CAPD
-
Upload
amirul-ihsan -
Category
Documents
-
view
111 -
download
8
description
Transcript of CAPD
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tingkat penderita gagal ginjal di Indonesia cukup tinggi. Pada tanggal 10 Agustus
2004 penderita gagal ginjal mencapai 4.500 orang, dari sejumlah itu banyak penderita
gagal ginjal yang meninggal dunia karena tidak mampu berobat atau cuci darah
(hemodialisa) karena biaya yang sangat mahal. Di Amerika Serikat jumlah penderita
penyakit ginjal meningkat pesat dan mendapat banyak perhatian. Hasil penelitian
menunjukkan 3 persen orang dewasa di luar rumah sakit dan panti jompo atau sekitar
5,6 juta orang mengalami peningkatan kadar kreatinin.
Ginjal (renal) adalah organ tubuh yang memiliki fungsi utama untuk menyaring
dan membuang zat-zat sisa metabolisme tubuh dari darah dan menjaga keseimbangan
cairan serta elektrolit (misalnya kalsium, natrium, dan kalium) dalam darah. Ginjal
juga memproduksi bentuk aktif dari vitamin D yang mengatur penyerapan kalsium
dan fosfor dari makanan sehingga membuat tulang menjadi kuat. Selain itu ginjal
memproduksi hormon eritropoietin yang merangsang sumsum tulang untuk
memproduksi sel darah merah, serta renin yang berfungsi mengatur volume darah dan
tekanan darah. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengeksresikan zat
terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah
melalui glomerolus diikuti dengan reabsobsi jumlah zat terlarut dan air dalam jumlah
yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air dieksresikan
keluar tubuh dengan urine melalui sistem pengumpul urine. (Price, Wilson. 2006).
Gagal ginjal adalah suatu kondisi di mana ginjal tidak dapat menjalankan
fungsinya secara normal. Gagal ginjal dibagi menjadi dua bagian besar yakni gagal
ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Pada gagal ginjal akut terjadi penurunan fungsi
ginjal secara tiba-tiba dalam waktu beberapa hari atau beberapa minggu dan ditandai
dengan hasil pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin darah) dan kadar urea
nitrogen dalam darah yang meningkat. Sedangkan pada gagal ginjal kronis, penurunan
fungsi ginjal terjadi secara perlahan-lahan.
Dalam hal ini, ketanggapan perawat akan respon pasien yang patologis sangat
diperlukan dalam memberikan pertolongan dengan segera. Dengan demikian dapat
membantu dalam pencegahan (preventif) untuk mengurangi resiko kematian,
1
penyembuhan dan mencegah komplikasi yang ada. Dengan demikian pasien atau
masyarakat luas dapat mencegah lebih dini penyakit gagal ginjal.
B. Tujuan Penulisan
1. Apakah definisi dari renal failure (gagal ginjal) ?
2. Apa sajakah etiologi dari renal failure (gagal ginjal) ?
3. Bagaimana patofisiologi dan pathway dari renal failure (gagal ginjal) ?
4. Bagaimana pathway renal failure ?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari renal failure (gagal ginjal) ?
6. Apa sajakah pemeriksaan diagnosis untuk renal failure (gagal ginjal) ?
7. Apa sajakah intervensi medis yang dapat dilakukan untuk renal failure (gagal
ginjal ) ?
8. Apa sajakah komplikasi dari renal failure (gagal ginjal) ?
9. Bagaimana penerapan terapi CAPD pada pasien gagal ginjal ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan definisi dari renal failure (gagal ginjal).
2. Mendeskripsikan etiologi dari renal failure (gagal ginjal).
3. Mendeskripsikan patofisiologi dari renal failure (gagal ginjal).
4. Mendeskripsikan pathway renal failure.
5. Mendeskripsikan manifestasi klinis dari renal failure (gagal ginjal).
6. Mendeskripsikan pemeriksaan diagnosis yang dapat dilakukan pada renal failure
(gagal ginjal).
7. Mendeskripsikan intervensi medis yang dapat dilakukan pada renal failure (gagal
ginjal).
8. Mendeskripsikan komplikasi dari renal failure (gagal ginjal).
9. Mendeskripsikan penerapan CAPD pada pasien gagal ginjal
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Gagal ginjal ( renal failure ) adalah ketika fungsi kedua ginjal terganggu sampai
pada titik ketika keduanya tidak mampu menjalankan fungsi regulatorik dan
ekskretorik untuk mempertahankan hemeostasis ( Sherwood 2001: 498 ).
Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal
penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat
kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin. Penyakit
gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal
sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia
kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal
kronis (Anonim, 2010).
1. Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut atau ( Acute Renal Failure ) adalah sekumpulan gejala yang
mengakibatkan disfungsi ginjal secara mendadak. Gagal ginjal akut ( GGA )
adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan
tiba-tiba glomerular filtration rate ( GFR ) dan perubahan kemampuan fungsional
ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam
tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal
yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya
azotemia. (Davidson 1984).
