Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009
-
Upload
tifa-foundation -
Category
Documents
-
view
236 -
download
7
description
Transcript of Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009
KATA PENGANTAR
Bukan Menggantang Asap. Kami sengaja memakai 3 kata itu untuk
melukiskan isi buku ini. Bukan menggantang asap, berarti bukan
melakukan pekerjaan yang sia-sia. Tulisan ini adalah refleksi kami atas
aktivitas bantuan hukum yang kami lakukan selama 2009.
Selama 2009, perjuangan rakyat untuk mengembalikan hak-hak
mereka direspon pemerintah dengan tindakan represif seperti
kriminalisasi. Namun, aksi represif itu tak kemudian membungkam
masyarakat. Mereka terus melakukan perlawanan., baik didalam
maupun diluar pengadilan: Melalui pengadilan, masyarakat menggugat
polisi, mempra-peradilankan polisi, menggugat perusahaan semen,
menggugat perusahaan perkebunan, menggugat Badan Pertanahan
Nasional, dan menggugat pemerintah daerah. Sementara itu,
mengkritisi kebijakan dan perilaku pejabat pemerintah, LBH Semarang
juga melakukan beberapa hal. Diantaranya menegur (mensomasi)
Gubernur Jawa Tengah yang mengucapkan pernyataan tak bijaksana di
media massa dan mengkritisi kekeliruan Surat Keputusan Walikota
mengenai kenaikan tarif air minum.
Perjuangan rakyat tersebut bukan pekerjaan sia-sia, meski yang
dihadapi adalah pihak-pihak berkuasa. Dalam beberapa kasus di
pengadilan, mereka juga meraih kemenangan. Misalnya:
dimenangkannya gugatan rakyat di Pengadilan Tata Usaha Negara
Semarang, dan diterimanya kasasi LBH Semarang atas kriminalisasi
petani Kendal.
Banyaknya kasus hukum melalui jalur litigasi ditahun 2009
sungguh “menguras” tenaga dan pikiran para pekerja bantuan hukum
LBH Semarang. Tahun ini adalah tahun dimana kita menangani perkara
terbanyak di pengadilan: 24 perkara. Rasanya mustahil jika melihat
sumberdaya pengacara LBH Semarang yang amat terbatas: dua advokat,
dan satu advokat magang. Tetapi dengan kerjasama yang baik dengan
seluruh pekerja bantuan hukum LBH Semarang, paralegal, para
pengacara dari lembaga lain yang menjadi kawan LBH Semarang, dan
para alumni LBH Semarang yang bersedia beracara secara prodeo,
semuanya menjadi mungkin dilakukan. Untuk itu, terima kasih kami
sampaikan sedalam-dalamnya kepada mereka yang bekerja tanpa
pamrih demi penegakan hak-hak asasi manusia. Mereka melakukannya
diitengah meruyaknya mafia peradilan, diskriminasi penegakan hukum,
dan ketidakpedulian pemerintah akan pemenuhan hak-hak masyarakat
marginal akan bantuan hukum.
LBH Semarang selama ini bekerja bersama para petani, nelayan,
buruh, masyarakat miskin perkotaan, dan masyarakat korban
lingkungan. Di masing-masing komunitas telah tercipta paralegal-
paralegal yang merupakan hasil dari proses belajar bersama antara
masyarakat bersama LBH Semarang, khususnya sejak sepuluh tahun
silam. Paralegal adalah masyarakat yang bukan advokat, namun
memiliki pengetahuan hukum. Keberadaan paralegal amat membantu
keterbatasan Sumber Daya Manusia dan sumber dana LBH Semarang
dalam mengadvokasi masyarakat marginal. Apalagi untuk saat ini, amat
jarang para advokat diluar LBH Semarang mau mendampingi rakyat
miskin secara prodeo. Kami menanti perubahan kebijakan yang
mengakui dan memperbesar peran paralegal. Untuk itu, harapan besar
kami ada pada pengesahan Rancangan Undang-undang Bantuan
Hukum.
Akhirnya, kami berterima kasih kepada seluruh pihak yang
membantu penerbitan buku ini, khususnya para penulis dan
kontributor, masyarakat, media massa, dan Yayasan TIFA yang
mendanai penerbitan buku ini.
Selamat membaca.
Semarang, 2 Januari 2009.
Siti Rakhma Mary Herwati
Direktur
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………………………………………………………..
Daftar Singkatan…………………………………………………………………………………………………………………..
Daftar Isi………………………………………………………………………………………………………………………………
BAB I Peneguhan visi misi …………………………………………………………………………………..
BAB II Profil Konsultasi di Jawa Tengah 2009……………………………………………………….
BAB III Bantuan Hukum Melalui Jalur Litigasi……………………………………………………….
BAB IV Bantuan Hukum Melalui Jalur Non-Litigasi………………………………………………..
Bab V Kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) Jawa Tengah 2009……………………………….
Bab VI Mendorong Pemenuhan Access to Justice Bagi Masyarakat Marginal
di Jawa Tengah ……………………………………………………………………………………………
Bab VII Penutup………………………………………………………………………………………………………
Daftar Pustaka........................................................................................................................
Lampiran
BAP : Berita Acara Pemeriksaan
AD/ART : Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Bappeda : Badan Perencana Pembangunan Daerah
Bappenas : Badan Perencana Pembangunan Nasional
BLH : Badan Lingkungan Hidup
BPN : Badan Pertanahan Nasional
BSAP (PT) : Berkah Surya Abadi Perkasa (PT)
CTI : Coral Triangle Initiative
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
GBHN : Garis Besar Haluan Negara
GSI (PT) : Good Stewards Indonesia (PT)
HAM : Hak Asasi Manusia
HGU : Hak Guna Usaha
Jamsosotek : Jaminan Sosial Tenaga Kerja
JM-PPK : Jaringan Masyarakat – Peduli Pegunungan Kendeng
KAL (PT) : Karyadeka Alam Lestari (PT)
KKCN : Koperasi Karyawan Citra Niaga
KLH : Kementrian Lingkungan Hidup
Kompolnas : Komisi Kepolisian Nasional
KUHAP : Kitab Undang-undang Acara Pidana
LBH : Lembaga Bantuan Hukum
LRC-KJHAM : Legal Resource Center-Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
NJOP : Nilai Jual Obyek Pajak
NGO : Non Governmental Organization
Peradi : Persatuan Advokat Indonesia
PKL : Pedagang Kaki Lima
PLN : Perusahaan Lisrik Negara
PNS : Pegawai Negeri Sipil
Polri : Kepolisian Republik Indonesia
PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil
PSP - SPN : Pengurus Serikat Pekerja-Serikat Pekerja Nasional
PTPN : Perseroan Terbatas Perkebunan Negara
PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara
REDD : Reduced Emission for Deforestation and Degradation
Renstra : Rencana Strategis
RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJP : Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Satpol PP : Satuan Polisi Pamong Praja
SBAN : Serikat Buruh Aquafarm Nusantara
SD : Sekolah Dasar
SHEEP : Society for Health, Education, Environment and Peace
SIKPI : Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan
SIPI : Surat Izin Penangkapan Ikan
SIUP : Surat Izin Usaha Perikanan
SIPD : Surat Ijin Penambangan Daerah
SMA : Sekolah Menengah Atas
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SP
Kahutindo : Serikat Pekerja – Perkayuan dan Kehutanan Indonesia
TKM (PT) : Trimulyo Kencana Mas
TNI : Tentara Nasional Indonesia
THR : Tunjangan Hari Raya
UGM : Universitas Gajah Mada
UKL : Usaha Pengelolaan Lingkungan Hidup
UPL : Usaha Pemantauan Lingkungan Hidup
UU : Undang-Undang
UUPLH : Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
UUPPLH : Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
WALHI : Wahana Lingkungan Hidup
YAPHI : Yekti Angudi Piadeging Hukum Indonesia
Peneguhan Visi Misi LBH Semarang
1
BAB I
PENEGUHAN VISI MISI LBH SEMARANG
LBH Semarang berdiri pada 20 Mei 1978 dengan nama LBH Peradin yang
kemudian berafiliasi dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) pada 1985, selanjutnya bernama LBH Semarang.
Pendirian lembaga ini didasarkan pada kesadaran bahwa hak untuk
mendapatkan dan menikmati keadilan adalah hak setiap orang. Karena
itu penegakannya harus terus diusahakan dalam suatu upaya
berkesinambungan untuk membangun suatu system masyarakat hukum
yang beradab dan berperikemanusiaan secara demokratis, dan disisi
lain, tiap kendala yang menghalanginya harus dihapuskan. 1
Keadilan hukum yang berjalan sinergis dengan keadilan ekonomi,
keadilan politik, keadilan sosial, dan keadilan (toleransi) budaya akan
menopang dan membentuk keadilan struktural yang utuh dan saling
melengkapi.
Upaya penegakan keadilan hukum penghapusan kendala-
kendalanya harus dilakukan secara sinergis, proporsional, dan
kontekstual dengan penghapusan kendala-kendala dalam bidang
ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pemberian bantuan hukum bukan
sekedar sikap dan tindakan kedermawanan tetapi merupakan bagian
tak terpisahkan dalam upaya pembebasan manusia dari setiap bentuk
penindasan.2
Sepuluh tahun terakhir, LBH Semarang memfokuskan bantuan
hukum dalam penanganan kasus-kasus struktural yang melibatkan
1 Siti Aminah (ed.), Menjaga Masa Depan, Kondisi Bantuan Hukum dan HAM Jawa
Tengah 2007, LBH Semarang, hal 1-2. 2 Ibid.
Peneguhan Visi Misi LBH Semarang
2
masyarakat marjinal dalam issue pertanahan, lingkungan hidup dan
pesisir, perburuhan, dan perkotaan. Penanganan issue tersebut dalam
kerangka pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak sipil
politik serta haak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Penanganan kasus
dilakukan melalui jalur litigasi (didalam pengadilan) dan non litigasi
(diluar pengadilan). Untuk mencapai tujuan LBH Semarang dan
merespon hambatan internal dan ekternal, tiap 3 tahun LBH Semarang
melakukan perencanaan strategis (Renstra).
LBH Semarang kembali menyelenggarakan perumusan Rencana
Strategis lembaga pada 2-3 Juli 2009 dan Selasa, 7 Juli 2009.
Pembahasan Renstra diawali dari sharing mengenai situasi eksternal,
kondisi sosial politik global di Indonesia. Dari pembacaan situasi
eksternal itu, LBH melakukan refleksi terhadap situasi internal
kelembagaan dan evaluasi visi 2010. Dari hasil diskusi, kami
memandang bahwa visi 2010 yang dihasilkan dari hasil perencanaan
strategis LBH Semarang 3-5 Mei 2007 ternyata masih relevan dengan
hasil pembacaan situasi ekternal dan internal. Visi 2007-2010 adalah:
“Memperkuat kelembagaan masyarakat sipil melalui pendidikan dan
bantuan hukum struktural bagi rakyat guna mendorong pemenuhan,
penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) oleh
Negara.”
Sementara itu Tujuan Strategis 2007-2010 adalah:
1. 2007-2008
Tahun 1 :
Meningkatkan posisi dan akses masyarakat marginal (miskin)
terhadap sistem peradilan melalui Bantuan Hukum Struktural yang
layak, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk mendorong
pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan HAM oleh negara
2. 2008-2009
Tahun 2 :
Peneguhan Visi Misi LBH Semarang
3
Memperkuat posisi masyarakat marjinal untuk mendapatkan
keadilan melalui bantuan hukum, perluasan daya jangkau bantuan
hukum, peningkatan kapasitas organisasi rakyat,
pendokumentasian, publikasi dan kampanye pelanggaran HAM di
Jawa Tengah
3. 2009-2010
Tahun 3 :
Memperkuat kelembagaan masyarakat sipil melalui pendidikan dan
bantuan hukum struktural bagi rakyat guna mendorong
pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan HAM oleh negara
Ada beberapa evaluasi mengenai implementasi hasil renstra 2007,
yaitu:
- Tidak ada benang merah antar tahapan-tahapan renstra
- Terjadi ketidakkonsistenan tahapan tujuan strategis tahun per tahun,
sehingga perlu diperjelas dan dipertegas dalam implementasinya
Meski demikian, secara keseluruhan, LBH Semarang telah berhasil
melaksanakan tujuan strategis tahun pertama, tahun ke-2, dan tahun
ke-3 yang sedang berjalan. Ada beberapa hal yang perlu diperkuat
implementasinya dalam tujuan strategis tahun ke-3, yaitu :
memperkuat organisasi rakyat, intervensi negara, dan penguatan
logistik lembaga dan organisasi rakyat.
I.2. Perubahan Struktur Organisasi
Untuk melaksanakan tujuan strategis tersebut, diperlukan perubahan
struktur organisasi LBH Semarang sebagai berikut:
Peneguhan Visi Misi LBH Semarang
4
Direktur : Siti Rakhma Mary Herwati, S.H., M.Si
(Advokat)
Kepala Operasional : Slamet Haryanto, S.H.
Kepala Program : Sukarman, S.H.
Staf : Muhnur, S.H. (Advokat)
Erwin Dwi Kristianto, S.H.
Asep Mufti, S.H. (Advokat Magang)
Andiyono, S.H.
Karyawan : Skolastika Tyrama
Nureka Yunianto A, S.Sos
Slamet Riyadi
Nurmin
I.3. Struktur Organisasi LBH Semarang
Peneguhan Visi Misi LBH Semarang
5
DIREKTUR
PROGRAM INTERNAL OPERASIONAL
STAF
RELAWAN
KARYAWAN
• Keuangan
• Administrasi
• Pramubakti
• Sopir
Relawan
Program
5
BAB II
KONDISI BANTUAN HUKUM DI JAWA TENGAH 2009
Selama 2009, LBH Semarang menangani konsultasi kasus-kasus
struktural maupun non struktural di Jawa Tengah. Masyarakat yang
datang ke kantor LBH Semarang berasal dari Semarang dan kota-kota
lain di Jawa Tengah. Untuk 2009, jumlah konsultasi yang masuk ke LBH
Semarang sebanyak 125, menurun dari tahun 2008 yang berjumlah 141.
Konsultasi hukum tersebut sebagian besar adalah konsultasi kasus-kasus
non struktural yang tak berlanjut dalam advokasi litigasi maupun non
litigasi. Selain melalui konsultasi, LBH Semarang juga menangani kasus-
kasus struktural melalui pengorganisasian masyarakat, seperti kasus
lingkungan, kasus tanah, kasus pelanggaran hak-hak buruh, dan kasus
masyarakat miskin perkotaan. Berikut adalah grafik perbandingan
konsultasi hukum dari 2002-2009.
6
Masalah hukum yang paling banyak diadukan/dikonsultasikan
masyarakat adalah perkawinan (37%) kemudian masalah pidana (22%),
persoalan perdata (18%) dan persoalan perburuhan (18%). Tak ada
pengaduan untuk persoalan lingkungan, pertanahan, dan konsumen,
karena sebagian besar kasus-kasus lingkungan dan pertanahan adalah
kasus-kasus struktural, sehingga LBH Semarang menangani kasus-kasus
tersebut melalui pengorganisasian masyarakat. Rincian konsultasi di
2009 ini tak berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2008,
masalah pidana menempati peringkat pertama, dan masalah
perkawinan menempati posisi kedua. Sedangkan pada 2007, pidana
adalah yang paling banyak dikonsultasikan, lalu kasus perdata umum
dan perkawinan.
7
Grafik di bawah ini adalah perbandingan jumlah konsultasi untuk
kasus-kasus tertentu selama tahun 2007-2009.
Konsultasi masalah pidana yang sering dikonsultasikan adalah
tidak ditanggapinya laporan masyarakat ditingkat kepolisian (laporan
pidana ditolak kepolisian), berhentinya penanganan kasus di kepolisian,
dan penyiksaan selama proses penyidikan. Sedangkan untuk persoalan
perkawinan, yang sering dikonsultasikan adalah tata cara pengajuan
cerai, dan kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik dan non
fisik.
Dalam hal tidak ditanggapinya laporan masyarakat oleh institusi
kepolisian atau institusi pemerintah yang lain, LBH Semarang melakukan
langkah administratif seperti mengirim surat ke instansi yang
bersangkutan. Sedangkan untuk kasus-kasus perdata dan perkawinan,
8
LBH Semarang bertindak sebagai konsultan hukum yang memberikan
saran, nasehat, dan upaya-upaya yang perlu dilakukan berkaitan dengan
penyelesaian kasus. Kadangkala, LBH juga membantu membuat surat-
surat yang diperlukan klien ketika klien menghadapi persoalan di
pengadilan.
Dari grafik di atas, terlihat bahwa sebagian besar masyarakat yang
datang ke LBH Semarang berasal dari kota Semarang (92 orang).
Sedangkan sisanya berasal dari kota-kota sekitar Semarang, seperti
Demak, Kudus, Pati, Jepara, Grobogan, Kendal, Batang, Pekalongan,
Muntilan (30 orang). Beberapa klien datang dari luar Jawa seperti dari
Jakarta, Tasikmalaya, dan Kalimantan. Biasanya mereka
direkomendasikan oleh LBH Jakarta, atau mendapat informasi dari
orang lain yang mengetahui LBH Semarang hubungannya dengan
penanganan kasus-kasus struktural maupun non struktural. Dengan
9
demikian, penerima manfaat konsultasi hukum selain Semarang adalah
kabupaten dan kota-kota tersebut di atas.
10
Dari grafik di atas, diketahui bahwa masyarakat yang
berkonsultasi ke LBH Semarang sebagian besar adalah laki-laki,
sebanyak 74 konsultasi (59,2%), dan perempuan sebanyak 51 (40,8%).
Kasus-kasus yang dikonsultasikan tidak mendasarkan pada jenis kelamin
tertentu, namun ini adalah gambaran bahwa laki-laki lebih banyak
mengadukan persoalannya ke LBH Semarang dibandingkan perempuan.
11
Mencermati grafik di atas, maka jenis pekerjaan terbanyak dari
masyarakat yang datang mengadukan kasusnya ke LBH Semarang
adalah buruh atau swasta sebanyak 53 orang, wiraswasta 24 orang, PNS
7 orang, Polri/TNI 1 orang, petani 3 orang, ibu rumah tangga 15 orang,
dan tidak bekerja 22 orang.
Hal ini menunjukkan masyarakat yang datang ke LBH sebagian
besar adalah masyarakat perkotaan yang bekerja sebagai buruh, swasta,
dan wiraswasta. Sedang petani yang tinggal di perdesaan terlalu jauh
jaraknya dengan Kota Semarang, sehingga mereka tak bisa mengakses
bantuan hukum. Untuk itu, LBH Semarang telah melakukan kegiatan
perluasan daya jangkau bantuan hokum. Untuk pertama kali dilakukan
di Kota Pekalongan dengan membuka posko bantuan hukum dan
konsultasi di tahun 2009. Sedang kasus-kasus tanah struktural yang
terjadi di perdesaan Jawa Tengah (seperti kasus tanah berbasis
perkebunan dan hutan) telah ditangani LBH Semarang melalui
pengorganisasian masyarakat sejak sepuluh tahun silam.
12
Grafik di atas bisa diketahui bahwa tingkat pendidikan
masyarakat yang berkonsultasi ke LBH Semarang terbesar adalah SMA
yaitu 48 orang, universitas (23 orang), akademi (20 orang), SD dan SMP
(13 orang), tidak sekolah (4 orang), dan tidak diisi (4 orang). Dengan
demikian, layanan bantuan hukum sebagian besar diakses oleh kalangan
menengah yang telah memiliki kesadaran atas hak-haknya. Masyarakat
miskin belum banyak mengakses layanan bantuan hukum karena
ketidaktahuan adanya layanan bantuan hukum, dan letak geografis
kantor LBH Semarang dengan tempat tinggal mereka.
Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan data konsultasi tahun 2007
dan 2008. Tahun 2007, masyarakat yang berkonsultasi terbesar adalah
SMA (73 orang), Universitas (44 orang), diikuti SD (25 orang), Akademi
(14 orang), SMP (18 orang), dan tidak sekolah (15 orang). Sedangkan
tahun 2008, Yang terbesar berasal dari tingkat pendidikan SMA yaitu 59
orang dan Universitas (25 orang), diikuti SLTP (20 orang), SD (15 orang),
Akademi (15 orang), Pesantren (1 orang) dan tidak sekolah (7 orang).
13
BAB III
BANTUAN HUKUM MELALUI JALUR LITIGASI
Selama 2009, LBH Semarang menangani 24 perkara di pengadilan.
Dibanding tahun-tahun sebelumnya, kasus yang masuk ke pengadilan
memang lebih banyak, karena banyaknya kriminalisasi yang menimpa
masyarakat yang menuntut hak-haknya dan perampasan hak-hak
rakyat. Ke-24 perkara tersebut adalah:
1. Perkara Pidana No. 263/Pid.B/2009/PN.Kdl an Terdakwa Sar, Is,
dan St
2. Perkara Pidana No. 02/Pid/B/2009/PN Kdl an Terdakwa Ng dan Har
3. Perkara Pidana No. 19/Pid/B/2009/PN.Kdl an Terdakwa Rw, Sw,
Tg, Jsw
4. Perkara Pidana No. 20/Pid/B/2009/PN Kdl an Terdakwa Dj
5. Perkara Pidana No 274/Pid/2009/PT.Smg Perihal Banding an
Terdakwa Dj
6. Perkara Pidana No. 01/Pid.Pra/2009/PN KDL Perihal Permohonan
Praperadilan an Terdakwa Ng dan Har
7. Perkara Pidana No. 02/Pid.Pra/2009/PN KDL Perihal Permohonan
Praperadilan an Terdakwa Dj
8. Perkara Pidana No. 235/Pid.B/2009/PT.Smg Perihal Banding an 6
Terdakwa Rw, Sw, Tg, Jsw
9. Perkara Pidana No. 238/Pid.B/2009/PT.Smg Perihal Banding an
Terdakwa Ng dan Har
10. Perkara Pidana No. 1635 K/PID/2009 Perihal Kasasi an Terdakwa Dj
11. Perkara Pidana No. 246/Pid.B/2009/PN.Btg an Terdakwa Mn, Sr
12. Perkara Pidana No. 247/Pid.B/2009/PN.Btg an Terdakwa J, Rus
13. Perkara Pidana No. 66/Pid.B/2009/PN.Pt an Terdakwa Sd, Gn, Tm
14. Perkara Pidana No. 67/Pid.B/2009/PN.Pt an Terdakwa Ag, Mu, Sk,
St, Sn, Zn
15. Perkara Pidana No. 01/Pid.Pra/2009/PN.Pt Perihal Permohonan
14
Praperadilan an 9 Terdakwa kasus Semen Gresik
16. Perkara Perdata No. 43/G/2008/PHI.Smg Perihal Gugatan Buruh
PT. Trimulyo Kencana Mas
17. Perkara Perdata No. 59/G/2008/PHI.Smg Perihal Gugatan Buruh
PT. Trimulyo Kencana Mas
18. Perkara Perdata No. 47/G/2009/ Perihal Gugatan Buruh PT. Good
Stewards Indonesia
19. Perkara Perdata No. 18/Pdt.G/2009/PN.Kdl Perihal Gugatan
terhadap PT Karyadeka Alam Lestari
20. Perkara Administrasi No. 75/G/2009/PTUN.Jkt Perihal Gugatan
Pembatalan HGU PT Pagilaran Batang
21. Perkara Perdata No. 246/Pdt.G/2008/PN.Smg Perihal Gugatan
Falun Gong
22. Perkara Perdata No. 50/Pdt.u/2009 Perihal Banding atas putusan
perkara Falun Gong
23. Perkara Administrasi No. 18/Pdt.G/2009/PN.Kdl Perihal Gugatan
Pembatalan HGU PT Karyadeka Alam Lestari
24. Perkara Administrasi No. 04/G/2009/PTUN.Smg Perihal Gugatan
Pembatalan Ijin Eksplorasi PT Semen Gresik
25. Perkara Administrasi No. 138/B/2009/PT.TUN Sby Perihal Banding
Tergugat atas Putusan PTUN Semarang
Deskripsi kasus di bawah ini bukan berdasarkan masing-masing nomor
perkara, namun kasus-kasus yang terjadi yang kemudian berkembang
menjadi beberapa perkara pidana maupun perdata. Berikut posisi
masing-masing kasus, dan bantuan hukum yang diberikan LBH
Semarang.
