Buletin Payo-Payo Edisi 04

12
1 HALAMAN PAYO-PAYO kabar pertanian dan pembangunan dari warga Edisi IV Agustus 2013 SEBUAH HASIL penelitian menunjukkan bahwa warga Tompo Bulu punya potensi mengembangkan kemampuan afiliasi yang baik. Mereka punya empati yang dalam dan saling menghargai, serta tidak sulit saling mem- bantu ketika dibutuhkan untuk hal-hal tertentu. Ini terlihat ketika mereka hendak mendirikan rumah atau mengadakan hajatan. Mereka mu- dah dipanggil datang membantu. Namun hal serupa sulit terwujud ketika mereka hendak berkumpul membicarakan alokasi anggaran dan program dari pemerintah. Mereka kurang mampu membentuk kelompok yang memuas- kan secara aspiratif untuk menangani urusan publik. Mereka bisa membantu kepentingan pribadi orang lain, namun sulit untuk duduk bersama secara teratur untuk menentukan ke- bijakan demi kepentingan bersama dan/atau mengerjakan bersama sebagian dari kebijakan publik tersebut. Umumnya, di banyak desa di Sulawesi Selatan, masyarakat mengorganisir diri dalam sebuah kelompok karena momentum program, baik yang diinisiasi pemerintah, Ornop, hingga lem- baga donor internasional. Tidak terkecuali di tiga desa penelitian. Kelompok menjadi salah satu persyaratan untuk menjalankan program baik yang sifatnya ‘penguatan kapasitas’ untuk mengelola pengetahuan & pemanfaatan sum- berdaya desa, ‘peningkatan ekonomi’ sektor riil, ‘pengembangan infrastruktur’ hingga modern- isasi ‘teknologi perdesaan’. Program pertanian pemerintah biasanya dilak- sanakan melalui kelompok-kelompok tani yang pembentukannya difasilitasi oleh pemerintah desa dan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Dinas Pertanian. Sebagai ‘payung’ seluruh Kelompok Tani di satu desa, juga dibentuk satu organisasi lagi, Gabungan Kelompok Tani (Ga- poktan). Melalui kelompok-kelompok inilah Kerja Kolektif, Daya Sosial yang Harus Dilindungi TIM PAYO-PAYO

description

Desa dan Kerja-kerja Kolektif

Transcript of Buletin Payo-Payo Edisi 04

Page 1: Buletin Payo-Payo Edisi 04

1HALAMAN

PAYO-PAYOkabar pertanian dan pembangunan dari warga

Edisi IV Agustus 2013

SEBUAH HASIL penelitian menunjukkan bahwa warga Tompo Bulu punya potensi mengem bangkan kemampuan afiliasi yang baik. Mereka punya empati yang dalam dan saling menghargai, serta tidak sulit saling mem-bantu ketika dibutuhkan untuk hal-hal tertentu.

Ini terlihat ketika mereka hendak mendirikan rumah atau mengadakan hajatan. Mereka mu-dah dipanggil datang membantu. Namun hal serupa sulit terwujud ketika mereka hendak berkumpul membicarakan alokasi anggaran dan program dari pemerintah. Mereka kurang mampu membentuk kelompok yang memuas-kan secara aspiratif untuk menangani urusan publik. Mereka bisa membantu kepentingan pribadi orang lain, namun sulit untuk duduk bersama secara teratur untuk menentukan ke-bijakan demi kepentingan bersama dan/atau mengerjakan bersama sebagian dari kebijakan publik tersebut.

Umumnya, di banyak desa di Sulawesi Selatan, masyarakat mengorganisir diri dalam sebuah kelompok karena momentum program, baik yang diinisiasi pemerintah, Ornop, hingga lem-baga donor internasional. Tidak terkecuali di tiga desa penelitian. Kelompok menjadi salah satu persyaratan untuk menjalankan program baik yang sifatnya ‘penguatan kapasitas’ untuk mengelola pengetahuan & pemanfaatan sum-berdaya desa, ‘peningkatan ekonomi’ sektor riil, ‘pengembangan infrastruktur’ hingga modern-isasi ‘teknologi perdesaan’.

Program pertanian pemerintah biasanya dilak-sanakan melalui kelompok-kelompok tani yang pembentukannya difasilitasi oleh pemerintah desa dan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Dinas Pertanian. Sebagai ‘payung’ seluruh Kelompok Tani di satu desa, juga dibentuk satu organisasi lagi, Gabungan Kelompok Tani (Ga-poktan). Melalui kelompok-kelompok inilah

Kerja Kolektif, Daya Sosial yang Harus Dilindungi TIM PAYO-PAYO

Page 2: Buletin Payo-Payo Edisi 04

2HALAMAN

pemerintah mengerjakan sejumlah program bi-dang pertanian, seperti pembagian benih ung-gul, penyaluran pupuk bersubsidi, pembagian traktor tangan (hand tractor) dan juga bantuan modal kepada petani seperti Kredit Usaha Tani (KUT).

Bentuk program paling jelas di desa penelitian ialah infrastruktur fisik seperti sarana irigasi, ja-lan, dan demplot-demplot yang dikelola kelom-pok tani. Untuk infrastruktur kesehatan, ada beberapa gedung di sekitar pusat pemerintahan desa, sarana air bersih, MCK, saluran pembua-gan air (got/parit) dan pusat pemeriksaan kese-hatan balita (Posyandu). Sisanya, fasilitas publik dan pemerintahan seperti aula pertemuan dan pengembangan gedung pemerintahan. Untuk mengetahui nama program yang mendomi-nasi pengembangan infrastruktur fisik desa ini bisa dilihat dari papan penunjuknya, seperti ‘PNPM-Mandiri’, yang mencantumkan tahun pengerjaan. Ada pula NGO internasional, semi-sal CARE yang lebih memfokuskan program ke pengadaan air bersih untuk kelompok-kelom-pok warga—baik lewat kelompok yang sudah ada maupun dengan membuat kelompok baru.

pok menjadi suatu kebutuhan petani?

