Buletin edisi khusus

4
N amanya Nurrahmawati. Kali perta- ma bertemu, saya menanyakan tahun kelahirnnya. Saya penasaran. Gadis mungil itu tampaknya masih sangat muda. Sam- bil tersenyum, gadis yang akrab dipanggil Nur itu menjawab, “Satu tahun setelah lengsernya Soeharto mbak (1999).” Artinya, Nur tahun ini baru genap tujuh belas tahun. Usia yang cukup muda untuk ukuran mahasiswa semester satu. Gadis asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini masuk ke sekolah dasar saat berumur empat tahun. Namun, kata Nur, ia sudah lancar membaca dan menulis pada usia itu. Itu ia tahu dari cerita teman-teman neneknya yang menjadi guru di taman kanak-kanak tempat ia belajar. Mamanya pernah bercerita, saat kecil, jika melihat papanya membaca koran, Nur ikut membaca meskipun belum mengenal huruf. Nur bisa membaca tanpa diajari dalam waktu yang lama. Di usia yang sangat muda, Nur saat masuk kuliah telah bertekad belajar jurnalistik. Ia akh- irnya bergabung dengan Pers Mahasiswa Poros. Konon, kata Nur, ia telah mengenal Poros jauh sebelum Ospek berlangsung. Dari situ ia mu- lai tertarik karena ingin belajar menulis. Nur akhirnya mengikuti semua tahap seleksi hingga akhirnya sekarang menjadi salah satu anggota magang di Poros. Nur sebenarnya sudah mulai tenar sebagai penulis sedari SMA. Ia gemar menulis meski- pun hanya dipublikasikan di akun-akun media sosial. Dari situ, karena pujian beberapa teman, ia merasa sudah mahir dalam menulis. Namun, setelah memilih kuliah di Jogja dan masuk Po- ros dan mengikuti banyak diskusi, ia menyadari kemampuannya masih perlu ia tingkatkan. Cita-citanya di Poros berkembang. Nur men- jadi ingin mempelajari banyak hal. Menurut saya, hingga magang kedua ─ tahapan pen- didikan di Poros ─ Nur termasuk anggota yang aktif. Ditengah padatnya kuliah, ia selalu menyediakan waktu jika diajak diskusi ke pel- bagai tempat. Selain itu, ia bertambah lahap membaca buku. Pernah seusai diskusi tentang Panama Papers di Magister Administrasi Publik (MAP) UGM, Nur membeli buku tentang feminisme. Saya dua kali mendapatinya membeli buku tentang perempuan. Saya ingat pernah beberapa kali ia kemana-mana memegang buku tentang feminisme. Katanya, ia tertarik pada gagasan-gagasan emansipasi perem- puan. Selain soal kesetaraan gender, Nur pernah bercerita kalau ia ingin mempelajari buku- buku sejarah. “Kalau di daerah Nur kan toko buku aja jauh banget. Kalau di perpustakaan cuma ada buku pelajaran,” tutur Nur. Di tahun 2015, ia juga bergabung dengan Komunitas Baca Novel Pram (KBNP) yang didirikan ma- hasiswa Fakultas Sastra, Budaya, dan Komu- nikasi (FSBK). Minat membacanya berkem- bang. Ia akhirnya juga memahami pentingnya karya sastra. Membaca adalah bahan bakar untuk menulis. Harapan Nur untuk belajar menulis terwujud. Ia akhirnya magang di divisi redaksi ─ divisi di Po- ros yang fokus pada kepenulisan. Kegiatan di di- visi redaksi dimulai dengan rapat isu. Saat rapat isu, Nur entah mengapa mengusung isu Fakul- tas Kedokteran (FK). FK kala itu tengah dalam proses pengajuan izin. “Mengapa UAD membuka FK ditengah ban- yak fasilitas kampus yang belum memadai,” tanya Nur gelisah. “Tapi itu bagus kan? Itu bikin bangga,” ujar salah seorang anggota magang. “Kenapa tidak memaksimalkan fakul- tas-fakultas yang sudah ada?” POROS Menyibak Realita EDITORIAL 2 BERITA UTAMA 1 OPINI 3 Nur dan Poros yang Dibredel DIBREDEL Bersambung ke Hal 4 Edisi : 01/10 /05/2016 Membredel Pers Mahasiswa Wisnu Prasetya Utomo

description

Buletin ini mengangkat tema pembredelan Poros. Namun sajian kali ini membahas kisah penulis dan reporter dibalik pemredelan. Termasuk kronologi hingga isu Fakultas Kedokteran diangkat di buletin edisi magang kedua pun dibahas disini.

