repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/725/1/Editor Buku Dari Kyiv Menulis Indonesia.pdf · v...

326
i

Transcript of repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/725/1/Editor Buku Dari Kyiv Menulis Indonesia.pdf · v...

  • i

  • ii

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    Perpustakaan Nasional Indonesia:Katalog Dalam Terbitan (KDT)

    DARI KYIV MENULIS INDONESIAPenulisYUDDY CHRISNANDI

    xvi + 288 hal + x:155 mm x y:235 mm,

    Sampul dan Penata LetakAan Raekhan

    EditorSafrizal Rambe,

    Di Terbitkan Oleh:MADANI INSTITUTE

    Hak cipta dilindungi undang-undangAll Rights reserved

    ISBN: 978-6021-823460

  • iii

  • iv

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

  • v

    DAFTAR ISI

    CATATAN EDITOR vii

    KATA PENGANTAR xi

    Prof. Dr. Ibnu Hamad

    BAGIAN PERTAMA

    PEMIKIRAN TENTANG PERUBAHAN GEOPOLITIK

    INTERNASIONAL DAN KONSEKWENSINYA

    BAGI PERAN INDONESIA DIDALAM PERCATURAN

    NTERNASIONAL 1

    Populisme Di Era Teknologi Informasi...............................3

    Tahun 2019 Dunia Tanpa Pemimpin...................................9

    Pelajaran Demokrasi Dari Tiga Negara: Ukraina,Georgia Dan Armenia ........................................................17

    Residu Pesta Demokrasi Di Indonesia DanUkraina ..............................................................................29

    Residu Kemenangan Putin Untuk Kita.............................35

    Strategic Partnership Indonesia-Rusia:Mungkinkah? ....................................................................39

    Insiden Selat Kerch Dan Ironi PopulismeUkraina ..............................................................................47

  • vi

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    Refleksi Krisis Qatar: Reposisi Negara-NegaraMayoritas Islam .................................................................53

    Politik Luar Negeri Di Abad Millenial..............................59

    Re-Inventing The Spirit Of AseanAnd Its Challenges ............................................................69

    Strategic Partnership Indonesia-Malaysia Suatu Keharusan...........................................................................85

    Intelijen, Globalisasi Dan Masa Depan Negara ..............99

    Indonesia Dalam Pusaran Politik Global ........................117

    BAGIAN KEDUA

    PEMIKIRAN TENTANG PEMBANGUNAN

    DAN POLITIK KETATANEGARAAN 125

    Pembangunan Ekonomi Industri DanKebijakan Publik Untuk Kesejahteraan Rakyat .............127

    Knowledge Based Economy, Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia ..........................................................157

    Pembangunan Sektor Pertanian Sebagai Prasyarat Ketahanan Pangan Nasional ...........................................171

    Penguatan Sistem Konstitusi Dalam Sejarah Politik Indonesia ..........................................................................179

    Memperkuat Sistem Presidensial Di Indonesia .............193

    Parpol Islam Indonesia, Masa LaluDan Masa Depannya ......................................................205

    BAGIAN KETIGA

    PEMIKIRAN TENTANG AGAMA, SOSIAL DAN BUDAYA 239

    Peran Agama Dalam Politik Indonesia...........................241

  • vii

    Ramadhan, Islam Dan Pancasila ....................................249

    Refleksi Peran TransformatifHimpunan Mahasiswa slam ...........................................253

    Pilkada Dan Politik Sunda Yang Bermartabat ...............259

    Kepeloporan Ki Sunda MengembalikanKeasrian Citarum ............................................................265

    Transformasi Revolusi MentalDari Sta Ke Jokowi ........................................................271

    CATATAN KAKI 277

    DAFTAR PUSTAKA 289

    Buku: ................................................................................289Internet: ...........................................................................297

  • viii

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

  • ix

    CATATAN EDITOR

    Mungkin tak banyak Duta Besar yang di sela kesibukannya bertugas di negara akreditasi tetap meluangkan waktunya untuk menuliskan pengalaman dan pemikirannya terkait banyak hal, satu diantaranya adalah Duta Besar Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi SH, ME.

    Prof Yuddy, demikian ia dipanggil di kampusnya, Universitas Nasional, memang bukanlah figur yang hanya berdiam diri menikmati indahnya alam kota Kyiv-Ukraina tempat dimana ia bertugas. Seperti yang saya kenal sejak 25 tahun yang lalu Yuddy adalah figur yang dinamis, ia seorang pekerja sekaligus juga pemikir. Sebagai seorang aktivis mahasiswa yang di fase selanjutnya bertransformasi menjadi politisi (pernah menjadi Anggota DPR RI dan Menteri PAN RB), saat yang bersamaan kecenderungannya sebagai pemikir juga telah mendorongnya untuk menempuh pendidikan hingga ke jenjang tertinggi (tingkat doktoral) sekaligus berkarir sebagai dosen. Karirnya sebagai dosen telah ia tekuni sejak tahun 1995 mulai dari jenjang kepangkatan terendah, Asisten Ahli hingga 20 tahun kemudian, di tahun 2015 Yuddy dianugerahi gelar Guru Besar Bidang Pembangunan Ekonomi Industri dan Kebijakan Publik di FISIP Universitas Nasional-Jakarta.

    Sebagai akademisi, Prof Yuddy terbilang produktif menulis karya-karya ilmiah diantaranya sebagai kontributor buku Membangun Kemandirian Indonesia (1995), KPP HAM Bukan Pengadilan HAM; Catatan Kritis Atas Kinerja HAM Timor-Timur (1999), Kurator buku Pemimpin Perubahan; PR Untuk Presiden RI 2005-2009 (2005), Reformasi TNI, Perspektif Baru Hubungan Sipil Militer di Indonesia (2005), Kesaksian Para Jenderal (2007), Beyond Parlemen (2008), Military

  • x

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    Reform Post Suharto (2008), Perubahan Akan Datang (2009), Strategi Kebangsaan Satrio Piningit (2014), Dari Serpihan Menjadi Gumpalan (2015). Disamping buku-buku diatas, beberapa artikel ilmiah lainnya juga telah diterbitkan di dalam dan luar negeri, dua diantaranya Golkar With Its Splinters: Hanura, Gerindra, Nasdem (penelitian bersama Adhi Priamarizki, 2015) dan Nationalisme, Power Politics and Maritime-Teritorial Sovereigny in Indonesia`s Relation With Malaysia: The Celebes Sea/Ambalat Dispute (penelitian bersama Dr. Lai Yew Meng, 2015).

    Selain menjalani tugas kesehariannya mewakili pemerintah Indonesia untuk Ukraina, Georgia dan Armenia, Duta Besar Prof Yuddy juga menyempatkan diri untuk menuliskan pemikirannya-yang hasilnya buku Dari Kyiv Menulis Indonesia saat ini ada di tangan para pembaca.

    Buku ini terdiri atas tiga bagian besar; Bagian Pertama sebagai bagian terpadat mengupas berbagai isu di sekitar keamanan, Hubungan Internasional dan globalisasi serta pengaruhnya bagi peran Indonesia; seperti Politik Luar Negeri Indonesia, hubungan bilateral Indonesia-Malaysia maupun kerjasama negara-negara Asean, hubungan Ukraina dan Rusia hingga pengalaman berdemokrasi di tiga negara akreditasi tempat dimana Prof Yuddy ditugaskan; Ukraina, Georgia dan Armenia. Pada bagian ini juga dijelaskan mengenai kemajuan teknologi dan globalisasi serta pengaruhnya bagi keamanan suatu negara.

    Bagian Kedua mengupas hal-hal di sekitar pembangunan, ketatanegaraan, politik dalam negeri dan infrastruktur demokrasi yang dijalaninya. Pada bagian ini juga mengupas berbagai hal terkait pembangunan Indonesia, utamanya yang menyangkut pembangunan ekonomi industri Indonesia maupun pembangunan di sektor pertanian. Dalam pembangunan ekonomi industri yang menarik adalah ketika Prof Yuddy menawarkan gagasan akan perlunya political engginering pembangunan ekonomi industri yang berorientasi jangka panjang dan terencana dengan komitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai negara kuat dan terhormat. Hal tersebut seperti yang dinyatakan Prof Yuddy mampu diraih bangsa Indonesia, tentunya dengan kerja keras.

    Bagian Ketiga buku ini berisi artikel-artikel yang terkait dengan agama, peradaban, sosial dan budaya seperti yang menyangkut peran agama dalam politik Indonesia, kaitan bulan suci Ramadhan dengan Proklamasi Kemerdekaan dan ditetapkannya UUD 1945 yang Pancasila

  • xi

    termaktub di dalam pembukaannya, peran transformatif organisasi kemahasiswaan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), kelestarian lingkungan, politik urang Sunda sampai pada transformasi Revolusi Mental dari Sutan Takdir Alisjahbana hingga Jokowi.

    Buku ini kaya akan topik-topik aktual, yang relevansinya dengan perkembangan global khususnya Indonesia yang kekiniaan, sangat erat. Berbagai artikel yang ada dalam buku ini tentu diharapkan dapat menjadi pemantik untuk studi yang lebih luas kedepannya.

    Safrizal Rambe

  • xii

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

  • xiii

    KATA PENGANTARCINTA TAK BERTEPI UNTUK IBU PERTIWI

    Prof. Dr. Ibnu Hamad Guru Besar Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

    Hujan emas di negeri orang lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Pepatah ini tampaknya sangat tepat dilekatkan kepada penulis buku ini, Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi, SH, ME. Betapa tidak, meski boleh dikatakan sangat enak hidup di kota Kyiv selaku Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Ukraina, Armenia dan Georgia, Prof Yuddy tetap ingat dan memikirkan tanah air tercinta.

    Buah pikirannya yang dikompilasi dalam buku “Dari Kyiv Menulis Indonesia” ini merupakan salah satu bukti bahwa Prof Yuddy menaruh perhatian yang sangat besar pada Ibu Pertiwi: sejarah masa lalunya, kondisi masa kini, dan harapan masa depannya.

    Rupa-rupanya di setiap waktu senggang selepas melaksanakan tugas diplomatiknya, Guru Besar Universitas Nasional Jakarta ini merenungkan dan menuliskan beragam aspek kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Ia enggan berdiam diri atau sebatas menikmati kota Kyiv yang teratur sebagaimana kota-kota di Eropa lainnya.

    Keadaan kota Kyiv yang tertib dengan siklus empat musim itu memberinya ruang berpikir dan kesempatan waktu yang banyak untuk meneropong Indonesia dari kejauhan jarak. Dengan berjarak seperti itulah justeru Anggota Dewan Pakar DPP Partai Golkar ini mampu memikirkan Ibu Pertiwi dengan lebih tenang, lebih terang dan lebih jernih.

    Didukung oleh kapasitas intelektualnya sebagai Guru Besar,

  • xiv

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    Duta Besar Yuddy berepistemologi mengenai bangsa dan negara Indonesia. Melalui jalan ref lektifnya, ia menjadikan pengalamannya di dalam negeri dan kini ketika buku ini ditulis di luar negeri, sebagai pengetahuan. Dengan cara ini, alhasil pangalamannya bisa ditransfer kepada para pembaca. Andaikan pengalamannya itu dibiarkan sebagai pengalaman belaka dan tidak diubah menjadi pengetahuan niscaya kurang bermanfaat bagi sebanyak-banyak orang.

    Hanya beberapa pejabat publik termasuk para Duta Besar yang berkesempatan berepistemologi dengan mengubah pengalamannya menjadi pengetahuan. Tak terkecuali pejabat publik yang memiliki gelar doktor ataupun profesor. Lain halnya dengan Duta Besar Yuddy Chrisnandi, melalui buku ini ia menunjukkan kemampuan nalar akademiknya mengubah pengalaman politik dalam negeri dan luar negerinya sebagai pengetahuan demi kepentingan Indonesia.

    Padahal dewasa ini, pengetahuan berdasarkan pengalaman yang dikenal dengan tacit knowledge itu sebagaimana ditunjukkan Duta Besar Yuddy sangatlah penting untuk pembelajaran. Mengapa? Karena di dalam tacit knowledge itu terkandung kearifan dan kebijaksanaan sebagai buah dari permenungan (rasionalisme) atas pengalaman (empirisme): mana yang perlu dilakukan dan mana yang harus dihindarkan dalam melakukan dan atau mengelola sebuah perkara.

