Buletin Payo-Payo Edisi 03

12
1 HALAMAN PAYO-PAYO kabar pertanian dan pembangunan dari warga Edisi III April 2013 Tuheri (42) kini lebih sibuk berdagang pisang. Hasil panen kakao sudah tak dapat dian- dalkan. Setiap tahun panenan menurun. Dari 200 kilogram/ bulan panen per hektar, kini tinggal 40 kg/bulan. Ini drastis! Jika diasumsikan harga coklat Rp 20.000, maka dulunya Tuheri bisa meraup Rp 4.000.000/bulan, kini hanya Rp 800.000. Ini di luar biaya pupuk dan pestisida. Itu pun hanya pada bulan Mei sampai Sep- tember. Jumlah itu tentu tidak memadai untuk menopang ekonomi keluarga. Apalagi jika harus menyisihkannya seba- gian untuk bulan-bulan ketika kakao tak berbuah. Masalah serupa dihadapi hampir semua warga Soga, yang memang mengandalkan kakao sebagai sumber ekono- mi utama. Sementara tidak banyak memilih ja- lan seperti Tuheri. Warga masih berharap pada tanaman yang biasanya mereka sebut sebagai ‘coklat’. Berbagai cara dilakukan, seperti per- emajaan tanaman dengan sistem sambung sam- ping yang diusung pemerintah melalui proyek Gernas Pro Kakao [Gerakan Nasional Pen- ingkatan Produktifitas Kakao]. Namun tidak ada perubahan berarti. Cara lain, di antaranya, menganti kakao yang bermasalah dengan kakao baru seperti yang dilakukan Pak Hasse (50-an). Jalan ini pun, menurutnya, tidak memperbaiki keadaan. Di samping mencari solusi mengatasi tana- man coklat, warga juga mencari komoditas alternatif. Kepala Desa Soga, di setiap kesem- patan yang ditunjang dana, selalu membawa beberapa warga belajar pertanian ke daerah seperti Bulukumba, Tana Toraja, Palopo, dan Enrekang. Harapannya, siapa tahu ada yang komoditas lain yang cocok diterapkan di Soga. Waktu terus berjalan sampai nyaris satu dasa- warsa, namun terang belum terbit. Kerawanan Pangan Akhir 1980-an, warga Soga mulai menanam kakao. Sebelumnya, mereka bertani jagung dan palawija. Nasi jagung adalah pangan Desa Soga Rentan Kurang Pangan? HASNULIR NUR

description

Desa dan Ketahanan Pangan

Transcript of Buletin Payo-Payo Edisi 03

Page 1: Buletin Payo-Payo Edisi 03

1HALAMAN

PAYO-PAYOkabar pertanian dan pembangunan dari warga

Edisi III April 2013

Tuheri (42) kini lebih sibuk berdagang pisang. Hasil panen kakao sudah tak dapat dian-dalkan. Setiap tahun panenan menurun. Dari 200 kilogram/bulan panen per hektar, kini tinggal 40 kg/bulan.

Ini drastis! Jika diasumsikan harga coklat Rp 20.000, maka dulunya Tuheri bisa meraup Rp 4.000.000/bulan, kini hanya Rp 800.000. Ini di luar biaya pupuk dan pestisida. Itu pun hanya pada bulan Mei sampai Sep-tember. Jumlah itu tentu tidak memadai untuk menopang ekonomi keluarga. Apalagi jika harus menyisihkannya seba-gian untuk bulan-bulan ketika kakao tak berbuah.

Masalah serupa dihadapi hampir semua warga Soga, yang memang mengandalkan kakao sebagai sumber ekono-mi utama. Sementara tidak banyak memilih ja-lan seperti Tuheri. Warga masih berharap pada tanaman yang biasanya mereka sebut sebagai ‘coklat’. Berbagai cara dilakukan, seperti per-emajaan tanaman dengan sistem sambung sam-ping yang diusung pemerintah melalui proyek Gernas Pro Kakao [Gerakan Nasional Pen-ingkatan Produktifitas Kakao]. Namun tidak ada perubah an berarti. Cara lain, di antaranya, menganti kakao yang bermasalah dengan kakao baru seperti yang dilakukan Pak Hasse (50-an). Jalan ini pun, menurutnya, tidak memperbaiki keadaan.

Di samping mencari solusi mengatasi tana-

man coklat, warga juga mencari komoditas alternatif. Kepala Desa Soga, di setiap kesem-patan yang ditunjang dana, selalu membawa beberapa warga belajar pertanian ke daerah seperti Bulukumba, Tana Toraja, Palopo, dan Enrekang. Harapannya, siapa tahu ada yang komoditas lain yang cocok diterapkan di Soga.

Waktu terus berjalan sampai nyaris satu dasa-warsa, namun terang belum terbit.

Kerawanan Pangan

Akhir 1980-an, warga Soga mulai menanam kakao. Sebelumnya, mereka bertani jagung dan palawija. Nasi jagung adalah pangan

Desa Soga Rentan Kurang Pangan? HASNULIR NUR

Page 2: Buletin Payo-Payo Edisi 03

2HALAMAN

utama masa itu. Nasi beras sesekali—kadang hanya untuk pesta. Karena tidak menanam padi, kebutuhan beras dipenuhi dengan men-jadi buruh panen padi.

Akhir dasawarsa 1980-an, hanya segelintir warga menanam kakao. Melihat harganya cenderung naik, warga pun ramai-ramai membudidaya-kannya. Lahan pertanian kemudian dipenuhi kakao. Mereka sampai menanam di pekarangan rumah. Akhirnya, warga meninggalkan jagung. Kecukupan uang tunai dari penjualan kakao membuat warga abaikan tanaman lain. Bahkan sa yur pun kerap mereka beli. Singkatnya, warga perlahan meninggalkan pertanian subsisten.

Kehadiran kakao turut men-ciptakan budaya baru. Sistem pertanian cen derung individ-ualistik. Yang dulunya digarap bergotong-royong berganti sistem upah. Pemupukan dan pengendalian hama sebe-lumnya andalkan bahan alam dan pengetahuan tentang siklus hidup dan rantai makanan alam berganti dengan pupuk dan pes-tisida kimia. Etos kerja keras pun perlahan terge rus kebia saan instan yang dihadirkan pupuk kimia. “Na ongkosoki mato alena sikola’e [coklat membia-yai dirinya sendiri],” demikian tanggapan warga.