Gagal ginjal akut adalah penurunan laju filtrasi glomerulus secara tiba-tiba,
sering kali dengan oliguri, peningkatan kadar urea dan kreatinin darah, serta
asidosis metabolic dan hiperkalemia (D. Thomson 1992 : 91 ).
2. Gagal ginjal kronik
Gagal ginjal kronis atau ( Chronic Renal Failure ) adalah kerusakan ginjal
progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia ( urea dan limbah
nitrogen yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan
dialysis atau transplantasi ginjal.
Penyakit gagal ginjal kronis bersifat progresif dan irreversible dimana terjadi
uremia karena kegagalan tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan serta elektrolit ( Smeltzer C, Suzanne, 2002 hal 1448 ).
3
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir ( ESRD ) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit. Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun, dengan penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan peningkatan
bertahap dalam gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir ( PGTA ).
Gagal ginjal kronis biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut
secara bertahap. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus
yang dapat digolongkan ringan, sedang dan berat. Azotemia adalah peningkatan
nitrogen urea darah ( BUN ) dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma
meningkat.
B. Etiologi
1. Gagal Ginjal Akut
a. Penyebab pre renal atau terjadi hipoperfusi ginjal
Dimana aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan turunnya laju filtrasi
glomerulus.
Penurunan volume vaskuler
Kehilangan darah/plasma : perdarahan luka bakar
Kehilangan cairan ekstra selluer : muntah,diare
Kenaikan kapasitas kapiler/vasodilatasi : Sepsis, Blokade ganglion, Reaksi
anafilaksis
Penurunan curah jantung/kegagalan pompa jantung : Renjatan
kardiogenik, Payah jantung kongestif, Dysritmia, Emboli paru, Infark
jantung
Obstruksi pembuluh ginjal bilateral : emboli, thrombosis.
b. Penyebab internal kerusakan actual jaringan ginjal akibat trauma jaringan
gromerulus atau tubulus ginjal.
Akibat dari kerusakan struktur glomerulus atau tubulus distal.
Kondisi seperti terbakar,udema akibat benturan dan infeksi dan agen
nefrotik dapat menyebabkan nekrosi tubulus akut (ATN) .
Berhentinya fungsi renal.
4
Reaksi transfusi yang parah juga gagal intra renal.hemoglobin dilepaskan
melalui mekanisme hemolisis melewati membran glomerulus dan
terkonsentrasi ditubulus distal menjadi faktor terbentuknya hemoglobin.
Faktor penyebab adalah : pemakaian obat-obat anti inflamasi, non steroid
terutama pada pasien lansia.
c. Penyebab postrenal terjadi akibat sumbatan atau gangguan aliran urine melalui
saluran kemih.
Obstruksi dibagian distal ginjal.
Tekanan ditubulus distal menurun, akhirnya laju filtrasi glomerulus
meningkat.
2. Gagal Ginjal Kronik
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain :
a. Diabetes mellitus
b. Glomerulo nefritis kronis
c. Piolenefritis
d. Hipertensi yang tidak dapat dikontrol
e. Obstruksi traktus urinarius
f. Lesi herediter, seperti penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskular infeksi
medikasi atau agen toksik.
Lingkungan dengan agen berbahaya : timah, merkuri dan kromium.
(Smeltzer, Suzzane, 2001)
C. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban
bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron
yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana
timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas
kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini
5
fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau
lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka
gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner
& Suddarth, 2001 : 1448).
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu:
Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Ditandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum Nitrogen (BUN) normal
dan penderita asimtomatik.
Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo filtration Rate
besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum Nitrogen mulai
meningkat diatas normal, kadar kreatinin serum mulai meningklat melabihi kadar
normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan poliuri.
Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia)
Timbul apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai glomerulo filtration rate 10%
dari normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit atau kurang. Pada tahap ini
kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrgen meningkat sangat mencolok dan
timbul oliguri. (Price, 1992: 813-814)
1. Patofisiologi Gagal Ginjal Akut
Menurut Price, (1995) ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi
yang dapat menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi
ginjal, yaitu sebagai berikut:
Obstruksi tubulus
Kebocoran cairan tubulus
Penurunan permeabilitas glomerulus
Disfungsi vasomotor
Glomerulus feedback
Teori obstruksi glomerulus menyatakan bahwa NTA (Necrosis Tubular Acute)
mengakibatkan deskuamasi sel- sel tubulus yang nekrotik dan materi protein
lainnya yang kemudian membentuk silinder- silinder dan menyumbat lumen
tubulus. Pembengkakan seluler akibat iskemia awal, juga ikut menyokong
6
terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia. Tekanan tubulus meningkat
sehingga tekanan filtrasi glomerulus menurun.