    Think Local Act GlobalDimensi lain yang mengistimewakan buku ini adalah cara

    berpikirnya yang menggunakan pola ”berpikir lokal bertindak global”. Hal ini merupakan antitesa dari pola pikir yang sering dianjurkan: ”berpikir global bertindak lokal”–think globally act locally.

    Dengan susunan buku yang dimulai dengan Bagian Pertama yang diisi dengan tema-tema global kemudian dijadikan bahan refleksi oleh Profesor Yuddy untuk memikirkan isu-isu lokal di Bagian Kedua dan lebih menukik lagi kelokalannya pada Bagian Ketiga.

    Salah satu artikel yang mencerminkan pola pikir Think Local Act Global terutama tampak dalam tulisan yang membahas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Barat di Bagian Ketiga. Dari kejauhan di Kyiv, Duta Besar Yuddy memikirkan kampung halamannya, dengan menulis:

  • xv

    “Rabu 27 Juni 2018 rakyat Jawa Barat berbondong-bondong datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) menggunakan haknya untuk memilih pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat untuk lima tahun kedepan. Sebagai salah satu putra Pasundan yang saat ini bertugas jauh dari tanah air, di Kyiv-Ukraina, kerinduan saya ke Bumi Parahyangan membuat saya tak pernah absen mencermati setiap denyut kehidupan di tanah Pasundan, sekurangnya setiap hari membaca harian Pikiran Rakyat On Line. Dari situlah saya mengikuti berbagai peristiwa yang terjadi di Jawa Barat. Salah satunya yang menarik adalah realitas politik di tanah Sunda.”

    Refleksi globalnya dari Profesor Yuddy untuk isu lokal ini tercermin dalam paragraf berikut:

    Dinamika politik di Jawa Barat sungguh melegakan, berjalan kondusif, penuh tenggang rasa dan jauh dari hingar bingar, yang kita bersyukur ikatan ke-Sundaan telah merekatkan rasa kekeluargaan diantara warga Jawa Barat sekalipun berbeda afiliasi dan pilihan politik. Sampai batas tertentu hal ini berbeda dengan Pilpres yang berlangsung satu tahun setelahnya (2019), sangat dinamis dengan segala politik dukung mendukungnya sampai ke tingkat graasroot bahkan perselisihan hasil suara berujung pada gugatan di Mahkamah Konstitusi. Hal ini tentu patut kita syukuri, bahwa kepolitikan Sunda di Jawa Barat hari ini menunjukkan kedewasaan dan kematangannya hingga yang ditampilkan adalah high politics atau politik yang bermartabat, politik yang mempertimbangkan kemaslahatan urang Sunda secara keseluruhan dibandingkan hanya sekedar mengejar kemenangan.

    Mengapa yang berlaku dalam buku ini pola pikir think locally, act globally karena sekali lagi kenyataannya berkorespondensi dengan posisi Profesor Yuddy yang sedang melaksanakan tugas diplomatiknya di tengah-tengah masyarakat internasional. Tindakan-tindakan globalnya dimanfaatkannya untuk memikirkan situasi dan kondisi kelokalan: masyarakat dan negara Indonesia.

    Sebuah tulisan yang bersifat tacit knowlege sebagai hasil dari permenungan atas tindakan global tersingkap artikel tentang Sutan Takdir Alisyahbana (STA). Pergaulannya dengan lingkungan globalnya

  • xvi

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    membuat Profesor Yuddy menuliskan kalimat ini:

    “Sebagai generasi penerus yang menghadapi zaman baru yang sangat berbeda ini, tentu kita patut renungkan, setelah STA apa? Apakah kita akan menjadi generasi yang meneruskan capaian-capaian ilmu pengetahuan yang didapat para pendahulu kita, ataukah kita melupakannya dan mencari jenis ilmu pengetahuan baru guna menghadapi zaman baru yang berubah? Apakah kita perlu seradikal STA dengan mengatakan bahwa apa yang dihadapi keIndonesiaan sekarang sungguh berbeda dengan apa yang dihadapi keIndonesiaan zaman STA? Apakah kita harus membuang segala macam ilmu pengetahuan lama dan menganggapnya usang, lalu mencari jenis ilmu pengetahuan baru yang lebih sesuai dengan kepentingan dan tantangan hari ini dan masa depan?.

    Lagi-lagi, penulis merasa perlu bersikap realistis. Capaian-capaian yang sudah diraih oleh STA dan generasinya kita pertahankan, lalu generasi sekarang membangun strategi kebudayaan sendiri guna menambah tabungan kebudayaan (lama) itu. Tugas generasi sekarang adalah memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang dimiliki bangsa ini, sehingga mampu menghadapi beragam bentuk tantangan zaman baru yang terus berubah ini. Jangan sampai generasi sekarang justru meninggalkan jejak yang buruk, hitam dan malah menghancurkan generasi mendatang, akibat kelalaian dalam berpikir dan bertindak.

    Untuk aspek-aspek yang lebih metodologis, penulis tentu menyerahkan kepada para ahli di berbagai kampus dan lembaga ilmu pengetahuan. Sebagai penyelenggara negara, penulis merasakan pentingnya pembagian tugas antara penyelenggara negara sendiri dan antara penyelenggara negara dengan publik secara keseluruhan. Kalangan Guru Besar di berbagai kampus memiliki tanggungjawab revolusioner guna menahan laju destrutif kebudayaan yang kini berlangsung di berbagai negara. Kita harus mengangkat pena, guna mencarikan solusi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang atas masalah-masalah yang datang”.

    Ketika memikirkan isu-isu lokal (think locally) ini dalam Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Profesor Yuddy terkesan selalu gelisah atas nasib

  • xvii

    masyarakat, bangsa dan negaranya di tengah pergaulan internasional. Kerja-kerja globalnya (act globally) sebagai Duta Besar tampaknya selalu menggugah kesadarannya bahwa Indonesia memerlukan sosok pemimpin yang kontekstual dengan perkembangan dunia dewasa ini, yang mau dan mampu membawa negara ini menjadi negara yang setara peradabannya dengan negara-negara lain.

    Bukan Hanya Dealer, Tapi Juga LeaderBenar, karenanya buku ini juga memuat pesan kepemimpinan

    (leadership) dari Profesor Yuddy Chrisnandi. Ragam tulisan yang dibuatnya selaku Duta Besar menunjukkan bahwa ia bukan hanya bertindak sebagai dealer yang membawa dan menjaga nama baik bangsa dan negara Indonesia di Ukraina, Armenia dan Georgia; melainkan juga sebagai leader yang peduli dengan kondisi dan masa depan Tanah Airnya

    Melalui tema-tema yang diangkatnya di buku ini, Duta Besar Yuddy hendak menunjukkan ideosinkresi kepemimpinannya sebagai leader yang memiliki gagasan-gagasan besar. Bahwasanya menjadi Duta Besar tak harus melulu sebagai dealer yang hanya menjalankan rutinitas diplomatiknya tetapi bisa pula membawa inspirasi dari bangsa-bangsa lain untuk kejayaan negeri sendiri.

    Dengan bukunya ini Profesor Yuddy tampaknya hendak menegasikan politik oligarkis sebagaimana lazim dialami sosok dealer. Maklumlah pemimpin bermental dealer hanyalah titipan sejumlah orang yang mendukung dan mempromosikannya dengan pundi-pundi yang berlimpah.

    Sebaliknya, sekalipun Duta Besar memiliki peran dealer atas negara yang diwakilinya, Profesor Yuddy berupaya menjadi dealer yang tidak biasa akan tetapi dealer yang kreatif dan inovatif. Dalam konteks ini, ia memerankan tipe dealer yang tidak melulu mempertahankan posisi, tetapi justeru dengan posisi yang diraihnya ia ingin menggunakan wewenangnya demi kepentingan masyarakat yang lebih luas: kemasalahatan lingkungan sosial, bangsa dan negaranya.

    Dari artikel-artikel yang ditulisnya di buku ini, sepertinya ia bukan hanya ingin menjalankan misi sebagai wakil (dealer) NKRI di luar negeri-Ukraina, Armenia dan Georgia-melainkan juga melaksanakan tugas kepemimpinan (leadership) pada saat melaksanakan tugas sebagai Duta

  • xviii

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    Besar. Hal ini tidak mengherankan, sejak belia sang Duta Besar sudah belajar melaksanakan kepemimpinan dari yang paling dasar: menajadi ketua kelas ketika masih sekolah. Berlanjut hingga menjadi pemimpin organisasi yang lebih besar semasa kuliah lantas malang melintang dalam urusan publik usai meraih kesarjanaan.

    Di tengah tren politik oligarkis dewasa ini, dealer dengan tipe yang satu ini seperti halnya ditunjukkan oleh Profesor Yuddy hanya bisa eksis bilamana sejak muda yang bersangkutan sudah belajar memimpin yang bertumpu pada kemauan dan kemampuan pribadi; memimpin dengan self conciousness bukan sekadar cognitive awareness. Sejak muda ia memimpin karena keterpanggilan jiwa bukan karena ada peluang menjadi pemimpin.

    Dari kacamata situational leadership Duta Besar Yuddy Chrisnandi adalah seorang leader yang lahir dari hasil belajar: langganan jadi ketua kelas di SD; menjadi ketua OSIS di SMP dan SMA; menjadi ketua Senat Mahasiswa di Universitas Padjadjaran; menjadi ketua HMI; menjadi anggota parpol; menjadi pimpinan parpol; menjadi anggota DPR; pernah menjadi Menteri; dan bertugas sebagai Duta Besar.

    Pergaulannya dengan masyarakat Internasional, memperkuat gagasan dan memperluas cakrawala kepemimpinan seorang Yuddy mengenai pentingnya seorang leader yang berwawasan global tetapi tetap menukik pada persoalan-persoalan lokal dari bangsa dan negaranya Indonesia. Untuk itulah ia menulis tepatnya merenungkan Indonesia dari Kyiv ini.

    Sedikit membuka jejak digital, kepemimpinan seorang Yuddy selaku leader, dialah yang berani mendeklarasikan diri selalu calon Presiden dari kalangan pemuda pada 28 Oktober 2007. Itulah kali pertama ada anak muda Indonesia yang memiliki visi yang terbuka untuk menjadi pemimpin pada psosisi presiden.

    Dengan batasan usia di bawah 45 tahun, para Capres muda itu ketika itu di antaranya Yuddy Chrisnandi, terinspirasi oleh sikap politik generasi terdahulu, yang di awal kemerdekaan, menjadi penggerak kebangsaan kita, seperti dilakukan Soekarno, menjadi Presiden dalam usia 44 tahun; Mohammad Hatta, jadi Wakil Presiden pada umur 43 tahun; Mohammad Natsir, yang menjadi Perdana Menteri pada usia 42 tahun; atau Sutan Sjahrir, yang pernah jadi Perdana Menteri pada umur

  • xix

    36 tahun. Yuddy Chrisnandi, saat itu mengajukan konsep Pemberantasan 5K

    (kemiskinan, kebodohan, korupsi, ketidak-adilan, dan ketergantungan pada asing) untuk menuntaskan reformasi. Sedangkan konsep yang menonjol dari Fadjroel, salah satu dari Capres alternatif, adalah nasionalisasi asset-asset negara terutama dalam sektor minyak dan gas.

    Di tengah pesimisme akan lahirnya para pemimpin muda, keberanian anak-anak muda saat itu termasuk Yuddy memberikan harapan ternyata stock opname pemimpin bangsa selalu besar. Ledakan kepemimpinan ini menjanjikan masa depan Indonesia yang cerah. Patut dicatat, ketika itu wacana dan gerakan capres muda merupakan bagian dari pemulihan kondisi kepemimpinan nasional Indonesia yang terpasung selama 52 tahun. Seperti kita rasakan bersama, akibat tidak ada suksesi kepemimpinan secara regular dalam kurun waktu 1945-1965 dan 1966-1998, banyak bakat kepemimpinan putera terbaik bangsa dari generasi muda yang layu di tengah jalan. Di antaranya ada yang mati ataupun hilang bahkan hanya sekadar mempertanyakan legitimasi kepemimpinan Presiden yang sedang berkuasa.

    Kini, dengan menjadi Duta Besar yang tidak hanya melaksanakan fungsi dealer negara dan masyarakat Indonesia di Ukraina, Armenia dan Georgia; Yuddy Chrinandi terus mengasah diri, bebenah, dan bersiap-siap menjadi leader di Tanah Air. Dari kacamata inilah sebaiknya buku ini kita baca dan pahami maknanya. Dan kita hargai inisiatif dan cita-citanya: sudah menjadi hak dan kewajiban kita semua sebagai warga negara Indonesia untuk selalu memikirkan masa depan Tanah Air kita sendiri.

