Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

60

description

Buku ini berisi laporan tahunan 2009 LBH Semarang. Mengambil Judul "Bukan Menggantang Asap" dimana berarti bukan melakukan pekerjaan yang sia-sia. Dalam tahun 2009 ini LBH Semarang berjuang bersama rakyat dalam pengembalian hak-hak mereka terhadap negara. Bagaimana mereka sudah menguras tenaga dan berteriak bahwa pekerjaan dan perjuangan kami tidak sia-sia. Apa saja yang sudah dilakukan LBH Semarang, buku ini menggambarkannya.

Transcript of Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

Page 1: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009
Page 2: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

KATA PENGANTAR

Bukan Menggantang Asap. Kami sengaja memakai 3 kata itu untuk

melukiskan isi buku ini. Bukan menggantang asap, berarti bukan

melakukan pekerjaan yang sia-sia. Tulisan ini adalah refleksi kami atas

aktivitas bantuan hukum yang kami lakukan selama 2009.

Selama 2009, perjuangan rakyat untuk mengembalikan hak-hak

mereka direspon pemerintah dengan tindakan represif seperti

kriminalisasi. Namun, aksi represif itu tak kemudian membungkam

masyarakat. Mereka terus melakukan perlawanan., baik didalam

maupun diluar pengadilan: Melalui pengadilan, masyarakat menggugat

polisi, mempra-peradilankan polisi, menggugat perusahaan semen,

menggugat perusahaan perkebunan, menggugat Badan Pertanahan

Nasional, dan menggugat pemerintah daerah. Sementara itu,

mengkritisi kebijakan dan perilaku pejabat pemerintah, LBH Semarang

juga melakukan beberapa hal. Diantaranya menegur (mensomasi)

Gubernur Jawa Tengah yang mengucapkan pernyataan tak bijaksana di

media massa dan mengkritisi kekeliruan Surat Keputusan Walikota

mengenai kenaikan tarif air minum.

Perjuangan rakyat tersebut bukan pekerjaan sia-sia, meski yang

dihadapi adalah pihak-pihak berkuasa. Dalam beberapa kasus di

pengadilan, mereka juga meraih kemenangan. Misalnya:

dimenangkannya gugatan rakyat di Pengadilan Tata Usaha Negara

Semarang, dan diterimanya kasasi LBH Semarang atas kriminalisasi

petani Kendal.

Banyaknya kasus hukum melalui jalur litigasi ditahun 2009

sungguh “menguras” tenaga dan pikiran para pekerja bantuan hukum

LBH Semarang. Tahun ini adalah tahun dimana kita menangani perkara

terbanyak di pengadilan: 24 perkara. Rasanya mustahil jika melihat

sumberdaya pengacara LBH Semarang yang amat terbatas: dua advokat,

dan satu advokat magang. Tetapi dengan kerjasama yang baik dengan

seluruh pekerja bantuan hukum LBH Semarang, paralegal, para

pengacara dari lembaga lain yang menjadi kawan LBH Semarang, dan

para alumni LBH Semarang yang bersedia beracara secara prodeo,

semuanya menjadi mungkin dilakukan. Untuk itu, terima kasih kami

sampaikan sedalam-dalamnya kepada mereka yang bekerja tanpa

pamrih demi penegakan hak-hak asasi manusia. Mereka melakukannya

diitengah meruyaknya mafia peradilan, diskriminasi penegakan hukum,

dan ketidakpedulian pemerintah akan pemenuhan hak-hak masyarakat

marginal akan bantuan hukum.

LBH Semarang selama ini bekerja bersama para petani, nelayan,

buruh, masyarakat miskin perkotaan, dan masyarakat korban

lingkungan. Di masing-masing komunitas telah tercipta paralegal-

paralegal yang merupakan hasil dari proses belajar bersama antara

masyarakat bersama LBH Semarang, khususnya sejak sepuluh tahun

silam. Paralegal adalah masyarakat yang bukan advokat, namun

memiliki pengetahuan hukum. Keberadaan paralegal amat membantu

keterbatasan Sumber Daya Manusia dan sumber dana LBH Semarang

dalam mengadvokasi masyarakat marginal. Apalagi untuk saat ini, amat

jarang para advokat diluar LBH Semarang mau mendampingi rakyat

miskin secara prodeo. Kami menanti perubahan kebijakan yang

mengakui dan memperbesar peran paralegal. Untuk itu, harapan besar

kami ada pada pengesahan Rancangan Undang-undang Bantuan

Hukum.

Akhirnya, kami berterima kasih kepada seluruh pihak yang

membantu penerbitan buku ini, khususnya para penulis dan

kontributor, masyarakat, media massa, dan Yayasan TIFA yang

mendanai penerbitan buku ini.

Selamat membaca.

Semarang, 2 Januari 2009.

Siti Rakhma Mary Herwati

Direktur

Page 3: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………………………………………………………..

Daftar Singkatan…………………………………………………………………………………………………………………..

Daftar Isi………………………………………………………………………………………………………………………………

BAB I Peneguhan visi misi …………………………………………………………………………………..

BAB II Profil Konsultasi di Jawa Tengah 2009……………………………………………………….

BAB III Bantuan Hukum Melalui Jalur Litigasi……………………………………………………….

BAB IV Bantuan Hukum Melalui Jalur Non-Litigasi………………………………………………..

Bab V Kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) Jawa Tengah 2009……………………………….

Bab VI Mendorong Pemenuhan Access to Justice Bagi Masyarakat Marginal

di Jawa Tengah ……………………………………………………………………………………………

Bab VII Penutup………………………………………………………………………………………………………

Daftar Pustaka........................................................................................................................

