Bulletin tFC Edisi 06 L

19
MEMBANGUN NEGARA-BANGSA DENGAN MORAL DAN ETIKA | EDISI 06, THN. I, OKTOBER 2008 Natsir dan Negara Berketuhanan | 28 Windfall Profit Tax: Konstitusional | 25 Tentara Rakyat | 06 Menjebol Tahanan Polisi | 04 ISSN: 1979-2808 Sumpah Pemuda Kebangsaan Kita Prof. Dr. Taufik Abdullah Prof. Dr. Mochtar Pabottingi

Transcript of Bulletin tFC Edisi 06 L

  • BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008

    MEMBaNgUN NEgara-BaNgsa dENgaN MoraL daN ETIka | EDISI 06, Thn. I, OKTOBER 2008

    Natsir dan Negara Berketuhanan | 28 Windfall Profit Tax: konstitusional | 25

    Tentara rakyat | 06Menjebol Tahanan Polisi | 04

    ISSn: 1979-2808

    Sumpah Pemuda

    Kebangsaan Kita

    Prof. Dr. Taufik AbdullahProf. Dr. Mochtar Pabottingi

  • BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008 BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008

    REFLEKSI

    Tentara RakyatAbdoel Fattah

    REGULER

    02 darI PEMBaCa03 saLaM rEdaksI

    14

    PUSTAKA

    Natsir dan Negara BerketuhananSaripudin HA

    SKETSA

    Menjebol Tahanan Polisi:Mengenang Pemboman BCA 1984

    Agus Basri

    04

    SAFARI

    Fatwa, Buku Terbuka

    VISI:

    Menjadi pusat kajian dan amal jariah di bidang politik, demokrasi, dan kema-nusiaan yang terpercaya berlandaskan religi, moral, etika, pluralisme, serta bersifat inklusif dan independen.

    MISI:

    Membangun konsep dan pencerahan tentang kemanusiaan, politik, dan de-mokrasi yang bermoral/beretika berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

    Menyebarkan pemikiran-pemikiran dalam bentuk tulisan dan sarana lain un-tuk pengembangan pemikiran politik, demokrasi, dan kemanusiaan.

    Melakukan kajian tentang problema-problema aktual dalam masyarakat dan bangsa.

    NILAI INTI:

    Integritas dan moralitas, kepedulian, kejujuran, dan tanggung jawab.

    TUJUAN:

    Memberikan pengaruh terhadap pembuat kebijakan dan pelaku politik, yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

    Terciptanya perilaku pelaku politik yang bermartabat, berkeadaban, transparan dan akuntabel.

    Tersosialisasikannya konsep-konsep kemanusiaan, politik, dan demokrasi kon-stitusional yang bermoral/beretika.

    Tersiarnya wacana dan pemikiran bagi peningkatan kualitas kepemimpinan lokal yang berbasis pada kemajuan masyarakat dan kemaslahatan Indonesia.

    SASARAN:

    Suksesnya partisipasi dalam pemilihan umum untuk membangun demokrasi dan menyerap aspirasi masyarakat.

    Terselenggaranya diskusi dan seminar dengan topik yang aktual dalam rangka mencari solusi terhadap permasalahan yang timbul dalam masyarakat, bangsa, dan negara.

    Terlaksananya penerbitan buku, buletin, monografi, dan policy paper.

    Terlaksananya kegiatan pelatihan dan workshop, dengan fokus pada pengem-bangan kepemimpinan lokal.

    Terwujudkannya kerjasama dengan institusi-institusi lain dalam kerangka pe-laksanaan misi dan tujuan.

    Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran

    06

    11

    31

    SAJIAN UTAMA

    Sumpah Pemuda dalam Latar SejarahProf. Dr. Taufik Abdullah

    Kebangsaan dan KepemimpinanProf. Dr. Mochtar Pabottingi

    Sumpah Itu Untuk Apa?Iman Masfardi

    HIKMAH

    Kepak Sayap Politisi BerdedikasiQusyaini Hasan

    28

    CIKITA

    Akibat Seks BebasTravy Astri

    1821

    9OPINI

    Jangan ke Parpol Kualitas RendahMohammad Nasih

    Permberlakuan Windfall Profit Tax: Konstitusional!

    Marwan Batubara 25

    23

  • BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008 BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008

    Syahdan, Muhammad Yamin agaknya tergopoh-gopoh men-datangi Soegondo, pimpinan sidang pada Kongres Pemuda kedua tahun 1928, sembari menyodorkan sehelai kertas yang sudah tertulis, seraya membisikkan kata: Saya punya konsep penutupan. Ini dilakukan Yamin menjelang kongres

    berakhir. Soegondo, segera menyatakan setuju dan memberikan tan-da persetujuannya, seusai membacanya, dan kemudian para anggota panitia memberikan persetujuannya pula.

    Maka pada acara penutupan,manakala membacakan Poetoesan Congres Pemoeda Pemoedi Indonesia, keluarlah seluruh kata-kata buah coretan Yamin. Kami putra dan putri Indonesia mengakui ber-tumpah darah yang satu tanah Indonesia dan seterusnya sebagai-mana bunyi Sumpah Pemuda yang kita kenal sekarang.

    Sejarawan Taufik Abdullah menggambarkannya menjadi lebih me-narik. Ia membongkar lintasan sejarah Sumpah Pemuda, yang kemudi-an diberi makna pada belakangannya. Sejarawan LIPI yang handal ini menulis bagian pertama dari Sajian Utama nomor ini. Yang kemudian disusul oleh Mochtar Pabottingi yang coba menariknya ke bingkai ke-bangsaan dan pula kepemimpinan.

    Kebangsaan kita akan mati tanpa diluangkannya jalan politik bagi tumbuh, masuk, dan berkiprahnya pemimpin-pemimpin sejati dan sa-rikat-sarikat sejati. Dan, kepemimpinan, Mochtar Pabottingi melanjut-kan, akan terus mengerdil proporsional dengan semakin menjauhnya bangsa kita dari aspirasi dan penjunjungan kebangsaan. Ini belum selesai.

    Akhirnya rekan sejawat TFC Iman Masfardi menutup Sajian Utama dengan mengangkatnya menjadi soal pada wilayah kekinian. Sumpah yang dipahatkan para pemuda pada tahun 1928, menurut Iman, akan sulit dipahami melalui rekam jejak tokoh atau organisasi pemuda de-wasa ini. Malah yang terlihat pada episode gerakan 1998 justru kering-kihan tokoh dan organisasi kepemudaan yang dipelihara pemerintah. Bagaimana pemuda harapan bangsa di masadepan dipertaruhkan?

    Paling tidak tampilnya sejumlah kalangan muda di pentas politik praktis dengan menjadi calon anggota legislative sekarang tak pelak menarik perhatian. Dari pemuda kritis yang ulet, yang bergerak secara dinamis, eloknyaini yang luar biasasampai masuk sebagai caleg partai yang digagas dan digerakkan tokoh yang secara berendengan terus muncul di layar televisidengan lincahnya. Semuanya boleh jadi memang hendak memikirkan secara bersama sebuah negara-bangsa di masa depan.

    Sebuah masa depan yang tak kalah menarik diulas Marwan Batu-bara, tentang dunia perminyakan kita, yang sempat melonjak-lonjak dan kini terpelanting menjadi tidak stabil, yang tidak menutup ke-mungkinan bisa jadi merepotkan rakyat dan bara. Dan pula selintasan bara pengeboman BCA yang selama ini tak tertuliskan, yang kini coba dilukiskan, secara apa adanya. Selamat membaca.

    Agus Basri

    PENErBIT:

    PEMIMPIN UMUM: Dr. Abdoel Fattah, MM

    PEMIMPIN rEdaksI: Drs. h.R. Agus Basri

    rEdakTUr PELaksaNa: Saripudin h.A.

    dEwaN rEdaksI : Drs. A. Bakir Ihsan, M.Si.

    Ir. A. Riza PatriaIman Masfardi, Sh

    Dr. Leila Mona GaniemMohammad nasih, S.Th.I., M.Si.

    Dra. nina Mardiana, M.Ed.Ratih D. Adiputri, MIS

    Rizaluddin Kurniawan, S.Ag., M.Si.

    rEdakTUr khUsUs: M. Djauhari

    M. nurkholis Ridwan, Lc.Qusyaini hasan, S.Sos.

    A. Diah Sakinah Fatwa, S.Kom.Andi Mappirumah, S.Ag.

    sEkrETarIs rEdaksI: Wahyu Meyta Kusumawati, Sh

    hUMas daN PEMasaraN: Drs. Suwardjo, M.Si.

    aLaMaT kaNTor : Jln. Pejompongan Dalam 11A,

    Jakarta 10210, InDOnESIATelp./Fax: +62 21 5741090

    [email protected]

    ISSn: 1979-2808

    ikut berbanggaPak Fatwa, dari lubuk hati yang paling dalam, kami

    sekeluarga mengucapkan selamat dan ikut berbangga hati dengan kepercayaan yang telah diberikan Pemerintah dengan menganugerahkan Bintang Mahaputera Adipradana kepada Bapak.

    Semoga Allah SWT akan selalu memberkahi kiprahkiprah Bapak dan semoga akan selalu menjadi panutan umat. Amien, amien, amien.

    Purwanto,Jakarta

    turut berbahagiaSubhaanallaah wa bilhamdi. Kami turut berbahagia

    atas anugerah Bintang Mahaputera Adipradana kepada Bapak. Semoga Allah SWT berkenan meridhainya serta membawa berkah bagi keluarga. Amien.

    Muchlish,Bandung

    MengiLhaMi bangSaDari lubuk hati yang paling dalam, izinkan saya men

    gucapkan terima kasih atas penyampaian BULLETIN tFC dan terbitan tFC lainnya.

    Semoga kesungguhan dan kerja keras kita semua mendapat ridho Tuhan Yang Maha Esa, dan senantiasa diberi kesanggupan dalam terus mengilhami bangsa ini dengan berbagai pemikiran kritis dan cerdas serta bermanfaat.

    h.M. aksa MahmudWakil Ketua MPRRI, Jakarta

    SeLaMat!Saya sampaikan ucapan Selamat atas berdirinya The

    Fatwa Center (tFC) dalam memberi perhatian antara lain pada penyemaian etika dan moral di wilayah publik akan terus berlanjut.

    Ucapan terima kasih pula saya sampaikan atas kiriman BULLETIN dan terbitan tFC lainnya. Kiranya terbitan tersebut akan sangat bermanfaat bagi kami untuk mengembangkan pengetahuan moral, etika, dan permasalahan sosial lainnya.

    Atas perhatian dan kerjasama yang baik, saya ucapkan terima kasih.

    Dr. hj. Sylviana Murni, Sh, MsiWalikota Jakarta Barat

    SeMOga teruS berLanJutKami mengucapkan terima kasih yang tulus atas kiri

    man BULLETIN tFC dan terbitan tFC lainnya. Selanjutnya koleksi tersebut akan kami pergunakan di perpustakaan sekolah kami.

    Kami menyadari, pemberdayaan perpustakaan, baik dari aspek kuantitas maupun ragam judul, harus terus

    ditingkatkan secara berkesinambungan. Untuk itu, sekali lagi kami sampaikan ucapan terima kasih, semoga penyampaian Bulletin tFC dan terbitannya di masa yang akan datang dapat terus dilanjutkan.

    Dr. h. Sudiarto, M.ed.Kepala Sekolah SMK Negeri 8, Jakarta

    Sangat berManFaat bagi SiSWaPerkenankan kami mengucapkan terima ka

    sih atas dikirimnya BULLETIN tFC dan terbitan tFC lainnya untuk perpustakaan sekolah.

    Informasi yang diberikan dari majalah BULLETIN tFC sangat bermanfaat bagi siswasiswi kami dalam upaya mempersiapkan tenaga kerja bermutu.

    Atas perhatian dan kerjasama yang baik kami ucapkan terima kasih.

    Drs. Dedi Dwitagama, MM, M.Si. Kepala Sekolah SMK Negeri 3, Jakarta

    berguna bagi SekOLah kaMiKami sangat berterima kasih sekali dikirimi

    BULLETIN tFC. Majalah ini sangat berguna bagi perpustakaan sekolah kami.

    Kami banyak menimba ilmu dari BULLETIN ini. Apalagi yayasan kami ini dulu adalah bimbingan Bapak Mohammad Natsir, yang mendirikan sekolah ini.

    Semoga BULLETIN tFC bertambah maju dan bermanfaat bagi orang banyak terutama umat Islam. Amiin.

    ny. hj. Muslihati PurnomoKepala Sekolah SMA AlGhurabaa, Jakarta Timur

    kOLekSi PerPuStakaanBULLETIN tFC telah diterima dengan baik dan

    kami simpan sebagai koleksi perpustakaan Komisi Yudisial.

    Atas perhatian dan pengiriman BULLETIN tFC tersebut, diucapkan terima kasih.

