Referat PA DM.doc
-
Upload
mada-dwi-hari -
Category
Documents
-
view
12 -
download
2
Transcript of Referat PA DM.doc
Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan beberapa keluhan penyakit Diabetes
Melitus (DM). Keluhan – keluhan tersebut dapat digolongkan menjadi 2
kelompok : (Perkeni,2011)
a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
2. Pemeriksaan Fisik
Untuk membantu penegakan diagnosis, setelah anamnesis dapat dilakukan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah : (Perkeni, 2011)
a. Pengukuran tinggi badan, berat badan,dan lingkar pinggang : obesitas
b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta ankle
brachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah
arteri tepi
c. Pemeriksaan funduskopi : retinopati
d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid : tidak ada pembengkakan
e. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
f. Pemeriksaan kulit ; pruritus
g. Pemeriksaan neurologis : neuropati
3. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara: (Perkeni, 2011)
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang
dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. TTGO yang dilakukan
dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g
glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA (American Diabetes Association)
2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika
dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.
Patofisiologi
1. Diabetes Melitus Tipe I (DMT1)
Bagan 1. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe I (Tjokroprawiro, 2007)
Idiopatik + imunologik kelainan β pancreas DMT1
1. Tidak mampu sintesis dan sekresi insulin dengan kualitas dan kuantitas yang cukup
2. Tidak ada sekresi insulin sama sekali(reseptor insulin cukup dan normal)
2. Diabetes Melitus Tipe II (DMT2)
Bagan 2. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2 (Arslanian, 2002)
Resisten Insulin
1. Resistensi insulin
2. Fungsi sel beta
3. Produksi glukosa oleh hati
Fungsi sel beta
Hiperinsulinemia + hiperglikemia pospandrial
Hiperinsulinemia + toleransi glukosa normal
Genetik
Glukotoksisiti
+
Lipotksisiti
Resistensi Insulin yang kemudian disusul dengan disfungsi sel Beta
pankreas yaitu : (Tjokroprawiro, 2007)
1. Sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup / kurang, namun keterlambatan
sekresi insulin fase-1(fase cepat atau acute insulin response), sehingga
glukosa sudah diabsorpsi masuk darah tetapi jumlah insulin yang efektif
belum memadai
2. Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang (antara 2000-3000), pada obesitas
jumlah reseptor bahkan hanya sekitar 2000
3. Kadang-kadang jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek, sehingga
kerja insulin tidak efektif (afinitas atau sensitivitas insulin terganggu)
4. Terdapat kelainan di pasca reseptor, sehingga proses glikolisis intraselular
terganggu.
Bagan 3. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe II (Ganong, 2001)
Resistensi Insulin
Hiperglikemi
Meningkatnya kadar glukosa di sirkulasi darah
+
Pemasukan glukosa ke jaringan perifer menurun
Menurunnya glukosa di dalam nucleus ventromedial hipotalamus
Defisiensi glukosa intrasel
poliphagi
Merangsang rasa lapar
Kapasitas ginjal menyerap kembali glukosa terlampaui
+
Glukosa banyak menyerap air
Ekskresi glukosa menyebabkan hilangnya sejumlah air yang
lebih banyak
Dehidrasi
hipovolemik
Merangsang renal untuk mengahsilkan
Renin Angiotensin II
Mengaktifkan saraf yang berkaitan dengan HAUS
polidipsi
Terapi Lama
1. Perencanaan Makan
Pada konsesus PERKENI standar yang dianjurkan adalah makanan
dengan komposisi : (Mansjoer, 1999).
a. Karbohidrat 60-70%, protein 10-15% dan lemak 20-25%. Jumlah
kandungan kolesterol disarankan <300 mg/hari. Jumlah kandungan serat
± 25 g/hr, diutamakan serat larut.
b. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress
akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan ideal
Rumus Broca :
Berat badan idaman = (tinggi badan – 100) – 10 %
(pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10% lagi).
2. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-4 kali seminggu
selama ± 30 menit). Prinsip : CRIPE (Continuous – Rythmical – Interval –
Progressive – Endurance). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona
latihan, yaitu 75-85% denyut nadi maksimal. Denyut nadi maksimal (DNM)
dapat dihitung dengan menggunakan formula berikut :
DNM = 220 – umur (dalam tahun)
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani adalah jangan memulai
olahraga sebelum makan, harus didampingi oleh orang yang tahu mengatasi
serangan hipoglikemia, memeriksa secara cermat setelah olahraga (Mansjoer,
1999).