“Mentalitas” yang timbul dari praktik perta-nians kakao tersebut merupakan salah satu faktor kerawanan pangan warga Soga. Ke-nyamanan ‘membeli’ menimbulkan halangan psikologis dari dasar keamanan pangan. Bu-kankah lebih aman orang yang memiliki pangan ketimbang orang yang punya uang?

Di samping itu, kenyamanan bekerja instan juga menimbulkan hambatan dalam mengu-rangi biaya produksi, sehingga dana pangan mereka ikut terkuras. Meski beras mereka bisa dapatkan dengan menjadi buruh panen padi, namun posisi buruh lemah dalam akses beras. Apalagi penggunaan buruh panen di bebera-pa tempat perlahan digantikan oleh mesin.

Hal lain adalah anggapan, yang entah dari

mana asalnya dan kapan mulanya, yang me-ngatakan: kelas nasi jagung di bawah beras. Anggapan ini membuat petani kian men-jauhi jagung. Padahal komoditas ini memiliki kandungan yang tidak kalah dari beras.

Dalam 100 gram, jagung mengandung 361 kilokalori, protein 9,1 gram, karbohidrat 76,5 gram, lemak 4,5 gram, kalsium 14 miligram, fosfor 311 mg, dan zat besi 3,7 mg. Selain itu di dalam jagung juga terkandung vitamin B1 0,27 mg. Bandingkan dengan beras [lihat ta-bel di bawah].

Jagung lalu tak pernah lagi dianggap sebagai pangan utama—justru lebih dinilai sebagai ta-naman ekonomi, yang terlihat dari kembali ditanam di Soga. Jagung ditanam kembali bu-kan tujuan pemenuhan pangan, tetapi dijual. Meski harganya tak mampu menyaingi kakao, setidaknya ada tambah an penghasilan. Angga-pan bawaan tentang kakao masih berpengaruh, kendati pada tanaman yang punya reputasi pangan di tempat yang sama, yakni jagung.

Sekali lagi, konteks keamanan pangan, Desa Soga bisa dianggap rawan. Mayoritas warganya tidak memiliki sawah, penyedia beras yang jadi makanan pokok mereka. Sebagian besar mereka memperolehnya dengan menjadi buruh panen padi di luar desa, bahkan luar kabupaten. Se-mentara kebutuhan akan buruh panen mulai tergantikan mesin. Jika terpaksa, warga harus membeli beras. Di saat yang sama, produksi kakao mulai menurun hingga 20 persen.

Masihkah kita bertahan menganggap jagung sebagai “makanan orang miskin”? Mari me-mikirkan ulang ini bersama-sama![]

No Jenis Nutrisi (unit) Beras Jagung1 Kalori (Kal) 360 3612 Protein (gr) 6,8 9,13 Lemak (gr) 0,7 4,54 Karbohidrat (gr) 78,9 76,55 Kalsium (mgr) 6 146 Besi (gr) 0,8 3,77 Posfor (mgr) 140 3118 Vit B1 (mgr) 0,12 0,27

Page 3: Buletin Payo-Payo Edisi 03

3HALAMAN

TUJUH orang dari berbagai latar profesi melakukan kunjungan belajar ke Ende, Nusa Tenggara Timur. Mereka adalah Kepala Desa Kompang, Ketua Kelompok Tani Sipakatau, perwakilan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kabupaten Sinjai, perwakil-an Komisi I DPRD Sinjai, dua fasilitator SRP Payo-Payo, dan seorang penulis.

Tujuan perjalanan ini bukan sekadar kunjun-gan belajar, juga untuk merumuskan strategi bersama dalam usaha Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di lima kabupaten, yakni Maluku Tenggara, Sinjai, Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, dan Ende [sebagai tuan rumah pertemuan]. Pertemuan itu digelar 19-21 Oktober 2011, yang dilaksanakan Insist sebagai inisiator pertemuan dan FIRD (Flores Institute Resource for Development) sebagai panitia lokal.

Pertemuan ini juga menjadi bagian dari ske-ma program Membangun Gerakan PRB di tiga kabupaten di Indonesia: Kabupaten Sin-jai, Maluku Tenggara, dan Bengkulu Utara. Pe nanggung-jawab program adalah Insist Yogyakarta, yang memiliki lembaga jejaring di tiga kabupaten: SRP Payo-Payo Makas-sar, Mitra Aksi Bengkulu, dan Nen Mas Il Maluku Tenggara. Ketiga lembaga ini ber-sama masyarakat membuat gerakan PRB di kabupaten masing-masing.

Salah satu strategi PRB adalah mengi-nisiasi pembentukan forum kebencanaan kabupaten di masing-masing wilayah pro-gram yang mampu berkoordinasi den-gan BPBD. Forum ini diharapkan bisa memacu akselerasi gerakan PRB, sekali-gus menjadikannya bagian dari kehidu-pan masyarakat sehari-hari.

Ende menjadi pilihan kunjungan dan tempat kegiatan karena dianggap berhasil memban-gun forum kebencanaan dan berjalan dengan baik hingga sekarang. Harapannya, Kabupa-ten Ende bisa membagi pengalamannya, mu-

lai dari apa yang menjadi kesulitan, tantangan, hingga sistem kerja yang mereka bangun.

Forum Kebencanaan di Kabupaten Ende terbentuk pada tahun 2007. Forum ini terdiri dari bermacam kelompok yang berkepentingan di dalam masalah kebenca-naan, seperti BPBD Ende, kalangan legisla-tor, LSM (FIRD), tokoh masyarakat, dan la-pisan lain. Kurang lebih setahun kemudian, dibentuklah Panitia Khusus (Pansus) untuk mendorong pembuatan Ranperda tentang penanganan masalah kebencanaan. Pansus ini mendapat mandat dari Tim Inisiator dan membagi diri ke dalam kelompok-kelom-pok kerja. Masing-masing kelompok kerja bertugas menyusun perangkat proses legis-lasi. Kalangan legislator bertugas membuat Ranperda. Ada pula kelompok kerja yang bertugas menyelesaikan Naskah Akademik, bekerjasama dengan perguruan tinggi lokal. Kelompok kerja yang terakhir bertugas me-nyusun Rencana Aksi.

Ranperda ini mendapat banyak uji kelaya-kan melalui proses diskusi yang panjang, dari lokakarya, FGD (diskusi kelompok terfokus), studi banding di Kabupaten Sleman dan Klat-en, diskusi publik, konsolidasi, dan proses lainnya. Namun semua itu tidak lepas pula peran kelompok yang mendukung usaha leg-islasi, juga kelompok yang membantu moril maupun finansial.