Transcript of Buletin edisi khusus

Namanya Nurrahmawati. Kali perta-ma bertemu, saya menanyakan tahun kelahirnnya. Saya penasaran. Gadis

mungil itu tampaknya masih sangat muda. Sam-bil tersenyum, gadis yang akrab dipanggil Nur itu menjawab, “Satu tahun setelah lengsernya Soeharto mbak (1999).” Artinya, Nur tahun ini baru genap tujuh belas tahun. Usia yang cukup muda untuk ukuran mahasiswa semester satu.

Gadis asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini masuk ke sekolah dasar saat berumur empat tahun. Namun, kata Nur, ia sudah lancar membaca dan menulis pada usia itu. Itu ia tahu dari cerita teman-teman neneknya yang menjadi guru di taman kanak-kanak tempat ia belajar.

Mamanya pernah bercerita, saat kecil, jika melihat papanya membaca koran, Nur ikut membaca meskipun belum mengenal huruf.

Nur bisa membaca tanpa diajari dalam waktu yang lama.

Di usia yang sangat muda, Nur saat masuk kuliah telah bertekad belajar jurnalistik. Ia akh-irnya bergabung dengan Pers Mahasiswa Poros. Konon, kata Nur, ia telah mengenal Poros jauh sebelum Ospek berlangsung. Dari situ ia mu-lai tertarik karena ingin belajar menulis. Nur akhirnya mengikuti semua tahap seleksi hingga akhirnya sekarang menjadi salah satu anggota magang di Poros.

Nur sebenarnya sudah mulai tenar sebagai penulis sedari SMA. Ia gemar menulis meski-pun hanya dipublikasikan di akun-akun media sosial. Dari situ, karena pujian beberapa teman, ia merasa sudah mahir dalam menulis. Namun, setelah memilih kuliah di Jogja dan masuk Po-ros dan mengikuti banyak diskusi, ia menyadari

kemampuannya masih perlu ia tingkatkan.Cita-citanya di Poros berkembang. Nur men-

jadi ingin mempelajari banyak hal. Menurut saya, hingga magang kedua ─ tahapan pen-didikan di Poros ─ Nur termasuk anggota yang aktif. Ditengah padatnya kuliah, ia selalu menyediakan waktu jika diajak diskusi ke pel-bagai tempat. Selain itu, ia bertambah lahap membaca buku.

Pernah seusai diskusi tentang Panama Papers di Magister Administrasi Publik (MAP) UGM, Nur membeli buku tentang feminisme. Saya dua kali mendapatinya membeli buku tentang perempuan. Saya ingat pernah beberapa kali ia kemana-mana memegang buku tentang feminisme. Katanya, ia tertarik pada gagasan-gagasan emansipasi perem-puan.

Selain soal kesetaraan gender, Nur pernah bercerita kalau ia ingin mempelajari buku-buku sejarah. “Kalau di daerah Nur kan toko buku aja jauh banget. Kalau di perpustakaan cuma ada buku pelajaran,” tutur Nur. Di tahun 2015, ia juga bergabung dengan Komunitas Baca Novel Pram (KBNP) yang didirikan ma-hasiswa Fakultas Sastra, Budaya, dan Komu-nikasi (FSBK). Minat membacanya berkem-bang. Ia akhirnya juga memahami pentingnya karya sastra.

