KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan...

232
Dr. H.A. Daradjat Kartawidjaja, M.Si. KEBIJAKAN PUBLIK ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)

Transcript of KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan...

Page 1: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

KEBIJAKAN PUBLIK Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

i

Dr. H.A. Daradjat Kartawidjaja, M.Si.

KEBIJAKAN PUBLIK ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)

Page 2: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

PERHATIAN KECELAKAAN BAGI ORANG-ORANG YANG CURANG

(QS Al-Muthaffifin Ayat 1) Para pembajak, penyalur, penjual, pengedar, dan PEMBELI BUKU BAJAKAN adalah bersekongkol dalam alam perbuatan CURANG. Kelompok genk ini saling membantu memberi peluang hancurnya citra bangsa, “merampas” dan “memakan” hak orang lain dengan cara yang bathil dan kotor. Kelompok “makhluk” ini semua ikut berdosa, hidup dan kehidupannya tidak akan diridhoi dan dipersempit rizkinya oleh ALLAH SWT.

(Pesan dari Penerbit ALFABETA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA PASAL 72 KETENTUAN PIDANA

SANKSI PELANGGARAN 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak

suatu ciptaan atau memberikan izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara.

Page 3: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

Dr. H.A. Daradjat Kartawidjaja, M.Si.

KEBIJAKAN PUBLIK ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)

Page 4: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

iv

Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi buku ini, serta memperjualbelikannya tanpa mendapat izin tertulis dari Penerbit. © 2018, Penerbit Alfabeta, Bandung KPb14 (x + 222) 16 x 24 cm Judul Buku : Kebijakan Publik Analisis Implementasi Kebijakan

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Penulis : Dr. H.A. Daradjat Kartawidjaja, M.Si. Penerbit : ALFABETA, cv Jl. Gegerkalong Hilir No. 84 Bandung Telp. (022) 200 8822 Fax. (022) 2020 373 Website: www.cvalfabeta.com Email: [email protected] Cetakan Kesatu : Maret 2018 ISBN : 978-602-289-378-3 Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)

Page 5: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

v

KATA PENGANTAR

Buku ini dimaksudkan untuk menambah khasanah perbendaharaan

ilmu pengetahuan di bidang ilmu administrasi publik, khususnya yang berkaitan dengan dimensi kebijakan publik. Seperti kita ketahui, bahwa penyelenggaraan negara dan pemerintahan senantiasa tidak dapat terlepas dari proses pengambilan keputusan-keputusan yang harus ditetapkan oleh para penyelenggara negara. Keputusan-keputusan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pencapaian tujuan sasaran publik yang telah ditetapkan, untuk mengatasi berbagai kesulitan dan menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi dalam praktek kehidupan sehari-hari, serta untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup masyarakat. Itulah kebijakan publik, yang dalam praktiknya senantiasa menunjukkan dinamika yang terus berkembang. Kiranya semua pihak sudah sepakat, bahwa proses perumusan dan penetapan kebijakan (policy formulation), merupakan sesuatu yang selalu sulit untuk dilaksanakan. Hal tersebut berkaitan dengan dinamika para pengambil kebijakan yang dilatarbelakangi oleh berbagai pemikiran, persepsi maupun nilai-nilai kepentingan. Akan tetapi ada fase yang juga tidak kalah pentingnya dan bahkan mungkin merupakan fase yang sulit dan paling menentukan, yaitu fase pelaksanaan kebijakan {policy implementation). Efektifitas suatu kebijakan ditentukan oleh seberapa besar kemampuannya dalam mencapai tujuan yang ditetapkan dan bukan hanya oleh kualitas kebijakannya itu sendiri. Tidak jarang kebijakan dengan kualitas sangat baik, tetapi hanya mencapai tingkat efektifitas rendah. Sebaliknya, kebijakan dengan kualitas biasa-biasa saja, ternyata mampu mencapai tujuan atau mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.

Hal tersebut terjadi juga pada berbagai kebijakan di sektor ketenagakerjaan. Berbagai kebijakan telah dirumuskan dan ditetapkan untuk berbagai fenomena dan masalah, bahkan telah diproduksi sejak jaman kolonial, tetapi belum menunjukkan performa yang memuaskan. Seperti: kebijakan dalam penempatan tenaga kerja, kebijakan pelatihan kerja, kebijakan perlindungan kerja, kebijakan kesejahteraan dan jaminan sosial tenaga kerja, dan salah satunya kebijakan dalam perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Tujuan utama dari buku ini selain untuk memberi pendalaman mengenai teori dan konsep administrasi publik serta teori dan model-model

Page 6: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

vi

implementasi, juga membahas secara lebih mendalam aplikasi dari teori dan model-model tersebut di dalam praktek, yaitu menganalisis penggunaan teori dan model implementasi kebijakan, melalui suatu penelitian.

Oleh karena itu maka, fokus utama pembahasan buku ini adalah mengenai teori dan model implementasi kebijakan publik, sedangkan lokus analisisnya adalah mengenai implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pemilihan lokus analisis dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan, pertama: kebijakan tersebut telah diformulasikan cukup lama, kedua: memiliki dampak yang luas terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, ketiga: melibatkan banyak sektor kehidupan, dan keempat: memiliki fenomena yang mudah dilihat tingkat keberhasilan dan kegagalannya. Dengan demikian diharapkan para pembaca dapat mengkombinasikan pemahamannya antara aspek teori kebijakan publik dengan penerapannya dalam praktek, melalui kajian hasil penelitian.

Buku ini utamanya ditujukan sebagai referensi bagi berbagai pihak yang sedang mempelajari ilmu tentang kebijakan publik, khususnya pada dimensi implementasi kebijakan publik secara teoritis dan konsepsional, baik mahasiswa, para pemerhati kebijakan, maupun para praktisi yang terlibat dalam perumusan, dan pelaksanaan kebijakan. Dengan membaca buku ini diharapkan bukan hanya menambah wawasan secara teoritis dan konsepsional, tetapi juga memiliki wawasan praktis, karena menyajikan dan menganalisis kondisi nyata hasil penelitian mengenai kasus yang dewasa ini cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun buku ini juga dapat dibaca dan bermanfaat bagi masyarakat umum yang berminat dalam implementasi kebijakan publik, serta kajian tentang pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja atau ketenagakerjaan pada umumnya. Tidak kalah pentingnya buku ini bermanfaat bagi para praktisi ketenagakerjaan, praktisi manajemen sumber daya manusia, serta para praktisi dan professional keselamatan dan kesehatan kerja, sebagai acuan atau pembanding dalam praktek di lapangan.

Penulis sangat menyadari mengenai banyaknya kekurangan dan kelemahan buku ini, baik dari sisi substansi materi, teknik analisis, tata bahasa maupun tata penulisan. Namun demikian segala kekurangan dalam buku yang tidak seberapa ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan bimbingan, hidayah dan

Page 7: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

vii

barokah kepada kita semua, utamanya bagi seluruh bangsa Indonesia yang sedang menghadapi tantangan berat dalam mencapai tujuan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Jakarta, Februari 2018 Dr. Daradjat Kartawidjaja, M.Si.

Page 8: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

viii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. v

DAFTAR ISI .............................................................................................. viii

BAB I

KONSEP DASAR DAN DINAMIKA ADMINISTRASI PUBLIK ................... 1

1. Pendahuluan ...................................................................................... 1 2. Konsep Dasar Administrasi Publik .................................................... 5 3. Pengertian Administrasi Publik ......................................................... 8 4. Dinamika Perkembangan Ilmu Administrasi Publik ......................... 12 5. Administrasi Pembangunan .............................................................. 16 6. Reformasi Administrasi Publik di Indonesia ..................................... 20

BAB II

TEORI DAN KONSEP KEBIJAKAN PUBLIK ............................................. 25

1. Konsep Dasar Kebijakan .................................................................... 25 2. Pengertian Kebijakan Publik ............................................................. 28 3. Terminologi Publik dan Masalah Publik ........................................... 36 4. Tujuan dan Orientasi Kebijakan Publik .............................................. 39 5. Faktor-faktor Umum Kebijakan ........................................................ 42 6. Indikator Keberhasilan Kebijakan ..................................................... 46

BAB III

PROSES DAN SIKLUS KEBIJAKAN .......................................................... 50

1. Konsep Umum Penyusunan Kebijakan ............................................ 50 2. Proses Kebijakan ............................................................................... 53 3. 'Jaring Asmara' Kebijakan ................................................................. 57 4. Formulasi atau Merumuskan Masalah ............................................. 60 5. Tahapan Perencanaan ....................................................................... 64 6. Ratifikasi atau Penetapan Kebijakan ................................................ 66 7. Tahapan Evaluasi dan Pengawasan Kebijakan ................................. 69

Page 9: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

ix

BAB IV

TEORI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK ......................................... 73

1. Kondisi Umum Implementasi Kebijakan .......................................... 73 2. Konsep Dasar Implementasi Kebijakan ............................................. 76 3. Model Teoritik Implementasi Kebijakan .......................................... 79 4. Stakeholders Implementasi Kebijakan .............................................. 87 5. Beberapa Faktor Pengaruh Implementasi Kebijakan ...................... 90 6. Proses Implementasi Kebijakan: Tahapan Krusial ........................... 94

BAB V

PENDEKATAN TEORITIK FAKTOR-FAKTOR

YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK ............ 98

1. Kapasitas Badan Pelaksana Kebijakan .............................................. 98 2. Pengaruh Faktor Komunikasi ............................................................ 102 3. Pengaruh Faktor Sumber Daya ......................................................... 110 4. Pengaruh Sikap Pelaksana ................................................................. 114 5. Pengaruh Struktur Birokrasi ............................................................. 117

BAB VI

KONSEP UMUM DAN DINAMIKA K3 ..................................................... 120

1. Kondisi Umum K3 Indonesia ............................................................. 120 2. Paradigma Pekerja Sebagai Asset Perusahaan ................................ 123 3. K3 Kebutuhan dan Hak Pekerja ........................................................ 126 4. Konsep dan Definisi K3 ...................................................................... 129 5. Maksud dan Tujuan K3 ...................................................................... 133 6. Sejarah Singkat K3 ............................................................................. 135

BAB VII

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN K3 ...................................... 140

1. Konsep Efektivitas Kebijakan Publik ................................................ 140 2. Konsep dan Kebijakan Perlindungan K3 ........................................... 144 3. Dinamika Kebijakan Perlindungan K3 ............................................... 150 4. Beberapa Faktor Efektivitas Implementasi Kebijakan K3 ................ 155

Page 10: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

x

BAB VIII

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR

DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN K3 ............................................... 165

1. Metode dan Desain Penelitian ....................................................... 165 2. Data dan Kondisi Faktual Pelaksanaan K3 ...................................... 175 3. Analisis Pengaruh Faktor Komunikasi Terhadap

Keefektifan Implementasi Kebijakan Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja ....................................................................... 179

4. Analisis Pengaruh Sumber Daya Terhadap Keefektifan Implementasi Kebijakan Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja ....................................................................... 183

5. Analisis Pengaruh Disposisi/Sikap Pelaksana Terhadap Keefektifan Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja ....................................................................... 188

6. Analisis Pengaruh Struktur Birokrasi Terhadap Keefektifan Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja ..... 193

7. Analisis Pengaruh Komunikasi, Sumberdaya, Sikap Pelaksana dan Struktur Birokrasi Secara Bersama-sama Terhadap Keefektifan Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja ..... 196

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 206

TENTANG PENULIS ................................................................................. 221

Page 11: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

1 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

BAB I

KONSEP DASAR DAN DINAMIKA ADMINISTRASI PUBLIK

1. Pendahuluan

Sesuai dengan latar belakang filsafat terwujudnya legitimasi kekuasaan negara dalam pemerintahan, tugas pokok negara dan pemerintah yang paling pokok adalah memenuhi kepentingan publik sebagai warga negara. Akumulasi berbagai kepentingan publik biasanya diekspresikan di dalam konstitusi negara masing-masing, dan menjadi tujuan nasional yang harus dicapai.

Di Indonesia, tujuan nasional dicantumkan di dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Secara eksplisit dikemukakan bahwa tujuan nasional diarahkan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Penjabaran tujuan nasional tersebut diatur di dalam batang tubuh. Khusus di bidang ketenagakerjaan, dinyatakan di dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Pasal tersebut memiliki makna yang sangat luas dan menjadi tugas yang sangat berat bagi para penyelenggara negara. Hal itu karena selain harus menyediakan lapangan pekerjaan dan pemerataannya, penyelenggara negara, juga harus menjamin tingkat kelayakan menurut ukuran

Page 12: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

2 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

kemanusiaan. Kriteria layak ini antara lain mencakup jenis pekerjaan yang sesuai dengan harkat kemanusiaan serta terjaminnya pemenuhan berbagai kebutuhan seperti: penghasilan, kesejahteraan, jaminan sosial, kepastian pekerjaan. Demikian juga harus terjamin perlindungan bagi kondisi jasmani, moral dan kesusilaan, serta perlindungan atas segala risiko kerja yang mengancam keselamatan dan kesehatan para pekerja.

Di antara kebutuhan-kebutuhan tersebut, yang menjadi pusat perhatian adalah risiko kerja. Dengan pertimbangan bahwa risiko kerja dapat menimbulkan risiko sosial yang berpengaruh terhadap kepentingan masyarakat luas, maka intervensi pemerintah untuk mencegah sekaligus menghindarinya merupakan sesuatu hal yang sangat diperlukan. Intervensi tersebut diwujudkan melalui berbagai produk kebijakan publik.

Kebijakan publik yang mengatur perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, yang merupakan penyempurnaan dari Veiligheids

Reglement Staats Blaad Nomor 406 Tahun 1910. Tujuan Undang-undang ini adalah untuk memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja bagi para pekerja dan orang lain yang berada di tempat kerja, serta untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan peralatan, sumber-sumber, dan prosedur kerja.

Menyadari pentingnya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, maka di dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004, secara khusus dirumuskan program perlindungan dan pengembangan lembaga tenaga kerja.

Namun harus diakui bahwa sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja ditetapkan dan disahkan pada tanggal 12 Januari 1970, hingga saat ini implementasi kebijakan publik di bidang keselamatan dan kesehatan kerja dirasakan masih belum optimal. Hal ini dapat terlihat dari beberapa indikator sebagai berikut:

a. Masih tingginya angka risiko kerja, seperti jumlah kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran, maupun kerusakan lingkungan kerja. Hal ini merupakan akibat dari kesalahan dalam sistem dan prosedur kerja, serta ketidakpatuhan dalam menerapkan standar keselamatan dan kesehatan kerja.

Page 13: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

3 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

b. Masih banyak kelompok sasaran (perusahaan dan tenaga kerja) yang belum mematuhi norma dan standar keselamatan dan kesehatan kerja, sebagaimana ditunjukkan oleh data pelanggaran hasil pemeriksaan pengawasan ketenagakerjaan.

c. Masih sering terjadi kekeliruan pemahaman pengusaha dan tenaga kerja mengenai makna dan manfaat keselamatan dan kesehatan kerja bagi efektifitas dan efisiensi perusahaan, serta lebih jauh bagi peningkatan kesejahteraan tenaga kerja dan masyarakat.

Perlu dikemukakan, bahwa kajian dasar dari buku ini adalah mengenai efektifitas implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia, ditinjau dari konteks ilmu administrasi publik. Atas dasar itu, sejumlah konsep dasar mengenai administrasi publik sengaja dikemukakan di bagian awal, sebagai pendahuluan untuk memberi pemahaman mengenai keterkaitan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dalam konteks administrasi publik. Pada bab selanjutnya dikemukakan juga sejumlah konsep dasar terkait dengan kebijakan publik, serta persoalan efektifitas kebijakan itu dalam proses dan atau implementasinya. Hal tersebut tentu tidak boleh ketinggalan dibahas, karena merupakan hal yang utama dari buku ini, yaitu mengenai konsep-konsep dan efektifitas implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Karena buku ini diangkat dari disertasi penulis mengenai topik yang sama yaitu mengenai K3, maka inti dari buku ini sebenarnya adalah tentang konsep K3, serta implementasi kebijakan publik di bidang tersebut.

Dengan demikian, bagi kalangan tertentu, khususnya yang sudah memahami bidang K3, boleh saja, mengabaikan atau menganggap sejumlah bab lain yang terkait dengan persoalan tersebut sebagai asesoris, atau sesuatu yang 'kurang penting' untuk dibaca, sehingga bisa langsung meloncat ke persoalan pokok dari buku ini. Karena maksudnya memang hanya untuk mengantarkan dan memberikan persepsi yang lebih utuh kepada pembaca.

Disamping untuk tujuan menghantarkan pada inti bahasan, dalam beberapa bab diberikan tambahan pembahasan. Maksudnya adalah agar buku ini lebih mudah dipahami dan enak dibaca oleh banyak kalangan, termasuk kalangan awam sekalipun. Jangan heran jika dalam beberapa sub bab muncul kajian atau topik yang kelihatannya terlepas dari persoalan K3,

Page 14: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

4 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

atau hanya sekedar pengantar saja. Karena memang dimaksudkan agar memudahkan pembaca untuk memahami inti persoalan kebijakan K3, serta proses implementasinya di Indonesia.

Untuk itu dalam Bab awal diberikan uraian mengenai konsep dasar administrasi publik, dinamika perkembangan, serta relevansinya dalam kehidupan publik, dimana kebijakan K3 sesungguhnya menjadi bagian di dalamnya. Begitu juga dalam sejumlah Bab atau sub bab disisipkan kajian mengenai konsep dasar kebijakan, tahapan dan proses perumusan kebijakan, hingga tahapan evaluasi dan pengendalian kebijakan. Dengan cara itu diharapkan inti kajian mengenai kebijakan K3 dalam ilmu administrasi publik menjadi lebih utuh, sekaligus lebih enak dibaca bagi khalayak umum, dibandingkan jika hanya disajikan apa adanya dalam format yang baku dari sebuah disertasi.

Jadi sekalipun keberadaan sejumlah bab tambahan dalam disertasi ini bisa dikatakan sebagai asesoris, namun dengan format penyusunan dan penulisan baru dalam sebuah buku seperti yang ada di tangan pembaca ini, maka sesungguhnya bab atau sub bab tambahan tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja. Bagaimanapun, secara umum keberadaan semua bab dalam buku ini dianggap penting, apalagi ketika masing-masing sudah disusun ulang dan dipadupadankan sehingga membentuk satu kesatuan, maka semuanya merupakan topik yang penting dalam konteks untuk memahami efektifitas implementasi kebijakan K3 di Indonesia.

Atas dasar itu, sistematika penulisan buku ini diawali dengan kajian dasar mengenai konsep administrasi publik sebagai disiplin ilmu tersendiri. Dalam konteks ini dikemukakan sejumlah pengertian dan teori mengenai administrasi publik, termasuk sejarah dan perkembangannya. Selain itu dikemukakan juga bab atau sub bab teori, konsep dan model implementasi kebijakan publik. Bahkan konsep K3 itu sendiri juga diperkuat dan dielaborasi lebih jauh dengan sejumlah data dan fakta sejarah serta dinamika perkembangannya, khususnya di Indonesia. Semua itu tujuannya untuk membumikan pemahaman pembaca akan persoalan implementasi kebijakan K3, agar tidak mudah tercerabut dari konteks dan akarnya di Indonesia.

Lebih daripada itu, tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman mengenai K3 dalam kaitannya dengan konteks kebijakan publik di Indonesia. Sehingga diharapkan muncul apa yang disebut sebagai empati dari berbagai kalangan, misalnya dalam bentuk penelitian lanjutan atau

Page 15: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

5 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

munculnya kebijakan K3 yang lebih baik di masa datang. Empati dan dukungan dari semua pihak itu sangat diperlukan, khususnya terkait dengan persoalan efektifitas implementasi kebijakan K3 yang memang tidak mudah, sekalipun secara umum, kebijakan yang ada dianggap sudah cukup baik. Oleh karena itu sekali lagi, keberadaan sejumlah bab yang ada kaitannya dengan K3 itu tidak sekedar menambah nambah sesuatu yang kurang penting dalam kajian K3, tetapi sesungguhnya dalam perspektif ini bisa dianggap sangat penting, bukan hanya karena menjadikan sebuah disertasi yang sebelumnya kurang enak dibaca itu menjadi sebuah tulisan atau kajian yang lebih 'sederhana' dan enak dicerna oleh pembaca awam sekalipun.

Dengan demikian, bisa diharapkan bahwa buku ini mempunyai potensi yang lebih besar dari sebelumnya, yaitu menjadi bacaan yang bisa dinikmati oleh orang dalam jumlah yang lebih banyak, karena ia lebih sederhana dan tentunya lebih mudah dipahami. Adalah soal lain, jika dalam implementasinya bahwa upaya penyederhanaan ini dianggap masih jauh dari tujuannya dimana pembaca masih sulit untuk mencerna isi dari buku ini yang notabene memang berasal dari disertasi yang pada dasarnya memang sulit untuk disederhanakan dalam bahasa populer. Dengan adanya sejumlah bab tambahan serta penulisan ulang dengan melakukan elaborasi dan penyisipan dalam sub bab tersendiri, maka sejak awal ada upaya kuat untuk menjadikan disertasi itu bisa menjadi bacaan yang mudah dimengerti. Seperti kata pepatah klasik, 'tidak ada gading yang tidak retak', begitupun buku ini. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, demi penyempurnaan buku ini sekaligus sebagai upaya merangsang penelitian lebih lanjut terhadap kajian serupa terkait dengan persoalan K3 di Indonesia. Selamat membaca, semoga bermanfaat.

2. Konsep Dasar Administrasi Publik

Sosok ilmu administrasi publik seperti yang ada saat ini sejatinya terus saja berkembang untuk semakin memantapkan kedudukannya, dimana sebagai sebuah disiplin ilmu yang mapan dan kuat, kedudukannya telah diakui dunia. Karena perkembangannya itu, maka kajian ilmu administrasi yang mencakup di dalamnya kajian disiplin ilmu lainnya seperti ilmu manajemen, yang notabene merupakan cabang atau disiplin ilmu tersendiri, yang juga telah mapan kedudukannya. Hal mana terlihat dari sejumlah konsep dan definisi ilmu administrasi yang juga terus berkembang, seperti

Page 16: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

6 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

hendak mencakup banyak hal kalau tidak semua hal, karena dalam praktiknya yang paling sederhana, kegiatan administrasi, baik dalam arti sempit atau dalam arti luas itu memang terkait dengan berbagai jenis kegiatan, baik privat atau publik.

Fakta sosial seperti itu yang membuat ilmu administrasi seperti didorong untuk secara terus menerus melakukan konvergensi dengan disiplin ilmu lainnya, misalnya ilmu manajemen. Munculnya sejumlah 'embel-embel' atau kata yang melekat di belakang kata administrasi, seperti administrasi publik/administrasi negara atau administrasi niaga, yang merupakan bentuk nyata dari perkembangan disiplin ilmu administrasi. Karena kecenderungan konvergensi yang tidak berhenti itu, bukan mustahil di masa datang akan muncul disiplin ilmu lainnya yang berakar dari ilmu administrasi yang sebelumnya sudah ada embel-embelnya. Misalnya muncul disiplin ilmu baru yang merupakan turunan dari atau lahir dari disiplin ilmu administrasi publik. Semua itu tidak bisa dilepaskan dari perkembangan atau konteks sosial yang melingkupi ilmu administrasi publik. Beberapa dekade yang lalu, misalnya muncul istilah atau konsep administrasi pembangunan untuk negara berkembang, yang sejatinya merupakan bagian dari ilmu administrasi publik pada umumnya. Meskipun istilah atau konsep administrasi pembangunan sekarang ini nampak redup, namun tidak berarti hilang sama sekali ditelan oleh konsep baru yang menggantikannya.

Dinamika perkembangan ilmu administrasi publik, menunjukkan bahwa disiplin ilmu ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan sosial dan politik kenegaraan. Hal demikian menjadi wajar jika dikaitkan dengan perkembangan lingkungan sosial politik kenegaraan yang juga sangat cepat dan paradigmatik. Munculnya istilah atau konsep administrasi pembangunan ketika negara muncul sebagai pihak yang sangat dominan dalam segala aspek pembangunan juga tidak terlepas dari perkembangan zamannya. Begitu juga munculnya konsep administrasi publik baru, dimana peran dan fungsi negara mulai bergeser dari semula melaksanakan langsung berubah hanya menjadi fungsi pengendalian (steering rather than rowing), juga sangat terkait dengan perubahan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan (governance) yang juga mengalami perubahan paradigma.

Dalam sejarahnya, administrasi sebagai ilmu pengetahuan (science) baru berkembang sejak akhir abad XIX, tetapi administrasi sebagai suatu seni (art) atau administrasi dalam praktek, sesungguhnya telah ada atau keberadaannya itu setua dengan keberadaan peradaban manusia. Hal

Page 17: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

7 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

tersebut sebagaimana dinyatakan Siagian (2000), bahwa administrasi sebagai proses kerja sama bukan merupakan hal yang baru karena ia timbul bersama-sama dengan timbulnya peradaban manusia. Tegasnya, administrasi sebagai seni merupakan social phenomenon. Logika sederhana juga menunjukkan demikian, bahwa semua masyarakat yang tergolong beradab selalu ditandai dengan adanya peranan atau kegiatan administrasi dalam kehidupannya.

Sementara itu sebagai ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu tersendiri, administrasi merupakan suatu fenomena masyarakat yang baru, karena baru timbul sebagai suatu cabang dari ilmu-ilmu sosial dalam hal ini ilmu politik. Perkembangan demikian juga terjadi di Indonesia, meskipun dalam konteks yang berbeda. Dinamika perkembangan itu terus berlangsung hingga saat ini sebagaimana juga yang terjadi di negara lain, khususnya yang terjadi di negara maju. Begitulah gambaran singkat akan sejarah perkembangan ilmu administrasi khususnya administrasi publik, bahwa ilmu ini yang pada dasarnya berakar pada ilmu politik, terus berkembang memantapkan posisi dan perannya yang semakin strategis dalam proses pemerintahan. (mengenai sejarah perkembangan ilmu administrasi publik akan dikupas dalam sub bab berikutnya).

Sebagai disiplin ilmu terapan (applied science) yang sudah mapan kedudukannya, ilmu administrasi sering digolongkan atau dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu apa yang populer disebut sebagai administrasi publik, kedua apa yang disebut sebagai administrasi niaga atau administrasi bisnis (privat). Per definisi sederhana, apa yang di sebut administrasi publik (public administration), Pfiffner dan Presthus, (1976) menyatakan bahwa “Public administration is a process concerned with carrying out public policies" (Administrasi publik adalah suatu proses yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijaksanaan negara). Sementara itu Dimock mendefinisikan sebagai berikut: “Public administration is the activity of the state in the exercise of its political power" (Administrasi publik adalah kegiatan negara dalam melaksanakan kekuasaan/kewenangan politiknya). Sedangkan pengertian sederhana mengenai administrasi bisnis/niaga (private/business administration), yaitu kegiatan-kegiatan/proses/usaha yang dilakukan di bidang swasta/niaga yang pada intinya merupakan kegiatan-kegiatan organisasi niaga/swasta dalam usahanya mencapai tujuan yaitu mencari keuntungan (profit making or profit oriented) sebagai titik tekannya.

Page 18: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

8 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Administrasi publik, seperti yang dirumuskan oleh Pfiffner dan Presthus (1976), adalah sebuah disiplin ilmu yang terutama mengkaji cara-cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai politik. Hal tersebut sejalan dengan gagasan awal Woodrow Wilson (1887) sebagai orang yang dianggap membidani lahirnya ilmu administrasi publik modern di Amerika Serikat. la mengemukakan bahwa disiplin administrasi publik merupakan produk perkembangan ilmu politik, meskipun Wilson justru mengusulkan adanya pemisahan yang tegas antara disiplin ilmu administrasi publik dari ilmu politik yang menjadi induknya. Gagasan Wilson ini yang kemudian berkembang dan melahirkan gagasan baru yang membuat pemisahan atau yang dikenal sebagai dikotomi politik-administrasi publik.

Secara sederhana ilmu administrasi publik, menurut Wilson, berkaitan dengan dua hal utama, yaitu: (a) What government can properly and successfully do?; Kemudian (b), how it can do these proper things with the utmost possible efficiency and at the least possible cost either of money or of energy? Dalam konteks dan bahasa yang berbeda dan sampai sekarang masih sering digunakan untuk memaknai ruang lingkup ilmu administrasi publik itu berurusan dengan persoalan bagaimana menentukan to do the right things dan to do the things right. Jika hendak disimpulkan maka, pada intinya sebuah kajian ilmu administrasi publik tidak terlepas dari organisasi pemerintah dalam penanganan masalah-masalah publik atau pemerintahan (negara). Sebagaimana dinyatakan Shafritz dan Russell (1997:5) bahwa it is easy to define administration if you are content with being simplistic it is government in action-the management of public affairs on the implementation of public policies.

3. Pengertian Administrasi Publik

Secara harfiah, pengertian administrasi publik tidak dapat dilepaskan dari konsep atau pengertian dasarnya yaitu administrasi. Kata administrasi sesungguhnya merupakan konsep atau istilah yang bersifat generik, yang mencakup semua bidang kehidupan, sehingga wajar jika cakupan dari kegiatan administrasi juga sangat luas. Meskipun sudah ada embel-embel di belakang kata administrasi berupa kata publik, namun sifat dasar yang umum atau generik dari kata administrasi yang mencakup banyak aspek tetap mempengaruhi munculnya sejumlah konsep atau definisi mengenai administrasi publik yang juga sangat luas. Bisa saja cakupan pengertian

Page 19: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

9 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

kegiatan administrasi itu dipersempit, misalnya hanya menyangkut kegiatan teknis yang berulang ulang atau biasa disebut kegiatan klerikal (tulis menulis atau catat mencatat). Begitu juga cakupan pengertian administrasi publik bisa saja dipersempit, berupa kegiatan aparatur birokrasi rendahan yang tidak terkait dengan kegiatan perumusan dan pengambilan kebijakan.

Dalam kaitan ini R.D.H. Kusumaatmadja (1975) mencoba memberikan rumusan bahwa administrasi dalam kehidupan sehari-hari terdiri dari dua pengertian yaitu: (1) pengertian dalam arti sempit dimana administrasi adalah kegiatan tulis menulis, catat mencatat dalam setiap kegiatan atau tata usaha. (2) dalam arti luas, administrasi adalah kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Meskipun demikian, kegiatan administrasi publik itu mempunyai hal-hal yang bersifat khusus yang tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lainnya. Caiden (1982) menunjukkan tujuh kekhususan administrasi publik, yaitu:

- Kehadiran administrasi publik tidak bisa dihindari. - Administrasi publik mengharapkan kepatuhan. - Administrasi publik mempunyai prioritas. - Administrasi publik mempunyai kekecualian. - Manajemen puncak administrasi publik adalah politik. - Penampilan administrasi publik sulit diukur. - Lebih banyak harapan yang diletakkan pada administrasi publik.

Banyaknya pengertian yang lebih luas dan mencakup banyak aspek, juga bisa dilekatkan pada kegiatan administrasi, karena fakta di lapangan memang menunjukkan hal demikian. Apa yang terjadi dalam kehidupan pemerintahan atau dalam proses penyelenggaraan pemerintahan memang menunjukkan bahwa kegiatan administrasi publik begitu kompleks dan menyangkut keseluruhan kegiatan pemerintahan. Jika di masa lalu definisi administrasi publik itu banyak dipersepsi dalam arti sempit bahkan menyangkut hal-hal yang sifatnya clerical dan tidak bersentuhan dengan persoalan pembuatan kebijakan dan manajerial. Namun dalam praktik dan perkembangannya di negara-negara modern, konsep atau pengertian administrasi publik yang sempit itu semakin ditinggalkan, karena pada kenyataannya kegiatan administrasi publik itu menyangkut hal dan kegiatan yang begitu luas dan dimensional.

Ruang lingkup dan kegiatan administrasi publik itu tidak hanya terkait dengan kegiatan di bidang pelaksanaan kebijakan, tetapi juga

Page 20: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

10 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

pembuatan kebijakan. Setidaknya para administrator pemerintahan sejak awal sudah terlibat dalam proses pembuatan kebijakan, sekalipun bukan mereka yang menjadi kata penentu apakah kebijakan itu ditolak atau diterima menjadi kebijakan publik. Atas dasar ini maka ruang lingkup atau batasan kegiatan administrasi publik itu tidak hanya dalam lingkungan lembaga eksekutif saja, tetapi juga meliputi semua cabang pemerintahan dan hal-hal yang berkaitan dengan publik. Begitu juga definisi atau pengertian administrasi publik menjadi tidak hanya dibatasi pada bidang tertentu dalam pemerintahan (eksekutif), tetapi mencakup keseluruhan proses penyelenggaraan pemerintahan (governance).

Jika sampai saat ini semakin banyak definisi mengenai administrasi publik dalam perspektif yang luas dan mencakup banyak aspek, maka hal itu bukan hanya merupakan konsekuensi yang wajar dari semakin pentingnya peran dan fungsi administrasi publik, tetapi pada dasarnya (nature) menunjukkan cakupan dan ruang lingkup dari ilmu administrasi publik yang memang sangat luas. Kegiatan administrasi publik itu tidak hanya menjadi domain para pelaksana kebijakan, khususnya di bidang eksekutif atau pemerintah (government), tetapi juga cabang kekuasaan lainnya. Semua cabang kekuasaan pemerintahan, baik yang tergolong sebagai cabang kekuasaan klasik atau utama (main-state organ), seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif, tetapi juga mencakup cabang kekuasaan negara bantu (auxiliary state organ) dalam bentuk badan, komisi, komite. dan lain-lain yang kini semakin menjamur jumlahnya. Semua penyelenggara negara, dalam konteks dan kapasitasnya masing-masing, adalah pelaksana dan sekaligus pembuat kebijakan, sekalipun sebatas terlibat dalam proses pembuatan atau perumusannya.

Sebagai disiplin ilmu yang sudah mapan, maka siapa saja tidak akan sulit menemukan sejumlah definisi atau pengertian mengenai administrasi publik. Meskipun tidak ada definisi atau pengertian yang sifatnya baku dan bisa disepakati oleh banyak pihak, namun diantara definisi atau pengertian itu ada yang sering disebut dan digunakan sebagai acuan oleh banyak kalangan, seolah ia menjadi sesuatu yang klasik. Diantara definisi yang sering digunakan oleh mahasiswa atau ditemui di sejumlah literatur administrasi publik adalah definisi yang dikemukakan sejumlah ahli yang terkenal pada zamannya, seperti W. Wilson, atau generasi berikutnya, seperti Dwight Waldo, Nigro and Nigro, dan Gerald Caiden untuk sekedar menyebut sebagian kecil nama yang populer.

Page 21: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

11 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Menurut Dwight Waldo (1963), administrasi publik. Itu diartikan sebagai organisasi dan manajemen dari orang-orang dan bahan-bahan untuk mencapai tujuan pemerintah (public administration is the organization and management of men and materials to achieve the purposes of government). Rumusan ini bisa disebut sangat sederhana dan memiliki cakupan yang sangat luas, namun hingga kini masih memiliki relevansi yang kuat, meskipun banyak pihak yang berusaha menambah atau menyempurnakannya. Sementara itu menurut Utrecht (1966), administrasi publik adalah gabungan jabatan (aparat/alat) administrasi yang di bawah pimpinan pemerintah, Presiden dan para Menteri, melakukan sebagian dari pekerjaan atau tugas pemerintah yang tidak diserahkan pada badan perundang-undangan dan kehakiman.

Berikutnya adalah Nigro and Nigro (1973) yang memberikan kriteria administrasi publik itu mencakup:

a. Usaha kerjasama kelompok di dalam suatu organisasi publik b. Mencakup tiga buah lembaga/badan: eksekutif, legislatif dan yudikatif

serta inter-relasi antara ketiganya c. Mempunyai peran yang sangat penting dalam merumuskan kebijaksanaan

publik dan oleh karenanya merupakan bagian dari proses politik d. Mempunyai perbedaan yang sangat jelas dengan administrasi privat e. Mempunyai keterkaitan yang erat dengan berbagai macam kelompok

dan individu dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Menurut J. Wayong administrasi publik merupakan suatu penyelenggaraan tugas pemerintah dalam merealisir ketetapan-ketetapan yang telah menjadi keputusan negara dengan menekankan pada cara pelaksanaannya sehingga menuju kepada tertib hukum. Sementara itu menurut Soesilo Zauhar (1996) administrasi publik adalah proses kerjasama yang berlaku dalam organisasi publik dalam rangka memberikan pelayanan publik. Demikianlah bahwa konsep atau pengertian administrasi publik mempunyai banyak definisi, dari yang sempit hingga yang sangat luas cakupan dan batasannya. Meskipun diantara definisi itu ada sejumlah perbedaan atau titik tekan yang berlainan, namun sejatinya mudah dikenali benang merah diantara definisi-definisi itu.

Page 22: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

12 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

4. Dinamika Perkembangan Ilmu Administrasi Publik

Dalam sejarahnya, ilmu administrasi publik seperti sosoknya yang ada sekarang sesungguhnya telah melalui proses perjalanan yang sangat panjang, sehingga sampai pada kemantapan sebagai disiplin ilmu yang kokoh sekaligus terus berkembang. Diantara perkembangan yang terjadi itu, ada yang bersifat evolusioner atau inkremental, ada yang gradual, tetapi ada juga yang revolusioner sifatnya, tergantung kondisi lingkungan sosial dimana ilmu administrasi publik itu berada, yang senantiasa berusaha menunjukkan relevansinya bagi kehidupan dimana ia hendak diterapkan. Meskipun kegiatan administrasi itu telah berlangsung bersamaan dengan peradaban manusia, namun sebagai sebuah disiplin ilmu (science) tidaklah demikian. Sebelumnya ilmu administrasi publik itu menjadi bagian dari ilmu politik, sampai akhirnya memisahkan diri sebagai cabang ilmu tersendiri dan terus berkembang hingga saat ini.

Ada sejumlah tonggak perubahan yang bisa dibilang monumental (milestone), kalaupun tidak revolusioner sifatnya, yang perlu dicatat dalam sejarah ilmu administrasi publik. Diantara tonggak penting itu adalah pemikiran Woodrow Wilson melalui karyanya The Study of Administration, tahun 1887. Ia berpendapat bahwa "the science of administration is the latest fruit of that study of the science politics which was begun some twenty-two hundred years ago.." Seperti yang dikatakan Wilson bahwa ilmu administrasi merupakan hasil perkembangan dari ilmu politik, namun ia menegaskan bahwa ilmu administrasi berbeda dengan ilmu politik. Pemikiran Wilson ini yang kemudian dianggap menjadi pemicu lahirnya ilmu administrasi publik modern. Menurut Shafritz dan Hyde (1987), Wilson dianggap sebagai orang yang membidani lahirnya ilmu administrasi publik modern di Amerika Serikat. Wajar jika oleh sejumlah ahli dinyatakan bahwa bersama dengan para pemikir yang lain, baik yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan studi mengenai ilmu administrasi, maka Wilson ini digolongkan sebagai generasi pertama dari perkembangan konsep administrasi publik modern.

Jika hendak ditengok ke belakang, sebenarnya, jauh sebelum Wilson menulis tentang The Study of Administration, embrio ilmu administrasi publik modern itu sudah ada sejak abad ke-15. Bahkan praktik administrasi publik yang tergolong maju sudah ada sejak dikenalnya Negara Kota di Athena dan di sejumlah tempat dimana muncul kerajaan tradisional yang tergolong maju

Page 23: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

13 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

dan memiliki peradaban tinggi pada masanya. Disebut demikian karena untuk mengurus dan melaksanakan organisasi berupa kerajaan sekalipun itu masih tergolong tradisional untuk ukuran saat ini, tentu membutuhkan cara-cara pengelolaan administrasi publik yang modern untuk ukuran zamannya. Ketika sebuah 'organisasi publik' itu semakin kompleks seiring dengan perkembangan zaman, dengan mulainya terbentuk embrio negara bangsa (nation state), di abad 18 dan awal abad 19, maka munculnya sejumlah pemikiran modern mengenai administrasi publik sebagaimana yang digagas antara lain oleh Wilson tersebut.

Sejak itulah, sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri dan terpisah dari ilmu politik, administrasi publik kemudian berusaha menemukan sosok yang lebih kuat akan jati dirinya sebagai sebuah ilmu, dan muncullah tulisan Wilson pada abad ke-19, yang berjudul The Study of Administration (1887) pada jurnal Political Science Quarterly. Dalam tulisannya Wilson mengatakan bahwa, Administration is the most obvious part of government; it is the executive, the operative, the most visible side of government, and is of course as old as government itself. It is government in action, and one might very naturally expect to find that government in action had arrested the attention and provoked the scrutiny of writers of politics very early in the history of systematic thought.

Pemikiran Wilson yang terkenal dengan konsep dikotomi atau pemisahan secara tegas antara ilmu politik dan ilmu administrasi publik ini yang kemudian dianggap oleh sejumlah kalangan sebagai dasar dari pemikiran awal akan kelahiran ilmu administrasi publik di awal abad 20.

Karya atau pemikiran lain yang juga penting yang memperkuat pandangan dikotomi antara administrasi dan politik antara lain dikemukakan oleh Frank J Goodnow (1900) dan Leonard D White. Dalam pemikiran Goodnow itu antara lain dinyatakan bahwa terdapat dua fungsi yang berbeda dalam pemerintahan. Pertama, politik yaitu fungsi menyangkut pembuatan kebijakan atau ekspresi dari kehendak negara. Dan administrasi yaitu fungsi yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan tersebut. Pemikiran generasi pertama yang mendorong adanya pemisahan disiplin administrasi dari ilmu politik atau yang kemudian dikenal sebagai dikotomi politik-administrasi terus berkembang dan memiliki pengaruh yang kuat pada zamannya. Sejak itu, selama satu abad lebih, administrasi publik baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesi terus berkembang.

Page 24: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

14 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Generasi pertama pemikiran administrasi publik banyak menekankan sisi saintifik dan prinsip-prinsip universal untuk mencapai efisiensi dan efektifitas. Ketika itu Wilson yang tertarik dengan administrasi yang dikembangkan di Prancis dan Jerman, berpendapat bahwa administrasi berfungsi untuk membantu eksekutif untuk menjalankan pekerjaan secara efektif dan efisien sehingga harus dipisahkan dari politik.

"The field of administration is a field of business. It is removed from hurry and strife of politics; it is at most points stands apart even from debatable ground of constitutional study (..) the object of administrative study is to rescue executive methods from confusion and costliness of empirical experiment and set them upon foundation laid deep in stable principle".

Pemisahan administrasi publik dari ilmu politik menjadi semakin kokoh dengan kontribusi dari prinsip-prinsip saintifik dalam administrasi. Pada masa itu beberapa pemikiran saintifik manajemen seperti yang dipublikasikan oleh Frederick Taylor (1912) dan Frederick Henry Fayol (1916) berjudul Administration Industrielle et General sangat berpengaruh dalam perkembangan administrasi publik saat itu. Pada saat ini berkembang pemikiran atau muncul prinsip-prinsip yang dianggap universal yang dapat diterapkan dalam mengelola di setiap organisasi, baik organis publik seperti negara atau pemerintahan, juga organisasi privat atau swasta berupa perusahaan dan organisasi sosial. Prinsip-prinsip tersebut sering dikenal dalam ranah ilmu manajemen, misalnya prinsip planning, organizing, staffing, directing, (actuating) coordinating, reporting dan budgeting.

Tonggak penting lain yang mempengaruhi perkembangan ilmu administrasi publik muncul pada era tahun 1950-an yang sering disebut sebagai generasi kedua dalam perkembangan ilmu administrasi publik. Pada masa ini muncul pandangan yang begitu berpengaruh dalam perkembangan administrasi publik saat itu yaitu ilmu politik dan manajemen. Menguatnya pengaruh ilmu politik, dimulai dari pernyataan D. Waldo (1950) yang menyatakan bahwa "A theory of public administration means in our time a theory of politics also". Dalam pandangan ini ilmu politik yang notabene adalah ibu dari administrasi publik, suka tidak suka, tidak bisa dielakkan peran dan pengaruhnya terhadap sejumlah konsep-konsep yang terkait dengan administrasi publik, misalnya terhadap konsep birokrasi. Pengaruh ilmu politik juga membuahkan pendekatan baru dalam administrasi publik

Page 25: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

15 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

yaitu ilmu kebijakan publik. Demikian pula halnya dengan pengaruh ilmu manajemen terhadap cara pandang administrasi publik khususnya terkait dengan sejumlah prinsip-prinsip manajemen yang juga dapat diterapkan di semua jenis organisasi, baik privat atau publik.

Tidak berhenti sampai di situ, perkembangan itu terus berlanjut dan nampak yang begitu dinamis, khususnya pada tahun 1970-an. Pada era ini sering dianggap sebagai generasi ketiga dalam perkembangan administrasi publik terkait dengan yang ditandai dengan munculnya sejumlah lembaga yang mengajarkan secara khusus ilmu administrasi sebagai disiplin ilmu tersendiri lengkap dengan sistem dan bangunan keilmuwannnya. Di Amerika Serikat muncul sekolah yang menyelenggarakan program administrasi publik dengan nama National Association of Schools of Public Affairs and Administration (NASPAA) pada tahun 1970. Tak lama berselang sebanyak 250 akademi dan universitas yang tergabung dalam asosiasi tersebut membuka program Master of Public Administration yang memberikan gelar MPA bagi lulusannya. Di tingkat internasional, pada tahun 1970 dibentuk IASIA (International Association of School and Institut of Administration) dengan anggota lebih dari 160 sekolah dan institut ilmu administrasi.

Seperti bola salju perkembangan ilmu administrasi sebagai disiplin ilmu tersendiri ini semakin kokoh pada tahun 1980-an seiring dengan menguatnya konsep-konsep manajerialisme. Era ini sering disebut sebagai era generasi keempat dan terus berlanjut di era-era sesudahnya hingga sekarang ini. Melalui pendekatan manajerialisme ini para ahli berupaya mengadopsi pendekatan manajemen sektor privat ke dalam sektor publik. Cara kerja sektor swasta yang menekankan kinerja, efisiensi, dan fleksibilitas dianggap merupakan formula yang tepat untuk memperbaiki masalah pemborosan, inefisiensi, responsivitas yang terjadi dalam pengelolaan pemerintahan. Maka muncullah sejumlah istilah terkait dengan pendekatan tersebut seperti pendekatan new public management. Istilah “new" ini digunakan untuk membedakan dengan public management yang lama.

Berbeda dengan konsep public management "lama" menurut Christopher Hood (1991) new public management lebih menekankan pada pengukuran kinerja daripada proses penerapan kebijakan, lebih menitikberatkan pada pelayanan yang kompetitif yang dijalankan melalui organisasi publik semi otonom atau sistem kontrak dengan swasta ketimbang melalui pelayanan oleh birokrasi, serta memberikan kebebasan kepada manajer publik bekerja seperti rekannya di sektor swasta. Tidak

Page 26: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

16 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

berhenti pada konsep yang ditawarkan oleh apa yang menyebut dirinya new public management, maka muncullah pendekatan baru yang memandang administrasi publik sebagai governance. Fokus utama pendekatan ini meletakkan konsep administrasi negara itu bukan lagi pada pemerintah (government) sebagai sebuah institusi yang diberikan kewenangan untuk mengatur masyarakat dan menjadi penyedia utama pelayanan publik, melainkan lebih pada proses tata kelola pemerintahan atau governance.

Jika hendak diringkas, maka dalam perkembangannya hingga saat ini, sebagaimana juga studi yang dilakukan berbagai kalangan di Indonesia seperti Lembaga Administrasi Negara (LAN), bahwa secara garis besar konsep administrasi publik dibagi menjadi empat generasi yaitu generasi pertama yang menonjolkan karakteristik scientific administration, generasi kedua yaitu pluralism administration dimana administrasi berkembang berkat dukungan atau kontribusi ilmu-ilmu sosial yang lain, generasi ketiga yang ditandai dengan kedewasaan jati diri administrasi publik sebagai domain studi tersendiri dan generasi keempat dimana administrasi dipandang sebagai proses governance. Demikianlah bahwa dalam perkembangan administrasi publik modern baik sebagai ilmu maupun dalam praktik-pada dasarnya akan terus berkembang, tidak hanya di negara maju, tetapi juga di negara berkembang.

5. Administrasi Pembangunan

Dalam perkembangan administrasi negara pada beberapa dasawarsa yang lalu pernah muncul istilah administrasi pembangunan yang begitu populer, khususnya di negara berkembang. Tidak sedikit buku-buku dan kajian ilmiah yang ditulis berbagai ahli yang mengungkapkan keberadaan konsep administrasi pembangunan yang begitu penting, khususnya bagi negara berkembang dalam mengelola administrasi pemerintahannya. Sayangnya istilah atau konsep ini gaungnya tidak bertahan lama bukan karena efektivitasnya saja yang banyak dipertanyakan tetapi juga model-model yang digunakannya yang cenderung terfokus pada pemerintah, sementara di sisi lain muncul pemikiran baru dari model administrasi publik yang semakin mengadopsi pola-pola manajerial organisasi privat yang di dalamnya menempatkan kedudukan masyarakat dalam posisi yang semakin penting.

Page 27: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

17 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Secara sederhana penggunaan istilah administrasi pembangunan itu merupakan padanan dari konsep umum administrasi publik yang diterapkan di negara berkembang. Namun penggunaan istilah administrasi pembangunan ini bukan sekedar perbedaan istilah saja, tetapi sesungguhnya mengandung konsep pemikiran mengenai sosok administrasi publik itu harus melakukan peran dan fungsinya dalam negara berkembang dalam upayanya membangun negara yang bersangkutan. Dalam kaitan ini administrasi sebagai alat sebagaimana juga manajemen yang juga merupakan alat itu digunakan untuk mencapai tujuan pembangunan. Pada era itu negara berkembang banyak disibukkan dengan upayanya mengejar ketertinggalan dari negara maju, dengan cara melakukan pembangunan di segala bidang. Dalam konteks lingkungan sosial seperti ini, maka model administrasi publik yang digunakan harus berbeda dengan model administrasi publik dari negara maju, maka muncullah konsep administrasi pembangunan, yaitu sebuah model administrasi publik yang khas negara berkembang atau lingkungan sosial tertentu dimana ia diterapkan.

Sebagai sebuah alat dari organisasi bernama negara, maka dengan model administrasi publik yang tepat, keberadaannya dapat diharapkan positif dalam mengawal pembangunan suatu negara sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Harapan tersebut menjadi sangat wajar jika dikaitkan dengan pengertian sederhana mengenai administrasi atau manajemen publik, yang pada dasarnya kegiatan yang dilakukan itu berurusan dengan persoalan bagaimana menentukan to do the right things dan to do the things right. Artinya jika administrasi publik berurusan dengan cara-cara yang efisien untuk melakukan proses pembangunan, maka cara-cara itu harus disesuaikan dengan konteks atau kebutuhan dimana ia diterapkan. Hal demikian menjadi sangat penting karena secara konsepsional, meskipun sekedar alat dari sebuah organisasi, namun keberadaan administrasi publik itu juga mempunyai kemampuan dalam menentukan tujuan dari proses pembangunan itu sendiri karena peran dan fungsinya yang sangat penting.

Sementara itu di sisi lain, gencarnya upaya melakukan pembangunan yang berlangsung di negara berkembang itu merupakan sesuatu yang tidak dapat terelakkan pasca munculnya sejumlah negara bangsa (nation state) baru pasca perang dunia kedua. Tidak ada pilihan lain bagi negara-negara baru itu kecuali melakukan akselerasi pembangunan untuk mencapai tujuan berupa kemakmuran atau kesejahteraan rakyatnya. Dengan kebutuhan seperti itu, maka pola administrasi publik tidak bisa sama modelnya dengan

Page 28: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

18 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

pola serupa yang digunakan di negara yang relatif lebih maju atau memiliki tantangan yang berbeda, maka muncullah apa yang disebut sebagai administrasi pembangunan. Dari sisi negara berkembang, keberadaan apa yang disebut sebagai administrasi pembangunan itu sengaja dipilih dan dikembangkan sebagai konsekuensi dari adanya ketimpangan antara administrasi pemerintahan di negara maju dengan administrasi pemerintahan di negara berkembang. Riggs (1964) dalam Hayati, et.al (2005:18) memandang bahwa administrasi publik untuk negara berkembang mempunyai pola perilaku yang berbeda dengan administrasi publik di negara maju, yang menyangkut sistem, struktur, dan fungsi.

Meskipun begitu, jangan dikira bahwa konsep administrasi pembangunan ini muncul begitu saja dari negara berkembang atau negara tertentu saja yang hendak me lakukan pembangunan dengan menggunakan pola administrasi publik yang khas untuk kepentingan negara yang bersangkutan. Justru ide demikian sejatinya berasal dari negara yang sudah tergolong relatif maju. Seperti diketahui menjelang dan memasuki Perang Dunia II ada program sosial yang besar, seperti New Deal di Amerika Serikat dan berbagai program rehabilitasi pasca perang dunia, serta bangkitnya negara-negara baru yang sebelumnya adalah wilayah-wilayah jajahan, dimana aspek pembangunan menjadi icon penting ketika itu. Di sisi lain ada upaya mengembangkan administrasi sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri diperkuat dengan studi perbandingan administrasi publik, antara lain dengan di bentuknya Comparative Administration Group (CAG) pada tahun 1960 oleh para pakar administrasi, seperti John D. Montgomery, William J. Siffin, Dwight Waldo, George F. Grant, Edward W. Weidner, dan Fred W. Riggs. Dari CAG inilah lahir konsep administrasi pembangunan (development administration), sebagai bidang kajian baru yang kelahirannya sesungguhnya lebih didorong oleh kebutuhan untuk membangun administrasi publik di negara-negara berkembang agar proses pembangunannya bisa berjalan lebih baik.

Ada yang mengatakan bahwa lahirnya konsep administrasi pembangunan itu merupakan sebuah proses konvergensi antara konsep administrasi publik di satu sisi dan konsep pembangunan di sisi lainnya, sehingga melahirkan suatu disiplin ilmu baru yang disebut sebagai administrasi pembangunan. Berdasarkan logika sederhana, logika konvergensi tersebut bisa diterima, meskipun sejatinya prosesnya tidak sesederhana itu. Sesungguhnya administrasi pembangunan lahir dan

Page 29: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

19 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

berkembang karena adanya kebutuhan di negara-negara yang sedang membangun untuk mengembangkan lembaga-lembaga dan pranata-pranata sosial, politik, dan ekonomi, agar pembangunan dapat berhasil. Oleh karena itu menurut Kartasasmita (1997), pada dasarnya administrasi pembangunan adalah bidang studi yang mempelajari sistem administrasi publik di negara yang sedang membangun serta upaya untuk meningkatkan kemampuannya.

Secara konsepsional, menurut Suminta (2005), administrasi pembangunan merupakan gabungan dua pengertian, yaitu administrasi, yang berarti segenap proses penyelenggaraan dari setiap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan pembangunan. Hal ini merupakan rangkaian usaha perubahan dan pertumbuhan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintahan menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa. Bisa diartikan bahwa administrasi pembangunan merupakan administrasi publik yang diarahkan untuk mendukung proses pembangunan, dalam arti untuk keperluan keberhasilan pembangunan.

Dengan demikian, administrasi pembangunan lahir dan merupakan penyempurnaan dari administrasi publik untuk dapat diterapkan di negara berkembang. Selain itu, tujuan diterapkannya administrasi pembangunan adalah untuk mencapai kemajuan pembangunan suatu negara menuju modernisasi. Dapat dikatakan pula bahwa, administrasi publik adalah ditujukan bagi negara yang sudah maju, sedangkan administrasi pembangunan ditujukan untuk negara yang sedang berkembang. Menurut Tjokroamidjojo (1995), setidaknya terdapat 4 kecenderungan yang mengarahkan administrasi publik kepada administrasi pembangunan. Kecenderungan-kecenderungan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Perhatian administrasi publik mengarah kepada masalah-masalah pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan, yang dimulai dari perumusan kebijaksanaan, instrumen pelaksanaannya hingga pelaksanaan pembangunan itu sendiri.

b. Administrasi publik mengembangkan penelaahan mengenai sikap dan peranan birokrasi (behavioral approach), serta berbagai masalah hubungan manusia, seseorang atau kelompok dalam birokrasi tersebut, juga ditelaah tentang bagaimana keputusan diambil, dan pengetahuan dikembangkan.

Page 30: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

20 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

c. Kecenderungan melakukan pendekatan manajemen dalam administrasi publik. Di sini dikembangkan sistem analisis administrasi publik terhadap administrasi pembangunan, penggunaan teknik-teknik kuantitatif dan analitis dalam administrasi publik.

d. Administrasi publik memberikan tekanan kepada ekologi sosial dan kultural. Di sini ditekankan telaah terhadap hubungan dan sikap administratif dengan ekologi sosial dan budaya masyarakat tertentu.

Keempat kecenderungan tersebut saling terkait satu sama lain dan kecenderungan tersebut mengarah kepada administrasi pembangunan. Kecenderungan administrasi pembangunan berorientasi untuk mendukung pembangunan, dan usaha-usaha ke arah modernisasi guna mencapai kehidupan yang sejahtera secara sosial dan ekonomi.

6. Reformasi Administrasi Publik di Indonesia

Sebagai bagian dari perkembangan global, maka Indonesia juga tidak lepas dari proses tersebut, begitupun yang terjadi di bidang administrasi publik, baik sebagai disiplin ilmu maupun dalam praktik pemerintahan. Hal mana terlihat dari munculnya sejumlah pemikiran dan literatur sejenis yang mencerminkan perkembangan tersebut, juga terlihat secara kelembagaan dimana banyak berdiri lembaga pendidikan yang secara khusus dan semakin intens mengkaji ilmu administrasi publik sebagai disiplin ilmu tersendiri. Dinamika perkembangan itu nampak nyata di era Orde Baru seiring dengan dianutnya paradigma ‘pembangunanisme’. Bukan kebetulan jika di era itu berkembang konsep administrasi pembangunan yang juga diterapkan di Indonesia. Dinamika perkembangan atau perubahan yang dianggap sangat penting juga terjadi di periode akhir kekuasaan Orde Baru, yaitu era 1990-an, dan perubahan itu masih berlangsung hingga kini.

Dalam sejarahnya, upaya melakukan reformasi atau perubahan administrasi publik di Indonesia itu telah secara inkremental dilakukan sejak awal 1970-an, mengikuti sejumlah perubahan yang terjadi di tingkat global. Hanya saja perubahan itu masih setengah hati atau malu-malu dan mungkin hanya kulit luarnya saja yang berubah. Bagaimanapun setiap wacana untuk melakukan perubahan administrasi publik di Indonesia kurang begitu populer. Tanda-tanda ke arah perubahan itu dapat dilihat pada 1984 ketika singkatan MENPAN mendapat arti baru, dari Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara (1969) menjadi Menteri

Page 31: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

21 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Negara Penertiban Aparatur Negara (1973) hingga Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (1984). Kata pendayagunaan yang berarti peningkatan efektivitas yang secara tidak langsung menghendaki dilakukannya perubahan atau reformasi administrasi. Bersamaan dengan itu, pada awal 1980-an pemerintah melakukan reformasi dengan istilah yang populer saat itu yaitu 'deregulasi dan debirokratisasi'. Kemudian sejak awal 1990-an, bersamaan dengan diskursus tentang desentralisasi pemerintahan atau otonomisasi daerah, maka istilah reformasi administrasi mulai lebih sering digunakan. Penyebutan istilah reformasi administrasi biasanya dikaitkan selain dengan tantangan globalisasi pada abad ke-21 juga dengan tuntutan demokratisasi dan perkembangan sosial ke arah masyarakat industri dan informasi, yang semuanya mempengaruhi tuntutan masyarakat atas kualitas pelayanan pemerintah.

Barangkali itulah salah satu nature (hakekat atau sifat) dari ilmu administrasi publik yang memang lahir dan berkembang karena pengaruh perkembangan lingkungan sosialnya. Semua perubahan yang terjadi, yang terkait dengan paradigma dan model atau teknik-teknik yang digunakan dalam administrasi publik tidak dapat dilepaskan dari perubahan lingkungan dimana ia diterapkan. Nampak nyata ada hubungan interaktif antara administrasi publik dengan konteks dan lingkungan sosialnya. Dan diantara berbagai unsur lingkungan sosial, unsur sosial politik dan budaya (perilaku) merupakan unsur yang paling banyak mempengaruhi penampilan atau sosok (performance) administrasi publik yang berlaku ketika pada masanya. Jika hendak dibandingkan, maka perbedaan itu-di Indonesia-akan nampak nyata antara periode Orde Baru dengan apa yang berlaku sekarang karena pengaruh perubahan konstalasi sosial politik di Indonesia. Begitupun budaya dan perilaku aparatur negara yang menjalankan administrasi publik juga terlihat jelas perbedaannya, meskipun banyak kalangan yang melihat bahwa perubahan yang terjadi tidak substantif tetapi lebih pada aspek formal atau kelembagaannya saja.