Pembentukan kelompok di wilayah peneli-tian sebagian besar mengacu kepada struktur administrasi desa atau struktur yang lebih ke-cil lagi seperti dusun/lingkugan, RT hingga RW. Tujuannya agar memudahkan proses pemben-tukan dan koordinasi anggota dalam kelompok. Jika membandingkannya dengan mengacu stuk-tur yang belum ada, cara ini lebih memudahkan pengidentifikasian warga yang akan diajak ma-suk ke kelompok dan terlibat dalam program. Kendati masyarakat umumnya memahami tu-juan ideal dan pentingnya membentuk kelom-pok, (bisa kita temukan dari beberapa pahaman budaya lokal tentang gotong royong [situlung-tulung], semangat persatuan, saling mengingat-kan [sipakainge’], dan solidaritas), tetapi tidak sedikit individu yang masih menggunakan ala-san pragmatis dalam pengelolaan program ne-gara, seperti untuk mendapat bantuan atau agar bisa mengakses pupuk murah dan sebagainya. Nilai-nilai lokal itu seperti ter pinggirkan ketika mereka mengelola sumberdaya dari luar.

Singkatnya, sulit menemukan kelompok yang murni dibuat oleh masyarakat atas inisiatif sendiri berdasarkan analisis kebutuhan mereka. Bisa dikatakan dorongan/inisiatif tersebut be-rasal dari pihak luar, atau desakan kebutuhan petani atas input-input pertanian dari luar, atau gabungan keduanya, seperti pengakuan seorang ibu, warga Bonto Birao. Menurutnya, suaminya terlibat dalam kelompok di Dusun Bonto karena kebijakan Pemerintah Kabupaten mengharus-kan petani tergabung dalam kelompok tani. Akhirnya keterlibatan suaminya di kelompok terasa tak memberi manfaat. Apalagi setelah terjadi kelambatan penyaluran bantuan pupuk di kelompoknya.

Selain soal pupuk, pembagian traktor tangan juga tidak bisa dinikmati oleh seluruh anggota kelompok karena harus digunakan secara ber-gantian—mesti berburu dengan jadwal musim tanam atau saat penghujan tiba. Jika petani harus menggunakan traktor bergiliran, maka akan memakan waktu yang panjang. Sementa-ra, petani harus mengejar musim penghujan karena sebagian besar lahan petani Bonto Birao

‘kelompok’ hanya menjadi syarat administratif sebelum program akan dijalankan

Sederhananya, dapat dikatakan bahwa ‘kelom-pok’ hanya menjadi syarat administratif sebe-lum program akan dijalankan, semisal program subsidi pupuk oleh Dinas Pertanian. Petani bisa mendapatkan pupuk bersubsidi bila secara ad-ministratif petani bersangkutan terdaftar seba-gai salah satu anggota kelompok tani, tempat program akan dijalankan. Melalui kelompok tani kemudian pupuk-pupuk bersubsidi dis-alurkan ke petani. Maka tak jarang petani segera membentuk kelompok untuk bisa mengakses program yang sedang atau akan dijalankan. Bahkan kadang ditemukan petani yang tidak tahu menahu pencantuman namanya di salah satu kelompok. Maka pertanyaan paling men-dasar yang bisa diajukan adalah apakah kelom-

Page 3: Buletin Payo-Payo Edisi 04

3HALAMAN

berada di bukit-bukit yang mengandalkan air hujan untuk pengairan. Ketua kelompok dan pengurusnya biasanya punya kesempatan lebih menggunakan traktor bantuan karena mereka senantiasa menjadi prioritas. Akibatnya, setiap masa pengolahan lahan, sebagian besar petani tetap harus menyewa traktor.

Kepentingan paling tampak dalam upaya pem-bentukan kelompok di Tompo Bulu adalah modernisasi pertanian. Maka pengembangan infrastruktur desa lebih ke arah modernisasi pertanian ketimbang kebutuhan riil petani. Pa-dahal modernisasi sistem pertanian lebih bero-rientasi pada kuantitas produksi dan pelipatgan-daan nilai ekonomi melalui usaha agroindustri, untuk kepentingan pelaporan; dan tidak selalu berarti kesejahteraan petani.

pobulu tahun 2012), Kelompok Simpan Pinjam Perempuan (Tompobulu), Kelompok Petani Perempuan (Dinas Pertanian Kab. Pangkep: Bonto Birao untuk program Tanaman Peka-rangan) dan Kelompok Pemberdayaan dan Kes-ejahteraan Keluarga/PKK (Pemerintah Pusat sejak masa Orde Baru). Selain kelompok khusus perempuan, mereka juga secara formal ikut ter-libat di beberapa program besar sekelas PNPM-Mandiri dan program lainnya.

Kecenderungan kelompok perempuan di atas bersifat formal, sebagaimana organisasi beserta perangkat dan struktur bentukannya. Di aras in-formal, keterlibatan perempuan di dalam kelom-pok-kelompok—yang tidak menitikberatkan pada isu gender—juga terjadi. Dalam obrolan bersama istri-istri ‘pemegang proyek besar’ dan ‘pejabat desa’, mereka kerap mengambil peran informal dalam mempengaruhi kebijakan yang secara formal dibuat oleh suami-suami mereka. Misalnya pada bagian penentuan tempat belanja material proyek, melengkapi persuratan dan ad-ministrasi proyek, menyebarluasan informasi ‘burung’ hingga cerita-cerita miring di dalam proses pengerjaan proyek.

Karenanya sulit menghindari kesan umum kelompok-kelompok tersebut dibentuk karena kebutuhan program, tidak sepenuhnya berasal dari kebutuhan warga.

