Buletin Wene Edisi 4 New
-
Upload
garda-papua -
Category
Documents
-
view
213 -
download
19
Transcript of Buletin Wene Edisi 4 New
MIMPI PANJANG PENDERITAAN RAKYAT PAPUA
OTONOMI “KHUSUS BUAT BIROKRASI PEMERINTAH NKRI”
Website: www.gardapapua.org, Blog. www.gardapapua.blogspot.com, Email: [email protected]
Edisi: 04 Sept-Okto 2010
BERANI , CERDAS & MEMIHAK RAKYAT
BuletinWene
Harga Cetak : 6000
1961; Mendesak dunia Internasional untuk berlakukan em-
bargo dalam pelaksanaan OTSUS; OTSUS tidak perlu di-
revisi seperti yang dimaksudkan Undang undang No. 35
Tahun 2008 tentang perubahan undang undang No. 21 Ta-
hun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua; Seluruh proses
Pemilukada Kabupaten/kota se-Papua dihentikan; Para
gubernur, DPRP dan DPRD Papua Barat, para Bupati,
Wali Kota, dan DPRD kabupaten/kota se-Tanah Papua,
segera hentikan penyaluran dana bagi penyelenggaraan
Pilkada; Pemerintah NKRI di pusat dan daerah, segera
hentikan program transmigrasi dan perketat pengawasan
terhadap arus migrasi ke Tanah Papua; Segera membebas-
kan seluruh Tapol/Napol Papua tanpa syarat; Segera Laku-
kan Demiliterisasi di Tanah Papua; dan Segera tutup P.T
Freeport.
Hal ini membuktikan bahwa masa kekuasaan Almar-
hum Jap. Salosa maupun Barnabas Suebu tidak mampu
menerapkan dan menjalankan OTSUS yang menurut Ja-
“Otonomi Khusus (OTSUS)
Kacau Balau”….Itulah ungka-
pan yang dikeluarkan Oleh
Gubernur Barnabas Suebu
pasca menduduki Tahta Pe-
merintahan Propinsi Papua. Itu
artinya selama masa kekuasaan
Gubernur sebelumnya
(Almarhum J.P Salossa) tidak
mampu merumuskan strategi
penerapan Otonomi khusus
yang diberikan sebagai jalan
tengah meredam Aspirasi Mer-
deka yang diinginkan oleh se-
luruh rakyat Papua. Perdebatan
tentang Otsus sampai saat ini
masih terjadi misalnya pada
tahun 2005 dengan ribuan ke-
kuatan Rakyat bersama Dewan
Adat Papua mengembalikan
Otsus dan menuntut Referendum. Bahkan di bulan Juli
2010, musyawarah besar rakyat di Majelis Rakyat Papua
menyatakan dengan tegas, bahwa OTSUS gagal total
karena tidak mampu menjawab tingkat kesejahteraan baik
pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan infrastruktur,
tidak adanya aturan-aturan hukum daerah ( Peraturan
Daerah Khusus), tidak berfungsinya 4 pilar OTSUS
(Majelis Rakyat Papua, komisi hukum Ad Hoc, Komisi
Kebenaran dan Rekonsliasi, Kantor perwakilan Komisi
Hak Asasi Manusia, sehingga hasil Mubes Rakyat Papua
mengeluarkan 11 rekomendasi tuntutan Rakyat Papua di-
antaranya; Undang-undang otonomi Khusus No. 21/2001
dikembalikan kepada Pemerintah NKRI; Segera dilakukan
dialog antara Bangsa Papua dengan Pemerintah NKRI
yang dimediasi pihak Internasional yang netral; Segera
lakukan referendum bagi penentuan nasib Rakyat Papua;
Pemerintah NKRI mengakui dan kembalikan kedaulatan
Rakyat-Bangsa Papua sesuai proklamasi 1 Desember
Foto: Nasta Aksi mengembalikan Otonomi khusus 8 Juli 2010
FOKUS 2
karta mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh
Rakyat Papua.
Ingatan Rakyat Papua Terhadap Sejarah Peradaban
dan Perjuangan
Dahulu Papua merupakan daerah yang tidak tersen-
tuh dari kepentingan bangsa-bangsa lain di dunia, aktivi-
tas kehidupan setiap suku-suku tetap berjalan dari tahun
ke tahun dengan perkembangan peradabannya. Sebelum
kedatangan bangsa-bangsa Eropa, pedagang-pedagang
Majapahit, Cina, Gujarat dan India lebih dulu singgah di
Papua. Bangsa Eropa yang pertama singgah di Papua
adalah bangsa Portugis yang kemudian disusul oleh
Spanyol, Inggris, dan Belanda. Ada perubahan yang ce-
pat ketika mulai tersentuh dengan bangsa lain seperti ,
Portugis, Spanyol, Inggris dan melalui Misionaris dari
Jerman Ottow dan Geisler di tahun 1855 memasuki
wilayah perairan Teluk Cenderawasih tepatnya di pulau
Mansinam Manokwari. Di wilayah selatan menurut
peneliti berkebangsaan Inggris, Thomas W. Arnold,
agama Islam sudah ada pada abad XVI melalui kesul-
tanan Bacan sekitar tahun 1520 an. Menurut DR. FC.
Kamma wilayah daerah Teluk Cenderawasih merupakan
daerah pertukaran/barter kebutuhan-kebutuhan ekonomi,
bahkan sebelum Ottow dan Geisler memasuki wilayah itu
di tahun 1814 Sultan Dayghton dari Celebes (Makassar)
sudah terlebih dahulu menjajaki daerah tersebut.
Pada 24 Agustus 1828 secara resmi Belanda
mengumumkan kekuasaannya atas daerah Papua Barat
dan meresmikan benteng Du Bus di kampung Lobo,
Teluk Triton (Kaimana-Fakfak) sebagai symbol
kekuasaan atas pulau Papua atau Nieuw Guinea.
Selanjutnya pos-pos pemerintah Belanda didirikan di
Manokwari dan Fak-fak pada tahun 1898 dan Merauke
pada tahun 1910-setelah muncul sengketa dengan Inggris,
Merauke merupakan daerah perbatasan dengan wilayah
kekuasaan Inggris ( PNG)-, tahun 1904 diteluk Humboldt
dibangun juga pos pemerintahan tepatnya di
perkampungan yang dinamakan Hollandia, yang
sekarang di kenal dengan Jayapura.
Kepentingan Ekonomi Internasional Di Papua
Pada awal abad 1900-an, Belanda mulai membuka
perkebunan-perkebunan, Tahun 1935, perusahaan-
perusahaan besar Belanda dan Inggris menggabungkan
modal mereka dan mendirikan Perusahaan Nederlandsch
Niuw-Guinnee Petroleum Mattschappij (NNGPM)
bertujuan untuk melakukan eksplorasi untuk mencari
sumber-sumber minyak dan kandungan mineral di
wilayah Papua – sebelumnya (tahun 1907) perusahaan
Ada Apa Dengan OTSUS
Perasaan sebagai ras Melanesia dan mendirikan se-
buah bangsa adalah cita-cita yang gagal di masa lalu. Pe-
merintah Indonesia dengan menganeksasi Papua ke dalam
NKRI dengan cara yang tidak jujur dan pembohongan.
Ada pembohongan dalam sejarah artinya, menurut rakyat
Papua pemerintah tidak memiliki niat yang baik. Pemerin-
tah Indonesia masih menganggap rakyat Papua bodoh, se-
hingga dengan modal internasional mereka mengambil se-
mua kekayaan alam dengan leluasa. Jumlah Rakyat Papua
semakin berkurang, akibat kekerasan Negara, semua
kekerasan dan ketidakadilan menjadi luka masa lalu yang
tidak pernah sembuh dan semakin membengkak dan
akhirnya kesadaran rakyat tumbuh dan melakukan perla-
wanan secara damai maupun dengan taktik gerilya.
Undang-undang No. 21, Tahun 2010 tentang Otonomi
khusus bagi Papua adalah salah satu taktik mematikan isu
Papua merdeka yang semakin memuncak dengan cepat.
Tetapi apa yang terjadi? Keseriusan pemerintah untuk me-
lasanakan otonomi khusus belum terwujud.
Persoalan masa lalu yang belum diselesaikan, ditam-
bah lagi dengan berbagai kegagalan dalam pembangun
manusia Papua, pemberdayaan, perlindungan dan keberpi-
hakan dalam kerangka Otonomi khusus adalah bukti dari
kebohongan masa lalu dan meyakinkan rakyat Papua untuk
berdaulat. Jika otsus dikatakan gagal, apa solusi lain? Bagi
rakyat Papua kepercayaan itu sudah tidak, ada satu-satunya
jalan menyembuhkan luka adalah berdaulat dan Mer-
deka.***
Wene adalah sebuah kata dalam bahasa suku Dani, Nduga dan beberapa suku serumpun, yang artinya
bicara atau khabar. Melalui buletin Wene, kita bicara tentang masalah yang kita hadapi, jati diri kita, dan
bicara tentang apa kerja kita
Dewan Redaksi: Anggota KPP, Pemimpin Redaksi: Saren Reporter: Saren, Nasta, Smadav, Isen, Kahar, Manwen, Eflin, Sasori86, Mios, Max Manus, Bovit, Ronda, Bikar, Kombo, dan Ramos. Distributor: Komite Pimpinan Kota dan Tong Semua.
E - m a i l : b u l e t i n w e n e @ g m a i l . c o m . W e b s i t e :
www.gardapapua.org Blog. http://gardapapua.blogspot.com.
EDITORIAL
FOKUS 3
pertambangan minyak Royal Duutch Shell telah di bentuk
namun tidak maksimal. Perusahaan-perusahaan swasta
besar yang menanamkan modal dalam NNGPM adalah
Bataafsche Pasific Petroleum Maatschappij, Standard
vacuum Oil Company, dan Nederlandsche Pasific
Proteleum Maatschappij, dengan masing-masing memiliki
saham 40%.
Dari pemerintah Belanda, NNGPM memperoleh hak atas
daerah konsensi seluas 10.0000.000 hektar, yakni seluruh
daerah kepala burung atau 1/3 daerah Papua. Ini sebagai
konsensi pemerintah Belanda terhadap perusahaan swasta.
NNGPM mendirikan pangkalan-pangkalan pesawat
terbang amfibi sikosky di daerah Tanah Merah dan
Ayamaru, guna kepentingan meneliti potensi lainnya dari
udara. Hasil penelitian memperlihatkan adanya sumber-
sumber minyak dan sumber mineral lain, sehingga tahun
1935 mulai diadakan penggalian percobaan di daerah
pedalaman kepala burung (Sorong dan Teluk Bintuni).
Dari hasil perkembangan industri minyak yang semakin
luas tersebut, dapat membiayai penelitian ilmiah dan
mendatangkan para ilmuwan dari luar yaitu ahli zoology,
botani, kehutanan, geologi, geografi dan antropologi untuk
mengeksplorasi lebih luas lagi dan mencari potensi
mineral. Salah satu ekspedisi eksplorasi tersebut yakni
dengan melakukan pendakian ke gunung Cartenz dan
Eksberg, yang sekarang menjadi tempat beroperasinya
pengembangan tembaga berskala besar (P.T Freeport),
eksplorasi ini juga sekaligus mengembangkan peta Papua.
Namun semua usaha perekomomian terhenti karena
perang Pasifik, mengakibatkan perkembangan modal di
Papua pun jadi terhambat. Sejak kepergian Belanda dari
Papua pada tahun 1962 dan masuknya Indonesia pada Mei
1963 tidak banyak perubahan yang terjadi. Pemerintah
Indonesia hanya melanjutkan apa yang sudah dikerjakan
Belanda, yaitu mengatur administrasi pemerintahannya di
Papua, membangun sekolah-sekolah yang sebagian besar
hanya mampu diisi oleh penduduk pendatang yang tinggal
di Papua, dan kesehatan yaitu mengambil alih tugas-tugas
pengelolaan rumah sakit dan puskesmas peninggalan
Belanda. Pada waktu itu semua pegawai pemerintahan
diganti dengan orang-orang Indonesia. Arus migran dari
Indonesia pun makin kencang, baik yang didatangkan atas
rencana pemerintah maupun sebagai migran spontan.
Selain sebagai pegawai pemerintah mereka juga berprofesi
sebagi pedagang dan petani, yang lebih maju dari
masyarakat Papua.
Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Papua
Di masa pemerintahan Soekarno, kepentingan modal
internasional sangat terganggu dengan menguatnya Partai
Komunis Indonesia,. Situasi ini menjadi penghalang bagi
masuknya modal di Indonesia, maka tidak ada jalan lain
kecuali kekuatan penghalang itu harus di hancurkan, maka
dicarilah sekutu sekaligus agen yang akan melaksanakan
tugasnya tersebut, dipilihlah militer sebagai sekutu dan
agennya. Terjadilah pergantian kekuasaan di Indonesia
pada tahun 1965, naiklah sang diktaktor Soeharto me-
wakili kekuatan militer yang menjadi agen dari modal
Internasioanal. Setelah tumbangnya Sukarno, babak baru
eksploitasi dan membuat kesepakatan untuk perputaran
modal internasional maka dengan kekuatan militer me-
represif dan memanipulasi PEPERA Tahun 1969.