Begitulah bahwa dimana mana keberadaan administrasi publik secara konsepsional bersifat sangat dinamis, ia selalu ditantang oleh perubahan-perubahan yang juga dinamis yang terjadi di lingkungan sosialnya. Konsekuensi dari dinamika yang berkembang pada administrasi publik itu pada gilirannya memunculkan model-model baru, seiring dengan perkembangan pemikiran para ahli. Dalam kaitan ini Islami (1991:3) mengemukakan bahwa "administrasi publik sebagai suatu disiplin ilmu telah

Page 32: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

22 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

mengalami berbagai penggantian paradigma. Ini membuktikan bahwa administrasi publik bukanlah ilmu yang statis tetapi terus berkembang dalam rangka mencari identitas secara kokoh dan mantap. Perkembangannya tidak terlepas dari berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, yang kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran baru untuk menyelesaikannya."

Sampai saat ini perkembangan teori, konsep dan paradigma yang terjadi di dalam administrasi juga begitu beragam (distinct) dan unik. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa ilmu administrasi yang bergerak begitu dinamis itu memiliki relevansi yang tinggi bagi kehidupan publik, sehingga ia senantiasa responsif dan akomodatif dalam kedudukannya sebagai alat (tool) dari organisasi. Memang sejumlah prinsip dasar dari administrasi publik itu tidak mudah bergeser, melainkan hanya disempurnakan pada beberapa bagiannya, sehingga ada sejumlah pengertian dan konsep dasar administrasi publik yang dianggap klasik dan masih diterima hingga saat ini meskipun dengan beberapa catatan. Kondisi demikian di sisi lain juga menunjukkan kematangan ilmu administrasi sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri.

Jangan heran jika dalam pengertiannya yang klasik, administrasi publik masih dipahami oleh banyak kalangan sebagai implementasi kebijakan yang dibuat oleh pejabat publik, penggunaan kekuasaan untuk memaksakan aturan untuk menjamin kebaikan publik dan relasi antara publik dan birokrasi yang telah ditunjuk untuk melaksanakan kepentingan bersama (Caiden: 1982, 12). Administrasi publik dibentuk untuk menyelenggarakan kepentingan publik dan melayani publik. Pada prinsipnya, administrasi publik dibentuk untuk mengabdi kepada publik dan tidak boleh memihak kepada salah satu kepentingan politik apapun, dengan alasan apapun. Administrasi publik harus netral dan tidak partisan agar pelayanan kepada publik dapat dilakukan dengan adil tanpa membeda-bedakan status sosial, jabatan dan preferensi politik seseorang.

Meskipun demikian, secara umum, secara teori, konsep dan paradigma, administrasi negara terus mengalami perkembangan yang cukup cepat. Banyak bermunculan teori-teori kontemporer di dalam khasanah administrasi negara yang mengkritik dan memperkaya teori-teori klasik yang sudah ada misalnya teori yang membahas mengenai organisasi dan birokrasi. Semua perkembangan itu merupakan sesuatu yang wajar mengingat administrasi publik merupakan bagian dari ilmu sosial yang memiliki karakteristik yang dinamis, tidak seperti halnya ilmu-ilmu alam yang

Page 33: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

23 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

cenderung pasif dan positivistik. Munculnya konsep administrasi pembangunan adalah contohnya, sebagai sebuah respon positif akan kebutuhan sebuah negara pada masanya yang sedang giat-giatnya melakukan pembangunan. Demikian juga saat ini ketika konstalasi sosial politik global telah berubah, begitu juga perubahan yang terjadi di negara yang bersangkutan yang menjadi demokratis, menghargai hak-hak sipil dan politik, perlindungan HAM dan sebagainya, menjadikan konsep dan paradigma administrasi publik juga mengalami perubahan, sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini.

Proses itu terus berlangsung, dan tidak henti-hentinya terjadi apa yang disebut konvergensi pemikiran terkait ilmu administrasi publik. Konvergensi itu misalnya antara pemikiran-pemikiran yang melahirkan berbagai konsep pembangunan dengan pandangan-pandangan dalam ilmu administrasi yang mengarah pada makin terpusatnya perhatian pada aspek manusia serta nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam berbagai pendekatan yang sedang berkembang saat ini. Pada era 1990-an, ilmu administrasi publik yang semula dianggap sebagai konsep eksklusif yang berfokus kepada masalah efisiensi dan efektifitas kemudian bergeser menjadi konsep yang multidisipliner kajiannya. Jangan heran jika sejumlah prinsip-prinsip yang ada dalam disiplin ilmu manajemen kemudian diadopsi atau ditransformasikan ke dalam ilmu administrasi publik. Hal serupa juga dilakukan terhadap disiplin ilmu lainnya, khususnya ilmu politik. Hasilnya seperti yang terlihat sekarang ini bahwa ilmu administrasi publik tidak saja berfokus kepada soal efisiensi dan efektifitas pemerintahan, tetapi lebih luas lagi cakupannya seperti isu demokrasi, pemberdayaan, affirmative action dan sebagainya.

Era 1990-an adalah masa dimana sejumlah perubahan penting di bidang konsep administrasi publik sedang berlangsung secara lebih serius, meskipun gagasan untuk melakukan reformasi administrasi publik di negara maju telah berkembang di tahun 1970-an. Salah satu upaya reformasi administrasi publik yang juga sempat populer di Indonesia di pertengahan tahun 90-an adalah apa yang disebut sebagai ‘reinventing government atau upaya ‘mewirausahakan' birokrasi dengan kredo new public management yang sebelumnya telah berkembang dan menjadi praktek administrasi publik di Amerika Serikat. Para pendukung gerakan ini berpendapat, bahwa model administrasi dan birokrasi sistem komando dan pengawasan harus segera diubah karena dianggap tidak lagi efektif, efisien atau sudah ketinggalan

Page 34: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

24 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

zaman dalam tatanan ekonomi-politik dunia yang sudah berubah. Perubahan atau reformasi birokrasi kini terus berlangsung dengan jargon baru, yaitu good governance dimana administrasi publik merupakan bagian penting di dalamnya yang harus disesuaikan dengan konsep ‘governance’ tersebut.

Page 35: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

25 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

BAB II

TEORI DAN KONSEP KEBIJAKAN PUBLIK

1. Konsep Dasar Kebijakan

Dalam ilmu administrasi publik modern, apa yang disebut pengambilan kebijakan (policy formulation) itu bukan hanya menjadi ranah lembaga pemerintahan tertentu, tetapi telah menjadi ranah semua lembaga penyelenggara negara. Lahirnya sebuah produk yang bernama kebijakan, tidak hanya dimonopoli oleh pejabat politik atau lembaga yang oleh konstitusi dinyatakan sebagai pengambil kebijakan. Jika mengacu pada teori trias politica, fungsi tersebut seolah olah hanya merujuk pada sebuah lembaga yang bernama legislatif. Namun jika mengacu pada teori checks and balances dan perkembangan mutakhir beberapa dasawarsa yang lalu, maka semua penyelenggara negara pada hakekatnya adalah pengambil dan sekaligus pelaksana kebijakan. Tidak terkecuali lembaga legislatif, juga sebagai pelaksana kegiatan administrasi publik sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.

Begitulah, dalam praktiknya, semua lembaga penyelenggara pemerintahan terlibat aktif dalam proses pengambilan kebijakan, betapapun kecil peran dan fungsi itu. Karenanya dalam konsep dan pengertian umum ia disebut sebagai penyelenggara negara atau pemerintahan, tidak terkecuali lembaga legislatif yang pada dasarnya memiliki tugas pokok sebagai pengambil kebijakan. Dalam berbagai tingkatan dan ruang lingkup berdasarkan peran dan fungsi masing-masing lembaga negara yang diberikan oleh konstitusi, maka semua penyelenggara negara pada hakekatnya adalah pengambil kebijakan dalam arti luas. Konsep demikian jangan diasumsikan,

Page 36: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

26 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

bahwa seolah-olah ada penumpukan kekuasaan dimana ada lembaga yang membuat dan sekaligus melaksanakan kebijakan, sebagaimana yang menjadi dasar lahirnya teori pemisahan kekuasaan. Karena secara umum semua penyelenggara negara memiliki fungsi sebagai pengambil kebijakan. Misalnya pemerintah (government) sebagai eksekutif atau pelaksana kebijakan, ia berfungsi sebagai pengambil kebijakan pada saat mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Pemerintah misalnya, sebagai peraturan pelaksanaan atau petunjuk bagi pejabat yang ada di bawahnya. Begitu juga seterusnya yang dilakukan oleh pejabat eksekutif yang berada di tingkatan atau hirarki di bawahnya.

Kondisinya sekarang jauh berbeda dengan konsep atau teori pemisahan kekuasaan ala John Locke atau Montesquieu, yang berusaha memisahkan secara tegas dan kaku antara lembaga pembuat dan pelaksana kebijakan. Berdasarkan teori itu keduanya harus dipisahkan secara ketat agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan yang berujung pada abuse of power. Sampai sekarang tujuan yang diharapkan tidak berubah, tetapi dalam praktik ketatanegaraan tidak harus demikian pola hubungannya, dimana masing-masing lembaga penyelenggara negara itu terpisah secara kaku. Untuk mencapai tujuan tersebut model pengelolaan pemerintahan harus dirancang secara fleksibel, jika hendak mencapai tingkat efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan yang tinggi dan berkualitas.

Sejak beberapa dasawarsa yang lalu hingga sekarang ini, dengan berkembangnya teori check and balances dan berbagai penyempurnaan yang dilakukan dalam konsep penyelenggaraan kenegaraan, maka pemisahan kekuasaan itu tidak lagi bersifat kaku, melainkan lebih pada aspek fungsionalitasnya masing-masing lembaga pemerintahan, dikaitkan dengan upaya pencapaian tujuan dari organisasi yang bernama negara atau pemerintahan. Dengan demikian tidak lagi ada dikotomi antara legislatif dan eksekutif dalam proses pembuatan kebijakan.

Meskipun kata putus sebuah kebijakan tertentu (UU) itu ada di tangan legislatif (DPR), namun dalam proses pembuatannya senantiasa melibatkan pemerintah (eksekutif). Hal tersebut karena pemerintahlah yang lebih tahu akan kondisi sebenarnya dimana kebijakan itu akan diimplementasikan. Begitu juga pemerintah dan jajaran birokrasi yang ada di bawahnya yang akan melaksanakan kebijakan yang diputuskan oleh pihak legislatif. Dalam praktiknya tidak ada kebijakan yang tiba-tiba datang dari 'langit' legislatif, dengan asumsi mereka lebih tahu atau hanya karena

Page 37: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

27 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

mereka berwenang melakukannya sebagaimana konstitusi memang memberikan hak demikian.

Dalam praktiknya proses pembuatan kebijakan khususnya dalam bentuk perundang-undangan itu tidak bisa datang dari satu lembaga tertentu, tetapi senantiasa melibatkan berbagai pihak, termasuk mereka yang nanti akan melaksanakannya. Itu artinya tidak lagi bisa ditarik secara tegas batas-batasnya antara lembaga pembuat dan pelaksana kebijakan. Sekalipun itu lembaga eksekutif atau pemerintahan serta jajaran birokrasinya, berdasarkan peran dan fungsinya juga diberikan kekuasaan mengambil kebijakan dalam proses penyelenggaraan negara. Sengaja dalam bagian buku ini dikemukakan konsep pembuatan kebijakan dikaitkan dengan teori pemisahan kekuasaan negara, dengan maksud agar sejak awal tidak terjadi dikotomi diantara lembaga negara dalam proses pembuatan kebijakan. Dengan demikian diharapkan muncul sebuah pemahaman yang lebih utuh mengenai konsep pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dalam perspektif administrasi publik dan bukan perspektif politik, mengenai siapa yang berhak atau berwenang memutuskan atau melaksanakan sebuah kebijakan.

Dalam kaitan ini maka ada jenis-jenis yang disebut sebuah kebijakan dalam tingkatan dan substansinya. Konstitusi negara adalah sebuah kebijakan juga yang dirumuskan oleh para pendiri atau mereka yang mewakili rakyat secara keseluruhan (MPR). Begitu juga Undang-undang adalah sebuah kebijakan yang ditetapkan oleh DPR dan mendapat pengesahan atau persetujuan presiden (pemerintah/eksekutif). Sementara itu ada juga kebijakan dalam tingkatan yang lebih rendah, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden, Peraturan Daerah dan seterusnya yang diputuskan oleh pihak eksekutif (pemerintah/government). Bahkan dalam tingkatan yang lebih rendah lagi juga ada, karena setiap aparatur birokrasi dalam menjalankan kebijakan itu juga mengambil kebijakan, termasuk ketika aparatur negara itu tidak menjalankan kebijakan atau diam saja dan membiarkan sebuah kebijakan itu tidak berjalan sebagaimana kerangka normatif atau yang seharusnya.

Secara umum kebijakan itu menurut Said Zainal Abidin (2004:31-33) dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:

a. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.

Page 38: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

28 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

b. Kebijakan pelaksanaan, yaitu kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, bisa berupa peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.

c. Kebijakan teknis, yaitu kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.

Semua kebijakan itu memiliki peranan yang penting terhadap kualitas implementasi kebijakan. Jangan dikira hanya jenis kebijakan tertentu yang paling berperanan, misalnya kebijakan yang tergolong teknis operasional dalam bentuk Juklak dan Juknis misalnya. Semua kebijakan yang ada merupakan rangkaian atau satu kesatuan yang memiliki peran besar dalam proses pelaksanaan atau implementasi sebuah kebijakan dalam mencapai tujuannya.

2. Pengertian Kebijakan Publik

Konsep terbaru dari administrasi publik menunjukkan bahwa paradigma kebijakan publik sebagai salah satu dimensi dari administrasi publik, sudah menghapus konsep dikotomi antara politik dan administrasi. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Gullick (1933), dalam Thoha (2002:70) bahwa:

"The division between politics and administration would be replaced with the division between policy veto and policy planning and execution".

Menelaah pendapat yang dikemukakan oleh Gullick di atas, tampak bahwa pembagian antara politik dan administrasi akan diganti dengan pembagian antara penolakan kebijakan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Penolakan kebijakan (policy veto) merupakan tindakan politik, sedangkan perumusan dan pelaksanaan kebijakan merupakan tindakan administrasi. Banyak definisi-definisi administrasi publik yang telah menjalani revisi, dimana hal tersebut dapat dilihat dari beberapa definisi seperti dikemukakan oleh Frederickson (1980, 1997), Hughes dan Owen (1994) maupun Ferrel (1991) sebagaimana dikutip dalam Henry (1988) dalam bukunya Public Administration and Public Affair.

Pada kesempatan lain Nigro and Nigro seperti dikutip oleh Rosenbloom (1986: 5) mengatakan “Public administration... has an important role in the formulation of public policy, and this is part of the political process.".

Page 39: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

29 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Yang lebih tegas mengenai keterkaitan antara administrasi publik dengan kebijakan publik dapat dilihat dari definisi Pfiffner dan Presthus (1960:4) yang mengatakan:

a. Public administration involves the implementation of public policy which has been determined by representation political body.

b. Public administration maybe defined as the coordination of individual and group efforts to carry out public policy. It is mainly occupied with the daily work of governments.

c. In sum, Public Administration is a process concerned, encompassing innumerable skills and techniques large numbers of people".

Definisi di atas jelas menunjukkan bahwa kebijakan publik merupakan salah satu karakter dari administrasi publik, meskipun masih terbatas pada kegiatan pelaksanaan (implementasi) kebijakan yang telah dibuat oleh badan yang lain. Sedangkan pada perspektif yang lain, administrasi publik tidak hanya berfungsi dalam implementasi kebijakan saja, tetapi juga di dalam proses perumusan (formulasi) dan proses evaluasi kebijakan.

Hal tersebut dikemukakan oleh Henry dalam Public Administration and Public Affairs (1988:3) yang mengatakan:

"For the letter part of the locus of the twentieth century, the public bureaucracy has been the locus of public policy formulation and the major determinant of where this country is going".

Dari definisi-definisi di atas, maka Singadilaga dalam sari kuliahnya mengatakan:

"Bahwa peranan lembaga-lembaga pemerintahan bukan saja melaksanakan kebijakan negara, tetapi juga berperan dalam merumuskan kebijakan tersebut. Peranan kembar yang dimainkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan tersebut memberikan gambaran betapa pentingnya peranan administrasi negara dalam proses politik."

Kajian terhadap dimensi kebijakan publik sangat penting bagi administrasi publik, karena berkaitan dengan strategi yang harus diambil dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Strategi tersebut meliputi penetapan sasaran dan tujuan yang harus dicapai, serta perencanaan untuk menetapkan struktur organisasi badan pelaksana serta sumber-sumber lain yang diperlukan.

Page 40: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

30 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Sebagaimana dikemukakan oleh Dye (1978), merujuk pada orang pertama yang dianggap mempelajari kebijakan (policy) secara sistematis adalah John Dewey (1950), dalam bukunya yang terkenal" Logic: The Theory of Inquiry" Dewey memberi perhatian untuk mengukur hasil-hasil kebijakan, berikut rencana-rencana tindakan, alternatif-alternatif serta akibat-akibat yang mungkin timbul. Pemikiran Dewey ditindaklanjuti oleh Harold D. Laswell dan Daniel Learner melalui bukunya "The Policy Science" (1951) dan kemudian "A Preview of Policy Science" (1971), yang intinya menyatakan bahwa kebijakan telah menunjukkan kelasnya sebagai sebuah ilmu pengetahuan.

Sebagai ilmu yang relatif baru, maka dalam mempelajarinya Laswell dan Learner melakukan pendekatan kebijakan dari dimensi pengamatan sosial, psikologi dan perumusan alternatif kebijakan yang melampaui batas-batas sosial psikologi. Laswell tidak memerinci luas lingkup penerapan ilmu kebijakan, yang jelas bahwa lapangan kerja ilmu tersebut berlaku untuk lingkungan pemerintah maupun lingkungan bisnis. Hal itu berbeda dengan definisi dari Dror (1983:3) tentang kebijakan, yang sudah mempersoalkan wilayah kebijakan sebagai berikut:

"The unique core of policy studies is policy making, as a subject for study and improvement. This includes both policy making as purposive process as well as specific policy issues and policy areas. Understanding how policies involve and improving policy making in general and specific policies in particular are the scope, content and mission of policy studies."

Sedangkan Nagel (1990:xv) secara lebih tegas membatasi medan studi kebijakan pada dua hal yaitu: (1) mengenai isi, sebab, dan akibat dari alternatif-alternatif bertalian dengan masalah-masalah kemasyarakatan dan (2) kebijakan publik sebagai obyek studi ilmu kebijakan, sedangkan kebijakan bisnis tidak dimasukkan ke dalamnya.

Namun demikian eksistensi kebijakan bisnis merupakan realitas atau fenomena yang terjadi di dalam kegiatan administrasi. Oleh karena itu, dalam konteks ilmu administrasi terdapat dua medan perhatian ilmu kebijakan, yaitu kebijakan publik dan kebijakan bisnis, meskipun untuk keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Gilbert (1984) sebagaimana dikutip dalam Nagel (1990), yang mengemukakan bahwa; public administration has studied policy formulation differently than have their counterparts in business administration maybe similiar to these in

Page 41: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

31 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

business, policy making in public administration is more complex than in business.

Secara eksplisit Gilbert mengemukakan bahwa studi formulasi kebijakan bisnis sekaligus berbeda dengan kebijakan publik dalam obyek pengamatan dan konteks serta lingkup permasalahannya. Namun diakui bahwa kebijakan merupakan salah satu substansi dalam administrasi negara.

Tidak mudah untuk memberikan definisi kebijakan publik secara tepat, karena studi kebijakan publik menyangkut aspek yang sangat luas. Secara umum dinyatakan bahwa kebijakan publik menggambarkan hubungan antara pemerintah dengan lingkungannya, yaitu berkaitan dengan produk-produk berupa keputusan-keputusan dalam menyelesaikan urusan-urusan publik dan pelayanan masyarakat. Untuk memberikan gambaran lebih luas, di bawah ini akan dikemukakan pendapat beberapa ahli.

Dye (1978:1) menggambarkan bahwa "Public Policy as anything a government choose to do or not to do". Definisi ini mengandung dua makna yaitu bahwa pemerintah merupakan aktor pembuat kebijakan pemerintah, dan kedua bahwa kebijakan pemerintah itu merupakan pilihan dari aparatur pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan Jenkins yang dikutip oleh Howlett dan Ramesh (1995:5) mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah sebagai satu rangkaian keputusan yang saling berhubungan, yang diambil oleh aktor politik atau kelompok aktor mengenai pemilihan tujuan dan cara mencapainya diantara struktur khusus dimana keputusan itu diambil. Disini Jenkins mengakui bahwa kebijakan pemerintah merupakan seperangkat keputusan dan merupakan satu proses dan berorientasi pada tujuan.

Sedangkan Dunn (1981:6) mengartikan kebijakan politik sebagai:

"Arahan otoritatif bagi penyelenggaraan tindakan pemerintah dalam wilayah negara, kabupaten dan kota yang dikukuhkan oleh legislatif, aturan main administrasi, dukungan publik yang mempunyai pengaruh terhadap warga masyarakat dalam suatu wilayah pemerintahan."

Anderson yang dikutip oleh Islamy (1991:21) mendefinisikan kebijakan publik sebagai berikut:

"1. Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu. 2. Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah. 3. Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah dan bukan apa yang dimaksud akan dilakukan. 4. Kebijakan

Page 42: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

32 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai sesuatu masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu). 5. Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundang-undangan tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif)."

Hoogerwerf (1978:7) berpendapat bahwa kebijakan sebagai usaha mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana tertentu dan dalam urutan waktu yang tertentu. Sedangkan kebijakan pemerintah adalah kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah dan instansi pemerintah.

Lembaga Administrasi Negara-LAN (1995:2)memberikan pengertian kebijakan pemerintah, yaitu:

"Bila dihubungkan dengan kebijakan pemerintah secara umum, maka kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dan aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan tertentu dan golongan ke dalam ruangan lingkup, yaitu: 1. lingkup nasional dan 2. lingkup wilayah/daerah."

Kebijakan publik merupakan kewenangan yang dimiliki pemerintah dalam suatu sistem politik, dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai pada masyarakat sebagai sarana untuk terpenuhinya kepentingan masyarakat. Alokasi nilai-nilai tersebut dilakukan secara paksa berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Hal tersebut sejalan dengan definisi dari David Easton dalam Dye (1987:3) "Public Policy as the authoritative allocation of values for the whole society".

Akan tetapi tidak semua keputusan yang dibuat oleh pemerintah dapat dinilai sebagai sebuah kebijakan publik. Ada beberapa karakter yang harus dipenuhi, sebagaimana dikemukakan oleh Anderson (1991;21).

a. Harus mempunyai tujuan, atau berorientasi pada tujuan b. Berisi tindakan atau pola tindakan dari pejabat-pejabat pemerintah c. Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, bukan

hanya tentang apa yang akan dilakukan d. Bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai masalah

tertentu), atau negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu)

e. Kebijakan publik yang positif selalu berdasarkan pada peraturan perundang-undangan tertentu dan bersifat memaksa (otoritatif).

Page 43: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

33 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Oleh karena itu ada beberapa komponen yang harus dimiliki agar dapat dinilai sebagai sebuah kebijakan publik, yaitu harus adanya:

a. Tujuan (goals) yang ingin dicapai b. Rencana (plan/proposal), berupa pengertian spesifik untuk mencapai

tujuan c. Program, rangkaian kegiatan yang diarahkan untuk mencapai tujuan d. Kegiatan, yaitu langkah aksi untuk merealisasikan program e. Akibat kebijakan (effect), yaitu dampak nyata kebijakan, baik yang

disengaja atau tidak disengaja, positif maupun negatif, primer ataupun sekunder.

Dari pengertian-pengertian di atas, terlihat bahwa kebijakan publik adalah merupakan kewenangan pemerintah dalam suatu sistem politik, berupa pengalokasian nilai-nilai pada masyarakat, sebagai sarana untuk terpenuhinya kepentingan masyarakat. Alokasi nilai-nilai tersebut dilakukan secara paksa berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Hal tersebut sejalan dengan pendapat David Easton dalam Dye (1987;3), bahwa: “Public policy as the authoritative allocation of values for the whole society".

Dilihat dari tingkatannya, menurut Gladden (Badri,1982:32) kebijakan publik dapat dibedakan menjadi kebijakan politik (political policy), kebijakan eksekutif (executive policy), kebijakan administrasi (administrative policy), kebijakan teknis (technical or operational policy). Kemudian Siagian (1985:49) berpendapat bahwa kebijakan pemerintah terdiri dari 3 tingkatan kebijakan, yaitu 1) kebijakan umum, yang sifatnya mendasar dan prinsipil; 2) kebijakan pelaksanaan, yang kadang-kadang juga dikenal dengan istilah kebijakan operasional; dan 3) kebijakan teknis.

Sedangkan Suradinata (1993:82) membagi kebijakan menjadi 5 tingkat kebijakan pemerintah, yaitu: 1) Kebijakan nasional; 2) Kebijakan umum; 3) Kebijakan pelaksanaan; 4) Kebijakan teknis; dan 5) Kebijakan wilayah atau daerah. Adapun Mazmanian dan Sabatier (1983:12) membagi kebijakan pemerintah ke dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu: Implementasi dari suatu program tetapi khususnya termasuk banyak organisasi atau beberapa level pemerintahan dapat dipandang dari tiga perspektif yang berbeda: 1) pembuat kebijakan awal, pusat; 2) level pejabat pelaksana lapangan, daerah dan 3) aktor privat kepada siapa program itu diarahkan, target grup.

Mustopadidjaja (1999:11) membedakan level kebijakan pemerintah di Indonesia ke dalam 6 level, yaitu:

Page 44: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

34 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

a. Tahap kebijakan puncak, bentuknya berupa ketetapan MPR sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, dekrit kepala negara, Peraturan kepala negara.

b. Tahap kebijakan umum, bentuknya berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Penetapan Presiden, Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden.

c. Tahap kebijakan khusus, bentuknya berupa Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Instruksi Menteri dan Surat Edaran Menteri.

d. Tahap kebijakan teknis, bentuknya berupa Peraturan Direktur Jenderal, Keputusan Direktur Jenderal dan Instruksi Direktur Jenderal.

e. Tahap kebijakan kewilayahan Dati I (Provinsi) bentuknya berupa Peraturan Daerah Provinsi dan Keputusan Gubernur serta Instruksi Gubernur.

f. Tahap kebijakan wilayah Dati II (kabupaten dan kota) bentuknya berupa Peraturan Daerah Kabupaten dan Kota dan Keputusan Bupati/Walikota serta Instruksi Bupati/Walikota.

Dari berbagai uraian di atas, kebijakan publik dapat diartikan sebagai ketetapan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu tindakan, yang berorientasi tujuan dan bersifat memaksa untuk kepentingan seluruh masyarakat. Dimana bobot kebijakannya bertingkat, tergantung dimana dan siapa yang menetapkan kebijakan tersebut.

Kebijakan publik merupakan bidang studi maupun bidang praktek yang luas dan kompleks, karena melibatkan berbagai unsur kehidupan serta berbagai unsur kepentingan. Paling tidak ada dua unsur pokok yang tercakup dalam suatu kebijakan, yaitu: tujuan kebijakan (policy objective), serta cara atau peralatan yang digunakan untuk mencapai tujuan (policy instrument).

Tujuan yang ingin dicapai merefleksikan nilai-nilai yang ingin diwujudkan, sehingga akan mempengaruhi cara, langkah dan peralatan yang harus dipilih (Tinbergen; 1967; Mustopadidjaja; 1986:7). Karena dalam suatu kebijakan terdapat unsur-unsur, atau komponen-komponen yang satu sama lain saling berinterrelasi, berinteraksi, saling mempengaruhi dan saling ketergantungan satu sama lain, sehingga terwujud sistem kebijakan.

Dunn (1981:46), mengemukakan hal tersebut sebagai berikut: " The overall institutional pattern within policies are made, involves interrelationships among three element: public policies, policy stakeholders and policy environment".

Page 45: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

35 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Jadi ada tiga komponen kebijakan yang menurut Dunn membentuk sistem kebijakan, yaitu: (1) kebijakan itu sendiri, (2) pembuat dan pelaksana kebijakan (stakeholders) dan (3) lingkungan kebijakan. Interelasi dari ketiganya dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1.1: Policy System (Dunn; 1981: 46)

Masih dalam konteks yang sama, Dye (1987:6) mengajukan juga tiga komponen sistem kebijakan meskipun dengan istilah yang agak berbeda, tetapi memiliki makna yang hampir sama.

Gambar 1.2: Policy System

(Dye;1978:6)

Garis-garis dengan tanda A, B, C, D, E dan F menggambarkan pengaruh timbal balik diantara komponen-komponen kebijakan. Ada penggunaan istilah yang berbeda antara Dunn dengan Dye, yaitu mengenai komponen badan pembuat dan pelaksana kebijakan. Kalau Dunn menggunakan istilah policy stakeholders, maksudnya adalah orang-orang atau organisasi yang berperan dan bertanggung jawab dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan, serta mereka-mereka yang menjadi kelompok sasaran. Sedangkan Dye, untuk kelompok tersebut menggunakan pendekatan kelembagaan, pendekatan proses dan pendekatan perilaku, dari orang-orang atau organisasi yang menjadi perumus dan pelaksana kebijakan, termasuk mereka-mereka yang menjadi kelompok sasaran.

Policy Stakeholders

Policy Environment Public Policy

Institution, Processes, behavior

Environment Forces and condition

Public Policies

A

D

C

B

E F

Page 46: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

36 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Hal yang berbeda diintrodusir oleh Mustopadidjaja (1999: 4) yang memisahkan antara badan pembuat dan pelaksana kebijakan atau pelaku kebijakan (stakeholders), dengan kelompok sasaran kebijakan (policy target). Alasannya disamping posisi dan peranannya berbeda, juga memiliki nilai-nilai kepentingan yang seringkali berbeda. Bahkan Jones yang memberi nama kelompok sasaran tersebut sebagai "Abider", memisahkan dengan alasan kelompok tersebut dapat digunakan untuk menilai efektivitas kebijakan.

Berikut ini dapat dikutip definisi sistem kebijakan dari Mustopadidjaja:

"Sistem kebijakan adalah suatu tatanan kelembagaan dan individu atau kelompok individu yang berperan dalam sebagian atau keseluruhan proses kebijakan yang terdiri dari: (1) lingkungan kebijakan, (2) pembuat dan pelaksana kebijakan, (3) kebijakan itu sendiri dan (4) kelompok sasaran kebijakan."

Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan kebijakan adalah keadaan yang melatarbelakangi atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya isu (masalah) kebijakan. Pembuat dan pelaksana kebijakan adalah orang atau sekelompok orang atau organisasi yang mempunyai peranan tertentu dalam sistem dan proses kebijakan. Kebijakan itu sendiri merupakan keputusan atas serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu. Kelompok sasaran kebijakan adalah orang atau organisasi dalam masyarakat yang perilaku dan atau keadaannya ingin dipengaruhi oleh kebijakan bersangkutan.

Gambar 1.3: Sistem Kebijakan (Mustopadidjaja; 1999:4)

3. Terminologi Publik dan Masalah Publik

Berkaitan dengan terminologi kebijakan publik, maka tentu harus ada kebijakan non publik, atau yang disebut kebijakan privat. Untuk itu perlu

Kebijakan

Lingkungan Kebijakan

Kelompok Sasaran Kebijakan

Pembuat dan Pelaksana Kebijakan

Page 47: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

37 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

ada kejelasan mengenai terminologi publik, serta batasan kriteria masalah-masalah yang masuk dalam kategori masalah publik.

Tidak semua masalah yang menimpa dan dihadapi oleh masyarakat akan serta merta menjadi masalah publik, sehingga harus menjadi kewajiban negara dan pemerintah untuk menanganinya. Tidak semua masalah yang terjadi di tengah masyarakat akan menjadi isu publik, sehingga mengharuskannya menjadi agenda pemerintah. Masalah-masalah yang memiliki akibat terbatas, akan menjadi masalah privat, sehingga dapat dan harus ditangani oleh masyarakat sendiri. Sedangkan masalah-masalah publik adalah masalah-masalah yang memiliki dampak atau akibat luas, termasuk dapat berakibat kepada orang-orang yang tidak terlibat secara langsung.

Beberapa jenis dari peristiwa dan isu yang penting dalam konteks politik:

a. Peristiwa, yaitu kegiatan-kegiatan manusia atau alam yang dipandang memiliki konsekuensi pada kehidupan sosial.

b. Masalah, yaitu persoalan-persoalan manusia yang timbul untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan-keinginannya, yang harus diatasi dan dipecahkan

c. Masalah umum, yaitu persoalan kebutuhan manusia yang dihadapi oleh kebanyakan manusia yang tidak dapat dipecahkan secara pribadi

d. Isu, yaitu masalah publik yang bertentangan satu sama lain, atau masalah publik yang diperdebatkan

e. Area isu, yaitu sekelompok masalah publik yang saling bertentangan.

Pada kehidupan dalam konteks masyarakat, perbuatan seorang manusia dapat berakibat bagi manusia yang lain, sehingga harus dilakukan pengontrolan oleh masyarakat. Apabila dari hasil pengontrolan itu dampaknya terbatas, maka masuk dalam masalah pribadi. Sedangkan apabila berdampak luas, maka masuk menjadi masalah publik.

Istilah public dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dalam beberapa pengertian, yaitu:

a. Umum, misalnya public offering (penawaran umum), public ownership (milik umum), public utility (perusahaan umum), public transformation (kendaraan umum) dan sebagainya.

b. Masyarakat, misalnya public relation (hubungan masyarakat), public service (pelayanan masyarakat), public opinion (pendapat masyarakat), public interest (kepentingan masyarakat), dan sebagainya.

Page 48: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

38 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

c. Negara, misalnya public authorities (kewenangan negara), public finance (keuangan negara), public sector (sektor negara), public administration (administrasi negara).

Untuk istilah public policy, juga diterjemahkan dalam beberapa pengertian, yaitu menjadi: kebijakan negara, kebijakan pemerintahan, kebijakan publik. Tapi pada dasarnya ketiganya memiliki konotasi yang sama, dimana publik mengandung arti sebagai segala sesuatu yang menjadi kewenangan dari pemegang kekuasaan (negara, pemerintah). Sebagaimana pendapat Stuart Nagel (1988): "A public function is an activity that a majority or substantial quantity of the people in a society agree needs to be provided on a collective basis rather than on an individual basis. For instance national army, foreign relations, taxation, etc."

Pada negara modern, kebijakan publik berangkat dari pengaturan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berkembang semakin kompleks. Masyarakat yang dikonotasikan sebagai publik membutuhkan berbagai keputusan dalam bentuk kebijakan untuk mengatur dan bahkan memaksa semua kepentingan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu setiap kebijakan publik harus senantiasa berorientasi dan ditujukan bagi kepentingan masyarakat, yaitu sebagai sebuah formula untuk mengatasi berbagai masalah di dalam masyarakat.

Kebijakan publik hanya akan dibuat setelah timbul masalah di dalam masyarakat dan masalah tersebut sudah menjadi masalah publik. Oleh karena itu jangan pernah membuat kebijakan publik apabila belum diketahui adanya masalah publik, karena dalam keadaan demikian maka kebijakan yang dibuat pasti tidak akan membumi. Hal yang lain, jangan menetapkan kebijakan publik apabila belum mampu mengidentifikasi masalahnya secara tepat. Karena dalam keadaan demikian maka kebijakan yang dibuat tidak akan mampu menjadi formula yang tepat untuk mengatasi masalah yang sesungguhnya. Sama halnya seorang dokter, dia baru akan menetapkan formula terapi setelah memastikan diagnosa penyakit yang diderita seorang pasien secara tepat, sehingga formulanya akan efektif.

Sebuah kebijakan tidak boleh hanya bertumpu pada keadaan yang terjadi pada sebuah organisasi pemerintahan yang cenderung bersifat entrophi, juga jangan dibuat berdasarkan kepentingan elite yang berkuasa. Tetapi harus senantiasa berorientasi pada dinamika kehidupan masyarakat, serta aspirasi masyarakat luas.

Page 49: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

39 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Sistem birokrasi yang hanya menekankan pada unsur formalitas saja tanpa mengindahkan dan menghargai unsur-unsur manusia secara utuh, akan mengakibatkan kebijakan publik yang tidak tepat sasaran. Oleh karena itu pejabat politik harus memiliki kepekaan dan kemampuan untuk memikirkan bagaimana memilih dan membuat sebuah kebijakan publik yang tepat sasaran.

4. Tujuan dan Orientasi Kebijakan Publik

Secara umum kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen atau alat pemerintahan, bukan saja dalam arti sempit government-menyangkut aparatur negara melainkan juga dalam konteks yang lebih luas yaitu governance yang menyangkut berbagai bentuk kelembagaan-baik swasta atau dunia usaha serta lembaga civil society. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, finansial, dan manusia demi kepentingan publik. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang ada di masyarakat, sehingga jangan heran jika ada sebuah kebijakan dalam tingkatan operasional yang berbeda untuk kurun waktu yang berbeda di tempat yang berbeda untuk persoalan yang sama.

Kebijakan adalah sesuatu yang dinamis jika dikaitkan dengan rincian atau prioritas atas tujuan yang ingin dicapai. Karena sifat sebuah kebijakan yang dinamis, maka sebuah kebijakan untuk sebuah persoalan yang sama bisa saja memiliki tujuan, orientasi atau titik tekan yang berbeda, meskipun intinya adalah sama. Semua kebijakan yang ada itu secara formal senantiasa mendasarkan dirinya pada tujuan umum yang dicantumkan dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, namun tidak demikian dalam pelaksanaannya. Secara umum tujuan yang dimaksudkan bisa saja tidak banyak berubah, tetapi tidak demikian dengan rincian dan skala prioritasnya jika semua tujuan itu tidak bisa dicapai sekaligus. Perubahan ini terjadi karena sifat dasar dari sebuah kebijakan publik itu sendiri yang merupakan sebuah pilihan diantara sejumlah alternatif pilihan yang ada dan hendak dicapai. Bagi para pengambil kebijakan, maka keputusan atau ketetapan yang diambil itu tentu dimaksudkan akan membawa sebuah kebaikan bagi kehidupan warganya. Di sinilah soal

Page 50: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

40 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

pencapaian tujuan dan apa tujuan itu menjadi sangat penting untuk dikemukakan dan menjadi acuan bagi pelaksana kebijakan dan bahan evaluasi bagi pihak lain, termasuk masyarakat yang menjadi sasaran dari pelaksanaan kebijakan itu.

Dalam pengertian yang lebih luas, kebijakan publik sering diartikan sebagai 'apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan'. Seperti kata Bridgman dan Davis, The Australian Policy Handbook, seringkali, kebijakan publik tidak lebih dari pengertian mengenai 'whatever government choose to do or not to do'.

Sebagai sebuah pilihan, maka sangat besar peluang untuk terjadi perubahan kebijakan dan tujuan yang ingin dicapai. Bahkan seandainya kebijakan yang ada itu tidak dirubah secara formal, tetapi bisa saja titik tekan dan orientasi dari pelaksanaan kebijakan itu berubah atau bergeser secara signifikan dari sebelumnya, karena konstalasi sosial politik yang melingkupinya berubah signifikan. Dalam konteks ini tujuan sebuah kebijakan publik harus dicermati agar proses pencapaiannya menjadi lebih mudah setidaknya karena adanya kesamaan persepsi diantara stakeholders yang akan berperan dalam pelaksanaan kebijakan dimaksud.

Demikianlah bahwa begitu luas perspektif dan dimensi sebuah kebijakan dikaitkan dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam perspektif sebuah sistem dalam sebuah organisasi yang bernama negara atau pemerintahan, maka keberadaan kebijakan yang dihasilkan oleh sistem organisasi yang bersangkutan adalah sekedar alat untuk mencapai tujuan. Begitu juga kebijakan lain yang lahir dari sub sistem dalam organisasi tersebut muaranya adalah sama yaitu pencapaian tujuan organisasi. Secara umum, tujuan organisasi yang bernama negara itu terlihat jelas dalam sebuah konstitusi negara yang bersangkutan. Begitu juga tujuan organisasi dalam tingkatan organisasi yang lebih kecil dalam negara yang bersangkutan agar tergambar jelas dalam sebuah peraturan perundangan yang mendasari kelahirannya. Semua tujuan itu harus sejalan satu sama lainnya, meskipun bentuk dan cara yang digunakan untuk mencapainya bisa berbeda beda, namun muaranya harus sama.

Sama seperti manajemen yang sekedar alat untuk mencapai tujuan organisasi, maka kebijakan publik adalah bagian dari proses manajemen atau administrasi negara untuk mencapai tujuan negara. Hal demikian terungkap jelas dari sejumlah pengertian kebijakan publik yang dikemukakan oleh

Page 51: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

41 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

sejumlah ahli, dari yang tergolong klasik atau kontemporer. Misalnya Carl J. Fredrick yang memberikan definisi kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Begitu juga pandangan Islamy (1991:20), kebijakan publik dimaknai sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi seluruh kepentingan masyarakat.

Bila disederhanakan, maka sebuah kebijakan publik itu terdiri dari atau berupa sasaran atau tujuan program-program pemerintah. (... is what government say and do, or do not to do. It's the goals or purposes of government programs). Dalam kaitan ini Nakamura dan Smallwood (Wahab, 1990:4) melihat bahwa kebijakan publik sebagai keputusan yang mempunyai tujuan dan maksud tertentu, berupa serangkaian instruksi dan pembuatan keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara mencapai tujuan. Sedangkan WI Jenkins (1978:15) dalam Wahab (2001:4) mengatakan bahwa kebijakan sebagai, "Serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi di mana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari pada aktor tersebut." (A set interrelation decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of those actors to achieve).

Jelaslah bahwa aspek pencapaian tujuan itu menjadi sesuatu yang sangat penting dalam sebuah kebijakan. Jangan heran jika sebuah peraturan perundang-undangan itu yang sejatinya adalah sebuah kebijakan yang dikeluarkan penyelenggara negara di dalamnya pasti memuat sejumlah dasar alasan dan tujuan. Perlu dicatat bahwa setiap peraturan perundang-undangan adalah kebijakan, namun tidak setiap kebijakan diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan. Dengan demikian tidak semua kebijakan itu di dalamnya terkandung sebuah tujuan yang dinyatakan secara eksplisit, tetapi bisa saja hanya diungkapkan secara implisit atau secara tidak langsung. Terutama sebuah kebijakan yang sifatnya sangat teknis dan operasional yang

Page 52: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

42 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

notabene sangat dekat dengan apa yang disebut sebagai tujuan. Misalnya jika tujuannya adalah pembuatan jalan atau jembatan, maka sebuah kebijakan teknis operasional dalam proses pelaksanaan kegiatan pembangunan jembatan dan jalan itu tidak harus mencantumkan sebuah tujuan, karena tujuannya yang dimaksudkan sudah demikian nyata ada di depan mata.

Tujuan adalah tolok ukur sebuah kebijakan apakah berhasil atau sebaliknya dianggap gagal. Tujuan juga bisa berfungsi sebagai panduan, ketika tujuan itu bersifat umum dan tidak spesifik sifatnya. Ibarat sebuah mercusuar, tujuan adalah sebuah panduan dari sebuah kapal agar tidak salah sasaran atau kehilangan orientasi dalam menjalankan aktivitasnya. Begitu juga sebuah kebijakan dibuat untuk dijadikan panduan bagi pelaksana kebijakan dan sekaligus arah yang harus dituju. Bagi masyarakat, maka tujuan itu adalah sebuah harapan agar bisa diwujudkan, sekaligus merupakan alat untuk melakukan evaluasi atas kinerja pelaksana kebijakan. Jangan yang menjadi akar persoalannya adalah tujuan itu sendiri yang dianggap terlalu luas, umum dan tidak jelas, sehingga sulit untuk mencapainya.

Ditetapkannya sebuah tujuan itu bukan sekedar deretan daftar keinginan, tetapi harus sudah diukur berdasarkan kondisi obyektif, misalnya bahwa tujuan itu diyakini bisa dicapai meskipun tidak sekaligus atau sebagiannya saja, inkremental, gradual dan seterusnya untuk sampai pada tujuan yang sebenarnya. Semua itu sangat penting dirumuskan dalam sebuah kebijakan khususnya kebijakan yang sifatnya lebih teknis dan operasional. Dengan cara demikian akan mudah bagi siapa saja untuk melakukan pengawasan atau evaluasi dalam pelaksanaannya dan menilai secara obyektif kinerjanya. Dengan demikian sesungguhnya proses kebijakan itu tidak berhenti pada ditetapkannya sebuah kebijakan dengan sejumlah tujuannya, tetapi merupakan siklus yang berkelanjutan (mengenai hal ini akan di bahas dalam bab berikutnya).

5. Faktor-faktor Umum Kebijakan

Kebijakan adalah sesuatu yang lahir dari sebuah proses interaksi antara berbagai kepentingan, sehingga keberadaannya tidak vacuum secara sosial. Artinya ada sejumlah faktor yang mempengaruhi lahirnya sebuah kebijakan, baik dari sisi internal atau eksternalnya. Tidak heran jika dikatakan

Page 53: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

43 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

bahwa sebuah kebijakan publik adalah produk dari sistem politik dan budaya dari masyarakatnya, produk perkembangan ekonomi dan sosial dari negara yang bersangkutan. Tetapi juga sebaliknya bahwa sebuah kebijakan dalam banyak hal memiliki pengaruh yang menentukan terhadap postur atau penampilan sistem politik, perkembangan ekonomi dan kualitas sosial negara yang bersangkutan. Sejarah mencatat bahwa kebijakan pemerintah Kolonial Belanda pada masa Daendels (sekitar 1810) yang membangun jalan trans Jawa (Anyer-Panarukan) sampai sekarang masih memiliki pengaruh yang besar terhadap sistem perekonomian di pulau Jawa.

Suka tidak suka administrasi pemerintahan Indonesia di awal kemerdekaan adalah kelanjutan dari administrasi Hindia Belanda. Artinya struktur negara Indonesia bukanlah struktur yang sama sekali baru, meskipun substansinya berbeda atau baru jika dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai. Namun tidak demikian dalam sejumlah hal lainnya, termasuk budaya dan perilaku birokrasi yang ketika itu masih sangat dipengaruhi oleh sistem kolonial. Begitu juga saat ini ketika terjadi perubahan konstalasi sosial politik pasca berakhirnya kekuasaan presiden Soeharto, perilaku dan budaya birokrasi yang ada sekarang masih merupakan kelanjutan dari yang sebelumnya. Meskipun telah ada upaya melakukan sejumlah perubahan dan perbaikan agar kompatibel dengan sistem sosial politik yang baru, namun hal demikian tidak mudah dilakukan. Kedua hal di era yang berbeda itu merupakan sebuah contoh bahwa sistem administrasi negara dan kebijakan yang dihasilkannya itu sarat dengan pengaruh kondisi sosial yang ada. Masing-masing faktor pengaruh itu memiliki kualitas atau derajat pengaruh yang berbeda beda terhadap sistem yang hendak dipengaruhinya.

Pengaruh serupa juga berlaku terhadap proses implementasi kebijakan. Bukan hanya kebijakannya sendiri yang dalam proses kelahirannya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, tetapi juga dalam proses implementasinya. Dalam proses implementasi sebuah kebijakan, para ahli antara seperti Grindle (1980) mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Secara umum dari sejumlah faktor yang ada bisa ditarik benang merah faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik. Faktor-faktor tersebut antara lain; pertama, berupa isi atau content kebijakan tersebut. Kedua, adalah faktor sang implementator dan kelompok target. Ketiga, adalah faktor lingkungan dimana kebijakan itu akan diimplementasikan. Secara teoritis ketiga hal tersebut tidak berdiri sendiri melainkan saling berinteraksi satu

Page 54: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

44 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

sama lainnya yang pada gilirannya memberikan pengaruh terhadap proses pelaksanaan sebuah kebijakan.

Sementara itu dalam konteks dan rumusan yang berbeda George Edwards III (1980) mengungkapkan ada empat faktor dalam mengimplementasikan suatu kebijakan publik yaitu:

a. Komunikasi b. Sumber daya c. Disposisi atau perilaku d. Struktur Birokratik

Keempat faktor tersebut merupakan sesuatu unsur yang secara simultan bekerja dan berinteraksi satu sama lain yang pada gilirannya membawa pengaruh dalam proses implementasi suatu kebijakan. Keempat faktor akan menjadi acuan dan pembahasan dalam buku ini dalam kaitannya dengan implementasi kebijakan keselamatan dan kesehatan ketenaga-kerjaan (K3) di Indonesia. Kajian teoritis mengenai keempat faktor tersebut secara lebih detail dan rinci akan mendapat kajian dan pembahasan dalam bab-bab berikutnya.

Secara teoritis, sebuah kebijakan yang baik dari sisi isi atau content itu setidaknya harus memiliki karakteristik sebagai berikut: jelas, tidak distortif, didukung oleh dasar teori yang teruji, mudah dikomunikasikan ke kelompok target, didukung oleh sumberdaya baik manusia maupun finansial yang baik. Begitu juga keberhasilan pelaksanaan kebijakan juga dipengaruhi oleh siapa yang melaksanakannya dan siapa yang menjadi sasaran atau target (target groups). Artinya sang implementator harus mempunyai kapabilitas, kompetensi, komitmen dan konsistensi untuk melaksanakan sebuah kebijakan sesuai dengan arahan dari penentu dan pembuat kebijakan (policy makers). Di sisi lain, mereka yang menjadi sasaran atau target dari kebijakan itu juga tidak bisa diabaikan peranannya. Asumsinya, sebuah kelompok target yang terdidik dan relatif homogen akan lebih mudah menerima sebuah kebijakan daripada kelompok yang tertutup, tradisional dan heterogen.

Berikutnya adalah faktor lingkungan dari sebuah kebijakan yang hendak diimplementasikan. Yang dimaksud lingkungan ini adalah lingkungan sosial dalam arti luas, dan bukan lingkungan fisik, meskipun fisik dalam beberapa hal juga memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan karena pengaruh faktor lingkungan fisik itu relatif mudah diukur dan 'dikalkulasikan'.

Page 55: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

45 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Berbeda dengan lingkungan sosial yang semuanya sangat relatif dan sulit untuk diukur, tetapi nyata sekali pengaruhnya terhadap implementasi sebuah kebijakan. Misalnya konstalasi politik, kondisi sosial-ekonomi, dukungan publik maupun kultur masyarakat adalah merupakan faktor lingkungan yang sangat besar pengaruhnya terhadap proses implementasi kebijakan dalam mencapai tujuannya.

Contohnya adalah kondisi sosial politik Indonesia saat ini, meskipun konstalasi sosial politik sudah sangat mendukung untuk melaksanakan sejumlah kebijakan terkait reformasi birokrasi, tetapi dalam implementasinya ternyata masih jauh panggang dari api. Salah satu faktor sebabnya adalah budaya dan perilaku birokrasi yang sulit untuk dirubah hanya dengan melakukan sejumlah perubahan di tingkat kelembagaan. Jangan heran jika dalam kondisi sosial ekonomi sebuah masyarakat yang maju, sistem politik yang stabil dan demokratis, adanya dukungan yang kuat dari elit penguasa, dan budaya keseharian masyarakat yang mendukung, maka semua itu diyakini akan mempermudah implementasi sebuah kebijakan. Sementara itu sejumlah prasyarat atau kondisi yang mendukung tersebut belum sepenuhnya dimiliki Indonesia, sehingga wajar jika dalam implementasi kebijakan yang dihasilkan sering mendapat hambatan dari faktor 'eksternal.

Belum lagi jika dalam sisi 'internal' kebijakan itu sendiri yang ditengarai banyak menimbulkan persoalan, maka implementasi kebijakan yang bersangkutan semakin sulit dilaksanakan. Masalah yang datang dari sisi internal kebijakan tersebut antara lain jika kebijakan yang dihasilkan itu sarat dengan kompromi politik sempit dalam arti 'dagang sapi', dan bukan lebih didasarkan pada kebutuhan obyektif untuk mengatasi persoalan yang menjadi sasaran kebijakan yang bersangkutan. Dalam konteks ini proses pembuatan dan perumusan kebijakan juga menjadi sesuatu yang sangat penting dalam keseluruhan sistem kebijakan karena ia akan menentukan kualitas isi atau content dari kebijakan yang dihasilkan. Bagaimanapun kualitas sebuah kebijakan itu sangat ditentukan oleh isi atau content yang dikandung dalam kebijakan yang bersangkutan sebelum ia harus diimplementasikan. Bagaimana sebuah kebijakan dilaksanakan dengan baik jika isi atau content yang diaturnya tidak jelas dan samar atau multi tafsir. Kondisi demikian tentu akan membingungkan para pelaksana di lapangan sehingga interpretasinya akan berbeda.

Page 56: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

46 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

6. Indikator Keberhasilan Kebijakan

Sungguh tidak mudah untuk menilai apalagi mengukur secara matematika akan keberhasilan sebuah kebijakan. Sesuatu kebijakan yang dinilai baik atau berhasil oleh sebagian orang lain atau sementara golongan tertentu belum tentu demikian oleh sebagian orang atau kelompok masyarakat yang lain. Ukuran sebuah keberhasilan pelaksanaan kebijakan itu bukan hanya karena ia telah dilaksanakan sesuai dengan tenggat waktu dan tidak ada sepeserpun uang yang dikorupsi, sementara bentuk fisik dari apa yang dimaksud oleh kebijakan itu seperti gedung atau bangunan fisik lainnya sudah terwujud. Ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang kompleks dan sangat substantif jika dikaitkan dengan hakekat dan tujuan dasar dari kebijakan. Hakekat dan tujuan dari kebijakan itu biasanya sangat substantif dan seringkali kualitatif sifatnya, sehingga sejak awal memang sulit diukur. Misalnya tujuan untuk memberikan kemudahan pelayanan publik yang lebih baik dan berkualitas.

Meskipun sifat dasar dari tujuan kebijakan yang memang sulit diukur, tidak berarti keberadaannya tidak perlu diukur atau dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting untuk dipersoalkan. Justru keberhasilan atau sebaliknya kegagalan kebijakan itu merupakan sesuatu yang sangat penting untuk senantiasa dicermati dan dipersoalkan kemungkinannya, bahkan sejak awal kebijakan itu dirancang. Disinilah pentingnya sebuah indikator dan tolok ukur sebuah keberhasilan kebijakan, termasuk kebijakan itu sendiri, apakah sudah tergolong baik atau memang sejak dirumuskan sudah banyak masalah, misalnya prosesnya yang tidak aspiratif dan top down. Keberadaan tolok ukur atau indikator keberhasilan kebijakan itu sangat penting setidaknya untuk mendekati pada apa yang sebenarnya diinginkan oleh pembuat kebijakan di satu sisi dan masyarakat di sisi lain yang notabene adalah sasaran (target groups) dari kebijakan tersebut.

Kebijakan hanya akan menjadi kebijakan atau cita-cita semata kalau tidak dapat dilaksanakan. Untuk dapat diterapkan, kebijakan memerlukan instrumen atau perangkat dan alat kebijakan (policy instruments). Instrumen diterjemahkan kembali sebagai strategi, program, proyek, petunjuk teknis pelaksanaannya di lapangan, maupun metode, alat dan teknik analisis untuk evaluasi dan pemantauan atas kebijakan yang diterapkan. Adapun alat ukur atau indikator untuk menilai atau melihat keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan adalah bagian dari instrumen atau alat kebijakan tersebut.

Page 57: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

47 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Dibuatnya sejumlah indikator atau alat ukur keberhasilan sebuah program merupakan bagian dari alat evaluasi atau pengawasan sebuah kebijakan agar senantiasa berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dengan demikian sejatinya ia adalah sesuatu yang built-in (melekat) dalam sebuah kebijakan itu sendiri, meskipun bisa menjadi sesuatu yang berada di luar kebijakan itu sendiri, tetapi sengaja dibentuk untuk menilai dan mengukur sebuah kebijakan.

Jika kebijakan publik itu merupakan alat dari manajemen untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, maka diperlukan alat ukur untuk menilainya. Adanya alat ukur ini akan memudahkan bagi siapa saja agar bisa lebih obyektif memberikan penilaian, dibandingkan jika tidak tersedia alat ukur beserta indikatornya yang bisa digunakan dan dipahami secara bersama untuk mengukurnya. Idealnya semua kebijakan itu mudah dibuat, mudah dilaksanakan, mudah dikendalikan, dan mudah mengukur keberhasilan atau kegagalannya. Tetapi karena kebijakan publik menyangkut politik dan aspek-aspek lain yang sifatnya kualitatif, maka tidak akan mudah bagi siapa saja untuk melakukan pengukuran. Disebut demikian karena misalnya kebijakan pendirian sebuah gedung yang dimaksudkan akan meningkatkan kualitas pelayanan tidak otomatis bisa terwujud dengan berdirinya gedung tersebut. Bisa jadi pelayanan tersebut hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang, bisa jadi hal-hal yang sebaliknya yang muncul dan seterusnya.

Tidak jarang, sebuah keberhasilan dalam konteks pendirian gedung, jalan dan jembatan dan sarana pelayanan publik itu hanya merupakan proses untuk mencapai keberhasilan sebuah kebijakan yang sesungguhnya. Dalam bahasa indikator kebijakan, ia hanyalah indikator output, dan bukan indikator outcome, atau benefit dan impacts. Proses untuk menuju pada ketiga indikator yang disebutkan terakhir itu sungguh sulit, tetapi harus diupayakan untuk mengukurnya berdasarkan ketiganya agar substansi melaksanakan kebijakan itu benar-benar berkualitas, bukan sekedar telah memenuhi standar bahwa ia sudah dilaksanakan. Kondisi ini yang sering terjadi dalam pelaksanaan kebijakan publik, dimana tolok ukur kinerjanya hanya berhenti pada terselesaikannya sebuah proyek atau kegiatan.

Sebuah kegagalan pelaksanaan kebijakan tidak hanya diukur berdasarkan kesesuaiannya dengan standar dan prosedur (SOP) yang ditetapkan, tetapi juga terkait dengan apa yang disebut dengan kualitas akan hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impacts) dari sebuah kebijakan. Oleh karena itu sebuah kebijakan yang sudah dilaksanakan

Page 58: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

48 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

dengan baik tanpa ada penyimpangan dalam pelaksanaannya, seperti praktik korupsi berbagai praktik yang dianggap melawan hukum seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), belum tentu dianggap berhasil dari sisi indikator akan hasil dan manfaatnya bagi masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan. Di sini peran dan fungsi 'lingkungan' termasuk di dalamnya masyarakat sangat penting dalam proses pelaksanaan kebijakan dalam mencapai tujuannya. Masyarakat bersama stakeholders yang lain bisa secara bersama sama mendorong sejak awal proses pembuatan kebijakan hingga pelaksanaannya agar senantiasa menuju pada hasil (outcome) dan manfaat (benefit) yang sebesar besarnya pada apa yang diinginkan oleh mereka.

Jika fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah bagaimana menghasilkan pelayanan publik yang berkualitas, maka sejumlah indikator terkait dengan apa yang disebut pelayanan berkualitas bisa digunakan untuk mengukurnya. Begitu juga terkait dengan indikator mengenai efektifitas dan efisiensi mengenai sebuah pelayanan yang dihasilkan, maka dalam ilmu manajemen modern hal demikian sudah tersedia jika hendak digunakan untuk mengukurnya. Dengan demikian sesungguhnya untuk mengukur sebuah kebijakan itu berhasil atau sebaliknya gagal, tindakan terlalu sulit untuk melakukannya jika sejak awal sejumlah indikator untuk mengukurnya itu sudah disediakan dan kemudian disosialisasikan ke semua stakeholders’ yang dianggap kompeten untuk bisa mengukurnya secara akurat. Misalnya kepada kalangan profesi, akademisi dan LSM terkait dengan program kebijakan publik yang bersangkutan. Mereka itu, bersama sama dengan pemerintah yang bertugas untuk itu bisa melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap sebuah kebijakan, sehingga pada gilirannya bisa lebih obyektif menilai apakah sebuah kebijakan itu berhasil atau sebaliknya dianggap gagal.

Dengan demikian tidak terjadi kekacauan dalam sebuah penilaian sebuah kebijakan, meskipun pada dasarnya siapa saja boleh melakukan penilaian berdasarkan apa yang dilihat dan dirasakannya. Tetapi dengan adanya sejumlah indikator yang sudah teruji kehandalannya yang disepakati bersama, maka penilaian yang muncul akan lebih baik dan obyektif yang tentunya sangat berguna bagi upaya perbaikan dan penyempurnaan kebijakan yang sama pada periode berikutnya. Sesungguhnya ukuran kegagalan dan keberhasilan dalam pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang relatif karena sesuatu yang pada waktu dan di tempat tertentu

Page 59: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

49 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

dianggap gagal, bisa saja tidak demikian pada waktu dan tempat yang lain karena kondisi sosial politiknya berbeda. Meskipun sebagai sesuatu yang relatif, namun adanya tolok ukur kinerja kebijakan itu sangat penting, terlepas apakah hasil penilaian dengan tolok ukur yang disepakati itu akan menghasilkan sebuah nilai kekurang-berhasilan atau kegagalan.