    Depok, 31 Agustus 2019

  • xx

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

  • 1

    BAGIAN PERTAMA

    PEMIKIRAN TENTANG PERUBAHAN GEOPOLITIK INTERNASIONAL DAN KONSEKWENSINYA BAGI PERAN INDONESIA DIDALAM PERCATURAN INTERNASIONAL

  • 2

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

  • 3

    POPULISME DI ERA TEKNOLOGI INFORMASI

    Ketika empat puluh sembilan tahun yang lalu Alfin Toff ler menerbitkan karyanya“Future Shock” (1970) banyak orang yang tersentak dan tersadarkan bahwa kita sedang menjalani perubahan besar, perubahan yang digaet oleh kemajuan high technology. Pandangan Toffler benar, dan faktanya saat ini kita sedang menjalaninya bersama gelombang revolusi ketiga umat manusia, yaitu terciptanya masyarakat informasi. Setiap gelombang peradaban akan menghapus tren yang muncul pada gelombang sebelumnya, seperti revolusi industri yang berlangsung selama 300-an tahun yang menghapus era ribuan tahun masyarakat agraris, demikian pula tren industrialisasi akan digantikan dengan era masyarakat informasi. Setiap gelombang peradaban akan berpengaruh besar pada struktur maupun tatanan masyarakat, termasuk tatanan politik.

    Hari ini kita menyaksikan dunia semakin mengglobal, bahkan dunia dan informasi di dalamnya dapat kita akses melalui gadget di genggaman kita. Perkembangan teknologi juga telah menyeimbangkan informasi antar komunal dalam masyarakat. Era sebelumnya dikenal dengan asimetrik information sehingga sebuah info hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu. Namun di era borderless media dengan teknologi seperti sekarang, semua info dapat dengan mudah tersebar. Semua orang bisa mengakses informasi, dan media informasi (termasuk media sosial) saat ini berperan penting sebagai “the leader of public perception”.

    Demikian pula dengan apa yang kita lihat pada fenomena kepemimpinan politik global, sebagian menemukan penjelasannya juga pada kemampuan mereka mengkapitalisasi keterbukaan informasi demi

  • 4

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    mendukung posisi politik mereka. Kemudian, thesis ini diperkuat ketika variabel yang lain juga hadir melengkapinya, yaitu kebangkitan kelas menengah, kelas yang selama ini dikenal sebagai motor perubahan. Yaitu mereka yang mapan secara ekonomi, independen secara politik dan terakses dengan media informasi teknologi (IT).

    Saya menduga peristiwa kemenangan Donald Trump, Presiden AS (2016), Rodrigo Duterte, Presiden Philipina (2014), Volodymyr Zelensky, Presiden Ukraina (2019) bahkan kemenangan Presiden Jokowi pada periode pertamanya 2014 dan kemunculan tokoh oposisi Venezuela, Juan Guaido (2019) yang berani menantang Presiden Nicolas Madura, serta keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Britis Exit/Brexit) adalah tanda-tanda dari keinginan masyarakat untuk keluar dari kemapanan yang ada demi suatu perubahan. Mungkin bagi banyak orang ini adalah anomali, siapa yang menduga Donald Trump yang kata-katanya rasis dan menimbulkan banyak kontroversi serta Duterte yang juga sepola dengannya bisa menang?, atau Jokowi dan Zelensky yang tanpa pengalaman memadai pada perpolitikan atau pemerintahan nasional, dapat terpilih menjadi Presiden?. Bahkan pengamat politik pun salah memprediksi namun kenyataannya mereka menang, mengapa demikian?.

    Hal ini dikarenakan mulai berubahnya struktur sosial masyarakat di semua negara yang mendorong munculnya kelas menengah baru. Tahun 1970 penduduk bumi sekitar 3,6 milyar orang dengan 30% nya adalah kelas menengah dan 60% lainnya adalah kelompok miskin. Saat ini (2019), jumlah penduduk bumi berkisar 7,5 milyar orang, dengan jumlah kelas menengahnya telah meningkat mencapai 60% dan kelompok miskinnya turun menjadi 30%. Karena itu keterbukaan informasi dan kebangkitan kelas menengah penting untuk kita amati.

    Lalu, apa dampaknya terhadap politik dan pemerintahan?. Pertama, masyarakat akan lebih mudah di drive melalui isu positioning. Kelas menengah ini kelompok rawan, mereka otonom, mandiri, tidak bisa dikendalikan oleh penguasa, sangat kritis dan bahkan memiliki kecenderungan sebagai leader bagi gerakan massa. Fenomena gerakan-gerakan sosial di banyak negara telah membuktikannya termasuk juga kita di Indonesia dalam tiga kali gelombang perubahan (1945, 1966 dan 1998). Kelas menengah ini selalu merasa insecure, sehingga sangat mudah diprovokasi, diarahkan dan diajak melakukan gerakan sosial. Lihat

  • 5

    yang terjadi di Korea Selatan pada tahun 1980, pada saat protes untuk meminta Diktator Militer Chun Doo Hwan yang menggantikan Presiden Park Chung Hee untuk turun dari kekuasannya. Gerakan demokrasi yang radikal merebak dipelopori kelas menengah baru di Korea Selatan mulai dari kota Mahasiswa, Gwangju. Atau kembalinya mantan PM Malaysia, politisi senior yang telah berusia 93 tahun untuk memimpin Malaysia, menumbangkan kekuasaan PM Muhammad Najib yang dianggap sebagian rakyatnya korup, gerakan tersebut juga dikomandoi kelas menengah Malaysia. Ledakan aspirasi Itu semua terjadi sangat cepat diprovokasi melalui media sosial, teknologi informasi. Demikian pula dengan berbagai peristiwa dunia lainnya yang spektakuler mampu menggerakkan solidaritas manusia yang demikian besar, digalang oleh kepiawaian kelas menengah memanfaatkan media sosial dan IT.

    Kedua, runtuhnya basis ideologi. Kelas menengah itu tidak memiliki bentuk ideologi communal base. Mereka hanya bersatu pada sebuah trend. Artinya trend lah yang mengeruk suara, dan orang-orang yang leading dalam dunia politik yang sebelumnya telah sangat berkembang di dunia bisnis, adalah orang-orang yang bisa membuat trend. Karena itu kekuatan kapital yang berada di belakang trend amat terasa dalam men-drive pendapat publik melalui media televisi, radio, surat kabar dan bahkan perkembangan terbaru belakangan ini yang juga terasa bagi kita di Indonesia adalah media sosial. Media sosial melalui cyber army potensial mengarahkan pandangan publik, dan ini mengundang bahaya bila masyarakat terlebih-lebih kelas menengahnya menerima dan ikut hanyut dalam arus informasi tersebut tanpa menyeleksinya secara kritis.

    Ketiga, karena informasi bisa diakses semua orang dengan cepat, hal ini menciptakan sebuah “bias”. Yaitu sebuah informasi yang tidak terverivikasi namun dipercaya masyarakat. Contohnya banyak seperti bermunculannya akun-akun anonim atau yang memakai beragam nama dengan tujuan untuk mendrive wacana publik. Bagi saya ini adalah sebuah strenght, mengapa demikian?. Karena kita bisa menjual produk apapun di masyarakat sepanjang kita dapat memberi keyakinan pada masyarakat. Disisi lain, bisa menjadi weakness terhadap nilai-nilai kepercayaan publik yang rapuh terhadap informasi yang tidak dapat terverifikasi kebenarannya.

    Populisme Di Era TeknologiInformasi.

  • 6

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    Siapa di dunia ini yang memprediksi kemenangan Trump seperti yang diatas telah saya sampaikan, pengamat politik pun tidak menduga Trump akan mengalahkan Hillary Clinton yang jauh lebih matang dan berpengalaman dalam politik pemerintahan, bahkan Obama terang-terangan mendukungnya. Rakyat Amerika terbelah pendapatnya atas calon Presiden dari Partai Republik ini, namun kenapa bisa menang?. Volodymyr Zelensky, di Ukraina pun demikian. Seorang artis komedian yang sama sekali tidak memiliki track record di dunia politik dan zero experience di pemerintahan, bisa mengalahkan Presiden incumbent dengan ¾ suara rakyat memilihnya. Itulah kekuatan pemanfaatan “bias” yang Trump dan Zelensky dilihat sebagai sosok yang bisa menentang kemapanan selama dua kali masa pemerintahan Obama di AS dan satu periode kepemimpinan Petro Poroshenko di Ukraina. Pada saat itu, di Amerika sedang terjadi kelesuan ekonomi, isu imigran gelap dan terorisme serta suara publik Amerika untuk mengembalikan supremasi Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi dan politik dunia. Figur Trump melalui kekuatan medianya di “bias” kan sebagai “Make American Great Again” yang dikontraskan dengan semboyan Hillary Clinton “Stronger Together”.

    Di dalam pemerintahan “bias” ini sudah diterapkan Hillary Rodham Clinton saat menjadi Menteri Luar Negeri Amerika untuk melakukan korupsi kebijakan, menggunakan email pribadi untuk urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang Federal dilarang, namun hal ini tidak terlihat atau terbukti sebagai korupsi kebijakan setidak-tidaknya skandal yang dibuka oleh Direktur FBI James Comey tidak sampai menyeret Clinton ke pengadilan. Mengapa?, karena masyarakat bisa diyakinkan oleh “bias” bahwa Clinton tak melakukannya walaupun untuk sementara orang lainnya juga terkena “bias” dengan mempercayai skandal tersebut dan meninggalkan Clinton di hari-hari terakhir pemilihan. Sementara untuk Ukraina, kemenangan Zelensky membuktikan kekuatan media televisi yang menampilkan Zelensky sebagai tokoh Presiden yang ideal dalam serial Servant of The People setahun sebelum pemilihan Presiden yang ditayangkan sebagai mini seri yang sangat popular (2018). Media sosial dengan dukungan kelas menengah menjadi anti thesis bagi para politisi Ukraina termasuk Presiden incumbent yang dinilai sebagian rakyat Ukraina telah gagal

  • 7

    melayani mereka, mengingkari cita-cita reformasi dan dianggap tidak memperbaiki ekonomi Ukraina ditengah masih merebaknya korupsi. Zelensky hadir menjadi antithesis yang efektif.

    Hal-hal yang telah saya terangkan diatas terkait dengan menyatunya masyarakat dalam arus besar informasi dan kemampuan pemilik kapital men-drive wacana publik termasuk di dalamnya kelas menengah, membuat kapitalisasi informasi menjadi demikian berharganya sekarang. Kapital ini penting dan kapital yang ditanamkan dalam berbagai sektor termasuk sektor media, tak terbantahkan telah menjadi trend pembentuk opini masyarakat. Saya kira kita semua sudah mahfum, dan banyak tokoh-tokoh politik dunia yang juga tampil lewat dukungan resources kapital yang besar melalui pembentukan opini media.

    Namun satu hal yang harus kita garis bawahi adalah bahwa pembentukan opini masyarakat, juga harus diterima secara kritis. Masyarakat harus pandai menseleksi dan menilai sesuatu informasi tanpa harus di-drive opininya oleh media. Masyarakat harus kritis, dan apalagi era keterbukaan informasi saat ini telah memberikan pembanding informasi yang cukup-untuk membangun kemandirian opini masyarakat. Kaum terpelajar, para akademisi, cendikiawan, pers sebagai pilar demokrasi, harus tergerak menjadi benteng moral penjaga kebenaran informasi ditengah derasnya arus informasi yang sulit dikonfirmasi kebenarannya, publik harus diselamatkan dari kebohongan.

    Populisme Di Era TeknologiInformasi.

  • 8

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

  • 9

    TAHUN 2019 DUNIA TANPA PEMIMPIN

    Indonesia terpilih menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB, untuk periode 2019-2020, dengan memperoleh dukungan 144 suara dari 190 negara yang memberikan suaranya pada bulan Juni 2018 lalu di Sidang Majelis Umum PBB-New York. Jika dicermati, dukungan dunia terhadap keanggotaan Indonesia sesungguhnya merefleksikan harapan dunia agar Indonesia berperan mengambil langkah yang nyata membela kepentingan kemanusian yang universal, menegakkan demokrasi dan menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pertanyaannya, mengapa Indonesia mendapatkan dukungan demikian besar?. Apakah karena keberhasilan diplomasi para kepala perwakilannya di seluruh dunia atau memang secara strategis begitu diperhitungkan?.

