&rurl=translate.google.co.id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Hemorrhage&usg=ALkJrhi8s0QgjjxRGa_dTIcTqDYv7983wAhttp://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&ei=gyZHUebsBobNmgX8wICgBw&hl=id&prev=/search%3Fq%3Dketorolac%26hl%3Did%26biw%3D1280%26bih%3D654&rurl=translate.google.co.id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Adverse_drug_reaction&usg=ALkJrhirZq9JX1gbUm93jWb9dNa6m3AdGQhttp://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&ei=gyZHUebsBobNmgX8wICgBw&hl=id&prev=/search%3Fq%3Dketorolac%26hl%3Did%26biw%3D1280%26bih%3D654&rurl=translate.google.co.id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Gastrointestinal_tract&usg=ALkJrhiP4w_RhpWTe2TjGsdqtaPNGknE_ghttp://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&ei=gyZHUebsBobNmgX8wICgBw&hl=id&prev=/search%3Fq%3Dketorolac%26hl%3Did%26biw%3D1280%26bih%3D654&rurl=translate.google.co.id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Nephritis&usg=ALkJrhhlqXntREdp02f-xX2EY2lv54jH5ghttp://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&ei=gyZHUebsBobNmgX8wICgBw&hl=id&prev=/search%3Fq%3Dketorolac%26hl%3Did%26biw%3D1280%26bih%3D654&rurl=translate.google.co.id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Kidney_failure&usg=ALkJrhjYBCI2cNDLjL6ED8bHbKDRuGv0hQhttp://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&ei=gyZHUebsBobNmgX8wICgBw&hl=id&prev=/search%3Fq%3Dketorolac%26hl%3Did%26biw%3D1280%26bih%3D654&rurl=translate.google.co.id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Hemorrhage&usg=ALkJrhi8s0QgjjxRGa_dTIcTqDYv7983wAhttp://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&ei=gyZHUebsBobNmgX8wICgBw&hl=id&prev=/search%3Fq%3Dketorolac%26hl%3Did%26biw%3D1280%26bih%3D654&rurl=translate.google.co.id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Adverse_drug_reaction&usg=ALkJrhirZq9JX1gbUm93jWb9dNa6m3AdGQ
  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    36/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini

    sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang

    meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung

    mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan

    darah. Aliran darah ginjal dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah koroner,

    otak dan otot rangka meningkat. Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah

    pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin. Disamping itu berbeda dengan efedrin,

    kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar

    terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.

    5. Lidocain

    Lidokain (xilokain) adalah anestetik lokal kuat yang digunakan secara luas dengan

    pemberian topikal dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, dan lebih

    ekstensif daripada yang ditunjukkan oleh prokain pada konsentrasi yang sebanding.

    Lidokain merupakan aminoetilamid dan merupakan prototik dari anestetik lokal

    golongan amida.Larutan Lidokain 0,5% digunakan untuk anestesi infiltrasi,

    sedangkan larutan 1-2% untuk anestesia blok dan topikal. Anestetik ini lebih efektif

    bila digunakan tanpa vasokonstriktor, tetapi kecepatan absorbsi dan toksisitasnya

    bertambah dan masa kerjanya lebih pendek. Lidokain merupakan obat terpilih bagi

    mereka yang hipersensitif terhadap anestetik lokal golongan ester. Sediaan berupa

    larutan 0,5-5% dengan atau tanpa epinefrin (1:50000 sampai 1:200000).

    Lidokain sering digunakan secara suntikan untuk anestesia infiltrasi, blokade saraf,

    anestesia spinal, anestesia epidural ataupun anestesia kaudal, dan secara setempat

    untuk anestesia selaput lendir.

    Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP, misalnya

    mengantuk, pusing, parastesia, kedutan otot, gangguan mental, koma, dan bangkitan.

    Lidokain dosis berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel, atau

    oleh henti jantung.