1. Kasus Kriminalisasi 9 orang petani Desa Trisobo Kendal
Posisi Kasus :
Konflik tanah antara PT. Karyadeka Alam Lestari (PT. KAL) dengan
petani Desa Trisobo, Kabupaten Kendal berawal dari penguasaan tanah
15
para petani oleh PT KAL pada 1996. Sebelumnya, tanah tersebut
dikuasai P&T Lands dengan hak erfpacht, lalu beralih ke PP Subang, PT
Tatar Anyar, dan terakhir PT KAL. Pada 1999-2000 petani mulai
menanami lahan-lahan terlantar di wilayah Perkebunan PT. KAL. Hak
Guna Usaha PT. KAL pada tanggal 31 Desember 2002 telah berakhir
masa berlakunya. Ada sekitar 381 (tiga ratus delapan puluh satu) petani
penggarap yang sudah secara produktif menggarap lahan terlantar eks
HGU PT. KAL tersebut. Luas garapan petani adalah sekitar 80 hektar.
Petani menanami lahan tersebut dengan tanaman jagung, pohon
sengon, pisang dan tanaman palawija lainnya. Para petani yang tak
mempunyai lahan garapan berharap BPN tak memperpanjang HGU PT.
KAL karena lahan tersebut, awalnya adalah tanah garapan masyarakat.
Masyarakat Desa Trisobo mayoritas berprofesi sebagai buruh tani atau
petani tak bertanah dan membutuhkan lahan garapan. Secara geografis
Desa Trisobo diapit oleh 3 (tiga) perusahaan besar yaitu PT. Karyadeka
Alam Lestari (PT. KAL), PTPN IX Nusantara, dan Perum Perhutani. Lahan
disekitar desa Trisobo sudah habis dikuasai oleh perusahaan-
perusahaan besar tersebut.
Pada September 2008, Sarimin, Istamar, Sutopo, para petani Desa
Trisobo, ditahan Polres Kendal atas dugaan pencurian (pasal 363:5
KUHP). Dakwaannya adalah pencurian 6 pohon randu, mangga, dan
rambutan milik PT KAL. Hasil penjualan pohon yang diklaim PT KAL
tersebut dibelikan material untuk membangun jembatan penghubung
Desa Trisobo dan perkebunan karet PT KAL yang rusak. Mereka disidang
dan divonis enam bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri
Kendal. Dua orang petani Trisobo yang menghadiri persidangan,
ditangkap juga oleh Polres Kendal dengan tuduhan yang sama.
Kemudian, empat petani dan mantan Kepala Desa Trisobo juga
ditangkap Polres Kendal ketika tengah melaporkan kasus pemalsuan
surat yang dilakukan Kepala Desa Trisobo ke Polwiltabes Semarang.
Enam petani yang menjadi terdakwa dan menjalani persidangan
di Pengadilan Negeri Kendal, telah divonis 10 (sepuluh) bulan penjara.
16
Upaya Hukum Pidana :
Peran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang adalah sebagai
penasehat hukum 10 (sepuluh) petani yang dikriminalisasikan tersebut.
LBH Semarang memohonkan banding untuk enam orang Terdakwa.
Tetapi Pengadilan Tinggi Semarang menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Kendal.
2. Kasus Kriminalisasi Mantan Kepala Desa Trisobo
Posisi Kasus:
Dj (55) , mantan Kepala Desa Trisobo ditangkap aparat Polres Kendal di
Polwiltabes Semarang karena laporan PT Karyadeka Alam Lestari atas
dugaan penggelapan 40 batang pohon bendo yang diklaim milik PT KAL.
Peristiwa ini terjadi pada 2004. Waktu itu, Dj sebagai Kepala Desa,
menerima laporan dari warga tentang adanya puluhan kayu bendo hasil
tebangan tanpa pemilik. Sebagai Kepala Desa, ia kemudian
mengeluarkan surat yang isinya mengamankan kayu-kayu di balai Desa
Trisobo sambil menunggu pemilik sebenarnya. Kayu-kayu itu kemudian
hilang beberapa hari kemudian tanpa sepengetahuannya. Kasus ini
dilaporka PT KAL pada 2008 ketika konflik tanah antara petani Desa
Trisobo dengan PT KAL memanas. Dj kemudian ditahan dan disidang.
Majelis hakim memutusnya 18 bulan penjara.
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
LBH Semarang menjadi Penasehat Hukum Dj selama proses penyidikan
sampai persidangan. LBH juga melakukan banding dan kasasi atas
putusan hakim tersebut. Putusan banding Pengadilan Tinggi Semarang
menguatkan Pengadilan Negeri Kendal. LBH melakukan kasasi. Inti
memori kasasi, berdasar fakta-fakta yang terjadi di persidangan, yang
dilakukan oleh Terdakwa bukanlah perbuatan pidana sebagaimana
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Permohonan Kasasi tersebut
telah diputus pada 30 September 2009 dengan nomor putusan :
1635K/PID/2009. Inti putusan tersebut adalah bahwa perbuatan yang
17
didakwakan kepada Terdakwa bukanlah merupakan perbuatan pidana
(onslag van alle rechts vervolging) dan melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum.
3. Gugatan Perdata Petani Atas Perbuatan Melawan Hukum PT KAL
Posisi Kasus:
PT Karyadeka menguasai secara melawan hukum tanah-tanah petani di
Desa Trisobo Kecamatan Boja Kendal dan Desa Kertosari Kecamatan
Singorojo Kendal.
Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:
LBH mendampingi paralegal petani menggugat perdata PT KAL ke
Pengadilan Negeri Kendal. Pada 15 Juli 2009 Yohanes Nur Eko sebagai
ketua Forum Persaudaraan Petani Kendal (FPPK) organisasi tani tingkat
Kabupaten Kendal mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum PT.
Karyadeka Alam Lestari atas penguasaaan tanah Eks-HGU No.1 Desa
Trisobo Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal seluas 131,1 Ha dan Hak
Guna Usaha No.1 Desa Kertosari Kecamatan Singorojo seluas 18,2 Ha
(obyek sengketa) melalui Pengadilan Negeri Kendal dan tercatat dengan
nomor Gugatan : 18/PDT.G/2009/PN Kdl. Sampai sekarang proses
persidangan masih berlangsung. Dalam perkara ini, LBH bukan sebagai
kuasa hukum, namun mendampingi Nur Eko (paralegal petani),
berdiskusi tentang proses persidangan, dan membantu mempersiapkan
hal-hal yang diperlukan selama proses persidangan.
4. Praperadilan Kasus Penangkapan Ng dan Har (Petani Trisobo
Kendal)
Posisi Kasus:
Ng dan Har ditangkap aparat Polres Kendal ketika hendak melihat
proses persidangan Terdakwa Sar, Is, St, di Pengadilan Negeri Kendal.
Keduanya ditangkap di Pengadilan Negeri Kendal. Polres Kendal tidak
18
menunjukkan surat tugas sebagaimana diwajibkan di pasal 18 ayat 1
KUHAP dalam menangkap Ng dan Har.
Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:
LBH Semarang menjadi kuasa hukum Ng dan Har sebagai Pemohon
Praperadilan dalam kasus ini. Persidangan berlangsung marathon setiap
hari. Putusan hakim adalah menolak permohonan praperadilan yang
diajukan Pemohon kepada Termohon Kapolres Kendal, karena hakim
menilai penangkapan dan penahanan sudah sesuai prosedur KUHAP.
5. Praperadilan Kasus Penangkapan Mantan Kepala Desa Trisobo
Posisi Kasus:
Dj ditangkap Polres Kendal di Polwiltabes Semarang ketika sedang
melaporkan kasus pidana pemalsuan surat keterangan yang diduga
dilakukan oleh Kepala Desa Trisobo. Ia melaporkan kasus itu bersama 4
orang petani Trisobo (Rw, Tg, Sw, Jw). Saat itulah kemudian aparat
Polres Kendal langsung menangkap dan membawa mereka ke Polres
Kendal untuk diperiksa dan selanjutnya ditahan.
Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:
LBH Semarang menjadi kuasa hukum Pemohon Pra Peradilan 5 orang
petani melawan Termohon Kapolres Kendal dalam kasus ini.
Praperadilan kasus ini dilakukan karena aparat Polres Kendal tidak
membawa surat penangkapan dan menunjukkan surat tugas ketika
menangkap Dj sebagaimana diwajibkan pasal 18 ayat 1 KUHAP. Dalam
putusannya, hakim menolak permohonan pra peradilan Pemohon
karena hakim menilai proses penangkapan dan penahanan sudah
berjalan sesuai KUHAP.
19
6. Gugatan Pembatalan HGU PT. Pagilaran Batang
Posisi Kasus :
Para petani 5 desa di Kecamatan Blado Kabupaten Batang Jawa Tengah
telah membuka hutan sebelum pemerintah kolonial Belanda datang ke
desa mereka. Sekitar tahun 1890, pengusaha swasta Belanda menyewa
lahan para petani dengan cara paksa untuk ditanami tanaman kina, dan
kemudian teh. Tanah itu lalu dijadikan hak erfpacht selama 75 tahun.
Kemudian, mereka menjualnya kepada P & T Lands, perusahaan swasta
Inggris. Hak erfpacht itu seluas 663 hektar. Setelah Indonesia merdeka,
kolonial Belanda kembali menguasai P & T Lands dan membakar bukti-
bukti kepemilikan tanah yang dimiliki warga. Pada 1964, pemerintah
Indonesia memberikan tanah bekas P & T Lands tersebut kepada
Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada dalam bentuk hibah. Karena
tak berbentuk badan hukum, Fakultas Pertanian lalu membuat Yayasan
untuk memperoleh sertifikat HGU. Yayasan Pembina Fakultas Pertanian,
mendirikan PT Pagilaran untuk mengelola perkebunan teh bekas P & T
Lands. Pada saat dilimpahkan kepada UGM, luas tanahnya bertambah
menjadi 836 hektar. Pada waktu itu, para petani masih menggarap
lahan diluar yang diberikan pemerintah kepada UGM. Pada 1965, PT
Pagilaran mengusir para petani penggarap dari lahan dengan surat
pengusiran. Mereka dituduh terlibat G 30 S. Para petani kemudian
keluar dari lahan. Mulai saat itu petani kehilangan lahan garapan seluas
450 hektar. Sebagian dari mereka beralih menjadi buruh perkebunan
teh yang berupah rendah. Pada Januari 2009, BPN memperpanjang HGU
PT Pagilaran yang berakhir 31 Desember 2008.
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
LBH Semarang menjadi salah satu kuasa hukum petani untuk
menggugat Kepala BPN RI di PTUN Jakarta. Pada 8 Mei 2009, 20 (dua
puluh) petani (Duri dkk) melalui LBH Jakarta dan LBH Semarang sebagai
kuasa hukum, mengajukan gugatan Tata Usaha Negara ke Pengadilan
Tata Usaha Negara Jakarta. Gugatan tersebut diajukan untuk
20
membatalkan Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasioanal Republik
Indonesia Nomor : 17 HGU-BPN RI – 2009 yang dikeluarkan pada 27
Januari 2009 tentang Pemberian Perpanjangan Jangka Waktu Hak Guna
Usaha PT. Pagilaran. PTUN Jakarta mencatatnya dengan perkara Nomor
: 75/G/2009/PTUN-JKT.
Gugatan pembatalan Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasional ini
diajukan oleh petani karena penerbitan surat keputusan ini dinilai
janggal, melanggar syarat administratif serta melanggar asas-asas
pemerintahan yang baik (good governance). Pelanggaran itu antara lain:
1. Melanggar keputusan Kepala BPN No. 12 tahun 1992, dimana
seharusnya panitia B melakukan penelitian apakah ada tanaman
masyarakat disekitar wilayah yang akan diajukan permohonan Hak
Guna Usaha (HGU);
2. Pelanggaran pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha;
3. Pelanggaran pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang No.9 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.5 tahun 1986
tentag Peradilan Tata Usaha Negara;
Pada tanggal 29 Oktober 2009 keluar putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara No. 75/G/2009/PTUN-JKT yang intinya:
Dalam eksepsi
� Menerima eksepsi Tergugat dan Tergugat dan Tergugat II Intervensi
Dalam pokok perkara
� Menyatakan gugatan Para Pengugat tidak diterima;
� Menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 458.000.00 (Empat);
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa oleh karena
hubungan hukum antara pewaris dan Para Pengugat dengan tanah
obyek sengketa tidak jelas. Majelis hakim berpendapat Para penggugat
21
tidak mempunyai kepentingan mengajukan gugatan sebagaimana
dimaksud pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pada 12 Nopember 2009 kuasa
hukum Penggugat telah menyatakan permohonan banding atas putusan
Nomor : 75/G/2009/PTUN-JKT tanggal 29 Oktober 2009.
Para pengacara LBH Jakarta menjadi kuasa hukum penggugat dan
bersidang di PTUN Jakarta selama berjalannya persidangan dari awal
hingga akhir. Selain sebagai kuasa hukum, peran LBH Semarang adalah
mendampingi petani (penggugat) dalam mempersiapkan seluruh
keperluan teknis persidangan. LBH Semarang memprioritaskan peran
paralegal petani untuk terlibat secara aktif didalam maupun diluar
pengadilan.
7. Kasus Kriminalisasi 4 warga miskin di Kabupaten Batang
M(39), S(25), J(16), R(14), adalah empat warga Dusun Secentong, Desa
Kenconorejo, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang yang
dikriminalisasikan karena mengambil sisa-sisa panen kapuk randu di
areal HGU PT. Segayung. Senin pagi tanggal 2 Nopember 2009, M dan S
sebetulnya sudah menyiapkan barang-barang untuk kembali ke Jakarta
untuk bekerja. Namun, saat itu tiba-tiba muncul inisiatif untuk gresek
(memungut) hasil sisa panen buah randu yang terletak di areal lahan PT.
Segayung. Gresek merupakan kebiasan yang sudah bertahun-tahun bagi
warga Dusun Secentong maupun dusun disekitarnya. PT. Segayung
sendiri terletak di Desa Sembojo, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang
atau kurang lebih 3 km dari kediaman Manisih. Akhirnya sekitar pukul
06.00 WIB berangkatlah keempatnya menuju ke lokasi pengambilan
buah randu. Mereka berjalan kaki ke lokasi perkebunan. Sampai di
lokasi perkebunan, mereka memunguti sisa-sisa kapuk randu diatas
22
tanah. Sesekali mereka mengambil sisa kapuk randu yang masih
tergantung di pohon menggunakan galah dari batang singkong yang
mereka temukan di jalan ke perkebunan.
Mandor perkebunan PT. Segayung Polisi menuduh mereka
melakukan pencurian buah randu sebanyak 14 kg atau seharga
Rp.12.000,-. Selama proses penyidikan, mereka tidak didampingi
Penasehat Hukum. Saat ini mereka tengah menjadi pesakitan di
Pengadilan Negeri Batang. Polisi mengenakan Pasal 363 ke-4 KUHP.
Selama 3 minggu sejak 2 November 2009 mereka ditahan di LP Batang
dengan status titipan Polres Batang. Dua anak, J dan R juga ikut ditahan
bersama orang dewasa di LP yang sama, meskipun mendapat kamar
terpisah. Kasus ini kemudian mencuat ke permukaan, ketika media
memuatnya di media massa dan elektronik. Polres Batang kemudian
mengeluarkan mereka dari tahanan dan langsung melimpahkan ke
Kejaksaan Negeri Batang. Kejaksaan, tak menahan mereka. Saat ini,
persidangan kasus tersebut tengah berlangsung di Pengadilan Negeri
Batang.
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
LBH Semarang sebagai penasehat hukum dari keempat terdakwa
tersebut. LBH tidak dari awal atau pemeriksaan penyidikan karena
terbatasnya informasi yang ada, setelah proses penyidikan selesai (P-21)
LBH Semarang menjadi penasehat hukumnya.
8. Gugatan PTUN kasus PT. Semen Gresik
Posisi Kasus:
Latar belakang gugatan ini adalah keluarnya Keputusan Kepala Kantor
Pelayanan Perijinan Terpadu No. 540/052/2008 tentang Perubahan Atas
Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Nomor:
540/040/2008 tentang Ijin Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan
Galian Golongan C Batu Kapur atas nama Ir. Muhammad Helmi Yusron,
23
Alamat Komplek Pondok Jati AM-6 Sidoarjo Jawa Timur bertindak untuk
dan atas nama PT. Semen Gresik (Persero) Tbk di Desa Gadudero, Desa
Kedumulyo, Desa Tompegunung, Desa Sukolilo, Desa Sumbersoko
Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Jawa Tengah. Adapun Ijin
Pertambangan Daerah ini tanpa didahului Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL). Atas dasar inilah LBH Semarang bekerjasama
dengan Yayasan WALHI dan Lembaga Pengabdian Hukum (LPH) YAPHI
Solo, mengajukan gugatan ke PTUN Semarang tertanggal 23 Januari
2009. Setelah melalui tiga kali proses dismissal (pemeriksaan persiapan),
majelis hakim memeriksa dalam sidang terbuka untuk umum. Pada
proses dismissal, PT Semen Gresik mengajukan intervensi. Penggugat
keberatan atas gugatan intervensi tersebut. Namun, dalam putusan
sela, majelis hakim mengabulkan permohonan intervensi tersebut,
sehingga PT Semen Gresik menjadi Tergugat II Intervensi.
Selama proses persidangan, kedua belah pihak mengajukan bukti-
bukti tertulis. Penggugat mengajukan 31 bukti, berupa AD/ART WALHI
dan bukti-bukti yang memperkuat legal standing, peraturan-peraturan,
foto-foto, dan hasil kajian kawasan kars. Tergugat I mengajukan 38
bukti, sebagian besar berupa peraturan dan surat-surat pemerintah dan
Tergugat II Intervensi mengajukan 27 bukti, sebagian besar juga
peraturan dan surat-surat ijin PT Semen Gresik.
Majelis hakim memenangkan gugatan penggugat. Namun
demikian, Tergugat I dan Tergugat II Intervensi mengajukan banding,
sehingga pembatalan SIPD untuk PT Semen Gresik ini belum
berkekuatan hukum tetap. Tetapi dalam perkembangan terakhir, pada 6
Desember 2009 PT TUN ternyata telah memutus permohonan banding
Tergugat, dan memenangkan banding Tergugat. Dengan demikian,
WALHI kalah dalam proses banding ini.
Bantuan hukum yang diberikan:
LBH Semarang menjadi salah satu kuasa hukum WALHI, Non
Governmental Organization yang memiliki standing penegakan hukum
untuk kasus-kasus lingkungan. LBH menjadi kuasa hukum untuk
24
menggugat di PTUN, banding di PT TUN Surabaya, dan kasasi di
Mahkamah Agung.
9. Praperadilan pada kasus penyanderaan mobil PT Semen Gresik.
Posisi Kasus:
Pada 22 Januari 2009, tim dari PT PT Semen Gresik Tbk, Tbk mendatangi
Desa Kedumulyo. Kehadiran tamu asing yang tidak permisi terlebih
dahulu membuat warga yang selama ini aktif menolak pendirian pabrik
semen, tanpa dikomando ratusan warga menahan mobil dan para
penumpang. Aksi tersebut bertujuan agar Kepala Desa Kedumulyo
[Suwarno] bersedia menemui warga. Tuntutan tersebut menjadi wajar
karena tersiar berita bahwa tim dari PT PT Semen Gresik Tbk, Tbk
tersebut bertujuan untuk membebaskan lahan bengkok desa milik
sebagai calon tapak pabrik. Aktifitas tersebut adalah bentuk provokasi
dari PT Semen Gresik Tbk Tbk, karena pada tanggal 10 Januari 2009
sedulur sikep dan JM-PPK diundang di Bakesbanglinmas dan dijanjikan
tidak akan ada aktifitas sebelum penelitian bersama oleh Gubernur
Jawa Tengah, Bibit Waluyo. 1
1 Keterangan Gunretno, pada tanggal 24 mei 2009 di PTUN Semarang. Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia menguasakan kepada Tim Advokasi Peduli Lingkungan yang
terdiri dari Siti Rakhma Mary Herwati, S.H, Yusuf Suramto, S.H, Ign Heri Hendro Harjuno,
S.H, Iki Dulagin, S.H. sebaga kuasa hukum dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia,
saat ini telah mengajukan guagatan PTUN di Pengadilan TUN Semarang. Adapun yang
menjadi obyek Sengketa Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut: Keputusan Tata
Usaha Negara yang berwujud Surat Keputusan [SK] tentang Surat Ijin Penambangan
25
Dalam peristiwa tersebut sembilan orang yang ditangkap dan
ditahan, yaitu Sudarto bin Sudiman: orang yang aktif melakukan lobby
dan juga aktif memimpin warga. Tamsi bin Mangun Sarpin diduga
melakukan provokasi. Gunarto bin Wargono menjadi orang yang pada
saat kejadian membawa megaphone dan berorasi. Mu’Alim Bin Sriyono
ditangkap karena membawa kamera. Agus Purwanto Bin Tolan
ditangkap karena membawa handycam dan aktif merekam setiap
proses lobby dan aksi. Selain itu juga Sukarman Bin Kusnen, Sutikno Bin
Nasirin, Sunarto Bin Suwarjan dimana kesemuanya juga dituduh
melakukan pelemparan dan pengrusakan mobil. Muhammad Zaenul
Waffa ditangkap karena tertangkap tangan sedang membawa botol
bersumbu berisi minyak tanah dan oli, dengan dugaan akan melakukan
pembakaran. Kesembilan orang tersebut bukan orang baru dalam
penolakan pabrik semen. Mereka tergabung dalam JM-PPK dan aktif
terlibat dalam setiap kegiatannya. Penangkapan kesembilan orang
tersebut diwarnai oleh kekerasan dan penyiksaan 2. Kekerasan dan
penyiksaan juga diderita oleh peserta massa aksi di Kedumulyo. Ibu–ibu
yang ditendang dan dilempar oleh polisi 3 dan ada warga yang ditodong
dengan pistol oleh aparat 4.
Daerah [SIPD] No. 540/052/2008 kepada PT Semen Gresik tertanggal 5 November 2008
yang dikeluarkan oleh TERGUGAT yang berisi pokoknya adalah mengenai ijin melakukan
penambangan batu kapur seluas 700 hektar yang terletak di Desa Gadudero, Desa
Kedumulyo, Desa Sukolilo, Desa Tompegunung dan Desa Sumbersoko yang berada di
Wilayah Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati.
2 Berdasarkan keterangan kesembilan orang tersebut, didukung kesaksian Para
Saksi dan barang bukti berupa kaos yang berlumur bercak darah. Hal ini
terungkap dalam sidang Perkara Praperadilan. No 01/Pid.Pra/2009/PN.Pt
maupun dalam sidang Pidana kasus kesembilan orang tersebut
3 Salah satu saksi mata adalah Kuat, warga Desa Sukolilo
4 Kesaksian Raselan, warga Desa Kedumulyo
26
Kekerasan [violence] dan penyiksaan [torture] dialami Sudarto
alias Buntung Bin Sudiman, Tamsi bin Mangun Sarpin dan Gunarto bin
Wargono selama proses penangkapan. Pola yang dilakukan adalah:
Sudarto bin Sudiman dipukuli lalu dibawa ke mobil truk polisi; Tamsi bin
Mangun Sarpin dipukuli ketika ditangkap; Gunarto bin Wargono
dilempari, diinjak-injak dan dipukuli; Sutikno bin Nasirin didorong
kemudian dipuli sambil diseret ke truk Polisi; Agus Purwanto bin Tolan
dipegang kemudian langsung dipukuli tanpa polisi bertanya terlebih
atau berbicara dahulu; Mu’Alim Bin Sriyono dipukuli; Sunarto Bin
Suwarjan dipukuli; Sukarman bin Kusnen dipukuli, diinjak-injak dan
diseret-seret lalu ke truk polisi.
Kekerasan [violence] dan penyiksaan [torture] berlanjut pada saat
pemeriksaan di Polres Pati. Sudarto alias Buntung Bin Sudiman, Tamsi
bin Mangun Sarpin dan Gunarto bin Wargono diperiksa tanpa diberikan
haknya sebagai tersangka dan mengalami penekanan, ancaman,
pemukulan dan tendangan dari penyidik Polres Pati selama proses
pembuatan BAP. Pola yang dilakukan Penyidik Polres Pati adalah:
Sudarto bin Sudiman dipukuli dan ditendang sampai berdarah; Tamsi
bin Mangun Sarpin dipukuli dan ditekan; Gunarto bin Wargono dipukuli;
Agus Purwanto bin Tolan dipukuli dan ketakutan karena melihat Sudarto
ditendang sampai berdarah dan Mu’Alim Bin Sriyono yang ditodong
pistol; Sukarman bin Kusnen dipukuli dan ditekan untuk mengaku
perbuatan yang tidak dilakukan; Sunarto bin Suwarjan dipukuli dan
dipaksa mengakui hal yang tidak dilakukan; Sutikno bin Nasirin
dibentak-bentak dan dipaksa menandatangani BAP tanpa tau isinya;
Mu’Alim Bin Sriyono diancam dengan menggunakan pistol dan dipukuli.