Membaca adalah bahan bakar untuk menulis. Harapan Nur untuk belajar menulis terwujud. Ia akhirnya magang di divisi redaksi ─ divisi di Po-ros yang fokus pada kepenulisan. Kegiatan di di-visi redaksi dimulai dengan rapat isu. Saat rapat isu, Nur entah mengapa mengusung isu Fakul-tas Kedokteran (FK). FK kala itu tengah dalam proses pengajuan izin.

“Mengapa UAD membuka FK ditengah ban-yak fasilitas kampus yang belum memadai,” tanya Nur gelisah.

“Tapi itu bagus kan? Itu bikin bangga,” ujar salah seorang anggota magang.

“Kenapa tidak memaksimalkan fakul-tas-fakultas yang sudah ada?”

POROSM e n y i b a k R e a l i t a

EDITORIAL 2BERITA UTAMA 1 OPINI 3

Nur dan Poros yang Dibredel

DIBREDEL

Bersambung ke Hal 4

Ed is i : 01/10 /05/2016

Membredel Pers MahasiswaWisnu Prasetya Utomo

Editorial 2

TIM BULETIN

SALAM MAHASISWA!Setelah peristiwa pembredelan 27 April 2016 lalu, Poros kembali terbit dengan edisi khusus. Penerbitan ini atas dasar cinta. Kecintaan kami kepada kampuslah yang mendorong kami tetap bertahan sampai hari ini.

Cinta memang tak selalu berwujud pujian. Meminjam kata-kata Nur, “Ini cara kita mencintai kampus sendiri, ngga harus selalu muji-muji kampus.” Bahkan dibalik kecintaan kami, tersimpan niat tulus untuk membangun kampus.

Jika masih dibilang tak bermanfaat dan berniat melemahkan kampus, disini akan kami luruskan. Semua berawal dari tanggal 9 Maret 2016, rapat isu pertama magang edisi kedua dimulai. Saat itu ada delapan isu yang masuk untuk diekseku-si, salah satunya isu Fakultas Kedokteran (FK).

Setelah dua kali melakukan rapat isu, pada 13 Maret 2016, diputuskan bersama oleh tim magang Poros bahwa ada dua isu yang naik. Yaitu, persoalan parkiran dan FK. Mengapa harus FK? Keputusan ini tentu melalui diskusi yang cukup alot.

Awalnya pembawa isu hanya memper-tanyakan tujuan kampus mendirikan FK sementara hari ini masih banyak fasilitas belum memadai. Ia berpikir kenapa tidak memaksimalkan fasilitas-fasilitas yang belum memadai.

Pertanyaan ini memicu pandangan yang berbeda di ruang rapat. Ada yang setuju dengan pendirian FK karena baik

untuk citra kampus dan akan bermanfaat untuk fakultas lain jika ada kerja sama. Sebagian tidak setuju lantaran masih banyak fasilitas kampus yang belum me-madai, adanya FK hanya akan menambah pekerjaan rumah kampus.

Dari hasil observasi tim magang dan diskusi bersama, ditarik sebuah pertanyaan mendasar “Apa sebenarn-ya tujuan kampus mendirikan FK?” Pertanyaan ini baru terjawab setelah mewawancarai Safar Nasir, Wakil Rektor II UAD.

Setelah menemukan data-data baru saat reportase, penulis waktu itu menga-takan tujuan pemberitaan ini tidak ber-maksud menolak pendirian FK karena beberapa fasilitas sudah tersedia, bahkan telah dilakukan visitasi. Hanya saja ada keluhan dan pesan dari mahasiswa dan para dosen jika FK jadi dibuka. Mereka berharap fasilitas yang lain juga diper-hatikan secara adil dan tidak ada yang namanya anak emas.

Keluhan tentu ada karena beberapa fasilitas belum memadai seperti laborato-rium, ruang kuliah dan persoalan parkir. “Kita justru mau membangun kampus.” “Ngga papa ada Fakultas Kedokteran, tapi ya itu harapannnya, jangan sampai per-hatian ke fakultas yang lain jadi minim.” Begitu kata penulis sekaligus reporter berita FK.

