Buletin Wene Edisi 4 New

20
MIMPI PANJANG PENDERITAAN RAKYAT PAPUA OTONOMI “KHUSUS BUAT BIROKRASI PEMERINTAH NKRI” Website: www.gardapapua.org, Blog. www.gardapapua.blogspot.com, Email: [email protected] Edisi: 04 Sept-Okto 2010 B ERANI , CERDAS & MEMIHAK RAKYAT BuletinWene Harga Cetak : 6000 1961; Mendesak dunia Internasional untuk berlakukan em- bargo dalam pelaksanaan OTSUS; OTSUS tidak perlu di- revisi seperti yang dimaksudkan Undang undang No. 35 Tahun 2008 tentang perubahan undang undang No. 21 Ta- hun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua; Seluruh proses Pemilukada Kabupaten/kota se-Papua dihentikan; Para gubernur, DPRP dan DPRD Papua Barat, para Bupati, Wali Kota, dan DPRD kabupaten/kota se-Tanah Papua, segera hentikan penyaluran dana bagi penyelenggaraan Pilkada; Pemerintah NKRI di pusat dan daerah, segera hentikan program transmigrasi dan perketat pengawasan terhadap arus migrasi ke Tanah Papua; Segera membebas- kan seluruh Tapol/Napol Papua tanpa syarat; Segera Laku- kan Demiliterisasi di Tanah Papua; dan Segera tutup P.T Freeport. Hal ini membuktikan bahwa masa kekuasaan Almar- hum Jap. Salosa maupun Barnabas Suebu tidak mampu menerapkan dan menjalankan OTSUS yang menurut Ja- Otonomi Khusus (OTSUS) Kacau Balau”….Itulah ungka- pan yang dikeluarkan Oleh Gubernur Barnabas Suebu pasca menduduki Tahta Pe- merintahan Propinsi Papua. Itu artinya selama masa kekuasaan Gubernur sebelumnya (Almarhum J.P Salossa) tidak mampu merumuskan strategi penerapan Otonomi khusus yang diberikan sebagai jalan tengah meredam Aspirasi Mer- deka yang diinginkan oleh se- luruh rakyat Papua. Perdebatan tentang Otsus sampai saat ini masih terjadi misalnya pada tahun 2005 dengan ribuan ke- kuatan Rakyat bersama Dewan Adat Papua mengembalikan Otsus dan menuntut Referendum. Bahkan di bulan Juli 2010, musyawarah besar rakyat di Majelis Rakyat Papua menyatakan dengan tegas, bahwa OTSUS gagal total karena tidak mampu menjawab tingkat kesejahteraan baik pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan infrastruktur, tidak adanya aturan-aturan hukum daerah ( Peraturan Daerah Khusus), tidak berfungsinya 4 pilar OTSUS (Majelis Rakyat Papua, komisi hukum Ad Hoc, Komisi Kebenaran dan Rekonsliasi, Kantor perwakilan Komisi Hak Asasi Manusia, sehingga hasil Mubes Rakyat Papua mengeluarkan 11 rekomendasi tuntutan Rakyat Papua di- antaranya; Undang-undang otonomi Khusus No. 21/2001 dikembalikan kepada Pemerintah NKRI; Segera dilakukan dialog antara Bangsa Papua dengan Pemerintah NKRI yang dimediasi pihak Internasional yang netral; Segera lakukan referendum bagi penentuan nasib Rakyat Papua; Pemerintah NKRI mengakui dan kembalikan kedaulatan Rakyat-Bangsa Papua sesuai proklamasi 1 Desember Foto: Nasta Aksi mengembalikan Otonomi khusus 8 Juli 2010

Transcript of Buletin Wene Edisi 4 New

MIMPI PANJANG PENDERITAAN RAKYAT PAPUA

OTONOMI “KHUSUS BUAT BIROKRASI PEMERINTAH NKRI”

Website: www.gardapapua.org, Blog. www.gardapapua.blogspot.com, Email: [email protected]

Edisi: 04 Sept-Okto 2010

BERANI , CERDAS & MEMIHAK RAKYAT

BuletinWene

Harga Cetak : 6000

1961; Mendesak dunia Internasional untuk berlakukan em-

bargo dalam pelaksanaan OTSUS; OTSUS tidak perlu di-

revisi seperti yang dimaksudkan Undang undang No. 35

Tahun 2008 tentang perubahan undang undang No. 21 Ta-

hun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua; Seluruh proses

Pemilukada Kabupaten/kota se-Papua dihentikan; Para

gubernur, DPRP dan DPRD Papua Barat, para Bupati,

Wali Kota, dan DPRD kabupaten/kota se-Tanah Papua,

segera hentikan penyaluran dana bagi penyelenggaraan

Pilkada; Pemerintah NKRI di pusat dan daerah, segera

hentikan program transmigrasi dan perketat pengawasan

terhadap arus migrasi ke Tanah Papua; Segera membebas-

kan seluruh Tapol/Napol Papua tanpa syarat; Segera Laku-

kan Demiliterisasi di Tanah Papua; dan Segera tutup P.T

Freeport.

Hal ini membuktikan bahwa masa kekuasaan Almar-

hum Jap. Salosa maupun Barnabas Suebu tidak mampu

menerapkan dan menjalankan OTSUS yang menurut Ja-

“Otonomi Khusus (OTSUS)

Kacau Balau”….Itulah ungka-

pan yang dikeluarkan Oleh

Gubernur Barnabas Suebu

pasca menduduki Tahta Pe-

merintahan Propinsi Papua. Itu

artinya selama masa kekuasaan

Gubernur sebelumnya

(Almarhum J.P Salossa) tidak

mampu merumuskan strategi

penerapan Otonomi khusus

yang diberikan sebagai jalan

tengah meredam Aspirasi Mer-

deka yang diinginkan oleh se-

luruh rakyat Papua. Perdebatan

tentang Otsus sampai saat ini

masih terjadi misalnya pada

tahun 2005 dengan ribuan ke-

kuatan Rakyat bersama Dewan

Adat Papua mengembalikan

Otsus dan menuntut Referendum. Bahkan di bulan Juli

2010, musyawarah besar rakyat di Majelis Rakyat Papua

menyatakan dengan tegas, bahwa OTSUS gagal total

karena tidak mampu menjawab tingkat kesejahteraan baik

pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan infrastruktur,

tidak adanya aturan-aturan hukum daerah ( Peraturan

Daerah Khusus), tidak berfungsinya 4 pilar OTSUS

(Majelis Rakyat Papua, komisi hukum Ad Hoc, Komisi

Kebenaran dan Rekonsliasi, Kantor perwakilan Komisi

Hak Asasi Manusia, sehingga hasil Mubes Rakyat Papua

mengeluarkan 11 rekomendasi tuntutan Rakyat Papua di-

antaranya; Undang-undang otonomi Khusus No. 21/2001

dikembalikan kepada Pemerintah NKRI; Segera dilakukan

dialog antara Bangsa Papua dengan Pemerintah NKRI

yang dimediasi pihak Internasional yang netral; Segera

lakukan referendum bagi penentuan nasib Rakyat Papua;

Pemerintah NKRI mengakui dan kembalikan kedaulatan

Rakyat-Bangsa Papua sesuai proklamasi 1 Desember

Foto: Nasta Aksi mengembalikan Otonomi khusus 8 Juli 2010

FOKUS 2

karta mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh

Rakyat Papua.

Ingatan Rakyat Papua Terhadap Sejarah Peradaban

dan Perjuangan

Dahulu Papua merupakan daerah yang tidak tersen-

tuh dari kepentingan bangsa-bangsa lain di dunia, aktivi-

tas kehidupan setiap suku-suku tetap berjalan dari tahun

ke tahun dengan perkembangan peradabannya. Sebelum

kedatangan bangsa-bangsa Eropa, pedagang-pedagang

Majapahit, Cina, Gujarat dan India lebih dulu singgah di

Papua. Bangsa Eropa yang pertama singgah di Papua

adalah bangsa Portugis yang kemudian disusul oleh

Spanyol, Inggris, dan Belanda. Ada perubahan yang ce-

pat ketika mulai tersentuh dengan bangsa lain seperti ,

Portugis, Spanyol, Inggris dan melalui Misionaris dari

Jerman Ottow dan Geisler di tahun 1855 memasuki

wilayah perairan Teluk Cenderawasih tepatnya di pulau

Mansinam Manokwari. Di wilayah selatan menurut

peneliti berkebangsaan Inggris, Thomas W. Arnold,

agama Islam sudah ada pada abad XVI melalui kesul-

tanan Bacan sekitar tahun 1520 an. Menurut DR. FC.

Kamma wilayah daerah Teluk Cenderawasih merupakan

daerah pertukaran/barter kebutuhan-kebutuhan ekonomi,

bahkan sebelum Ottow dan Geisler memasuki wilayah itu

di tahun 1814 Sultan Dayghton dari Celebes (Makassar)

sudah terlebih dahulu menjajaki daerah tersebut.

Pada 24 Agustus 1828 secara resmi Belanda

mengumumkan kekuasaannya atas daerah Papua Barat

dan meresmikan benteng Du Bus di kampung Lobo,

Teluk Triton (Kaimana-Fakfak) sebagai symbol

kekuasaan atas pulau Papua atau Nieuw Guinea.

Selanjutnya pos-pos pemerintah Belanda didirikan di

Manokwari dan Fak-fak pada tahun 1898 dan Merauke

pada tahun 1910-setelah muncul sengketa dengan Inggris,

Merauke merupakan daerah perbatasan dengan wilayah

kekuasaan Inggris ( PNG)-, tahun 1904 diteluk Humboldt

dibangun juga pos pemerintahan tepatnya di

perkampungan yang dinamakan Hollandia, yang

sekarang di kenal dengan Jayapura.

Kepentingan Ekonomi Internasional Di Papua

Pada awal abad 1900-an, Belanda mulai membuka

perkebunan-perkebunan, Tahun 1935, perusahaan-

perusahaan besar Belanda dan Inggris menggabungkan

modal mereka dan mendirikan Perusahaan Nederlandsch

Niuw-Guinnee Petroleum Mattschappij (NNGPM)

bertujuan untuk melakukan eksplorasi untuk mencari

sumber-sumber minyak dan kandungan mineral di

wilayah Papua – sebelumnya (tahun 1907) perusahaan

Ada Apa Dengan OTSUS

Perasaan sebagai ras Melanesia dan mendirikan se-

buah bangsa adalah cita-cita yang gagal di masa lalu. Pe-

merintah Indonesia dengan menganeksasi Papua ke dalam

NKRI dengan cara yang tidak jujur dan pembohongan.

Ada pembohongan dalam sejarah artinya, menurut rakyat

Papua pemerintah tidak memiliki niat yang baik. Pemerin-

tah Indonesia masih menganggap rakyat Papua bodoh, se-

hingga dengan modal internasional mereka mengambil se-

mua kekayaan alam dengan leluasa. Jumlah Rakyat Papua

semakin berkurang, akibat kekerasan Negara, semua

kekerasan dan ketidakadilan menjadi luka masa lalu yang

tidak pernah sembuh dan semakin membengkak dan

akhirnya kesadaran rakyat tumbuh dan melakukan perla-

wanan secara damai maupun dengan taktik gerilya.

Undang-undang No. 21, Tahun 2010 tentang Otonomi

khusus bagi Papua adalah salah satu taktik mematikan isu

Papua merdeka yang semakin memuncak dengan cepat.

Tetapi apa yang terjadi? Keseriusan pemerintah untuk me-

lasanakan otonomi khusus belum terwujud.

Persoalan masa lalu yang belum diselesaikan, ditam-

bah lagi dengan berbagai kegagalan dalam pembangun

manusia Papua, pemberdayaan, perlindungan dan keberpi-

hakan dalam kerangka Otonomi khusus adalah bukti dari

kebohongan masa lalu dan meyakinkan rakyat Papua untuk

berdaulat. Jika otsus dikatakan gagal, apa solusi lain? Bagi

rakyat Papua kepercayaan itu sudah tidak, ada satu-satunya

jalan menyembuhkan luka adalah berdaulat dan Mer-

deka.***

Wene adalah sebuah kata dalam bahasa suku Dani, Nduga dan beberapa suku serumpun, yang artinya

bicara atau khabar. Melalui buletin Wene, kita bicara tentang masalah yang kita hadapi, jati diri kita, dan

bicara tentang apa kerja kita

Dewan Redaksi: Anggota KPP, Pemimpin Redaksi: Saren Reporter: Saren, Nasta, Smadav, Isen, Kahar, Manwen, Eflin, Sasori86, Mios, Max Manus, Bovit, Ronda, Bikar, Kombo, dan Ramos. Distributor: Komite Pimpinan Kota dan Tong Semua.

E - m a i l : b u l e t i n w e n e @ g m a i l . c o m . W e b s i t e :

www.gardapapua.org Blog. http://gardapapua.blogspot.com.

EDITORIAL

FOKUS 3

pertambangan minyak Royal Duutch Shell telah di bentuk

namun tidak maksimal. Perusahaan-perusahaan swasta

besar yang menanamkan modal dalam NNGPM adalah

Bataafsche Pasific Petroleum Maatschappij, Standard

vacuum Oil Company, dan Nederlandsche Pasific

Proteleum Maatschappij, dengan masing-masing memiliki

saham 40%.

Dari pemerintah Belanda, NNGPM memperoleh hak atas

daerah konsensi seluas 10.0000.000 hektar, yakni seluruh

daerah kepala burung atau 1/3 daerah Papua. Ini sebagai

konsensi pemerintah Belanda terhadap perusahaan swasta.