Di luar itu semua tentu saja ada hambatan, semisal proses legislasi yang tertunda. Ini di-karenakan berdekatan dengan masa pilkada. Banyak agenda parlemen terabaikan karena legislator harus kembali ke konstituennya. Aral lain adalah anggota DPRD belum me-mahami inti PRB.

Pada pertemuan itu, Sabir, perwakilan DPRD Sinjai membuka pemaparannya bagaimana perkembangan PRB Sinjai. Ia menguraikan dinamika politik di lembaga-nya, juga hubungan legislatif dengan ekse-

‘Rapor Merah’ PRB Sinjai AGUNG PRABOWO

Page 4: Buletin Payo-Payo Edisi 03

4HALAMAN

kutif, sampai bagaimana fakta yang terjadi dalam proses pembuatan Ranperda di Sin-jai. Hal ini dilakukan untuk melihat se-perti apa peluang melakukan gerakan sosial dalam usaha mengurangi risiko bencana di tingkatan kabupaten.

Paparan itu dilanjutkan oleh Lukman, staf BPBD Sinjai. Ia menceritakan pengalaman BPBD menyinergikan aturan hukum (ideal) dengan tindakan yang perlu dilakukan, mer-umuskan perencanaan lembaganya beserta hambatan dan masalah yang dihadapi dalam kurun sembilan bulan terakhir sejak berdi-rinya BPBD Sinjai. Lukman mengakui bahwa masih banyak yang perlu dibenahi di internal lembaga BPBD di usia mudanya. Apalagi den-gan tanggung jawab besar yang diemban oleh lembaga ini.

Kepala Desa Kompang, Ansar bersama Asikin Pella, Ketua Kelompok Tani Sipaka-tau merupakan dua aktor penting dalam usa-ha PRB di desa mereka. Sejak 2007, kedua-nya berperan aktif bersama SRP Payo-Payo melakukan penguatan kapasitas masyarakat di desa Kompang agar siap menghadapi an-caman yang ada di desa tersebut. Ansar dan Asikin menganggap usaha PRB ini merupa-kan sesuatu yang penting, apalagi jika meli-hat pengalaman 2006 silam, ketika longsor menghantam sebagian besar permukiman warga.

Imran, fasilitator lapangan SRP Payo-Payo, menegaskan, masih sulit menentukan isu apa yang akan digunakan untuk memper-temukan orang-orang di Kabupaten Sinjai. Apalagi dengan melihat intensitas ancam-an yang relatif rendah di wilayah ini. Isu kebencanaan belum cukup mampu mem-

pertemukan unsur-unsur masyarakat Sinjai untuk membicarakan masalah kebencanaan di kabupaten ini. Apalagi untuk memben-tuk sebuah forum dengan pertemuan rutin yang direncanakan. Bagian inilah menjadi ‘rapor merah’ PRB di Sinjai.

Sebagai alternatif, SRP Payo-Payo mengger-akkan PRB di Sinjai ini melalui isu pendidik-an. Menjadikan Pendidikan Bencana dan sekolah sebagai wadah bersama masyarakat di lingkungan sekolah untuk membicarakan masalah kebencanaan.

Sudah ada lima sekolah yang menjadi uji coba pendidikan bencana di Kabupaten Sinjai. Di-harapkan, dari penerapan pendidikan ben-cana di lima sekolah ini bisa menjadi langkah awal bagi sekolah lain yang berada di wilayah rentan terhadap ancaman bencana agar bisa melakukan hal yang sama.

Walau kelima sekolah sama-sama me mulai pendidikan bencana ini, dalam perkem-bangannya tidaklah sama. Ada sekolah yang mengalami perkembangan yang cepat, ada pula yang membutuhkan waktu lebih lama. Hal ini disebabkan masing-masing sekolah memiliki masalah dan tantangan masing-masing. Mulai dari persoalan birokrasi, mo-lornya penyusunan silabus dan RPP (Ren-cana Pelaksanaan Pembelajaran), sekolah yang masih memprioritaskan mata pelaja-ran tertentu, sulitnya mendapatkan bahan ajar, sampai masih lemahnya komitmen di guru pelaksana pendidikan bencana. Semua itu menjadi catatan penting untuk melihat apa yang menjadi hambatan dari pelaksan-aan pendidikan bencana ini sebelum di-dorong menjadi sebuah kebijakan pendidi-kan di kabupaten Sinjai.[]

BULETIN PAYO-PAYO diterbitkan oleh sekolah rakyat petani (SRP) Payo-Payo be-kerjasama dengan Dewan Mahasiswa Helsinki (HYY). PIMPINAN REDAKSI Nurhady Sirimorok; REDAKTUR PELAKSANA Anwar Jimpe Rachman; TIM KERJA PROGRAM Karno B. Batiran, Hasnulir Nur, Jumadil M Amin, Muh. Imran (Tompo Bulu), As'ad Rauf (Soga), Ibnul Hayat Tanrere (Bonne-Bonne). ALAMAT REDAKSI Kantor SRP Payo-Payo, Jalan Poros Maros-Bantimurung No. 111, RT 1 RW 4, Dusun Sege-segeri, Desa Minasa Baji, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indone-sia 90561, Telepon: 04113881144, email: [email protected]

Page 5: Buletin Payo-Payo Edisi 03

5HALAMAN

PRB, Konsep Sekaligus Tindakan Sehari-hari AGUNG PRABOWO

SETELAH tsunami Aceh 2004 dan gempa Yogyakarta tahun 2006 silam, bencana kerap hadir sebagai sajian media. Dua kejadian ini pula mendesak Pemerintah Indonesia segera mengesahkan UU Nomor 24 Tahun 2001 ten-tang Penanggulangan Bencana Nasional dan membentuk sebuah badan khusus bernama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai pusat komando.

Kenyataannya kemudian adalah bencana masih dipandang secara parsial—melihatnya pada salah satu siklus bencana saja, terutama saat kejadian bencana. Ia dipahami menye-luruh; sebelum, saat, dan sesudah terjadinya bencana. Ini memperlihatkan gambaran pe nanganan bencana yang masih menitik-beratkan aspek tanggap darurat saja. Belum menyentuh siklus lain macam sebelum terjadi (usaha mengurangi risiko bencana) dan sete-lah bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi).

Jika tindakan merupakan cerminan dari apa yang dipahami, maka penanganan kebenca-naan menjadi wujud pemahaman terhadap bencana. Jika tindakan menyelesaikan keben-canaan masih menitikberatkan pada salah satu siklus bencana saja, maka dapat diasum-sikan bahwa pemahaman atas fenomena ke-bencanaan yang ada saat ini perlu dikoreksi.