Hingga hari dimana Poros dibredel tanpa klarifikasi, tidak ada pihak yang melakukan hak jawab maupun koreksi. Padahal (katanya) ada banyak komplain

kepada Poros. Peristiwa ini sungguh kami sayangkan.

Pemberian hak jawab dan koreksi merupakan hak pembaca. Inilah langkah yang harus ditempuh bagi siapapun yang keberatan dengan pemberitaan. Pembre-delan secara sepihak tanpa penjelasan kesalahan tidak akan menjadi pembe-lajaran yang baik dikalangan akademis maupun bukan.

Jika alasannya adalah ketidaksukaan, ini sungguh rumit dijelaskan. Mengapa? Semua orang tahu perasaan itu sangat subjektif. Setiap orang bisa bermain rasa untuk menilai segala sesuatu. Itulah men-gapa ada ilmu jurnalistik yang bisa kita tempuh untuk menyelesaikan persoalan jika dianggap keliru dalam hal jurnalistik. Karena Poros adalah lembaga jurnalistik, langkah inilah yang harus ditempuh.

Jika keberadaan kami dianggap tidak bermanfaat. Muncul kembali sebuah pertanyaan. “Manfaat bagi siapa? Ma-hasiswa? Dosen? Atau siapa?” Memang kami tidak memasukan belasan ribu suara maupun tanggapan mahasiswa, tapi semua yang kami sajikan adalah fakta ungkapan perwakilan mahasiswa. Bukan opini semata.

Pembaca yang budiman, banyak ko-mentar yang timbul terkait pembredelan Poros yang hanya secara lisan disam-paikan oleh Rektorat UAD, bahkan tanpa Surat Keputusan (SK). Namun alangkah lebih objektif jika sebelum berkomentar terlebih dahulu membaca pemberitaan kami dan kronologi pembredelan. [Red]

W : persmaporos.com E : [email protected] t :@porosUAD FB:Persma Poros UAD IG :PorosUAD

Diterbitkan Oleh : UKM Persma POROS UAD. Pembimbing: Anang Masduki S.Sos.I Pimpinan Umum: Lalu Bintang Wahyu Putra Bendahara Umum: Jopri Satriadi Lubis Sekertaris Umum: Siti Hapsa Pimpinan Redaksi: Fara Dewi Tawainella Reporter: Fara Anggota : Nur Azizah, Irma Resdiyanti, Dalety Jelita Hayati (Ilustrator/fotografer), Ilham Lazuardi (Layouter/Ilustrator) Kadiv Litbang : Marwah Ulfatunisa Anggota : Nahrul Hayat, Moh.Tri Angga, Noni Erilila. Kadiv Perusahaan : Silviana Wulandari Anggota : Ila Diazmi Isticandy, Fatma Noviasari. Kadiv Kaderisasi : Hamam Al Fikri Anggota : Muhayyan Kadiv Jaringan : Ilham Lazuardi

“Isi berita Persma Poros UAD itu bukan fitnah. Kebebasan berpendapat adalah hak. Pun, kebebasan pers dijamin di negeri ini. Mestinya kampus menyadari itu.”

(Agung Sedayu, Wartawan Tempo)

“Selalu muncul di pentas sejarah, pelantun kebenaran, itulah pers mahasiswa. Namun, (pers mahasiswa) selalu disambut dengan upaya-upaya pembungkaman. Punyakah mahasiswa energi spiritual untuk bertahan menorehkan peradaban?”

(Abdul Munir Mulkhan, Tokoh Muhammadiyah)

POROS Ed is i : 01/10 /05/2016

Opini 3

Kabar mengejutkan itu datang dari Yo-gyakarta. Di tengah situasi intoleransi yang meningkat, ditandai dengan berb-

agai pelarangan dan pembubaran diskusi, Pers Mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dibredel oleh pejabat kampusnya sendi-ri. Dari kronologi yang beredar di media sosial, alasan pembredelan diakibatkan pemberitaan Poros yang kerap “menjelek-jelekkan” kampus sehingga tidak “memberikan manfaat”.