Adanya sejumlah indikator yang bisa digunakan untuk mengukur sebuah kinerja kebijakan itu sangat penting karena sejak awal kebijakan itu adalah sebuah pilihan politik, sehingga kemungkinan besar tidak akan bisa memuaskan semua orang. Begitu juga dalam proses implementasi kebijakan, maka hasilnya pun tidak bisa memenuhi harapan atau keinginan semua orang. Bagi mereka yang belum atau bahkan tidak terakomodasi kepentingannya, maka akan dengan serta mengatakan kebijakan yang dilaksanakan adalah gagal, begitu juga sebaliknya. Namun dengan adanya standar penilaian, kriteria dan parameter yang obyektif berdasarkan sejumlah tolok ukur yang ada dan disepakati bersama, maka akan muncul penilaian yang obyektif dan berguna bagi perbaikan pengambilan dan pelaksanaan kebijakan di masa datang. Barangkali itulah salah satu kegunaan adanya sebuah tolok ukur terkait dengan indikator kinerja sebuah kebijakan, terutama dalam proses pelaksanaannya.

Page 60: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

50 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

BAB III

PROSES DAN SIKLUS KEBIJAKAN

1. Konsep Umum Penyusunan Kebijakan

Salah satu tugas dari sistem administrasi publik adalah membuat kebijakan atau policy maker dimana produknya dikenal dengan istilah kebijakan publik (puWicpolicy).Secara prosedural, apa yang disebut 'membuat' adalah sebuah proses panjang, melalui berbagai tahapan, sehingga lahirlah sebuah produk bernama kebijakan. Karena kebijakan itu merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka ia harus diuji dalam pelaksanaannya; sejauh mana tujuan yang dimaksudkan itu tercapai. Kebijakan itu dibuat sebagai alat untuk mengatasi sesuatu persoalan atau untuk mencapai tujuan, sehingga ia bukan tujuan itu sendiri. Sebagai sebuah alat, maka keberadaannya bisa ada dan bisa juga tidak diperlukan tergantung kebutuhan organisasi dan pembuatnya karenanya kebijakan itu juga sebuah pilihan. Jadi apa yang disebut membuat kebijakan itu tidak berhenti pada penetapan kebijakan, tetapi juga tahapan pelaksanaan dan evaluasi atau pengawasannya yang berguna sebagai umpan balik (feed back).

Dengan bahasa sehari hari, sepanjang ada persoalan di masyarakat yang perlu diselesaikan maka kebijakan publik yang dimaksudkan untuk mengatasinya akan senantiasa ada. Keberadaan kebijakan publik bukan hanya merupakan bagian penting dalam pelaksanaan administrasi negara atau administrasi publik, tetapi karena prinsip yang sangat sederhana bahwa kebutuhan masyarakat itu tidak dapat dipenuhi sendiri oleh masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini penyelenggara administrasi publik bisa melakukan kegiatan publik yang bernama pengkoordinasian dan

Page 61: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

51 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan publik. Oleh karena itu tugas administrasi negara itu sangat panjang dan berupa proses, mulai dari proses perencanaan hingga pengkoordinasian terhadap seluruh kegiatan yang berkaitan dengan tugas dalam melaksanakan kebijakan umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat suatu negara.

Dalam kaitan ini Nigro & Nigro (1973) menyatakan bahwa public administration has an important role in the formulation of public policy and is this part of political process. Artinya administrasi publik mempunyai peranan yang sangat penting dalam merumuskan kebijakan negara sebagai bagian dari proses politik. Tentu peran dan fungsi administrasi negara tidak berhenti sampai di situ, tetapi juga tahapan selanjutnya dalam pelaksanaan kebijakan. Kebijakan adalah sebuah proses yang tidak berhenti setelah kebijakan itu dibuat atau ditetapkan. Bahkan setelah kebijakan itu diimplementasikan atau dilaksanakan, maka keberadaan kebijakan itu tetap sangat penting dan merupakan bagian dari kebijakan berikutnya. Keberadaan penting untuk menjadi bahan masukan atau umpan balik bagi penyusunan kebijakan berikutnya yang dianggap sejenis, sehingga kebijakan yang dihasilkan akan lebih baik, tidak hanya dalam proses perumusan dan penetapannya, tetapi juga pelaksanaan dan hasil yang dicapai bisa memberikan manfaat dan dampak yang positif dan luas kepada masyarakat yang menjadi sasaran (target groups) sebuah kebijakan. Proses demikian merupakan sebuah siklus sehingga pada dasarnya tidak akan berhenti, kecuali tujuan yang diharapkan telah tercapai atau tidak perlu ada kebijakan serupa yang dimaksudkan untuk mencapainya.

Demikianlah hakekat sebuah kebijakan yang merupakan sebuah siklus atau proses yang berkelanjutan, seperti sebuah struktur lingkaran. Dalam kaitan ini sejumlah ahli merumuskan berbagai model dengan variasi langkah-langkah dalam proses penyusunan kebijakan itu. Menurut Anderson (1979) tahapan dalam proses kebijaksanaan publik terdiri dari: formasi masalah, formulasi kebijaksanaan, adopsi kebijaksanaan, implementasi kebijaksanaan, dan evaluasi kebijaksanaan. Agak berbeda menurut Jones (1984) bahwa proses kebijaksanaan publik terdiri dari: persepsi, definisi, agregasi, organisasi, evaluasi, dan terminasi kebijaksanaan. Tentu masih banyak lagi ahli yang mencoba merumuskan proses penyusunan kebijakan yang merupakan sebuah siklus itu.

Sebagai sebuah siklus, jika di awal penyusunan kebijakan itu ada tahapan yang berupa formulasi kebijakan, maka di ujung kebijakan itu ada

Page 62: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

52 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

tahapan yang disebut re-formulasi kebijakan atau penyusunan kembali. Begitu juga tahapan-tahapan berikutnya. Bahkan diantara tahapan itu yang sebenarnya secara simultan terus berlangsung mengikuti proses yang sedang berlangsung. Misalnya tahapan pengawasan, evaluasi atau apapun sebutan dan namanya yang senantiasa melekat pada semua tahapan untuk memastikan bahwa proses penyusunan kebijakan itu berjalan dengan baik. Dalam praktiknya semua tahapan dalam penyusunan kebijakan itu relatif sifatnya atau tidak bersifat kaku apalagi dikotomik. Disebut demikian karena sebagai proses sosial dan proses politik, kebijakan itu merupakan sesuatu yang dinamis. Bisa saja kebijakan itu berubah secara signifikan di tengah jalan oleh sebab dan pengaruh tertentu pada semua tahapannya.

Meskipun demikian, secara umum proses kebijaksanaan publik terdiri dari minimal tiga tahap sebagai berikut: formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Pada tahapan formulasi kebijakan ini dibahas antara lain berupa cara masalah publik memperoleh perhatian dari pembuat kebijakan, cara perumusan usul kebijakan, dan cara memilih salah satu usul kebijaksanaan di antara alternatif-alternatif. Pada tahapan formulasi kebijakan ini kepentingan publik sangat dipertaruhkan keberadaannya, apakah mendapat tempat yang layak atau sebaliknya terpinggirkan oleh kepentingan kelompok atau golongan yang lebih sempit. Ibarat sebuah bangunan, tahapan formulasi kebijakan dapat diibaratkan sebagai pondasi bangunan yang bersangkutan. Atau juga merupakan bahan atau material dasar yang akan menentukan kualitas sosok bangunan yang akan dibuat. Dengan demikian secara substantif tahapan formulasi kebijakan sejatinya sangat penting dan menentukan kualitas sebuah kebijakan.

Begitu juga pada tahapan implementasi kebijakan, setelah kebijakan itu diratifikasi atau ditetapkan, merupakan sesuatu yang tidak kalah pentingnya. Sebagus apapun kebijakan itu dibuat dan diformulasikan jika tidak bisa diimplementasikan, maka keberadaannya hanya seperti daftar menu atau daftar keinginan karena tidak aktual dan fungsional. Oleh karena itu tahapan implementasi kebijakan ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai tahapan yang paling sulit dalam rangkaian proses kebijakan. Begitu juga tahapan evaluasi sebuah kebijakan tidak bisa dianggap kurang penting, terutama jika dikaitkan dengan upaya mengawal dan memastikan agar kebijakan itu dilaksanakan dengan baik. Sesungguhnya semua tahapan dalam proses penyusunan kebijakan itu sangat penting karena keberadaannya merupakan satu rangkaian yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu

Page 63: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

53 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

sama lainnya. Dari sudut mana ia dilihat, maka akan terlihat mana diantara tahapan itu akan terlihat lebih penting daripada yang lain, begitu juga sebaliknya jika dilihat dari sudut pandang yang lain.

2. Proses Kebijakan

Selain menggunakan pendekatan struktural fungsional, sistem kebijakan juga dapat dilihat berdasarkan pendekatan proses, yaitu proses saat suatu kebijakan mulai dirumuskan, dilaksanakan, dievaluasi, untuk pada akhirnya dirumuskan kembali. Sehingga membentuk sesuatu siklus oleh karenanya disebut dengan siklus kebijakan (policy cycle).

Ada beberapa teori mengenai siklus kebijakan tersebut. Jones (1984:27-29) mengemukakan bahwa siklus kebijakan merupakan kegiatan-kegiatan yang terdiri dari: perception/definition, aggregation, organization, representation, agenda setting, evaluation dan adjustment/termination. Kemudian Nakamura dalam Santoso (1989:10), mengemukakan bahwa tahapan kebijakan terdiri dari lingkungan-lingkungan, yaitu lingkungan pembuatan, lingkungan penerapan dan lingkungan penilaian kebijakan.

Mengenai teori siklus kebijakan, Mustopadidjaja (1999:21-23) hanya menetapkan tiga tahapan siklus kebijakan yang terdiri dari: tahapan perumusan/pembuatan kebijakan (policy formulation), tahapan pelaksanaan kebijakan (policy implementation/execution), dan tahapan evaluasi kebijakan (policy evaluation). Pada setiap tahapan, selain bekerja saling mempengaruhi, juga terdapat berbagai variabel yang menentukan kualitas dan tingkat efektivitasnya, yaitu menentukan kualitas kebijakan yang dihasilkan, tingkat efektivitas implementasi, serta dampak kebijakan yang diharapkan.

Siklus kebijakan juga dapat dilihat dari pendekatan sistem, dimana sebuah kebijakan merupakan output dari sejumlah proses transformasi berbagai inputs, yang dilakukan dalam suatu sistem politik dan sistem administrasi. Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Page 64: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

54 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Gambar 1.4: Siklus Kebijakan (Mustopadidjaja; 1999: 21-23)

Sebagai sebuah sistem, maka setiap tahap anakan bekerja saling mempengaruhi. Untuk itu ketiganya dapat berposisi sebagai variabel dependen maupun variabel independen. Selain itu pada setiap tahapan akan terdapat berbagai variabel yang juga berpengaruh dalam menentukan kualitas dan tingkat efektivitasnya, yaitu menentukan kualitas kebijakan yang dihasilkan, menentukan tingkat efektivitas implementasi kebijakan, serta pencapaian dampak kebijakan seperti yang diharapkan.

Sehubungan dengan proses pembuatan kebijakan, perlu kiranya dijelaskan mengenai proses analisis kebijakan sebagaimana dikemukakan Dunn (1981:22-25):

"Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu, penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan."

Berkaitan dengan penyusunan agenda, para pejabat yang berwenang menyiapkan rancangan kebijakan, untuk dibahas dan diagendakan waktu pembahasannya. Dimana pada tahap ini berbagai masalah yang ada dalam masyarakat dicantumkan.

Berkaitan dengan tahap formulasi kebijakan, para pejabat yang berwenang, merumuskan alternatif-alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah, yang akan dituangkan dalam bentuk kebijakan. Adapun pada tahap

Penyusun kebijakan berikut reformulation (remaking of policies)

Policy Formulation Policy Outcomes

Inputs Process Outputs

Feed Back

Policy Implementation

Page 65: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

55 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

adopsi kebijakan, alternatif kebijakan yang dipilih akan diadopsi, setelah mendapatkan persetujuan mayoritas dari para pejabat yang berwenang dan ditetapkan menjadi kebijakan.

Pada tahap implementasi kebijakan, kebijakan yang telah diadopsi atau ditetapkan oleh pejabat/lembaga yang berwenang, dilaksanakan oleh unit-unit organisasi yang bersangkutan dengan kebijakan tersebut. Sedangkan tahap penilaian kebijakan adalah tahap memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan. Apakah telah mencapai tujuan yang diharapkan, serta kendala-kendala apa saja yang dihadapi, yang menyebabkan pelaksanaan kebijakan menjadi tidak efektif.

Tahapan proses pembuatan kebijakan kaitannya dengan prosedur analisa kebijakan dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.5: Tahapan Proses Pembuatan Kebijakan Kaitannya Dengan Prosedur Analisis Kebijakan

Sumber: Dunn (1981:25)

Berikut ini dapat dijelaskan tahapan proses pembuatan kebijakan dan pendekatan prosedur analisa kebijakan, sebagai berikut:

a. Perumusan masalah

Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang belum jelas, mendiagnosis faktor penyebab, menentukan tujuan-tujuan yang mungkin dicapai, memadukan pandangan-pandangan yang berbeda dan merencanakan kebijakan baru. Perumusan masalah juga dapat menjadi input yang relevan dengan kebijakan, untuk membahas asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah, sebagai bahan untuk proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda kebijakan.

Penyusunan agenda

Formulasi kebijakan

Adaptasi kebijakan

Implementasi kebijakan

Penilaian kebijakan

Perumusan Masalah

Peramalan

Rekomendasi

Pemantauan

Evaluasi

Page 66: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

56 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

b. Peramalan

Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji masa depan yang fleksibel potensial dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenai kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan dan mengestimasi dukungan politik dari berbagai pilihan yang diambil.

c. Rekomendasi

Rekomendasi memberikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi juga dapat membantu mengestimasikan tingkat resiko dan ketidakpastian, menentukan kriteria dalam pembuatan pilihan dan menentukan pertanggung-jawaban administrasi bagi implementasi kebijakan.

d. Pemantauan

Kegiatan pemantauan atau monitoring memberikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap implementasi kebijakan. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahap kebijakan.

e. Evaluasi

Evaluasi memberikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kebijakan mengenai seberapa jauh masalah telah diselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai dan perumusan kembali masalah kebijakan. Dengan demikian evaluasi adalah tiga analisis yang membantu

Page 67: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

57 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

memperjelas, mengkritik dan mendebat nilai-nilai yang mempersoalkan dominasi penalaran teknis yang mendasari kebijakan.

Jadi evaluasi atau analisis kebijakan adalah proses awal dari upaya untuk meningkatkan proses pembuatan kebijakan berikut hasilnya. Itulah sebabnya analisis kebijakan didefinisikan sebagai pengomunikasian, penciptaan dan penilaian kritis pengetahuan yang relevan dengan kebijakan (Dunn, 1981:38). Dengan demikian maka analisis kebijakan penting sekali untuk memperbaiki kebijakan dan hasil-hasilnya. Namun pada kenyataannya analisis kebijakan yang baik belum tentu dimanfaatkan oleh pemakainya, dan bila dipakai pun belum tentu menjamin kebijakan menjadi lebih baik, karena sering terdapat jarak antara analisis kebijakan dengan proses pembuatan kebijakan.

Berkaitan dengan proses pembuatan kebijakan (Ndraha, 2003:234) mengatakan:

"Jika kebijakan tidak efektif, masalahnya terletak pada lorong, mata rantai, feedback atau akses antar semua komponen (elemen) tersebut. Semuanya harus lancar, tidak tersendat, dalam bahasa teori sistem, proses dan perubahan kondisi dari heterostatis ke homeostatis dan sebaliknya harus selancar mungkin."

Gambar 1.6: Komponen Proses Pembuatan Kebijakan Keterangan:

PAG = Policy Adenda PFO = Policy Formulation PAD = Policy Adoption

3. 'Jaring Asmara' Kebijakan

Sebagai sesuatu proses untuk mencapai tujuan, maka di dalam proses tersebut adalah kegiatan yang sangat penting yang akan menentukan

LORONG KEBIJAKAN YANG LEBIH TINGGI

PAD PAG PFO PIM PEV

LORONG PARTISIPASI MASYARAKAT

FEED BACK

Page 68: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

58 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

kualitas kebijakan publik yang ditetapkan. Kegiatan itu adalah rangkaian upaya menjaring aspirasi masyarakat (Jaring Asmara), semata karena masyarakat tersebut yang menjadi sasaran kebijakan atau terkait dengannya, tetapi lebih dari itu adalah untuk menentukan antara lain skala prioritas, kemampuan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Kegiatan ini menjadi sangat penting kedudukannya dalam sebuah sistem pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip kesetaraan, keterbukaan atau transparansi, penghormatan hak-hak sipil dan politik masyarakat atau yang sering disederhanakan sebagai sebuah sistem yang demokratis. Bahkan terlepas dari sistem apa yang digunakan, kegiatan penjaringan aspirasi masyarakat adalah sesuatu yang sangat penting agar kebijakan itu tepat sasaran dan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan kebijakan, sekalipun itu bukan untuk semua masyarakat, tetapi demi sesuatu yang lain.

Terlepas dari persoalan keadilan yang akan muncul dari sebuah kebijakan, maka melalui penjaringan aspirasi masyarakat itu mudah 'dikalkulasikan' ongkos sosial politik dan ekonominya, ketika kebijakan itu dilaksanakan untuk mencapai tujuannya. Termasuk jika mendapat hambatan atau tantangan dari masyarakat ketika kebijakan itu dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, maka 'penjaringan aspirasi masyarakat' tetap menjadi sesuatu yang penting dalam pembuatan kebijakan publik. Sebagai pilihan politik, resiko munculnya sebuah kebijakan yang tidak populer bahkan dianggap berlawanan dengan kepentingan masyarakat itu mungkin saja terjadi. Tetapi jika menurut pengambil kebijakan hal demikian dianggap sebagai sesuatu yang lebih baik dalam konteks yang lebih luas berdasarkan sistem politik yang dianut, maka pilihan kebijakan seperti itu bisa saja ditempuh. Apapun maksud dan tujuan kegiatan yang bernama 'Jaring Asmara' itu merupakan kegiatan yang sangat penting dalam sebuah tahapan perencanaan sebuah kebijakan. Idealnya kegiatan Jaring Asmara ini berkorelasi positif antara kebijakan yang dihasilkan dengan apa yang inginkan masyarakat, meskipun bisa saja sebaliknya.

Sebagai sesuatu yang sangat penting, maka ketika kegiatan ini tidak dilakukan melalui proses yang baik, maka hasil sebuah perencanaan kebijakan bisa saja misleading dari apa yang sebenarnya dikehendaki, baik oleh pengambil kebijakan itu sendiri atau oleh masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan. Dalam kaitan ini, boleh saja pelaksanaan kebijakan itu terselenggara dengan baik sesuai dengan SOP dan tidak ada sepeserpun uang yang dikorupsi misalnya, namun belum tentu hasil dan manfaatnya

Page 69: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

59 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

dinikmati oleh masyarakat yang secara formal menjadi sasaran kebijakan tersebut. Bisa saja justru pihak lain yang lebih menikmatinya, padahal bukan itu yang dimaksudkan oleh pengambil kebijakan. Lain halnya jika sejak awal ada agenda tersembunyi untuk menjadikannya misleading. Kemungkinan lain adalah kebijakan itu menjadi sesuatu yang sia-sia atau mubazir jika dikaitkan dengan skala prioritas atau kebutuhan masyarakat yang secara formal menjadi sasaran kebijakan.

Melalui penjaringan aspirasi masyarakat ini berbagai persoalan masyarakat di identifikasi sehingga ditemukan kebijakan yang tepat. Ketepatan itu antara lain misalnya jika dikaitkan dengan skala prioritas, kapasitas anggaran dan sumberdaya baik yang ada di masyarakat itu sendiri dan pemerintah. Dalam proses identifikasi idealnya tidak berjalan satu arah saja, misalnya hanya aparatur birokrasi yang responsif memilih dan memilih informasi dari masyarakat. Di pihak masyarakat juga diharapkan proaktif menyuarakan aspirasi dan kepentingannya. Dalam proses ini aspek komunikasi menjadi sangat penting, begitu juga sikap dan perilaku birokrasi dalam menyerap aspirasi masyarakat. Responsivitas birokrasi menjadi sesuatu yang menentukan proses tersebut di samping sikap proaktif masyarakat itu sendiri. Proses demikian tidak hanya berlaku untuk jenis kebijakan yang bersifat umum tetapi juga terhadap kebijakan yang sifatnya lebih operasional.

Dalam proses menjaring aspirasi masyarakat itu pembuat kebijakan tidak harus turun ke lapangan, tetapi bisa dengan mengkondisikan agar masyarakat itu bisa secara proaktif menyampaikan aspirasi dan kepentingannya. Dalam proses pengkondisian itu pemerintah khususnya, dapat melakukan semacam angket atau pertanyaan yang disebarkan kepada masyarakat. Pertanyaan itu antara lain semua yang terkait dengan dan sekaligus untuk mengetahui apa yang menjadi kehendak publik. Misalnya pertanyaan mengenai apa yang ingin diselesaikan dan prioritasnya, jenis jenisnya dan sebagainya. Pola serupa juga bisa diterapkan dalam tahapan pelaksanaan kebijakan, tentunya dengan jenis pertanyaan yang berbeda. Begitu juga pada tahapan-tahapan berikutnya dalam siklus kebijakan. Jika semua itu bisa dilakukan dengan baik, maka kualitas keseluruhan tahapan kebijakan yang dihasilkan tentu akan lebih baik.

Melalui pola hubungan antara penyelenggara negara dengan masyarakat dalam kedudukannya sebagai warga negara (citizen) yang partisipatif dan mengedepankan prinsip-prinsip kesetaraan dan keterbukaan

Page 70: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

60 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

ini yang bisa diharapkan melahirkan sebuah informasi yang obyektif mengenai apa yang dibutuhkan masyarakat di satu sisi dan pemerintah di sisi lainnya. Dalam proses hubungan ini masyarakat tidak ditempatkan sebagai hamba (client) melainkan sebagai warga negara (citizen) yang memiliki hak-hak konstitusional yang setara. Bukan zamannya lagi jika warga negara atau masyarakat itu bersikap pasif dan menerima saja apa yang diputuskan pemerintah, karenanya sejak awal penyusunan kebijakan mereka harus menunjukkan atau dikondisikan untuk bersikap proaktif. Sejalan dengan prinsip kesetaraan itu, berarti kedudukan masyarakat bukanlah dalam posisi sebagai pihak yang diperintah tetapi sebagai partner pemerintah dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan. Dalam bahasa lain, masyarakat itu bukanlah sebuah obyek tetapi subyek dari proses yang disebut governance.

Prinsip yang sama juga harus dikedepankan dalam semua tahapan penyusunan kebijakan, bukan hanya pada tahapan formulasi dan perencanaan kebijakan saja. Dalam proses atau tahapan selanjutnya dalam proses penyusunan kebijakan itu, peran dan fungsi masyarakat yang proaktif senantiasa diperlukan, misalnya dalam tahap pelaksanaan dan pengawasan atau evaluasi kebijakan. Artinya dalam semua tahapan kebijakan itu peran dan fungsi masyarakat merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dalam sebuah tata kelola pemerintahan yang baik. Begitulah sejatinya sebuah proses penyusuan kebijakan publik yang pada hakekatnya bukan hanya menjadi ranah atau domain para penyelenggara negara saja, apalagi pemerintah (government), tetapi adalah ranah publik. Dalam kaitan ini organisasi-organisasi non-pemerintah dan lembaga-lembaga volunter lainnya yang ada di masyarakat juga mempunyai peran dan fungsi yang penting dalam proses tersebut.

4. Formulasi atau Merumuskan Masalah

Kegiatan formulasi permasalahan kebijakan adalah kegiatan lanjutan setelah kegiatan berupa identifikasi persoalan antara lain dilakukan dengan penjaringan aspirasi masyarakat itu dilakukan. Asumsinya sejumlah data umum yang diperlukan oleh pengambil kebijakan itu relatif sudah terkumpul atau tersedia, maka kegiatan berikutnya adalah memformulasikan untuk bahan perumusan dan perencanaan kebijakan sebelum dibahas dan diputuskan sebagai pilihan politik diantara berbagai pilihan politik yang ada.

Page 71: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

61 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Sama seperti kegiatan lainnya, kegiatan memformulasikan sebuah persoalan sebagai bahan perumusan kebijakan ini sangat penting karena akan menentukan kualitas perumusan dan perencanaan kebijakan. Hal serupa juga berlaku dalam konteks berpikir ilmiah, ketika semua persoalan itu sudah teridentifikasi dengan baik, seperti dipilih dan dipilah mana yang kira-kira memenuhi kelayakan untuk dijadikan bahkan penyusunan kebijakan, maka kegiatan berikutnya adalah memformulasikan atau apapun sebutannya. Kegiatan ini merupakan tahapan penting untuk merumuskan sebuah persoalan secara lebih akurat dan obyektif jika dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.

Kegiatan memformulasikan atau merumuskan masalah ini sepintas terlihat sederhana, tetapi sebenarnya sangat sulit. Siapa saja bisa merumuskan sebuah persoalan, tetapi tidak demikian dengan akurasi dan obyektifitasnya. Kegiatan memformulasikan persoalan itu tidak sekedar menyatakan bahwa ada sebuah persoalan yang harus diatasi, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana mengatasinya, dengan cara apa dan sebagainya. Semua itu harus dikaitkan dengan skala prioritas, dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat, kapasitas pendanaan atau pelaksanaannya dan seterusnya. Jika kegiatan identifikasi masalah itu bisa diibaratkan sebagai kegiatan mengumpulkan bahan-bahan dasar yang dibutuhkan, maka kegiatan merumuskan atau memformulasikan persoalan adalah kegiatan lanjutan sebelum dilakukan kegiatan berupa rancang bangun sebuah bangunan. Jadi kegiatan perumusan masalah ini sangat penting dalam proses penyusunan kebijakan.

Sebagaimana dinyatakan oleh Dunn (2004:15), dalam proses perumusan kebijakan pemerintah harus mampu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi oleh publik. Hasil identifikasi tersebut dilanjutkan dengan merumuskan masalah-masalah publik yang akan dipecahkan. Setelah itu dilakukan kegiatan lain seperti peramalan atau forecasting terhadap dampak, manfaat, solvabilitas dan menganalisis tingkat kesulitan implementasi suatu kebijakan yang akan diambil. Begitu seterusnya sampai kebijakan itu dilaksanakan dan kemudian dievaluasi dan direformulasikan kembali sebagai sebuah siklus yang tidak terputus. Meskipun penyusunan kebijakan itu merupakan kegiatan politik, tetapi keberadaan sejumlah prinsip-prinsip ilmiah yang sudah teruji kehandalannya tidak bisa diabaikan oleh pembuat kebijakan.

Page 72: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

62 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Melalui kegiatan formulasi itu dilakukan sejumlah sortirisasi atau penyortiran dari sejumlah data yang ada yang telah diidentifikasi, sebagaimana juga yang dilakukan dalam kegiatan ilmiah seperti penelitian. Dalam tahapan kegiatan identifikasi dan perumusan masalah ini akan nampak nyata keterlibatan semua unsur administrasi publik tidak terkecuali pejabat atau aparat birokrasi di tingkat rendahan. Artinya bukan hanya pejabat penentu kebijakan yang terlibat aktif dalam proses tersebut, tetapi juga melibatkan banyak pihak dalam sistem administrasi negara. Meskipun mereka yang terlibat itu bukan penentu atau top management dalam organisasi yang bersangkutan, tetapi mereka itu merupakan bagian dari proses pembuatan kebijakan dalam sebuah sistem administrasi publik sebagaimana yang diuraikan dalam bab sebelumnya yang membahas mengenai konsep administrasi publik.

Melalui kegiatan formulasi permasalahan itu akan terlihat bahwa berbagai isu yang tentunya banyak beredar di masyarakat tidak semua dapat masuk agenda pemerintah untuk diproses menjadi kebijakan. Hal demikian bukan hanya terkait dengan skala prioritas, tetapi juga pertimbangan lain yang begitu kompleks, misalnya soal kelayakannya secara politik dan sosial budaya. Belum lagi jika dikaitkan dengan soal kapasitas kelembagaan dan sumber daya, maka tidak semua persoalan yang dianggap penting itu masuk dalam agenda kebijakan yang harus segera diputuskan untuk dicarikan jalan pemecahannya.

Menurut Abidin tidak semua persoalan mempunyai prioritas yang sama untuk diproses. Diperlukan semacam proses penyaringan melalui serangkaian kriteria sebelum masuk kategori sebagai persoalan yang perlu diagendakan (Abidin, 2004: 56-59). Itupun belum tentu dilanjutkan ke proses berikutnya. Ada sejumlah kriteria-kriteria yang dapat digunakan dalam menentukan kelayakan sebuah kebijakan untuk dibahas atau masuk menjadi agenda kebijakan. Diantara kriteria itu adalah soal efektifitas dan efisiensinya dikaitkan dengan pencapaian tujuan yang diharapkan dan anggaran serta sumberdaya yang tersedia (value for money). Kriteria lainnya adalah soal keadilan dan pertimbangan sosial politik lainnya. Terkadang sebuah persoalan itu menjadi agenda mendesak karena dianggap populis sehingga perlu dikedepankan untuk dicarikan jalan keluarnya, meskipun secara ekonomi mungkin saja dianggap tidak layak atau bukan menjadi agenda mendesak.

Page 73: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

63 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Idealnya semua persoalan yang dirumuskan untuk selanjutnya diagendakan untuk menjadi agenda kebijakan itu memiliki dasar pertimbangannya yang komprehensif. Hal demikian menjadi sangat penting agar kebijakan itu nantinya bisa dilaksanakan dengan baik. Tetapi karena sebuah kebijakan itu merupakan sesuatu yang sifatnya politis, maka bisa saja muncul kebijakan yang kelayakannya secara ekonomis dipertanyakan karena tidak didukung oleh dana yang mencukupi dan sumber daya yang handal. Sesuatu yang dianggap baik dan dibutuhkan masyarakat, belum tentu direalisasikan menjadi sebuah kebijakan jika menurut penentu kebijakan dianggap tidak layak secara politik, meskipun secara ekonomi bisa dipandang layak. Kondisi demikian ini yang membuat kebijakan itu menjadi sesuatu yang kompleks, sehingga persoalan formulasi kebijakan itu menjadi sesuatu yang penting sebelum kebijakan itu menampakkan tahapan berikutnya.

Inilah sebuah tugas berat bagi aparatur administrasi publik yang bertanggung-jawab memformulasikan kebijakan publik yang komprehensif dasar pertimbangannya agar mampu menguntungkan publik secara luas. Disinilah pentingnya sebuah kajian atau analisis kebijakan publik agar aparatur administrasi publik bisa menghasilkan kebijakan yang berkualitas tersebut. Menurut Dunn (2004: 84) analisis kebijakan publik adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian multiple dalam konteks argumentasi dan debat politik untuk menciptakan, secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Analisis kebijakan adalah pekerjaan menghitung, menilai dan memilih alternatif kebijakan yang memiliki manfaat bersih paling tinggi guna memecahkan masalah publik dengan seperangkat kriteria dan metode tertentu.

Orang-orang yang bekerja merumuskan dan menganalisis kebijakan publik seringkali disebut sebagai analis kebijakan. Pekerjaan sebagai analis kebijakan adalah pekerjaan yang sulit sekaligus penting. Sulit karena para analis kebijakan harus mencari dan menentukan identitas masalah kebijakan itu dengan hati-hati, baru kemudian dapat merumuskan kebijakan dengan benar. Sebuah masalah harus didefinisikan, distrukturisasi, diletakkan, dalam batas-batas tertentu dan diberi nama. Bagaimana proses ini terjadi merupakan hal krusial bagi penanganan suatu masalah tertentu melalui kebijakan (Parsons: 2006, 90). Selanjutnya, agar bisa membuat kesimpulan tentang 'kebaikan' suatu kebijakan, seorang analis diharuskan melakukan

Page 74: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

64 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

penelitian dengan kualitas yang memadai di sekitar masalah kebijakan yang dikajinya (Wibawa: 1994, 52). Selain itu, analis kebijakan seringkali berhadapan dengan logika kekuasaan, kepentingan kelompok dan pressure dalam merumuskan alternatif kebijakan.

5. Tahapan Perencanaan

Seperti yang sering dikemukakan dalam bahasa sehari hari bahwa agar segala sesuatu itu berjalan dengan baik, maka diperlukan sebuah perencanaan yang matang. Pernyataan ini tidak hanya berlaku bagi jenis kegiatan tertentu saja yang dianggap serius, tetapi bisa berlaku secara umum atau sesuatu kegiatan yang dianggap sederhana. Terlebih untuk persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka perencanaan adalah sesuatu yang mutlak adanya. Paralel dengan itu, sebuah perencanaan yang matang tidak hanya berlaku dalam sistem politik dan pemerintahan yang demokratis, tetapi semua sistem memerlukan sebuah perencanaan yang baik agar tujuan yang dikehendaki mudah dicapai dengan cara yang efektif dan efisien. Kegiatan perencanaan adalah bagian penting dari sebuah sistem manajemen, dimana semua organisasi apapun bentuk dan jenisnya memerlukan apa yang disebut manajemen.

Kegiatan perencanaan tidak hanya diperlukan bagi negara sebesar seperti Indonesia yang memiliki cakupan geografis maupun dalam jumlah dan ragam populasi, tetapi juga diperlukan oleh organisasi yang tergolong sederhana dan tradisional. Bagi organisasi publik, kegiatan perencanaan menjadi sangat penting, sesuatu yang tidak terhindarkan, sebagai suatu kebutuhan, misalnya untuk menyusun rancangan kebijakan, program, dan kegiatan yang akan secara konsisten menuju pada cita-cita yang disepakati bersama. Kegiatan perencanaan ini sangat diperlukan antara lain untuk menjelaskan dan memberikan mekanisme pengambilan keputusan yang rasional dan bertanggungjawab atas berbagai pilihan-pilihan terutama yang bersifat (trade-off) dari kebijakan dan strategi pembangunan yang tidak selalu mudah dan menyenangkan. Dalam bahasa sederhananya, kegiatan perencanaan itu diperlukan untuk menentukan skala prioritas kebijakan yang akan diambil diantara sejumlah prioritas yang ada berdasarkan pertimbangan yang obyektif dan rasional.

Perencanaan adalah fungsi dasar (fundamental) manajemen, karena kegiatan manajerial seperti organizing, staffing, directing, dan controlling pun

Page 75: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

65 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

harus terlebih dahulu direncanakan. Perencanaan adalah kegiatan yang sifatnya dinamis dan berkelanjutan yang ditujukan pada masa depan yang penuh dengan ketidakpastian, karena perubahan kondisi dan situasi. Oleh karena itu kegiatan perencanaan ini sangat erat kaitannya dengan kegiatan peramalan atau forecasting yang dilakukan secara rasional dan obyektif berdasarkan data-data yang ada. Bisa diartikan bahwa kegiatan perencanaan itu merupakan bentuk dari usaha untuk melihat ke depan dengan melakukan perkiraan (forecasting) apa yang dilakukan, bagaimana dan siapa yang akan melakukan untuk kegiatan-kegiatan yang akan datang.

Karena kegiatan perencanaan dimaksudkan untuk waktu yang akan datang, maka setiap perencanaan harus dapat memperkirakan berbagai situasi yang akan terjadi di kemudian hari. Dengan demikian, tidak saja tujuan yang dirumuskan, tetapi juga penelaahan situasi yang cukup tepat harus merupakan indikator utama. Selain dihadapkan kepada beberapa hal yang harus diramalkan, perencanaan dihadapkan pula kepada pemilihan tindakan yang diperhitungkan mempunyai akibat buruk bagi tujuan organisasi. Hal-hal ini mengakibatkan pentingnya dilakukan analisis data dasar dan berbagai keterangan masa lalu, sehingga umpan balik (feed back) dari kegiatan sejenis yang telah dilakukan sebelumnya menjadi sangat penting. Perencanaan adalah suatu proses yang berkesinambungan (kontinyu), berkelanjutan, sejak dari tahap survei hingga tahap pengamatan. Artinya proses perencanaan merupakan kegiatan yang tidak pernah selesai, karena selalu memerlukan peninjauan ulang atau pengkajian, guna memberikan umpan balik dalam proses evaluasi.

Dalam ilmu manajemen, kegiatan perencanaan yang merupakan sifat utama dari fungsi manajemen, dimaksudkan bahwa sebelum fungsi-fungsi manajemen yang lain dilaksanakan, maka perencanaan harus dirumuskan terlebih dahulu, mendahului fungsi pengorganisasian, penyusunan tenaga kerja, pembinaan kerja dan pengawasan. Per definisi sederhana mengenai perencanaan ini menurut G.R. Terry adalah "memilih dan menghubungkan fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan".

Perencanaan adalah fungsi utama atau sesuatu yang sangat penting bagi pengambil kebijakan atau manajer, karena keberhasilan pelaksanaan pekerjaan tergantung pada baik buruknya suatu rencana. Oleh karena itu sebuah perencanaan harus diarahkan pada tercapainya tujuan dan apabila

Page 76: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

66 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

tidak tercapai seringkali disebabkan oleh rencana yang kurang baik. Atas dasar itu perencanaan harus didasarkan pada kenyataan obyektif dan rasional. Setelah semua direncanakan dengan baik, maka rencana itu perlu dibahas oleh stakeholders’ untuk mendapat masukan atau umpan balik. Dalam kaitan itu muncul istilah RUU, RPP dan Raperda yang merupakan rencana kebijakan untuk dibahas lebih lanjut dan diputuskan menjadi sebuah kebijakan. Kegiatan pembahasan dalam sebuah proses kebijakan ini merupakan sesuatu yang sangat penting sebelum sampai pada penetapan sebuah kebijakan atau ratifikasi.

6. Ratifikasi atau Penetapan Kebijakan

Sebelum sampai pada sebuah keputusan untuk menetapkan sebuah kebijakan itu diberlakukan, maka ada sejumlah kegiatan diantara tahapan perencanaan dan penetapan yaitu kegiatan pembahasan. Dalam proses pembahasan ini banyak stakeholders yang terlibat, baik secara langsung atau tidak langsung. Jika dalam proses pembahasan produk perundang-undangan itu ada yang disebut mekanisme dengar pendapat dan sejenisnya, maka dalam proses pembuatan kebijakan yang lainnya pada dasarnya juga demikian. Diperlukan masukan dan pembahasan yang serius sebelum sampai pada sebuah keputusan itu diberlakukan untuk dilaksanakan. Dengan mekanisme demikian, maka sebuah kebijakan publik itu mencerminkan sebuah mekanisme yang sifatnya publik, dan bukan hasil kerja orang per orang atau individual, melainkan mewakili sebuah lembaga atau otoritas publik lainnya.

Dengan pemahaman seperti itu maka tahapan ratifikasi atau penetapan kebijakan itu adalah rangkaian panjang dari kegiatan sebelumnya, seperti perencanaan dan pembahasan sebelum sampai pada kesimpulan. Ketika kesimpulan itu sudah didapatkan, maka yang harus dilakukan adalah sebuah penetapan agar kebijakan itu secara yuridis dapat diberlakukan. Dengan demikian keberadaan kegiatan penetapan itu tidak berdiri sendiri dan dianggap mudah prosesnya. Tidak mudah untuk menemukan sebuah kesepakatan yang dianggap saling menguntungkan (win win solutions). Ketika tidak ditemukan titik temu yang dianggap tepat, seringkali kebijakan yang sudah dibahas itu dihadapkan pada jalan buntu atau ‘deadlock1, sehingga kebijakan itu menjadi menggantung atau tidak juga ditetapkan atau diratifikasi.

Page 77: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

67 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Sebelum sampai pada tahapan yang bisa dianggap win-win solutions, ketika semua pihak dinilai sudah menyetujui, maka ada proses yang sangat serius, seperti perumusan kebijakan dan pembahasannya. Secara konsepsional perlu dibedakan-meskipun mungkin dalam beberapa hal tidak jauh berbeda antara kegiatan perumusan rencana kebijakan ini bukan perumusan masalah kebijakan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Dalam proses perumusan kebijakan itu apa yang dirumuskan sudah relatif matang dan siap diambil keputusan sementara sebelum diputuskan secara resmi. Pada tahap perumusan kebijakan ini nuansa politiknya semakin kuat mengemuka, sehingga tidak jarang muncul langkah politik seperti voting misalnya untuk memilih sesuatu yang dianggap lebih baik dan mendapat persetujuan mayoritas dari stakeholders. Karena pentingnya kegiatan ini maka ada yang menyebut bahwa kegiatan perumusan kebijakan publik merupakan inti dari kebijakan publik karena di sini dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri.

Mengenai perumusan kebijakan publik ini, Jones (1984) mengistilahkan perumusan kebijakan publik sebagai formulasi, dimana: formulation is a derivative of formula and means simply to develop a plan, a method, a prescription, in this chase for alleviating some need, for acting on a problem. Sementara itu Anderson (1979) menyatakan bahwa perumusan kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi. Ia merupakan proses yang secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khusus. Sedangkan pembentukan kebijakan lebih merujuk pada aspek-aspek seperti bagaimana masalah-masalah publik menjadi perhatian para pembuat kebijakan, bagaimana proposal kebijakan dirumuskan untuk masalah-masalah khusus, dan bagaimana proposal tersebut dipilih di antara berbagai alternatif yang saling berkompetisi. Pembuatan kebijakan merupakan keseluruhan tahap dalam kebijakan publik yang berupa rangkaian keputusan.

Sebagai proses politik, maka kegiatan penetapan kebijakan merupakan proses yang sangat krusial. Sebelum sampai pada lahirnya sebuah persetujuan untuk ditetapkan, maka seringkali pertimbangan politik menjadi lebih mengemuka. Hal terlihat jika kebijakan yang harus ditetapkan itu terkait dengan persoalan yang dianggap krusial dan strategis karena menyangkut banyak kepentingan yang saling tarik menarik. Dalam kondisi demikian, jika produk kebijakan itu misalnya berupa Undang-undang atau

Page 78: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

68 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Peraturan Daerah, maka seringkali muncul sejumlah rumusan dari ketentuan atau pasal yang kompromistis karena ia merupakan hasil dari sebuah kompromi politik, dan bukan didasarkan pada pertimbangan obyektif dan rasional jika dikaitkan dengan pencapaian tujuan yang hendak diraih. Maka jangan heran jika ada sejumlah ketentuan yang terlihat ngambang, multi tafsir dan sebagainya yang keberadaannya menjadi cela (loopholes) akibat 'kesengajaan' dari kompromi politik. Hal serupa juga bisa terjadi dalam penyusunan kebijakan dalam tingkatan yang lebih rendah derajatnya yang dikeluarkan oleh lembaga atau organ penyelenggara negara lainnya.

Sebagai produk hukum yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak (publik), maka tindakan berupa keputusan untuk memberlakukannya harus didukung oleh berbagai pertimbangan yang kuat dan mendasar. Sebagaimana rumusan pengertian dari kebijakan atau kebijaksanaan yang dari namanya saja adalah terkandung sebuah kearifan dan keadilan maka untuk sampai pada sebuah penetapan atau keputusan harus mencerminkan arti dan namanya itu. Hanya saja dalam praktik tidak demikian atau tidak mudah untuk mewujudkannya betapapun ada upaya kuat untuk melakukannya. Apa yang disebut kebijakan itu oleh sebagian kalangan sering dianggap 'tidak bijak' karena dihasilkan melalui proses 'zero sum game' (lose-win solutions) dan bukan win-win solutions.

Belum lagi karena faktor rendahnya kapasitas pembuat kebijakan itu sendiri, sehingga muncul kasus tumpang tindih dan ketidaksinkronan antar kebijakan yang dihasilkan, sehingga membuat kebijakan itu menjadi salah satu sumber persoalan. Kasus tumpang tindih dan ketidaksinkronan kebijakan dalam proses penyelenggaraan negara itu sampai kini masih saja mengemuka, baik yang melibatkan se-level maupun antar tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah. Kasus yang muncul dari penetapan kebijakan yang tidak sinkron dan overlapping itu tidak saja terjadi antar institusi sektoral di tingkat pemerintahan Pusat saja, tetapi juga antar unit sektoral di lingkungan Pemerintah Daerah. Alhasil kebijakan yang sudah ditetapkan terkadang tidak dapat menyelesaikan masalah utama, dan bahkan justru berpotensi menimbulkan masalah baru yang membebani masyarakat, sehingga akhirnya menghambat upaya sebuah organisasi publik yang bersangkutan untuk mencapai tujuannya.

Page 79: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

69 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

7. Tahapan Evaluasi dan Pengawasan Kebijakan

Jika siklus kegiatan penyusunan kebijakan itu dimulai dari langkah identifikasi dan perumusan masalah, maka tahapan evaluasi dan pengawasan kebijakan selalu ditempatkan pada bagian akhir. Pola demikian tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya tepat karena tergantung dari mana kita memulai langkah untuk menyusun kebijakan publik. Bisa jadi kebijakan publik itu muncul setelah adanya langkah kegiatan evaluasi dan pengawasan kebijakan dimana temuan kasus atau permasalahan yang harus segera dibuatkan kebijakan untuk mengatasinya. Lagi pula kegiatan yang bernama pengawasan itu sejatinya ada di semua tahapan kegiatan, sejak melakukan perencanaan dan penetapan kebijakan juga ada pengawasan, begitu juga pada tahapan atau kegiatan lainnya dalam proses penyusunan kebijakan. Bahkan dalam kegiatan yang bernama evaluasi dan pengawasan itu sendiri ada juga kegiatan serupa dengan maksud serupa yang ditujukan kepada lembaga pengawas yang dilakukan oleh pihak lain, sehingga mekanisme 'check and balances' dalam proses penyelenggaraan pemerintahan itu berjalan dengan baik karena adanya saling kontrol dan mengawasi.

Secara konsepsional ada bermacam-macam jenis pengawasan, demikian juga orang atau lembaga yang bertugas atau memiliki hak untuk melakukan pengawasan. Ada yang namanya pengawasan internal, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pengawasan dari dalam organisasi itu sendiri. Jenis pengawasan ini dibedakan dengan jenis pengawasan ekstern, yang pengawasan dilakukan oleh aparatur pengawasan dari luar organisasi yang bersangkutan. Kemudian ada yang namanya pengawasan preventif atau pre-emptive, yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum rencana itu dilaksanakan. Pengawasan jenis ini sering disandingkan dengan jenis pengawasan represif yaitu pengawasan yang dilakukan setelah rencana itu dilaksanakan. Bentuknya bisa berupa tindakan hukuman atau sanksi tertentu yang dimaksudkan untuk mencegah terulangnya kesalahan atau mengembalikan keadaan seperti semula sebelum terjadinya sebuah pelanggaran.

Bentuk lainnya dari sebuah pengawasan adalah pengawasan melekat yaitu pengawasan yang dilakukan oleh atasan langsung dalam organisasi yang bersangkutan. Jenis pengawasan ini sering disandingkan dengan apa yang disebut sebagai pengawasan fungsional yaitu kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah yang bertugas di

Page 80: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

70 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

bidang pengawasan. Lembaga seperti BPKP, Inspektorat Jenderal (Irjen) dan sebagainya adalah merupakan lembaga pengawasan fungsional yang keberadaannya sengaja dibentuk dengan tugas dan fungsi melakukan pengawasan. Berikutnya adalah pengawasan legislatif yaitu pengawasan yang dilakukan oleh para anggota legislatif seperti DPR dan DPRD terhadap kegiatan-kegiatan dari pejabat-pejabat pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Paralel dengan pengawasan legislatif ada yang namanya pengawasan masyarakat yaitu tindakan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan para penyelenggara negara atau pemerintahan. Cara dan bentuknya bisa bermacam-macam, termasuk dengan cara demonstrasi misalnya yang merupakan bagian dari upaya masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya.

Secara umum ruang lingkup sebuah pengawasan dalam kegiatan publik adalah sangat luas, sehingga tidak ada kegiatan publik yang luput dari pengawasan. Namun dalam proses dan implementasinya hak untuk mengawasi kegiatan publik itu tidak bisa begitu saja dilakukan, baik karena persoalan dari si pengawas itu sendiri atau juga persoalan lain. Intinya sebuah kegiatan pengawasan itu ada mekanisme dan tata caranya, misalnya harus dilakukan dengan cara dan prosedur yang benar, obyektif dan rasional. mengacu pada asas kepantasan dan prinsip-prinsip pengawasan umum diberlakukan dalam sebuah organisasi publik. Prinsip-prinsip pengawasan, terdiri atas: berorientasi pada tujuan, objektif; atas dasar kebenaran prosedur dan manfaatnya; daya guna dan hasil guna pekerjaan, standar yang objektif, terus menerus, dan memberikan timbal balik bagi perbaikan perencanaan dan kebijaksanaan. Pengawasan harus berdasarkan atas standar, yang meliputi: standar fisik, biaya, modal, pendapatan, program, sasaran, dan standar yang tidak dapat terlihat.

Demikianlah bahwa dalam proses pengawasan itu ada sebuah landasan atau prinsip dasar yang harus disepakati bersama misalnya mengenai metode atau pelaksanaan pengawasan. Metode pengawasan ini antara lain dengan metode pengawasan langsung dan tidak langsung, pengawasan formal dan informal, pengawasan teknis dan administratif. Kemudian mengenai syarat-syarat pengawasan antara lain meliputi sesuatu yang berkaitan dengan rencana dan jabatan seseorang, berkaitan dengan individu yang diawasi dan kepribadiannya, harus fleksibel, harus hemat, harus mengarah pada tindakan perbaikan dan sebagainya. Semua prinsip dan metode itu harus menjadi acuan bersama, semacam code of conduct

Page 81: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

71 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

dalam proses pengawasan agar tujuan yang dikehendaki masing-masing pihak tercapai.

Bagaimanapun kegiatan pengawasan itu bukan kegiatan mencari cari kesalahan dan bertujuan menghukum. Justru jika semakin sedikit ditemukan kesalahan semakin berhasil kegiatan pengawasan, karena kegiatan tersebut pada dasarnya dilakukan disepanjang kegiatan publik sejak awal hingga akhir sebuah kegiatan tersebut. Jika di akhir sebuah kegiatan tidak ditemukan kesalahan, maka kegiatan berupa evaluasi dan pengawasan itu dianggap berhasil, bukan sebaliknya. Lain halnya jika kegiatan pengawasan itu paradigmanya lain dan hanya dilakukan di akhir sebuah kegiatan dan berupa mencari cari kesalahan untuk kemudian dihukum seberat beratnya, maka semakin banyak ditemukan kesalahan dianggap berhasil dalam melakukan pengawasan.

Dalam proses pengawasan publik ini setidaknya ada sejumlah nilai-nilai atau prinsip yang perlu diperhatikan agar tahapan evaluasi dan pengawasan kebijakan itu bisa berjalan lancar dan optimal peran dan fungsinya. Diantara nilai-nilai tersebut merupakan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik sebagaimana yang banyak dikemukakan dalam literatur ilmu pemerintahan. Idealnya semua tahapan dalam proses penyusunan kebijakan publik sejak awal didasarkan pada nilai-nilai atau prinsip seperti keterbukaan atau transparansi, kemudian prinsip partisipasi dan akuntabilitas publik. Melalui penerapan prinsip keterbukaan {transparansi) diharapkan berbagai proses pengambilan keputusan akan mendorong partisipasi masyarakat dan membuat para penyusun kebijakan publik menjadi bertanggung gugat (accountable) kepada semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).

Transparansi adalah sebuah kondisi minimum bagi partisipasi masyarakat dan merupakan awal dari terwujudnya akuntabilitas. Melalui prinsip partisipatif diharapkan masyarakat yang akan memperoleh manfaat dari suatu kebijakan publik harus turut serta di dalam proses pengambilan keputusan. Dengan prinsip partisipatif dalam penyusunan kebijakan publik akan membantu terselenggaranya proses perumusan kebijakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan, dan memudahkan penentuan prioritas (transparansi). Berikutnya adalah penerapan prinsip akuntabilitas publik dimana keberadaannya menuntut kapasitas para aparat publik untuk dapat membuktikan bahwa setiap tindakan yang mereka ambil ditujukan untuk kepentingan publik, dapat dipertanggungjawabkan kepada stakeholders

Page 82: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

72 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

dengan indikator kinerja dan target yang jelas. Dengan diterapkannya ketiga prinsip tersebut dapat diharapkan lahir sebuah proses pengawasan yang baik sehingga pembuatan kebijakan itu berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip umum dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Page 83: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

73 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

BAB IV

TEORI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

1. Kondisi Umum Implementasi Kebijakan

Kebijakan publik dalam praktik ketatanegaraan dan kepemerintahan pada dasarnya terbagi dalam tiga prinsip yaitu: pertama, dalam konteks bagaimana merumuskan kebijakan publik (formulasi kebijakan); kedua, bagaimana kebijakan publik tersebut diimplementasikan dan ketiga, bagaimana kebijakan publik tersebut dievaluasi (D. Nugroho: 2003,100-105). Secara teoritik ketiga hal tersebut merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan, dimana masing-masing sama-sama penting dan tidak bisa dianggap ringan untuk dilaksanakan. Meskipun demikian dalam praktiknya, sering dinyatakan oleh sejumlah ahli bahwa persoalan implementasi kebijakan merupakan sesuatu yang menjadi persoalan besar, khususnya di negara berkembang. Di negara-negara dunia ketiga itu proses implementasi kebijakan publik merupakan batu sandungan terberat dan serius bagi efektivitas pelaksanaan kebijakan pembangunan di bidang sosial dan ekonomi.

Begitulah persepsi umum yang berkembang bahwa diantara siklus kebijakan yang sering dianggap sangat penting, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia adalah tahapan implementasi kebijakan. Secara formal, jika dilihat dari cetak biru berupa kebijakan yang ditetapkan mungkin akan terlihat bagus, sebagaimana kebijakan serupa yang kurang lebih sama digunakan negara maju atau relatif berhasil dalam mengatasi persoalan serupa. Artinya secara konsepsional kebijakan yang dihasilkan itu sudah bagus, tetapi tidak demikian dalam pelaksanaannya, ternyata bukan

Page 84: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

74 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

hanya tidak mudah, tetapi juga seperti jauh panggang dari api, seolah ada penghalang yang besar untuk mewujudkannya. Dalam konteks ini seolah akar persoalannya bukan lagi pada proses penyusunan kebijakan, karena faktanya secara konsepsional kebijakan itu mendapat nilai bagus, tetapi pada tahapan pelaksanaannya yang menjadi masalah.

Terlepas dari persoalan tersebut, tahapan pelaksanaan kebijakan memang menjadi sesuatu sulit dilaksanakan, apapun yang menjadi akar persoalannya. Disebut demikian karena implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, dalam bentuk undang-undang atau dapat pula dalam bentuk keputusan-keputusan atau perintah-perintah yang sudah secara lebih tegas mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi dan menyebutkan secara jelas tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, sehingga tentu tidak akan mudah mewujudkannya.

Lagi pula menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan sesungguhnya bukan hanya sekedar berkaitan dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu juga berkaitan dengan masalah konflik dan keputusan dari siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan.

Semua itu menunjukkan bahwa implementasi kebijakan itu tidak mudah dilakukan. Menurut Jones (1984), dalam membahas implementasi kebijakan terdapat dua aktor yang terlibat, yaitu pertama, beberapa orang di luar birokrat yang mungkin terlibat dalam aktivitas implementasi kebijakan, dan kedua, birokrat itu sendiri yang terlibat dalam aktifitas fungsional. Dalam kaitan ini sering dapat dinyatakan bahwa birokrasi pemerintahan belum merupakan kesatuan yang efektif, efisien, dan berorientasi kepada tujuan. Oleh karena itu, untuk memperoleh pemahaman tentang implementasi kebijakan publik, seharusnya tidak hanya menyoroti perilaku dari lembaga administrasi publik atau benda-benda publik yang bertanggung jawab atas sesuatu program dan pelaksanaannya, namun juga perlu mencermati berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku yang terlibat dalam suatu program dari keluarnya suatu kebijakan publik.

Dengan demikian jangan heran jika muncul pemahaman bahwa proses implementasi kebijakan itu menjadi sulit pelaksanaannya. Diyakini bahwa salah satu muara persoalan tersebut adalah lemahnya implementasi

Page 85: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

75 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

kebijakan dan bukan pada ada atau tidaknya kebijakan. Sebagai negara modern, kebijakan untuk mengatasi sebuah persoalan pasti sudah ada, sekalipun ia belum sempurna. Disebut demikian karena sejak dini, di awal kemerdekaan telah ada serangkaian kebijakan untuk hal yang kurang lebih sama persoalannya dengan yang ada sekarang ini. Apalagi sekarang sejumlah kebijakan yang lebih baik dan lebih rinci pasti sudah ada, hanya saja lagi terkendala oleh kesungguhan dan konsistensi pelaksanaan atau implementasinya.

Sering dinyatakan dalam berbagai kesempatan bahwa apapun pilihan kebijakan yang diambil yang lebih penting adalah bagaimana ia diimplementasikan karena masing-masing kebijakan itu memiliki sejumlah kelebihan dan kekurangan terutama ketika ia diimplementasikan. Bukan hanya tujuan atau motivasi dari kebijakan tersebut yang penting tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana ia akan diimplementasikan. Persoalan implementasi kebijakan ini tidak menjadi mudah setelah ia diundangkan atau ditetapkan kemudian diikuti dengan penciptaan atau pembentukan sejumlah perangkat atau lembaga yang mendukungnya. Adanya sejumlah perangkat perundangan dan kemudian lembaganya yang diberi tugas untuk itu adalah awal dari proses implementasi kebijakan, tetapi bukan sebuah jaminan bahwa pelaksanaan kebijakan itu akan menjadi mudah atau berjalan sukses.

Terjadinya kasus tumpang tindih kewenangan ketika kebijakan itu diimplementasikan adalah contohnya. Kasus demikian nampaknya masih menjadi sesuatu yang umum di Indonesia. Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan itu banyak kelemahannya atau tidak jelas rincian dan pengaturannya sehingga banyak celah dan pasal atau ketentuan yang sifatnya multi tafsir. Lebih daripada itu, fakta tersebut juga bisa dimaknai bahwa ada yang salah dalam proses implementasinya. Bisa jadi kebijakan tersebut pada dirinya sendiri masih banyak persoalan, tetapi jika ada tekad dan kesungguhan untuk secara konsisten mengimplementasikannya, maka sejumlah persoalan yang ada mungkin akan lebih mudah dicarikan jalan keluarnya. Dengan demikian proses implementasi itulah yang akan lebih menentukan upaya pencapaian tujuan organisasi. Maka tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa secara garis besar fungsi implementasi kebijakan publik adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan publik dapat dicapai atau diwujudkan sebagai hasil akhir (outcome) kegiatan-kegiatan yang dilakukan para penyelenggara negara atau pemerintahan.

Page 86: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

76 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

2. Konsep Dasar Implementasi Kebijakan

Dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan publik merupakan keputusan kelembagaan yang berisikan ketentuan-ketentuan yang biasanya berisi sejumlah tujuan, pedoman, pegangan atau petunjuk dalam berfikir maupun bertindak aparatur negara ataupun masyarakat. Maka jangan heran jika kebijakan publik itu sering diasosiasikan dengan berbagai produk perundang-undang, meskipun secara konsepsional kebijakan publik itu cakupan dan dimensinya lebih luas daripada itu. Menurut Mustopadidjaja dalam kebijakan itu ada yang disebut sistem kebijakan adalah tatanan kelembagaan yang berperan atau merupakan wahana dalam penyelenggaraan sebagian atau keseluruhan proses kebijakan (formulasi, implementasi, dan evaluasi kinerja kebijakan) yang mengakomodasi kegiatan teknis (technical process) maupun sosiopolitis serta interaksi antar empat faktor dinamik yang merupakan unsur-unsur dari sistem kebijakan (sociopolitical process), yaitu (a) lingkungan kebijakan, yaitu latar belakang isu kebijakan, keadaan yang dipengaruhi dan mempengaruhi pelaku dan oleh suatu kebijakan; (b) pembuat dan pelaksana kebijakan adalah orang (sekelompok orang) yang berwenang dalam pengelolaan kebijakan; (c) isi kebijakan, yaitu berbagai pilihan keputusan untuk penyelesaian masalah publik; dan (d) kelompok sasaran kebijakan, yaitu individu atau kelompok individu dan institusi yang menjadi sasaran kebijakan. (Mustopadidjaja AR.:2002).

Sementara itu implementasi kebijakan, secara sederhana berarti pelaksanaan sebuah kebijakan tersebut dari sesuatu yang normatif dan pasif menjadi sesuatu yang aktif, aktual atau fungsional. Oleh karena itu tahapan implementasi kebijakan sering disebut sebagai salah satu tahapan yang paling krusial dalam keseluruhan proses kebijakan jika dikaitkan dengan upaya pencapaian tujuan organisasi. Bagaimanapun dalam dimensi praktisnya, kebijakan itu dikeluarkan untuk mengatasi persoalan guna mencapai tujuan sebuah organisasi. Sementara itu dalam proses mencapai tujuan itu kebijakan tersebut harus dirumuskan (planning), ditetapkan (ratification) diimplementasikan (actuating) dan kemudian dievaluasi (controlling). Oleh karena itu jika tahapan implementasi itu tidak bisa berjalan baik, maka tujuan yang dimaksudkan itu sulit dicapai, sekalipun kebijakan itu secara normatif dinilai sangat baik, begitu juga upaya evaluasi dan pengawasannya.

