Buletin random 2014 (I)

7
Kakek & Cerita-cerita Lainya Resensi Buku : Aki Esai : Momong Puisi : Topeng Monyet Edisi Satu Tahun 2014 Baca, Tulis, Suarakan Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta KRITIS - AKTUAL - JUJUR - INDEPENDEN

description

Baca, Tulis, Suarakan

Transcript of Buletin random 2014 (I)

Kakek & Cerita-cerita Lainya

Resensi Buku : Aki

Esai : Momong

Puisi : Topeng Monyet

Edisi Satu Tahun 2014

Baca, Tulis, Suarakan

Lembaga Kajian MahasiswaUniversitas Negeri Jakarta

KRITIS - AKTUAL - JUJUR - INDEPENDEN

Mengangkat tema kematian menjadi sebuah cerita dalam

novel tentu bukan perkara mudah. Namun, Idrus yang merupakan penulis angkatan 45, membuat tema kematian menjadi suatu cerita yang menarik dalam salah satu bukunya berjudul ‘Aki’. Buku terbitan Balai Pustaka ini, menunjukkan bahwa betapa dekatnya kematian dengan Tuhan dan kehidupan sehari-hari. Aki, sebuah nama pendek yang menjadi peran utama. Dikisahkan menjadi sosok yang siap mati pada awalnya, lantaran penyakit paru-paru menggerogoti Aki hingga ia terlihat seperti orang tua. Padahal, umurnya baru menginjak 29 tahun. Aki sudah mempersiapkan

kematiannya sedemikian rupa hingga para tetangga dan kerabatnya heran. Mengapa Aki bisa memprediksi tanggal kematiannya sendiri. Padahal, sembahyang atau beribadah pun Aki tak pernah. Lalu, masihkah ia percaya dengan Tuhan? Atau Tuhan sudah mati hingga bisa meramalkan kematian? Kondisi Aki mungkin mewakili kondisi masyarakat di tahun tersebut. Mereka menganggap Tuhan sudah mati. Idrus sangat ahli dalam mendeskripsikan suasana, tempat hingga bentuk tubuh Aki yang membuat kita sebagai pembaca seperti turut serta dalam cerita itu. Kelihaian mendeskripsikan laki-laki yang dilahirkan di Padang itu, barangkali berasal dari ketertarikannya pada dunia sastra semenjak ia duduk di bangku sekolah.

Mau Mati atau Tidak

Judul : Aki Penulis : Abdullah IdrusPenerbit : Balai PustakaHalaman : 74 halamanTahun Terbit : 1944

Rita Apriani

3

2

2

DAFTAR ISI

2

3

Sekretariat LKM UNJ Jl. Rawamangun Muka, Kampus

A UNJ, Gedung G, Ruang 305

@lkmunj

www.lkm-unj-blogspot.com

www.facebook.com/LembagaKajianMahasiswa

Kontak Kami

5

8

11

Pembina : Irsyad Ridho, M.HumPenanggung Jawab : Muhammad Khambali, Rusmiati Sintia Dewi Redaksi: Rahmat Mustakim.Hadi Setioko, M. Khambali, Rita Apriani.Desain layout: Annisa Dewanti PutriEditor: Rusmiati Sintia Dewi, M. Khambali

Kritik dan Saran :Aang (083862104778) Agus Purnomo (087887227391)

Tim Redaksi

Mau Mati atau Tidak

Esai : Momong

Puisi : Topeng Monyet

Bercerita Impian dan Kebatinan

Edisi Satu 2014

Idrus terbiasa menulis cerpen dan juga membaca roman dan novel dari Eropa yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah. Seperti penggambaran tokoh Aki yang sangat menyayangi keluarga dan memiliki kepribadian baik, dikatakan dengan jelas dalam beberapa kalimat berikut ini : ‘Cahaya matanya bersinar gemilang, tajam bersih, seakan-akan mata itu tidak ikut dilanggar penyakit paru-paru itu. Dan mulutnya...halus, bisa tersenyum menarik hati dengan tidak menimbulkan curiga pada orang yang melihat senyum Aki bukanlah senyum diplomat, tapi senyum yang keluar dari hati yang bersih. Hanya Sulasmi, istri Aki yang mengerti pandangan Aki bahwa kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Hal ini membuat kita bertanya pada diri sendiri. Sebenarnya perlukah kematian itu ditakuti? Dengan logika sederhananya, orang mati sudah memiliki tempat nyata, surga atau neraka. Sedangkan orang hidup, masih mengawang meskipun kakinya berinjak pada tanah. Pada akhirnya, di hari kematian yang sudah ditentukan, Aki tidak jadi mati. Perlahan penyakit paru-paru itu sembuh. Semenjak kejadian gagal mati, Aki mulai

