Buletin Payo-Payo Edisi 05

16
1 HALAMAN PAYO-PAYO kabar pertanian dan pembangunan dari warga Edisi V Februari 2014 National Geographic dalam beberapa bulan terakhir membuat delapan seri bertema Future of Food Series. Salah satunya edisi April dengan judul, Eat, e New Food Revolution (makan, revolusi pangan baru). Media itu juga membuat kanal khusus food.nationalgeographic.com. Persoalan besar yang mereka informasikan mengenai ledakan jumlah penduduk dan keter- batasan makanan. Puncaknya, tahun 2050, pu- pulasi manusia meningkat 35%, sehingga dunia butuh 100 milyar ton bahan pangan per tahun. Sebuah artikel di situs itu, “e New Face of Hunger (Wajah Baru Kelaparan)”, menyajikan bentuk kelaparan baru yang tengah melanda warga Amerika Serikat, di mana jutaan pekerja setiap hari memenuhi kebutuhan makanannya yang tak mereka ketahui sumbernya. Di Amerika Serikat, sebagian besar makanan olahan dibuat dari bahan-bahan dengan kadar kemurnian buruk. Seperti, cream yang tak men- gandung susu, sari jeruk yang tak mengandung jeruk, atau biskuit keju, yang tak sedikipun me- ngandung keju. Sebagian besar bahan makanan tersebut berasal dari zat-zat tambahan yang da- pat merekayasa rasa. Makanan segar hanya bisa dimakan di awal Pangan Lokal untuk Kehidupan REDAKSI PAYO-PAYO Beberapa bulan terakhir ini sebuah majalah ternama, National Geographic yang bermarkas di Washington melompat ke tahun 2050, di mana mereka mengkha- watirkan ketersediaan pangan untuk makan 9 milyar manusia di planet bumi pada masa yang akan datang. Foto: Anwar Jimpe Rachman

description

Desa dan Pangan Lokal

Transcript of Buletin Payo-Payo Edisi 05

Page 1: Buletin Payo-Payo Edisi 05

1HALAMAN

PAYO-PAYOkabar pertanian dan pembangunan dari warga

Edisi V Februari 2014

National Geographic dalam beberapa bulan terakhir membuat delapan seri bertema Future of Food Series. Salah satunya edisi April dengan judul, Eat, The New Food Revolution (makan, revolusi pangan baru). Media itu juga membuat kanal khusus food.nationalgeographic.com.

Persoalan besar yang mereka informasikan mengenai ledakan jumlah penduduk dan keter-batasan makanan. Puncaknya, tahun 2050, pu-pulasi manusia meningkat 35%, sehingga dunia butuh 100 milyar ton bahan pangan per tahun.

Sebuah artikel di situs itu, “The New Face of Hunger (Wajah Baru Kelaparan)”, menyajikan

bentuk kelaparan baru yang tengah melanda warga Amerika Serikat, di mana jutaan pekerja setiap hari memenuhi kebutuhan makanannya yang tak mereka ketahui sumbernya.

Di Amerika Serikat, sebagian besar makanan olahan dibuat dari bahan-bahan dengan kadar kemurnian buruk. Seperti, cream yang tak men-gandung susu, sari jeruk yang tak mengandung jeruk, atau biskuit keju, yang tak sedikipun me-ngandung keju. Sebagian besar bahan makanan tersebut berasal dari zat-zat tambahan yang da-pat merekayasa rasa.

Makanan segar hanya bisa dimakan di awal

Pangan Lokal untuk Kehidupan REDAKSI PAYO-PAYO

Beberapa bulan terakhir ini sebuah majalah ternama, National Geographic yang bermarkas di Washington melompat ke tahun 2050, di mana mereka mengkha-

watirkan ketersediaan pangan untuk makan 9 milyar manusia di planet bumi pada masa yang akan datang.

Foto: Anwar Jimpe Rachman

Page 2: Buletin Payo-Payo Edisi 05

2HALAMAN

bulan, ketika mereka baru mendapat upah. Ba-nyak produk makanan di Amerika yang hanya mengandalkan perasa makanan. Jus jeruk tanpa jeruk atau biskuit rasa sayur tanpa sayur sesung-guhnya. Akibat makanan yang tak jelas sum-bernya itu banyak orang menderita kegemukan. Anak-anak kurang nutrisi. Dan Inilah yang mereka sebut ‘wajah baru kelaparan’.

Sekilas tampak masuk akal dan menimbulkan kepanikan. Tapi bagaimana dengan solusi yang mereka tawarkan mengenai pengembangan agrobisnis di mana-mana supaya bisa meme-nuhi kebutuhan pangan dunia?

Solusinya lagi-lagi agrobisnis, yang mensyarat-kan penggunaan lahan luas, teknologi, dan mo-dal yang hanya akan melibatkan segelintir kong-lomerat atau perusahaan multinasional. Bisnis ini akan mempraktikkan pertanian monokul-tur yang akan menghilangkan keanekaragam-an pangan dan benih lokal. Benih-benih yang diproduksi agrobisnis dipatenkan, sehingga petani tak bisa mengembangkan benih sendiri. Sementara pemerintah tunduk pada aturan main yang mereka bikin untuk kepentingan bis-nisnya.

Di Indonesia persoalannya bukan tentang jarak geografis antara produsen dan konsumen, tetapi soal jarak petani dari alat produksi utamanya, tanah. Di Indonesia, ada 26,14 juta petani kecil yang kepemilikan lahannya tidak sampai 1 hek-tar. Beda jauh dengan Amerika Serikat, negara promotor agrobisnis, terdapat 2,1 juta petani yang menggarap lahan rata-rata seluas 175 ha/orang.

Di Indonesia, rata-rata tiap rumah tangga petani menggarap 0,89 hektar. Padahal sekitar 17,73 juta petani menanam padi dengan hasil menca-pai 72 juta ton beras per tahun. Produksi beras itu memenuhi kebutuhan 98% dari 230 juta pe-

rut orang Indonesia. Jadi, perut kita diberi ma-kan oleh petani kecil yang hidup pas-pasan.

Lantas, benarkah kita menghadapi ancaman kelaparan akibat ledakan populasi manusia di masa mendatang? Faktanya, hanya setengah dari produksi pangan dunia yang dimakan oleh manusia, 70% nya dicukupi oleh hasil produksi petani kecil. Ke mana makanan yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan agroindustri?

Agroindustri menghasilkan 36% pangan yang tersedia di dunia untuk bahan biofuel, bahan ba-kar yang terbuat dari bahan-bahan organik. Di negara-negara Eropa Utara dan Amerika Utara, 45% bahan pangan diproduksi untuk makanan ternak dan energi. Sedangkan di Asia dan Af-rika, 70-89% bahan makanan yang diproduksi dimakan manusia.

***

Di Amerika Serikat, negara yang mensponsori pasar bebas dunia, petaninya dilindungi dan disubsidi. Presiden Amerika ke 16, Abraham Lincoln menetapkan undang-undang yang ber-nama Homestead Act 1862. Dengan peratur-an tersebut negara membagikan tanah kepada petani seluas 65 hektar per unit. Undang-un-dang tersebut menjadi bangunan dasar kekua-tan pertanian di Amerika.

Dalam masa yang hampir bersamaan, Jepang melakukan reformasi agraria untuk yang perta-ma kali tahun 1868, tapi gagal. Landreform yang kedua, sukses tahun 1945. Sejak itu, reformasi agraria menular ke negara-negara lain, seperti Korea, India dan Iran. Hingga saat ini, subsidi pemerintah negara-negara tersebut terus ber-lanjut.

Di Jepang, walaupun industri melesat, tidak membuat petaninya lemah. Di sana kepemi-likan tanah malah meningkat sebab peme-

Di Indonesia, rata-rata tiap rumah tangga petani menggarap 0,89 hektar. Padahal sekitar 17,73

juta petani menanam padi dengan hasil menca-pai 72 juta ton beras per tahun. Produksi beras

itu memenuhi kebutuhan 98% dari 230 juta perut orang Indonesia.