Page 87: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

77 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Secara konsepsional apa yang disebut implementasi itu seperti dirumuskan Charles O Jones (1984); "a process of getting additional resources so as to figure out what is to be done". Sementara itu Pressman dan Wildavsky (1990) merumuskannya sebagai "a process of interaction between setting of goals and the action geared to achieving them..." dan "A set of activities directed toward putting a program into effect". Menurut Randal B Riley (1984) implementasi adalah "A set of activities that follow statement of intent about program goals and desired result by government officials. Implementation encompasses actions (and reactions) by a variety of actors, especially bureaucrats, designed to programs into effect, ostensibly in such a way as to achieve goals". Lebih lanjut Riley (984) menggambarkan kompleksnya implementasi: "Implementation processes involve many important actors holding diffuse and competing goals and expectation who work within a context of increasingly large and complex mix of government programs that require participation from numerous layers and unit of government and who are affected by powerful factors beyond their control".

Menurut Merile S Grindle (1980), ada dua hal yang sangat menentukan keberhasilan dari implementasi yaitu isi kebijakan dan konteks dari implementasi itu sendiri yang secara terperinci diidentifikasi sebagai berikut: a. Isi kebijakan (Content of policy):

a. Kepentingan siapa saja yang terlibat (interest affected) b. Macam-macam manfaat (type of benefits) c. Sejauh mana perubahan akan diwujudkan (extent of change envisional) d. Tempat pembuatan keputusan (site of decision making) e. Siapa yang menjadi agensi implementator (program implementators) f. Sumberdaya yang disediakan (resources committed)

Konteks dimana Kebijakan Diimplementasikan (Context of implementation)

a. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi para aktor yang terlibat (power, interest, and strategy of actors involved)

b. Karakteristik lembaga dan rejim (institutions and regime characteristics) c. Kepatuhan dan Responsifsifitas (compliance and responsiveness).

Dengan kata lain, Menurut Grindle (1980) keberhasilan dari implementasi sebuah kebijakan ditentukan oleh banyak hal, terutama yang menyangkut kepentingan-kepentingan yang terlibat di dalamnya. Dimensi lain yang harus dipertimbangkan adalah kualitas dari implementing agency

Page 88: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

78 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

yang menghantarkan kebijaksanaan tersebut kepada masyarakat. Kalau orang yang menjadi implementing agency-nya sama sekali tidak terlibat sejak semula tentang misi kebijakan, maka dengan sendirinya akan tercipta missing-link kebijakan itu sendiri dengan implementatornya. Implementator harus memiliki networking yang kuat untuk memperoleh dukungan politik dari kalangan politisi di lembaga legislatif maupun di luarnya, mampu melakukan lobby yang sangat strategik untuk meyakinkan berbagai pihak (Grindle:1980). Koswara (2001, 97), mengkonstatasi masalah implementasi kebijakan sebagai sesuatu yang lebih luas dari sekedar pelaksanaan, karena ia bukan sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi. Implementasi adalah lebih dari itu karena menyangkut pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang siapa yang mendapatkan apa.

Menurut Rondinelli dan Cheema (1983) ada dua pendekatan yang sering dikacaukan penggunaannya dalam proses implementasi kebijakan. Pendekatan pertama, menganggap implementasi tidak lebih dari soal teknik dan suatu yang rutin dilaksanakan. Dalam hal ini proses pelaksanaan tidak mengandung unsur-unsur politik yang perencanaannya sudah ditetapkan sebelumnya oleh para pimpinan politik (political leaders). Para administrator atau implementator biasanya terdiri dari pegawai biasa yang tunduk kepada petunjuk dari para pemimpin politik tersebut. Pendekatan kedua melihat administrator atau implementator merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari proses penetapan kebijakan, sehingga proses implementasinya menjadi kompleks dan tidak bisa diperhitungkan (unpredictable). (Koswara: 2001, 98-100).

Sebagai konsekuensi dari kedua pendekatan tersebut, jika implementasi kebijakan dianggap sebagai hal yang rutin dan bersifat teknik belaka maka tidak sulit melaksanakannya. Asumsinya suatu kebijakan yang telah ditetapkan dan diumumkan menjadi suatu kebijakan publik secara otomatis akan dapat diimplementasikan oleh para pegawai pelaksana secara teknik tanpa ada unsur-unsur atau kendala politik apapun, dan hasil yang diharapkan segera akan tercapai. Namun kenyataannya sering berkata lain, bahwa pengaruh dari luar itu mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam proses implementasi kebijakan. Jika digunakan pendekatan sistem, faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan itu dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor ini berinteraksi secara timbal balik dan berkesinambungan. Dengan demikian

Page 89: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

79 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

sesungguhnya implementasi kebijakan itu bukan hanya persoalan teknik administrasi belaka sehingga akan lebih mudah dilaksanakan jika ada kemauan dari pelaksana (administrator). Sesungguhnya implementasi kebijakan itu merupakan proses yang sangat kompleks karena pengaruh dan interaksi antara berbagai faktor yang terkait dalam proses implementasinya.

3. Model Teoritik Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan politik ke dalam prosedur rutin lewat birokrasi. Lebih dari itu menyangkut konflik, dan penetapan keputusan mengenai siapa memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidak salah bila dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan publik.

Implementasi kebijakan sangat penting diperhatikan. Karena selain menunjukkan kompleksitas dari kebijakan, tetapi sebagai sebuah sistem, maka tahapan-tahapan dalam kebijakan bersifat saling tergantung dan saling mempengaruhi, sehingga sangat sedikit kebijakan yang bisa berlangsung sendiri. Begitu pentingnya fase implementasi kebijakan, bahkan Udoji (1981) dalam Abdul Wahab (1997:59) dengan tegas mengatakan bahwa "the execution of policies is as important if not more important than policy making. Policies will remain dreams or blueprints file jackets unless they are implemented". Tidak sedikit kebijakan publik yang sudah berhasil ditetapkan/ dirumuskan, tetapi tidak dapat dilaksanakan, sehingga dinamakan dengan kegagalan kebijakan (policy failure).

Berkaitan hal di atas, maka dapat dinyatakan bahwa salah satu tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan terletak pada tingkat keefektifan implementasinya. Namun bukan berarti bahwa implementasi kebijakan terpisah dari formulasinya, karena keberhasilan kebijakan makro akan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan mikro dalam proses implementasinya, seperti: para pelaksana kebijakan, kebijakan operasional, serta kelompok sasaran. Selain itu kualitas kebijakan yang telah diformulasikan sangat berpengaruh juga terhadap efektivitas implementasinya.

Lalu apa yang dimaksud dengan implementasi kebijakan publik. Dalam kamus Webster dirumuskan bahwa: to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect

Page 90: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

80 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Pengertian tersebut menggambarkan bahwa implementasi kebijakan merupakan proses melaksanakan keputusan kebijakan dengan sarana-sarana yang diperlukan, agar menimbulkan/terjadinya dampak atau akibat tertentu.

Jika implementasi kebijakan merupakan proses untuk mencapai tujuan/sasaran yang telah ditetapkan, maka implementasi kebijakan pada hakekatnya merupakan kegiatan administrasi, karena merupakan upaya dua orang atau lebih untuk mencapai sasaran. Hal ini sejalan definisi administrasi negara dari beberapa ahli seperti Pfiffner dan Presthus (1976:12): "Public administration involves the implementation of public policy which has been determined by representative political bodies ".

Namun dari pernyataan di atas ada dua hal yang perlu pemahaman lebih mendalam yaitu:

Pertama: agar pemisahan fungsi antara administrasi publik dengan politik (dalam hal ini sebagai lembaga pelaksana kebijakan dan lembaga perumus kebijakan berdasarkan paradigma dikotomi politik dan administrasi), perlu dipertimbangkan kembali. Karena realitas menunjukkan bahwa administrasi publik selain terlibat dalam proses formulasi kebijakan makro, juga harus menetapkan kebijakan-kebijakan mikro dalam bentuk kebijakan operasional sebagai peraturan pelaksanaan.

Kedua, bahwa dalam implementasi kebijakan publik tidak hanya terbatas pada aktor-aktor birokrasi, tetapi juga melibatkan aktor-aktor di luar birokrasi, seperti organisasi-organisasi kemasyarakatan yang berkaitan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Van Metter dan Van Horn (1975), yang mengatakan: "Policy implementation encompasses those actions by public and private individuals (and groups) that are directed the achievement of goals and objectives set forth in prior policy decisions". Hal senada juga dinyatakan oleh Jones (1984:168), yang menyatakan: "Many other besides bureaucrats may be involved, for example, legislator, judges, private citizens".

Oleh karena itu selain aspek administrasi, maka terdapat kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, sosial, bahkan budaya yang mempengaruhi aktor-aktor pelaksana dalam menjaga keefektifan implementasi, dimana faktor-faktor tersebut dinamakan dengan lingkungan kebijakan (policy environment).

Page 91: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

81 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Tiga kegiatan utama yang penting dalam implementasi kebijakan:

a. Penafsiran, yaitu kegiatan menterjemahkan makna kebijakan ke dalam peraturan, agar kebijakan dapat diterima dan dijalankan

b. Pengorganisasian, yaitu menetapkan wadah atau unit yang akan digunakan untuk melaksanakan kebijakan

c. Penerapan, berhubungan dengan penyiapan sarana dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk menjalankan kebijakan. Seperti: orang, uang, peralatan, bahan baku, dsb.

Implementasi kebijakan dapat dikaji dari sudut pandang si pembuat proses kebijakan tersebut. Dalam setiap kebijakan publik, pasti akan melibatkan sejumlah pembuat kebijakan, yang berusaha keras mempengaruhi perilaku birokrasi atau pejabat lapangan (street level bureaucrats), dalam rangka memberikan pelayanan atau jasa kepada kelompok sasaran. Dengan kata lain implementasi kebijakan khususnya yang melibatkan banyak organisasi atau berbagai tingkatan struktur birokrasi, dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang, sebagaimana dikemukakan Wahab (1997:63), yakni: 1) pemrakarsa kebijakan atau the center; 2) pejabat pelaksana di lapangan atau the periphery; 3) aktor perorangan di luar badan pemerintah kepada siapa program itu ditujukan yakni kelompok sasaran atau target group.

Dari sudut pandang the center, fokus implementasi kebijakan akan mencakup usaha yang dilakukan pejabat atasan atau lembaga tingkat pusat untuk mendapatkan kepatuhan dari lembaga atau pejabat ditingkat daerah. Bila program ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya maka kemungkinan akan dilakukan upaya penyesuaian terhadap program, pengenaan sanksi hukuman kepada pejabat yang bertanggung jawab, atau merumuskan kembali kebijakan tersebut. Meskipun demikian, perhatian utama dari pusat ini biasanya berkenaan dengan masalah; pertama, sejauh manakah tujuan atau sasaran resmi kebijakan telah dicapai, kedua, apakah alasan yang menyebabkan tujuan/sasaran tertentu tercapai atau tidak tercapai.

Dari perspektif the periphery atau pejabat lapangan, implementasi kebijakan akan berfokus pada tindakan atau perilaku para pejabat dan instansi di lapangan, yaitu dalam upayanya untuk menanggulangi gangguan yang terjadi di wilayah kerjanya yang disebabkan oleh usaha-usaha dari pejabat lain di luar instansinya demi berhasilnya kebijakan dimaksud.

Page 92: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

82 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Akhirnya implementasi kebijakan dari perspektif target group masyarakat, yang lebih terkait dengan jaminan bagi kelompok sasaran dan masyarakat seluruhnya, dalam menerima dan menikmati hasil atau keuntungan dari kebijakan atau beneficiaries. Maka pandangan mereka mungkin saja serupa dengan pandangan dan persepsi para pejabat pusat yakni sejauh manakah pelayanan yang direncanakan melalui kebijakan itu benar-benar telah diberikan. Sekalipun demikian, kelompok sasaran itu kemungkinan akan lebih memusatkan perhatian pada permasalahan apakah pelayanan yang telah diberikan tersebut benar-benar mengubah pola hidupnya.

Untuk menganalisis agar proses implementasi tersebut berjalan efektif, telah diintrodusir berbagai model implementasi dari para ahli politik dan kebijakan publik yang sangat beragam dan menggunakan caracara pendekatan yang sangat berbeda.

Keanekaragaman model-model tersebut oleh Parsons (1997:463), diklasifikasikan menjadi empat kelompok model.

Pertama: Model Analisis Kegagalan Model ini memandang implementasi sebagai proses interaksi antara penyusunan tujuan dengan tindakan. Tokoh-tokohnya antara lain; Pressman dan Wildavsky, Mc. Laughlin, Bordch.

Kedua: Model Rasional (top down)

Pendekatan ini memandang implementasi berdasarkan pengaruh dari faktor-faktor internal pelaksana kebijakan dan kurang menanggapi faktor-faktor lingkungan. Tokoh-tokohnya antara lain: van Mater dan van Horn, Sabatier dan Mazmanian, Grindle.

Ketiga: Model Pendekatan (bottom up)

Model ini lebih menekankan pentingnya memperhatikan faktor-faktor lain di luar organisasi pelaksana, tapi juga dapat berpengaruh terhadap efektivitas organisasi pelaksana tersebut, misalnya pengaruh kelompok sasaran, perubahan sosial dan politik dan faktor-faktor lingkungan seperti: sosial, ekonomi, politik dan budaya. Tokoh-tokohnya antara lain: Weatherly dan Lipsky, Elmore, Hjern dan Smith.

Keempat: Model Teori Sintesis (hybrid theories) Pendekatan ini memandang perlunya melakukan sintesis dari ciri-ciri terbaik pendekatan top down dan bottom up. Menurut model ini, model top down memiliki ciri yang menekankan pada tanggung jawab, sedangkan model bottom up

Page 93: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

83 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

menekankan pada unsur kepercayaan. Tokoh-tokohnya antara lain: Nakamura dan Smallwood, Barret dan Fudg, Lewis dan Flynn.

Berikut ini dapat disajikan beberapa model implementasi kebijakan dari para teoritikus kebijakan. Model Top Down Approach (Hogwood & Gunn, 1987:86), mengatakan bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik secara sempurna maka diperlukan 10 persyaratan, yakni:

"Pertama, kondisi eksternal yang dihadapi instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan yang serius. Kedua, untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber daya yang cukup. Ketiga, perpaduan sumber-sumber diperlukan benar-benar tersedia. Keempat, kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal. Kelima, hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. Keenam, hubungan saling ketergantungan harus kecil. Ketujuh, pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Kedelapan, tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. Kesembilan, komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Kesepuluh, pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna."

Model proses implementasi kebijakan menurut Van Metter dan Van Horn (1975:87), menekankan sifat kebijakan dalam setiap implementasi kebijakan serta hubungannya dengan isu kebijakan dan implementasi kebijakan dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan performance kebijakan. Dalam proses implementasi kebijakan, ditekankan prosedur yang mengutamakan perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak. Implementasi kebijakan akan berhasil bila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasionalkan program di lapangan relatif tinggi. Variabel bebas itu adalah ukuran dan tujuan kebijakan, sumber-sumber kebijakan, ciri-ciri atau sifat instansi pelaksana, komunikasi antar organisasi terkait dalam kegiatan pelaksanaan, sikap para pelaksana, serta lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Interaksi antar variabel dalam proses implementasi kebijakan ini sebagaimana pada gambar berikut ini:

Page 94: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

84 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Model Proses Implementasi Kebijakan

Gambar 1.7: Model Proses Implementasi Kebijakan (Van Metter dan Van Horn)

Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (1997:81) memperkenalkan model implementasi Kebijakan yang tepat dan operasional. Menurut mereka, analisis implementasi kebijakan adalah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Ada 3 (tiga) kategori variabel yang dimaksud yakni; 1) mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan; 2) kemampuan keputusan kebijakan untuk menstruktur secara tepat proses implementasi; dan 3) pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan dimaksud. Ketiga kategori di atas berfungsi sebagai variabel bebas, yang dibedakan dari tahap-tahap implementasi yang harus dilalui sebagai variabel tergantung. Dalam hubungan antar variabel ini, setiap tahap akan berpengaruh terhadap tahap lain, yang apabila digambarkan akan terlihat di bawah ini:

Komunikasi antar Organisasi & Kegiatan

Pelaksanaan

Ukuran & Tujuan Kebijakan

Prestasi Kerja (Performance)

Sikap Para Pelaksana

Ciri Badan Pelaksana

Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik

Sumber-sumber Kebijakan

Page 95: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

85 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Gambar 1.8: Model Proses Implementasi Kebijakan (Mazmanian dan Sabatier)

a. Model Grindle

Model ini menyoroti keberhasilan implementasi kebijakan dari dua sisi. Pertama, dari sisi substansi kebijakan, terdiri: 1) kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi, 2) jenis-jenis manfaat yang diperoleh dari kebijakan, 3) derajat perubahan yang bisa diharapkan, 4) letak pengambilan keputusan, 5) proses pelaksanaan program, serta 6) sumber daya yang dimiliki oleh organisasi pelaksana kebijakan. Kedua, dari sisi lingkungan kebijakan, terdiri dari: 1) faktor kekuasaan, kepentingan, serta strategi dari para aktor yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan, 2) karakteristik lembaga penguasa, 3) kepatuhan serta daya tanggap masyarakat sebagai sasaran kebijakan.

b. Model Deskriptif

Model ini diintrodusir oleh William N. Dunn (1994), yang mengemukakan bahwa model kebijakan harus senantiasa mempertimbangkan sejumlah

A. Kemampuan Kebijakan Menstruktur Proses Implementasi

Kejelasan dari konsistensi tujuan, digunakannya teori kausal yang memadai, ketepatan alokasi resources, keterpaduan hirarki dalam dan diantara lembaga pelaksana, aturan dari instansi pelaksana, rekrutmen pejabat pelaksana, akses formal pihak luar.

B. Mudah Tidaknya Masalah Dikendalikan

Kesukaran teknis, keragaman perilaku target group; Prosentase target group dibanding jumlah penduduk; Ruang lingkup perubahan perilaku yang di inginkan.

C. Variabel di Luar Kebijakan Yang Mempengaruhi Proses Implementasi

Kondisi sosio ekonomi dan teknologi, dukungan politik, sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok, dukungan dari pejabat atasan, komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana.

D. Tahap-tahap dalam Proses Implementasi

Output kebijakan Badan Pelaksana

Ketersediaan target group mematuhi output kebijakan

Dampak nyata output kebijakan

Dampak output kebijakan sebagai dipersepsi

Perbaikan mendatang dalam undang-undang

Page 96: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

86 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

asumsi, dimana yang paling penting adalah: 1) perbedaan menurut tujuan, 2) bentuk penyajian, 3) fungsi metodologis model yang digunakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan menurut model ini, adalah:

1) Standar dan sasaran kebijakan 2) Komunikasi antar organisasi pelaksana, serta pengukuran kinerjanya 3) Karakteristik komunikasi dalam organisasi pelaksana 4) Kondisi sosio, ekonomi dan politik 5) Kapasitas yang dimiliki oleh organisasi pelaksana 6) Sikap pelaksana

Sedangkan Rippley dan Franklin (1982), mengukur keberhasilan implementasi kebijakan terdiri dari tiga faktor, yaitu:

a. Tingkat kepatuhan(compliance) dari birokrat pelaksana kebijakan b. Kelancaran dalam pelaksanaan tugas-tugas dan tingkat permasalahannya c. Tingkat kepuasan kelompok sasaran terhadap kinerja pelaksana kebijakan

Sesungguhnya setiap kebijakan pemerintah mengandung risiko kegagalan yang tinggi. Ada dua kategori pengertian kegagalan kebijakan atau policy failure sebagaimana diungkapkan oleh Hogwood dan Gunn. Pertama, non implementation policy atau kebijakan yang tidak sempat terimplementasikan, kedua, kebijakan dengan kategori unsuccessful implementation atau kebijakan yang bisa dilaksanakan, tetapi hasilnya tidak sukses. Non-implementation bisa terjadi karena beberapa hal: 1) pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan tidak mau bekerja sama, 2) telah bekerja sama tapi tidak efisien, 3) bekerja setengah hati atau karena tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau 4) permasalahan yang harus diselesaikan di luar jangkauan kekuasaannya.

Unsuccessful implementation atau implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal yang tidak menguntungkan, akhirnya kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya kebijakan yang memiliki resiko gagal menurut Wahab (1997:62), disebabkan oleh 1) faktor bad execution atau pelaksanaan yang jelek, 2) faktor bad policy atau kebijakannya sendiri memang jelek atau 3) bad luck, yaitu kebijakan itu memang bernasib jelek.

Beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab kegagalan kebijakan, baik dari sisi substansi kebijakan itu sendiri, dari sisi pelaksana kebijakan,

Page 97: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

87 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

maupun dari sisi lingkungan kebijakan. Seperti halnya pendapat Peters (1982), bahwa kegagalan kebijakan dapat terjadi karena:

a. Kurangnya informasi, yaitu informasi tentang substansi kebijakan, baik bagi kelompok sasaran maupun bagi aktor pelaksana.

b. Kelemahan pada isi (substansi) kebijakan, serta kurang jelasnya tujuan yang ingin dicapai

c. Tidak cukupnya dukungan bagi organisasi pelaksana kebijakan d. Tidak memadai dan tidak meratanya kapasitas serta potensi yang dimiliki

oleh aktor dan organisasi kebijakan, sehingga terjadi diferensiasi tugas serta wewenang diantara aktor dan organisasi pelaksana.

4. Stakeholders Implementasi Kebijakan

Sejak awal harus disadari oleh pelaksana kebijakan dan mereka yang terlibat dalam proses tersebut bahwa kebijakan publik adalah sebuah pilihan politik dari berbagai pilihan yang ada, sehingga keberadaannya tentu tidak bisa memuaskan semua orang. Demikian juga dalam pelaksanaannya, tentu ada sejumlah pihak yang kurang terakomodasi kepentingan dan aspirasinya dalam proses implementasi dan juga kemungkinan hasil yang akan didapatkan. Adalah naif jika para pelaksana kebijakan mengharapkan akan mampu memuaskan apa yang menjadi harapan seluruh masyarakat. Meskipun demikian tidak berarti polanya adalah win-lose atau kalah menang (zero sum game), hanya saja memang ada sebagian pihak yang kurang terakomodasi kepentingannya dalam proses pelaksanaan kebijakan. Dengan pemahaman demikian maka pelaksana kebijakan akan bisa bertindak lebih obyektif dan rasional mengacu pada rumusan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pengambil keputusan.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah siapa yang menjadi pelaksana kebijakan itu? Tentu bukan hanya pemerintah yang harus melaksanakan, meskipun ia adalah organ utama yang harus melaksanakan kebijakan, khususnya mereka yang berada di cabang eksekutif atau pemerintah (government). Jika diperhatikan secara seksama, maka sejatinya mereka atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses pelaksanaan kebijakan ini, bukan hanya pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam arti seluas luasnya. Logikanya sederhana, bagaimana mungkin sebuah kebijakan itu bisa dilaksanakan tanpa peranserta masyarakat. Meskipun di satu sisi masyarakat itu sebagai obyek atau sasaran kebijakan, tetapi di sisi lain

Page 98: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

88 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

mereka adalah subyek atau pelaku kebijakan. Terlebih di masa datang diperkirakan ada kecenderungan peran serta masyarakat itu semakin besar dalam keseluruhan pelaksanaan kebijakan. Begitu juga dalam semua tahapan penyusunan kebijakan, tidak hanya pada tahapan seperti perumusan kebijakan, tetapi juga tahapan evaluasi dan pengawasan kebijakan.

Dalam praktiknya juga demikian bahwa pelaksanaan kebijakan publik tidak mungkin dilakukan sendiri oleh aparatur birokrasi, betapapun kebijakan itu bersifat internal untuk kalangan birokrasi. Segala sesuatu yang bersifat publik pada dasarnya harus melibatkan masyarakat, misalnya dalam soal pengawasan. Apalagi untuk kebijakan yang sasarannya adalah masyarakat atau yang sering disebut pelayanan publik, maka peranserta aktif masyarakat adalah sesuatu yang sangat penting. Misalnya kebijakan untuk mengatasi penyakit atau wabah demam berdarah di suatu daerah tertentu, maka keputusan untuk memberantas nyamuk dengan sejumlah aplikasi dana tertentu, pasti harus melibatkan masyarakat. Begitu juga untuk hal-hal yang lain yang sifatnya sangat teknis, seperti pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, maka keterlibatan masyarakat atau swasta sangat diharapkan demi tercapainya program yang dicanangkan. Begitupun asumsinya untuk berbagai jenis kebijakan publik lainnya bahwa pelaksanaan kebijakan itu tidak bisa dilakukan oleh aparatur penyelenggara negara sendiri.

Dalam praktiknya, jika dilihat dalam perspektif yang lebih luas, semua persoalan implementasi kebijakan itu bukan hanya persoalan pejabat pemerintahan tingkat rendahan yang diasumsikan sebagai pejabat pelaksana suatu keputusan yang telah dibuat oleh pejabat yang lebih tinggi tingkatannya. Dalam sistem administrasi negara modern semua pejabat pemerintahan adalah pelaksana dari suatu kebijakan dalam arti seluas luasnya sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Sebagai pelaksana, apapun itu atribut dan jabatannya semuanya merupakan satu kesatuan atau sistem yang tidak terpisahkan karena masing-masing unsur itu saling terus berhubungan meskipun secara tidak langsung. Laksana sebuah sistem yang hidup, maka pengaruh dari lingkungan eksternal juga sangat menentukan kualitas pelaksanaan dari suatu kebijakan. Bahkan dalam konteks tertentu mereka yang disebut pejabat pelaksana itu sesungguhnya juga pembuat dan perumus kebijakan sesuai dengan cakupan tugas dan fungsinya. Tidak terkecuali pejabat atau aparat tingkat rendahan, karena dalam konteks tertentu mereka membuat dan merumuskan kebijakan untuk bidang tugas dan tanggung jawabnya. Sebut saja pejabat kelurahan, dalam

Page 99: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

89 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

kasus-kasus tertentu mereka merumuskan dan membuat kebijakan yang akan dilaksanakan bersama dengan aparat yang ada di bawah koordinasinya.

Jika dilihat dalam implementasinya, maka dikotomi yang membedakan atau memisahkan pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan adalah sesuatu yang tidak tepat lagi. Sebagaimana dinyatakan dalam SANKRI bahwa dalam perkembangannya sampai sekarang ini telah terjadi pergeseran paradigma yang sangat mendasar di bidang administrasi publik, dari yang memandang adanya dikotomi antara politik dan administrasi publik ke pandangan yang memadukan tugas-tugas pengembangan kebijakan dan pelaksanaannya sebagai tugas sistem administrasi publik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berlainan. Dalam paradigma mutakhir yang berpengaruh terhadap teori dan praktik administrasi publik pada beberapa dekade terakhir, yang antara lain memandang pemisahan antara politik (perumusan dan penentuan kebijakan) sebagai hal yang tidak realistis. Apa yang termasuk ke dalam lingkup administrasi publik bukan saja mengenai "masalah pelaksanaan kebijakan" tetapi juga "masalah perumusan dan penentuan kebijakan" (SANKRI, 2003:6).

Terlepas dari siapa yang paling dominan dalam pelaksanaan kebijakan dan siapa yang hanya sebagai penggembira atau pelaksana dalam arti formalnya, maka yang perlu dipahami adalah stakeholders atau pemangku kepentingan dalam pelaksanaan kebijakan itu tidak melulu pekerjaan instansi atau lembaga tertentu, khususnya lembaga eksekutif atau pemerintah saja. Betapapun kecil peran dan fungsi pihak lain, di luar pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan, maka keberadaannya tidak bisa dianggap kecil dan bisa diabaikan. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya pencapaian tujuan dan keberlanjutan (sustainability) sebuah kebijakan yang tidak berhenti hanya pada selesainya sebuah pekerjaan yang diamanatkan dalam kebijakan tersebut.

Misalnya kebijakan pembuatan jalan dan infrastruktur kesehatan bagi sekelompok masyarakat tertentu, maka pelaksanaan kebijakan tersebut tidak bisa berdiri sendiri atau hanya berhenti ketika bangunan fisik berupa jalan dan infrastruktur itu terselesaikan. Sejak awal peranserta masyarakat dan stakeholders terkait harus mendukung kebijakan tersebut, sehingga bukan hanya kebijakan tersebut pelaksanaan berjalan lancar, tetapi juga bisa menciptakan efek berganda (multiplier effects) yang lebih luas dan dimensional. Artinya pelaksanaan kebijakan itu harus bersifat berkelanjutan (sustainability) dan dimensional manfaat dan dampaknya.

Page 100: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

90 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Jika dalam mengimplementasikan suatu kebijakan publik itu harus memperhatikan bermacam-macam faktor, maka itu artinya pelaksana atau mereka yang terlibat dalam proses pelaksanaan kebijakan itu sangat banyak. Disinilah pentingnya sebuah koordinasi dan komunikasi diantara stakeholders yang terlibat dalam proses tersebut. Artinya persoalan arus informasi dan komunikasi perlu diperhatikan agar tidak terjadi pemahaman yang berbeda, misalnya antara isi kebijakan yang diberikan oleh pusat dengan persepsi aparat pelaksana di daerah termasuk masyarakat di dalamnya. Sudah bukan zamannya lagi bahwa segalanya diletakkan pada pundak pemerintah, tidak terkecuali pemerintah pusat, tetapi peranserta masyarakat juga harus semakin mengemuka begitu juga peranserta pemerintah daerah dan organ-organ penyelenggara pemerintahan lainnya.

Sebagai contoh, bagaimanapun kuatnya organ pemerintahan pusat, maka diperlukan pula dukungan sumber daya maupun stakeholders yang terkait dengan proses implementasi kebijakan di daerah. Oleh karena itu diperlukan pula pembagian tugas maupun struktur birokrasi yang jelas di daerah sehingga tidak terjadi ketimpangan tugas dalam proses implementasi suatu kebijakan di daerah. Hal serupa juga berlaku bagi masyarakat, keberadaannya tetap strategis dalam proses implementasi kebijakan, khususnya kebijakan yang ada di daerah. Semua stakeholders yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan adalah pelaksana kebijakan, sehingga masing-masing menurut peran dan fungsinya tidak bisa dianggap kecil atau bisa diabaikan dalam proses implementasi kebijakan.

5. Beberapa Faktor Pengaruh Implementasi Kebijakan

Di Indonesia, secara normatif puncak dari tujuan kebijakan itu adalah sama dengan tujuan sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi dan sejumlah peraturan perundang-undangan yang menjadi turunannya. Persoalannya adalah untuk mencapai tujuan tersebut tentu tidak mudah. Ada proses yang harus ditempuh yang melibatkan sejumlah pihak dan stakeholders. Ada sejumlah indikator keberhasilan yang harus dipenuhi agar sebuah kebijakan itu dianggap berhasil dalam proses implementasinya. Jangan heran jika ada sejumlah kebijakan yang dalam pelaksanaannya dianggap gagal atau kurang berhasil. Meskipun sulit untuk menentukan sebuah implementasi kebijakan itu gagal atau sebaliknya berhasil, namun ada sejumlah indikator awal yang bisa digunakan untuk mengukurnya,

Page 101: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

91 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

misalnya indikator hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impacts) berdasarkan tingkat kepuasan masyarakat yang menjadi sasaran atau target kebijakan tersebut.

Secara umum sejumlah indikator tersebut bisa juga digunakan untuk melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap proses pelaksanaan kebijakan. Hanya saja, sebagai sebuah konsep, sejumlah indikator-indikator yang dipergunakan tidak sepenuhnya mampu menerangkan kualitas kinerja kebijakan secara komprehensif. Meskipun demikian keberadaannya tetap penting digunakan sebagai acuan untuk melakukan evaluasi dan pengawasan pelaksanaan kebijakan. Secara konsepsional, melalui sejumlah indikator itu bisa dilihat apakah sebuah kebijakan itu membawa hasil dan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Begitu juga dampak yang ditimbulkannya, apakah memiliki efek berganda dan menyebar, atau hanya terbatas pada kalangan tertentu saja. Tentu masih banyak indikator yang bisa digunakan untuk mengukur sebuah kebijakan itu dianggap berhasil atau sebaliknya gagal, misalnya jika dikaitkan dengan ukuran atau tingkat efisiensi, efektifitas dan ekonomis {value for money) kebijakan yang bersangkutan.

Sebagus apapun kebijakan yang dibuat, maka selalu ada resiko kegagalan atau ketidakberhasilan dalam pelaksanaannya. Secara teoritis kegagalan kebijakan (policy failure) di bagi dalam dua kategori. Pertama adalah kebijakan yang digolongkan sebagai tidak terimplementasikan (no implementation). Artinya tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Tentu banyak faktor yang menjadikannya demikian, misalnya perubahan konstalasi sosial politik, sehingga kebijakan yang ada dibiarkan saja tidak dilaksanakan. Atau karena sebab lain karena tidak didukung oleh ketersediaan anggaran dan sumberdaya melaksanakannya. Kedua adalah kebijakan yang dinyatakan tidak berhasil dalam pelaksanaannya (unsuccessful implementation). Artinya kebijakan itu sudah dilaksanakan, tetapi karena berbagai sebab menjadi tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan.

Sebab-sebab kegagalan kebijakan dalam mencapai tujuannya itu bermacam-macam. Ada yang disebabkan oleh proses pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakan itu sendiri yang memang jelek (bad policy) atau kebijakan itu bernasib jelek (bad luck). Jika faktor penyebabnya datang dari aparatur pelaksananya yang dinilai tidak memiliki kapabilitas untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, maka kebijakan itu disebut bad execution. Secara umum ada sejumlah faktor yang mempersulit pelaksanaan

Page 102: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

92 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

sebuah kebijakan, misalnya kondisi fisik atau alam yang tidak mendukung atau menghalangi pelaksanaan kebijakan. Kondisi fisik atau alam itu seperti medan yang sulit, bencana alam, perubahan musim adalah faktor yang membuat kebijakan itu bernasib jelek atau kurang beruntung (bad luck), meskipun didukung oleh konsep kebijakan yang bagus dan aparat pelaksana yang berkualitas.

Selain faktor aparat pelaksana yang kurang mendukung dan kondisi fisik atau alam yang tidak 'bersahabat', maka faktor lain datang dari sisi substansi kebijakan itu sendiri. Tidak jarang sebuah kebijakan itu sejak lahir sudah membawa persoalan atau 'cacat bawaan' sehingga menghambat proses pelaksanaannya karena banyak rumusan kebijakan yang dianggap tidak jelas atau multi tafsir sehingga menimbulkan silang sengketa dalam pelaksanaannya. Wujud konkritnya antara lain berupa tumpang tindih kewenangan antar strata pemerintahan atau antar penyelenggara negara yang sama-sama merasa berhak mengelola sebuah kegiatan publik tertentu, terutama yang dianggap 'basah' dan potensial memberikan keuntungan ekonomi bagi lembaga yang mengelolanya.

Kondisi demikian diyakini masih sering mengemuka di Indonesia terkait banyaknya sengketa kewenangan pemerintahan, baik antara lembaga pemerintahan yang setingkat atau antar pemerintahan, tetapi juga antara strata pemerintahan dan campur baur antar keduanya yang melibatkan berbagai instansi atau penyelenggara negara di berbagai level atau strata. Begitu juga kasus dibatalkannya sejumlah peraturan perundang-undangan, baik oleh mahkamah konstitusi, atau oleh lembaga pemerintahan yang lebih tinggi kedudukannya, seperti pemerintah pusat yang membatalkan sejumlah Perda yang dianggap bermasalah karena bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya atau oleh sebab lain. Fakta ini menunjukkan bahwa ada kebijakan publik yang memang secara substantif bermasalah (bad policy). Upaya pemerintah pusat atau lembaga lain yang mencoba mengoreksi kebijakan yang sudah diterbitkan itu adalah bagian dari upaya agar proses pelaksanaan kebijakan berjalan sesuai dengan tujuannya dengan terlebih dahulu memperbaiki kebijakan yang dianggap bermasalah.

Faktor lain, tentunya adalah faktor politik, karena di satu sisi kebijakan itu sendiri adalah produk dari proses politik yang terkait dengan berbagai macam aspirasi dan kepentingan. Di sisi lain, pengaruh faktor politik itu terjadi ketika ada perubahan sistem atau konstalasi politik yang dianggap cukup mendasar dan signifikan. Dengan terjadinya perubahan tersebut

Page 103: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

93 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

seringkali membawa akibat bahwa ada sejumlah kebijakan, setidaknya dalam sejumlah pasal atau rumusan kebijakan tertentu yang tidak bisa atau menjadi sulit diimplementasikan. Ketika dukungan politik atau political will pemerintah tidak lagi seperti sebelumnya, maka kebijakan yang bersangkutan akan sulit diimplementasikan.

Entah berapa banyak produk peraturan perundangan yang terbit di masa pemerintahan Soekarno, seperti yang menyangkut soal land reform dan pertanahan (UUPA) yang sepertinya tidak dilaksanakan, meskipun secara formal sejumlah rumusan dari pasal-pasal yang terkait di dalamnya masih berlaku hingga kini. Begitu juga ada sejumlah produk perundangan yang lahir di masa pemerintahan Soeharto yang hingga kini dianggap tidak relevan lagi dengan konteks sosial politik yang sudah berubah, tetapi peraturan tersebut belum dirubah atau disesuaikan, sehingga kondisinya seperti mati suri, atau dianggap ada tetapi tidak dilaksanakan.

Fenomena terhambatnya pelaksanaan sebuah kebijakan karena persoalan politik adalah sesuatu yang wajar atau bisa dimaklumi karena kebijakan politik adalah sebuah proses politik. Oleh karena itu jika ada perubahan konstalasi politik, maka pertama kali yang dilakukan adalah merubah kebijakan publik yang bersangkutan sebelum dilaksanakan. Persoalannya adalah tidak mudah melakukannya, mungkin karena diperlukan ongkos sosial dan politik yang cukup besar dibandingkan aspek manfaatnya bagi rezim yang berkuasa. Sebaliknya bisa terjadi terhadap sejumlah kebijakan yang sebelumnya dianggap mati suri, maka ketika perubahan sistem sosial politik itu terjadi, maka kondisinya mungkin lebih mudah untuk dilaksanakan karena mendapat dukungan politik yang kuat dari penguasa.

Faktor lain yang memiliki pengaruh besar dalam proses pelaksanaan kebijakan adalah perilaku atau attitude dari stakeholders kebijakan. Stakeholders ini tidak hanya pemerintah atau aparatur negara yang merupakan stakeholders utama implementasi kebijakan, tetapi juga pihak-pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan. Misalnya jika perilaku aparatur pelaksana kebijakan itu dianggap pasif atau tidak responsif dan proaktif, maka sesuatu yang sulit diimplementasikan akan menjadi semakin sulit. Sebaliknya jika aparatur birokrasi itu bersifat responsif dan inovatif, mungkin saja sejumlah hambatan yang ada bisa dicarikan jalan keluar pemecahannya. Dalam bentuk yang berbeda namun dalam konteks yang sama juga berlaku bagi masyarakat dan stakeholders lainnya, seperti kalangan pengusaha dan kelompok profesi. Jika mereka bersikap atau

Page 104: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

94 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

berperilaku aktif dan responsif terhadap sebuah kebijakan maka pelaksanaan kebijakan itu akan berjalan pada rel yang benar dalam mencapai tujuannya. Misalnya jika masyarakat itu secara aktif melakukan pengawasan dan evaluasi konstruktif terhadap proses pelaksanaan kebijakan.

Tentu masih banyak lagi faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya sebuah kebijakan dalam proses perjalanan menuju tujuan organisasi. Faktor-faktor tersebut baik yang bersifat umum seperti diuraikan di atas, juga faktor-faktor yang menjadi turunannya dan bersifat teknis operasional. Misalnya soal kapasitas dari organisasi pelaksana kebijakan seperti staf dan perlengkapannya. Jika staf yang ada itu kurang terlatih, staf terlalu banyak pekerjaan, informasi yang tidak memadai, sumber-sumber keuangan yang terbatas atau ketersediaan waktu yang terlalu pendek, maka semua itu bisa menjadi penghalang serius bagi proses implementasi kebijakan. Begitu juga faktor komunikasi antar organisasi, karakteristik badan pelaksana dan faktor lingkungan dimana organisasi pelaksana kebijakan itu berada sangat besar pengaruhnya terhadap proses implementasi kebijakan.

6. Proses Implementasi Kebijakan: Tahapan Krusial

Secara formal prosedural, kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak atau publik. Keputusan ini tingkatannya pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik, baik mereka yang pilih ataupun yang diangkat untuk memegang otoritas tersebut. Adanya kewenangan atau otoritas publik ini menjadi prasyarat yang penting karena sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik harus dibuat oleh otoritas publik. Mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya diasosiasikan dengan mereka yang dipilih melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Tetapi kebijakan publik itu tidak hanya dimiliki oleh mereka yang berhak berdasarkan otoritas politik, tetapi dalam arti luas juga 'dimiliki' oleh pejabat publik, sebagaimana konsep dan pengertian kebijakan publik sebagaimana dibahas dalam bab terdahulu.

Demikianlah bahwa ada serangkaian proses formal prosedural yang harus dilalui sebelum sampai pada apa yang disebut kebijakan publik. Kebijakan publik itu merupakan sesuatu yang kompleks dan melibatkan banyak stakeholders dan kepentingan. Begitu juga dalam proses implementasinya. Implementasi kebijakan adalah rangkaian proses yang

Page 105: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

95 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

melibatkan banyak stakeholders dan dengan sejumlah kepentingan yang menyertainya karenanya tidak mudah untuk direalisasikan sebagaimana rumusan normatifnya. Seperti dirumuskan dalam SANKRI bahwa persoalan implementasi kebijakan itu lebih luas dari sekedar pelaksanaan kebijakan. Implementasi bukan sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, juga menyangkut pertanyaan mendasar tentang konflik, pembuatan keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan dalam masyarakat. Implementasi kebijakan tidak dipandang semata-mata sebagai tindakan teknik dan administrasi, melainkan juga tindakan politik. Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijaksanaan. (SANKRI:2003)

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa dalam proses implementasi kebijakan aktornya bukan hanya pemerintah atau penyelenggara negara secara keseluruhan, tetapi semua stakeholders negara harus menjadi aktor yang aktif dalam proses tersebut. Idealnya peranan pemerintah itu sebagai fasilitator dan dinamisator sebagaimana yang banyak terjadi di negara yang sudah maju dan masyarakatnya relatif berdaya dan mandiri. Tetapi tidak demikian di negara berkembang atau negara yang sistem sosial politik masih dalam transisi dari yang sebelumnya otoritarian dan state-centris, menuju ke sistem yang lebih terbuka dan egalitarian. Dalam sistem ekonomi dan politik yang 'serba negara', maka peranan negara tentu sangat dominan atau bahkan segala-galanya dalam proses implementasi kebijakan publik. Namun tidak demikian di sebuah negara yang mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, peranan negara cenderung mulai berkurang.

Kondisi demikian jangan diartikan bahwa peran dan fungsi negara dalam proses implementasi kebijakan publik menjadi tidak lagi penting atau tergeser oleh peran masyarakat yang semakin mengemuka. Secara kuantitatif memang bisa dianggap demikian, atau tidak seperti dulu ketika sistemnya masih otoritarian dan state-centris, tetapi secara kualitatif peran dan fungsi negara tetap sangat penting. Mengacu pada definisi sederhana mengenai kebijakan seperti yang dikemukakan Bridgman dan Davis (2004: 3) bahwa kebijakan itu merupakan pilihan dari pemerintah untuk melakukannya atau sebaliknya tidak dilakukan ('whatever government choose to do or not to do!).

Page 106: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

96 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Definisi tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa peran dan fungsi negara melalui aparatur penyelenggara negara adalah sesuatu yang sangat penting dalam proses implementasi kebijakan publik. Dengan pengertian lain, sesungguhnya aktor utama dalam perumusan dan implementasi kebijakan itu adalah pemerintah. Pemerintah dengan segala perangkat dan kewenangan yang dimiliki bisa melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam proses implementasi sebuah kebijakan. Disebut demikian karena kedudukan pemerintah bisa disamakan dengan kedudukan manajer dalam sebuah organisasi. Dalam kedudukannya sebagai manajer organisasi, maka wajar jika pemerintah dan para penyelenggara negara memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dan menentukan proses implementasi kebijakan.

Persoalannya adalah ketika terjadi sejumlah persoalan dalam proses implementasi tersebut, maka pihak yang pertama kali disalahkan atau harus bertanggung jawab adalah pemerintah atau negara, dan bukan masyarakat. Memang pada dasarnya semua pemangku kebijakan harus ikut bertanggung jawab dalam arti seluas luasnya, tetapi dalam praktiknya harus ada pihak yang dianggap paling bertanggung jawab dan bersedia memikul tanggung jawab itu. Pihak itu tidak lain adalah penyelenggara negara yang berkaitan langsung dengan kebijakan tersebut paralel dengan hak dan kewenangan publik yang dimilikinya.

Yang disebut penyelenggara negara ini tentu tidak hanya pemerintah {government) tetapi juga organ dan para penyelenggara negara dalam arti luas. Yaitu mereka yang menjalankan peran dan fungsi publik berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku untuk melaksanakan kebijakan publik.

Terkait dengan persoalan proses implementasi ini, adalah sebuah fakta bahwa tidak sedikit kebijakan publik yang dibuat dan dirancang dengan bagus isinya, tetapi oleh berbagai sebab menjadi sulit dilaksanakan. Sebagai konsekuensinya tujuan yang diharapkan dari kebijakan itu tidak kunjung tercapai seperti yang diharapkan dalam kerangka normatifnya. Jika kemudian muncul persoalan maka hal demikian persoalannya bukan terletak pada buruknya kebijakan, tetapi lemahnya kemauan dan tindakan untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan konsep atau kebijakan yang sudah ada. Namun kondisi demikian bukan menjadi dasar alasan untuk tidak mengimplementasikan kebijakan dengan sebaik-baiknya. Apapun kondisi kebijakan yang ada, sekalipun dianggap masih jauh dari sempurna, namun keberadaannya harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sambil terus

Page 107: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

97 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

berupa memperbaikinya, agar kebijakan untuk persoalan serupa di masa datang menjadi lebih baik rumusan normatifnya. Tidak perlu menunggu sebuah kebijakan publik itu secara konsepsional dianggap sempurna baru kemudian dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Dari yang tidak sempurna atau masih banyak celah (loopholes) itu sejauh mana yang telah dilaksanakan. Dari situlah sebuah kinerja kebijakan diukur.

Persoalannya adalah apa yang sering dirasakan masyarakat adalah bahwa kebijakan publik itu sering diimplementasikan dengan setengah hati. Meskipun diakui bahwa kebijakan yang ada itu belum sempurna dan banyak ditemui 'cacat bawaan' karena ia lahir dari sebuah proses kompromi politik, tetapi masyarakat menilai bukan pada konsep normatifnya yang menjadi biang persoalan tetapi kesungguhan implementasinya yang menjadi biang masalah. Persoalannya diyakini ada di tingkatan pelaksanaan atau actuating meminjam tahapan atau siklus manajemen (POAC-planning, organizing, actuating, controlling). Sejauh ini, khususnya di era reformasi, rata-rata kebijakan publik yang dihasilkan bisa dibilang cukup bagus, tetapi tidak demikian dalam tahapan actuating atau implementasinya yang masih banyak menghadapi persoalan serius.

Page 108: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

98 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

BAB V

PENDEKATAN TEORITIK FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

PUBLIK

1. Kapasitas Badan Pelaksana Kebijakan

Dari uraian tentang konsep dan model implementasi kebijakan publik seperti pada bab-bab sebelumnya terlihat banyak sekali faktor-faktor atau variabel yang mempengaruhi keefektifan implementasi kebijakan publik. Namun apabila dicermati dari berbagai variabel pada hampir semua model implementasi kebijakan, selalu mengikutsertakan variabel lingkungan kebijakan serta variabel kapasitas badan pelaksana.

Pendapat di atas ditunjang dengan pendapat Lineberry (1978:70-71), yang menyatakan bahwa proses implementasi setidak-tidaknya memiliki elemen: 1) adanya organisasi dan staf pelaksana; 2) penjabaran tujuan dalam berbagai aturan pelaksanaan; 3) koordinasi atas berbagai sumber dan pembagian tugas diantara badan pelaksana; serta 4) alokasi sumber-sumber.

Berkaitan dengan kapasitas implementasi, Goggin et al. menggunakan istilah kapasitas organisasi {organizational capacity), atau kemampuan administrasi (administrative capability), dimana untuk pengertian tersebut ia menjelaskan sebagai berikut:

"Organizational capacity or administrative capability means simply the ability of a government to "get its act, together," to institute the structure, the routines, and the coordinated efforts of talented people sufficient to convert a policy massage into a get real achievement of

Page 109: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

99 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

course, a state administrative ability to deal with some policy issue may in turn be affected by other forces. (Goggin dkk; 1990:11)."

Definisi di atas terlihat terlalu luas, bersifat kualitatif dan tidak menggambarkan karakteristik yang tegas mengenai kapasitas organisasi. Selain itu definisi tersebut cenderung meninjau kapasitas organisasi dari dimensi proses dan outputs, yaitu bagaimana menggerakkan dan mengkoordinasikan suatu pesan kebijakan menjadi pencapaian nyata.

Namun Goggin {1990: 120) dalam buku yang sama memberi batasan tentang kapasitas organisasi dari dimensi input yaitu faktor-faktor apa saja yang dapat menentukan kapasitas sebuah organisasi. Dijelaskan bahwa: "Organizational capacity is treated as a product of the structure, the personal (or, in the jargon of the bureaucratic experts “human resources), and the financial characteristics of state agencies"

Seorang ahli lain, Edwards!!! {1981: 9-12), juga membahas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan. Dikatakannya: "... four critical factors or variables in implementing public policy: communication, resources, dispositions or attitudes and bureaucratic structure Lebih jauh ia menjelaskan tentang pengertian dari keempat faktor di atas:

a. Communication

For implementation to be effective, those whose responsibility it is implemented a decision must know what they are supposed to do. Orders to implement policies must be transmitted to the appropriate personnel, and they must be clear, accurate and consistent.

b. Resources

... important resources include staff of proper size and with the necessary expertise; relevant and adequate information... and facilities (including buildings, equipment, land and supplies).

c. Disposition or attitudes

... if implementation is to be proceed effectively, not only must implementators know what to do and have the capability to do it, but they must also desire to carry out a policy.

d. Bureaucratic structure

... implementation may still be thwarted because of deficiencies in bureaucratic structure, organizational fragmentation may kinder the coordination necessary

Page 110: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

100 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Menurut pandangan Edwards III, dari keempat faktor tersebut komunikasi ditempatkan pada posisi teratas mengenai tingkat pengaruh nya terhadap keefektifan implementasi kebijakan. Ini berkaitan dengan inter-relasi dan interaksi antara aktor perumus kebijakan (pengambil keputusan) dengan aktor pelaksana kebijakan, maupun komunikasi antara pelaksana kebijakan dengan kelompok sasaran (target group).

Agar kebijakan dapat diimplementasikan dengan baik, maka pelaksana kebijakan harus memahami secara utuh materi kebijakan yang akan dilaksanakan, baik dari substansi teknis, maupun latarbelakang historis dan filosofis dari kebijakan tersebut.

Untuk itu ada tiga variabel indikator menurut Edwards III yang harus dipenuhi agar komunikasi kebijakan berlangsung secara efektif. Pertama, penyampaian (transmission) antara komunikator dengan komunikan harus dirancang sedemikian rupa, dengan menggunakan saluran-saluran komunikasi yang baik dan disesuaikan dengan kondisi, serta selalu memperhatikan faktor-faktor hambatan komunikasi (noise) yang mungkin terjadi. Kedua, kejelasan (clarity), dimana substansi kebijakan yang akan disampaikan harus jelas, sehingga mudah difahami. Ketiga, konsistensi (consistency), yaitu bahwa penyampaian pesan kebijakan selain harus bersifat kontinyu, tapi juga tidak boleh ada pertentangan pemahaman diantara para penyampai pesan satu sama lain.

Variabel yang menempati posisi berikutnya menurut Edwards III adalah tersedianya sumber-sumber untuk melaksanakan kegiatan kebijakan, yang terdiri dari jumlah orang (staff), kualitas pelaksana, tersedianya informasi mengenai hal-hal yang berkaitan pelaksanaan kebijakan, tersedianya wewenang yang cukup dan diakui bagi pelaksana kebijakan, serta tersedianya fasilitas yang memadai untuk mendukung pelaksanaan kebijakan baik anggaran maupun fasilitas kerja. Kapasitas yang disediakan dari sumber-sumber di atas harus sesuai dengan tingkat masalah, keluasan daya jangkau maupun jumlah sasaran yang harus dicapai.

Variabel lain yang mempunyai tingkat pengaruh ketiga untuk keefektifan pelaksanaan kebijakan adalah variabel disposisi, yang dimaksud adalah sikap dan perilaku dari pelaksana. Karena meskipun komunikasi telah berjalan dengan baik serta ditunjang oleh kapasitas sumber-sumber yang memadai, namun apabila tidak didukung oleh sikap para pelaksana maka pelaksanaan kebijakan tidak akan efektif. Ada tiga variabel indikator dari

Page 111: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

101 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

diposisi menurut Edwards III, yaitu dimensi efek dari sikap seperti sikap ego sektoral, penempatan staf birokrasi serta dimensi faktor pendorong yang merupakan sumber motivasi bagi pelaksana kebijakan untuk melaksanakan kebijakan secara efektif.

Variabel terakhir adalah struktur birokrasi, dimana untuk variabel ini Edwards III menggambarkan aspek-aspek pembagian tugas dan mekanisme pelaksanaan tugas melalui penetapan Prosedur Operasi Baku (Standard Operating Procedure).

Kalau dikaitkan dengan sistem kebijakan yang merupakan inter-relasi dari tiga elemen yang terdiri dari: (1) sistem politik (institusi, proses dan perilaku), (2) kondisi dan kekuatan lingkungan, (3) kebijakan itu sendiri (seperti teori sistem kebijakan dari Thomas R. Dye dan William N. Dunn), maka teori Edward III terlihat lebih memenuhi untuk masuk pada elemen institusi, proses dan perilaku. Faktor komunikasi dan sumber daya masuk dalam kategori proses, disposition tercakup dalam kategori perilaku, sedangkan struktur birokrasi masuk dalam kategori institusi.

Masih ada pendapat lain yang mendukung Edwards III mengenai pentingnya kapasitas organisasi dalam implementasi kebijakan, yaitu van Metter dan van Horn (1975: 471) berpendapat bahwa variabel independen bagi keefektifan implementasi kebijakan terdiri dari:

a. The competence and size of on agency's staff; b. The degree of hierarchical control of sub unit decisions and processes wi

thin the implementating agencies; c. Agency's political resources (e.q. support among legislators and

executives);. d. The vitality of an organization; e. The degree of open communication...within an organization;. f. The agency's formal and informal linkages with the policy making or

policy body.

Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kapasitas organisasi sebagai variabel independen bagi tercapainya keefektifan implementasi kebijakan, memiliki unsur-unsur sebagai sub variabel, sebagai berikut:

a. Adanya hubungan yang memadai antara organisasi pembuat kebijakan dengan organisasi pelaksana, antara organisasi pelaksana dengan organisasi terkait lain, serta antara organisasi pelaksana dengan kelompok sasaran.

Page 112: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

102 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

b. Tersedianya sumber-sumber yang dibutuhkan meliputi: (a) sumber daya manusia baik jumlah, keahlian maupun sikap yang memadai, (b) sumber daya keuangan, (c) informasi yang dibutuhkan, (d) sumber wewenang.

c. Tersedianya sikap perilaku yang memadai dari para pelaksana kebijakan yang akan mempengaruhi terhadap kemampuan manajerial seperti dalam hal perencanaan, penggerakan, koordinasi, evaluasi maupun pengawasan/pengendalian.

d. Tersedianya struktur organisasi birokrasi yang sesuai dengan beban tugas yang harus dilaksanakan, sehingga memungkinkan terjadinya pembagian tugas, optimalisasi, spesialisasi, serta pelaksanaan pekerjaan yang sesuai dengan standar operasi yang telah ditetapkan.

Keempat hal di atas sejalan dengan pendapat Edwards III (1981) mengenai empat faktor atau variabel kritis dalam implementasi kebijakan publik, yang terdiri dari: komunikasi, tersedianya sumber-sumber, sikap atau perilaku pelaksana dan tersedianya struktur birokrasi yang memadai dari organisasi pelaksana. Untuk menjelaskan pengaruh keempat faktor di atas terhadap keefektifan kebijakan publik, dapat diuraikan sebagai berikut.

2. Pengaruh Faktor Komunikasi

Kalau mengacu pada pendapat Edwards III (1980:17), yang dimaksud dengan komunikasi dalam implementasi kebijakan publik adalah komunikasi 153 Pendekatan Teoritik Faktor-faktor Implementasi Kebijakan Publik antara formulator kebijakan dengan implementator di lapangan, serta antara implementator dengan kelompok sasaran, berkaitan dengan substansi kebijakan yang akan diimplementasikan. Hal tersebut seperti pernyataan Edwards pada buku dan halaman yang sama: “the first requirement for effective policy implementation is that those who are to implement a decisions must know what they are supposed to do". Faktor komunikasi menjadi hal yang sangat menentukan dalam implementasi kebijakan. Karena meskipun kebijakan yang dihasilkan telah memiliki kualitas yang baik dan bertujuan untuk terpenuhinya kepentingan masyarakat, namun apabila para implementator tidak memiliki pemahaman yang jelas, lengkap dan luas tentang makna dan tujuan kebijakan, maka tentu mereka akan menyampaikannya dengan samar-samar, sempit dan terbatas. Sehingga akibatnya memungkinkan terjadinya sikap apriori atau bahkan terjadi penolakan kebijakan dari kelompok sasaran.

Page 113: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

103 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Cafezio dan More Louse (1998:38): "understanding is the key with influences individuals or groups to take positive action to achieve specific goals-the real essence of what leaders do. Good communication is the key to understanding".

Seringkali terjadi kegagalan implementasi kebijakan tidak disebabkan karena kualitas kebijakannya itu sendiri, tetapi karena hambatan dalam proses komunikasi kebijakan. Oleh karena itu komunikasi untuk implementasi kebijakan harus dirancang sedemikian rupa, termasuk mengantisipasi hambatan-hambatan yang mungkin terjadi.

Dalam proses komunikasi kebijakan, Edwards III (1980:37) menyebutkan, tiga hal yang perlu dicermati dalam proses komunikasi kebijakan.

Pertama, transmisi (transmission), yaitu proses penyampaian pesan kebijakan harus berjalan dengan baik, dimana pesan dirancang sedemikian rupa sehingga mudah difahami, pemilihan saluran dan media komunikasi yang tepat dan disesuaikan dengan kondisi/situasi penerima pesan, memperhatikan kemampuan penerima pesan, memperhitungkan kemungkinan adanya gangguan komunikasi (noise), serta dirancang agar terjadi umpan balik (feed back).

Kedua, kejelasan materi komunikasi (clarity), yakni kejelasan substansi kebijakan serta rencana atau tahapan-tahapan kebijakan yang akan diimplementasikan. Oleh siapa akan diimplementasikan, siapa yang akan menjadi kelompok sasaran, bagaimana proses implementasinya, dimana kebijakan akan diimplementasikan, serta mengapa kebijakan itu perlu diimplementasikan.

Ketiga, konsistensi (consistency) dalam mengimplementasikan kebijakan, yaitu bersifat kontinyu (terus-menerus) sampai tujuan implementasi dapat dicapai, serta tidak terjadi kontradiksi sikap dan perilaku diantara para aktor kebijakan.

Ada beberapa fungsi penting yang harus diperhatikan dalam proses komunikasi implementasi kebijakan, yaitu: Pertama, pengirim pesan kebijakan (komunikator-sender), dalam proses ini terdiri dari pembuat kebijakan (policy maker) serta pelaksana kebijakan. Kedua, penerima pesan kebijakan (receiver) yang bisa jadi adalah implementator segala lapisan, pelaksana kebijakan, maupun penikmat kebijakan, yang dalam konteks penelitian ini adalah pengusaha dan pekerja. Ketiga, media (transmitter-

Page 114: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

104 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

channel mediator alat atau metode penyampaian pesan), yang dapat berupa perangkat keras (hardware) dalam wujud media komunikasi, maupun perangkat lunak (software) manusia sebagai perantara (mediator). Keempat, gangguan komunikasi (noise) yang menghambat proses penyampaian pesan kebijakan terhadap transmisi maupun proses kebijakan. Kelima, isi atau materi pesan kebijakan (message), yakni berupa kebijakan serta rencana-rencana implementasi kebijakan yang akan dikomunikasikan.

Komunikasi kebijakan publik sebagai suatu proses menuju suatu keberhasilan implementasinya dapat digambarkan dalam kerangka berfikir sistem seperti di bawah ini:

Gambar 2.1: Poses Komunikasi Implementasi Kebijakan Sumber: Schermerhorn, Hunt, Osborn

Hakekat komunikasi (dalam konteks penyuluhan dan komunikasi) yang dirangkum oleh Ibrahim T.J, A. Sudiyono, dan Harpowo (2003:37-38) adalah:

"Komunikasi pada hakekatnya proses pertukaran pesan-pesan verbal dan atau non verbal diantara pengirim (sender) melalui berbagai media transmisi (method, channel, transmitter), guna mengubah sikap dan perilaku yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik."