Hipotesis kebocoran tubulus menyataka bahwa filtrasi glomerulus terus
berlangsung normal, tetapi cairan tubulus bocor keluar melalui sel-sel tubulus yang
rusak dan masuk dalam sirkulasi peritubular. Kerusakan membran basalis dapat
terlihat pada NTA yang berat.
Pada ginjal normal, 90 % aliran darah didistribusi ke korteks (tempat dimana
terdapat glomerulus) dan 10% pada medulla. Dengan demikian, ginjal dapat
memekatkan urine dan menjalankan fungsinya. Sebaliknya pada GGA,
perbandingan antara distribusi korteks dan medulla menjadi terbalik sehingga
terjadi iskemia relative pada korteks ginjal. Konstriksi dari arteriol aferen
merupakan dasar penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR). Iskemia ginjal akan
mengaktivasi sistem renin-angiotensin dan memperberat iskemia korteks luar
ginjal setelah hilangnya rangsangan awal.
Pada disfungsi vasomotor, prostaglandin dianggap bertanggung ajwab atas
terjadinya GGA, dimana dalam keadaan normal, hipoksia merangsang ginjal untuk
melakukan vasodilator sehingga aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang
mengakibatkan diuresis. Ada kemungkinan iskemia akut yang berat atau
berkepanjangandapat menghambat ginjal untuk mensintesis prostaglandin.
Penghambatan prostaglandin seperti aspirin diketahui dapat menurunkan aliran
darah renal pada orang normal dan menyebabkan NTA.
Teori glomerulus menganggap bahwa kerusakan primer terjadi pada tubulus
proksimal. Tubulus proksimal yang menjadi rusak akibat nefrotoksik atau iskemia
gagal untuk menyerap jumlah normal natrium yang terfiltrasi dan air. Akibatnya
makula densa mendeteksi adanya peningkatan natrium pada cairan tubulus distal
dan merangsang peningkatan produksi renin dari sel jukstaglomerulus. Terjadi
aktivasi angiotensin II yang menyebabkan vasokonstriksi ateriol aferen sehingga
mengakibatkan penurunanaliran darah ginjal dan laju aliran glomerulus.
Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dari gagal ginjal akut,
yaitu periode awal, periode oliguria, periode dieresis, dan periode perbaikan.
a. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
b. Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan
peningkatan konsentrasi serum dari substansi yang biasanya diekskresikan
oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta kation intraseluler-kalium dan
7
magnesium). Jumlah urin menimal yang diperlukan untuk membersihkan
produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. pada tahap ini gejala uremik
untuk pertama kalinya muncul dan kondisi yang mengancam jiwa seperti
hiperkalemia.
c. Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatn jumlah urin secara bertahap,
disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urin output mencapai
kadarnormal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap normal. Pasien
harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi, tanda uremik biasanya
meningkat.
d. Periode penyembuhan merupakan tanda perbaikan fungsi ginjal dan
berlangsung selama 3- 12 bulan. Nilai laboratorium akan kembali normal.
Respons penurunan GRF memberikan berbagai masalah keperawatan pada
pasien yang mengalami gagal ginajal akut.
2. Pathway Gagal Ginjal Akut
Terlampir I
3. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis
Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronis dimulai pada fase awal
gangguan, keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat- zat
sisa masih bervariasi dan begantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi
ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik
mungkin minimal karena nefron- nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi
nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi,
reabsorbsi, dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi.
Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa
menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron- nefron tersebut ikut rusak
dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan
tuntutan pada nefron- nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorbsi protein.
Pada saat penyusutan progresif nefron- nefron, terjadi pembentukan jaringan parut
dan aliran darah ginjal akan berkurang. Pelepasan renin akan meningkat bersama
dengan kelebihan beban cairan sehingga dapat menyebabkan hipertensi.
Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal ginjal, dengan tujuan agar terjadi
peningkatan filtrasi protein- protein plasma. Kondisi akan bertambah buruk
dengan semakin banyak terbentuk jaringan parut sebagai respon dari kerusakan
nefron dan secara progresif fungsi ginjal menurun drastis dengan manifestasi
8
penumpukan metabolit- metabolit yang seharusnya dikeluarkan dari sirkulasi
sehingga akan terjadi sindrom uremia berat yang memberikan banyak manifestasi
pada setiap organ tubuh.