Lampiran

Page 4: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

BAP : Berita Acara Pemeriksaan

AD/ART : Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga

AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Bappeda : Badan Perencana Pembangunan Daerah

Bappenas : Badan Perencana Pembangunan Nasional

BLH : Badan Lingkungan Hidup

BPN : Badan Pertanahan Nasional

BSAP (PT) : Berkah Surya Abadi Perkasa (PT)

CTI : Coral Triangle Initiative

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

GBHN : Garis Besar Haluan Negara

GSI (PT) : Good Stewards Indonesia (PT)

HAM : Hak Asasi Manusia

HGU : Hak Guna Usaha

Jamsosotek : Jaminan Sosial Tenaga Kerja

JM-PPK : Jaringan Masyarakat – Peduli Pegunungan Kendeng

KAL (PT) : Karyadeka Alam Lestari (PT)

KKCN : Koperasi Karyawan Citra Niaga

KLH : Kementrian Lingkungan Hidup

Kompolnas : Komisi Kepolisian Nasional

KUHAP : Kitab Undang-undang Acara Pidana

LBH : Lembaga Bantuan Hukum

LRC-KJHAM : Legal Resource Center-Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

NJOP : Nilai Jual Obyek Pajak

NGO : Non Governmental Organization

Peradi : Persatuan Advokat Indonesia

PKL : Pedagang Kaki Lima

PLN : Perusahaan Lisrik Negara

PNS : Pegawai Negeri Sipil

Polri : Kepolisian Republik Indonesia

PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil

PSP - SPN : Pengurus Serikat Pekerja-Serikat Pekerja Nasional

PTPN : Perseroan Terbatas Perkebunan Negara

PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara

REDD : Reduced Emission for Deforestation and Degradation

Renstra : Rencana Strategis

RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah

RPJP : Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Satpol PP : Satuan Polisi Pamong Praja

SBAN : Serikat Buruh Aquafarm Nusantara

SD : Sekolah Dasar

SHEEP : Society for Health, Education, Environment and Peace

SIKPI : Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan

SIPI : Surat Izin Penangkapan Ikan

SIUP : Surat Izin Usaha Perikanan

SIPD : Surat Ijin Penambangan Daerah

SMA : Sekolah Menengah Atas

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SP

Kahutindo : Serikat Pekerja – Perkayuan dan Kehutanan Indonesia

TKM (PT) : Trimulyo Kencana Mas

TNI : Tentara Nasional Indonesia

THR : Tunjangan Hari Raya

UGM : Universitas Gajah Mada

UKL : Usaha Pengelolaan Lingkungan Hidup

Page 5: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

UPL : Usaha Pemantauan Lingkungan Hidup

UU : Undang-Undang

UUPLH : Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup

UUPPLH : Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

WALHI : Wahana Lingkungan Hidup

YAPHI : Yekti Angudi Piadeging Hukum Indonesia

Page 6: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

Peneguhan Visi Misi LBH Semarang

1

BAB I

PENEGUHAN VISI MISI LBH SEMARANG

LBH Semarang berdiri pada 20 Mei 1978 dengan nama LBH Peradin yang

kemudian berafiliasi dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum

Indonesia (YLBHI) pada 1985, selanjutnya bernama LBH Semarang.

Pendirian lembaga ini didasarkan pada kesadaran bahwa hak untuk

mendapatkan dan menikmati keadilan adalah hak setiap orang. Karena

itu penegakannya harus terus diusahakan dalam suatu upaya

berkesinambungan untuk membangun suatu system masyarakat hukum

yang beradab dan berperikemanusiaan secara demokratis, dan disisi

lain, tiap kendala yang menghalanginya harus dihapuskan. 1

Keadilan hukum yang berjalan sinergis dengan keadilan ekonomi,

keadilan politik, keadilan sosial, dan keadilan (toleransi) budaya akan

menopang dan membentuk keadilan struktural yang utuh dan saling

melengkapi.

Upaya penegakan keadilan hukum penghapusan kendala-

kendalanya harus dilakukan secara sinergis, proporsional, dan

kontekstual dengan penghapusan kendala-kendala dalam bidang

ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pemberian bantuan hukum bukan

sekedar sikap dan tindakan kedermawanan tetapi merupakan bagian

tak terpisahkan dalam upaya pembebasan manusia dari setiap bentuk

penindasan.2

Sepuluh tahun terakhir, LBH Semarang memfokuskan bantuan

hukum dalam penanganan kasus-kasus struktural yang melibatkan

1 Siti Aminah (ed.), Menjaga Masa Depan, Kondisi Bantuan Hukum dan HAM Jawa

Tengah 2007, LBH Semarang, hal 1-2. 2 Ibid.

Peneguhan Visi Misi LBH Semarang

2

masyarakat marjinal dalam issue pertanahan, lingkungan hidup dan

pesisir, perburuhan, dan perkotaan. Penanganan issue tersebut dalam

kerangka pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak sipil

politik serta haak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Penanganan kasus

dilakukan melalui jalur litigasi (didalam pengadilan) dan non litigasi

(diluar pengadilan). Untuk mencapai tujuan LBH Semarang dan

merespon hambatan internal dan ekternal, tiap 3 tahun LBH Semarang

melakukan perencanaan strategis (Renstra).

LBH Semarang kembali menyelenggarakan perumusan Rencana

Strategis lembaga pada 2-3 Juli 2009 dan Selasa, 7 Juli 2009.

Pembahasan Renstra diawali dari sharing mengenai situasi eksternal,

kondisi sosial politik global di Indonesia. Dari pembacaan situasi

eksternal itu, LBH melakukan refleksi terhadap situasi internal

kelembagaan dan evaluasi visi 2010. Dari hasil diskusi, kami

memandang bahwa visi 2010 yang dihasilkan dari hasil perencanaan

strategis LBH Semarang 3-5 Mei 2007 ternyata masih relevan dengan

hasil pembacaan situasi ekternal dan internal. Visi 2007-2010 adalah:

“Memperkuat kelembagaan masyarakat sipil melalui pendidikan dan

bantuan hukum struktural bagi rakyat guna mendorong pemenuhan,

penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) oleh

Negara.”