3. Intervensi Farmakologis
Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang
teratur tetapi kadar glukosa darahnya masih belum baik, dipertimbangkan
pemakaian obat (Mansjoer, 1999).
a. Obat Hipoglikemia Oral (OHO) (Mansjoer, 1999).
i. Sulfonilurea untuk menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan
dan menurunkan ambang sekresi urin. Diberikan kepada pasien dengan
berat badan normal dan berat badannya sedikit lebih. Klorpropamid
kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal. Untuk orang tua :
tolbutamid, glikuidon. Untuk pasien DM dengan gangguan fungsi
ginjal atau hati dapat menggunakan glikuidon.
ii. Biguanid untuk menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai di
bawah normal. dianjurkan untuk pasien gemuk.
iii. Inhibitor α glukosidase untuk menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemi posprandial
iv. insulin sensitizing agent
Thoazolidinediones untuk meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga
menurunkan resistensi insulin
b. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan: (Mansjoer, 1999).
i. Penurunan berat badan yang cepat
ii. Ketoasidosis, asidosis laktat dan koma hiperosmolar
iii.Gagal dikelola dengan OHO dosis maksimal dan atau kontraindikasi
dengan obat tersebut.
iv.Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
v. Kehamilan yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
Tabel 1. Preparat insulin yang tersedia (Mansjoer, 1999).
Jenis Kerja Preparat
Kerja pendek Actrapid Human 40 / Humulin
Actrapid Human 100
Kerja sedang Monotard Human 100
Insulatard
NPH
Kerja panjang PZI (tidak dianjurkan karena
resiko hipoglikemi)
Campuran kerja pendek dan
sedang / panjang
Mixtard
Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah, lalu
dinaikkan perlahan sesuai dengan hasil glukosa darah pasien (Mansjoer,
1999).
Terapi Baru
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan
atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara
tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan
cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan (Perkeni, 2011).
Pilar penatalaksanaan DM adalah
1. Edukasi
Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan
khusus (Perkeni, 2011).
2. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta
pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM
sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Pada penyandang
diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,
jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat
penurun glukosa darah atau insulin (Perkeni, 2011)..
a. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari: (Perkeni, 2011).
1) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
2) Lemak yang dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori.
a) Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
b) Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
c) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu
penuh (whole milk).
d) Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
3) Protein dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
4) Natrium, serat ± 25g/hari
5) Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
b. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kg BB ideal, ditambah atau
dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan, dll (Perkeni, 2011)..
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi adalah sbb: (Perkeni, 2011).
1) Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
2) Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
a) BB Normal : BB ideal ± 10 %
b) Kurus : < BBI - 10 %
c) Gemuk : > BBI + 10 %
3) Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks
massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT
a) BB Kurang < 18,5
b) BB Normal 18,5-22,9
c) BB Lebih ≥ 23,0
Klasifikasi IMT menurut WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific
Perspective:RedefiningObesity and its Treatment (Perkeni, 2011).
a) Dengan risiko 23,0-24,9
b) Obes I 25,0-29,9
c) Obes II > 30
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit) dengan prinsip CRIPE (Continuous –
Rythmical – Interval – Progressive – Endurance), merupakan salah satu pilar
dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan
kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak
atau bermalas-malasan (Perkeni, 2011).
4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan(Perkeni, 2011).
a. Obat hipoglikemik oral
1) Pemicu Sekresi Insulin
a) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak
dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang (Perkeni, 2011).
b) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial
(Perkeni, 2011).
2) Peningkat sensitivitas terhadap insulin
a) Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan
sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena
dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal
hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala. Golongan rosiglitazon sudah ditarik
dari peredaran karena efek sampingnya (Perkeni, 2011).
3) Penghambat glukoneogenesis
a) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa
perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis,
renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping
mual (Perkeni, 2011).
4) Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping
yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens (Perkeni, 2011).
5) DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida
yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel
mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan.
GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus
sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-
1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit
GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM
tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk
aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan
konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat
kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli
atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk
golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-
1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu
merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glucagon
(Perkeni, 2011).
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal (Perkeni,
2011).
1. Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
2. Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
3. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
4. Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
5. Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
6. DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
b. Suntikan
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan: (Perkeni, 2011).
a) Penurunan berat badan yang cepat
b) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
c) Ketoasidosis diabetic
d) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
f) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
g) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
h) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
i) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Efek samping terapi insulin (Perkeni, 2011).
a) Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
b) Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
2) Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun
peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan
insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada
percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta
pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa
sebah dan muntah (Perkeni, 2011).
Tabel 2. Perbandingan Obat (Perkeni, 2011)
Efek samping utama
Cara kerjautama
ReduksiA1C
Keuntungan Kerugian
Sulfonilurea Meningkatkansekresi insulin
BB naik,hipoglikemia
1,0-2,0% Sangat efektif Meningkatkan beratbadan,hipoglikemia(glibenklamid danklorpropamid)
Glinid Meningkatkansekresi insulin
BB naik,hipoglikemia
0,5-1,5% Sangat efektif Meningkatkan beratbadan, pemberian 3x/hari,harganya mahal danhipoglikemia
Metformin Menekanproduksiglukosa hati &menambahsensitifitasterhadap insulin
Dispepsia,diare, asidosislaktat
1,0-2,0% Tidak ada kaitandengan berat badan
Efek sampinggastrointestinal,kontraindikasi padainsufisiensi renal
Penghambatglukosidasealfa
Menghambatabsorpsiglukosa
Flatulens, tinjalembek
0.,5-0,8% Tidak ada kaitandengan berat badan
Sering menimbulkan efekgastrointestinal, 3x/hari danmahal
Tiazolidindion Menambahsensitifitasterhadap insulin
Edema 0,5-1,4% Memperbaiki profillipid(pioglitazon),berpoten si menurunkan infarkmiokard (pioglitazon)
Retensi cairan, CHF,fraktur, berpotensimenimbulkan infarkmiokard, dan mahal
DPP-4inhibitor
Meningkatkansekresi insulin,menghambatsekresiglukagon
Sebah, muntah 0,5-0,8% Tidak ada kaitandengan berat badan
Penggunaan jangkapanjang tidak disarankan,mahal
Insulin Menekan produksiglukosa hati,stimulasipemanfaatan glukosa
Hipoglikemi, BBnaik
1,5-3,5% Dosis tidak terbatas,memperbaiki profillipid da sangat efektif
Injeksi 1-4 kali/hari, harusdimonitor, meningkatkanberat badan, hipoglikemiadan analognya mahal
c. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini.
Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination
dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda
atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan
klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan
kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin,
yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin
kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari
menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup
kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan
sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai
kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas
kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO
dihentikan dan diberikan terapi kombinasiinsulin (Perkeni, 2011).
5. Monitoring
Monitoring rutin jangka panjang untuk menilai status glukosa pasien DM
dengan menggunakan HbA1c. HbA1c disarankan untuk diperiksa 3 bulan 1 kali
untuk pasien DM
Tabel 3. Interpretasi Hasil HbA1c (A1C) (Perkeni 2002)
Kriteria Pengendalian DM
Kriteria
Pengendalian
Kadar A1C
(%)
Baik
Sedang
Buruk
<6,5
6,5-8
> 8
Prognosis
Sekitar 60% pasien DMT1 yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti
orang normal. Sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik, dan
kemungkinan untuk meninggal lebih cepat. Pada pasien DMT2 dengan terapi yang
sesuai dan terkontrol dapat meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka
morbiditas (Tjokroprawiro, 2007).
Arslanian S. Type 2 diabetes in children: clinical aspects and risk factors. Horm Res 2002
Ganong, William F. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif; Triyanti, Kuspuji; Savitri, Rahmi; Wardhani, Wahyu I; Setiowulan, Wiwiek. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Perkeni. 2002. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2002.
. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2011.
Tjokroprawiro, Askandar; Hendromartono; Sutjahjo, Ari; Pranoto, Agung; Murtiwi, Sri; Adi S, Soebagijo; Wibisono, Sony. 2007. Diabetes Mellitus dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : Airlangga University Press.