NNGPM mendirikan pangkalan-pangkalan pesawat

terbang amfibi sikosky di daerah Tanah Merah dan

Ayamaru, guna kepentingan meneliti potensi lainnya dari

udara. Hasil penelitian memperlihatkan adanya sumber-

sumber minyak dan sumber mineral lain, sehingga tahun

1935 mulai diadakan penggalian percobaan di daerah

pedalaman kepala burung (Sorong dan Teluk Bintuni).

Dari hasil perkembangan industri minyak yang semakin

luas tersebut, dapat membiayai penelitian ilmiah dan

mendatangkan para ilmuwan dari luar yaitu ahli zoology,

botani, kehutanan, geologi, geografi dan antropologi untuk

mengeksplorasi lebih luas lagi dan mencari potensi

mineral. Salah satu ekspedisi eksplorasi tersebut yakni

dengan melakukan pendakian ke gunung Cartenz dan

Eksberg, yang sekarang menjadi tempat beroperasinya

pengembangan tembaga berskala besar (P.T Freeport),

eksplorasi ini juga sekaligus mengembangkan peta Papua.

Namun semua usaha perekomomian terhenti karena

perang Pasifik, mengakibatkan perkembangan modal di

Papua pun jadi terhambat. Sejak kepergian Belanda dari

Papua pada tahun 1962 dan masuknya Indonesia pada Mei

1963 tidak banyak perubahan yang terjadi. Pemerintah

Indonesia hanya melanjutkan apa yang sudah dikerjakan

Belanda, yaitu mengatur administrasi pemerintahannya di

Papua, membangun sekolah-sekolah yang sebagian besar

hanya mampu diisi oleh penduduk pendatang yang tinggal

di Papua, dan kesehatan yaitu mengambil alih tugas-tugas

pengelolaan rumah sakit dan puskesmas peninggalan

Belanda. Pada waktu itu semua pegawai pemerintahan

diganti dengan orang-orang Indonesia. Arus migran dari

Indonesia pun makin kencang, baik yang didatangkan atas

rencana pemerintah maupun sebagai migran spontan.

Selain sebagai pegawai pemerintah mereka juga berprofesi

sebagi pedagang dan petani, yang lebih maju dari

masyarakat Papua.

Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Papua

Di masa pemerintahan Soekarno, kepentingan modal

internasional sangat terganggu dengan menguatnya Partai

Komunis Indonesia,. Situasi ini menjadi penghalang bagi

masuknya modal di Indonesia, maka tidak ada jalan lain

kecuali kekuatan penghalang itu harus di hancurkan, maka

dicarilah sekutu sekaligus agen yang akan melaksanakan

tugasnya tersebut, dipilihlah militer sebagai sekutu dan

agennya. Terjadilah pergantian kekuasaan di Indonesia

pada tahun 1965, naiklah sang diktaktor Soeharto me-

wakili kekuatan militer yang menjadi agen dari modal

Internasioanal. Setelah tumbangnya Sukarno, babak baru

eksploitasi dan membuat kesepakatan untuk perputaran

modal internasional maka dengan kekuatan militer me-

represif dan memanipulasi PEPERA Tahun 1969.

Perlahan dibawah Orde Baru (Orba), Indonesia mema-

suki era keterbukaan terhadap modal Internasional. UU

Penanaman Modal Asing (PMA) dengan mudah diundang-

kan oleh Soeharto pada tahun 1967. Mulailah aliran dana

luar negeri diinvestasikan di Papua. PT.Freeport berdiri,

mengeruk kekayaan alam Papua, dan berbagai macam pe-

rusahaan nasional maupun asing lainnya. Juga lembaga-

lembaga Internasional (seperti IMF dan Bank Dunia) yang

dikendalikan para pemilik modal besar Amerika Serikat

dan sekutunya mulai mengatur ekonomi Indonesia dalam

sebuah kerangka ekonomi liberal “pembangunanisme”.

Papua memasuki era baru, neo-kolonialisme ( Penjajahan

baru di bidang ekonomi ) dengan kepanjangan tangannya

Orde baru.

Bersama kekuatan militer, Orde Baru mengambil alih

semua perusahaan-perusahaan asing di Papua ke tangan

militer dan pengusaha-pengusaha dari birokrasi. – hak erf-

pacht (Guna Usaha) perusahaan dialihkan ke militer,

perkebunan milik negara, militer, dan swasta di kontrol

oleh jaringan keluarga Soeharto. Sekarang Papua telah

menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem

Foto: Sasory 86

FOKUS 4

perekonomian modal internasional yang diorientasikan

pada ekspor sehingga bergantung pada bidang ekstraktif

dan pertanian.

Reformasi Tahun 1998 dan Jalan Tengah OTSUS.

Rezim Suharto – Habibie (1997 – 1998) memang terk-

enal otoriter dan diwarnai dengan sistem kekeluargaan

yang kental, hal ini menghambat akumulasi (perputaran)

modal dan investasi asing. Bisa dikatakan bahwa se-

benarnya kepentingan modal internasional tidak terlalu

peduli dengan sistem pemerintahan yang otoriter atau se-

banyak apa rakyat Indonesia dibantai pada masa itu,

karena yang lebih penting bagi pihak internasional adalah

terciptanya kondisi yang stabil dan aman bagi uang atau

investasi modal dengan hasil yang memuaskan bagi

mereka. Pada masa rezim ini, tak ada satu tokoh politik-

pun yang berani melawan Suharto karena kuatnya struktur

penindasan Suharto lewat Golkar dan Dwi Fungsi ABRI.

Pemerintahan yang korup, tingginya tingkat inflasi,

bangkrutnya sektor riil akibat krisis ekonomi, dan

kekerasan negara memunculkan gelombang perlawanan

rakyat yang kemudian berkembang menjadi lebih politis

dan meluas dengan melibatkan mahasiswa. Gerakan terse-

but berhasil menumbangkan Suharto yang berkuasa ham-

pir 32 tahun lamanya. Hal tersebut kemudian memaksa

Suharto meletakkan jabatannya dan menyerahkan kursi

Kepresidenan kepada wakilnya B. J Habibie pada bulan

Mei 1998.

Ditengah kuatnya kekuatan modal internasional, maka

pemerintah Indonesia lebih memilih untuk melakukan Lib-

eralisasi ( perdagangan bebas) terhadap sektor ekonomi

dimana kekuasaan ekonomi tidak lagi berada ditangan Su-

harto dan kroninya tetapi harus bebas kepada semua ke-

kuatan elit-elit pemilik modal nasional. Pada masa-masa

awal reformasi tersebut, partisipasi politik rakyat sangat

tinggi dan banyak organsisasi yang muncul bagai jamur

dimusim hujan serta banyak demonstrasi yang dilakukan

dengan tuntutan yang berbeda-beda.

Sesuai dengan tututan kepentingan modal internasional,

maka wacana Otonomi Daerah mulai di bahas seiring den-

gan ketidakpuasan beberapa daerah di Indonesia dan an-

caman 3 daerah (Aceh, Timor-Timur, dan Irian Jaya) un-

tuk melepaskan diri dari NKRI. Hal tersebut mengha-

ruskan Habibie membuat regulasi tentang Otonomi Daerah

lewat UU No 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan

UU No 25/1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pemer-

intah Pusat dan Daerah. Pada masa inilah, Habibie ke-

mudian menawarkan opsi Otonomi Khusus atau Referen-

dum bagi Timor-Timur. Sedangkan untuk Irian Jaya,

Habibie dan DPR RI menetapkan UU No 45/1999 tentang

Pemekaran Wilayah Irian Jaya yaitu propinsi Irian Jaya

Barat, Irian Jaya Tengah, Kabupaten Paniai, Mimika, Pun-

cak Jaya dan Kota Sorong. Kebijakan ini kemudian di-

kuatkan lagi dengan penunjukan pejabat Gubernur yaitu

Herman Monim (Irja Tengah), dan Abraham O. Atururi

sebagai Gubernur Irjabar lewat Kepres RI No 327/M/1999

tertanggal 5 Oktober 1999. Kemudian pada tanggal 19

Oktober 1999, Sidang Umum MPR RI mengeluarkan

ketetapan MPR RI No IV/MPR/1999 untuk mendukung

penetapan pemberlakuan Otonomi Khusus dalam ker-

angka NKRI yang diikuti dengan langkah-langkah strate-

gis yaitu penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui

proses pengadilan yang adil dan jujur.

Setelah turunnya Habibie dari tampuk pemerintahan, ia

digantikan oleh rezim yang terdiri dari para tokoh Cianjur

yaitu Gus Dur – Mega (2000 – 2001). Mengikuti langkah

pemimpin terdahulu (Habibie), Gus Dur yang juga salah

satu tokoh reformasi melakukan perbaikan dengan menge-

luarkan kebijakan yang memberi ruang pada terciptanya

sistem pemerintahan yang demokratis dan memihak rakyat

namun tetap melaksanakan agenda Liberalisasi ekonomi.

Namun usaha perbaikan kearah lebih demokratis tersebut

mendapat tantangan disebabkan terjadinya perpecahan

diantara para tokoh reformasi tersebut melawan kekuatan

lama yang membacking Suharto yaitu Golkar dan ABRI.

Pada masa Gus Dur, wacana Otonomi Khusus tersebut

mulai digarap lebih serius bersama Pemerintah Irian Jaya.

Salah satunya adalah mengubah nama Irian Jaya menjadi

Papua, selain itu mendorong pembuatan draf Undang-

Undang Otonomi Khusus yang melibatkan kalangan

akademisi Universitas Cenderawasih dan Universitas

Papua serta penyelenggaraan Musyawarah Besar Rakyat

Papua.

Bentuk Front

Persatuan Untuk Pembebasan

Nasional

Foto:Tiruan

FOKUS 5

Usaha dan niat baik Gus Dur dan unsur-unsur demok-

ratik itu mendapat tantangan yang kuat. Gus Dur mulai

dituduh sehubungan dengan Dana Bantuan Sultan Brunei,

kasus Bulog, dan kasus separatisme (terselenggaranya

Kongres Rakyat Papua II). Hambatan-hambatan tersebut

memuncak dengan dilakukannya Sidang Istimewah MPR

pada tanggal 23 Juli 2001 yang kemudian me-

mutuskan untuk menurunkan Gus Dur dari

kursi kepresidenan dan menggantikannya

dengan wakilnya saat itu, Megawati Sukarno

Putri. Turunnya Gus Dur dari kursi kepresi-

denan menunjukkan kekalahan unsur-unsur

demokratik dan kemenangan dipihak unsur

ultranasionalis yang diwakili oleh Megawati,

dan PDI-P, serta poros tengah Amien Rais dan

partai-partai pendukungnya.

Rezim Megawati yang dikenal dengan

Mega – Haz memang agak berbeda

wataknya karena lebih bersifat ultra-

nasionalis (sangat nasionalis). Kom-

posisi rezim Mega – Haz merupakan

komposisi pemerintahan yang baik

sekali bagi kekuatan pendukung Su-

harto yaitu TNI/POLRI dan Golkar.

Wacana dan draft RUU Otonomi

Daerah yang digarap oleh Pemda Papua dan Akademisi

Universitas Cenderawasih dan Universitas Papua tersebut

kemudian disahkan oleh DPR RI menjadi UU Otsus Papua

yang telah diedit dan dimodifikasi sesuai keinginan Pe-

merintah pada tanggal 22 Oktober 2001.

Sikap setengah hati dari Megawati ditunjukan dengan

dikeluarkan Instruksi Presiden (INPRES) no. 1/2003 un-

tuk percepatan Implementasi UU no. 45/ 1999 tetang Pe-

mekaran Papua menjadi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Ten-

gah, dan kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya dan

pembentukan kota sorong. Inpres tersebut sangat berten-

tangan UU.No.21/2001 tentang OTSUS yang telah di un-

dangkan.

Dimasa Rezim Susilo Bambang Yudhoyono-Yusup

Kalla, sistem pemilihan secara langsung oleh seluruh

rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan ada ruang de-

mokrasi yang melibatkan rakyat di dalam perpolitikan na-

sional. Rakyat Indonesia membutuhkan perubahan men-

dasar pada kehidupan bangsa yang lebih baik dari pemim-

pin-pemimpin rezim sebelumnya. Kemenangan SBY-JK

melalui partai Demokrat ini menunjukkan bahwa rakyat

sudah jenuh dan protes kepada partai berkuasa sebelum-

nya yakni PDI-P dan GOLKAR

Namun Rakyat Indonesia mulai hilang harapan, karena

pemerintah SBY-Kalla masih menerapkan system eko-

nomi yang sama dengan pemerintahan sebelumnya antara

lain membuat kebijakan-kebijakan sesuai dengan

pesananan modal internasional, sehingga aturan-aturan

hukum-hukum yang menjadi dasar pelaksanaan kebikaja-

kan baik pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat masih

berpihak kepada modal internasional.

Untuk masalah Papua SBY-JK berkomitmen

dalam programnya untuk melaksanankan UU

No. 21/2001 secara utuh dan konsekuen, se-

hingga mengeluarkan keputusan pemerintah

No.54/2004 tentang MRP. Aturan ini menga-

tur secara khusus tentang prosedur pemilihan

dan komposisi anggota MRP. Namun dalam pe-

laksanaanya MRP tidak mempunyai fungsi yang

jelas untuk mengontrol kebijakan bagi kepentingan

masyarakat adat, perempuan dan agama. MRP

hanya di jadikan simbol untuk memenuhi

amanat UU. Otsus no.21 tahun 2001

dan meredam tuntutan rakyat Papua

yang semakin tidak percaya dengan

keberadaan OTSUS .