Satu kesimpulan sementara lain yang bisa dia-jukan di sini adalah warga memang sudah menikmati kebebasan untuk memilih afiliasi, atau membentuk kelompok berdasarkan as-pirasi mereka. Namun itu tidak dibarengi de-ngan dukungan pemerintah terhadap kelompok inisiatif warga tersebut. Sehingga kemungkin-an tidak banyak dari kelompok tersebut bisa bertahan lama ketimbang kelompok yang di-inisiasi oleh pemerintah. Padahal tidak sedikit dari kelompok yang diinisiasi warga tersebut mewakili aspirasi asli warga. Dengan kata lain, pemerintah secara tidak langsung meredup-kan kemampuan afiliasi warga dengan tidak mendukungnya secara maksimal, sebagaimana mendukung kelompok ‘pesanan’ yang berasal dari program pemerintah.[]

warga tidak punya institusi tempat mereka bisa menyuara­kan dan mengatasi kenyataan yang mereka hadapi

Di sini terlihat bahwa mereka sepertinya tidak punya institusi tempat mereka bisa menyuara-kan dan mengatasi kenyataan yang mereka ha-dapi sehari-hari, yang bisa menyalurkannya ke pemerintah untuk membentuk kebijakan mere-ka. Karena sudah berlangsung lama, usaha un-tuk membangkitkan kembali partisipasi genuin mereka dalam proses kebijakan publik, kerap menemui kendala yang sampai sekarang sulit diatasi.

Namun tidak semua warga kehilangan potensi membangun afiliasi berdasarkan masalah pub-lik yang mereka hadapi. Pada titik tertentu, teru-tama kala terjadi krisis berkepanjangan, mereka bisa bangkit dan mencari solusi bersama, meski dengan sedikit dukungan dari pemerintah.

Sementara itu, salah satu tren program yang mengubah ruang-ruang perempuan dalam ran-ah publik adalah dengan melibatkan mereka ke dalam kelompok-kelompok perempuan se perti Kelompok Petani Perempuan (CARE: Tom-

Page 4: Buletin Payo-Payo Edisi 04

4HALAMAN

PAK NAJAMUDDIN tersenyum saat diminta oleh fasilitator pertemuan untuk menyebut-kan nama kelompok taninya. Petani dari Tompobulu, Kecamatan Balocci, Pangkep ini rupanya lupa nama kelompoknya tempat ia terdaftar sebagai anggota. Selain tidak tahu nama kelompok, ia pun luput siapa saja yang jadi anggota.

Di Tompobulu, terdapat 22 kelompok tani ter-bentuk difasilitasi pemerintah. Tiap kelompok terdiri 15-25 petani yang dipilih berdasarkan jarak rumah. Yang berdekatan akan berada dalam satu kelompok. Di tingkat desa, sejum-lah kelompok ini berada di bawah satu ga-bungan kelompok, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang memiliki pengurus sendiri.

Para petani yang hadir malam itu menge-luhkan keadaan kelompok yang tidak aktif dan kegiatan pertanian yang hampir tidak pernah terjadi. Begitu juga dengan pengu-rus gabungan kelompok tani serta penyuluh pertanian di desanya. Keberadaan kelom-pok hanya untuk memenuhi persyaratan penyaluran program pemerintah seperti pembagian benih, pupuk bersubsidi, atau peralatan pertanian.

Keluhan ini tampaknya dikarenakan ada contoh kelompok yang kerap melakukan pertemuan untuk mendiskusikan masalah pertanian yang mereka alami. Bahkan mere-ka juga memprakarsai model penanaman padi yang belum pernah dilakukan petani Tompobulu sebelumnya. Cara tanam itu adalah System Rice Intensification (SRI), yang dalam setempat dikenal sebagai alla-mung ta’serre-serre (Mks., menanam satu-satu). Kini, sekisar 50 petani menerapkan model tanam ini. Kelompok tersebut ada-lah Sekolah Rakyat Petani (SRP) Tompo -bulu, kelompok yang dibentuk sejumlah petani yang ‘nekat’ mempraktikkan pengeta-huan-pengetahuan baru tentang pertanian, baik yang mereka temukan sendiri mau-pun melalui orang lain.

Di SRP Tompobulu inilah, Pak Najamudin bersama petani lainnya aktif sejak beberapa tahun. Sejumlah petani yang hadir pada pertemuan itu, juga merupakan anggota dari kelompok ini.

Keluhan soal ketidakaktifan kelompok tani serta Gapoktan itu bukanlah pertama kali. Hal sama terungkap dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya. Padahal, menu-rut mereka, jika sesama anggota kelompok bisa bertemu rutin, masalah pengendalian hama, ketidaksesuaian permintaan jenis benih dengan pasokan, ataupun keterlam-batan penyaluran pupuk bersubsidi bisa diatasi bersama-sama.

Kelompok Tani, Sekadar Syarat Program SUNARDI HAWI

masalah pengendalian hama, ketidaksesuaian permintaan jenis benih dengan pasokan, ataupun keterlambatan pe­nyaluran pupuk bersubsidi bisa diatasi bersama­sama jika sesama anggota kelompok bertemu rutin

PEMBENTUKAN KELOMPOK tani di In-donesia merupakan bagian rencana peme-rintah pusat merevitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan (RPKK) sejak tahun 2005. Pelaksanaannya mulai tahun 2007 melalui keputusan Menteri Pertani-an No. 273/2007. Program ini adalah ba-gian dari Triple Track Strategy pemerintah dalam menjalankan program pengurangan angka kemiskinan, pengangguran, serta peningkat an daya saing ekonomi nasional.