Perlahan dibawah Orde Baru (Orba), Indonesia mema-
suki era keterbukaan terhadap modal Internasional. UU
Penanaman Modal Asing (PMA) dengan mudah diundang-
kan oleh Soeharto pada tahun 1967. Mulailah aliran dana
luar negeri diinvestasikan di Papua. PT.Freeport berdiri,
mengeruk kekayaan alam Papua, dan berbagai macam pe-
rusahaan nasional maupun asing lainnya. Juga lembaga-
lembaga Internasional (seperti IMF dan Bank Dunia) yang
dikendalikan para pemilik modal besar Amerika Serikat
dan sekutunya mulai mengatur ekonomi Indonesia dalam
sebuah kerangka ekonomi liberal “pembangunanisme”.
Papua memasuki era baru, neo-kolonialisme ( Penjajahan
baru di bidang ekonomi ) dengan kepanjangan tangannya
Orde baru.
Bersama kekuatan militer, Orde Baru mengambil alih
semua perusahaan-perusahaan asing di Papua ke tangan
militer dan pengusaha-pengusaha dari birokrasi. – hak erf-
pacht (Guna Usaha) perusahaan dialihkan ke militer,
perkebunan milik negara, militer, dan swasta di kontrol
oleh jaringan keluarga Soeharto. Sekarang Papua telah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem
Foto: Sasory 86
FOKUS 4
perekonomian modal internasional yang diorientasikan
pada ekspor sehingga bergantung pada bidang ekstraktif
dan pertanian.
Reformasi Tahun 1998 dan Jalan Tengah OTSUS.
Rezim Suharto – Habibie (1997 – 1998) memang terk-
enal otoriter dan diwarnai dengan sistem kekeluargaan
yang kental, hal ini menghambat akumulasi (perputaran)
modal dan investasi asing. Bisa dikatakan bahwa se-
benarnya kepentingan modal internasional tidak terlalu
peduli dengan sistem pemerintahan yang otoriter atau se-
banyak apa rakyat Indonesia dibantai pada masa itu,
karena yang lebih penting bagi pihak internasional adalah
terciptanya kondisi yang stabil dan aman bagi uang atau
investasi modal dengan hasil yang memuaskan bagi
mereka. Pada masa rezim ini, tak ada satu tokoh politik-
pun yang berani melawan Suharto karena kuatnya struktur
penindasan Suharto lewat Golkar dan Dwi Fungsi ABRI.
Pemerintahan yang korup, tingginya tingkat inflasi,
bangkrutnya sektor riil akibat krisis ekonomi, dan
kekerasan negara memunculkan gelombang perlawanan
rakyat yang kemudian berkembang menjadi lebih politis
dan meluas dengan melibatkan mahasiswa. Gerakan terse-
but berhasil menumbangkan Suharto yang berkuasa ham-
pir 32 tahun lamanya. Hal tersebut kemudian memaksa
Suharto meletakkan jabatannya dan menyerahkan kursi
Kepresidenan kepada wakilnya B. J Habibie pada bulan
Mei 1998.
Ditengah kuatnya kekuatan modal internasional, maka
pemerintah Indonesia lebih memilih untuk melakukan Lib-
eralisasi ( perdagangan bebas) terhadap sektor ekonomi
dimana kekuasaan ekonomi tidak lagi berada ditangan Su-
harto dan kroninya tetapi harus bebas kepada semua ke-
kuatan elit-elit pemilik modal nasional. Pada masa-masa
awal reformasi tersebut, partisipasi politik rakyat sangat
tinggi dan banyak organsisasi yang muncul bagai jamur
dimusim hujan serta banyak demonstrasi yang dilakukan
dengan tuntutan yang berbeda-beda.
Sesuai dengan tututan kepentingan modal internasional,
maka wacana Otonomi Daerah mulai di bahas seiring den-
gan ketidakpuasan beberapa daerah di Indonesia dan an-
caman 3 daerah (Aceh, Timor-Timur, dan Irian Jaya) un-
tuk melepaskan diri dari NKRI. Hal tersebut mengha-
ruskan Habibie membuat regulasi tentang Otonomi Daerah
lewat UU No 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan
UU No 25/1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pemer-
intah Pusat dan Daerah. Pada masa inilah, Habibie ke-
mudian menawarkan opsi Otonomi Khusus atau Referen-
dum bagi Timor-Timur. Sedangkan untuk Irian Jaya,
Habibie dan DPR RI menetapkan UU No 45/1999 tentang
Pemekaran Wilayah Irian Jaya yaitu propinsi Irian Jaya
Barat, Irian Jaya Tengah, Kabupaten Paniai, Mimika, Pun-
cak Jaya dan Kota Sorong. Kebijakan ini kemudian di-
kuatkan lagi dengan penunjukan pejabat Gubernur yaitu
Herman Monim (Irja Tengah), dan Abraham O. Atururi
sebagai Gubernur Irjabar lewat Kepres RI No 327/M/1999
tertanggal 5 Oktober 1999. Kemudian pada tanggal 19
Oktober 1999, Sidang Umum MPR RI mengeluarkan
ketetapan MPR RI No IV/MPR/1999 untuk mendukung
penetapan pemberlakuan Otonomi Khusus dalam ker-
angka NKRI yang diikuti dengan langkah-langkah strate-
gis yaitu penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui
proses pengadilan yang adil dan jujur.
Setelah turunnya Habibie dari tampuk pemerintahan, ia
digantikan oleh rezim yang terdiri dari para tokoh Cianjur
yaitu Gus Dur – Mega (2000 – 2001). Mengikuti langkah
pemimpin terdahulu (Habibie), Gus Dur yang juga salah
satu tokoh reformasi melakukan perbaikan dengan menge-
luarkan kebijakan yang memberi ruang pada terciptanya
sistem pemerintahan yang demokratis dan memihak rakyat
namun tetap melaksanakan agenda Liberalisasi ekonomi.
Namun usaha perbaikan kearah lebih demokratis tersebut
mendapat tantangan disebabkan terjadinya perpecahan
diantara para tokoh reformasi tersebut melawan kekuatan
lama yang membacking Suharto yaitu Golkar dan ABRI.
Pada masa Gus Dur, wacana Otonomi Khusus tersebut
mulai digarap lebih serius bersama Pemerintah Irian Jaya.
Salah satunya adalah mengubah nama Irian Jaya menjadi
Papua, selain itu mendorong pembuatan draf Undang-
Undang Otonomi Khusus yang melibatkan kalangan
akademisi Universitas Cenderawasih dan Universitas
Papua serta penyelenggaraan Musyawarah Besar Rakyat
Papua.
Bentuk Front
Persatuan Untuk Pembebasan
Nasional
Foto:Tiruan
FOKUS 5
Usaha dan niat baik Gus Dur dan unsur-unsur demok-
ratik itu mendapat tantangan yang kuat. Gus Dur mulai
dituduh sehubungan dengan Dana Bantuan Sultan Brunei,
kasus Bulog, dan kasus separatisme (terselenggaranya
Kongres Rakyat Papua II). Hambatan-hambatan tersebut
memuncak dengan dilakukannya Sidang Istimewah MPR
pada tanggal 23 Juli 2001 yang kemudian me-
mutuskan untuk menurunkan Gus Dur dari
kursi kepresidenan dan menggantikannya
dengan wakilnya saat itu, Megawati Sukarno
Putri. Turunnya Gus Dur dari kursi kepresi-
denan menunjukkan kekalahan unsur-unsur
demokratik dan kemenangan dipihak unsur
ultranasionalis yang diwakili oleh Megawati,
dan PDI-P, serta poros tengah Amien Rais dan
partai-partai pendukungnya.
Rezim Megawati yang dikenal dengan
Mega – Haz memang agak berbeda
wataknya karena lebih bersifat ultra-
nasionalis (sangat nasionalis). Kom-
posisi rezim Mega – Haz merupakan
komposisi pemerintahan yang baik
sekali bagi kekuatan pendukung Su-
harto yaitu TNI/POLRI dan Golkar.
Wacana dan draft RUU Otonomi
Daerah yang digarap oleh Pemda Papua dan Akademisi
Universitas Cenderawasih dan Universitas Papua tersebut
kemudian disahkan oleh DPR RI menjadi UU Otsus Papua
yang telah diedit dan dimodifikasi sesuai keinginan Pe-
merintah pada tanggal 22 Oktober 2001.
Sikap setengah hati dari Megawati ditunjukan dengan
dikeluarkan Instruksi Presiden (INPRES) no. 1/2003 un-
tuk percepatan Implementasi UU no. 45/ 1999 tetang Pe-
mekaran Papua menjadi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Ten-
gah, dan kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya dan
pembentukan kota sorong. Inpres tersebut sangat berten-
tangan UU.No.21/2001 tentang OTSUS yang telah di un-
dangkan.
Dimasa Rezim Susilo Bambang Yudhoyono-Yusup
Kalla, sistem pemilihan secara langsung oleh seluruh
rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan ada ruang de-
mokrasi yang melibatkan rakyat di dalam perpolitikan na-
sional. Rakyat Indonesia membutuhkan perubahan men-
dasar pada kehidupan bangsa yang lebih baik dari pemim-
pin-pemimpin rezim sebelumnya. Kemenangan SBY-JK
melalui partai Demokrat ini menunjukkan bahwa rakyat
sudah jenuh dan protes kepada partai berkuasa sebelum-
nya yakni PDI-P dan GOLKAR
Namun Rakyat Indonesia mulai hilang harapan, karena
pemerintah SBY-Kalla masih menerapkan system eko-
nomi yang sama dengan pemerintahan sebelumnya antara
lain membuat kebijakan-kebijakan sesuai dengan
pesananan modal internasional, sehingga aturan-aturan
hukum-hukum yang menjadi dasar pelaksanaan kebikaja-
kan baik pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat masih
berpihak kepada modal internasional.
Untuk masalah Papua SBY-JK berkomitmen
dalam programnya untuk melaksanankan UU
No. 21/2001 secara utuh dan konsekuen, se-
hingga mengeluarkan keputusan pemerintah
No.54/2004 tentang MRP. Aturan ini menga-
tur secara khusus tentang prosedur pemilihan
dan komposisi anggota MRP. Namun dalam pe-
laksanaanya MRP tidak mempunyai fungsi yang
jelas untuk mengontrol kebijakan bagi kepentingan
masyarakat adat, perempuan dan agama. MRP
hanya di jadikan simbol untuk memenuhi
amanat UU. Otsus no.21 tahun 2001
dan meredam tuntutan rakyat Papua
yang semakin tidak percaya dengan
keberadaan OTSUS .
SBY justru membuat kebijakan-
kebijakan yang sangat kontaproduktif
dengan mengembangkan berbagai
pemekaran di kabupaten-kabupaten
baru tanpa melalui mekanisme MRP dan DPRP yang jelas
melanggar dan bertentangan dengan UU OTSUS. Ke-
luarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu) no. 1/2008 tentang perubahan UU. No.21 tahun
2001 yang kemudian diterapkan menjadi UU. No. 35/2008
untuk mengakomodir Propinsi illegal, Irian Jaya Barat
menjadi Papua Barat dan Irian Jaya menjadi Papua tanpa
melewati mekanisme MRP dan DPRP tetapi melalui kepu-
tusan sepihak pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Indonesia . Hal ini membuktikan SBY sangat tidak
serius dan kebijakan yang dibuat sangat politis untuk
memikikan integritas NKRI sehingga kesejahteraan rakyat
yang terakomodir dalam UU.21/2001 di khianati. Saat ini
muncul wacana dan perdebatan terhadap pembentukan
MRP Papua Barat, DPR Papua Barat, dan legitimasi pera-
turan daerah khusus yang berlaku untuk 2 propinsi terse-
but.
Ingatan Sejarah Melandasi Semua Perlawanan Rakyat
Papua
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai
sejarahnya, dan jangan sekali-kali melupakan sejarah” itu-
lah beberapa pernyataan Soekarno untuk menghargai
proses perjuangan menuju cita-cita kemerdekaan Bangsa
Indonesia .
“Undang-undang otonomi Khusus No.
21/2001 dikembalikan kepada Pemer-
intah NKRI; Segera dilakukan dialog
antara Bangsa Papua dengan Pemer-
intah NKRI yang dimediasi pihak In-
ternasional yang netral; Segera laku-
kan referendum bagi penentuan na-
sib Rakyat Papua”
FOKUS 6
KETERPAKSAAN OTONOMI KHUSUS DI PAPUA
DPRP menjanjikan pada rakyat bahwa jawaban akan
diberikan 2 minggu kemudian.