    Sebut saja mulai dari inisiator Konferensi Asia-Afrika, Pendiri Gerakan Non-Blok, Pemrakarsa ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations) dan Anggota G-20. Indonesia dikenal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), negara kepulauan terbesar, negara dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil di atas 5%, negara demokrasi ketiga terbesar. Bahkan terakhir, duduk sebagai Ketua Forum Informal MIKTA (Mexico, Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia). Di Amerika Serikat (AS), Indonesia dikenal sebagai tempat Presiden AS Barrack Obama pernah mengenyam bangku Sekolah Dasar. Di Rusia dan negara-negara eks-Uni Soviet (US), dikenal sebagai Shasta yang gigih menentang kolonialisme dan imperialisme Barat. Atau mungkin karena kekuatan ekonomi? dalam perkembangan ekonomi terkini, prospek, dan arah perekonomian

  • 10

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    (Bank Indonesia, Desember 2018) disebutkan bahwa perkembangan ekonomi global pada 2018 lebih baik dibandingkan dengan proyeksi pada awal tahun dan 2019.

    Patut dicermati, dibalik optimisme tahun 2019, terdapat ancaman nyata. Realitas pemulihan ekonomi global tidak sekuat yang diperkirakan banyak kalangan. Ada juga resiko geopolitik di berbagai penjuru. Seperti ancaman ketegangan di semenanjung Korea, konflik di Timur Tengah hingga pengakuan Yerusalem Timur sebagai ibukota Israel oleh Amerika. Lainnya seperti potensi perang di Laut Tiongkok Selatan, tragedi Rohingya, perselisihan antara Ukraina dan Rusia di perbatasan kedua negara serta konflik di berbagai wilayah lain dunia. Setiap saat masalah-masalah tersebut dapat meledak ke skala yang lebih luas. Tidak kurang dampaknya bagi dunia adalah pernyataan Trade War, Amerika Serikat terhadap Cina yang diikuti oleh pergeseran arus perekonomian global.

    Dalam menatap masa depan, kata orang bijak ada baiknya kembali sejenak menoleh ke belakang. Sejarah umat manusia hampir sepenuhnya dihiasi peperangan. Mungkin itu sebabnya ilmuwan Albert Einstein di tahun 1932 bertanya kepada ahli psikoanalisis Sigmund Freud, mengapa terjadi peperangan?. Suratnya yang terkenal itu kemudian diabadikan dalam tulisan Why War?. Tulisan tersebut melukiskan perang sebagai penderitaan. Sejarah kemudian mencatat, sejak abad 17 berlanjut hingga dua abad kemudian, perang di muka bumi telah membinasakan 102 juta orang. Merujuk kembali ke pertanyaan tadi, jawaban Freud, sungguh mengejutkan, perang sebenarnya disebabkan oleh negara bangsa (nation state).

    Kata negara mempunyai kekuatan alam bawah sadar (subconscious mind). Negara dapat membentuk tentara dan mengirimkan tentara untuk berperang. Suatu negara modern bahkan mampu secara psikologis untuk mengajak masyarakat agar mencintai negara dan mematuhi segala bentuk hukumnya. Dialog kedua tokoh tersebut ternyata tidak serta merta menghentikan atau mengurangi peperangan. Bahkan teori relativitas Einstein justru menjadi cikal bakal terciptanya bom atom yang mampu memusnahkan umat manusia dalam hitungan detik. Kengerian bom atom kemudian terlihat di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945.

    Sejak usainya Perang Dunia II kemudian didirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Seluruh dunia berharap, PBB dapat membantu

  • 11

    menyelesaikan berbagai konflik dunia. Namun perlu diingat, Presiden Amerika Serikat (1933-1945) yang juga dianggap sebagai pendiri PBB, Franklin D. Roosevelt, mengingatkan bahwa stabilitas dunia setelah Perang Dunia II bukan hanya karena ada PBB, tetapi karena negara yang dianggap paling kuat bekerja sama menciptakan stabilitas tersebut. Sebut saja, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, kemudian Cina, bahkan Jerman, Jepang dan negara-negara kuat lainnya, yang sebelumnya terlibat dalam Perang Dunia II.

    Kemudian juga diingatkan oleh Sekretaris Jenderal PBB 1953-1961, Dag Hammarskjold, saat menjabat. Ia mengatakan “The United Nation was created not to bring mankind to heaven, but to save it from hell”. Intinya, PBB bukan juru selamat memecahkan semua masalah di dunia. PBB adalah suatu badan dunia, dibangun dengan tujuan mulia, namun tetap mempunyai berbagai keterbatasan dan kendala. Bisa jadi karena alasan tersebut, lima negara yang dianggap terkuat pasca Perang Dunia II yaitu Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Perancis dan Tiongkok dianggap sebagai “pemimpin” dalam memelihara perdamaian dan keamanan dunia. Kemudian mereka diberi hak khusus menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Sementara negara lain dipilih oleh Majelis Umum untuk masa tugas dua tahun. Dengan sistem seperti ini, diharapkan adanya keterwakilan perimbangan kekuatan dunia yang mampu lebih objektif dalam melihat persoalan dan resolusi yang diputuskan DK-PBB secara netral. Namun, niat mulia kehadiran anggota tidak tetap DK-PBB, selalu terhambat oleh hak veto yang dimiliki kelima negara pemenang Perang Dunia II. Sebuah ironi perdamaian dunia.

    Lebih jauh, artikel 24 Piagam PBB, menyebut Dewan Keamanan PBB mempunyai tanggung jawab utama memajukan perdamaian dan keamanan dunia. Caranya antara lain, memberikan rekomendasi dalam mengatasi perselisihan atau situasi yang mengarah kepada friksi internasional. Termasuk, penempatan Pasukan Penjaga Perdamaian (peace-keeping force). Pasukan tersebut terdiri dari personil militer dan sipil berdasarkan mandat PBB ke suatu kawasan konflik dalam upaya menghentikan, menahan dan mengawasi pelaksanaan perjanjian perdamaian. Uraian peran yang terdengar hebat bagi para anggotanya yang duduk di DK-PBB, namun sesungguhnya sebuah keniscayaan.

    Indonesia terpilih kembali (1974-1975, 1995-1996, 2007-2008)

    Tahun 2019 Dunia Tanpa Pemimpin

  • 12

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2019-2020. Indonesia mengalahkan Maladewa yang memperoleh 46 suara, untuk mewakili kawasan Asia dan Pasifik di Dewan Keamanan PBB, menggantikan Kazakhstan yang masa keanggotaannya berakhir pada Desember 2018. Selain Indonesia, negara-negara lain yang juga terpilih menjadi anggota DK PBB periode 2019-2020 adalah: Jerman dan Belgia (mewakili kelompok Eropa Barat); Republik Dominika (Amerika Latin dan Karibia); dan Afrika Selatan (Afrika). Kelimanya akan bergabung dengan lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Cina dan Rusia) serta lima negara anggota tidak tetap lainnya (Pantai Gading, Guinea Equatorial, Kuwait, Peru dan Polandia).

    Wajah Dunia Yang Tidak Lagi SamaPerubahan lanskap geopolitik saat ini tentu berbeda dengan

    tahun 1945 saat PBB didirikan. Perang Dingin antara blok AS melawan blok Soviet telah berakhir tahun 1989. Perkembangan teknologi dengan kecepatan luar biasa menjadikan pola hidup manusia tidak lagi sama dengan sebelumnya. Tren ini membawa ke arah peningkatan perdagangan dan komunikasi antar bangsa dan negara. Juga terjadi peningkatan akses teknologi, media, pendidikan, kesehatan, barang konsumsi yang meningkatkan kualitas hidup dan kemakmuran di banyak tempat. Dengan teknologi, informasi, jasa dan produk kini dapat mudah didapat.

    Saat ini, seseorang mudah berkomunikasi, berbicara dan tatap muka dengan lainnya setiap saat dan waktu melintasi batas negara dan benua relatif singkat. Perubahan berdampak bukan hanya kepada negara bahkan orang perorangan, banyak institusi segera menyesuaikan. Semua perusahaan mengarah kepada system online, merevolusi sistem distribusi menjadi zero distribution channel atau penjualan produsen langsung ke pengguna (end user). Institusi keuangan dan perbankan hingga transportasi semua berbasis informasi teknologi. Semuanya telah mengubah banyak profesi pekerjaan. Siapa yang terlambat berubah maka akan tertinggal. Revolusi industri di abad ke-18, diikuti revolusi transportasi abad berikutnya dan revolusi tehnologi informasi di abad ke-20, terus bermetamorfosis dan bertransformasi menuju bentuknya

  • 13

    yang paling efisien berdayaguna bagi kepentingan kehidupan umat manusia. Dan proses evolution transformative ini merubah wajah dunia dengan cepat di abad ke-21 ini.

    Seiring tren tersebut, konf lik global masih mendominasi geopolitik dunia. Permasalahan kemiskinan yang akut di banyak negara, kehancuran ekosistem dan lingkungan hidup, semakin terbatasnya sumber daya alam, ledakan jumlah penduduk dunia, perdagangan manusia (human trafficking), peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang hingga penjualan senjata gelap. Tumbuh kembalinya ekstrimisme-radikalisme-terorisme yang menakutkan di berbagai belahan dunia. Semuanya belum terpecahkan, bahkan berpotensi meluas. Lalu orang bertanya, siapa sebenarnya pemimpin dunia nyata saat ini?. Apakah masih mereka yang duduk sebagai Anggota Tetap DK PBB tersebut?, yang mampu mendamaikan semua yang bertikai?, yang mampu menjamin ketertiban dunia bebas dari rasa takut akan ancaman perang atau terorisme?, yang mampu mengatasi masalah kemanusiaan yang membutuhkan pertolongan di belahan dunia lainnya?. Jika tidak, lalu apa format institusi global yang mencerminkan keterwakilan kekuatan dunia yang sebenarnya?. Atau memang kita sudah sadari bahwa hari ini, dunia tidak dipimpin siapapun. Maka setiap pemimpin negara yang mampu mempengaruhi percaturan politik dan ekonomi global, yang kebijakannya diperhitungkan atau mempengaruhi banyak negara lainnya, menganggap dirinya adalah pemimpin dunia.

    Sebut saja, Presiden AS, Donald Trump (2016-2020), Presiden Rusia, Vladimir Putin (2000-2024), Presiden Cina, Xi Jinping (2013-2023), Kanselir Jerman, Angela Merkel (2009-2021), Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (2014-2024), Presiden Perancis, Emmanuel Macron (2017-2022), PM Inggris, Theresa May (2016-2019) atau siapa lagi?. Ironinya, dari semua nama pemimpin negara-negara besar diatas, tidak ada satupun negara yang bebas dari masalah di dalam negerinya. Yang layak dijadikan prototype ideal kepemimpinan dunia dengan prinsip pluralisme, universalisme, demokrasi dan kesejahteraan. Bukan sekedar kekuatan senjata, ekonomi atau teknologi. Saya menyaksikan dari tempat yang cukup dekat, pergumulan politik dan ekonomi negara-negara yang pemimpinnya disebutkan diatas. Selama pemimpin negara tersebut masih menghadapi masalah di dalam negerinya, yang

    Tahun 2019 Dunia Tanpa Pemimpin

  • 14

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    mereduksi kewibawaannya, melemahkan ketahanan nasionalnya, berkonf lik dengan negara tetangganya, bahkan minim pengakuan masyarakat internasional sebagai authentic leader, maka dia belum layak disebut pemimpin dunia.

    Pertanyaan makin mengemuka karena kemudian muncul kekuatan negara baru (emerging power) baik dari segi kekuatan ekonomi atau geografi di berbagai benua seperti di Afrika, Eropa Timur, Asia Tenggara dan Amerika Latin yang juga melahirkan pemimpin baru, sebut saja Rodrigo Duterte (Philipina), Kim Jong Un (Korea Utara), Lee Hsien Loong (BJ Lee, Singapura), Jail Bolsonaro (Brazil), namun kesemuanya itu, dalam pandangan saya belum masuk padanan ideal memimpin Dunia. Di sisi lain tampilnya, The emerging power tersebut belum terwakili sebagai anggota tetap PBB. Hal ini menguatkan keinginan reformasi mendasar di tubuh PBB. Belum lagi fakta perlombaan senjata (arms transferred) oleh kelima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Ditambah masalah pendanaan organisasi hingga anggapan manipulasi penggunaan hak veto. Seluruhnya menjadi dasar perlunya perubahan kepemimpinan dunia dengan format yang lebih tepat. Karena, hati kecil kita sebenarnya mengatakan bahwa tidak ada satupun pemimpin dunia saat ini yang kita ikuti arah kebijakannya.