Page 3: Buletin Payo-Payo Edisi 05

3HALAMAN

rintahnya melindungi kepemilikan tanah para petani. Khudori dalam bukunya Neoliberalisme Menumpas Petani menyebutkan contoh di Hok-kaido. Di sana, rata-rata kepemilikan petani 20 hektar. Para petani dilindungi secara khusus melalui lembaga pemerintah dari gempuran pasar global.

Di Thailand, seperti Indonesia. Thailand meng-andalkan pangan dari petani kecil. Tapi, di sana petaninya dilindungi oleh pemerintah dari per-saingan global, melalui subsidi dan bank khusus petani Bank for Agriculture and Agricultural Co-operatif (BAAC). Demikian juga di Afrika Sela-tan yang lama ditekan oleh sistem politik apart-heid. Dia menyubsidi petani dan mendirikan bank khusus untuk petani untuk menyelesaikan masalah struktural.

makin berkurang. Laporan itu mengacu pada data Badan Pusat Statistik. Rumah tangga yang menanam padi di tahun 2013 tinggal 20,4 juta rumah tangga, 31,17 rumah tangga petani sepu-luh tahun lalu. Untuk usaha tanaman jagung juga terjadi penurunan tahun 2003 ada 6,4 juta, sepuluh tahun kemudian turun menjadi 5,1 juta.

BPS mencatat nilai tukar petani mengalami penurunan selama Juli 2014 menjadi 98,04%. Nilai tukar petani tersebut masih stabil di bawah 100% menunjukkan rendahnya kesejahteraan petani tanaman pangan. Nasib serupa juga di-alami oleh petani hortikultura.

Penurunan nilai tukar itu akibat harga penjual-an gabah kering petani dan gabah kering giling pada Juli juga turun drastis. Rata-rata harga

Jumlah petani di Indonesia semakin berkurang, dengan mengacu pada data Badan Pusat Statistik. Rumah tangga

yang menanam padi pada tahun 2013 tinggal 20,4 juta rumah tangga, 31,17 rumah tangga petani sepuluh tahun lalu. Untuk usaha tanaman jagung juga terjadi penurunan

tahun 2003 ada 6,4 juta, sepuluh tahun kemudian turun menjadi 5,1 juta.

Pada September 1960, Soekarno mengesah-kan Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Akan tetapi, program itu tertumpas sendirinya oleh kebijakan Revolusi Hijau oleh Orde Baru. Revo lusi hijau, kebijakan tata kelola pertanian. Dia mensyaratkan penggunaan bibit unggul, pupuk kimia dan teknologi pertanian. Tujuan utamanya, menghasilkan panen sebanyak-ba-nyaknya. Tapi revolusi hijau hanya menyisakan kemiskinan dan ketergantungan akut terhadap produk kimia, kerusakan ekosistem, dan utang-utang tak terbayar yang memaksa para petani melepaskan lahannya satu per satu.

***

Buntut dari revolusi hijau, petani di Indonesia menghuni kantung-kantung kemiskinan. Dari 28,55 juta penduduk miskin, lebih dari separuh-nya (62,8%) merupakan petani. Di pulau Jawa, setengahnya merupakan petani tak berlahan.

Laporan mingguan Geotimes, 25 Agustus 2014 menunjukkan jumlah petani di Indonesia se-

gabah kering sebesar Rp 4.097,92 per kg dan harga gabah kering giling sebesar Rp 4.171,76.

Sedangkan, penurunan nilai tukar petani hor-tikultura akibat jatuhnya harga sayur-sayuran, khususnya harga cabe yang turun hingga Rp 2000 – 4000 di tingkat petani pada awal Juli.

Dari jumlah petani yang semakin berkurang itu, petani dihadapkan juga dengan kesulitan menda-pat lahan pertanian yang semakin sempit akibat alih fungsi lahan untuk pembangunan infrastruk-tur, perumahan dan pabrik-pabrik. Termasuk pabrik-pabrik agroindustri yang te rus melindas tanah-tanah pertanian di pinggir an kota.

***

Dengan kondisi terpuruk, sebagian petani kecil di Indonesia masih bisa membangun kemandi-riannya tanpa campur tangan pemerintah. Di Desa Tompobulu, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, para petaninya berinisiatif memutus rantai revolusi hijau. Mereka membuat sendiri

Page 4: Buletin Payo-Payo Edisi 05

4HALAMAN

pupuk organik untuk padi dan tanaman lain, semisal kacang tanah. Sekarang, bahkan sebagi-an dari mereka berhasil memanen padi organik dan panen terus meningkat yang selalu bisa me-menuhi kebutuhan makan satu desa, yang ter-diri dari 700 rumah tangga. Belakangan, mere-ka bisa menjual surplus berasnya ke luar desa. Mereka juga menghasilkan madu, gula merah dan kacang tanah.

Rupanya, keberuntungan desa itu berkat ke-teguhan para petani tua mempertahankan peng-etahuannya. Mereka memilih menggunakan bibit sendiri, ketimbang anjuran para penyu luh lapangan utusan dinas pertanian.

Mitos kelangkaan pangan memang senjata uta-ma para korporasi untuk membenarkan praktik industri pertanian monokultur, supaya benih-benih beranekaragam yang tersebar di seluruh pelosok bumi musnah, diganti dengan benih-benih bikinan pabrik hasil rekayasa genetik. Jika itu terjadi, petani akan semakin berkurang, dan makanan kita dibuat di pabrik-pabrik raksasa.

“Semakin banyak kita makan makanan lokal yang beraneka ragam, semakin banyak pula kita

telah melindunginya. Ini soal ketahanan pangan sekaligus ketahanan budaya,” ujar Vandana Shi-va yang dikutip oleh mingguan Geotimes, edisi Agustus. Ia seorang aktivis anti globalisasi asal India. Dia mendirikan ratusan bank benih di se-luruh penjuru India.

Dalam edisi ini, kami menghantarkan kepada Anda beberapa artikel mengenai pentingnya pangan lokal yang terwakili dalam artikel Wida Waridah berjudul, “Meja Makan Sumber Kes-ehatan Keluarga” dan kisah seorang perempuan bernama Fitriani A.Dalay. Ia membuang jauh kebiasaan minum obat kimia dan beralih meng-konsumsi buah dan sayur lokal untuk keseha-tannya.

Ada juga, gagasan dari Sunardi Hawe, yang memaparkan sistem transaksi untuk men-dukung petani kecil dan merintis kedaulatan pangan. Sementara itu, Rahiwati merekam ke-biasaan suku Tolaki bertukar sagu untuk me-menuhi kebutuhan dasarnya. Terakhir, artikel dari Hasnulir, mengenai hak dasar manusia atas pangan.

Selamat membaca.

Di Indonesia, ada 26,14 juta petani kecil yang kepemilikan lahannya tidak sampai 1 hektar. Beda jauh dengan Amerika Serikat, negara promotor

agrobisnis, terdapat 2,1 juta petani yang menggarap lahan rata-rata seluas 175 hektar per orang.

Foto

: Dok

. Pay

o-Pa

yo

Page 5: Buletin Payo-Payo Edisi 05

5HALAMAN

Penyusutan itu akibat kemiskinan yang di-alami petani, sehingga mereka berpindah matapencaharian menjadi buruh atau peda-gang. Jika ini terus terjadi, produsen pangan akan terus berkurang, dan kita akan semakin tergantung pada pasokan impor.

Saat ini, ada lebih dari 15,4 juta ton pangan impor yang membanjiri pasar di Indone-sia, sebagaimana dipublikasikan Badan Pu-sat Statistik periode Januari hingga Oktober 2013. Nilai impor itu sekitar Rp 8,5 triliun. Jenis pangan yang diimpor di antaranya cabai, singkong, kopi, bawang, tepung terigu, kede-lai, dan beras, bawang merah. Bahkan untuk pangan yang biasa ditanam orang-orang desa di halaman rumah, macam singkong dan cabai.