Sementara itu Tujuan Strategis 2007-2010 adalah:

1. 2007-2008

Tahun 1 :

Meningkatkan posisi dan akses masyarakat marginal (miskin)

terhadap sistem peradilan melalui Bantuan Hukum Struktural yang

layak, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk mendorong

pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan HAM oleh negara

2. 2008-2009

Tahun 2 :

Page 7: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

Peneguhan Visi Misi LBH Semarang

3

Memperkuat posisi masyarakat marjinal untuk mendapatkan

keadilan melalui bantuan hukum, perluasan daya jangkau bantuan

hukum, peningkatan kapasitas organisasi rakyat,

pendokumentasian, publikasi dan kampanye pelanggaran HAM di

Jawa Tengah

3. 2009-2010

Tahun 3 :

Memperkuat kelembagaan masyarakat sipil melalui pendidikan dan

bantuan hukum struktural bagi rakyat guna mendorong

pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan HAM oleh negara

Ada beberapa evaluasi mengenai implementasi hasil renstra 2007,

yaitu:

- Tidak ada benang merah antar tahapan-tahapan renstra

- Terjadi ketidakkonsistenan tahapan tujuan strategis tahun per tahun,

sehingga perlu diperjelas dan dipertegas dalam implementasinya

Meski demikian, secara keseluruhan, LBH Semarang telah berhasil

melaksanakan tujuan strategis tahun pertama, tahun ke-2, dan tahun

ke-3 yang sedang berjalan. Ada beberapa hal yang perlu diperkuat

implementasinya dalam tujuan strategis tahun ke-3, yaitu :

memperkuat organisasi rakyat, intervensi negara, dan penguatan

logistik lembaga dan organisasi rakyat.

I.2. Perubahan Struktur Organisasi

Untuk melaksanakan tujuan strategis tersebut, diperlukan perubahan

struktur organisasi LBH Semarang sebagai berikut:

Peneguhan Visi Misi LBH Semarang

4

Direktur : Siti Rakhma Mary Herwati, S.H., M.Si

(Advokat)

Kepala Operasional : Slamet Haryanto, S.H.

Kepala Program : Sukarman, S.H.

Staf : Muhnur, S.H. (Advokat)

Erwin Dwi Kristianto, S.H.

Asep Mufti, S.H. (Advokat Magang)

Andiyono, S.H.

Karyawan : Skolastika Tyrama

Nureka Yunianto A, S.Sos

Slamet Riyadi

Nurmin

I.3. Struktur Organisasi LBH Semarang

Page 8: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

Peneguhan Visi Misi LBH Semarang

5

DIREKTUR

PROGRAM INTERNAL OPERASIONAL

STAF

RELAWAN

KARYAWAN

• Keuangan

• Administrasi

• Pramubakti

• Sopir

Relawan

Program

Page 9: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

5

BAB II

KONDISI BANTUAN HUKUM DI JAWA TENGAH 2009

Selama 2009, LBH Semarang menangani konsultasi kasus-kasus

struktural maupun non struktural di Jawa Tengah. Masyarakat yang

datang ke kantor LBH Semarang berasal dari Semarang dan kota-kota

lain di Jawa Tengah. Untuk 2009, jumlah konsultasi yang masuk ke LBH

Semarang sebanyak 125, menurun dari tahun 2008 yang berjumlah 141.

Konsultasi hukum tersebut sebagian besar adalah konsultasi kasus-kasus

non struktural yang tak berlanjut dalam advokasi litigasi maupun non

litigasi. Selain melalui konsultasi, LBH Semarang juga menangani kasus-

kasus struktural melalui pengorganisasian masyarakat, seperti kasus

lingkungan, kasus tanah, kasus pelanggaran hak-hak buruh, dan kasus

masyarakat miskin perkotaan. Berikut adalah grafik perbandingan

konsultasi hukum dari 2002-2009.

6

Masalah hukum yang paling banyak diadukan/dikonsultasikan

masyarakat adalah perkawinan (37%) kemudian masalah pidana (22%),

persoalan perdata (18%) dan persoalan perburuhan (18%). Tak ada

pengaduan untuk persoalan lingkungan, pertanahan, dan konsumen,

karena sebagian besar kasus-kasus lingkungan dan pertanahan adalah

kasus-kasus struktural, sehingga LBH Semarang menangani kasus-kasus

tersebut melalui pengorganisasian masyarakat. Rincian konsultasi di

2009 ini tak berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2008,

masalah pidana menempati peringkat pertama, dan masalah

perkawinan menempati posisi kedua. Sedangkan pada 2007, pidana

adalah yang paling banyak dikonsultasikan, lalu kasus perdata umum

dan perkawinan.

Page 10: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

7

Grafik di bawah ini adalah perbandingan jumlah konsultasi untuk

kasus-kasus tertentu selama tahun 2007-2009.

Konsultasi masalah pidana yang sering dikonsultasikan adalah

tidak ditanggapinya laporan masyarakat ditingkat kepolisian (laporan

pidana ditolak kepolisian), berhentinya penanganan kasus di kepolisian,

dan penyiksaan selama proses penyidikan. Sedangkan untuk persoalan

perkawinan, yang sering dikonsultasikan adalah tata cara pengajuan

cerai, dan kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik dan non

fisik.

Dalam hal tidak ditanggapinya laporan masyarakat oleh institusi

kepolisian atau institusi pemerintah yang lain, LBH Semarang melakukan

langkah administratif seperti mengirim surat ke instansi yang

bersangkutan. Sedangkan untuk kasus-kasus perdata dan perkawinan,

8

LBH Semarang bertindak sebagai konsultan hukum yang memberikan

saran, nasehat, dan upaya-upaya yang perlu dilakukan berkaitan dengan

penyelesaian kasus. Kadangkala, LBH juga membantu membuat surat-

surat yang diperlukan klien ketika klien menghadapi persoalan di

pengadilan.

Dari grafik di atas, terlihat bahwa sebagian besar masyarakat yang

datang ke LBH Semarang berasal dari kota Semarang (92 orang).