    Semua kebijakan Politik Luar Negeri kita, sepenuhnya independen, semata karena kepentingan nasional. Tidak ada poros yang sepenuhnya kita ikuti atau masuk dalam mainstream koalisi dunia. Terlebih kebijakan Dalam Negeri kita, sepenuhnya milik kita tanpa ada satupun kekuatan yang bisa mempengaruhi kita, setidaknya saya meyakini demikian. Dengan posisi tersebut, sebenarnya Indonesia dapat memegang kendali kepemimpinan dunia, jika saja prasyarat fundamentalnya kita miliki. Dan kuncinya berawal dari kepemimpinan nasional yang kuat dan tanpa masalah di dalam.

    Indonesia negara terbesar di Asia Tenggara dianggap mampu bertransformasi menjadi negara demokrasi. Dikenal sebagai negara dengan kepercayaan rakyat terbesar terhadap pemerintahnya (OECD, Government at a Glance 2017, 13/7/17). Keanggotaan Tidak Tetap Indonesia dalam Dewan Keamanan PBB menjawab harapan dunia agar lebih berperan dalam perdamaian dan keamanan dunia. Jika program pemberantasan korupsi, reformasi di bidang penegakan hukum,

  • 15

    reformasi birokrasi, pemerataan ekonomi serta peningkatan kualitas dan pendidikan sumber daya manusia berjalan baik, bukan hal yang mustahil Indonesia memimpin transformasi badan dunia tersebut. Bahkan kemungkinan besar dapat mengisi kekosongan kepemimpinan global setidaknya sepanjang 2019-2024, terlebih dapat secara permanen seperti yang diharapkan banyak pihak. Mungkin itulah harapan dunia, sebagaimana tercetus saat Konferensi Asia Afrika, 1955 di Bandung dan lahirnya Gerakan Non-Blok (Non Align Movement) dimana para pesertanya yang mewakili 55% penduduk dunia, mengakui Indonesia sebagai pemimpin dunia, Soekarno. Kini, 64 tahun setelah Konferensi Asia Afrika, untuk yang keempat kali Indonesia terpilih di Majelis Dewan Keamanan PBB dengan dukungan suara yang besar dan meyakinkan, kenapa mereka begitu antusias mendukung kita menjadi “wasit” perdamaian dunia?. Tentu pertanyaan ini perlu kita renungkan, untuk kita melangkah memberikan jawabannya.

    Tahun 2019 Dunia Tanpa Pemimpin

  • 16

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

  • 17

    PELAJARAN DEMOKRASI DARI TIGA NEGARA:UKRAINA, GEORGIA DAN ARMENIA

    Di negara demokrasi, aspirasi rakyat menjadi landasan utama bagi seorang pemimpin menjalankan roda pemerintahan. Perubahan puncak kepemimpinan nasional yang berlangsung di beberapa negara bagi saya, bukan sekedar rotasi pergantian yang biasa, terlebih setelah memperoleh pengalaman berharga dalam mengemban amanat Presiden RI sebagai Duta Besar di negara yang tidak saya kenal sebelumnya, yaitu Republik Ukraina, Republik Armenia dan Republik Georgia. Menjadi Duta Besar RI di ketiga negara ini memberi kesempatan pada saya untuk menjadi saksi sejarah terjadinya perubahan politik reformatif, memberikan inspirasi untuk merekam berbagai peristiwa yang berlangsung melalui tulisan yang akan menjadi saksi sejarah perjalanan demokrasi yang terus bergerak dinamis di belahan dunia yang sudah berdemokrasi sekalipun. Dinamika perubahan masih terus berlangsung, walaupun pesta demokrasi sudah usai atau hampir usai saat ini di ketiga negara tempat saya bertugas.

    Setidaknya untuk empat hingga lima tahun kedepan, Republik Armenia telah memilih Presiden Armen Sarkissian dan PM Nikol Pashinyan, menggantikan Presiden/PM Serzh Sargsian pada bulan Mei 2018. Republik Georgia telah memilih Presiden Salome Zurabishvili, Presiden perempuan pertama Georgia menggantikan Presiden Giorgi Margvelashvili pada bulan Desember 2018. Ukraina, memilih 2 dari 39 kandidat calon Presiden yang mengikuti Pemilu putaran pertama 31 Maret 2019 yaitu Vladimir Zelensky dan Presiden Petro Poroshenko, dengan perolehan masing-masing 30,23% dan 17,8%, yang pada putaran

  • 18

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    kedua 21 April 2019 dimenangkan oleh Vladimir Zelensky dengan perolehan suara lebih dari 73% dari 65% rakyat yang berikan suaranya.

    Ukraina, negara ex Uni Sovyet yang memerdekakan diri tahun 1917 dari imperium Tsar-Rusia bersamaan dengan Revolusi Bolshevik, baru merdeka sepenuhnya pada tahun 1991 setelah keruntuhan USSR, begitupun Georgia dan Armenia memerdekakan diri di tahun yang sama. Saat ini Ukraina berpenduduk sekitar 42,5 juta jiwa, yang merupakan negara terbesar kedua ex Uni Sovyet setelah Rusia (144,5 juta). Sementara Georgia dan Armenia berpenduduk masing-masing 3,9 juta dan 2,93 juta jiwa. Berbeda dengan di Indonesia, Presiden tidak didampingi Wakil Presiden. Presiden dipilih langsung untuk masa jabatan lima tahun, kecuali di Armenia, Presiden dipilih oleh Majelis Nasional (National Assembly/DPR). Presiden menunjuk Perdana Menteri dengan persetujuan Parlemen untuk menjalankan pemerintahan bersama Kabinet. Kedudukan Parlemen di ketiga negara tersebut yang menganut sistem Pemilu multi partai, kuat.

    Pencalonan Presiden di Ukraina dan Georgia cukup terbuka. Memungkinkan tampilnya calon perorangan dengan persyaratan yang longgar. Keterbukaan demokrasi politik itulah kemudian yang memunculkan banyaknya calon Presiden mengikuti Pemilu, yang dilaksanakan dalam dua putaran. Di ketiga negara tersebut, hanya Armenia yang relatif tidak memiliki persoalan konflik dengan Rusia. Ukraina memiliki masalah serius dengan Rusia pasca Revolusi Meydan 2014, dengan tindakan Rusia menganeksasi Crimea dari wilayah Ukraina serta mendukung gerakan separatis di wilayah Timur Ukraina yang berbatasan dengan Rusia (Provinsi Dombas; Luhanks dan Donets walaupun Rusia membantah). Perang di wilayah Timur Ukraina masih terus berlangsung, yang telah menelan korban tewas lebih dari 13 ribu jiwa, sejak tahun 2014. Begitupun di Georgia, sengketa dengan Rusia terjadi karena Rusia mendukung atau setidaknya mensponsori gerakan separatis di wilayah Abkhazia dan Ossetia Selatan yang ingin melepaskan diri dari Georgia. Akibat konflik diatas, kedua negara berafiliasi ke Masyarakat Ekonomi Eropa dalam hal kerjasama ekonomi dan berafiliasi ke Nato untuk kerjasama pertahanannya. Hanya Armenia yang berhubungan baik dengan Rusia dalam kerjasama Eurasian Economic Community. Pada sisi lain, Armenia menghadapi sengketa wilayah di

  • 19

    Nagorno Karabakh dengan Azerbaizan, dan penutupan lintas perbatasan dengan Turki.

    Sebagai Duta Besar, saya tiba di Kyiv Ibukota Ukraina pada hari Senin pagi tanggal 21 April 2017, diawal musim semi yang sejuk dingin dengan suasana alam yang begitu indah. Pada tanggal 27 April, saya menyerahkan copy credential, surat kepercayaan sebagai Duta Besar RI dari Presiden RI kepada Wakil Menlu Ukraina Sergiy Kyslytsya. Tanggal 24 Mei 2017 menyerahkan credential kepada Presiden Georgia, Giorgi Margvelashvili di Blue Palace, Tbilisi-ibukota Georgia. Tanggal 23 Juni 2017 menyerahkan credential kepada Presiden Armenia Serzh Sargsian di Istana Presiden, Yerevan Ibukota Armenia. Terakhir, Tanggal 28 November 2017 bertemu Presiden Ukraina Petro Poroshenko untuk menyerahkan langsung credential sebagai Resident Ambassador, istilah bagi Duta Besar yang tinggal di negara penugasan.

    Suasana politik di Ukraina sepanjang tahun 2017, saat saya memulai tugas relatif stabil. Walaupun di pertengahan tahun 2018 sudah mulai mengemuka dinamika politik kekuatan oposisi yang mencoba “menggoyang” pemerintahan Presiden Poroshenko, yang dimotori Mikhail Saakashvili (mantan Presiden Georgia yang melepas kewarganegaraan dan rekan sejawat perjuangan Poroshenko saat Revolusi Meydan 2013-2014), tidak berdampak besar terhadap stabilitas politik dan ekonomi nasional Ukraina. Begitupun perseteruan dalam tubuh pemerintahan antara Presiden Poroshenko dengan Menteri Dalam Negerinya, Arsen Avakov, yang didukung Parlemen (tidak dapat diberhentikan tanpa persetujuan Parlemen), dapat dinetralisir dengan sendirinya. Bahkan menjelang dan sepanjang proses pemilihan Presiden Ukraina berlangsung, berbagai isu dan dinamika politik dalam negeri Ukraina hingga pemberlakuan Undang Undang Darurat Militer akhir tahun 2018 atas insiden Selat Kerch, sedikitpun tidak dirasakan mengganggu kehidupan sosial, politik dan kegiatan ekonomi yang berlangsung di Ukraina.

    Kondisi diatas berbeda dengan apa yang berlangsung di Armenia dan Georgia. Dimana perubahan politik pada tataran elit berlangsung cukup menyentak sepanjang tahun 2018, walaupun tidak terjadi pergolakan fisik di masyarakatnya yang matang dalam menyikapi perbedaan di alam demokrasi. Pertama kali saya menginjakkan kaki di

    Pelajaran Demokrasi Dari Tiga Negara

  • 20

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    Armenia, bertemu langsung dengan Presiden Serzh Sargsyan pada 23 Juni 2017 untuk menyerahkan credential letter sebagai Duta Besar dari Presiden Joko Widodo. Serzh Sargsyan, politisi senior yang sudah dua kali berturut-turut terpilih sebagai Presiden sejak 2008 hingga 2018. Pada akhir tahun 2017 atmosfir perubahan di Armenia mulai terasa seiring dengan dimulainya masa kampanye pemilihan umum di Armenia yang akan berlangsung awal tahun 2018, untuk memilih 131 anggota parlemen. Kesempatan kedua pada tanggal 9 April 2018, bertemu kembali dengan Pemimpin Armenia Serz Sargsyan saat menghadiri inagurasi Presiden Armenia yang baru (hasil pemilihan Parlemen/Majelis Nasional), Armen Sarkissian.

    Sebagai Duta Besar di wilayah ini, saya terus memantau kehidupan rakyat Armenia serta perkembangan politik dan ekonomi negaranya. Saat menghadiri inagurasi itu saya sudah membaca adanya gejala-gejala tuntutan dari rakyat menghendaki suatu perubahan. Saya kembali ke Kyiv pada 10 April 2018, dan beberapa hari setelah itu ‘bacaan’ saya di lapangan serta berbagai sumber informasi yang saya dapatkan tentang atmosfir perubahan di Armenia, menjadi kenyataan. Belum sepekan Presiden baru dilantik dan mengangkat Serz Sargsyan menjadi PM Armenia (sebelumnya Presiden dua periode), tuntutan perubahan dan mosi tidak percaya kepada pemerintah, juga Parlemen yang dikuasai Partai Republik, menyeruak ke permukaan. Gelombang demonstrasi massa membesar, pers mulai berani menulis kritik-kritiknya dan pesan-pesan perubahan atas nama rakyat Armenia yang mulai kehilangan kepercayaan pada pemimpinnya.