Bantuan hukum yang diberikan LBH Semarang:
Terkait penangkapan dan penahanan tersebut salah satu upaya yang
dilakukan 9 orang yang ditangkap tersebut melalui pengajuan
Praperadilan dengan No 01/Pid.Pra/2009/PN.Pt. Permohonan ditujukan
terhadap Kepolisian Negara R.I. dalam hal ini diwakili Kepala Kepolisian
Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta, Cq Kepolisian Negara
27
R.I. Daerah Jawa Tengah dalam hal ini diwakili Kepala Kepolisian Daerah
Jawa Tengah yang berkedudukan di Semarang, Cq. Kepolisian Negara
R.I. Wilayah Pati dalam hal ini diwakili Kepala Kepolisian Wilayah Pati
yang berkedudukan di Pati, Cq Kepolisian Negara R.I. Resor Pati dalam
hal ini diwakili Kepala Kepolisian Resor Pati, yang beralamat Jl. Jl.
A.Yani No.1 Pati. Pra peradilan berlangsung selama 6 hari dan prosesnya
maraton tiap hari. Termohon Kapolri menghadirkan para saksi yaitu
aparat Polres Pati. Sedangkan permohonan Pemohon untuk
menghadirkan Para Terdakwa tidak dikabulkan hakim tanpa alasan yang
jelas. Dalam persidangan ini, Penasehat Hukum Para Pemohon
menunjukkan bukti kaos yang berlumuran darah milik salah satu
Terdakwa sebagai bukti tindak kekerasan dari aparat saat penangkapan.
Pada permohonan praperadilan tersebut, Hakim Fx Hanung Dw,
SH, MH. dalam eksepsi menolak eksepsi Termohon untuk seluruhnya
sedangkan dalam pokok perkara menolak permohonan Pemohon untuk
seluruhnya. Mengenai kekerasan, hakim mengakui adanya luka-luka
pada tersangka dan indikasi pelanggaran HAM, tapi hal tersebut bukan
menjadi kewenangan pra peradilan.
LBH Semarang menjadi salah satu kuasa hukum Para Pemohon
dalam sidang Pra Peradilan tersebut.
10. Kriminalisasi 9 warga dalam pada kasus penyanderaan mobil PT.
Semen Gresik
Posisi Kasus:
PT Semen Gresik, tbk berencana mendirikan pabrik semen di Kawasan
Kars Pegunungan Kendeng Utara. Rencana PT Semen Gresik, tbk
“memaksa” Negara untuk turut ambil bagian. Konflik antara
masyarakat yang menolak eksploitasi kawasan kars pegunungan
kendeng dengan pemodal yang didukung oleh Negara dan segelintir
masyarakat yang mempunyai kepentingan kemudian muncul.
Keberlanjutan lingkungan dan penghidupan mengemuka sebagai alasan
28
penolakan masyarakat. Masyarakat yang menolak kemudian
mengorganisir diri dan menyusun perlawanan dalam beragam cara,
yaitu berbagai aksi di Pati, Semarang dan Jakarta, pendirian posko tolak
semen, pencabutan patok beton sebagai tanda calon tapak lokasi
pabrik, pemasangan plang bertuliskan ”tanah untuk anak cucu” hingga
audiensi dengan stakeholders. Upaya ekstralegal pun dilakukan dengan
melakukan aksi penghadangan mobil Semen Gresik, Tbk yang
melakukan survey lokasi pada tanggal 22 Januari 2009 di Desa
Kedumulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Aksi massa tersebut
diwarnai represi aparat dan berujung pada kriminalisasi Sudarto Bin
Sudiman, Gunarto Bin Wargono, Tamsi Bin Mangun Sarpin, Agus
Purwanto Bin Tolan, Mu’Alim Bin Sriyono, Sukarman Bin Kusnen,
Sutikno Bin Nasirin, Sunarto Bin Suwarjan, Muhammad Zainul Wafa.
Sudarto alias Buntung Bin Sudiman, Tamsi bin Mangun Sarpin dan
Gunarto bin Wargono kemudian diseret ke muka persidangan pada
Perkara Pidana No. 67/Pid.B/2009/PN Pati dengan tuduhan melanggar:
Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 ayat [1] KUHP Atau Pasal 335 KUHP ayat [1]
jo. Pasal 55 ayat [1] KUHP. Mereka adalah warganegara Republik
Indonesia, tiga orang petani biasa yang tergugah hatinya untuk
memperjuangkan hak atas lingkungan dengan menolak rencana
eksploitasi oleh PT Semen Gresik Tbk di Kawasan Pegunungan Kendeng
dengan bergabung dalam JM-PPK. Kehidupan mereka sebagai petani
sangat bergantung pada keberlanjutan kawasan Pegunungan Kendeng.
Dari sembilan orang yang dikriminalisasi pasca aksi 22 Januari
2009, tiga orang diantaranya didakwa Jaksa Penuntut Umum dalam
perkara Pidana No. 66/Pid.B/2009/PN Pati, dengan tuduhan melanggar
Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 ayat [1] KUHP atau Pasal 335 KUHP ayat [1]
jo. Pasal 55 ayat [1] KUHP. Enam orang lainnya didakwa Jaksa Penuntut
Umum dalam perkara Pidana No: 67/Pid.B/2009/PN Pati. Mereka
adalah Agus Purwanto Bin Tolan, Mu’Alim Bin Sriyono, Sukarman Bin
Kusnen, Sutikno Bin Nasirin, Sunarto Bin Suwarjan, Muhammad Zainul
Wafa, yang didakwaan dengan Pasal 170 ayat [1] KUHP Atau 335 KUHP
ayat [1] jo. 55 ayat [1] KUHP. Sidang kasus Pidana No: 67/Pid.B/2009/PN
29
Pati ini dilakukan maraton, setelah sidang pada kasus Pidana No.
66/Pid.B/2009/PN Pati.
Pasal yang dituduhkan pada mereka merupakan Pasal Haatzaai
Artikelen yang tidak sesuai dengan semangat nasional dan jiwa
proklamasi. Pasal ini mengandung semangat kolonial dan Law
enforcement priviligiatum sehingga Sudarto alias Buntung Bin Sudiman,
Tamsi bin Mangun Sarpin dan Gunarto bin Wargono sebagai
warganegara Indonesia yang sedang menuntut hak atas lingkungan yang
sehat harus dikriminalisasi sebagai seorang penghasut.
Persidangan perkara ini dimulai pada bulan April–Juni 2009.
Proses persidangan di Pengadilan Negeri Pati selalu ramai oleh keluarga,
masyarakat, Polisi berseragam, maupun tidak berseragam, serta kawan-
kawan pers. Kehadiran masyarakat sebagai pendukung tak hanya
bentuk solidaritas semata, lebih dari itu adalah bentuk keingintahuan
masyarakat mengenai sikap Pengadilan di Negara ini terhadap ekspresi
massa dalam penolakan rencana eksploitasi sumber daya alam di
Kawasan Kars Pegunungan Kendeng.
Majelis Hakim dalam putusannya yang diucapkan dalam sidang
yang terbuka untuk umum pada 19 Juni 2009, kemudian menjatuhkan
hukuman pidana 5 bulan kepada kesembilan orang tersebut.
Bantuan hukum yang diberikan:
LBH Semarang menjadi Penasehat Hukum 9 warga dalam kasus pidana
yang dipecah menjadi 2 perkara ini. LBH mendampingi mereka selama
proses penyidikan di Polda Jateng, dan proses pengadilan di Pengadilan
Negeri Pati.
11. Kasus Buruh PT. Trimulyo Kencana Mas (TKM)
Posisi Kasus:
PT. Trimulyo Kencana Mas (TKM) adalah sebuah perusahaan
penyamakan kulit beralamat di Jl. Raya Kaligawe Km.7 Semarang. Kasus
30
bermula ketika perusahaan TKM merumahkan 26 orang buruh dengan
status buruh tetap sejak 1 Agustus 2008 sampai dengan 31 Oktober
2008 dengan alasan penurunan order. Masa kerja buruh berkisar 4
tahun sampai dengan 10 tahun. Selama dirumahkan/menon-aktifkan,
upah buruh masih tetap dibayar oleh perusahaan. Seusai habis masa
penon-aktifan, perusahaan bukannya mempekerjakan 26 buruh namun
justru melakukan PHK dengan mengeluarkan surat No : 01/Xl/Lap/2007
tertanggal 1 Nopember 2007 yang ditujukan kepada Kepala Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang. Intinya perusahaan
melakukan PHK terhadap 26 buruh tanpa memberikan pesangon
dengan alasan perusahaan tidak mampu membayar. Buruh menolak
keputusan PHK tersebut.
Bantuan hukum yang diberikan :
Pada pertengahan 2007, LBH bersama-sama dengan Pengurus Pengurus
Serikat Pekerja (PSP) Serikat Pekerja Nasional (SPN) PT. Trimulyo
Kencana Mas sudah melakukan pendampingan dalam proses mediasi di
Dinas tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang. Mediator
menganjurkan agar TKM memberikan pesangon, penghargaan masa
kerja dan penggantian hak serta Tunjangan Hari Raya (THR) kepada 26
buruh. Atas anjuran tersebut, perusahaan tetap pada keputusannya
yaitu melakukan PHK tanpa pesangon. Sedangkan pihak buruh tidak
keberatan dengan anjuran dengan catatan perusahaan mau
membayarkan 2 kali ketentuan pesangon, penghargaan masa kerja dan
penggantian hak.
Pada April 2008, LBH Semarang mewakili 26 buruh mengajukan
Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan
Negeri Semarang. Gugatan dipecah menjadi 2, sehingga masing-masing
gugatan terdiri dari 13 buruh. Pada intinya buruh menuntut agar
dipekerjakan kembali, pembayaran uang masa tunggu dan THR.
Selama proses persidangan, perusahaan atau wakilnya tidak
pernah hadir sehingga pada Tanggal 22 Juli 2008 dan 19 Agustus 2008,
Majelis Hakim PHI memberikan putusan tanpa kehadiran Tergugat
31
(perusahaan)/Verstek. Pada intinya Majelis Hakim mengabulkan seluruh
gugatan penggugat (buruh) yaitu menyatakan PHK tidak sah,
menghukum tergugat untuk mempekerjakan buruh kembali, membayar
uang masa tunggu dan THR.
Pada 2009, LBH Semarang mengajukan permohonan eksekusi
atas putusan PHI kepada pengadilan karena perusahaan tidak mau
secara sukarela memenuhi putusan. Pada pertengahan 2009, LBH
bersama perwakilan buruh dan solidaritas dari bebrapa serikat buruh
mendatangi Ketua pengadilan untuk mendesak agar segera melakukan
eksekusi.
LBH Semarang telah mengajukan permohonan lelang terhadap
aset perusahaan berupa mesin milling drum yang sebelumnya telah
dilakukan eksekusi oleh jurusita. Sampai saat ini pengadilan belum
menetapkan pelelangan atas aset tersebut.
12. Kasus Buruh PT. Good Stewards Indonesia (GSI)
Posisi Kasus :
PT. Good Stewards Indonesia (GSI) adalah perusahaan yang bergerak di
produksi garmen (sarung tangan), beralamat di Jl. Raya Karangjati
Km.27/900 Kelurahan Ngempon, Kecamatan Bergas, Kabupaten
Semarang. Pemilik perusahaan ini adalah orang asing
berkewarganegaraan Korea. Kasus bermula ketika pada tanggal 17
Oktober 2008, empat buruh perempuan dirumahkan atau di
nonaktifkan tanpa batas waktu yang jelas. Perusahaan beralasan karena
sedang mengalami kesulitan. Masa kerja buruh berkisar 4 tahun sampai
dengan 7 tahun dengan status kontrak. Selama dirumahkan upah buruh
tidak dibayarkan oleh perusahaan. Buruh menuntut kejelasan status
kerja dan pembayaran upah.
Dalam proses bipartit dan mediasi buruh didampingi oleh Front
Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI). Dari hasil mediasi,
32
mediator pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Semarang menganjurkan agar :
a. 4 (empat) orang buruh ditetapkan sebagai buruh tetap
b. Agar selama dirumahkan upah buruh dibayarkan sebesar 50% dari
upah
c. Agar kedua belah pihak menjaga keharmonisan dalam hubungan
kerja
Bantuan hukum yang diberikan:
LBH Semarang menjadi kuasa hukum keempat buruh tersebut. Pada 2
Maret 2009, LBH menyurati pimpinan PT. GSI dengan tujuan meminta
penjelasan atas status buruh. Karena surat yang telah dikirim tidak
ditanggapi, pada pertengahan bulan Maret 2009 LBH mendatangi
perusahaan dan bertemu dengan bagian manajemen perusahaan
bernama Endah. Dalam pertemuan tersebut pihak perusahaan
menyatakan belum bisa mempekerjakan buruh tanpa alasan yang jelas.
Pada 16 April 2009, LBH mewakili buruh mengajukan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang.
Adapun tuntutannya adalah meminta PHI menetapkan PHK dan
menghukum PT. GSI membayar uang tunggu, pesangon, penghargaan
masa kerja dan penggantian hak serta Tunjangan Hari Raya. Pada 3
September 2009, Majelis Hakim memberikan putusan yaitu
mengabulkan sebagian gugatan. Diantara adalah menetapkan PHK dan
menghukum PT.GSI membayar pesangon, penghargaan masa kerja dan
penggantian hak serta uang tunggu.
Pada 14 Oktober 2009, LBH mendatangi pengadilan untuk
menanyakan perihal ada upaya hukum atau tidak dari pihak perusahaan
atas putusan. Pihak kepaniteraan saat itu menyatakan tidak ada upaya
hukum atau kasasi.
Karena sampai pertengahan Oktober 2009, perusahaan belum
memenuhi putusan PHI, pada tanggal 16 Oktober 2009 LBH bersama
para buruh mendatangi perusahaan untuk menuntut pelaksanaan
33
putusan pengadilan secara sukarela. Saat itu pemilik perusahaan
(warganegara Korea) yang menemui langsung. Pihak perusahaan dalam
pertemuan tersebut pada intinya menyatakan tidak mau membayar
apapun kepada buruh.
Pada Nopember 2009, LBH mengirimkan surat kepada pengadilan
perihal permohonan eksekusi putusan, dikarenakan PT.GSI tidak mau
secara sukarela memenuhi putusan. Pada 10 Nopember 2009, salah
satu buruh didatangi jurusita dari Pegadilan Negeri Kabupaten
Semarang dan memberitahukan relas kasasi yang diajukan oleh PT.GSI.
Akibat keganjilan tersebut, LBH pada 19 Nopember 2009 kembali
mendatangi pengadilan untuk melakukan protes dan meninta kejelasan
terkait kasasi yang diajukan oleh PT.GSI. kemudian diketahui bahwa
PT.GSI mengajukan kasasi pada tanggal 16 Oktober 2009 bertepatan
pada waktu LBH mendatangi PT.GSI untuk menuntut pelaksanaan
putusan.
24 Nopember 2009, LBH mengirimi surat kepada Ketua PHI
perihal protes dan keberatan atas diterimanya pengajuan kasasi dari
PT.GSI, karena sudah melampaui batas waktu dan juga LBH sudah
mengrimkan permohonan eksekusi. LBH menuntut agar pengadilan
tidak menolak pengajuan kasasi dan tidak mengirimkan berkas kasasi
kepada Mahkamah Agung RI serta menindaklanjuti permohonan
eksekusi.
Sampai saat ini belum ada tanggapan dari pihak pengadilan
terkait surat protes LBH.
13. Putusan Kasasi Perkara PTPN IX Nusantara Kendal
Pada 22 Mei 2000 Badan Pertanahan Nasional cq Menteri Pekerjaan
Umum RI cq Direktur Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum
Cq KAKANWIL Departemen Pekerjaan Umum Prop Jateng cq Kepala
Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Prop Dati I jateng, dan 520 (lima ratus
dua puluh) petani yang berdomisili di Desa Banyuringin, Desa Kali Putih,
34
kecamatn Singorojo Kabupaten Kendal digugat oleh PTPN IX melalui
Pengadilan Negeri Kendal dan tercatat dalam Nomor :
16/Pdt/G/2000/PN.Kdl. Pada intinya gugatan tersebut menyatakan
bahwa petani telah dianggap melakukan perbuatan melawan hukum
karena telah menggarap lahan yang oleh PTPN IX lahan tersebut diklaim
sebagai lahan miliknya. Pada 14 Januari 2002, Pengadilan Negeri Kendal
memenangkan Penggugat PTPN IX dan putusan tersebut dikuatkan oleh
putusan Pengadilan Tinggi Jawa tengah Nomor : 37/Pdt/2003/PT.Smg
pada 26 Mei 2003. LBH Semarang sebagai kuasa hukum Tergugat
mengajukan Kasasi ke Mahmakam Agung Republik Indonesia. Sejak 7
April 2006 perkara tersebut telah diputus oleh Mahkamah Agung
Republik Indonesia dan dalam situs resmi Mahkamah Agung Pemohon
Kasasi yaitu Bakir dkk (para petani) dinyatakan KABUL. Tetapi sampai
saat ini, salinan putusan tersebut tidak pernah disampaikan kepada para
pemohon kasasi.
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
Dalam kasus ini LBH Semarang berperan sebagai kuasa hukum petani
dari pengadilan tingkat pertama samapai ketingkat Kasasi. Pada tanggal
16 September 2009 LBH Semarang telah melayangkan surat resmi
kepada Ketua Mahkamah Agung guna meminta salinan putusan MA No.
Reg 1743K/PDT/2004 tapi oleh Ketua Mahkamah Agung surat tersebut
dibalas yang pada pokoknya menyatakan bahwa surat tersebut dalam
tahap revisi atau perbaikan.
14. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum: Kasus Falun Gong
Posisi Kasus:
Kasus Falun merupakan kasus yang berawal dari hak sipil dan politik.
Pada 7 April 2007 berencana menyampaikan pendapat di Kota
Semarang terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap para
praktisi FALUN GONG yang terjadi RRC.
Sesuai dengan mekanisme undang-undang no.9 tahun 1998 tentang
35
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum, para Praktisi
yang tergabung dalam Falun Gong menyampaikan pemberitahuan akan
melakukan pawai yang merupakan bagian dari penyampaian pendapat
dimuka umum pada tanggal 4 April 2007. Dan pada saat itu telah
diberikan STTP (Surat Tanda Terima Pemberitahuan) oleh Polres
Semarang Timur bagian Staf Administrasi.
Namun pada pelaksanaan pawai penyampaian pendapat dimuka
umum yang pada waktu itu berlokasi di Simpang Lima Semarang,
Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang bersama Polres Semarang
Timur datang ke lokasi membubarkan pawai penyampaian pendapat
dimuka dan menangkap para praktisi FALUN GONG. Bapak Hok
Soebagio selaku koordinator pawai kemudian diperiksa secara intensif,
yang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam pasal 216 KUHP jo
pasal 15 Undang-undang No.9 tahun 1998 dan pasal 510 KUHP.
Namun sampai tahun 2008 perkara tersebut tak segera
dilimpahkan ke Kejaksaan. Karena hak-hak Hok Soebagio atas status
hukumnya yang tidak jelas dan telah terjadinya pelanggaran hak
konstitusionalnya, ia melakukan upaya hukum perdata berupa Gugatan
Perbuatan Melawan Hukum pasal 1365 KUH Perdata kepada Kepala
Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang atas tidakkannya yang telah
melanggar ketentuan 13 ayat 1, 2, 3 Undang-undang No.9 tahun 1998.
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
LBH Semarang menjadi kuasa hukum Hok Soebagio untuk melakukan
upaya hukum perdata 1365 KUH Perdata kepada Kepala Kepolisian
Wilayah Kota Besar Semarang. LBH Semarang menggugat Kapolwiltabes
Semarang atas tindakannya yang telah melakukan perbuatan melawan
hukum atas Undang-undang No.9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaian Pendapat Dimuka Umum.
Gugatan resmi disampaikan ke Pengadilan Negeri Semarang pada
20 Oktober 2008 dengan Nomor Perkara 246/Pdt.G/2008/PN.Smg. Pada
2009 Pengadilan Negeri Semarang memutus perkara nomor
246/Pdt.G/2008/PN.Smg tersebut dengan putusan menerima Eksepsi
36
Tergugat, dan Gugatan Tidak Dapat Diterima karena error in persona,
dimana Penggugat Tidak Mempunyai Kedudukan dan Kepentingan
Hukum untuk melakukan Gugatan.
Upaya Banding atas Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor
Perkara 246/Pdt.G/2008/PN.Smg
LBH Semarang mengajukan upaya hukum banding atas putusan perkara
nomor 246/Pdt.G/2008/PN.Smg ke Pangadilan Tinggi Jawa Tengah pada
bulan November 2009.
37
BAB IV
BANTUAN HUKUM MELALUI JALUR NON LITIGASI
1. Kasus Pencemaran Lingkungan di Tugu, Semarang
Lima perusahaan di kawasan Industri Tugu, Kota Semarang yang
mencemari lingkungan diduga beroperasi tanpa dilengkapi oleh AMDAL
atau UKL dan UPL. AMDAL adalah “kajian mengenai dampak besar dan
penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan dalam proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan” [pasal 1 angka [21]
UU Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup
(UUPLH)]. Sedangkan dalam rangka menunjang pembangunan yang
berwawasan lingkungan, maka bagi rencana usaha yang tidak ada
dampak pentingnya atau secara teknologi sudah dapat dikelola dampak
pentingnya diwajibkan membuat UKL dan UPL. Baik AMDAL maupun
UKL dan UPL sendiri bukanlah ijin untuk melakukan usaha, akan tetapi
merupakan kajian lingkungan yang merupakan syarat untuk
mendapatkan ijin, seperti Ijin Mendirikan Bangunan, Ijin Usaha Industri,
Ijin Penambangan dan lain sebagainya.
Dalam Penegakan Hukum Lingkungan [Environmental
Enforcement] dapat dilakukan melalui instrumen Penegakan Hukum
Administratif, Penegakan Hukum Pidana, dan Penegakan Hukum
Perdata. Dalam penegakan hukum lingkungan administratif, UUPLH
memberi kewenangan antara lain izin dumping [Menteri Lingkungan
Hidup], Pengawasan penataan [Menteri Lingkungan Hidup/Badan
Lingkungan Hidup], Paksaan Pemerintahan [Gubernur/Bupati/Walikota],
Pencabutan izin usaha [Instansi penerbit izin], Audit Lingkungan Wajib
38
[Menteri Lingkungan Hidup]. Dalam penegakan hukum pidana UUPLH
memberi kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil [PPNS]
Lingkungan Hidup [environmental Investigator] dalam jenis-jenis tindak
Pidana Generic Crimes [delik material], Specific Crimes [delik formal],
Corporate Criminal Liability. Sedangkan penegakan hukum lingkungan
perdata dalam UUPLH terdiri dari di luar pengadilan yang bersifat
Optional/sukarela, non pidana, tidak terbatas pada ganti kerugian, jasa
pihak ketiga dan lembaga penyedia jasa dan di Pengadilan [Class
Actions, Strict Liability, NGO’s standing, hak standing Badan Lingkungan
Hidup]. Melihat landasan yuridis tersebut Pemerintah Kota Semarang
[setelah Badan Lingkungan Hidup menemukan adanya pencemaran dan
pelanggaran admininstratif] seharusnya mendayagunakan hukum
lingkungan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan
kerusakan lingkungan.
Bantuan Hukum Yang Dilakukan LBH Semarang:
1. Melakukan investigasi dan pengorganisasian, serta memberikan
pendidikan hukum kritis di komunitas, materi pendidikan hukum
kritis adalah terkait hukum lingkungan khususnya terkait dengan
rezim perijinan dan AMDAL
2. Mengadakan pertemuan antara warga dan pemilik perusahaan.
Dalam pertemuan yang digelar di SD Tapak, perwakilan perusahaan
berjanji tidak menambah stok batubara dan akan pindah dari lokasi.
Kemudian dibuat kesepakatan tertulis di atas materai
3. Mengadakan audiensi pada 11 September 2009 antara warga
dengan BLH. BLH kemudian menyatakan:
- BLH hanya memiliki 1 orang PPNS
- BLH sudah mengirim surat peringatan pertama.
- Satpol PP sudah mensegel lokasi
- Dari pertemuan terdahulu antara perusahaan dan BLH serta
39
Satpol PP, diperoleh kesepakatan bahwa tidak akan ada
pengiriman batubara lagi, namun jika mengeluarkan batubara
diperbolehkan
- BLH berharap, laporan warga terkait aktivitas pembongkaran
batubara yang terjadi semalam dilaporkan secara tertulis
- BLH akan mengirim surat peringatan kedua dan ditembuskan ke
Polda Jateng
LBH Semarang kemudian meminta BLH Kota Semarang
menggunakan kewenangannya dalam menegakkan hukum pidana
lingkungan bagi perusahaan yang oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
[PPNS] Lingkungan Hidup [environmental Investigator] - Badan
Lingkungan Hidup Kota Semarang, telah terbukti melakukan
pencemaran. Namun BLH beralasan tidak memiliki kewenangan
untuk itu
2. Kasus Penganiayaan dan Penolakan Laporan Polisi
S, berkonsultasi tentang kasus kecelakaan lalu lintas yang dialami
anaknya. Anaknya yang mengendarai sepeda motor roda dua,
bertabrakan dengan pengendara sepeda motor yang lain. Anaknya lalu
dipukuli kepalanya dengan menggunakan helm, oleh orang yang
bertabrakan dengannya. Anaknya tidak diberi ganti rugi biaya
pengobatan, sebaliknya pengendara motor tersebut malah minta ganti
rugi kerusakan motornya.
Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:
LBH Semarang memberikan konsultasi atas kasus kecelakaan lalu lintas
tersebut, dan mendampingi S melaporkan kasus penganiayaan ke
Polwiltabes Semarang. Namun polisi menolak laporan penganiayaan
40
tersebut, dengan alasan kasus kecelakaan harus dilaporkan dahulu, baru
melaporkan kasus penganiayaan. Untuk itu, mereka meminta S
melaporkan kasus kecelakaan lalu lintas ke Polres Semarang Timur.
Sebelum dilaporkan ke Polres Semarang Timur, kasus ini sudah selesai
karena pengendara motor mau memberikan ganti rugi setelah
mengetahui S akan melaporkan kasus penganiayaannya ke polisi.
3. Kasus Penipuan dan Kekerasan Terhadap perempuan
N mengadukan pelanggaran kode etik dan tindak pidana yang dilakukan
oleh anggota Kepolisian Kabupaten Grobogan.
N menjalin hubungan dengan Sw, seorang polisi di Grobogan.
Kepada N, Sw mengaku masih bujangan. Setelah berpacaran, N baru
mengetahu bahwa Sw sudah beristri. N kemudian hamil. Setelah
melahirkan, Sw meninggalkan N. Padahal sebelumnya Sw berjanji tidak
akan menelantarkan anaknya dan sanggup memberikan nafkah. Sw
kemudian kembali menjalin hubungan dengan perempuan lain.
Bahwa karena kondisi tersebut, akhirnya Nining Kustyaningsih
melaporkan perbuatan Suwarjo kepada KABID PROPAM POLDA Jateng,
dengan tanda bukti lapor No.Pol:BPL/85/IX/2007/Yanduan. Tetapi
laporan ini tidak ditindaklanjuti.
Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:
LBH Semarang mengirim surat kepada Kepala Kepolisan Republik
Indonesia; Komisi Kepolisan Nasional dan Kepala Kepolisan Daerah Jawa
Tengah. Akhirnya Kabid Propam Polda Jateng memberikan tanggapan
dan menjatuhkan hukuman 3 minggu kepada Sw.
41
4. Kasus PT. Aquafarm Nusantara
Posisi Kasus :
PT. Aquafarm Nusantara adalah perusahaan pengemasan ikan dengan
orientasi pasar eksport, beralamat di Jl. Tambak Aji Timur I No.2
Ngaliyan Semarang. Pemilik perusahaan adalahorang asing
berkewarganegaraan Swiss. Kasus bermula ketika sekitar 240 buruh
(tergabung dalam Serikat Buruh Aquafarm Nusantara/SBAN) dari
sejumlah 350 buruh yang ada di perusahaan melakukan mogok kerja
menuntut diantaranya upah lembur, peningkatan status kerja dari
kontrak menjadi tetap, uang makan, tunjangan transpor dll. Mogok
dilakukan mulai tanggal 27 Mei 2009 dengan melakukan aksi di depan
perusahaan. Masa kerja buruh berkisar 1 tahun sampai dengan 13
tahun.
Pihak perusahaan tetap tidak mau memenuhi tuntutan para
buruh, namun justru mencoba melakukan intimidasi secara halus
dengan cara bekerjasama dengan pihak kepolisian yang selalu
mengancam akan melakukan tindakan represif ketika buruh melakukan
aksi di depan perusahaan. Selain itu juga pihak perusahaan mendatangi
buruh satu-persatu secara personal agar mau bekerja kembali dan
menghentikan mogok kerja.
Perusahaan akhirnya mem-PHK 98 buruh dengan alasan mogok
kerja yang dilakukan buruh tidak sah.
Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:
LBH bersama Serikat Pekerja (SP) Kahutindo melakukan pendampingan
buruh saat melakukan aksi mogok kerja di perusahaan. Disela-sela
pendampingan tersebut, LBH juga memberikan pendidikan secara
informal kepada beberapa pengurus SBAN.
42
LBH melakukan pendampingan pada proses bipartit yang
dilakukan di Disnakertrans Kota Semarang tanggal 1 Juni 2009. Pada
perundingan tersebut, pihak perusahaan dengan didampingi 2 orang
kuasa hukum menyatakan menolak seluruh tuntutan-tuntutan buruh.
Sedangkan buruh menyatakan akan tetap melakukan mogok kerja
sampai tuntutan dipenuhi.
8 Juni 2009, dilakukan mediasi di Disnakertrans. Pihak perusahaan
pada perundingan tersebut hanya diwakilkan oleh 2 orang kuasa
hukumnya. Hasil dari perundingan tersebut, pihak perusahaan sanggup
melaksanakan upah lembur sedangkan tuntutan lain masih akan
dipertimbangkan. Namun pada 9 Juni 2009, perusahaan justru
mengeluarkan Surat PHK terhadap 98 buruh.
15 Juni 2009, LBH mendampingi buruh melakukan aksi dan
audiensi di Komisi D DPRD Kota Semarang. Hasil audiensi adalah Komisi
D menyarankan agar pihak perusahaan melaksanakan kesepakatan 8
Juni 2009 dan tidak melakukan PHK. 17 Juni 2009 perusahaan
mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Komisi D DPRD yang intinya
perusahaan tetap pada keputusannya yaitu mem-PHK 98 buruh.
LBH beberapa kali melakukan negosiasi dengan pihak kuasa
hukum perusahaan, dengan tuntutan agar pihak perusahaan
mempekerjakan dan mau memenuhi tuntutan buruh. Namun dari pihak
perusahaan menyatakan akan mempekerjakan buruh kecuali 30 buruh
yang dianggap sebagai provokator dan tidak akan memenuhi tuntutan-
tuntutan buruh yang lain.
Dari sekitar 240 buruh yang melakukan mogok kerja, minoritas
kembali masuk kerja dengan status kontrak, sebagian lagi tidak
melanjutkan perjuangan (khususnya buruh kontrak), sehingga tersisa
108 buruh yang masih melakukan penuntutan.
Buruh yang tersisa mengajukan PHK dengan tuntutan pesangon 2
kali ketentuan per-undang-undangan, penghargaan masa kerja,
43
penggantian hak, uang tunggu dan THR dengan jumlah nominal sekitar
Rp.2,7 milyar. Pada perkembangannya terdapat sebagian buruh yang
menerima PHK dengan pesangon yang ditawarkan oleh perusahaan
sebesar Rp. 5 juta sampai dengan Rp.15 juta.
Saat ini masih sekitar 36 buruh yang menolak jumlah nominal
pesangon dan menuntut pesangon sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yaitu berkisar Rp 30 juta/buruh.
5. Kasus Buruh Koperasi Karyawan Citra Niaga (KKCN)
Posisi Kasus :
Koperasi Karyawan Citra Niaga (KKCN) adalah sebuah koperasi yang
berdiri dalam Bank CIMB Niaga, salah satu bank Malaysia. Kantor
cabang KKCN di Jawa Tengah beralamat di Jl. Pemuda 21B Semarang.
KKCN selain berfugsi sebagai koperasi simpan pinjam, usaha sewa-
menyewa juga melakukan praktek outsourcing.
6 (enam) buruh KKCN bagian satpam pada Bank CIMB Niaga,
menuntut kenaikan upah karena selama kerja ada kesenjangan upah
antar buruh. Selain itu buruh juga menuntut kekurangan pembayaran
iuran Jamsosotek (KKCN dalam membayarkan iuran Jamsostek
menggunakan patokan upah yang tidak sebanarnya/pemalsuan
keterangan besaran upah), serta menuntut pembayaran upah kerja
lembur. Masa kerja buruh berkisar 4 tahun sampai dengan 15 tahun.
Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:
Buruh telah melakukan proses bipartit dan mediasi ketika memberi
kuasa kepada LBH pada 14 Agustus 2009. Sebelumnya buruh didampingi
oleh SPSI.
Mediator Disnakertras Kota Semarang mengajurkan agar
perusahaan memberikan pesangon kepada buruh. Anjuran ini ditolak
44
oleh buruh karena buruh tidak pernah meminta PHK. Buruh justeru
menuduh pihak SPSI yang mendampingi “bermain di belakang” dengan
pihak KKCN, karena selama proses mediasi buruh tidak dilibatkan secara
penuh.
Pada 19 Agustus 2009, LBH mengrimkan somasi kepada pihak
KKCN untuk memenuhi tuntutan yaitu pembayaran upah lembur,
pembayaran kekurangan iuran Jamsostek, dan penyesuaian upah.
Pada 25 Agustus 2009, LBH mendampingi buruh ke Polwiltabes
untuk membuat laporan tentang dugaan tindak pidana pelanggaran UU
No.3 tahun 1992 tentang Jamsostek serta penggelapan upah lembur.
Pada 26 Agustus 2009, LBH bersama buruh mengadakan
pertemuan dengan pihak KKCN di Disnakertrans Kota Semarang.
Pertemuan ini merupakan undangan dari pihak KKCN. Dalam pertemuan
tersebut pihak KKCN bersama kuasa hukumnya bermaksud
menyampaikan keputusan PHK tanpa alasan yang jelas. Secara serentak
buruh menolak keputusan PHK tersebut.
Sejak 27 Agustus 2009, 6 (enam) buruh tidak diperbolehkan
masuk kerja oleh pihak KKCN dengan alasan sudah di PHK. 7 Oktober
2009, 3 (tiga) dari 6 (enam) buruh mencabut kuasa dari LBH dengan
alasan desakan dari keluarga untuk menerima PHK dan pesangon dari
pihak KKCN.
LBH masih menggali informasi terkait status badan hukum dari
KKCN untuk meminta pertanggungjawaban Bank CIMB Niaga, jika
kemudian hari KKCN bermasalah dengan status badan hukumnya.
6. Kasus Buruh PT. Berkah Surya Abadi Perkasa (BSAP)
Posisi Kasus :
Rohmad adalah pekerja di PLN melalui PT.Berkah Surya Abadi Perkasa
(perusahaan outsourching), Rohmad telah dituduh oleh PT.BSAP telah
45
melakukan tindakan yang melanggar peraturan perusahaan yaitu
membujuk teman sekerja untuk mencari pelanggan baru tanpa
sepengetahuan perusahaan, sehingga Rohmad di PHK.
Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:
Bantuan hukum LBH Semarang adalah mempersiapkan dan membuat
berkas persidangan dan konsultasi.
Perkembangan Terakhir :
Buruh mengajukan kasasi karena gugatan ditolak oleh majelis hakim.
7. Kasus Sengketa Tanah Kampung Kepatihan
Posisi Kasus:
Warga Kampung Kepatihan Semarang terancam terusir dari
kampungnya, karena ahli waris Tasripin yang memiliki tanah Hak Milik
tersebut hendak menjual tanah yang ditempati warga kepada pihak lain.
Status warga menempati tanah itu adalah sewa tanah. Warga bersedia
membeli tanah tersebut. Februari 2007, muncul tawaran dari ahli waris
(Marjoso) kepada warga untuk membeli saja tanah yang sekarang
ditempati. Awalnya ada negosiasi antara warga dengan ahli waris
Marjoso namun dalam perjalanannya tidak berhasil meski warga telah
didampingi seorang penasehat hukum, karena dari pihak ahli waris tidak
sepakat mengenai harga beli tanah. Permintaan dari ahli waris adalah
pertama tanah itu dibeli dengan harga sesuai dengan Nilai Jual Obyek
Pajak (NJOP) serta warga membeli harus melakukan pembelian secara
utuh/ keseluruhan sebesar yang tercantum dalam peta sertifikat tanah
(luas + 2.049 M2). Tawaran tersebut tidak disepakati warga dengan
alasan bahwa tanah secara keseluruhan sekarang tidak lagi dalam
46
bentuk tanah lapang melainkan sudah ada bangunan-bangunan
diatasnya yang tidak hanya berupa rumah warga melainkan juga fasilitas
umum seperti jalan, dan tempat ibadah. Sehingga permintaan warga
adalah dibeli sesuai dengan luas tanah yang dipakai untuk pendirian
rumah, sementara untuk fasilitas-fasilitas umum dikurangi atau
dibebaskan dari perjanjian jual-beli. Selain itu, permintaan warga juga
tidak mau membeli tanah tersebut dengan harga sama karena
alasannya jelas seharusnya berbeda harga jual tanah yang berada di
depan atau muka dengan yang berada di dalam atau belakang serta
harganya juga tidak bisa disamakan dengan harga NJOP karena warga
sudah lama tinggal diatas tanah tersebut.
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
LBH memfasilitasi penyelesaian kasus secara musyawarah atau
negosiasi sejak 2007 dengan mempertemukan ahli waris dengan warga.
Setelah melalui proses panjang negosiasi, akhirnya warga dan ahli waris
melakukan transaksi jual beli dengan jangka waktu pelunasan adalah
akhir Oktober 2009.
8. Advokasi Kasus Petugas Kebersihan Pasar Johar
Posisi Kasus:
Petugas kebersihan pasar Johar yang diwakili oleh N, mengadukan
kasusnya kepada LBH Semarang terkait tidak dipenuhinya hak-hak
petugas kebersihan sesuai dengan perjanjian kerja. Selain itu, ada
kekhawatiran pedagang atas terbitnya surat perjanjian kontrak baru
dari pihak pengelola kebersihan pasar yaitu koperasi, untuk melepas
petugas kebersihan yang telah bekerja lama, jika dievaluasi dan
dinyatakan tidak diperpanjang kontraknya.
47
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
LBH Semarang mengadukan permasalahan ini kepada Dinas Pasar Kota
Semarang dan memediasikan sengketa antara Petugas Kebersihan dan
Pihak Koperasi Pengelola Kebersihan Pasar Johar.
20 Maret 2009 Diadakan pertemuan antara perwakilan Petugas
Kebersihan Pasar Johar, LBH Semarang dan Perwakilan Dinas Pasar di
Kantor Dinas Pasar membahas permasalahan ini. Hasil pertemuan
tersebut adalah : Ada evaluasi yang menyeluruh terkait pengelolaan
kebersihan pasar Johar
24 Mei 2009, diadakan pertemuan antara Perwakilan Pengelola
Kebersihan, Petugas Kebersihan, LBH Semarang dan Dinas Pasar. Dalam
pertemuan tersebut dicapai kesepakatan:
� Kekhawatiran petugas kebersihan bahwa akan ada pemutusan
hubungan kerja karena kontrak baru habis tidak perlu terjadi. Pihak
Pengelola berjanji kontrak baru hanya untuk mengatur petugas.
Disepakati pertemuan lanjutan untuk membahas lebih teknis solusi
penataan petugas.
� Hak-hak petugas kebersihan Pasar Johar, seperti THR, dsb kedepan
akan berusaha dipenuhi oleh Pengelola.
9. Advokasi Kasus Rencana Penggusuran PKL Jl. Pemuda
Posisi Kasus:
Larangan berjualan terhadap PKL di Jalan-jalan Protokol termasuk Jalan
Pemuda marak dilakukan oleh pemerintah Kota Semarang. Jalan
Pemuda sebagai salah satu jalan protokol akan diberlakukan kebijakan-
kebijakan yang telah dirancang oleh pemerintah kota Semarang seperti
Kanan Kiri Jalan Protokol atau yang sering disebut Kakikol. Akibat
48
kebijakan tersebut, mulai gencar sosialisasi dan pelarangan-pelarangan,
bahkan ada peringatan-peringatan yang ditambah dengan ancaman
penggusuran terutama dari Satpol PP kepada PKL. Melihat kondisi
tersebut, PKL khususnya di Jalan Pemuda merasa terdesak dan
terancam sehingga melaporkan rencana pemerintah kota Semarang
tersebut ke LBH Semarang.
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
LBH Semarang dan PKL Jalan Pemuda melakukan pertemuan dengan
para seluruh PKL Jalan Pemuda untuk mengetahui kondisi terkini dan
menentukan langkah-langkah advokasi. Selain itu, menggunakan jalur-
jalur negosiasi dengan pemerintah kota Semarang dengan melakukan
audiensi. 13 Mei 2009, LBH Semarang bersama para PKL dilakukan
pertemuan dengan wakil Walikota. Hasil dari pertemuan tersebut,
akhirnya PKL masih diperbolehkan untuk berjualan, namun harus tetap
menjaga kemanan dan ketertiban. Wakil Walikota juga meminta data
PKL agar mudah untuk berkoordinasi.
10. Advokasi Sengketa Parkir
Posisi Kasus:
Kasus ini awalnya bermula dari ketidakharmonisan antara salah seorang
warga Jl. Beringin dengan Juru Parkir Rumah Makan Bringin karena
dipicu aktivitas parkir Rumah Makan Bringin yang dianggap
mengganggu. Konflik ini berlangsung terus menerus dan melibatkan
tidak hanya pihak yang bersengketa namun juga aparat Polri (Babinsa)
dan TNI. Terlebih lagi dua orang tukang parkir, pernah diinterogasi polisi
dan dimintai keterangan di Polsek Semarang Tengah karena laporan
salah satu warga bernama An, yang merasa keamanannya terganggu.
Selain itu, muncul pula keterlibatan oknum TNI yang mengintimidasi
49
para tukang parkir dengan mengatakan bahwa akan ada penggantian
juru parkir di Rumah Makan tersebut karena ada warga yang tidak
menghendaki keberadaan mereka disana. Karena merasa tertekan dan
terancam kemudian tukang parkir yang diwakili oleh B, melaporkan
kejadian tersebut ke LBH dan meminta pendampingan.
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
LBH melaporkan oknum Polisi dan TNI yang telah berlaku tidak
profesional ke Propam Polda, Denpom atau Polisi Militer. Di Propam
Polda, surat pengaduan LBH Semarang hanya diterima namun tindak
lanjut laporan tidak diketahui. Ketika LBH mengofirmasi, jawaban yang
mereka berikan adalah laporan sedang diproses. Sementara, hasil yang
cukup bagus dari Denpom atau Polisi Militer. Komandan Denpom
memanggil dua oknum TNI yang ikut campur dalam kasus parkir itu. Lalu
ia mempertemukan tukang parkir dan oknum TNI tersebut secara
tertutup dan masing-masing dimintai keterangan. Komandan Denpom
kemudian menegur dan meminta oknum TNI untuk tidak ikut campur
lagi. Sementara itu oknum TNI yang ikut campur kemudian meminta
maaf dan meminta untuk persoalan ini diselesaikan sampai di Denpom
atau Polisi Militer saja.
Setelah laporan tersebut, An, yang merasa terganggu dengan
adanya parkir, mengadakan pertemuan untuk membahas penyelesaian
masalah ini. Dalam pertemuan tersebut hadir pemilik Rumah Makan
Bringin, dua orang tukang parkir tersebut, dan polisi Babinsa dicapai
kesepakatan bahwa parkir tetap diperbolehkan, namun untuk
pengaturannya dilakukan satu arah saja agar tidak semrawut.
11. Advokasi Kasus Pasar Kanjengan
Posisi Kasus:
Sejarah mengenai Pasar Kanjengan dimulai sejak tahun 1973. Awalnya
50
pihak pemerintah kota Semarang yang diwakili oleh Walikota
melakukan Perjanjian dengan Sartono Sutandi selaku pimpinan PT.
Pagar Gunung Kencana untuk menyerahkan tanah seluas 1500 m²
dalam bentuk Hak Guna Bangunan. Dalam perjanjian No.
Sek.2c/3/16/Um/74 tertanggal 11 Juni 1974 tersebut peruntukan Hak
Guna Bangunan adalah untuk Rumah dan Toko. Adapun jangka waktu
yang ditetapkan adalah 30 tahun, dimana setelah waktu tersebut habis
pihak pemegang HGB wajib mengmbalikan tanah tersebut kepada
Pemerintah Kota Semarang sebagai Pemegang Hak sebelumnya. Sejak
perjanjian dilakukan sampai berakhirnya perjanjian, seharusnya PT. PGK
melaksanakan pengembalian tersebut pada tahun 2006. Mengingat
kondisi dan situasi yang tidak memungkinkan, kewajiban tersebut baru
akan dilaksanakan pada tahun 2009. Rencana pembongkaran bangunan
dengan segera akan dilaksanakan sejak munculnya surat Nomor
593/1603 tertanggal 4 Mei 2009 perihal Penyerahan Hak atas Tanah
milik Pemerintah Kota Semarang dari Walikota yang mendasarkan pada
Surat perjanjian No. Sek 2c/3/16/Um/74 tanggal 11 Juli 1974 jo Surat
Perjanjian Tambahan No. Sek. 2c/17/Um/74 tanggal 11 Juli 1974 dan
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 17 Juli 1976 No.
SK.231/HGB/DA/1976. Dengan surat tersebut PT. PGK memberitahukan
hak sewa para pedagang telah selesai sejak tanggal 25 oktober 2006 dan
tidak diperpanjang lagi. Sehubungan dengan hal tersebut pulalah PT.
PGK meminta pedagang mengosongkan bangunan Kanjengan selambat-
lambatnya tanggal 5 Juni 2009 karena pada tanggal 15 juni 2009 akan
dilakukan pembongkaran blok C, dan D. Permasalahan kemudian
muncul karena beberapa hal ; Pertama, Status tanah tersebut ternyata
tidak hanya HGB melainkan ada yang mempunyai dengan status Hak
Milik. Kedua, Diatas tanah tersebut berdiri bangunan yang kemudian
dijadikan tempat berjualan Pedagang Pasar Kanjengan.
51
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
LBH Semarang melakukan analisis, membuat memorandum hukum dan
mensosialisasikan ke pedagang Pasar Kanjengan. Setelah semua
pedagang Pasar Kanjengan mengetahui posisi kasusnya, LBH Semarang
bersama pedagang melakukan negosiasi dan lobby ke Pemerintah Kota
Semarang.
Hasil negosiasi kasus ini tidak memuaskan. Hasil audiensi antara
pedagang dan Pemerintah Kota Semarang adalah membuat
kesepakatan bahwa pedagang mengakui tanah yang saat ini ditempati
adalah milik Pemkot. Namun pedagang juga diberikan kesempatan
kalau memang bangunan harus dibongkar dan dikembalikan kepada PT.
Pagar Gunung Kencana, jaminan nasib pedagang harus ada.
12. Advokasi Pasien Rumah Sakit NU Demak
Posisi Kasus:
Permasalahan ini berawal dari pengaduan Sl, atas kebijakan RS NU
Demak yang tidak memperbolehkan anaknya untuk pulang karena
belum membayar lunas biaya Rumah Sakitnya. Pihak keluarga pasien
sangat ingin agar pasien bisa pulang dan diobati di rumah karena
ketidakmampuan mereka membayar biaya rumah sakit.
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
LBH Semarang melakukan negosiasi dengan pihak Rumah Sakit NU
Demak. Kasus ini telah selesai, upaya yang dilakukan adalah
bernegosiasi dengan RS NU agar pasien dapat pulang, sementara untuk
pelunasan pembayaran biaya rumah sakit akan dilakukan bertahap
sampai dengan bulan Oktober 2009. Kedua belah pihak kemudian
menandatangani perjanjian kesepakatan.
52
13. Kasus Sengketa Pelayanan Publik
Posisi Kasus:
Permasalahan ini berawal dari pengaduan Rs, atas ditolaknya
permohonan keterangan waris dari Kelurahan Kauman, Kecamatan
Semarang Tengah, Kota Semarang. Lurah menolak permohonan ini
karena ia khawatir ada ahli waris lain yang nanti akan
mempermasalahkan surat keterangan tersebut.
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
Atas laporan tersebut LBH Semarang mengirim surat atas pelayanan
kelurahan. Kasus ini selesai, setelah pihak kelurahan bersedia
mengeluarkan surat keterangan waris karena alasan-alasan yang
diberikan LBH Semarang dalam surat tersebut.
14. Kasus Intimidasi dan Perbuatan Tidak Menyenangkan Kasatreskrim
Polres Kendal kepada PBH Semarang
Posisi Kasus:
Pada Jumat, 5 Desember 2009, salah seorang advokat LBH Semarang
mendapat intimidasi dan perbuatan tidak menyenangkan yang
dilakukan Kasatreskrim Polres Kendal. Ketika itu, Muhnur sedang
mendampingi para petani yang diperiksa Polres Kendal sehubungan
laporan pidana PT Karyadeka Alam Lestari. Kasatreskrim meminta
Muhnur untuk datang ke ruangannya. Karena Muhnur menolak, ia
mendatangi Muhnur ketika sedang berada di ruangan penyidik lain.