SBY justru membuat kebijakan-

kebijakan yang sangat kontaproduktif

dengan mengembangkan berbagai

pemekaran di kabupaten-kabupaten

baru tanpa melalui mekanisme MRP dan DPRP yang jelas

melanggar dan bertentangan dengan UU OTSUS. Ke-

luarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

(Perpu) no. 1/2008 tentang perubahan UU. No.21 tahun

2001 yang kemudian diterapkan menjadi UU. No. 35/2008

untuk mengakomodir Propinsi illegal, Irian Jaya Barat

menjadi Papua Barat dan Irian Jaya menjadi Papua tanpa

melewati mekanisme MRP dan DPRP tetapi melalui kepu-

tusan sepihak pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan

Rakyat Indonesia . Hal ini membuktikan SBY sangat tidak

serius dan kebijakan yang dibuat sangat politis untuk

memikikan integritas NKRI sehingga kesejahteraan rakyat

yang terakomodir dalam UU.21/2001 di khianati. Saat ini

muncul wacana dan perdebatan terhadap pembentukan

MRP Papua Barat, DPR Papua Barat, dan legitimasi pera-

turan daerah khusus yang berlaku untuk 2 propinsi terse-

but.

Ingatan Sejarah Melandasi Semua Perlawanan Rakyat

Papua

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai

sejarahnya, dan jangan sekali-kali melupakan sejarah” itu-

lah beberapa pernyataan Soekarno untuk menghargai

proses perjuangan menuju cita-cita kemerdekaan Bangsa

Indonesia .

“Undang-undang otonomi Khusus No.

21/2001 dikembalikan kepada Pemer-

intah NKRI; Segera dilakukan dialog

antara Bangsa Papua dengan Pemer-

intah NKRI yang dimediasi pihak In-

ternasional yang netral; Segera laku-

kan referendum bagi penentuan na-

sib Rakyat Papua”

FOKUS 6

KETERPAKSAAN OTONOMI KHUSUS DI PAPUA

DPRP menjanjikan pada rakyat bahwa jawaban akan

diberikan 2 minggu kemudian.

Sesuai waktu yang telah disepakati, rakyat Papua kembali

melakukan long march menempuh jarak 24 km demi

memastikan DPRP melakukan sidang Paripurna sesuai

janji mereka, tepatnya pada tanggal 8 Juli 2010. Wakil

rakyat di DPRP tidak siap ketika rakyat datang menagih

janji mereka. Ternyata rakyat Papua ditipu oleh wakil

mereka yang duduk di DPRP, dan hal itu terlihat jelas dari

tindakan Ketua DPRP, John Ibo yang tidak berani muncul

di hadapan rakyatnya sendiri. Rakyat yang sudah bosan

ditipu mengambil sikap untuk bertahan dan menginap

dihalaman gedung rakyat untuk memastikan

dilaksanakannya sidang tersebut. Selama 10 tahun

Otonomi Khusus lembaga lainya yang merupakan pilar

utama, Otsus seperti yang diamanatkan dalam Peraturan

Perundang-undangan pasal 4 ayat 1, belum mampu

menjalankan kewenangannya secara maksimal terhadap

masyarakat Papua. Empat pilar tersebut yakni: Majelis

Rakyat Papua (MRP), lembaga kultural yang memainkan

peran pengawasan dan penyambung aspirasi penduduk asli

Papua, yang terdiri dari kalangan adat, agama, dan

Proses Sejarah peradaban dan perjuangan diatas mene-

gaskan dan meyakinkan tentang apa menjadi dasar ke-

kuatan-kekuatan perlawanan rakyat Papua terhadap setiap

rezim Pemerintah NKRI. Perjuangan Papua sampai saat

ini membuktikan komitmen rakyat untuk mengawal

bahkan menolak dengan tegas setiap aturan-aturan hukum

Pemerintah Pusat yang sangat tidak memihak dan memati-

kan perkembangan manusia Papua.

Otonomi Khusus yang diberikan kepada rakyat Papua

bukan karena niat baik pemerintah tetapi karena ada gera-

kan perlawanan secara terus menerus yang dilakukan oleh

rakyat dengan taruhan nyawa .

Ada penilaian positif Rakyat Papua terhadap Bangsa

Belanda, karena mereka mampu meningkatkan sumber

daya manusia (tenaga produktif), baik pendidikan, kese-

hatan, peningkatan taraf hidup, infrastruktur, dan mem-

bentuk nasionalisme Papua. Namun ketika tahun 1969

PEPERA dilaksanakan dengan manipulasi dan kekerasan

militer mengakibatkan trauma dan semakin hilang rasa

kepercayaan rakyat Papua. Pembantaian, pembunuhan

kilat, penghilangan nyawa secara paksa dan penculikan

merupakan kebijakan yang sampai saat ini masih dipakai

Pemerintah NKRI untuk meredam suara-suara kritis un-

tuk menuntut keadilan. Hal ini terjadi dalam setiap

peristiwa pelanggaran HAM (tahun 1963-tahun 2010 )

tidak ada satupun yang diselesaikan, sistem ekonomi di-

kuasai oleh para pendatang, pendidikan yang tidak

menghargai kebudayaan asli Papua, kesehatan yang jauh

dari teknologi, angka kematian yang tinggi, tersingkirnya

Masyarakat Adat, dan pembiaran kepentingan investasi

terhadap sumber daya alam secara legal maupun illegal.

Keberhasilan pembangunan yang selama ini dikampan-

yekan oleh Pemerintah Pusat ternyata cuma dirasakan para

birokrasi pemerintah Provinsi, Kabupaten, Distrik dan

Kampung, para elit birokrasi Papua semakin lupa diri dan

berfoya-foya dengan uang yang bertrilyun-trilyun tanpa

mengevaluasi kegagalan-kegagalan kebijakan yang me-

marginalnya masyarakat Papua secara sistematis.

Semua ini merupakan bentuk pejajahan yang sistematis

dari pemerintah NKRI sehingga solusi untuk menyelesai-

kan persoalan diatas adalah Persatuan gerakan untuk me-

majukan potensi perlawanan. Seluruh kelompok gerakan

perjuangan baik faksi-faksi, organisasi pemuda sudah saat-

nya untuk memikirkan dan membentuk pemerintahan

oposisi/komposisi nasional/dewan nasional/pemerintahan

persatuan/pemerintahan transisi ataupun apapun namanya

untuk menyatukan konsep gerakan dalam satu wadah yang

solid dan memiliki mekanisme kerja yang jelas serta mela-

kukan kerja-kerja yang terstruktur di basis Masyarakat

Adat sehingga menemukan budaya perlawanan yang baru

yaitu perlawanan rakyat yang sesuai dengan kondisi

masyarakat Adat Papua.. (Nasta)

Otonomi Khusus telah dikembalikan sebanyak dua

kali. Perlawanan rakyat tersebut pertama kali pada tanggal

12 Agustus 2005 yang dilakukan dibawah komando

Dewan Adat Papua (DAP) dan organisasi pergerakan

mahasiswa dalam satu aksi massa berjumlah kurang lebih

13.000 orang dengan mengusung keranda ‘peti mati’

sebagai simbol bahwa rakyat Papua mengembalikan Otsus

tersebut. Aksi dengan tema yang sama dilakukan lagi 5

tahun kemudian, tepatnya tanggal 18 Juni 2010. Aksi

tersebut dikoordinir oleh Forum Demokrasi Rakyat Papua

Bersatu (FORDEM), yang didukung oleh seluruh

komponen rakyat Papua dari berbagai elemen gerakan

perjuangan pembebasan Papua dengan membawa 11

rekomendasi hasil Musyawarah Besar bertujuan

mengevaluasi Otsus yang dilaksanakan selama 2 hari sejak

tanggal 9 – 10 Juni 2010. Dengan membawa rekomendasi

hasil keputusan Mubes tersebut, rakyat Papua melakukan

jalan kaki dari kantor MRP menuju kantor DPRP untuk

mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Papua melakukan

sidang Paripurna agar Otonomi Khusus dikembalikan

kepada Negara kesatuan Republik Indonesia. Saat itu

FOKUS 7

perempuan; Komisi Hukum Ad Hoc, yang berfungsi

sebagai badan penasehat bagi Dewan Perwakilan Rakyat

Papua (DPRP) dan MRP dalam menyusun Perdasus dan

Perdasi dalam kerangka implementasi Otsus;

Pembentukan Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia (KOMNAS HAM) dan Pengadilan Hak Asasi

Manusi, kedua lembaga yang berhubungan dengan

kebutuhan perlindungan dan kemajuan serta pemenuhan

HAM; Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan

Peradilan HAM. Secara politik lembaga ini ditujukan

untuk menjelaskan berbagai masalah kekerasan di

masa lalu dan mencari langkah – langkah

rekonsiliasi.

Coba kita lihat apa fungsi dari beberapa

lembaga yang sudah ada, seperti MRP yang

sayangnya selama 5 tahun berjalan tidak

mempunyai kapasitas untuk memutuskan dan

menolak segala kebijakan oleh DPRP,

Pemerintah Provinsi, apalagi Pemerintah

Pusat yang tidak berpihak pada orang asli

Papua. Dapat dilihat dalam hal SK MRP No

14/2009, memutuskan bahwa calon kepala

daerah walikota/wakil – wali kota serta

Bupati dan calon Bupati harus orang Asli

Papua. Pemerintah pusat sengaja dan tidak

serius memberikan ruang kepada MRP.

Sedangkan Komisi Nasional Hak

Asasi Manusia perwakilan Papua

sampai saat ini tidak ada kasus –

kasus pelanggaran HAM yang

tidak serius dalam melakukan

sesuai kewenangan yang

diberikan dari Jakarta, Mulai dari kasus Biak Berdarah

1998, Abepura 7 Desember 2000, Wasior 2001-2002,

Pembunuhan Theys Eluay (2001), Pembongkaran Gudang

Senjata 4 April 2003 di Wamena, Pembunuhan Opinus

Tabuni di Wamena saat hari Pribumi Internasional 2008,

Pemukulan tahanan politik Ferdinand Pakage 22

September 2008 oleh sipir penjara yang menyebabkan

mata sebelah kanan buta, pembunuhan Kelly Kwalik

(Desember 2009), Pembunuhan Yawan Wayeni,

Penangkapan Aktivis Papua dan beberapa kasus lainnya

yang belum terungkap. Lembaga ini sangat mandul dan

memalukan seluruh penegakan HAM di Papua karena

hanya menjadi tokoh pengamat HAM tanpa berbuat apa –

apa, termasuk pembebasan Tahanan Politik Papua. Untuk

lembaga lainnya belum ada sampai saat ini, artinya semua

baru sebatas janji.

Dana Otonomi Khusus yang diberikan berjumlah

besar namun dalam pelaksanaan tidak mampu

menyelesaikan persoalan kemiskinan masyarakat Asli

Papua hingga saat ini. Hal itu bisa terlihat dengan angka

pengangguran yang tinggi, dan buta aksara yang

meningkat. Berdasar data BPS tahun 2010, jumlah

penduduk Papua adalah sebesar 2.851.999, dari jumlah

tersebut jumlah penduduk Asli Papua adalah sebanyak

1.460.846 jiwa. Persentase jumlah penduduk miskin

provinsi Papua adalah sebesar 34,88% sedangkan Propinsi

Papua Barat adalah 36%. Jumlah persentase penduduk

miskin ini lebih tinggi dibandingkan dengan

provinsi lainnya di Indonesia, bahkan Papua

Barat berada pada peringkat teratas dengan

jumlah penduduk miskin paling tinggi.

Keadaan yang ironis ditengah kekayaan

alamnya yang melimpah ruah.

Otonomi Khusus juga belum mampu

meningkatkan kesejahteraan

masyarakat Papua lewat 4 (empat)

program utama Otonomi Khusus

yaitu: pendidikan, kesehatan,

pemberdayaan ekonomi rakyat, dan

pembangunan infrastruktur.

Dalam sektor kesehatan, rakyat

Papua selalu mengeluh tentang

biaya kesehatan yang tidak mampu

mereka jangkau walaupun sudah

menggunakan Jamkesmas

(jaminan kesehatan

masyarakat) yang dikuatkan

dengan Surat Keputusan

Gubernur Propinsi Papua No.

6/2009 tentang Pengobatan

Gratis bagi Rakyat Asli Papua melalui subsidi dana

OTSUS. Padahal dalam hasil analisis APBD Provinsi

Papua, alokasi dana untuk sektor kesehatan tahun 2009

adalah sebesar Rp. 295, 29 miliar (5,74 % dari APBD dan

11,31 % dari dana Otsus). Dari sisi persentasi, belum

memenuhi amanat UU Otsus karena sektor kesehatan

menjadi prioritas untuk didanai dengan dana Otsus. Akibat

alokasi dana yang minim maka banyak permasalahan

kesehatan di masyarakat diantaranya: tingkat kematian Ibu

dan anak yang tinggi (diperkirakan 578 ibu meninggal tiap

tahun), wabah penyakit seperti kolera, busung lapar,

penyakit malaria, muntaber atau semakin tingginya tingkat

penderita penyakit HIV/AIDS, ISPA, TBC dan penyakit

lainnya.