    Muzayyin MahbubSekjen Komisi Yudisial, Jakarta

    teriMa kaSihKami mengucapkan terima kasih atas pe

    nyampaian BULLETIN tFC. Atas perhatian dan kerjasama yang diberi

    kan, kami mengucapkan terima kasih.> Prof. Dr. gumilar r. Somantri, Rektor UI

    > M. Yusuf , Se, MM, Wakil Rektor II UMJ> Dra. ediyani bondan andoko, Kepala

    Perpustakaan UNSADA, Jakarta

  • BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008 BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008

    Oleh: Agus Basri

    identitasnya sama sekali belum diketa-hui aparat keamanan. Ia berbicara bia-sa-biasa saja, kendati sudah mendengar bom meledak. Khaerul Syah tidak tahu apakah benar barang yang disoldirnya itu bom yang meledak di BCA. Khae-rul Syah, pemuda lugu dan polos itu, berbicara apa adanya. Karena itu saya harus menjaga nara sumber yang satu iniyang masih sangat ingusande-ngan sebaik-baiknya.

    Sebermula dari rumah kos Khaerul Syah inilah saya kemudian dengan mu-dah mendapatkan rumah Eddy Ramli. Tapi tidak mudah pula menemui istri-nya. Perlu dua tiga hari saya untuk ber-temu, dan istri Bang Iyom ini tampak benar-benar tak tahu persoalan dan tak begitu mengacuhkan suaminya. Tak jauh dari rumah Bang Iyom, yang pe-nuh tanaman hiassaya mengistilah-kan waktu itu taman pohon-pohonan dan ditertawakan redaktur nasional Su-santo Pudjomartonotatkala mene-mui seorang tokoh yang tak jauh dari sana, entah kenapa, saya dan calon re-porter bernama Habiburrohman harus berlarian tunggang langgang dikejar-ke-jar massa dan terpaksa menyelamatkan diri masuk ke sebuah masjid, yang ter-nyata berimpitan dengan rumah seo-rang tokoh yang juga dicurigai aparat. Tapi di situlah kami terselamatkan, dan

    mendapat bahan, dengan perlu sedikit olahan.

    Pada sebuah kesempatan kembali ke Polres Jakarta Barat, saya, yang sekali ini ditemani Alook alias Achmad Luqman, berhasil menemui seorang perwira me-nengah penting, yang sangat tahu, dan punya bahan. Polisi itu menunjukkan (memamerkan saja) sebuah BAP (Beri-ta Acara Pemeriksaan) tentang beberapa tersangka yang sudah ditangkap dan diperiksa. Tapi seperti halnya Kolonel Nawawi, Kapendam Jaya, perwira poli-si itu tiba-tibamujur bagi kamiper-gi meninggalkan ruangan. Saya sempat mengambil BAP setebal setengah kasur itu, saya masukkan dalam tas reporting berbentuk kotak warna hitam, tapi ti-dak cukup. BAP itu terlalu besar dan kelewat tebal. Coba saya masukkan ke dada, di balik kaos, yang tampak mem-busung besar. Dan sempat saya bawa-bawa pula di dalam kantor Polres dan tak seorang pun tahu.

    Tapi Alook segera mengingatkan, Itu sudah tidak benar. Itu sudah tin-dakan kriminal. Nggak profesioal, ka-tanya. Ya, sudah, kalau begitu, kamu yang harus mencatatnya. Saya malas, tebal sekali ini, agak kesal saya menja-wab. Oke, ujar Alook untuk menge-rem saya dan agar saya tidak melakukan tinda nggak benar yang berbau kriminal

    | Menjebol Tahanan Pols

    itu. Ternyata Alook, di ruang perwira itu, hanya mencatat isi BAP sedikit saja. Alook ternyata kurang berani, apalagi mengambil risiko untuk mencari kebe-naran fakta agar dapat disuguhkan. Ada rasa sedikit kesal (pada) saya.

    Tapi kami tidak boleh menyerah, ke-pada hal-hal yang memungkinkan ber-buat tidak baik. Alook mengingatkan agar lempeng-lempeng wae (maksudnya lempang-lempang saja). Saya pun terdi-am. Kami meninggalkan Polres dengan skuter, dan dengan uang pas-pasan yang memaksa kami harus menentukan pili-han: isi bensin atau beli makanan. En-tah kenapa pada hari itusudah berpu-tar-putar ke mana-manatak ada pula orang jual makanan, sehingga terpaksa untuk mengganjal perut membeli 2 (dua) kilogram apel Malang. Namun rasa penasaran terhadap bahan peroleh-an yang tidak memuaskan, menyeret kami berdua untuk kembali ke kantor Polres.

    Mujur tak bisa dielakkan. Selepas sholat dzuhur dan berdoa khusu: Rob-bisrokhli shodri, wayassirli amri, wahlul uqdatam millisaani, yafqohu qouli. Doa paling ampuh yang selalu saya baca setiap usai bekerja mati-matian dan tak juga mendapatkan apa yang diharap-kan. Saya selalu teringat pula ayat: Fa-idza faroghta fanshob, wailaa robbika far-ghob. Hanya Allah yang menentukan segalanya dan segalanya kembali kepa-daNya. Biasanya doa mujarab itu selalu diikuti dengan petunjuk dan: keberhasil-an reporting dan wawancara.

    Maka, serrr, seketika, entah dari ma-na, muncul seorang perwira menengah yang sudah mau pensiun itu. Saya coba membujuknya untuk mendapatkan pa-raf guna memotret dan sedikit mene-mui tahanan. Entah kenapa, perwira itukasihan mungkin melihat saya yang sudah malang melintang tak karu-an mencari berita dan dekilpercaya. Alook mungkin kurang begitu diper-caya lantaran belum begitu dikenal dan lagi pula berambut gondrong sebahu. Tatkala saya sodorkan secarik kertas, beliau membuat oret-oretan dan mem-bubuhkan parafnya.

    Sejak itulah kami serasa lega dalam segalanya. Tak ada lagi tuduhan kemung-kinan melakukan perbuatan yang tidak benar, seperti kata Alook. Nama dan panggilan Achmad Luqman ini diam-bil oleh orang tuanya, seorang kiai yang

    Pers di masa Orde Baru beker-ja dalam suasana yang tidak bebas dan tertekan. Informa-si publik sulit diakses. Upaya pers mencari dan menggali lorong-lorong kebenaran sering kali di-halangi. Hasil perolehan investigasi pun kadang tak dapat dimuathanya lantar-an tak dikehendaki.

    Inilah hasil investigasi kasus pem-boman BCA 4 Oktober 1984hampir seperempat abad yang laluyang ter-cecer dan tak pernah dipublikasikan sebelumnya. Serentetan peristiwa yang bersambungan setelah Tanjung Priok, Lembaran Putih, dan akhirnya bom me-ledak di tiga (3) lokasi hanya tiga (3) pe-kan setelah meletus kasus Priok.

    MENJEBOL POLRESPada mulanya adalah sebuah info

    (hasil bujukan) penting dari seorang perwira Poliri di Polres Jakarta Barat, yang mengatakan ada 7 (tujuh) orang yang terlibat kasus pengeboman BCA di Jalan Gajah Mada, BCA di Jalan Pece-nongan, dan di pusat pertokoan Metro Glodok, pada tanggal 4 Oktober 1984. Sebuah info yang mengusik saya me-lengkapinya dengan menguber nama-nama, dan mengejarnya ke sejumlah lokasi rumah mereka. Repot memang.

    Dengan skuter inventaris warna pu-

    jadi imam sholat maghrib di rumahnya, saya fasih-fasihkan bacaan shalat, de-ngan irama yang membuatnya terpukau, sementara Amran menunggu di ruang tamu. Robby akhirnya percaya bahwa kami benar-benar wartawan TEMPO dan sekadar pencari berita, pencari ke-benaran yang profesional. Robby Perma-na Pantow menjadi pembuka pertama untuk menggali nara sumber selanjut-nya: Hasnul Arifin.

    Tak jauh berbeda perolehan. Meng-ingat keterbatasan kemampuan dalam melakukan penggalian terhadap orang yang baru saja kenalan, dan terutama sifatnya yang kurang berbicara secara apa adanya. Tapi dari rekan Hasnul ini-lah mulai terkuak jaringan. Pengem-bangan berlanjut di seputar rumah pelaku yang masih buron, Eddy Ramli. Dan sungguh tidak mudah mendapat-kannya mengingat sebagian besar ma-syarakat agak tertutup. Tiba-tiba terlon-tarlah sebuah nama, seseorang yang ka-dang membantu Bang Iyom, panggilan akrab Eddy Ramli, jika mendapat pro-yek mengerjakan sablon.

    Saya segera menemui Khaerul Syah, mahasiswa baru yang baru dua bulan tinggal di Jakartayang mengaku di-minta Eddy untuk mensoldir baterai (yang sungguh tak diketahuinya) ternya-ta untuk timer pada bom BCAyang

    Sebuah perang tanding pertaruhan profeSionaliSme Seorang wartawan melawan hegemoni kekuatan militer yang Sangat

    berkuaSayang berujung pada kebenaran yang tidak memihak.

    Menjebol Tahanan PolisiMengenang Pemboman BCA 4 Oktober 1984 (1)

    tih, saya merambah beberapa lokasi per-kampungan slum yang padat di Jakarta Barat, sampai ke arah Kebon Jeruk. Se-buah sumber menyebut adanya seorang informan polisi pada sebuah Polsek. Saya segera mengubernya ke satu Polsek di Kebun Jeruk, dan sempat mendatangi rumah seseorang bernama Daeng, yang membuatnya marah-marah tidak ka-ruan. Al hasil, saya kembali merayap ke Polres Jakarta Barat di Jalan S. Parman.

    Sampailah pada sepotong siang, ma-tahari sudah condong ke barat, saya ber-temu seorang perwira menengahPolres Jakarta Barat. Bermula dari obrolan ri-ngan, sampai pada membuka identitas diri bahwa saya juga anak seorang po-lisi, Bapak saya Ajun Inspektur Satu Po-lisi Ngusman Agus Basir. Perwira mene-ngah setengah tua itu mulai percaya dan agak membuka diri. Saya mendapatkan nama seorang tersangka, yang setelah di-periksa sengaja dilepas oleh polisi: Rob-by Permana Pantow. Saya memburu ke rumahnya yang sempit bersama Amran Nasution, Kepala Biro Jakarta, pada se-buah maghrib yang redup.

    Seperti laiknya bekas tahanan yang tampak teruk dan masih dipantau, Rob-by terkesan sangat peka, dan kurang per-caya kepada tamu yang tak dikenalnya. Bicaranya sangat hati-hati. Hingga saya harus membuktikan diri dengan men-

    M. Tashrif Tuasikal dan wartawan TEMPO Agus Basri di LP Cipinang.

  • Oleh: Abdoel Fattah

    BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008 BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008

    Tentara Rakyat

    Bulan Oktober ini TNI memperingati ulang ta-hunnya ke-63. Dalam pengabdiannya TNI telah banyak mengukir prestasi yang membanggakan, menegakkan kedaulatan dan menjaga keutuhan NKRI. Namun, sejarah juga mencatat bahwa TNI pernah melalukan penyim-pangan terhadap jati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional yang profesional, dise-babkan telah digunakan sebagai alat ke-kuasaan dan politik Orde Baru.

    Sebagai tentara rakyat, lahir dari kandungan rakyat atau dari pemuda-pemuda yang memiliki semangat dan keberanian yang tinggi serta siap ber-korban untuk bangsa dan negaranya. Para pemuda yang kemudian sebagian menjadi tentara itu pada mulanya tidak berpikir untuk menjadi tentara, tetapi secara spontan memenuhi panggilan tanah air dengan mengangkat senjata. Tentara Indonesia lahir karena dorong-an semangat patriotisme. Tentang kela-hiran TNI ini, Bung Hatta (1981: 32) menyatakan antara lain sebagai berikut: Tentara yang lahir dalam revolusi na-sional, tentara yang spontan timbul dari bawah, didorong oleh semangat patriot untuk membela negara yang baru merdeka.

    Para pemuda yang mengangkat senjata tersebut berasal dari berbagai golongan agama, daerah, suku, desa maupun kota, serta dari berbagai or-ganisasi, seperti Pembela Tanah Air

    bangsaan dan identitas kenegaraannya. Akhirnya menjadi TNI

    Antara rakyat, negara, dan tentara (TNI) harus terjadi hubungan yang baik. Negara tanpa tentara akan lemah karena tidak memiliki kekuatan untuk membela kedaulatannya. Tentara tidak dapat hidup tanpa rakyat, karena hidup-nya ibarat ikan dalam air. Sedangkan

    tentara dan rakyat memerlukan negara untuk mengatur kehidupan kebangsa-an. Masing-masing saling memerlukan. Rakyat harus mencintai tentaranya. Pada tanggal 5 Oktober 1946, Presi-den Soekarno dalam amanatnya me-nyatakan: Bangsa yang tidak mencin-tai tentaranya, sama dengan harimau yang tidak mencintai saing dan kuku-nya, sama dengan kerbau yang tidak mencintai tanduknya (Nasution 1977: 489). Tentang posisi tentara dengan rak-yat, Panglima Besar Sudirman menya-takan: Tentara adalah warga negara biasa, bukan kelas istimewa di dalam masyarakat. Tentara bukan merupakan suatau golongan di luar masyarakat, bukan suatu kasta yang berdiri di

    hafidz, dari Al-Quran tentang Luq-man, seorang yang hanya menjunjung tinggi pada kebenaran dan terpujikan. Ini berbeda dengan Alook yang suka sholat main cepat di atas meja kantor dan jadi tontonan teman-temandan dia senang. Ini dakwah juga, Gus, ka-tanya dengan (logat) bangga.