Penyidik lain yang berada diruangan itu kemudian keluar dan
Kasatreskrim menutup pintu. Setelah ditutup pintunya maka perilaku
kasar Kasatreskrim dimulai, perilaku kasar tersebut diantaranya sebagai
berikut :
53
1. Kasat bicara dengan nada tinggi dengan tangan menunjuk-nunjuk
muka PBH (Muhnur);
2. Kasat mengatakan bahwa PBH adalah “Pengacara Brengsek, Cari
gara-gara, tolol” dll...
3. Kasat mengatakan bahwa PBH adalah Pengacara yang tidak
bersahabat dengan Penyidik
Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:
LBH Semarang melaporkan perbuatan Kasatreskrim ini ke Polri, Komisi
Kepolisian Nasional, Komisi Ombudsman, dan Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia. LBH juga mendatangi Kapolres Kendal untuk
memprotes perlakuan Kasatreskrim kepada Pengabdi Bantuan Hukum
LBH Semarang. Kapolres menyatakan secara pribadi minta maaf atas
perbuatan Kasatreskrim. Sedangkan Kompolnas, KON, dan YLBHI
mengirim surat kepada Kapolres Kendal atas laporan LBH Semarang.
15. Kasus Penangkapan Pengemis Anak oleh Satpol PP
Yt, ditangkap Satpol PP karena sedang meminta-minta di jalan sekitar
kantor Perusahaan Lisrik Negara (PLN). Ayah Yt meminta bantuan
hukum LBH Semarang supaya Yt dilepaskan.
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
LBH Semarang menyelesaikan kasus ini dengan melobby dan melakukan
negosiasi dengan Satpol PP. Sore hari, pada hari yang sama, Yt
dilepaskan Satpol PP.
54
16. Kasus Pernyataan Bibit Waluyo
Dalam rencana eksploitasi kawasan Pegunungan Kendeng Utara di
Kabupaten Pati oleh PT Semen Gresik Tbk, aparat negara sama sekali
tidak menunjukkan sikap kenegarawanan. Pernyataan mereka di media
cenderung intimidatif. Bupati Pati berulangkali mengeluarkan
pernyataan: “aksi-aksi penolakan ditumpangi oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab dan bukan orang asli Pati”. Tidak hanya itu,
Tasiman juga mengancam dengan istilah ”Jangan membangunkan
macan tidur!” 1. Ketua DPRD Pati juga menyatakan: “semua fraksi di
DPRD Pati mendukung rencana pembangunan pabrik semen dan
meminta masyarakat supaya tidak melakukan penolakan”.
Pun demikian dengan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo yang
identik dengan slogan “Bali Ndeso Mbangun Deso”. Seperti yang dilansir
di Harian Kedaulatan Rakyat pada 3 Juni 2009, Gubernur mengeluarkan
statement: “Gerakan penolakan semen adalah provokasi Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM)” 2 Bibit Waluyo semakin tidak rasional
dengan mengeluarkan pernyataan di harian Jawa Pos dan Suara
Merdeka pada 25 Juli 2009, menanggapi rencana hengkangnya PT
Semen Gresik, Tbk dari Kabupaten Pati. Hengkangnya PT Semen Gresik,
Tbk menurut Bibit Waluyo adalah akibat dari ulah LSM. “kalau begitu
namanya LSM edan, LSM sontoloyo” 3 katanya.
Masih terkait permasalahan tersebut, Bibit Waluyo dalam waktu
dekat menyatakan tidak akan datang ke Pati sebagai bentuk
kekecewaan pada masyarakat yang menolak. Bahkan ia enggan
menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul di Pati. “Kalau disana
kekurangan pupuk, mengeluh saja ke LSM, jangan ke saya, kalau
1 Harian Kompas, 1 Agustus 2008 2 Harian Kedaulatan Rakyat, 3 Juni 2009 3 Harian Radar Semarang, 25 Juni 2009
55
gabahnya kurang minta saja ke LSM” 4
Respon dan tindakan LBH Semarang:
Pernyataan Bibit mendapat perlawanan dari Jaringan Lembaga
Swadaya Masyarakat di Jawa Tengah termasuk LBH Semarang. Dalam
UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat
pengakuan peran serta masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam
pengelolaan lingkungan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) “Setiap
orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”.
Mengenai istilah “orang”, sesuai dengan Pasal 1 angka 24 UUPLH,
adalah orang perorangan dan/atau kelompok orang dan/atau badan
hukum. Sedangkan Pasal 1 angka 22 UUPLH menyebut, ”organisasi
lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk atas
kehendak dan keinginan sendiri ditengah masyarakat yang tujuan dan
kegiatannya di bidang lingkungan hidup”.
LSM yang memberikan dukungan terhadap gerakan Rakyat Pati
menolak rencana pembangunan pabrik Semen Gresik itu sudah menjadi
concern lembaga-lembaga tersebut sejak didirikan. Keterlibatan LSM
karena rencana eksploitasi sejak awal sudah bermasalah baik dari kajian
ekologis, hukum maupun budaya. Model peran serta dalam
pengambilan keputusan publik bermacam-macam. Bisa dalam bentuk
kemitraan, pendelegasian kekuasaan, juga pengawasan. Salah satu
bentuk pengawasan yang bersifat represif adalah pengajuan legal
standing oleh organisasi lingkungan hidup.
Jaringan LSM di Jawa Tengah mengirimkan somasi. Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah kemudian menanggapi dengan mengirimkan
surat. Surat ke-1 adalah undangan untuk bertemu di rumah makan
4 Harian Radar Semarang, 25 Juni 2009
56
nusantara pada malam hari, undangan ke-2 adalah ralat undangan ke-1 ,
undangan ke-2 bertempat di ruang rapat lantai 2 Gedung Gubernuran.
Pertemuan tersebut dijadwalkan pada 13 Agustus 2009, dan pada waktu
itu beberapa anggota jaringan datang. Yaitu, SHEEP, PBHI, LRC KJHAM
dan LBH Semarang. Dalam pertemuan tersebut jaringan ditemui oleh
Sekda Pemerintah Provinsi. Sekda mengakui pernyataan tersebut adalah
spontan dan tidak mungkin untuk gubernur meminta maaf di media.
Untuk ke depan diperlukan komunikasi yang lebih baik. Dalam
pertemuan itu, Pemerintah Provinsi menyatakan minta maaf atas
pernyataan Gubernur tersebut.
17. Review Peraturan Walikota Semarang No. No.6A/Tahun 2009
Tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) Kota Semarang Periode tahun 2009 s/d tahun 2013
Posisi Kasus:
Review atas Peraturan Walikota Semarang tersebut dilakukan karena
pada awalnya ada penyampaian atau pengumuman atas kenaikan tarif
air minum pelanggan PDAM Kota Semarang oleh Direktur Umum PDAM
Kota Semarang. Pengumuman kenaikan tarif air minum tersebut 12%
dan hal ini tidak sesuai dengan faktanya yang telah direkomendasikan
oleh Tim Tarif Air Minum PDAM Kota Semarang yaitu masing-masing
golongan pelangan PDAM mencapai antara 13% s/d 90% lebih.
Ketika pengumuman kenaikan tarif tersebut menjadi polemik
didalam masyarakat, LBH Semarang menyikapi kenaikan tarif PDAM
Kota Semarang tersebut. Substansi Peraturan Walikota Semarang No.
No.6A/Tahun 2009 Tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang Periode tahun
2009 s/d tahun 2013 tersebut tidak konsisten, antara batang tubuh
dengan lampiran-lampiran kenaikan tarif. Hal ini menyebabkan adanya
57
ketidakpastian hukum dalam pemberlakuan kenaikan tarif air minum
PDAM Kota Semarang.
Respon LBH Semarang:
Pemerintah telah memberlakukan Peraturan Walikota Semarang
No.6A/Tahun 2009 Tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang Periode Tahun
2009 S/D Tahun 2013 pada 31 Maret 2009, padahal Peraturan Walikota
Semarang beserta lampirannya tersebut secara substansi dan yuridis
formal mengandung cacat hukum sebab tidak ada kepastian hukum
dalam pemberlakuannya. Cacat hukum tersebut dapat dilihat antara
pasal 4 ayat 2 huruf a dengan lampiran I s/d IV tidak sesuai. Selebihnya
yaitu pasal 4 ayat 2 huruf b s/d h beserta lampirannya tidak ada dasar
hukumnya atau setidak-tidaknya tidak ada dasar penghitungannya.
Berdasarkan pertimbangan atau alasan-alasan tersebut diatas,
kemudian sebelum LBH Semarang melakukan upaya hukum berupa
permohonan judicial review ke Mahkamah Agung, terlebih dahulu
meminta kepada Pemerintah Kota Semarang untuk melakukan revisi
terhadap Peraturan Walikota Semarang No.6A/Tahun 2009 Tentang
Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Kota Semarang Periode Tahun 2009 S/D Tahun 2013 pada tanggal 31
Maret 2009 dengan menyampaikan Draft Revisi Peraturan Walikota
Semarang tersebut.
Dari penyampaian draft revisi tersebut, permintaan LBH
Semarang dipenuhi dengan dilakukannya perubahan/revisi atas
Pemerintah Kota Semarang untuk melakukan revisi Peraturan Walikota
Semarang No.6A/Tahun 2009 Tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang Periode Tahun
2009 S/D Tahun 2013 pada tanggal 31 Maret 2009. Perubahan tersebut
dengan dikeluarkan Peraturan Walikota Semarang No. 17 Tahun 2009
58
tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Kota Semarang Periode Tahun 2009 S/D Tahun 2013.
18. Kasus Kecelakaan Kerja Saudara Muh. Sadeli di Perusahaan PT.
BEST
Posisi Kasus:
Muh. Sadeli adalah karyawan waktu tertentu di Perusahaan PT. BEST.
Pada suatu hari, PT.BEST sedang mendatangkan batu bara sebagai
bahan bakar mesin produksinya. Muh. Sadeli memindahkan batu bara
tersebut kedalam lokasi. Namun pada saat itu Muh. Sadeli mengalami
kecelakaan kerja yang menyebabkan mata kirinya mengalami kebutaan
karena tertancap ganco.
Pada saat kejadian kecelakaan kerja, karyawan tersebut dibawa
ke rumah sakit oleh rekan kerjanya. Akhirnya mata kirinya diambil.
Semua biaya operasi di rumah sakit tersebut ditanggung sendiri oleh
Muh.Sadeli dengan mengunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin
dan PT BEST sama sekali tidak menanggung biaya rumah sakit.
Setelah masa operasi, Muh. Sadeli mengajukan hak-haknya
sebagai karyawan atas kecelakaan kerja yang dialaminya, namun pihak
PT.BEST tidak mau tahu dan tidak memberikan hak-haknya atas
kecelakaan kerja atau setidak-tidaknya memberikan tali asih. Karena
sudah dicoba beberapa kali tidak membuahkan hasil, kemudian
Muh.Sadeli mengadukan persoalan tersebut ke LBH Semarang.
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
LBH Semarang dalam kasus kecelakaan kerja ini, melakukan upaya
administrasi berupa menyurati pihak PT.BEST untuk menyelesaikan hak-
hak Muh.Sadeli atas kecelakaan kerja yang dialaminya. Kemudian ada
tanggapan dari Pihak PT.BEST dengan melakukan negosiasi antara
59
Muh.Sadeli yang didampingi LBH Semarang dengan bapak Indarto
selaku Personalia PT.BEST. Pada 22 Oktober 2009 negosiasi tersebut
membuahkan hasil berupa kesepakatan berupa pemberian santunan
kecelakaan kerja sejumlah Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dari
PT.BEST kepada Muh.Sadeli.
19. Kasus Pemutusan Meteran Saluran Air PDAM Demak atas nama
Edi Warsito
Posisi Kasus:
Kasus tersebut bermula ketika keluarga Edi Warsito yang bertempat
tinggal di Jalan Pucang Argo Tengah, Pucang Gading, Demak tidak bisa
atau menunggak pembayaran rekening PDAM Kab.Demak sampai 6
(enam) bulan. Ketika itu saudara Edi Warsito telah diperingatkan oleh
PDAM Demak untuk segera melunasi tunggakan pembayaran rekening
PDAM, namun ia belum mampu membayar. Akhirnya PDAM Demak
melakukan penyegelan sementara aliran air PDAM ke rumahnya.
Kemudian saudara Edi Warsito melunasi pembayaran rekening yang
tertunggak, namun yang menjadi aneh ternyata meteran air tidak ada
atau hilang. Menurut versi Edi Warsito meteran air tersebut hilang
dikarenakan diambil oleh petugas PDAM Demak Cab. Pucang Gading.
Setelah berkali-kali dikonfirmasi oleh Saudara Edi Warsito atas
pengambilan meterannya, pihak PDAM Demak Cab.Pucang Gading
mengatakan tidak tahu menahu atas hilangnya meteran tersebut. Ia
kemudian ditawari untuk memasang baru dengan biaya Rp.100.000,-
(seratus ribu rupiah). Namun karena tidak memiliki uang, akhirnya
saudara Edi Warsito menyambung secara illegal. Tetapi pihak PDAM
mengetahui dan memutus sambungan itu. Hingga beberapa bulan
kemudian tak ada aliran air PDAM ke rumahnya. Untuk kebutuhan air
bersih, keluarganya harus mengambil air di tetangganya.
60
Akhirnya saudara Edi Warsito menyampaikan persoalan tersebut
kepada LBH Semarang untuk bisa dibantu terkait dengan pengambilan
meteran tersebut.
Bantuan Hukum Yang Diberikan:
LBH Semarang melakukan upaya administrasi dengan mengklarifikasi
persoalan saudara Edi Warsito kepada PDAM Kab.Demak. Selang
beberapa hari kemudian Kabag Umum PDAM Demak, Kepala
Cab.Pucang Gading PDAM Demak menyampaikan klarifikasi persoalan
tersebut dengan datang ke LBH Semarang. Pada intinya bahwa
klarifikasi yang disampaikan PDAM Demak adalah sama seperti apa yang
disampaikan Saudara Edi Warsito, namun untuk persolan hilangnya
meteran PDAm mengklarifikasi tidak pernah mengambil meteran
tersebut.
LBH Semarang meminta agar persoalan tersebut dapat
diselesaikan, tanpa harus melihat mana yang salah. Dan tawaran ini
disetujui oleh pihak PDAM Demak, dengan memberikan uang sejumlah
Rp.350.000 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah) untuk membeli meteran.
Hasilnya kemudian sekarang keluarga Edi Warsito dapat menikmati
kembali air bersih dirumahnya.
BAB V
KONDISI HAK ASASI MANUSIA DI JAWA TENGAH 2009
ISSUE PERTANAHAN
Pendahuluan
Indonesia saat ini tengah mengalami krisis, krisis ekonomi, krisis
lingkungan, dan krisis pangan. Kebijakan ekonomi nasional yang masih
memprioritaskan investasi dan modal asing turut mempengaruhi
terjadinya krisis-krisis tersebut. David C. Korten mengatakan bahwa
masalah krisis adalah wujud ketidakmampuan lembaga-lembaga ciptaan
manusia untuk menciptakan kehidupan yang lebih layak bagi segenap
umat manusia.1 Kesalahan manusia itupun secara terus menerus
dilakukan oleh manusia sampai sekarang, walaupun manusia sudah
terorganisir secara politik dalam sebuah negara. Kesalahan tersebut
bukannya tereliminasi malah semakin memperluas area krisis.
Kesalahan lembaga-lembaga negara dalam menciptakan
kehidupan manusia yang layak itu bisa kita lihat dari sisitem pengelolaan
sumberdaya alam. Sudah menjadi rahasia umum bahwa potensi
sumberdaya alam indonesia termasuk terkaya didunia baik itu
sumberdaya hayati maupun nonhayati baik didarat maupun dilautan.
Dan sesuai dengan konstitusi kita bahwa kekayaan alam yang
terkandung didalam negara kesatuan Indonesia dikuasai dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
“Kesejahteraan masyarakat” merupakan kata-kata yang sangat
mudah didengar dan dilihat, karena kata-kata tersebut kerap kali
disinggung dalam tulisan, diskusi, dan pidato-pidato, baik yang terkait
dalam kerangka pemikiran politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain
sebagainya. Akan tetapi, kata-kata tersebut lebih sering dilihat atau
didengar atas dasar suatu permasalahan, permasalahan mengenai siapa
1 David C Korten, 1984, Pembangunan yang Memihak Rakyat, Kupasan tentang Teori
dan Metode Pembangunan, Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta, hal 1.
yang menyejahterakan, siapa yang disejahterakan, dan kapan
kesejahteraan bagi masyarakat akan terwujud.
Sebagai negara yang berdaulat, merupakan suatu yang sangat
wajar dan keharusan untuk memliki cita-cita terwujudnya kesejahteraan
masyarakat, karena perjuangan yang telah dikorbankan oleh para
pahlawan memiliki satu impian, yaitu tercapainya kesejahteraan rakyat
dalam negara yang merdeka. Akan tetapi pada kenyataannya, masih
sangat banyak rakyat yang terjamah oleh kehidupan yang serba sulit,
sulit makan, sulit memiliki pekerjaan yang layak, sulit memiliki tempat
tinggal yang nyaman dan kesulitan-kesulitan lainnya.
Kedaulatan agraria merupakan salah satu jalan utama menuju
masyarakat sejahtera, terlebih lagi negara kita adalah negara agraris,
dimana sebagian besar penduduknya memilliki pekerjaan yang
berhubungan dengan sektor-sektor agraria. Rakyat agraris takkan dapat
hidup layak jika mereka tak dapat merasakan kedaulatan agraria.
Menyempitnya luas lahan pertanian seiring penyempitan penguasaan
petani atas lahan pertanian semakin menegaskan bahwa konversi lahan
pertanian bebanding lurus dengan ploretarisasi petani. Pemerintah
telah mencanangkan program Reforma Agraria sejak 2007. Secara
teknis, program reforma agraria yang dicanangkan pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini dilaksanakan oleh Badan
Pertanahan Nasional. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional menegaskan bahwa Badan Pertanahan
Nasional mempunyai tugas dan fungsi menjalankan reforma agraria.
Program Reforma Agraria tersebut seharusnya dimaknai sebagai
momentum merestrukturisasi ketimpangan akses agraria dimana di
dalamnya terdapat pula perlindungan terhadap masyarakat dengan
prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran”. Agenda pemerintah
ini dikenal dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Melaui
program ini, pemerintah merencanakan akan mengalokasikan tanah
objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar, terdiri dari: 8,15 juta ha
berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah
kewenangan langsung BPN. Untuk mematangkan rencana ini, sejak
tahun 2007 BPN menjalankan ujicoba PPAN di 32 Provinsi, termasuk di
sejumlah Kabupaten di Jawa. Untuk melanjutkan rencana ini secara
lebih intensif, pada tahun 2008 lalu BPN memulai perencanaan
kebijakan reforma agraria terpadu di wilayah Jawa bagian selatan yang
mencakup 34 (tiga puluh empat) kabupaten. Tetapi ternyata obyek
reforma agraria tersebut tidak termasuk tanah-tanah yang sedang
dipersoalkan petani. BPN lebih memilih jalan aman, obyek reforma
agraria adalah tanah negara bebas, tanah timbul, dan tanah-tanah HGU
yang sudah dilepaskan oleh pemegang haknya. Sehingga untuk tanah-
tanah konflik berbasis perkebunan dan kehutanan, tak menjadi obyek
reforma agraria.
Lahan Pertanian Makin Menipis
Jawa Tengah adalah salah satu lumbung padi nasional. Dengan luas ±
3,2 juta hektar, Jawa Tengah mampu mensuplai padi diseluruh pelosok
nusantara. Akan tetapi pasokan bahan pangan tersebut tidak dibarengi
dengan kebijakan memberantas kemiskinan. Tingkat kemiskinan di Jawa
Tengah masih tergolong tinggi, dari sekitar 32,189 juta jiwa ada sekitar
6,190 juta jiwa atau 19,23% hidup dibawah garis kemiskinan.2 Dan,
sebesar 58,70% penduduk miskin berada di daerah pedesaan.
Luas propinsi Jawa Tengah sama dengan 25,04% luas pulau Jawa.
Dari jumlah itu, luas lahan sawah adalah 990.459 hektar (30,45%) dan
lahan non sawah 2.263.586 hektar (69,55%). Sekitar 270 hektar lahan
pertanian di Jawa Tengah hilang berubah fungsi menjadi pabrik,
perumahan, waduk, jalan dan lain-lain. Jika jumlah lahan menurun maka
bisa dipastikan bahwa jumlah produksi pertanianpun akan menurun 3.
Bahkan ada 300 hektar lahan produktif di Kabupaten Ungaran yang
hilang terkena mega proyek jalan tol Semarang-Solo.
Kekayaan alam Jawa Tengah ternyata diikuti berbagai konflik
berbasis sumberdaya alam. Misalnya: sengketa pembebasan lahan
untuk kepentingan umum, sengketa hak antara perusahaan perkebunan
dengan petani miskin (buruh tani), konflik lahan hutan dengan
2 Berita resmi Statistik (Badan Pusat Statistik) No. 6/07/33/tahun.II/1 Juli 2008
3 Wawasan 29 Juli 2009
perhutani maupun sengketa administratif yang jumlahnya terus
meningkat. Pada 2005 tercatat 9 (sembilan) kasus tanah berbasis hutan,
dengan total luas lahan yang bersengketa 1.039,59 hektar, dan 36 (tiga
puluh enam) kasus tanah berbasis perkebunan. Di tahun 2006 kasus
tanah hutan meningkat menjadi 16 (enam belas) kasus dengan total luas
lahan yang disengketakan adalah lebih dari 1722, 59 ha. Kasus-kasus
tanah berbasis perkebunan, ada peningkatan 1 (satu) kasus yang
muncul ke permukaan, dari 36 (tiga puluh enam) kasus pada tahun 2005
menjadi 37 (tiga puluh tujuh) kasus pada tahun 2006. Sedangkan
ditahun 2007, kasus sengketa tanah bertambah 14 kasus dengan
tambahan luas lahan seluas 601,58 hektare yang berada di 9 (sembilan)
wilayah kabupaten/ kota di Jawa Tengah. Sedangkan pada 2008 ada 41
(empat puluh satu) kasus yang terjadi, kasus tersebut terjadi di 18
(delapan belas) kabupaten/ kota dengan jumlah korban 7.414 KK.
Tabel : 1 Jumlah Sengketa Tanah di Jawa Tengah 2009
Data diolah dari monitoring LBH Semarang melalui media massa
Dari total 27 (dua puluh tujuh) kasus di Jawa Tengah, 14 kasus
menyangkut pembebasan lahan sebagaimana Peraturan Presiden No.36
Tahun 2005 Jo Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006 tentang
No. Lokasi Jumlah Kasus
1 Salatiga 1
2 Kota Semarang 12
3 Sragen 3
4 Kabupaten Semarang 4
5 Kabupaten Grobokan 1
6 Kabupaten Brebes 1
7 Kabupaten Cilacap 1
8 Kota Slawi 1
9 Kabupaten Rembang 1
10 Kabupaten Tegal 1
11 Kabupaten Jepara 1
Total 27 (dua puluh tujuh)
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
Kriminalisasi Petani
Harapan masyarakat khususnya petani pemerintah dapat
menyelesaikan permasalahan sumberdaya alam dengan lebih persuasif
ternyata hanya bertepuk sebelah tangan saja. Dalam catatan LBH
Semarang ditahun 2009 ini terdapat 15 (lima belas) petani
dikiriminalisasi. Ini menunjukkan bahwa pemerintah dalam hal ini juga
perusahaan swasta lebih sering menggunakan pendekatan represif
kepada masyarakat yang menuntut hak-haknya.
Konflik agraria yang terjadi di Jawa Tengah, berawal dari adanya
ketimpangan kepemilikan dan akses masyarakat atas sumber daya alam.
Banyaknya perkebunan swasta maupun negara dengan luas kepemilikan
yang sangat besar menjadi salah satu pemicu konflik. Ini disebabkan
karena Kebijakan ekonomi yang dianut oleh pemerintah hanya berpijak
pada satu gagasan pokok bahwa pertumbuhan hanya bisa tumbuh
karena investasi modal (capital).
Pemerintah yang seharusnya melindungi hak konstitusional
rakyatnya bertindak sebaliknya. Melalui aparat kemanan, pemerintah
bertindak represif dalam menyelesaikan konflik agraria. Akhirnya
banyak petani yang terlibat konflik agraria dipidanakan (kriminalisasi)
oleh aparat kepolisian. Dibawah ini adalah petani yang
dikriminalisasikan pada 2009 karena berkonflik dengan perusahaan
perkebunan dan Perhutani.