Tujuan akhir dari komunikasi menurut Ibrahim dkk, adalah sama dengan tujuan penyuluhan dalam pendidikan non formal, yakni mengubah sikap perilaku penerima mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, sehingga pemahaman tentang implementasi kebijakan meningkat, ketrampilan dalam mengimplementasikan kebijakan bertambah, serta sikap dan perilakunya terhadap implementasi kebijakan menjadi positif.

SUMBER Intended Encoded

Meaning Massages

PENERIMA Decoded Perceived Massages Meaning

NOISE Physical distraction Semantic errors Cultural differences Absences of feedback Status effects

Page 115: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

105 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Sementara itu Rogers (1969) dalam Soewardi (2004:178), menyampaikan teori perubahan perilaku yang berlandaskan teori komunikasi S-M-C-R-E (Source, Message, Channel, Receiver, Effect).

Proses alami komunikasi digambarkan oleh Schermerhorn, Hunt dan Osborn (1998:337):

"A process of sending and receiving messages with attached meanings. They include a source, who encodes an intended meaning into message, and receiver, who decodes the message into a perceived meaning. The receiver may or may not give feedback to the source. Noise is the term used to any disturbance that disrupts it and interferes with transference of the messages within the communication process"

Diterjemahkan secara bebas, bahwa komunikasi sebagai suatu proses pengiriman dan penerimaan pesan yang memuat arti-arti dari pengirim bagi penerima. Penerima bisa memberi atau tidak memberikan umpan balik kepada pengirim, sedangkan noise diartikan sebagai gangguan yang menghambat komunikasi.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa ada tiga hal yang mempengaruhi keefektifan komunikasi dalam implementasi kebijakan, sebagaimana dikemukakan oleh Edwards III yaitu; dimensi penyampaian (transmission), dimensi kejelasan (clarity) serta dimensi konsistensi (consistency). Sejauh mana ketiganya berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan, dapat diuraikan berikut ini.

a. Penyampaian (transmission)

Seperti dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa titik-titik transmisi dalam komunikasi adalah terdiri dari: komunikator (communicator), penerima (receiver), media (transmitter-channel), serta hambatan komunikasi (noise).

1) Komunikator (communicator)

Berfungsi sebagai pengambil keputusan kebijakan (policy maker), serta implementator kebijakan yang kenyataannya berada pada beberapa lapisan birokrasi. Menurut Ibrahim (2003:17), komunikator harus memiliki beberapa persyaratan mendasar untuk melakukan komunikasi, yaitu: ketrampilan mempengaruhi orang lain, memahami rumusan substansi kebijakan sebagai materi yang akan dikomunikasikan, serta kepercayaan diri yang tinggi.

Page 116: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

106 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

2) Penerima (receiver)

Sebagai penerima pesan atau informasi kebijakan yang dapat dikelompokkan sebagai penerima yang dikehendaki (intended receiver) dan penerima yang tidak dikehendaki (unintended receiver) (Ibrahim dkk, 2003:40). Sedangkan Fliegel (1984) dalam Swanson (1984:80), mengemukakan bahwa ada beberapa tahapan respon yang terjadi dalam diri penerima komunikasi, tergantung pada: 1) lama barunya pesan yang dikomunikasikan, 2) cara komunikasi dilaksanakan (persuasif atau menarik tidaknya komunikasi), 3) keputusan yang diambil oleh penerima untuk mengimplementasikan, apakah mengadopsi atau perlu konfirmasi terlebih dahulu.

3) Media (transmitter-channel)

Banyak cara, metode dan saluran komunikasi yang dapat digunakan, baik secara lisan melalui pendekatan individual atau massa, secara tertulis (melalui poster, brosur, leaflet, selebaran), maupun audio visual (film, TV, CD). Semakin banyak cara, metode, dan saluran yang digunakan dalam komunikasi kebijakan serta melalui kombinasi yang benar dan sasaran yang tepat, maka penerima pesan kebijakan akan semakin memahami terhadap pesan kebijakan (Ibrahim dkk, 2003:18). Deutshman (1983) yang dikutip oleh Fliegel (1984)dalam Swanson (1984:79-80), menunjukkan hasil penelitiannya tentang media penyuluhan di dunia ketiga, bahwa materi tertulis kenyataannya hanya dapat mencakup penerima yang sangat terbatas jumlahnya, sehingga penyampaian tatap muka secara lisan jauh lebih baik dan efektif sekalipun mahal karena membangun komunikasi dua arah. Kehadiran sarana audio visual seperti radio dan televisi sebagai media komunikasi memperluas cakupan jumlah penerima pesan. Sedangkan media komunikasi elektronik mutakhir seperti internet tetap berada di bawah cakupan audiovisual.

4) Hambatan komunikasi (noise)

Ada beberapa hal yang dapat menjadi penghambat dalam proses penyampaian pesan kebijakan. Hambatan-hambatan tersebut menurut Edwards III (1980:18-26) terdiri dari:

Page 117: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

107 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

A

J

H

D

C

B

F

E

G

I

J

a) Tidak adanya kesepakatan (disagreement) dari para implementator dalam menangani masalah-masalah pelaksanaan kebijakan, sehingga sering berjalan sendiri-sendiri dan menyimpang dari aturan.

b) Tingkatan birokrasi yang berlebihan, sehingga jalur komunikasi menjadi lebih panjang.

c) Penggunaan arti yang tidak langsung, yang dapat mengundang penafsiran yang berbeda-beda.

d) Tidak tersedianya saluran (channel) yang memadai untuk menyampaikan pesan.

e) Kesalahan persepsi tentang arti kebijakan, tapi ada keengganan untuk memahami arti yang sebenarnya, sehingga masing-masing mencoba untuk memberi arti dengan kira-kira.

Hal di atas sejalan dengan pernyataan Siporin dalam Iskandar (1995:166-167) tentang faktor-faktor penghambat komunikasi, yaitu:

1) Terganggunya proses komunikasi. 2) Kurangnya kemampuan komunikator. 3) Perbedaan kerangka pemikiran antara komunikator dan

komunikan 4) Kesalahan prosedur atau tidak adanya saluran (channel) untuk

umpan balik. 5) Kecenderungan mempertahankan hubungan antar personal. 6) Rendahnya kepercayaan diri para aktor komunikasi.

Sedangkan untuk mendukung pernyataan tentang hambatan komunikasi karena tingkatan birokrasi yang berlebihan, di bawah ini disajikan konsep jembatan Fayol yang menggambarkan proses komunikasi organisasi.

Gambar 2.2: Konsep Jembatan Fayol

Sumber: Fred Luthans (1981:334)

Page 118: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

108 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Gambar di atas menunjukkan, bahwa apabila H akan berkomunikasi dengan I, maka harus melewati pejabat-pejabat (saluran) di atasnya terlebih dahulu dengan cara memutar sehingga tidak efisien. Oleh karena itu, secara imajiner, diciptakan jembatan yang menghubungkan kedua pejabat tersebut (H-I) secara langsung, sehingga komunikasi menjadi lebih efisien.

Sedangkan Schermerhorn, Hunt dan Osborn (2003:342-344),menyatakan ada enam faktor hambatan komunikasi yaitu: 1) gangguan fisik (physical distraction), sebagai akibat dari gangguan konsentrasi karena tidak adanya prioritas dalam perencanaan, 2) masalah-masalah semantik (semantic problems) yaitu masalah bahasa dan kata-kata yang dapat menyebabkan perbedaan persepsi dari isi pesan yang disampaikan, 3) pesan-pesan campuran (mix messages) yaitu pesan yang disampaikan secara campuran antara kata-kata dengan gerakan badan serta mimik muka (body language), sehingga menggambarkan pesan lain, 4) per-bedaan budaya (cultural difference) pada komunikasi lintas budaya, 5) tidak adanya umpan balik (absence off feedback) pada komunikasi satu arah, 6) pengaruh status (status effect) yang terjadi akibat perbedaan tingkatan kedudukan antara komunikator dan komunikan.

b. Kejelasan (clarity)

Informasi kebijakan yang telah disampaikan kepada penerima pesan belum tentu akan menghasilkan implementasi kebijakan dengan baik, bilamana informasi yang disampaikan kurang informasi tersebut masih bersifat umum, global dan belum menguraikan rincian langkah dari implementasi kebijakan. Akibatnya pengambilan keputusan oleh implementator juga akan bersifat umum dan global, sehingga implementasinya menjadi tidak benar.

Disparitas informasi dalam komunikasi kebijakan dapat pula disebabkan karena tidak adanya standar informasi kebijakan yang baku, tidak adanya komunikator yang telah dibakukan kualifikasi kompetensinya, serta imajinasi dan kreatifitas implementator bisa menjadi penyebab fokus implementasi kebijakan menjadi bermacam-macam dan bertingkat-tingkat.

Mengenai kesalahan interpretasi dalam implementasi kebijakan sehingga mengakibatkan kesalahpahaman (misunderstanding), dicontohkan oleh Edwards III (1980:27) dalam kesalahpahaman atas economic opportunity

Page 119: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

109 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

act of 1964 pada topik maximum feasible participation. Pada kasus ini perbedaan bahasa hukum kebijakan dan bahasa orang awam mengenai informasi kebijakan dan implementasinya perlu dicermati secara optimal.

Hal yang lain dalam ketidakjelasan komunikasi adalah disebabkan karena tidak diantisipasinya kemungkinan terjadinya perubahan (unanticipated change), perubahan yang benar-benar terjadi (true intension), pengurangan karena terjadinya diskresi (reducing discreation), keputusan pengadilan yang tidak memiliki kepastian dan bahkan membingungkan (ambiguous court decision), serta kurangnya pertimbangan tentang nilai-nilai fleksibilitas (value of flexibility) (Edwards III, 1980:31-40).

Mengenai kendala kejelasan, Edwards III (1980:3640) menyebutkan bahwa kendala kejelasan komunikasi dapat disebabkan oleh: kerumitan di tingkat pembuatan kebijakan, adanya penolakan dari publik, adanya beberapa tujuan yang bertentangan, belum dicapai konsensus, belum terbiasanya pada program-program baru, serta hakekat dari keputusan-keputusan pengadilan.

Sementara Schermerhorn, Hunt dan Osborn (2003:8494), cenderung mengetengahkan teori atribut (attribution theory) atau teori noise, untuk menjelaskan kendala-kendala kejelasan komunikasi individu maupun organisasi, yaitu: 1) pemahaman tentang proses persepsi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, 2) memahami tahapan dari proses persepsi, 3) mencermati distorsi dari persepsi yang sering terjadi seperti: stereo type, proto type, hallo effect, persepsi selektif, efek kontras dan proyeksi. Dikemukakan bahwa ada tiga hal yang mempengaruhi proses persepsi, yaitu mereka yang sesungguhnya membutuhkan pengalaman, motivasi, nilai dan sikap, fisik, sosial, dan kelembagaan, serta mereka yang menolak, kontra dan memisahkan diri.

c. Konsistensi (consistency)

Konsistensi dalam komunikasi sangat penting untuk berhasilnya implementasi kebijakan. Hal tersebut untuk memelihara persepsi, memantapkan arah implementasi, serta mempertahankan sikap implementator terhadap kebijakan, sehingga sampai pada pencapaian kinerja kebijakan yang diharapkan. Yang dimaksud dengan konsistensi disini adalah adanya kesinambungan, kesesuaian, dan keselarasan mengenai informasi yang disampaikan, baik dalam tatanan waktu maupun tatanan orang-orang yang menyampaikan.

Page 120: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

110 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Komunikasi yang tidak konsisten dalam implementasi kebijakan dapat terjadi akibat dari penggantian pejabat, perubahan kebijakan, pengaruh-pengaruh eksternalitas yang kuat seperti hasil evaluasi kinerja program, nilai-nilai kepentingan baik politis, sosial, ekonomi, sehingga mempengaruhi tingkat dukungan terhadap implementasi kebijakan.

Salah satu contoh inkonsistensi dalam kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja adalah masuknya program tersebut dalam kebijakan dasar daerah, tetapi dalam implementasinya tidak disertai dengan dukungan anggaran yang memadai. Kondisi tersebut dapat menimbulkan kebingungan dari pelaksana kebijakan maupun kelompok sasaran, sehingga menurunkan tingkat kinerja kebijakan.

3. Pengaruh Faktor Sumber Daya

Edwards III (1980:87) mengemukakan, bahwa meskipun komunikasi telah berjalan dengan baik, akan tetapi bila tidak didukung dengan sumber daya yang memadai, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif. Dalam kaitan ini Simanjuntak (1985:30) menyatakan bahwa sumber daya masukan dapat terdiri atas beraneka ragam faktor produksi seperti modal, tanah, bangunan, peralatan dan mesin, bahan baku serta sumber daya manusia.

Jika Goggin dkk hanya menyebutkan dua macam jenis sumber daya sebagai kapasitas organisasi, yaitu sumberdaya manusia (personnel) dan sumber daya keuangan (financial resources), maka Iglesias (1976:25-26) menyebutkan lebih luas lagi yaitu resources... include generally human (e.q. program personnel) as well as non human component (funding), physical plant and equipment, material, etc)"

Yang lebih luas adalah Edwards III (1980:10), mengemukakan bahwa yang termasuk dengan sumber-sumber tersebut meliputi: jumlah dan kualitas staf, data informasi yang tepat dan relevan, kewenangan yang cukup, serta fasilitas dan sarana kerja termasuk gedung, peralatan, tanah serta dukungan. Disini Edwards III tidak memasukkan faktor keuangan, sedangkan faktor perilaku yang disebutnya dengan disposition ditetapkan berdiri sendiri dan terpisah dari unsur sumber daya manusia. Mengenai personil, Goggin dkk (1990:128) mengemukakan:

"Another important element of organizational capacity concern human resources or personnel. An initial expectation is that the more personnel

Page 121: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

111 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

percapita that a state devotes to implementing a program (other things being equal) the more direct implementation style and the more effective the program in producing its outputs and outcomes."

Smith (1973:202) mengemukakan bahwa kualitas personil yang melaksanakan kebijakan sangat penting, karena personil yang kurang atau tidak berkualitas akan mengurangi kapasitas pelaksanaan. Variabel personil ini memiliki dua karakteristik yang harus dipenuhi agar mampu menjadi pelaksana kebijakan yang baik yaitu: (1) Terpenuhinya jumlah yang cukup, dimana indikatornya adalah jumlah personil dibandingkan dengan beban kerja, jumlah kelompok sasaran, serta luas wilayah (2) Memiliki kemampuan yang sesuai dengan jenis pekerjaan. Kapabilitas disini meliputi indikator-indikator seperti: kemampuan teknik, kemampuan manajerial, pemahaman mengenai substansi kebijakan yang akan dilaksanakan, serta sikap/perilaku (attitude), yaitu keinginan dan rasa tanggung jawab untuk keberhasilan pelaksanaan.

Mengenai personil ini Edward III (1980: 54) mengatakan: " We must evaluate the bureaucracy, not only in terms of absolute number, but also in terms of its capabilities to perform desired task.

Faktor kedua dari variabel sumber daya adalah tersedianya informasi yang terwujud dalam dua bentuk, yaitu: (1) kejelasan mengenai langkah/ tindakan yang harus dilaksanakan dan (2) informasi dalam bentuk data yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan. Untuk hal ini Edwards III (1980: 63) mengemukakan:

"Information is second essential resources in policy implementation, this information comes in two forms. The first is information regarding how to carry out a policy. Implementators need to know to do when they are given directives to act the second form of essential information is data on the compliance of other with governmental rules and regulations."

Faktor ketiga dari variabel sumber daya adalah yang disebut dengan wewenang (authority). Mengenai pengertian wewenang ini, Simon (1998:195) memberikan definisi sebagai berikut: "Kekuasaan untuk mengambil keputusan dalam membimbing tindakan-tindakan individu lainnya. Wewenang merupakan hubungan antara individu, yang satu atasan dan yang lainnya bawahan".

Ndraha T (2003:85-86) yang mengutip pendapat beberapa pakar mengatakan, bahwa kewenangan adalah " the power or right delegated or given, the power to judge, act or command". Yaitu bahwa kewenangan adalah

Page 122: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

112 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

kekuasaan atau hak yang diberikan atau didelegasikan, keputusan untuk mengambil keputusan atau mengadili, bertindak atau memerintah yang harus dibedakan dengan istilah kesewenang-wenangan (authocracy-authocratic). Oleh karena itu, karena didelegasikan maka kewenangan harus dipertanggungjawabkan (the obligation to act answer and responsibility).

Ajaran Max Weber (1864-1920) menyatakan bahwa kewenangan pemerintah bersifat legal-rasional, sehingga birokrasi didominasi oleh semangat "formalistic impersonality". Pendapat ini kemudian dibantah oleh Barnard, bahwa bangunan birokrasi diuji oleh kenyataan "whether orders are accepted by those who receive them", yang pada dasarnya tidak mengakui paradigma hirarkis dan top bottom model of authority. Kewenangan hirarkis yang diberikan "secara tertulis (formal)" dan "atas perintah atasan ", atau "saya hanya pelaksana saja" tidak berlaku karena selain tidak efisien (birokrasi dibentuk oleh Weber dalam rangka efisiensi), juga mengabaikan tanggungjawab implementator, melemparkan kembali kesalahan dan tanggungjawab ke atas.

Jadi yang penting menurut acceptance theory of authority dan organization theory and management, adalah bukannya bawahan (sebagai implementator kebijakan) sebagai pihak yang harus memenuhi perintah atasan (atas dasar keputusan kebijakan), namun sebaliknya apakah bawahan bersedia menjalankan tugas yang diperintahkan kepadanya (dengan penuh ketulusan dan keikhlasan serta bertanggung jawab sebatas implementasi) (Nigro FA and L.G Nigro (1980:133) dalam Ndraha T (2003:85).

Dari definisi di atas terlihat bahwa, kewenangan dimaksudkan untuk menghasilkan kepatuhan baik bagi para aktor pelaksana kebijakan, maupun orang-orang atau organisasi sasaran kebijakan. Jadi wewenang tersebut memiliki dua sasaran yaitu: sasaran terhadap internal organisasi pelaksana dan terhadap kelompok eksternal organisasi.

Kalau beranjak dari pendapat Goggin (1990:21) bahwa: "that organization is a political act, and organization is an expression of political will"... maka kewenangan yang dimiliki oleh aktor pelaksana sudah eksplisit di dalam kebijakan yang akan dilaksanakan. Ada beberapa bentuk kewenangan yang dibutuhkan untuk efektifnya implementasi kebijakan. Bentuk-bentuk kewenangan tersebut menurut Edwards III (1980: 66) adalah:

"Authority varies form to program and comes in many different forms; the right to issue subpoena; take cases to court; issue orders to other officials;

Page 123: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

113 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

withdraw funds from program; provide funds, staff and technical assistance; issue checks to citizens; purchase goods and service; or levy taxes."

Untuk itu diperlukan peraturan-peraturan lain yang mengatur kewenangan di atas, karena hal tersebut tidak cukup dan tidak mungkin diatur dalam kebijakan makro. Selain itu, salah satu sumber kewenangan untuk menciptakan kepatuhan kelompok sasaran adalah diperlukannya ketentuan sanksi bagi pelanggar kebijakan.

Faktor keempat dari sumber daya adalah tersedianya sumber keuangan (financial capacity) untuk membiayai kegiatan implementasi kebijakan. Mengenai kapasitas keuangan ini Goggin dkk (1990:120) mengemukakan: Agency capacity also requires possession of the requisite financial resource for the program. These resource are some times of two kinds. These targeted directly to clients and these spent in the process of implementation.

Keterbatasan anggaran ini merupakan salah satu kendala yang dialami oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah, untuk membiayai implementasi kebijakan baik itu kebijakan daerah sendiri, maupun kebijakan yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah pusat. Hal tersebut dikemukakan oleh Rasyid (1997:148):

"Masalah pembiayaan yang dihadapi adalah kurangnya kemampuan pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya, baik karena terbatasnya sumber-sumber penerimaan yang ada maupun karena kurang intensifnya pengembangan dan penggarapan sumber-sumber penerimaan potensial yang dimiliki."

Faktor ketidakcukupan anggaran untuk membiayai implementasi kebijakan ini dialami oleh banyak pemerintah daerah di negara-negara berkembang. Cheema dan Rondinelly (1983:305) menggambarkan hasil kajian beberapa sarjana antara lain di Brazilia, dimana penerimaan daerah dari pajak setiap tahun makin menurun. Di Meksiko juga terjadi ketidakseimbangan penerimaan anggaran, antara total penerimaan anggaran daerah yang hanya mencapai kurang dari 10% total anggaran nasional. Di negara-negara Asia juga menunjukkan gejala yang sama, dimana secara finansial pemerintah daerah masih sangat tergantung pada pemerintah pusat. Untuk itu Rondinelly (1984:66) mengemukakan pendapat mengenai timbulnya masalah keuangan pada pelaksanaan desentralisasi:

Page 124: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

114 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

"The inadequacy of financial resources and the mobility to allocate and expand the effectively were noted in evaluation of decentralization in nearly developing country. The task of independence sources of revenue... the depend on central government grant."

Pentingnya sumber daya keuangan bagi pembiayaan pelaksanaan kebijakan menjadikan aspek anggaran sebagai faktor yang sangat penting dalam aktivitas administrasi negara. Pembahasan berkisar diantara upaya untuk memperoleh besarnya anggaran yang diperlukan, proses pengelolaannya serta pemanfaatan agar berjalan dengan efektif dan efisien. Oleh karena itu, ada pendekatan bercabang dalam hal penganggaran ini, yaitu: pendekatan politik, ekonomi, hukum dan manajerial.

Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Rosenbloom (1956: 236): "Budgeting is a Public Administration activity of preeminent importance,. moreover, budgeting is so complex in its political and economic ramifications...".

Dimana sumber keuangan yang digunakan untuk membiayai personil, operasional, serta biaya pengadaan peralatan dan sarana serta prasarana kerja yang dibutuhkan, sangat dipengaruhi oleh dukungan politik dan kemampuan ekonomi pemerintahan.

4. Pengaruh Sikap Pelaksana

Untuk faktor sikap pelaksana, Edwards III menyebutnya dengan dispositions, yang dimaksudkan adalah sikap atau perspektif para implementator kebijakan, seperti dikatakan oleh Edwards (1980:89):

"If implementators are well disposed to word a particular policy, they are more likely to carry out as the original decision makers intended. But when implementators attitudes or perspectives differ from the decision makers, the process of implementing a policy becomes infinitely more complicated."

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa perlu adanya kesamaan sikap atau perspektif antara para pengambil kebijakan (decision makers) atau formulator kebijakan, dengan para implementator kebijakan. Dikatakan bahwa para implementator (birokrat) secara umum mempunyai kemungkinan menyimpang dalam sikap dan perspektifnya tentang kebijakan, dan ini dapat menjadi penghambat utama bagi keefektifan implementasi kebijakan.

Page 125: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

115 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Hal di atas dapat terjadi karena adanya pemisahan antara para pengambil kebijakan/keputusan, dengan para pelaksana kebijakan (implementator) yang memiliki kebebasan (independence) untuk menafsirkan makna, serta menentukan cara menjalankan kebijakan.

Ada beberapa pertanyaan mendasar lebih lanjut dari keadaan di atas, yaitu: 1) apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan sikap pandang tentang kebijakan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan, 2) mengapa para pimpinan unit pelaksana kebijakan mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menempatkan petugas pelaksana yang lebih responsif untuk menjalankan programnya, dan 3) bagaimana mempengaruhi sikap petugas pelaksana melalui pemberian insentif sebagai penghargaan (rewards).

Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan sikap/ perspektif dari petugas pelaksana kebijakan.

Pertama adalah sikap pandang sempit, yang menganggap bahwa sektor pekerjaannya sangat penting dan lebih penting daripada sektor lainnya (ego sektoral). Oleh karena itu, mereka akan selalu berlomba untuk memperoleh dukungan dari pimpinan bagi perkembangan dan kelangsungan organisasinya. Seperti dikatakan Edwards III (1980:92): "more over, implementators will tend to see the health of their organizations as a high priority". Itulah yang menyebabkan terjadinya perbedaan sikap pandang tentang kebijakan antara petugas pelaksana dengan pimpinan tidak langsung, maupun antar petugas pelaksana dari sektor pekerjaan yang lain, serta timbulnya sikap pandang yang sempit tentang kepentingan organisasi.

Kedua, adalah sikap pandang pelaksana yang lebih mengutamakan perolehan penghasilan untuk kesejahteraan mereka sendiri. Disini dapat terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam menjalankan kebijakan, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri, sehingga kebijakannya itu sendiri menjadi terabaikan, atau berjalan tapi tidak sesuai dengan tujuan.

Ketiga, ketidak-mampuan pimpinan unit pelaksana untuk memilih dan menempatkan petugas pelaksana yang dinilai lebih tanggap terhadap perintah pimpinannya. Ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti dikatakan oleh Edwards III (1980:98-106), yaitu sistem pengangkatan pegawai, sistem pelayanan masyarakat, sistem kepegawaian di lingkungan peradilan, dan metode pengurangan pegawai.

Page 126: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

116 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pengangkatan pegawai tidak selalu mulus untuk mendapatkan pegawai yang benar-benar cocok untuk melaksanakan suatu kebijakan, karena banyak hal yang harus dipertimbangkan, baik yang menyangkut aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, geografi dan sebagainya. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Edwards, menyoroti keadaan di Amerika Serikat:

"President are also constraint politically in their appointments. Usually they feel these appointments must show a balance of geography, ideology, ethnicity, sex and other demographic characteristic salient at the time."

Sistem kepegawaian untuk pelayanan masyarakat juga tidak memungkinkan untuk menempatkan orang yang dinilai benar-benar cakap menjalankan kebijakan. Karena sistem yang sudah baku tidak memungkinkan memasukkan orang dari luar sistem, misalnya persyaratan status kepegawaian, persyaratan kepangkatan, pengalaman kerja, pendidikan teknis kedinasan dan lain-lain.

Keempat, untuk merubah sikap pelaksana agar mendukung kelancaran pelaksanaan kebijakan adalah dengan pemberian manipulasi penghargaan (the manipulation of incentives). Hal ini untuk mengatasi masalah karena ditemukannya kesulitan untuk merubah kepegawaian dalam pemerintahan.

Beberapa fakta yang terjadi di Negara Amerika Serikat seperti di Departemen Kehakiman (Department of Justice Officials), juga studi yang dilakukan pada National Environmental Policy Act (NEPA) pada tahun 1970 dan 1971, menunjukkan besarnya pengaruh faktor insentif untuk merubah sikap pelaksana kebijakan. Bahkan dari berbagai contoh praktis di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa bukan hanya insentif yang mampu berpengaruh, tetapi tekanan eksternal juga dapat menjadi pendorong bagi para pelaksana untuk lebih efektif melaksanakan kebijakan. Seperti intervensi legislatif yang secara kontinyu mengontrol jalannya kebijakan, maupun kontrol dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat sebagai organisasi non-pemerintah (Non Government Organization). Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Edwards (1980:108):

"The previous example illustrate not only that incentives effect implementation, but also the pressures external to the bureaucracy can and do provide incentives to implement policies in certain ways."

Page 127: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

117 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

5. Pengaruh Struktur Birokrasi

Banyak sekali para ahli organisasi yang mencoba membuat definisi tentang struktur organisasi. Namun dari berbagai definisi tersebut tidak ada kesepakatan umum mengenai pengertian struktur organisasi, karena masing-masing para teoritis memandang struktur organisasi dari dimensi-dimensi yang berbeda. Sehingga Robbins (1990:91) menyatakan bahwa: "Para teoritikus pada umumnya setuju dengan dimensi-dimensi struktur organisasi, tetapi tidak setuju dengan definisi-definisi operasionalnya".

Struktur birokrasi memiliki peranan penting di dalam mengefektifkan implementasi kebijakan. Hal tersebut karena kegiatan tersebut: (1) melibatkan banyak orang, sehingga diperlukan upaya koordinasi dari berbagai tujuan para aktor yang mungkin berbeda-beda, (2) merubah perilaku untuk disesuaikan dengan model implementasi yang diperlukan, serta (3) agar sumber-sumber yang digunakan bersifat efektif dan efisien. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Edward III (1980: 11) yang menyatakan:

"Organizational fragmentation may hinder the coordination necessary to implement successfully a complex policy requiring the cooperation of many people, and it may also waste scarce resources, in habit change, create confusion, lead to poleis working at cross purposes, and result. In important functions being over looked."

Pendapat lain adalah Iglesias (1976:25-26) mengemukakan tentang peranan struktur birokratik dalam implementasi kebijakan: “structure, this refers to certain stable organizational roles and relationship which are program relevant and either prescribes legally or informally by convention at both".

Sedangkan pendapat yang lebih tegas mengenai keterkaitan antara struktur organisasi dengan kebijakan sebagai produk politik dikemukakan oleh Goggin dkk (1990: 121) yang mengatakan: "that organizing is a political act, and organization is an expression of political will". Selain itu ia mengemukakan "... the location and shape of administrative units strongly influence what happens to policy during implementation".

Berkaitan dengan dimensi atau karakteristik dari struktur organisasi, banyak para teoritis yang mengemukakan berdasarkan sifat, fungsi dan proses. Bertolak dari definisi tentang struktur organisasi, Robbins (1990:6) menyatakan bahwa: "struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, mekanisme koordinasi yang formal serta

Page 128: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

118 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

pola interaksi yang akan dilaksanakan". Maka Robbins menetapkan adanya tiga komponen utama dari sebuah organisasi, yaitu: (1) kompleksitas (complexity), (2) formalitas (formalization), (3) sentralisasi (centralization).

Menurut Robbins, ketiga komponen tersebut sudah mencakup berbagai karakteristik seperti yang dikemukakan oleh para teoritis. Sebagai contoh: karakteristik vertical span, span of control, administrative component masuk dalam komponen kompleksitas. Lalu karakteristik standardization, integration, professionalization, differentiation dan specialization masuk dalam komponen formalisasi, sedangkan karakteristik autonomy, delegation of authority masuk dalam komponen sentralisasi/desentralisasi.

Mengenai pengertian kompleksitas, Price & Mueller (1986:100, Robbins; 1990:102), mengemukakan bahwa: "kompleksitas merujuk pada tingkat diferensiasi yang terjadi di dalam sebuah organisasi". Diferensiasi yang terbentuk terdiri dari diferensiasi horizontal yang menghasilkan spesialisasi, diferensiasi vertikal yang menghasilkan rentang pengawasan (span of control), diferensiasi spasial berdasarkan penyebaran letak organisasi secara geografis. Dimana makin tinggi kompleksitas suatu organisasi, makin besar pula perhatian yang harus diberikan bagi masalah komunikasi dan kontrol.

Lalu yang dimaksud dengan formalisasi adalah tingkat sejauh mana pekerjaan-pekerjaan di dalam organisasi distandarisasikan baik tertulis maupun tidak tertulis. Standarisasi yang secara eksplisit tertulis dituangkan dalam Standard Operation Procedure (SOP) seperti dikemukakan Pugh et al (1968:75) yang menyatakan bahwa: "formalisasi sebagai tingkat sejauh mana peraturan, prosedur, instruksi dan komunikasi ditulis". Namun demikian bahwa formalisasi juga bisa implisit tidak tertulis, termasuk sikap (attitude) pegawai (Hage & Aiken; dalam Robbins;1990:104). Dengan standarisasi maka dapat mengurangi keanekaragaman perilaku, mendorong koordinasi serta efisiensi, karena dengan standarisasi dapat mencegah perilaku pegawai yang dinilai tidak perlu. Sedangkan mengenai teknik-teknik formalisasi, menurut Robbins (1990:109-113) terdiri dari: (1) teknik seleksi, (2) persyaratan peran, (3) peraturan/prosedur dan kebijakan, (4) pelatihan dan (5) ritual.

Adapun yang dimaksud dengan sentralisasi, Robbins (1990: 118) mengemukakan: "Sentralisasi menunjukkan jenjang kepada siapa kekuasaan formal untuk menetapkan pilihan-pilihan secara leluasa dikonsentrasikan pada seorang individu, unit atau tingkatan (biasanya pada posisi tertentu).

Page 129: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

119 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Sedangkan Hage (1965:289, Robbins; 1990:90) mengemukakan bahwa: "Sentralisasi merupakan proporsi dari jabatan, dimana para pemegang jabatan tersebut turut serta dalam pengambil keputusan".

Dari definisi-definisi dan dimensi struktur birokrasi seperti di atas menggambarkan betapa variabel tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keefektifan implementasi kebijakan, karena mengatur dan mengkoordinasikan orang-orang aktor pelaksana kebijakan.

Page 130: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

120 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

BAB VI

KONSEP UMUM DAN DINAMIKA K3

1. Kondisi Umum K3 Indonesia

Entah berapa kali dinyatakan dalam berbagai kesempatan dan tempat yang berbeda bahwa penduduk atau manusia merupakan salah satu modal bangsa, begitu juga tenaga kerja adalah salah satu modal penting bagi organisasi atau perusahaan. Tetapi karena sesuatu dan lain hal, modal yang berharga itu seperti tersia-siakan karena belum bisa didayagunakan secara optimal. Ironisnya dalam sejumlah hal keberadaannya sering menimbulkan persoalan ketika di satu sisi produktifitas sumber daya manusia itu dianggap masih rendah, sementara di sisi lain biaya yang harus dikeluarkan sebagai kewajiban organisasi atau perusahaan dianggap lebih tinggi. Salah satu kewajiban itu adalah memberikan perlindungan akan keselamatan dan perlindungan tenaga kerja, disamping kewajiban-kewajiban lain seperti gaji yang memadai dan asuransi misalnya.

Secara makro pada tingkat negara, jika rata-rata kondisi sumber daya manusia itu masih merupakan salah satu sumber persoalan dan bukan sebaliknya pemecah persoalan (problem solver), maka hal demikian menunjukkan ada yang tidak beres dalam sistem manajemen pengelolaan sumberdaya manusia. Salah satu indikatornya adalah produktifitas yang dihasilkan sumber daya manusia itu masih rendah. Begitu juga terkait hal-hal teknis yang sangat mendasar bagi kepentingan pekerja kondisinya masih jauh dari harapan dan ketentuan normatifnya, misalnya soal perlindungan akan keselamatan dan kesehatan pekerja. Bukannya tidak ada program atau kebijakan yang dimaksudkan untuk itu. Bisa dibilang bahwa sejumlah

Page 131: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

121 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

program dan kebijakan yang ada sudah cukup bagus dan modern, tetapi tidak demikian implementasinya.

Kondisi demikian sejak lama sudah disadari para pengambil kebijakan. Bahkan sebelum kemerdekaan atau di masa kolonial Belanda pun sudah ada upaya untuk melindungi keselamatan dan kesehatan kerja, sekalipun itu sangat terbatas sifat dan bentuknya. Upaya yang jauh lebih serius dan sungguh-sungguh untuk melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja telah dilakukan pemerintah, melalui serangkaian kebijakan ketenagakerjaan. Hanya saja semua itu harus diimplementasikan dengan sungguh-sungguh. Jika faktanya persoalan Keselamatan dan Kesehatan Ketenagakerjaan (K3) masih menjadi persoalan serius dalam sistem ketenagakerjaan Indonesia, maka sesungguhnya ada persoalan serius dalam pelaksanaan sistem perlindungan ketenagakerjaan di Indonesia. Begitu juga persoalan lain yang terkait dengan hak-hak normatif pekerja, sejauh ini masih menjadi sumber persoalan serius dalam sistem hubungan industrial. Semua itu menunjukkan ada persoalan serius dalam implementasi kebijakan ketenagakerjaan.

Persoalan implementasi kebijakan ini menjadi sesuatu yang serius karena dari sisi normatif tidak diragukan telah ada serangkaian kebijakan yang dikeluarkan untuk melindungi tenaga kerja. Sering dinyatakan dan dituliskan dalam sejumlah dokumen kenegaraan bahwa pembangunan ketenagakerjaan diarahkan pada pembentukan tenaga professional yang mandiri, beretos kerja tinggi dan produktif dan seterusnya dan seterusnya. Senada dengan hal itu juga kerap kali dinyatakan bahwa pembangunan ketenagakerjaan merupakan upaya menyeluruh yang ditujukan pada pembentukan, peningkatan dan pengembangan tenaga kerja yang berkualitas, produktif, efisien, efektif dan berkompetisi tinggi dan seterusnya dan seterusnya. Tidak diragukan bahwa rumusan normatif tersebut merupakan sesuatu yang mulia dan harus menjadi tujuan pembangunan sumberdaya manusia Indonesia, khususnya di bidang ketenagakerjaan. Persoalannya adalah bagaimana mewujudkannya, dimana hal itu hanya bisa dimungkinkan jika semua ketentuan normatif yang ada itu diimplementasikan dengan sungguh-sungguh dan melibatkan partisipasi semua stakeholders yang ada.

Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 pada pasal 86 dan 87, tentang perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja terhadap tenaga kerja, bahwa dalam proses pembangunan

Page 132: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

122 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

ketenagakerjaan perlu dibina dan dikembangkan perbaikan syarat-syarat kerja serta perlindungan tenaga kerja dalam menuju peningkatan kesejahteraan tenaga kerja. Selanjutnya dinyatakan bahwa setiap perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja di atas seratus orang atau memiliki resiko besar terhadap keselamatan dan kesehatan kerja wajib memiliki ahli K3, sesuai dengan UU No.1 tahun 1970, Permenaker No. Per.02/Men/1992 dan Permenaker No. Per.04/Men/1987. Tentu bukan rumusan tersebut yang menjadi biang persoalan, tetapi bagaimana melaksanakannya jika dikaitkan dengan kondisi obyektif dunia ketenagakerjaan Indonesia ketika ketentuan normatif itu diterapkan.

Tidak ada yang membantah bahwa ada kondisi obyektif yang mengelilingi dunia ketenagakerjaan yang menjadikan persoalan K3 sebagai sesuatu yang sangat penting dalam sistem ketenagakerjaan. Bukan kebetulan jika persoalan K3 ini ditetapkan sebagai kewajiban dan atau tanggung jawab perusahaan dan pemerintah. Pentingnya persoalan K3 ini semakin terlihat nyata ketika misalnya seseorang atau tenaga kerja itu memasuki dunia industrialisasi yang semakin modern akan diikuti oleh penerapan teknologi tinggi, penggunaan bahan dan peralatan makin kompleks dan rumit, yang akan mengakibatkan suatu kemungkinan bahaya yang besar, berupa kecelakaan, kebakaran, peledakan, pencemaran lingkungan dan penyakit akibat kerja, yang diakibatkan oleh kesalahan dalam penggunaan peralatan, pemahaman dan kemampuan serta ketrampilan tenaga kerja yang kurang memadai. Semua kemungkinan yang akan membahayakan keselamatan dan kesehatan pekerja itu potensinya semakin besar di era industrialisasi belakangan ini, yaitu terkait dengan penerapan teknologi tinggi dan penggunaan bahan yang beraneka ragam di satu sisi, tetapi di sisi lain tidak diikuti atau selaras dengan ketrampilan dan keahlian yang dimiliki sang tenaga kerja. Dalam kondisi demikian, sangat tinggi potensi kecelakaan dan sesuatu yang mengancam keselamatan dan kesehatan pekerja, misalnya ketika mengoperasikan peralatan dan mempergunakan bahan dalam proses produksi.

Jika potensi yang mengancam keselamatan dan kesehatan kerja itu tidak terhindarkan, maka hal itu hal itu bukan hanya akan menimbulkan korban jiwa maupun kerugian material bagi pekerja dan pengusaha tetapi dapat juga mengganggu proses produksi secara menyeluruh dan merusak lingkungan yang akhirnya berdampak kepada masyarakat luas. Karena itu perlu dilakukan upaya yang nyata untuk mencegah dan mengurangi risiko

Page 133: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

123 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja secara maksimal. Oleh karena itu tujuan dari pelaksanaan K3 adalah bagian dari upaya untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman, sehat dan sejahtera, bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja serta bebas pencemaran lingkungan menuju peningkatan produktivitas sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang undangan terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja.

Singkatnya tidak diragukan bahwa tenaga kerja merupakan aset perusahaan yang harus diberi perlindungan terhadap aspek K3 mengingat ancaman bahaya potensi yang berhubungan dengan kerja. Pihak perusahaan atau mereka yang berkewajiban memberikan perlindungan K3 tentu sepakat dengan rumusan atau ketentuan normatif tersebut. Begitu juga pemerintah yang dalam hal ini telah mengeluarkan serangkaian kebijakan perlindungan tenaga kerja terhadap aspek K3 melalui peraturan perundangan K3. Keberadaan semua peraturan perundangan K3 adalah salah satu upaya pemerintah dalam pencegahan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran, dan pencemaran lingkungan kerja yang penerapannya menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan serta kondisi lingkungan kerja dan sebagainya. Intinya semua sepakat dan tidak ada yang meragukan bahwa pekerja itu perlu diberikan jaminan perlindungan K3. Lagi-lagi persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikannya?

2. Paradigma Pekerja Sebagai Asset Perusahaan

Terlepas dari persoalan ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran (supply and demand) tenaga kerja, maka sejatinya posisi pekerja adalah asset perusahaan. Sebagai asset seharusnya keberadaan pekerja itu senantiasa dipelihara agar senantiasa pula terjaga 'keselamatan dan kesehatannya'. Cara berpikir dan bertindak yang memperlakukan pekerja sebagai asset yang berharga tentu harus dikedepankan paralel dengan upaya memberikan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja. Sebaliknya jika cara berpikirnya didasari pada sikap yang memandang rendah atau biasa-biasa saja terhadap peran dan fungsi pekerja, seolah ia adalah sebuah mesin atau sesuatu yang bisa dibuang kapan saja, maka hal demikian tentu membawa pengaruh terhadap upaya bagaimana memperlakukan pekerja termasuk upaya melindungi keselamatan dan kesehatannya. Logikanya, jika ia sebagai sesuatu yang penting dan mulia,

Page 134: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

124 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

maka keberadaannya akan senantiasa dijaga dan dipelihara dengan sebaik baiknya, tetapi jika hanya sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, murah dan mudah dicari gantinya, perlakuan sebaliknya yang sering dijumpai.

Logika sederhana ini tentu tidak sepenuhnya tepat jika digunakan untuk membandingkan nilai atau harga manusia dengan sebuah alat produksi seperti mesin atau bangunan fisik dalam sebuah organisasi. Keberadaan dan nilai manusia secara filosofis atau substansial tentu lebih besar dari sebuah benda mati. Hanya saja dalam tataran sistem produksi jika keberadaan manusia dalam kedudukannya sebagai alat produksi ketika diperhadapkan dengan benda lain yang juga merupakan alat produksi, maka dalam sejumlah kasus dan kegiatan produksi tertentu harga dan nilai manusia itu seringkali mengalami inflasi atau menurun. Logika sederhana ini hanya untuk memberikan ilustrasi betapa keberadaan manusia dalam proses produksi itu sering diperlakukan secara tidak manusiawi, seolah ia adalah mesin atau alat prospek produksi lainnya yang notabene adalah benda mati yang tidak punya jiwa dan perasaan. Jika logika sederhana ini masih diberlakukan dalam proses produksi, maka sejumlah ketentuan normatif mengenai perlindungan keselamatan dan kesehatan pekerja akan sulit diimplementasikan.

Sampai saat ini logika berfikir yang praktis dan fungsional itu masih berlaku di sejumlah kasus dan tempat tertentu. Mereka menilai segala sesuatu itu pada nilai guna atau fungsi berdasarkan sumbangsihnya terhadap pencapaian tujuan produksi. Bagi mereka intinya bukan pada soal mesin atau apapun itu, jika ia dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna dan bukan asset yang berharga, maka jangan harap ada upaya serius, yang dibuktikan dengan mengeluarkan sejumlah biaya dan waktu yang tentunya tidak sedikit untuk memelihara keselamatan dan kesehatannya. Kalaupun ia dianggap sebagai asset, maka ia adalah asset atau sesuatu yang harganya murah dan bisa diperoleh atau dibeli kapan saja tanpa mengganggu proses produksi dan hasil yang dicapai. Dengan begitu tidak perlu ada upaya perlindungan yang berlebihan terhadap keselamatan dan kesehatan mereka atau 'benda' seperti itu. Dengan kata lain apa yang disebut K3 itu bukan dianggap sebagai sesuatu yang mendesak atau dianggap serius pemenuhannya.

Idealnya tentu tidak demikian, dan pemerintah harus melakukan intervensi atau tidak menyerahkan proses pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada perusahaan atau pengusaha. Terlepas dari persoalan hukum ekonomi berupa supply and demand, sejatinya keberadaan manusia

Page 135: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

125 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

itu merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa dibandingkan dengan alat produksi lainnya. Apa yang disebut sebagai modal manusia (human capital) mempunyai karakteristik unik dan istimewa dalam proses produksi yang tidak bisa digantikan begitu saja, seperti sebuah mesin. Sejak zaman revolusi industri saja sudah ada upaya untuk melindungi, memelihara keselamatan dan kesehatan apa yang disebut human capital itu. Ada faktor kemanusiaan, sosial budaya, politik dan juga hukum yang membuat manusia sebagai alat produksi itu menjadi sesuatu yang kedudukannya unik dan seringkali menjadi sesuatu istimewa jika dibandingkan dengan alat produksi lainnya.

Apapun yang menjadi latar atau dasar pertimbangannya, sumberdaya manusia atau tenaga kerja adalah merupakan salah satu faktor produksi yang diperlukan selain faktor produksi lainnya yang harus dikelola dan dipelihara secara baik. Betapapun upaya perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja itu belum optimal, namun apa yang sering disebut human capital harus diperlakukan dengan lebih baik dari alat produksi lainnya, karena ia bukan budak atau mesin. Dengan kata lain agar pekerja dapat bekerja secara optimal dan mengurangi resiko kecelakaan kerja maka harus diperhatikan kesehatan dan keselamatan pekerja. Penyebab kecelakaan ini pun bisa beragam, bisa disebabkan oleh kelalaian manusia, kondisi lingkungan yang tidak aman, alam, dan lain-lain. Kecelakaan kerja yang dapat terjadi dan menimpa tenaga kerja di tempat-tempat mereka bekerja seperti kebakaran, jatuh dari tempat tinggi, tergelincir dan lain sebagainya. Begitu pula akibat yang ditimbulkan oleh kecelakaan tersebut dapat berupa kerugian materiil, cedera kecil hingga kematian.

Potensi berupa ancaman kecelakaan kerja itu semakin meningkat seiring dengan makin meningkatnya perkembangan industri dan perubahan secara global di bidang pembangunan pada umumnya. Dengan adanya perubahan tersebut maka konsekuensinya terjadi perubahan pada pola penyakit/kasus-kasus penyakit karena hubungan dengan pekerjaan. Seperti faktor mekanik (proses kerja, peralatan), faktor fisik (panas, bising, radiasi) dan faktor kimia. Masalah gizi dan psikologis pekerja juga merupakan persoalan yang tidak bisa dianggap ringan terkait dengan hubungan kerja sehingga kedua hal tersebut terkait erat dengan penyakit yang sering dialami pekerja misalnya stress, penyakit jantung, tekanan darah tinggi dan lain-lainnya. Perubahan lingkungan kerja ini banyak tidak disadari oleh pengelola tempat kerja atau seringkali diremehkan seolah kondisinya masih sama

Page 136: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

126 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

seperti beberapa dasawarsa sebelumnya. Atau walaupun mengetahui pendekatan pemecahan masalahnya hanya dari segi kuratif dan rehabilitate saja tanpa memperhatikan akan pentingnya promosi dan pencegahan.

Padahal seharusnya seperti pepatah; 'lebih baik mencegah daripada mengobati', sehingga biaya atau ongkos yang dikeluarkan perusahaan bisa lebih ditekan atau diminimalisir. Dengan upaya pencegahan yang lebih intensif itu bisa diharapkan potensi kecelakaan yang mungkin dapat terjadi atau dampak negatif yang dapat timbul bisa diminimalisasi atau dihilangkan. Bagi pekerja, bekerja dengan tubuh dan lingkungan yang sehat, aman serta nyaman merupakan hal yang diinginkan oleh semua pekerja. Lingkungan fisik tempat kerja dan lingkungan organisasi merupakan hal yang sangat penting dalam mempengaruhi sosial, mental dan fisik dalam kehidupan pekerja. Kesehatan suatu lingkungan tempat kerja dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap kesehatan pekerja, seperti peningkatan moral pekerja, penurunan absensi dan peningkatan produktifitas. Sebaliknya tempat kerja yang kurang sehat atau tidak sehat (sering terpapar zat yang bahaya mempengaruhi kesehatan) dapat meningkatkan angka kesakitan dan kecelakaan, rendahnya kualitas kesehatan pekerja, meningkatnya biaya kesehatan dan banyak lagi dampak negatif lainnya.

3. K3 Kebutuhan dan Hak Pekerja

Setiap orang pada dasarnya membutuhkan sebuah perlindungan akan keselamatan dan kesehatan jiwa dan fisiknya, karena dengan begitu mereka bisa menjadi manusia yang selamat dan sehat secara fisik dan psikis untuk menjalani kehidupannya. Begitu juga dalam dunia kerja, setiap pekerja membutuhkan hal sama yaitu keselamatan dan kesehatan dalam menjalankan aktivitasnya (occupation) di dunia kerja. Karena pemenuhan kebutuhan itu dibebankan atau menjadi tanggung jawab atau kewajiban pihak lain, maka kebutuhan itu menjadi sebuah hak. Sebagai hak maka secara yuridis pemenuhannya bisa dituntut kepada siapa yang diberikan beban atau kewajiban untuk melakukannya. Hak ini pada dasarnya tidak bisa dicabut atau diabaikan oleh pihak lain, meskipun itu berdasarkan kesepakatan bersama karena ia diposisikan sebagai sesuatu yang melekat pada pekerja untuk mendapatkan perlindungan akan keselamatan dan kesehatan selama mereka melakukan aktivitas kerja.

Page 137: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

127 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Rumusan yang menempatkan K3 sebagai hak itu sejalan dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan lain yang terkait dengan hajat atau kepentingan orang banyak. Upaya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja itu bukan hanya sebuah kebutuhan yang bersifat umum tetapi juga merupakan hak yang mempunyai konsekuensi yuridis untuk pemenuhannya. Rumusan demikian sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia di berbagai bidang kehidupan, baik di ranah publik atau juga di ranah privat. Sebagai sebuah hak, maka ada semacam penegasan dari otoritas publik untuk memaksakan pemenuhannya, lain halnya jika ia hanya dinyatakan sebagai kebutuhan yang bersifat umum dan tidak jelas siapa yang bertanggungjawab atau berkewajiban untuk memenuhinya. Oleh karena itu keberadaan K3 sebagai hak itu dipersandingkan dengan sebuah kewajiban yang dibebankan kepada otoritas publik dan juga perusahaan untuk memenuhinya.

Menurut sejumlah peraturan perundang-undangan, K3 secara tegas dinyatakan sebagai hak tenaga kerja/pekerja, sebaliknya menjadi kewajiban bagi pengusaha dan juga tanggung jawab pemerintah untuk mengaturnya. Rumusan ini sejalan dengan rumusan perlindungan pekerja yang berlaku pada tataran internasional dimana hak tenaga kerja/pekerja ini diakui sebagai bagian dari Hak Azasi Manusia (HAM). Semua rumusan itu seolah menegaskan, atau menjadi sesuatu yang tidak terbantahkan, bahwa keberadaan K3 itu sangat penting dan krusial pemenuhannya. Dengan rumusan sebagai hak pekerja dan kewajiban pengusaha diharapkan proses pemenuhannya menjadi lebih mudah, karena jika tidak dilakukan akan membawa konsekuensi yuridis kepada siapa yang dianggap melanggar atau melalaikan kewajiban tersebut. Tidak terkecuali kepada pemerintah atau otoritas publik yang dianggap bertanggung jawab untuk mengatur, mengelola atau mendorong terselenggaranya pemenuhan hak pekerja tersebut.

Setiap upaya pemenuhan kebutuhan dan hak pekerja tersebut secara filosofis merupakan bagian yang sangat penting untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera. Hal demikian sejalan dengan tujuan konstitusional dalam berbangsa dan bernegara dimana setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 UUD 1945). Dalam tataran praktisnya juga demikian bahwa perlindungan akan

Page 138: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

128 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses produksi baik jasa maupun industri dimana meningkatkan intensitas kerja yang mengakibatkan pula meningkatnya resiko kecelakaan di lingkungan kerja karenanya keberadaan K3 adalah sesuatu yang niscaya pemenuhannya agar hubungan industrial itu bisa terselenggara dengan sebaik baiknya.

Secara normatif dan filosofis keselamatan dan kesehatan adalah aset yang tidak ternilai harganya. Keselamatan dan kesehatan seseorang merupakan bagian utama kesejahteraan. Sementara itu kesejahteraan tenaga kerja mustahil diwujudkan dengan mengabaikan keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Oleh karena itu sejak awal kemerdekaan ada upaya serius dari penyelenggara negara sehingga untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis kecelakaannya, maka antara lain diterbitkan UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok mengenai tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi UU No.12 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Di dalam pasal 87 (1): UU No.13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan dinyatakan bahwa setiap perusahaan wajib menetapkan sistem manajemen K3 yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Terkait dengan ketentuan tersebut adalah pada pasal 3 ayat 1 dan 2 dimana di dalamnya dinyatakan bahwa setiap perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sebanyak 100 orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran lingkungan dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan sistem manajemen K3 (SMK3). Dengan demikian kewajiban penerapan SMK3 didasarkan pada dua hal yaitu ukuran besarnya perusahaan dan tingkat potensi bahaya yang ditimbulkan.

Sejatinya upaya perlindungan terhadap tenaga kerja meliputi aspek-aspek yang cukup luas, yaitu perlindungan atas keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Semua peraturan perundangan yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan dunia kerja juga mempunyai tujuan yang sama untuk melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja, sekalipun tidak secara eksplisit dinyatakan demikian. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkereta-apian, UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Selain

Page 139: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

129 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

sektor perhubungan di atas, regulasi yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai dalam sektor-sektor lain seperti pertambangan, konstruksi, pertanian, industri manufaktur (pabrik), perikanan, dan lain-lain.

Semua itu peraturan perundangan itu muaranya sama, meskipun tidak secara eksplisit mengatur tentang bagaimana perlindungan akan keselamatan dan kesehatan kerja itu dilakukan. Serangkaian kebijakan yang terkait dengan upaya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) itu akan digunakan sebagai instrumen untuk memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Terlepas bahwa upaya perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh perusahaan, maka keberadaannya itu secara umum bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja ke titik yang paling rendah (zero accident). Bagi perusahaan kewajiban demikian ini tidak boleh dianggap sebagai kegiatan yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.

4. Konsep dan Definisi K3

K3 atau singkatan dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah sebuah konsep yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja akan keselamatan dan kesehatannya dalam melaksanakan pekerjaan (occupation). Bukan berarti seorang pekerja itu hanya memerlukan perlindungan di kedua bidang itu, karena pada hakekatnya berbagai bentuk perlindungan dalam arti seluas luasnya juga diberikan kepada pekerja, misalnya soal ketentuan upah atau gaji, jaminan sosial (Jamsostek) dan masih banyak lagi. Adanya perlindungan terhadap pekerja ini jangan dikacaukan seolah-olah para pengusaha itu di diskriminasi atau tidak diberikan perlindungan dan pemihakan oleh pembuat kebijakan (pemerintah). Pada dasarnya perlindungan itu diberikan kepada siapa saja, bukan untuk mendiskriminasi pihak lain, tetapi karena pihak yang harus dilindungi itu dianggap berada dalam posisi lemah dan karenanya perlu diberdayakan dan dilindungi kepentingannya.

Secara harfiah makna dari perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja itu mudah dimengerti karena ia adalah satu frasa (kalimat) yang cukup lengkap predikat dan obyeknya. Begitu juga subyeknya

Page 140: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

130 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

secara normatif menurut Undang-undang telah dinyatakan secara tegas adalah kewajiban pengusaha dan juga otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengaturnya. Perlindungan itu diperlukan untuk menghindarkan diri atau mencegah (preventif) dari sebuah ancaman atau bahaya. Perlindungan itu termasuk di dalamnya upaya mengobati dan menyembuhkan (kuratif) dan juga mengembalikan pada keadaan semula atau memberikan ganti rugi (rehabilitatif), bahkan penindakan atau penghukuman bagi yang menjadi penyebabnya (represif). Jika perlindungan itu terkait dengan persoalan keselamatan dan kesehatan pekerja, maka kedua hal itulah yang menjadi obyeknya yaitu keselamatan pekerja dan juga kesehatan pekerja.

Kedua kata di belakang kata perlindungan yaitu kata keselamatan dan kesehatan secara harfiah berbeda maknanya, tetapi secara substantif jika dikaitkan dengan praktik dunia kerja, sesungguhnya sangat dekat dan saling berhubungan satu sama lainnya. Wajar jika kedua kata itu seperti disatukan dalam satu tarikan nafas pengucapannya dan tidak dipisah pisahkan. Dalam banyak hal keberadaan keduanya bisa diilustrasikan dengan keberadaan dua sisi dari mata uang yang sama, dalam arti masing-masing memiliki peran dan pengaruh yang besar terhadap satu sama lainnya. Pekerja yang mendapatkan keselamatan dalam pekerjaannya juga diharapkan merupakan pekerja yang sehat, begitu sebaliknya. Keduanya harus utuh melekat pada pekerja agar proses produksi bisa berjalan lancar dan optimal hasilnya. Untuk itulah kedua hal itu dipersatukan dalam sebuah singkatan atau akronim (K3) yang penggunaannya sering tumpang tindih dan berbauran, meskipun hanya disebutkan salah satunya.

Keselamatan Kerja (Occupational Safety), dalam istilah sehari hari sering disebut dengan safety saja, secara filosofi diartikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya serta hasil budaya dan karyanya. Dari segi keilmuan diartikan sebagai suatu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Berbalikan atau berlawanan dari istilah keselamatan kerja antara lain istilah Kecelakaan Kerja (accident) yang sering diartikan sebagai suatu kejadian atau peristiwa yang tidak diinginkan yang merugikan terhadap manusia, merusak harta benda atau kerugian terhadap proses. Begitu juga istilah 'Hampir Celaka', yang dalam istilah safety disebut dengan insiden (incident), ada juga yang

Page 141: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

131 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

menyebutkan dengan istilah “near-miss" atau “near accident", adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak diinginkan dimana dengan keadaan yang sedikit berbeda akan mengakibatkan bahaya terhadap manusia, merusak harta benda atau kerugian terhadap proses.

Paralel dengan istilah Keselamatan Kerja adalah istilah Kesehatan Kerja yang maknanya bisa ditelusuri dari arti kata atau konsep sehat itu sendiri. Sementara itu konsep kesehatan kerja dewasa ini semakin banyak berubah, bukan sekedar "kesehatan pada sektor industri" saja melainkan juga mengarah kepada upaya kesehatan untuk semua orang dalam melakukan pekerjaannya {total health of all at work). Istilah sehat sendiri sering dimaknai atau digambarkan sebagai suatu kondisi fisik, mental dan sosial seseorang yang tidak saja bebas dari penyakit atau gangguan kesehatan melainkan juga menunjukkan kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan pekerjaannya.

Sesuai dengan paradigma baru dalam aspek kesehatan maka di diupayakan agar pekerja yang sehat tetap sehat dan bukan sekedar mengobati, merawat atau menyembuhkan gangguan kesehatan atau penyakit. Oleh karenanya, perhatian utama di bidang kesehatan lebih ditujukan ke arah pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya penyakit serta pemeliharaan kesehatan seoptimal mungkin. Sementara kondisi atau status kesehatan seseorang, itu secara teoritik ditentukan oleh beberapa faktor antara lain; faktor lingkungan, berupa lingkungan fisik (alami, buatan) kimia (organik/anorganik, logam berat, debu), biologik (virus, bakteri, mikro organisme) dan sosial budaya (ekonomi, pendidikan, pekerjaan). Kemudian faktor perilaku pekerja itu sendiri yang meliputi sikap, kebiasaan, tingkah laku, juga faktor pelayanan kesehatan: promotif, perawatan, pengobatan, pencegahan kecacatan, rehabilitasi, serta faktor genetik, yang merupakan faktor bawaan setiap manusia.

Demikianlah sedikit tentang konsep keselamatan dan kesehatan kerja serta pengertian sederhana berdasarkan arti kata tersebut secara harfiah yang notabene mudah dimengerti dengan mengenali makna masing-masing kata-kata tersebut. Meskipun konsep dan pengertian K3 mudah dimengerti tetapi tidak ada salahnya jika K3 diberikan rumusan pengertian sebagaimana yang banyak dikemukakan para ahli dan juga dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Secara umum keselamatan dan kesehatan kerja adalah menjadi dambaan semua orang karenanya menjadi kewajiban semua orang yang bekerja untuk berusaha menciptakan kondisi

Page 142: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

132 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

yang mendorong terciptanya suasana yang didambakan tersebut. Dalam tataran operasionalnya, keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Keselamatan kerja menyangkut segenap proses produksi dan distribusi, baik barang maupun jasa. Sementara itu kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta praktiknya yang bertujuan, agar pekerja/masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi tingginya, baik fisik, atau mental, maupun sosial, dengan usaha-usaha preventif dan kuratif, terhadap penyakit-penyakit/gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum.