Pembredelan ini menyedihkan karena terjadi di seputar peringatan Hari Kebebasan Pers In-ternasional 2016, dan apalagi terjadi di Yogya-karta, kota yang memiliki tradisi panjang dalam gerakan pers mahasiswa di Indonesia. Hal ini juga melanjutkan rentetan pembredelan pers mahasiswa yang belakangan semakin marak. Tahun 2014, misalnya, pers mahasiswa Ekspre-si Universitas Negeri Yogyakarta dibredel oleh rektorat UNY. Tahun 2015, pers mahasiswa Lentera di UKSW Salatiga juga dibredel setelah menulis tentang isu 1965.

Bredel dalam SejarahDalam sejarah pers mahasiswa Indonesia

pasca reformasi, pembredelan memang telah menjadi problem yang melekat dalam eksistensi pers mahasiswa itu sendiri.

Di dekade 1970-an, Orde Baru mulai menji-nakkan kekuatan-kekuatan yang dianggap bisa merongrong kekuasaannya. Pers mahasiswa yang dianggap sebagai bahaya laten mulai didesak untuk back to campus melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koor-dinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Upaya-up-aya korporatis juga mulai dilakukan. Pada tahun 1969, pemerintah mendirikan Badan Kerjasa-ma Pers Mahasiswa Indonesia (BKSPMI) yang membawahi penerbitan-penerbitan kampus di bawah struktur Dewan Mahasiswa. Pembentu-kan organisasi ini bisa dikatakan mengerdilkan peran Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia yang sebelumnya menjadi representasi suara pers mahasiswa di Indonesia. IPMI sendiri tak kuasa melawan tekanan pemerintah ini.

Jika di era Orde Baru pembredelan banyak dilakukan oleh negara, pasca 1998 pembredelan banyak dilakukan oleh pejabat kampus sendiri. Represi oleh birokrasi kampus, hal ini menjadi konsekuensi dari keadaan yang memaksa un-tuk back to campus. Objek pemberitaan pers mahasiswa kini secara vertikal adalah pejabat di lingkungan kampus, dan horizontal adalah mahasiswa sendiri. Secara otomatis, konflik akan tercipta jika ada objek pemberitaan yang merasa terganggu. Ancaman berupa kekerasan fisik, pembredelan, bahkan sampai sanksi aka-

demik menjadi sesuatu yang wajar diterima oleh aktivis pers mahasiswa.

Bulan Juni tahun 2000 di Medan, Suara USU sempat dibredel oleh rektoratnya sendiri. Pembredelan ini terjadi karena berita-berita yang ditampilkan oleh Suara USU telah menye-babkan keberatan rektor dan para guru besar. Berita yang menyebabkan keberatan ini adalah berita-berita kritis seputar kampus. Akibatn-ya, kampus menghentikan aliran dana kepada Suara USU.

Di Makassar, Catatan Kaki bahkan dil-aporkan oleh petinggi kampus ke kepolisian. Catatan Kaki dianggap telah melakukan fitnah dan mencemarkan nama baik si petinggi dalam berita “Unhas Penuh KKN, Rektorat Pusatnya” yang terbit pada 11 September 2001.

Masih banyak deret kasus lain yang bisa dibentangkan jauh lebih panjang lagi. Dari sana bisa dilihat bahwa lingkungan akademik yang katanya menjunjung tinggi kebebasan berek-spresi dan berpendapat, ternyata hanya serupa mitos. Dan bagaimana bisa belajar demokra-si dari dalam kampus jika berbagai tindakan yang muncul justru menunjukkan watak an-ti-demokrasi?

Memahami Pers MahasiswaPembredelan terhadap pers mahasiswa se-

benarnya tidak perlu terjadi apabila kalangan pejabat kampus memahami bahwa kehadiran pers mahasiswa bukanlah untuk mengabarkan “yang baik-baik” saja tentang kampus. Memaksa mahasiswa untuk menulis dan memuja-muji kampus semata hanya akan membuat maha-siswa kehilangan nalar kritisnya. Tugas pers mahasiswa justru idealnya mewartakan apa yang terjadi di kampus dengan berdasar pada data fakta yang ada.