Kebencanaan bukan hanya melihat peruba-han alam dan dampak yang dihadirkan. Kita perlu juga melihat akar masalah yang semakin kompleks dalam masyarakat. Perubahan alam yang berwujud ancaman bencana, tidak lepas dari perubahan ekologi yang terjadi. Peru-bahan ini bisa disebabkan karena perubahan sistem pertanian, pergeseran pola tanam, pemenuhan kebutuhan pangan, perubah-an demografi, terkikisnya solidaritas sosial, ketidakmampuan menentukan ruang-ruang ekologi (ruang permukiman, ruang perta-nian, ruang konservasi hutan), dan kondisi masyarakat yang rentan.

Apa itu kerentanan? Bagaimana ini bisa terja-

di? Kerentanan biasanya diakibatkan kurang pengetahuan mengenai ancaman di lingkun-gannya. Ini dikarenakan masih sulitnya akses informasi kebencanaan, sehingga tidak semua kelompok masyarakat bisa mendapat infor-masi yang memadai.

Hal lain yang menjadi persoalan: anggapan penanganan kebencanaan masih tanggung jawab pemerintah semata. Padahal, masalah bencana menyangkut keselamatan hidup manusia dan menjadi tanggung jawab se-mua orang untuk bisa melakukannya. Peran aktifnya masyarakat bukan berarti ingin me-lepaskan tanggung jawab negara begitu saja atau ingin mengurangi kewenangan pemer-intah. Ini sebuah usaha menjadikan Pengu-rangan Risiko Bencana (PRB) sebagai sebuah gerakan sosial, yang berarti sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.

Mengapa penting membicarakan masalah ke-bencanaan? Seberapa mendesak ma syarakat untuk memahami fenomena kebencanaan dan mengetahui masalah-masalah yang me-nyertainya?

RPB, salah satu konsep yang banyak diguna-kan untuk melihat kebencanaan secara me-nyeluruh, merupakan usaha yang dilakukan manusia dalam mengurangi risiko ancaman yang ada di lingkungan, tempat manusia hidup.

Kabupaten Sinjai, sebagian wilayahnya beru-pa pegunungan batuan muda dengan sudut kemiringan tanah antara 20 hingga 40 derajat, serta curah hujan yang cukup tinggi, setiap tahun mengalami musim penghujan antara November-Februari. Keadaan inilah yang membuat sebagian besar wilayah Sinjai, se-perti kecamatan Sinjai Tengah, Sinjai Barat dan Sinjai Borong menjadi langganan longsor.

Sementara wilayah ‘bawah’, Sinjai Utara dan Sinjai Selatan, menjadi ‘bak penampungan’ air yang turun deras dari wilayah perbukitan dan menyebabkan banjir. Pada kasus bencana

Page 6: Buletin Payo-Payo Edisi 03

6HALAMAN

tahun 2006, korban jiwa sebagian besar di-akibatkan oleh banjir bandang, yang merupa-kan lanjutan dari peristiwa longsor di Sinjai Te ngah. Air yang mengalir deras, membawa berton-ton lumpur hasil longsoran tanah yang terjadi sesaat sebelumnya.

Jelaslah bahwa masyarakat Sinjai sebenarnya hidup bersama dengan ancaman bencana di lingkungannya. Ini dipertegas pula dalam te-muan BNPB (November 2010) yang menya-takan kabupaten Sinjai sebagai salah satu ka-bupaten yang memiliki tingkatan ancaman bencana sangat tinggi di Sulsel.

Umumnya, ada dua cara pandang manusia melihat fakta kebencanaan. Pertama, ben-cana sebagai gejala alam yang digariskan oleh Sang Pencipta. Kedua, sepakat dalam beberapa hal dengan pandangan pertama. Bedanya, pandangan ini melihat lebih dalam ke akar masalah—bencana bukanlah sesuatu yang harus diterima ‘pasrah’. Manusia perlu me lakukan usaha-usaha untuk mengurangi risiko yang bisa diakibatkan oleh ancaman.

Usaha yang dimaksudkan adalah dengan memperkuat kapasitas masyarakat, memeli-hara lingkungan, mengenal lebih dalam anca-man yang ada di lingkungannya. Tujuannya untuk menghindarkan adanya korban dan dampak sosial yang lebih parah saat bencana itu hadir maupun setelahnya.

Usaha dan upaya PRB meliputi tiga siklus: sebe-lum, saat, dan setelah bencana. Mempersiapkan diri menghadapi ancaman, memperbaiki kuali-tas lingkungan, menjaga keseimbangan ekosis-tem, hingga merencanakan rehabilitasi dan re-konstruksi setelah bencana terjadi.

Bagaimana masyarakat memulai usaha PRB? Idealnya, dari mana usaha PRB dimulai? Per-tama, regulasi atau peraturan perundang-undangan khusus kebencanaan di tingkat

daerah. Peraturan inilah yang menegaskan keseluruhan kerja PRB beserta perangkatnya, baik yang berada dalam maupun di luar struktur pemerintahan. Selain itu, diperlukan juga peraturan lain yang lebih sensitif den-gan muatan PRB, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang memiliki pengkajian mendalam mengenai area rawan bencana, ke-bijakan pertanian yang memperhatikan eko-sistem dan aturan tata guna lahan, menyisih-kan sebagian Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk penanganan kebenca-naan atau Rencana Pembangunan Jangka Me-nengah desa (RPJMDes) yang meliputi usaha-usaha PRB.

Kedua, kelembagaan. Yang paling banyak menjadi sorotan saat ini adalah badan khu-sus yang menangani masalah kebencanaan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Ben-cana Daerah (BPBD) di usianya yang masih belia, perlu berbenah diri sesegera mungkin. Tanggung jawab yang begitu besar meng-haruskan lembaga ini memaksimalkan peran dan fungsinya di masyarakat. Lembaga lain seperti PMI, SAR, Tim Reaksi Cepat Daerah belum mampu saling berkoordinasi dengan BNPB/BPBD.

Ketiga, membuat Rencana Aksi Daerah. Rencana ini meliputi contigency plan, ren-stra BPBD dan Rencana Pengurangan Risiko Bencana Daerah. Keempat, membuat pusat-pusat informasi kebencanaan maupun media komunikasi bersama yang bisa diakses secara luas. Kelima, mengintegrasikan PRB dalam sistem pendidikan formal. Keenam, sumber daya dan sumber dana. BPBD, sebagai per-panjangan tangan BNPB, didesak untuk turut mengambil peran dalam mendanai kerja-ker-janya sendiri, terutama pada bagian pendana-an operasional badan.[]

Dua cara melihat bencana: sebagai gejala alam yang digariskan oleh Sang Pencipta dan melihat lebih dalam ke akar masalah--bencana bukanlah sesuatu yang harus diterima ‘pasrah’ begitu saja. Manusia perlu me lakukan usaha-

usaha mengurangi risiko yang bisa diakibatkan oleh ancaman.

Page 7: Buletin Payo-Payo Edisi 03

7HALAMAN

Guru dan PRB AGUNG PRABOWO

Enam tahun silam, Desa Kompang penuh timbunan tanah longsor dan terisolasi sela-ma kurang lebih seminggu. Hampir seluruh infrastruktur rusak parah dan desa nyaris lumpuh. Kejadian ini menjadi bencana ka-rena memakan korban jiwa serta menyi-sakan kerusakan pada perkebunan pegu-nungan masyarakat, terutama perkebunan kakao dan cengkeh yang 30 tahun terakhir menjadi tumpuan ekonomi warga.

Bagi Kasim, seorang guru di SMPN SATAP Karangko, perlu melihat PRB (Pengurangan Risiko Bencana) agar bisa dipahami oleh banyak orang, terutama anak didik. Anak-anak perlu mendapatkan pemahaman lebih dini mengenai PRB agar mampu meng-hadapi bencana yang bisa datang kapan pun. Lalu Kasim mulai merancang strategi pengintegrasian PRB dalam mata pelajaran yang diasuhnya, Bahasa Indonesia dan Ba-hasa Daerah.

Menulis laporan perjalanan menjadi salah satu peluang bagi Kasim mengajarkan pada anak-anak didiknya betapa pentingnya mengenali titik ancaman longsor yang ada di Kompang. Melihat, mengamati, dan mendiskusikan area bekas tanah longsor 2006 itu lalu menuliskannya dalam bentuk laporan.

Kasim membincangkan rencana ini den-gan kepala sekolah. Lalu diputuskan pada tanggal 21 September 2011 untuk melak-sanakannya. Titik berkumpul di Dusun Ba-rugae, tepat di ujung jalan beton yang baru dibangun tahun itu. Dari sanalah rombong-an menuju beberapa titik, masing-masing Kampung Lusung-Lusung, Pari-Parigi, dan terakhir di Batu Simbureng atau Batu Konde.

Di sepanjang perjalanan, anak-anak mel-akukan pengamatan serta mendiskusi-kan apa penyebab tanah longsor menurut mereka. Hasilnya pun beragam, mulai dari

kurangnya jumlah pohon, jenis akar pohon yang tidak mengikat tanah, kemiringan la-han dan jenis tanah berbatu yang tidak bisa menahan banyak air. Semuanya dicatat se-bagai kerangka laporan untuk kemudian dikembangkan mejadi sebuah paragraf utuh.

Kasim berusaha menjadikan konsep PRB sebagai tema sentral pelaksanaan pemb-elajaran kendati tak ada dalam silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Ini se-buah strategi yang bisa menjadi pelajaran bersama memulai upaya PRB di Kompang, khususnya lewat jalur pendidikan formal.

Pendidikan Bencana, sebagaimana dilak-sanakan di berbagai tempat memang me-nyesuaikan konteks. Ini juga didukung per-angkat hukum pendidikan juga kurikulum sebagai panduan pelaksanaan pengajaran. Namun perangkat itu tidak cukup bila tak disertai perubahan-perubahan pada per-angkat lainnya. PRB bukan semata formali-tas nilai kemanusiaan yang perlu ditan-amkan, tetapi juga sebagai tindakan sadar sekaligus transformasi nilai-nilai oleh aktor pendidikan kepada anak-anak.

Hal lain yang perlu menjadi sorotan adalah hadirnya wacana sekolah sebagai pemegang otoritas pendidikan formal anak. Inilah ke-mudian yang membawa sekolah pada tang-gung jawab tunggal untuk mereproduksi pengetahuan dan nilai-nilai. Sementara, pengetahuan masyarakat terus tergerus waktu. Pada konteks tertentu, anak akan melupakan pengetahuan lokalnya—bahkan tidak mengenalnya sama sekali. Maka, per-lu pelibatan unsur lain masyarakat dalam proses belajar di sekolah, semisal kelompok tani, masyarakat adat, agamawan, dan lain-lain.

Keterlibatan kelompok ini harus dire-kayasa. Tidak bisa hanya menunggu ini-siatif kelompok bersangkutan. Sekolahlah

Page 8: Buletin Payo-Payo Edisi 03

8HALAMAN

yang perlu mulai membuka ruang keter-libatan dan mempertemukan gagasan-ga-gasan berkaitan pendidikan. Menjadikan masyarakat sebagai guru bagi anak-anak dan desa sebagai sekolahnya. Sekolah itu milik desa.

Upaya keras dilakukan. Sejak April-Septem-ber 2011, memasukkan PRB dalam kuri-kulum pendidikan di Sinjai masih harus menghadapi bermacam tantangan. Topik yang dibincangkan panjang oleh guru ada-lah pilihan strategi untuk membuat perang-kat kurikulum yang sensitif PRB. Apakah dengan mengintegrasikannya pada pelaja-ran yang sudah ada atau harus menjadikan-nya mata pelajaran sendiri.

Persoalan ini sebenarnya akan mengerucut pada teknis penilaian yang harus diberi-kan oleh guru untuk mengukur indikator keberhasilan pembelajaran, khususnya pemaham an tentang konsep PRB. Sebagai contoh kita bisa melihat lima sekolah di Sinjai yang mengusahakan PRB masuk ke dalam sistem pembelajaran.

Lima guru yang menyusun perangkat kuri-kulum pendidikan bencana lalu kesulitan tatkala akan memasukkan PRB ke dalam pelajaran. Akhirnya, dua guru hingga seka-rang belum bisa mengujicobanya karena silabus belum rampung. Sedang tiga guru lainnya menjadikan PRB sebagai mata pela-jaran tersendiri yang masuk dalam kelom-pok muatan lokal lainnya seperti Bahasa Ingris, Bahasa Saerah, Pertanian dan Baca Tulis Alquran (BTA). Tetapi, tetap meng-hadirkan konsekuensi lain. Karena muatan lokal hanya empat jam maka otoritas diberi-kan kepada sekolah untuk menentukan dua mata pelajaran mana yang akan diajarkan di

tiap kelas. Tentunya dengan menggugurkan pelajaran lain yang masuk dalam kelompok muatan lokal. SDN 66 Gantarang misalnya, untuk kelas IV, BTA tidak diajarkan di se-mester ganjil lantaran sekolah mengisinya dengan Pendidikan Bencana.

Tetapi jika alasan penilaian yang tidak bisa diukur—PRB yang diintegrasikan ke mata pelajaran—menjadi alasan besarnya, ini akan bergeser jauh dari substansi masalah yang ingin diselesaikan. Tujuan memperk-enalkan PRB pada anak-anak sebenarnya agar mereka, sebagai kelompok rentan, me-miliki kapasitas menghadapi ancaman ben-cana.

Contoh menarik adalah inisiatif yang se-dang dilakukan Kasim. Walau terkesan masih dilakukan sendiri, tetapi SRP Payo-Payo bisa melakukan evaluasi bersama den-gan model asistensi, lalu menyebarluaskan informasi ini pada komunitas sekolah lain-nya untuk dijadikan sebagai perbandingan sementara.

Dengan membaca hasil laporan perjalanan siswanya, Kasim bisa melihat seberapa besar pemahaman anak didiknya. Bukan hanya teknik menulis, tetapi juga daya serap atas tema yang diangkat, yakni tanah longsor dan sebab-sebab lahirnya potensi ancaman. Mereka keluar dari ruang kelas dan melihat dari dekat fakta kebencanaan yang ada di lingkungan desa ternyata lebih mudah di-pahami daripada mempelajarinya di dalam ruang kelas. Pelajaran menjadi ringan kare-na tidak harus membayangkan objek yang sedang dipelajari, tetapi bisa melihat lang-sung dan merasakan suasananya. Apalagi tema kebencanaan me rupakan sesuatu yang dekat dengan mereka.[]

Kasim mulai merancang strategi pengintegrasian PRB dalam mata pelajar-an yang diasuhnya, Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Menulis

lapor an perjalanan menjadi salah satu peluang bagi Kasim mengajar-kan pada anak-anak didiknya betapa pentingnya mengenali titik ancaman

longsor yang ada di Kompang.

Page 9: Buletin Payo-Payo Edisi 03

9HALAMAN

Anak dan Pengurangan Risiko Bencana AGUNG PRABOWO

“Hutan lindung pada konteks sekarang, sudah seharusnya kita mengubahnya menjadi lin-dungi hutan! Hubungan yang lebih mengun-tungkan antara hutan dengan manusia. Bukan merugikan salah satunya.”

Kalimat itu dilontarkan Asikin Pella (60) dalam diskusi Kelompok Tani Sipakatau dengan puluhan peserta dari SMPN SATAP Karangko, 5 Februari 2012. Ini berawal dari inisiatif warga, lalu mendorong sekolah dan kelompok masyarakat lain menggelar diskusi terbuka di dalam kawasan Hutan Lindung Desa Kompang. Peserta sebagian besar mu-rid kelas VII, VIII dan IX lima sekolah yang me ne rapkan Pendidikan Bencana [SMPN SATAP Tassoso, SDN 66 Gantarang, SDN 122 Mangottong dan SDN 104 Kalaka]. Diskusi ini merupakan salah satu dari serangkaian kegia-tan penanaman pohon yang bertema “Usaha Anak Mengurangi Risiko Bencana”.

BUNGENG & RAMAE merupakan kawasan hutan yang letaknya berdampingan. Dulunya, menurut Asikin, zaman Belanda, dua seluas 500-an hektar. Sekarang, luas itu bertambah—meski Asikin tak bisa memperkirakan. Bahkan, Kepala Desa Kompang sampai aparat Dinas Kehutanan (yang hadir pada acara penanaman pohon) juga tak tahu pasti. Kawasan ini masuk dalam wilayah administrasi Desa Kompang, Bonto Lempangan, Patongko, Arbika, Bonto Salama dan Gantarang. Menurut Asikin, ada sekitar 300 ha lahan kawasan hutannya masih memprihatinkan dan perlu dihijaukan kembali.

Sudah bermacam usaha PRB (Pengurangan Risiko Bencana) dilakukan di Kompang, baik melalui pemerintah, inisiasi kelompok di masyarakat hingga organisasi kemasyaraka-tan yang bekerja di seputar lingkungan. Usa-ha-usaha tersebut di antaranya Program KBR (Kebun Bibit Rakyat) oleh Dinas Kehutanan melalui kelompok-kelompok tani sejak 2010, SRP Payo-Payo dengan penanaman Pohon Aren bersama Kelompok Tani Sipakatau ta-

hun 2008, SMPN SATAP Karangko dengan dengan Program Pendidikan Bencana 2011 hingga sekarang dan masih banyak usaha in-dividu lain.

Awal 2012 ini, sekolah menyegarkan kem-bali usaha penghijauan kawasan hutan mela-lui Pendidikan Bencana. Kali ini melibatkan lebih banyak lagi pihak di dalam masyarakat seperti Kelompok Tani Sipakatau, Pemerin-tah Desa, SRP Payo-Payo serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya.

Penghijauan ini tidak lepas dari peran guru SMPN yang menyisipkan Pendidikan Ben-cana ke dalam kegiatan OSIS. Lebih jauh lagi, Kasim (Guru SMPN SATAP Karangko) berencana menjadikan kegiatan ini bagian dari kegiatan rutin OSIS. Kepala Sekolah pun mengiyakan rencana ini dan siap mendukung.

SETAHUN SUDAH penerapan Pendidikan Bencana di SMPN SATAP Karangko. Gerakan sosial dipelopori oleh lima sekolah di Sinjai, didampingi SRP Payo-Payo. Sejak persiapan hingga proses penerapan, sekolah terus coba melibatkan berbagai pihak di masyarakat guna memaksimalkan gerakan ini. Tentu-nya ada beberapa pihak lain yang turut men-dukung proses seperti Dinas Pendidikan Pe-muda dan Olahraga, Bakominfo dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sinjai.

Berbagai hambatan yang dihadapi, di antaran-ya menimbang ‘pintu masuk’ PRB yang ‘pas’: apakah jadi mata pelajaran baru atau mengin-tegrasikannya saja. Ini setelah mempertim-bangkan hal seperti bahan ajar yang kurang, proses penilaian yang sulit, atau beberapa hal terkait praktik, dokumen, sampai prose-dur birokrasi pendidikan, seperti penentuan standar kompetensi.

Kasim coba menutupi kelemahan proses Pen-didikan Bencana dengan mengembangkan model belajar, khususnya di kelas VII. Dia mem-bawa anak-anak lebih dekat melihat dan menge-

Page 10: Buletin Payo-Payo Edisi 03

10HALAMAN

nal lingkungan Kompang yang penuh ancaman tanah longsor. Membuat apa yang dipelajari murid menjadi lebih dekat dan nyata.

Bagi Kasim, PRB tidak cukup dengan dibi-carakan dan direncanakan saja. Perlu melihat semua peluang agar anak-anak bisa mema-hami PRB dengan maksimal. Berdasar itulah Kasim mulai merancang strategi pengintegra-sian PRB dalam mata pelajaran asuhannya, Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Proses belajarnya pun tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga mengunjungi langsung objek yang sedang dibahas.

Inisiatif Kasim ini berjodoh setelah Kelompok Tani Sipakatau dan Pemerintah Desa Kom-pang menyambut baik kerjasama penana-man pohon—sebagai bagian dari Pendidikan Bencana—yang diinisiasi oleh SMPN SATAP Karangko. Sebuah gerakan yang lebih luas dengan melibatkan lebih banyak kelompok di masyarakat dalam Usaha Pengurangan Risiko Bencana di Kompang.

MINGGU pagi, beberapa anak mengoordinir teman-temannya mengambil bibit di penang-karan milik Kelompok Tani Sipakatau. Guru mulai mengabsen peserta penanaman sekaligus mencatat jumlah bibit yang dibawa masing-masing peserta. Kurang lebih 120 peserta (90 murid, 2 guru, 9 anggota kelompok tani, dan 7 orang lainnya).

Pationgi menjadi titik penghijauan. Tempat ini berada di Dusun Barugae. Tahun 2006 lalu Pationgi menjadi salah satu titik longsor. Kendati curam, peserta masih bisa menjang-kaunya. Semak-semak berduri mendominasi bukit-bukit dengan pepohonan beragam jenis yang tidak rapat. Cukup beralasan jika pelak-sana memilih Pationgi sebagai tempat pelak-sanaan penanaman.

Setiba di lokasi, anggota kelompok tani berge-gas menebas semak sebelum peserta mela-luinya. Beberapa lainnya mulai menggali tanah. Setelah menyingkirkan semak, masing-masing peserta mulai mencari lokasi terbaik untuk menanam bibit yang dibawa. Sesekali terdengar suara peringatan, baik dari guru

maupun anggota kelompok tani, agar peserta memperhatikan jarak tanam. Sementara mu-rid riuh sorai dalam kelompok-kelompoknya menikmati kegiatan penanaman mereka.

Dua hari sebelum kegiatan, sekolah memberi-kan pembekalan kepada murid-murid untuk mempermantap proses belajarnya. Salah sa-tunya menugasi mereka agar berdiskusi de-ngan anggota kelompok tani saat di lapangan. Mencatat jenis-jenis pohon yang ada di dalam hutan berikut klasifikasi pohon berdasarkan ciri-ciri fisiknya.

Panitia lalu membawa peserta ke tempat datar untuk melanjutkan diskusi. Sebagai pembuka, Kades Kompang, Ansar memberikan sepatah kata untuk peserta sebelum membuka diskusi. Kemudian dilanjutkan oleh Ketua Kelompok Tani Sipakatau, Asikin Pella, dan salah seorang Alumni Fakultas Kehutanan Unhas yang bek-erja di Forum Hutan Kemasyarakatan.

Diskusi berjalan dinamis. Pembicara yang terdi-ri dari kelompok masyarakat, pemerintah desa dan tokoh-tokoh kemasyarakatan memaparkan penjelasan seputar masalah lingkungan dengan sangat sederhana. Peserta kemudian menang-gapi serta melemparkan beberapa pertanyaan. Reski Oktaviani (14 tahun), yang juga seba-gai Ketua Osis, mengawali pertanyaan seputar manfaat dari usaha menjaga kelestarian ling-kungan. Selanjutnya, giliran murid-murid yang lain mengajukan pertanyaan.

Satu catatan penting diskusi ini yakni men-genai usaha pengurangan risiko bencana dan usaha menghadapi perubahan iklim. Dua tema yang mendapat perhatian khusus bagi peserta walau sebenarnya masih sulit bagi murid seumuran mereka—kisaran 13 sampai 15 tahun—untuk memahami konsep-konsep yang dipaparkan.

Menurut salah seorang guru pendamping, Ridwan, baru kali ini ada kegiatan di luar jam sekolah yang melibatkan seluruh siswa. Apalagi bentuknya adalah rekreasi. Anak-anak akan mengingat dengan baik keseluru-han proses karena kegiatan dikemas dengan santai.[]

Page 11: Buletin Payo-Payo Edisi 03

11HALAMAN

Sekolah Lapangan, Perlawanan Petani terhadap Revolusi Hijau

MARIATI ATKAH

TIGA MUSIM panen berturut-turut, ak-hir 2009 hingga penghujung 2010, terjadi serangan tungro di Kabupaten Polman, Sulawesi Barat. Penyakit ini menggagalkan sembilan puluh persen panen (kategori puso atau gagal total). Bila normal, sehektar sawah bisa menghasilkan minimal 50 karung gabah. Sejak tungro mengganas, petani hanya me-manen 5-10 karung gabah.

Hasil itu sungguh tak sebanding dengan ong-kos produksi. Petani frustasi. Di Desa Bonne-Bonne, petani bahkan membakar sawah lantaran tak ada padi yang bisa dipanen.

Petani setempat menyebut tungro sebagai cella’ pance’ (merah-pendek), sesuai keada an padi yang terserang. Tungro adalah virus padi yang disebarkan oleh wereng hijau, terjadi pada fase pertumbuhan vegetatif dan menyebabkan tana-man tumbuh kerdil dan berkurangnya jumlah anakan. Daun yang terserang berwarna kuning, oranye, sampai kemerah-merahan.

Warta Penelitian dan Pengembangan Pertani-an Vol. 30 No. 5 2008, menyebut, dalam kurun 1970-1995, luas serangan tungro di Indonesia mencapai lebih dari 200 ribu hektar dengan nilai kerugian US$ 100.000. Luasan itu terus berkurang sejalan dengan upaya pengenda-lian penyakit yang dilakukan. Namun secara nasional, luas serangan tungro setiap tahun masih berkisar antara 10-12 ribu hektar.