Contoh riil permasalahan kesehatan bisa diambil dari

pelayanan kesehatan yang ada di Jayapura, ibukota

provinsi Papua yang merupakan pusat pemerintahan,

sebagai tolak ukur baik buruknya pelayanan kesehatan. Di

Rumah Sakit Dok II; ada permasalahan tenaga medis serta

Foto:Sasory86

FOKUS 8

perawat yang minim dan tidak profesional, infrastruktur

pembangunannya buruk, keadaan lingkungan rumah sakit

yang kotor dan tak terurus, WC yang bau dan tidak bersih,

obat – obatan dan infus yang kurang, peralatan medis

belum terlalu lengkap dan memadai sehingga banyak

pasien yang masih harus dirujuk berobat keluar Papua,

bahkan pada tahun 2009 lalu ada banyak pasien yang

meninggal karena kurangnya persediaan bahan makanan.

Permasalahan yang sama juga terjadi di RS Abepura.

Masalah ketersediaan air bersih yang tidak memadai, WC

yang tidak dibersihkan sehingga menimbulkan aroma tak

sedap, saluran air yang jarang dibersihkan menyebabkan

bau tak sedap dan juga menjadi sarang nyamuk. I nilah

contoh kasus rumah sakit di Propinsi, apa lagi di daerah

dan kampung yang tentunya lebih parah dan terburuk.

Dalam bidang pendidikan, tingginya buta aksara pada

tahun 2005 mencapai 552.000 hingga 2009 mencapai

230.000 ini masih tergolong tinggi. Dengan APBD

Provinsi Papua tahun 2009 menyebutkan bahwa alokasi

anggaran pendidikan provinsi Papua tahun 2009 sebesar

Rp 242,06 miliar. Jumlah ini setara dengan 4,71 % dari

APBD atau 9,28 % dari dana otsus. Gubernur Propinsi

Papua mengeluarkan Keputusan No. 5/2009 tentang

Pendidikan Gratis bagi Orang Asli Papua melalui subsidi

dana OTSUS, Sampai saat ini orang tua dan mahasiswa

masih mengeluh dengan biaya pendidikan yang sangat

tinggi. Pendidikan di Universitas Cenderawasih dengan

memiliki dosen yang tidak profesional (lebih banyak

mengurus proyek dan sering bolos jam mengajar) , sistem

informasi manajamen mahasiswa masih menggunakan

teknologi yang minim, laboraturium dengan perlengkapan

yang tidak lengkap , dalam fakultas yang utama misalkan

kedokteran, alat – alat praktek yang tidak lengkap, tenaga

pengajar yang kurang dan tidak berkualitas. Pendidikan di

Universitas Sains dan Teknologi di Jayapura, masih

memiliki tenaga pengajar yang honorer, WC umum masih

menggunakan milik masyarakat sekitar, perpustakaan yang

tidak mempunyai buku- buku yang bermutu. Seharusnya

diera otonomi khusus yang pendidikan harus gratis dari

SD, SMP, SMA , dan Strata – 1 bagi generasi penerus

orang asli Papua. Terutama bagi Universitas Cenderawasih

dengan teknologi yang makin canggih, pemerintah

provinsi mampu menyediakan fasilitas internet gratis.

Dana pendidikan itu lebih banyak dipakai institusi

pendidikan lebih membangun fisiknya saja, sedangkan

membangun mahasiswanya tidak.

Dalam segi ekonomi rakyat , dengan menjamurnya

ruko – ruko dan mall yang hanya dimiliki penuh oleh

kaum pemodal di seluruh Papua membuat penduduk asli

terpinggirkan. Terutama masyarakat adat, untuk mama –

mama pedagang Asli Papua, di Provinsi saja mama –

mama belum mendapat fasilitas pasar dan masih

beralaskan karung diatas tanah sendiri. Di sektor nelayan

banyak orang pendatang yang mengusai ekonomi pasar,

bahkan nelayan orang asli Papua tidak mendapat tempat

dalam membangun perekonomian di Papua. Dalam

tingkatan penerimaan pegawai negeri sipil dan pegawai

BUMN (PT. Telkom, Bank BRI, Bank Papua, Bank

Mandiri, PERTAMINA, PLN, PDAM, PT. POS) dan

Sektor usaha kecil menengah, orang asli Papua tidak

dipioritaskan dan banyak proyek – proyek pemerintah

yang diambil oleh kaum pendatang.

Untuk skala pembangunan Infrastruktur di Papua ,

dipioritaskan untuk pelayanan publik (masyarakat).

pembangunan rumah sakit, mencakup ruangan-ruangan

bagi pasien yang mencukupi, kebersihan dengan sistem

lingkungan sehat, air bersih bagi pasien, listrik tidak

pernah padam. Untuk jalan raya, di provinsi saja masih

terlihat sampah – sampah beserakan dan menyebabkan

banjir jika hujan deras, dengan dana otsus yang lebih

seharusnya tata ruang kota diperhatikan. Untuk

transportasi, membuka akses jalan ke beberapa kampung

yang belum tersentuh terutama untuk jembatan

penghubung. Seharusnya pemerintah provinsi

menyediakan subsidi untuk transportasi laut, udara, dan

darat agar harganya terjangkau.

Khusus untuk petani tradisional, hal-hal yang perlu

mendapat prioritas adalah: para petani tradisional Papua

harus didorong menjadi petani modern dengan difasilitasi

modal dan teknologi ramah lingkungan; petani di perko-

taan yang tidak memiliki tanah (hanya menggarap tanah

orang lain) harus diberikan kemudahan untuk memiliki

tanah, baik tanah garapan tersebut atau tanah subur yang

lain; mengantisipasi penjualan lahan-lahan subur untuk

keperluan selain pertanian rakyat; menitikberatkan

program pertanian pada hasil pangan dengan tidak

Pendidikan dan Kesehatan

Gratis Bagi Rakyat Papua

Dok: Telapak

FOKUS 9

terfokus pada satu jenis hasil pangan saja, dan bukan

sebaliknya dititikberatkan pada hasil industri; akses bagi

pasar pun harus dibangun dengan mempertahankan

proteksi-proteksi tertentu karena pertimbangan

kemampuan bersaing.

Bagi para peramu, pemerintah berkewajiban untuk

melindungi hak-hak masyarakat peramu, termasuk dusun

sagu dan hutan adat tempat mereka berburu dan lainnya.

Perlindungan terhadap tindakan yang berefek pada

terputusnya mereka dari sumber kehidupan dengan cara

pengembangan kota atau wilayah konsensi pertambangan,

tindakan-tindakan yang berefek pada pencemaran

lingkungan dan persempitan ruang gerak masyarakat

peramu. mendorong mereka berkembang secara dinamis

dengan cara-cara yang alami atau wajar dan manusiawi.

Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

harus melakukan kewajiban membebaskan pendidikan dan

pastikan rakyat Papua menikmati pendidikan formal

minimal setingkat sarjana, bangun sekolah-sekolah khusus

berasrama bagi orang Papua dengan fasilitas dan kualitas

tinggi – tingkat dasar di tiap kampung minimal satu buah,

tingkat menengah di tiap kecamatan minimal dua buah,

dan tingkat atas dan Sekolah kejuruan di tiap kabupaten

minimal masing-masing satu buah dan setiap tahun

minimal sepuluh orang di sekolahkan untuk mengambil

master, dan sepuluh untuk mengambil gelar Doktor di

luar negeri dengan tanggungan sepenuhnya oleh

pemerintah.

Ada beberapa kewajibam pemerintah yang harus

memenuhi bagi rakyat adalah: Membebaskan seluruh

biaya kesehatan bagi rakyat Papua, menyediakan sembilan

bahan pokok yang murah, air bersih dan energi, seperti

listrik yang murah dan tidak mengalami pemadaman terus

– menerus, fasilitas publik yang menunjang produktivitas

rakyat Papua misalnya, pasar tradisonal bagi mama-mama

pedagang Papua, memberikan perumahan murah dan

layak huni bagi rakyat Papua, membuka lapangan

pekerjaan dan memberikan peluang bagi orang asli Papua,

memajukan tenaga produktif orang asli Papua, Memban-

gun koperasi-koperasi khusus bagi orang asli Papua dan

melakukan pembatasan terhadap migrasi penduduk dari

luar Papua ke tanah Papua.

Apa yang harus dilakukan Gerakan Perlawanan di

Papua ?

Gerakan perlawanan harus membangun alat/lembaga

politik dan pemerintahanya sendiri, diluar semua alat/

lembaga politik milik NKRI. Kita bisa lihat beberapa

contoh: CNRT di Timor Leste, PLO di Palestina, PAIGC

di Guinea Bisau. Kalau di Papua misalkan: Dewan

nasional/komposisi nasional atau pemerintahan persatuan.

Gerakan Perlawanan/Organisasi Perjuangan harus

mengajak rakyat Papua untuk berorganisasi dan

membentuk front persatuan ditiap – tiap sektor ekonomi

rakyat.

Gerakan Perlawanan/Organisasi Perjuangan

sekarang harus membangun kesadaran politik kepada

rakyat Papua, mandiri secara ekonomi dan tidak bersandar

terhadap lobi – lobi internasional yang selalu

menggantungkan perjuangan di luar negeri, tetapi harus

membangun basis – basis perlawanan rakyat yang kuat

didalam negeri.

Pemerintahan seluruh rakyat Papua inilah yang ke-

mudian menjadi alat perjuangan seluruh rakyat Papua un-

tuk mewujudkan cita-cita Merdeka dan sekaligus menjadi

bukti kesanggupan kita, untuk memimpin dan memerintah

diri sendiri di atas tanah leluhur. Oleh karena itu, istilah

„‟pembangunan‟‟ tidak lagi menjadi istilah yang

mengungkapkan kerinduan rakyat, tetapi sudah menjadi

milik kaum penindas dan penguasa untuk membenarkan

praktek penindasannya. Istilah yang cocok untuk rakyat

yang tertindas adalah „‟PEMBEBASAN‟‟.(Manwen/

Sasori86)

Lindungi Hutan

dan Dusun Adat

Dari Investasi

Foto: Telapak

ARAH JUANG 10

Papua dan Kedudukan Negara Sebagai Subjek Hu-

kum Internasional

Kita tidak asing lagi dengan kata internasional. Kata

ini sangat akrab di telinga orang Papua. Karena ketika bi-

cara tentang kemerdekaan Papua, yang muncul di kepala

sebagian masyarakat Papua ialah Persatuan Bangsa-

Bangsa (PBB), dukungan internasional, masyarakat inter-

nasional: Belanda, Amerika Serikat, Vanuatu, Autralia,

dll. Kalau begitu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan

kata internasional? Kata internasional berasal dari dua

suku kata yang di gabung menjadi satu yakni, inter

(antara) dan national (bangsa). Karena itu kata interna-

sional bisa diartikan sebagai hubungan antara bangsa-

bangsa. Penggunaan kata “bangsa” disini sebenarnya me-

rupakan sinonim kasar dari ”negara”(Lih. J.G. Starke,

Pengantar Hukum Internasional, Hal.4, Edisi Kesepuluh).

Supaya negara-negara saling menghargai dan men-

ghormati di dalam pergaulan internasional, dibuatlah

mekanisme internasional untuk mengatur persoalan terse-

but. Mekanisme ini lalu menjadi apa yang kini kita kenal

dengan Hukum Internasional. Jadi, Hukum Internasional

itu sendiri merupakan hukum yang mengatur hak-hak dan

kewajiban-kewajiban diantara negara-negara saja. Se-

lanjtnya, agar hubungan timbal balik antara hak-dan kewa-

jiban setiap negara berjalan secara adil, maka berbagai

aturan dan intrumen internasional beserta pelbagai perang-

katnya agar ada acuan dasar dan pengawasan yang bisa

diikuti serta dilakukan secara bersama-sama oleh setiap

negara yang menyepakatinya.

Pembentukan PBB (United Nations) pada tahun

1948 merupakan kesepakatan bersama dari beberapa ne-

gara yang terlibat perang pada perang Dunia ke-II. Tu-

juannya ialah agar setiap konflik dapat diselesaikan secara

damai hingga tidak mengulangi lagi pengalaman atas per-

ang Dunia ke-I dan II. Selain itu pergaulan internasional

diantara negara-negara dapat dibangun diatas prinsip

saling menghargai dan menghormati. Walapaun kehadiran

PBB sendiri merupakan sebuah prakarsa dari negara-

negara yang menang pada perang dunia ke-II, namun kini

keberadaanya nampak sebagai wasit yang mengawasi per-

gaulan internasional diantara negara- negara. Ke-

beradaannya pun tidak hanya mengkhususkan diri pada

bagaimana mencegah suatu konflik menjadi perang ter-

buka, tetapi kini sudah meluas pada berbagai aspek ke-

hidupan umat manusia yang diakui secara universal. Hal

ini dapat dilihat dari berbagai Deklarasi, Konvenan, Proto-

kol, Resolusi, Traktat, dan Statuta. Tetapi, kelemahan dari

Hukum Internasional itu sendiri ialah sifat memaksanya

masih tunduk pada kedaulatan negara (soverinity state)

secara personal. Yakni, perlunya pengakuan negara terha-

dap berbagai instrumen yang dikeluarkan oleh PBB terse-

but.

Mahkamah Internasional dan Taktik Perlawanan Me-

lalui Gugatan

Nah, yang menjadi pertanyaan adalah apakah Papua

adalah sebuah bangsa dalam artian negara? Sudah tentu

tidak. Walaupun kini banyak yang mempersoalkan tentang

status sejarah Papua yang kurang adil, tetapi faktanya se-

cara de jure (hukum) dan de facto (kenyataan), Papua

adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Jika demikian, pertanyaannya ialah apakah

kecurangan dalam sejarah PEPERA dapat ditinjau ulang,

termasuk berbagai instrumen lainya yang mengukuhkan

keabsahan proses tersebut? Menurut hemat kami adalah

dapat dan bisa dilakukan.