Sedangkan sisanya berasal dari kota-kota sekitar Semarang, seperti

Demak, Kudus, Pati, Jepara, Grobogan, Kendal, Batang, Pekalongan,

Muntilan (30 orang). Beberapa klien datang dari luar Jawa seperti dari

Jakarta, Tasikmalaya, dan Kalimantan. Biasanya mereka

direkomendasikan oleh LBH Jakarta, atau mendapat informasi dari

orang lain yang mengetahui LBH Semarang hubungannya dengan

penanganan kasus-kasus struktural maupun non struktural. Dengan

Page 11: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

9

demikian, penerima manfaat konsultasi hukum selain Semarang adalah

kabupaten dan kota-kota tersebut di atas.

10

Dari grafik di atas, diketahui bahwa masyarakat yang

berkonsultasi ke LBH Semarang sebagian besar adalah laki-laki,

sebanyak 74 konsultasi (59,2%), dan perempuan sebanyak 51 (40,8%).

Kasus-kasus yang dikonsultasikan tidak mendasarkan pada jenis kelamin

tertentu, namun ini adalah gambaran bahwa laki-laki lebih banyak

mengadukan persoalannya ke LBH Semarang dibandingkan perempuan.

Page 12: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

11

Mencermati grafik di atas, maka jenis pekerjaan terbanyak dari

masyarakat yang datang mengadukan kasusnya ke LBH Semarang

adalah buruh atau swasta sebanyak 53 orang, wiraswasta 24 orang, PNS

7 orang, Polri/TNI 1 orang, petani 3 orang, ibu rumah tangga 15 orang,

dan tidak bekerja 22 orang.

Hal ini menunjukkan masyarakat yang datang ke LBH sebagian

besar adalah masyarakat perkotaan yang bekerja sebagai buruh, swasta,

dan wiraswasta. Sedang petani yang tinggal di perdesaan terlalu jauh

jaraknya dengan Kota Semarang, sehingga mereka tak bisa mengakses

bantuan hukum. Untuk itu, LBH Semarang telah melakukan kegiatan

perluasan daya jangkau bantuan hokum. Untuk pertama kali dilakukan

di Kota Pekalongan dengan membuka posko bantuan hukum dan

konsultasi di tahun 2009. Sedang kasus-kasus tanah struktural yang

terjadi di perdesaan Jawa Tengah (seperti kasus tanah berbasis

perkebunan dan hutan) telah ditangani LBH Semarang melalui

pengorganisasian masyarakat sejak sepuluh tahun silam.

12

Grafik di atas bisa diketahui bahwa tingkat pendidikan

masyarakat yang berkonsultasi ke LBH Semarang terbesar adalah SMA

yaitu 48 orang, universitas (23 orang), akademi (20 orang), SD dan SMP

(13 orang), tidak sekolah (4 orang), dan tidak diisi (4 orang). Dengan

demikian, layanan bantuan hukum sebagian besar diakses oleh kalangan

menengah yang telah memiliki kesadaran atas hak-haknya. Masyarakat

miskin belum banyak mengakses layanan bantuan hukum karena

ketidaktahuan adanya layanan bantuan hukum, dan letak geografis

kantor LBH Semarang dengan tempat tinggal mereka.

Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan data konsultasi tahun 2007

dan 2008. Tahun 2007, masyarakat yang berkonsultasi terbesar adalah

SMA (73 orang), Universitas (44 orang), diikuti SD (25 orang), Akademi

(14 orang), SMP (18 orang), dan tidak sekolah (15 orang). Sedangkan

tahun 2008, Yang terbesar berasal dari tingkat pendidikan SMA yaitu 59

orang dan Universitas (25 orang), diikuti SLTP (20 orang), SD (15 orang),

Akademi (15 orang), Pesantren (1 orang) dan tidak sekolah (7 orang).

Page 13: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

13

BAB III

BANTUAN HUKUM MELALUI JALUR LITIGASI

Selama 2009, LBH Semarang menangani 24 perkara di pengadilan.

Dibanding tahun-tahun sebelumnya, kasus yang masuk ke pengadilan

memang lebih banyak, karena banyaknya kriminalisasi yang menimpa

masyarakat yang menuntut hak-haknya dan perampasan hak-hak

rakyat. Ke-24 perkara tersebut adalah:

1. Perkara Pidana No. 263/Pid.B/2009/PN.Kdl an Terdakwa Sar, Is,

dan St

2. Perkara Pidana No. 02/Pid/B/2009/PN Kdl an Terdakwa Ng dan Har

3. Perkara Pidana No. 19/Pid/B/2009/PN.Kdl an Terdakwa Rw, Sw,

Tg, Jsw

4. Perkara Pidana No. 20/Pid/B/2009/PN Kdl an Terdakwa Dj

5. Perkara Pidana No 274/Pid/2009/PT.Smg Perihal Banding an

Terdakwa Dj

6. Perkara Pidana No. 01/Pid.Pra/2009/PN KDL Perihal Permohonan

Praperadilan an Terdakwa Ng dan Har

7. Perkara Pidana No. 02/Pid.Pra/2009/PN KDL Perihal Permohonan

Praperadilan an Terdakwa Dj

8. Perkara Pidana No. 235/Pid.B/2009/PT.Smg Perihal Banding an 6

Terdakwa Rw, Sw, Tg, Jsw

9. Perkara Pidana No. 238/Pid.B/2009/PT.Smg Perihal Banding an

Terdakwa Ng dan Har

10. Perkara Pidana No. 1635 K/PID/2009 Perihal Kasasi an Terdakwa Dj

11. Perkara Pidana No. 246/Pid.B/2009/PN.Btg an Terdakwa Mn, Sr

12. Perkara Pidana No. 247/Pid.B/2009/PN.Btg an Terdakwa J, Rus

13. Perkara Pidana No. 66/Pid.B/2009/PN.Pt an Terdakwa Sd, Gn, Tm

14. Perkara Pidana No. 67/Pid.B/2009/PN.Pt an Terdakwa Ag, Mu, Sk,

St, Sn, Zn

15. Perkara Pidana No. 01/Pid.Pra/2009/PN.Pt Perihal Permohonan

14

Praperadilan an 9 Terdakwa kasus Semen Gresik

16. Perkara Perdata No. 43/G/2008/PHI.Smg Perihal Gugatan Buruh

PT. Trimulyo Kencana Mas

17. Perkara Perdata No. 59/G/2008/PHI.Smg Perihal Gugatan Buruh

PT. Trimulyo Kencana Mas

18. Perkara Perdata No. 47/G/2009/ Perihal Gugatan Buruh PT. Good

Stewards Indonesia

19. Perkara Perdata No. 18/Pdt.G/2009/PN.Kdl Perihal Gugatan

terhadap PT Karyadeka Alam Lestari

20. Perkara Administrasi No. 75/G/2009/PTUN.Jkt Perihal Gugatan

Pembatalan HGU PT Pagilaran Batang

21. Perkara Perdata No. 246/Pdt.G/2008/PN.Smg Perihal Gugatan

Falun Gong

22. Perkara Perdata No. 50/Pdt.u/2009 Perihal Banding atas putusan

perkara Falun Gong

23. Perkara Administrasi No. 18/Pdt.G/2009/PN.Kdl Perihal Gugatan

Pembatalan HGU PT Karyadeka Alam Lestari

24. Perkara Administrasi No. 04/G/2009/PTUN.Smg Perihal Gugatan

Pembatalan Ijin Eksplorasi PT Semen Gresik

25. Perkara Administrasi No. 138/B/2009/PT.TUN Sby Perihal Banding

Tergugat atas Putusan PTUN Semarang

Deskripsi kasus di bawah ini bukan berdasarkan masing-masing nomor

perkara, namun kasus-kasus yang terjadi yang kemudian berkembang

menjadi beberapa perkara pidana maupun perdata. Berikut posisi

masing-masing kasus, dan bantuan hukum yang diberikan LBH

Semarang.

1. Kasus Kriminalisasi 9 orang petani Desa Trisobo Kendal

Posisi Kasus :

Konflik tanah antara PT. Karyadeka Alam Lestari (PT. KAL) dengan

petani Desa Trisobo, Kabupaten Kendal berawal dari penguasaan tanah

Page 14: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

15

para petani oleh PT KAL pada 1996. Sebelumnya, tanah tersebut

dikuasai P&T Lands dengan hak erfpacht, lalu beralih ke PP Subang, PT

Tatar Anyar, dan terakhir PT KAL. Pada 1999-2000 petani mulai

menanami lahan-lahan terlantar di wilayah Perkebunan PT. KAL. Hak

Guna Usaha PT. KAL pada tanggal 31 Desember 2002 telah berakhir

masa berlakunya. Ada sekitar 381 (tiga ratus delapan puluh satu) petani

penggarap yang sudah secara produktif menggarap lahan terlantar eks

HGU PT. KAL tersebut. Luas garapan petani adalah sekitar 80 hektar.

Petani menanami lahan tersebut dengan tanaman jagung, pohon

sengon, pisang dan tanaman palawija lainnya. Para petani yang tak

mempunyai lahan garapan berharap BPN tak memperpanjang HGU PT.

KAL karena lahan tersebut, awalnya adalah tanah garapan masyarakat.

Masyarakat Desa Trisobo mayoritas berprofesi sebagai buruh tani atau

petani tak bertanah dan membutuhkan lahan garapan. Secara geografis

Desa Trisobo diapit oleh 3 (tiga) perusahaan besar yaitu PT. Karyadeka

Alam Lestari (PT. KAL), PTPN IX Nusantara, dan Perum Perhutani. Lahan

disekitar desa Trisobo sudah habis dikuasai oleh perusahaan-

perusahaan besar tersebut.

Pada September 2008, Sarimin, Istamar, Sutopo, para petani Desa

Trisobo, ditahan Polres Kendal atas dugaan pencurian (pasal 363:5

KUHP). Dakwaannya adalah pencurian 6 pohon randu, mangga, dan

rambutan milik PT KAL. Hasil penjualan pohon yang diklaim PT KAL

tersebut dibelikan material untuk membangun jembatan penghubung

Desa Trisobo dan perkebunan karet PT KAL yang rusak. Mereka disidang

dan divonis enam bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri

Kendal. Dua orang petani Trisobo yang menghadiri persidangan,

ditangkap juga oleh Polres Kendal dengan tuduhan yang sama.

Kemudian, empat petani dan mantan Kepala Desa Trisobo juga

ditangkap Polres Kendal ketika tengah melaporkan kasus pemalsuan

surat yang dilakukan Kepala Desa Trisobo ke Polwiltabes Semarang.

Enam petani yang menjadi terdakwa dan menjalani persidangan

di Pengadilan Negeri Kendal, telah divonis 10 (sepuluh) bulan penjara.

16

Upaya Hukum Pidana :

Peran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang adalah sebagai

penasehat hukum 10 (sepuluh) petani yang dikriminalisasikan tersebut.

LBH Semarang memohonkan banding untuk enam orang Terdakwa.

Tetapi Pengadilan Tinggi Semarang menguatkan putusan Pengadilan

Negeri Kendal.

2. Kasus Kriminalisasi Mantan Kepala Desa Trisobo

Posisi Kasus:

Dj (55) , mantan Kepala Desa Trisobo ditangkap aparat Polres Kendal di

Polwiltabes Semarang karena laporan PT Karyadeka Alam Lestari atas

dugaan penggelapan 40 batang pohon bendo yang diklaim milik PT KAL.

Peristiwa ini terjadi pada 2004. Waktu itu, Dj sebagai Kepala Desa,

menerima laporan dari warga tentang adanya puluhan kayu bendo hasil

tebangan tanpa pemilik. Sebagai Kepala Desa, ia kemudian

mengeluarkan surat yang isinya mengamankan kayu-kayu di balai Desa

Trisobo sambil menunggu pemilik sebenarnya. Kayu-kayu itu kemudian

hilang beberapa hari kemudian tanpa sepengetahuannya. Kasus ini

dilaporka PT KAL pada 2008 ketika konflik tanah antara petani Desa

Trisobo dengan PT KAL memanas. Dj kemudian ditahan dan disidang.

Majelis hakim memutusnya 18 bulan penjara.