Kelompok tani diharapkan dapat men-unjang aktivitas agribisnis. Asumsinya, penyatuan kegiatan usaha dan pertanian dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga petani. Selain itu, dibentuk juga Gapoktan di tiap desa untuk mendukung

Page 5: Buletin Payo-Payo Edisi 04

5HALAMAN

kegiatan usaha pertanian dari hulu hingga hilir serta Badan Penyuluh Pertanian se-bagai mitra kerja petani.

Dalam lampiran peraturan menteri ini terdapat tiga fungsi kelompok, yaitu seba-gai kelas belajar, wahana kerjasama, serta sebagai unit produksi. Melalui kegiatan kelompok itu pula diharapkan peningkatan sumberdaya manusia petani seperti akses terhadap informasi, pengetahuan, dan lain-nya, bisa terjadi.

Jika mencermati peraturan menteri ini, kesadaran pemerintah akan pentingnya be kerja secara bersama-sama (kolektif) di tingkat petani memang sangat terlihat. Kendati dalam peraturan tersebut, korpo-rasi yang bergerak di bidang pertanian juga dimasukkan dalam kategori kelompok tani. Selain itu, arah kegiatan pertanian masih sangat berorientasi pasar sehingga kelom-pok tani akan diarahkan pada sistem per-tanian modern untuk memacu produksi memenuhi permintaan pasar dengan meng-andalkan penggunaan teknologi pertanian yang di banyak kasus, sulit dijangkau petani,

khususnya petani skala kecil.

Ketidakaktifan kelompok tani tadi tidak hanya di Tompobulu, namun juga di bebera-pa tempat di Pangkep. Kelompok tani yang terbentuk sekadar memenuhi persyaratan penyaluran sejumlah program pertanian pemerintah. Kelompok hanya berada diatas kertas, sementara fungsinya sebagai me-dia belajar bersama belum terlihat. Bahkan terdapat kasus, pembagian traktor tangan melalui kelompok hanya dimanfaatkan oleh ketua kelompok sehingga petani lain tetap harus menyewa.

Penyebab tidak efektifnya fungsi kelom-pok di tingkat desa, salah satunya, lantaran bukan berdasarkan kebutuhan petani, me-lainkan persyaratan program yang sudah disiapkan pemerintah, yang biasanya petani tidak memiliki akses dan kontrol terhadap rencana bersangkutan. Ini ditambah lagi dalam pembentukan kelompok kerap di-dominasi oleh elite-elite desa.

KEBERADAAN SRP Tompobulu memberi-kan ‘warna’ sendiri dalam praktik kerjasama

Warga Tompo Bulu menghidupkan kembali pesta panen, upaya menjaga spirit kerja sama lewat ritual.

Page 6: Buletin Payo-Payo Edisi 04

6HALAMAN

antar petani. Anggota-anggotanya petani yang mau “bertaruh” terhadap hal-hal baru. Misalnya menerapkan sistem tanam SRI di-lahan mereka atau secara perlahan beralih menggunakan input pertanian non-organik ke organik.

Dalam satu kesempatan mengobrol dengan Pak Najamudin, ia juga tengah mempertim-bangkan untuk mencoba menanam padi di lahan kebun yang tentu saja tanahnya tidak cukup kuat menyimpan air. Untuk menga-tasi ini, ia berencana menggali lahan dengan membentuk petakan kecil. Di bagian dasar galian petakan kecil ini kemudian akan dilapi-si plastik sehingga air tetap bisa bertahan dan diatur penggunaannya. Sistem ini menyeru-pai cara kerja bercocok tanam di air (danau atau waduk) menggunakan media tanam me-nyerupai rakit yang diisi tanah.

pengetahuan atau pengalaman yang mereka dapatkan, baik dari kegiatan bertani ataupun dari pengetahuan luar serta membicarakan apa yang mereka akan kerjakan.

Di Tompobulu, desa di pegunungan Bulusa-raung Pangkep, ikatan kekerabatan relatif terjaga. Sistem pengolahan lahan secara bersama-sama masih terjadi sampai sistem menjaga tanaman dari hama babi hutan. Tapi ikatan ini berpotensi tergerus oleh karakter berbagai program intervensi, baik oleh pemerintah ataupun lembaga lainnya yang terkesan ‘memaksakan’ model yang mereka pahami ke warga. Karena pemben-tukan sejumlah kelompok dijadikan me-dia penyaluran berbagai bantuan itu hanya menimbulkan resistensi dari anggota lain karena dominasi elite desa dalam kelom-pok—yang dengan demikian persebaran informasi terkait bantuan/program peme-rintah yang masuk ke desa pun tidak merata ke seluruh anggota.

Perlahan SRP Tompobulu mulai mempraktik-kan sistem kerja kolektif melalui suatu kelom-pok, seperti mengelola alat produksi (pabrik penggilingan gabah). Meski belum sampai pada pengelolaan lahan bersama dengan sis-tem pembagian hasil produksi merata, namun hal ini menunjukan jika kelompok dibentuk dan dijalankan berdasarkan kesadaran war-ga dan tidak bersifat top-down serta melalui proses yang tidak instan, fungsi kelompok untuk mendukung kegiatan pertanian warga bisa lebih maksimal. Dengan begitu, kehad-iran kelompok merupakan manifestasi dari kebutuhan bersama serta keinginan untuk menyelesaikannya secara bersama-sama.[]

BULETIN PAYO-PAYO diterbitkan oleh sekolah rakyat petani (SRP) Payo-Payo be-kerjasama dengan Dewan Mahasiswa Helsinki (HYY). PIMPINAN REDAKSI Nurhady Sirimorok; REDAKTUR PELAKSANA Anwar Jimpe Rachman; TIM KERJA PROGRAM Karno B. Batiran, Hasnulir Nur, Jumadil M Amin, Muh. Imran (Tompo Bulu), As'ad Rauf (Soga), Ibnul Hayat Tanrere (Bonne-Bonne). ALAMAT REDAKSI Kantor SRP Payo-Payo, Jalan Poros Maros-Bantimurung No. 111, RT 1 RW 4, Dusun Sege-segeri, Desa Minasa Baji, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indone-sia 90561, Telepon: 04113881144, email: [email protected]