Bagaimana? Baru-baru ini telah diluncurkan buku

yang merupakan hasil penelitian dari Prof. Drooglever

yang menguak tentang cacat PEPERA dan situasi interna-

sional yang juga melibatkan peranan PBB dalam melegal-

kan proses integrasi Papua kedalam NKRI. Selain buku

Drooglever ada buku lain dari Jhon Salfor yang juga

menyibak proses yang tidak adil tersebut. Menariknya

buku Drooglever merupakan penelitian resmi dari pemer-

intah Belanda guna menjawab berbagai pertanyaan yang

selalu ditujukan terhadap negara itu, terkait dengan tang-

gung jawabnya soal Papua. Dalam kedua buku tersebut,

sangat detail menguraikan bagimana manipulasi, yang dis-

ertai dengan teror dan intimidasi bagi masyarakat Papua

yang waktu itu terlibat untuk memilih. Termasuk juga ket-

erangan dari beberapa saksi yang waktu itu ikut terlibat.

Jika demikian bagaimana soal ini dapat dibawah ke

Mahkamah Internasional? Perlu diperhatikan lagi disini

bahwa Papua bukanlah negara berdaulat. Sedangkan

Mahkamah Internasional sendiri merupakan lembaga yang

berada dibawah Dewan Keamanan PBB yang anggotanya

adalah Negara-Negara dan merupakan subjek hukum in-

ternasional yang paling utama. Karena itu yang bisa

bersengketa di MI (Mahkamah Internasional) adalah Ne-

gara vs Negara. Disini bentuk sengketa dapat kita bayang-

kan dalam sistem berperkara di pengadilan Nasional Indo-

nesia. Baik itu untuk perkara pidana atau perdata. Supaya

posisi kita kuat didalam pengadilan, maka kita wajib di-

Mekanisme Internasional dan Strategi Mambangun Gerakan Papua

ARAH JUANG 11

wakili oleh seorang pengacara yang memiliki lisensi (ijin

praktek) dan memang telah diberi kewenangan oleh UU

untuk mewakili kita.

Hal yang sama terjadi juga dengan pihak yang

bersengketa didalam Mahkamah Internasional. Supaya

masalah Papua bisa di tinjau, maka kita harus mempunyai

wali/pengacara, dan wali kita haruslah negara supaya

posisi kita (Papua) di MI dianggap sah (standing position).

Bukan IPWP, ILWP, WPNCL, OTORITA, KONSEN-

SUS, ETAN, OPM, dsbnya. Kita bersyukur karena be-

berapa waktu lalu Negara Vanuatu secara resmi memasu-

kan soal Papua didalam konstitusi resmi negaranya dan

bersedia menjadi wali untuk mendorong masalah Papua

ditingkat Internasional. Walaupun Vanuatu dan negara-

negara Pasifik lainnya merupakan negara kepulauan yang

kecil, namun keberadaannya diakui didalam Hukum Inter-

nasional dan mempunyai wewenang tersendiri, dianta-

ranya : 1).Hak akses kepada Internasional Court of Justice.

2). Keikutsertaan dalam komisi ekonomi regional PBB

yang tepat. 3). Keikutsertaan dalam beberapa badan

khusus tertentu, dan dalam konferensi-konferensi diplo-

matik yang bertujuan membentuk konvensi-konvensi in-

ternasional.

Bagi kita mekanisme diatas lebih mudah untuk diper-

juangkan daripada harus menempuh mekanisme dekolo-

nisasi. Mengingat, seperti yang diuraikan diatas, posisi

Papua secara de facto dan de jure telah resmi diterima

menjadi bagian NKRI oleh masyarakat internasional me-

lalui resolusi PBB No. 2504. Papua berbeda dengan Timur

Leste. Ketika dianeksasi secara paksa oleh Indonesia pada

tahun 1975, kedudukan Leste pada waktu itu tetap diper-

masalahkan oleh Portugal, Mosambique, dan negara-

negara bekas jajahan Protugal yang telah merdeka dan

menjadi anggota PBB.

Biligerent dan Taktik Perlawanan Bersenjata

Kita pernah mendengar tentang CNRT (Conselho

Nacional da Resistencia Timorense) dan Fretelin (Frente

Revolusionaria de Timor-Leste Independenta), organisasi

perlawanan rakyat Timur Leste; atau GAM (Gerakan

Aceh Merdeka), organisai gerakan perlawan rakyat Aceh

pimpinan Hasan Tiro. Pertanyaannya, kenapa dua or-

ganisasi ini sukses mendapat pengakuan secara interna-

sional, semasa aktif memimpin gerakan perlawanan?

Dalam Hukum Internasional, bellijerents (para pihak) me-

rupakan suatu pengakuan internasional terhadap para pi-

hak (organisasi/tentara/milisi) yang bersengketa dan diatur

dalam Hukum Humaniter Internasional, yakni Pasal 1

Hague Regulation, Konvensi IV Den Haag 1907, men-

genai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Terkait den-

gan perlawanan bersenjata di Papua, masyarakat interna-

sional bisa memberikan pengakuan sebagai billijerents,

asalkan konflik diantara TNI/POLRI versus OPM,

memiliki skala konflik yang berdampak internasional

(internationalized internal armed conflict). Misalnya kon-

flik tersebut mengganggu kepentingan internasional secara

luas.

Ada beberapa syarat supaya suatu pihak mendapat penga-

kuan sebagai billigerents :

1. Dipimpin oleh seorang yang bertanggungjawab atas

bawahannya. Artinya mempunyai organisasi dan ke-

pemimpinan yang jelas;

2. Memakai tanda/embelm: seragam, bendera, topi, yang

dapat dilihat dari Jauh;

3. Membawa senjata secara terbuka. Artinya, tidak mela-

kukan perlawanan gaya dengan teroris;

4. Melaksanakan operasinya sesuai dengan hukum dan

kebiasaan perang. Artinya tidak menjadikan masyarakat

dan bangunan sipil sebagai sasaran.

5. Dari syarat ini, dua organisasi perlawanan diatas, masuk

sebagai biligerents. Yang menjadi pertanyaan adalah

apakah pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh

OPM selama ini sudah masuk kategori tersebut?

Pengakuan Internasional dan Taktik Perlawanan Ber-

dasarkan Perasaan Sebagai Sebuah Bangsa :Belajar

dari Kosovo, Namibia, dan Palestina

Perasaan sebagai sebuah bangsa merupakan syarat

mutlak pembangunan sebuah negara. Tanpa ini, kita akan

terjebak pada paham nasionalisme sempit: rasisme, sex-

isme, sekularisme, dan sebagainya. Merumuskan ulang,

siapa itu orang Asli Papua merupakan suatu program yang

mendesak dan harus segara dilakukan. Mengingat

sekarang ini Papua sudah berada dititik nadir hancurnya

perasaan sebagai sebuah bangsa. Faktanya adalah :

Sebutan “orang Gunung dan Pantai “. Sebutan ini, kini

semakin kuat di era Otsus melalui pemahaman dan

perilaku orang asli Papua dalam bentuk fanatisme ke-

daerahnnya. Contoh: Orang Pantai dilarang bekerja

didaerah Gunung. Sebaliknya orang Gunung dilarang

bekerja di daerah Pantai; Sterotip (prasangka yang

supjektif sifatnya dan tidak tepat tentang sifat suatu

golongan) orang Pantai terhadap orang Gunung seba-

gai tukang bikin kacau; Atau, sifat inklusivisme dan

perilaku “main pukul/kroyok” dari sesama orang Asli

Papua, merupakan beberapa hal yang tanpa kita sadari,

sudah lama merusak persatuan “orang Asli Papua”.

Penggunaan istilah ras Melanesia yang kadang diin-

dentikan dengan orang Papua yang hitam dan keriting.

Padahal ini salah satu konsep Antropologi yang meli-

puti daerah-daerah seperti, Timor Leste, NTT, Sumba,

ARAH JUANG 12

Ambon, sampai ke daerah Papua di wilayah pesisir.

Tanpa disadari, penggunaan istilah yang salah ini bisa

sewaktu-waktu ikut menkotak-kotakan “orang Asli

Papua”.

Munculnya paham rasialisme dan sexisme akibat SK

MRP No.14 Tahun 2008. SK ini sangat kacau karena

secara sadar menurunkan paham kebangsaan orang

Papua yang sudah tumbuh sejak negeri ini dianeksasi.

Bagiamana tidak, SK ini melupakan orang Papua se-

cara geneologis dari segi Ibu; melupakan orang Papua

keturunan Cina, Arab, Jawa, Makasar, Flores, Ambon,

Key, dll; atau melupakan orang non-asli Papua yang

memiliki jiwa dan kesadaran sebagai orang asli Papua

serta memberikan kontribusi yang besar bagi tanah ini

sejak puluhan tahun.

Pembangunan kelompok perlawanan berbasis suku.

Kenyataan ini sangat menggelikan dan nampak sekali

di berbagai organisasi perlawanan di Papua. Masing-

masing organisasi bicara tentang pentingnya per-

satuan.,tetapi secara diam-diam memupuk perbedaan

ditengah-tengah pengikutnya, atau menganggap tidak

penting kelompok lain diluar kelompok mereka.

Keadaan ini jika tidak sadari, akan terus memunculkan

perpecahan serta tirani diantara sesama kelompok per-

lawanan. Jika tidak disadari, keadaan ini merupakan

bahaya terbesar bagi pembangunan Nation Papua.

Pembentukan Kaukus Parlemen Daerah Pegunungan

oleh anggota DPRP dan rencana Pemekaran berbagai

wilayah diseluruh Papua. Dua kebijakan dilahirkan

oleh orang Asli Papua, walaupun sangat menguntung-

kan dari sisi pembangunan, namun dari sisi persatuan

kebijakan harus dilihat sebagai taktik Pemerintah un-

tuk memecah-belah “orang Asli Papua”

Fanatisme Kekristenan. Tanpa disangkal, anggapan ini

ada dan melekat di kepala orang Papua. Lebih parah-

nya, perilaku ini sangat nampak diberbagai organisasi

perlawanan Rakyat Papua, yang seharusnya lebih pa-

ham nilai-nilai demokrasi. Kadang di berbagai mo-

men-momen tertentu, kita mempraktekan perilaku

bahkan klaim yang menunjukan bahwa perjuangan

Papua adalah sah milik “orang asli Papua” yang ber-

agama Kristen saja. Tindakan ini tanpa disadari mem-

buat kita lupa bahwa ada “orang Asli Papua” lain yang

juga Muslim, Katolik, atau menganut agama suku.

Negara-negara, seperti Kosovo, Namibia, dan Pales-

tina, mempunyai sejarah yang sama dengan Papua : Mem-

punyai wilayah yang diduduki secara paksa (aneksasi)

oleh bangsa lain; Berjuang dalam waktu yang lama bahkan

ribuan nyawa harus melayang untuk cita-cita pembebasan;

dengan Penduduknya yang berasal dari berbagi latar be-

lakang. Tetapi, perbedaannya ialah selama berada dibawah

penjajahan dan pada masa ketika mereka membangun

gerakan perlawanan, soal nation statenya (Bangsa dan

Negara) mampu diselesaikan. Setelah itu, kesadaran

masyarakat tentang pentingnya perlawanan terhadap pen-

indasan, dikongkritkan dalam satu organisasi perlawanan

bersama.. Misalnya, Gerakan Pembebasan Palestina

(PLO). Sekalipun mayoritas penduduk Paletina adalah

Muslim dan sebagian kecilnya adalah Kristen, namun

mereka yang minoritas ini diletakan sederajat dalam per-

juangan pembebasan. Masyarakat Palestina tidak men-

ganggap bahwa negara Palestina adalah milik kaum mus-

lim, atau hak-hak perempuan bukan sesuatu yang penting

untuk diperhatikan. Inilah kunci keberhasilan perjuangan

Paletina hingga saat ini. Sekalipun selalu dihadapi dengan

veto Amerika atau kehadiran Hamas yang dianggap teroris

oleh negara-negara Barat. Walaupun belum memperoleh

kemerdekaan secara penuh, namun pengakuan terhadap

keberadaan negara Paletina sendiri memperoleh tempat

didalam masyarakat internasional dan PBB (UN). Hingga

kini, pengakuan serta simpati dari masyarakat interna-

sional tidak hanya datang dari negara-negara Arab, tetapi

juga dari negara-negara Eropa yang mayoritas pen-

duduknya beragama Kristen, bahkan dari masyarakat Ya-

hudi yang menginginkan Palestina harus merdeka dan

hidup berdampingan secara damai.

Berbeda dengan Palestina yang berhasil mendorong

perjuangannya menjadi perjuangan masyarakat interna-

sional, dengan menghindari isu-isu sektarian dan rasial-

isme, begitu juga Negara Kosovo dan Namibia merua-

pakan dua negara yang merdeka kerena adanya campur

tangan PBB dan pengakuan masyarakat Internasioanal.

Kosovo, lewat referendum tahun 1999, dan merdeka pada

tahun 2008. Sedangkan Namibia, lewat tekanan PBB, me-

lalui pendapat Mahkamah International, tanggal 21 Juni

1971 mengenai penolakan untuk mengakui keberadaan

Afrika Selatan di Namibia oleh anggota PBB. Namun,

seperti yang dijelaskan diatas, keberhasilan dua negara ini

terletak pada bagaimana membangun kesadaran bersama

tentang pentingnya perasaan sebagai sebuah bangsa dan

adanya satu organisasi perlawanan bersama yang mem-

punyai legitimasi di masyarakat.