Sesuai waktu yang telah disepakati, rakyat Papua kembali
melakukan long march menempuh jarak 24 km demi
memastikan DPRP melakukan sidang Paripurna sesuai
janji mereka, tepatnya pada tanggal 8 Juli 2010. Wakil
rakyat di DPRP tidak siap ketika rakyat datang menagih
janji mereka. Ternyata rakyat Papua ditipu oleh wakil
mereka yang duduk di DPRP, dan hal itu terlihat jelas dari
tindakan Ketua DPRP, John Ibo yang tidak berani muncul
di hadapan rakyatnya sendiri. Rakyat yang sudah bosan
ditipu mengambil sikap untuk bertahan dan menginap
dihalaman gedung rakyat untuk memastikan
dilaksanakannya sidang tersebut. Selama 10 tahun
Otonomi Khusus lembaga lainya yang merupakan pilar
utama, Otsus seperti yang diamanatkan dalam Peraturan
Perundang-undangan pasal 4 ayat 1, belum mampu
menjalankan kewenangannya secara maksimal terhadap
masyarakat Papua. Empat pilar tersebut yakni: Majelis
Rakyat Papua (MRP), lembaga kultural yang memainkan
peran pengawasan dan penyambung aspirasi penduduk asli
Papua, yang terdiri dari kalangan adat, agama, dan
Proses Sejarah peradaban dan perjuangan diatas mene-
gaskan dan meyakinkan tentang apa menjadi dasar ke-
kuatan-kekuatan perlawanan rakyat Papua terhadap setiap
rezim Pemerintah NKRI. Perjuangan Papua sampai saat
ini membuktikan komitmen rakyat untuk mengawal
bahkan menolak dengan tegas setiap aturan-aturan hukum
Pemerintah Pusat yang sangat tidak memihak dan memati-
kan perkembangan manusia Papua.
Otonomi Khusus yang diberikan kepada rakyat Papua
bukan karena niat baik pemerintah tetapi karena ada gera-
kan perlawanan secara terus menerus yang dilakukan oleh
rakyat dengan taruhan nyawa .
Ada penilaian positif Rakyat Papua terhadap Bangsa
Belanda, karena mereka mampu meningkatkan sumber
daya manusia (tenaga produktif), baik pendidikan, kese-
hatan, peningkatan taraf hidup, infrastruktur, dan mem-
bentuk nasionalisme Papua. Namun ketika tahun 1969
PEPERA dilaksanakan dengan manipulasi dan kekerasan
militer mengakibatkan trauma dan semakin hilang rasa
kepercayaan rakyat Papua. Pembantaian, pembunuhan
kilat, penghilangan nyawa secara paksa dan penculikan
merupakan kebijakan yang sampai saat ini masih dipakai
Pemerintah NKRI untuk meredam suara-suara kritis un-
tuk menuntut keadilan. Hal ini terjadi dalam setiap
peristiwa pelanggaran HAM (tahun 1963-tahun 2010 )
tidak ada satupun yang diselesaikan, sistem ekonomi di-
kuasai oleh para pendatang, pendidikan yang tidak
menghargai kebudayaan asli Papua, kesehatan yang jauh
dari teknologi, angka kematian yang tinggi, tersingkirnya
Masyarakat Adat, dan pembiaran kepentingan investasi
terhadap sumber daya alam secara legal maupun illegal.
Keberhasilan pembangunan yang selama ini dikampan-
yekan oleh Pemerintah Pusat ternyata cuma dirasakan para
birokrasi pemerintah Provinsi, Kabupaten, Distrik dan
Kampung, para elit birokrasi Papua semakin lupa diri dan
berfoya-foya dengan uang yang bertrilyun-trilyun tanpa
mengevaluasi kegagalan-kegagalan kebijakan yang me-
marginalnya masyarakat Papua secara sistematis.
Semua ini merupakan bentuk pejajahan yang sistematis
dari pemerintah NKRI sehingga solusi untuk menyelesai-
kan persoalan diatas adalah Persatuan gerakan untuk me-
majukan potensi perlawanan. Seluruh kelompok gerakan
perjuangan baik faksi-faksi, organisasi pemuda sudah saat-
nya untuk memikirkan dan membentuk pemerintahan
oposisi/komposisi nasional/dewan nasional/pemerintahan
persatuan/pemerintahan transisi ataupun apapun namanya
untuk menyatukan konsep gerakan dalam satu wadah yang
solid dan memiliki mekanisme kerja yang jelas serta mela-
kukan kerja-kerja yang terstruktur di basis Masyarakat
Adat sehingga menemukan budaya perlawanan yang baru
yaitu perlawanan rakyat yang sesuai dengan kondisi
masyarakat Adat Papua.. (Nasta)
Otonomi Khusus telah dikembalikan sebanyak dua
kali. Perlawanan rakyat tersebut pertama kali pada tanggal
12 Agustus 2005 yang dilakukan dibawah komando
Dewan Adat Papua (DAP) dan organisasi pergerakan
mahasiswa dalam satu aksi massa berjumlah kurang lebih
13.000 orang dengan mengusung keranda ‘peti mati’
sebagai simbol bahwa rakyat Papua mengembalikan Otsus
tersebut. Aksi dengan tema yang sama dilakukan lagi 5
tahun kemudian, tepatnya tanggal 18 Juni 2010. Aksi
tersebut dikoordinir oleh Forum Demokrasi Rakyat Papua
Bersatu (FORDEM), yang didukung oleh seluruh
komponen rakyat Papua dari berbagai elemen gerakan
perjuangan pembebasan Papua dengan membawa 11
rekomendasi hasil Musyawarah Besar bertujuan
mengevaluasi Otsus yang dilaksanakan selama 2 hari sejak
tanggal 9 – 10 Juni 2010. Dengan membawa rekomendasi
hasil keputusan Mubes tersebut, rakyat Papua melakukan
jalan kaki dari kantor MRP menuju kantor DPRP untuk
mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Papua melakukan
sidang Paripurna agar Otonomi Khusus dikembalikan
kepada Negara kesatuan Republik Indonesia. Saat itu
FOKUS 7
perempuan; Komisi Hukum Ad Hoc, yang berfungsi
sebagai badan penasehat bagi Dewan Perwakilan Rakyat
Papua (DPRP) dan MRP dalam menyusun Perdasus dan
Perdasi dalam kerangka implementasi Otsus;
Pembentukan Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (KOMNAS HAM) dan Pengadilan Hak Asasi
Manusi, kedua lembaga yang berhubungan dengan
kebutuhan perlindungan dan kemajuan serta pemenuhan
HAM; Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan
Peradilan HAM. Secara politik lembaga ini ditujukan
untuk menjelaskan berbagai masalah kekerasan di
masa lalu dan mencari langkah – langkah
rekonsiliasi.
Coba kita lihat apa fungsi dari beberapa
lembaga yang sudah ada, seperti MRP yang
sayangnya selama 5 tahun berjalan tidak
mempunyai kapasitas untuk memutuskan dan
menolak segala kebijakan oleh DPRP,
Pemerintah Provinsi, apalagi Pemerintah
Pusat yang tidak berpihak pada orang asli
Papua. Dapat dilihat dalam hal SK MRP No
14/2009, memutuskan bahwa calon kepala
daerah walikota/wakil – wali kota serta
Bupati dan calon Bupati harus orang Asli
Papua. Pemerintah pusat sengaja dan tidak
serius memberikan ruang kepada MRP.
Sedangkan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia perwakilan Papua
sampai saat ini tidak ada kasus –
kasus pelanggaran HAM yang
tidak serius dalam melakukan
sesuai kewenangan yang
diberikan dari Jakarta, Mulai dari kasus Biak Berdarah
1998, Abepura 7 Desember 2000, Wasior 2001-2002,
Pembunuhan Theys Eluay (2001), Pembongkaran Gudang
Senjata 4 April 2003 di Wamena, Pembunuhan Opinus
Tabuni di Wamena saat hari Pribumi Internasional 2008,
Pemukulan tahanan politik Ferdinand Pakage 22
September 2008 oleh sipir penjara yang menyebabkan
mata sebelah kanan buta, pembunuhan Kelly Kwalik
(Desember 2009), Pembunuhan Yawan Wayeni,
Penangkapan Aktivis Papua dan beberapa kasus lainnya
yang belum terungkap. Lembaga ini sangat mandul dan
memalukan seluruh penegakan HAM di Papua karena
hanya menjadi tokoh pengamat HAM tanpa berbuat apa –
apa, termasuk pembebasan Tahanan Politik Papua. Untuk
lembaga lainnya belum ada sampai saat ini, artinya semua
baru sebatas janji.
Dana Otonomi Khusus yang diberikan berjumlah
besar namun dalam pelaksanaan tidak mampu
menyelesaikan persoalan kemiskinan masyarakat Asli
Papua hingga saat ini. Hal itu bisa terlihat dengan angka
pengangguran yang tinggi, dan buta aksara yang
meningkat. Berdasar data BPS tahun 2010, jumlah
penduduk Papua adalah sebesar 2.851.999, dari jumlah
tersebut jumlah penduduk Asli Papua adalah sebanyak
1.460.846 jiwa. Persentase jumlah penduduk miskin
provinsi Papua adalah sebesar 34,88% sedangkan Propinsi
Papua Barat adalah 36%. Jumlah persentase penduduk
miskin ini lebih tinggi dibandingkan dengan
provinsi lainnya di Indonesia, bahkan Papua
Barat berada pada peringkat teratas dengan
jumlah penduduk miskin paling tinggi.
Keadaan yang ironis ditengah kekayaan
alamnya yang melimpah ruah.
Otonomi Khusus juga belum mampu
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Papua lewat 4 (empat)
program utama Otonomi Khusus
yaitu: pendidikan, kesehatan,
pemberdayaan ekonomi rakyat, dan
pembangunan infrastruktur.
Dalam sektor kesehatan, rakyat
Papua selalu mengeluh tentang
biaya kesehatan yang tidak mampu
mereka jangkau walaupun sudah
menggunakan Jamkesmas
(jaminan kesehatan
masyarakat) yang dikuatkan
dengan Surat Keputusan
Gubernur Propinsi Papua No.
6/2009 tentang Pengobatan
Gratis bagi Rakyat Asli Papua melalui subsidi dana
OTSUS. Padahal dalam hasil analisis APBD Provinsi
Papua, alokasi dana untuk sektor kesehatan tahun 2009
adalah sebesar Rp. 295, 29 miliar (5,74 % dari APBD dan
11,31 % dari dana Otsus). Dari sisi persentasi, belum
memenuhi amanat UU Otsus karena sektor kesehatan
menjadi prioritas untuk didanai dengan dana Otsus. Akibat
alokasi dana yang minim maka banyak permasalahan
kesehatan di masyarakat diantaranya: tingkat kematian Ibu
dan anak yang tinggi (diperkirakan 578 ibu meninggal tiap
tahun), wabah penyakit seperti kolera, busung lapar,
penyakit malaria, muntaber atau semakin tingginya tingkat
penderita penyakit HIV/AIDS, ISPA, TBC dan penyakit
lainnya.
Contoh riil permasalahan kesehatan bisa diambil dari
pelayanan kesehatan yang ada di Jayapura, ibukota
provinsi Papua yang merupakan pusat pemerintahan,
sebagai tolak ukur baik buruknya pelayanan kesehatan. Di
Rumah Sakit Dok II; ada permasalahan tenaga medis serta
Foto:Sasory86
FOKUS 8
perawat yang minim dan tidak profesional, infrastruktur
pembangunannya buruk, keadaan lingkungan rumah sakit
yang kotor dan tak terurus, WC yang bau dan tidak bersih,
obat – obatan dan infus yang kurang, peralatan medis
belum terlalu lengkap dan memadai sehingga banyak
pasien yang masih harus dirujuk berobat keluar Papua,
bahkan pada tahun 2009 lalu ada banyak pasien yang
meninggal karena kurangnya persediaan bahan makanan.
Permasalahan yang sama juga terjadi di RS Abepura.
Masalah ketersediaan air bersih yang tidak memadai, WC
yang tidak dibersihkan sehingga menimbulkan aroma tak
sedap, saluran air yang jarang dibersihkan menyebabkan
bau tak sedap dan juga menjadi sarang nyamuk. I nilah
contoh kasus rumah sakit di Propinsi, apa lagi di daerah
dan kampung yang tentunya lebih parah dan terburuk.
Dalam bidang pendidikan, tingginya buta aksara pada
tahun 2005 mencapai 552.000 hingga 2009 mencapai
230.000 ini masih tergolong tinggi. Dengan APBD
Provinsi Papua tahun 2009 menyebutkan bahwa alokasi
anggaran pendidikan provinsi Papua tahun 2009 sebesar
Rp 242,06 miliar. Jumlah ini setara dengan 4,71 % dari
APBD atau 9,28 % dari dana otsus. Gubernur Propinsi
Papua mengeluarkan Keputusan No. 5/2009 tentang
Pendidikan Gratis bagi Orang Asli Papua melalui subsidi
dana OTSUS, Sampai saat ini orang tua dan mahasiswa
masih mengeluh dengan biaya pendidikan yang sangat
tinggi. Pendidikan di Universitas Cenderawasih dengan
memiliki dosen yang tidak profesional (lebih banyak
mengurus proyek dan sering bolos jam mengajar) , sistem
informasi manajamen mahasiswa masih menggunakan
teknologi yang minim, laboraturium dengan perlengkapan
yang tidak lengkap , dalam fakultas yang utama misalkan
kedokteran, alat – alat praktek yang tidak lengkap, tenaga
pengajar yang kurang dan tidak berkualitas. Pendidikan di
Universitas Sains dan Teknologi di Jayapura, masih
memiliki tenaga pengajar yang honorer, WC umum masih
menggunakan milik masyarakat sekitar, perpustakaan yang
tidak mempunyai buku- buku yang bermutu. Seharusnya
diera otonomi khusus yang pendidikan harus gratis dari
SD, SMP, SMA , dan Strata – 1 bagi generasi penerus
orang asli Papua. Terutama bagi Universitas Cenderawasih
dengan teknologi yang makin canggih, pemerintah
provinsi mampu menyediakan fasilitas internet gratis.