    Pada pasien ini ditemukan peningkatan pada :

    Pemeriksaan Hasil Normal

    36

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    37/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    Gula darah sewaktu 242 < 140 mg/ dl

    gdp 172 < 125 mg/dl

    Bilirubin total 2,45 < 1,1 mg/dl

    Bilirubin direct 1,25 < 0,25 mg/dl

    SKr 1,49 0,5-1,7 mg/dl

    BUN 46 10-20 mg/dLLeukosit 15.900/cmm 4000-11.000/cmm

    Trombosit 192.000 150.000 450.000/cm

    Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan

    mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens

    kreatinin. Pada Pasien ditemukan peningkatan kadar BUN, namun dengan kontrol gula yang

    ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi ginjal.

    Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan

    morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit

    yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan

    di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih. Pada Pasien ditemukan peningkatan leukosit

    yaitu 15.900/cmm.

    Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan

    mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh:

    1. Sepsis2. Neuropati autonomik

    3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah

    perifer)

    Keadaan umum pasien lemah, hari ketiga paska operasi pasien mengalami pendarahan

    dari anus. Pasien telah mendapatkan terapi yang diberikan Tranfusi darah PRC, Injeksi Asam

    tranexamat, Injeksi Vitamin, dan sebelumnya telah mendapatan infus drip Adora namun

    pendarahan masih merembes pada tampon. Keadaan pasien makin melemah, GDA 235 gr/dl

    Hb 5,9 g/dl pergantian nasal prong menjadi O2 masker. Keesokan harinya pasien mengeluh

    sesak, keadaan semakin melemah hingga tidak teraba nadi dan tekanan darah, kemudian

    meninggal dunia.

    Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena

    penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka

    waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan

    disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, hipertensi,

    37

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    38/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gastroparesis, gangguan jaringan kolagen

    (penyembuhan luka yang buruk),dan produksi granulosit yang inadekuat.

    Pada pasien ditemukan peningkatan leukosit dan Hb yang rendah. Pasien yang

    menderita DM dengan penyulit kronis dimana ditemukan peningkatan Bilirubin dan kadar

    BUN, mengindikasikan sudah terjadi komplikasi pada organ hati maupun ginjal pada pasien,

    maka kemungkinan gangguan dengan metabolisme dan ekskresi obat-obat selama terapi juga

    berpengaruh. Pada penderita DM juga mengalami penurunan daya imunitasnya maka

    meningkatkan resiko infeksi yang kemungkinan meningkatkan resiko mortalitas.

    BAB IV

    KESIMPULAN

    Pasien DM ada kemungkinan dapat terjadi komplikasi hipoglikemia atau

    hiperglikemia karena regulasi tubuh sudah mengalami kekacauan. Proses pembedahan

    merupakan stres fisik. Respon stres terhadap pembedahan berupa peningkatan kadar gula

    38

  • 7/30/2019 case anestesi resiko dm.doc

    39/39

    Fakultas Kedokteran UWKSRSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

    darah pada penderita. Semua efek metabolik pembedahan di atas akan memperberat kondisi

    pada pendeita diabetes. Oleh karena itu tujuan utama dari pengelolaan selama pembedahan

    adalah mencegah terjadinya dekompensasi metabolisme bersamaan mencegah terjadinya

    hipoglikemia sehingga tercapai kontrol diabetik yang baik selama pembedahan.

    Pada Lapsus ini, Jenis operasi yang dilakukan yakni debridement, dimana jenis

    anestesi yang digunakan adalah anestesi spinal. Jenis anastesi juga mempunyai pengaruh

    metabolik pada penderita diabetes. Anastesi ekstradural dan spinal mempunyai pengaruh

    yang lebih ringan dibandingkan general. Anestesi lokal dan dan regional merupakan alternatif

    bagi pasien dengan diabetes. Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik

    epidural atau subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Epidural anestesia

    lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar

    gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi.

    Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena

    penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka

    waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan

    disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, hipertensi,

    insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gastroparesis, gangguan jaringan kolagen

    (penyembuhan luka yang buruk), produksi granulosit yang inadekuat sehingga

    mempengaruhi daya imunitas penderita Diabetes Melitus.