Pertanyaannya ialah dari berbagai taktik perlawanan

diatas, manakah yang sangat penting untuk dikerjakan?

Apakan ditengah keterpecahan kita sekarang ini, proyek

pembangunan nation state Papua merupakan kebutuhan

mendesak yang harus dituntaskan, sebelum membangun

perlawanan secara bersama? Ataukah, beberapa taktik

diatas tetap dianggap perlu untuk dikerjakan sambil

memikirkan pembangunan nation state kita. (Max Ma-

nus)

OPINI 13

Guinea Bissau adalah satu-satunya negara di dunia

yang mendapat pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan

dari Perserikatan Bangsa-bangsa secara langsung setelah

berhasil mengusir Portugis dari tanah mereka. Keberhasi-

lan Guinea Bissau untuk merdeka dan bebas dari penjaja-

han tidak terjadi begitu saja tetapi merupakan buah kerja

keras seluruh rakyat dan para pejuang pembebasan di

negara tersebut. Salah satu tokoh pembebasan yang hingga

kini selalu mendapat tempat istimewa di hati rakyat

Guinea Bissau adalah Amilcar Cabral, berasal dari salah

satu bagian wilayah di Guinea Bissau, Bafata.

Cabral lahir pada tanggal 12 September 1924, dari

Ayah bernama Juvenal Cabral yang berprofesi sebagai

seorang guru sekolah dasar dan Ibu, Iva Pinhel Evora. Saat

keluarga itu sedang berada di Bafata, salah satu daerah di

Cabo Verde (Tanjung Hijau) dalam bahasa Portugis.

Pada usia 22 tahun, Cabral menikah dengan teman

study yang juga seorang aktifis anti – fasisme Portugal,

Maria Helena Rodrigues, Bersama istrinya berlayar ke

Bissau untuk melakukan perjalanan selama dua tahun

mengelilingi seluruh pelosok Guine.

Selama dua tahun perjalanan, Cabral melakukan

sensus pertanian untuk kepentingan penjajah Portugal.

AMILCAR CABRAL Melawan Budaya Penjajah Untuk Pembebasan Nasional

Namun yang dia lakukan tidak hanya mencatat

produktivitas padi dan kacang – kacangan diberbagai

pelosok tanah kelahirannya, tetapi juga melakukan sensus

Antropologis untuk mengenal berbagai kelompol etno –

lingusitik di Guine-Bissau, sambil menjajaki potensi

masing – masing suku untuk terjun dalam perjuangan

kemerdekaan melawan Portugal. Cabral juga menganalisis

perbedaan antara masyarakat desa dan masyarakat kota

dalam menyikapi kolonialisme Portugal, sambil memilah-

milah kelas-kelas yang ada di masyarakat kota, khususnya

di Bissau, dari sudut sosial ekonomi serta potensi

revolusioner mereka.

Bulan September 1956, Cabral dan beberapa

kawannya secara diam-diam mendirikan PAIGC (Partido

Africano da Independencia de Guinee Cabo Verde atau

Partai Afrika untuk kemerdekaan Guine dan Cabo Verde).

Cabral terpilih menjadi sekretaris jendral. Semboyan

PAIGC adalah „‟Persatuan dan Perjuangan‟‟. Persatuan

untuk mencapai kekuatan dan menghadapi kontradiksi

internal dan perjuangan untuk mengalahkan kekuasaan

kolonial. Persatuan yang menghasilkan kekuataan untuk

menghadapi lawan dan kecenderungan terpecah belah.

Persatuan adalah cara bukan tujuan. Prinsip dasar dari

partai ini adalah sentralisme demokratis. Norma – norma

politiknya meliputi kritik dan oto-kritik, kepemimpinan

kolektif, sentralisme demokratis, dan demokrasi

revolusioner. Mobilisasinya terdiri dari sistem kontrol,

efisiensi, perencanaan, dan demokrasi. Baginya partai

hanya terdiri sejumlah terbatas orang – orang yang

berdisiplin, dengan konsensus dan komitmen pada prinsip

dan tujuan perjuangan pembebasan nasional dan

kekuatannya didapatkan dari prinsipnya, mengenai

demokrasi internal revolusioner dimana anggota – anggota

partai harus bersikap kritis, yaitu kritis pada diri sendiri

dan terbuka dalam menerangkan tujuan dan prinsip –

prinsip partai kepada massa. Perjuangan PAICG dalam

konsolidasi kekuasaan dan pembentukan negara baru dari

tahun 1964-1973.

Bertolak dari teori perjuangan kelas Marxisme

klasik yang menganggap kaum buruh adalah kekuatan

revolusioner yang utama, maka Cabral dan kawan –

kawannya pada awalnya mengorganisir kaum buruh di

Bissau dan memulai perjuangan dari kota. Pada bulan

Agustus 1959, kader – kader PAICG diantara mandor

buruh dermaga Pidgiguti, melancarkan aksi mogok

TOKOH 14

menuntut kenaikan upah, dengan menggandengkan pula

tuntutan untuk „‟kemerdekaan Guine – Bissau‟‟. Aksi

mogok beserta tuntutan tidak digubris, malahan tentara

dan polisi kolonial Portugis, tanpa ampun, langsung

menembaki para demonstran. Hasilnya dalam hitungan 20

menit, sekurang – kurangnya 50 orang buruh dermaga

tertembak mati, dan lebih dari seratus orang luka- luka dan

sejumlah buruh pelabuhan melarikan diri ke jajahan

Partugis yang lain, ke Sao Tome.

Sejak saat itulah, kaum buruh di Bissau dan kota –

kota kecil di Guine menolak untuk diajak ikut

memperjuangkan kemerdekaan negerinya. Pengalaman

pahit inilah memantapkan Cabral dan kawan – kawannya,

bahwa perjuangan damai lewat demonstrasi, pemogokan,

dan cara – cara lain yang lazim di negara demokratis tidak

akan berhasil. Mereka sepakat untuk memulai perjuangan

bersenjata.

Pengalaman pahit itu juga mendorong Cabral

menarik diri ke pedesaan, pejuang ini sudah membangun

hubungan yang cukup mesra dengan para petani, meliputi

95% dari penduduk Guine-Bissau pada waktu itu. Setahun

setelah pemogokan buruh yang gagal itu, pimpinan dan

para kader PAICG dari kota sudah aktif mengorganisisr

kaum tani di desa-desa. Mereka percaya, bahwa sebelum

revolusi dapat dimulai maka kesadaran politik kaum tani

sudah harus dikembangkan seluas-luasnya. Karena

pengetahuannya yang luas tentang petani dari berbagai

kelompok etnis di Guine-Bissau yang sangat beragam

struktur sosial maupun kesadaran politiknya, sedangkan

yang 99% masih buta huruf, Ia tidak percaya pada taktik

pengorganisiran kelompok – kelompok kecil gerilyawan

atau foci, yang diterapkan oleh Che Guevara dan Regis

Debray di Cuba dan Bolivia. Itu sebabnya PAICG

memerlukan waktu dua tahun penuh mengorganisir para

petani sebelum mulai melancarkan perang gerilya secara

terbuka terhadap tentara kolonialis Portugis.

Cabral memahami nasionalisme sebagai suatu

gagasan Eropa dan bagaimana sosialisme Afrika

mengambil nasionalisme sebagai suatu strategi yang dapat

hidup terus. Dia mengambil nasionalisme revolusioner

dalam perjuangan menentang kolonialisme dan

imperialisme yang didapatinya dalam realitas budaya.

Menurutnya, kebudayaan sangat penting bagi gerakan

pembebasan nasional dan perlawanan budaya terhadap

kolonial itu didasarkan pada keikutsertaan massa buruh di

daerah pendesaan dan perkotaan dan faksi borjuasi kecil

yang revolusioner. Pelestarian nilai – nilai budaya dalam

perjuangan untuk pembebasan dan kemerdekaan

menginginkan adanya persatuan diantara berbagai

kelompok etnis dan kelompok lain. Kemerdekaaan

mencakup pembebasan kekuatan – kekuatan produktif dari

kolonialisme, dengan memiliki organisasi politik yang

berdisplin dan kemajuan ekonomi serta sosial.

Cabral mengatakan bahwa sekali rakyat

memperoleh kekuasaan atas bentuk produksi melalui

pembebasan nasional, maka mereka dapat mengatasi

„‟kedudukan yang menyedihkan menjadi rakyat tanpa

sejarah‟‟. Kebudayaan adalah unsur vital dalam proses

pembebasan nasional dan diekspresikan sebagai tindakan

kebudayaan, ekspresi politik dari rakyat yang sedang

melakukan perjuangan.

Perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme

yang Cabral lakukan adalah; (1) Melalui Realitas

Kebudayaan, yang mana hubungan antara kebudayaan dan

kondisi ekonomi menghasilkan pembebasan nasional

sebagai suatu tindakan kebudayaan, maka kebudayaan

berfungsi sebagai suatu unsur perlawanan atas dominasi

asing. (2) Melalui wacana tentang nasionalisme

revolusioner, ia mengemukakan bahwa kebudayaan adalah

bagian dari sejarah rakyat dan perjuangan hidup sehari –

hari oleh karena itu kebudayaan berakar dalam realitas

material lingkungan dimana kebudayaan berkembang dan

mencerminkan sifat organis masyarakat. Cabral

mengemukakan empat proses kebudayaan untuk

pembebasan nasional, yaitu; (a) perkembangan

kebudayaan rakyat yang berisi semua nilai positif

penduduk pribumi. (b) Perkembangan kebudayaan

nasional berasal dari sejarah dan keberhasilan perjuangan

pembebasan itu sendiri. (c) Perkembangan budaya ilmiah

yang didasarkan pada kebutuhan teknologi untuk maju. (d)

Perkembangan kebudayaan universal yang didasarkan

pada perjuangan untuk kemanusiaan, solidaritas, dan

martabat rakyat. (3) Melalui dualitas antara kebudayaan

yang dipaksakan oleh kolonialisme Portugis dan

Peta Guinea Bissau

TOKOH 15

kebudayaan tradisional maka Cabral menggunakan

perlawanan budaya yang terkandung dalam masyarakat

masa lalu dan masa sekarang, serta kepercayaan mistik,

lembaga keagamaan, adat – istiadat keluarga, ritual dan

kepercayaan yang dipeluk oleh orang-orang Afrika dalam

menghadapi kolonialisme. (4) Melalui perlawanan yang

dilakukan Cabral ini mengambil bentuk pemberontakan

spontan terbuka maupun perlawanan pasif, misalnya;

penghindaran pajak, pengurangan produksi tanaman

perdagangan.

Untuk pembebasan nasional ada lima cara yang

dilakukan oleh Cabral yaitu (1) perjuangan melawan dua

kekuatan utama yaitu melawan kelas – kelas penguasa

kolonialis Portugis dan melawan kekuatan – kekuatan

dalam negeri yang menghalangi rakyat untuk memperoleh

kebebasan, kemerdekaan, dan keadilan. Perjuangan ini

meliputi „‟pertarungan budaya‟. (2) Perluasan teori

mengenai pembebasan nasional yang berhubungan dengan

kebudayaan. Cabral tidak memandang ras sebagai faktor

penentu kebudayaan tetapi kebudayaan itu bebas terhadap

ras. (3) Sejumlah prinsip – prinsip revolusioner harus ada

dalam suatu perjuangan pembebasan nasional karena

Pembebasan nasional adalah perjuangan politik.

Perjuangan pembebasan nasional membutuhkan organisasi

atau partai yang kuat dan terorganisir dengan baik

kepemimpinannya yang berpendidikan politik. Secara

mendasar Cabral katakan „‟ Perjuangan itu harus

berkembang disekitar persatuan dan perjuangan‟‟. Orang –

orang yang mempunyai gagasan persatuan menghasilkan

kekuatan, menempatkan persoalan persatuan kedalam

semangat maupun rumusan perjuangan. Kepemimpinan

haruslah satu dan bersatu dibawah organisasi atau partai

dan kepemimpinan partai adalah kekuatan rakyat, dan oleh

karena itu, partai tidak boleh terpecah. Singkatnya,

perjuangan ini merupakan perjuangan dari rakyat, oleh

rakyat dan untuk rakyat. Cabral juga mengemukakan

bahwa „‟ Prinsip dasar perjuangan kita adalah perjuangan

rakyat, dan bahwa rakyat kitalah yang harus

memperjuangkannya, dan hasilnya untuk rakyat kita‟‟. (4)

Gerakan pembebasan nasional dilahirkan didalam dengan

satu konsepsi nasional. Artinya, Cabral beranggapan

bahwa adanya kelompok – kelompok etnis yang berbeda –

beda menghalangi pembentukan kesadaran nasional dan

oleh karena itu dilakukan mobilisasi semua unsur

penduduk tanpa membedakan asal suku dan kelas. 5)

Cabral mengakui bahwa kebudayaan tidak lain hanyalah

suatu pencerminan tingkat kekuataan produktif dan modus

produksi suatu masyarakat. Jadi tujuan utama gerakan

pembebasan tidak hanya kemerdekaan nasional dan

penghancuran kolonialisme, tetapi „‟pembebasan

sepenuhnya kekuatan produktif dan konstruksi kemajuan

ekonomi, sosial, dan budaya rakyat‟‟. Perjuangan

bersenjata akan menghasilkan pembebasan ini, tetapi

perjuangan bersenjata membutuhkan suatu organisasi

politik yang kuat dan berdisiplin. Dimana organisasi

perjuangan pembebasan mulai mempraktekkan demokrasi,

kritik dan otokritik, peningkatan tanggung jawab

penduduk atas kehidupan mereka, karya kesastraan,

pembangunan sekolah dan pelayanan kesehatan, pelatihan

kader dari orang – orang yang berlatar belakang petani dan

kaum buruh dan banyak pencapaiannya lainnya. Dengan

cara ini „‟perjuangan pembebasan bersenjata tidak hanya

merupakan fakta kebudayaan melainkan juga merupakan

faktor penentu kebudayaaan. Cabral percaya bahwa

perjuangan bersenjata harus dilakukan didalam negeri

yang hendak dibebaskan dan bahwa pasukan – pasukan

gerilya harus diberi otonomi untuk menguasai sumber

daya mereka sendiri agar bisa bekerja lebih efisien.