Dana pendidikan itu lebih banyak dipakai institusi
pendidikan lebih membangun fisiknya saja, sedangkan
membangun mahasiswanya tidak.
Dalam segi ekonomi rakyat , dengan menjamurnya
ruko – ruko dan mall yang hanya dimiliki penuh oleh
kaum pemodal di seluruh Papua membuat penduduk asli
terpinggirkan. Terutama masyarakat adat, untuk mama –
mama pedagang Asli Papua, di Provinsi saja mama –
mama belum mendapat fasilitas pasar dan masih
beralaskan karung diatas tanah sendiri. Di sektor nelayan
banyak orang pendatang yang mengusai ekonomi pasar,
bahkan nelayan orang asli Papua tidak mendapat tempat
dalam membangun perekonomian di Papua. Dalam
tingkatan penerimaan pegawai negeri sipil dan pegawai
BUMN (PT. Telkom, Bank BRI, Bank Papua, Bank
Mandiri, PERTAMINA, PLN, PDAM, PT. POS) dan
Sektor usaha kecil menengah, orang asli Papua tidak
dipioritaskan dan banyak proyek – proyek pemerintah
yang diambil oleh kaum pendatang.
Untuk skala pembangunan Infrastruktur di Papua ,
dipioritaskan untuk pelayanan publik (masyarakat).
pembangunan rumah sakit, mencakup ruangan-ruangan
bagi pasien yang mencukupi, kebersihan dengan sistem
lingkungan sehat, air bersih bagi pasien, listrik tidak
pernah padam. Untuk jalan raya, di provinsi saja masih
terlihat sampah – sampah beserakan dan menyebabkan
banjir jika hujan deras, dengan dana otsus yang lebih
seharusnya tata ruang kota diperhatikan. Untuk
transportasi, membuka akses jalan ke beberapa kampung
yang belum tersentuh terutama untuk jembatan
penghubung. Seharusnya pemerintah provinsi
menyediakan subsidi untuk transportasi laut, udara, dan
darat agar harganya terjangkau.
Khusus untuk petani tradisional, hal-hal yang perlu
mendapat prioritas adalah: para petani tradisional Papua
harus didorong menjadi petani modern dengan difasilitasi
modal dan teknologi ramah lingkungan; petani di perko-
taan yang tidak memiliki tanah (hanya menggarap tanah
orang lain) harus diberikan kemudahan untuk memiliki
tanah, baik tanah garapan tersebut atau tanah subur yang
lain; mengantisipasi penjualan lahan-lahan subur untuk
keperluan selain pertanian rakyat; menitikberatkan
program pertanian pada hasil pangan dengan tidak
Pendidikan dan Kesehatan
Gratis Bagi Rakyat Papua
Dok: Telapak
FOKUS 9
terfokus pada satu jenis hasil pangan saja, dan bukan
sebaliknya dititikberatkan pada hasil industri; akses bagi
pasar pun harus dibangun dengan mempertahankan
proteksi-proteksi tertentu karena pertimbangan
kemampuan bersaing.
Bagi para peramu, pemerintah berkewajiban untuk
melindungi hak-hak masyarakat peramu, termasuk dusun
sagu dan hutan adat tempat mereka berburu dan lainnya.
Perlindungan terhadap tindakan yang berefek pada
terputusnya mereka dari sumber kehidupan dengan cara
pengembangan kota atau wilayah konsensi pertambangan,
tindakan-tindakan yang berefek pada pencemaran
lingkungan dan persempitan ruang gerak masyarakat
peramu. mendorong mereka berkembang secara dinamis
dengan cara-cara yang alami atau wajar dan manusiawi.
Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
harus melakukan kewajiban membebaskan pendidikan dan
pastikan rakyat Papua menikmati pendidikan formal
minimal setingkat sarjana, bangun sekolah-sekolah khusus
berasrama bagi orang Papua dengan fasilitas dan kualitas
tinggi – tingkat dasar di tiap kampung minimal satu buah,
tingkat menengah di tiap kecamatan minimal dua buah,
dan tingkat atas dan Sekolah kejuruan di tiap kabupaten
minimal masing-masing satu buah dan setiap tahun
minimal sepuluh orang di sekolahkan untuk mengambil
master, dan sepuluh untuk mengambil gelar Doktor di
luar negeri dengan tanggungan sepenuhnya oleh
pemerintah.
Ada beberapa kewajibam pemerintah yang harus
memenuhi bagi rakyat adalah: Membebaskan seluruh
biaya kesehatan bagi rakyat Papua, menyediakan sembilan
bahan pokok yang murah, air bersih dan energi, seperti
listrik yang murah dan tidak mengalami pemadaman terus
– menerus, fasilitas publik yang menunjang produktivitas
rakyat Papua misalnya, pasar tradisonal bagi mama-mama
pedagang Papua, memberikan perumahan murah dan
layak huni bagi rakyat Papua, membuka lapangan
pekerjaan dan memberikan peluang bagi orang asli Papua,
memajukan tenaga produktif orang asli Papua, Memban-
gun koperasi-koperasi khusus bagi orang asli Papua dan
melakukan pembatasan terhadap migrasi penduduk dari
luar Papua ke tanah Papua.
Apa yang harus dilakukan Gerakan Perlawanan di
Papua ?
Gerakan perlawanan harus membangun alat/lembaga
politik dan pemerintahanya sendiri, diluar semua alat/
lembaga politik milik NKRI. Kita bisa lihat beberapa
contoh: CNRT di Timor Leste, PLO di Palestina, PAIGC
di Guinea Bisau. Kalau di Papua misalkan: Dewan
nasional/komposisi nasional atau pemerintahan persatuan.
Gerakan Perlawanan/Organisasi Perjuangan harus
mengajak rakyat Papua untuk berorganisasi dan
membentuk front persatuan ditiap – tiap sektor ekonomi
rakyat.
Gerakan Perlawanan/Organisasi Perjuangan
sekarang harus membangun kesadaran politik kepada
rakyat Papua, mandiri secara ekonomi dan tidak bersandar
terhadap lobi – lobi internasional yang selalu
menggantungkan perjuangan di luar negeri, tetapi harus
membangun basis – basis perlawanan rakyat yang kuat
didalam negeri.
Pemerintahan seluruh rakyat Papua inilah yang ke-
mudian menjadi alat perjuangan seluruh rakyat Papua un-
tuk mewujudkan cita-cita Merdeka dan sekaligus menjadi
bukti kesanggupan kita, untuk memimpin dan memerintah
diri sendiri di atas tanah leluhur. Oleh karena itu, istilah
„‟pembangunan‟‟ tidak lagi menjadi istilah yang
mengungkapkan kerinduan rakyat, tetapi sudah menjadi
milik kaum penindas dan penguasa untuk membenarkan
praktek penindasannya. Istilah yang cocok untuk rakyat
yang tertindas adalah „‟PEMBEBASAN‟‟.(Manwen/
Sasori86)
Lindungi Hutan
dan Dusun Adat
Dari Investasi
Foto: Telapak
ARAH JUANG 10
Papua dan Kedudukan Negara Sebagai Subjek Hu-
kum Internasional
Kita tidak asing lagi dengan kata internasional. Kata
ini sangat akrab di telinga orang Papua. Karena ketika bi-
cara tentang kemerdekaan Papua, yang muncul di kepala
sebagian masyarakat Papua ialah Persatuan Bangsa-
Bangsa (PBB), dukungan internasional, masyarakat inter-
nasional: Belanda, Amerika Serikat, Vanuatu, Autralia,
dll. Kalau begitu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan
kata internasional? Kata internasional berasal dari dua
suku kata yang di gabung menjadi satu yakni, inter
(antara) dan national (bangsa). Karena itu kata interna-
sional bisa diartikan sebagai hubungan antara bangsa-
bangsa. Penggunaan kata “bangsa” disini sebenarnya me-
rupakan sinonim kasar dari ”negara”(Lih. J.G. Starke,
Pengantar Hukum Internasional, Hal.4, Edisi Kesepuluh).
Supaya negara-negara saling menghargai dan men-
ghormati di dalam pergaulan internasional, dibuatlah
mekanisme internasional untuk mengatur persoalan terse-
but. Mekanisme ini lalu menjadi apa yang kini kita kenal
dengan Hukum Internasional. Jadi, Hukum Internasional
itu sendiri merupakan hukum yang mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban diantara negara-negara saja. Se-
lanjtnya, agar hubungan timbal balik antara hak-dan kewa-
jiban setiap negara berjalan secara adil, maka berbagai
aturan dan intrumen internasional beserta pelbagai perang-
katnya agar ada acuan dasar dan pengawasan yang bisa
diikuti serta dilakukan secara bersama-sama oleh setiap
negara yang menyepakatinya.
Pembentukan PBB (United Nations) pada tahun
1948 merupakan kesepakatan bersama dari beberapa ne-
gara yang terlibat perang pada perang Dunia ke-II. Tu-
juannya ialah agar setiap konflik dapat diselesaikan secara
damai hingga tidak mengulangi lagi pengalaman atas per-
ang Dunia ke-I dan II. Selain itu pergaulan internasional
diantara negara-negara dapat dibangun diatas prinsip
saling menghargai dan menghormati. Walapaun kehadiran
PBB sendiri merupakan sebuah prakarsa dari negara-
negara yang menang pada perang dunia ke-II, namun kini
keberadaanya nampak sebagai wasit yang mengawasi per-
gaulan internasional diantara negara- negara. Ke-
beradaannya pun tidak hanya mengkhususkan diri pada
bagaimana mencegah suatu konflik menjadi perang ter-
buka, tetapi kini sudah meluas pada berbagai aspek ke-
hidupan umat manusia yang diakui secara universal. Hal
ini dapat dilihat dari berbagai Deklarasi, Konvenan, Proto-
kol, Resolusi, Traktat, dan Statuta. Tetapi, kelemahan dari
Hukum Internasional itu sendiri ialah sifat memaksanya
masih tunduk pada kedaulatan negara (soverinity state)
secara personal. Yakni, perlunya pengakuan negara terha-
dap berbagai instrumen yang dikeluarkan oleh PBB terse-
but.
Mahkamah Internasional dan Taktik Perlawanan Me-
lalui Gugatan
Nah, yang menjadi pertanyaan adalah apakah Papua
adalah sebuah bangsa dalam artian negara? Sudah tentu
tidak. Walaupun kini banyak yang mempersoalkan tentang
status sejarah Papua yang kurang adil, tetapi faktanya se-
cara de jure (hukum) dan de facto (kenyataan), Papua
adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Jika demikian, pertanyaannya ialah apakah
kecurangan dalam sejarah PEPERA dapat ditinjau ulang,
termasuk berbagai instrumen lainya yang mengukuhkan
keabsahan proses tersebut? Menurut hemat kami adalah
dapat dan bisa dilakukan.
Bagaimana? Baru-baru ini telah diluncurkan buku
yang merupakan hasil penelitian dari Prof. Drooglever
yang menguak tentang cacat PEPERA dan situasi interna-
sional yang juga melibatkan peranan PBB dalam melegal-
kan proses integrasi Papua kedalam NKRI. Selain buku
Drooglever ada buku lain dari Jhon Salfor yang juga
menyibak proses yang tidak adil tersebut. Menariknya
buku Drooglever merupakan penelitian resmi dari pemer-
intah Belanda guna menjawab berbagai pertanyaan yang
selalu ditujukan terhadap negara itu, terkait dengan tang-
gung jawabnya soal Papua. Dalam kedua buku tersebut,
sangat detail menguraikan bagimana manipulasi, yang dis-
ertai dengan teror dan intimidasi bagi masyarakat Papua
yang waktu itu terlibat untuk memilih. Termasuk juga ket-
erangan dari beberapa saksi yang waktu itu ikut terlibat.