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

LBH Semarang menjadi Penasehat Hukum Dj selama proses penyidikan

sampai persidangan. LBH juga melakukan banding dan kasasi atas

putusan hakim tersebut. Putusan banding Pengadilan Tinggi Semarang

menguatkan Pengadilan Negeri Kendal. LBH melakukan kasasi. Inti

memori kasasi, berdasar fakta-fakta yang terjadi di persidangan, yang

dilakukan oleh Terdakwa bukanlah perbuatan pidana sebagaimana

didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Permohonan Kasasi tersebut

telah diputus pada 30 September 2009 dengan nomor putusan :

1635K/PID/2009. Inti putusan tersebut adalah bahwa perbuatan yang

Page 15: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

17

didakwakan kepada Terdakwa bukanlah merupakan perbuatan pidana

(onslag van alle rechts vervolging) dan melepaskan terdakwa dari segala

tuntutan hukum.

3. Gugatan Perdata Petani Atas Perbuatan Melawan Hukum PT KAL

Posisi Kasus:

PT Karyadeka menguasai secara melawan hukum tanah-tanah petani di

Desa Trisobo Kecamatan Boja Kendal dan Desa Kertosari Kecamatan

Singorojo Kendal.

Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:

LBH mendampingi paralegal petani menggugat perdata PT KAL ke

Pengadilan Negeri Kendal. Pada 15 Juli 2009 Yohanes Nur Eko sebagai

ketua Forum Persaudaraan Petani Kendal (FPPK) organisasi tani tingkat

Kabupaten Kendal mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum PT.

Karyadeka Alam Lestari atas penguasaaan tanah Eks-HGU No.1 Desa

Trisobo Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal seluas 131,1 Ha dan Hak

Guna Usaha No.1 Desa Kertosari Kecamatan Singorojo seluas 18,2 Ha

(obyek sengketa) melalui Pengadilan Negeri Kendal dan tercatat dengan

nomor Gugatan : 18/PDT.G/2009/PN Kdl. Sampai sekarang proses

persidangan masih berlangsung. Dalam perkara ini, LBH bukan sebagai

kuasa hukum, namun mendampingi Nur Eko (paralegal petani),

berdiskusi tentang proses persidangan, dan membantu mempersiapkan

hal-hal yang diperlukan selama proses persidangan.

4. Praperadilan Kasus Penangkapan Ng dan Har (Petani Trisobo

Kendal)

Posisi Kasus:

Ng dan Har ditangkap aparat Polres Kendal ketika hendak melihat

proses persidangan Terdakwa Sar, Is, St, di Pengadilan Negeri Kendal.

Keduanya ditangkap di Pengadilan Negeri Kendal. Polres Kendal tidak

18

menunjukkan surat tugas sebagaimana diwajibkan di pasal 18 ayat 1

KUHAP dalam menangkap Ng dan Har.

Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:

LBH Semarang menjadi kuasa hukum Ng dan Har sebagai Pemohon

Praperadilan dalam kasus ini. Persidangan berlangsung marathon setiap

hari. Putusan hakim adalah menolak permohonan praperadilan yang

diajukan Pemohon kepada Termohon Kapolres Kendal, karena hakim

menilai penangkapan dan penahanan sudah sesuai prosedur KUHAP.

5. Praperadilan Kasus Penangkapan Mantan Kepala Desa Trisobo

Posisi Kasus:

Dj ditangkap Polres Kendal di Polwiltabes Semarang ketika sedang

melaporkan kasus pidana pemalsuan surat keterangan yang diduga

dilakukan oleh Kepala Desa Trisobo. Ia melaporkan kasus itu bersama 4

orang petani Trisobo (Rw, Tg, Sw, Jw). Saat itulah kemudian aparat

Polres Kendal langsung menangkap dan membawa mereka ke Polres

Kendal untuk diperiksa dan selanjutnya ditahan.

Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:

LBH Semarang menjadi kuasa hukum Pemohon Pra Peradilan 5 orang

petani melawan Termohon Kapolres Kendal dalam kasus ini.

Praperadilan kasus ini dilakukan karena aparat Polres Kendal tidak

membawa surat penangkapan dan menunjukkan surat tugas ketika

menangkap Dj sebagaimana diwajibkan pasal 18 ayat 1 KUHAP. Dalam

putusannya, hakim menolak permohonan pra peradilan Pemohon

karena hakim menilai proses penangkapan dan penahanan sudah

berjalan sesuai KUHAP.

Page 16: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

19

6. Gugatan Pembatalan HGU PT. Pagilaran Batang

Posisi Kasus :

Para petani 5 desa di Kecamatan Blado Kabupaten Batang Jawa Tengah

telah membuka hutan sebelum pemerintah kolonial Belanda datang ke

desa mereka. Sekitar tahun 1890, pengusaha swasta Belanda menyewa

lahan para petani dengan cara paksa untuk ditanami tanaman kina, dan

kemudian teh. Tanah itu lalu dijadikan hak erfpacht selama 75 tahun.

Kemudian, mereka menjualnya kepada P & T Lands, perusahaan swasta

Inggris. Hak erfpacht itu seluas 663 hektar. Setelah Indonesia merdeka,

kolonial Belanda kembali menguasai P & T Lands dan membakar bukti-

bukti kepemilikan tanah yang dimiliki warga. Pada 1964, pemerintah

Indonesia memberikan tanah bekas P & T Lands tersebut kepada

Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada dalam bentuk hibah. Karena

tak berbentuk badan hukum, Fakultas Pertanian lalu membuat Yayasan

untuk memperoleh sertifikat HGU. Yayasan Pembina Fakultas Pertanian,

mendirikan PT Pagilaran untuk mengelola perkebunan teh bekas P & T

Lands. Pada saat dilimpahkan kepada UGM, luas tanahnya bertambah

menjadi 836 hektar. Pada waktu itu, para petani masih menggarap

lahan diluar yang diberikan pemerintah kepada UGM. Pada 1965, PT

Pagilaran mengusir para petani penggarap dari lahan dengan surat

pengusiran. Mereka dituduh terlibat G 30 S. Para petani kemudian

keluar dari lahan. Mulai saat itu petani kehilangan lahan garapan seluas

450 hektar. Sebagian dari mereka beralih menjadi buruh perkebunan

teh yang berupah rendah. Pada Januari 2009, BPN memperpanjang HGU

PT Pagilaran yang berakhir 31 Desember 2008.