    Alkisah. Saya bersama Alook yang sudah sangat kelaparan, dengan me-nenteng buah apel, menemui kepala penjaga tahanan Polres Jakarta Barat. Dengan berbekal paraf memo dari per-wira menengah, saya sampaikan bah-wa kami ingin memotret para pelaku pemboman BCA.

    Tidak bisa. Ini kasus subversi, kata sang penjaga melarang keras. Setelah di-tunjukkan surat sakti itu, petugas jaga agak merendahkan suaranya. Oh, tapi ini hanya mau foto kan, katanya. Saya juga lagi mau buat KTP ini, perlu foto, katanya menambahkan. Ya, sudah, oke Pak, saya foto saja Bapak sekarang, kata Alook tak mau menyia-nyiakan kesem-patan, sembari memberikan apel yang kami bawa. Padahal perut kami juga sudah keroncongan sangat lapar, belum makan, eh, malah kehilangan apel pula. Tapi ya sudahlah. Semuanya jadi terang benderang, perut serasa kenyang, begitu dibukakan pintu tahanan.

    Jreng, Itu kata keluar dari mu-lut Alook, berdendang. Dunia serasa begitu terang benderang. Ayo, semua keluar, saya berteriak. Para tersangka pengeboman BCA itu anehnya keli-hatan girang melihat ada yang datang dengan kamera dan block note. Ternyata pintu-pintu para tahanan itu sung-guh saya bersyukursedang tidak di-kunci. Sengkelak mereka berebutan keluar. Mereka saya perintahkan ke tengah lapangan. Bergaya seperti layak-nya pasukan yang telah memenangkan pertempuran, dengan gagah (dan juga pongah mungkin), maka saya perin-tahkan kepada mereka: Ayo, semua kumpul di lapangan, cepat, kem-bali saya berteriak. Kita foto, saya menambahkan sembari mengenalkan bahwa kami wartawan TEMPO.

    Dengan amat bersemangat para pesakitan itu keluar dari sel masing-masing. Wajah-wajah mereka tampak ceria, dan kami foto mereka berkali-kali, dan kami wawancarai pula mere-ka. Dilanjutkan dengan ngobrol agak panjang tentang apa saja, sampai puas. Sudah terbayang dengan sangat jelas

    di benak bahwa sebuah wawancara sa-ngat eksklusif segera dapat kami lapor-kan ke kantor: dengan gagahnya.

    Tapi apa dikata? Redaktur Susanto Pudjomartono mengatakan wawancara itu tidak lengkap, perlu ditambah, dan oleh karena itu harus wawancara lagi. Wah, ini keterlaluan, pikir saya. Tapi Alook mengingatkan bahwa masih ada peluang. Sebab, tadi penjaga tahanan menginginkan foto untuk KTP. Maka kami berdua meminta tukang cetak foto di kantor, Ilham Soenharjo dan kawan-kawan, untuk mencetak foto penjaga tahanan itu dengan berbagai ukuran: 2x3, 3x4, 4x6, 6x6 masing-masing 5 buah, dan dua buah lagi ukuran post card.

    Lalu segera kami berdua dengan skuter putih kembali ke Polres Jakarta Barat membawa foto-foto itu. Tapi, sungguh, di luar dugaan. Penjaga sel tahanan tak memperbolehkan kami wawancara lagi, setelah memperoleh foto-foto untuk KTPnya. Maka, tat-kala Alook berdebat dengan penjaga, saya lari saja membuka pintu masuk sel tahanan. Rupanya mereka sudah pada di dalam sel masing-masing dan dikunci. Jadi saya melakukan wawan-cara kembali dari balik jeruji, dari satu sel ke sel yang lain. Alhamdulillah, sa-ya berhasil mendapatkan wawancara tambahan seperti yang diminta atasan, Mas Santoyang ternyata sangat de-kat dengan Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani.

    Itulah Laporan Utama yang kami suguhkan kepada pembaca. Dan TEM-PO laku keras.

    FOTO TASHRIF TUASIKALSewaktu saya mainkata-kata

    ini selalu saya pakai jika melakukan re-porting atau investigasimenemui Ka-pendam Jaya, Kolonel Nawawi, bahwa kami berhasil wawancara dengan para pelaku bom BCA di Polres Jakarta Ba-rat, dan baca saja TEMPO, rupanya sang Kapendam Jaya marah. Kurang ajar, katanya dengan wajah memerah. Polisi memang tidak bisa dipercaya. Harus saya pindahkan tahanan-tahan-an itu ke Kodim sekarang ini juga, ka-tanya seraya coba meraih gagang tele-pon. Tapi rupanya pejabat Polres yang dicari sedang tidak di tempat. Suasana hening. Setelah ngobrol-ngobrol agak panjang, tatkala hendak kembali ke kantor, saya katakan: Oke Pak, sila-

    kan saja dipindahkan, kata saya. Ka-lau begitu, kita bertanding lagi, Pak, apakah saya bisa memasuki Kodim untuk melakukan wawancara lagi, dan mendapatkan berita atau tidak, kita li-hat saja minggu depan.

    Belum lagi saya beranjak meninggal-kan ruangan, Kolonel Nawawi masih bangga memiliki yang lain yang tak kalah hebat dari perolehan TEMPO. Ia memamerkan, punya foto otak pele-dakan. Namanya Tashrif Tuasikal, yang masih buron. Ketika saya coba memin-tanya, tak diperkenankan. Ketika saya mau repro, juga tidak diperbolehkan. Tapi inilah yang luar biasa, he he. Tiba-tiba Kolonel Nawawi dipanggil Pangdam Jaya Mayjen Try Soetrisno. Secepatnya Nawawi meninggalkan ru-angan, meninggalkan saya begitu saja, dan juga dua orang perwira Angkatan Laut yang juga ada di ruangan Kapen-dam sebagai tamu.

    Saya jadi ingat kasus Watergate yang melibatkan Presiden Nixon, tat-kala seorang sekretaris tiba-tiba masuk ke ruangan kepalanya, sehingga memu-dahkan wartawan bergerak beroperasi. Seperti memanfaatkan momentum, sa-ya datangi meja kerja Pak Nawawi, saya buka lacinya, mengambil foto Tashrif dan langsung saya repro pada saat itu juga di depan dua letkol Angkatan Laut, yang juga diam saja. Maka segera saya kembali ke kantor, saya ceritakan semua itu sembari menunjukkan foto pada Pemred Goenawan Mohammad, dan lalu kami pasang foto Tashrif Tua-sikal itu di TEMPO edisi berikutnya. Dan ketika ketemu Kolonel Nawawi di kantor Kodam Jaya, saya pun ter-tawa-tawa sembari menunjukkan foto Tashrif di TEMPO edisi baru, semen-tara dia juga tampak biasa-biasa saja seperti tak terjadi apa-apa.

    Hal itu mengingatkan pertanding-an sebelumnya dalam pencarian berita antara TEMPO dan aparat keamanan dalam mencari rumah-rumah pelaku pemboman BCA, yang penuh dengan lika-liku dan main kucing-kucingan de-ngan aparat, mengingat aparat hampir selalu kalah bersaing dengan TEMPO dalam menguber narasumber. Dan ki-ni pertandingan berlanjut dengan di-pindahkannya para tahanan dari Pores ke Kodim Jakarta Barat.

    Agus Basri, Wartawan TEMPO.(1982-1994/breidel)

    | Menjebol Tahanan Pols

    Praktek pelaksanaan Dwifungsi ABRI dengan pendekatan yang dilakukan itu

    menyebabkan tidak netralnya TNI, menghilangkan daya inisiatif dan dinamika kehidupan masyarakat dalam politik, serta

    hilangnya hak-hak rakyat.

    (PETA), Seinendan (prajurit pemula), Keibodan (pasukan keamanan), Shusen-tai (barisan pelopor), Hizbullah, Goku-kotai (pasukan pelajar), Heiho (pem-bantu prajurit) dan organisasi lainnya. Memang, banyak embrio tentara itu yang dilatih oleh Jepang, tetapi tidak berarti mereka benar-benar ingin mem-bantu Jepang. Motivasinya hanya un-

    tuk mendapatkan ketrampilan kepra-juritan guna mempersiapkan diri bagi perjuangan bersenjata melawan penja-jah.

    Sifat kerakyatan TNI juga bisa di-lihat dari nama cikal bakalnya pada awal pembentukannya, yaitu Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan tanggal itulah kemudian diakui oleh bangsa Indonesia sebagai tanggal berdirinya tentara kebangsaan Indonesia. TKR diganti namanya men-jadi Tentara Keselamatan Rakyat de-ngan singkatan tetap TKR, selanjutnya menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) agar lebih menampakkan ke-

  • Dok. Humas MPR-RI

    BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008 BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008

    | Tentara Rakyat

    Proses tahapan pemilihan umum (Pemilu) sudah berjalan dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan partai-partai politik kontestan Pemilu tahun 2009. Di samping ada 38 partai politik nasional, pada Pemilu yang akan datang, ada pula 6 partai politik lokal yang akan berkompetisi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk mempe-rebutkan kursi wakil rakyat di level provinsi dan kabupaten/ kota.

    Harapan akan terjadinya penyederhanaan jumlah partai belum bisa terwujud, karena belum lama ini telah dilakukan perubahan Undang-Undang tentang Pemilu DPR, DPRD, dan DPD yang menghapus ketentuan electoral treshold. Ka-rena itu, partai-partai yang dengan Undang-Undang lama seharusnya tidak dapat mengikuti Pemilu, kini dapat men-jadi kontestan Pemilu 2009. Aturan main dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPRD dan DPD mengizin-kan semua partai po-litik yang memiliki wakil di DPR menjadi peserta Pemilu 2009.

    Jumlah kontestan yang lebih banyak pa-da tahun 2009 diban-dingkan pada tahun 2004 tentu menuntut masyarakat untuk melakukan peni-laian kepada partai-partai politik yang ada secara lebih baik. Hal ini penting agar rakyat tidak menitipkan aspirasi kepada partai politik yang kurang tepat, karena tidak sesuai dengan harapan.

    Ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai pertanda kualitas sebuah partai politik. Pertama, ideologi politik. Par-tai politik yang berkualitas adalah partai politik yang memi-

    liki ideologi yang jelas dan dapat diterapkan dalam kehidup-an nyata. Ideologi politik sangat diperlukan oleh partai seba-gai landasan bagi arah perjuangan partai. Partai politik yang tidak memiliki ideologi politik, tidak memiliki arah yang hendak dituju, sehingga program kerja partai bisa berubah-ubah sewaktu-waktu sesuai dengan perubahan konstalasi. Ka-rena itu, ia sangat rentan terhadap kepentingan-kepentingan politik jangka pendek, sehingga dikhawatirkan justru akan merugikan kepentingan rakyat.

    Kedua, kader partai yang loyal dan memiliki wawasan politik yang cukup dan rasional. Kader adalah tulang pung-gung dan kerangka bagi partai. Apabila partai politik memi-liki kader yang loyal, maka partai politik akan mampu ber-gerak secara dinamis. Loyalitas kader belum cukup sebagai penyangga partai. Kader partai juga harus memiliki wawasan

    dan pemikiran yang rasional. Kader partai yang loyal karena in-doktrinasi, suatu keti-ka jika mengalami pen-cerdasan, justru akan melihat partai sebagai kumpulan orang yang secara sistemik mela-kukan kebohongan dan pembohongan dengan wacana-waca-na hegemoni. Kompe-tensi atau kemampuan

    kader dalam hal politik dan kepemimpinan juga dibutuhkan agar partai politik tidak mengalami masalah pada saat harus melakukan rekrutmen politik guna mengisi kekosongan-ke-kosongan jabatan publik, baik itu jabatan-jabatan di legis-latif, eksekutif, yudikatif, maupun lembaga-lembaga politik lainnya yang memungkinkan diisi oleh kader-kader partai.

    Ketiga, struktur partai yang lengkap dan me-nasional. Dalam konteks sistem pemilu yang digunakan sekarang, apa-

    Oleh: Mohammad Nasih

    atas masyarakatnya, tentara tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian masyarakat yang mempunyai kewajib-an tertentu.

    Selama tiga dasa warsa dalam ke-kuasaan Orde Baru, TNI lebih banyak bergerak di luar tugas dan profesinya, dan hubungannya dengan rakyat tidak baik dan serasi. Dominasi tentara/mi-liter di segala kehidupan bangsa itu didasarkan pada pendayagunaan dan perluasan Dwifungsi ABRI yang dila-kukan oleh pemegang kekuasaan mela-lui pendekatan yang menonjolkan segi keamanan dan stabilitas yang statis, serta dengan tindakan represif. Stabili-tas dalam kehidupan kenegaraan me-mang diperlukan, tetapi tidak harus bersifat kaku dan statis. Praktek pelak-sanaan Dwifungsi ABRI dengan pen-dekatan yang dilakukan itu menyebab-kan tidak netralnya TNI, menghilang-kan daya inisiatif dan dinamika kehi-dupan masyarakat dalam politik, serta hilangnya hak-hak rakyat. Akibatnya menghalangi pertumbuhan civil society, dan pengembangan demokrasi. Tindak-an ABRI yang overeach itu banyak me-nimbulkan kritik, termasuk dari Nasu-tion sebagai konseptor Dwifungsi sen-diri. Menurut Nasution (1980) dalam prakteknya Dwifungsi tidak sesuai de-ngan yang dimaksudkan oleh beliau. Selain kritik dari konseptor, tokoh masyarakat, dan intelektual, juga ada kritik dari kalangan militer yang lain. Misalnya ada Seskoad Paper yang an-tara lain mendesak agar ABRI mena-han diri dari berpihak dalam politik. Di samping itu ada Forum Studi dan Komunikasi (Fosko), juga muncul Ya-yasan Lembaga Kesadaran Berkonsti-tusiyang mewadahi Petisi 50.