Pengertian K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) menurut ILO/WHO-Joint Safety and Health Committee adalah promosi dan pemeliharaan yang tertinggi tingkat fisik, mental dan kesejahteraan sosial pendudukan semua; pencegahan antara pekerja keberangkatan dari kesehatan yang disebabkan oleh kondisi kerja mereka, sedangkan perlindungan pekerja dalam pekerjaan mereka dari risiko akibat faktor yang merugikan untuk kesehatan, penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam lingkungan kerja disesuaikan dengan peralatannya fisiologis dan psikologis dan untuk meringkas adaptasi bekerja untuk manusia dan setiap manusia untuk pekerjaannya. (Occupational Health and Safety is the promotion and maintenance of the highest degree of physical, mental and social well-being of all occupation; the prevention among workers of departures from health caused by their working conditions; the protection of workers in their employment from risk resulting from factors adverse to health; the placing and maintenance of the worker in an occupational environment adapted to his physiological and psychological equipment and to summarize the adaptation of work to man and each man to his job).

Sementara itu menurut OSHA; Occupational Health and Safety concerns the application of scientific principles in understanding the nature of risk to the safety of people and property in both industrial and non industrial environments. It is multi-disciplinary profession based upon physics, chemistry, biology, and the behavioral sciences with applications in manufacturing, transport, storage, and handling of hazardous materials and domestic and recreational activities. Sedangkan menurut Suma'mur (2001: 104), keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana

Page 143: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

133 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan kesehatan kerja merupakan spesialisasi ilmu kesehatan/kedokteran beserta praktiknya yang bertujuan agar pekerja/masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial dengan usaha preventif atau kuratif terhadap penyakit/gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum.

5. Maksud dan Tujuan K3

Pada umumnya aspek dan ruang lingkup kegiatan keselamatan kerja itu bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan, dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan, sehingga kegiatan yang dimaksudkan untuk menciptakan keselamatan kerja itu memiliki sifat ciri-ciri dimana sasaran utamanya adalah lingkungan kerja sedangkan bentuk kegiatannya bersifat teknik. Sementara itu aspek dan ruang lingkup kegiatan kesehatan kerja memiliki sifat dan ciri-ciri dimana sasarannya adalah manusia dan bentuk kegiatannya bersifat medis. Kedua bidang kegiatan yang berbeda ciri dan sasarannya itu memiliki kesamaan yang mendasar pada obyeknya yaitu tenaga kerja serta proses penyelenggaraannya yaitu pada proses hubungan industrial pada umumnya.

Dengan bahasa lain, secara teknik tujuan K3 adalah untuk menjamin keselamatan operator dan orang lain, menjamin dalam penggunaan peralatan aman dioperasikan, menjamin proses produksi aman dan lancar. Begitu juga secara medik, maka tujuan K3 dimaksudkan untuk menjamin bahwa pekerja atau manusia yang terlibat dalam proses hubungan industrial itu terjamin kesehatannya, baik fisik dan psikisnya selama proses tersebut. Secara umum, adanya sebuah sistem yang bisa memberikan jaminan akan keselamatan dan kesehatan pekerja adalah tujuan utama dari pelaksanaan K3. Adapun untuk mengetahui apakah tujuan itu sudah tercapai atau belum, tentu ada sejumlah indikator yang bisa digunakan untuk menilai atau mengujinya.

Hal-hal dasar yang perlu diperhatikan dalam proses pelaksanaan K3 antara lain mengenai aturan berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Ketentuan normatif ini yang akan dijadikan acuan bagaimana proses penyelenggaraan K3 itu oleh pengusaha sebagai kewajiban yang tentunya

Page 144: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

134 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

harus dipenuhi dengan tujuan untuk melindungi tenaga kerja dari resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Jika hendak disederhanakan maksud utama K3 adalah untuk mencegah terjadinya cacat/kematian pada tenaga kerja, mencegah kerusakan tempat dan peralatan kerja, mencegah pencemaran lingkungan dan masyarakat di sekitar tempat kerja, dan norma kesehatan kerja diharapkan menjadi instrumen yang menciptakan dan memelihara derajat kesehatan kerja. Semua kondisi itu sangat dibutuhkan pekerja dalam menjalani proses kerja, dan karenanya diperlukan sebuah jaminan dari mereka yang kepadanya dibebankan kewajiban untuk memenuhinya.

Secara umum tujuan K3 adalah untuk menciptakan tenaga kerja yang sehat dan produktif. Atau agar tenaga kerja dan setiap orang berada di tempat kerja selalu dalam keadaan sehat dan selamat termasuk segala sumber-sumber produksi dapat berjalan secara lancar tanpa adanya hambatan. Oleh karena itu ruang lingkup K3 itu mencakup sesuatu yang sangat luas dan dimensional, misalnya mencakup tenaga kerja dari semua jenis dan jenjang keahlian, sejumlah faktor-faktor lingkungan fisik, biologi, kimiawi, maupun sosial, berbagai Karakteristik dan sifat pekerjaan dan lain sebagainya. Oleh karena itu dalam penerapan K3 itu harus dilaksanakan secara holistik sejak perencanaan hingga perolehan hasil dari kegiatan industri barang maupun jasa. Begitu juga keberadaannya harus diterapkan di semua tempat kerja yang di dalamnya melibatkan aspek manusia sebagai tenaga kerja, bahaya akibat kerja dan usaha yang dikerjakan. Dan tentunya semua pihak yang terlibat dalam proses industri/perusahaan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan implementasi K3.

Secara normatif dan lebih spesifik, sejumlah tujuan dan sasaran K3 (SMK3) tercantum dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.5 tahun 1996 yaitu untuk menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta menciptakan tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Dengan peraturan perundangan ditetapkannya syarat-syarat keselamatan kerja adalah untuk:

a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan; b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran; c. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan; d. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu

kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;

Page 145: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

135 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

e. Memberi pertolongan pada kecelakaan; f. Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja; g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu; h. Kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar

radiasi, suara dan getaran; i. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik

physic maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan. j. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai; k. Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik; l. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup; m. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban; n. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara

dan proses kerjanya; o. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang,

tanaman atau barang; p. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan; q. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan

dan penyimpanan barang; r. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya; s. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang

bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

Untuk mengetahui apakah maksud dan tujuan K3 itu tercapai atau sebaliknya menjauh atau hanya biasa-biasa saja, maka semuanya itu ada indikator kinerja yang bisa digunakan, baik yang sifatnya kualitatif atau kuantitatif. Beberapa indikator yang sering digunakan sebagaimana sering dilansir oleh LAN adalah indikator kinerja yang terdiri dari indikator input, output, outcome, benefit dan impact. Dalam perspektif yang lebih luas dan kualitatif sifatnya, maka sebagai salah satu indikator keberhasilan pencapaian tujuan dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja adalah keberadaannya dapat diimplementasikan secara efektif, bermutu tinggi, efisien, dan akuntabel yang salah satunya ditandai dengan terbentuknya organisasi dan manajemen profesional yang fungsional di tingkat institusi yang mempergunakan tenaga kerja.

6. Sejarah Singkat K3

Diyakini bahwa keberadaan semua peraturan perundangan yang terkait dengan persoalan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) itu

Page 146: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

136 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

dimaksudkan untuk mencegah atau mengurangi kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dan terjadinya kejadian berbahaya lainnya. Jika hal demikian dapat terwujud maka diharapkan bisa menciptakan suasana yang memberikan ketenangan dan kenyamanan bekerja, sehingga bisa meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja. Begitulah kira-kira yang menjadi dasar atau konsiderans dari semua produk perundang undangan terkait dengan K3 meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit demikian. Tidak terkecuali produk perundangan K3 yang ada di masa lampau, ketika proses industrialisasi belum sedinamis perkembangannya seperti sekarang ini. Diyakini demikian dan secara umum tidak akan bergeser jauh karena dalam sejarahnya memang senantiasa ada sejumlah produk kebijakan yang memang dimaksudkan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja, meskipun dengan bentuk dan sifat yang sangat terbatas atau ala kadarnya.

Sekecil apapun perlindungan yang diberikan terhadap pekerja selama proses kerja, maka hal demikian adalah keniscayaan. Disebut demikian karena bagaimana pun pengusaha atau penguasa itu senantiasa memerlukan jasa atau bantuan dari pekerja untuk mewujudkan kepentingan dan keinginannya. Untuk itu para pekerja harus dipelihara, meskipun hanya sekedarnya, misalnya hanya untuk membuat mereka bisa menghasilkan sejumlah keuntungan dan kekayaan bagi tuannya. Bahkan sekalipun jika pekerja itu memiliki status sebagai budak, maka keberadaannya tetap berusaha dipelihara agar senantiasa bisa melayani kepentingan tuannya. Dalam perspektif ini menjadi wajar jika di berbagai belahan dunia dijumpai sejumlah bukti sejarah bahwa di masa lampau saja sudah ada upaya yang intinya bisa dimaknai sebagai upaya melindungi pekerja selama proses kerja. Hal demikian sifatnya bukan pribadi, orang per orang tetapi dilakukan oleh raja atau penguasa pada masanya.

Adalah revolusi industri di Eropa, terutama Inggris, Jerman dan Prancis serta revolusi industri di Amerika Serikat yang sering dianggap sebagai tonggak sejarah perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja. Apa yang disebut sebagai perlindungan K3 pada waktu itu meskipun masih jauh dari yang ada sekarang, namun jika dibandingkan dengan upaya serupa yang ada pada masa sebelumnya, maka dalam era revolusi industri terjadi perkembangan yang signifikan terhadap persoalan K3. Hal demikian terjadi karena dikondisikan oleh keadaan pada era itu dimana terjadi pergeseran besar-besaran dalam penggunaan mesin-mesin produksi

Page 147: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

137 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

menggantikan tenaga kerja manusia. Di satu sisi keberadaan pekerja hanya berperan sebagai operator. Penggunaan mesin-mesin menghasilkan barang-barang dalam jumlah berlipat ganda dibandingkan dengan yang dikerjakan pekerja sebelumnya, namun di sisi lain potensi terjadinya kecelakaan dan kegiatan kerja yang mengancam kesehatan meningkat pesat.

Paralel dengan dampak penggunaan mesin-mesin yang semakin intensif adalah pengangguran serta risiko kecelakaan dalam lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan cacat fisik dan kematian bagi pekerja. Revolusi industri juga ditandai oleh semakin banyak ditemukan senyawa-senyawa kimia yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan fisik dan jiwa pekerja (occupational accident) serta masyarakat dan lingkungan hidup. Pada era in kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai kecelakaan atau resiko kerja (personal risk), bukan tanggung jawab perusahaan. Kondisi demikian terjadi pada awal revolusi industri dimana persoalan K3 belum menjadi bagian integral dalam perusahaan. Tetapi seiring dengan perkembangan waktu kemudian berkembang konsep employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab pengusaha, buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan kerja.

Sementara itu dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran penerapan K3 sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda mendesak Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang ditandai dengan penerbitan Veiligheids Reglement, Staatsbled No. 406 Tahun 1910. Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan perlindungan bagi keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara terpisah berdasarkan masing-masing sektor ekonomi. Beberapa diantaranya yang menyangkut sektor perhubungan yang mengatur lalu lintas Perkereta-apian seperti tertuang dalam Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en de Exploitate van Spoor en Tramwegen Bestmend voor Algemene Verkeer in Indonesia (Peraturan umum tentang pendirian dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas umum Indonesia) dan Staatsbled 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 1940 (Ordonansi Kecelakaan Pelaut), Staatsbled 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya.

Memasuki era kemerdekaan Indonesia, maka sejumlah peraturan perundangan yang terkait dengan K3 itu masih berlaku ketika belum ada penggantinya atau karena dianggap masih relevan untuk kondisi saat itu

Page 148: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

138 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

kecuali hanya beberapa hal yang perlu dirubah karena dianggap bertentangan dengan semangat dasar dari kemerdekaan dan entitas negara yang sudah merdeka. Adalah konstitusi negara Indonesia yaitu UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang secara substantif telah meletakkan prinsip-prinsip dasar pentingnya K3 di Indonesia. Karena kedudukannya sebagai hukum dasar dan masih berlaku hingga kini, maka tidak satupun produk peraturan perundangan yang ada di Indonesia yang tidak bersumber dari hukum dasar tertinggi yaitu Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Sepanjang itu terkait dengan persoalan ketenagakerjaan maka semua produk hukum termasuk peraturan perundangan mengenai K3 tentu mengacu pada pasal 27 ayat 2 UUD Tahun 1945. Dalam pasal itu secara tegas dinyatakan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupannya yang layak bagi kemanusiaan".

Dari rumusan konstitusi yang terlihat sederhana ini sesungguhnya sangat luas cakupan dan sangat substantif sifatnya. Apa yang terkandung dari pasal ini memberi makna bahwa di samping warga negara berhak mendapatkan pekerjaan yang manusiawi juga mendapatkan perlindungan terhadap aspek K3. Tujuannya meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam pasal tersebut, tetapi dapat diketahui dari jiwa dan semangat konstitusi. Melalui pasal 27 UUD 1945 itu diharapkan bukan hanya semua orang Indonesia itu mendapatkan pekerjaan yang layak tetapi juga agar dalam melaksanakan pekerjaan tercipta kondisi kerja yang nyaman, sehat, dan aman serta dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilannya agar dapat hidup layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia.

Bukan kebetulan apalagi sebuah kesengajaan jika pada awal zaman kemerdekaan, belum ada Undang-undang yang dikeluarkan pemerintah RI terkait dengan persoalan K3. Kondisi demikian ini seharusnya dipahami secara kontekstual bahwa ketika itu pemerintahan Indonesia masih dalam masa transisi penataan kehidupan politik dan keamanan nasional. Begitu juga dinamika atau pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai dirintis oleh pemerintah dan swasta nasional. Oleh karena itu tidak tepat jika pemerintah Indonesia dianggap kurang peka terhadap persoalan K3 hanya karena belum menjadikan persoalan K3 sebagai persoalan strategis dan prioritas pembangunan.

Jika indikatornya adalah produk perundangan yang dilahirkan, maka persoalan K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin ramainya investasi modal dan pengadopsian teknologi industri

Page 149: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

139 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

nasional (manufaktur). Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja tidak menyatakan secara eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan sebagai norma kerja. Setiap tempat kerja atau perusahaan harus melaksanakan program K3. Tempat kerja dimaksud berdimensi sangat luas mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang angkasa. Sejak tahun 1970-an itu serangkaian produk perundangan terkait dengan K3 itu diterbitkan dan terus disempurnakan keberadaannya hingga sekarang ini. Sejumlah produk perundang-undangan itu mulai dari UU No 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, hingga UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dimana semua itu merupakan komitmen pemerintah dalam bentuk kebijakan terkait K3 di Indonesia.

Page 150: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

140 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

BAB VII

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN K3

1. Konsep Efektivitas Kebijakan Publik

Secara harfiah konsep keefektifan (effectiveness) berasal dari kata efektif, yang berarti terjadi suatu efek atau akibat yang dikehendaki dari suatu perbuatan. Ensiklopedia umum (1977:296) menyebutkan bahwa yang dimaksud keefektifan adalah menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Dalam ensiklopedia administrasi dijelaskan bahwa:

"Keefektifan adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya sesuatu efek atau akibat yang dikehendaki. Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud tertentu yang dikehendaki orang tersebut, dikatakan efektif apabila menimbulkan akibat sesuai maksud yang dikehendakinya."

Sangat sulit untuk menetapkan definisi keefektifan secara tunggal, karena konsep keefektifan dapat ditinjau dari berbagai perspektif yang berbeda. Setiap jenis atau tahapan proses kegiatan dalam suatu organisasi dapat memberikan pandangan yang berbeda-beda mengenai keefektifan. Hal tersebut dapat dilihat seperti di bawah ini:

Pertama, keefektifan organisasi diartikan sebagai pencapaian sasaran-sasaran dari usaha kooperatif. Seperti dikemukakan oleh Barnard (1938:55): "What we mean by effectiveness... is the accomplishment of recognized objectives of cooperative effort. The degree of accomplishment indicated the degree of effectiveness".

Kedua, keefektifan organisasi diukur dari sejauh mana ia mencapai tujuan dengan nilai-nilai organisasi yang ada (Etzioni, 1964:18).

Page 151: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

141 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Ketiga, diukur dari sejauh mana mencapai tujuan organisasi dari tingkat kelayakannya. (Steers, 1985: 5).

Keempat, keefektifan berdasarkan tiga pendekatan yang berbeda yaitu pendekatan tujuan, pendekatan teori sistem dan pendekatan multiple constituency. (Gibson, 1996: 3848).

Kelima, keefektifan organisasi ditinjau dari kemampuan organisasi untuk mengeksploitasi lingkungannya, yaitu untuk mengambil sumber daya yang langka dan bernilai untuk mencapai tujuan organisasi. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Seashare dan Yuchtman dalam Katz dan Kahn (1966:226): "as the ability of an organization to exploit its environment in the acquisition of scarce of valued resources to sustain its functioning".

Keenam, keefektifan organisasi dipandang sebagai karakteristik struktural dari masing-masing organisasi untuk mencapai keseimbangan tugas dan lingkungannya. Seperti dikemukakan oleh Lawrence dan Lorsch dalam Wexley dan Yulk (1984:289): "the less effective firms in each case had structural characteristic that were in appropriate in many ways for their respective tasks and environment".

Ketujuh, ukuran keefektifan bagi suatu organisasi pemerintah dapat dilihat dari sejauh mana organisasi pemerintah dapat mencapai tujuan publik yang diinginkan, memenuhi keinginan-keinginan masyarakat serta pelayanan prima. Seperti dikemukakan oleh Epstein (1988:11):

"Effectiveness measurement is a method for examining how well a government is meeting the public purposes it is intended to fulfill. Put another way, effectiveness refers to the degree to which services are responsive to the needs and desires of the community"

Dengan luasnya makna keefektifan seperti di atas, maka diperlukan ukuran-ukuran yang lebih operasional. Sehingga Epstein (1988:13) mengusulkan 4 (empat) macam ukuran keefektifan sebagai berikut:

a. Measures of community conditions are important measure of effectiveness as they are the most explicit measure of community needs. These are generally the effectiveness measures that are least. Controllable by local services, so it is important to supplement then with other, more controllable measures of effectiveness.

b. Measures of service accomplishment can be more directly lied to a specific service program than can general community conditions.

c. Measures of citizen or client satisfaction and perceptions cover satisfaction

Page 152: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

142 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

with public service and perception of community conditions on the part of citizens in general, or specific clients or target group of particular programs.

d. Measures of the unintended adverse impact of a services create needs or problem that might not otherwise exist, or unintentionally aggravate existing problems.

Kita tidak bisa mengukur keefektifan dari perspektif tujuan saja karena banyak mengandung beberapa kelemahan. Karena disamping adanya berbagai tujuan dalam organisasi, juga sulitnya mengukur tujuan/sasaran yang tidak jelas kelihatan (intangible), seperti halnya sering terjadi pada organisasi pemerintahan, maupun adanya perbedaan antara tujuan organisasi dengan tujuan anggota organisasi.

Oleh karena itu, selain dari perspektif tujuan, maka keefektifan juga dapat dilihat dengan menggunakan model dari perspektif sistem. Hal ini dikemukakan oleh Georgopolous dan Tannenbaum dalam Etzioni (1969: 81) sebagai berikut:

"For theoretical resources, however it is preferable to look at the concept of organizational effectiveness from the point of view of the system itself of the total organization in question rather than from stand point as some its parts to the larger society."

Pendekatan teori sistem menekankan pada elemen dasar organisasi, yaitu input-proses-output, serta pengaruh-pengaruh lingkungan yang diadaptasi. Ada beberapa pakar yang berupaya untuk mengidentifikasi indikator dan kriteria keefektifan organisasi. Dikemukakan antara lain Georgopolous dan Tannenbaum dalam Etzioni (1969:28), memandang tiga kriteria keefektifan organisasi.

a. Produktivitas organisasi (organizational productivity). b. Fleksibilitas organisasi (organizational flexibility) c. Tidak terjadinya ketegangan orientasi dalam organisasi dan konflik antara

bagian-bagian dari organisasi (absence of inter-organizational strain orientation and of conflict between organizational sub groups).

Ada tiga kriteria keefektifan organisasi menurut Gibson et all (1992:60) yaitu:

a. Untuk jangka panjang (long-run) adalah kemampuan mempertahankan hidup.

b. Untuk jangka menengah (intermediate) adalah kemampuan adaptasi (adaptiveness) dan pengembangan (development).

Page 153: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

143 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

c. Untuk jangka pendek adalah tingkat promosi, pengembangan dan kepuasan.

Sementara itu Price dan Mott dalam Juvintarto (1998:30-31) memandang keefektifan organisasi dari lima kriteria, yaitu: (1) produktivitas, (2) moral, (3) konformitas, (4) daya adaptasi dan (5) kelembagaan.

Selain Epstein yang membahas model keefektifan organisasi publik (pemerintahan), maka konsep dan model lain cenderung menggunakan modelnya bagi organisasi di sektor dunia usaha. Terdapat perbedaan yang cukup mendasar untuk mengukur tingkat keefektifan organisasi pemerintah dengan organisasi usaha. Ukuran keefektifan dalam organisasi publik tidak hanya berdasarkan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, tetapi melibatkan berbagai kriteria lain yang sangat spesifik. Salah satu ukuran keefektifan bisa dilihat dari karakteristik paradigma administrasi publik baru seperti yang diintrodusir oleh Frederickson dalam Bellone (1980: 46-49), dimana nilai-nilai yang akan dimaksimumkan dalam administrasi negara baru adalah:

a. Daya tanggap (responsiveness) dari pemerintah lebih meningkat terhadap masalah dan keinginan masyarakat.

b. Lebih meningkatnya peluang bagi para pegawai dan warga negara untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan (worker and citizen participation in decision making).

c. Lebih diperhatikannya azas keadilan sosial (social equity) baik dalam penghasilan maupun distribusi hasil pembangunan dan kesamaan pelayanan.

d. Memperluas peluang bagi warga negara dalam memilih pelayanan yang diharapkannya (citizen choice), sehingga mengurangi monopoli pelayanan oleh pemerintah.

e. Meningkatnya tanggungjawab administrasi terhadap keefektifan program (administrative responsibility for program effectiveness).

Sedangkan mengenai kriteria keefektifan dalam implementasi kebijakan publik, Mazmanian dan Sabatier mengemukakan empat kriteria yaitu: (1) kesediaan kelompok sasaran untuk mematuhi output kebijakan, (2) dampak berupa persepsi dari kelompok sasaran, (3) dampak nyata output kebijakan, serta (4) upaya revisi terhadap kebijakan.

Berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa perilaku patuh pada umumnya berhubungan dengan penilaian individu mengenai untung ruginya jika mematuhi peraturan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rodgers dan Bullock (1980), sebagaimana dikutip oleh

Page 154: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

144 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Edwards III mengungkapkan hal yang sama, bahwa tingkat kepatuhan seseorang terhadap peraturan perundang-undangan merupakan fungsi dari:

a. Kemungkinan bahwa pelanggaran akan mudah dideteksi dan diseret ke pengadilan

b. Tersedianya sanksi-sanksi yang menghukum pelanggaran c. Sikap kelompok sasaran terhadap keabsahan dari kebijakan d. Biaya bagi kepatuhan yang harus dikeluarkan.

Dampak nyata output kebijakan dapat diukur dari berbagai indikator misalnya: (1) perubahan perilaku yang diharapkan, (2) tercapainya suatu keadaan tertentu. Persepsi seseorang mengenai dampak kebijakan merupakan fungsi dari dampak nyata yang diwarnai dengan nilai-nilai orang yang mempersepsinya. Roger Brown (1965) mengemukakan teori disonansi kognitif, yaitu bilamana seseorang tidak sepakat terhadap dampak suatu kebijakan, maka ia akan memandang: (1) dampak tersebut tidak sejalan dengan tujuan kebijakan; (2) kebijakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak sah;, dan (3) mempertanyakan keabsahan data (validitas dari dampak tersebut).

Terjadinya perbaikan terhadap kebijakan yang dilaksanakan harus dipandang sebagai titik kulminasi dari proses implementasi (Abdul Wahab, 1997:108). Karena upaya perubahan pada dasarnya merupakan fungsi dari persepsi terhadap kegiatan badan pelaksana di masa lalu, terjadinya perubahan-perubahan di kalangan masyarakat (termasuk kondisi sosial, ekonomi dan politik), serta perubahan posisi strategis lembaga-lembaga atasan dari badan pelaksana.

2. Konsep dan Kebijakan Perlindungan K3

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat dunia industri berlomba-lomba melakukan efisiensi dan meningkatkan produktivitas dengan menggunakan alat-alat produksi yang semakin kompleks. Makin canggih peralatan yang digunakan, makin besar pula potensi bahaya yang mungkin terjadi. Akibatnya akan makin besar peluang terjadinya kecelakaan kerja, apabila penggunaan teknologi tersebut tidak dilakukan penanganan dan pengendalian sebaik mungkin.

Dalam perkembangan pasar bebas dunia, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) telah menjadi isu global dan mempunyai kedudukan strategis, karena selain menyangkut aspek perlindungan tenaga kerja,

Page 155: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

145 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

lingkungan kerja, cara kerja, proses produksi, sangat erat pula kaitannya dengan pelaksanaan lingkungan hidup. Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja juga merupakan salah satu pilar tegaknya hak azasi manusia (HAM). Hal tersebut dikemukakan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Tahun 2000, yang menyatakan:

"Oleh karena itu diadakannya Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk menciptakan tempat kerja yang aman dan sehat, yang dapat menjadi salah satu penentu kekuatan daya saing perusahaan, karena kualitas pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam jangka panjang berpengaruh terhadap kualitas manajemen dan kualitas sumber daya manusia, serta efisiensi dan produktivitas perusahaan."

Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu bentuk perlindungan terhadap tenaga kerja atas risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang dapat terjadi pada waktu melakukan pekerjaan di tempat kerja. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja juga mencakup pengamanan aset perusahaan berupa peralatan, mesin, pesawat, instalasi, bahan produksi dan lain-lain, dari kemungkinan kerusakan dan kerugian akibat bahaya peledakan, kebakaran atau terganggunya proses produksi. Dengan melaksanakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, dapat diciptakan tempat kerja yang aman, nyaman dan sehat, serta tercipta tenaga kerja yang produktif, sehingga akan mendorong meningkatnya produktivitas kerja dan perusahaan.

Mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja, dapat mengakibatkan kecelakaan kerja yang menimbulkan korban jiwa, cacat, kerusakan peralatan, penurunan mutu dan hasil produk, terhentinya proses produksi, serta kerusakan lingkungan, yang pada akhirnya akan merugikan semua pihak. Dalam skala besar, akibat kecelakaan kerja yang merugikan perusahaan tersebut juga berarti merugikan perekonomian nasional.

Upaya mendorong peningkatan penerapan standar keselamatan dan kesehatan kerja, selain merupakan tugas fungsi instansi ketenagakerjaan, juga merupakan tugas dan fungsi berbagai instansi, antara lain di bidang industri dan perdagangan, di bidang kesehatan dan bidang-bidang kehidupan lainnya, serta kalangan pengusaha pada berbagai sektor usaha. Seperti dikemukakan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI pada seminar Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja dan Penerapan Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Di Era Globalisasi dan Otonomi Daerah (Februari 2002),

Page 156: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

146 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

kebijakan pemerintah mengenai keselamatan kerja di bidang industri dan perdagangan adalah sebagai berikut:

a. Kebijakan di bidang iklim usaha, diantaranya menciptakan aturan yang mendorong dunia usaha untuk memperlakukan tenaga kerja sesuai dengan norma-norma keselamatan dan kesehatan kerja.

b. Kebijakan di bidang lingkungan yaitu ketentuan melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), Unit Pengelolaan Lingkungan (UKL), Unit Pemantauan Lingkungan(UPL) sesuai dengan masing-masing jenis industri serta pengawasan operasionalnya secara berkelanjutan.

c. Peningkatan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan tenaga kerja dan sekaligus sebagai upaya memperkecil tingkat kecelakaan yang diakibatkan pekerja (human error).

d. Penerapan standar kompetensi jabatan, khususnya bagi jabatan yang dalam pekerjaannya sangat rawan kecelakaan kerja.

e. Penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja bagi industri dan perdagangan, utamanya yang rentan terhadap kecelakaan.

Keselamatan kerja bukan hanya memberi keuntungan kepada pengusaha dan pekerja, tetapi juga bagi kepentingan konsumen. Hal tersebut seperti diatur di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Pasal 3 huruf (f) menyatakan:

"Tugas pokok perlindungan konsumen adalah meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen”.

Pada kesempatan yang lain Raul Erickson dalam seminar Occupational, Environment, Health and Safety for Sustainable Development yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1999, menyatakan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja sangat besar peranannya dalam upaya meningkatkan produktivitas perusahaan, terutama untuk mencegah korban manusia dan segala kerugian akibat kecelakaan, dan secara positif untuk mewujudkan kualitas hidup masyarakat sesuai dengan tujuan pembangunan.

Oleh karena itu keselamatan dan kesehatan kerja menjadi tanggung jawab bersama baik pemerintah, pengusaha, masyarakat maupun pekerja. Sayangnya kebanyakan pekerja masih belum menganggap bahwa keselamatan dan kesehatan kerja merupakan kebutuhan utama.

Page 157: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

147 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Asean Occupational Safety and Health Network (ASEAN OSHNET) tahun 2002 menunjukkan bahwa dari jumlah kecelakaan kerja yang terjadi, secara umum dapat dikualifikasi bahwa kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahan manusia (unsafe act) mencapai sebesar 78% dan disebabkan kondisi berbahaya dari peralatan (unsafe condition) sebesar 20% serta faktor lainnya sebesar 2%. Hal itu membuktikan bahwa perilaku manusia merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan di tempat kerja.

Berkaitan dengan faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja Payaman Simanjuntak (2003:165) mengidentifikasi penyebab-penyebab sebagai berikut:

a. pekerja yang bersangkutan tidak terampil atau tidak mengetahui cara mengoperasikan alat-alat tersebut;

b. pekerja tidak hati-hati, lalai, dalam kondisi terlalu lelah atau dalam keadaan sakit;

c. tidak tersedia alat-alat pengaman; dan/atau d. alat kerja atau alat produksi yang digunakan dalam keadaan tidak baik

atau tidak layak pakai.

Seperti dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja berkaitan dengan pemerintah, pengusaha dan masyarakat (tenaga kerja). Oleh karena itu diperlukan prinsip-prinsip pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tingkat nasional, tingkat perusahaan dan tempat kerja. Berikut ini dapat ditampilkan bagan upaya keselamatan dan kesehatan kerja di tingkat nasional, perusahaan dan tempat kerja (Kode Praktis ILO, 2002;933).

Page 158: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

148 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Gambar 3.1: Upaya-upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Tingkat

Nasional, Perusahaan dan Tempat Kerja

Bagi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tingkat nasional, yang harus diperhitungkan adalah penyusunan dan penetapan kebijakan dan undang-undang keselamatan dan kesehatan kerja, serta kebijakan implementasinya di lapangan. Kebijakan ini harus ditinjau atau dievaluasi mengenai sejauh mana keefektifannya dalam mengatasi masalah keselamatan dan kesehatan kerja di lapangan.

Mengenai keefektifan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, Payaman (2003:165181) menyampaikan bahwa keberhasilan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dapat diukur dari:

Page 159: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

149 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

a. Jumlah dan frekuensi kecelakaan dan penyakit akibat kerja; b. Tingkat keparahan akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja; c. Tingkat kerugian yang terjadi baik ekonomis maupun non ekonomis; d. Jumlah tunjangan dan ganti rugi yang dibayarkan; e. Dampak akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja; f. Kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan norma dan standar

keselamatan dan kesehatan kerja; g. Kepatuhan tenaga kerja untuk mengikuti prosedur dan mekanisme

keselamatan dan kesehatan kerja; h. Tingkat pemahaman perusahaan dan tenaga kerja tentang tujuan dan

manfaat keselamatan dan kesehatan kerja; i. Jumlah kebijakan/peraturan pelaksanaan yang telah ditetapkan tentang

keselamatan dan kesehatan kerja.

Keterlibatan pemerintah dalam perlindungan dalam keselamatan dan kesehatan kerja sangat strategis, karena merupakan penjabaran dari tujuan pembangunan nasional seperti tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Diantaranya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, secara tegas mengatur agar tenaga kerja dapat memperoleh kehidupan yang layak, termasuk terhindarnya dari risiko-risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Berkaitan dengan fungsi Negara/Pemerintah, Hoogerwerf (1983;9), mengatakan sebagai berikut:

"Fungsi sentral dari suatu pemerintahan adalah menyiapkan, menentukan dan menjalankan kebijakan atas nama dan untuk keseluruhan masyarakat. Dalam perspektif ini, pemerintah diharapkan melakukan tindakan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat, atau diharapkan oleh masyarakat. Kebijakan pemerintah sangatlah diharapkan oleh masyarakat, khususnya yang berorientasi pada kepentingan kesejahteraan."

Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja telah lama dilaksanakan, bahkan sejak jaman Raja Hammurabi dari Babylonia (1700 SM). Perlindungan tersebut diatur dalam Code Hammurabi, dan terus berkembang ke berbagai belahan dunia (Kusnadi Harjasoemantri, 1999-36).

Di lingkungan dunia internasional perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja juga telah mendapat perhatian yang cukup besar. Hal itu dapat dilihat dari kesungguhan Organisasi Ketenagakerjaan Internasional

Page 160: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

150 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(International Labour organization-ILO), yang telah mengeluarkan beberapa konvensi mengenai keselamatan dan kesehatan kerja, yaitu:

a. Konvensi No. 120 Tahun 1964, tentang Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor;

b. Konvensi No.155 Tahun 1981, tentang Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan Kerja;

c. Konvensi No. 174 Tahun 1993, tentang Pencegahan Bencana Kecelakaan Kerja.

Selain itu ILO telah mengeluarkan buku petunjuk Pencegahan Kecelakaan Kerja Industri atau Code Of Practice on the Prevention of Major Industrial Accident, yang menjadi petunjuk praktis dalam penanganan keselamatan dan kesehatan kerja pada perusahaan-perusahaan di setiap negara.

Di Indonesia sendiri perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja telah dimulai sejak jaman Hindia Belanda, melalui Staatsbled Nomor 20 Tahun 1852, diperbaharui dengan Veiligheids Reglement Staatsbled Nomor 25 Tahun 1905, dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Makna dari Undang-Undang tersebut adalah untuk memberi perlindungan bagi tenaga kerja serta orang-orang yang berada di tempat kerja, agar terhindar dari resiko-resiko kecelakaan, penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran, maupun gangguan dari kondisi dan lingkungan. Sebagaimana dimaklumi, akibat dari risiko tersebut tidak saja merugikan pekerja beserta keluarganya tetapi juga menimbulkan kerugian bagi perusahaan dalam bentuk penambahan biaya produksi, kehilangan waktu dan tenaga. Akibatnya harus ditanggung oleh masyarakat dalam bentuk peningkatan harga jual hasil produksi.

3. Dinamika Kebijakan Perlindungan K3

Perlindungan tenaga kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian bagi tenaga kerja pada berbagai aspek ketenagakerjaan, baik pada sebelum bekerja (pre employment), masa selama bekerja (during employment), maupun setelah bekerja (post employment). Oleh karena itu perlindungan tenaga kerja sudah dimulai sejak saat proses penempatan (recruitment) tenaga kerja, saat pelatihan (training), saat menjalankan hubungan kerja (industrial relation) yang berkaitan dengan aspek pengupahan, waktu kerja dan waktu istirahat, jaminan sosial tenaga kerja, hak kebebasan berserikat, serta keselamatan dan kesehatan kerja.

Page 161: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

151 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Konsep perlindungan tenaga kerja ini di latar-belakangi oleh pemikiran mengenai posisi tenaga kerja yang dinilai kurang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang memadai, dibandingkan dengan posisi pengusaha sebagai mitra kerja, dalam menetapkan dan melaksanakan hak dan kewajiban dalam perjanjian kerja. Sehingga tercipta hubungan atas-bawah (vertical), dimana tenaga kerja cenderung menjadi pihak yang selalu dirugikan.

Menyadari hal tersebut, pemerintah di setiap negara merasa perlu melakukan perlindungan, agar posisi tawar tersebut secara ideal kembali menjadi horisontal. Bahkan melakukan upaya bersama melalui Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau International labour Organization (ILO), yaitu dengan penetapan berbagai kebijakan yang menyangkut perlindungan tenaga kerja.

ILO sendiri telah menetapkan berbagai konvensi maupun rekomendasi mengenai berbagai aspek perlindungan tenaga kerja. Diantaranya delapan konvensi dasar yaitu: Konvensi Nomor 29 tahun 1930, dan Nomor 105 tahun 1957 tentang Penghapusan Kerja Paksa, Konvensi Nomor 138 tahun 1973 dan Nomor 182 tahun 1999 tentang Penghapusan Pekerja Anak, Konvensi Nomor 100 tahun 1951 dan Nomor 111 tahun 1958 tentang Larangan Diskriminasi dalam Pekerjaan (Kesamaan Kesempatan dan perlakuan), serta Konvensi Nomor 87 tahun 1948 dan Nomor 98 tahun 1949 tentang Jaminan Kebebasan Berserikat.

Sehubungan dengan itu, dalam rangka untuk lebih menajamkan perlindungan ketenagakerjaan, pada International Labour Conference ke-87 tahun 1999 dan ke-88 tahun 2000, para utusan tripartit dari seluruh anggota telah menyepakati konsep kerja layak (decent work) dan menerapkannya. Untuk itu telah disepakati faktor-faktor yang harus diutamakan dalam perlindungan tenaga kerja, yang menjadi indikator dari kondisi kerja yang layak. Seperti dikutip dari hasil sidang tersebut mengenai kerja layak sebagai berikut:

"In defining Decent Work (DW), the Director General identified four major components, each reflecting four main responsibilities the ILO has to human beings in the world of work. The first was to promote their fundamental right of work; the second was to increase availability and quality of productive work; the third was to address people's vulnerabilities and contingencies at work or whether they arise from unemployment, loss of livelihood, sickness or old age; the fourth was to

Page 162: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

152 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

ensure social dialogue based on freedom of association and equal participation."

Jadi ada empat pilar kerja layak, yaitu (1) pemenuhan hak-hak mendasar di tempat kerja melalui penetapan 8 konvensi dasar ILO, penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan serta penguatan lembaga tripartit dan bipartit, (2) penciptaan lapangan kerja dengan melibatkan semua pihak, yaitu pemerintah, organisasi pengusaha, pekerja dan masyarakat, melalui penguatan mekanisme komunikasi, koordinasi dan pemanduan yang efektif, (3) perlindungan sosial dengan tujuan untuk menurunkan dan menghapus kemiskinan, pengembangan sistem jaminan sosial secara komprehensif, penegakan standar-standar keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan terhadap pekerja migran, pekerja sektor informal dan pekerja perempuan, (4) dialog sosial, yaitu untuk terciptanya hubungan industrial yang harmonis melalui efektivitas lembaga kerjasama tripartit.

Di Indonesia sendiri, kebijakan perlindungan tenaga kerja telah ada sejak lama, bahkan sejak jaman Hindia Belanda. Seperti Staats Blaad No.25 tahun 1921 tentang perlindungan tenaga kerja anak dan wanita, Weavings Ordonatie tahun 1936 tentang penempatan tenaga kerja, Undang-Undang Uap tahun 1930, dan lain-lain.

Di zaman kemerdekaan, makin banyak kebijakan perlindungan tenaga kerja yang telah ditetapkan. Seperti Undang-undang Kerja Nomor 1 Tahun 1951. Undang-undang nomor 12 tahun 1948, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, termasuk Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Diantara sekian banyak peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat Undang-undang tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan, yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969, yang saat ini telah disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, beserta dengan berbagai peraturan pelaksanaannya.

Konsep perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja seperti yang diatur dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970, bukan hanya untuk mencegah terjadinya resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja, tetapi lebih jauh untuk meningkatkan produktivitas kerja dan hasil usaha, meningkatkan kesejahteraan pekerja dan pertumbuhan dunia usaha, serta lebih jauh lagi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Page 163: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

153 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Konsep dan kebijakan perlindungan tenaga kerja perlu diimplementasikan, agar tujuan kebijakan dapat tercapai sesuai yang diharapkan, termasuk perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Sesuai dengan konsep kebijakan publik, bahwa kebijakan publik dibuat dalam rangka memberikan pelayanan bagi masyarakat, menyelesaikan masalah, serta mewujudkan kepatuhan untuk menjalankan kebijakan. Untuk itu telah dibentuk lembaga Pengawas Ketenagakerjaan yang bertugas mengawasi semua kebijakan perlindungan agar ditaati oleh semua pihak.

Pengawas ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau Dinas yang menangani ketenagakerjaan di tingkat Provinsi dan Kabupaten dan Kota, yang memiliki keahlian khusus, diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, setelah melalui pendidikan dan pelatihan tertentu.

Konvensi ILO Nomor 81 Tahun 1947 tentang Pengawasan Ketenaga-kerjaan (LabourInspection in Industry and Commerce), mendorong setiap negara anggota ILO membentuk lembaga yang secara khusus mengawasi pelaksanaan Undang-undang mengenai perlindungan tenaga kerja dengan menyediakan tenaga dan sarana yang memadai.

Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 81 Tahun 1947 melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2003. Di samping itu, Indonesia telah memiliki Undang-undang yang mengatur tentang pengawasan ketenagakerjaan yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu (Integrated Labour Inspection).

Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tugas pokok dan fungsi pengawasan ketenagakerjaan adalah:

a. Mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan pada khususnya,

b. Mengumpulkan bahan-bahan keterangan soal-soal hubungan kerja dan keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan,

c. Menjalankan pekerjaan lain-lainnya yang diserahkan kepadanya dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya.

Page 164: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

154 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Dari tugas di atas terlihat bahwa pengawasan ketenagakerjaan tidak hanya menjalankan fungsi implementasi kebijakan ketenagakerjaan, tetapi juga terlibat dalam fungsi penyusunan kebijakan ketenagakerjaan. Hal tersebut dapat dilihat dari fungsi mengumpulkan bahan keterangan guna membuat undang-undang dan peraturan ketenagakerjaan. Mengenai fungsi dari Pengawas Ketenagakerjaan, Heron dkk, mengatakan:

Labour Inspectors: (!) enforce the labour law and related regulations, (2) advise employers and workers on how to comply with the law, (3) report to superiors on problems and defects not convered by the law. In some countries inspectors perform other functions, including: (l) promoting harmonious relations between employers and workers, (2) investigating, conciliating, and mediating disputes between employers and workers.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pengawasan ketenaga-kerjaan selain memiliki fungsi penegakan hukum, tetapi juga memiliki fungsi edukasi, serta fungsi mediasi dalam hal terjadinya konflik antara pekerja dengan pengusaha. Oleh karena itu prinsip kerja pengawasan ketenaga-kerjaan adalah bersifat preventif, edukatif, promotif, rehabilitatif serta represif.

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, status kepegawaian pengawas ketenagakerjaan yang ada di provinsi, kabupaten dan kota adalah pegawai daerah. Akan tetapi pengangkatan, pemberhentian, dan pemberhentian sementara dari jabatan ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Oleh karena itu secara organisatoris selain bertanggung jawab kepada pimpinan daerah, juga mendapat supervisi dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Untuk memenuhi penajaman pelaksanaan pengawasan sesuai karakteristik kelompok sasaran, dilakukan kualifikasi pengawas ketenaga-kerjaan menurut keahlian. Sehingga terdapat pengawas ketenagakerjaan spesialis keselamatan dan kesehatan Kerja, dengan bidang keahlian: listrik, mekanik, mesin, uap, kesehatan kerja, konstruksi bangunan dan kebakaran.

Untuk efektivitas fungsi pengawasan ketenagakerjaan, telah ditetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap negara sebagaimana dimuat dalam Konvensi ILO Nomor 81 Tahun 1947. Para pegawai atau tenaga pengawas ketenagakerjaan harus memenuhi persyaratan, yaitu: 1) harus di bawah supervisi pemerintah pusat; 2) melakukan kerjasama dan kolaborasi dengan lembaga-lembaga pemerintah, lembaga-lembaga swasta yang terkait dengan pelaksanaan tugas

Page 165: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

155 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

pengawasan ketenagakerjaan, serta dengan organisasi pengusaha dan pekerja; 3) merupakan pegawai negeri sipil yang bersifat independen dan mandiri serta tidak terpengaruh oleh perubahan pemerintahan dan pengaruh-pengaruh eksternal; 4) keberadaannya harus diatur dengan hukum atau peraturan nasional; 5) memiliki kualifikasi khusus setelah melalui pelatihan tertentu; 6) memiliki jumlah dan kualitas yang memadai dengan mempertimbangkan jumlah perusahaan, jumlah tempat kerja, jumlah tenaga kerja serta kompleksitas masalah yang dihadapi; 7) harus memiliki kantor tersendiri baik di pusat, provinsi maupun kabupaten dan kota; 8) dilengkapi dengan sarana transportasi yang memadai untuk melaksanakan tugasnya; 9) memiliki peralatan pemeriksaan dan pengujian serta anggaran yang memadai sesuai kebutuhan; 10) harus menyampaikan laporan secara berkala kepada pemerintah pusat tentang hasil pelaksanaan tugasnya.

4. Beberapa Faktor Efektifitas Implementasi

Kebijakan K3 Keterlibatan pemerintah dalam perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja merupakan pelaksanaan dari tujuan nasional sebagaimana tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk masyarakat tenaga kerja. Selain itu berdasarkan amanah Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 mengenai kewajiban pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja yang layak bagi kehidupan kemanusiaan bagi setiap warga negara Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan fungsi pemerintah dalam perumusan kebijakan, seperti dikemukakan oleh Hoogerwerf (1983:9) bahwa:

"Fungsi sentral dari suatu pemerintahan adalah menyiapkan, menentukan dan menjalankan kebijakan atas nama dan untuk keseluruhan masyarakat. Dalam perspektif ini pemerintah diharapkan melakukan tindakan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat atau diharapkan oleh masyarakat. Kebijakan pemerintah sangatlah diharapkan oleh masyarakat khususnya yang berorientasi pada kepentingan kesejahteraan."

Kebijakan operasional untuk hal di atas telah ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, dimana tujuan yang ingin dicapai adalah rendahnya tingkat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, meningkatnya produktivitas kerja, meningkatnya kesejahteraan tenaga kerja, serta meningkatnya daya saing usaha.

Page 166: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

156 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Implementasi dari kebijakan di atas menjadi hal yang sangat penting, karena tanpa implementasi yang efektif kebijakan tersebut hanya terbatas sebagai suatu keinginan atau cita-cita. Ada empat dimensi dari implementasi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, pertama: sosialisasi kebijakan baik bagi pelaksana di lapangan maupun perusahaan dan tenaga kerja sebagai kelompok sasaran kebijakan, kedua: pelayanan teknis bagi perusahaan dan tenaga kerja, ketiga: penyusunan program serta kebijakan teknis lainnya, keempat: pengendalian kebijakan dan penegakan hukum.

Oleh karena itu untuk menetapkan tingkat keefektifan implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dapat diukur dengan kriteria: 1) kesediaan perusahaan dan tenaga kerja mematuhi perintah kebijakan, 2) tercapainya tujuan kebijakan. Kriteria keefektifan tersebut sejalan dengan pendapat Mazmanian dan Sabatier yang mengemukakan tentang empat kriteria keefektifan implementasi kebijakan publik, yaitu: 1) kesediaan kelompok sasaran untuk mematuhi output kebijakan, 2) dampak nyata output kebijakan, 3) persepsi kelompok sasaran, 4) upaya revisi kebijakan.

Kriteria tingkat kepatuhan terhadap kebijakan dapat diukur dengan dilaksanakannya norma dan standar-standar keselamatan kerja, serta tersedia dan berfungsinya sarana serta fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan. Sedangkan kriteria pencapaian tujuan kebijakan dapat diukur dengan: tingkat kecelakaan dan penyakit akibat kerja, jumlah kerugian yang dialami, tingkat produktivitas, tingkat partisipasi perusahaan dan tenaga kerja, kelangsungan usaha, serta tingkat kesejahteraan dan penghasilan pekerja.

Banyak faktor yang mempengaruhi keefektifan implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Dengan mengacu pada teori Edwards III, terdapat empat faktor utama atau variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, termasuk diantaranya kebijakan publik dalam perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Keempat faktor tersebut adalah komunikasi (communication), sumber daya (resources), disposisi (disposition), serta struktur birokrasi (bureaucratic structure). Pemilihan keempat variabel ini dilatarbelakangi pemikiran bahwa Keempatnya secara minimal telah mewakili berbagai faktor dari kapasitas badan pelaksana.

Page 167: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

157 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Di bawah ini akan diuraikan aplikasi dari masing-masing faktor atau variabel termasuk dimensi dan variabelnya, dalam implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

a. Komunikasi (Communication)

Komunikasi disini adalah jalinan inter-relasi dan interaksi antara perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan, komunikasi antara para pelaksana kebijakan pada berbagai tingkatan, serta komunikasi antara pelaksana kebijakan dengan kelompok sasaran kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Perumus kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di tingkat nasional adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di jajaran legislatif, serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di jajaran eksekutif.

Pelaksana kebijakan terdapat di lingkungan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, serta pemerintah kabupaten dan kota, yang secara organisatoris ditangani oleh unit yang bertanggung jawab mengenai urusan ketenagakerjaan. Pada unit kerja tersebut terdapat tenaga pengawas ketenagakerjaan yang telah memiliki kualifikasi keahlian dalam implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, yaitu melalui fungsi pengawasan ketenagakerjaan. Sedangkan kelompok sasaran dari kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, adalah pimpinan perusahaan serta para pekerja di perusahaan.

Komunikasi antara berbagai domain tersebut harus berjalan dengan baik dan lancar. Para pelaksana kebijakan pada berbagai tingkatan harus memahami dengan jelas dan lengkap substansi dari kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, baik dari dimensi teknis, dimensi manajerial, maupun latarbelakang historis dan landasan filosofis dari kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan. Selain itu juga harus difahami korelasi dengan aspek-aspek lain, seperti aspek ekonomis, sosial, hukum, psikologis, politis dan budaya.

b. Penyampaian (Transmission)

Seorang pengawas ketenagakerjaan berperan sebagai komunikan pada saat berkomunikasi dengan perumus kebijakan. Mereka harus mampu menyerap dan memahami semua substansi kebijakan, baik kebijakan pokok yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970, maupun kebijakan-kebijakan teknis atau kebijakan pelaksanaan, yang

Page 168: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

158 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

dibuat secara temporer tergantung keadaan untuk mengatasi masalah-masalah yang bersifat temporer juga. Pada posisi ini seorang pengawas ketenagakerjaan harus memiliki kapasitas yang memadai agar mampu menerima pesan-pesan kebijakan yang diberikan, serta dapat memberikan umpan balik pada perumus kebijakan.

Pada sisi lain pengawas ketenagakerjaan juga harus berperan sebagai komunikator, yaitu bertugas menyampaikan pesan yang telah diterimanya kepada para pimpinan/pengurus perusahaan maupun para tenaga kerja, sebagai kelompok sasaran kebijakan. Pada peranan ini pengawas ketenagakerjaan harus memiliki kompetensi yang memadai sebagai seorang komunikator.

Hal penting lain di dalam proses penyampaian adalah kemampuan pengawas ketenagakerjaan untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan komunikasi (noise) yang mungkin terjadi, seperti halnya dikemukakan oleh Schermerhorn, Hunt dan Osborn (2003:342-344), bahwa ada enam faktor hambatan komunikasi, yaitu: kelemahan fisik, masalah bahasa, pesan-pesan campuran, perbedaan budaya, tidak tersedianya umpan balik dan pengaruh status.

c. Kejelasan (Clarity)

Informasi yang disampaikan oleh pengambilan keputusan kepada pengawas ketenagakerjaan sebagai pelaksana kebijakan di lapangan harus terang dan jelas, menjadi tepat dan penerimaan kebijakan oleh pengusaha dan pekerja menjadi lebih mudah. Ketidakjelasan penyampaian pesan kebijakan biasanya terjadi karena pesan yang disampaikan bersifat umum dan tidak menguraikan secara terperinci, tidak adanya informasi kebijakan yang bersifat baku, penyampaian kebijakan oleh orang yang tidak memiliki kompetensi misalnya bukan oleh pengawas ketenagakerjaan, imajinasi yang keliru serta kreatifitas para pelaksana yang menyimpang dari substansi kebijakan.

Pada dimensi ini faktor interpretasi (interpretation) dan persepsi (perception) dari para pelaksana kebijakan mempunyai pengaruh yang besar bagi diperolehnya kejelasan informasi, disamping hambatan-hambatan lain seperti penolakan dari masyarakat, tujuan ganda, belum adanya konsensus.

Page 169: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

159 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

d. Konsistensi (Consistency)

Konsistensi dimaksudkan sebagai kesesuaian, keselarasan dan kesinambungan dari pesan yang disampaikan. Pesan-pesan yang disampaikan yang bertentangan satu sama lain apalagi bertentangan dengan substansi kebijakan, akan menimbulkan kebingungan dari penerima. Oleh karena itu perlu adanya standar kompetensi dari Pengawas Ketenagakerjaan mengenai perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Sebagai satu profesi, Pengawas Ketenagakerjaan memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda, oleh karena itu keluasan dan kedalaman penyampaian pesan oleh masing-masing pengawas ketenagakerjaan harus disesuaikan dengan tingkat kemampuannya. Sebab bukan soal luas atau dangkalnya pesan yang disampaikan, tetapi pesan-pesan tersebut tidak bertentangan satu sama lain. Konsistensi juga mengandung arti penyampaian pesan secara terus menerus dan berkesinambungan, hal tersebut sangat mempengaruhi tingkat penerimaan pemahaman dari kelompok sasaran.

e. Sumberdaya (Resources)

Unsur-unsur sumberdaya menurut Edwards III (1980) terdiri dari unsur pegawai (staff), informasi (information), kewenangan (authority) dan fasilitas (facility). Keempatnya memiliki pengaruh terhadap keefektifan kebijakan publik, meskipun memiliki tingkat pengaruh yang satu sama lain berbeda tergantung pada jenis kebijakan yang dilaksanakan.

f. Pegawai (Staff)

Unsur pegawai dalam implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja adalah para pengawas ketenagakerjaan. Faktor pegawai ini memiliki dua dimensi yaitu dimensi jumlah, dan dimensi kualitas. Jumlah pengawas ketenagakerjaan yang dialokasikan pada setiap kabupaten/kota harus disesuaikan dengan jumlah beban yang di hadapi (jumlah perusahaan, jumlah tenaga kerja, serta jumlah sumber-sumber resiko), dimana setiap kabupaten/kota akan berbeda satu sama lain. Misalnya tingkatan beban tersebut akan berbeda pada kabupaten dan kota industri dibandingkan dengan kabupaten dan kota yang berkarakter pertanian.

Page 170: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

160 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selain dimensi jumlah, maka faktor keahlian pegawai juga sangat menentukan keefektifan implementasi kebijakan. Aktor pelaksana perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja harus memiliki kualifikasi teknis yang sangat heterogen, sesuai dengan kualifikasi jenis peralatan, jenis bahan, lingkungan kerja maupun cara, proses, produksi dan prosedur kerja. Untuk itu kualifikasi keahlian pengawas ketenagakerjaan dalam perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, terdiri dari: pengawas keselamatan kerja spesialis mekanik, uap, listrik, konstruksi bangunan, kimia, kesehatan kerja. Penempatan pengawas ahli tersebut juga harus disesuaikan dengan karakteristik daerah yang dipengaruhi oleh karakteristik perusahaan-perusahaan di daerah tersebut. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Winardi (2000:442), yang menyatakan tentang efektifitas pelayanan publik:

"Secara sistematis pelayanan masyarakat antara lain ditentukan oleh pemahaman tentang masalahnya, orang-orang yang mempengaruhinya, kekuatan dan keterbatasannya, sifat serta pola hubungan kerja yang timbul diantara dan di dalam berbagai kelompok orang-orang yang bersama-sama membentuk lingkungan kerjanya."

g. Informasi (Information)

Ada dua bentuk informasi yang dibutuhkan dalam implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Pertama, informasi yang berkaitan dengan kebijakan itu sendiri, misalnya program-program maupun kebijakan lain yang tidak berkaitan secara langsung, misalnya: data pertumbuhan ekonomi di daerah pelaksanaan, jumlah dan kualitas lembaga pendidikan, data angkatan kerja, dan sebagainya. Kedua, informasi mengenai data yang berkaitan langsung dengan kebijakan, seperti: jumlah dan kualifikasi perusahaan, jumlah dan kualifikasi tenaga kerja, jumlah dan jenis alat produksi, sumber risiko maupun data tentang kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Informasi ini sangat penting karena menjadi salah satu sumber untuk menetapkan strategi operasional maupun menentukan program-program yang diperlukan. Seorang Pengawas Ketenagakerjaan akan dengan mudah melaksanakan tugasnya melakukan sosialisasi maupun pemeriksaan di sebuah perusahaan, apabila telah memiliki data dasar dari perusahaan tersebut.

Page 171: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

161 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

h. Kewenangan (Authority)

Kewenangan merupakan sumber yang sangat penting dalam melaksanakan kebijakan, apalagi bagi seorang pengawas ketenaga-kerjaan. Karena selain melaksanakan tugas secara persuasif melalui penyuluhan, juga harus melakukan tindakan represif agar tercapai kepatuhan dari perusahaan dan tenaga kerja, seperti pendapat yang mengatakan bahwa the power to the judge.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 selain bersifat mengatur (regelend) juga bersifat memaksa (coersif), dimana di dalamnya terdapat pasal yang mengatur ancaman pidana bagi yang tidak mematuhi ketentuan-ketentuan dalam kebijakan tersebut. Ketentuan memaksa tersebut hanya dapat dijalankan apabila disertai dengan kewenangan bagi petugas untuk melaksanakannya.

Banyak kewenangan yang dimiliki oleh seorang pengawas ketenaga-kerjaan, untuk mendukung keefektifan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Misalnya kewenangan untuk memasuki tempat kerja, untuk mengumpulkan orang, untuk meminta keterangan, untuk melakukan pengujian, untuk memberikan atau mencabut ijin maupun untuk mengajukan ke pengadilan.

i. Fasilitas (Facility)

Fasilitas di sini terdiri dari sarana prasarana serta dana untuk melakukan kegiatan sosialisasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, maupun untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian sumber-sumber resiko dan peralatan kerja.

Sarana dan biaya sosialisasi yang tidak memadai, tidak memungkinkan tercapainya tingkat pemahaman yang optimal. Karena seperti halnya dikemukakan pada bagian komunikasi, sarana ini termasuk tersedianya media komunikasi. Demikian juga pemeriksaan dan pengujian terhadap alat produksi dan sumber resiko kerja tidak akan akurat hasilnya, apabila tidak menggunakan alat uji yang memadai, seperti alat uji kebisingan, alat uji gas, alat uji pencahayaan dan sebagainya. Selain itu diperlukan anggaran operasional yang memadai untuk digunakan sebagai biaya akomodasi dan transportasi dalam melaksanakan implementasi kebijakan.

Page 172: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

162 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

j. Disposisi (Disposition)

Disposisi di sini menyangkut sikap dan perilaku para pengawas ketenagakerjaan dalam fungsinya sebagai implementator kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Variabel ini sangat penting, sebab pada dasarnya sebuah kebijakan dibuat, dilaksanakan, serta ditujukan oleh dan bagi kepentingan manusia. Setiap manusia secara alami tidak pernah lepas dari faktor sikap dan perilakunya, yang bersifat individual dan spesifik.

Dimensi-dimensi disposisi menurut Edwards III terdiri dari: pengaruh sikap dan perilaku (disposition effect), penataan staf birokrasi (staffing the bureaucracy), serta faktor perangsang (incentive).

k. Pengaruh Sikap (Disposition Effect)

Sikap para pengawas ketenagakerjaan sudah mulai terbentuk secara sistematis, sehingga membentuk karakter tertentu, yaitu: 1) sejak kegiatan seleksi dalam pengadaan pegawai, karena adanya persyaratan-persyaratan formal dan material yang harus dipenuhi, 2) selama proses pendidikan dan pelatihan yang memakan waktu cukup lama dan mengarah pada homogenitas, 3) adanya diskriminasi perlakuan selama menjalankan tugas yang membedakan tugas dan fungsi pengawas ketenagakerjaan dengan tugas dan fungsi pegawai lainnya, 4) serta adanya kesenjangan antara tujuan kebijakan dengan tingkat hasil yang dicapai.