Jika demikian bagaimana soal ini dapat dibawah ke
Mahkamah Internasional? Perlu diperhatikan lagi disini
bahwa Papua bukanlah negara berdaulat. Sedangkan
Mahkamah Internasional sendiri merupakan lembaga yang
berada dibawah Dewan Keamanan PBB yang anggotanya
adalah Negara-Negara dan merupakan subjek hukum in-
ternasional yang paling utama. Karena itu yang bisa
bersengketa di MI (Mahkamah Internasional) adalah Ne-
gara vs Negara. Disini bentuk sengketa dapat kita bayang-
kan dalam sistem berperkara di pengadilan Nasional Indo-
nesia. Baik itu untuk perkara pidana atau perdata. Supaya
posisi kita kuat didalam pengadilan, maka kita wajib di-
Mekanisme Internasional dan Strategi Mambangun Gerakan Papua
ARAH JUANG 11
wakili oleh seorang pengacara yang memiliki lisensi (ijin
praktek) dan memang telah diberi kewenangan oleh UU
untuk mewakili kita.
Hal yang sama terjadi juga dengan pihak yang
bersengketa didalam Mahkamah Internasional. Supaya
masalah Papua bisa di tinjau, maka kita harus mempunyai
wali/pengacara, dan wali kita haruslah negara supaya
posisi kita (Papua) di MI dianggap sah (standing position).
Bukan IPWP, ILWP, WPNCL, OTORITA, KONSEN-
SUS, ETAN, OPM, dsbnya. Kita bersyukur karena be-
berapa waktu lalu Negara Vanuatu secara resmi memasu-
kan soal Papua didalam konstitusi resmi negaranya dan
bersedia menjadi wali untuk mendorong masalah Papua
ditingkat Internasional. Walaupun Vanuatu dan negara-
negara Pasifik lainnya merupakan negara kepulauan yang
kecil, namun keberadaannya diakui didalam Hukum Inter-
nasional dan mempunyai wewenang tersendiri, dianta-
ranya : 1).Hak akses kepada Internasional Court of Justice.
2). Keikutsertaan dalam komisi ekonomi regional PBB
yang tepat. 3). Keikutsertaan dalam beberapa badan
khusus tertentu, dan dalam konferensi-konferensi diplo-
matik yang bertujuan membentuk konvensi-konvensi in-
ternasional.
Bagi kita mekanisme diatas lebih mudah untuk diper-
juangkan daripada harus menempuh mekanisme dekolo-
nisasi. Mengingat, seperti yang diuraikan diatas, posisi
Papua secara de facto dan de jure telah resmi diterima
menjadi bagian NKRI oleh masyarakat internasional me-
lalui resolusi PBB No. 2504. Papua berbeda dengan Timur
Leste. Ketika dianeksasi secara paksa oleh Indonesia pada
tahun 1975, kedudukan Leste pada waktu itu tetap diper-
masalahkan oleh Portugal, Mosambique, dan negara-
negara bekas jajahan Protugal yang telah merdeka dan
menjadi anggota PBB.
Biligerent dan Taktik Perlawanan Bersenjata
Kita pernah mendengar tentang CNRT (Conselho
Nacional da Resistencia Timorense) dan Fretelin (Frente
Revolusionaria de Timor-Leste Independenta), organisasi
perlawanan rakyat Timur Leste; atau GAM (Gerakan
Aceh Merdeka), organisai gerakan perlawan rakyat Aceh
pimpinan Hasan Tiro. Pertanyaannya, kenapa dua or-
ganisasi ini sukses mendapat pengakuan secara interna-
sional, semasa aktif memimpin gerakan perlawanan?
Dalam Hukum Internasional, bellijerents (para pihak) me-
rupakan suatu pengakuan internasional terhadap para pi-
hak (organisasi/tentara/milisi) yang bersengketa dan diatur
dalam Hukum Humaniter Internasional, yakni Pasal 1
Hague Regulation, Konvensi IV Den Haag 1907, men-
genai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Terkait den-
gan perlawanan bersenjata di Papua, masyarakat interna-
sional bisa memberikan pengakuan sebagai billijerents,
asalkan konflik diantara TNI/POLRI versus OPM,
memiliki skala konflik yang berdampak internasional
(internationalized internal armed conflict). Misalnya kon-
flik tersebut mengganggu kepentingan internasional secara
luas.
Ada beberapa syarat supaya suatu pihak mendapat penga-
kuan sebagai billigerents :
1. Dipimpin oleh seorang yang bertanggungjawab atas
bawahannya. Artinya mempunyai organisasi dan ke-
pemimpinan yang jelas;
2. Memakai tanda/embelm: seragam, bendera, topi, yang
dapat dilihat dari Jauh;
3. Membawa senjata secara terbuka. Artinya, tidak mela-
kukan perlawanan gaya dengan teroris;
4. Melaksanakan operasinya sesuai dengan hukum dan
kebiasaan perang. Artinya tidak menjadikan masyarakat
dan bangunan sipil sebagai sasaran.
5. Dari syarat ini, dua organisasi perlawanan diatas, masuk
sebagai biligerents. Yang menjadi pertanyaan adalah
apakah pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh
OPM selama ini sudah masuk kategori tersebut?
Pengakuan Internasional dan Taktik Perlawanan Ber-
dasarkan Perasaan Sebagai Sebuah Bangsa :Belajar
dari Kosovo, Namibia, dan Palestina
Perasaan sebagai sebuah bangsa merupakan syarat
mutlak pembangunan sebuah negara. Tanpa ini, kita akan
terjebak pada paham nasionalisme sempit: rasisme, sex-
isme, sekularisme, dan sebagainya. Merumuskan ulang,
siapa itu orang Asli Papua merupakan suatu program yang
mendesak dan harus segara dilakukan. Mengingat
sekarang ini Papua sudah berada dititik nadir hancurnya
perasaan sebagai sebuah bangsa. Faktanya adalah :
Sebutan “orang Gunung dan Pantai “. Sebutan ini, kini
semakin kuat di era Otsus melalui pemahaman dan
perilaku orang asli Papua dalam bentuk fanatisme ke-
daerahnnya. Contoh: Orang Pantai dilarang bekerja
didaerah Gunung. Sebaliknya orang Gunung dilarang
bekerja di daerah Pantai; Sterotip (prasangka yang
supjektif sifatnya dan tidak tepat tentang sifat suatu
golongan) orang Pantai terhadap orang Gunung seba-
gai tukang bikin kacau; Atau, sifat inklusivisme dan
perilaku “main pukul/kroyok” dari sesama orang Asli
Papua, merupakan beberapa hal yang tanpa kita sadari,
sudah lama merusak persatuan “orang Asli Papua”.
Penggunaan istilah ras Melanesia yang kadang diin-
dentikan dengan orang Papua yang hitam dan keriting.
Padahal ini salah satu konsep Antropologi yang meli-
puti daerah-daerah seperti, Timor Leste, NTT, Sumba,
ARAH JUANG 12
Ambon, sampai ke daerah Papua di wilayah pesisir.
Tanpa disadari, penggunaan istilah yang salah ini bisa
sewaktu-waktu ikut menkotak-kotakan “orang Asli
Papua”.
Munculnya paham rasialisme dan sexisme akibat SK
MRP No.14 Tahun 2008. SK ini sangat kacau karena
secara sadar menurunkan paham kebangsaan orang
Papua yang sudah tumbuh sejak negeri ini dianeksasi.
Bagiamana tidak, SK ini melupakan orang Papua se-
cara geneologis dari segi Ibu; melupakan orang Papua
keturunan Cina, Arab, Jawa, Makasar, Flores, Ambon,
Key, dll; atau melupakan orang non-asli Papua yang
memiliki jiwa dan kesadaran sebagai orang asli Papua
serta memberikan kontribusi yang besar bagi tanah ini
sejak puluhan tahun.
Pembangunan kelompok perlawanan berbasis suku.
Kenyataan ini sangat menggelikan dan nampak sekali
di berbagai organisasi perlawanan di Papua. Masing-
masing organisasi bicara tentang pentingnya per-
satuan.,tetapi secara diam-diam memupuk perbedaan
ditengah-tengah pengikutnya, atau menganggap tidak
penting kelompok lain diluar kelompok mereka.
Keadaan ini jika tidak sadari, akan terus memunculkan
perpecahan serta tirani diantara sesama kelompok per-
lawanan. Jika tidak disadari, keadaan ini merupakan
bahaya terbesar bagi pembangunan Nation Papua.
Pembentukan Kaukus Parlemen Daerah Pegunungan
oleh anggota DPRP dan rencana Pemekaran berbagai
wilayah diseluruh Papua. Dua kebijakan dilahirkan
oleh orang Asli Papua, walaupun sangat menguntung-
kan dari sisi pembangunan, namun dari sisi persatuan
kebijakan harus dilihat sebagai taktik Pemerintah un-
tuk memecah-belah “orang Asli Papua”
Fanatisme Kekristenan. Tanpa disangkal, anggapan ini
ada dan melekat di kepala orang Papua. Lebih parah-
nya, perilaku ini sangat nampak diberbagai organisasi
perlawanan Rakyat Papua, yang seharusnya lebih pa-
ham nilai-nilai demokrasi. Kadang di berbagai mo-
men-momen tertentu, kita mempraktekan perilaku
bahkan klaim yang menunjukan bahwa perjuangan
Papua adalah sah milik “orang asli Papua” yang ber-
agama Kristen saja. Tindakan ini tanpa disadari mem-
buat kita lupa bahwa ada “orang Asli Papua” lain yang
juga Muslim, Katolik, atau menganut agama suku.
Negara-negara, seperti Kosovo, Namibia, dan Pales-
tina, mempunyai sejarah yang sama dengan Papua : Mem-
punyai wilayah yang diduduki secara paksa (aneksasi)
oleh bangsa lain; Berjuang dalam waktu yang lama bahkan
ribuan nyawa harus melayang untuk cita-cita pembebasan;
dengan Penduduknya yang berasal dari berbagi latar be-
lakang. Tetapi, perbedaannya ialah selama berada dibawah
penjajahan dan pada masa ketika mereka membangun
gerakan perlawanan, soal nation statenya (Bangsa dan
Negara) mampu diselesaikan. Setelah itu, kesadaran
masyarakat tentang pentingnya perlawanan terhadap pen-
indasan, dikongkritkan dalam satu organisasi perlawanan
bersama.. Misalnya, Gerakan Pembebasan Palestina
(PLO). Sekalipun mayoritas penduduk Paletina adalah
Muslim dan sebagian kecilnya adalah Kristen, namun
mereka yang minoritas ini diletakan sederajat dalam per-
juangan pembebasan. Masyarakat Palestina tidak men-
ganggap bahwa negara Palestina adalah milik kaum mus-
lim, atau hak-hak perempuan bukan sesuatu yang penting
untuk diperhatikan. Inilah kunci keberhasilan perjuangan
Paletina hingga saat ini. Sekalipun selalu dihadapi dengan
veto Amerika atau kehadiran Hamas yang dianggap teroris
oleh negara-negara Barat. Walaupun belum memperoleh
kemerdekaan secara penuh, namun pengakuan terhadap
keberadaan negara Paletina sendiri memperoleh tempat
didalam masyarakat internasional dan PBB (UN). Hingga
kini, pengakuan serta simpati dari masyarakat interna-
sional tidak hanya datang dari negara-negara Arab, tetapi
juga dari negara-negara Eropa yang mayoritas pen-
duduknya beragama Kristen, bahkan dari masyarakat Ya-
hudi yang menginginkan Palestina harus merdeka dan
hidup berdampingan secara damai.
Berbeda dengan Palestina yang berhasil mendorong
perjuangannya menjadi perjuangan masyarakat interna-
sional, dengan menghindari isu-isu sektarian dan rasial-
isme, begitu juga Negara Kosovo dan Namibia merua-
pakan dua negara yang merdeka kerena adanya campur
tangan PBB dan pengakuan masyarakat Internasioanal.
Kosovo, lewat referendum tahun 1999, dan merdeka pada
tahun 2008. Sedangkan Namibia, lewat tekanan PBB, me-
lalui pendapat Mahkamah International, tanggal 21 Juni
1971 mengenai penolakan untuk mengakui keberadaan
Afrika Selatan di Namibia oleh anggota PBB. Namun,
seperti yang dijelaskan diatas, keberhasilan dua negara ini
terletak pada bagaimana membangun kesadaran bersama
tentang pentingnya perasaan sebagai sebuah bangsa dan
adanya satu organisasi perlawanan bersama yang mem-
punyai legitimasi di masyarakat.
Pertanyaannya ialah dari berbagai taktik perlawanan
diatas, manakah yang sangat penting untuk dikerjakan?
Apakan ditengah keterpecahan kita sekarang ini, proyek
pembangunan nation state Papua merupakan kebutuhan
mendesak yang harus dituntaskan, sebelum membangun
perlawanan secara bersama? Ataukah, beberapa taktik
diatas tetap dianggap perlu untuk dikerjakan sambil
memikirkan pembangunan nation state kita. (Max Ma-
nus)
OPINI 13
Guinea Bissau adalah satu-satunya negara di dunia
yang mendapat pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan
dari Perserikatan Bangsa-bangsa secara langsung setelah
berhasil mengusir Portugis dari tanah mereka. Keberhasi-
lan Guinea Bissau untuk merdeka dan bebas dari penjaja-
han tidak terjadi begitu saja tetapi merupakan buah kerja
keras seluruh rakyat dan para pejuang pembebasan di
negara tersebut. Salah satu tokoh pembebasan yang hingga
kini selalu mendapat tempat istimewa di hati rakyat
Guinea Bissau adalah Amilcar Cabral, berasal dari salah
satu bagian wilayah di Guinea Bissau, Bafata.