4. Pathway Gagal Ginjal Kronis
Terlampir II
D. Pathway
Terlampir I
E. Manifestasi Klinis
1. Gagal Ginjal Akut
Berkurangnya produksi air kemih (oliguria=volume air kemih berkurang atau
anuria=sama sekali tidak terbentuk air kemih)
Nokturia (berkemih di malam hari)
Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki
Pembengkakan yang menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan)
Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki
Perubahan mental atau suasana hati
Kejang
Tremor tangan
Mual, muntah
Gejala yang timbul tergantung kepada beratnya kegagalan ginjal,
progresivitas penyakit dan penyebabnya. Keadaan yang menimbulkan
terjadinya kerusakan ginjal biasanya menghasilkan gejala-gejala serius yang
tidak berhubungan dengan ginjal. Sebagai contoh, demam tinggi, syok,
kegagalan jantung dan kegagalan hati, bisa terjadi sebelum kegagalan ginjal
dan bisa lebih serius dibandingkan gejala gagal ginjal. Beberapa keadaan
yang menyebabkan gagal ginjal akut juga mempengaruhi bagian tubuh yang
lain. Misalnya granulomatosis Wegener, yang menyebabkan kerusakan
pembuluh darah di ginjal, juga menyebabkan kerusakan pembuluh darah di
paru-paru, sehingga penderita mengalami batuk darah. Ruam kulit merupakan
gejala khas untuk beberapa penyebab gagal ginjal akut, yaitu poliarteritis,
lupus eritematosus sistemik dan beberapa obat yang bersifat racun.
9
Hidronefrosis bisa menyebabkan gagal ginjal akut karena adanya
penyumbatan aliran kemih. Arus balik dari kemih di dalam ginjal
menyebabkan daerah pengumpul kemih di ginjal (pelvis renalis) teregang,
sehingga timbul nyeri kram (bisa ringan atau sangat hebat) pada sisi yang
terkena. Pada sekitar 10% penderita, kemihnya mengandung darah.
2. Gagal Ginjal Kronik
Kardiovaskuler
- Hipertensi
- Pericarditis
- Pembesaran vena leher
- Edema periorbital
- Pericardial effusion.
Gastrointestinal
- Anoreksia, konstipasi, diare
- Muntah
- Uremic
- Perdarahan gastrointestinal
- Ulkus peptikum
- Stomatitis
- Gastritis.
Neurologi
- Lelah/fatigue
- Sakit kepala
- Susah tidur
- Pusing
- Koma
- Kebingungan/confusion.
Integumen
- Warna kulit abu-abu mengkilat
- Kulit kering, bersisik
- Pruritus
- Ekimosis
- Kuku tipis dan rapuh
- Rambut tipis dan kasar
10
- Uremik.
Pulmoner
- Paru-paru uremik
- Edema pulmonal
- Dyspneu
- Pneumonia.
Hematologi
- Anemia
- Perdarahan
- Infeksi.
Psychology
- Penolakan
- Kecemasan
- Depresi
- Psychosis.
Muskuloskeletal
- Kram otot
- Kekuatan otot hilang
- Fraktur tulang
- Foot drop.
Reproduktif
- Amenorrhoe
- Atrofi testikuler Disfungsi seksual.
F. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium
11
a. Laboratorium darah
BUN, kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), hematologi (Hb, trombosit,
Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin)
b. Pemeriksaan Urin
Warna, PH, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, keton
2. Pemeriksaan USG
Untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, juga untuk mengetahui
beberapa pembesaran ginjal.
3. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,
aritmia dan gangguan elektrolit.
G. Intervensi Medis
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
12
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus
hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi
mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal
(LFG).
13
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan
Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi
elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan
ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup
baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala
yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik
disertai co-morbidity dan co-mortality.
Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual
tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat
ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu :
Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah.
Kualitas hidup normal kembali
Masa hidup (survival rate) lebih lama
14
Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
Biaya lebih murah dan dapat
H. Komplikasi
Hiperkalemia
Karena penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diet
berlebih.
Hipertensi
Karena retensi cairan dan natrium malfungsi, sistem renin, angiotensin aldosteron.
Anemia
Karena penurunan eritroprotein, penurunan usia sel darah merah, perdarahan
gastrointestinal, akibat iritasi toksin.
Perikarditis, efusi perikardial dna temponade jantung.
Karena retensi produk sampah uremik dan disjustglomerulus yang tidak adekuat.
BAB III
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
A. Definisi
Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis peritoneal
ambulatorik kontinyu merupakan suatu bentuk metode pencucuian darah dengan
15
menggunakan peritoneum (selaput yang melapisis perut dan pembungkus organ
perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh
darah. Zat-zat dari perut dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam
rongga perut. CAPD bersifat kontinyu dan biasanya dapat dilakukan sendiri. Metode
ini bisa dikerjakan di rumah oleh pasien. Tekhniknya disesuaikan dengan kebutuhan
fisiologis pasien akan terapi dialisis dan kemampuanya untuk mempelajari prosedur
ini. Metode ini harus dapat dipahami oleh pasien dan keluarga, serta diperlukan
petunjuk yang adekuat untuk menjamin agar mereka merasa aman dan yakin dalam
melaksanakannya.
B. Prinsip-Prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk
dialisis lainnya, yaitu difusi dan osmosis. Tetapi karena CAPD merupakan terapi
dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam
keadaan yang stabil. Nilainya bergantung pada:
fungsi ginjal yang masih terpisah
volume dialisa setiap hari
Kecepatan produk limbah tersebut diproduksi.