Pengaruh sikap dan perilaku dapat menimbulkan konflik internal dalam organisasi, maupun menghambat kerjasama di luar unit-unit organisasi, karena faktor ego sektoral, yaitu menganggap bahwa tugas maupun organisasinya lebih penting dibandingkan tugas dan organisasi yang lain. Hal ini oleh Edwards III disebut dengan sumber kepicikan (sources of parochialism). Akibat dari pengaruh ini menghambat kerjasama dan koordinasi sehingga menghambat keefektifan kebijakan.

l. Penataan Staf Birokrasi (Staffing The Bureaucracy)

Kegiatan meliputi proses penataan pengawas ketenagakerjaan sejak rekrutmen, seleksi, pendidikan dan pelatihan, promosi, pengaturan jenjang kepangkatan, sistem imbalan, dan sebagainya. Sudah ditetapkan staf birokrasi mencakup penataan staf pelaksana kebijakan mulai dari pengangkatan (selection and recruitment), penempatan, pembinaan,

Page 173: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

163 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

promosi, yaitu untuk memperoleh staf yang memiliki kecakapan ability), kemampuan (capacity), serta kesanggupan (capability). Seorang pengawas ketenagakerjaan dituntut kemampuan dan tanggung jawab yang besar, karena dengan kewenangannya dapat terjadi kemungkinan penyalahgunaan samping mensosialisasikan kebijakan juga melakukan penegakan hukum untuk terciptanya kepatuhan. Untuk itu jika tidak dilakukan penataan staf dengan baik maka akan mempengaruhi keefektifan kebijakan.

m. Perangsang (Incentive)

Perangsang merupakan pembangkit motivasi agar mampu bekerja untuk mencapai kinerja yang optimal, bisa berbentuk materiil seperti sistem penggajian, pemberian tunjangan, honorarium, sistem kenaikan pangkat, promosi jabatan, maupun penghargaan (Edwards III, 1980:93-94, Winardi, 2002:28). Banyak insentif yang telah diberikan kepada Pengawas Ketenagakerjaan misalnya penetapan sebagai pejabat fungsional, pemberian tunjangan jabatan fungsional, kenaikan pangkat non reguler, pemberian penghargaan atas prestasi tugas. Dengan perangsang ini diharapkan menjadi motivasi untuk meningkatkan kapasitas kerjanya baik kualitatif maupun kuantitatif, misalnya jumlah pemeriksaan dan pengujian, jumlah sosialisasi, penuntasan temuan hasil pemeriksaan.

n. Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure)

Struktur birokrasi organisasi pengawasan ketenagakerjaan telah ditetapkan secara baku melalui kebijakan tertentu, baik untuk tingkat pemerintah pusat, pemerintah propinsi, maupun pemerintah kabupaten dan kota. Hal tersebut dimaksudkan sebagai kerangka pembagian tugas baik yang bersifat vertikal maupun horisontal, serta pembagian tugas didasarkan struktural dan keahlian (spesialisasi). Ini berkaitan dengan kompleksitas, formalisasi, rentang kendali, kesatuan komando, termasuk diantaranya penerapan Standar Prosedur Operasi Baku (Standard Operating Procedure). Edwards III menetapkan dua variabel indikator pada struktur birokrasi yaitu mengenai prosedur operasi baku dan pembagian tugas.

o. Prosedur Operasi Baku (Standard Operating Procedure)

Prosedur operasi baku merupakan kebutuhan internal organisasi yang disebabkan karena keterbatasan sumber daya, kesempitan waktu, serta

Page 174: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

164 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

keragaman operasional. Dengan SOP memungkinkan para pelaksana untuk bertindak dan mengambil keputusan secara cepat dan seragam terutama untuk pelayanan-pelayanan publik yang bersifat rutin dengan tingkat perubahan yang kecil. Bagi masyarakat penerima, pelayanan SOP juga memberikan keuntungan karena mendapat kepastian mengenai pelayanan yang akan diterima.

Dalam pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja penerapan pola SOP sangat membantu, karena banyak kegiatan-kegiatan dalam pelayanan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat rutin dan telah distandarisasikan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Winardi (2005:212-213), dalam membahas kelemahan dan kekuatan model organisasi Mintzberg (1979), yang menyebutkan bahwa SOP cocok bagi model birokrasi mesin yang melakukan pembagian tugas berdasarkan keahlian.

p. Pembagian Tugas (Fragmentation)

Pembagian tugas dimaksudkan untuk mendistribusikan tanggung jawab dalam penggunaan sumberdaya dan otoritas pemecahan masalah secara komprehensif. Dengan fragmentasi ini menjadi jelas mengenai siapa melakukan apa sehingga tidak terjadi tumpang tindih pelaksanaan tugas, sedangkan bagi penerima kebijakan juga merasa diuntungkan karena mendapat kepastian dari orang tertentu dengan cara tertentu untuk pelayanan tertentu.

Page 175: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

165 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

BAB VIII

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN K3

1. Metode dan Disain Penelitian

Mengacu pada sejumlah data sekunder yang ada (sebagian telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya) mengindikasikan adanya kesenjangan antara sasaran dan tujuan yang diharapkan, dengan realitas senyatanya yang telah dicapai. Gejala ini oleh Andrew Dunsire dalam Wahab (1997:61) dinamakan dengan implementation gap, yaitu perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan, dengan apa yang senyatanya dicapai oleh pelaksana kebijakan. Kesenjangan tersebut menunjukkan ketidak-efektifan implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia.

Begitu juga dari studi pendahuluan yang dilakukan pada beberapa kabupaten dan kota di pulau Jawa, terlihat adanya berbagai permasalahan krusial yang patut diduga merupakan faktor penyebab tidak efektifnya implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tersebut. Beberapa fenomena tersebut adalah:

a. Kapasitas sumber daya yang dimiliki oleh kabupaten/kota untuk melaksanakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tidak memadai, seperti: a) jumlah dan kompetensi tenaga pengawas ketenagakerjaan, b) data mengenai keadaan ketenagakerjaan serta sumber-sumber risiko yang digunakan, c) penempatan tenaga pengawas yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya,

Page 176: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

166 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

d) terbatasnya sumber keuangan untuk membiayai kegiatan, serta terbatasnya fasilitas pemeriksaan dan pengujian untuk mendeteksi risiko kerja.

b. Struktur birokrasi yang menempatkan fungsi pengawasan ketenaga-kerjaan untuk mendukung keefektifan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tidak memadai.

c. Aksesibilitas maupun rentang kendali antar tingkatan pemerintahan (pusat-propinsi dan kabupaten-kota) berkurang, yang menyebabkan terhambatnya arus informasi kebijakan.

d. Sikap para pelaksana yang kurang mendukung, bahkan seringkali kontra produktif terhadap keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Keempat faktor di atas merupakan kelemahan yang ditemukan pada kapasitas organisasi penyelenggara ketenagakerjaan di kabupaten dan kota, dimana kapasitas badan pelaksana merupakan bagian dari sistem kebijakan (Dunn, 1981:46 serta Dye, 1987:6), yaitu bagian dari komponen kelembagaan, proses dan perilaku (institution, process and behaviour).

Hal yang sama dikemukakan oleh Goggin et all (1990:38) bahwa: "Organizational capacity referstoan institution's ability to take purposeful action; it is a function of the structural, personnel and resource characteristics of state agencies". Pendapat di atas menunjukkan bahwa faktor-faktor kapasitas badan pelaksana menjadi penentu terhadap kemampuan bertindak (the state capacity act) dalam keefektifan implementasi kebijakan. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Edwards III mengenai empat faktor kritis (four critical factors) yang mempengaruhi keefektifan implementasi kebijakan publik, yaitu faktor komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana dan struktur birokrasi.

Dalam kaitan ini ada sejumlah persoalan yang relevan untuk mendapat perhatian yang lebih besar, dengan pertimbangan:

a. Implementasi kebijakan yang merupakan salah satu dari dimensi kebijakan publik, seringkali menjadi titik lemah dalam penyelenggaraan administrasi negara, khususnya dalam fungsi pelayanan publik serta menyelesaikan urusan-urusan publik. Oleh karena itu perlu diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan implementasinya.

Page 177: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

167 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

b. Perlu diteliti sejauh mana kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat nasional diimplementasikan di kabupaten dan kota, dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Karena setiap daerah memiliki kondisi dan karakter yang spesifik, seperti: kemampuan untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah, keputusan politik untuk menetapkan prioritas pembangunan, kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya daerah yang sangat mempengaruhi pilihan prioritas pembangunan.

c. Belum ada penelitian yang meneliti tingkat dan besaran pengaruh dari kapasitas badan pelaksana di kabupaten dan kota terhadap keefektifan pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

a. Maksud dan Tujuan Penelitian

1) Maksud penelitian ini adalah untuk: a) Untuk memahami, memaknai, menjelaskan dan mendeskripsikan

berbagai permasalahan, hambatan dan tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang dilakukan oleh kabupaten dan kota di Jawa Barat.

b) Mencari solusi, teknik, strategi maupun cara-cara yang harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan kota dalam mengimplementasikan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

2) Sementara itu tujuan penelitian ini adalah untuk: a) Memperoleh pemahaman mengenai berbagai permasalahan,

hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja pada kabupaten dan kota di Jawa Barat, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya;

b) Memperoleh konsep baru yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah, hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

b. Objek Penelitian

Objek penelitian adalah pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan, ditinjau dari pengaruh komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana dan struktur birokrasi. Unit analisis penelitian adalah pimpinan perusahaan yang tersebar di kabupaten dan

Page 178: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

168 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

kota di Jawa Barat, dalam hal ini dapat diwakili oleh Manajer Keselamatan Kerja (Safety Manager) atau Manajer Sumber Daya Manusia (Human Resources Manager)

c. Desain Penelitian

Informasi atau data primer untuk penelitian ini dihimpun melalui metode survei, dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh responden. Penggunaan metode survey dilakukan karena populasi penelitian cukup besar, akan tetapi data yang dipelajari adalah data sampel yang diambil dari populasi tersebut. Dengan demikian mencerminkan kejadian-kejadian relatif dan hubungan-hubungan antar variabel, sebagaimana dikemukakan oleh Kerlinger (dalam Sugiyono, 1994:3). Penelitian bersifat deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan sifat-sifat individu, keadaan, gejala, atau hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain.

d. Operasionalisasi Variabel

Operasionalisasi variabel dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan mengenai kandungan variabel yang digunakan, sehingga dapat disusun alat ukur data yang digunakan. Variabel-variabel penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut ini:

− Variabel bebas, terdiri dari:

1) Komunikasi (X1), meliputi dimensi: penyampaian (X11), kejelasan (X12), dan konsistensi (X13);

2) Sumber daya (X2), meliputi dimensi: pegawai (X21), informasi (X22), kewenangan (X23), dan fasilitas (X24);

3) Sikap pelaksana (X3), meliputi dimensi: efek dari sikap (X31), penataan staf (X3.2), faktor perangsang (X 3 3);

4) Struktur birokrasi (X4), meliputi dimensi: prosedur operasi baku (X41), dan pembagian tugas (X42).

− Variabel Terikat:

Efektivitas keselamatan dan kesehatan kerja (Y) terdiri atas dimensi: Kepatuhan terhadap kebijakan (Y1), dan Pencapaian tujuan kebijakan (Y2). Operasionalisasi variabel beserta dimensi dan indikatornya dimaksud di atas disajikan pada tabel 4.5 berikut ini.

Page 179: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

169 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Tabel 8.1 Variabel-variabel Penelitian

Variabel Dimensi Indikator

Komunikasi (X1)

1. Penyampaian (transmission) (X1.1)

1. Jumlah informasi yang diterima. 2. Tingkat kekerapan penyampaian informasi 3. Cara Komunikasi 4. Sarana komunikasi yang digunakan 5. Hambatan-hambatan komunikasi

2. Kejelasan ( (X1.2) 1. Kualitas informasi 2. Tingkat kejelasan atas informasi

3. Konsistensi (Consistency)

1. Konsistensi terhadap kebijakan 2. Konsistensi dalam petunjuk dan perintah

Sumber daya (X2)

1. Pegawai (Staff) (X2.1) 1. Jumlah dan kualitas petugas teknis 2. Keahlian petugas teknis

2. Informasi (Information) (X2.2)

1. Pengetahuan dan kemampuan petugas dalam transformasi materi kebijakan

2. Tersedianya data untuk monitoring

3. Kewenangan (Authority)

(X2.3)

1. Adanya peraturan daerah sebagai peraturan pelaksana

2. Dukungan pimpinan eksekutif 3. Dukungan anggaran 4. Adanya sanksi yang memadai

4. Fasilitas (Facility) (X2.4) 1. Tersedianya sarana untuk sosialisasi dan

pelatihan 2. Tersedianya alat ukur pemeriksaan dan

pengujian

Struktur Birokrasi (X4)

1. Prosedur Operasi Baku (Standard Operating Procedure) (X4.1)

1. Tersedianya SOP tentang jenis-jenis pelayanan 2. Dilaksanakannya SOP secara konsisten

2. Pembagian Tugas (Fragmentation) (X4.2)

1. Adanya pembagian tugas berdasarkan wilayah 2. Adanya pembagian tugas berdasarkan fungsi

Efektivitas Perlindungan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja (Y)

1. Kepatuhan Terhadap Kebijakan (Y1)

1. Pelaksanaan norma dan standar keselamatan dan kesehatan kerja

2. Tersedia dan berfungsinya sarana serta fasilitas K3 di perusahaan

2. Pencapaian Tujuan Kebijakan (Y2)

1. Tingkat Kecelakaan dan penyakit akibat kerja 2. Jumlah kerugian 3. Tingkat produktivitas 4. Pertumbuhan usaha 5. Kesejahteraan dan penghasilan kerja 6. Tingkat partisipasi perusahaan dan tenaga kerja

e. Populasi dan Sampel

Dari studi pendahuluan terdapat 20.545 perusahaan yang tersebar pada 25 kabupaten dan kota di Jawa Barat. Daerah tersebut dapat dibedakan

Page 180: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

170 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

menjadi tiga jenis, yaitu daerah industri, daerah perdagangan dan daerah pertanian. Tiap jenis usaha mempunyai karakteristik yang berbeda dalam mengimplementasikan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Demikian juga perusahaan dapat dibedakan antara perusahaan besar, menengah dan perusahaan kecil.

Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah daerah, mengenai keadaan geografis, jumlah dan penyebaran penduduk, angka pertumbuhan ekonomi, jumlah perusahaan, jumlah tenaga kerja, jumlah dan jenis risiko kerja, data hasil pengawasan, serta data lain yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Data ini perlu untuk disajikan, karena sangat berkaitan dengan karakteristik kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam rangka mendukung kebijakan pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di daerahnya.

f. Teknik Penarikan dan Penentuan Besarnya Sampel

Mengingat populasi yang cukup besar, maka penelitian dilakukan dengan memilih sampel. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kuantitatif melalui metode Structural Equation Modeling (SEM) yang diolah dengan program statistik Linear Structural Relationships (LISREL) (Schumacher et al, 1996). Merujuk pada HAIR (2002), penentuan jumlah sampel untuk (populasi yang besar) dapat langsung ditetapkan minimum 250 responden, dalam hal ini 250 perusahaan.

Dalam rangka alokasi sampel, langkah yang pertama menetapkan daerah yang dijadikan lokasi penelitian, yang semaksimal mungkin mewakili keseluruhan wilayah di Jawa Barat termasuk pertimbangan karakteristik daerah secara representatif. Kriteria yang digunakan untuk menetapkan daerah penelitian ditetapkan dengan pertimbangan bahwa kabupaten dan kota tersebut dinilai sebagai daerah potensial dalam pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Kriteria tersebut meliputi: jumlah perusahaan, jumlah tenaga kerja, jumlah sumber risiko, serta tingkat kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Dengan demikian, maka populasi penelitian adalah 15.046 perusahaan yang tersebar pada 12 Kabupaten dan Kota. Untuk menetapkan alokasi sampel pada setiap Kabupaten dan Kota digunakan rumus sebagai berikut:

𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑷𝒆𝒓𝒖𝒔𝒂𝒉𝒂𝒂𝒏 𝑲𝒂𝒃/𝑲𝒐𝒕𝒂𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑷𝒆𝒓𝒖𝒔𝒂𝒉𝒂𝒂𝒏 𝒙 𝟐𝟓𝟎

Page 181: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

171 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Hasil perhitungan alokasi sampel per Kabupaten dan Kota di atas, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 8.2 Alokasi Sampel per Kabupaten/Kota

KABUPATEN/KOTA JUMLAH POPULASI SAMPEL

Kabupaten Bandung 1.758 29 Kabupaten Bekasi 1.283 21 Kota Bekasi 657 11 Kabupaten Bogor 1.650 28 Kota Bandung 3.957 66 Kota Bogor 1.084 18 Kota Cirebon 1.035 17 Kota Cimahi 486 8 Kabupaten Cianjur 861 14 Kabupaten Karawang 863 15 Kabupaten Sumedang 560 9 Kab. Cirebon 852 14 Jumlah 15.046 250

Untuk menetapkan perusahaan-perusahaan yang akan dijadikan sasaran penelitian setelah jumlah sampel ditetapkan, dipilih secara random setelah mengklasifikasi perusahaan dengan kriteria berdasarkan ukuran perusahaan (perusahaan besar, sedang, menengah dan kecil), serta menurut sektor usaha, dengan menggunakan standar berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI).

g. Prosedur Pengumpulan Data

Ada dua jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, yaitu data ordinal dan data kualitatif. Untuk data ordinal diperoleh dari responden yang dikumpulkan dengan menggunakan angket penelitian, Karena data yang didapat dari angket merupakan data ordinal, sedangkan untuk menggunakan analisis koefisien Jalur datanya minimal harus skala pengukuran interval, maka data yang diperoleh dinaikkan menjadi berskala interval, dengan menggunakan metode Successive interval dari Hags (Harun Al-Rasyid, 1994; 131-134), Dengan rumus seperti di bawah ini.

𝑴𝒆𝒂𝒏𝒔 𝒐𝒇 𝑰𝒏𝒕𝒆𝒓𝒏𝒂𝒍 = (𝑫𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒚 𝒐𝒇 𝑳𝒐𝒘𝒆𝒓 𝑼𝒏𝒊𝒕) − (𝑫𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒚 𝒐𝒇 𝑼𝒑𝒑𝒆𝒓 𝑼𝒏𝒊𝒕(𝑨𝒓𝒆𝒂 𝑩𝒆𝒍𝒍𝒐𝒘 𝑼𝒑𝒑𝒆𝒓 𝑼𝒏𝒊𝒕)𝑨𝒓𝒆𝒂 𝑩𝒆𝒍𝒍𝒐𝒘 𝑳𝒐𝒘𝒆𝒓 𝑼𝒏𝒊𝒕

Page 182: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

172 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Data kualitatif dikumpulkan melalui wawancara dengan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan kebijakan, keselamatan dan kesehatan kerja, yaitu informan kunci yang terdiri dari para pejabat dan birokrat yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan, Seperti pegawai pengawas ketenagakerjaan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Bupati dan Walikota serta Sekretaris Daerah, Sedangkan dari unsur masyarakat diambil dari pimpinan Asosiasi Perusahaan, Serikat Pekerja, maupun dari beberapa pimpinan perusahaan dan pekerja.

Untuk menjamin keabsahan dan reliabilitas angket, dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas, Untuk uji validitas digunakan rumus korelasi Pearson (Gujarari, 1991:53-54), Korelasi yang dicari adalah korelasi antara setiap skor item pertanyaan dengan skor total item, dengan rumus:

Keterangan:

r : Koefisien Korelasi Pearson X1 : Skor item ke-i Y : Skor Total Keseluruhan item

Selanjutnya dilakukan uji keberartian dari koefisien korelasi di atas, dengan hipotesis statistiknya:

Ho : p ≤ 0 H1 : p 0 Statistik uji yang digunakan:

𝑡 = 𝑟𝑝√𝑛 − 21 − 𝑟𝑝2

Kriteria ujinya adalah H0 ditolak apabila teruji > t (1-α, n-2)

Apabila H0 ditolak, maka item tersebut valid. Jika H0 diterima dan tanda koefisien korelasinya positif, maka item tersebut masih dapat dikatakan valid. Jika H0 diterima dan tanda koefisien korelasinya negatif, maka item pertanyaan tersebut tidak valid. (Mueller, 1986: 107). Untuk menguji reliabilitas variabel penelitian digunakan metode belah dua (split half test). Dimana untuk setiap variabel skor total item pernyataan genap dan skor total item pernyataan ganjil dikorelasikan dengan menggunakan rumus koefisien korelasi Pearson.

𝑟 = 𝑁 ∑𝑋𝑖𝑌 − (𝑋1)(∑𝑦)√ (𝑛 ∑𝑋1

2 − (∑𝑋1)2 (𝑛 ∑𝑌2 − (∑𝑌)2)

Page 183: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

173 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

h. Metode Analisis

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model persamaan struktural (structural equation modeling) atau SEM, yang dianalisis melalui program statistik Linear Structural Relationships (LISREL), (Schumacker et all, 1996). Analisis SEM menggabungkan prinsip-prinsip analisis Jalur dan analisis faktor konfirmatori.

Data dalam penelitian ini telah memenuhi lima asumsi yang melandasi penggunaan SEM, yaitu (1) data mengikuti distribusi normal, (2) semua hubungan antar variabel bersifat linier, (3) tidak ada multikolinieritas sempurna di antara variabel laten eksogen, (4) tidak ada outlier, dan (5) ukuran sampel minimal adalah 100 atau 5 sampai 10 responden untuk setiap parameter yang akan diestimasi (Bahrudin dan L. Tobing, 2003:4-5).

Dengan menggunakan SEM selain dapat dihitung besarnya pengaruh antar variabel eksogen (structural model), Juga dapat diketahui seberapa besar variabel-variabel indikator mampu menjelaskan variabel-variabel latennya (measurement model).

Setelah memenuhi asumsi penggunaan SEM dan melakukan langkah-langkah pengujian persyaratan analisis, maka proses selanjutnya adalah pengujian hipotesis. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang hendak diuji melalui penelitian ini dapat dirumuskan dalam persamaan struktural sebagai berikut: penelitian ini dapat dirumuskan dalam persamaan struktural sebagai berikut:

Sedangkan model persamaan struktural tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

η = γ𝝃𝟏 + 𝜸𝝃𝟐 + 𝜸𝝃𝟑 + 𝜸𝝃𝟒 + 𝝃

Page 184: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

174 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Gambar 8.1 Hubungan Struktur Antar Variabel

Keterangan gambar:

a. X1 (variabel komunikasi) yang terdiri dari: penyampaian (X1.1), kejelasan (X1.2), dan konsistensi (X1.3).

b. X2 (variabel sumberdaya) yang terdiri dari: pegawai (X2.1), informasi (X2.2) kewenangan (X2.3) dan fasilitas (X2.4).

c. X3 (variabel sikap pelaksana) yang terdiri dari: efek dari sikap (X3.1) penataan staf (X3.2), faktor perangsang (X3.3).

d. X4 (variabel struktur birokrasi) yang terdiri dari: prosedur operasi baku (X4.1), pembagian tugas (X4.2).

e. Y (Efektivitas keselamatan dan kesehatan kerja) yang terdiri dari: Tingkat kepatuhan (Y1) dan Pencapaian tujuan kebijakan (Y2)

Menyusun persamaan SEM, sebagai berikut: η1 = ξ + ξ X = Λ ξ + δ Y = Λy η + ξ

Page 185: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

175 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Dimana:

Y = variabel-variabel endogen. X = (X,, X 2, X3, X ) = variabel-variabel eksogen. X, Y, = variabel yang di observasi (Observable indicator var). r = matrix koefisien jalur menunjukkan hubungan

variable Y dengan X Λ (baca: lamda) = berisikan X1. 1....X4.2, yang memperlihatkan bobot

X1.1....X4.2 terhadap X ξ, δ (delta), ζ (zeta) = variabel residu/kekeliruan pengukuran.

Setelah koefisien masing-masing jalur diperoleh, maka untuk memastikan apakah hipotesis dalam penelitian ini diterima atau ditolak, dilakukan langsung dari koefisien jalur, hal tersebut karena penelitian dilakukan secara sensus. Jadi untuk menguji hipotesis yang diajukan digunakan langsung dari koefisien-koefisien.

2. Data dan Kondisi Faktual Pelaksanaan K3

Di bawah ini dapat disajikan data perkembangan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang diperoleh dari laporan berkala Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Tabel 8.3. Jumlah dan Akibat Kecelakaan Kerja Periode 1999-2004

Thn. Jumlah Kasus

Kecelakaan Kerja

Akibat Kecelakaan

Meninggal Cacat Tetap (C. fungsi + C. Total + C. Sbgn) Sembuh (STM B)

Jml % Jml % Jml % 1999 91.510 1.476 1.61 11.871 12.97 78.163 85.41 2000 98.902 1.592 1.61 12.025 12.16 85.285 86.23 2001 104.774 1.768 1.69 12.566 11.99 90.440 86.32 2002 103.804 1.903 1.83 10.345 9.97 91.556 88.20 2003 105.846 1.748 1.65 7.228 9.82 93.703 88.53

Sep-04 70.215 1.229 1.75 4.648 6.62 64.338 91.63 Sumber: Direktorat Jenderal PPK, Kemenakertrans

Data di atas menunjukkan jumlah kecelakaan kerja yang cenderung meningkat setiap tahun, dengan akibat meninggal dan cacat tetap sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar baik bagi perusahaan maupun tenaga kerja.

Page 186: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

176 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Untuk memperkuat data di atas, berikut ini dikutip data laporan berkala (Annual Report) dari Sekretariat Jaringan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Negara-negara ASEAN (Asean Occupational Safety and Health Network-ASEAN OSHNET) tahun 2002. Dalam rentang waktu 5 tahun (19951999), jumlah kasus kecelakaan kerja tercatat sebanyak: 412.652 kasus, yang mengakibatkan kerugian materiil sebesar Rp. 340 milyar, (belum termasuk nilai santunan dan ganti rugi sebesar Rp. 329,68 milyar. Jumlah kecelakaan tersebut melibatkan 412.000 orang pekerja, terdiri dari 2.431 orang (0,59%) mengalami cacat total, dan 5.626 orang (3,39%) meninggal dunia.

Berdasarkan data dari PT. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Persero), setiap tahun selalu terjadi peningkatan jumlah kecelakaan kerja sehingga jumlah kompensasi yang harus dibayarkan juga meningkat. Secara lebih jauh jumlah kasus kecelakaan kerja tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 8.4. Jumlah Kecelakaan Kerja dan Kompensasi yang Dibayarkan Periode 1999-2004

Tahun Jml Kasus Kecelakaan

Kompensasi yang dibayarkan

(milyar rupiah) 1999 91,51 83,3 2000 98,902 102,43 2001 104,774 131,26 2002 103,804 158,04 2003 105,846 190,6

Sep-04 70,215 23,51

Kerugian yang ditanggung akibat kecelakaan tersebut tidak hanya berupa kerugian langsung dalam bentuk kompensasi yang dibayarkan, tetapi juga berupa kerugian tidak langsung, misalnya kehilangan hari atau waktu kerja yang produktif. Karena setiap risiko kerja yang terjadi baik itu kematian, cacat total, kehilangan tangan, kehilangan mata dan sebagainya biasanya disetarakan dengan kehilangan waktu kerja (Simanjuntak, 2004:131).

Di bawah ini disajikan pula data kasus kecelakaan kerja serta akibatnya yang terjadi di wilayah Pulau Jawa, berdasarkan data dari kantor-kantor wilayah PT. Jamsostek di Pulau Jawa, sebagai berikut:

Page 187: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

177 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Tabel 8.5. Kasus Kecelakaan Kerja Serta Akibatnya di Wilayah Pulau Jawa Tahun 2004

Wilayah Total Kasus

Akibat Kecelakaan

Sembuh Cacat Fungsi Cacat Sebagian Cacat Total Meninggal Total Jaminan

(Rp) III 6.874 5.904 403 331 233 28.249.256.319 IV 29.864 27.420 1.421 748 10 265 33.963.283.869 V 8.408 8.033 132 127 112 9.828.849.005

Keterangan Wilayah III : Salemba, Grogol, Tanjung-Priok, Rawamangun, Setiabudi, Cilandak,

Gambir, Kebon sirih, Cawang, Gatot Subroto, Pluit. Wilayah IV : Bandung, Bekasi, Bogor, Cirebon, Tanggerang, Serang,

Sukabumi, Tasikmalaya, Purwakarta, Karawang, Cimahi, Majalaya, Balaraja, Bogor II, Tangerang II.

Wilayah V : Semarang, Surakarta, Cilacap, DI. Yogyakarta, Pekalongan, Kudus, Magelang, Tegal, Klaten, Purwokerto, Ungaran.

Sedangkan data jenis penyakit akibat kerja yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan sepanjang tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 4.4 di bawah ini:

Tabel 8.6 Data Jenis Penyakit Akibat Kerja Perbandingan Tahun 2002 dan 2003

JENIS PENYAKIT 2002 2003

JUMLAH Persentase dari total JUMLAH Persentase

dari total Infeksi Saluran Pernafasan 85.974 38966% 92,852 39500% Tuberkulose 830 0.376% 855 0.364% Infeksi Saluran Pencernaan 30.096 13641% 32,504 13827% Peny. Saluran Pencernaan lainnya 9.550 4328% 9,932 4225% Peny. Ginjal & Saluran Kencing 3.626 1643% 3,807 1620% Peny. Jantung & Tekanan Darah 21.952 9949% 22,83 9712% Peny. Pembuluh Darah 653 0.296% 673 0.286% Kelainan Darah 14 0.006% 14 0.006% Peny. Otot & Kerangka 8.190 3712% 8,518 3623% Peny. Kandungan & Alat Kandungan 17 0.008% 18 0.007% Infeksi Parasit 90 0.041% 92 0.039% Defisiensi Gizi 347 0.157% 364 0.155% Peny. Endokrin & Metabolisme 1.446 0.655% 1,504 0.640% Penyakit Kelamin 328 0.149% 354 0.151% Peny. Kulit & Jaringan Bawah Kulit 11536 5229% 11,767 5006% Penyakit Mata 6.793 3079% 7,336 3121% Peny. Telinga & Mastoid 4.876 2210% 5,022 2137% Peny. Gigi & Mulut 10.143 4597% 10,65 4531% Peny. Susunan Syaraf 2.184 0.990% 2,228 0.948% Gangguan Jiwa - - - - Neoplasma 3 0.001% 3 0.001% Lain-lain 21.988 9966% 23,747 10102% Sumber: Direktorat Jenderal PPK, Depnakertrans

Page 188: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

178 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Salah satu faktor yang menyebabkan angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja menjadi tinggi adalah rendahnya tingkat pemahaman pimpinan perusahaan maupun tenaga kerja, mengenai tujuan dan manfaat keselamatan dan kesehatan kerja, serta ketidakpatuhan perusahaan untuk melaksanakan norma dan standar yang berlaku.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Japan international Cooperation Agency (JICA) pada tahun 2002 terhadap perusahaan-perusahaan di wilayah Jakarta, menggambarkan mengenai rendahnya tingkat pemahaman dan kepatuhan pimpinan perusahaan dalam melaksanakan norma dan standar-standar keselamatan kerja.

Kelemahan tersebut mencakup kemauan dan kemampuan perusahaan yang rendah dalam menyusun perencanaan dan program keselamatan dan kesehatan kerja. Hal ini terbukti dari fakta bahwa: hanya 5% perusahaan yang mempunyai organisasi keselamatan kerja; hanya 11% perusahaan yang telah menyelenggarakan program pelatihan keselamatan kerja bagi pekerjanya; hanya 22% perusahaan yang melakukan pencatatan mengenai kasus kecelakaan kerja yang terjadi; hanya 10% perusahaan yang melakukan pemeriksaan kesehatan awal dan berkala bagi para pekerjanya; dan hanya 47% perusahaan yang melakukan pengawasan (monitoring) terhadap kondisi lingkungan kerjanya yang meliputi aspek fisik, kimia, biologis dan fisiologis. Penelitian itu juga menggambarkan persepsi yang keliru dari pimpinan perusahaan, dimana masih banyak pengusaha menganggap bahwa keselamatan dan kesehatan kerja bukan merupakan kebutuhan tetapi hanya menambah beban biaya serta susah untuk dilaksanakan.

Data yang dapat dicatat pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jawa Barat sampai dengan tahun 2004, jumlah pelanggaran terhadap norma perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang merupakan rekapitulasi dari sejumlah Kabupaten dan Kota di Jawa Barat, juga menunjukkan angka yang tinggi dan setiap tahun cenderung meningkat setiap tahunnya.

Jumlah pelanggaran yang menggambarkan tingkat kepatuhan kelompok sasaran terhadap kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja tersebut berkaitan dengan kewajiban untuk:

a. Penyediaan alat pengaman kerja; b. Penyediaan alat pelindung diri;

Page 189: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

179 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

c. Mematuhi standar-standar keselamatan kerja yang telah ditetapkan; d. Membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3); e. Memberikan pembinaan pada pekerja mengenai langkah-langkah

keselamatan kerja; f. Melaksanakan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja

(SMK3); g. Melaporkan dalam hal terjadi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

3. Analisis Pengaruh Faktor Komunikasi Terhadap Keefektifan

Implementasi Kebijakan Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Untuk menguji hipotesis pertama mengenai berapa besaran pengaruh komunikasi terhadap keefektifan implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, secara statistik dilakukan dengan cara membandingkan nilai koefisien jalur, dengan kriteria penentuan sifat pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen, sebagai berikut:

Tabel 8.7. Kriteria Penentuan Sifat Pengaruh Variabel Eksogen Terhadap Variabel Endogen

Koefisien Jalur Distandarkan Sifat Pengaruhnya < 0,09 Lemah

0,10-0,29 Sedang 0,30 > Kuat

Sumber: Suwarno & Rahardjo, 1988.

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai koefisien jalur untuk pengaruh variabel komunikasi terhadap keefektifan implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebesar 0,268. Nilai koefisien jalur ini jika dikaitkan kepada kriteria yang dikemukakan oleh Suwarno dan Rahardjo (1988: 168) termasuk kategori "kuat".

Untuk lebih meyakinkan, uji signifikansi dilakukan pula melalui statistik uji-t (t test), yaitu membandingkan antara nilai t test dengan nilai t tabel, dimana berdasarkan print out LISREL diperoleh hasil t test sebesar 2,197. Jika dibandingkan dengan batas kritis penerimaan pada t-tabel sebesar 1,668 pada taraf signifikansi 95%, maka nilai t-test jauh lebih besar dari t-tabel (2,197>1,668). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaruh variabel komunikasi (XI) terhadap efektivitas keselamatan dan kesehatan kerja (Y) adalah signifikan.

Page 190: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

180 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Angka ini menggambarkan pendapat para responden dalam hal ini pimpinan perusahaan, yang menilai bahwa telah terjadi hambatan komunikasi dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, yang ditandai dengan lemahnya pemahaman pengawas ketenagakerjaan mengenai substansi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang akan diimplementasikan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Edwards III (1980:17) yang menyatakan:

"The first requirement for effective policy implementation is that those who are implement a decision must know what they are supposed to do. Policy decisions and implementation orders must be transmitted the appropriate personnel before they can be followed."

Hasil penelitian juga menunjukkan kelemahan kemampuan dan keterampilan pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan komunikasi kebijakan, yaitu pemahaman pada berbagai aspek komunikasi, baik yang menyangkut keterampilan merancang pesan, memilih saluran, memilih media, mengidentifikasi faktor-faktor gangguan komunikasi, serta merancang untuk terjadinya umpan balik, yang merupakan kaidah-kaidah komunikasi sebagaimana halnya dikemukakan oleh Barnard (1938, 175-181).

Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, telah terjadi kelemahan pada setiap domain komunikasi, baik domain komunikator, domain saluran dan media komunikasi, serta domain komunikan. Hal di atas sesuai dengan pendapat Schermerhorn, Hunt dan Osborn (2003:337), yang menyatakan bahwa keberhasilan proses komunikasi di tentukan tiga faktor utama, yaitu komunikator, komunikan, media (lisan, tertulis, elektronik) baik secara individu maupun massal, adanya umpan balik (feedback-feed forward), serta kemungkinan terjadinya hambatan komunikasi.

Hasil penelitian juga berhasil mengungkapkan mengenai besarnya pengaruh dimensi-dimensi komunikasi, dalam peranannya bagi keefektifan implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian dengan menggunakan program LISREL 8.3 [Metode Maximum Likelihood], didapatkan hasil perhitungan sebagai berikut:

Page 191: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

181 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

x Persamaan variabel laten eksogen X [Komunikasi] 1

□ X1.1 = 0,688 ξ1 + 0,527 □ X1.2 = 0,692 ξ1 + 0,521 □ X1.3 = 0,722 ξ1 + 0,478

Tabel 8.8. Uji Signifikansi Sub-Variabel Komunikasi

Sub variabel Koefisien R2 t-

hitung t-tabel Keputusan

X1.3 0,722 0,522 11,890 1,668 Signifikan X1.2 0,692 0,478 11,276 1,668 Signifikan X1.1 0,688 0,473 11,189 1,668 Signifikan

Dari tabel di atas terlihat bahwa nilai koefisien setiap variabel manifest lebih dari 0,500 yang berarti bahwa setiap faktor dari masing-masing variabel manifest memiliki bobot faktor yang berarti. Untuk variabel Komunikasi, dimensi Konsistensi [X1.3] ternyata memiliki pengaruh paling besar [0,722], diikuti dengan dimensi Kejelasan [X1.2] sebesar 0,692 dan dimensi transmisi (X1.1) sebesar 0,688. Sedangkan untuk uji t-, seluruh variabel manifest menunjukkan bahwa t-hitung > dari t-tabel. Dengan demikian semua variabel manifest terhadap komunikasi adalah signifikan,

Besarnya tingkat pengaruh dimensi konsistensi dalam komunikasi menunjukkan tanggapan perusahaan, bahwa tidak dilaksanakannya perlindungan keselamatan dan kesehatan secara optimal, lebih disebabkan oleh tidak konsistennya badan pelaksana dan pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Edwards III (1980:41), yang menyatakan bahwa tidak konsistennya penyampaian materi kebijakan serta dalam tindakan pelayanan, dapat menimbulkan keraguan dan ketidak-percayaan kelompok sasaran terhadap tujuan dan manfaat kebijakan, karena menyebabkan terjadinya penyimpangan interpretasi, yang menganggap bahwa kebijakan tersebut tidak akan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi, atau tidak diyakini dapat memberi manfaat bagi perusahaan dan tenaga kerja, Disini menunjukkan bahwa inkonsistensi dalam komunikasi pelaksanaan kebijakan dapat mempengaruhi persepsi individu mengenai kebijakan, melalui komponen-komponen sosiopsikologis yang terdiri dari: komponen afektif (aspek emosional), komponen kognitif (aspek intelektual) berkaitan dengan apa yang diketahui manusia, serta komponen konatif

Page 192: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

182 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(aspek volisional), atau kemampuan untuk mengambil keputusan dan melakukan tindakan, (Jalaludin, 2005:37-38),

Dimensi kedua yang memiliki tingkat pengaruh berikutnya terhadap komunikasi dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja adalah dimensi kejelasan (clarity), yang mempunyai koefisien korelasi sebesar 0,692. Hasil tersebut menggambarkan pendapat pimpinan perusahaan, bahwa tidak optimalnya pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, merupakan akibat dari tidak jelasnya materi kebijakan serta perintah kebijakan yang harus dilaksanakan, sehingga menimbulkan keragu-raguan dan rendahnya pemahaman. Hal di atas sejalan dengan pendapat Edwards III (1980;26-40), mengenai faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ketidakjelasan dalam komunikasi kebijakan, yaitu: kerumitan ditingkat pembuatan kebijakan (vague laws), perubahan yang tidak diantisipasi (unanticipated change), upaya mencari pembenaran dari tujuan lain (true intentions), upaya untuk mengurangi penyimpangan (reducing discretion), putusan pengadilan yang ambisius (ambiguous court decisions), kompleksitas dalam pembuatan kebijakan (complexity of policy making), adanya penolakan dari masyarakat (public opposition), serta program baru yang belum dikenal (unfamiliarity of new programs).

Dimensi yang menempati posisi ketiga dalam mempengaruhi komunikasi dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di Jawa Barat, adalah dimensi penyampaian pesan (transmission). Dimensi transmisi ini memiliki tingkat signifikansi sebesar 0,688, dan merupakan dimensi yang memiliki tingkat pengaruh paling rendah bila dibandingkan dengan dimensi konsistensi dan dimensi kejelasan (clarity).

Dalam komunikasi pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, telah terjadi hambatan dalam saluran komunikasi, dimana saluran yang digunakan bersifat konvensional dan kurang mempertimbangkan kondisi dan karakteristik komunikan, kurang memperhitungkan kemungkinan terjadinya hambatan-hambatan komunikasi, dan tidak berusaha untuk mendapatkan umpan balik sebagai kontrol untuk mengetahui efektivitas komunikasi.

Karena yang dimaksud dengan transmisi dalam komunikasi implementasi kebijakan adalah menyangkut proses dan saluran komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan pesan kebijakan dari komunikator

Page 193: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

183 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(pelaksana kebijakan) kepada komunikan (pimpinan perusahaan dan tenaga kerja). Transmisi menyangkut proses komunikasi dimana input dirubah (transformed) oleh pengirim (sender) melalui proses encoding sehingga menjadi pesan (output), lalu diterima oleh komunikan setelah melalui proses decoding dengan melalui saluran tertentu, sehingga memiliki arti tertentu yang dapat difahami. Setelah diterima maka komunikan memberikan umpan balik (feed back), yang menunjukkan bahwa komunikasi telah berjalan dengan baik (Gordon, 1993: 273-274).

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Edwards III (1080:18-26) mengenai hambatan-hambatan dalam penyampaian pesan kebijakan, yaitu: disagreement dari implementator tentang pelaksanaan kebijakan, tingkatan birokratis yang berlebihan, artikulasi bahasa kebijakan, masalah persepsi, serta masalah saluran komunikasi. Sedangkan Schermerhorn, Hunt dan Osborn (2003: 342-344) menyampaikan enam faktor hambatan dalam komunikasi, yaitu: 1) gangguan fisik dan konsentrasi sebagai akibat tidak adanya perencanaan, 2) masalah bahasa dan kata-kata, 3) pesan campuran antara gerak badan, mimik, dan bahasa,4) perbedaan budaya, 5) tidak adanya umpan balik, 6) pengaruh perbedaan status dan tingkat kedudukan.

4. Analisis Pengaruh Sumber Daya Terhadap Keefektifan Implementasi

kebijakan Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Untuk menjawab hipotesis kedua mengenai besaran pengaruh sumber daya terhadap keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, maka berdasarkan hasil penelitian dan pengujian statistik dengan menggunakan program LISREL 8.3 (Metode Maximum Likelihood diperoleh nilai koefisien jalur 0,264. Nilai koefisien jalur ini jika dikonsultasikan kepada kriteria yang dikemukakan oleh Suwarno dan Rahardjo (1988:168) termasuk kategori “sedang".

Untuk lebih meyakinkan, uji signifikansi dilakukan pula melalui statistik uji-t (t-test), yaitu membandingkan antara nilai t test dengan nilai t tabel. Berdasarkan print out LISREL diperoleh hasil t-test sebesar 1,989. Jika dibandingkan dengan batas kritis penerimaan pada t-tabel sebesar 1,668 pada taraf signifikansi 95%, maka nilai t-test jauh lebih besar dari t-tabel (1,989 > 1,668). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaruh variabel sumber daya (X2) terhadap efektivitas keselamatan dan kesehatan kerja (Y) adalah signifikan.

Page 194: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

184 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Keberadaan sumber daya memiliki arti dan peranan yang besar dalam kehidupan organisasi. Tercapainya tujuan organisasi dengan cepat dan mudah adalah sumbangan yang besar dari sumber daya (van Meter dan van Horn, 1975:471). Pendapat pimpinan perusahaan dalam penelitian juga menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja oleh badan yang menangani ketenaga-kerjaan di kabupaten dan kota, baik dalam pelaksanaan sosialisasi kebijakan, pembinaan, pelayanan teknis maupun pengendalian dan penegakan hukum, selalu ditandai oleh lemahnya kapasitas sumber daya yang dimiliki oleh badan pelaksana.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Edwards III (1980:87), yang mengemukakan bahwa meskipun komunikasi telah berjalan dengan baik, akan tetapi bila tidak didukung dengan sumber daya yang memadai, maka implementasi kebijakan tidak akan efektif.

Hasil penelitian juga menunjukkan mengenai besaran pengaruh dari setiap dimensi terhadap variabel sumber daya, dalam mempengaruhi pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, yang digambarkan oleh 4 (empat) dimensi, yaitu: dimensi pegawai (X2.1), dimensi informasi (X2.2), dimensi kewenangan (X2.3), dan dimensi fasilitas (X2.4). Dengan memperoleh hasil sebagai berikut:

x Persamaan variabel laten eksogen X2 (Sumber daya)

□ X2.1 = 0,755 ξ2 + 0,430 □ X2.2 = 0,882 ξ2 + 0,222 □ X2.3 = 0,708 ξ2 + 0,498 □ X2.4 = 0,751 ξ2 + 0,437

Persamaan-persamaan untuk variabel laten eksogen Sumberdaya (X2) menunjukkan bahwa dimensi informasi (X2.2) merupakan faktor yang paling dominan (0,882) dalam variabel Sumberdaya, Faktor lain yang cukup dominan dalam variabel ini adalah dimensi pegawai (X2.1) sebesar 0,755, diikuti dengan dimensi fasilitas (X2,4) sebesar 0,751; sedangkan faktor terakhir yang dominan adalah dimensi kewenangan (X2.3) sebesar 0,708,

Selanjutnya nilai faktor untuk setiap sub variabel sumber daya dan tingkat signifikansinya disajikan sebagai berikut:

Page 195: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

185 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Tabel 8.9. Uji Signifikansi Sub-Variabel Sumber Daya

Sub variabel Koefisien R2 t-

hitung t-

tabel Keputusan

X2.2 0,882 0,778 16,914 1,668 Signifikan X2.1 0,755 0,570 13,446 1,668 Signifikan X2.4 0,751 0,563 13,335 1,668 Signifikan X2.3 0,708 0,502 12,313 1,668 Signifikan

Dari tabel di atas terlihat bahwa nilai koefisien setiap variabel manifest lebih dari 0,500, yang berarti bahwa setiap faktor dari masing-masing variabel manifest memiliki bobot faktor yang berarti, Sedangkan untuk uji-t, seluruh variabel manifest menunjukkan bahwa t-hitung > t-tabel, dengan demikian semua variabel manifest adalah signifikan.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan terjadinya pergeseran posisi terhadap pendapat Edwards III (1980:5377), yang menempatkan faktor kepegawaian (staff) sebagai faktor paling besar pengaruhnya terhadap variabel sumberdaya, diikuti oleh faktor informasi, kewenangan dan fasilitas kerja.

Pendapat responden seperti di atas dapat dimaklumi apabila dikaitkan dengan sifat dari organisasi bisnis, dimana mereka selalu mengutamakan faktor informasi dalam menyusun perencanaan maupun selama pelaksanaan kegiatan. Mereka senantiasa berusaha untuk memahami berbagai informasi yang berkaitan dengan perusahaan dan lingkungan bisnisnya, serta selalu berusaha untuk menguasai data yang berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan pesaing, dalam menetapkan strategi bisnisnya.

Yang dimaksud informasi menurut Edwards III (1980:6366) memiliki dua bentuk: Pertama, berkenaan dengan pemahaman para pelaksana tentang cara melaksanakan kebijakan (regarding how to carry out a policy), dimana para pelaksana membutuhkan pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan bilamana akan melaksanakan tindakan secara langsung. Kedua, kebutuhan akan data yang berkaitan dengan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di daerahnya, sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan dan langkah operasional informasi memiliki peranan sangat penting bagi sebuah organisasi, yaitu sebagai masukan (Input) yang berfungsi sebagai energi bagi pertumbuhan organisasi (Pace dan Faules (1998:29).

Page 196: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

186 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Dimensi kedua dari sumber daya yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap keefektifan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja adalah dimensi pegawai (staff), yang mempunyai koefisien korelasi terhadap pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebesar 0,755.

Merujuk pada pendapat Goggin, Smith maupun Edwards Ill, dimensi ini memiliki dua karakter yaitu jumlah (size) pengawas ketenagakerjaan, serta tingkat keahlian (skill) yang dibutuhkan. Perhitungan tersebut sejalan dengan pendapat Smith (1973:202) bahwa indikator terpenuhinya jumlah pegawai yang cukup adalah jumlah personil dibandingkan dengan beban kerja, jumlah kelompok sasaran, serta luas wilayah.

Selain kelemahan dari segi jumlah, juga terdapat kelemahan dari segi keahlian pengawas ketenagakerjaan, meliputi spesialis ketel uap/bejana tekan, spesialis mekanik, spesialis listrik, spesialis konstruksi bangunan dan kebakaran, spesialis pesawat angkat dan angkut, spesialis kesehatan kerja dan lingkungan kerja, serta spesialis kimia dan bahan berbahaya. Hal ini sejalan dengan pendapat Smith, bahwa indikator kemampuan pegawai dalam melaksanakan kebijakan terdiri: kemampuan teknik, kemampuan manajerial serta pemahaman mengenai substansi kebijakan.

Kelemahan seperti di atas merupakan hal umum terjadi dalam pengadaan tenaga-tenaga spesialis yang memerlukan keahlian khusus, seperti halnya dikemukakan oleh Roberts dan Farrell (1979:156-157) mengenai terbatasnya pegawai yang bertugas untuk mengatasi polusi industri di Amerika Serikat.

Dimensi ketiga dari sumber daya adalah dimensi fasilitas dengan tingkat signifikansi terhadap pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebesar 0,751, dengan kategori sedang. Hasil penelitian tersebut dapat difahami, karena bagaimanapun pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tidak terlepas dari kebutuhan fasilitas yang memadai bagi pengawas ketenagakerjaan. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah kebutuhan sarana untuk menunjang pelaksanaan kebijakan, seperti gedung tempat kerja, peralatan untuk melakukan pekerjaan, seperti komputer, alat pemeriksaan dan pengujian, sarana transportasi, serta anggaran untuk membiayai kegiatan, dan kesemuanya itu tidak terlepas dari kemampuan daerah untuk menyediakan anggaran (Edwards III 1980:77, Konvensi ILO Nomor 81 tahun 1947 pasal 10-11).

Page 197: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

187 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya fasilitas yang dimiliki oleh kabupaten dan kota untuk pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Pertama, karena terbatasnya sumber-sumber yang dimiliki, atau karena kurang intensifnya penggarapan terhadap sumber-sumber yang ada. Kedua, faktor yang lebih bersifat politis, yaitu berkaitan dengan pilihan keputusan mengenai jenis pembangunan yang mendapat prioritas pembiayaan. Ketiga, faktor yang bersifat manajerial, yaitu kemampuan aparatur dalam menyusun rencana anggaran, serta untuk meyakinkan pembuat keputusan (Bupati, Walikota serta DPRD), agar bersedia menyalurkan anggaran dan menetapkan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai prioritas pembangunan (Rasyid; 1997,148, Cheema dan Rondinelly;1983,305).

Analisis di atas sejalan dengan pendapat Henry, yang menyatakan mengenai pendekatan bercabang dalam hal penganggaran, yaitu faktor politik, ekonomi, dan manajerial. Sedangkan Rosenbloom (1956:236) mengemukakan bahwa “....budgeting is so complex in its political and economic ramifications...."

Dimensi yang keempat dari variabel sumber daya adalah dimensi kewenangan (authority), dengan tingkat pengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebesar 0,708, dengan kategori "sedang". Angka tersebut menggambarkan pendapat responden mengenai adanya kelemahan pada faktor kewenangan dari pengawas ketenagakerjaan, sehingga menghambat pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, telah terjadi berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan kewenangan-kewenangan di kabupaten dan kota, seperti: (1) Intervensi pimpinan daerah terhadap pengawas ketenagakerjaan dalam hal menangani tindakan pelanggaran; (2) Pengangkatan pegawai di daerah yang tidak memiliki kompetensi pengawas ketenagakerjaan atau pengawas spesialis keselamatan dan kesehatan kerja, untuk melakukan berbagai kewenangan dalam rangka perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja; (3) Penugasan pengawas ketenagakerjaan pada pekerjaan lain yang tidak berhubungan langsung dengan perlindungan ketenagakerjaan, seperti memungut retribusi; (4) Kebijakan daerah melalui Peraturan Daerah untuk memungut retribusi bagi perusahaan dalam pelaksanaan perlindungan ketenagakerjaan, termasuk dalam perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja; (5) Penolakan daerah untuk

Page 198: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

188 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

menyampaikan laporan pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, karena dianggap sebagai intervensi dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Kondisi di atas lebih banyak disebabkan oleh kesalahan pemahaman mengenai konsep otonomi daerah, yaitu anggapan bahwa dengan otonomi daerah tidak ada lagi hubungan hirarki dan kewajiban pemerintah kabupaten dan kota untuk mempertanggung-jawabkan pelaksanaan kebijakan kepada pemerintah propinsi atau pemerintah pusat.

Padahal dengan pendelegasian wewenang, maka wewenang tersebut harus dipertanggungjawabkan (Ndraha T, 2003:85-86) "dengan pendelegasian wewenang, jangan sampai menimbulkan kesewenang-wenangan (authocracy-authocratic), dan kewenangan harus dipertanggung-jawabkan (the obligation to act answer and responsibility). Selain itu sebagaimana dikemukakan oleh Rasyid (1996:23), mengenai konsep otonomi daerah dalam rangka memperlancar pelayanan masyarakat dalam koridor negara kesatuan.

5. Analisis Pengaruh Disposisi/Sikap Pelaksana Terhadap Keefektifan Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Untuk menjawab hipotesis ketiga mengenai berapa besaran pengaruh variabel disposisi atau sikap pelaksana terhadap keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, berdasarkan hasil uji signifikansi pengaruh variabel disposisi/sikap pelaksana (X3) terhadap efektivitas keselamatan dan kesehatan kerja (Y) diperoleh nilai koefisien jalur 0,243. Nilai koefisien jalur ini jika dikonsultasikan kepada kriteria yang dikemukakan oleh Suwarno dan Rahardjo (1988: 168) termasuk kategori "sedang".

Untuk lebih meyakinkan, uji signifikansi dilakukan pula melalui statistik uji-t (t test), yaitu membandingkan antara nilai t test dengan nilai t tabel. Berdasarkan print out LISREL diperoleh hasil t-test sebesar 1,843. Jika dibandingkan dengan batas kritis penerimaan pada t-tabel sebesar 1,668 pada taraf signifikansi 95%, maka nilai t-test jauh lebih besar dari t-tabel (1,843 > 1,668). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaruh variabel disposisi (X3) terhadap efektivitas keselamatan dan kesehatan kerja (Y) adalah signifikan.

Page 199: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

189 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Angka di atas menunjukkan pendapat pimpinan perusahaan sebagai responden penelitian, bahwa kurang efektifnya pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja selama ini dipengaruhi oleh sikap dan perilaku para pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, baik dalam melaksanakan sosialisasi kebijakan, melakukan pembinaan, memberikan pelayanan teknis, maupun dalam menjalankan fungsi penegakan hukum.

Lebih lanjut Edwards III mengemukakan, bahwa apabila sikap atau perspektif para pelaksana kebijakan berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses pelaksanaan kebijakan akan menjadi lebih sulit. Oleh karena itu perlu adanya kesamaan sikap dan perspektif antara pembuat kebijakan dengan para pengawas ketenagakerjaan di kabupaten dan kota.

Beberapa fenomena yang menunjukkan perbedaan sikap pandang pengawas ketenagakerjaan terhadap perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Pertama, sikap pandang yang menganggap bahwa perlindungan keselamatan dan kesehatan merupakan kebijakan sekunder dan tidak mendesak, karena tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan primer tenaga kerja yang bersifat fisik, seperti tingkat upah dan penghasilan, kebutuhan istirahat, serta tingkat kesejahteraan. Kedua, sikap pandang yang picik dan sempit dari pengawas ketenagakerjaan, yang justru bersifat sebaliknya, yang memandang bahwa perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang lebih penting dari kebutuhan-kebutuhan yang lain. Ketiga, sikap individualistik dari pengawas ketenagakerjaan yang lebih mengutamakan perolehan keuntungan ekonomis bagi kepentingan mereka sendiri. Perbedaan sikap pandang tersebut dipicu oleh latar belakang yang bersifat individualistik dari pengawas ketenagakerjaan, seperti latar belakang pendidikan, latar belakang budaya, latar belakang sosial, maupun latar belakang kepentingan. Sesuai pandangan Allen dkk (1980:46), bahwa sikap seseorang merupakan perbedaan individual, dan sikap merupakan respon terhadap aspek mental serta respon terhadap aspek fisik.

Hasil penelitian juga menggambarkan besaran pengaruh dari setiap dimensi disposisi atau sikap pelaksana terhadap pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, meliputi dimensi efek dari sikap (X3.1), penataan staff (X3.2), serta faktor perangsang (X3.3). Dengan menggunakan program LISREL 8.3 (Metode Maximum Likelihood), didapatkan hasil perhitungan sebagai berikut:

Page 200: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

190 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

x Persamaan variabel laten eksogen X (Disposisi/sikap pelaksana)

□ X3.1 = 0,785 ξ3+ 0,383 □ X3.2 = 0,713 ξ3 + 0,492 □ X3.3 = 0,725 ξ3 + 0,474

Persamaan-persamaan di atas menunjukkan, bahwa dimensi efek dari sikap (X3.1) merupakan faktor yang mempunyai pengaruh paling dominan yaitu sebesar 0,785, diikuti oleh dimensi faktor perangsang (X3.3) sebesar 0,725, dan terakhir yang dominan adalah dimensi penempatan staf birokrasi (X3.2) sebesar 0,713.

Selanjutnya nilai faktor untuk setiap sub variabel disposisi/sikap pelaksana dan tingkat signifikansinya disajikan sebagai berikut:

Tabel. 8.10 Uji Signifikansi Sub-Variabel Disposisi/Sikap Pelaksana

Sub variabel Koefisien R2 t-

hitung t-

tabel Keputusan

X3.1 0,785 0,617 13,655 1,668 Signifikan X3.3 0,713 0,508 12,018 1,668 Signifikan X3.2 0,725 0,526 12,293 1,668 Signifikan

Dari tabel di atas terlihat bahwa nilai koefisien setiap variabel manifest lebih dari 0,500 yang berarti bahwa setiap faktor dari masing-masing variabel manifest memiliki bobot faktor yang berarti. Variabel disposisi (sikap pelaksana) didominasi oleh dimensi dari sikap (X3.1) sebesar 0,785, diikuti dengan dimensi faktor perangsang (X3.3) sebesar 0,526 dan dimensi penempatan staf birokrasi (X3.2) sebesar 0,508.

Hasil di atas menunjukkan adanya pergeseran posisi tingkat pengaruh dari masing-masing dimensi terhadap variabel sikap pelaksana, dimana dimensi efek dari sikap mempunyai pengaruh paling besar diikuti dengan dimensi perangsang (incentives) dan terakhir adalah dimensi penempatan staf birokrasi.

Keadaan ini menunjukkan bahwa hambatan yang paling dirasakan oleh para pimpinan perusahaan yang berkaitan dengan sikap dan perilaku para pengawas ketenagakerjaan, adalah adanya sikap dan perilaku yang berbeda dan bahkan bertentangan dari satu dan lain pengawas ketenagakerjaan, dalam melaksanakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Perbedaan tersebut berkaitan dengan prioritas fokus perhatian pada saat melakukan pemeriksaan, inkonsistensi dalam penerapan sanksi, serta perilaku moral hazard.

Page 201: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

191 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Kondisi di atas selain dilatarbelakangi oleh nilai-nilai kepentingan, yaitu motif yang bersifat ekonomis, juga disebabkan oleh perbedaan latarbelakang pendidikan awal dari pengawas ketenagakerjaan, yaitu antara pengawas ketenagakerjaan yang berlatarbelakang teknik dan kedokteran, serta pengawas ketenagakerjaan yang berlatarbelakang sosial. Perbedaan tersebut disamping mempengaruhi kemampuan memahami substansi kebijakan, tetapi juga mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dari pengawas ketenagakerjaan.

Dimensi yang kedua dari sikap dan perilaku pelaksana adalah dimensi perangsang (incentives), dengan koefisien korelasi terhadap pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebesar 0,526 dengan persentase responden sebesar 55,38, dengan tingkat pengaruh sedang.

Angka di atas menunjukkan pendapat pimpinan perusahaan, mengenai lemahnya motivasi dari pengawas ketenagakerjaan, sehingga pelaksanaan tugasnya baik pada saat sosialisasi kebijakan, pembinaan dan pelayanan teknis, serta pengendalian dan penindakan hukum menjadi tidak optimal.

Pemberian insentif dalam bentuk pengangkatan jabatan fungsional dan pemberian tunjangan jabatan fungsional dimaksudkan untuk mendorong sikap dan perilaku pelaksana, sebagai motivasi mencapai kinerja dengan lebih baik, serta sebagai alternatif tindakan dari upaya penggantian pegawai yang memiliki sikap kurang mendukung.

Hal tersebut sejalan dengan teori hirarki kebutuhan dari Maslow sebagaimana di kutip dalam Gibson dkk (1989:189190), yaitu untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan kebutuhan aktualisasi diri, serta merupakan salah satu cara untuk mengatasi kelemahan kapasitas pegawai, seperti dikemukakan Edwards III, penggantian pegawai pada birokrasi pemerintah sangat sulit, dan kalaupun dilakukan penggantian tidak menjamin pelaksanaan kebijakan menjadi lebih lancar.