Cabral lahir pada tanggal 12 September 1924, dari
Ayah bernama Juvenal Cabral yang berprofesi sebagai
seorang guru sekolah dasar dan Ibu, Iva Pinhel Evora. Saat
keluarga itu sedang berada di Bafata, salah satu daerah di
Cabo Verde (Tanjung Hijau) dalam bahasa Portugis.
Pada usia 22 tahun, Cabral menikah dengan teman
study yang juga seorang aktifis anti – fasisme Portugal,
Maria Helena Rodrigues, Bersama istrinya berlayar ke
Bissau untuk melakukan perjalanan selama dua tahun
mengelilingi seluruh pelosok Guine.
Selama dua tahun perjalanan, Cabral melakukan
sensus pertanian untuk kepentingan penjajah Portugal.
AMILCAR CABRAL Melawan Budaya Penjajah Untuk Pembebasan Nasional
Namun yang dia lakukan tidak hanya mencatat
produktivitas padi dan kacang – kacangan diberbagai
pelosok tanah kelahirannya, tetapi juga melakukan sensus
Antropologis untuk mengenal berbagai kelompol etno –
lingusitik di Guine-Bissau, sambil menjajaki potensi
masing – masing suku untuk terjun dalam perjuangan
kemerdekaan melawan Portugal. Cabral juga menganalisis
perbedaan antara masyarakat desa dan masyarakat kota
dalam menyikapi kolonialisme Portugal, sambil memilah-
milah kelas-kelas yang ada di masyarakat kota, khususnya
di Bissau, dari sudut sosial ekonomi serta potensi
revolusioner mereka.
Bulan September 1956, Cabral dan beberapa
kawannya secara diam-diam mendirikan PAIGC (Partido
Africano da Independencia de Guinee Cabo Verde atau
Partai Afrika untuk kemerdekaan Guine dan Cabo Verde).
Cabral terpilih menjadi sekretaris jendral. Semboyan
PAIGC adalah „‟Persatuan dan Perjuangan‟‟. Persatuan
untuk mencapai kekuatan dan menghadapi kontradiksi
internal dan perjuangan untuk mengalahkan kekuasaan
kolonial. Persatuan yang menghasilkan kekuataan untuk
menghadapi lawan dan kecenderungan terpecah belah.
Persatuan adalah cara bukan tujuan. Prinsip dasar dari
partai ini adalah sentralisme demokratis. Norma – norma
politiknya meliputi kritik dan oto-kritik, kepemimpinan
kolektif, sentralisme demokratis, dan demokrasi
revolusioner. Mobilisasinya terdiri dari sistem kontrol,
efisiensi, perencanaan, dan demokrasi. Baginya partai
hanya terdiri sejumlah terbatas orang – orang yang
berdisiplin, dengan konsensus dan komitmen pada prinsip
dan tujuan perjuangan pembebasan nasional dan
kekuatannya didapatkan dari prinsipnya, mengenai
demokrasi internal revolusioner dimana anggota – anggota
partai harus bersikap kritis, yaitu kritis pada diri sendiri
dan terbuka dalam menerangkan tujuan dan prinsip –
prinsip partai kepada massa. Perjuangan PAICG dalam
konsolidasi kekuasaan dan pembentukan negara baru dari
tahun 1964-1973.
Bertolak dari teori perjuangan kelas Marxisme
klasik yang menganggap kaum buruh adalah kekuatan
revolusioner yang utama, maka Cabral dan kawan –
kawannya pada awalnya mengorganisir kaum buruh di
Bissau dan memulai perjuangan dari kota. Pada bulan
Agustus 1959, kader – kader PAICG diantara mandor
buruh dermaga Pidgiguti, melancarkan aksi mogok
TOKOH 14
menuntut kenaikan upah, dengan menggandengkan pula
tuntutan untuk „‟kemerdekaan Guine – Bissau‟‟. Aksi
mogok beserta tuntutan tidak digubris, malahan tentara
dan polisi kolonial Portugis, tanpa ampun, langsung
menembaki para demonstran. Hasilnya dalam hitungan 20
menit, sekurang – kurangnya 50 orang buruh dermaga
tertembak mati, dan lebih dari seratus orang luka- luka dan
sejumlah buruh pelabuhan melarikan diri ke jajahan
Partugis yang lain, ke Sao Tome.
Sejak saat itulah, kaum buruh di Bissau dan kota –
kota kecil di Guine menolak untuk diajak ikut
memperjuangkan kemerdekaan negerinya. Pengalaman
pahit inilah memantapkan Cabral dan kawan – kawannya,
bahwa perjuangan damai lewat demonstrasi, pemogokan,
dan cara – cara lain yang lazim di negara demokratis tidak
akan berhasil. Mereka sepakat untuk memulai perjuangan
bersenjata.
Pengalaman pahit itu juga mendorong Cabral
menarik diri ke pedesaan, pejuang ini sudah membangun
hubungan yang cukup mesra dengan para petani, meliputi
95% dari penduduk Guine-Bissau pada waktu itu. Setahun
setelah pemogokan buruh yang gagal itu, pimpinan dan
para kader PAICG dari kota sudah aktif mengorganisisr
kaum tani di desa-desa. Mereka percaya, bahwa sebelum
revolusi dapat dimulai maka kesadaran politik kaum tani
sudah harus dikembangkan seluas-luasnya. Karena
pengetahuannya yang luas tentang petani dari berbagai
kelompok etnis di Guine-Bissau yang sangat beragam
struktur sosial maupun kesadaran politiknya, sedangkan
yang 99% masih buta huruf, Ia tidak percaya pada taktik
pengorganisiran kelompok – kelompok kecil gerilyawan
atau foci, yang diterapkan oleh Che Guevara dan Regis
Debray di Cuba dan Bolivia. Itu sebabnya PAICG
memerlukan waktu dua tahun penuh mengorganisir para
petani sebelum mulai melancarkan perang gerilya secara
terbuka terhadap tentara kolonialis Portugis.
Cabral memahami nasionalisme sebagai suatu
gagasan Eropa dan bagaimana sosialisme Afrika
mengambil nasionalisme sebagai suatu strategi yang dapat
hidup terus. Dia mengambil nasionalisme revolusioner
dalam perjuangan menentang kolonialisme dan
imperialisme yang didapatinya dalam realitas budaya.
Menurutnya, kebudayaan sangat penting bagi gerakan
pembebasan nasional dan perlawanan budaya terhadap
kolonial itu didasarkan pada keikutsertaan massa buruh di
daerah pendesaan dan perkotaan dan faksi borjuasi kecil
yang revolusioner. Pelestarian nilai – nilai budaya dalam
perjuangan untuk pembebasan dan kemerdekaan
menginginkan adanya persatuan diantara berbagai
kelompok etnis dan kelompok lain. Kemerdekaaan
mencakup pembebasan kekuatan – kekuatan produktif dari
kolonialisme, dengan memiliki organisasi politik yang
berdisplin dan kemajuan ekonomi serta sosial.
Cabral mengatakan bahwa sekali rakyat
memperoleh kekuasaan atas bentuk produksi melalui
pembebasan nasional, maka mereka dapat mengatasi
„‟kedudukan yang menyedihkan menjadi rakyat tanpa
sejarah‟‟. Kebudayaan adalah unsur vital dalam proses
pembebasan nasional dan diekspresikan sebagai tindakan
kebudayaan, ekspresi politik dari rakyat yang sedang
melakukan perjuangan.
Perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme
yang Cabral lakukan adalah; (1) Melalui Realitas
Kebudayaan, yang mana hubungan antara kebudayaan dan
kondisi ekonomi menghasilkan pembebasan nasional
sebagai suatu tindakan kebudayaan, maka kebudayaan
berfungsi sebagai suatu unsur perlawanan atas dominasi
asing. (2) Melalui wacana tentang nasionalisme
revolusioner, ia mengemukakan bahwa kebudayaan adalah
bagian dari sejarah rakyat dan perjuangan hidup sehari –
hari oleh karena itu kebudayaan berakar dalam realitas
material lingkungan dimana kebudayaan berkembang dan
mencerminkan sifat organis masyarakat. Cabral
mengemukakan empat proses kebudayaan untuk
pembebasan nasional, yaitu; (a) perkembangan
kebudayaan rakyat yang berisi semua nilai positif
penduduk pribumi. (b) Perkembangan kebudayaan
nasional berasal dari sejarah dan keberhasilan perjuangan
pembebasan itu sendiri. (c) Perkembangan budaya ilmiah
yang didasarkan pada kebutuhan teknologi untuk maju. (d)
Perkembangan kebudayaan universal yang didasarkan
pada perjuangan untuk kemanusiaan, solidaritas, dan
martabat rakyat. (3) Melalui dualitas antara kebudayaan
yang dipaksakan oleh kolonialisme Portugis dan
Peta Guinea Bissau
TOKOH 15
kebudayaan tradisional maka Cabral menggunakan
perlawanan budaya yang terkandung dalam masyarakat
masa lalu dan masa sekarang, serta kepercayaan mistik,
lembaga keagamaan, adat – istiadat keluarga, ritual dan
kepercayaan yang dipeluk oleh orang-orang Afrika dalam
menghadapi kolonialisme. (4) Melalui perlawanan yang
dilakukan Cabral ini mengambil bentuk pemberontakan
spontan terbuka maupun perlawanan pasif, misalnya;
penghindaran pajak, pengurangan produksi tanaman
perdagangan.
Untuk pembebasan nasional ada lima cara yang
dilakukan oleh Cabral yaitu (1) perjuangan melawan dua
kekuatan utama yaitu melawan kelas – kelas penguasa
kolonialis Portugis dan melawan kekuatan – kekuatan
dalam negeri yang menghalangi rakyat untuk memperoleh
kebebasan, kemerdekaan, dan keadilan. Perjuangan ini
meliputi „‟pertarungan budaya‟. (2) Perluasan teori
mengenai pembebasan nasional yang berhubungan dengan
kebudayaan. Cabral tidak memandang ras sebagai faktor
penentu kebudayaan tetapi kebudayaan itu bebas terhadap
ras. (3) Sejumlah prinsip – prinsip revolusioner harus ada
dalam suatu perjuangan pembebasan nasional karena
Pembebasan nasional adalah perjuangan politik.
Perjuangan pembebasan nasional membutuhkan organisasi
atau partai yang kuat dan terorganisir dengan baik
kepemimpinannya yang berpendidikan politik. Secara
mendasar Cabral katakan „‟ Perjuangan itu harus
berkembang disekitar persatuan dan perjuangan‟‟. Orang –
orang yang mempunyai gagasan persatuan menghasilkan
kekuatan, menempatkan persoalan persatuan kedalam
semangat maupun rumusan perjuangan. Kepemimpinan
haruslah satu dan bersatu dibawah organisasi atau partai
dan kepemimpinan partai adalah kekuatan rakyat, dan oleh
karena itu, partai tidak boleh terpecah. Singkatnya,
perjuangan ini merupakan perjuangan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Cabral juga mengemukakan
bahwa „‟ Prinsip dasar perjuangan kita adalah perjuangan
rakyat, dan bahwa rakyat kitalah yang harus
memperjuangkannya, dan hasilnya untuk rakyat kita‟‟. (4)
Gerakan pembebasan nasional dilahirkan didalam dengan
satu konsepsi nasional. Artinya, Cabral beranggapan
bahwa adanya kelompok – kelompok etnis yang berbeda –
beda menghalangi pembentukan kesadaran nasional dan
oleh karena itu dilakukan mobilisasi semua unsur
penduduk tanpa membedakan asal suku dan kelas. 5)
Cabral mengakui bahwa kebudayaan tidak lain hanyalah
suatu pencerminan tingkat kekuataan produktif dan modus
produksi suatu masyarakat. Jadi tujuan utama gerakan
pembebasan tidak hanya kemerdekaan nasional dan
penghancuran kolonialisme, tetapi „‟pembebasan
sepenuhnya kekuatan produktif dan konstruksi kemajuan
ekonomi, sosial, dan budaya rakyat‟‟. Perjuangan
bersenjata akan menghasilkan pembebasan ini, tetapi
perjuangan bersenjata membutuhkan suatu organisasi
politik yang kuat dan berdisiplin. Dimana organisasi
perjuangan pembebasan mulai mempraktekkan demokrasi,
kritik dan otokritik, peningkatan tanggung jawab
penduduk atas kehidupan mereka, karya kesastraan,
pembangunan sekolah dan pelayanan kesehatan, pelatihan
kader dari orang – orang yang berlatar belakang petani dan
kaum buruh dan banyak pencapaiannya lainnya. Dengan
cara ini „‟perjuangan pembebasan bersenjata tidak hanya
merupakan fakta kebudayaan melainkan juga merupakan
faktor penentu kebudayaaan. Cabral percaya bahwa
perjuangan bersenjata harus dilakukan didalam negeri
yang hendak dibebaskan dan bahwa pasukan – pasukan
gerilya harus diberi otonomi untuk menguasai sumber
daya mereka sendiri agar bisa bekerja lebih efisien.