Pemerintah beralasan produksi petani tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri. Proses perdagangan antarnegara memang sulit di-hindari dalam posisi Indonesia sebagai negara yang terlibat dalam perdagangan bebas. Na-mun pemerintah harusnya lebih mengutama-kan produksi dalam negeri dan berkewajiban melindungi petani sebagaimana yang dilaku-kan oleh negara-negara maju, negara yang getol mengampanyekan perdagangan bebas di semua bidang, termasuk bahan-bahan pan-gan.

Meningkatnya biaya sosial, kesehatan, dan pendidikan di tengah minimnya subsidi bagi petani memaksa petani berpindah pekerjaan. Sebagian dari mereka bermigrasi ke kota untuk mencari nafkah. Mereka menempati pekerjaan-pekerjaan informal, seperti buruh bangunan, buruh angkut, ojek, dan lain-lain.

Profesi petani jadi kutukan, melekat dengan kemiskinan. Para pemuda tak berminat men-jadi petani.

Dalam tulisan ini, saya akan menawarkan se-buah sistem yang bisa menjadi pilihan untuk mendukung usaha pertanian skala kecil di Indonesia, sebuah sistem yang membangun kerjasama antara konsumen di kota dengan petani di desa. Sistem ini dikenal dengan is-tilah CSA (Community Supported Agriculture atau juga kerap disebut Community Shared Agriculture).

Sistem ini bermula dari sejumlah petani dan sekelompok warga di Swiss dan Jepang pada tahun 1960-an. Kemudian pada pertengahan 1980-an, petani dari Swiss dan Jerman me-ngenalkannya ke Kanada, Amerika Serikat, dan terus mengalami perkembangan hingga kini. Jumlah anggota kelompok meningkat dan banyak terbentuk kelompok-kelompok baru.

Dalam sistem ini, warga perkotaan akan be-kerjasama langsung dengan petani yang ber-ada di perdesaan ataupun daerah-daerah pinggiran kota. Kerjasama ini dibangun ber-dasarkan kepercayaan serta kesadaran ber-sama, dimana kedua belah pihak tidak akan saling merugikan

Jadi antara konsumen dan petani tidak memi-liki sekat sosial. Konsumen dan petani akan bekerjasama dalam satu kelompok, menda-patkan keuntungan dan menanggung risiko bersama-sama dalam proses pemenuhan ke-butuhan pangan rumah tangga.

Dalam satu kelompok CSA tidak lagi terjadi

Memutuskan Rantai Ketergantungan Impor Pangan SUNARDI HAWI

Kelompok yang paling dimiskinkan dari kebijakan pemerintah mengimpor pa-ngan adalah petani. Sementara jumlah petani di Indonesia berdasarkan sensus pertanian 2013 ada 20,4 juta rumah tangga petani, menurun dari sepuluh tahun

lalu yang berjumlah 31,17 juta rumahtangga.

Page 6: Buletin Payo-Payo Edisi 05

6HALAMAN

BULETIN PAYO-PAYO diterbitkan oleh sekolah rakyat petani (SRP) Payo-Payo be-kerjasama dengan Dewan Mahasiswa Helsinki (HYY). PIMPINAN REDAKSI Nurhady Sirimorok; REDAKTUR PELAKSANA Anwar Jimpe Rachman; TIM KERJA PROGRAM Karno B. Batiran, Hasnulir Nur, Jumadil M Amin, Muh. Imran (Tompo Bulu), As'ad Rauf (Soga), Ibnul Hayat Tanrere (Bonne-Bonne). ALAMAT REDAKSI Kantor SRP Payo-Payo, Jalan Poros Maros-Bantimurung No. 111, RT 1 RW 4, Dusun Sege-segeri, Desa Minasa Baji, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indone-sia 90561, Telepon: 04113881144, email: [email protected]

pemilahan antara konsumen dan produsen, tapi akan membentuk sebuah kelompok atau komunitas sosial dalam sistem produksi ba-han pangan.

Dalam sistem kerjasama ini, anggota kelom-pok yang bermukim di perkotaan akan men-dapatkan pasokan bahan pangan dari petani di kelompoknya secara rutin. Baik mingguan ataupun bulanan, tergantung dari produk yang dibutuhkan.

Jenis produk yang diperdagangkan adalah produk kebutuhan pokok, seperti beras, sa-yuran, madu, telur, susu, dan produk per-tanian lainnya. Selain dengan petani, bisa juga dilakukan dengan nelayan untuk me-menuhi kebutuhan produk laut seperti ikan. Di Amerika dan Eropa, tanaman hias bah-kan sudah menjadi produk yang disuplai.

CSA bisa dilakukan dengan membentuk kelompok dilengkapi dengan daftar kebutu-han pangan rumah tangga. Daftar kebutu-han tersebut kemudian menjadi dasar bagi petani untuk mengetahui jumlah bahan pa ngan yang harus diproduksi sehingga mampu memenuhi kebutuhan anggotanya. Meskipun bisa dikerjakan sendiri, namun pengerjaan berkelompok akan lebih memu-dahkan serta mengurangi biaya produksi

dan distribusi.

Apa keuntungan yang diperoleh melalui sis-tem kerjasama ini?

Saat ini, ada gerakan yang mengampanye-kan konsumsi pangan lokal ketimbang produk luar. Kelompok-kelompok ini um-umnya diinisiasi oleh kaum kelas menen-gah perkotaan. Go pangan lokal, salah satu-nya. Selain me ng ajak warga mengkonsumsi pangan lokal, gerakan ini juga bertujuan memunculkan penganekaragaman pangan. Misalnya asup an karbohidrat tidak sepe-nuhnya dari beras, melainkan dari jagung, singkong, pisang, atau sukun. Dengan cara ini, serapan produksi petani akan mening-kat. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan juga pernah gencar dengan kampanye ini.

Tapi gerakan yang hanya mengajak orang mengonsumsi pangan lokal terbentur ban-yak masalah. Salah satunya adalah jarak antara konsumen dengan petani sebagai produsen masih terbentang jauh.

Anggaplah kita lebih memilih pangan lokal daripada impor. Namun apakah itu sudah memberikan insentif kepada petani dan konsumen? Tentu masih men-jadi perta nyaan besar. Dengan rantai distribusi yang masih sangat bergantung

Sebuah sistem yang bisa menjadi pilihan untuk men-dukung usaha pertanian skala kecil di Indonesia, yakni

sistem yang membangun kerjasama antara konsumen di kota dengan petani di desa. Sistem ini dikenal dengan is-tilah CSA (Community Supported Agriculture atau juga kerap

disebut Community Shared Agriculture).

Page 7: Buletin Payo-Payo Edisi 05

7HALAMAN

pada pedagang perantara, konsumen dan petani tidak akan mendapatkan insentif lebih.

Bagi petani, harga turun begitu memasuki masa panen. Sementara konsumen, tidak memiliki informasi mengenai bahan ma-kanan yang mereka peroleh. Semisal se-berapa terbebas bahan pangan yang mereka konsumsi dari penggunaan kimia, yang su-dah terbukti menjadi pemicu sejumlah pen-yakit manusia.

Dengan sistem CSA, petani dan warga [perkotaan] bekerjasama dalam satu kelom-pok, akan memotong rantai distribusi men-jadi lebih pendek. Sehingga, petani menda-pat harga yang setimpal dari pembeli. Juga sebaliknya, bagi pembeli harga tidak akan mahal, karena langsung dari petani tanpa perantara.

risiko dan keuntungan dalam proses produksi. Misalnya, jika petani mengalami gagal panen, anggota kelompok lainnya akan turut mem-bantu menyediakan modal tanam bagi petani yang terkena gagal panen dan akan dibayar-kan dengan hasil produksi.