    Soeharto memang banyak memba-wa keberhasilan dalam pembangunan, namun juga memiliki kelemahan, ter-utama cara memerintah yang otoriter dengan memanfaatkan tentara dan ma-raknya KKN. Diabaikannya banyak kritik oleh pemegang kekuasaan me-nyebabkan protes yang berkelanjutan. Puncaknya adalah mundurnya Soehar-to dari kursi kepresidenan pada awal reformasi. Adanya reformasi tersebut juga digunakan oleh ABRI untuk me-lakukan reformasi internal dengan pa-radigma barunya, meninggalkan Dwi-fungsinya dan melakukan langkah-langkah untuk ikut serta mewujudkan

    kehidupan bangsa yang demokratis dan modern, merespon aspirasi rakyat, mengakui secara jujur bahwa di masa lalu ada penyimpangan dan kekurang-an sebagai akibat logis fomat politik Orde Baru. Dengan Paradigma Baru dan reformasi internalnya itu TNI ingin mewujudkan TNI yang profesio-nal, efisien, efektif, dan modern dalam kehidupan bangsa dan negara Indone-sia. Paradigma Baru itu juga bertekad menjadikan TNI hanya sebagi alat per-tahanan negara dan kembali pada jati dirinya.

    Kembali ke jati diri antara lain mempertegas dan menguatkan lagi se-bagai tentara rakyat. Untuk itu perlu lebih konkrit mengamalkan Sapta Mar-ga sebagai implementasi Pancasila di kalangan TNI. Marga ke satu dari Sap-ta Marga menyatakan prajurit adalah warga Negara Kesatuan Republik Indo-nesia yang bersendikan Pancasila. Itu merupakan pengakuan bahwa prajurit baik sebagai individu maupun kesatu-an adalah bagian dari rakyat atau war-ga negara yang berperan, bertugas, dan mengemban fungsi tertentu yaitu di bidang pertahanan negara. Oleh kare-na itu, prajurit sebagai tentara rakyat harus menghargai dan melindungi rak-yat. Hal ini sejalan dengan pendapat Huntington (1957) dan Perlmutter (2000) yang mengatakan salah satu ciri

    profesionalisme militer adalah tanggung jawab sosial, yaitu melindungi rakyat dan negara. Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta dalam pidato radio ketika Panglima Besar Sudirman wafat tanggal 29 Janu-ari 1950, antara lain mengatakan: Jen-deral Sudirman telah memberikan sifat dan arah yang baik kepada Angkatan Perang Indonesia, yakni: Angkatan Pe-rang adalah Pelindung Rakyat dan Ab-di Rakyat. TNI juga punya 8 Wajib TNI yang menjadi pedoman sikap dan tingkah laku prajurit dalam hubungan-nya dengan rakyat. Hal ini harus dite-gakkan secara nyata

    Kembali ke jati diri sebagai tentara rakyat harus disosialisasikan dan ditegak-kannya masalah moral dan etika kepra-juritan, khususnya dalam hubungannya dengan rakyat. Prajurit seharusnya tidak hanya menonjolkan otot saja, tetapi juga otak dan hati nurani agar tidak sampai menyakiti hati rakyat yang me-lahirkannya, dan harus bersikap santun serta menghargai serta melindungi rak-yat. Dengan demikian rakyat juga akan mencintai TNI. Bangsa dan negara jelas ingin memiliki TNI yang kuat dan ber-wibawa. Dirgahayu TNI.

    Abdoel Fattah, purnawirawan TNI AL.

    Jangan ke ParpolKualitas Rendah

    Jumlah kontestan yang lebih banyak pada pemilu 2009 tentu menuntut

    masyarakat melakukan penilaian kepada partai-partai politik yang ada secara

    lebih baik. hal ini penting agar rakyat tidak menitipkan aspirasi kepada

    partai yang kurang tepat.]]

    A.M. Fatwa menjadi inspektur upacara Pasukan Perdamaian PBB dari Indonesia di Lebanon, April 2007.

  • Akibat Seks Bebas

    0 BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008 BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008

    Apa itu seks bebas? Seks bebas adalah melakukan hubungan seks di luar nikah. Biasanya pelaku seks bebas juga melakukan hubungan seks bergantiganti pasangan. Seks bebas sebenarnya merupakan budaya Barat yang mulai diikuti sebagian orang Indonesia akibat derasnya arus globalisasi.

    Namun hal ini menjadi masalah karena perilaku seks bebas tidak sesuai dengan budaya ketimuran yang dianut bangsa Indonesia. Masalah ini menjadi semakin rumit karena ternyata kebanyakan kasus seks bebas dilakukan oleh para remaja!

    Kenapa bisa remaja? Karena usia remaja berada dalam masa transisi (bukan lagi anakanak tapi belum menjadi orang dewasa), berubah fisik, sosial, pola pikir dan biologis yang belum matang membuat remaja mudah terpengaruh lingkungan. Apalagi seks merupakan hal yang masih tabu dibicarakan sehingga para remaja cenderung mencari tahu sendiri bahkan mencoba melakukannya tanpa mengetahui konsekuensi yang harus ditanggung di masa depan. Tetapi tetap saja hal itu tidak bisa dijadikan alasan para remaja untuk melakukan seks bebas karena jelas melanggar norma agama dan norma kesopanan yang berlaku di masyarakat.

    Hal tersebut semakin mengkhawatirkan karena ternyata kasus seks bebas semakin meningkat setiap tahunnya khususnya yang dilakukan oleh remaja ratarata berusia 1721 tahun. Hal ini terbukti berdasarkan hasil suatu penelitian bahwa pada tahun 1980an terdapat 5% remaja yang melakukan seks bebas, kemudian meningkat menjadi 20% pada tahun 2000, lalu hasil penelitian Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional atau BKKBN pada tahun 2006, 30% remaja SMP dan SMA melakukan seks bebas secara aktif. Selain itu, ada juga hasil survei Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di lima kota besar di Indonesia

    pada tahun 2003 bahwa 85% remaja SMP berusia 1315 tahun mengaku telah berhubungan seks dengan pacar mereka.

    Ternyata kini seks bebas telah menjadi trend di dunia remaja. Begitu mudahnya mereka melakukan hubungan yang seharusnya disucikan dalam ikatan pernikahan.

    SELAMA ini Indonesia terkenal dengan keramahan penduduknya dan perilaku warganya yang menjunjung tinggi nilainilai ketimuran, khususnya sopan santun. Itu hal yang patut dibanggakan. Bukannya justru meniru gaya hidup ala Barat yang permissive (serba boleh), termasuk melegalkan seks bebas.

    Karena itu, maraknya seks bebas di kalangan remaja menjadi pekerjaan rumah seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari diri sendiri, sekolahan, keluarga hingga pemerintahan.

    Beberapa solusi dapat dilakukan diri [remaja] sendiri, antara lain: (i) memperdalam ilmu agama; (ii) pandaipandai dalam bergaul dan memilih teman, sehingga apabila ada masalah tidak sampai bercerita kepada orang yang salah karena dikhawatirkan memberikan saran yang menyesatkan; serta (iii) memiliki karakter yang kuat, seperti bertanggung jawab, menghormati orang lain, dan berani mempertahankan prinsip, sehingga bila ada ajakanajakan negatif dari lingkungan sekitar dapat dengan tegas menolak dengan kata say no to free sex!.

    Sementara itu keluarga dan sekolah juga harus kerjasama dalam memberikan bimbingan kepada para remaja dengan melakukan beberapa hal seperti: (a) memberikan seminarseminar mengenai bahaya seks bebas; (b) menambahkan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi; (c) menjadi pendengar yang baik dengan memberikan nasihat dan saran yang bermanfaat karena sebagai remaja pasti banyak ketidaktahuaannya se

    Diasuh oleh: Dra. Hj. Nina Mardiana, M.Ed.

    Dosen Politeknik Negeri Jakarta (Pol-tek UI) dan Univer-sitas Indra Prasastra PGRI, Jakarta;

    Mantan Kasubdit Pembinaan Remaja Jalur Sekolah, Direk-torat Remaja dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi, BKKBN.

    bila partai politik tidak berada dalam setiap struktur pemerintahan, maka dikhawatirkan suara yang terkumpul tidak dapat terkonversi menjadi per-wakilan di DPR. Apalagi dengan sis-tem parliamentary treshold, partai-par-tai politik yang tidak kuat dan tidak mampu memperoleh sejumlah 2,5% perwakilan di parlemen, maka ia akan tereliminasi. Dengan kata lain, kursi yang diperolehnya akan hangus. Itu berarti, suara rakyat yang dititipkan kepada partai tersebut akan sia-sia, karena aspirasi atau harapan mayoritas rakyat tidak mendapatkan perwakilan dalam lembaga resmi negara. Aspirasi mereka tidak bisa diperjuangkan se-cara formal dalam lembaga politik ke-negaraan ketika dilakukan pembuatan kebijakan-kebijakan publik.

    Keempat, pendanaan yang cukup. Pendanaan sesungguhnya hanyalah pe-lengkap. Sebab, dana diperlukan untuk membuat partai dapat bergerak secara lebih optimal. Jika partai politik telah memiliki ideologi politik dan kader yang loyal, maka dana sesungguhnya

    tidak begitu menjadi masalah. Sebab, kader yang loyal kepada partai akan mau melakukan dan memberikan apa pun untuk menghidupi partai, baik harta maupun jiwa, bukan sebaliknya mengharapkan penghidupan dari par-tai. Karena itu, biasanya partai politik yang memiliki kader-kader yang loyal, tidak mengalami masalah dalam hal pendanaan.

    Kelima, memiliki mekanisme internal partai yang dijalankan secara konsisten dan konsekuen. Organisasi politik yang baik harus dikelola secara modern yang ditandai dengan berjalan-nya mekanisme internal organisasi dan tidak hanya mengandalkan kharisma individu. Sebab, jika partai politik ha-nya mengandalkan kepada satu figur yang kuat, maka keberlanjutan partai tersebut akan sangat rentan. Partai ter-sebut akan surut bersamaan dengan surutnya pamor politik figur kharisma-tiknya akan mati bersamaan dengan mangkatnya figur tersebut. Mekanis-me internal partai akan membuat par-tai politik berjalan sesuai aturan main,

    bukan karena keinginan seseorang atau beberapa orang yang memiliki ke-kuasaan besar. Partai yang memiliki mekanisme internal yang baik justru akan membesarkan kader-kadernya yang walaupun sebelumnya sama seka-li tidak dikenal oleh masyarakat luas.

    Keenam, menjunjung tinggi prin-sip meritokrasi. Sesungguhnya prinsip meritokrasi ini adalah bagian dari me-kanisme internal yang berjalan baik. Prinsip meritokrasi adalah prinsip yang mengedepankan prestasi, bukan kare-na keturunan dan bukan pula karena kepemilikan harta kekayaan. Demokra-si memang seharusnya dijalankan seca-ra seiring dengan prinsip meritokrasi. Faktor keturunan adalah penyangga sistem politik aristokrasi, sedangkan kepemilikan harta kekayaan adalah penyangga sistem politik plutokrasi. Nah, partai politik adalah pilar utama demokrasi. Karena itu, apabila partai politik dibangun berdasarkan selain prinsip meritokrasi, maka sesungguh-nya partai politik tersebut mengalami anomali (kelainan) dan bahkan dapat dikatakan mengidap penyakit yang da-pat mengganggu fungsinya sebagai pi-lar utama demokrasi.

    Berkaca dari Pemilu-pemilu yang telah lalu, rakyat harus mulai benar-be-nar jeli dalam menilai. Jangan sampai menitipkan aspirasi politik kepada par-tai politik yang berkualitas rendah. Se-bab, partai-partai seperti itu tidak akan dapat memberikan perkembangan de-mokrasi yang sehat dan mampu menye-jahterakan rakyat. Partai-partai yang tidak menghargai prinsip meritokrasi akan sarat dengan praktik KKN dan dapat dipastikan hanya akan menjadi partai politik yang subur dengan kul-tur oligarki, yaitu kultur politik yang hanya menguntungkan elite-elitenya saja. Sedangkan konstituen dan rakyat pemilih hanya akan menjadi objek dalam Pemilu. Setelah Pemilu, rakyat akan ditinggalkan begitu saja. Dengan memilih partai yang tepat, maka de-mokrasi akan dapat dikembangkan dan dapat diharapkan untuk mencip-takan kesejahteraan rakyat yang lebih baik.

    Wallahu alam bi al-shawab.