Tabel 2 Petani Korban Kriminalisasi
Nama Kota Asal Dakwaan
Manisih Kab. Batang Pasal 364 ayat Ke-4 KUHP
Sri Suratmi Kab. Batang Pasal 364 ayat Ke-4 KUHP
Juwono Kab. Batang Pasal 364 ayat Ke-4 KUHP
Rusnoto Kab. Batang Pasal 364 ayat Ke-4 KUHP
Minah Kab. Banyumas Pasal 362 KUHP
Yamanto Kab. Pekalongan UU Kehutanan
Priyanto Kab. Pekalongan UU Kehutanan
Hermanto Kab. Pekalongan UU Kehutanan
Alip Kab. Pekalongan UU Kehutanan
Amat Yani Kab. Pekalongan UU Kehutanan
Didik Kab. Pekalongan UU Kehutanan
Huji Kab. Temanggung UU Kehutanan
Selain kriminalisasi, tak jarang aparat juga melakukan intimidasi
kepada masyarakat, seperti menunjukkan Surat Keputusan Hak Guna
Usaha kepada warga, berpatroli di lahan perkebunan dengan
melepaskan tembakan, membentak, dan sebagainya.
Selain perkebunan wilayah hutan juga menjadi sumber konflik
dengan masyarakat sekitar. Hal ini disebabkan pertama, pertama,
konflik yang bersumber dari klaim sepihak Perhutani. Konflik ini biasa
terjadi ketika masyarakat yang sudah menggarap sejak lama tiba-tiba
wilayah garapannya diklaim Perhutani sebagai wilayah Perhutani (sesuai
PP No.30 Tahun 2003). Yang kedua, konflik tata batas wilayah hutan,
dalam pematokan atau tanda batas hutan sering mengenai tanah petani
sekitar hutan. Konflik ini paling banyak terjadi di Jawa Tengah karena
konflik ini menyangkut kepastian hukum batas-batas hak kepemilikan
yang memisahkan antara wilayah hutan dan lahan masyarakat. Yang
ketiga, ketimpangan lahan. Jumlah kemiskinan yang tinggi diwilayah
hutan maupun diwilayah perkebunan merupakan potensi akan
terjadinya konflik berbasis sumberdaya hutan.
Terbitnya Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
adalah bentuk kongkret pemerintah melindungi korporasi besar dengan
mengesampingkan kepentingan masyarakat kecil. Pasal-pasal yang
terkandung dalam peraturan tersebut mengabaikan hak-hak
masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal disekitar hutan.
Refleksi Kasus-kasus struktural pertanahan 1998-2009:
LBH Semarang menangani kasus-kasus pertanahan berbasis perkebunan
dan hutan di Jawa Tengah, khususnya sejak 1998. Dari penanganan
langsung, penelitian, investigasi dan monitoring yang dilakukan selama
sepuluh tahun terakhir, terdapat 42 kasus berbasis pertanahan dan
hutan di Jawa Tengah. Data-data konflik tersebut diolah dengan
program database Humawin yang dikembangkan oleh Perkumpulan
Untuk Pembaruan Hukum dan Masyarakat (HuMa) sejak 2005. Dari 42
kasus tersebut, yang terbesar adalah kasus tanah kehutanan (22 kasus),
diikuti kasus tanah perkebunan (16 kasus), konflik akses hutan (3 kasus),
kasus tanah negara dan pertambangan masing-masing 1 kasus. Total
luas tanah keseluruhan adalah 10.587,18 hektar. Dari kasus-kasus
berbasis perkebunan dan hutan yang ditangani dan diteliti LBH
Semarang, pemerintah hanya menyelesaikan satu kasus dengan cara
dibatalkan yaitu kasus HGU PT Sinar Kartasura di Kabupaten Semarang
dan menyelesaikan dua kasus dengan cara redistribusi tanah yaitu kasus
tanah PT. Ambarawa Maju di Kabupaten Batang dan kasus tanah HGU
PT Rumpun Sari Antan di Kabupaten Cilacap. Hal ini membuktikan
bahwa negara gagal menyelesaikan kasus-kasus struktural tanah
tersebut.
Jumlah kasus secara keseluruhan adalah 42 kasus, dengan rincian :
Total luasan konflik : 10.587,18 Ha
Perkebunan, 16
Kehutanan, 22
Akses Hutan, 3
Tanah
Negara, 1
Pertambangan
, 1
Grafik Konflik Tiap Kabupaten
Dari grafik di atas, daerah yang memiliki konflik struktural tanah
terbesar adalah Kabupaten Kendal (10 kasus), diikuti Temanggung (7
kasus), dan Batang (6 kasus). Sementara daerah-daerah konflik tanah
lainnya adalah Cilacap, Pati, Banyumas, Peklaongan, Semarang, Blora,
dan Wonosobo. Konflik-konflik tersebut juga diikuti kriminalisasi
terhadap masyarakat yang menuntut hak-haknya atas tanah. LBH
Semarang mencatat: 262 orang dikriminalisasikan selama 1998-2009, 8
orang ditembak hingga luka, 6 orang meninggal karena ditembak, dan 3
orang dianiaya. Pelaku yang mengkriminalisasikan petani adalah
perusahaan perkebunan dan Perhutani bekerjasama dengan aparat
kepolisian.
Dari data kasus tersebut, LBH Semarang mencatat:
• Jumlah desa yang berkonflik dengan Perhutani : 36 desa
• Jumlah desa yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan : 21
desa
• Perusahaan Perkebunan yang dikelola Militer : 3
• Perusahaan Perkebunan yang dikelola Negara: 4
• Perusahaan Perkebunan yang dikelola Swasta : 9
Sementara itu, 19.043 Kepala Keluarga menjadi korban konflik tanah
berbasis perkebunan, hutan, dan pertambangan tersebut.
Dengan adanya konflik-konflik tanah tersebut, LBH Semarang
merekomendasikan:
• Adanya kejelasan mekanisme untuk menyelesaikan konflik-konflik
tanah berbasis perkebunan dan hutan
• Melakukan penyelesaian konflik agraria dengan berlandaskan
keberpihakan pada masyarakat korban
Kesimpulan
Di issue pertanahan, negara belum memenuhi hak-hak rakyat atas
tanah (hak ekonomi, sosial, dan budaya) dan melakukan pelanggaran
HAM dibidang hak sipil politik dengan kriminalisasi, penganiayaan, dan
penembakan para petani dikawasan hutan dan perkebunan.
ISSUE LINGKUNGAN HIDUP DAN PESISIR
JALAN PANJANG MENUJU KEADILAN EKOLOGIS
A. PUTUSAN PTUN KASUS SEMEN GRESIK, ANGIN SEGAR BAGI
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
Sepuluh tahun terakhir kondisi lingkungan hidup memburuk. Hal ini tak
hanya ditandai oleh naiknya angka bencana ekologis di berbagai wilayah
Indonesia, yang melahirkan krisis berkepanjangan, namun juga gagalnya
penegakan hukum pada kasus-kasus lingkungan utama. Salah satu
penyebabnya adalah lemahnya Undang-undang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPLH). Sebenarnya harapan rakyat mengemuka ketika DPR
mengesahkan Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Salah satu terobosan besar
dalam UUPPLH adalah kewenangan besar yang dimiliki oleh
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH). Tugas dan
wewenangnya sesuai dengan mandat UU No. 32/2009, yaitu meliputi
wewenang melakukan inventarisasi lingkungan hidup dalam
penyusunan Rencana Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup,
menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), menetapkan
kawasan ecoregion, perizinan, pengawasan hingga ke penegakan
hukum.
Berbicara persoalan lingkungan, hal perizinan, pengawasan
hingga penegakan hukum selalu menjadi masalah. Kepentingan ekologis
selalu dikalahkan oleh kepentingan kapitalis. Tetapi ditahun 2009 ini,
ada peristiwa penting yang perlu dicatat dalam penegakan hukum
lingkungan. Pada Kamis, 6 Agustus 2009, majelis hakim PTUN Semarang
membuat terobosan penting dalam penegakan hukum lingkungan.
Majelis hakim yang mengadili perkara No.04/G/2009/PTUN.SMG
membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara yang berwujud Surat
Keputusan (SK) tentang Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD) No.
540/052/2008 yang dikeluarkan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan
Terpadu Kabupaten Pati kepada PT Semen Gresik tertanggal 5
November 2008. Isi pokoknya adalah mengenai ijin melakukan
penambangan batu kapur seluar 700 hektar, yang terletak di Desa
Gadudero, Desa Kedumulyo, Desa Sukolilo, Desa Tompegunung dan
Desa Sumbersoko, yang berada di Wilayah kecamatan Sukolilo
Kabupaten Pati. Sayang, putusan tersebut dianulir di tingkat banding.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya membatalkan putusan
PTUN Semarang. Kasus ini sekarang dalam proses kasasi.
Putusan PTUN ini merupakan babak baru penegakan hukum
lingkungan di Indonesia, ditengah-tengah sikap skeptis masyarakat sipil
akan penegakan hukum dan institusi yudikatif. Hal ini juga perwujudan
kongkrit atas kehendak kuat untuk penerapan keadilan ekologis yang
selama ini diabaikan demi kepentingan pembangunan modal.
B. ANGKA BERBICARA
B.1. Pantura: Kawasan Strategis Yang Penuh Konflik lingkungan
LBH Semarang di tahun 2009 mencatat pelanggaran HAM sektor
lingkungan dan pesisir meningkat. Hal ini nampak dari makin
meningkatnya jumlah kasus dari 172 kasus di 2008 menjadi 217 kasus di
2009. Artinya terjadi peningkatan sebayak 45 kasus. Kasus di sektor
lingkungan dan pesisir tersebar merata di 35 kabupaten/kota di Jawa
Tengah, namun kecenderungannya adalah pemusatan kasus di wilayah
pesisir, khususnya Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah.
2008 2009 Jumlah
Jumlah 172 kasus 217 kasus 45 kasus
Dari 217 kasus tersebut, LBH semarang membagi menjadi 161
kasus pelanggaran HAM di sektor lingkungan dan kasus
pelanggaran HAM di sektor pesisir.
Pentingnya kawasan pantura terlihat dalam sejarah Jawa, ketika
wilayah ini adalah wilayah yang paling bersemangat mengusir
imperialisme asing di Nusantara. Ekspedisi Pati Unus ke Melayu yang
berniat untuk mengenyahkan Portugis dari Bumi Malaka adalah
contohnya. Pada masa Sultan Agung, wilayah ini jugalah yang menjadi
basis pasukan laut Kerajaan Mataram untuk menyerbu Batavia. Bahkan
ketika Daendels mencoba merealisasikan impiannya, salah satu
sasarannya adalah pantura Jawa. Ia membangun Jalan Deandles yang
memanjang dari Anyer ke Panarukan. Industrialisasi yang merunyak,
seperti cendawan di musim hujan menyebabkan wilayah pesisir dikuasai
penuh oleh kaum modal, sementara negara dan aparaturnya cenderung
melindungi kaum modal dalam menjalankan usahanya. Dengan
didukung oleh struktur hukum yang lemah maka makin lancarlah proses
perebutan sumber daya alam pesisir.
Penguasaan sumber daya alam tersebut selain menciptakan
konflik-konflik antara kaum modal yang dibantu oleh negara dengan
rakyat maupun konflik-konflik antar rakyat, yang diakibatkan semakin
sempitnya wilayah rakyat untuk mengembangkan dirinya. Hal ini secara
konsisten telah menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Hal
ini nampak dari 217 kasus yang terjadi di Jawa Tengah. Kasus-kasus
lingkungan banyak terjadi di pesisir pantura kabupaten/kota. Sebagai
ilustrasi adalah permasalahan lingkungan yang menimpa Kota
Semarang. Tercatat 57 kasus terjadi di kota yang merupakan ibu kota
Propinsi Jawa Tengah pada 2009. Di wilayah pantura lainnya tercatat,
Kabupaten Pati sebanyak 15 kasus serta Kabupaten Brebes dan
Kabupaten Pekalongan, masing-masing 10 kasus.
Sektor
lingkungan
Sektor
Pesisir
Jumlah
Jumlah 158 kasus 59 kasus 217 kasus
Kabupaten / Kota Jumlah
kab. Tegal 5
kota Tegal 5
kab. Brebes 10
kab. Pekalongan 10
kota Pekalongan 9
kab. Pemalang 5
kab. Batang 8
kab. Kendal 6
kota Semarang 57
kab. Semarang 3
kab. Pati 15
kab. Kudus 8
kab. Demak 5
kab. Rembang 5
kab. Jepara 5
kab. Blora 1
kab. Grobogan 0
kab. Salatiga 6
kab. Boyolali 2
kab. Surakarta 1
kab. Sragen 1
kab. Magelang 4
kota Magelang 1
kab. Wonogiri 0
kab. Klaten 4
kab. Suloharjo 4
kab. Karanganyar 3
kab. Purworejo 1
kab. Kebumen 5
kab. Cilacap 10
kab. Banyumas 6
kab. Purbalingga 3
kab. Banjarnegara 4
Jumlah Pelanggaran HAM
5 510 10 9
5 8 6
57
3
158 5 5 5
1 06
2 1 1 4 1 04 4 3 1
510
6 3 4 1 4
0102030405060
kab. T
egal
kota
Tegal
kab. B
rebe
s
kab. P
ekalon
gan
kota
Pekalong
an
kab. P
emalang
kab. B
atang
kab. K
endal
kota
Semarang
kab. S
emaran
gka
b. Pati
kab. K
udus
kab. D
emak
kab. R
embang
kab. J
epara
kab. B
lora
kab. G
robog
an
kota
Salatiga
kab. B
oyolali
kota
Surakart
a
kab. S
rage
n
kab. M
agelan
g
kota
Magelan
g
kab. W
onog
iri
kab. K
laten
kab. S
ukoha
rjo
kab. K
arang
anya
r
kab. P
urwore
jo
kab. K
ebumen
kab. C
ilaca
p
kab. B
anyum
as
kab. P
urbali
ngga
kab. B
anjarne
gara
kab. W
onos
obo
kab. T
emang
gung
Grafik Jumlah Pelanggaran HAM Lingkungan Hidup
Dari data diatas, wilayah pesisir yang seharusnya adalah wilayah
transisi sebagai daerah penyeimbang antara daratan dan lautan,
mengalami gangguan keseimbangan. Arus industrialisasi dan kemajuan
telah merusaknya sedemikian rupa sehingga wilayah pesisir khususnya
di pantura Jawa Tengah hampir kehilangan fungsinya. Disini masyarakat
yang paling dikorbankan adalah masyarakat lokal yang secara turun
temurun mendiami wilayah ini hidup dan membangun budayanya.
Sedangkan untuk wilayah pantai dan laut, yang menjadi korban adalah
kaum nelayan dan petani tambak. Pemusnahan dan penguasaan secara
sistematis wilayah ini menyebabkan mereka termarginalisasikan, serta
kehilangan akses atas sumber daya pesisir dan laut. Marginalisasi ini
menyebabkan ketrampilan dan keahlian serta budaya-budaya lokal yang
khas wilayah itu menjadi musnah.
kab. Wonosobo 1
kab. Temanggung 4
Jumlah 217
Tabel peraturan yang dilanggar
Jumlah
kasus
Jenis ketentuan yang
dilanggar
HAM yang dilanggar
217
- UUD 1945
- UU 39/1999 tentang
Hak Asasi Manusia
- UU 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
- UU 24 tahun 1992
tentang Tata Ruang
- Hak atas informasi
- Hak atas Lingkungan
yang baik dan sehat
- Hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak
- Hak atas perumahan
Perusakan dan penghancuran kondisi fisik dan kondisi kultural
wilayah pesisir dan pantai harus dihentikan. Hal ini mutlak dilakukan,
karena pengaruhnya tidak hanya sekedar berimbas pada wilayah
sekitar, tetapi lebih luas lagi yaitu masalah eksistensi kemanusiaan dan
lingkungan.
B.2. Kondisi Lingkungan Jawa Tengah
Tahun ini dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa dramatis. Di tingkat
nasional selain berbagai peristiwa politik dan hiruk pikuk terorisme,
tahun 2009 juga diwarnai dengan ingatan atas peristiwa gempa di
Sumatera Barat. Jawa Tengah, sama seperti tahun-tahun sebelumnya,
2009 dibuka dengan berbagai macam konflik penataaan ruang, yang
kemudian disusul dengan pencemaran yang terjadi di berbagai daerah.
Peristiwa lain yang menandai tahun ini adalah marjinalisasi
pertambangan rakyat dan kriminalisasi. Berbagai peristiwa tersebut
makin menunjukkan ketidakbecusan penyelenggara negara untuk
melakukan penata-kelolaan lingkungan secara baik dan sehat. Tabel dan
grafik dibawah ini menunjukkan rincian kasus-kasus lingkungan hidup
yang terjadi di Jawa Tengah: 88 kasus konflik penataan ruang, 41 kasus
pencemaran, 22 bencana ekologis, 5 kasus pertambangan rakyat, dan 2
kasus kriminalisasi.
Kasus Lingkungan
Pencemaran; 41
Konflik Penataan ruang;
88
Kriminalisasi; 5
Marjinalisasi pertambangan
rakyat; 5
Bencana ekologis; 22
22 bencana ekologis yang terjadi di Jawa Tengah yang melanda
beberapa kabupaten/kota adalah banjir dan kekeringan. Dari tahun ke
tahun hal ini disadari oleh semua pihak bahwa ini terjadi akibat
degradasi lingkungan, dan tidak semata-mata karena faktor alam dan
penjarahan hutan. Seakan belum cukup, ada lagi anggapan bahwa
pemanasan global adalah penyebabnya. Issue pemanasan global
kemudian menjadi alasan bagi negara mengusulkan Reduced Emission
for Deforestation and Degradation (REDD), skema kompensasi sebagai
upaya adaptasi dan mitigasi terhadap Perubahan Iklim. Pemerintah tak
membahami bahwa upaya mereka mencari-cari kesalahan atau
membuat undang-undang baru, tak akan menyelesaikan permasalahan
tersebut secara tuntas.
Rangkaian permasalahan ini mungkin dianggap tidak berkaitan
satu dengan yang lain, namun ketika kita bicara banjir Kota Semarang –
Pencema
ran
Konflik
Penataan ruang
Marjinalisasi
pertambangan
rakyat
Kriminali
sasi
Bencana
ekologis
41 88 5 2 22
sebagai ilustrasi- mungkin rangkaian kata ini menjadi berarti. Ketika tata
guna lahan sudah berubah dan tidak sesuai dengan peruntukannya
kemudian semakin banyak ruang publik yang tergusur dan beralih
fungsi, egoisme sektoral dan pelaku usaha, serta kebijakan yang lebih
memfasilitasi modal dan tidak berpihak kepada rakyat, dapat dipastikan
akan terjadi bencana. Bentuknya bisa berupa banjir, kekeringan,
longsor, maupun bencana lainnya.
88 Kasus terkait penataan ruang adalah pengabaian besar-
besaran terhadap alam, yang kemudian berimbas kepada perikehidupan
rakyat. Ketika bicara masalah lingkungan, kita tak bias mengabaikan
juga masalah perikehidupan rakyat. Ketika penyelenggara pemerintahan
dengan seenaknya sendiri melakukan pengelolaan sumber daya alam,
tanpa partisipasi aktif dari masyarakat, maka itulah akibatnya. Namun
demikian yang lebih sering terjadi alih-alih melakukan refleksi dan
memperbaiki diri sendiri, penyelenggara pemerintahan lebih suka
mengkambing hitamkan rakyat. Catatan LBH Semarang menunjukkan 5
kasus marjinalisasi pertambangan rakyat dan 2 kasus kriminalisasi
terhadap masyarakat yang menuntut hak atas lingkungan yang baik dan
sehat.
Deklarasi PBB 9 Desember 1998, yaitu Declaration on the Rights
and Responsibility of Individuals, Groups and Organs of Society to
Promote and Protect Universally Recognizes Human Rights and
Fundamental Freedom, setiap orang atau kelompok dalam masyarakat
mempunyai hak untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia
yang diakui oleh dunia international. Sehingga boleh dikatakan bahwa
apabila terjadi penghambatan terhadap pejuang HAM dan warga dalam
memajukan penegakan HAM, adalah termasuk pelanggaran HAM.
Sebenarnya yang lebih diperlukan untuk menjaga keberlanjutan
lingkungan adalah proses pengelolaan sumber daya alam yang lebih
transparan, terkontrol dan berkelanjutan yang tentu saja menjadikan
rakyat setempat sebagai subyek dari proses pengelolaan. Dalam hal ini,
pengambilan keputusan, akses, serta alokasi pengelolaan sumber daya
alam tersebut berada murni ditangan masyarakat. Untuk itulah harus
segera dimulai usaha-usaha penataan kembali situasi dan kondisi
lingkungan di berbagai wilayah dan sektor secara bersama-sama. Jika
terlambat maka pupuslah harapan untuk masa depan yang lebih baik
bagi anak cucu kita.
B.3. Kondisi Pesisir Jawa Tengah
Catatan LBH Semarang selama 2009: terdapat 41 kasus rob dan banjir.
Banjir dan rob dikarenakan praktek pembangunan yang salah urus yang
mendasari krisis iklim di nusantara. Pembangunan hingga kini tidak
didasarkan pada daya dukung lingkungan, yakni berlanjutnya
pembangunan di atas lahan reklamasi, pencemaran laut, menjamurnya
pemberian perizinan bagi dunia usaha di kawasan pesisir dan pulau-
pulau kecil, pembangunan yang tidak memberikan akses peran serta
komunitas. Kini masyarakat pesisir dan nelayan tidak lagi mampu
mengambil keputusan karena pembuangan limbah dari hulu ke hilir,
kehilangan akses melaut, mereka juga harus menghadapi banjir dan rob
akibat salah urus pembangunan.
Pembangunan yang salah urus juga menyebabkan 16 kecelakaan
laut. Kecelakaan bisa dialami oleh siapa saja. Begitu juga dengan
masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan. Kecelakaan laut
biasanya terjadi akibat infrastruktur yang tidak memadai dan cuaca
buruk. Cuaca buruk bagi nelayan, bukan merupakan halangan untuk
melaut karena jika tak melaut, takkan ada sepiring nasi yang tersaji di
meja makan keluarga.
Selama 2009, terjadi 2 kasus kriminalisasi terhadap nelayan
dengan 16 kapal nelayan ditangkap karena tidak dilengkapi dokumen
resmi saat melaut. Mereka rata-rata terjaring razia karena tidak
mengantongi dokumen pas kecil. Pengurusan dokumen memang sarat
dengan biaya mahal dan persoalan birokrasi, yakni Surat Izin Usaha
Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal
Pengangkutan Ikan (SIKPI).
Abrasi dan
Rob Kecelakaan laut
Kriminalisasi
nelayan
41 16 2
Suara Merdeka, 18 Maret 2009 dan Radar Semarang, 22 Maret
2009, memberitakan 22 investor mengincar pulau-pulau di kawasan
Karimunjawa. Dibukanya peluang investasi di Kepulauan Karimunjawa
mengancam 5.000 nelayan tradisional yang membutuhkan pulau
berlindung apabila terjebak gelombang besar ketika melaut. Terkait hal
tersebut Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengusulkan posisi pulau-
pulau yang telah dikuasai masyarakat, supaya dikeluarkan dari status
taman nasional. Niatan Bibit Waluyo ini tidak lepas dari pasal-pasal
mengenai Hak Pengelolaan dan Pengusahaan Wilayah Pesisir (HP3)
dalam UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil yang merupakan konsesi pemerintah akibat Coral
Triangle Initiative (CTI) Summit. Dengan Pasal HP3 ini, pengusaha dapat
megeksploitasi kawasan pesisir. Jika hal ini terlaksana maka jumlah
kriminalisasi dipastikan akan meningkat tajam.
C. KEBIJAKAN NEGARA: PELANGGARAN HAM
Faktor paling mendasar dari pemerintahan Bibit Walyo dalam
penegakan HAM sepanjang 2009 adalah mementingkan politik citra
untuk menyatakan seolah-olah kebijakan yang dilakukan adalah
melindungi hak asasi manusia dan pro-rakyat dengan “balik ndeso
mbangun deso”-nya. Namun faktanya pemerintah provinsi tidak
sepenuhnya mampu menjalankan obligasinya untuk memenuhi hak
asasi manusia dengan menelorkan perda-perda yang bermasalah.
Produk perda yang dikeluarkan pemerintah sepanjang 2009 banyak
menuai kontroversi. Diantaranya Perda Pesisir dan Perda Lingkungan
Hidup.