sadar. Terjadi perubahan besar dalam dirinya. Ia mulai menghargai kehidupan, percaya Tuhan dan tak mau pasrah terhadap malaikat maut. Buku yang terdiri dari 9 bab ini, ditutup dengan satu hal menarik di penghujung bab. Aki yang sudah mencapai usia 42 tahun kembali bersekolah. Bersama dengan mahasiswa lain yang umurnya jauh di bawah Aki. Semangatnya menggebu untuk terus belajar. Tanpa kenal usia. Pesan Idrus tersampaikan dengan baik di bab ini. Seseorang akan merasa hidup jika waktunya digunakan untuk belajar. Dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami dilengkapi gambar hitam putih di beberapa halaman membuat mata nyaman untuk membaca. Idrus, melalui Aki menyampaikan kalau manusia tidak dapat menyerah atau pasrah begitu saja menghadapai malaikat maut atau kematian. Apalagi, menentang takdir. Buku ini sengaja ditampilkan dengan wajah baru oleh Balai Pustaka. Tujuannya, tentu agar kita dapat menikmatinya dengan semangat, perspektif dan pemaknaan yang baru. Agar kita lebih mengenal kondisi masyarakat terdahulu seperti apa melalui karya sastra ini.

Pada umumnya pembaca menginginkan sebuah cerpen

yang bisa mengetuk perasaan pembaca. Mungkin bagi kita (pembaca) akan merasa rugi ketika telah membaca cerpen yang tidak mampu mengetuk batin atau perasaan pembaca itu sendiri. Berbanding terbalik bila kita membaca kumpulan cerpen berjudul Cerita Kakek dan cerita-cerita lainnya karya Eko Triono. Akan ada perasaan yang mengejutkan batin kita.

Membaca kumpulan cerita pendek ini seakan membaca keseharian kita. Cerita fiktif sederhana dari konflik kebatinan manusia. Sarat akan

makna dalam balutan perumpamaan syahdu. Cerpenis Eko Triono membantu pembaca dalam membaca manusia dari sisi kehidupan kecil keseharian hingga masalah besar melalui kebatinan manusia.

Dengan 17 judul cerpen bertema sederhana, kumpulan cerpen ini banyak menggambarkan sifat dari kebatinan manusia. Dari cerpen pertama berjudul Kakek, kita diajak memahami keinginan manusia, usia tua. Diceritakan singkat: terdapat tiga orang kakek

Bercerita Impian dan Kebatinan

Judul : Kakek dan Cerita-cerita LainnyaPenulis : Eko TrionoPenerbit : Sputnik BooksTahun dan tebal buku : 2013, cetakan pertama 96 halaman

Hadi Setioko

4

5

Februari 2014

dengan profesi berbeda. Kakek pertama bekerja sebagai pemulung, kakek kedua bekerja sebagai penjual balon, dan kakek ketiga bekerja serabutan memperbaiki atap rumah. Kemudian datang seorang nenek mencari suaminya. Nenek ini menggendong seorang cucu. Sang cucu lalu menunjuk kakek pertama dan kakek kedua yang ia sangka kakeknya, tapi bukan. Kemudian kakek ketiga datang menghampiri lalu menggendong si cucu. Kakek ketiga ini yang merupakan suami asli nenek itu.

Pada akhir cerita, kakek pertama dan kakek kedua tersipu malu melihat kakek ketiga menggendong si cucu dengan bahagianya. Kedua kakek ini kemudian melanjutkan pekerjaan. Mereka seperti tidak mengalami peristiwa apa-apa bahwa mereka tadi sempat menggoda si cucu untuk diajak bermain.

Melalui cerita Kakek, Eko seperti mengajak kita memahami arti sebuah impian. Cerita ini seakan mampu menimbulkan bayangan pada benak pembaca untuk bermimpi ingin seperti apa impian kita di masa tua nanti. Melalui perasaan batin

seseorang yang coba diangkat jadi cerita yang sangat mengetuk hati.

Bukan cuma satu, untuk isi cerita bertema impian dapat kita temukan juga pada cerpen lainnya seperti Kebahagiaan, Pasangan, Sekarang Jam Berapa dan Pulang. Ada hal yang membedakan antara ketiga cerpen tadi dengan cerpen Kakek. Tema impian yang dibicarakan sama tetapi dalam pembacaan kebatinannya akan kita temui melalui gejolak batin individu itu sendiri.

Hadirnya cerpen Eko banyak memberikan kejutan bagi penikmat cerpen. Kejutan itu terkadang menimbulkan perasaan menggebu namun tetap nyaman lewat perumpamaan yang menenangkan. Seperti pada judul cerpen Aku Ini Ibumu, Anak Manis, Bukan Aku Yang Membunuhnya, dan Seekor Hiu Di Atas Atap. Dari beberapa cerpen di atas Eko lagi-lagi memperlihatkan sisi emosional manusia. Hampir disetiap cerita mangandung nafas yang begitu mengikat perasaan. Di cerpen ini kita dapat menemukan pemahaman Eko dalam

mengolah konflik kebatinan manusia melalui dialog antar tokoh.