    Mohammad Nasih, dosen Program S2 Program Ilmu Politik UI.

    | Jangan ke Parpol Kualtas Rendah

    Di antara partai-partai politik peserta Pemilu 2009.

  • Dok. Panitia Seabad M. Natsir

    A.M. Fatwa menerima plakat pada seminar seabad M. Natsir

    NO NAMA SEKOLAH KETERANGAN JUDUL TULISAN1 Trevy Astri SMAN 47 Juara I Akibat Seks Bebas2 Yudistira SMAN 87 Juara II Akibat Pergaulan Bebas dan Seks Bebas3 Nimita Hapsari SMAN 47 Juara III HIV/AIDS dan Remaja4 Putri Nurmala SMAN 87 Juara Harapan I Akibat Seks Bebas5 Dian Risky Lestari SMAN 82 Juara Harapan II Pembinaan Sistem Moral Melalui Pendidikan

    untuk Mencegah Bahaya HIV dan AIDS6 Susi Andrianti SMAN 63 Juara Harapan II Bahaya Narkotika Pada Kalangan Remaja7 Sorta Marisa SMKN 3 Juara Harapan III Bahaya Narkoba

    PARA PEMENANG LOMBA KARYA TULIS REMAJA SE-DKI JAKARTA 2008

    Menyambut Hari Remaja se-Dunia, 12 September 2008

    Ruang Balai Wartawan Gedung MPR/DPR, Jumat sore, 12 September terasa sesak, bukan saja oleh wartawan, tetapi juga pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan guru pembimbing mereka. Sore itu diumumkan para pemenang Lomba Karya Tulis Remaja seDKI Jakarta 2008. Lomba yang digelar The Fatwa Center (tFC) ini diadakan dalam rangka menyambut Youth Day, Hari Remaja seDunia yang jatuh pada hari itu.

    Tatkala Ketua Panitia Nina Mardiana mengumumkan pemenang, suasana kian riuh. Tepuk tangan hadirin bersemangat manakala nama Trevy Astri, siswa Kelas XI IPA dari SMAN 47, dinyatakan sebagai pemenang pertama. Demikian juga saat namanama pemenang lainnya dibacakan.

    Selain A.M. Fatwa, Aryani Baramuli Putri, dan Pengurus tFC lainnya, tampak hadir Nurmawati D. Bantilan (anggota DPDRI), Kahumas

    DPR/MPR RI Rizal, dan Kordinator Wartawan DPR/MPR RI Ferdiansyah.

    Fatwa, seusai menyerahkan piala dan piagam, menyatakan ini lomba karya ilmiah yang kedua, setelah sebelumnya sempat menggelar lomba dengan tema tentang upaya menanamkan jiwa anti korupsi di kalangan siswa pada 2006. Fatwa selaku dan atas nama segenap jajaran tFC mengucapkan selamat kepada

    Hari Remaja se-DuniaDari Harapan ke Juara

    pada pemenang. Sedangkan Trevy Astri, yang sudah

    belajar menulis sejak SD, mengatakan bahwa lomba ini sangat berguna. Tidak hanya buat saya dan temanteman, juga berguna jika hasil lomba dapat disebarluaskan, katanya. Dalam lomba karya tulis antinarkoba dua tahun lalu, Trevy berhasil menjadi juara harapan.

    Ferdiansyah menyatakan, Jarang pejabat negara yang mau berbuka puasa di ruang wartawan ini, katanya. Pak Fatwa memang merakyat sekali. Dan strategi dengan menggelar lomba untuk para siswa ini tepat sekali. Acara diakhiri dengan berbuka bersama para pemenang lomba dan segenap wartawan MPR/DPRRI.

    Direktur Eksekutif tFC Dr. Abdoel Fattah, Ketua tFC A.M. Fatwa, Anggota DPD-RI Aryanti Baramuli Putri, dan Nurmawati D. Bantilan.

    Para pemenang lomba, juara I, II, dan II bersama A.M. Fatwa dan para guru pembimbing masing-masing.

    Para pemenang lomba, Juara Harapan I, II, dan II bersama A.M. Fatwa dan para guru pembimbing masing-masing.

    Yudistira, Juara II, sedang berbicara. Di sisi kanan dan kiri Trevi Astri dan Nimita Hapsari.

    BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008 BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008

    hingga sering meminta informasi, saran atau pendapat dari orang lain.

    Pemerintah juga dituntut tanggung jawabnya dalam memberantas seks bebas, khususnya di kalangan remaja. Beberapa solusi yang dapat dilakukan, antara lain:

    Pertama, menutup tempattempat hiburan malam. Ketegasan pemerintah dipertanyakan dalam hal ini, karena walaupun ada peraturan tidak dibolehkannya tetap hiburan malam, tetapi tempattempat itu tetap dibiarkan beroperasi. Untuk selanjutnya pemerintah diharapkan lebih tegas dan menutup tempat hiburan malam tidak hanya menjelang bulan Ramadahan saja.

    Kedua, tidak menjual kondom secara bebas. Awalnya penjualan kondom bertujuan untuk mengurangi jumlah aborsi

    dan penyebaran penyakit HIV/AIDS, namun sering disalahgunakan untuk praktik seks bebas karena merasa lebih aman saat melakukan hubungan seks.

    Ketiga, memblokir situssitus porno. Terbukti situs porno paling mudah diakses segala usia karena mudah, murah dan cepat. Pemerintah sudah mulai memblokir situssitus porno walaupun mungkin belum maksimal pelaksanaannya.

    Keempat, memperketat pengawasan terhadap peredarannya video/film porno. Cara yang dapat dilakukan antara lain dengan mempertegas hukum tentang pembajakan hak cipta seperti film. Karena pada kenyataannya filmfilm porno itu banyak dijual atau diselipkan di potongan filmfilm bajakan. Bahkan film porno juga diselipkan ke dalam tontonan anak kecil.

    Dan kelima, mempertegas sanksi atau

    hukuman baik bagi para pelaku seks bebas, maupun para penjual, pembuat video porno dan para pelaku pemicu praktik seks bebas lainnya.

    REMAJA harus selalu ingat bahwa remaja memiliki tanggung jawab sebagai generasi penerus bangsa. Indonesia memerlukan orangorang yang kuat dalam fisik, mental maupun moral untuk menjadi pemimpin bagi dua ratus ribu juta orang lebih untuk membawa mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Lagi pula apa jadinya suatu bangsa jika generasi penerusnya hancur karena masalah moral? Kerusakankerusakan akibat bencana mungkin masih dapat diperbaiki, tapi kalau kerusakan moral, siapa yang bisa?

    [Trevy Astri. Diedit.]

  • Dok

    . HU

    MA

    S M

    PR-R

    I

    Suasana syukuran di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah. A.M. Fatwa membuka bingkai foto yang diberikan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta.

    A.M. Fatwa dan istri berfoto bersama Pengurus YAPI Al-Azhar Rawamangun, Jakarta Timur.

    Dok. HUMAS MPR-RI

    BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008 BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008

    | Fatwa, Buku Terbuka

    SYukuran MuhaMMaDiYah

    Subhanallahatau baca saja: syahdanpada kesempatan penganugerahan gelar kehormatan di Istana Negara, meluncur begitu saja katakata fastabiqul khairat dari Mayjen Nachrowi, tatkala Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyalaminya. Seketika kilatan cahaya kamera itu mengingatkan Sirajuddin (Din) Syamsudin bahwa peraih Bintang Jasa Utama ini adalah kader Muhammadiyah. Ini sekaligus mengilhami Din menggelar tasyakuran terhadap kader persyarikatan berlambang matahari: Muhammadiyah.

    Bermula dari Mayjen Nachrowi, kemudian tersebutlah Misbach Yusa

    Biran yang meraih penghargaan Kebudayaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan A.M. Fatwa. dengan Bintang Mahaputera Adipradana. Maka tergelarlah acara Silaturahim Menjelang Ramadhan 1429 H dan Syukuran Penganugerahan Bintang Mahaputera Adipradana A.M. Fatwa di PP Muhammadiyah hari Minggu, sehari menjelang Ramadhan 1429 H.

    Tampak hadir A.M. Fatwa dan Mayjen Nachrowi Ramli, Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. Zamroni dan 500an kader, pengurus dan warga Muhammadiyah. Sedangkan Misbach berhalangan. Acara yang digelar Muhammadiyah Wilayah DKI Jakarta tampak meriah dengan ditampilkannya profil para peraih penghargaan, pemutaran film dan fotofoto eksklusif

    kader Muhammadiyah.Prof. Dr. Zamroni dalam kata sam

    butannya menyatakan rasa syukur terhadap tiga kader terbaik persyarikatan yang meraih gelar penghargaan dari pemerintah. Fatwa, kata Zamroni, adalah sosok pria yang dizalimi Orde Baru dan Orde Lama. Namun begitu, Fatwa yang telah memelopori melakukan kegiatan kebaikan melawan kezaliman. Beliau memaafkan penguasa Orde Baru itu dan malah mendoakan. Ini luar biasa, katanya. Fatwa memang memaafkan dan mendoakan Soeharto agar husnul khotimah, seraya mencium keningnya tatkala berkunjung ke RS Pertamina, sebelum penguasa Orde Baru itu menghembuskan nafas terakhir.

    Zamroni teringat Deng Xiao Ping,

    yang juga dizalimi Mao Tse Tung. Tatkala menjadi Perdana Menteri Cina, Deng yang menyiapkan Li Peng dan mengantarkan Cina hingga kini menjadi raksasa ekonomi dunia, meminta rakyat Cina memaafkan Mao. Beliau itu pemimpin kita, kata Deng. Di sini Fatwa bahkan lebih dari itu, mendoakan Soeharto yang menzaliminya.

    Putra Bugis, Fatwa, dalam sambutannya merendah. Semua ini tak lepas dari peluh keringat perjuangan istri yang luar biasa, katanya. Saya sendiri merasa diri saya terlalu kecil. Malah ada beban moral, katanya. Karena ada sejumlah pemimpin yang jauh lebih baik, tetapi belum mendapat penghargaan selayaknya. Natsir, misalnya, hanya mendapat Bintang Republik Indonesia Adipradana, belum pahlawan nasional. Masa saya sama Adipradananya dengan Pak Natsir, ujar Fatwa.

    Maka, saya turut aktif memperjuangkan agar kepada Mohammad Natsir diberikan gelar pahlawan nasional. Dan kalau memperhatikan pidato sambutan Presiden SBY pada puncak peringatan Seabad M. Natsir di Bidhakara, Sebenarnya Presiden SBY sudah memberikan green light untuk itu, Fatwa menegaskan. Maksudnya, Presiden telah memberikan lampu hijau untuk memberikan gelar pahlawan kepada Natsir. Begitu pun kepada Sjafruddin Prawiranegara, selaku Perdana Menteri PDRI.

    Sementara Mayjen Nachrowi, yang tampil sebelumnya menyatakan bahwa yang ada pada nafasnya setiap hari adalah fastabiqul khairat. Lulusan Akabari 1973, seangkatan dengan Presiden SBY, yang juga dikenal sebagai Ketua Badan Musyawarah (Bamus) Betawi, ini ingat masamasa bersekolah di SMP dan SMA Muhammadiyah, yang selalu dimulai dengan membaca surat alFatihah dan sebelum pulang sekolah secara berjamaah mengumandangkan surat alAshr. Namun yang paling terpatri dalam sanubarinya adalah motto persyarikatan: fastabiqul khairat.

    berSaMa kkSS

    Acara tasyakuran serupa digelar oleh Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) di Hotel Sahid Jaya, Sabtu malam sehari sebe

    Fatwa, Buku Terbuka

    riwayat hidup yang panjang. Di penghujung katakatanya

    terucap: Selamat berjuang terus, dan generasi muda akan terus meneruskan perjuangan Bapak. Tak lupa Andi Hasanuddin mengingatkan bahwa Pak Fatwa kini telah siap menjadi senator, Jakarta. Mungkin tidak salah untuk berbaris bersama, kalau itu tidak melanggar organisasi. Ini calon kan cuma satu orang dari Sulsel. Sepatutnya kita mendorong untuk bersama [mendukung] Pak Fatwa, katanya. Begitu pun Ketua Dewan Penasihat KKSS H. Moh. Toha. Saya bangga Bapak orangnya merakyat, katanya. Semoga Bapak berjuang lebih gigih lagi.

    Fatwa terus terang merasa tersanjung. Saya ini orang kecil, yang menderita sedari kecil dan berkelana sejak remaja, katanya. Ada sejumlah tokoh besar yang juga berhak dan bahkan lebih berhak. Fatwa merasa juga ada beban moral, mengingat Bintang yang diperolehnya sama seperti M. Natsir. Masa Pak Natsir sama dengan saya. Itu tidak adil, kata Fatwa yang terkenal teguh, ulet, sabar, santun dan memiliki integritas sesuai falsafah Bugis.

    Maka berkisahlah tentang pelariannya, tentang kesengsaraannya. Saya teringat ketika masa remaja menjadi anak yang telantar, merantau ke manamana, katanya. Fatwa merasa, sebagai

    lumnya. Hadir A.M. Fatwa yang tampak trendi mengenakan baju warna kuning gading dan peci khas Bugis berwarna keemasan, bersama istri yang juga dengan dandanan serasi, beratus pengusaha, pejabat dan mantan pejabat serta segenap undangan serta kolega dari TFC.