Fluktuasi hasil-hasil laboratorium ini pada CAPD tidak begitu ekstrim
dibandingkan dengan dialisis peritoneal intermiten, karena proses dialisis berlangsung
secara konstan. Kadar elektrolit biasanya tetap berada dalam kisaran normal. Semakin
lama waktu retensi, klirens molekul yang berukuran sedang semakin baik, molekul ini
merupakan toksin uremik yang signifikan. Dengan CAPD kliren molekul ini
meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti ureum, akan berdifusi
lebih cepat dalam proses dialisis dari pada molekul berukuran sedang, meskipun
pengeluaranya selama CAPD lebih lambat daripada selama hemodialisis.
Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialisis peritoneal dicapai dengan
menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang
tinggi sehingga tercipta gradien osmotik. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25%
harus tersedia dengan beberapa ukuran volume, mulai dari 500 ml – 3000 ml,
sehingga memungkinkan pemilihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran
tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin
besar gradien osmotik dan semakin banyak air yang dikeluarkan. Pasien harus
diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
16
Prinsip kerja dari CAPD cukup sederhana. Dialisis Peritoneal diawali dengan
memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut
melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam
rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan
tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat. Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah
akan pindah ke dalam cairan dialisat melalui selaput rongga perut (membran
peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat penyaring”, proses perpindahan ini disebut
Difusi. Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk
menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut
Ultrafiltrasi.
Gb1. Prinsip Kerja CAPD
Proses penggantian cairan dialysis dalam prosesnya tidak menimbulkan rasa sakit dan
hanya membutuhkan waktu singkat (± 30 menit). Proses tersebut terdiri dari 3 langkah:
1. Pengeluaran cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan
dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses
pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.
2. Memasukkan cairan
17
Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui kateter. Proses ini hanya
berlangsung selama 10 menit.
3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama 4-6 jam,
tergantung dari anjuran dokter.
Pertukaran biasanya dilakukan tiga kali sehari yang berlangsung kontinyu selama 24
jam/hari dan dilakukan dalam 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan pertukaran
dengan interfal yang didistribusikan disepanjang hari ( misalnya pada pukul 06.00 pagi,
16.00 sore dan 24.00 malam ). Setiap pertukaran memerlukan waktu 30 hingga 60 menit
atau lebih tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama
waktu penukaran terdiri atas 5 atau 10 menit periode infus (pemasukan dialisa), 20 menit
periode drainase (pengeluaran cairan dialisa) dan waktu retensi selama 10 menit, 30
menit atau lebih
C. Indikasi CAPD
CAPD merupakan terapi pilihan bagi pasien yang ingin melaksanakan dialisis
sendiri di rumah, indikasi CAPD adalah pasien-pasien yang menjalani HD rumatan
(maintenence) atau HD kronis yang mempunyai masalah dengan cara terapi yang
sekarang, seperti gangguan fungsi atau kegagalan alat untuk akses vaskuler, rasa haus
18
yang berlebihan, hipertensi berat, sakit kepala pasca dialisis dan anemia berat yang
memerlukan transfusi.
Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat diabetes sering
dipertimbangkan sebagai indikasi untuk dilakukan CAPD karena hipertensi, uremia
dan hiperglikemia lebih mudah diatasi dengan cara ini dari pada HD.
Pasien lansia dapat memanfaatkan teknik CAPD dengan baik jika keluarga atau
masyarakat memberikan dukungan. Pasien yang aktif dalam penanganan
penyakitnya, menginginkan lebih banyak kebebasan dan memiliki motivasi serta
keinginan untuk melaksanakan penanganan yang diperlukan sangat sesuai dengan
terapi CAPD. Selain kemampuan pasien dukungan dari keluarga untuk melasanakan
CAPD harus dipertimbangkan ketika memilih terapi ini.
Pasien memilih CAPD agar bebas dari ketergantungannya pada mesin,
mengontrol sendiri aktifitasnya sehari-hari menghindari pembatasan makanan
meningkatkan asupan cairan, menaikkan nilai hematokrit serum, memperbaiki
kontrol tekananan darah, bebas dari keharusan pemasangan jarum
infus(venipuncture) dan merasa sehat secara umum meskipun CAPD memberi kesan
pasien tampak bebas, terapinya berlangsung secara kontinyu sehingga pasien harus
menjalani dialisis selama 24 jam /hari setiap hari. Sebagian pasien menganggap cara
ini membatasi kebebasanya dan memilih HD yang lebih bersifat intermiten.
D. Kontraindikasi CAPD
Kontraindikasi dilakukan CAPD adalah adanya :
1. Perlekatan akibat pembedahan atau penyakit inflamasi sistemik
sebelumnya. Perlekatan akan mengurangi klirens solut.