D. PREDIKSI 2010
Penegakan HAM pada 2010 tak akan beranjak jauh dari 2009. LBH
Semarang memproyeksikan beberapa situasi nasional maupun regional
yang akan menghambat penegakan HAM 2010. Pertama, secara
nasional terjadi terobosan karena substansi UUPPLH lebih maju
ketimbang UUPLH, namun dalam pelaksanaannya UUPPLH ini tak lepas
dari sistem yang bekerja. Terpilihnya Gusti Muhammad Hatta di Pos
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, memang relatif bersih dari
intervensi politik, namun kewenangan yang luar biasa diberikan kepada
Menteri Lingkungan Hidup dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan. Wewenang ini diberikan UUPPLH kepada Kementerian
Negara Lingkungan Hidup. Tak mudah menjalankan itu semua apabila
Menteri Lingkungan Hidup yang akan dipilih nanti merupakan figur tidak
“bersih, solid, serta berintegritas”. Hal ini karena tantangan KLH
mendatang sangatlah besar khususnya dalam “berhadapan” dengan
korporasi besar, trend global isu Perubahan Iklim serta bargaining
position dengan Departemen/Sektor termasuk
Gubernur/Bupati/Walikota.
Kedua, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad (2009-
2014) memunculkan strategi besarnya: The Blue Revolution Policies
sebagai solusi. Program 100 hari Menteri Kelautan dan Perikanan
berpotensi memberangus hak nelayan tradisional. Pertama, visi sebagai
produsen perikanan terbesar di dunia pada tahun 2020, yakni
peningkatan produksi hingga 350 persen. Untuk mencapai visi tersebut,
DKP mengatakan membutuhkan tambahan anggaran Rp 1,6 triliun dari
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2010. Kedua, tindak lanjut
World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI)
Summit. Pemerintah tidak patut menjalankan Inisiatif Segitiga Terumbu
Karang (CTI), sebab inisiatif ini semakin melenceng dari upaya
menyelamatkan nelayan. Komersialisasi laut adalah ancaman terhadap
kedaulatan nasional dan masa depan nelayan. Ketiga, UU No. 27 tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
berpotensi meminggirkan nelayan tradisional dan komunitas pesisir.
Sebagaimana tertera dalam Pasal 14 ayat 1 UU 27 Tahun 2007 bahwa
usulan strategi, zonasi, pengelolaan dan rencana aksi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dilakukan oleh pemerintah daerah dan dunia usaha.
Selanjutnya ayat 2 menyebutkan bahwa mekanisme penyusunan
keempat rencana di atas dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan
hasil rancangan disebarluaskan oleh pemerintah daerah.
Ketiga proses pemilihan Gubernur Jawa Tengah dan Bupati/
Walikota di beberapa kabupaten/kota yang akan dilakukan 2010,
disertai dengan beredarnya rumor person kandidat yang ternyata
memunculkan nama-nama yang hampir tidak masuk dalam lingkaran
diskusi yang terbangun selama ini. Sebagian pos justru diisi oleh
pengurus/pimpinan partai politik maupun orang-orang dari kalangan
tertentu dan terkesan tak mempertimbangkan kompetensi sesuai
dengan pos yang akan ditempati. Mudah ditebak, hal ini menimbulkan
keraguan akan efektifitas pemerintahan yang akan berjalan. Issue
lingkungan diprediksi hanya akan menjadi jargon organisasi politik untuk
menaikkan citra demi kepentingan kursi kekuasaan. Alhasil substansi
penegakan HAM akan mengalami penyingkiran oleh perilaku politik
aktor-aktor kekuasaan.
ISSUE PERBURUHAN
Kondisi Umum Perburuhan
2009 dimulai dengan situasi terjadinya krisis keuangan global. Puncak
terjadinya krisis tersebut dipicu oleh kredit macet perumahan yang
terjadi di Amerika Serikat. Indonesia yang saat ini masih sangat
bergantung kepada AS harus merasakan dampak krisis tersebut,
khususnya dalam sektor perindustrian.
Banyak sekali perusahaan-perusahaan yang mengalami kesulitan
keuangan maupun penurunan order, umumnya perusahan atau industri
yang bergerak di bidang tekstil, produk tekstil, otomotif dan perkayuan.
Persolan tersebut pada akhirnya merambat kepada persoalan-persoalan
buruh.
Berdasarkan data laporan yang tercatat oleh Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI sampai dengan bulan Juli 2009, sebanyak
54.466 buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sebanyak
25.580 buruh dirumahkan. Data tersebut berasal dari laporan Dinas
Tenaga Kerja di 18 Provinsi sejak awal tahun 2009. Pada kenyataannya
jumlah buruh yang ter-PHK maupun dirumahkan lebih besar daripada
data depnaker tersebut, hal ini mengingat banyak juga persoalan-
persoalan buruh yang penyelesaiannya tidak sampai ke Dinas Tenaga
Kerja.
Untuk mengantisipasi persoalan PHK tersebut, secara umum
pemerintah mencanangkan program peningkatan padat karya atau
program peningkatan kompetensi. Hal ini tentu saja membuktikan
bahwa pemerintah tidak mampu mencegah adanya PHK karena
program-program tersebut dicanangkan justru untuk mengantisipasi
gejolak massa pasca terjadinya PHK.
Terkait program-program yang dicanangkan seperti padat karya,
buruh-buruh korban PHK diarahkan untuk bekerja pada pembangunan
infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan dan lain-lain. Sepintas memang
buruh diberikan pekerjaan, namun itu hanya sementara sifatnya. Yang
lebih jelas adalah pembangunan infrastruktur itu sendiri bertujuan
untuk memberikan fasilitas kepada para pemilik modal. Sedangkan
untuk program peningkatan kompetensi, pemerintah seolah-olah
melihat persoalan buruh yang ada karena kurangnya keterampilan
buruh. Selain itu juga program ini sangat tidak tepat, karena buruh yang
ter-PHK tentu saja berkeinginan mendapatkan pekerjaan baru bukan
pelatihan-pelatihan.
Menjelang akhir 2009, marak demonstrasi buruh aksi-aksi di
banyak daerah menuntut ditetapkannya upah minimum yang adil.
Seperti aksi beruntun yang dilakukan oleh serikat-serikat buruh di Jawa
Tengah atau buruh di Kabupaten Serang yang melakukan aksi
penutupan jalan tol Jakarta-Merak.
Kondisi Perburuhan di Jawa Tengah
Terjadinya krisis keuangan global juga berpengaruh di propinsi Jawa
Tengah. Hal ini mengingat Jawa Tengah merupakan persebaran-
persebaran industri, khususnya di Kota Semarang, Kabupaten
Semarang, Pekalongan, Sukoharjo dan lain-lain.
Sampai dengan bulan Februari 2009 saja di Jawa Tengah sudah
terdapat 8.208 buruh ter-PHK sedangkan buruh dirumahkan mencapai
6.211 (Data Depnakertrans RI). Dengan demikian jika dihitung sampai
dengan akhir tahun 2009 maka jumlah korban PHK akan lebih banyak
lagi, mengingat sejak Februari 2009 sampai dengan akhir tahun
gelombang –gelombang PHK massal masih terus terjadi.
Akibat PHK jelas akan manambah tingkat angka pengangguran
yang saat ini mencapai 1, 36 juta orang atau 7,7 persen dari total
penduduk Jawa Tengah. Untuk mengantisipasi gejolak sosial tersebut,
pemerintah menyiapkan dana sebesar 24,7 milyar untuk program
peningkatan kompetensi para korban PHK.
Dari pantauan yang dilakukan oleh LBH Semarang mulai Januari
2009 sampai Nopember 2009, terdapat 86 persoalan buruh yang
mencuat di 60 perusahaan di 17 kota dan kabupaten yang ada di Jawa
Tengah. Adapun persoalan terbanyak yang mencuat adalah persolan
Jumlah Tuntutan atau Persoalan Buruh
Kebebasan Berserikat; 5
Jaminan sosial; 5 Status Kerja; 6
Tunjangan Kerja; 9
PHK Sepihak; 14
Upah; 17
Dll; 30
upah sebanyak 17 kasus, disusul persoalan tentang PHK sebanyak 14
kasus, tuntutan tunjangan kerja 14 kasus, status kerja 6 kasus, jaminan
sosial 5 kasus dan kebebasan berserikat 5 kasus, serta 30 kasus lainnya
(tuntutan pesangon, buruh dirumahkan, dan kecelakaan kerja).
Tabel Persoalan Buruh di Jawa Tengah
Tuntutan atau Persoalan Jumlah
Upah 17 Kasus
PHK Sepihak 14 Kasus
Tunjangan Kerja 9 Kasus
Status Kerja 6 Kasus
Jaminan sosial 5 Kasus
Kebebasan Berserikat 5 Kasus
Lain-lain 30 Kasus
Jumlah 86 Kasus
Grafik Persoalan Buruh Jawa Tengah
Persolan upah terjadi seperti penolakan sekitar 1500 buruh PT.
Rodeo atas pengangguhan pembayaran upah minimum yang dilakukan
oleh pihak perusahaan. Peristiwa ini terjadi pada awal 2009. Ratusan
buruh PT. Tosan Mash di Kudus juga melakukan mogok kerja pada April
2009, karena pihak perusahaan melakukan pemotongan upah secara
sepihak.
Kasus PHK sepihak terjadi seperti dialami oleh buruh perusahaan
tekstil PT.Tyfountex dan PT. Dupantex di Kabupaten Sukoharjo yang
masing-masing melakukan PHK terhadap sekitar 294 buruh dan 82
buruh.
Kasus pembatasan berserikat terjadi seperti dialami oleh 6 buruh
perusahaan elektronik PT. AST Semarang yang di PHK diduga karena
berserikat.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Dari kondisi perburuhan yang terjadi sepanjang 2009 di Jawa Tengah,
LBH Semarang menilai ada beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh pemerintah yaitu pelanggaran hak atas pekerjaan, hak atas kondisi
kerja yang adil dan menguntungkan, dan hak atas kebebasan berserikat.
a. Pelanggaran Hak atas Pekerjaan
Maraknya PHK, baik itu merupakan dampak krisis keuangan global
atau bukan, menyebabkan banyak buruh kehilangan pekerjaan.
Dinas Tenaga Kerja tidak mampu melakukan apa-apa, kalaupun ada
upaya yang dilakukan itu hanya sebatas pengawasan terkait
pemberian pesangon terhadap buruh ter-PHK. Dengan demikian
pemerintah telah mengabaikan hak-hak buruh untuk
mempertahankan pekerjaan.
b. Pelanggaran Hak atas Kondisi Kerja Yang Adil dan
Menguntungkan
Buruh berhak atas upah yang layak maupun tunjangan-tunjangan
kerja atas hasil kerjanya yang diberikan kepada pengusaha. Namun
demikian berdasarkan pantauan LBH Semarang, upah atau
tunjangan masih banyak menjadi tuntutan buruh selama 2009. Hal
ini membuktikan bahwa mayoritas buruh masih belum merasakan
kondisi kerja yang adil. Dalam hal ini pemerintah sebenarnya
berperan menetapkan upah minimum serta mengawasi
pelaksanaan upah minimum tersebut. Namun pada prakteknya
Gubernur Jawa Tengah pada 17 Nopember 2009 justru menetapkan
upah minimum yang jauh dari harapan kebutuhan hidup layak (KHL)
buruh. Dari 35 Kota/Kabupaten yang ada di Jawa Tengah, hanya
Kabupaten Sukoharjo dan Kota Salatiga yang upah minimumnya
sesuai dengan KHL. Terkait pengawasan pemerintah, Dinas Tenaga
Kerja maupun pihak kepolisian selama ini tak pernah
menindaklanjuti pengaduan-pengaduan buruh tentang hak-haknya
yang dilanggar seperti upah, jamsostek, dan sebagainya.
c. Pelanggaran Hak atas Kebebasan Berserikat
Dalam kasus ini, biasanya perusahaan melakukan tindakan-tindakan
seperti PHK, mutasi, atau kriminalisasi terhadap pengurus serikat
buruh. Selama ini buruh melaporkan hal itu kepada bagian
pengawasan Dinas Tenaga Kerja atau kepolisian, namun tak pernah
ada tindakan tegas maupun tindakan serius dari kedua lembaga
tersebut. Kalaupun persoalan tersebut diserahkan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial untuk menyelesaikan, yang terjadi
justru melegitimasi PHK buruh dengan alasan hubungan kerja sudah
tidak harmonis.
Isu Perkotaan
Pendahuluan
Lebih dari sebelas tahun krisis moneter yang mengguncang
perekonomian masyarakat berlalu. Dampak krisis adalah munculnya
pekerjaan sektor informal, seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), juru parkir,
pedagang pasar tradisional, sopir angkot, dan sebagainya. Keterdesakan
ekonomi lah yang menyebabkannya.
Meski saat ini krisis ekonomi telah menjauh dan perekonomian
mulai tumbuh dan berkembang, tetap saja pekerjaan sektor informal
seperti PKL masih dipilih oleh sebagian masyarakat. Alasannya karena
pekerjaan ini dianggap mampu menjawab persoalan, ditengah makin
tertutupnya akses masyarakat marginal khususnya komunitas miskin
perkotaan terhadap pekerjaan formal.
Ditengah pilihan sulit tersebut, keberadaan komunitas miskin
perkotaan seperti PKL, pedagang pasar tradisional, dan sopir angkot,
makin terdesak dan terancam akibat berkembangnya pembangunan
dan modernitas.
Paska reformasi 1998, kebijakan pembangunan tetap dilakukan.
Kalau sebelum reformasi, rencana pembangunan tertuang dalam Garis-
garis Besar Haluan Negara (GBHN), pasca reformasi, rencana
pembangunan dituangkan kedalam instrumen RPJP (Rencana
Pembangunan Jangka Panjang) Nasional, dan RPJP Daerah, RPJM
Daerah. Ini dijalankan pemerintah melalui Bappenas, Bappeda Provinsi
maupun kabupaten dan kota.
Berbagai kebijakan dalam RPJP Daerah dan RPJM Daerah masih
kurang mengakomodir kepetingan komunitas miskin perkotaan. Selain
itu, rencana pembangunan yang dituangkan dalam RPJP Daerah dan
RPJM Daerah terkadang masih belum berspektif HAM. Bahkan
implementasi kebijakan pembangunan tersebut masih banyak
kelemahan dan tidak tepat sasaran. Terlebih dalam hal proses distribusi
peningkatan kesejahteraan ekonomi.
Dalam merencanakan pembangunan, pemerintah seharusnya
memasukkan instrumen Hak Asasi Manusia didalamnya sebagai tolak
ukur keberhasilannya. Keberhasilan pembangunan tak semata-mata
diukur dengan indikator pertumbuhan ekonomi, tetapi juga aspek
pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan HAM.
Di Jawa Tengah, jumlah penduduk miskin terus berkurang dari
sepuluh tahun lalu. Saat itu penduduk miskin mencapai 8,76 juta jiwa,
sekarang menyusut menjadi 5,73 juta jiwa.4 Meski demikian,
kenyataannya belum sepenuhnya masyarakat Jawa Tengah sejahtera.
Hal ini karena ukuran yang disebut miskin hanya menggunakan
pendekatan garis kemiskinan yang angka patokannya diturunkan.
Seseorang dianggap mampu dan tak masuk kategori miskin ketika sudah
mampu memenuhi kebutuhannya meski hanya kebutuhan minimum
seperti makan dan non-makan. Padahal untuk mengukur miskin atau
tidak miskin patokannya harus lebih dari itu.
Selain itu, indikator atau parameter yang ditentukan sangat
rendah. Misalnya, pada 2009 untuk menentukan masyarakat itu miskin
atau tidak ditentukan dengan garis kemiskinan di kota dan desa di Jawa
Tengah yang dihitung sebesar Rp. 182.515 pendapatan per kapita
perbulan. Meski besaran ini naik dari 2008 yang hanya sebesar Rp.
168.168 namun jika dipikir logis lagi apakah dengan pendapatan
perkapita sebesar itu, masyarakat miskin mampu memenuhi kebutuhan
yang sangat minimum? Terlebih ada faktor krisis global, dan lain
sebagainya yang memengaruhi. Sementara untuk memenuhi kebutuhan
akan pendidikan dan kesehatan juga belum dihitung, yang itu
sebetulnya merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Untuk menilai apakah dalam proses pembangunan sudah
mengakomodir nilai-nilai hak asasi manusia dapat dilihat dari kebijakan
pembangunan yang dilaksanakan. Berikut adalah beberapa kasus yang
dapat dijadikan parameter apakah kebijakan pembangunan telah
mengakomodir nilai-nilai, dan prinsip hak asasi manusia.
4 Kompas, memperhatikan mereka yang miskin, 21 Agustus 2009
Penggusuran dan Peminggiran Komunitas Miskin Perkotaan
Penggusuran terhadap pedagang kaki lima maupun sektor informal
lainnya, dalam rangka mengimplementasikan kebijakan pembangunan
selalu menjadi alasan pembenar bagi Pemerintah maupun sebagian
masyarakat. Hal itu terjadi karena pedagang kaki lima maupun sektor
informal lainnya dianggap sebagai pekerjaan yang dapat menghambat
pembangunan sebab dapat merusak pandangan atau keindahan kota,
menyebabkan kemacetan serta membuat wilayah tidak bersih. Padahal
sebenarnya tanpa peran pemerintah, pekerja sektor informal ini dapat
menciptakan lapangan kerja sendiri dan bahkan bisa menyelesaikan
persoalan-persoalan pemenuhan hak-hak lainnya.
Citra buruk yang melekat terhadap para pekerja disektor informal
tak lain disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang tidak
berperspektif HAM. Mereka tak diberi kesempatan mencari nafkah.
Mereka juga tak diberikan ruang-ruang publik dalam proses
pembangunan berkelanjutan tersebut. Padahal bagi mereka, nilai
pemanfaatan ruang-ruang publik tersebut merupakan satu-satunya
pekerjaan yang digunakan untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Sehingga apabila taraf kehidupan mereka meningkat, maka secara
ekonomi mereka berharap mampu menyelesaikan persoalan-
persoalannya sendiri.
Jika pandangan lama dan tindakan tersebut tidak diubah, maka
selamanya pekerja sektor informal akan menjadi kelompok masyarakat
miskin yang selalu menjadi korban pembangunan. Kasus-kasus yang
muncul di Jawa Tengah terkait dengan kebijakan pembangunan yang
kemudian menimbulkan peristiwa-peristiwa seperti razia/penggarukan,
kriminalisasi, penggusuran, konflik tata ruang dan konflik horisontal
serta kebijakan tidak adil lainnya dapat kita lihat di dalam grafik berikut
ini :
Pedagang Pasar
Tradisonal; 660
PKL; 1263
PSK; 22
Juru Parkir; 18Gelandangan &
Pengemis; 92
32
65
1
38
14
202
0
50
100
150
200
250
Razia/
Penggarukan
PSK, Gepeng
& Preman
Penggusuran
PKL
Kriminalisasi Konfl ik Tata
Ruang
Konfl ik
horizontal
Kebijakan
yang tidak
adil
Jenis Kasus
Tabel di atas merupakan gambaran kondisi pelanggaran HAM di
issue miskin perkotaan di Jawa Tengah. Ada 32 kasus razia/penggarukan
PSK, gelandangan dan pengemis, serta preman. Sementara penggusuran
PKL ada 65 kasus, konflik tata ruang 38 kasus, konflik horisontal 14
kasus dan kebijakan lain yang tidak adil 202 kasus. Khusus penggusuran
PKL, meski terjadi penurunan secara kuantitas pada 2009, dari 79 kasus
di 2008 menjadi 65 kasus di 2009, namun tetap saja tak bisa dipandang
sebagai penurunan yang signifikan. Hal ini dikarenakan pendekatan
kebijakan pembangunan yang menimbulkan penggusuran PKL masih
cukup tinggi. Seperti di Kota Semarang saja, penggusuran PKL justru
meningkat drastis dari 14 kasus pada 2008 menjadi 26 kasus pada 2009.
Selain jumlah kasus tersebut, muncul pula jumlah korban
pelanggaran HAM. Jumlah tersebut sebagaimana tergambar dalam
grafik di bawah ini :
Satpol PPSwasta
POLRI/ TNIInstansi Pemda
lainnya
53
84
87
0
100
Pelaku
Angka tertinggi korban pelanggaran HAM di sektor miskin
perkotaan terjadi pada PKL, dimana angkanya mencapai 1263 PKL.
Selanjutnya disusul pedagang pasar tradisional sebanyak 660 pedagang,
gelandangan dan pengemis 92 orang, PSK 22 orang, serta juru parkir 18
orang.
Sementara pelaku pelanggaran HAM disektor miskin perkotaan
didominasi oleh Satpol PP dan instansi pemerintah daerah lainnya
dengan masing-masing jumlah pelanggaran sebanyak 53 dan 87. Disusul
kemudian swasta dan TNI/ POLRI masing-masing 8 dan 4 pelanggaran.
Grafik Pelaku dan Jumlah Pelanggaran
Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Pemenuhan, Penghormatan,
Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia Komunitas Miskin
Perkotaan.
Dari sisi regulasi sebetulnya sudah diatur mengenai kewajiban
pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan penegakan Hak Asasi
Manusia seperti Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Selain itu, dengan telah diratifikasinya Kovenan Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (Hak Ekosob) dan Hak-hak Sipil dan Politik
kedalam peraturan perundang-undangan nasional yaitu dalam UU no.
11 tahun 2005 dan UU no. 12 tahun 2005 menambah jaminan akan
adanya pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan penegakan HAM.
Penjabaran tanggung jawab pemerintah kabupaten/ kota di Jawa
Tengah terhadap komunitas miskin perkotaan adalah sebagai berikut :
Tabel tersebut merupakan hasil pengolahan database dari
penanganan kasus, maupun monitoring di lapangan dan media massa.
Dari tahun ke tahun, meski telah diatur beberapa ketentuan mengenai
tanggungjawab pemerintah terhadap pemenuhan, penghormatan,
perlindungan dan penegakan HAM, namun yang tetap perlu menjadi
perhatian adalah langkah-langkah pemerintah dalam proses
pembangunan yang berspektif HAM.
Dengan melihat data tersebut, kita bisa melihat sampai sejauh
mana tanggung jawab negara dalam mengupayakan pemenuhan,
penghormatan, penegakan serta perlindungan HAM bagi sektor
komunitas miskin perkotaan dilaksanakan. Jika demikian halnya,
langkah pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah melakukan 19
relokasi pedagang pasar tradisional dan PKL, 1 gantirugi atas
penggusuran yang telah dilakukan, 2 pembinaan terhadap PSK dan
pengemis yang terjaring razia serta kriminalisasi terhadap pengamen
jalanan menunjukkan bahwa belum ada langkah- langkah yang lebih
baik yang dilakukan negara untuk memenuhi, menghormati, penegakan
serta perlindungan HAM. Karena jika kita lihat perbandingan antara
adanya penyelesaian dengan tidak adanya penyelesaian sangat jauh
berbeda. Ada penyelesaian hanya sebanyak 22 kasus, sementara ada
116 kasus yang tidak ada solusi penyelesainnya.
Kriminalisasi Ada Penyelesaian Tidak ada solusi
Relokasi Ganti Rugi Pembinaan
1
19 1 2
116
Kesimpulan
Sepanjang 2009 di issue perkotaan ada beberapa pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya terhadap Pasal 9 (1) dan
Pasal 38 (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM serta hak ekonomi,
sosial dan budaya terutama pasal 9 ayat 1, pasal 38 ayat 1 UU No.39
Tahun 1999 tentang HAM serta Bagian III point 1 UU No. 11 tahun 2005
tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
BAB VI
MENDORONG PEMENUHAN ACCESS TO JUSTICE
BAGI MASYARAKAT MARGINAL DI JAWA TENGAH
1. Pendahuluan
Mengimplementasikan visi misi LBH Semarang, pada 2008-2009
melaksanakan program “Mendorong Pemenuhan Access To Justice Bagi
Masyarakat Marginal di Jawa Tengah. Untuk itu, LBH melakukan
beberapa kegiatan, diantaranya memberi bantuan hukum terhadap
masyarakat marginal baik didalam maupun diluar pengadilan. Seluruh
aktivitas tersebut untuk meningkatkan akses masyarakat marginal
terhadap keadilan.
Penyebab minimnya akses masyarakat marginal tersebut adalah:
(1) kelemahan akibat ketimpangan struktur ekonomi, politik, sosial dan
budaya; (2) ketidaktahuan masyarakat marginal akan sistem hukum dan
prosedur hukum atau buta hukum; (3) Tingginya tingkat korupsi di
lembaga peradilan yang menyebabkan masyarakat marjinal tidak
mampu membayar “proses hukum”; (4) Tidak terlaksana secara efektif
kebijakan jasa “bantuan hukum” melalui advokat “profit” ; (5) Peraturan
perundang-undangan yang tidak berpihak pada masyarakat miskin.