Akhirnya, dalam proses pembebasan nasional harus ada

front persatuan yang luas, dibawah payung partai dan

dipimpin oleh satu barisan pelopor yang bersatu.

Perjuangan kelas yang dilakukan Cabral, berbeda

dengan teori Marxisme klasik. Marxisme percaya pada

kaum buruh sebagai alat perlawanan revolusioner. tapi

Cabral melakukan perlawanan dari kelas – kelas sosial,

yaitu kaum tani. Cabral meneliti pembagian dan

Amilcar Cabral, bersama Tentara Revolusioner

TOKOH 16

kontradiksi yang ada dalam masyarakat: ras, agama,

kelompok etnis, dan kelas sosial. Kaum tani yang terdiri

dari suku Fula dan suku Balanta, dalam membedakan

antara kedua suku ini, Cabral memisahkan kelas dari

masyarakat tanpa kelas, antara garis vertikal (kekuasaan

tersentralisasi dan pelapisan masyarakat yang maju dan

khas dari suku Fula) dan horisontal (struktur ekonomi

terdesentralisasi yang khas suku Balanta). Cabral

melakukan pengorganisiran kaum tani dan didalamnya

termasuk suku Balanta, kelompok yang paling tidak

modern tetapi menerima konsep pembebasan nasional,

egaliter, dan hidup tanpa mengenal negara dan secara

hitoris lebih cenderung untuk melawan Portugis serta suku

Fula yang semi –feodal dan beragam Islam yang

masyarakatnya bertingkat dari kelas penguasan para

kepala suku, dan pemimpin keagamaan, klas pekerja

tangan ahli, dan kelas petani. Untuk Cabral, kaum tani

adalah kekuatan fisik dan bukan kekuatan revolusioner.

Kaum tani mencakup hampir seluruh penduduk, mereka

menguasai kekayaan bangsa karena kaum tani yang

menghasilkan perekonomian bangsa

Visi Cabral dalam membentuk dan membangun

negara adalah dengan mewujudkan sosialisme. Untuk

tujuan itu maka sistem yang dijalankan adalah sistem

pengadilan baru, pengadilan yang dipilih oleh rakyat, yaitu

Tribunas do Povo (Pengadilan Rakyat), yang mempunyai

tugas melayani empat sampai sebelas desa dan Mahkamah

Agungnya Tribunal de Guerra (pengadilan perang) yang

beranggotakan lima orang. Cabral dan pasukannya

menguasai wilayah – wilayah yang dibebaskan dan rakyat

menikmati kemerdekaan dan kedaulatan didaerah yang

telah dibebaskan tersebut. Cabral melakukan

pengembangan negara dengan melakukan kerja sama

dengan rakyat untuk meningkatkan produksi, menjalankan

diversifikasi pertanian, memperbaiki sistem distribusi

barang, mendirikan toko – toko rakyat, memperbaiki

pendidikan, membangun sekolah-sekolah, dan mendirikan

pusat-pusat kesehatan masyarakat serta klinik-klinik.

Tetapi sampai pembunuhan Cabral, tanggal 20 Januari

1973, partainya tidak lagi menjalankan perjuangan

pembebasan nasional melawan kolonialisme dalam usaha

kemerdekaan melainkan terperangkap pada pioritas –

pioritas lainnya serta kebutuhan untuk membangun negara

dan tidak fokus pada kebutuhan rakyat.

Selama 10 tahun perjuangan PAICG, mereka

berhasil menggabungkan aktivitas revolusioner dengan

peran kelembangaan di dalam masyarakat, yang meliputi

pembangunan kesetiaan baru diantara berbagai suku

dengan menitik-beratkan usaha pada pembentukan bangsa

baru, menyediakan pelayanan – pelayanan dasar seperti

makanan, kesehatan, pendidikan, dan menggalang petani

menjadi kekuatan untuk perubahan dan menyebarluaskan

nilai – nilai baru pada bentuk perjuangan pembebasan

untuk membantu strategi pembangunan setelah

kemerdekaan.

Cabral adalah contoh dari militansi, dedikasi seo-

rang tokoh revolusioner yang tidak hanya mampu berteori

saja, namun benar-benar terlibat secara aktif dalam kerja-

kerja riil dalam masyarakat. Tidak hanya itu, dia

memberikan bukti, bahwa demi memutuskan rantai

penindasan, maka kebangkitan budaya dan kesadaran akan

identitas sangat penting bahkan mampu membangkitkan

nasionalisme yang pada akhirnya membuat tiap individu

merasa memiliki perjuangan dan mampu mengadakan

perlawanan secara total. Rakyat yang terberdayakan secara

ekonomi akan mampu menjadi tulang punggung dalam

keberhasilan perjuangan pembebasan nasional. (Ronda/

sasori86)

Tarik Milliter

Dari Seluruh

Tanah Papua

Bersatu

Untuk

Pembebasan

Nasional!!

Foto: Telapak

PERLAWANAN RAKYAT 17

Kegagalan pemerintah Indonesia dalam membangun rakyat Papua sangat dirasakan oleh rakyat Pupua, hal itu

dibuktikan dengan kegelisaan rakyat terhadap berbagai

persoalan. Demokrasi semakin tertutup dan pelanggaran

HAM semakin tidak terbuka dengan adanya penambahan

militer semakin meningkat, ekonomi rakyat masih

dibawah garis kemiskinan, penguasaan, perampasan hak

adat semakin tidak terkontrol dan pelayanan publik yang

tidak maksimal, atau dengan kata lain dimasa otonomi

khusus seharusnya lebiah baik tetapi hal itu tidak terjadi.

akibat kegagalan - kegagalan ini, rakyat Papua melakukan

perlawanan terhadap pemerintah Indonesia. Aksi

pengemabalian Otsus pada bulan Juni 2010 adalah

puncak dari bukti kemarahan rakyat kepada pemerintah,

dan ingin merdeka dari segala penindasan. Berikut ini

adalah beberapa perlawana rakyat Papua dalam bulan

Meret sampai awal Agustus 2010 yang memicu gerakan

perlawanan yang besar.

Maret 03, 2010

Aksi seribu rupiah mendukung pembangunan pasar

bagi mama-mama pedagang asli Papua dipusatkan di jalan

Raya Sentani-Abe depan Kantor Pos Kota Jayapura,

(15/03). Aksi ini disambut antosias warga yang lewat,

dengan mengisi kotak sumbangan yang telah disediakan

SOLPAP. Pada aksi perdana ini, dana yang terkumpul

sebesar Rp. 4.621.500, kemudian disumbangkan pada

mama-mama pedagang untuk keperluan pembenahan

tempat usaha mereka. SOLPAP (Solidaritas Mama-mama

Pedagang asli Papua) dan beberapa elemen penting lain

yang tergabung dalam aksi ini, menyerukan kepada

Pemerintah untuk segera membangunkan pasar bagi

mama-mama pedagang asli Papua.

Maret 08, 2010

Jayapura- Pada hari senin, 8 Maret 2010, SKPHP

melakukan aksi sumbangan di dua titik yaitu di

Perempatan Abepura, dan depan museum budaya – Expo

Waena. Dengan spanduk utama yang isinya demikian„‟

pemerintah tidak peduli membiayai pengobatan tahanan

politik Filep Karma dan Ferdinand Pakage‟‟. Beberapa

aktivis pemuda dan mahasiswa gerakan yang tergabung

dalam beberapa elemen organisasi perjuangan menarik

simpatik masyarakat Papua dengan membagikan selebaran

sebagai pengetahuan kepada masyarakat bahwa selama ini

pemerintah tidak pernah peduli dengan kondisi kesehatan

Tahanan Politik Papua. Aksi simpatik ini untuk membantu

kekurangan biaya pengobatan tahanan politik Filep

Karma, ia membutuhkan biaya pengobatan sekitar Rp.78

juta dan mengalami kekurangan Rp. 28 Juta.

Maret 10, 2010

SKPHP kembali turun jalan melakukan aksi

sumbangan yang sama di perempatan Abepura. Sekitar 50

petugas aksi berjejer di lampu merah dan membagikan

selebaran Dengan spanduk yang berbeda yaitu „‟sakit

Filep karma dan tahanan politik adalah sakit rakyat

Papua...mari bersolidaritas untuk kemanusiaan‟‟ dan

beberapa pamflet berbunyi ; tahanan politik adalah

pahlawan Papua , demi keadilan dan perdamaian tanah

Papua mereka rela di tahan oleh Negara, hak tahanan

Politik adalah Kesehatan , pendidikan dan kebutuhan

pribadi di jamin oleh Negara dan Stop dikriminasi dan

penyiksaan tahanan politik.

Maret 12, 2010

Jayapura. Aksi yang ketiga kalinya, SKPHP menarik

simpatik di wilayah kota Jayapura, Fokus di sekitar Taman

Imbi, banyak simpatik dari masyarakat di sekitar kota

Jayapura ini. Setelah aksi selesai, aktivis Papua

ARUS GERAKAN TUNTUTAN RAKYAT PAPUA

Foto: Sasory86

PERLAWANAN RAKYAT 18

berkunjung ke RSUD DOK II menemui tokoh pejuang

keadilan di Papua. Filep karma yang dengan senang

menerima kunjungan aktivis Papua yang tergabung dalam

SKPHP dan Filep menjelaskan kondisi kesehatannya yang

terakhir. Dana yang di kumpulkan SKPHP kurang lebih

Rp. 25 Juta Rupiah. terbukti bahwa Rakya Papua peduli

dengan kesehatan Tahanan Politik. Dalam aksi ini juga,

ada upaya konfrensi pers yang di lakukan oleh solidaritas

korban pelanggaran Ham Papua (SKPHP). Dalam

konferensi pers saat itu, Peneas selaku koordinator SKPHP

mendesak 1. Pemerintah segera bertanggungjawab atas

seluruh biaya pengoatan Tahanan Politik Filep Karma,

Ferdinand Pakage dan Tahanan Politik lainnya yang

mengalami nasib yang sama. 2. Hentikan kekerasan,

diskriminasi dan stigma separatis terhadap seluruh tahanan

politik Papua. 3. Bebaskan Tahanan Politik tanpa syarat,

karena Negara tidak mampu memenuhi hak – hak dasar

tahanan Politik.

Maret 17, 2010

Jakarta– Mahasiswa dan komponen gerakan yang

merupakan perwakilan rakyat Papua di Jakarta menyam-

but positif rencana kunjungan Presiden Amerika Serikat

Barack Obama ke Indonesia yang direncanakan pada akhir

Maret 2010. Mereka sampaikan dalam bentuk demontrasi

ke kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat (Jalan Medan

Merdeka Selatan) dan Istana Merdeka (Jalan Medan Mer-

deka Utara), Jakarta Pusat.

Perwakilan rakyat Papua ini berharap, Barak Obama per-

hatikan situasi yang menekan para aktivis, ketika protes

ketidakadilan dan mereka dikejar, dibunuh, dan dibantai

terutama setelah otonomi khusus dan juga jadi korban pe-

langgaran HAM, bukan Organisasi Papua Merdeka, justru

para mahasiswa dan aktivis HAM yang menyuarakan ber-

bagai ketimpangan kebijakan pemerintah.

Maret 18, 2010

Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Kamis (18/3),

melakukan aksi untuk meminta DPRP fasilitasi bertemu

Presiden AS Obama. KNPB meminta Dewan Perwakilan

Rakyat Papua (DPRP) memfasilitasi perwakilan mereka

bertemu langsung dengan Presiden Amerika, Barack

Obama di Jakarta.Amerika Serikat (AS) lewat Presiden

Obama harus mengakui kesalahan dan bertanggung jawab

atas semua yang sudah terjadi di Tanah Papua, sejarah

Papua Barat, aktivitas pertambangan emas dan tembaga

oleh Freeport di Kabupaten Mimika, serta membebaskan

para Tapol dan Napol yang masih dipenjara atau ditahan,

Obama sebagai pemegang demokrasi tertinggi dunia untuk

mencabut kapitalisme yang bergerak di Tanah Papua. Se-

lain itu massa juga menuntut pemerintah segera munutup

PT Freeport serta meminta pemerintah Indonesial segera

menarik pasukan organik dan non organik dari Papua.