2. Nyeri punggung kronis yang rekuren di sertai riwayat kelainan pada diskus
intervertebralis dapat diperburuk oleh tekanan cairan dialisat dalam abdomen
yang kontinyu
19
3. Adanya riwayat kolostomi, ileostomi, nefrostomi atau ilealconduit dapat
meningkatkan resiko peritonitis walaupun tindakan operasi tersebut bukan
kontraindikasi absolut untuk CAPD.
4. Pasien dengan pengobatan imunosupresif akan mengalami komplikasi akibat
kesembuhan luka yang buruk pada lokasi pemasangan kateter.
5. Diverkulitis mengingat CAPD pernah disertai adanya ruptur divertikulum.
6. Pasien dengan artritis atau kekuatan tangan menurun karena akan memerlukan
bantuan dalam melaksanakan pertukaran cairan.
E. Komplikasi CAPD
Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada CAPD adalah :
1. Peritonitis
Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan paling serius, yaitu
antara 60-80 % dari pasien yang menjalani peritoneal dialisis. Hal ini disebabkan
oleh adanya kontaminasi dari Staphylokokus epidermidisyang bersifat aksidental,
dan Staphylococcus aureus dengan angka morbiditas tinggi, prognosis lebih
serius serta lebih lama. Manifestasi dari peritonitis yaitu cairan dialisat yang
keruh, nyeri abdomen yang difus, hipotensi serta tanda-tanda syok lainnya, hal
ini jika penyebabnya S. Aureus. Pemeriksaan cairan drainage untuk
penghitungan jumlah sel, pewarnaan Gram, dan pemeriksaan kultur untuk tahu
penyebab mikroorganisme dan arahan terapi.
Penatalaksanaan Peritonitis di rumah sakit apabila pasien dalam kodisi parah
dan tak mungkin melakukan terapi pertukaran dirumah, dengan menjalani dialisis
peritoneal intermitten selama 48 jam atau lebih atau sepenuhnya dihentikan
selama dapat terapi suntikan antibiotik. Jika gejalanya ringan ditangani secara
rawat jalan dan terapi antibiotik ditambahkan dalam cairan dialisat serta dapat
AB peroral selama 10 hari. Infeksi akan menghilang dalam waktu 2-4 hari . AB
harus diberikan dengan cermat dan tidak bersifat nefrotoksik agar tidak
memperparah fungsi ginjal yang tersisa. Intervensi bedah mungkin diperlukan
jika peritonitis akibat adanya kebocoran dari usus.
Pada infeksi persisten di tempat keluar kateter pelepasan kateter permanen
diperlukan untuk mencegah peritonitis. Peritonitis dengan hasil kultur cairan
20
peritoneal positif juga merupakan indikasi pelepasan kateter. Untuk sementara
menggunakan HD selama satu bulan sampai dilakukan pemasangan kateter yang
baru. Pasien dengan peritonitis akan kehilangan protein melalui peritoneum
dalam jumlah besar, malnutrisi akut, serta kelambatan penyembuhan
2. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat yang biasa terjadi melalui luka insisi atau luka
pemasangan kateter setelah kateter terpasang. Kebocoran akan berhenti spontan
jika terapi dialisis ditunda selama beberapa hari sampai luka insisi dan tempat
keluarnya kateter sembuh. Faktor yang dapat memperlambat kesembuhan adalah
aktifitas abdomen yang tidak semestinya atau mengejan pada saat buang air
besar. Kebocoran dapat dihindari dengan memulai infus cairan dialisat dengan
volume kecil (100-200 ml) dan secara bertahap meningkatkan volume mencapai
2000 ml
3. Perdarahan
Cairan drainage dialisat yang mengandung darah dapat terlihat khususnya
pada wanita yang sedang haid. Hal ini disebabkan karena cairan hipertonik
menarik darah dari uterus lewat orificium tuba falopii yang bermuara ke dalam
kavum peritoneal. Kejadian ini dapat terjadi selama beberapa kali penggantian
cairan mengingat darah akibat prosedur tersebut tetap berada pada rongga
abdomen.
Penyebab lain adanya perdarahan karena pergeseran kateter dari pelvis serta
pada pasien yang habis menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma.
Adapun intervensi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pertukaran
cairan lebih sering untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah
4. Komplikasi lainnya adalah
a. Hernia abdomen karena peningkatan tekanan intra abdomen yang terus
menerus. Tipe hernia yang terjadi adalah insisional, inguinal, diafragmatik,
dan umbilikal. Tekanan intra abdomen yang persisten meningkat juga dapat
memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
b. Hipertrigliseridemia sehingga memberi kesan dapat mempermudah
aterogenesis. Penyakit Kardiovaskuler tetap merupakan penyebab utama
kematian pada populasi pasien ini.
21
c. Nyeri Punggung bawah dan anoreksia karena cairan dalam rongga peritoneum
selain rasa manis yang selalu tarasa pada indra pengecap juga berkaitan
dengan absorpsi glukose.
d. Pembentukan bekuan dalam kateter peritoneal dan konstipasi.
F. Keuntungan dan Kerugian CAPD
Keuntungan dari CAPD pada klien yang menggunakan antara lain:
1. Fungsi ginjal yang masih tersisa dapat dipertahankan.
2. Dapat dilakukan sendiri di rumah atau di tempat kerja.
3. Tidak tergantung pada bantuan orang lain.
4. Tekanan darah pasien lebih terkendali.
5. Kebutuhan akan suplemen zat besi dan eritropoietin (EPO) jauh lebih sedikit.
6. Lebih bebas mengonsumsi berbagai jenis makanan dan minuman.
7. Kadar kalium darah lebih terkontrol.
Kerugian CAPD
Kerugian CAPD pada klien yang menggunakan antara lain:
1. Risiko terjadinya peritonitis (infeksi peritoneum).
2. Lebih banyak protein yang hilang dari tubuh selama berlangsungnya proses
dialisis peritoneal.
G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal yang dilakukan sebeum perumusan diagnose
keperawatan serta intervensi keperawatan pada klien. Adapun pengkajian yang
dilakukan pada klien dengan tindakan CAPD antara lain:
Sebelum dialisa :
a. Tinjau kembali catatan medis untuk menentukan alasan perawatan di rumah
sakit.
b. Ketidakpatuhan terhadap rencana tindakan.
c. Fistula tersumbat bekuan.
22
d. Pembuatan fistula
e. Menanyakan tipe diet yang digunakan dirumah,jumlah cairan yang diijinkan,
obat – obatan yang saat ini digunakan, jadwal hemodialisa, jumlah haluaran
urin.
f. Kaji kepatenan fistula bila ada. Bilapaten, getaran ( pulsasi ) akan terasa
desiran akan terdengar dengan stetoskop di atas sisi. Tak adanya pulsasi dan
bunyi desiran menandakan fistulatersumbat.
g. Kaji terhadapmanifestasi klinis dan laboratorium tentang kebutuhan tentang
dialisa : Peningkatan berat badan 3 pon / lebih diatas berat badan pada
tindakan dialisa terakhir.
h. Rales, pernafasan cepat pada saat istirahat,peningkatan sesak nafas dengan
kerja fisik maksimal.
i. Kelelahan dan kelemahan menetap.
j. Hipertensi berat
k. Peningkatan kreatinin, BUN, dan elektrolit khususnya kalium.
Kemungkinan perubahan EKG pada adanya hiperkalemia.
Sesudah dialisa
Kaji terhadap hipotensi dan perdarahan. Volume besar dari pembuangan cairan
selama dialisa dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik dengan menggunakan
anti koagulan selama tindakan menempatkan pasien pada resiko perdarahan dari
sisi akses dan terhadap perdarahan internal.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan b.d efek ultrafiltrasi selama CAPD
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan keterbatasan pengembangan
diafragma
c. Resiko tinggi untuk cidera b,d akses vascular dan komplikasi sekunder
terhadap penusukan dan pemeliharaan akses vascular, emboli
udara,ketidaktepatan konsentarsi / suhu dialisat
d. Kurang pengetahuan b.d penyakit dan kebutuhan untuk CAPD
23
3. Rencana Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan b.d efek ultrafiltrasi selama dialysis
Kriteria Hasil: kekurangan volume cairan dapat teratasi dengan baik
Intervensi:
Kaji TTV : BB, masukan dan haluaran pradialisis.
Kaji derajat penumbunan cairan dalam jaringan pradialisis.
Tentukan ketepatan derajat dan ketepatan ultrafiltrasi untuk tindakan.
Jelaskan pada klien tentang kondisi klien serta tindakan yang akan
dilakukan
Berikan cairan pengganti sesuai instruksi dan indikasi.
Periksa kadar kalsium, natrium, kalium, CO2 pradialisis.
Kolaborasikan dengan tim medis untuk tindakan kolaboratif
Pantau konmdisi klien secara berkala setelah tindakan.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan keterbatasan pengembangan
diafragma
Kriteria hasil : menunjukan pola pernapasan efektif dengan bunyi nafas
jelas, GDA dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji TTV ; RR
Jelaskan pada klien terjadinya pola nafas tidak efektif
Awasi frekuensi / upaya pernapasan.penurunan kecepatan infuse bila ada
dispnea.
Berikan tambahan O2 sesuai indikasi.
Libatan keluarga dalam proses pelaksanaan tindakan pada klien
24
Berikan analgesic sesuai indikasi.
Kolaborasikan dengan tim medis dalam pemberian analgesic pada klien
Pantau keefektifan tindakan yang telah diberikan pada klien.
c. Resiko tinggi untuk cidera b,d akses vascular dan komplikasi sekunder
terhadap penusukan dan pemeliharaan akses vascular, emboli
udara,ketidaktepatan konsentarsi / suhu dialisat.