Tungro hanya satu contoh dari sekian ban-yak dampak Revolusi Hijau yang diperk-enalkan kepada petani Indonesia pada akhir tahun 1960-an melalui program BIMAS dan INMAS. Secara internasional, Revolusi Hi-jau dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia I yang berakibat hancurnya lahan pertanian. Persoalan lain adalah tidak terkendalinya laju pertumbuhan penduduk sehingga kebutuhan pangan meningkat. Untuk mengatasi kerawa-nan pangan, dilakukanlah penelitian demi

meningkatkan produksi pertanian. Penelitian disponsori oleh Ford and Rockefeller Founda-tion di Meksiko, Filipina, India, dan Pakistan. IMWIC (International Maize and Wheat Im-provement Centre) merupakan pusat peneli-tian di Meksiko. Sedangkan di Filipina, IRRI (International Rice Research Institute) ber-hasil mengembangkan bibit padi baru yang produktif yang dengan kode IR-8.

Di Indonesia, upaya peningkatan produktivi-tas pertanian dilakukan dengan pembukaan areal pertanian baru utamanya di luar Jawa, mekanisasi pertanian dengan penggunaan berbagai macam mesin seperti bajak dan mesin penggiling, pembuatan saluran-saluran irigasi, penggunaan pupuk kimia, serta peng-gunaan pestisida, herbisida, dan fungisida.

Hasil panen meningkat pesat sejak tahun-ta-hun awal Revolusi Hijau. Indonesia mendapat penghargaan dari organisasi pangan dunia (FAO) tahun 1984 karena mencapai swasem-bada beras. Capaian ini bertahan selama lima tahun, 1984-1989. Namun setelahnya, wajah

Page 12: Buletin Payo-Payo Edisi 03

12HALAMAN

buruk dari Revolusi Hijau mulai tersingkap. Kesuksesan itu dibayar mahal dengan berba-gai efek samping yang tak terbayangkan sebe-lumnya.

Pengolahan lahan tanpa jeda menyebabkan turunnya daya dukung lingkungan. Sebelum Revolusi Hijau diterapkan, normalnya pena-naman padi dilakukan satu atau dua kali seta-hun karena tergantung hujan. Dengan irigasi teknis, penanaman padi dapat dilakukan in-tensif. Hal ini menyebabkan serangga penular menyesuaikan diri dengan lingkungannya se-hingga mampu berkembang. Varietas tanam-an yang semula dikatakan tahan hama dan penyakit pun akhirnya kalah.

Lebih jauh, Indonesia kehilangan sekitar tiga ribu varietas lokal karena tergerus oleh bibit impor, yang disebut-sebut dapat memberi-kan hasil panen lebih tinggi meski daya tahan terhadap penyakit ternyata jauh lebih lemah dibanding bibit lokal.

Overdosis pupuk dan pestisida kimia merusak tanah dan air, menimbulkan kekebalan hama, memunculkan hama baru, serta keracunan pada manusia dan hewan. Dan efek yang pa ling tidak bisa dihindari adalah terjadi perubahan kultur sosial, kebiasaan masyarakat mengolah lahan pertanian berubah karena diganti mesin.

Dari tahun ke tahun, seluruh isi paket Revo-lusi Hijau itu meningkatkan biaya pertanian sementara produksi terus menurun. Bila meng-hitung sederhana untuk 1 hektar lahan, penge-luaran petani Bonne-Bonne per musim panen berkisar Rp 650-800 ribu untuk biaya traktor, Rp 500-600 ribu cabut dan tanam benih, Rp 150-300 ribu untuk pupuk, Rp 200-300 ribu untuk pestisida dan herbisida, Rp 150-200 ribu untuk bibit, dan Rp 400-500 ribu untuk biaya angkut. Total biaya tadi Rp 2,7 juta. Ini belum termasuk biaya harian dan tenaga petani. Rerata harga gabah ke ring di Polman Rp 250 ribu/kuin-tal. Jika terjadi bencana, seperti serangan tungro, petani hanya bisa memanen 10 karung (Rp 2,5 juta).

Petani terancam secara sosial ekonomi. Sum-ber pencahariannya tak mampu lagi meno-

pang kehidupan yang layak. Untuk kebutuhan sehari-hari saja mereka kesulitan, apalagi un-tuk peningkatan taraf hidup dan pemenuhan kebutuhan lain, misalnya menyekolahkan anak-anak. Biaya pertanian terus bertambah, sementara harga gabah tak meningkat.

Berbagai gerakan petani mulai bermuncu-lan untuk melepaskan diri dari jerat Revolusi Hijau. Di Bonne-Bonne, Kecamatan Mapilli, didampingi oleh SRP Payo-Payo, sekelompok petani beranggotakan 5 laki-laki dan 3 per-empuan mengelola dua petak lahan 10 are. Mereka menerapkan sistem pertanian ramah lingkungan. SRP Payo-Payo yang bermitra dengan Dewan Mahasiswa Helsinki-Finlan-dia, hanya bertindak sebagai fasilitator yang mendukung kegiatan belajar mereka. Sele-bihnya merupakan pekerjaan para anggota kelompok.

Mereka belajar mengamati perkembangan di lahan (lihat foto), memanfaatkan data penga-matan sebagai dasar pengambilan kesimpulan dan keputusan. Proses belajar ini mereka sebut sebagai sekolah lapangan. Mereka belajar men-genal hama, musuh alami, kondisi tanaman dan ekosistem yang dapat mempengaruhi keber-hasilan maupun kegagalan usaha tani. Yang le-bih penting: petani belajar berkeputusan sendiri. Keputusan yang diambil tidak didasarkan an-juran atau perintah orang lain, melainkan atas dasar hasil pengamatan di lahan dan hasil dis-kusi antar sesama petani. Di sekolah lapangan, petani belajar di sawah bukan di kelas, petani belajar bersama (bukan diajari). Proses ini ber-beda dengan Sekolah Lapangan program Dinas Pertanian, karena penyuluh bertindak sebagai orang yang tahu segalanya dan petani hanya menerima saja.

Walau kelompok ini belum mampu melepas-kan diri sepenuhnya, tapi setidaknya mereka berusaha membangun bukti bahwa petani bisa memaksimalkan kemampuan. Mereka tinggal menyusun, mengembangkan, dan me-nyebarluaskan kesadaran kepada petani lain di sekitarnya bahwa pertanian ramah ling-kungan hanyalah jalan untuk membuat mere-ka berdaulat atas penghidupannya sendiri.[]