Akhirnya, dalam proses pembebasan nasional harus ada
front persatuan yang luas, dibawah payung partai dan
dipimpin oleh satu barisan pelopor yang bersatu.
Perjuangan kelas yang dilakukan Cabral, berbeda
dengan teori Marxisme klasik. Marxisme percaya pada
kaum buruh sebagai alat perlawanan revolusioner. tapi
Cabral melakukan perlawanan dari kelas – kelas sosial,
yaitu kaum tani. Cabral meneliti pembagian dan
Amilcar Cabral, bersama Tentara Revolusioner
TOKOH 16
kontradiksi yang ada dalam masyarakat: ras, agama,
kelompok etnis, dan kelas sosial. Kaum tani yang terdiri
dari suku Fula dan suku Balanta, dalam membedakan
antara kedua suku ini, Cabral memisahkan kelas dari
masyarakat tanpa kelas, antara garis vertikal (kekuasaan
tersentralisasi dan pelapisan masyarakat yang maju dan
khas dari suku Fula) dan horisontal (struktur ekonomi
terdesentralisasi yang khas suku Balanta). Cabral
melakukan pengorganisiran kaum tani dan didalamnya
termasuk suku Balanta, kelompok yang paling tidak
modern tetapi menerima konsep pembebasan nasional,
egaliter, dan hidup tanpa mengenal negara dan secara
hitoris lebih cenderung untuk melawan Portugis serta suku
Fula yang semi –feodal dan beragam Islam yang
masyarakatnya bertingkat dari kelas penguasan para
kepala suku, dan pemimpin keagamaan, klas pekerja
tangan ahli, dan kelas petani. Untuk Cabral, kaum tani
adalah kekuatan fisik dan bukan kekuatan revolusioner.
Kaum tani mencakup hampir seluruh penduduk, mereka
menguasai kekayaan bangsa karena kaum tani yang
menghasilkan perekonomian bangsa
Visi Cabral dalam membentuk dan membangun
negara adalah dengan mewujudkan sosialisme. Untuk
tujuan itu maka sistem yang dijalankan adalah sistem
pengadilan baru, pengadilan yang dipilih oleh rakyat, yaitu
Tribunas do Povo (Pengadilan Rakyat), yang mempunyai
tugas melayani empat sampai sebelas desa dan Mahkamah
Agungnya Tribunal de Guerra (pengadilan perang) yang
beranggotakan lima orang. Cabral dan pasukannya
menguasai wilayah – wilayah yang dibebaskan dan rakyat
menikmati kemerdekaan dan kedaulatan didaerah yang
telah dibebaskan tersebut. Cabral melakukan
pengembangan negara dengan melakukan kerja sama
dengan rakyat untuk meningkatkan produksi, menjalankan
diversifikasi pertanian, memperbaiki sistem distribusi
barang, mendirikan toko – toko rakyat, memperbaiki
pendidikan, membangun sekolah-sekolah, dan mendirikan
pusat-pusat kesehatan masyarakat serta klinik-klinik.
Tetapi sampai pembunuhan Cabral, tanggal 20 Januari
1973, partainya tidak lagi menjalankan perjuangan
pembebasan nasional melawan kolonialisme dalam usaha
kemerdekaan melainkan terperangkap pada pioritas –
pioritas lainnya serta kebutuhan untuk membangun negara
dan tidak fokus pada kebutuhan rakyat.
Selama 10 tahun perjuangan PAICG, mereka
berhasil menggabungkan aktivitas revolusioner dengan
peran kelembangaan di dalam masyarakat, yang meliputi
pembangunan kesetiaan baru diantara berbagai suku
dengan menitik-beratkan usaha pada pembentukan bangsa
baru, menyediakan pelayanan – pelayanan dasar seperti
makanan, kesehatan, pendidikan, dan menggalang petani
menjadi kekuatan untuk perubahan dan menyebarluaskan
nilai – nilai baru pada bentuk perjuangan pembebasan
untuk membantu strategi pembangunan setelah
kemerdekaan.
Cabral adalah contoh dari militansi, dedikasi seo-
rang tokoh revolusioner yang tidak hanya mampu berteori
saja, namun benar-benar terlibat secara aktif dalam kerja-
kerja riil dalam masyarakat. Tidak hanya itu, dia
memberikan bukti, bahwa demi memutuskan rantai
penindasan, maka kebangkitan budaya dan kesadaran akan
identitas sangat penting bahkan mampu membangkitkan
nasionalisme yang pada akhirnya membuat tiap individu
merasa memiliki perjuangan dan mampu mengadakan
perlawanan secara total. Rakyat yang terberdayakan secara
ekonomi akan mampu menjadi tulang punggung dalam
keberhasilan perjuangan pembebasan nasional. (Ronda/
sasori86)
Tarik Milliter
Dari Seluruh
Tanah Papua
Bersatu
Untuk
Pembebasan
Nasional!!
Foto: Telapak
PERLAWANAN RAKYAT 17
Kegagalan pemerintah Indonesia dalam membangun rakyat Papua sangat dirasakan oleh rakyat Pupua, hal itu
dibuktikan dengan kegelisaan rakyat terhadap berbagai
persoalan. Demokrasi semakin tertutup dan pelanggaran
HAM semakin tidak terbuka dengan adanya penambahan
militer semakin meningkat, ekonomi rakyat masih
dibawah garis kemiskinan, penguasaan, perampasan hak
adat semakin tidak terkontrol dan pelayanan publik yang
tidak maksimal, atau dengan kata lain dimasa otonomi
khusus seharusnya lebiah baik tetapi hal itu tidak terjadi.
akibat kegagalan - kegagalan ini, rakyat Papua melakukan
perlawanan terhadap pemerintah Indonesia. Aksi
pengemabalian Otsus pada bulan Juni 2010 adalah
puncak dari bukti kemarahan rakyat kepada pemerintah,
dan ingin merdeka dari segala penindasan. Berikut ini
adalah beberapa perlawana rakyat Papua dalam bulan
Meret sampai awal Agustus 2010 yang memicu gerakan
perlawanan yang besar.
Maret 03, 2010
Aksi seribu rupiah mendukung pembangunan pasar
bagi mama-mama pedagang asli Papua dipusatkan di jalan
Raya Sentani-Abe depan Kantor Pos Kota Jayapura,
(15/03). Aksi ini disambut antosias warga yang lewat,
dengan mengisi kotak sumbangan yang telah disediakan
SOLPAP. Pada aksi perdana ini, dana yang terkumpul
sebesar Rp. 4.621.500, kemudian disumbangkan pada
mama-mama pedagang untuk keperluan pembenahan
tempat usaha mereka. SOLPAP (Solidaritas Mama-mama
Pedagang asli Papua) dan beberapa elemen penting lain
yang tergabung dalam aksi ini, menyerukan kepada
Pemerintah untuk segera membangunkan pasar bagi
mama-mama pedagang asli Papua.
Maret 08, 2010
Jayapura- Pada hari senin, 8 Maret 2010, SKPHP
melakukan aksi sumbangan di dua titik yaitu di
Perempatan Abepura, dan depan museum budaya – Expo
Waena. Dengan spanduk utama yang isinya demikian„‟
pemerintah tidak peduli membiayai pengobatan tahanan
politik Filep Karma dan Ferdinand Pakage‟‟. Beberapa
aktivis pemuda dan mahasiswa gerakan yang tergabung
dalam beberapa elemen organisasi perjuangan menarik
simpatik masyarakat Papua dengan membagikan selebaran
sebagai pengetahuan kepada masyarakat bahwa selama ini
pemerintah tidak pernah peduli dengan kondisi kesehatan
Tahanan Politik Papua. Aksi simpatik ini untuk membantu
kekurangan biaya pengobatan tahanan politik Filep
Karma, ia membutuhkan biaya pengobatan sekitar Rp.78
juta dan mengalami kekurangan Rp. 28 Juta.
Maret 10, 2010
SKPHP kembali turun jalan melakukan aksi
sumbangan yang sama di perempatan Abepura. Sekitar 50
petugas aksi berjejer di lampu merah dan membagikan
selebaran Dengan spanduk yang berbeda yaitu „‟sakit
Filep karma dan tahanan politik adalah sakit rakyat
Papua...mari bersolidaritas untuk kemanusiaan‟‟ dan
beberapa pamflet berbunyi ; tahanan politik adalah
pahlawan Papua , demi keadilan dan perdamaian tanah
Papua mereka rela di tahan oleh Negara, hak tahanan
Politik adalah Kesehatan , pendidikan dan kebutuhan
pribadi di jamin oleh Negara dan Stop dikriminasi dan
penyiksaan tahanan politik.
Maret 12, 2010
Jayapura. Aksi yang ketiga kalinya, SKPHP menarik
simpatik di wilayah kota Jayapura, Fokus di sekitar Taman
Imbi, banyak simpatik dari masyarakat di sekitar kota
Jayapura ini. Setelah aksi selesai, aktivis Papua
ARUS GERAKAN TUNTUTAN RAKYAT PAPUA
Foto: Sasory86
PERLAWANAN RAKYAT 18
berkunjung ke RSUD DOK II menemui tokoh pejuang
keadilan di Papua. Filep karma yang dengan senang
menerima kunjungan aktivis Papua yang tergabung dalam
SKPHP dan Filep menjelaskan kondisi kesehatannya yang
terakhir. Dana yang di kumpulkan SKPHP kurang lebih
Rp. 25 Juta Rupiah. terbukti bahwa Rakya Papua peduli
dengan kesehatan Tahanan Politik. Dalam aksi ini juga,
ada upaya konfrensi pers yang di lakukan oleh solidaritas
korban pelanggaran Ham Papua (SKPHP). Dalam
konferensi pers saat itu, Peneas selaku koordinator SKPHP
mendesak 1. Pemerintah segera bertanggungjawab atas
seluruh biaya pengoatan Tahanan Politik Filep Karma,
Ferdinand Pakage dan Tahanan Politik lainnya yang
mengalami nasib yang sama. 2. Hentikan kekerasan,
diskriminasi dan stigma separatis terhadap seluruh tahanan
politik Papua. 3. Bebaskan Tahanan Politik tanpa syarat,
karena Negara tidak mampu memenuhi hak – hak dasar
tahanan Politik.
Maret 17, 2010
Jakarta– Mahasiswa dan komponen gerakan yang
merupakan perwakilan rakyat Papua di Jakarta menyam-
but positif rencana kunjungan Presiden Amerika Serikat
Barack Obama ke Indonesia yang direncanakan pada akhir
Maret 2010. Mereka sampaikan dalam bentuk demontrasi
ke kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat (Jalan Medan
Merdeka Selatan) dan Istana Merdeka (Jalan Medan Mer-
deka Utara), Jakarta Pusat.
Perwakilan rakyat Papua ini berharap, Barak Obama per-
hatikan situasi yang menekan para aktivis, ketika protes
ketidakadilan dan mereka dikejar, dibunuh, dan dibantai
terutama setelah otonomi khusus dan juga jadi korban pe-
langgaran HAM, bukan Organisasi Papua Merdeka, justru
para mahasiswa dan aktivis HAM yang menyuarakan ber-
bagai ketimpangan kebijakan pemerintah.
Maret 18, 2010
Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Kamis (18/3),
melakukan aksi untuk meminta DPRP fasilitasi bertemu
Presiden AS Obama. KNPB meminta Dewan Perwakilan
Rakyat Papua (DPRP) memfasilitasi perwakilan mereka
bertemu langsung dengan Presiden Amerika, Barack
Obama di Jakarta.Amerika Serikat (AS) lewat Presiden
Obama harus mengakui kesalahan dan bertanggung jawab
atas semua yang sudah terjadi di Tanah Papua, sejarah
Papua Barat, aktivitas pertambangan emas dan tembaga
oleh Freeport di Kabupaten Mimika, serta membebaskan
para Tapol dan Napol yang masih dipenjara atau ditahan,
Obama sebagai pemegang demokrasi tertinggi dunia untuk
mencabut kapitalisme yang bergerak di Tanah Papua. Se-
lain itu massa juga menuntut pemerintah segera munutup
PT Freeport serta meminta pemerintah Indonesial segera
menarik pasukan organik dan non organik dari Papua.
Maret 22, 2010
Jayapura- Komite Nasional Papua Barat (KNPB)
melakukan aksi. 30 orang diamankan dengan alasan tidak
memiliki surat ijin dari pihak kepolisian dan dua orang
langsung ditetapkan sebagai tersangka kerena diduga
membawa alat tajam.tersangka dijerat dengan pasal, 2 ayat
1 Undang-Undang No 12 Tahun 1951 yakni membawa,
memiliki dan menyimpan dan menguasai senjata tajam
tanpa izin dengan ancaman hukuman penjara maksimal 10
tahun. Kapolresta mengungkapkan, dari dua tersangka itu
salah satunya merupakan peserta aksi unjuk rasa, sedang-
kan seorang diantaranya merupakan warga yang kedapatan
membawa sajam saat dilakukan razia.