Selain mempraktikkan pertanian tak lazim demi menekan biaya produksi dan mening-katkan produktivitas lahan, anggota kelom-pok ini juga memiliki pembagian kerja yang disepakati bersama. Misalnya, siapa yang bertanggungjawab mengelola keuangan atau operasional penggilingan gabah. Mereka pun sering menggelar pertemuan untuk berbagi

fungsi kelompok di desa tidak efektif lantaran bukan ber­dasarkan kebutuhan petani, melainkan persyaratan pro­gram yang sudah disiapkan pemerintah

Page 7: Buletin Payo-Payo Edisi 04

7HALAMAN

Komoditas dan Kerja Kolektif Warga Soga HASNULIR NUR

Bagaimana pasang-surut komoditas di sebuah desa di Sulawesi Selatan sampai mempen-garuhi kerja kolektif warga?

WARGA SOGA lebih sering meringkas barelle [Bgs. jagung] menjadi relle. Warga desa di Ka-bupaten Soppeng ini menyebut dua jenis jagung yang dulu mereka tanam menjadi relle pulu dan relle sio. Keduanya menjadi bagian penting ke-hidupan warga desa di Kabupaten Soppeng ini sebelum kemerdekaan sampai awal dasawarsa 90-an.

Jagung menjadi makanan pokok Soga selain beras. Beras hanya bisa didapat dengan men-jadi buruh panen karena Soga tak berlahan persawah an. Lahan milik warga Soga adanya segelintir di luar desa. Dengan teknik sederhana, pendapatan beras warga tidak seberapa.

Kala itu, makanan pokok warga ada tiga macam: nanre bere’ (nasi beras), nanre relle (nasi jagung), dan nanre pule’ (nasi dari campuran jagung dan beras). Warga memasak nasi beras pada waktu-waktu khusus dan acara penting seperti menjamu undangan dalam pesta adat. Di hari biasa warga lebih sering makan nasi jagung dan

sesekali diselingi nasi beras campur jagung.

Ketika teknik panen padi meningkat, pasokan beras pun bertambah, bahkan kadang cukup sampai panen musim berikutnya. Jumlah kon-sumsi jagung akhirnya berkurang. Warga lalu memilih beras ketimbang jagung. Lalu entah dari mana sampai warga menganggap jagung sebagai kelas rendahan. Yang jelas, kian banyak jagung yang bisa dijual untuk tabungan keperlu-an lain. Perlahan jagung bergeser dari tanaman pangan (subsistem) menjadi tanaman ekonomi (komoditas).

Peralihan ini tidak bertahan lama. Nilai jualnya rendah membuat warga berpikir mencari ko-moditas bernilai tinggi. Saat itulah kakao mulai dikenal. Sedikit saja warga yang mencoba, tapi akhirnya menjadi primadona. Pada gilirannya, interaksi sosial yang merupakan ikutan dari bertani jagung pelan hilang—mulai terbentuk interaksi sosial baru menyertai tanaman kakao.

Komoditas kakao perlahan mengubah mental bertani warga Soga, dari komunal menjadi in-dividual. Pola interaksi mereka dengan faktor produksi ikut berubah. Dari lahan sebagai sum-

Warga Soga bergotong-royong membangun rumah bambu tempat belajar bersama.

Page 8: Buletin Payo-Payo Edisi 04

8HALAMAN

ber kehidupan menjadi lahan sebagai sumber keuntungan. Terbentuklah nilai baru sebagai bawaan dari komoditas kakao. Pada puncak produksi dan harganya, nilai baru ini mendapat kekuatannya menjadi anutan ‘permanen’ warga.

Perubahan sosial ini, dalam konteks desa seba-gai entitas yang dinamis, terjadi secara senyap. Perubahan itu tanpa rekayasa sadar dari aktor individu atau institusi yang menargetkan ter-bentuknya nilai baru itu, melainkan merupa-kan hasil diaklektika alami dari potensi-potensi warga dengan lingkungannya (Lihat Sosiologi Desa: Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas [Darmawan Salman, Ininnawa: 2012]).

Perubahan ini, tentu harus menjadi perhatian serius dalam merancang sebuah gerakan so-sial. Karena ini bukanlah gerakan tandingan dari sebuah gerak natural dialektis dalam se-buah perubahan sosial, melainkan merupakan gerakan pelengkap. Minimal sebagai gerakan yang mengoreksi. Bagaimanapun, “revolusi senyap” merupakan perubahan sosial yang ak-tual. Sementara gerakan sosial, semisal bincang-bincang sambil minum kopi di beranda rumah Kepala Desa di suatu waktu yang direncanakan, tentang bagaimana memajukan perekonomian desa menjadi ‘potensi’ perubahan.

KERJA KOLEKTIF adalah kearifan universal. Wadah tempatnya mewujudlah yang memiliki karakter lokal, yang kemudian disebut budaya/kearifan lokal. Nah, selain dalam hal budaya kerja mengolah pertanian kearifan kerja kole-ktif mewujud, masih terdapat wadah lain tem-pat di mana kerja kolektif ‘membumi’, seperti dalam membangun rumah, memperbaiki sara-na umum, serta pesta adat yang butuh bantuan tenaga dan dana.

Asumsinya, jika wadah-wadah tersebut masih ek-sis di Soga, maka kearifan kerja kolektif akan tetap ada. Warga punya ruang mengaktualisasikan po-tensi jiwa sosial, menstimulasi, memantapkan, dan mengajarkannya kepada generasi penerus. Pertan-yaan yang tersisa adalah apa yang menjadi syarat keberadaan wadah tersebut? Mari telusuri dengan melihat pertanian sebagai sumber penghidupan warga Soga, yaitu pertanian.