    Pada 17 April 2018, puluhan ribu demonstran berkumpul di Republic Square, sebuah alun-alun di pusat kota Yerevan, Republik Armenia. Mereka meneriakkan “Armenia tanpa Serzh Sargsyan” mengecam upaya politisi veteran berusia 63 tahun yang telah dua kali berturut-turut menjabat sebagai Presiden, melanjutkan dominasi kekuasaannya menjadi Perdana Menteri. Protes menentang pengangkatan Serzh Sargsyan sebagai PM yang dimulai di Yerevan pada 13 April disusul di kota-kota lain termasuk Gyumri dan Vanadzor. Peristiwa yang merupakan reli demo terbesar dalam sejarah Armenia ini tidak hanya diwarnai dengan aksi turun ke jalan dan melakukan pemblokiran jalan terhadap instansi pemerintah termasuk Parlemen, Kementerian Dalam Negeri dan kantor

  • 21

    Kejaksaan tetapi juga melakukan pemogokan massal serta mendirikan kemah-kemah di depan garis petugas aparat keamanan.

    Aksi turun ke jalan yang digalang oleh Nikol Pashinyan, anggota Parlemen pemimpin kelompok oposisi “The Civil Treaty” (Yelk), membuahkan hasil. Serzh Sargsyan, yang pencalonannya sebagai PM disetujui oleh Parlemen dengan kemenangan suara mayoritas 77 suara melawan 17 terpaksa mengundurkan diri pada 23 April 2018, tidak sampai seminggu setelah Presiden Armen Sarkisian menandatangani SK pengangkatannya sebagai PM pada 17 April 2018.

    Tertarik untuk melihat lebih dekat situasi di Armenia yang menjadi wilayah tugas Duta Besar, saya pun terbang kembali ke Yerevan, ibukota Armenia pada 29 April-1 Mei 2018 untuk mengamati langsung situasi di lapangan dan menarik pelajaran sebagai sebuah pengalaman berharga. Pada 30 April, sepekan setelah PM Serzh Sargsyan mengundurkan diri karena tekanan publik, demonstrasi damai masih tetap berlangsung. Kantor-kantor pemerintah Armenia masih sepi dari aktivitas, jalanan lengang. Pada 1 Mei, bertepatan dengan hari buruh, suasana di Republic Square, jantung kota Yeveran kembali dipenuhi oleh ribuan massa yang menuntut pergantian kekuasaan pemerintah.

    Pengunduran diri Serzh Sargsyan tidak membuat aksi turun ke jalan berhenti. Nikol Pashinyan bersama pendukungnya tetap melanjutkan perjuangan mereka menuntut acting PM ad interim, Karen Karpetyan berunding langsung dengan rakyat di lapangan terbuka di hadapan pers dan demonstran serta menuntut agar partai berkuasa (Partai Republik) yang memiliki suara mayoritas di Parlemen tidak mempengaruhi proses pembentukan kembali pemerintahan baru yang dipimpin oleh PM yang akan dipilih oleh rakyat (demonstran). Berdasarkan konstitusi baru (2015, melalui referendum) PM memang dipilih oleh Parlemen berdasarkan suara mayoritas yang notabene dimiliki oleh partai berkuasa. Tetapi rakyat (demonstran) yang sudah bosan dengan situasi yang ‘mandeg’ menghendaki pemimpin kelompok oposisi menjabat sebagai PM. Mereka mendesak agar PM yang baru dipilih langsung di lapangan terbuka oleh ‘rakyat’ (demonstran) agar partai berkuasa (Partai Republik) tidak dapat mempengaruhi proses pembentukan pemerintahan baru yang akan dipimpin oleh PM baru. Acting PM, Karen Karapetyan menolak berunding dengan alasan

    Pelajaran Demokrasi Dari Tiga Negara

  • 22

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    pemaksaan sepihak agenda perundingan oleh pihak oposisi, dan tidak ada landasan hukum di negara demokrasi manapun untuk melaksanakan pemilihan di lapangan terbuka.

    Di satu pihak pemerintah benar. Desakan tersebut menghadapi hambatan konstitusional. Di pihak lain, demonstran yang turun ke jalan meskipun jumlahnya mencapai puluhan ribu, belum tentu mewakili aspirasi suara rakyat mayoritas ‘silent’ lainnya yang tidak turun ke jalan karena aspirasi mereka telah tersalurkan melalui elit politik yang ada. Karena kedua belah pihak masih belum mencapai konsensus bersama, ketika itu disinyalir konflik akan berkepanjangan sekalipun ada tanda-tanda mengalah dari partai berkuasa demi stabilitas. Namun, berkat rakyat Armenia yang bijak, penuh toleransi politik, dan politisi serta pimpinan negeri ini yang mau mengalah dan mendengarkan suara rakyat, situasi dapat dikendalikan dan Armenia saat ini telah memasuki langkah kehidupan baru di bawah pimpinan Nikol Pashinyan yang diharapkan mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Walaupun pada akhirnya, Parlemen yang didominasi Partai Republik yang berkuasa menyetujui Nikol Pashinyan menjadi PM, jalannya pemerintahan yang dianggap kurang efektif melakukan perubahan, mendorong PM Pasinyan rela mengundurkan diri, sebagai jalan konstitutional untuk dilakukannya Pemilihan Umum Majelis Nasional Armenia pada penghujung musim panas tahun 2018 yang menumbangkan dominasi Partai Republik, menempatkan kembali Nikol Pasinyan sebagai PM Armenia.

    Sementara itu diakhir tahun 2018, perubahan kepemimpinan elite politik di Georgia juga berlangsung ditandai dengan kemenangan Salome Zurabishvili (anggota Parlemen, kandidat Presiden dari calon independen/perorangan) mengungguli Grigol Vashadze (mantan Menlu, didukung Partai United National Movement) pada pemilihan Presiden putaran kedua yang berlangsung 28 November 2018, tepat sebulan setelah Pilpres putaran pertama, yang diikuti oleh 65 kandidat Presiden. Pada putaran pertama, Salome meraih suara 38,64% dan Grigol Vasadze 37,74 %. Diputaran kedua, Salome 59,52% dan Vashadze 40,48%. Salome merupakan Presiden perempuan pertama di Georgia, yang dilantik pada 16 Desember 2018 di Kuatasi, kota terbesar kedua yang menjadi pusat pemerintahan Georgia. Salome Zurabishvili menggantikan Presiden

  • 23

    Giorgi Margvelashvili (berasal dari Georgian Dream Coalitions Party), untuk menjabat lima tahun kedepan (2018-2023). Saya bersyukur dapat hadir di Kuatasi menyaksikan sebuah proses sakral prosesi pelantikan Presiden Georgia yang baru. Kemenangan Salome, bukan tidak menyisakan ketegangan politik di Georgia, namun menjungkirbalikan pengaruh partai politik dalam pertarungan Presiden yang dimenangkan calon perorangan. Sekali lagi, kematangan demokrasi para pemimpin politik dan rakyat di kawasan ini mengantarkan proses pergantian kekuasaan yang smooth.

    Perubahan peta politik kekuasaan pemerintah yang terjadi di Armenia dan Georgia, menurut staf lokal yang paling lama bertugas di KBRI Kyiv, pernah terjadi juga di Ukraina pada Revolusi Orange 2004 yang mengusung Viktor Yushchenko menjadi Presidennya, dan terjadi lagi dalam peristiwa Revolusi Kelayakan EuroMaydan Februari 2014. Ratusan ribu massa yang melakukan aksi turun ke jalan dan mendirikan kemah-kemah selama dua bulan di Lapangan Kebebasan (Maydan Nezaleshnosti), pusat kota Kyiv, yang belum tentu mewakili suara rakyat mayoritas yang ‘silent’ yang tidak punya kebutuhan melakukan aksi turun ke jalan karena aspirasi mereka tertampung melalui saluran elit politik partai berkuasa saat itu. Alhasil, meskipun legitimasi pemerintahan baru telah terbentuk yang mengantarkan Petro Poroshenko menjadi Presiden menggantikan Viktor Yanukovych, konflik terbuka dengan penduduk di wilayah Timur dan konflik laten dengan mayoritas suara rakyat yang masih silent tetap berlangsung dalam kurun lima tahun pemerintahan Presiden Petro Poroshenko.

    Dari catatan-catatan diatas, paling tidak terdapat tiga hal yang dapat diamati sebagai pelajaran berharga dari gejolak dinamika politik yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu di ketiga negara tempat saya bertugas, khususnya untuk kasus di Armenia dan Ukraina yaitu kepemimpinan yang aspiratif, ekonomi yang stabil dan kejujuran pemimpin.

    Kepemimpinan yang AspiratifTerdapat pelajaran berharga dari kasus unjuk rasa di Armenia

    yang menyebabkan lengsernya Serzh Sargsyan sebagai PM. Serzh Sargsyan dua periode berturut-turut terpilih sebagai Presiden dari

    Pelajaran Demokrasi Dari Tiga Negara

  • 24

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    2008 dan mengakhiri masa jabatannya pada 9 April 2018. Selama masa kepemimpinannya, dua masalah berat yang dihadapai Armenia adalah konflik Armenia dengan Azerbaijan terkait masalah Nagorno-Karabakh, dan konflik Armenia dengan Turki terkait dengan masalah pengakuan genosida Armenia. Dua masalah yang menyedot kepemimpinannya untuk berkonsentrasi pada masalah pertahanan dan keamanan kawasan regionalnya dengan menyandarkan kekuatannya pada persekutuan dengan Rusia dan kecondongan membangun perekonomiannya dalam Uni Ekonomi Eurasia bersama Rusia dan Kazakhstan, meskipun Armenia juga memiliki kerjasama dengan Uni Eropa. Namun, kedekatan hubungan dengan Rusia yang dibangun oleh Serzh Sargsyan tidak membawa dampak perbaikan kehidupan sosial ekonomi bagi rakyat. Ditambah lagi, tiga tahun menjelang masa jabatannya berakhir, Serzh Sargsyan fokus pada penggalangan kekuatan politik dalam negeri yang oleh berbagai pihak sudah dicurigai sebagai upaya memperpanjang kembali pengaruhnya dalam politik setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden.

    Pada tahun 2005 Serzh Sargsyan menggalang reformasi konstitusi yang beralih dari sistem Presidensial menjadi Parlementer yang mengubah peran dan wewenang Presiden lebih seremonial. Meskipun reformasi konstitusi berhasil dilaksanakan melalui referendum dengan kemenangan suara mayoritas dari rakyat, beberapa pihak menilai hal ini sebagai langkah untuk mempertahankan kekuasaannya. Dari semula, partai oposisi telah menentang reformasi konstitusi ini. Mereka menilai pemerintahan di bawah Sargsyan tidak mampu memperbaiki kesejahteraan rakyat, malah membawa kesenjangan sosial ekonomi, dominasi ekonomi oleh oligarki yang dekat dengan kepemimpinan politik, bertahannya korupsi, hukum dan peradilan yang belum sepenuhnya independen, kurangnya akuntabilitas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh penegak hukum termasuk kecurigaan manipulasi pemilihan di Armenia dengan menggunakan sumber-summer administratif melalui tekanan pada pegawai negeri untuk memberikan hasil bagi partai yang berkuasa dan yang terakhir adalah keputusan Armenia menunda asosiasi politik dan perdagangan bebas dengan Uni Eropa pada 2013 dan sebagai gantinya bergabung dengan Uni Ekonomi Eurasia bersama Rusia dan Kazakhstan yang ternyata gagal memberikan

  • 25

    dampak investasi dan janji energi murah yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Mereka menuntut pemilihan umum yang demokratis segera dilakukan serta menginginkan pembaruan institusi negara dengan hubungan yang lebih dekat ke Eropa.

    Merasa mendapat dukungan dari rakyat dengan suara mayoritas, Serzh Sarsyan dalam kepemimpinannya tidak mengakomodir aspirasi pihak-pihak yang kalah baik dari kalangan partai politik maupun suara minoritas rakyat. Secara yuridis formal prosedur yang ditempuh untuk mempersiapkan langkahnya mempertahankan pengaruh di panggung politik sudah benar. Namun, kepemimpinan yang tidak aspiratif terhadap pihak-pihak yang kalah telah memicu gelombang protes yang pada mulanya hanya bersifat sporadis dan tidak terlalu mendapat dukungan tetapi dengan tendensi dan mood yang semakin radikal, berakibat fatal pada pemerintahannya.