Sementara 30 orang lainnya itu sudah dilepaskan
kembali pada malam harinya. Namun, sebelum mereka
dilepaskan, pihaknya sempat memberikan pengarahan ten-
tang Undang-Undang No 9 Tahun 2008 tentang penyam-
paian pendapat di muka umum.
Mei 5, 2010
Puluhan massa dari Forum Demokrasi Rakyat Papua
(FORDEM) melakukan aksi mendesak pemerintah pusat
dan pemerintah daerah mengakomodir Keputusan MRP
No.14/MRP/2009 tentang pejabat Bupati/Wakil Bupati,
Walikota/Wakil Walikota harus orang asli Papua. Aksi
yang berlangsung di halaman Kantor Gubernur Provinsi
Papua, Dok II Jayapura, Senin (3/5) sekitar pukul 10.00
WIT. Gubernur Barnabas Suebu SH, secepatnya menge-
luarkan Perdasus tentang SK MRP Nomor 14 Tahun 2009
tentang penetapan orang asli Papua sebagai syarat khusus
dalam penentuan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati
serta Walikota dan Wakil Walikota di Tanah Papua.
Juni 28, 2010
Jayapura– Solidaritas Peduli Puncak Jaya (SPPJ),
Melakukan aksi protes terhadap Operasi Militer di Puncak
Jaya. Aksi ini berlangsu di gedung DPRP sekitas pukul
11.00 sampai selesai sekitar pukul 02.30. Sesuai dengan
rencana Kapolda Papua bawa, pihak keamanan
memberikan batas waktu untuk Warga sipil yang ada di
Tiginambut dan sekitarnya menggungsi sampai tanggal 28
Juni, Lewat dari itu pasukan gabungan TNI dan Polisi
akan melakukan operasi militer untuk mengejar
TPM/OPM pasukan pasukan Goliat Tabuni. Seratusan
massa yang lebih banyak Mahasiswa dan komunitas
korban Puncak Jaya serta beberapa aktifis. Mereka melilai
bahwa Operasi seperti ini biasa yang menjadi korban
adalah warga sipil biasa dan itu masih terus terjadi
sehingga hal ini dan mereka menolak dengan tegas
droping pasukan organik dan non organik ke Papua.
PERLAWANAN RAKYAT 19
Jini 29, 2010
Biak - Sejumlah komponen rakyat Papua di Biak
turun jalan melakukan aksi demonstrasi. Sejumlah
kompenen masyarakat Papua di Biak yang terdiri yakni,
KNPB, Perwakilan Perwakilan Ex Tapol-Napol, Dewan
Adat Byak, Perwakilan Komunitas Korban Biak,WPNA
Tokoh gereja dan rakyat Papua yang peduli dengan
tahanan Politik melakukan long march ke DPRD
Kabupaten Biak Numfor untuk menyampaikan aspirasi
mereka. Dengan tiga tintutanyakni: 1. Hapus Undang-
undang tentang pasal MAKAR karena sangat bertentang
dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia artikel 19
yaitu Freedom Of Expression dan Konvenan International
atas Hak-hak Sipil dan Politik. Dua Instrument
international diatas telah dijabarkan pada UUD 1945. 2.
Bebaskan TAPOL – NAPOL Papua karena pasal MAKAR
dan Penghasutan Massa yang dikenakan tidak berdasar
namun justru menyimpang dan bertentangan. 3. Seluruh
komponen rakyat Papua memohon kepada Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia agar
segera merealisasi janjinya untuk membebaskan Tapol-
Napol Papua.
Juli 3, 2010
Jayapura- Puluhan massa dari Forum Demokrasi
Rakyat Papua (FDRP) menggelar aksi demo mendesak
pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengakomodir
Keputusan MRP No.14/MRP/2009 tentang pejabat Bu-
pati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota harus orang
asli Papua. Aksi demi yang berlangsung di halaman Kan-
tor Gubernur Provinsi Papua, Dok II Jayapura, Senin (3/5)
kemarin sekitar pukul 10.00 WIT.
Massa yang dikoordinir Forum Demokrasi Rakyat
Papua tiba di halaman kantor gubernur Papua, langsung
menggelar orasi yang mendesak agar Gubernur Barnabas
Suebu SH, secepatnya mengeluarkan Perdasus tentang SK
MRP Nomor 14 Tahun 2009 tentang penetapan orang asli
Papua sebagai syarat khusus dalam penentuan bakal calon
Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil
Walikota di Tanah Papua dan beberapa tuntutan lainya.
Juli 6, 2010
Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua (SKPHP)
melakukan aksi kampanye mengenang Tragedi Biak
berdarah di lingkaran Abepura Selasa (6/7) sambil
membentangkan spanduk yang bertuliskan “Otsus gagal
pemerintah tidak mampu menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM di tanah Papua”.Solidaritas Korban
Pelanggaran HAM Papua (SKPHP) melakukan aksi orasi
30 menit mengenang tragedi berdarah di Kabupaten Biak
tanggal 6 Juli 1998, silam.
Koordinator aksi, Peneas Lokbere ketika ditemui Papua
Pos disela-sela berlangsungnya aksi mengatakan, aksi
yang dilakukan SKPHP merupakan peringatan tragedi
berdarah yang terjadi di Kabupaten Biak tanggal 6 Juli
1998 silam yang memakan banyak korban jiwa orang
Papua.
Juni 8, 2010
Jayapura - lebih dari 10.000 massa rakyat Papua dari
berbagai kalangan melakukan aksi demonstrasi ke Kantor
Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Aksi ini untuk
menagih janji yang telah disampaikan oleh DPRP pada
tanggal 18 Juni 2010 atas tuntutan Referendum dan
penolakan Otsus (Otonomi Khusus). Aksi massa
membawa berbagai macam bendera, antara lain bendera
PBB, gambar bendera Bintang Kejora, serta sejumlah
pamflet dan spanduk. Aksi tersebut mengakibatkan arus
lalu lintas macet total karena setiap jalan protokol di
penuhi massa.
Agustus 2, 2010
Seluruh Rakyat bagsa Papua Barat khususnya
yang tinggal di wilayah Jayapura, Seni, Kerom dan
sekitarnya hadir dalam panggung rakyat yang
difasilitasi oleh Komite Nasional Papua Batat
(KNPB) di Taman makam pahlawan Teys Hio
Eluawai, Sentani (02/8). Dalam acara ini Rakyat
Papua dengan tegas menolak dan megengembalikan
hasil PEPERA 1969. Menurut mereka, rakyat Papua
dikhianati oleh Amerika, Belanda dan Indonesia
dengan cara rakyat Papua pada saat itu tidak
memberikan kebebasan seluas-luasnya tetapi
dilakukan dalam tekangan dan ancaman militer
Indonesia untuk memilih satu orang satu suara namun
yang terjadi adalah Tentara indonesia yang
menetukan untuk memilih mewakili suku-suku
sebelum menyelenggarakan PEPERA. (Saren)
Foto: Saren
BUDAYA 20
Cukup Sudah…kamu berkelahi, saling ejek, merasa diri hebat..pintar
dan saling mengklaim paling berjasa dan pengaruh di rakyat
Papua……
Ingat rakyat Papua sudah bosan dengan janji dan statement-
statement politik dari tahun ke tahun yang tidak pernah terjawab…
perjuangan ini bukan buat opini, berdoa dan berharap kepada Negara
-negara Barat yang akan memberikan kemerdekaan...seakan-akan
kalian begitu lemah, miskin, bodoh di hadapan mereka….itulah diplo-
masi kerdil dan tidak punya harga tawar yang jelas…
Ingat…kita Bangsa Papua punya sejarah peradaban yang kuat...baik
strategi perang dan diplomasi dengan kekuatan Budaya dan adat
kita…dan ada di ratusan suku di Tanah Kita….
Kalian seakan-akan sudah melupakan budaya dan adat
kalian...sehingga jadi pejuang-pejuang yang senang berdebat dengan
adu teori-teori yang selalu menggadaikan dan menggantungkan
Bangsa dan rakyatmu kepada pemilik-pemilik modal yang akan
merampas tanah dan kekayaan…sehingga tetap menjadi miskin dan
kerdil…seperti saat ini…
Kalian selalu bilang…Tanah Papua kaya...tapi sayang kalian tidak
mampu memliki logistik perjuangan…yang ada cuma mengemis dan
meminta-minta lewat proposal…jangan jadikan bangsa ini menjadi
bangsa yang malas dan suka minta-minta….
Jangan pertontonkan kebodohan dan ketidakmampuan lewat perde-
batan-perdebatan yang menjijikkan lewat email…facebook…dan mail-
ing list….ingat konflik ini di pelihara oleh.. rezim penjajah yang
memiliki teknologi media…kalian cuma numpang teknologi tetapi som-
bong..seakan-akan menguasai teknologi…
Sungguh memalukan..!!!! pejuang-pejuang kemerdekaan bermental
pengecut dan cerewet !!! Bagaimana mungkin…persatuan dan Nasion
kita akan terbangun…kalau semua bikin diri hebat...dan perdebatan-
perdebatan kosong….
Ingat rakyat banyak yang sakit…biaya pendidikan yang begitu ma-
hal..mama-mama masih berjualan dibawah tanah, ruko-ruko, taksi,
mall, fasilitas publik, teknologi dikuasai oleh mereka…jangan jadikan
hal ini untuk kampanye dan perdebatan tetapi tidak terlibat langsung
untuk menyelesaikan persoalan rakyat kita hari ini…..selalu kalian
menggantungkan persoalan rakyat kepada rezim penjajah yang men-
yelesaikan…..jangan memberikan pendidikan politik hanya mengamati
dan mengkritik….
Ingat…rendah hati…rendah hati…dan rendah hati….!!!!! kritik diri
sendiri dan cari solusi bersama-sama…jangan saling ejek…kalian
seakan-akan sudah merdeka...sehingga lupa diri tentang pentingnya
persatuan…pemimpin yang besar adalah yang siap menerima kriti-
kan..hilangkan egois selalu mencari solusi...tidak mengejek orang
lain...berjiwa besar untuk duduk bersama-sama…untuk satu Tujuan
PEMBEBASAN NASIONAL UNTUK KEDAULATAN RAKYAT PAPUA YANG
MERDEKA DAN DUDUK SEJAJAR DENGAN BANGSA-BANGSA LAIN DI
DUNIA…!!! (Nasta)
Mama janda satu pigi ke kantor PLN untuk bayar
tagihan listrik. Sampe di kantor PLN, mace tanya petugas
loket pembayaran dan petugas kastau kalo tagihan yang
harus dibayar 100 ribu. Mama ini kas keluar uang pecahan
50 ribu dua lembar tapi de hanya kas petugas loket itu 50
ribu saja. Karena heran, petugas tanya mama:
Petugas : “Mama, kenapa bayar 50 ribu saja?
Mama : “begini anak, sa ini hanya jualan di pasar
saja untuk kas sekolah sa pu anak-anak pu uang sekolah
tuh tambah mahal. Sa mo pikir dong pu uang sekolah saja
tapi kam pu kelakuan kas padam listrik hampir tiap malam
tu bikin sa pigi kas keluar uang lagi untuk pigi beli lilin
supaya dorang bisa belajar malam-malam. Sa pu modal
jualan sayur tu sa putar dari hasil jualan saja, trada modal
dari pemerintah tapi kam pu cara tagih kitorang orang
kecil ini memang skali, padahal pelayanan tra betul satu.
Kalo mau sa bayar penuh, jang kam kas padam kam pu
listrik itu. Jadi 50 ribu ini, mama mo simpan untuk pake
beli lilin kalo kam kas padam kam pu barang yang nama
listrik itu”.
Petugas : “Iyo mama, sa mengerti tapi mama tetap
harus bayar tagihan karena ini aturan dan bagi yang
melanggar ada hukuman sesuai undang-undang.
Mama : “Undang-undang apa lagi ka? Kam tinggal
bikin aturan atau undang-undang trus. Tra cape ka?”
Aeh…sudah anak, mama tra mengerti barang-barang itu
jadi trapapa mama bayar kali ini tapi kalo listrik masih
padam trus, nanti sa bayar stenga saja. Orang sperti mama
kitorang ini rugi banyak. pengeluaran bertambah, anak tra
bisa skolah bae, biaya tambahan itu akan bikin kitorang tra
bisa menabung untuk anak-anak skolah nanti. Apalagi
biaya skolah yang dong bilang gratis karna Otsus tapi jadi
semakin mahal akan bikin anak-anak dong putus skolah,
dan pasti kitorang orang kecil ini tra bisa berubah tapi
tetap akan sama saja sekarang ini atau nanti. Pemerintah
nih..su mati..padahal anak-anak papua..dong banyak di
pemerintah...dong macam lau-lau saja...dapa pendidikan
Indonesia jadi otak mati... (Ronda)
KRITIK BUAT PEJUANG-PEJUANG
KEMERDEKAAN PAPUA Listrik Mati, Otsus Mati,
Pemerintah Mati
Bebaskan
Tapol/Napol Papua
Tanpa Syarat !!