Melaui bantuan hukum struktural tersebut, LBH Semarang telah
mengorganisir masyarakat marginal di beberapa sektor. Hasilnya, telah
terbentuk organisasi rakyat dibeberapa komunitas: komunitas buruh,
komunitas miskin kota, komunitas korban lingkungan, dan komunitas
nelayan. Dalam perkembangannya, beberapa pimpinan organisasi
masyarakat telah mampu mengadvokasi persoalan-persoalan di
komunitasnya. Namun demikian seringkali perbedaan kapasitas oleh
masing-masing organisasi masyarakat marginal menjadi salah satu
hambatan. Selain itu, tak semua anggota organisasi memahami secara
baik hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Karena itu, YLBHI-
LBH Semarang melakukan serangkaian kegiatan Pendidikan Hukum
Kritis terhadap masyarakat marginal.
a. Pelatihan Paralegal Petani
23 – 25 Juli 2009, LBH Semarang bekerjasama dengan Yayasan TIFA
menyelenggarakan Pelatihan Paralegal Petani. Peserta pelatihan
adalah 30 orang petani di Kabupaten Kendal yang tergabung dalam
Forum Persaudaraan Petani Kendal. Pelatihan paralegal dasar ini
diberikan kepada kelompok – kelompok petani baru anggota Forum
Persaudaraan Petani Kendal untuk meningkatkan dan mempercepat
kapasitas, memberikan dasar-dasar pengetahuan bantuan hukum,
dan advokasi pelanggaran hak asasi manusia bagi para petani.
Lengkapnya, tujuan kegiatan ini adalah sebagai berikut :
1. Memberikan pendidikan hukum kritis kepada para petani lapis
ke-2, khususnya anggota FPPK Kabupaten Kendal;
2. Adanya forum bagi petani anggota FPPK untuk melakukan
konsolidasi advokasi kasus-kasus tanah berbasis perkebunan dan
hutan di Kabupaten Kendal;
3. Membangun kesepahaman bersama antara komunitas petani
yang tergabung dalam FPPK Kabupaten Kendal;
4. Menciptakan paralegal-paralegal baru;
5. Membentuk pos-pos paralegal di Kabupaten Kendal.
b. Pelatihan Paralegal Nelayan
Munculnya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Pesisir dan Pulau-Pulau kecil merupakan ancaman besar bagi
kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir. Salah satu pasal yang
mengatur Hak Pengelolaan Perairan Pesisir (HP3) memberikan
peluang kepada pemilik modal untuk melakukan eksploitasi sumber
daya laut dan pesisir. Hal ini diyakini akan semakin menyingkirkan
nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dalam mengakses sumber
daya laut dan pesisir.
Disisi lain, kebijakan pengelolaan pesisir dan kelautan yang
diterapkan oleh pemerintah, secara nyata telah mengakibatkan
kerusakan ekologi di kawasan pesisir. Tak konsistennya pemerintah
dalam melakukan penataan ruang telah mengakibatkan bencana di
kawasan pesisir, seperti banjir, rob atau naiknya permukaan air laut,
hingga abrasi yang terjadi hampir di pesisir pantai utara Jawa
Tengah. Selain itu, konflik area pesisir terus terjadi antara pemilik
modal dengan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir lainnya.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan
kawasan pesisir dan kelautan belum mencerminkan keadilan bagi
nelayan dan masyarakat pesisir. Sementara itu, ada kesulitan yang
muncul dari dalam komunitas nelayan: kualitas dan pemahaman
nelayan mengenai persoalan-persoalan disekitarnya masih rendah.
Selain itu, rendahnya kesadaran kritis masyarakat pesisir, juga
menghambat rakyat dalam mengontrol kebijakan negara.
Melihat kondisi tersebut diatas, LBH Semarang bekerjasama
dengan YayasanTIFA dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(KIARA) menyelenggarakan Pelatihan Paralegal Nelayan. Acara
diselenggarakan pada 28 Februari – 3 Maret 2009. Palatihan Nelayan
tersebut diikuti 30 nelayan dari Kabupaten Kendal, Kabupaten
Batang dan Kabupaten Pekalongan. Pelatihan ini bermaksud:
1. Mengkomunikasikan kebijakan pengelolaan kawasan pesisir
kepada komunitas nelayan di Kabupaten Kendal, kabupaten
Batang dan Kabupaten Pekalongan;
2. Memberikan pendidikan dan membangun kesadaran kritis serta
menciptakan aktor lokal untuk melakukan advokasi kebijakan
pengelolaan pesisir dan kelautan;
3. Memberikan ruang komunikasi antar komunitas nelayan dan
masyarakat pesisir di Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang dan
Kabupaten Pekalongan;
4. Menciptakan kader-kader paralegal;
5. Membentuk pos-pos paralegal.
Kegiatan pelatihan paralegal nelayan tersebut diakhir dengan
menyusun rencana tindak lanjut bersama dan diakhiri dengan
Konferensi Pers.
Dari pelatihan ini, muncul kader-kader baru paralegal di
beberapa kabupaten tersebut. Mereka aktif mengkomunikasikan
persoalan-persoalan nelayan didaerahnya dengan cara mengadakan
pertemuan-pertemuan rutin untuk konsolidasi. Pelatihan ini juga
menghasilkan satu pos paralegal nelayan di Kabupaten Batang.
c. Temu Paralegal Jawa Tengah
Bantuan hukum struktural dan pendidikan hukum kritis LBH
Semarang telah menghasilkan paralegal-paralegal pada masing-
masing komunitas, baik komunitas miskin kota, komunitas buruh,
komunitas nelayan, dan komunitas petani. Secara umum, masing-
masing paralegal tersebut telah melakukan advokasi di
komunitasnya masing-masing. Namun demikian, belum terbangun
strategi bersama untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat
marginal pada masing-masing komunitas.
Pada 4-6 Agustus 2009, LBH Semarang bekerjasama dengan
Yayasan TIFA menyelenggarakan “ Temu Paralegal Jawa Tengah”.
Kegiatan ini bertujuan:
1. Melakukan evaluasi advokasi dan menyusun rencana tindak lanjut
bersama paralegal guna mendorong pemenuhan hak asasi
manusia di Jawa Tengah
2. Membangun strategi advokasi bersama paralegal guna
mendorong pemenuhan hak asasi manusia di Jawa Tengah.
Temu Paralegal Jawa Tengah diikuti oleh 25 paralegal, baik
paralegal di komunitas miskin perkotaan, paralegal nelayan,
paralegal buruh, dan paralegal petani.
d. Pendidikan Hukum Kritis Nelayan di Kabupaten Kendal
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 10 tahun 2003 tentang
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) menyatakan bahwa sebagian dari
pendapatan retribusi Tempat Pelelangan Ikan wajib dikembalikan
kepada nelayan, baik dalam bentuk Tabungan Nelayan, Dana
Paceklik ataupun bentuk lainnya. Namun seringkali nelayan kesulitan
untuk mengakses sebagian dana retribusi tersebut yang sebenarnya
adalah hak nelayan. Jangankan untuk mengakses, nelayan juga
banyak yang tak paham informasi tentang teknis dan mekanisme
mendapatkan hak-hak tersebut. Selain itu, sering ditemukan
pungutan-pungutan liar dalam mekanisme pelelangan ikan di TPI
yang merugikan nelayan.
Salah satu persoalan nelayan tersebut diatas menjadi salah
satu pertimbangan LBH Semarang untuk terus menerus melakukan
Pendidikan Kritis di Komunitas Nelayan. Pada 30 – 31 Desember
2009, bertempat di Dusun Gempolsewu, Kecamatan Rowosari
Kabupaten Kendal, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
dan Layar Nusantara serta LBH Semarang menyelenggarakan
Pendidikan Hukum Kritis untuk nelayan di Kabupaten Kendal.
Kegiatan tersebut diikuti 20 nelayan di wilayah pesisir Kabupaten
Kendal, seperti nelayan Sendang Sikucing, Tanggul Malang,
Sigenthong, Tawang laut dan nelayan sekitar Kecamatan Rowosari.
Kegiatan ini bertujuan:
1. Memperkuat organisasi nelayan untuk melakukan advokasi
terhadap permasalahan yang dihadapi nelayan di Kabupaten
Kendal;
2. Membongkar “Mafia” dalam mekanisme pelelangan ikan di
Tempat Pelelangan Ikan;
3. Sebagai ruang konsolidasi sesama nelayan di wilayah Kabupaten
Kendal untuk memperjuangkan hak-hak nelayan.
Dalam rencana tindak lanjutnya, poin penting yang dilakukan
adalah penguatan kelembagaan organisasi-organisasi nelayan dan
disepakati juga dalam sebualan sekali, khususnya setiap Jum’at
Kliwon diadakan pertemuan rutin antara sesama organisasi-
organisasi nelayan di Kabupaten Kendal.
2. Perluasan Daya Jangkau Bantuan Hukum Melalui Klinik Hukum
Pada 2008, LBH Semarang telah menerima 141 konsultasi hukum dari
masyarakat. Berdasarkan jenis masalah hukum yang dikonsultasikan,
masalah pidana menempati peringkat tertinggi yaitu 35 kasus [24,82 %],
diikuti 32 kasus perkawinan [22,70%], 30 kasus perdata umum [21,28%],
24 kasus pertanahan / perumahan [17,02%], 17 kasus perburuhan
[12,06%], 2 kasus pencemaran/perusakan lingkungan hidup [1,42%] dan
kasus hak konsumen 1 kasus [0,71,%].1
Masyarakat yang berkonsultasi sebagian besar berdomisili di
wilayah Semarang, Kabupaten Demak dan Kabupaten Kendal. Dengan
demikian, bantuan hukum yang diberikan LBH Semarang belum
dirasakan oleh masyarakat marginal di seluruh wilayah Jawa Tengah.
Untuk memperluas daya jangkau bantuan hukumnya, pada 6 – 9 Maret
2009, LBH Semarang bekerjasama dengan Serikat Pekerja Nasional
(SPN) Pekalongan, menyelenggarakan Pusat Konsultasi atau Klinik
Hukum secara cuma-cuma di kantor SPN Pekalongan.
3. Publikasi dan Kampanye Pelanggaran HAM di Jawa Tengah
Sebagai bagian dari pertanggungjawaban publik, LBH Semarang
menyampaikan informasi sampai sejauh mana negara
mengimplementasikan hak asasi manusia, baik Hak Sipil Politik maupun
Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. LBH Semarang merangkum kondisi
tersebut berdasar penanganan kasus, investigasi, laporan masyarakat,
dan monitoring dari media massa. Kami berharap laporan kondisi hak
asasi manusia tersebut menjadi kritik bagi negara untuk
mengimplementasikan hak asasi manusia secara lebih baik.
Pada 30 Desember 2009, LBH Semarang menyelenggarakan
Konferensi Pers tentang kondisi hak asasi manusia, dan bentuk-bentuk
pelanggaran hak asasi manusia di Jawa Tengah sepanjang 2009. Selain
menginformasikan melalui media surat kabar dan elektronik, LBH
Semarang juga menerbitkan laporan tersebut dalam bentuk buku.
4. Training Advokasi NGO di Isu Pesisir dan Kelautan
Pada 2009, pemerintah Indonesia menyelenggarakan beberapa kegiatan
untuk membuat kebijakan pengelolaan pesisir dan kelautan. Salah
satunya adalah Word Ocean Conference (WOC). WOC telah
1 Laporan tahunan LBH Semarang, 2008.
menghasilkan dua buah dokumen penting, yaitu Manado Ocean
Declaration (MOD) dan Coral dan Triangle Initiative on Coral Reefs,
Fisheries and Food Security (CTI-CFF). Kedua dokumen penting ini akan
berdampak terhadap kebijakan nasional, khususnya dalam kebijakan
pengelolaan pesisir dan kelautan. Masyarakat, khususnya aktivis di isu
pesisir dan laut memprotes dua dokumen ini karena merugikan
masyarakat pesisir khususnya nelayan. Belum tuntas persoalan WOC ini,
pada penghujung September 2009, pemerintah telah mengesahkan
Revisi Undang-Undang 41 Tahun 2004 tentang Perikanan menjadi
Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Padahal
Undang-undang ini bermasalah, karena mengabaikan jaminan
perlindungan terhadap nelayan dan masyarakat pesisir.
Para aktivis Non Governmental Organization (NGO) perlu
menyikapi kebijakan pemerintah terkait pesisir dan laut tersebut dan
dampaknya terhadap masyarakat pesisir. Karena itu, Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan Layar Nusantara
dan LBH Semarang menyelenggarakan training atau Penguatan
Kapasitas NGO dalam Advokasi Kebijakan Pesisir dan Kelautan.
Training diselenggarakan pada tanggal 16 – 19 Desember 2009 di
Hotel Santika Semarang dan diikuti oleh 11 NGO di seluruh nusantara
yang concern terhadap advokasi kebijakan pesisir dan kelautan.
5. Pelatihan Pendokumentasian Isu Pesisir dan Kelautan Melalui
Media.
Pendokumentasian adalah kegiatan untuk mengabadikan suatu
peristiwa atau keadaan. Kegiatan ini penting dilakukan dalam
memperkuat kerja-kerja advokasi. Seseorang yang melakukan advokasi
tanpa pendokumentasian yang baik diibaratkan ” Tentara Perang Tanpa
Amunisi”. Begitu juga dalam hal pendokumentasian konflik pada isu
pesisir dan kelautan, kerja-kerja advokasi terhadap eksploitasi sumber
daya alam pada pesisir dan kelautan perlu didukung dengan
dokumentasi yang komprehensif.
Karena itu, pada 25 Nopember 2009, Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan Layar Nusantara dan
LBH Semarang menyelenggarakan Training Pendokumentasian Melalui
Media di Hotel Metro Semarang. Training diikuti oleh 15 nelayan dan
petani Tambak di Kabupaten Demak, Kota Semarang dan Kabupaten
Kendal.
Kegiatan ini bertujuan: (1) memberikan pemahaman terhadap
nelayan dan masyarakat pesisir akan pentingnya pendokumentasian,
dan (2) memberikan pemahaman kepada nelayan dan masyarakat
pesisir tentang cara mendokumentasikan konflik di wilayah pesisir dan
kelautan.
6. Evaluasi Pelatihan Paralegal Petani dan Paralegal Nelayan
Training Paralegal Petani di Kabupaten Kendal dan Training Paralegal
Nelayan di Kabupaten Kendal telah menghasilkan rencana tindak lanjut
bersama, salah satunya adalah memperkuat organisasi, baik organisasi
tani ataupun organisasi nelayan. Kedua training itu juga menghasilkan
strategi advokasi bersama pada masing-masing komunitas. Terkait dua
kegiatan tersebut, penting dilakukan evaluasi bersama sampai sejauh
mana efektifitas peran paralegal dalam mengimplemtasikan hasil
training tersebut pada komunitasnya masing-masing.
LBH Semarang bekerjasama dengan Yayasan TiFA
menyelenggarakan pertemuan atau diskusi guna mengevaluasi peranan
paralegal dan mekanisme koordinasi dengan LBH Semarang. Diskusi
Evaluasi Paralegal Petani diselenggarakan pada 26 Oktober 2009,
sedangkan diskusi Evaluasi Paralegal Nelayan diselenggarakan pada 27
Oktober 2009. Keduanya bertempat di Kabupaten Kendal.
7. Pelatihan Pendamping Hukum Rakyat
Hukum yang dibuat negara kadang banyak menimbulkan persoalan. Hal
ini karena proses pembuatan hukum tersebut tak lepas dari
kepentingan-kepentingan politik maupun kepentingan pasar. Reaksi-
reaksi penolakan terhadap hukum negara yang melahirkan dua
kenyataan yang hingga kini tetap berlangsung, yakni : (1) munculnya
ketegangan tak terdamaikan antara hukum rakyat dengan hukum
negara; dan (2) semakin memperlebar jarak antara keteraturan sosial
(social order) dengan keteraturan hukum (legal order).
Untuk menghidupkan kembali telaah-telaah sosial terhadap
hukum dan mengetahui politik hukum, LBH Semarang bekerjasama
dengan Perkumpulan HuMa Jakarta, menyelenggarakan Pendidikan
Hukum Kritis Untuk Pendamping Hukum Rakyat pada 17 – 19 Februari
2009. Kegiatan ini juga berguna untuk menghidupkan kembali dan
mengembangkan lebih lanjut konsep pluralisme hukum sebagai
alternatif untuk menjelaskan dan menyelesaikan konflik sosial yang
tengah banyak muncul dimasyarakat, serta gerakan-gerakan pembelaan
terhadap masyarakat marginal yang dapat mencerminkan aliran berpikir
tertentu mengenai hukum.
8. Pendokumentasian Dampak Perubahan iklim Terhadap
Masyarakat Pesisir dan Nelayan di Pantai Utara Jawa Tengah.
Perubahan iklim telah berdampak langsung terhadap kehidupan nelayan
dan masyarakat pesisir. Nilai-nilai kearifan lokal nelayan secara lambat
namun pasti telah hilang akibat perubahan iklim yang sangat ekstrim.
Nelayan sudah tidak bisa lagi memprediksi musim ketika berangkat
untuk melaut. Mereka juga tak bisa memprediksi lagi tanda-tanda alam
untuk mengetahui keberadaan musim ikan di laut. Salah satu
dampaknya adalah berkurangnya hasil tangkapan mereka. Karena itu
penting untuk mengidentifikasi sejauh mana dampak perubahan iklim
terhadap nelayan dan masyarakat pesisir.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama
dengan Layar Nusantara dan Semarang, melakukan serangkaian
kegiatan untuk mendokumentasikan dampak perubahan iklim terhadap
nelayan dan masyarakat pesisir.
• Live In di 3 Kabupaten
Live in adalah menetap dan tinggal di komunitas. Dengan menetap
dan hidup di komunitas kita akan merasakan dan memahami
kehidupan sosial nelayan dan masyarakat pesisir. Untuk
mendokumentasikan dampak perubahan iklim terhadap nelayan dan
masyarakat pesisir, LBH Semarang dan Layar Nusantara melakukan
live In di komunitas-komunitas nelayan dan masyarakat pesisir di 3
Kabupaten, yaitu Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak dan Kota
Semarang.
• Focus Group Discussion (FGD) Identifikasi Dampak Perubahan Iklim
Terhadap Nelayan
LBH Semarang bersama Layar Nusantara menyelenggarakan diskusi
pada tanggal 24 November 2009, di Wisma BKK, Jl Supriyadi No 37
Semarang. Diskusi diikuti oleh 15 nelayan dan petani tambak di 3
kabupaten, yaitu kabupaten Kendal, Kota Semarang dan Kabupaten
Demak. Kegiatan ini bertujuan:
1. Mengidentifikasi dampak perubahan iklim dan kerusakan ekologi
terhadap masyarakat pesisir.
2. Berbagi pengalaman sesama nelayan dan masyarakat pesisir
dalam menghadapi perubahan iklim dan kerusakan ekologi di
kawasan pesisir.
3. Melakukan pemetaan sampai sejauh mana dampak perubahan
iklim terhadap kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir.
• Publikasi dampak perubahan iklim terhadap nelayan dan
masyarakat pesisir
LBH Semarang akan mendokumentasikan dampak perubahan iklim
terhadap nelayan dan masyarakat pesisir dalam bentuk buku.
9. Launching Database Konflik Sumber Daya Alam
Konflik sumber daya alam di Jawa Tengah menjadi persoalan yang
belum terselesaikan sampai sekarang. Selama sepuluh terakhir, data-
data konflik sumber daya alam tersebut terus mengalami
perkembangan seiring dengan perkembangan kasus yang terjadi. LBH
Semarang telah mencatat hampir setiap perkembangan dan
mendokumentasikannya.
Sebagian besar data tersebut telah tercatat dalam program
database Humawin yang didesain oleh HuMa. Selama kurang lebih 3
tahun terakhir, konflik-konflik sumber daya alam di wilayah kerja LBH
Semarang telah didokumentasikan melalui Humawin ini. Pada 16
Desember 2009 di Hotel Santika Semarang, LBH Semarang bekerjasama
dengan Perkumpulan HuMa melaunching data-data konflik sumber
daya alam ini kepada publik. Tujuannya, agar publik mengetahui konflik
sumber daya alam yang terjadi di Jawa Tengah. Selain itu juga
mengungkap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi, dan lebih
lanjut ada jalan keluar mengurai konflik tersebut.
10. Pendidikan Hukum Kritis untuk Petani Grobogan
Pendidikan hukum kritis ini dikhususkan untuk para petani pinggir hutan
yang berkonflik dengan Perhutani di Kabupaten Grobogan. Konflik
tersebut meliputi konflik akses pengelolaan hutan dan konflik hak atas
tanah. Tujuan pendidikan ini adalah menyediakan ruang komunikasi,
membangun kesadaran kritis, dan konsolidasi para petani hutan.
Kegiatan dilaksanakan pada 7-9 Januari 2009.
11. Konsolidasi Petani Hutan Se-Jawa Bali
Jawa-Bali memiliki kawasan hutan yang sesungguhnya merupakan
potensi yang besar untuk kemakmuran rakyat. Sayangnya selama ini
petani hutan mengalami banyak persoalan dalam memenuhi hak-
haknya serta mewujudkan tata kuasa, tata produksi, tata guna dan tata
konsumsi yang berkeadilan, demokratis dan berkelanjutan. Di hampir
semua kawasan hutan, baik hutan rakyat, hutan negara yang dikelola
Perhutani, hutan adat maupun hutan lindung mempunyai persoalan
masing-masing yang membuat petani hutan tak kunjung mendapatkan
kemakmuran didaerahnya sendiri.
LBH Semarang bekerjasama dengan Perkumpulan HuMa
mengadakan konsolidasi petani hutan se-Jawa Bali pada 28-30 Januari
2009 di Kabupaten Banyumas. Kegiatan ini bertujuan mempertemukan
petani hutan untuk membincangkan persoalan yang mereka hadapi dan
bertukar inisiatif pengetahuan-pengalaman dalam pengelolaan sumber
daya hutan untuk membangun agenda kehutanan masa depan.
BAB VII
PENUTUP
Perlakuan negara terhadap masyarakat yang menuntut hak-haknya tak
pernah berubah. Pemaparan mengenai kondisi bantuan hukum dan hak
asasi manusia membuktikan bahwa rakyat harus punya kekuatan – fisik
dan non fisik untuk menuntut hak-hak mereka. Organisasi-organisasi
rakyat yang telah ada, haruslah dipupuk dan dikuatkan secara internal,
terutama kapasitasnya untuk menjadi wadah bagi perjuangan rakyat.
Dari tulisan ini, publik bisa melihat bagaimana negara melakukan
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi manusia disemua sektor:
sumber daya alam (pertanahan), lingkungan hidup, perburuhan, dan
masyarakat miskin perkotaan. Kriminalisasi, menjadi senjata yang
ampuh untuk meredam perjuangan rakyat. Namun kenyataannya,
rakyat tak terus “mati” dengan segala ancaman itu. Mereka terus
melawan, baik didalam maupun diluar pengadilan. Dari perlawanan itu,
kadang mereka berhasil, kadang tidak.
Di keempat issue tersebut, negara melalaikan kewajibannya
dalam memenuhi hak asasi manusia, yaitu kewajiban menghormati [to
respect], kewajiban melindungi [to protect] dan kewajiban memenuhi
[to fulfill]. Indonesia sendiri telah meratifikasi Kovenan Hak Ekonomi
Sosial Budaya melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Konvensi Hak Ekonomi Sosial Budaya [Ecosoc Right] dan
Kovenan Hak-hak Sipil Politik melalui Undang-undang No. 12 Tahun
2005 tentang Pengesahan Konvensi Hak Sipil Politik. Ratifikasi ini berarti
mewajibkan Negara untuk melakukan pemenuhan hak dasar bagi warga
Negara. Ironisnya, secara bersamaan Negara juga menjadi aktor atas
pelanggaran terhadap Hak-Hak Ekosob dan Hak Sipil Politik.
Di bidang bantuan hukum, negara juga melalaikan kewajibannya
menyediakan bantuan hukumnya untuk warga negara yang tidak
mampu. Padahal konstitusi Indonesia dan peraturan-peraturan
dibawahnya mewajibkan negara untuk menyediakan bantuan hukum
itu. Dalam kasus-kasus pidana, pelanggaran ini banyak terjadi. Ketika
menghadapi kasus pidana, mereka yang tak mampu kehilangan haknya
untuk didampingi penasehat hukum. Bantuan hukum dinegeri ini
menjadi sesuatu yang mahal. Rakyat miskin memang harus
“mempersiapkan diri sendiri” ketika hendak menuntut hak-hak mereka
atau menghadapi persoalan hukum.
Meningkatnya tindakan represif negara dalam merespon
tuntutan para petani, meningkatnya kasus-kasus lingkungan, belum
terpenuhinya hak-hak buruh, dan masih stagnannya kondisi masyarakat
miskin perkotaan membuktikan bahwa selama 2009 ini, kondisi Hak
Asasi Manusia di Jawa Tengah tak lebih baik dari tahun 2009.