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

LBH Semarang menjadi salah satu kuasa hukum petani untuk

menggugat Kepala BPN RI di PTUN Jakarta. Pada 8 Mei 2009, 20 (dua

puluh) petani (Duri dkk) melalui LBH Jakarta dan LBH Semarang sebagai

kuasa hukum, mengajukan gugatan Tata Usaha Negara ke Pengadilan

Tata Usaha Negara Jakarta. Gugatan tersebut diajukan untuk

20

membatalkan Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasioanal Republik

Indonesia Nomor : 17 HGU-BPN RI – 2009 yang dikeluarkan pada 27

Januari 2009 tentang Pemberian Perpanjangan Jangka Waktu Hak Guna

Usaha PT. Pagilaran. PTUN Jakarta mencatatnya dengan perkara Nomor

: 75/G/2009/PTUN-JKT.

Gugatan pembatalan Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasional ini

diajukan oleh petani karena penerbitan surat keputusan ini dinilai

janggal, melanggar syarat administratif serta melanggar asas-asas

pemerintahan yang baik (good governance). Pelanggaran itu antara lain:

1. Melanggar keputusan Kepala BPN No. 12 tahun 1992, dimana

seharusnya panitia B melakukan penelitian apakah ada tanaman

masyarakat disekitar wilayah yang akan diajukan permohonan Hak

Guna Usaha (HGU);

2. Pelanggaran pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun

1996 tentang Hak Guna Usaha;

3. Pelanggaran pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang No.9 Tahun

2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.5 tahun 1986

tentag Peradilan Tata Usaha Negara;

Pada tanggal 29 Oktober 2009 keluar putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara No. 75/G/2009/PTUN-JKT yang intinya:

Dalam eksepsi

� Menerima eksepsi Tergugat dan Tergugat dan Tergugat II Intervensi

Dalam pokok perkara

� Menyatakan gugatan Para Pengugat tidak diterima;

� Menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp. 458.000.00 (Empat);

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa oleh karena

hubungan hukum antara pewaris dan Para Pengugat dengan tanah

obyek sengketa tidak jelas. Majelis hakim berpendapat Para penggugat

Page 17: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

21

tidak mempunyai kepentingan mengajukan gugatan sebagaimana

dimaksud pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004

Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pada 12 Nopember 2009 kuasa

hukum Penggugat telah menyatakan permohonan banding atas putusan

Nomor : 75/G/2009/PTUN-JKT tanggal 29 Oktober 2009.

Para pengacara LBH Jakarta menjadi kuasa hukum penggugat dan

bersidang di PTUN Jakarta selama berjalannya persidangan dari awal

hingga akhir. Selain sebagai kuasa hukum, peran LBH Semarang adalah

mendampingi petani (penggugat) dalam mempersiapkan seluruh

keperluan teknis persidangan. LBH Semarang memprioritaskan peran

paralegal petani untuk terlibat secara aktif didalam maupun diluar

pengadilan.

7. Kasus Kriminalisasi 4 warga miskin di Kabupaten Batang

M(39), S(25), J(16), R(14), adalah empat warga Dusun Secentong, Desa

Kenconorejo, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang yang

dikriminalisasikan karena mengambil sisa-sisa panen kapuk randu di

areal HGU PT. Segayung. Senin pagi tanggal 2 Nopember 2009, M dan S

sebetulnya sudah menyiapkan barang-barang untuk kembali ke Jakarta

untuk bekerja. Namun, saat itu tiba-tiba muncul inisiatif untuk gresek

(memungut) hasil sisa panen buah randu yang terletak di areal lahan PT.

Segayung. Gresek merupakan kebiasan yang sudah bertahun-tahun bagi

warga Dusun Secentong maupun dusun disekitarnya. PT. Segayung

sendiri terletak di Desa Sembojo, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang

atau kurang lebih 3 km dari kediaman Manisih. Akhirnya sekitar pukul

06.00 WIB berangkatlah keempatnya menuju ke lokasi pengambilan

buah randu. Mereka berjalan kaki ke lokasi perkebunan. Sampai di

lokasi perkebunan, mereka memunguti sisa-sisa kapuk randu diatas

22

tanah. Sesekali mereka mengambil sisa kapuk randu yang masih

tergantung di pohon menggunakan galah dari batang singkong yang

mereka temukan di jalan ke perkebunan.

Mandor perkebunan PT. Segayung Polisi menuduh mereka

melakukan pencurian buah randu sebanyak 14 kg atau seharga

Rp.12.000,-. Selama proses penyidikan, mereka tidak didampingi

Penasehat Hukum. Saat ini mereka tengah menjadi pesakitan di

Pengadilan Negeri Batang. Polisi mengenakan Pasal 363 ke-4 KUHP.

Selama 3 minggu sejak 2 November 2009 mereka ditahan di LP Batang

dengan status titipan Polres Batang. Dua anak, J dan R juga ikut ditahan

bersama orang dewasa di LP yang sama, meskipun mendapat kamar

terpisah. Kasus ini kemudian mencuat ke permukaan, ketika media

memuatnya di media massa dan elektronik. Polres Batang kemudian

mengeluarkan mereka dari tahanan dan langsung melimpahkan ke

Kejaksaan Negeri Batang. Kejaksaan, tak menahan mereka. Saat ini,

persidangan kasus tersebut tengah berlangsung di Pengadilan Negeri

Batang.

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

LBH Semarang sebagai penasehat hukum dari keempat terdakwa

tersebut. LBH tidak dari awal atau pemeriksaan penyidikan karena

terbatasnya informasi yang ada, setelah proses penyidikan selesai (P-21)

LBH Semarang menjadi penasehat hukumnya.