Jika kemudian ditemukan ada tulisan di pers mahasiswa yang tidak didasarkan pada data fak-ta, kalangan yang terusik dengan pemberitaan bisa mengajukan hak jawab. Hal ini mesti dipa-hami agar pers mahasiswa tidak jatuh menjadi pamflet, dan mereka yang diberitakan dalam pers mahasiswa tetap memiliki hak untuk me-layangkan keberatan. Ini adalah kultur yang sehat jika kita bicara kebebasan pers.

Dengan begitu, pers mahasiswa tetap bisa menjadi ruang untuk menyalurkan ide-ide progresif mahasiswa tidak hanya dalam men-gupas sebuah persoalan tetapi juga memban-tu merumuskan berbagai ide-ide dan gagasan mahasiswa. Ruang untuk mendiskusikan prob-lem-problem baik di kampus maupun bangsa ini menjadi relatif terbuka karena polarisasi

ideologi dan kepentingan dalam tubuh pers mahasiswa biasanya berjalan dengan lebih di-namis. Hal ini jauh berbeda dengan organisasi kemahasiswaan lain yang kerap sudah bersifat partisan dan monolitik karena hanya dikuasai satu golongan saja.

Terlepas dari hal tersebut, berbagai pembre-delan yang terjadi terhadap pers mahasiswa juga sekaligus menunjukkan bahwa ketergan-tungan pers mahasiswa terhadap pendanaan dari rektorat masih begitu tinggi. Pemasukan dari iklan relatif kecil karena pemasang iklan lebih melirik pers umum untuk mempro-mosikan produknya. Upaya untuk menjual terbitannya sendiripun pada akhirnya mentok karena pembaca lebih memilih membeli me-dia-media umum. Patut dicatat, hal tersebut menjadi ciri yang menandai pers mahasiswa era ini dimana terbitannya tidak lagi dijual, melainkan dibagikan secara gratis.

Pada titik ini, pembredelan juga mesti menjadi pembelajaran tidak hanya dari sisi kebebasan ber-ekspresi tetapi juga dari pengelolaan pers maha-siswa itu sendiri. Butuh kerja keras agar tidak ada ketergantungan setidaknya dari sisi pendanaan terhadap kampus. Jika ketergantungan bisa dile-paskan, independensi dan ruang bergerak akan semakin lebih luas. Dalam hal produk jurnalisti-knya, misal, pers mahasiswa tidak perlu berada dalam kerangka produk cetak (majalah, tabloid, dll). Internet menawarkan ruang yang lebih luas untuk dieksplorasi.

Kasus pembredelan Lentera bisa dijadikan contoh. Pembredelan majalah yang dicetak terbatas justru membuat isunya muncul dan mendapat perhatian di media sosial. Pada akhirnya ia bisa terbaca jauh lebih luas jika dibandingkan dengan versi cetaknya. Seperti itu pula yang terjadi dalam pembredelan Poros di mana solidaritas muncul di mana-mana di media sosial. Ini menunjukkan peluang yang mesti dimanfaatkan.

Pada akhirnya, berbagai pembredelan pers mahasiswa memang menunjukkan bahwa watak anti-demokrasi juga bisa muncul di lingkungan akademik yang konon menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. Persoalannya kemudian, apakah pembredelan akan membuat pers mahasiswa semakin militan – dalam arti juga lebih kreatif dalam melihat peluang dan tantangan – atau justru menjadi anak manis yang duduk diam di kelas seperti yang diing-inkan para “orang tua” di kampus?

*Peneliti media Remotivi, Penulis buku Pers Ma-hasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan

Membredel Pers MahasiswaWisnu Prasetya Utomo*

POROS Ed is i : 01/10 /05/2016

Maksud Nur adalah lebih baik fasilitas di fakultas lain yang dilengkapi terlebih dahulu.

Namun bukan berarti ia tidak sepakat dengan FK.