    Ini bukan orang sembarangan, ucap Muchsin, ketua Panitia, mulai membuka acara. Inilah sosok yang mencerminkan terintegrasinya penguasaan ilmu agama, keulamaan dan paham kebangsaan, tambahnya. Sekitar 400an mata undangan tampak menyapu ruangan dan tertumbuk ke Andi Mappetahang. Dengan kocak Muchsin membangun suasana menjadi hidup, dan celotehancelotehan bernuansa Bugis terasa kental.

    Ketua Umum KKSS Andi Hasanuddin Massaile dalam sambutannya menyatakan Fatwa adalah putra terbaik bangsa. Atas nama pribadi dan KKSS saya mengucapkan selamat kepada Bapak A.M. Fatwa, kata mantan Sekjen Departemen Hukum dan HAM yang pernah menjadi Kalapas di Cipinang, tempat Fatwa dipenjarakan. Ini tanda kehormatan yang luar biasa. Dan sebagai tanda penghormatan untuk Bapak, ini bukan hanya untuk Bapak, tapi juga untuk seluruh warga Sulsel, kata Andi Hasanuddin seraya membacakan

  • BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008 BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008

    LaunChing buku M. natSir

    Nyaris berimpitan waktunya, A.M. Fatwa sempat menghadiri acara launching buku M. Natsir di aula Departemen Sosial, Jalan Salemba Raya, 17 September 2008. Acara buka bersama dan peluncuran buku 100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah dan Kapita Selecta jilid ke2 dan ke3 ini dihadiri sejumlah tokoh seperti Taufik Abdullah, Rosihan Anwar, Taufiq Ismail, dan juga bos Republika Erik Tohir dan sekitar 300an undangan dengan keynote speaker Menteri Sosial Dr. Bachtiar Chamsyah.

    Mensos Bachtiar Chamsyah terus terang menyatakan kekagumannya pada M. Natsir sejak remaja sampai hari ini. Natsir adalah sosok ulama intelektual yang tiada duanya. Jujur, setia dan berdedikasi tinggi, serta terkenal dengan: satunya kata dan perbuatan, katanya. Bahctiar bercerita panjang tentang Natsir dengan sikap tawadlu, dengan contohcontoh yang membuat bulu roma bergidik mengingat kesederhanaan Natsir yang sufi.

    Dengan lantang Bachtiar Chamsyah kemudian mengutip rekannya sesama anggota kabinet. Menteri Pertahanan Juwono Soedarsono menyatakan mendukung sepenuhnya Pak Natsir mendapatkan gelar pahlawan nasional; dan untuk itu Pak Menteri Juwono menyatakan segera mengusulkan secara tertulis kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar kepada M. Natsir segera diberikan gelar pahlawan nasional, katanya.

    [Agus Basri]

    | Fatwa, Buku Terbuka

    putra Bugis, sudah semestinya menjunjung tinggi harkat, martabat dan harga diri. Sebagai anak dari Sulsel saya malu menjadi anak yang telantar, katanya. Maka, katanya, Banyak yang tidak tahu bahwa saya putra Bugis dengan menggunakan nama Fatwa itu. Nama yang sebenarnya saya karangkarang sendiri, yang menggambarkan nama Islam dan nasionalis.

    Perjalanan hidup saya memang berliku. Ya, saya berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Maka saya tak habis mengerti, mendapat posisi kehormatan sosial, sampai mendapat tanda kerhormatan yang amat tinggi dari negara seperti ini, katanya jujur. Terlalu banyak rahmat Allah yang diberikan kepada saya. Selain Fatwa, tokoh Bugis yang pernah meraih Mahaputera Adipradana adalah Jenderal M. Yusuf dan A.A. Baramuli.

    Seraya melirik Andi Hasanuddin yang pernah menjadi kepala penjara, Fatwa berkata, Saya anggap masuk penjara itu sebenarnya juga mewakili

    suara rakyat. Banyak rakyat yang tidak berani menegakkan kepala (di masa Orba), dan saya memilih itu. Melawan kezaliman, dengan risiko penjara. Di dalam penjara itulah Fatwa belajar banyak. Maka baginya, penjara adalah tempat pendidikan yang paling baik. Pendidikan politik paling tinggi sebenarnya diperoleh dari penjara. Kalimat ini sebenarnya dari Jawaharlal Nehru. Itu katakata saya peroleh dari sobekan koran bekas bungkusan roti yang ada di penjara, katanya.

    Dari balik penjara Fatwa berguru. Sebutlah Prof. Dr. HAMKA, Mr. Kasman Singodimejo, dan Yusuf Wibisono. Ah, jadi, sebenarnya banyak pemimpin yang mendidik saya. Tapi tidak memperoleh kesempatan ini (Bintang Mahaputera). Itu sebetulnya banyak tokoh yang lebih baik dari saya dan lebih layak menerima yang lebih baik dari saya. Maka ada beban moral pada saya, katanya. Makanya saya aktif sekali dalam Panitia Seabad M. Natsir. Masa Pak Natsir cuma sama dengan saya. Itu

    tidak adil. Pak Natsir harus dapat pahlawan nasional, Fatwa menegaskan.

    Fatwa memang banyak belajar dari politisi. Politik itu tidak diperoleh dari buku. Politik didapat dari proses perjalanan dengan pengalaman dan akses, sampai kita dapat menemukan sesuatu.... Bukan dari buku, katanya. Tapi instink, dan bagaimana kemudian dapat merumuskan sesuatu. Instink hanya didapat oleh orang yang menekuni kegiatan politik. Politisi tidak sama dengan birokrat yang bertanggung jawab pada atasan dan instansi. Politisi bertanggung jawab langsung ke rakyat. Maka sebagai politisi kami harus memposisikan diri sebagai buku terbuka, yang siap saja dibuka oleh masyarakat.

    Maka, berteriaklah seorang anggota DPRRI Dr. Andi Djamarro Dulung. Bapak ini adalah yang diimpikan oleh ibuibu Bugis. Yaitu beroleh bermartabat, dan memperoleh kehormatan yang bisa dibanggakan...oleh kita semua, katanya. Tepuk tangan bergemuruh. Bapak banyak menyelesaikan konflik

    besar di parlemen dengan kesejukan. Fatwa pun tersenyum ringan, seringan langkahnya untuk berjuang memasuki sisi lain, sebagaimana dikemukakan Ketua Umum KKSS, menjadi senator alias anggota DPDRI mewakili DKI Jakartayang memang sudah menjadi basis utama dakwahnya.

    Sekarang ini, Fatwa melanjutkan, Saya tidak meninggalkan materi atau apalah, pada anak dan istri. Tapi saya kira nama baik telah dipatrikan oleh anugerah negara. Yang paling utama ditinggalkan adalah nama baik. Umurnya yang panjang itu nama baik.

    taSYakuran berSaMa kb Pii

    Fatwa juga menjadi bintang di markas besar Pelajar Islam Indonesia (PII) Jalan Menteng Raya Nomor 58, Jakarta, pada hari Rabu, 17 September lalu. Tampak hadir A.M. Fatwa beserta istri, Oetomo Dananjaya, dan sejumlah tokoh Keluarga Besar PII serta seribuan undangan siswa dan siswi aktivis PII.

    Acara tasyakuran menyambut penganugerahan Bintang Mahaputera Adipradana kepada A.M. Fatwa digelar bersamaan buka bersama, dengan tausiyah siramana rohani oleh tokoh PII Endang Basri Ananda. Sebagai Dewan penasihat KB PII A.M. Fatwa tampak at home berbaur dengan anakanak dan remaja, seperti mengingatkannya pada masa kanakkanak dan perjuangannya yang panjang di PII.

    Jamaah remaja dan pemuda yang menyambut Fatwa pun tampak dengan antusias memanggilnya kakak. Suasana keakraban khas PII terasa sangat kental, dan Fatwa pun seperti kembali bernostalgia ke belakang jauh, masamasa remaja sebagai pengurus inti PII. Inilah aslinyaAslinya, khasnya PII ya, begini ini, kata Fatwa yang tampak sumringah.

    Tasyakuran serupa tak kalah meriah sebelumnya juga berlangsung di AlAzhar Rawamangun. Kembali di sini A.M. Fatwa yang menjadi salah satu pendiri seperti kembali ke rumah bernostalgia bersama ikhwan seperjuangan, yang memang menjadi basis kekuatan utamanya.

    Ketua Umum KKSS Andi Hasanuddin Massaile, Ketua Dewan Penasihat KKSS M. Toha, A.M. Fatwa, dan Moderator Muchsin.

    Dok. HUMAS MPR-RI

  • | Sumpah Pemuda dalam Latar Sejarah

    Atas: Suasana pertemuan Budi Utomo, yang berorientasi Jawa. Bawah: Kepalan tangan di bagian tengah Gedung Sumpah Pemuda, Jl. Kramat Raya, Jakarta Pusat.

    BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008 BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008

    PENDAHULUAN: PERISTIWA DAN MAKNABarangkali tidaklah berle-bih-lebihan kalau dikatakan bahwa sebagian besar peristi-wa yang dianggap sebagai pembuat batas dalam perjalanan sejarah adalah hasil interpretasi tentang dinamika seja-rah. Ketika peristiwa itu terjadi terasa biasa saja, tidak ada perubahan apa-apa, tetapi nanti ketika berbagai pengalaman kesejarahan direnungkan maka peristiwa tersebut bisa diperlakukan sebagai awal dari sesuatu yang menentukan. Barulah sekian tahun kemudian pernyataan yang dibacakan di saat penutupan Kongres Pe-muda Indonesia kedua, 28 Oktober, 1928 disebut sebagai Sumpah Pemuda. Kon-gres tersebut memutuskan untuk meng-gabungkan semua organisasi kedaerah-an pemuda Indonesia Muda, tetapi kepu-tusan itu dihiasi oleh pernyataan yang berwujud formula seperti sumpah. Ma-ka peristiwa itupun dipilih sebagai sim-bol dari cita-cita perjuangan.

    Meskipun Sumpah Pemuda tidak memperkenalkan sesuatu yang baru da-lam pemikiran dan cita-cita politik, te-tapi peristiwa ini menyatakan banyak hal dalam satu helaan nafas. Pertama, peristiwa ini adalah pernyataan akan keharusan kontinuitas dalam perkem-bangan nasionalisme yang mengatasi ikatan etnis, daerah, agama dan sebagai-nya. Kedua, seketika kata Indonesia

    disebut secara tegas maka di waktu itu pula tekad ke arah kemerdekaan bang-sa telah dijadikan sebagai landasan cita-cita. Ketiga, seketika Sumpah Pemuda dipatrikan maka jalan kembali ke si-tuasi lama secara konseptual dan ideolo-gis telah tertutup rapi. Keempat, ketika bahasa Indonesia telah diakui sebagai bahasa persatuan bukan saja sistem ko-munikasi nasional ingin diteguhkan, de-mokratisasi dalam hubungan sosialpun ditegaskan pula. Bukankah bahasa Me-layu yang dijadikan bahasa Indonesia itu pada dasarnya hanya menyediakan beberapa kosa kata untuk menunjukkan penghormatan bagi orang atasan te-tapi tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa. Surat kabar dan berkala yang diperjualbelikan semakin memperlauas pemakaian bahasa ini. Kelima, setelah Sumpah Pemudaketika kehadiran sebuah bangsa dirasakan sebagai suatu realitaspencarian tatanan masyara-kat, politik, bahkan kebudayaan baru-pun diperdebatkan dengan intens. Ma-ka dalam kesadaran sejarah Sumpah Pemuda dirasakan sebagai konfirmasi dan puncak dari proses yang telah berja-lan sekian tahun sebelumnya dan sekali gus adalah pula awal yang otentik dari proses lanjutannya.

    DARI HASRAT KEMAJUAN KE NASIONALIS INDONESIA

    Ketika kehidupan kota dengan pen-

    duduk yang relatif bersifat majemuk telah bermula dan di saat kebudayaan cetak mulai mempengaruhi kehidupan secuil penduduk, di saat itu pula perban-dingan antara situasi diri dengan komu-nitas lain terjadi begitu saja. Maka has-rat untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik pun mulai dirasakan. Pengalaman yang baru saja dilalui ke-tika ketidak-wajaran sosial, politik dan ekonomi dilawan dengan kekerasan, seperti yang dilakukan berbagai corak perlawanan pedesaan, ternyata hanya menghasilkan kekalahan dan kenangan pahit yang mencekam perasaan. Dalam suasana inilah hasrat akan kemajuan sesuatu situasi yang lebih baik dan semakin terpelajar dari yang kini dija-lanimulai tumbuh.

    Pada tahun 1901 sebuah bulanan berbahasa Melayu dengan huruf Latin, Insulinde, diterbitkan di Padang. Boleh dikatakan sejak terbitnya majalah ini hanya mempunyai pesan tunggal, yaitu kemajuan dan jalan ke dunia maju. Setelah majalah ini berhenti terbit pesan kemajuan dilanjutkan oleh majalah ber-gambar Bintang Hindia, yang terbit di negeri Belanda, dengan pengarang utama Abdul Rivai, yang sedang melanjutkan studi kedokterannya. Di samping mem-propagandakan cita-cita kemajuan, se-jak tahun 1905 ia mengajukan dua hal yang lain. Pertama, perlunya tampil ka-um muda dan bangsawan pikiran,

    sebab merekalah yang bisa membawa bangsa ke dunia maju. Ia juga meng-anjurkan agar didirikan Perkumpulan Kaum Muda, dengan cabang-cabang di semua kota-kota di tanah Hindia. Tetapi dia sendiri tidak berada di tanah Hindia. Ia berada jauh di sana, di negeri Belanda. Barulah di tahun 1908 dam-pak dari idenya terwujud. Di tahun itu atas anjuran dokter Wahidin yang telah memahami maksud Rivai berhasil mem-bujuk murid-murid sekolah Stovia, asal Jawa, di Jakarta, untuk mendirikan Budi Utomo. Di samping itu, kedua, Rivai memperingatan jangan sampai kemaju-an membawa kebangkrutan kultural. Betapapun majunya, katanya, bang-sa Hindia harus tetap bangsa Hindia.

    Tetapi siapakah bangsa Hindia itu? Hanya empat bulan setelah berdirinya (Mei 1908), Budi Utomo telah meman-tapkan dirinya sebagai pendukung nasio-nalisme Jawa. Hal ini berlangsung sam-pai tahun 1935 ketika B.U, bergabung dengan partai-partai lain untuk mendiri-kan Partai Indonesia Raya (Parindra). Meskipun sejak awal Sarekat Islam ber-tujuan untuk menaikkan taraf kehidu-pan anak negeri atau bangsa Islam, kalau perlu dengan mengadakan pemo-gokan buruh serta menyelenggarakan kongres nasional tetapi adalah Indis-che Partij (didirikan tahun 1912) yang membuat batasan yang tegas tentang bangsa Hindia itu. Mereka adalah yang menetap di negeri iniblijversse-

    dangkan mereka yang mondar mandir sajatrekkersadalah orang asing. Da-lam suasana pemikiran inilah Suwardi Suryaningrat (kemudian dikenal seba-gai Ki Hadjar Dewantara) menulis tu-lisan klassiknya, Als ik eens Nederlander was (Seandainya saya orang Belanda) yang mengecam rencana Belanda untuk merayakan 100 tahun kemerdekaann-ya (dari penjajahan Perancis, di masa Napoleon) di tengah-tengah rakyat yang dijajahnya.

    Di negeri Belanda beberapa maha-siswa yang datang dari tanah Hindia dan yang telah tergabung dalam Indis-che Vereeniging mulai sadar juga bahwa ada perbedaan di antara mereka. Tetapi

    apakah Hindia adalah nama yang pan-tas bagi negeri yang ingin dimajukan ini? Ketika pertanyaan itu telah diaju-kan maka litaratur antropologi pun te-lah tersedia untuk memberi inspirasi. Dalam proses pencarian inilah kata Indonesia ditemukan. Ketika bebe-rapa bekas aktivis organisasi kedaerahan pemuda datang menyambung sekolah ke Belanda, mereka membawa suasana kegerahan perasaan anak kolonial ke negeri pertuanan itu. Mereka meng-ingatkan para pendahulu mereka akan adanya perbedaan yang fundamental di antara para pendatang dari Hin-dia Belanda itu. Sedangkan di negeri penjajah ini anak-anak pribumi tanah Hindia itu merasakan betapa tak be-rartinya batas-batas etnis yang selama ini masih terasa membatasi kehidupan mereka. Dalam suasana ini akhirnya di tahun 1922 Indische Vereeniging men-gubah nama menjadi Indonesische Ver-eeinging. Tetapi hanyalah mereka yang biasa disebut inlander alias pribumi yang menjadi anggota. Pada tahun 1924 nama perkumpulan inipun diganti menjadi Perhimpoenan Indonesia dan majalah yang semula bernama Hindia Poetra, pun menjadi Indonesia Merdeka. Ketika itu pulalahpada tanggal 11 Januari 1925P.I. mengeluarkan mani-festo politik yang tegas. Manifesto yang ditulis dalam bahasa Belanda ini me-ngatakan, antara lain, Hanya suatu In-donesia yang merasa dirinya satu, sam-bil menyampingkan segala perbedaan antara satu golongan dengan golongan lain dapat mematahkan kekuasaan pen-jajah. Tujuan bersama, pembebasan In-donesia, menuntut adanya suatu aksi umum yang insyaf, bersandar atas keku-atan sendiri dan bersifat kebangsaan.

    Dengan tegas dinyatakan hasrat bangsa, yang telah bernama Indone-sia, ialah kemerdekaan. Tema pokok pe-mikiran politik dan tujuan perjuangan telah sampai pada puncak yang terting-gi dalam waktu yang teramat singkat.. Dalam salah satu tulisannnya Hatta, Ketua P.I. menyatakan, Bagi kami In-donesia adalah suatu pernyataan dari tujuan politik, karena nama ini melam-bangkan dan menyuarakan tanah air di masa depan.

    Pada tahun 1927 Sukarno mengu-bah Algemeen Studie Club menjadi Partai Nasionalis Indonesia. Meskipun sesungguhnya Partai Komunis, adalah

    Oleh: Taufik Abdullah

    Sumpah Pemuda dalam Latar Sejarah

  • Kebangsaan dan kepemimpinan adalah dua hal yang tak terpisahkan satu sama lain. Bangsa sebagai kolekti-vitas politik, sebagai nasion, hanya bisa lahir dari kesadaran politik yang tinggi serta perjuangan politik yang gigih. Kolektivitas politik bangsa mengatasi kolektivitas politik daerah maupun suku.

    Hanya suatu ketercerahan politik yang bisa membuat suatu bangsa mem-perluas loyalitasnya tidak lagi pada ko-lektivitas politik daerah apalagi suku yang lebih kecil dan lebih rendah. Dan hanya mereka yang memiliki kecerdas-an dan ketercerahan politik yang mam-pu menjadi pemimpin, mewujudkan cita bangsa. Sebaliknya, hanya dalam konteks bangsa, pemimpin dimung-kinkan berkiprah secara ultimat. Be-tapa pun, menjadi pemimpin suku pas-tilah tak kan sesulit menjadi pemim-pin bangsa, sebab suku bisa tercipta secara primordial dalam arti nyaris otomatis, sedangkan bangsa memerlu-kan kesadaran tinggi, kemauan kuat, kelapangan dada, serta kerja keras kon-tinyu untuk memperluas cakrawala dan cahaya politik di kalangan rakyat.

    Kata-kata Bung Hatta di atas dikutip dari pidato-nya yang berjudul Indo-nesia and her indepen-dence problem, di de-pan International League of Women for Peace and Freedom tahun 1927 di Gland (Portrait of A Patriot: Selec-ted Writings by Mohammad Hatta, The Hague: Mouton Publishers, 1972). Saya terharu menyimak kemurnian semangat dalam kalimat bersejarah tersebut, kala pergerakan kebangsaan kita masih tertindas. Saya juga terha-ru karena tak menemukan nama kota Gland dalam Merriam Websters Col-legiate Dictionaryketiadaan yang me-nyayat bagai premonisi.

    Di tengah-tengah bangsa kita ter-utama selama dekade terakhir ada ke-rinduan yang luas akan kebangsaan, seperti juga ada kerinduan yang sama akan kepemimpinan. Hampir tiap saat kita mendengar keduanya dinyatakan, secara terpisah. Dan ketika keduanya dinyatakan secara terpisah itulah mun-cul rasa hambar. Di situ terkuak betapa merata dan dalamnya sudah kepandir-an politik menyungkup bangsa kita.

    Kebangsaan dan Kepemimpinan

    I am convinced that our nationalist movement must conquer, because it is founded on very lofty ideals, because the young leaders who are in charge of it now disregard their own personal interests,

    they have a noble soul and are completely disinterested.

    Mohammad Hatta, 1927

    Pada hari-hari ini, kala transisi, sis-tem, dan mekanisme politik memberi-kan begitu banyak tempat bagi orang-orang yang lebih digerakkan oleh motif-motif buruk politik, kita pun menyaksikan kebangsaan kita tiap kali dijual murahan, dungu, dan nista secara berjamaah. Begitu nistanya sehingga kebangsaan kita pun berkali-kali digadaikan dalam pembuatan un-dang-undang. Motif-motif politik bu-ruk penjual bangsa itu ramai bercokol dan merajalela justru di ketiga cabang pemerintahandi eksekutif, legislatif, dan yudikatifdi pusat maupun di daerah.

    Tak ada ironi politik yang lebih getir daripada kenyataan bahwa pe-nistaan bangsa justru dipelopori oleh orang-orang dan lembaga-lembaga yang mestinya menjunjung dan me-muliakannya. Juga tak ada ironi poli-tik yang lebih getir daripada kenyataan bahwa justru di lokus-lokus pemerin-tahan yang mestinya menjadi tempat berkiprah para pemimpin sejati dan tercerahkan, mayoritasnya diisi oleh para pemimpin gadungan yang tak hanya menyebarkan kepicikan dan

    0 BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008 BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008

    partai pertama yang memakai kata Indonesia, tetapi barulah setelah P.I., yang senantiasa memprogandakan pe-makaiannya dan berdirinya PNI kata Indonesia menjadi nama dan fakta yang semakin luas dipakai.

    MENJELANG SUMPAH PEMUDAKetika Tri Koro Darmo didiri-

    kan pada tahun 1916, sejarah orga-nisasi modern kepemudaan pun di-mulai. Sejak 1918 setelah organisasi ini bertukar nama menjadi Jong Java dan Jong Sumatranen Bond didirikan pergerakan kepemudaan semakin ber-kembang. Para anggota perkumpulan kepemudaan umumnya ialah murid-murid sekolah menengah (MULO, AMS dan HBS), kemudian juga ikut mahasiswa kedokteran (Stovia) dan hukum (RHS). Setelah kedua perkum-pulan itu menyusul Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak ( pecahan dari JSB) dan sebagainya, seperti Jong Isla-mieten Bond (pecahan Jong Java).

    Para tokoh dan aktivis pergerakan pemuda, terutama dari Jong Java dan JSB (yang kemudian menyebut diri Pemuda Sumatra), banyak juga yang ikut dalam Politieke Debating Club. Dalam club ini mereka berdiskusi tentang persaudaraan umat manusia, kemanusiaan, persamaan hak, etika dan moralitas dan juga tentang per-damaian dan pengingkaran kekerasan sebagai alat penyelesaian perbedaan. Sementara itu pergolakan politik per-gerakan kebangsaan dan perdebatan ideologi dan strategi politik di antara partai-partai politik memasuki relung-relung kesadaran anak-anak sekolah ini. Mestikah mereka bertahan dalam suasana kedaerahan masing-masing sedangkan panggilan akan peniadaan batas-batas ikatan kedaerahan itu telah semakin kuat juga? Ketika inilah cita-cita Sumatra Raya dan Jawa Raya mulai menghadapi goncangan dari se-mangat Indonesia Raya yang sudah mulai tumbuh.

    Dalam suasana inilah Kongres Pe-muda yang pertama diadakan pada tanggal 30 April-2 Mei 1926). Kongres ini bertujuan untuk memajukan persa-tuan kebangsaan dan mengeratkan hubungan sesama organisasi pemuda. Berbagai masalah akademis dibicara-kan untuk mencari dasar-dasar yang bisa mempersatukantentang adat

    istiadat, kedudukan perempuan dan bahasa. Tetapi bagaimanakah dengan perkumpulan kepemudaan yang bersi-fat kedaerahan itu?

    Ketika daerah asal bukan lagi satu-satunya pilihan sebagai dasar dari perge-rakan kepemudaan, berbagai kemungki-nanpun terbuka. Dalam suasana ini ge-jolak ke arah persatuan yang melampaui batas-batas etnis di kalangan angkatan muda semakin menaik. Merekapun mu-lai pula berteori-teori tentang bangsa. Hanya saja timbul juga sebuah masalah bagaimanakah mewujudkannya? Ke-tika perdebatan sedang berlangsung ini beberapa tokoh pemuda mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indoneia (PPPI) pada akhir tahun 1926. Pada tanggal 27 Februari 1927 sebuah per-kumpulan lain terbentuk di Bandung, yaitu Jong Indonesia (yang kemudian lebih dikenal sebagai Pemuda Indone-sia). Sementara itujauh di luar negeri, di Mesirpara pelajar dan mahasiswa Indonesia (dan Tanah Semenanjung) juga mendirikan perkumpulan kebangs-aaan. Merekapun mengadakn kontak dengan P.I. di negeri Belanda. Begitulah akhirnya keputusan untuk mengadakan Kongres Pemuda II pun dibuat juga.

    KONGRES PEMUDA INDONESIA II DAN SUMPAH PEMUDA

    Tidak seperti kongres pertama se-jak awal initiatif dan penyelenggara kongres adalah para wakil organisasi pemuda. Diketuai oleh Soegondo dari PPPI, anggota panitia terdiri dari wa-kil-wakil Jong Java, JSB, Jong Batak, JIB, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, dan Pemuda Kaum Be-tawi. Maka begitulah akhirnya Kerapat-an (Congres) Pemoeda Pemoedi Indo-nesiasebagaimana nama resmi kon-gres itu disebutkanpun diadakan di Weltevreden (Djakarta), 27-28 Okto-ber. Konon jumlah yang hadir dalam kongres itu berkisar sekitar 750 sampai 1000 orang. Mereka yang hadir bukan saja para pemuda dan pemudi ang-gota berbagai perkumpulan itu tetapi juga tokoh pergerakan nasional, yaitu mereka yang telah bergerak dalam po-litik orang dewasa, meskipun sesung-guhnya umur mereka masih muda, sebagian besar belum sampai berumur tiga puluh tahun.