Gaya bertutur sastra kumpulan cerpen ini kuat. Terlihat dari metafora yang mengimajinasikan. Tapi kita patut berhati-hati dalam menafsirkan karena terkadang perumpamaan yang disajikan memberikan kebingungan. Kita dibuat sedikit kesulitan untuk menyambungkan logikanya ke cerita selanjutnya. Kita bisa menganggap metafora itu seakan-akan kita diajak berpuisi.

Dalam kemasan sederhana ini

Eko coba dekatkan pembaca melalui sisi kehidupan seperti kepekaan terhadap sosial, politik, religiusitas, filsafat, adat istiadat, sampai pada rumah tangga. Tidak dapat menutup kemungkinan bahwa tema cerita ini berdasar dari kehidupan nyata yang sederhana. Cerita pendek ini bisa kita

jadikan bahan penyadaran. Berbicara nilai, tentu sastra dalam kumpulan cerpen ini mengandung banyak nilai-nilai kemanusiaan. Tak heran jika beberapa cerpen Eko muncul di media cetak seperti Kompas, Horison, dan Suara Merdeka.

Sampai pada akhirnya membaca kumpulan cerpen Eko sungguh sangat mengetuk pintu hati. Eko sukses mengajak kita untuk terus mengelus dada melalui perasaan melalui cerita yang menyentuh batin. Cerpen Eko pantas kita beri predikat cerpen yang berhasil menyentuh perasaan batin

manusia. Melalui cerita dari tema sederhananya mampu menghadirkan suasana kebatinan yang luar biasa. Ide-ide cerita yang mampu mengimajinasikan

pembaca.

Seperti disampaikan Maman Mahayana (Bermain dengan Cerpen: 2006) bahwasanya tema bukan segalanya. Tema sederhana dengan penggarapan yang mendalam akan menghasilkan karya yang bermutu. Begitu.

"Cerita ini seakan mampu menimbulkan bayangan pada benak

pembaca untuk bermimpi ingin seperti apa impian kita di masa tua

6

7

Februari 2014

dan berubah. Dalam masyarakat modernis sekarang, setiap perkara hidup disetir oleh rasio konsumsi-produksi. Oleh logika bagaimana menimbun kebendaan. Begitu pula dalam hal ihwal momong anak, mengenai cara-cara mendidik anak. Banyak cerita anak dipukuli, dilarang bermain, dipaksa menjadi seperti kemauan orang tuanya. Konsekuensinya, anak pun seolah dianggap benda, bukan jiwa.

Telah terjadi pergeseran peran dan mengenai cara-cara momong anak. Menganggap sekolah sebagai tempat paling baik mendidik anak. Dalam buku Deschooling Society (1971), Ivan Illich membaca kondisi

masyarakat yang tergantung terhadap lembaga pendidikan. Orang-orang yang terbelenggu oleh sekolah berkeyakinan bahwa belajar sendiri itu tidak cukup. Orang tua merasa tidak cukup cerdas untuk membantu anaknya belajar. Maka dimasukkan anak-anak mereka

ke sekolah, ke tempat bimbingan belajar.

Sementara itu kita membuka sistem pendidikan yang kita adopsi dari warisan kolonial. Sebuah model persekolahan seperti ruang kelas, kurikulum, jam matapelajaran, dan lengkap dengan kurikuler tersembunyi. Anak-anak dikenalkan logika standarisasi melalui test, diajari bagaimana berkompetisi. Guru-guru melarang menghabiskan waktu dengan bermain, mengatakan bermain itu bukan belajar. Guru tersebut seolah tak penah kenal dengan Frobel, tokoh pendidik itu.

Sekolah seolah tempat satu-satunya pendidikan anak. Orang melupakan adanya

pendidikan nonformal dan informal. Permasalahannya, sekolah pun nyatanya jauh dari esensi belajar, dari pendidikan itu sendiri. Sekolah menyamakan pengajaran sebagai pendidikan, menganggap

Cara mendidik sebenarnya suatu hal yang bersifat

kultural. Bangsa Barat mengenal kata otoritarian, demokratis, dan permisif. Keluarga yang berkuasa, yang membuka suara, dan yang liberal. Sementara masyarakat kita sendiri, semisal orang jawa mengenal bahasa momong. Dalam karya para priyayi (1992) Umar Kayam mengajak menemukan keluarga Sastrodarsono menjadi gambaran orang jawa dalam momong anak. Menanam etika melalui tokoh dalam cerita pewayangan seperti pandawa lima dan punakawan, dari nilai luhur yang terkandung di dalam tembang-tembang macapat.