Begitupun sebaliknya, petani akan me-mastikan kebutuhan anggota kelompoknya bisa terpenuhi tepat waktu dengan kualitas bahan pangan yang bermutu baik. Sesama anggota kelompok akan saling mendukung dalam pemenuhan kebutuhan pangan ru-mah tangga.

Di Indonesia, sistem seperti ini harus me-nyesuaikan dengan tingkat kepemilikan lahan rumah tangga petani skala kecil yang rata-rata di bawah 1 hektar.

Gerakan masyarakat yang mengutamakan mengonsumsi pangan lokal harus dijaga. Ini

Dengan sistem CSA, petani dan warga [perkotaan] be-kerjasama dalam satu kelompok, akan memotong rantai

distribusi menjadi lebih pendek. Sehingga, petani menda-pat harga yang setimpal dari pembeli. Juga sebaliknya, bagi pembeli harga tidak akan mahal, karena langsung

dari petani tanpa perantara.

Anggota kelompok di perkotaan juga akan mendapatkan bahan pangan, lengkap den-gan informasi mengenai proses produksi bahan pangan yang akan mereka makan. Bagaimana cara menanamnya, pakai bahan kimia atau tidak.

Anggota kelompok yang berada di kota bisa turut serta menanam serta memeli-hara tanaman. Kegiatan ini bisa dilakukan di setiap hari libur. Dengan demikian akan terbentuk kedekatan dalam satu komunitas CSA, melam paui hubungan konsumen dan produsen.

Dalam sistem CSA, yang paling penting ada-lah kepercayaan antara anggota kelompok, petani dan konsumen. Karena dalam sistem ini, petani dan konsumen, akan saling berbagi

untuk menjaga produk petani tetap terserap dan tidak tergerus oleh serbuan pangan im-por. Apalagi harga barang impor kerap be-rada di bawah harga produk petani Indone-sia. Dan CSA adalah salah satu model yang bisa mendukung kesetaraan antara petani dan konsumennya. Petani mendapat kon-stribusi yang layak, dan konsumen menda-pat jaminan bahan pangan yang bermutu. Dengan demikian, kita akan terputus dari rantai impor pangan dan memperkecil ket-ergantungan.

Sunardi Hawi, aktif di Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo dan Komunitas Ininnawa. Ia bisa dihubungi melalui email: [email protected]

Page 8: Buletin Payo-Payo Edisi 05

8HALAMAN

Beberapa tahun terakhir, jika ada orang yang bertanya pada saya, masak apa hari ini? Saya selalu kebingungan menjawabnya. Bukan ka-rena saya tidak bisa memasak.

Saya bisa memasak, tapi jarang memasak. Nyaris, sejak menikah sampai memiliki se-orang anak, saya lebih sering membeli ma-kanan yang sudah siap santap daripada mem-beli bahan makanan untuk diolah.

Selain praktis, saya berpikir, kami hanya ber-dua, anak masih kecil, belum bisa makan ma-kanan yang kami makan. Setelah anak semak-in besar, lalu adiknya lahir, konsep lebih baik membeli daripada memasak, sedikit demi sedikit berganti. Sampai akhirnya terbentuk kesadaran dalam diri saya bahwa lebih baik memasak sendiri daripada harus membeli.

Kesadaran itu tentu saja tidak jatuh dari langit begitu saja. Semuanya melewati banyak proses, ada banyak pertimbangan, ada banyak peristiwa yang menyadarkan saya untuk berubah.

Indonesia hari ini dikepung oleh berbagai produk pabrikan. Jumlah penduduk yang mencapai dua ratusan juta jiwa menggiurkan untuk dijadikan pasar.

Produk pabrikan yang paling tak bisa di-hindari adalah produk jenis makanan dan minuman. Mulai dari bumbu masak, ikan dan daging kalengan, mie, sampai air mineral, ser-ta minuman dengan berbagai rasa. Belum lagi makanan ringan yang dikemas dengan sangat menggiurkan.

Selain makanan yang diproduksi pabrikan, masyarakat kita juga tidak bisa menghindari penjual makanan dan minuman yang se-makin hari semakin menjamur. Mulai dari pedagang kaki lima dengan segala jenis ma-kananya. Bakso, sate, nasi goreng, gorengan, dan jenis makanan lainnya, sampai warung nasii dengan skala besar, dan bermacam jenis penjual makanan siap saji ala Amerika.

Semua yang menjamur itu, pada kenyataan-nya tak bisa dihindari. Kita akan selalu ber-hadapan dengan hal itu setiap saat. Termasuk saya. Saya seringkali tergoda untuk membeli makanan siap santap karena lebih mudah.

Satu hal yang membuat saya menghentikan kebiasaan tersebut. Kesadaran. Kesadaran bahwa meja makan adalah sumber kesehatan keluarga. Apa yang disajikan oleh saya seba-gai ibu, di atas meja makan, adalah represen-tasi dari apa yang akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga.

Ketika saya menyajikan makanan yang tidak jelas dari mana asal bahannya, seperti apa ba-han makanannya, bagaimana mengolahnya, saya telah mempertaruhkan kesehatan selu-ruh anggota keluarga. Walaupun jenis ma-kanannya sehat.

Kesadaran itulah yang membuat saya sedikit demi sedikit mengubah pola makan dalam keluarga. Apalagi setelah saya menemukan pola makan sehat, yaitu Food Combining.

Pola makan Food Combining sangat mendukung apa yang menjadi cita-

cita saya sebagai kepala dapur rumah tangga. Dalam pola makan ini, sayuran mentah dan buah-buahan menjadi ma-kanan prioritas. Apalagi jika bahan ma-kanan itu dipetik sendiri dari pohonnya

langsung. Tidak melewati perantara.Pola makan ini tidak menganjurkan kita un-tuk mengonsumsi makanan-makanan pabri-kan. Sebab bahan makanan yang melewati proses pabrik, adalah bahan makanan yang tidak menyehatkan. Malah sebaliknya. Ma-kanan tersebut enak di lidah, tapi tidak enak bagi tubuh.

Tubuh manusia lebih menerima makanan yang tanpa melewati proses pengolahan, sep-erti sayuran dan buah-buahan. Dua jenis ma-kanan ini lebih baik dikonsumsi langsung tan-

Meja Makan Sumber Kesehatan Keluarga WIDA WARIDAH

Page 9: Buletin Payo-Payo Edisi 05

9HALAMAN

pa melalui proses memasak atau penambah an bahan makanan lain.

Buah-buahan lebih baik dimakan langsung daripada harus dijus. Jika pun dijus, sebaik-nya tidak menambahkan gula dan sesedikit air. Begitu pun dengan sayuran. Sayuran lebih baik dimakan mentah. Sebab dengan mema-kannya mentah, kita tidak membunuh enzim hidup yang ada dalam sayuran. Ketika mele-wati proses memasak, enzim hidup akan mati, sebab dia tidak tahan panas.

Seorang teman pernah protes dengan pola makan seperti ini. Dia tidak bisa membayang-kan bagaimana bayam, wortel, kacang pan-jang, kol, buncis, dan sebagainya dikonsumsi mentah setiap hari.

Bagaimana dengan pestisida yang mungkin menempel dalam sayuran yang dikonsumsi? Sedangkan kita tahu, sayuran tersebut bukan-lah sayuran organik, yang notabene bebas dari pestisida.

Ada tips khusus sebetulnya untuk menjawab kekhawatiran teman saya itu. Sayuran mentah yang saya beli di pasar tradisional, saya cuci dengan air yang ditambahkan dengan sedikit cuka apel. Jika tidak ada cuka apel, saya men-cucinya dengan sabun khusus untuk sayuran. Jika pun tidak sabun tidak tersedia, sayuran itu saya cuci dengan air mengalir.