    Gejala protes dengan mood yang radikal sudah terlihat beberapa saat menjelang gelombang protes yang dimulai pada 13 April lalu. Menurut hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Gallup International Association pada 22-30 Maret 2018, hanya 4,7% penduduk yang percaya pada pemerintah dan 47,5% tidak mempercayai pemerintah. Kondisi yang sama sebetulnya juga dialami oleh partai oposisi yang hanya dipercayai oleh 4,9% penduduk sehingga pada awalnya tidak banyak penduduk yang menyalurkan ketidakpuasannya melalui aksi turun ke jalan. Beberapa kelompok orang yang melakukan aksi demo tidak mendapat dukungan massa dan oleh pemerintah hanya dianggap sebagai aksi yang menggangu stabilitas. Tetapi karena hal ini kurang diwaspadai dan aspirasi pihak yang tidak puas tidak segera ditampung dengan semestinya, semangat protes melebar dan mendapat dukungan massa begitu pihak oposisi mentransformasikan semangat protes ini ke arah tuntutan tertentu.

    Stagnasi Ekonomi RakyatKekecewaan rakyat Armenia yang disalurkan melalui aksi turun ke

    jalan tidak hanya dipicu oleh kebosanan terhadap model kepemimpinan Serzh Sargsyan yang dianggap sudah terlalu lama memimpin negara yang berpenduduk tiga juta orang di kawasan Kaukasus Selatan ini. Kekecewaan rakyat juga disebabkan oleh kondisi perekonomian yang

    Pelajaran Demokrasi Dari Tiga Negara

  • 26

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    selama sepuluh tahun terakhir tidak ada tanda-tanda perbaikan yang signifikan. Upah minimal pada 2017 setelah dipotong tabungan wajib pensiun (sebesar 5%) dan pajak penghasilan (sebesar 24,5%) adalah sebesar 55 ribu dram (sekitar USD 115) tidak mengalami kenaikan. Pensiun rata-rata sebesar kurang dari 40 ribu dram (USD 82), sementara itu kebutuhan pokok miminal sebesar 52,100 dram. Uang pensiun hanya bisa menutupi 75% dari kebutuhan pokok, sedangkan upah minimal hanya pas untuk menutupi kehidupan satu orang. Stagnasi ekonomi rakyat dengan tidak adanya perspektif perubahan telah meninggalkan jejak-jejak ketidakpuasan yang sekali waktu dapat meledak menjadi kerusuhan sosial apabila ada saluran untuk mengekspresikan (oposisi, Parlemen dan lain-lain) dan mentransformasikannya ke arah gelombang protes dengan tuntutan-tuntutan perubahan sosial.

    Kejujuran PemimpinHal yang patut dicermati dari kasus unjuk rasa di Armenia ini

    adalah masalah kejujuran seorang pemimpin. Ketika Serzh Sargsyan mengumumkan reformasi konstitusi beralih dari sistem Presidensial menjadi Parlementer yang mengubah peran dan wewenang Presiden lebih seremonial telah muncul kecurigaan bahwa hal ini merupakan upaya Serzh Sargsyan untuk mempertahankan pengaruhnya di panggung politik Armenia. Ketika letupan-letupan kecurigaan dan ketidakpuasan ini mencuat, Serzh Sargsyan pada suatu kesempatan pernah berjanji bahwa dirinya tidak berniat menjadi Perdana Menteri. Tetapi karena Armen Sarkisian yang dicalonkan sebagai Presiden menggantikannya adalah teman dekatnya sendiri, maka otomatis Presiden baru akan menunjuknya sebagai Perdana Menteri.

    Meskipun Serzh Sargsyan menciptakan kesan tidak mengajukan dirinya sendiri sebagai calon PM, tetapi skenario ini sudah dibaca oleh pihak-pihak yang memang tidak menghendaki Serzh Sargsyan tetap memangku kekuasaan. Pengangkatan Serzh Sargsyan sebagai PM sekalipun telah memenuhi persyaratan prosedur hukum yang sah, berbenturan dengan janji yang pernah disampaikannya pada suatu kesempatan. Hal ini, ditambah dengan kepemimpinan yang oleh publik dirasa tidak aspiratif dan kondisi perekonomian yang stagnan telah memicu rasa ketidakpuasan menjadi semangat protes yang lebih radikal.

  • 27

    Pelajaran Berharga Aksi unjuk rasa di Armenia dengan dukungan puluhan ribu orang

    yang turun ke jalan dan menghasilkan turunnya seorang pemimpin dari partai penguasa dengan kemungkinan perubahan konstelasi politik dalam dan luar negeri, belum tentu menjamin perbaikan kehidupan politik negara tersebut. Masalahnya, masih ada aspirasi suara rakyat lainnya yang mungkin lebih mayoritas tetapi memilih diam dan tidak ikut turun ke jalan karena telah menyerahkan mandatnya kepada elit politik yang dipercayainya sekalipun gagal. Situasi yang sama sudah terjadi di Ukraina dalam aksi unjuk rasa besar-besaran di pusat kota Kyiv pada Februari 2014 dalam peristiwa yang disebut revolusi kelayakan EuroMaydan yang menyebabkan lengsernya pemerintahan lama dan memunculkan pemerintahan baru dengan ideologi dan Politik Luar Negeri yang berbeda. Meskipun aksi-aksi unjuk rasa ini mendapat dukungan ratusan ribu massa, masih belum tentu mewakili aspirasi suara mayoritas rakyat yang memilih diam karena berbagai faktor dan suatu ketika akan muncul kembali sebagai kekuatan baru apabila terdapat saluran yang memungkinkannya untuk itu.

    Terdapat pelajaran berharga bagi kita dari dua kasus unjuk rasa besar-besaran di Armenia baru-baru ini, dan peristiwa yang terjadi di Ukraina pada Februari 2014 yang sampai saat ini masih belum berhasil memberikan perubahan baik bagi kehidupan sosial ekonomi rakyat. Pertama, adalah kepemimpinan yang aspiratif. Meskipun Indonesia sudah memiliki infrastruktur tatanan politik yang lebih mapan, dan kepemimpinan yang lebih berkomitmen bila dibandingkan dengan Ukraina dan Armenia, Indonesia tetap perlu belajar mencermati aspirasi pihak-pihak yang kalah dan letupan-letupan ketidakpuasan dari rakyat. Kedua, faktor ekonomi rakyat. Kepemimpinan yang terlalu lama dan tidak membawa dampak perubahan ekonomi ke arah yang lebih baik akan memicu aksi-aksi unjuk rasa jalanan yang berakibat fatal bagi stabilitas jalannya roda pemerintahan. Ketiga, adalah kejujuran seorang pemimpin. Kepemimpinan yang tidak jujur dalam perolehan harta kekayaan dan jabatan misalnya, cepat atau lambat akan terdongkel oleh rakyat seperti yang terjadi pada Presiden Ukraina, Viktor Yanukovych yang terkenal dengan kasus “istana Mezhigorje” yang kini telah disita dan menjadi obyek wisata rakyat.

    Pelajaran Demokrasi Dari Tiga Negara

  • 28

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    Semoga perjalanan sejarah politik di ketiga negara dan juga bagi Indonesia, bisa memberikan makna yang berharga bagi kemajuan demokrasi, stabilitas politik dan kesejahteraan ekonomi rakyat yang semakin maju di masa depan. Hanya dengan menimba pengalaman dari berbagai peristiwa “jatuh-bangunnya” suatu bangsa, kita akan menuju masa depan yang gemilang. Berbagai sumber mengatakan terjadi power shifting di kawasan Eropa, dari yang UE centered menjadi Rusia centered. Sementara itu kegagahan AS sebagai leader global akan semakin meredup ditengah percepatan munculnya kekuatan baru di Asia dan Eropa Timur. Rusia adalah negara kunci. Kepemimpinan Putin untuk enam tahun kedepan, saya prediksi akan mampu membawa Rusia naik tingkat. Jika itu benar terjadi, tidak salah jika, Indonesia mulai menyiapkan strategi untuk mengadaptasi perubahan geopolitik global. Kiblat kita tidak harus terus ke Barat. Elit kita sebaiknya sudah mulai berpikir, atau lebih jauh mengambil aksi untuk merubah kompas keberpihakan relasi internasional.

  • 29

    RESIDU PESTA DEMOKRASI DI INDONESIA DAN UKRAINA

    Bulan April 2019 menjadi momentum penting bagi Indonesia dan Ukraina, karena kedua negara ini menggelar pesta demokrasi Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg di Indonesia). Rentang geografis yang berjauhan antara kedua negara tersambung teknologi informasi yang dengan mudah dapat diakses untuk mengetahui berbagai peristiwa di kedua negara dan belahan dunia lainnya. Wajah demokrasi kedua negara tidak jauh berbeda, berpedoman pada nilai universal dalam menentukan kekuasaan negara. Pemilu Presiden dikedua negara diatur dalam dua putaran jika calonnya lebih dari dua kandidat dimana tidak ada satupun yang mencapai lebih dari 50% suara.

    Karenanya di Indonesia dalam Pilpres yang diadakan berbarengan dengan Pileg pada tanggal 17 April 2019, Pilpres berlangsung satu putaran saja yang diikuti dua pasang Capres/Cawapres yang proses penghitungannya baru saja usai. Komisi Pemilihan Umum RI menentapkan pasangan Capres dan Cawapres Jokowi dan Ma`ruf Amin sebagai pemenang dengan memperoleh 55,50% dari total perolehan suara sah nasional dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memperoleh 44,50% suara. Sementara di Ukraina, Pilpres berlangsung dua putaran yang diikuti 38 kandidat Calon Presiden (tanpa Wapres) pada tanggal 31 Maret 2019. Volodymyr Zelensky dan Presiden Petro Poroshenko meraih suara terbanyak masing-masing 30,23% dan 17,8%. Putaran kedua berlangsung tanggal 21 April dimenangkan oleh Zelensky 73,2% mengalahkan Presiden Poroshenko 25,3%. Komisi Pemilihan Umum Ukraina dalam waktu sepuluh hari sejak pemilihan secara resmi

  • 30

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    telah menetapkan hasilnya.Partisipasi pemilih di kedua negara relatif sama, sekitar 80-85%,

    bedanya yang memiliki hak pilih di Indonesia 7 kali lipat dibandingkan Ukraina, karenanya masyarakat Indonesia perlu bersabar menunggu proses penetapan penghitungan suara resminya sampai gugatan atas perselisihan suara tuntas disidangkan di Mahkamah Konstitusi yang tiga hari kemudian, pada 30 Juni 2019 KPU menetapkan pasangan Jokowi-Ma`ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024. Politik yang sangat panas di Ukraina selama berlangsungnya kampanye pemilihan Presiden, seketika mendingin setelah Pilpres selesai dan hasilnya ditetapkan, diterima secara luas baik masyarakat maupun para kontestan politik yang bertarung tanpa kegaduhan ataupun kontra di masyarakat. Ukraina yang selama kampanye Presiden terbelah kedalam 38 kekuatan, kemudian mengerucut berhadapan menjadi dua kekuatan besar, akhirnya bersatu kembali dalam waktu yang singkat. Tentu suasana ini berbeda dengan kita di Indonesia, ketegangan yang terlalu panjang pasca Pilpres, memprihatinkan untuk sebuah perhelatan yang kita sebut “Pesta Demokrasi”. Sebuah padanan kata yang seharusnya menampilkan kegembiraan.

    Banyak persamaan situasi demokrasi yang berlangsung di kedua negara diantaranya sistem multi partai sebagai insitusi yang mengantarkan keanggotaan di Parlemen dan Pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat. Masa jabatan Presiden dan Legislatif, relatif sama selama lima tahun, Presiden dibatasi maksimal dua periode, serta kedudukan yang sama kuat antara Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan Parlemen pemegang kekuasaan legislatif. Perbedaannya didalam penyelenggaraan pemerintahan, Ukraina tidak mengenal jabatan Wapres sementara Indonesia tidak mengenal jabatan Perdana Menteri (Kepala Pemerintahan yang bertanggungjawab kepada Presiden). Situasi politik di kedua negara sangat menghargai kebebasan politik dan kebebasan pers. Konsekuensi dari demokratisasi yang berlangsung adalah maraknya isu-isu politik dan tuntutan masyarakat akan keterbukaan dan akuntabilitas para calon pemimpin yang terlibat dalam kontestasi kekuasaan politik. Hingar bingar partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik di kedua negara sama maraknya, masyarakat terlibat aktif menyuarakan aspirasi juga kritik-kritiknya

  • 31

    kepada pemerintah dan para politisi, selama proses kontestasi demokrasi berlangsung.