Dulu teknik dan alat warga masih sederhana, se-hingga bertani jagung menjadi pekerjaan berat. Untuk meringankan, warga sering bergotong royong menggarap lahan yang mereka sebut makkaleleng. Usia jagung hanya tiga bulan le-bih menuntut siklus rutinitas yang juga pendek. Ini membuat petani akan kembali menghadapi beratnya pekerjaan menggarap lahan persiap-an tanam setiap empat bulan. Jagung saat itu makanan pokok. Mereka menanamnya karena menyangkut kelangsungan hidup.

Dari itu kita bisa melihat, dua hal utama yang mensyaratkan wadah semangat kerja kolek tif di Soga membumi: pekerjaan itu berat dan meru-pakan kebutuhan paling mendasar. Jika hanya syarat pekerjaan yang berat tapi bukan kebutuh-an mendasar maka tidak ada kerja sama. De-mikian pula sebaliknya.

Bandingkan dengan komoditas kakao. Rutinitas membudidayakannya tidak di semua tahapan. Pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, sampai berbuah adalah aktivitas sekali saja. Masa awal tanam sampai masa berbuah (5 ta-hunan) adalah masa berat bagi petani. Selain itu, lahan untuk jagung (penyambung hidup) juga sudah tentu berkurang karena kakao tidak boleh diganggu oleh tanaman lain.

Jagung tidak punya tempat lagi di lahan dan ‘hati’ petani. Bertani tinggal memangkas, me-mupuk, dan memanen buah kakao. Wadah kerja kolektif bertani, makkaleleng, tidak dipakai lagi. Kerja berat sekaligus penopang hidup yang menjadikan keberadaannya penting kini berba-lik. Di samping itu, teknologi pertanian ciptaan Revolusi Hijau terbukti efektif. Pekerjaan men-jadi relatif mudah. Pemupukan dan pembas-mian pengganggu tanaman bisa diaplikasikan de ngan mudah. Petani tidak perlu menunggu lama proses permentasi atau pelapukan bahan-bahan organik untuk bisa digunakan sebagai pupuk. Cukup beli pupuk—kadang malah dapat bantuan—lalu pakai. Hasilnya sekejap. Petani tidak perlu kerja keras membabat tanaman dan merondai hama. Cukup beli racun lalu basmi. Kerja rangkaian bertani berubah orientasi, dari ‘untuk hidup’ menjadi ‘demi uang’.[]

Page 9: Buletin Payo-Payo Edisi 04

9HALAMAN

Mahalnya Kerja Kolektif IBNU HAYAT TANRERE

“Lebih baik berkorban uang daripada harus ber-korban tenaga. Dengan berkorban biaya, kita masih punya waktu untuk istirahat di rumah. Kalau tenaga, waktu menjadi terbatas. Belum lagi kalau capek dan sakit, harus keluar biaya lagi. Le-bih baik, uang yang mencari uang.”

Begitu kata seorang petani di Desa Bonne-Bonne. Dalam perspektif ekonomi politik, pernyataan ini disebut rational choice, yakni pilihan-pilihan yang didasarkan oleh pertim-bangan-pertimbangan rasional (untung dan rugi). Dalam perspektif ini, manusia adalah makhluk rasional yang harus mempertim-bangkan sebuah keputusan berdasarkan man-faat yang akan diambil dari keputusan tersebut dan self interest dari masing-masing individu. Analoginya, seseorang yang membeli roti bukan karena mengasihani si penjual roti, melainkan memang ia ingin makan roti.

Gejala di atas bisa kita temukan di hampir se-luruh pelosok desa di Indonesia. Revolusi hi-jau telah membawa petani-petani desa yang awalnya merupakan manusia-manusia komu-nal menjadi manusia-manusia ekonomi dengan

pilihan rasional. Melalui program-program in-tensifikasi dan ekstensifikasi ala Soeharto, satu per satu ikatan sosial menjadi renggang. Bertani tidak lagi dianggap sebagai sebuah media inter-aksi sosio-kultural, melainkan ajang menumpuk produksi. Sakralitas tanah dan sawah kini hi-lang, hanya menjadi faktor produksi yang setiap waktu dipaksa berproduksi. Begitu pun dengan manusia, yang setiap aktivitasnya diukur dari produktivitas.

Hal yang sama akan kita temukan pada petani di Bonne-Bonne. Desa yang berpenduduk kurang lebih 2500 jiwa ini terletak di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Bertani merupakan mata pencaha-rian utama masyarakat setempat. Awal dekade 70-an, pola pertanian ala revolusi hijau telah diprak-tikkan oleh masyarakat Bonne-Bonne. Mereka mendapat bantuan pupuk kimia cuma-cuma dari pemerintah. Setelah tiga kali panen ber-langsung, masyarakat mulai bergantung pada penggunaan pupuk, tak ada lagi yang gratis.

Pemerintah kemudian menawarkan produk barunya dalam bentuk program “Pengenda-lian Hama Terpadu”. Penggunaan pupuk kimia

Belajar pembenihan teknik SRI, upaya membangun kerja kolektif melalui sekolah lapang

Page 10: Buletin Payo-Payo Edisi 04

10HALAMAN

ternyata mengundang hama yang dulunya tidak begitu dikenal oleh petani. Alih-alih mengen-dalikan hama, satu per satu merek pembasmi hama berdatangan ke desa bersama paket pe-nyuluhan. Tentunya tidak gratis!

Petani harus merogoh saku membeli obat-obatan untuk padi mereka agar tak terserang hama. Semakin banyak mereka menggunakan obat-obatan tersebut, semakin tinggi biayanya, semakin tinggi pula tingkat resistensi dan keke-balan tanaman terhadap hama tertentu. Alhasil, dari tahun ke tahun penyakit dan hama baru berdatangan. Karena dikejar target produksi tiap musim, lahirlah kompetisi produksi di kalangan petani. Pola-pola pertanian tradisional perlahan terkikis oleh modernisasi pertanian.