Usulan Nur belum disepakati forum. Masih ada sejumlah isu yang juga menarik. Karena terjadi dead lock, rapat isu diputuskan dilanjut-kan pada lain waktu.

*** Minggu, 13 Maret 2016, rapat isu diadakan

di sebuah ruangan lantai tiga gedung ITC. Sebelumnya rapat isu telah diadakan dua kali. Dihari itu, diputuskan dua isu yang akan naik di buletin magang edisi kedua. Isu FK yang diusung Nur juga terpilih. Rapat redaksi dihari berikutnya Nur ditunjuk sebagai reporter seka-ligus penulis.

Sejak awal, Nur tidak menjadwalkan repor-tase isu FK. “Waktu reportase juga ngga terlalu terjadwalkan,” tutur Nur. Semua berjalan sembari ia kuliah dan mengerjakan tugas. Nur mengaku selepas kuliah jika tidak ada tugas ia langsung liputan. Apalagi menurut Nur, kadang reportase tidak menentu. Ini karena harus menyesuaikan jadwal narasumber yang juga padat.

Suatu hari, Nur merasa sangat rugi. Ia terpaksa tidak kuliah karena mengejar-ngejar narasumber penting dalam beritanya. Hari itu rupanya Nur memiliki jadwal kuliah dari pagi hingga siang hari. Sementara itu, ia juga harus bertemu Safar Nasir, Wakil Rektor (Warek) II UAD di kampus I.

Merasa waktu untuk bertemu Safar Nasir sangat penting, Nur memutuskan izin ke dosen untuk mengikuti kelas berikutnya. Hari itu, sebelum liputan, karena kami satu jurusan, saya sempat bertemu dengannya. Ia saat itu terlihat terburu-buru menemui dosennya.

Meski terburu-buru, Nur kemudian tetap mesti menunggu. Patrick, dosen mata kuliah Speaking sedang ada tamu. 30 menit berla-lu, namun Patrick masih berbincang dengan tamunya. “Ngga keluar-keluar akhirnya Nur pergi aja. Jadi memang ngga masuk kuliah,” ungkapnya.

Ia memutuskan untuk pergi ke Kampus I. Sesampainya di ruang rektorat, Safar Nasir, narasumber terpentingnya hari itu belum bisa ditemui. “Waktu datang ternyata Pak Warek ngga bisa ditemui juga,” ujar Nur.

Merasa masih ada waktu, ia dengan segera kembali ke Kampus II berniat masuk kelas berikutnya. Saat tiba, ternyata ruangan telah kosong. Nur langsung menghubungi temannya. Ternyata, kelas tersebut telah digabung dengan kelas sebelumnya. “Ya ampun aku ngga ma-suk, gimana dong?” ujar Nur pada temannya waktu itu. Syukurnya, ia bercerita saat ujian tidak terlalu susah, “Waktu ujian sih ngerasa

lumayanlah mudah,” kenang Nur. Meski waktunya terbagi antara kuliah,

diskusi di Poros, dan kegiatan di KBNP, Nur berhasil mewawancarai dua belas narasumber selama dua puluh hari. Nur bahkan sam-pai mengajak dua teman dari divisi redaksi wawancara ke Kampus UAD VI di Wates, Kulon Progo. Waktu itu mereka mewawancarai Kaprodi (Fakultas Tarbiyah dan Dirasat Is-lamiyah) FTDI. Meski demikian, dalam proses penulisan, tidak semua narasumber dimasukan sebagai data ─ data jurnalistik terbagi kedalam wawancara, observasi, dan data sekunder.

Kekecewaan tidak bisa mengikuti sekali kuliah yang dirasakan oleh Nur akhirnya menghilang. “Itu untuk cover both sides juga,” katanya. Ia menyadari informasi dari pihak rek-torat sangatlah penting. Karena itulah ia mesti mati-matian mengejar bahkan sampai men-gorbankan kuliah. “Yang paling tahu (tujuan pendirian FK-red) pasti rektorat,” tambah Nur.