Akan tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak cukup merangsang pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan berbagai prestasi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengawas ketenagakerjaan yang tidak berusaha untuk meningkatkan angka kredit yang dibutuhkan, sehingga tidak dapat memanfaatkan peluang untuk memperoleh kenaikan pangkat secara istimewa. Karena selain tunjangan jabatan yang relatif kecil, kenaikan pangkat juga tidak mendorong

Page 202: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

192 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

pencapaian kekuasaan. Kondisi di atas sejalan dengan teori motivasi dari Mc. Cleland (1953), bahwa ada tiga kebutuhan hidup manusia, yaitu: kebutuhan berprestasi, kebutuhan berafiliasi, dan kebutuhan untuk kekuasaan.

Dimensi yang ketiga dari variabel sikap pelaksana adalah dimensi sistem penempatan staf birokrasi, dengan koefisien korelasi terhadap keefektifan pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan dan kesehatan kerja sebesar 0,508, dimana persentase responden terhadap variabel eksogen ini adalah sebesar 61,23 persen, dengan tingkat pengaruh sedang.

Angka di atas menunjukkan bahwa telah terjadi masalah dalam sistem pembinaan pengawasan ketenagakerjaan, baik di dalam pola rekrutmen, pelatihan, penempatan dan promosi. Dimana sejak diberlakukannya otonomi daerah sejak tahun 2001 berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, status kepegawaian pengawas ketenagakerjaan yang pada mulanya pegawai pusat, beralih menjadi pegawai kabupaten dan kota. Sehingga segala bentuk pengelolaannya menjadi kewenangan kabupaten dan kota.

Kondisi di atas sangat mempengaruhi keefektifan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, karena seperti dikemukakan oleh Rosenbloom dan Kravchuk (2005:218), bahwa untuk memaksimalkan nilai-nilai efisiensi, ekonomis, dan efektivitas administrasi, maka penataan pegawai harus dilakukan melalui proses rekrutmen, seleksi, penempatan, pelatihan, dan pengelolaan umum yang memenuhi syarat dari para pegawai publik dalam melakukan pekerjaan.

Untuk mengatasi hal tersebut ada dua skenario besar yang dapat dilakukan, pertama, pengalihan kembali status kepegawaian pengawas ketenagakerjaan kepada pemerintah pusat. Untuk menangani pengawas ketenagakerjaan, dapat dibentuk unit pelaksana teknis pusat di daerah-daerah yang dinilai potensial dalam perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, dimana daya jangkaunya bisa meliputi lebih dari satu kabupaten dan kota. Kedua, tetap menjadi pegawai kabupaten dan kota, tetapi harus diciptakan saluran untuk meningkatkan aksesibilitas yang tinggi antara pengelola kepegawaian kabupaten dan kota dengan pemerintah pusat, sehingga segala masalah yang terjadi di kabupaten dan kota dapat segera diatasi.

Page 203: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

193 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

6. Analisis Pengaruh Struktur Birokrasi Terhadap Keefektifan Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Untuk menjawab pertanyaan hipotesis keempat mengenai besaran pengaruh variabel struktur birokrasi terhadap keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, hasil pengujian statistik dengan menggunakan program LISREL8.3 (Metode Max/'mum Likelihood), mengenai hasil uji signifikansi pengaruh variabel struktur birokrasi (X4) terhadap efektivitas keselamatan dan kesehatan kerja (Y), diperoleh nilai koefisien jalur 0,117. Nilai koefisien jalur ini jika dikonsultasikan kepada kriteria yang dikemukakan oleh Suwarno dan Rahardjo (1988:168) termasuk kategori "sedang".

Agar lebih meyakinkan, uji signifikansi dilakukan pula melalui statistik uji-t (t-test), yaitu dengan membandingkan antara nilai t-test dengan nilai t tabel. Berdasarkan print out LISREL diperoleh hasil t-test sebesar 1,683. Jika dibandingkan dengan batas kritis penerimaan pada t-tabel sebesar 1,668 pada taraf signifikansi 95%, maka nilai t-test jauh lebih besar dari t-tabel (1,683 >1,668). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaruh variabel struktur birokrasi (X4) terhadap efektivitas keselamatan dan kesehatan kerja (Y) adalah signifikan.

Angka di atas menunjukkan pendapat pimpinan perusahaan, bahwa tidak efektifnya pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja salah satunya disebabkan karena kelemahan yang terdapat pada struktur organisasi badan yang melaksanakan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kabupaten dan kota.

Pendapat tersebut dapat difahami, mengingat sejak diberlakukannya otonomi daerah tahun 2001 melalui Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah, organisasi yang menangani ketenagakerjaan di kabupaten dan kota mengalami perubahan yang cukup Signifikan.

Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan beberapa pejabat yang kompeten di daerah penelitian, pemerintah kabupaten dan kota pada umumnya mengalami dilema dengan urusan struktur birokrasi di daerahnya. Karena di satu sisi harus mengacu pada pola efisiensi dengan memangkas jumlah pegawai dan struktur yang ramping, tetapi di lain pihak harus mengalokasikan jumlah pegawai yang banyak dengan keahlian tertentu.

Page 204: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

194 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selain itu harus menghadapi tuntutan kepentingan dari aktor-aktor politik, agar tetap mempertahankan struktur serta pejabat-pejabat tertentu.

Padahal penataan struktur birokrasi organisasi pelaksana kebijakan sangat penting untuk dilakukan, dan berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kebijakan. Sebagaimana dikemukakan oleh Edwards III (1980:125), bahwa penataan struktur birokrasi merupakan antisipasi untuk mengatasi keterbatasan waktu dan sumber daya pelaksana kebijakan, serta untuk terciptanya keseragaman di dalam tindakan.

Hasil penelitian juga menggambarkan pengaruh dimensi-dimensi struktur birokrasi, yang sebagaimana dikemukakan oleh Edwards III meliputi dimensi prosedur operasi baku (X4.1), dan dimensi pembagian tugas (X4.2). Dengan menggunakan program LISREL 8.3 (Metode Maximum Likelihood), didapatkan hasil perhitungan sebagai berikut:

x Persamaan variabel laten eksogen X (Struktur Birokrasi) 4

□ X4.1 = 0,779 ξ4 + 0,393 □ X4.2 = 0,810 ξ4 + 0,343

Persamaan-persamaan untuk variabel laten eksogen struktur birokrasi (X4) menunjukkan, bahwa di antara kedua dimensi tersebut dimensi pembagian tugas (X4.2) merupakan faktor yang paling besar (0,810) dalam variabel struktur birokrasi (X4). Faktor lain adalah dimensi prosedur operasi baku (X4.1) sebesar 0,779.

Selanjutnya nilai faktor untuk setiap sub variabel struktur birokrasi dan tingkat signifikansinya disajikan sebagai berikut:

Tabel. 8.11. Uji Signifikansi Sub Variabel Struktur Birokrasi

Sub variabel Koefisien R2 t-

hitung t-tabel Keputusan

X4.2 0,810 0,657 13,775 1,668 Signifikan X4.1 0,779 0,607 13,167 1,668 Signifikan

Dari tabel di atas terlihat bahwa nilai koefisien setiap variabel manifest lebih dari 0,500 yang berarti bahwa setiap faktor dari masing-masing variabel manifest memiliki bobot faktor yang berarti. Variabel struktur birokrasi didominasi oleh dimensi pembagian tugas (X12) sebesar 0,810 dan diikuti dengan dimensi prosedur operasi baku (XII) sebesar 0,779.

Hasil penelitian juga menunjukkan pergeseran posisi tingkat pengaruh terhadap variabel struktur birokrasi. Dimana apabila Edwards III

Page 205: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

195 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

menetapkan prosedur operasi baku merupakan faktor yang memiliki pengaruh paling besar terhadap struktur birokrasi, penelitian justru menunjukkan faktor pembagian tugas (fragmentasi) menjadi faktor yang memiliki tingkat pengaruh lebih besar dibandingkan dengan faktor prosedur operasi baku.

Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa dengan keterbatasan struktur dan jumlah pengawas ketenagakerjaan di kabupaten dan kota, maka sangat sulit untuk melakukan pembagian tugas secara terinci, sehingga satu orang melakukan beberapa jenis pekerjaan. Akibatnya penerapan kaidah organisasi seperti dikemukakan oleh Robbins (1990:90), yang meliputi kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi dalam pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kabupaten dan kota tidak dapat dilaksanakan. Seperti halnya dikemukakan oleh Robbins (1990:89-91), pembagian tugas kepada semua anggota organisasi memberikan kemudahan mengadakan pencapaian tujuan seperti yang telah direncanakan, struktur birokrasi berkaitan dengan kewenangan, dimana kewenangan sangat dibutuhkan dalam memberikan keleluasaan dalam bekerja secara optimal.

Yang dimaksud dengan standar operasi baku, oleh Robbins (1990:103) disebut dengan formalisasi, yaitu tingkat sejauh mana pekerjaan dalam suatu organisasi distandarisasikan, yang mengatur tata aliran pekerjaan. Biasanya diwujudkan dalam bentuk peraturan tentang proses pekerjaan, bagaimana menyelesaikannya, berapa waktu yang dibutuhkan, jenis keluaran dan sebagainya.

Untuk mengatasi kelemahan dalam pembagian tugas pengawas ketenagakerjaan yang lebih banyak disebabkan oleh terbatasnya jumlah dan keahlian serta tidak meratanya alokasi pengawas ketenagakerjaan pada kabupaten dan kota, maka perlu terobosan kebijakan penggunaan pengawas ketenagakerjaan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, dan jika perlu lintas provinsi. Sehingga kekurangan pengawas ketenagakerjaan pada satu kabupaten dan kota dapat diatasi dengan meminta bantuan dari kabupaten dan kota lain atau dari provinsi maupun pusat.

Page 206: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

196 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

7. Analisis Pengaruh Komunikasi, Sumberdaya, Sikap Pelaksana dan Struktur Birokrasi Secara Bersama-sama Terhadap Keefektifan Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana, dan struktur birokrasi secara simultan terhadap efektivitas keselamatan dan kesehatan kerja, data hasil penelitian diolah dengan menggunakan paket program LISREL.

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan, diperoleh print out atau visualisasi pengaruh atau hubungan antar variabel, yang disajikan pada gambar sebagai berikut (perhitungan dapat dilihat pada lampiran):

Gambar 8.2

Model Struktur Variabel Laten Eksogen terhadap Variabel Laten Endogen

Perhitungan analisis model struktural menunjuk kan bahwa koefisien determinasi (R2) dari model tersebut adalah sebesar 0,714 dengan error (Z) sebesar 0,288.

Berdasarkan model tersebut selanjutnya pengaruh masing-masing variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Page 207: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

197 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Tabel. 8.12 Pengujian Hipotesis Pengaruh Masing-Masing Variabel Eksogen terhadap Variabel

Endogen

Variabel Koefisien t- hitung

t- tabel Keputusan Pengaruh

XI 0,268 2,197 1,668 Signifikan Sedang X2 0,264 1,989 1,668 Signifikan Sedang X3 0,243 1,843 1,668 Signifikan Sedang X4 0,117 1,683 1,668 Signifikan Sedang

Tabel di atas memperlihatkan bahwa variabel komunikasi (XI) memiliki koefisien jalur yang paling tinggi (0,268) dibandingkan dengan koefisien variabel lainnya dalam mempengaruhi variabel efektivitas keselamatan dan kesehatan kerja, diikuti dengan variabel sumber daya (0,264), variabel sikap pelaksana (0,243). Variabel yang paling kecil pengaruhnya terhadap efektivitas keselamatan dan kesehatan kerja adalah variabel struktur birokrasi (0,117).

Dapat disimpulkan bahwa masing-masing variabel eksogen yang terdiri dari komunikasi (XI), sumber daya (X2), sikap pelaksana (X3), dan struktur birokrasi (X4) berpengaruh secara signifikan terhadap efektivitas keselamatan dan kesehatan kerja (Y).

Angka di atas menunjukkan pendapat responden, bahwa terdapat kelemahan pada keempat faktor kapasitas organisasi dari dinas yang menangani perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kabupaten dan kota di Jawa Barat, meskipun dengan tingkat pengaruh yang berbeda.

Pendapat tersebut dapat difahami, mengingat pimpinan perusahaan sebagai kelompok sasaran kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, senantiasa berhubungan dengan badan pelaksana melalui keempat kapasitas tersebut, yaitu melalui empat domain tugas dalam perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja; pertama, domain pembuatan dan penyempurnaan kebijakan; kedua, domain sosialisasi kebijakan; ketiga, domain pembinaan teknis dan pelayanan teknis; dan keempat, domain pengendalian kebijakan dan penegakan hukum.

Oleh karena itu seorang pegawai pengawas ketenagakerjaan memiliki multi fungsi, 1) fungsi preventif, yaitu bertindak sebagai sosialisator, edukator, motivator dan konselor, untuk memberi pemahaman kepada pimpinan perusahaan dan tenaga kerja mengenai substansi kebijakan

Page 208: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

198 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. 2) fungsi refresif non-yustisial, yaitu bertindak sebagai auditor dan inspektor, untuk melakukan deteksi dan investigasi mengenai pelaksanaan norma dan standar dan 3) fungsi refresif yustisial bertindak sebagai eksekutor (penegak hukum) terhadap ditemukannya penyimpangan, 4) fungsi formulasi kebijakan.

Dari berbagai fungsi seperti di atas, maka persyaratan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pengawas ketenagakerjaan, pertama; kompetensi teknis, dimana seorang pengawas ketenagakerjaan harus memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai substansi norma dan standar perlindungan ketenagakerjaan yang akan dilaksanakannya, kedua; kompetensi yuridis, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan penegakan hukum melalui proses pro yustisial, ketiga; kompetensi manajerial, yaitu kemampuan untuk mengelola sumber daya organisasi mulai dari fungsi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, koordinasi, pengendalian, evaluasi dan pelaporan.

Penelitian juga menunjukkan bahwa meskipun empat faktor kritis di atas mempunyai pengaruh signifikan untuk seluruh populasi penelitian yaitu perusahaan-perusahaan di Jawa Barat, tetapi besaran pengaruh dari masing-masing variabel menunjukkan tingkat yang berbeda-beda. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat reklasifikasi atau reposisi penempatan urutan besarnya pengaruh dari faktor-faktor tersebut, sebagaimana dikemukakan Edwards III.

Dalam kaitannya dengan implementasi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di Jawa Barat, ada dua indikator yang menunjukkan tingkat keefektifan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yaitu tingkat kepatuhan dan kelompok sasaran terhadap kebijakan (Y1) dan pencapaian tujuan kebijakan (Y2). Nilai koefisien dari kedua variabel manifest menunjukkan tingkat signifikansi, dimana dimensi tingkat kepatuhan terhadap kebijakan memiliki nilai koefisien 0,797 lebih besar dari dimensi pencapaian tujuan kebijakan dengan nilai koefisien sebesar 0,750.

Pencapaian nilai koefisien tingkat kepatuhan yang lebih besar dibandingkan dengan pencapaian tujuan kebijakan, menunjukkan bahwa pimpinan perusahaan maupun pekerja sebagai kelompok sasaran memiliki sikap pandang yang belum mapan terhadap perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, karena pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja masih dilatarbelakangi oleh tuntutan kewajiban serta ketakutan terhadap ancaman

Page 209: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

199 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

hukuman, sehingga masih sangat tergantung pada intensitas pengawasan yang dilakukan.

Dalam rangka meningkatkan keefektifan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dapat dilakukan dengan pendekatan model analisis kesisteman dalam pengawasan ketenagakerjaan, dimana pengawasan ketenagakerjaan bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian dari sistem ketenagakerjaan yang lebih luas, bergerak dinamis dan bersifat terbuka, sehingga peka terhadap dorongan dan tekanan faktor eksternal, dengan unsur-unsur atau sub sistem yang terdiri dari:

x Sub-sistem sumber daya (resources), terdiri dari elemen-elemen (1) pengawas ketenagakerjaan, ahli keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan dan di lembaga-lembaga keselamatan dan kesehatan kerja (man), (2) fasilitas kerja dan fasilitas pemeriksaan dan pengujian (material), (3) sumber dana untuk perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja baik dari pemerintah maupun perusahaan (money), (4) wewenang (authority) yang diberikan oleh pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten dan kota, (5) data/informasi mengenai ketenagakerjaan yang bersumber dari laporan perusahaan.

x Sub-sistem kebijakan (method), yang terdiri dari kebijakan dasar perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970), kebijakan operasional pengawasan ketenagakerjaan (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951), serta berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

x Sub-sistem kelembagaan (struktur birokrasi), yang mewadahi satuan tugas, pembagian tugas, pendelegasian wewenang, serta standar operasi baku, baik yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun oleh pemerintah kabupaten dan kota.

x Sub-sistem kapasitas administrasi/manajemen, yaitu kemampuan manajerial dari para pimpinan satuan kerja yang menangani perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja untuk menjalankan fungsi-fungsi manajemen, seperti perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengendalian, evaluasi dan pelaporan.

x Sub-sistem mekanisme dan prosedur kerja, yang menggambarkan pertemuan (transaksi) antara pemerintah sebagai formulator dan

Page 210: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

200 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

implementator kebijakan dengan pengusaha dan pekerja selaku konsumer (market).

Selain faktor-faktor internal seperti di atas juga harus dipertimbangkan faktor-faktor eksternal (lingkungan kebijakan) yang mempengaruhi keefektifan implementasi kebijakan yaitu: (1) lingkungan politik (political environment) yang terdiri dari pengaruh-pengaruh kebijakan politik dari unsur legislatif serta kebijakan-kebijakan politik dari Gubernur, Bupati dan Walikota (2) lingkungan ekonomis (economics environment), yaitu kondisi perekonomian daerah yang mempengaruhi kemampuan ekonomi perusahaan dan kemampuan ekonomi daerah untuk membiayai pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (3) lingkungan sosial (social environment), yaitu nilai-nilai sosial dan budaya serta tingkat dan ragam kepentingan masyarakat dalam menanggapi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Dalam implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja pada masa yang akan datang, harus ada upaya perbaikan strategi yang cukup signifikan, melalui perekayasaan (re-engineering) sistem pengawasan ketenaga kerjaan.

Karakter spesifik dari re-engineering tersebut adalah upaya untuk lebih memberdayakan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, terutama pada domain tugas sosialisasi kebijakan, pembinaan teknis, serta pelayanan teknis. Sedangkan pemerintah lebih di titik-beratkan pada domain pengambilan keputusan kebijakan, serta domain pengendalian dan penegakan hukum.

Re-engineering implementasi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dilakukan melalui analisis kesisteman, diuraikan melalui tiga fase sekuensial yaitu: inputs-process-outputs, yang dipadu dengan model pendekatan analisis kesisteman tiga jalur (the three ways system approach/model) dari Winardi (2002), yang menggambarkan keadaan sekarang, keadaan yang sedang diperjuangkan dan keadaan yang diinginkan (fase Das sein-Die ubergang-Das Sollen).

Page 211: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

201 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Page 212: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

202 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Fase pertama yang merupakan situasi sekarang (Das Sein) dalam pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja ditandai dengan keadaan yang serba terbatas, baik pada tatanan inputs, process maupun outputs.

Pada tatanan inputs terjadi banyak kelemahan pada unsur jumlah, kualitas maupun sikap dari pengawas ketenagakerjaan, jumlah maupun kualitas lembaga-lembaga keselamatan dan kesehatan kerja, sistem jejaring kerja belum tersedia, fasilitas dan anggaran terbatas, kurangnya dukungan kebijakan operasional dari pemerintah daerah, belum adanya kebijakan daerah yang mengatur pengangkatan jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan, struktur organisasi unit pelaksana tidak memadai untuk menangani keluasan dan kedalaman masalah, tidak adanya kebijakan tentang prosedur dan mekanisme kerja serta lemahnya kemampuan manajerial pimpinan unit pelaksana.

Tatanan process ditandai dengan pencapaian kinerja individu maupun organisasi yang rendah, seperti jumlah, kualitas dan daya jangkau pemeriksaan dan pengujian, serta jumlah, kualitas dan daya jangkau sosialisasi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Perencanaan tidak dilaksanakan secara matang; tidak tersedianya data yang akurat mengenai kelompok sasaran kebijakan; aksesibilitas antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dan kota sangat lemah; jejaring kerja dengan orang dan pihak-pihak terkait dalam perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tidak ada atau tidak berfungsi; pengendalian pelaksanaan kegiatan lemah; serta evaluasi dan pelaporan hasil kegiatan kurang berfungsi.

Dari berbagai kelemahan pada tatanan inputs dan process, maka pada fase pertama pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan menunjukkan tingkat kinerja yang rendah. Hal tersebut ditandai dengan tingkat pencapaian kegiatan yang rendah, seperti kegiatan pemeriksaan, pengujian, dan sosialisasi program. Selain itu ditandai pula dengan tingkat pelanggaran norma dan standar keselamatan dan kesehatan kerja yang tinggi; angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang meningkat; serta tingkat pemahaman masyarakat (terutama pengusaha dan pekerja) mengenai makna, tujuan dan manfaat keselamatan dan kesehatan kerja yang masih rendah. Hal tersebut ditambah dengan dukungan lingkungan yang lemah, baik lingkungan politik berupa dukungan kebijakan, dukungan ekonomis berupa alokasi anggaran pemerintah daerah maupun anggaran perusahaan, serta lingkungan sosial meliputi sikap dan perilaku masyarakat

Page 213: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

203 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

untuk mendukung pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Fase kedua merupakan fase antara (Die Ubergang), yang merupakan fase pemecahan masalah-masalah pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, melalui perbaikan terhadap berbagai kelemahan baik pada tatanan inputs maupun process.

Pada tatanan inputs dilakukan berbagai perbaikan meliputi penambahan jumlah pengawas ketenagakerjaan melalui diklat teknis dasar, untuk mencapai jumlah ideal berdasarkan perbandingan dengan jumlah perusahaan, jumlah tenaga kerja dan beban kerja. Untuk menangani 25.600 perusahaan di Jawa Barat pada fase ini dapat tersedia jumlah pengawas ketenagakerjaan sedikitnya 75 persen dari jumlah ideal.

Peningkatan kualitas pengawas ketenagakerjaan melalui pendidikan teknis lanjutan, baik teknis spesialis, teknis penyidikan (PPNS), bimbingan teknis untuk peningkatan kemampuan bagi pengawas ketenagakerjaan maupun ahli-ahli keselamatan kerja dari lembaga-lembaga keselamatan dan kesehatan kerja.

Kelemahan penganggaran yang selama ini dialami kabupaten dan kota dapat diatasi dengan cara merubah pola penyusunan anggaran pemerintah pusat, yang selama ini hanya berupa dana dekonsentrasi sampai ke tingkat provinsi, ditambah dengan dana pembantuan sehingga sampai ke tingkat kabupaten dan kota. Demikian juga alokasi bantuan teknis berupa alat-alat keselamatan dan kesehatan kerja (safety devices) dapat dialokasikan ke kabupaten dan kota yang dinilai potensial dalam perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pada fase ini juga dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan dukungan serta meningkatkan hubungan koordinasi pemerintah kabupaten dan kota, melalui kegiatan rapat koordinasi teknis pengawasan ketenagakerjaan bagi Dinas Tenaga Kerja kabupaten dan kota. Sehingga dengan kegiatan ini dapat diciptakan berbagai kebijakan serta program-program operasional dari kabupaten dan kota, serta meningkatnya aksesibilitas antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Pihak kabupaten dan kota sendiri secara proaktif memberi masukan kepada pemerintah pusat untuk penyempurnaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Perlu dibuat kebijakan Pemerintah Pusat yang mengatur tentang struktur birokrasi pengawasan ketenagakerjaan, sebagai tindak lanjut dari amanat Konvensi ILO Nomor 81 Tahun 1947 yang

Page 214: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

204 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003, yang menetapkan perlunya struktur organisasi tersendiri bagi pengawasan ketenagakerjaan di kabupaten dan kota (local office).

Pada fase ini perlu ditingkatkan kemampuan manajerial para pimpinan unit kerja pengawasan ketenagakerjaan, baik dari aspek perencanaan, pengorganisasian, pemberdayaan, pengendalian, evaluasi dan pelaporan. Sehingga pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dapat berjalan secara sistematis, terencana, terukur, dan terkendali.

Untuk mengatasi kekurangan jumlah sumber daya dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti: (1) penetapan prioritas sasaran baik sektor usaha maupun wilayah kerja, sehingga terbentuk kelompok-kelompok sasaran yang diprioritaskan yang dapat menggambarkan kondisi umum secara menyeluruh, (2) memperkuat jejaring kerja dengan orang dan lembaga-lembaga keselamatan dan kesehatan kerja, sehingga pemerintah lebih banyak bertindak sebagai regulator dan pengendali kegiatan.

Untuk meningkatkan dukungan lingkungan dapat dilakukan dengan membentuk forum komunikasi lingkungan industri, yang melibatkan komponen-komponen pimpinan perusahaan, organisasi pekerja, tokoh masyarakat sekitar industri dan unsur pemerintah setempat. Forum ini secara pro-aktif membahas, merencanakan program-program serta mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan keselamatan, kesehatan dan lingkungan kerja.

Outputs yang diharapkan pada fase ini adalah meningkatnya kuantitas dan kualitas kegiatan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja baik kegiatan sosialisasi, pemeriksaan, pengujian, secara luas dan menyeluruh mencakup seluruh aspek perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Pengawasan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dilakukan secara terkoordinasi dengan jejaring kerja yang ada dengan mendapat dukungan penuh dari pemerintah kabupaten dan kota maupun instansi-instansi terkait lainnya.

Tingkat pelanggaran terhadap norma dan standar keselamatan kerja serta tingkat kecelakaan dan penyakit akibat kerja menurun tajam, sedangkan pemahaman dan partisipasi masyarakat mengenai perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meningkat secara signifikan.

Page 215: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

205 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Fase ketiga, merupakan situasi yang diharapkan (Das Sollen), yang merupakan kondisi ideal dari keefektifan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pada fase ini tercapai tingkat kepatuhan yang tinggi dari masyarakat khususnya pengusaha dan pekerja untuk melaksanakan kebijakan dengan penuh kesadaran, yang ditandai dengan indikator: (1) dilaksanakannya dengan optimal norma dan standar perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, (2) rendahnya tingkat pelanggaran, (3) rendahnya tingkat risiko-risiko kerja, (4) meningkatnya tingkat partisipasi masyarakat dalam melaksanakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Sedangkan dampak lebih jauh dari kondisi di atas adalah meningkatnya produktivitas kerja, efisiensi biaya, serta meningkatnya kesejahteraan pekerja dan masyarakat.

Fase ini juga ditandai dengan meningkatnya peran dan partisipasi masyarakat dalam perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk dukungan anggaran maupun sikap dan perilaku. Akan tetapi di sisi lain ditandai dengan berkurangnya peranan pemerintah, baik dukungan personil, anggaran maupun peralatan, sehingga pemerintah lebih banyak berperan sebagai regulator dan pengendali kebijakan.

Beberapa indikator yang ditemukan pada fase ini dapat dikemukakan seperti: 1) tersedianya perencanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja pada setiap perusahaan sejak awal pendiriannya, termasuk dalam alokasi anggaran, 2) bertambahnya tingkat partisipasi pekerja dalam perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan, yang ditandai dengan aktivitas yang tinggi dari lembaga-lembaga keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan, seperti Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (AK3), Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3), kelompok-kelompok penanganan keselamatan dan kesehatan kerja seperti regu pemadam kebakaran, regu pertolongan pertama pada kecelakaan, 3) meningkatnya peran serta masyarakat dalam perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, seperti pembentukan Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Daerah, terbentuk dan efektifnya kelompok bina lingkungan kerja; 4) meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap kebutuhan keselamatan dan kesehatan kerja, serta reaksi terhadap pelanggaran yang dinilai merugikan, 5) meningkatnya dukungan pemerintah daerah terhadap perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, dalam bentuk penetapan kebijakan, pengendalian kebijakan, maupun alokasi sumber-sumber yang dibutuhkan.

Page 216: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

206 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solihin, 1991, Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke

Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara. Adimiharja, Kusnaka, 1983, Antropologi Sosial dalam Pembangunan,

Bandung: Tarsito Albrow, Martin, 1989, Birokrasi, penerjemah M. Rusli Karim dan Totok

Daryanto, Jogjakarta: PT. Tiara Wacana Alwi, Syarifuddin, 2001, Manajemen Sumberdaya Manusia, Jogjakarta: BPFE

UGM. Anderson, James E, 1979, Public Policy Making, New York: Holt Rinehart and

Winston. Anderson, Allan H. and Anna Kyrianov, 1994, Effective Organization

Behaviour: A Skill and Activity-Based Approach, London: Blackwell Publishers.

Arikunto, Suharsimi, 1996, Prosedur Penelitian, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ashkanasy, 1997, Reliabilitas dan Validitas, Jogjakarta: Pustaka Pelajar. ------------- , 2000, Handbook of Organization Culture an Climate, California: Sage publication. Atmosoeprapto, Kisdarto, 2000, Menuju Sumberdaya Manusia Berdaya

dengan Kepemimpinan Efektif dan Manajemen Efisien, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia.

Azahari A, Siregar AN, Nurliani H.1995, Statistik Ketenagakerjaan Pertanian, 1992-1994, Ciawi: UPPLS/AMDC.

Azwar, Saifudin, 1995, Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Bachrudin A, Harapan L. Tobing, 2003, Analisis Data Untuk Penelitian Survai Dengan Menggunakan Lisrel 8,

Bandung: Jurusan Statistika, FMIPA, UNPAD. Barnard, Chester Irving, 1938, The Function of the Executive, Cambridge,

Massachusetts, USA: Harvard University Press. Barzelay, Michael, 1992, Breaking Through Bureaucracy, A New Vision For

Managing In Government, California: University of California. Bellone, Carl J. 1980, Organization Theory and the New Public

Administration, 470 Atlantic Avenue, Boston Massachusetts: Allyn and Bacon Inc.

Page 217: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

207 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Bennis, W and M. Mische, 1995, Organisasi Abad 21; reinventing Melalui reengineering, Jakarta: LPPM.

Berman, Evan M.,1998, Productivity in Public and Nonprofit Organizations, California: Druden Press Publications.

Bernardin, H. John and Joyce, E.A. Russel,1993, Human Resources management: An Experiential Approach, New York: MC. Graw-Hill.

Bennis W, M. Mische, 1999, Organisasi Abad 21, (Penerjemah: Irma AR), Cet. II, Jakarta: PT. Binaman Pressindo.

Blanchard, K, 2002, Empowerment Take More Than a Minute, Pemberdayaan Bukan Perubahan Sekejap, penerjemah, Maryono, Y. Yogyakarta: Asmara Books.

Blau, Peter M. and Marshall W. Meyer, 1971, Bureaucracy in Modern Society, New York: Second Edition Random House.

Brannen, Julia, 1997, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Bryson, John M.,2000, Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial, terjemahan Miftahuddin, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Cafezio, Peter, Morehouse, Debra, 1998, Secrets of Break Through Leadership, Mumbai: Jaico Publishing House.

Chandler, Raple and Jack C. Plano, 1988, The Public Administration Dictionary, Snata Barbara: ABCELIO.

Common, Richard, Norman Flynn and Elizabeth Mellon, 1993, Managing Public Service, Competition and Decentralition, London UK: Butterworth-Heimann.

Concidinc, Mark, 1996, Public Policy: Critical Approach, Melbourne: University of Melbourne.

Cooper J. Philip et all. 1998. Public Administration for the Twenty First Century, Orlando: Harcourt Brace College Publishers.

Crozier, Michel, 1964, The Bureaucratic Phenomenon, Chicago: Chicago University Press.

Davis, Keith & John W. Newstrom, 1993, Organizational Behavior: Human Behavior at Work, New York: Nineth Edition, Mc Graw-Hill.

Denhardt, Robert B., 1984, The Theory of Public Organization, California: Brooks-Cole Publishing.

Denhardt, Robert and Edwards T. Jennings (ed), 1987, The Revitalization of The Public Services, Columbia: University Of Missouri.

Page 218: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

208 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Dharmawan, A, 1986, Aspek-Aspek dalam Sosiologi Industri, Bandung: Bina cipta.

Draft, Richard L. 1998, Organization Theory and Design, Cincinnati Ohio: Western College Publishing.

Dunn, William N. 1981. Public Policy Analysis: an Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc. Englewood Clift.

Dunnette, M.D., 1967, Organization Behavior and Human Performance, New York: Academic Press.

Dwijowijoto, Nugroho R. 2003, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Cetakan I, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Dwiyanto, Agus, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Jogjakarta: Pusat Studi Kependudukan

dan Kebijakan Universitas Gajah Mada. Dye, Thomas R. 1978, Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall

Inc. Englewood Clift. Edwards III, George C. 1980, Implementing Public Policy, Washington DC: Congressional Quartenly Press.

Effendi T. N, 1993, Sumberdaya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan, Cet. I Yogyakarta: PT. Tiara Wicana.

Emmerij, Louis, 1994, Decentralization, The Territorial Dimensions of The State, London: Sage Publications.

Etzioni, Amitai, 1992, Organisasi-Organisasi Modern, terjemahan Suryatim, Jakarta: UI Press.

Farham, David, and Sylvia Horton. 1993. Managing the Public Service, Mc. William, London.

Feldman, Daniel C and Hugh J Arnold, 1998, Managing Individual and Group Behavior in Organization, Tokyo: Mc. Graw-Hill Book Company.

Fitzenz, Jac, 1987, How to Measure Human Resources Management, New York: McGraw-Hill.

Frederickson, George, H. 1980, The Lineage of New Public Administration, Alabama, USA: the University of Alabama Press.

----------- , 1997, The Spirit of Public Administration, San Francisco: The Jossey Bass Publishers. Gannon, Martin, Martin J., 1979, Organizational Behavior: A Managerial and

Organizational Perspective, Boston Toronto: Little Brown and company.

Garna, Yudhistira K. 1996, Ilmu-ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi, Bandung: Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.

Page 219: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

209 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

----------- , 1993, Teori-Teori Perubahan Sosial, Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

----------- , 1999, Metode Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika.

Gibson, James. L. et all, 1995. Organizations, eighth edition, Chicago: Richard D. Irwin, Inc.

Goggin, Malcolm et all. 1980, Implementation Theory and Practice to Word a Third Generation, Illinois: Scott, Foresman and Company Glenview.

Gordon, Judith R. 1993, A Diagnostic Approach to Organization Behaviour, Fourth Edition, Boston: Allyn and Bacon a Division of Simon and Schuster, Inc.

----------- , 1993, A Diagnostic Approach to Organizational Behaviour, Boston: Allyn and Bacon Boston.

Gartner, Harold F., 1977, Administration in the Public Sector, New York: John Wiley & Son Inc.

Grindle, Merilee S., 1980, Politics and Policy Implementation in The Third World, New Jersey: Princeton University Press.

----------- , 1997, Getting Good Government, Capacity Building in The Public Sectors of Developing Countries, Massachusetts: Harvard Institute for international Development.

Handoko, Hani T., 1995, Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia, Jogjakarta: BPFE UGM.

Harmont,MichaelM.andRichardT.Mayer,1986,Organization Theory for Public Administration, Boston Toronto: Little Brown and Company.

Harrison, Lawrence E. and Samuel P. Huntington, 2000, Culture Matters, How Values Shape Human Progress, New York, First Edition, Basic books.

Heady Ferrel, 1991, Public Administration and Public Policy, A Comparative Perspective, New York: Marcel Decker, Inc.

Henry, Nicholas, 1980, Administrasi Negara dan Masalah-masalah Kenegaraan. Penerjemah Lucian, D. Lontoh, Jakarta: Rajawali Press.

Hersey, Paul, Kenneth H. Blanchard, Dewey E, Johnson, 1996, Management of Organizational Behaviour, Utilizing Human Resources, New Jersey: Prentice Hal, Inc.

Heron, Robert dkk, 1998, Labour Inspection Policy and Planing, Bangkok, Thailand: ILO ASPAC.

Page 220: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

210 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

----------- , 1998, Connecting Labour Inspection Visits, a Practical Guide, Bangkok, Thailand: ILO ASPAC.

Hick, Herbert G. and G. Ray Gullet, 1995, Organisasi: Teori dan Tingkah Laku (Organization: Theory and Behavior), Jakarta: Bumi Aksara.

Hill, Michael, 1993, The Policy Process, New York: Harvester Wheat Sheat. Hogwood, Brian W, and Gunn, Leusis a. 1984, Policy Analysis for the Real

Word, London: Oxford University Press. Hayati, Tri, Harsanto Nursadi, dan Andhika Danesjvara. 2005. Administrasi

Pembangunan: Suatu Pendekatan Hukum dan Perencanaannya. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Hoogerwerf, 1983, Ilmu Pemerintahan, alih bahasa Tobing, Jakarta: Erlangga. Holland, C.I. 1950, Communication and Persuasion, Princeton: University

Press. Howlett, Michael and Ramesh M. 1995, Studying Public Policy, Policy Cycles

and Policy Subsystem, New York: Oxford University Press. Hughes, Owen E. 1994, Public Management and Administration, London: St.

Martins Press. Ibrahim J. T, A. Sudiyono, Harpowo, 2003, Komunikasi dan Penyuluhan

Pertanian, cetakan I, Malang: Bayumedia Publ. Iglesias, Gabriel, U. 1976, Implementation the Problem of Achieving Result,

Manila. Iskandar, Yusman, 1999, Teori-teori Sosiologi, Bandung: Bayu Press. Islamy, M. Irfan, 1991, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara,

Jakarta: Bina Aksara. Ivanchevich, John, 1997, Organizational Behavior and Management, New

Southwales: Mc. Graw-Hill Book Company. Jabra, Joseph G. and O.P. Dwivedi, 1999, Public Service Accountability A

Comparative Perspective, Connecticut: West Hartford. Jenkins, Smith, H.C., 1990, Democratic Politics and Policy Analysis, California: Brooks Cole Publishing.

Jones O. Charles, 1984, An Introduction to the Study of Public Policy, Third Edition, California: Brooks Cole Publishing Company.

-------------- , 1994, Pengantar Kebijakan Publik, (penerjemah: Ricky I), Ed. I, Cetakan kedua, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Kaho, Riwu Josef, 1991, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Identifikasi yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Jakarta: Rajawali Press.

Page 221: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

211 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Kast,Fremont,E.andJamesE.Rosenzweig,1985,Organization & Management: A System and Contiency, New York: McGraw-Hill fourth edition.

Katz, Daniel & Robert L. Kahn, 1978, The Social Psychology of Organization, New York: John Wiley & Son.

Kempton, John, 1995, Human Resources Management and Development, New York: St. Martin Press. Kenna, Eugene and N. Beech, 2001, The Essence of Human Resources Management, terjemahan Budi Santoso, Jogjakarta: Andi Offset.

Klingner, E. Donald and John Nalbandian, 1985, Public Personnel Management, Contexts and Strategies, New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.

Koentjaraningrat, 1992. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

---------- , 2004, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan. Koeswara, E., 1996, Motivasi, Teori dan Penelitiannya, Bandung: Angkasa. ---------- , E, 2001, Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Jakarta: Yayasan Pariba Kumorotomo, Wahyudi, 1992,

Etika Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Kuper, Adam & Jessica, 1994, Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I dan II,

Jakarta: Raja Grafindo Persada. Koesoemahatmadja, R. D.H., 1975., Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Alumni, Bandung.

Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Administrasi Pembangunan: Perkembangan dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Lane, Jan Erick, 1997, The Public Sector, Concepts, Models and Approach, London: Sage Publications. Levine, Charles H,B. Guy Peters and Frank.J.Thompson,1990, Public Administration Challenges, Consequences, Illinois USA: Scott Forestman Little Glenview. Lentinen, 2001, Productivity in Public Organization, London: Sage Publication.

Lineberry, R, L, 1978, American Public Policy, New York: North Western University Harpen and Row Publisher. Loether, Herman J. Donald G. Mc. Tavish, 1993. Descriptive and Inferential Statistics, Allyn and Bacon, USA. Luthans, Fred, 1989, Organization Behavior, A. Modern Behavioral Approach to Management, San Francisco: McGraw-Hill Book Company.

Page 222: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

212 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Mangkuprawiro, TB. Syarif, 2002, Manajemen Sumberdaya Manusia, Jogjakarta: BPFE UGM Press.

Magnis, Suseno, Frans, 1987, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Penerbit Andi.

Maslow, Abraham H., 1974, Motivation and Personality, New York: Harper & Brother.

Mazmanian, Daniel and Paul A Sabatier, 1983, Effective Policy Implementation, Massachusetts: D.C. Heath.

McClelland, David C., 1961, The Achieving Society, New York, London, Toronto, Sydney: Halsted Press.

Mitchell, Terence R., 1987, Role of Motivation in Organizations in Steers and Lyman W. Porter, Motivation and Work behavior, New York: McGraw-Hill Book Company.

Morfit, Michael, 2000, Meningkatkan Kemampuan Pemerintah Daerah; Pelaksanaan dan Hambatan, dalam Colin Mac. Andrews dan Ichlasul Amal, Hubungan Pusat-Daerah dalam Pembangunan, Jakarta: Rajawali Press.

Muhadjir, Noeng, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin.

Mustopadidjaja, 1992, Studi Kebijaksanaan, Perkembangan dan Penerapannya dalam Administrasi dan Manajemen Pembangunan, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

------------ , 1999, Manajemen Proses Kebijakan, Jakarta: LANRI. ------------ , 2000, Paradigma Model, Strategi dan Policy, Bahan Ceramah,

Jakarta: LANRI. Nadler, Edward E. and Edward E. Lawler III, 1979, Managing Organizational

Behavior, Boston Toronto: Little Brown and Company. Ndraha Taliziduhu, 1997, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Jakarta: Rineka

Cipta. ------------- , 2003, a. Kybernology (Ilmu Pemerintahan), Jakarta: Rineka Cipta. ------------- , 2003, b. Kybernology (Ilmu Pemerintahan), Jakarta: Rineka Cipta. ------------- , 2005, Kybernology: Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan.

Jakarta: PPs. IIP.

Page 223: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

213 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Nagel, Stuart S. 1983, Encyclopedia of Policy Studies, New York: Marcel Dekker Inc.

Nigro, A. Felix and Lloyd G. Nigro, 1973, Modern Public Administration, New York: Third edition Harpers & Row Publishers Inc.

Nugroho, Heru, 2001, Teori Kritis dan Relevansinya Bagi Pembangunan, Jogjakarta: PPK UG

North Craft, Gregory B and Margareth A. Neale, 1994, Organizational Behaviour, a Management Challenge, Second Edition, Fort Worth Philadelphia San Diego, USA: The Dryden Press.

O'Donovan, Ita, 1994, Organizational Behavior in Local Government: How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, Massachusetts: Addison Wesley Publishing Company Inc.

Osborne, David and Petter Plastrik, 1996, Banishing Bureaucracy the five Strategies for Reliventing Government, Massachusetts: Addison Wesley Publishing Company, Inc. California.

Osborne, David and Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, Massachusetts: Addison Wesley Publishing Company Inc.

Pace, R. Wayne and Don F. Faules, 1998, terjemahan Dedy Mulyana, MA, Ph.D., Komunikasi Organisasi, Bandung: Rosda Karya.

Pamuji, S. 1983, Ekologi Administrasi Negara, Jakarta: Bina Aksara. Parsons, Wayne, 1997, Public Policy: An Introduction to the Theory and

Practice of Policy Analysis, Cambridge Great Britain: Edward Elgar. Patton’s, Carl V and David S Sawicki, 1986, Basic Methods of Policy Analysis

and Planning, New Jersey: Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs. Perry, James L., 1989, Handbooks of Public Administrations, Francisco C.A:

Jossey-Bross. Pfiffner, John M. and Robert Presthus, 1976, Public Administration, New

York: The Ronald Press Company. Pollit, Christopher, Johnston Birdcall and Keith Putman, 1998, Decentralizing

Public Service Management, London: Mac Millian. Porter, Lyman W., 1995, Behavior in Organization, Tokyo: McGraw-Hill. Powell, Norman John, 1968, Responding Public Bureaucracy in The United

States, Boston: Allyn and Bacon Inc. Pressman, J., and Wildavsky, A. 1984. Implementation, California: University

of California Press and Los Angeles. Quade, E.S. 1997, Analysis for Public Decisions, New York: El Servier.

Page 224: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

214 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Raney, Hal G., 1997, Understanding and Managing Public Organization, San Francisco: Jossey-Bass Publishers.

Rasyid, Harun Al, 1990, Statistika Sosial, Bandung: PPs UNPAD. Rasyid, Muhammad Ryaas, 1997, Makna Pemerintahan di Tinjau dari Segi

Etika dan Kepemimpinan, Jakarta: Yasir Watampone. ----------- , 1997, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan Politik Orde Baru, Jakarta:

Yasir Watampone. ------------ , 2000, Perspektif Otonomi Luas, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Riggs, Fred W., 1988, Administrasi Negara-Negara Berkembang: Teori

Masyarakat Prismatik (Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic Society), terjemahan Yasogama, Jakarta: CV. Rajawali Press.

------------ , 1994, Administrasi Pembangunan: Sistem Administrasi dan Birokrasi (Frontiers of Development Administration), terjemahan Luqman Hakim, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

------------ . 1961, The Ecology of Public Administration, New Delhi: the Indian Institute of Public Administration. , 1971, Front iers of Development Administration, Ohio: Duke University Press.

Ripley, Randall B. 1982, Policy Analysis in Political Science, Chicago: Nelson Hall.

Robbins, Stephen P. 1991, Organizational Behaviour, Concept, Controversies, and Applications, Fifth Edition, New Jersey: Prentice Hall, Inc. A Division of Simon & Schuster.

------------ , 1990. Organization Theory: Structure, Design, And Applications, Third Edition, New Jersey: Prentice hall, Inc. A Division of Simon

& Schuster. Rondinelli, Denis A., John R. Neris, Shabis G. Cheema, 1984, Decentralization

in Developing Countries & Review of Recent Experience, Washington DC: the World Book.

Rosen Bloom, David H. 1989, Public Administration Understanding Management, Politics and Law in the Public Sector, Second Edition, Singapore: Mc. Graw Hill International Edition.

Rosen, Ellen Doree, 1993, Improving Public Sector Productivity, Concepts and Practice, London: Sage Publications.

Rourke, E. Francis, 1984, Bureaucracy, Politics and Public Policy, Third Edition, Boston-Toronto: Little Brown and Company.

Page 225: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

215 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Rusidi, 1993, Pedoman Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah, Bandung: UPT IKOPIN.

Saefullah, Djadja, 1997, Tinjauan Pustaka dan Penggunaan Informasi Kepustakaan Dalam Penulisan Tesis dan Disertasi, Bandung: PPs UNPAD.

Safrizt. Jay, ZW. Russell, 1997, Introducing Public Administration, New York: Longman.

Suminta, Pradja. 2005. Bahan Ajar Administrasi Pembangunan. Surakarta: Program Studi Pendidikan Ekonomi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Salim, Emil, 1991, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Mutiara Subur Widya.

Santoso, 1988, Analisa Kebijakan Publik, Jogjakarta: PT. Tiara Wacana. Sedarmayanti, 2003, Good Governance Dalam Rangka Otonomi Daerah,

Bandung: Mandar Maju. SANKRI. 2003. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara. buku 1, Jakarta: LAN. Suardi, R, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, PPM,

Jakarta, 2005. Suma’mur, Higiene perusahaan Dan Kesehatan Kerja, Gunung Agung,

Jakarta,1997. ----------- , Keselamatan Kerja & Pencegahan Kecelakaan, Mas agung Haji. CV,

Jakarta,1996 Schermerhorn, John r., James G. Hant and Richard N. Osborne, 1998,

Managing Organizational Behavior, Brisbane: John Willey & Scon. Schein, H. Edgar, 1992, Organizational Culture and Leadership, Second

Edition, San Francisco: The Jossey-Bass Inc. Scheineider, Eugene V, 1986, Sosiologi Industri, New Delhi: Tata McGraw. Schumacker, R.E. Richard G. Lomax, 1996, A Beginner's Guide to Structure

Equation Modeling, New York: Lawrence Erlbaum. Schuler, Randal and Stuart Youngblood, 1999, Efektivitas Personnel

Management, California: West Publishing. Scioli, Frank and Thomas J. Cook, 1975, Methodologies for Analysis Public

Policies, Massachusetts: Heath and Companies. Senge, Peter M., 1990, Disiplin Kelima, Seni dan Praktek dari Organisasi Pembelajaran, Jakarta: Bina rupa Aksara.

Page 226: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

216 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Shabir, G. Cheema, Dennis, Rondinelli, 1983, A Decentralization in Development Policy Implementation in Development Countries, New Delhi: Sage Publication.

Shafitzn Jay M., 1997, a. The Public Personnel World: Readings on The Professional Practice, Chicago: International Personnel Management Association. 1997, b. Public Administration, New York: John Wiley and Sons.

Shafitzn Jay M, Albert c. Hyde, 1987, Classic of Public Administration, Second Edition, Pacific Grove California: Brooks Cole Publishing Company.

Sharkansky, Ira, 1978, Public Administration: Policy Making in Government Agencies, Chicago: Mc Nally College Publishing Company.

Siagian, Sondang P. 1985, Proses Pengelolaan Pembangunan Nasional, Jakarta: Gunung Agung., 1988, Manajemen Abad 21, Jakarta: Bumi Aksara., 2000, Administrasi Pembangunan, Jakarta: Bumi Aksara., 2000, Teori Pengembangan Organisasi, Jakarta: Bumi Aksara.

Sikula, Andrew F, 1981, Personnel Administration and Human Resources Management, New York: John Wiley and Sons.

Simanjuntak, PJ. 1985, Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia, Jakarta: Lemb. Penerbit FEUI., 2003, Manajemen Hubungan Industrial, Jakarta :Pustaka Sinar Harapan., 2005, Manajemen dan Evaluasi Kinerja, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Simamora, Henry, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara.

Simon, Herbert A., 1984, Administrative Behavior (Perilaku Administrasi: Suatu Studi tentang Proses Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Administrasi), terjemahan St. Dianjuang, Jakarta: Bumi Aksara.

Simorangkir, Bonar, et all 2000, Otonomi atau Federalisme, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (ed), 1989, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES.

Sitanggang, H. 1997, Ekologi Pemerintahan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Sitepu, Nirwana Sk., 1994, Analisis Jalur (Path Analysis), Bandung: FMIPA

UNPAD. Smith, Thomas B., 1973, Policy Sciences, Amsterdam: Elsevier Scientific

Publishing Company.

Page 227: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

217 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Smith, Adrian, 1998, Policy Network and advocacy coalition: Explaining Policy Change and continuity in United Kingdom Industrial Pollution Policy, UK: Sage publication. Smith, B.C., 1985, Decentralization, The Territorial Dimension of the State, London: George Allen.

Smith, D, 1978, Becoming Modern: Change in Six Developing Countries, Dalam: Human Societies. Singapore: McGraw-Hill.

Soedjatmoko, 1983, Dimensi Manusia dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES. Soedjito, S, 1986, Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri,

Yogyakarta: Tiara Wacana. Soekanto, Soerjono, 1982, Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Jakarta:

Rajawali Press. Soemardjan, S, 1993, Keinginan dan Kesempatan Kerja bagi Wanita

Terpelajar di Indonesia dalam Perempuan dan Kerja, dalam: Jurnal ISI Jabar Bandung.

Soemarwoto, Otto, 1997, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan.

Soemitro, 1989. Desentralisasi dalam Pelaksanaan Manajemen Pembangunan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Soerjono, 2000, Pemberdayaan Sumberdaya, Jakarta: LAN RI. Soewardi, Herman, 1999, Roda Berputar, Dunia Bergulir: Kognisi Baru

tentang Timbul Tenggelamnya Sivilisasi, Bandung: Bakti Mandiri. Son, Diamor, 1999. Tahapan dan Siklus Analisis Kebijaksanaan, Jakarta:

LPEM-FEUI. Staw, B.M., 1997, Motivation in Organization: New Direction in O.B, Chicago:

St. Clair Press. Stilman II, J., Richard, 1992, Public Administration, Concept and Cases, Fifth

Edition, Boston: Houghton Mifflin. Steers, Richard M.,1985, Efektifitas Organisasi(Organizational Effectiveness)

a Behaviour View, Penerjemah: Magdalena Jamin, Jakarta: Erlangga.

Stoner, James A. F., R. Edward Freeman and Daniel E. Gilbert Jr, 1998, Management, New Jersey: Prentice Hal Inc. Englewood Cliffs.

Stretton, Hugh andLionelOrchard,1994,PublicGoods, Public Enterprise, Public Choice, Theoretical Foundations of The Contemporary Attack on Government, New York: St. Martin’s Press.

Sugiyono, 2000, Metodologi Penelitian Administrasi Negara, Bandung: Alfabet.

Page 228: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

218 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Suradinata, Ermaya, 1993, Kebijakan Pembangunan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Perkembangan Teori dan Penerapannya, Bandung: Ramadan.

Suriasumantri, Jujun, S., 1996, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sutherland, John W., 1978, Management Handbook for Public Administrators, New York: Van Nostrand Reinhold Company.

Sujanto, 1991, Cakrawala Otonomi Daerah, Jakarta: Sinar Grafika. Syafrudin, Ateng, 1993, Pengaturan Koordinasi Pemerintah di Daerah,

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Thoha, Miftah, 1984, Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali.

, 1999, Birokrasi Publik, Jakarta: Balai Pustaka. , 1999, Administrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani,

Jakarta: LANRI. Tilaar, 1997, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi,

Jakarta: Gramedia Widya Sarana Indonesia. Tjokroaminoto dan Mustopadidjaja, 1988, Kebijaksanaan dan Administrasi

Pembangunan, Perkembangan Teori dan Penerapannya, Jakarta: LP3ES.

Thomson J. D., 1990, Organisasi Dalam Praktek, (Wirya A.G) Cet, Kedua, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Thomson Victor, 1965, Bureaucracy and Innovations, Alabama: University of Alabama Press.

Tibergen, J., 1962, The Design of Development, Baltimore: The John Hopkins Press.

Tjiptoherijanto P., P.M. Yasin, B., Hasan, D. Hadisumarto, 1982, Sumberdaya Manusia Kesempatan Kerja dan Pembangunan Ekonomi. Cet. I, Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.

Tjokroamidjojo, Bintoro, 1995, a. Pembangunan Indonesia, Tantangan-Tantangan Dalam Tataran Nasional dan Global, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.

, 1977, b. Perencanaan Pembangunan, Jakarta : Gunung Agung. Utrecht; E., 1966., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Balai

Buku Ikhtiar, Jakarta. Van Meter, Donald S. Carl E Van Horn, 1975, The Policy Implementation

Process a Conceptual Frame Work, London: Sage Publication Inc.

Page 229: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

219 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Wahab, Solihin Abdul, 1990, Analisis Kebijakan Negara, Jakarta: Rineka Cipta. , ------------ 1997, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Edisi Kedua, Jakarta: Bumi

Aksara. Wasistiono, Sadu, 2001, Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah,

Sumedang: Alga print. Waldo Dwight, 1963., The Study of Public Administration, Random House,

New York. Weimer, David L and Vining AR, 1989, Policy Analysis: Concepts and Practice,

New York: Prentice Hall. Wexley, Kenneth N, and Gary a. Yulk, 1984, Organizational Behavior and

Personnel Psychology, Illinois: Revised edition Richard d. Irvin Inc. Home Wood.

Wibawa, Samodra, 1994, Kebijakan Publik: Proses dan Analisis, Jakarta: Intermedia.

Wibawa, Samodra, Yuyun Purbokusumo dan Agus Pramusindo, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta: Raja Grafindo.

Wieland, George F. and Robert A. Ulrich, 1976, Organization: Behavior, Design and Change, Illions USA: Richard D. Irwin Homewood.

Wijaya, H.A.W., 1992, Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II, Jakarta: Rajawali.

Winardi, J., 1987, Pengantar Tentang Sistem Informasi Manajemen, Bandung: Nova.

------------- , 1989 b., Perilaku Organisasi, Bandung: Tarsito. ------------- , 1992, Manajemen Perilaku Organisasi, Bandung: Citra Aditya Bakti. ------------- , 1999, Teori Sistem dan Analisis Sistem, Cetakan IV, Bandung:

Penerbit Mandar Maju. ------------- , 2002, Motivasi & Pemotivasian Dalam Manajemen, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Perkasa. ------------- , 2005, Pemikiran Sistematik Dalam Bidang Organisasi dan

Manajemen, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Winarno, Budi, 1989, Teori Kebijakan Publik, Jogjakarta: PAN-UGM.

Zauhar, Soesilo. 1996. Reformasi Administrasi, Konsep, Dimensi dan Strategi, Jakarta: Bumi Aksara.

Page 230: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

220 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

� Undang-undang

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan Undang-Undang No. 21 Tahun 2004 tentang Retifikasi Konvensi Ilo No. 81

Tahun 1947 tentang Jabatan Inspector. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat no. 1 Tahun 2004 tentang Rencana

Strategi Pemerintah Propinsi Jawa Barat 2003-2008. � Disertasi

Adiswisastra, Josy, 1996, Pengaruh Pelaksanaan Program Keluarga Berencana terhadap Perubahan Nilai Anak pada Orang Sunda di Kabupaten Subang, Bandung: PPs UNPAD.

Anwar, Arsyad Mohama, 1983, Pertumbuhan Pertanian Dilihat Dari Pertumbuhan Produk Domestik Bruto, Jakarta: PPs UI.

Asep Kartiwa, 2001, Pengaruh Penataan Kelembagaan Pemerintah Daerah terhadap efektivitas Pelayanan Perizinan Usaha Industri dalam Otonomi Daerah, Bandung: PPs UNPAD.

Budiman Rusli, 2000,Pola Kebijakan Publik tentang Kerjasama antar Pemerintah Kotamadya dan Kabupaten Daerah Tingkat II Cirebon dalam Pembangunan Prasarana Kota terpadu Cirebon Raya, Bandung: PPs UNPAD.

Bumansyah, H. Dasim, 2001, Industri Rakyat dan Pemberdayaan Diri dari pada Masyarakat Perdesaan. Disertasi S-3 Bandung: Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung.

Page 231: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

221 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

TENTANG PENULIS

Dr. H. A., Daradjat Kartawidjaja, M.Si., bekerja sebagai Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Lahir tahun 1953 di Bandung, Jawa Barat. Menikah dengan Hj. Ketty Sukaesih, S.E., dan sudah dikarunia 3 orang anak, yang pertama Dyah Rahadiyanti Citra Anggara., S.S., M.Si., yang kedua Hadariat Kuncara Zakty, S.H., M.H., M.M., dan yang ketiga Oggy Ginanjar, S.Psi.

Riwayat pendidikan, menyelesaikan S1 Administrasi Publik di FISIP Universitas Katolik Parahyangan, S2 Administrasi Publik Pas Sarjana di UNIGA, dan S3 Administrasi Publik Pasca Sarjana di UNPAD.

Riwayat pekerjaan, pernah menjabat Kepala Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan Kanwil Depnaker Jawa Barat dari tahun 1998 sampai tahun 2000, Kepala Kantor Depnaker Kota bandung dari tahun 2000 sampai tahun 2001, Direktur Pengawasan Norma Ketenagakerjaan Ditjen Binwasnaker Depnakertrans dari tahun 2003 sampai tahun 2005, Sekretaris Ditjen Binwasnaker Depnakertrans RI dari tahun 2007 sampai tahun 2008, Sekretaris Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dari tahun 2008 sampai tahun 2011, Ketua badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dari tahun 2016 sampai tahun 2016.

Kegiatan akademik yang dijalani adalah, Tenaga pengajar pada beberapa perguruan tinggi, yaitu: FISIP dan Pasca Sarjana Universitas Langlang Buana Bandung, FISIP, Fakultas Ekonomi dan Pasca Sarjana Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Pasca Sarjana STIA LAN RI Jakarta, Pasca Sarjana FISIP UNPAD Bandung, dan pembicara pada berbagai seminar, work shop dan diskusi panel mengenai topik Ketenagakerjaan dan Sumber Daya Manusia.

Disamping menulis buku ini, bukunya yang telah dipublikasikan antara lain: Aktualisasi Konsep Good Governance dalam Mengantisipasi Masalah Ketenagakerjaan Sebagai Salah Satu Tantangan Pembangunan, Pendekatan Komunikasi Organisasi dalam Mewujudkan Konsep Hubungan Industrial yang Harmonis, Pengentasan Kemiskinan Melalui Penanggulangan Pengangguran, Mengantisipasi Tantangan Globalisasi Multi Dimensi Melalui

Page 232: KEBIJAKAN PUBLIK - repository.unas.ac.idrepository.unas.ac.id/202/1/Kebijakan Publik_Daradjat.pdf · cukup hangat dibicarakan yaitu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun

222 KEBIJAKAN PUBLIK - Analisis Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Peningkatan Kompetensi Sumber Daya Manusia, Peluang dan Tantangan dalam Dunia Kerja Global Bagi Lulusan Perguruan Tinggi, Perlindungan Tenaga Kerja dan Permasalahannya Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, Manajemen Perselisihan Hubungan Industrial, Filsafat dan Teori Pengupahan, Manajemen Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, Dimensi-Dimensi Hubungan Industrial, Managing Public Service, Hubungan Industrial, Filsafat-Konsep-dan Praktek, Membangun Komitmen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Perusahaan, Peran Dunia Usaha dalam Mencegah dan Menangani Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja.