Bunuh Diri Pada Anak Dan Remaja
-
Upload
icka-siti-aisah -
Category
Documents
-
view
40 -
download
6
Transcript of Bunuh Diri Pada Anak Dan Remaja
Bunuh Diri pada Anak dan Remaja
Kasus bunuh diri pada anak dan remaja merupakan kasus yang paling sering
terjadi akhir-akhir ini. Seorang pakar psikologi mengatakan bahwa, usia anak dan
remaja merupakan usia yang ideal untuk bunuh diri, dan kasus yang terbanyak
dilakukan berada pada usia ini. Kasus bunuh diri pada anak dan remaja ini dikarenakan
ketidakmampuan menyesuaikan diri dan mengembang tugas-tugas perkembangan
pada siklus usianya tersebut. Di tambah hal-hal lain, yang mempengaruhi pola pikir
anak dan remaja.
Tipe Bunuh Diri
Dalam bukunya Le Suicide (1987), Durkheim merumuskan dan menguraikan
secara jelas tiga tipe bunuh diri. Pembagian ini, dapat menjelaskan berbagai kasus
bunuh diri di Indonesia karena dinilai praktis, yaitu:
Bunuh diri egoistik
Terjadi akibat ketidakmampuan individu untuk berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini
umumnya terjadi di kota besar, dimana masyarakat kota memiliki interaksi dan integrasi
sosial yang relatif rendah. Bunuh diri egoistis terutama disebabkan oleh egoisme yang
tinggi pada diri orang yang bersangkutan. Kalaupun ia berada dalam sebuah grup ia
tidak total berada di dalamnya. Hidupnya tertutup untuk orang lain, cenderung
memikirkan dan mengusahakan kebutuhannya sendiri. Orang yang egoismenya tinggi
ketika mengalami krisis tidak bisa menerima bantuan moral dari grupnya. Ia dengan
mudah bisa terjerumus oleh sikapnya yang egois untuk mengakhiri hidupnya. Orang
yang egois cenderung untuk melihat segala sesuatu dari ukurannya sendiri.
Bunuh diri altruistik
Terjadi akibat individu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun karena individu
merasa bahwa kelompoknya mengharapkannya. Contohnya adalah hara-kiri di Jepang.
Bunuh diri altruistis dipahami sebagai kebalikan dari bunuh diri egoistis. Individu terlalu
berlebihan dalam integrasi dengan grup atau kelompoknya hingga di luar itu ia tidak
memiliki identitas. Pengintegrasian yang berlebihan biasanya berdimensi memandang
hidup di luar grup atau dalam pertentangan dengan grup sebagai tidak berharga. Dalam
konteks ini Durkheim mengambil contoh konkret orang yang suka mati syahid daripada
menyangkal agamanya dan para prajurit dan perwira yang berani mati gugur demi
keselamatan nusa dan bangsa.
Bunuh diri anomik
Terjadi akibat individu kehilangan pegangan dan tujuan sehingga individu meninggalkan
norma-norma kelakuan yang biasa. Anomi adalah keadaan moral dimana orang yang
bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam hidupnya. Nilai-nilai yang
biasa memotivasi dan mengarahkan perilakunya sudah tidak berpengaruh. Adapun
penyebab yang sering dijumpai yaitu m usibah dalam bentuk apapun. Kehadiran
musibah menghantam cita-cita, tujuan dan norma hidupnya sehingga ia mengalami
kekosongan hidup. Pada kontek inilah, di Indonesia kasus bunuh diri meningkat tajam
sehingga orang rela bunuh diri dengan membakar diri, gantung diri, minum racun dan
sebagainya. Keadaan anomi melanda masyarakat karena adanya perubahan sosial
yang terlalu cepat.
Faktor Penyebab Bunuh Diri
Beberapa faktor yang diasosiasikan dengan peningkatan resiko bunuh diri diantara
anak dan remaja:
1. Gender. Anak perempuan memiliki resiko tiga kali lebih besar untuk melakukan
usaha bunuh diri. Namum anak laki-laki cenderung lebih berhasil melakukannya,
mungkin mereka lebih memilih cara-cara yang mematikan.
2. Usia. Mereka yang berada pada usia remaja akhir atau dewasa awal (15-24
tahun) beresiko lebih besar dibandingkan anak dan remaja awal.
3. Geografi. Remaja yang tinggal di pemukiman yang kurang padat memiliki resiko
lebih besar untuk bunuh diri.
4. Ras. Tingkat bunuh diri pada remaja Afrika Amerika, Asia Amerika, dan Hispanik
Amerika sekitar 30%-60% lebih rendah dari pada remaja kulit putih non Hispanik.
5. Depresi dan Keputusasan.
6. Perilaku bunuh diri sebelumnya. Seperempat dari remaja yang melakukan
percobaan bunuh diri sudah pernah mencoba sebelumnya. Lebih dari 80%
remaja yang bunuh diri sudah pernah membicarakan hal tersebut sebelumnya.
Sejarah bunuh diri dalam keluarga meningkatkan resiko bunuh diri pada remaja.
7. Masalah-masalah keluarga. 75% remaja melakukan bunuh diri karena adanya
masalah dalam keluarga.
8. Psychotic Illness. Bunuh diri di dorong oleh bayangan atau dorongan aneh yang
muncul dalam jiwanya sebagai akibat dari terganggunya kesehatan mental.
9. Kejadian-kejadian yang menimbulkan stres. Misalnya saja, putus cinta dengan
pacar, kehamilan di luar nikah, masalah di sekolah.
10.Penyalahgunaan obat.
11.Penularan sosial. Remaja dapat meromantisasi bunuh diri sebagai suatu aksi
kepahlawanan yang menantang.
Penanganan Perilaku Bunuh Diri
Dalam menangani perilaku (perilaku yang rentang) bunuh diri, perlu penanganan
yang sistematis, agar tidak terjadi kasus tersebut, minimal untuk menghindari kasus
serupa.
Melakukan Identifikasi
Gangguan angguan mental/gejala-gejala
Situasi psikososial yang menekan
Pola-pola maladaptif yang menetap dari pikiran, emosi dan perilaku, terutama
yang berkaitan dengan cara menghadapi masalah
Obat-Obatan:
Psikosis: atipikal neoroleptik
Depresi: antidepresan antidepresan-SSRI yg aman
Psikoterapi
Fokus pada skill building & problem problem-solving
Terapi perilaku dan kognitif (CBT)
Dukungan sosial
Sikap suportif dan bila perlu tempat tinggal sementara yang aman, memberi
kesempatan mempunyai ruang/waktu pribadi untuk memulihkan strategi coping,
mendapatkan perspektif yang menguntungkan, dan melihat pilihan-pilihan yang ada
selain bunuh diri.
Dukungan masyarakat dan lingkungan sosial sangat penting dala mengurangi stress
bunuh diri. dukungan itu seperti penguatan mental dan spiritual, pendidikan,
pemberdayaan anak dan remaja yang rentang dalam fungsi-fungsi sosial dan
dukungan-dukungan lainnnya. Dukungan sosial yang sehat terutama keluarga dan
masyarakat akan mengurangi resiko bunuh diri pada anak dan remaja.
Referensi:
Davison, Gerald C dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Nevid, Jeffrey S dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Yustinus, Dr. Semiun, OFM. (2002). Kesehatan Mental 1. Jakarta: Penerbit Kanisius