Kriteria Hasil: cidera tidak terjadi pada klien selama tindakan dilakukan.
Intervensi:
Kaji kondisi yang memberikan kondisi resiko terhadap cidera
Pastikan semua alat berbahaya ditempatkan secara aman
Mempertahankan lingkungan steril selama pemasukan kateter.
Melakukan radiografi dada setelah pemasukan kateter kevena subklavia.
Amati tanda pneumothorak, ketidakteraturan jantung, perdarahan hebat,
dan periksa bunyi nafas bilateral.
Ganti balutan kateter secara rutin sesuai kebijakan unit.
Pastikan bahwa detektor udara telah terpasang dan berfungsi baik selama
dialisis.
Bantu klien dalam perawatan (baik bantu langsung atau pengawasan)
sehingga terhindar dari cidera.
d. Kurang pengetahuan b.d penyakit dan kebutuhan untuk dialysis
Kriteria hasil: menunjukkan peningkatan pengetahuan tentang konsep
penyakit serta tindakan yang diberikan
Intervensi:
Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang fungsi ginjal dan
alasan dialysis.
Kaji kesiapan untuk belajar.
25
Berikan informasi yang sesuai untuk kesiapan dan kemampuan belajar
termasuk alasan pasien kehilangan fungsi ginjal: tanda dan gejala yang
b.d kehilangan fungsi ginjal.
Berikan dorongan untuk mengungkapkan perasaan takut dan ansietas.
Berikan informasi yang sama pada keluarga sehingga keluarga paham
tentang kondisi klien
Libatkan keluarga dalam memberikan pemahaman pada klien
Anjurkan klien untuk melakukan sharing dengan tenaga kesehatan
terkait proses penyakit serta tindakan yang diberikan
Beri semangat pada klien untuk proses pembelajarannya.
4. Implementasi Keperawatan
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang telah
dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi/ pelaksanaan
perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi
prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap
intervensi yang dilaksanakan serta mendokumentasikan pelaksanaan perawatan
(Doenges E Marilyn, dkk, 2000)
5. Evaluasi
Pada tahap yang perlu dievaluasi pada klien dengan dengan CAPD adalah,
mengacu pada criteria hasil yang hendak dicapai yakni apakah terdapat :
a. Kurang volume cairan
b. Pola nafas tidak efektif apakah telah teratasi
c. Resiko tinggi cidera masih ada atau tidak
d. Peningkatan pengetahuan pada klien dan keluarga telah tercapai atau belum.
26
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis peritoneal
ambulatorik kontinyu merupakan suatu bentuk metode pencucuian darah dengan
menggunakan peritoneum (selaput yang melapisis perut dan pembungkus organ
perut). Selaput ini memiliki are permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh
darah. Zat-zat dari perut dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke
dalam rongga perut. Prinsip kerja dari CAPD cukup sederhana. Dialisis Peritoneal
diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke
dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika
dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan
dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat. Zat-
zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat
melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat
27
penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi. Cairan dialisat mengandung
dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk menarik kelebihan air, proses
penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.
B. Saran
1. Perdalam pengetahuan serta konsep tentang CAPD dengan buku penunjang
dan studi lapangan.
2. Update informasi kesehatan terutma tentang CAPD dengan sering membuka
jurnal kesehatan terbaru untuk mengupdate ilmu yang telah kita dapat
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, Cetakan I. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Iqbal et al. Outcome of Peritoneal Dialysis and Hemodialysis in Elderly Patients with
Diabetes: Early Experience from Bangladesh. Advances in Peritoneal
Dialysis 2005;21:85-9.
Lynda Juall, Carpenito & Moyet. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Cetakan I.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Makalah Pelatihan. 2002. Fresenius Fundamentals in Peritoneal Dialysis. Fresenius
Medical Care.
28
Makalah Pelatihan. 2002. Ginjal Peritoneal Dialysis & Bagaimana Kerjanya,
Fresenius Medical Care.
Marilynn E. Dongoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Cetakan I.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Price & Wilson. 1995. Patofisiologi, Edisi 4, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran, EGC.
29
Respons psikologis
Penurunan produksi urine azotemia
Kecemasan pemenuhan informasi
Retensi cairan interstisial ↑
dan pH ↓
Dieresis ginjal
Ekskresi kalium menurun
Peningkatan metabolit pada
jaringan otot
Peningkatan metabolit pada gastrointestinal
Edema paru asidosis metabolit
Pola nafas tidak efektif
Defisit volume cairan
Penurunan pH pada cairan
Ketidakseimbangan elektrolit
hiperkalemia
Perubahan
Peningkatan kelelahan otot,
kram otot ↑
Kelemahan fisik, respons
Bau ammonia pada mulut,
mual, muntah, anoreksia