Maret 22, 2010

Jayapura- Komite Nasional Papua Barat (KNPB)

melakukan aksi. 30 orang diamankan dengan alasan tidak

memiliki surat ijin dari pihak kepolisian dan dua orang

langsung ditetapkan sebagai tersangka kerena diduga

membawa alat tajam.tersangka dijerat dengan pasal, 2 ayat

1 Undang-Undang No 12 Tahun 1951 yakni membawa,

memiliki dan menyimpan dan menguasai senjata tajam

tanpa izin dengan ancaman hukuman penjara maksimal 10

tahun. Kapolresta mengungkapkan, dari dua tersangka itu

salah satunya merupakan peserta aksi unjuk rasa, sedang-

kan seorang diantaranya merupakan warga yang kedapatan

membawa sajam saat dilakukan razia.

Sementara 30 orang lainnya itu sudah dilepaskan

kembali pada malam harinya. Namun, sebelum mereka

dilepaskan, pihaknya sempat memberikan pengarahan ten-

tang Undang-Undang No 9 Tahun 2008 tentang penyam-

paian pendapat di muka umum.

Mei 5, 2010

Puluhan massa dari Forum Demokrasi Rakyat Papua

(FORDEM) melakukan aksi mendesak pemerintah pusat

dan pemerintah daerah mengakomodir Keputusan MRP

No.14/MRP/2009 tentang pejabat Bupati/Wakil Bupati,

Walikota/Wakil Walikota harus orang asli Papua. Aksi

yang berlangsung di halaman Kantor Gubernur Provinsi

Papua, Dok II Jayapura, Senin (3/5) sekitar pukul 10.00

WIT. Gubernur Barnabas Suebu SH, secepatnya menge-

luarkan Perdasus tentang SK MRP Nomor 14 Tahun 2009

tentang penetapan orang asli Papua sebagai syarat khusus

dalam penentuan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati

serta Walikota dan Wakil Walikota di Tanah Papua.

Juni 28, 2010

Jayapura– Solidaritas Peduli Puncak Jaya (SPPJ),

Melakukan aksi protes terhadap Operasi Militer di Puncak

Jaya. Aksi ini berlangsu di gedung DPRP sekitas pukul

11.00 sampai selesai sekitar pukul 02.30. Sesuai dengan

rencana Kapolda Papua bawa, pihak keamanan

memberikan batas waktu untuk Warga sipil yang ada di

Tiginambut dan sekitarnya menggungsi sampai tanggal 28

Juni, Lewat dari itu pasukan gabungan TNI dan Polisi

akan melakukan operasi militer untuk mengejar

TPM/OPM pasukan pasukan Goliat Tabuni. Seratusan

massa yang lebih banyak Mahasiswa dan komunitas

korban Puncak Jaya serta beberapa aktifis. Mereka melilai

bahwa Operasi seperti ini biasa yang menjadi korban

adalah warga sipil biasa dan itu masih terus terjadi

sehingga hal ini dan mereka menolak dengan tegas

droping pasukan organik dan non organik ke Papua.

PERLAWANAN RAKYAT 19

Jini 29, 2010

Biak - Sejumlah komponen rakyat Papua di Biak

turun jalan melakukan aksi demonstrasi. Sejumlah

kompenen masyarakat Papua di Biak yang terdiri yakni,

KNPB, Perwakilan Perwakilan Ex Tapol-Napol, Dewan

Adat Byak, Perwakilan Komunitas Korban Biak,WPNA

Tokoh gereja dan rakyat Papua yang peduli dengan

tahanan Politik melakukan long march ke DPRD

Kabupaten Biak Numfor untuk menyampaikan aspirasi

mereka. Dengan tiga tintutanyakni: 1. Hapus Undang-

undang tentang pasal MAKAR karena sangat bertentang

dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia artikel 19

yaitu Freedom Of Expression dan Konvenan International

atas Hak-hak Sipil dan Politik. Dua Instrument

international diatas telah dijabarkan pada UUD 1945. 2.

Bebaskan TAPOL – NAPOL Papua karena pasal MAKAR

dan Penghasutan Massa yang dikenakan tidak berdasar

namun justru menyimpang dan bertentangan. 3. Seluruh

komponen rakyat Papua memohon kepada Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia agar

segera merealisasi janjinya untuk membebaskan Tapol-

Napol Papua.

Juli 3, 2010

Jayapura- Puluhan massa dari Forum Demokrasi

Rakyat Papua (FDRP) menggelar aksi demo mendesak

pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengakomodir

Keputusan MRP No.14/MRP/2009 tentang pejabat Bu-

pati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota harus orang

asli Papua. Aksi demi yang berlangsung di halaman Kan-

tor Gubernur Provinsi Papua, Dok II Jayapura, Senin (3/5)

kemarin sekitar pukul 10.00 WIT.

Massa yang dikoordinir Forum Demokrasi Rakyat

Papua tiba di halaman kantor gubernur Papua, langsung

menggelar orasi yang mendesak agar Gubernur Barnabas

Suebu SH, secepatnya mengeluarkan Perdasus tentang SK

MRP Nomor 14 Tahun 2009 tentang penetapan orang asli

Papua sebagai syarat khusus dalam penentuan bakal calon

Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil

Walikota di Tanah Papua dan beberapa tuntutan lainya.

Juli 6, 2010

Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua (SKPHP)

melakukan aksi kampanye mengenang Tragedi Biak

berdarah di lingkaran Abepura Selasa (6/7) sambil

membentangkan spanduk yang bertuliskan “Otsus gagal

pemerintah tidak mampu menyelesaikan kasus

pelanggaran HAM di tanah Papua”.Solidaritas Korban

Pelanggaran HAM Papua (SKPHP) melakukan aksi orasi

30 menit mengenang tragedi berdarah di Kabupaten Biak

tanggal 6 Juli 1998, silam.

Koordinator aksi, Peneas Lokbere ketika ditemui Papua

Pos disela-sela berlangsungnya aksi mengatakan, aksi

yang dilakukan SKPHP merupakan peringatan tragedi

berdarah yang terjadi di Kabupaten Biak tanggal 6 Juli

1998 silam yang memakan banyak korban jiwa orang

Papua.

Juni 8, 2010

Jayapura - lebih dari 10.000 massa rakyat Papua dari

berbagai kalangan melakukan aksi demonstrasi ke Kantor

Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Aksi ini untuk

menagih janji yang telah disampaikan oleh DPRP pada

tanggal 18 Juni 2010 atas tuntutan Referendum dan

penolakan Otsus (Otonomi Khusus). Aksi massa

membawa berbagai macam bendera, antara lain bendera

PBB, gambar bendera Bintang Kejora, serta sejumlah

pamflet dan spanduk. Aksi tersebut mengakibatkan arus

lalu lintas macet total karena setiap jalan protokol di

penuhi massa.

Agustus 2, 2010

Seluruh Rakyat bagsa Papua Barat khususnya

yang tinggal di wilayah Jayapura, Seni, Kerom dan

sekitarnya hadir dalam panggung rakyat yang

difasilitasi oleh Komite Nasional Papua Batat

(KNPB) di Taman makam pahlawan Teys Hio

Eluawai, Sentani (02/8). Dalam acara ini Rakyat

Papua dengan tegas menolak dan megengembalikan

hasil PEPERA 1969. Menurut mereka, rakyat Papua

dikhianati oleh Amerika, Belanda dan Indonesia

dengan cara rakyat Papua pada saat itu tidak

memberikan kebebasan seluas-luasnya tetapi

dilakukan dalam tekangan dan ancaman militer

Indonesia untuk memilih satu orang satu suara namun

yang terjadi adalah Tentara indonesia yang

menetukan untuk memilih mewakili suku-suku

sebelum menyelenggarakan PEPERA. (Saren)

Foto: Saren

BUDAYA 20

Cukup Sudah…kamu berkelahi, saling ejek, merasa diri hebat..pintar

dan saling mengklaim paling berjasa dan pengaruh di rakyat

Papua……

Ingat rakyat Papua sudah bosan dengan janji dan statement-

statement politik dari tahun ke tahun yang tidak pernah terjawab…

perjuangan ini bukan buat opini, berdoa dan berharap kepada Negara

-negara Barat yang akan memberikan kemerdekaan...seakan-akan

kalian begitu lemah, miskin, bodoh di hadapan mereka….itulah diplo-

masi kerdil dan tidak punya harga tawar yang jelas…

Ingat…kita Bangsa Papua punya sejarah peradaban yang kuat...baik

strategi perang dan diplomasi dengan kekuatan Budaya dan adat

kita…dan ada di ratusan suku di Tanah Kita….

Kalian seakan-akan sudah melupakan budaya dan adat

kalian...sehingga jadi pejuang-pejuang yang senang berdebat dengan

adu teori-teori yang selalu menggadaikan dan menggantungkan

Bangsa dan rakyatmu kepada pemilik-pemilik modal yang akan

merampas tanah dan kekayaan…sehingga tetap menjadi miskin dan

kerdil…seperti saat ini…

Kalian selalu bilang…Tanah Papua kaya...tapi sayang kalian tidak

mampu memliki logistik perjuangan…yang ada cuma mengemis dan

meminta-minta lewat proposal…jangan jadikan bangsa ini menjadi

bangsa yang malas dan suka minta-minta….

Jangan pertontonkan kebodohan dan ketidakmampuan lewat perde-

batan-perdebatan yang menjijikkan lewat email…facebook…dan mail-

ing list….ingat konflik ini di pelihara oleh.. rezim penjajah yang

memiliki teknologi media…kalian cuma numpang teknologi tetapi som-

bong..seakan-akan menguasai teknologi…

Sungguh memalukan..!!!! pejuang-pejuang kemerdekaan bermental

pengecut dan cerewet !!! Bagaimana mungkin…persatuan dan Nasion

kita akan terbangun…kalau semua bikin diri hebat...dan perdebatan-

perdebatan kosong….

Ingat rakyat banyak yang sakit…biaya pendidikan yang begitu ma-

hal..mama-mama masih berjualan dibawah tanah, ruko-ruko, taksi,

mall, fasilitas publik, teknologi dikuasai oleh mereka…jangan jadikan

hal ini untuk kampanye dan perdebatan tetapi tidak terlibat langsung

untuk menyelesaikan persoalan rakyat kita hari ini…..selalu kalian

menggantungkan persoalan rakyat kepada rezim penjajah yang men-

yelesaikan…..jangan memberikan pendidikan politik hanya mengamati

dan mengkritik….

Ingat…rendah hati…rendah hati…dan rendah hati….!!!!! kritik diri

sendiri dan cari solusi bersama-sama…jangan saling ejek…kalian

seakan-akan sudah merdeka...sehingga lupa diri tentang pentingnya

persatuan…pemimpin yang besar adalah yang siap menerima kriti-

kan..hilangkan egois selalu mencari solusi...tidak mengejek orang

lain...berjiwa besar untuk duduk bersama-sama…untuk satu Tujuan

PEMBEBASAN NASIONAL UNTUK KEDAULATAN RAKYAT PAPUA YANG

MERDEKA DAN DUDUK SEJAJAR DENGAN BANGSA-BANGSA LAIN DI

DUNIA…!!! (Nasta)

Mama janda satu pigi ke kantor PLN untuk bayar

tagihan listrik. Sampe di kantor PLN, mace tanya petugas

loket pembayaran dan petugas kastau kalo tagihan yang

harus dibayar 100 ribu. Mama ini kas keluar uang pecahan

50 ribu dua lembar tapi de hanya kas petugas loket itu 50

ribu saja. Karena heran, petugas tanya mama:

Petugas : “Mama, kenapa bayar 50 ribu saja?

Mama : “begini anak, sa ini hanya jualan di pasar

saja untuk kas sekolah sa pu anak-anak pu uang sekolah

tuh tambah mahal. Sa mo pikir dong pu uang sekolah saja

tapi kam pu kelakuan kas padam listrik hampir tiap malam

tu bikin sa pigi kas keluar uang lagi untuk pigi beli lilin

supaya dorang bisa belajar malam-malam. Sa pu modal

jualan sayur tu sa putar dari hasil jualan saja, trada modal

dari pemerintah tapi kam pu cara tagih kitorang orang

kecil ini memang skali, padahal pelayanan tra betul satu.

Kalo mau sa bayar penuh, jang kam kas padam kam pu

listrik itu. Jadi 50 ribu ini, mama mo simpan untuk pake

beli lilin kalo kam kas padam kam pu barang yang nama

listrik itu”.

Petugas : “Iyo mama, sa mengerti tapi mama tetap

harus bayar tagihan karena ini aturan dan bagi yang

melanggar ada hukuman sesuai undang-undang.

Mama : “Undang-undang apa lagi ka? Kam tinggal

bikin aturan atau undang-undang trus. Tra cape ka?”

Aeh…sudah anak, mama tra mengerti barang-barang itu

jadi trapapa mama bayar kali ini tapi kalo listrik masih

padam trus, nanti sa bayar stenga saja. Orang sperti mama

kitorang ini rugi banyak. pengeluaran bertambah, anak tra

bisa skolah bae, biaya tambahan itu akan bikin kitorang tra

bisa menabung untuk anak-anak skolah nanti. Apalagi

biaya skolah yang dong bilang gratis karna Otsus tapi jadi

semakin mahal akan bikin anak-anak dong putus skolah,

dan pasti kitorang orang kecil ini tra bisa berubah tapi

tetap akan sama saja sekarang ini atau nanti. Pemerintah

nih..su mati..padahal anak-anak papua..dong banyak di

pemerintah...dong macam lau-lau saja...dapa pendidikan

Indonesia jadi otak mati... (Ronda)

KRITIK BUAT PEJUANG-PEJUANG

KEMERDEKAAN PAPUA Listrik Mati, Otsus Mati,

Pemerintah Mati

Bebaskan

Tapol/Napol Papua

Tanpa Syarat !!