BAGI PETANI penggarap di Bonne-Bonne, mencoba hal baru sama mempertaruhkan hidup dengan sesuatu yang tak pasti. Mereka tidak be-rani mempertaruhkan sumber penghasilan uta-ma mereka dengan hal baru dikarenakan biaya produksi tinggi dan risiko gagal panen yang juga besar. Belum lagi soal hasil pertanian yang harus mereka bagi dua dengan pemilik lahan.

Dengan asumsi lahan 1 ha per petani penggarap, rerata penghasilan bersih semusim Rp 5.761.300 (Rp 1.440.325/bulan). Lain lagi soal tenaga kerja. Hampir semua proses produksi menggunakan tenaga kerja berbayar, dari pemupukan sampai panen menggunakan tenaga upah borongan dari dalam maupun luar desa.

Namun kebanyakan petani penggarap di Bonne-Bonne mengelola sawah seluas 30-60 are/petani. Pada tingkat kebutuhan tertentu, para petani mau tidak mau harus menjual sawah mereka, seperti kebutuhan sekolah anak, biaya perni-kahan, sampai biaya berobat. Tak heran jika beberapa petani yang memilih mencari peng-hasilan tambahan seperti menjadi buruh tanam, operator mesin traktor, sampai kuli bangunan.

Rentannya tingkat kebertahanan ekonomi membuat petani tidak berani berinovasi teknik budidaya tanaman. Besarnya risiko kerugian yang hampir tiap musim mereka alami, mem-batasi petani berpikir dan mencoba hal baru yang bisa membuat hasil pertanian menjadi

baik, seperti mengurangi mengurangi dosis in-put kimia dan menggantinya bahan organik. Mereka memilih bertahan dalam zona rawan karena ketidakberdayaan mereka, baik mengen-dalikan faktor produksi maupun harga komoditas.

Kenyataan ini yang mendorong SRP Bonne-Bonne dan SRP Payo-Payo berinisiatif meng-adakan sekolah lapang pertanian organik. Beranggotakan 10 orang, anggota SRP Bonne-Bonne melakukan percobaan pertanian organik di lahan demplot 10 are dengan sistem tanam SRI (System Rice Instensification).

Sistem ini terbilang baru di kalangan petani Mandar. Dengan menggunakan input organik, minimalisasi penggunaan air, dan penana-man bibit muda pada satu lubang tanam, para anggota SRP bergiliran maupun berkelompok menyemprotkan pupuk cair yang mereka buat sendiri, mencabut rumput, dan mengadakan pertemuan rutin setiap minggu.

Pertemuan itu untuk mengevaluasi hasil pan-tauan di lahan demplot serta membicarakan tindakan apa saja yang akan diambil jika terjadi serangan hama, pertumbuhan padi yang tak normal, atau sekadar membicarakan kesehari-an mereka. Dengan prinsip “belajar bersama” berbagai langkah penanganan justru lahir dari pihak warga, prinsip yang harusnya jadi acuan pengorganisasian.

Sekolah lapang diharapkan menjadi media belajar bersama petani. Dalam sekolah lapang, petani ber-bagi pengetahuan teknik budidaya tanaman, serta pemanfaatan lingkungan sekitar mereka dalam bercocok tanam. Sekolah lapang juga diharapkan mampu mengembalikan kolektivitas warga yang memudar karena modernisasi pertanian.

Hanya saja, bukan hal yang mudah untuk mem-perbaiki kerusakan yang ada. Selama tiga tahun belum juga mencapai hasil maksimal. Terlebih lagi beberapa kali percobaan SRP Bonne-Bonne tidak maksimal dan, bahkan, pernah gagal panen. Apal-agi kata petani, sangat menguras tenaga lantaran harus tanam tammesa-mesa (tanam satu-satu).

Mengubah kebiasaan bukan pekerjaan mudah. Pengorganisasian mensyaratkan inovasi yang terus menerus, keuletan, dan kesabaran yang ekstra.[]

Page 11: Buletin Payo-Payo Edisi 04

11HALAMAN

Risalah Kerja Kolektif Indonesia NURHADY SIRIMOROK

KETIKA harga minyak dunia mulai membaik pasca kejatuhannya tahun 1985-1986, Soe-harto menyingkirkan para teknokrat-ekonom ber aliran neoliberal yang telah membantu-nya. Ia memilih merangkul militer dengan mengembangkan Dwifungsi ABRI, serta memperkuat Golkar sembari melakukan fusi partai-partai politik. Semuanya mengiringi pembersihan terhadap lawan-lawan politikn-ya dari aliran kiri, nasionalis, maupun Islam sejak awal masa pemerintahannya. Selain itu membungkam sumber suara kritis seperti mahasiswa, utamanya sejak peristiwa Malari. Demikian menurut Andar Nurbowo (2011) dalam bukunya Menyuling Demokrasi: Rente Migas dan Rejim Politik di Indonesia.

Siasat ini menandai sesuatu yang baru sejak Indonesia dinyatakan sebagai negara berdaul-at secara hukum. Langkah ini bukan hanya memperburuk kesehatan finansial negara, namun jauh lebih dalam, dan secara jangka panjang, merusak kemampuan warga untuk berkelompok, bernegara. Di zaman Orde Lama kelompok-kelompok dan organisasi rakyat berkembang pesat di seluruh Indone-sia. Lalu semuanya pupus dengan pembantai-an orang dan pemberangusan pikiran politik yang berseberangan, kooptasi partai politik, organisasi rakyat, dan kelompok intelektual.