Sebetulnya, khazanah budaya kuliner Indone-sia pun sudah banyak sekali mengajarkan kita tentang makanan dengan sayuran mentah. Di daerah Sunda ada karedok, lotek, pencok, dan lain-lain.

Di Solo ada terancam. Ada juga pecel, yang semuanya adalah mengolah sayur mentah menjadi makanan yang lezat untuk disantap.

Pola makan ini mengutamakan buah-buahan sebagai sarapan. Buah-buahan yang bagus untuk sarapan adalah buah-buahan yang telah matang pohon. Tidak dianjurkan untuk buah-buahan yang masih mentah atau meng-kal, apalagi kalengan. Buah-buahan untuk sarapan membantu pencernaan kita.

Saya dan keluarga merasakan sendiri bagaima-

na manfaat dari sarapan buah-buahan. Tubuh lebih ringan, tidak cepat ngantuk, dan lebih segar. Saat melakukan aktivitas, tubuh tidak loyo. Malah cenderung aktif. Apalagi anak kedua saya masih balita, sayur-sayuran dan buah-buahan membantu ASI saya menjadi semakin berkualitas.

Pola makan seperti ini pun bisa menghemat anggaran keluarga. Pengeluaran untuk min-yak goreng dan gas elpiji bisa lebih hemat. Sebab untuk sarapan, kita tidak perlu me-masak, melainkan mengupas. Untuk makan siang dan makan malam, sayuran mentah menjadi prioritas. Kecuali untuk jenis makan-makanan dari protein, baik protein nabati, atau pun protein hewani, yang masih memer-lukan proses memasak.

Saya, sebagai kepala dapur dan ibu rumah tangga, pada akhirnya bisa merasakan sebuah kebahagiaan tersendiri ketika bisa menyaji-kan makanan yang sehat untuk keluarga. Saya bahagia saat setiap pagi melihat anak pertama saya yang berusia 4 tahun melahap buah-bua-han sebagai sarapan.

Sebetulnya, pola makan Food Combining ini sudah bukan hal yang asing. Buku-buku ten-tang Food Combining sudah banyak. Pakar kesehatan, dan beberapa orang yang menerap-kan pola makan ini sudah banyak mencerita-kan tentang hall ini di buku-buku mereka.

Dengan pola makan seperti ini, saya lebih sering membeli sayuran dan

buah-buahan ke pasar tradisional, dari-pada membeli makanan pabrikan ke

supermarket. Jika tidak sempat ke pasar, saya tinggal men-unggu penjual sayur yang lewat di depan ru-mah. Apalagi saat saya jalan-jalan ke daerah, saya akan sangat bahagia jika bisa membeli sayuran dan beras, langsung dari petaninya. Melihat bagaimana mereka menanamnya.

Saya paling tidak mau membeli sayuran di Supermarket. Bukan karena sayuran di pasar tradisional lebih bagus. Kadang-kadang malah sebaliknya. Namun saya berpikir, bah-wa membeli sayuran di pasar tradisional lebih

Page 10: Buletin Payo-Payo Edisi 05

10HALAMAN

menyenangkan, lebih murah, dan kita bisa membeli sesedikit yang kita perlu. Kalau di supermarket, kita cenderung dipaksa untuk membeli sayuran yang sudah dikemas. Den-gan kemasan lebih sedikit dibanding pasar tradisional, harganya malah lebih mahal.

Untuk menjadi sehat, sebetulnya tidak mahal dan tidak sulit. Hanya butuh kesadaran dan kon-sistensi untuk terus berupaya menyajikan ma-

kanan sehat di atas meja makan kita. Jika pada hari ini, seorang teman bertanya, masak apa hari ini? Saya dengan mudah akan menjawabnya.

Wida Waridah, ibu rumah tangga dengan dua anak, penulis, editor freelancer. Menyukai jalan-jalan. Menetap di Lingkungan Kedungpanjang, Maleber, Kabupaten Ciamis. Bisa di hubungi melalui email [email protected]

Suatu saat di bulan November 2013, Fitriani A. Dalay tiba di rumah dengan hati cemas. Ia baru saja mengikuti workshop bagi para kurator muda di Jakarta selama dua minggu. Setibanya di Makassar, berat badannya naik 4 kg menjadi 69 kg. Untuk tinggi badannya, angka itu tidak ideal. Tapi bukan itu masalahnya, sebab bagi perempuan yang belum genap berusia 35 tahun itu, kurus atau gemuk tak membuatnya pusing. Ia percaya diri dan menikmati aktivitasnya seba-gai penggiat komunitas kreatif. Dia gemar mera-jut. Setiap hari, di mana pun benang-benang dan jarum tak lolos dari pintalannya. Macam-macam dia bikin. Pernah juga dia bikin sebuah pameran benang rajut bersama teman-teman di komunitasnya. Di antara teman-temannya, ia akrab dipanggil Piyo.

Ini dia masalahnya. Beberapa hari setelah kepulangannya dari Jakarta itu, ibu satu anak itu mendapati tangannya gemetar, tak sang-gup pegang jarum. Dia merasa ada yang salah dalam tubuhnya. Mudah kram dan kesemut-an dan tegang di punggung atas.

Dia mulai panik. Pikirannya berkeliaran. Ia teringat ibunya yang meninggal dunia aki-bat komplikasi berbagai penyakit, mulai dari jantung dan hipertensi. Berbagai macam obat kimia dia minum, tapi tak membuat tubuhnya

kembali sehat. Pikirannya, ia tak ingin mati muda.

Langkah pertama, ia menggunakan mesin pencari google untuk mengetahui sebab dan gejala dalam tubuh yang ia rasakan. Ia tak ingin terburu-buru mendengar analisis dok-ter. Dari google ia kumpulkan artikel-artikel yang berkaitan dengan gejala yang ia rasakan. Awalnya, ia cuma ingin membiasakan minum jus buah, hingga seorang teman mengenal-kan pola makan Food Combaining, semacam aturan makan yang didasari pada sistem kerja tubuh. Makanan utama dari pola ini, buah dan sayur segar. Karena tubuh bekerja sesuai

Mengubah Pola Makan MULYANI HASAN

Kisah bagaimana seorang perempuan mengubah pola makan dan kebiasaan menggunakan obat kimia dari dokter untuk penyembuhan penyakit. Ia hanya

memanfaatkan kandungan sayur dan buah lokal untuk kesehatannya.

Fitriani A DalayFo

to: A

nwar

Jim

pe R

achm

an

Page 11: Buletin Payo-Payo Edisi 05

11HALAMAN

ritme alamiah, untuk itulah kita sesuaikan as-upan makanan yang tepat sesuai ritme tubuh.

Pagi hari, pukul 04.00 sampai dengan pukul 12.00, tubuh mengeluarkan sisa sisa metabo-lisme. Pada masa pengeluaran ini, kita harus makan makanan yang mudah dicerna. Buah paling cocok di fase ini.

Pukul 12.00 hingga pukul 20.00 fase pe-nyerapan. Di fase ini saatnya tubuh mempro-ses makanan yang berat dan lama. Tapi, supaya alat pencernaan kita tak terlalu kerja keras, kombinasi makanan harus diatur. Karbohid-rat hanya boleh dengan sayur dan protein nabati. Sedangkan protein nabati tak boleh dimakan bersamaan dengan karbohidrat. Dia boleh dimakan dengan sayuran. Sedangkan buah-buahan harus dimakan pada saat perut kosong, bukan setelah makan.

Pada malam hari, pukul 20.00 sampai pukul 04.00 fase penyerapan. Di fase ini tak boleh ada makanan masuk, karena tubuh akan terganggu ketika sedang menjalankan fung-si penyerapan.

Karbohidrat dan protein hewani perlu wak-tu cerna lama. Karbohidrat dicerna selama 3 jam, sedangkan protein hewani bisa 4 jam atau lebih. Itulah sebabnya kedua unsur ini tak boleh bertemu pada saat bersamaan, ka-rena akan memberatkan kerja tubuh.

Perlahan Piyo membiasakan dirinya sarapan buah segar dan memaksa diri menyukai sa-yuran. Komposisinya dia ubah pelan-pelan. Dari banyak nasi sedikit sayur, menjadi banyak sayur, sedikit nasi. Setiap hari berbulan-bulan, ia hanya memburu buah dan sayur ke pasar tradisional. Setelah terbiasa makan sayur, ke-inginannya untuk sehat makin meningkat. Ia mencoba sayuran mentah. Dan sekarang sete-lah 8 bulan, hasilnya mencengangkan. Berat badannya turun drastis hingga angka 51 kg. Lebih dari itu, ia merasa hidupnya lebih sehat, tidak mudah depresi.

“Lebih banyak harapan hidup,” katanya.

Inilah perbincangan saya dengan Piyo. Anda akan mendapat penjelasan mengapa hanya

sayur dan buah lokal yang membuatnya sehat. Kejutan lainnya, selama 8 bulan ini, ia hanya satu kali sakit, flu. Itupun karena dia melen-ceng dari aturan Food Combaining selama satu minggu.

Mengapa sayuran mentah?Karena kalau dimasak, enzim yang terkan-dung dalam tumbuhan itu hilang. Tinggal seratnya saja. Enzim paling dibutuhkan sama tubuh. Orang meninggal enzimnya habis, se-dangkan orang sakit enzimnya berkurang. Tu-buh punya enzim pangkal. Prof Iromi bilang, enzim itu akan dipecah lagi menjadi miliaran enzim yang gunanya macam-macam. Misal-nya, membuat mata basah, air liur, darah, itu semua dihasilkan dari enzim. Untuk men-dukung itu harus dipasok dari luar melalui makanan dari tumbuhan. Kenapa tumbuhan? Karena tumbuhan sumber makanan paling cocok dengan lambung dan usus manusia.

Kalau enzim berkurang, tubuh kita akan bersi-fat asam. Kalau bersifat asam menjadi magnet bagi penyakit. Daya tahan tubuh menurun. Sekarang kalau saya merasa badan kurang enak, misal sakit tenggorokan, biasanya saya langsung makan minum jus sayur.

Apa yang dirasakan sekarang ketimbang waktu masih gemuk?Waktu gemuk lambat, tiap bangun tidur le-mas, sering merasa sesak napas, kram di ke-lingking.

Lalu mengapa lebih mengutamakan sa-yuran dan buah lokal?Karena semakin dekat jarak panennya, akan semakin aman. Sayuran atau buah impor perlu berbulan-bulan di perjalanan hingga sampai ke meja makan kita. Sementara sayur dan buah secara alami hanya tahan beberapa hari saja. Supaya awet, tentu saja buah impor itu dicampuri pengawet. Biasanya kalau buah mereka lumuri dengan lilin. Lihat saja, apel impor akan lebih mengilap ketimbang apel

Page 12: Buletin Payo-Payo Edisi 05

12HALAMAN

lokal yang kusam.

Teman saya pernah mencoba membiarkan to-mat di udara terbuka, tiga bulan masih awet. Tomat itu dia beli di supermarket. Saya curiga pake formalin, kalau sampai tiga bulan tidak busuk. Buah-buahan impor itu asalnya jauh dari Tiongkok, Australia, Amerika dan Eropa. Jadi buah dan sayur impor itu sudah mahal, enzimnya sudah berkurang pula karena su-dang teroksidasi.

Karena tak semua sayur dan buah ditanam dengan cara organik, bagaimana meng-hindari paparan racun seperti pestisida yang terdapat dalam sayur dan buah?Gampang. Pakai cuka apel, direndam saja. Kalau mau lebih murah, rendam dengan ga-ram kasar atau baking soda.

Ada apa dengan garam meja?Garam meja sudah ditambah dengan yodium pabrikan. Sementara yodium yang baik untuk tubuh yang terdapat dalam buah dan sayuran. Yodium pabrikan tidak bisa dicerna tubuh.

Ternyata semua berhubungan. Apa yang saya baca soal kedaulatan pangan, termasuk di dalamnya soal garam. Dengan membeli sayur dan buah lokal, secara langsung para petani kita juga terbantu. Paling bagus yang jarak panennya dekat, langsung dari petani. Buah dan sayurnya segar, petaninya juga mendapat mendapat keuntungan secara adil.

Banyak yang beranggapan makan buah itu mahal. Pendapat Anda?Itu karena kita terfokus pada buah-buahan impor, seperti apel, anggur, kiwi. Padahal buah lokal seperti pepaya, semangka, melon, salak, pisang itu lebih murah dan sehat. La-gipula, semahal apapun buah, lebih mahal ongkos ke rumah sakit, bayar dokter, dan obat-obatan. Dan saya mulai menyingkirkan persediaan obat-obatan di rumah.

Dalam satu hari, paling saya mengeluarkan

uang Rp 30.000 untuk makan satu keluarga. Itu sudah dapat semua; buah, sayur, ikan.

Selain murah, berat badan ideal, dan sehat, apa manfaat dari pola makan ini?Sebelum menjalani ini, saya sering cepat ter-singgung, stres, dan gampang marah. Seka-rang semua itu berkurang, bahkan pikiran saya lebih positif, harapan hidup lebih banyak dan lebih bahagia.

Mengapa Anda menyarankan pola ini?Saya pernah baca buku, Orang Miskin Dila-rang Sakit. Kalau tidak mau sakit jalani lah pola hidup sehat dengan buah dan sayur lokal dengan cara konsumsi yang benar. Dengan demikian kita akan mengurangi biaya ke dok-ter yang makin hari makin mahal.

Saya juga pernah baca buku Kedaulatan Pan-gan. Dan apa yang saya baca berhubungan dengan pola makan saya. Dengan membeli bahan pangan lokal, bukan hanya kita yang beruntung, petani juga untung.

Food Combaining mengatur asupan makanan sesuai dengan cara kerja sistem pencernaan tubuh supaya PH darah seimbang antara basa dan asam. Pola makan kita selama ini cen-derung membuat PH bergerak ke asam. Untuk kembali menetralkannya, kita harus makan buah dan sayur sebagai makanan pembentuk basa. Idealnya tubuh manusia memiliki PH 7,35-7,45. Pola makan ini popular sejak se-orang ahli bedah ternama di Amerika Serikat pada 1920 menerapkannya. Dia bernama dr. William Howard Hay.

Hay mengidap penyakit kronis jantung dan ginjal dan kegemukan. Setelah 3 bulan men-jalani pola ini, berangsur-angsur penyakitnya sembuh dan berat badannya menyusut ¼ dari hampir 100 kg.

Ternyata untuk menjadi sehat itu tidak mahal. Kita hanya perlu sedikit mengubah kebiasaan makan kita, menjauhi makanan kemasan dan berpengawet. Yang kita butuhkan, bahan pa-ngan lokal.

Page 13: Buletin Payo-Payo Edisi 05

13HALAMAN

Suku Tolaki menghuni beberapa wilayah di Provinsi Sulawesi Tenggara. Saya akan mem-bicarakan suku Tolaki yang berada di Desa Kondara, Kecamatan Pakue, Kabupaten Kola-ka.

Di desa ini rasanya jauh dari ancaman kekurangan pangan. Masyarakat mem-produksi, menyalurkan, dan memodifikasi pangan sampai siap makan.

Banyak jenis bahan pangan yang mereka per-tukarkan, baik sesama masyarakat Tolaki di desa itu ataupun di luar dari komunitas mere-ka, tapi sagu adalah bahan pangan utama dan paling banyak mereka pertukarkan.

Distribusi pangan dengan cara barter juga menunjang tersedianya bahan pangan se-lalu ada dan dekat. Keuntungan barter ba-han pangan membuat pangan jadi beragam. Sagu yang jadi komoditi di desa itu, biasanya dipertukarkan dengan pakaian, sandal, taplak meja, gorden, dan lain-lain.

Menurut Irwan, seorang warga desa Kon-dara berusia 45 tahun, praktik barter ini bisa memenuhi kebutuhan pangan dan sandang. Praktik ini berlangsung turun temurun, hing-ga saat ini.

Meskipun uang sudah beredar semenjak era 1990 an, tapi barter masih menjadi pilihan masyarakat Desa Kondara. Tidak ada yang tahu persis sejak kapan barter ini mereka lakukan.

Ilai, pria 60 tahun, sejak kecil sudah me-nyaksikan orang tua mereka melakukan bar-ter bahan pangan dengan tetangga ataupun masyarakat desa lain yang bermukim di dae-rah pesisir. Seperti suku Bugis, dan Luwu.

Bertukar Sagu RAHIWATI SANUSI

Mengapa sagu menjadi bahan pangan yang ditukarkan masyarakat Tolaki? Menurut orang tua saya, hanya suku Tolaki-lah yang biasa dan terampil mengolah pohon rumbia menjadi tepung sagu. Dan kemampuan ini memang tidak dimiliki suku lain yang ber-mukim di Kolaka Utara khususunya kecama-tan Pakue ini. Sagu memang selalu ada di ru-mah orang-orang Tolaki, selain beras.

Pernyataan orangtua saya juga sama dengan Abdu Rauf Tarimanan dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Tolaki terbit tahun 1993. Suku Tolaki sejak zaman berburu dan meramu pada umumnya menjadikan sagu se-bagai makanan tambahan hingga hari ini.

Mereka memproduksi sendiri bahan pangan tersebut dan mengolahnya menjadi makanan yang siap dimakan, seperti songgi atau kapu-rung, sinole, dange, bagea.

Kapurung sinole, dan dange adalah bentuk modifikasi pangan pengganti nasi. Ketiga modifikasi pangan ini dikonsumsi berseling dengan nasi.

Barter juga tak melulu soal pemenuhan ke-butuhan. Lebih sering warga membantu te-tangga atau kerabatnya tanpa ditukar dengan barang yang mereka butuhkan. Kadang sagu ditukar dengan bahan-bahan yang tersedia di pekarangan rumah, seperti sayur dan umbi-umbian. Sering juga tidak ditukar dengan apapun.

Menurut seorang ibu bernama Tenri, masyarakat Tolaki di desa itu kebanyakan me-miliki tanaman sayur mayur, cabai, tomat di kebun sendiri. Mereka juga banyak mengam-bil bahan pangan yang tumbuh liar, seperti

Di tengah gempuran pangan impor dan keterbatasan petani terhadap alat produksi, ada yang berbeda pada suku Tolaki. Mereka tidak terpengaruh mo-

nopoli harga beras, sebab makanan pokoknya sagu. Mereka juga tak tergantung pada uang, karena pakai sistem barter untuk mendapat kebutuhan pokoknya.

Page 14: Buletin Payo-Payo Edisi 05

14HALAMAN

rebung atau bambu muda, pakis yang ban-yak tumbuh di pinggir sungai. Sehingga un-tuk memenuhi kebutuhan sayur, mereka tak membelinya.

Ada juga kebiasaan menarik. Mereka sering-kali mengolah bahan pangan bersama sama lalu dinikmati bersama-sama. Salah satunya ma songgi. Pangan ini lebih dikenal nama kapurung. Ma songgi berarti membuat kapu-rung bersama-sama. Bahan utama makanan ini sagu dan sayur mayur. Untuk membuat pangan ini bahan bahannya diambil dari dapur, atau kebun mereka sendiri.

Sagu ternyata bermanfaat untuk kesehatan. Salah satunya untuk mencegah kegemukan. Sagu memberikan efek mengenyangkan, teta-pi tidak menyebabkan gemuk. Ini merupakan salah satu keunikan dari sagu dibanding ma-kanan pokok lainnya. Sagu mencegah sembe-lit dan dapat mencegah risiko kanker usus.

Sagu tidak cepat meningkatkan kadar glukosa dalam darah sehingga dapat dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus atau kencing ma-nis.

Mengawetkan

Masyarakat Tolaki punya kebiasaan lain un-tuk mengamankan persediaan makanannya. Mereka biasa mengawetkan bahan-bahan mentah yang tak termakan.

Setiap bahan pangan akan ada musimnya di-mana mereka akan datang berlimpah. Masa inilah biasanya ibu ibu mengawetkan bahan pangan agar tetap bisa dimakan sepanjang ta-hun.

Jika musim durian tiba, kebun mereka ber-limpah durian dan tidak semua habis dima-kan atau laku terjual. Mereka akan mengolah durian ini menjadi dampo durian. Makanan ini bisa awet berbulan-bulan bahkan sampai setahun jika pengolahan dan penyimpanan-

nya benar. Caranya, durian dipisahkan dari kulit dan bijinya, lalu dijemur sampai airnya habis.

Pisang juga bisa diperlakukan sama. Meski pisang tidak mengenal musim, buah ini juga biasa awetkan dengan cara dikupas kulitnya lalu dikeringkan sampai berwarna coklat tua. Hasilnya, dampo pisang.

Menurut ibu Tenri, pisang jika sudah di tebang paling lama bertahan satu minggu, sebelum membusuk. Jika pisang dari kebun berlimpah, ibu-ibu mengolahnya jadi berbagai jenis ku-dapan, seperti barongko atau palabutung. Atau dibagi-bagikan ke tetangga. Jika masih tersisa, baru dikeringkan.

Suku Tolaki di desa ini tidak rentan kekuran-gan pangan. Sebab dari produksi, distribusi, hingga modifikasi pangan mereka terlibat langsung. Kemampuan inilah yang mereka jaga dengan cara mengurangi percampuran suku supaya mereka tetap bisa menjalankan pola-pola interaksi sosial sesuai adatnya.

Suku Tolaki ini hanya bermukim di desa di-mana tidak ada suku lain atau jika ada jum-lahnya sangat sedikit. Mereka melakukannya agar tradisi gotong royong tetap bertahan. Jika keluar dari komunitas mereka, kemungkinan besar kebiasaan tersebut lambat laun punah.

Cara kerja komunal orang Tolaki pada dasarnya berangkat dari nilai nilai budaya yang mereka anut sejak dulu, yaitu budaya sa-maturu (gotong royong) dan mendulu ronga mepokko oso (budaya suka tolong menolong dan saling membantu). Untuk itulah mereka memilih menyingkir di desa-desa terpencil.

Rahiwati, selain anggota Komunitas In-ninawa, ia aktif mengelola Sekolah Kami, se-buah komunitas pendidikan para pemulung di Makassar.

Sagu memberikan efek mengenyangkan, tetapi tidak menyebabkan gemuk. Ini merupakan salah satu keuni-kan dari sagu dibanding makanan pokok lainnya. Sagu mencegah sembelit dan dapat mencegah risiko kanker

usus.

Page 15: Buletin Payo-Payo Edisi 05

15HALAMAN

Ketika manusia modern mulai hidup mene-tap, agrikultur penyuplai pangan, kebutuhan hidup paling dasar bukan lagi menjadi urusan individu, tapi juga tanggungjawab bersama yang diatur sesuai kesepakatan. Karena itulah agrikultur harus dikelola berdasarkan kebijak-an pemerintah untuk kemaslahatan manusia.

Sejalan dengan itu, Presiden Soekarno men-canangkan reformasi agraria sebagai langkah awal dan utama dalam tata kelola agrikultur. Reformasi agraria mensyaratkan lahan perta-nian hanya untuk para penggarap.