    Menurut kisahnya, ketika Mr. Sunar-jo, eks aktivis P.I., sedang mengucapkan

    pidato yang terakhir, Yamin menyodor-kan sehelai kertas yang telah tertulis ke-pada ketua sidang, Soegondo, sambil berbisik, Saya punya konsep untuk penutupan. Soegondo membaca dan sambil tersenyum menandatangi tanda setuju dan menyerahkannya pada para anggota panitia lain yang masing-ma-sing juga menyatakan setuju.

    Begitulah ketika sidang akan ditu-tup Poetoesan Congres Pemoeda Pe-moedi Indonesia pun dibacakan. Sete-lah menyebutkan nama-nama perkum-pulan pendukung kongres dan menga-takan pula bahwa sesudah mendengar pidato-pidato yang diadakan dalam ke-rapatan tadi maka, keputusan itu me-lanjutkan, Sesudah menimbang segala isi pidato-pidato dan pendapatan ini. Ke-rapatan lalu mengambil keputusan:Pertama: Kami Putra dan putri Indo-

    nesia mengakui bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.

    Kedua: Kami putra dan putri Indo-nesia mengakui berbangsa satu, bangsa Indonesia.

    Ketiga: Kami putra dan putri Indone-sia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Selanjutnya dikatakan bahwa setelah

    mendengar keputusan rapat dan sebagai-nya, kongres mengeluarkan keyakinan persatuan Indonesia diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya: Ke-majuan, Sejarah, Bahasa, Hukum Adat, Pendidikan dan Kepanduan.

    Begitulah secara berturut-turut perkumpulan-perkumpulan pemuda mengadakan kongres pembubaran diri mereka masing-masingJong Java (27 Desember,1929), PPPI (31 Desember, 1929), Jong Selebes (15 Mart,1930) dan JSB (23 Mart 1930). Akhinya, se-buah komisi yang dibentuk bersama organisasi-organisasi itupun membuat pengumuman, Dan pada saat ini, tu-lisnya, pada petang Rebo malam Ka-mis tanggal 31 Desember 1930 masuk 1 Djanuari 1931 sampailah kami pada waktu yang paling akhir melakukan kewajiban, seperti yang terserah kepa-da kami Komisi Besar, dan terbukalah zaman Baharu, ... ternyatalah dengan seterang-terangnya keperluan dan hak Indonesia Muda akan berdiri.

    Selanjutnya? The rest is history.

    Prof. Dr. Taufik Abdullah, sejarawan.

    | Sumpah Pemuda dalam Latar Sejarah

    Oleh: Mochtar Pabottingi

  • politik dan kepemimpinan yang sama kerdilnya, makin berlipat-ganda pula-lah kerja-kerja hina dan kerusakan-ke-rusakan di segala bidang kehidupan yang disebarkannya. Indonesia persis berada di sinidari belasan tahun si-lam tergiring dan terperosok oleh ke-kerdilan kepemimpinan Orde Baru. Kini, momen penggalangan respon ter-baik dari kepemimpinan putra-putri terbaik bangsa kita masih terus ditung-gu... meski kian hari harapan orang banyak tampaknya kian pupus.

    Bagi segelintir kalangan bangsa kita yang tetap konsisten berjuang dengan cinta dan tetap bertahan setia, tentu tia-da kata pupus. Sembari terus memo-hon pertolongan dari Allah, mereka akan terus menggalang barisan dan melipat-gandakan perjuangan. Mere-ka bisa terbelintang patah melawan arus, namun mereka sendiri takkan pernah pupus!

    Prof. Dr. Mochtar Pabottingi, peneliti senior LIPI.

    kebodohan, melainkan lebih-lebih lagi pengkhianatan kepada kebangsaan, Republik, dan Tanah Air kita.

    Kalangan fakir bangsa kita kian terpuruk sehinan-hinanya. Di antara mereka, kita tahu banyak yang seha-ri-hari anak-beranak mengkonsumsi nasi aking dan daging busuk dengan ekspresi wajah yang tanpa harapan. Beberapa hari lalu, di suatu tempat di Pasuruan ribuan mereka terkunci ber-himpit-himpit keras sesamanya selama berjam-jam. Kita menyaksikan betapa mereka berusaha bertahan berdiri dan terus bernafas di bawah terik matahari untuk kemudian pada terkapar demi zakat tigapuluh ribu perak. Dua puluh satu di antaranya tewas lemas di tem-pat.

    Penanggungjawab utama dari ke-miskinan yang terus mendera rakyat kita berada di dunia lain: alangkah la-manya sudah kita terus menyaksikan para koruptor yang menduduki kursi-kursi di ketiga cabang pemerintahan bergantian disorot TV saat jadi saksi atau tersangka dengan tubuh-tubuh tambun serta pipi-pipi bengkak. Me-reka senantiasa tersenyum dan tertawa lebarsenyum yang di hati rakyat te-rekam, maaf, sebagai seringai monyet-monyet dan tawa lebar mereka sebagai nganga cangkem buaya-buaya.

    Mayoritas koruptor itu memang tetap menggunakan nama-nama Mus-lim, tetap mengaku dan berpose sebagai Muslim, namun di mata Allah mereka-lah biang dari segala kekufuran dan angkara murka. Dengan motif-motif politik hina mereka, kebangsaan dan kepemimpinan adalah dua kebajikan yang tersisih paling jauh dalam cakra-wala mereka.

    Seperti ditegaskan oleh Bung Hatta di atas, kebangsaan kita tegak di atas cita-cita yang sangat luhur dan ke-bangkitan bangsa kita dipelopori oleh para pemuda yang juga berjiwa luhur serta berjuang tanpa pamrih. Di zaman kita, dan dengan akumulasi pengeta-huan yang tentu saja jauh melampaui yang ada dan berlaku lima hingga tu-juh puluh tahun lampau, kita dengan mudah bisa menunjuk kekurangan-kekurangan dari generasi para Pendiri Bangsa kita. (Kata conquer pada kali-mat Bung Hatta di atas, misalnya, te-rasa janggal dan tergantung.) Tapi arti kita yang telah dan masih sepenuhnya

    berkiprah di negeri ini selama katakan-lah tiga puluh tahun terakhir hanyalah secuwil dibanding dengan arti Gene-rasi 1928 dalam hitungan ketegaran dan konsistensi memangku Amanah Kebangsaan, Amanah Tanah Air, dan Amanah Republik.

    Kebangsaan kita akan mati tanpa diluangkannya jalan politik bagi tum-buh, masuk, dan berkiprahnya pemim-pin-pemimpin sejati dari sarikat-sari-kat sejati. Dan kepemimpinan kita akan terus mengerdil proporsional dengan semakin menjauhnya bangsa kita dari aspirasi dan penjunjungan kebangsaan. Makin besar suatu kolektivitas poli-tik, makin besar pulalah kadar kepe-mimpinan yang diperlukannya, dan dengan kebangsaan dan kepemimpi-nan itu makin berlipat-ganda pulalah kerja-kerja dan prestasi-prestasi besar yang bisa dicapainya.

    Sebaliknya, makin mengerdil suatu kolektivitas politik, makin mengerdil pulalah kadar kepemimpinan yang di-perlukannya, dan dengan kolektivitas

    bangsa.Pergeseran penampakan peran ka-

    um muda di negeri ini, tidak terlepas dari perilaku politik penguasa repu-blik yang menganggap dirinya paling mengetahui apa yang perlu dan tidak perlu bagi kaum muda. Di satu sisi, sejarah menunjukkan, tokoh-tokoh kaum muda yang sudah menyumbang jasa sangat besar terhadap bangsa dan negara ini, adalah mereka yang mam-pu mempertahankan idealisme dan kedekatannya dengan rakyat. Tapi di sisi lain, penguasa negeri ini justru menggoreng organisasi kepemuda-an, sehingga tokoh yang dilahirkan adalah manusia tanggung penuh ke-tergantungan, yang gagap berkomu-nikasi dengan rakyat.

    Di zaman pemerintahan Orde Baru, kita tahu upaya penjinakan dan pembunuhan karakter kepemudaan itu, memang dilakukan dengan senga-ja dan sistematis, untuk menegasikan idealisme, patriotisme, dan militansi kepemudaan. Soeharto beserta antek-anteknya berkepentingan untuk me-lumpuhkan peran kaum muda, seba-gai bagian dari upayanya untuk me-lumpuhkan seluruh gerakan rakyatsebagai cerminan dari sikap kritis dan

    DELAPAN puluh ta-hun yang silam, nege-ri ini pernah memiliki kaum muda yang san-gat visioner. Langkah Politik kaum muda 1928 untuk mendeklarasikan Sumpah Pemuda, dengan terang-benderang memperli-hatkan kecerdasan, keberpihakan dan kesetiaankepada rakyatdan kete-guhan memelihara cita-cita bersama. Dengan cermat mereka menangkap dan merumuskan semangat zaman-nyakebutuhan yang hidup dalam kesadaran politik rakyat nusantara.

    Sumpah yang dipahatkan para pe-muda di tahun 1928 itu, akan terasa sulit dipahami melalui rekam jejak to-koh atau organisasi pemuda dewasa ini. Kaum muda sekarang telah gagal untuk mengerti dan memahami perso-alan bangsanya. Andaipun masih ada ketokohan kaum muda dewasa ini, mereka sudah semakin terfragmentasi di sektor tertentu saja, tanpa dukung-an masyarakat luas. Ketokohan kaum muda tidak lagi terbangun karena kecerdasannya dalam merumuskan persoalan rakyat, atau karena keber-pihakan dan kesetiaannya kepada rak-yat dalam memperjuangkan masalah

    Sumpah Itu Untuk Apa?

    tanggung jawabbaik melalui ormas apalagi parpol. Ini adalah watak rezim totaliter, di mana mobilasisi hanya bisa efektif bila seluruh saluran parti-sipasi disumbat rapat.

    PERLU dikemukakan sekali lagi, ge-rakan reformasi 1998, sebagai upaya untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran kehidupan berbangsa dan bernegara, juga membuktikan untuk kesekian kalinya bahwa penggerak dan pelaku utama setiap perubahan penting di negeri ini, bukanlah pemu-da atau organisasi pemuda bentukan atau binaan pemerintah. Yang terlihat dalam episode gerakan 1998 itu jus-tru keringkihan tokoh dan organisasi kepemudaan yang dipelihara pemerin-tah. Kebiasaan mereka sebagai pendu-kung yang nihil inisiatif, membuat mereka tergagap-gagap merespons perkembangan tuntutan rakyat.

    Dalam situasi kehidupan bangsa dewasa ini, dimana jumlah rakyat miskin semakin mengerikan, jumlah hutang luar negeri yang memasung kemajuan, kita dihadapkan pada pe-negakan hukum dan keadilan yang berbanding terbalik dengan kerakusan pemimpin menghisap darah rakyat-

    Oleh: Iman Masfardi

    Di Gedung Sumpah Pemuda: Prof. Dr. Anies Baswedan, Saifullah Yusuf, Menteri Pemuda dan Olahraga Adhiyaksa Dault, dan Dr. Yudhi Chrisnandi.

    BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008 BULLETIN tFC | EDISI 06 - OKTOBER 2008

    Dok

    . GP

    An

    shor

  • nya sendiri, melalui korupsi dan akal-akalan demokrasi. Ketika negeri ini bersiap untuk merayakan delapan pu-luh tahun Sumpah Pemuda, sungguh sulit untuk membantah kenyataan bahwa kehidupan kita sebagai bang-sa sudah terdegradasi sangat dalam. Sumpah Pemuda sebagai tiang pan-cang yang ditegakkan di atas fondasi keyakinan bahwa hanya kebersamaan yang akan mengantar bangsa ini ke kehidupan yang lebih terhormat dan sejahtera, kini terasa goyah.

    Dulu, delapan puluh tahun yang lalu, kaum muda negeri ini yakin be-tul bahwa kebersamaan dalam mem-bangun tanah air dan bangsadan de-ngan bahasa yang satu pulaakan menjadikan bangsa ini bangsa yang terhormat. Mereka sudah membukti-kan bahwa kebersamaan dan persatuan itu sudah menjadi tonggak sejarah yang sangat penting dalam menghadapi rintangan proses kehadiran bangsa ini sebagai suatu negara. Sekarang, ketika bangsa ini kembali dihadapkan pada ancaman tercabiknya rasa berbangsa, atau keraguan akan manfaat dari ke-satuan dan persatuan itu, apakah yang akan mendasari gerakan kaum muda?

    Kaum muda yang ingin menda-patkan tempat dalam kehidupan ber-bangsa dan bernegara, tentu tidak cu-kup hanya berdasarkan keinginginan sepihak. Keinginan sekuat apapapun, dengan dukungan iklan televisi atau Surat Kabar sehebat apapun, tidak

    akan bermakna apapun. Dukun-ganbahkan kesetia