Sejak itu politik genuin di mana rakyat dapat berpartisipasi secara efektif dalam pengam-bilan kebijakan publik menjadi lumpuh. Rakyat tidak boleh lagi berhimpun secara be-bas membicarakan urusan bersama, apalagi menyuarakan kepentingan publik mereka ke lembaga-lembaga politik formal. Penjelasan lebih detail dapat dilihat di The Unfinished Na-tion, Indonesia Before and After Suharto, oleh Max Lane (2008). Salah satu dampaknya yang paling merusak adalah hilangnya kemam-puan warga untuk berhimpun, mengorgani-sir diri, dan berinisatif untuk mengusahakan kepentingan bersama. Hiper-individualisme merebak bersama ekonomi uang. Di desa-

desa, misalnya, petani dipaksa mengalihkan sistem pertanian kolektif menjadi individu-alis lewat modernisasi pertanian ala Revolusi Hijau. Segala masalah timbul dari sistem baru ini diselesaikan lewat teknologi: lebih banyak pupuk, lebih banyak pestisida, dan seterus-nya. Hasilnya, yang punya uang bisa bertahan, yang gurem harus jual tanah, karena mer-oketnya beban ongkos produksi.

Hancurnya kemampuan rakyat mengorgani-sir diri di masa sekarang, seperti akan kita lihat di bawah, menjadi masalah besar ketika partisipasi kolektif rakyat dibutuhkan untuk memperkenalkan beragam jenis pengetahuan dan teknologi.

Mari tengok kisah biogas listrik di Dusun Lamporo, Desa Tompo Bulu, Kabupaten Pangkep. Sebuah unit pembangkit listrik tenaga biogas berhasil dibangun dalam jangka tidak kurang dari dua bulan. Metode pembangunannya tergolong tidak biasa ka-rena dikemas dalam bentuk pelatihan. Para tukang adalah peserta belajar. Empat belas rumah tangga tambah satu masjid mendapat suplai listrik dengan daya lumayan. Setiap ru-mah tangga selain bisa menyalakan beberapa buah lampu juga cukup untuk menyalakan televisi dan kulkas. Berdasarkan kesepakatan bersama, setiap rumah tangga hanya perlu membayar 15 ribu per bulan untuk pemeli-haran unit pembangkit berikut instalasinya dan mengandang kan sapi–bagi yang punya—di tempat yang sudah disediakan untuk suplai bahan bakar, layanan sudah didapat.

Sayang, warga tidak lama menikmatinya. Hal paling kelihatan yang menghambat adalah warga tidak konsisten terhadap kesepakatan mengandangkan sapi di tempat yang sudah disediakan. Faktor kebiasaan memelihara sapi dengan melepaskannya secara bebas, sehing-ga tidak memusingkan pemiliknya untuk me-nyediakan pakan, masih susah mereka ting-galkan. Karena suplai bahan bakar berkurang

Page 12: Buletin Payo-Payo Edisi 04

12HALAMAN

daya pun tidak banyak bisa dibangkitkan. Konsekuensinya jumlah rumah harus di-kurangi. Risikonya tentu tidak ringan. Yang paling terasa adalah renggangnya hubungan sosial yang berimbas pada semakin sulitnya membangun budaya kolektif yang justru me-rupakan salah satu tujuan utama dari pemban-gunan biogas listrik tersebut. Desain program yang secara penuh melibatkan warga sebagai subjek utama rupanya tidak menjamin terca-painya tujuan. Bisa jadi, meski warga diposisi-kan sebagai subjek, namun warga sepertinya tidak ‘mengenal’ posisi itu. Pengalaman pan-jang mereka berurusan dengan program yang melibatkan banyak orang, mengajarkan hal yang berbeda.

Warga Lamporo telah lama tidak terbiasa berkumpul membicarakan dan melakukan tindak kolektif untuk kepentingan publik. Mereka hanya terbiasa dikumpulkan kemu-dian disuruh menjalankan program. Seba-gaimana seluruh warga Indonesia, mereka telah melewati represi tiga dasawarsa terha-dap kecenderungan warga untuk berhimpun dan membangun institusi yang kokoh. Pun, mereka menyaksikan proyek-proyek pem-bangunan yang hanya menempatkan warga sebagai ‘penerima manfaat’, yang membawa masuk teknologi dan informasi yang telah mapan, dan bukan dirancang atau setidaknya dimodifikasi di desa—tendensi yang banyak dilanjutkan oleh proyek lembaga donor yang

dijalankan institusi luar seperti Ornop.

Semua ini menghasilkan kecenderungan warga yang individualistis, pasif, dan ‘terima jadi’. Bukan karena mereka bebal atau bodoh, tetapi karena bekerja kolektif untuk fasilitas publik di luar yang disponsori pemerintah dengan teknologi pedesaan risikonya terlalu tinggi. Hasilnya adalah ketergantungan dalam banyak hal, terutama soal yang berhubun-gan dengan urusan publik. Sehingga banyak di antara mereka beranggapan, untuk segala fasilitas publik, biarkan pemerintah yang me-nentukan, merancang, membangun, mera-wat, dan seterusnya.

Mereka memang masih punya pranata di mana mereka biasanya bekerja secara kolek-tif, namun itu biasanya terbatas pada upacara-upaca ritual siklus hidup atau pembuatan ru-mah. Itu pun sudah banyak disusupi ekonomi uang yang merusak asas resiprositas. Sehing-ga, jika sapi mewakili urusan privat keluarga dan listrik merefleksikan kepentingan publik, maka tidak sulit menebak mana yang lebih mudah untuk diabaikan. Warga memang bisa sepakat untuk urusan publik seperti me-nerangi jalan kampung, namun mereka belum sanggup untuk mempertahankannya dalam waktu lama, apalagi bila harus menimbul-kan konsekuensi kerja tambahan setiap hari. Mereka sudah lama tidak melatih diri untuk itu, surut oleh deraan jangka panjang militer-isme dan modernisasi sempit.[]