    Dibandingkan dengan Ukraina yang baru benar-benar mengenyam kemerdekaan dan menjalankan demokrasi tahun 1991, selepas dari USSR, Indonesia memiliki pengalaman lebih lama menjadi negara merdeka dan berdemokrasi. Sistem multipartai di Indonesia sudah dikenal sejak pemilu pertama 1955 yang diikuti oleh hampir 100 partai politik. Kabinet Parlementer dengan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahannya sudah dipraktekan di dekade awal kemerdekaan Indonesia. Tidak kurang dari 11 kali pemilihan umum berlangsung berkesinambungan sepanjang sejarah kemerdekaan dan demokrasi Indonesia, melahirkan tujuh Presiden (dua Presiden dipilih langsung/Pemilu). Sementara Ukraina, yang berpenduduk sekitar 44,83 juta orang dengan luas wilayah 603.550 km2 (seluas pulau Jawa dan Bali) baru melaksanakan pemilunya tujuh kali, dengan enam Presiden terpilih dan satu Pejabat Presiden (Febuari-Juni 2014) saat terjadi kevakuman kekuasaan pada peristiwa Revolusi Meydan. Hanya satu orang Presiden yang terpilih kedua kalinya di Ukraina, yaitu Leonid Kuchma, Presiden kedua Ukraina (1994-2005). Secara kuantitatif penyelenggaraan Pilpres langsung di Ukraina tentu lebih awal dibandingkan Indonesia.

    Intensitas penyelenggaraan Pilpres langsung oleh rakyat Ukraina dengan pencalonan Presiden yang terbuka sejak kemerdekaannya (1991), ditenggarai menjadi faktor yang mempercepat kematangan demokrasi masyarakat Ukraina dibandingkan dengan masyarakat negara lainnya dengan memperhatikan kecepatan konsolidasi dan integrasi masyarakatnya menerima hasil pemilihan umum. Tertib sosial yang berlangsung pasca pemilu bukan hal yang dipaksakan melalui force atau tekanan sebagaimana disyaratkan oleh Samuel P Hutington dalam bukunya Social Order guna menciptakan stabilitas nasional, namun terjadi dengan sendirinya atas kesadaran masyarakatnya. Situasi yang cair pasca pemilu dan akseptabilitas hasil pemilu yang diterima secara luas, adalah bukti kematangan demokrasi yang tidak menyisakan residu pasca pesta demokrasi. Sebagai praktisi-akademis, saya tidak mendengar atau membaca berita adanya dugaan atau tudingan kecurangan pemilu, baik yang dilakukan secara individu atau oleh oknum aparatur pemilihan umum. Bahkan sangat langka adanya informasi dugaan kelalaian

    Residu Pesta Demokrasi Di Indonesia Dan Ukraina

  • 32

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    aparatur petugas pemilu selama berlangsungnya Pilpres di Ukraina. Tentu situasi ini sangat kontras dengan potret Pemilu yang berlangsung di tanah air kita saat ini (2019), sebagaimana kita maklumi bersama dari berbagai informasi yang membanjiri media sosial kita dan mengalir di berbagai pemberitaan di tanah air.

    Apa yang membedakan kondisi pasca pemilu di satu negara dengan negara lainnya yang sama-sama berdemokrasi?. Beberapa faktor, yang menentukan berlangsungnya pemilu yang damai, dimana hasilnya dapat diterima semua pihak adalah kesadaran hukum yang tinggi dari rakyatnya, profesionalisme aparatur penyelenggara pemilu, dan netralitas penyelenggara negara. Ketiga faktor tersebut, saya yakini berpengaruh signifikan terhadap akseptabiltas hasil pemilu secara luas, disamping faktor-faktor pendukung lainnya. Di Ukraina, posisi geografisnya yang dikelilingi negara-negara anggota Uni Eropa penganut paham demokrasi langsung, mengharuskan Ukraina memiliki standar demokrasi yang sama, terlebih Ukraina sudah mengajukan diri bergabung dalam Persemakmuran Masyarakat Uni Eropa, Ukraina diwajibkan mengikuti standar kehidupan masyarakat Eropa yang demokratis. Kecurangan pada proses pemilu atau ketidakbecusan penyelenggaraannya, akan berakibat fatal bagi masa depan keanggotaan Ukraina di Eropa.

    Tentu seluruh rakyat Ukraina dan pemerintahnya tidak ingin mengorbankan masa depan bangsanya. Kehadiran lebih dari 100 organisasi pemantau pemilu internasional mengikuti proses Pilpres di Ukraina, menciptakan atmosfir pemilu yang Free and Fair Election, jauh dari manipulasi dan kecurangan. Faktor lainnya adalah persyaratan yang terbuka untuk pencalonan Presiden, mendorong tampilnya banyak kandidat yang akan dipilih, tidak ada yang mendominasi. Syarat untuk menjadi Capres cukup dengan dukungan satu partai politik tanpa ambang batas parlemen (electoral threshold) ditambah membayar uang jaminan pemilu kepada Komisi Pemilihan Umum sebesar 2,5 juta UAH atau setara dengan Rp. 1,25 miliar saat mendaftarkan diri. Dengan demikian, seluruh aspirasi rakyat terkanalisasi dalam Pemilihan Umum Presidennya. Dan penyelenggaraan demokrasi seperti ini sudah berjalan tujuh kali sejak Ukraina merdeka 1991.

    Di Indonesia, tiga kali penyelenggarakan Pemilu Presiden secara langsung, baru melahirkan dua Presiden (SBY dan Jokowi), memiliki

  • 33

    persyaratan yang lebih kompleks untuk pencalonan Presidennya dibandingkan dengan Ukraina. Sekalipun hal itu merupakan ketentuan Konstitusi (UU Pemilu), dapat dianggap menghambat partisipasi masyarakat mengikuti kontestasi demokrasi. Salah satunya adalah hambatan untuk maju menjadi Capres melalui persyaratan electoral threshold dan presidential threshold. Calon Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan minimal perolehan suara pemilih nasional 20% atau 25% keterwakilan di DPR. Maka sebagaimana pada Pilpres 2014, pada Pilpres tahun 2019 Indonesia kembali hanya mempunyai dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Partai politik “dipaksa” berkoalisi menjadi gabungan parpol untuk mengusung Capres “kesepakatan”. Partai politik di Indonesia tidak memiliki keleluasaan mengajukan kadernya atau tokoh yang dinilai layak oleh konstituen untuk menjadi Calon Presiden. Sebagai konsekuensinya, proses kanalisasi aspirasi rakyat dalam mendukung calon Presiden/Wapres yang diinginkannya tidak tertampung. Ada ketersumbatan dalam proses demokrasi langsung. Implikasi kepanjangannya, sebagaimana yang kita rasakan pasca Pilpres kali ini, suatu ketegangan politik yang merata ditingkat elite dan para pendukungnya. Selain faktor-faktor tersebut tentu faktor kematangan masyarakat berdemokrasi sebagai dampak positif proses edukasi politik yang berkesinambungan, turut menentukan hasil akhir pemilu yang damai.

    Belajar dari pengalaman menyelenggarakan pesta demokrasi dikedua negara dan implikasinya bagi stabilitas serta persatuan nasional agar setiap usai “pesta” tidak menyisakan residu, perlu ada pemikiran untuk menyempurnakan sistem Pemilu Presiden di Indonesia yang memberikan kesempatan luas bagi warganegaranya mencalonkan diri. Undang-Undang Pilpres yang mengatur pembatasan suara parpol dalam proses pengajuan Capres, sebaiknya dihapuskan. Berikan keleluasaan setiap parpol peserta pemilu untuk mengajukan Capresnya. Dengan demikian, parpol yang memiliki Capres populer berkorelasi dengan perolehan suara partainya di parlemen. Tingkat kepuasan rakyat dalam menyalurkan aspirasinya akan lebih tinggi. Presiden terpilih akan memiliki dukungan anggota Parlemen yang memadai. Perlu dipertimbangkan kembali pelaksanaan Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif yang dilakukan serentak, terbukti kehilangan fokusnya, juga

    Residu Pesta Demokrasi Di Indonesia Dan Ukraina

  • 34

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    kerumitan proses penghitungan suara dengan berbagai resiko, serta penggunaan sumberdaya yang besar.

    Rakyat perlu fokus untuk mendengar pandangan-pandangan visioner Calon Presiden maupun wakil rakyat yang ingin dipilihnya. Akan lebih baik bila pelaksanaan Pemilu Presiden dilaksanakan lebih dahulu dalam tahun yang sama dengan Pemilu Legislatif. Pada prinsipnya, kita menginginkan kualitas demokrasi dan hasilnya semakin lebih baik. Tidak menyisakan ketegangan, apalagi berujung pada perpecahan. Dalam hal ini, Ukraina memberi contoh yang berharga, kampanye yang panas, berakhir saat pemilu selesai dalam suasana yang tenang. Pesta Demokrasi usai dengan kegembiraan. Kita harus yakin, Indonesia bisa.

  • 35

    RESIDU KEMENANGAN PUTIN UNTUK KITA

    Hasil Pemilu Presiden (Pilpres) di Rusia tidak mengejutkan. Jauh-jauh hari para pengamat politik internasional mengamini bahwa Vladimir Putin akan memenangi Pilpres Rusia 2018. Seperti saya kutip dari tulisan Adam Taylor bulan lalu, salah satu pengamat politik Eropa Timur yang juga seorang kontributor Washington Post, ia menyampaikan bahwa Putin akan memenangkan Pilpres kembali. Menurut Taylor tingkat popularitas Putin terus naik sejak tahun 1999 hingga tahun 2017 mencapai 81%. Putin sudah dianggap menang bahkan sebelum Pilpres diadakan.

    Saya menaruh perhatian terhadap situasi demokrasi dan bernegara di Rusia. Seperti kita ketahui Putin memenangi Pilpres dengan perolehan suara 76% sedangkan pesaing terberatnya, Pavel Grudinin, hanya mampu mengumpulkan suara 11%. Empat penantang lainnya masing-masing tidak lebih dari 1%. Angka yang sangat meyakinkan untuk menyebut kemenangan yang telak. Tingkat partisipasi pemilih rakyat Rusia menunjukkan peningkatan cukup signifikan dibanding Pemilu Legislatif tahun 2016 sebesar 47,81% menjadi sekitar 67% pada Pilpres kali ini. Saya berpandangan bahwa antusiasme pemilih pada Pilpres di Rusia menunjukkan tingkat kepercayaan rakyat kepada Putin. Bagaimana ini bisa terjadi?, sedang kita ketahui, Putin sering menjadi bulan-bulanan komunitas internasional disebabkan oleh pelbagai kebijakannya.

    Kepemimpinan Putin dan Harga diri RusiaDiskusi kebijakan publik sering menggunakan frasa “pemimpin

    otentik” untuk menyebut pemimpin yang ideal. Saya sendiri

  • 36

    DARI KYIV MENULIS INDONESIA

    menggunakan term tersebut untuk menyebut pemimpin yang memiliki karakter yang kuat. Kuatnya sebuah karakter terbentuk oleh tempaan pengalaman dan orisinalitas berpikir. Pemimpin yang berpengalaman akan mengeluarkan keputusan-keputusan yang bijak. Pemimpin yang bijak membaca masa lalu untuk mengamankan masa depan. Mereka tidak reaktif terhadap sebuah peristiwa namun akan memberikan solusi paling tepat dan efisien. Orisinalitas berpikir akan menciptakan kebijakan yang baru, solutif, dan mampu mengakomodasi berbagai kepentingan. Muaranya pada kepuasan komunal yang dipimpin. Di alam demokrasi kepuasaan tersebut dapat dibuktikan dengan dipilihnya kembali seorang pemimpin pada periode berikutnya.

    Saya menduga, Putin memiliki karakter pemimpin yang otentik. Secara kuantitif dibuktikan dengan kepercayaan 56 juta rakyat Rusia yang memilih dia kembali sebagai presiden tahun 2018. Secara pengalaman, Putin bukan seorang migrator politik, ia konsisten berada di ranah pemerintahan. Ia memiliki pengalaman panjang sebagai bagian dari pemerintah Rusia. Sejak tahun 1975 ia sudah menjadi anggota elit intelejen yang dulu disebut KGB. Tahun 1998 ia dipercaya memimpin organisasi tersebut. Kemudian pada tahun 1999 menjadi Perdana Menteri, setahun kemudian masuk Kremlin sebagai Presiden terpilih Rusia. Sempat menjadi Perdana Menteri kembali pada tahun 2008 akibat pembatasan konstitusi untuk masa jabatan Presiden. Berkat kelihaiannya, setelah konstitusi Rusia tentang masa jabatan Presiden berubah, ia kembali terpilih menjadi Presi