Anak jawa dididik

untuk menjadi bagian dari masyarakat. Sebaliknya seorang anak jawa akan sangat isin atau malu ketika berperilaku yang menyalahi nilai atau norma. Itulah, mengapa tradisi jawa maupun masyarakat Timur pada umumnya melahirkan nilai-nilai kolektif ketimbang masyarakat Barat yang lebih individual. Jelas, seperti yang dikatakan oleh Frans Magnis Suseno (2013), kebudayaan-kebudayaan di Indonesia menjadi kontrol sosial dalam masyarakat.

Tentu saja tradisi semacam itu tumbuh dalam masyarakat masa lalu, pada masa Indonesia pramodern. Zaman terus bergerak, nilai dan etika tersebut telah banyak bergeser

MomongMuhammad Khambali

Kita mendapati akhir-akhir ini kasus tawuran antar sekolah belum berakhir. Kita juga mengeluhkan berita anak muda bertindak

asusila. Pandangan kita, mengaitkannya dengan kesalahan pola asuh keluarga, mengecap para orang tua telah lalai mendidik anaknya.

Mungkin kita sepakat, namun bukan berarti menyederhanakan persoalan. Kita pun semestinya curiga, apa yang orang-orang saat ini pikirkan mengenai mendidik anak. Lebih jauh, apa yang sekolah telah

berikan pada anak-anak?

"Permasalahannya, sekolah pun nyatanya jauh dari esensi belajar,

dari pendidikan itu sendiri."

8

9

Februari 2014

nilai raport sebagai gambaran proses belajar, dan menjadikan pemberian hukuman sebagai cara mendidik, yang bahkan dianggap paling tepat dan luhur.

Sulit disangkal bahwa sekolah menjauhkan setiap orang dari masyarakat. Guru lebih suka anaknya bertanya tentang rumus, daripada mempertanyakan kemiskinan di jalah-jalan. Lebih suka anak-anak pandai bahasa asing ketimbang bahasa ibu. Ruang kelas justru menjadi ruang pemerkosaan jiwa anak, mencabut anak dari alam kehidupannya. Lantas mengapa masih mengeluh ketika generasi kita lupa akar budayanya?

Kita semestinya memahami bahwa sekolah punya banyak keterbatasan sebagai istitusi pendidikan. Mulai berpikir guru-guru tak akan cukup mampu untuk mendidik empat puluh kepala dalam satu kelas. Dan sekolah tidak selayaknya dianggap sebagai agama baru yang menentukan masa depan anak-anak. Kita harus membebaskan masyarakat dari belenggu sekolah, dari pikiran

sekolah sebagai tempat paling baik momong anak-anak.

Kita melupa pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan dan keluarga. Tentang gagasan Tri-pusat pendidikan, yakni keluarga, perguruan, dan pergerakan pemuda. Menempatkan keluarga sebagai pilar pusat pendidikan, tempat lahir dan tumbuhnya budi pekerti. Ki Hajar Dewantara telah mengingatkan untuk meragukan sistem sekolah, yang dia katakan hanya semata mengusahakan cerdasnya intelektual (1935).

Tuntutan zaman yang ekonomistik bukan berarti menelantarkan anak-anak. Tetapi menyelamatkan anak-anak dari sinetron-sinetron, dari gadget-gadget mereka, dari merek-merek dan iklan-iklan. Setiap orang tua semestinya berpikir ulang untuk menyerahkan pendidikan anaknya kepada sekolah. Kita, orang-orang yang momong, sekiranya mengingat perkataan Ki Hajar Dewantara, “Setiap orang adalah guru, setiap rumah menjadi sekolah.”

10Februari 2014

TOPENG MONYETOleh: Rahmat Mustakim

Hei, barangkali kau tak menyangkaatau mungkin di antara kita belum sadar

kalau di negara yang penuh dengan hiburan iniatraksi topeng monyet tak hanya ada di pinggiran jalan,

di tengah pemukiman, atau di bawah lampu merahyang memberhentikan laju kendaraan

kau pun bisa melihatnya di kursi kekuasaan, di mejahijau yang selalu melelangkan peraturan,

atau di papan tulis Pendidikan!

Hei, barangkali kau tak menyangkaatau mungkin di antara kita belum sadar

bahwa sudah banyak monyet-monyet yang tak bosannyamenghibur kita di media massa belum tertangkap

ataukah ia sedang diajarkan membawa payung,main tembak-tembakan, dan jadi pembalap

terserahlah; tapi kau perlu tahu satu halkalau atraksi topeng monyet di negara kita

masih banyak yang belum terkena razia!

Jakarta, 2013

11

Lembaga Kajian Mahasiswa

“A mind needs books as a sword needs a whetstone, if it is to keep its edge.”

-George R.R. Martin