Menurut Nur, jika tidak masuk kuliah sekali masih bisa dimaafkan karena maksimal ketida-khadiran boleh sebanyak tiga kali. Namun, jika tidak cepat menemui narasumber, penerbitan buletin akan terlambat.

***1 Mei 2016, bertepatan dengan Hari Buruh

Nasional. Pagi itu Nur bersama beberapa pen-gurus Poros ditugaskan meliput aksi di 0 KM. Nur sebagai anggota magang sengaja diajak untuk latihan liputan di luar kampus.

Siang hari selepas meliput aksi, Nur bersama semua tim kembali ke sekretariat Poros. Saat tiba di sekretariat, ia membaca link yang dibagikan di sebuah grup komunitas di WhatsApp tentang kronologi pembredelan Poros.

Seketika Nur terhenyak. “hah, Poros di-bredel po?” tanya Nur pada Somad, salah satu anggota Poros.

“Iya Poros dibredel karena berita Fakultas Kedokteran,” jawab Somad.

“Wah berita Nur bikin Poros dibredel,” ujar Nur.

Nur mengaku kaget waktu itu. Disaat yang bersamaan, link tersebut telah menyebar di berbagai akun media sosial.

Awalnya Nur mengaku khawatir dan takut karena merasa bersalah. Namun, ia mulai tenang ketika merasa banyak dukungan yang diberikan kepada Poros. Hari itu, setiap orang yang belum tahu, ketika sampai di sekretariat Poros langsung duduk dan menanyakan duduk persoalannya.

Selaku pengurus saya merasa cukup ber-salah. Nur tahu pembredelan itu bukan dari pengurus. Saya dan pengurus sengaja tidak memberitahukan langsung ihwal pembredelan itu. Kami takut itu akan membuat anggota magang turun mental.

Sebelumnya pada 27 April 2016, sekitar pukul 12.30 Pimpinan Umum (PU) dan Pimpinan Redaksi (Pimred) Poros menemui Abdul Fadlil, Wakil Rektor III UAD. Per-temuan tersebut dimaksudkan untuk menanya-kan pemberitaan Poros yang dianggap keter-laluan. Ini karena dihari sebelumnya, 26 April, PU Poros tidak sengaja bertemu dengan Fadlil. Pemberitaan yang keterlaluan disampaikan Fadlil saat itu juga.

Namun hingga akhir pembicaraan Fadlil ti-dak menjelaskan dimana letak kesalahan dalam pemberitaan. Bahkan diakhir ia mengatakan Poros telah dibekukan dengan pertimbangan ketidaksukaan rektorat mengenai isu FK yang diangkat. Ia melanjutkan Poros dianggap melemahkan kampus serta tidak bermanfaat.

****Beberapa hari setelah pembekuan Poros,

Nur tetap datang ke sekretariat dan menjalani aktifitas seperti biasanya. Ia bahkan sangat an-tusias mengikuti kegiatan pencarian dana untuk Poros. Nur meyakini banyak hal yang bisa ia pelajari di Poros dan ia rasa media seperti Poros penting untuk menjembatani mahasiswa dan kampus.

Beberapa kali Nur menemui saya untuk mengecek kembali data dalam pemberitaan. Kesalahan seperti kelebihan kata dan kesalahan penulisan lainnya Nur pinta untuk dilakukan ralat. Oleh tim redaksi ralat disampaikan di kolom komentar Poros di akun facebook yang mengunggah buletin magang edisi kedua versi pdf.

Awalnya, Nur merasa bersalah jika ada yang mengatakan Poros berniat buruk dalam memberitakan FK. “Tapi kalo sekarang tuh kayak udah ngerasa emang ini benar yang Nur lakuin,” ucap Nur kepada saya. “Kita justru mau membangun kampus.”

Fara Dewi Tawainella

Kekecewaan tidak bisa mengikuti sekali kuliah yang dirasakan oleh Nur

akhirnya menghilang. “Itu untuk cover both sides juga,” katanya.

Ia menyadari informasi dari pihak rektorat sangatlah penting.

Sambungan Hal 1POROS Ed is i : 01/10 /05/2016