Prinsip ini muncul mengantisipasi timpang nya kepemilikan lahan. Tapi, sebelum prinsip terse-but matang sebagai sebuah culture, sudah digan-ti oleh Orde Baru. Prinsip tata kepemilikan la-han yang sejati nya merupakan basis terciptanya tata kelola pangan yang adil dan menjamin kes-ehatan akhirnya digantikan dengan paradigma ketahanan pangan, yang berorientasi surplus pangan melalui kebijak an Revolusi Hijau.

Sekitar seribu tahun lalu, Al-Quran menge-nalkan kualifikasi pangan yang harus dikon-sumsi dengan istilah halalan tayyiban. Halalan selain mengandung arti esensi zat makanan, berarti pula perolehan sesuap makanan harus berlangsung secara adil, tidak ada pihak yang dirugikan. Sedangkan Tayyiban berarti ma-kanan tersebut berpengaruh baik terhadap tubuh. Kalimat itu menjelaskan bahwa se-suap makanan tidak hanya berarti materi tapi mengandung arti proses. Bahkan lebih dari itu, tanah tempat pangan tumbuh merupakan bagian eksternal metabolisme kita.

“Tanah adalah metabolisme eksternal kita,

untuk itu itu dia harus bebas dari herbisida dan pestisida atau tubuh kita tidak bisa sem-buh,” kata Max Gerson, seorang ahli terapi Jerman (1881-1959).

Makanan berkualifikasi halal dan tayyibah adalah kebutuhan mendasar setiap jiwa. Se-jatinya, istilah tersebut jangan sampai hanya menjadi domain “religius” sehingga cuma menjadi anjuran moral para pengkhotbah di tempat-tempat suci. Lebih dari itu, harus menjadi landasan utama dalam melakukan pendekatan terhadap pengelolaan makanan dalam keseharian, secara individual maupun sosial. Sehingga konsep tersebut senantiasa melandasi alur pangan mulai dari produsen sampai konsumen. Tentu saja dalam kerang-ka yang berkeadilan sosial. Itulah sebabnya, akses terhadap pangan merupakan hak azasi manusia yang harus dijamin oleh negara ber-sama masyarakat, sesuai ketetapan Badan Pangan Dunia, FAO.

Indonesia kemudian menjabarkannya den-gan Undang-Undang Ketahanan Pangan No. 7/1996. Merujuk pada kebijakan tersebut, In-donesia menjalankan kewajibannya memenuhi hak kecukupan pangan warga dengan menerap-kan impor. Namun penerapan kebijakan impor ini menciptakan situasi buruk. Selain tak men-jamin mutu pangan, impor juga merusak tata kelola pertanian dalam negeri.

Data terkini BPS memperlihatkan fakta men-cengangkan. Nilai impor produk pertanian mel-onjak 346%, atau empat kali lipat, selama peri-ode 2003-2013. Angka pertumbuhan ini jauh melampaui laju pertumbuhan penduduk selama satu dekade. Jumlah penduduk Indonesia 2003

Kembalikan Agrikultur kepada Rakyat HASNULIR NUR

Ketika negara Amerika Serikat sedang dibentuk, George Washington, ketua konvensi konstitusi mendapat surat dari seorang diplomat, Thomas Jefferson. Potong an suratnya, “Pertanian adalah usaha kami yang paling bijak, karena

akhir nya akan berkontribusi pada kesejahteraan, semangat yang baik dan keba-hagiaan.” Jefferson ketika itu jadi duta besar Amerika di Prancis ingin mewujud-

kan konstitusi yang terbangun atas cita-cita tersebut.

Page 16: Buletin Payo-Payo Edisi 05

16HALAMAN

sekitar 214 juta. Pada tahun 2013, meningkat melebihi angka 252 juta jiwa atau tumbuh 18%.

Dengan mempertimbangkan laju inflasi dan nilai tukar rupiah selama periode yang sama, pertumbuhan impor produk pertanian masih jauh meninggalkan laju pertumbuhan pen-duduk. Itu berarti kemampuan negeri kita dalam menghasilkan produk pertanian melemah.

Kebijakan impor ini menciptakan situasi yang sangat tidak menguntungkan petani. Para petani dilema, antara harus bertahan mem-produksi pangan, tapi kesejahtera an makin menurun, atau beralih pekerjaan yang belum tentu bisa mengubah pendapatan lebih baik.

Tapi akan lebih gawat, jika para petani mening galkan pekerjaan mereka. Produksi pangan akan dikuasai segelintir pemodal mel-alui korporasi. Dampaknya, dalam 10 tahun rumah tangga usaha tani mengalami penyu-sutan hingga mencapai angka 5,07 juta.

Menurut peneliti dari Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Pantjar Simatupang, ini terjadi karena sejak awal Orde Baru menerapkan kebijakan ketahanan pangan yang didasarkan pada paradigm ortodoks, yaitu pendekatan penyediaan pangan (food availabil-ity approach, FAA).

Ketahanan pangan suatu negara ditentukan oleh kemampuan menyediakan makanan pokok yang cukup bagi penduduknya. FAA tidak memperhatikan aspek distribusi dan akses ter-hadap pangan karena pendekatan ini berangga-pan bahwa jika pasokan pangan tersedia maka: pedagang akan menyalurkan pangan tersebut ke seluruh wilayah secara efisien, dan harga pa-ngan akan stabil di tingkat yang dijangkau oleh seluruh keluarga. Paradigma ini tidak menyen-tuh tata kelola pangan yang berkeadilan.

Dari data di atas, kualifikasi makanan yang halal dalam artian cara perolehan yang berkeadilan so-sial tidak tercapai dan tentu saja berdampak pada kualifikasi thayyib, kurang baik bagi kesehatan. Paradigma ketahanan pangan berdasarkan keter-sediaan dan kebijakan impor harus diubah.

Muncullah kemudian istilah “Kedaulatan Pangan”

sebagai koreksi paradigma Ketahanan Pangan. Guru Besar IPB, Dwi Andreas Santosa menilai isu ini digadang-gadang sebenarnya bertolak be-lakang. Banyak kalang an termasuk pemerintah tidak memahaminya. Kedaulatan pangan adalah hak tiap masyarakat menetapkan pangan dan sistem pertanian bagi dirinya sendiri tanpa men-jadikannya sebagai subjek kekuatan pasar interna-sional.

Perbedaan mendasarnya, ketahanan pangan mempunyai model produksi pertanian industri sementara kedaulatan pangan adalah agroekolo-gis, dan model perdagangannya liberal. Semen-tara kedaulatan pangan proteksionis dan pasar lokal. Ketahanan pangan, organisasi intinya World Trade Organization, sementara kedaulat-an melalui Campesina.

Sepertinya, paradigma kedaulatan pangan mem-bawa harapan akan terpenuhinya hak warga ne-gara akan tata kelola pangan yang berkeadilan sosial sekaligus menyehatkan. Mungkin perkara akan lebih mudah andai dimulai dari nol. Tapi dampak kebijakan yang salah arah menuntut perjuangan lebih keras. Mengembalikan 5 juta lebih rumah tangga petani tentu disertai dengan lahan tentu bukan perkara mudah.

Budaya bertani instan demi tujuan komersil yang mengandalkan input kimia juga bukan perkara sepele. Kampanye sistem pertanian organik dan berkelanjutan yang gencar dilakukan oleh para aktivis pemberdayaan masyarakat petani sejauh ini belum memperlihatkan hasil maksimal karena petani ter-himpit dan desakan pemenuhan kebutuh an.

Kedaulatan pangan butuh pengawalan kebija-kan pemerintah. Salah satu prinsip kebijakan yang bisa memastikan tercapainya kualifikasi pangan yang adil dalam tata kelola dan sehat dikonsumsi adalah dengan mendekatkan kon-sumen dengan sumber pangan. Makin dekat makin menjamin. Dimulai dari yang terdekat, yaitu produsen adalah konsumen. Kebijak an harus memastikan prinsip tersebut matang se-bagai budaya.

Hasnulir Nur, aktif di SRP Payo-Payo. Bisa dihubungi di email, [email protected].