8. Gugatan PTUN kasus PT. Semen Gresik

Posisi Kasus:

Latar belakang gugatan ini adalah keluarnya Keputusan Kepala Kantor

Pelayanan Perijinan Terpadu No. 540/052/2008 tentang Perubahan Atas

Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Nomor:

540/040/2008 tentang Ijin Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan

Galian Golongan C Batu Kapur atas nama Ir. Muhammad Helmi Yusron,

Page 18: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

23

Alamat Komplek Pondok Jati AM-6 Sidoarjo Jawa Timur bertindak untuk

dan atas nama PT. Semen Gresik (Persero) Tbk di Desa Gadudero, Desa

Kedumulyo, Desa Tompegunung, Desa Sukolilo, Desa Sumbersoko

Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Jawa Tengah. Adapun Ijin

Pertambangan Daerah ini tanpa didahului Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan (AMDAL). Atas dasar inilah LBH Semarang bekerjasama

dengan Yayasan WALHI dan Lembaga Pengabdian Hukum (LPH) YAPHI

Solo, mengajukan gugatan ke PTUN Semarang tertanggal 23 Januari

2009. Setelah melalui tiga kali proses dismissal (pemeriksaan persiapan),

majelis hakim memeriksa dalam sidang terbuka untuk umum. Pada

proses dismissal, PT Semen Gresik mengajukan intervensi. Penggugat

keberatan atas gugatan intervensi tersebut. Namun, dalam putusan

sela, majelis hakim mengabulkan permohonan intervensi tersebut,

sehingga PT Semen Gresik menjadi Tergugat II Intervensi.

Selama proses persidangan, kedua belah pihak mengajukan bukti-

bukti tertulis. Penggugat mengajukan 31 bukti, berupa AD/ART WALHI

dan bukti-bukti yang memperkuat legal standing, peraturan-peraturan,

foto-foto, dan hasil kajian kawasan kars. Tergugat I mengajukan 38

bukti, sebagian besar berupa peraturan dan surat-surat pemerintah dan

Tergugat II Intervensi mengajukan 27 bukti, sebagian besar juga

peraturan dan surat-surat ijin PT Semen Gresik.

Majelis hakim memenangkan gugatan penggugat. Namun

demikian, Tergugat I dan Tergugat II Intervensi mengajukan banding,

sehingga pembatalan SIPD untuk PT Semen Gresik ini belum

berkekuatan hukum tetap. Tetapi dalam perkembangan terakhir, pada 6

Desember 2009 PT TUN ternyata telah memutus permohonan banding

Tergugat, dan memenangkan banding Tergugat. Dengan demikian,

WALHI kalah dalam proses banding ini.

Bantuan hukum yang diberikan:

LBH Semarang menjadi salah satu kuasa hukum WALHI, Non

Governmental Organization yang memiliki standing penegakan hukum

untuk kasus-kasus lingkungan. LBH menjadi kuasa hukum untuk

24

menggugat di PTUN, banding di PT TUN Surabaya, dan kasasi di

Mahkamah Agung.

9. Praperadilan pada kasus penyanderaan mobil PT Semen Gresik.

Posisi Kasus:

Pada 22 Januari 2009, tim dari PT PT Semen Gresik Tbk, Tbk mendatangi

Desa Kedumulyo. Kehadiran tamu asing yang tidak permisi terlebih

dahulu membuat warga yang selama ini aktif menolak pendirian pabrik

semen, tanpa dikomando ratusan warga menahan mobil dan para

penumpang. Aksi tersebut bertujuan agar Kepala Desa Kedumulyo

[Suwarno] bersedia menemui warga. Tuntutan tersebut menjadi wajar

karena tersiar berita bahwa tim dari PT PT Semen Gresik Tbk, Tbk

tersebut bertujuan untuk membebaskan lahan bengkok desa milik

sebagai calon tapak pabrik. Aktifitas tersebut adalah bentuk provokasi

dari PT Semen Gresik Tbk Tbk, karena pada tanggal 10 Januari 2009

sedulur sikep dan JM-PPK diundang di Bakesbanglinmas dan dijanjikan

tidak akan ada aktifitas sebelum penelitian bersama oleh Gubernur

Jawa Tengah, Bibit Waluyo. 1

1 Keterangan Gunretno, pada tanggal 24 mei 2009 di PTUN Semarang. Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia menguasakan kepada Tim Advokasi Peduli Lingkungan yang

terdiri dari Siti Rakhma Mary Herwati, S.H, Yusuf Suramto, S.H, Ign Heri Hendro Harjuno,

S.H, Iki Dulagin, S.H. sebaga kuasa hukum dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia,

saat ini telah mengajukan guagatan PTUN di Pengadilan TUN Semarang. Adapun yang

menjadi obyek Sengketa Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut: Keputusan Tata

Usaha Negara yang berwujud Surat Keputusan [SK] tentang Surat Ijin Penambangan

Page 19: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

25

Dalam peristiwa tersebut sembilan orang yang ditangkap dan

ditahan, yaitu Sudarto bin Sudiman: orang yang aktif melakukan lobby

dan juga aktif memimpin warga. Tamsi bin Mangun Sarpin diduga

melakukan provokasi. Gunarto bin Wargono menjadi orang yang pada

saat kejadian membawa megaphone dan berorasi. Mu’Alim Bin Sriyono

ditangkap karena membawa kamera. Agus Purwanto Bin Tolan

ditangkap karena membawa handycam dan aktif merekam setiap

proses lobby dan aksi. Selain itu juga Sukarman Bin Kusnen, Sutikno Bin

Nasirin, Sunarto Bin Suwarjan dimana kesemuanya juga dituduh

melakukan pelemparan dan pengrusakan mobil. Muhammad Zaenul

Waffa ditangkap karena tertangkap tangan sedang membawa botol

bersumbu berisi minyak tanah dan oli, dengan dugaan akan melakukan

pembakaran. Kesembilan orang tersebut bukan orang baru dalam

penolakan pabrik semen. Mereka tergabung dalam JM-PPK dan aktif

terlibat dalam setiap kegiatannya. Penangkapan kesembilan orang

tersebut diwarnai oleh kekerasan dan penyiksaan 2. Kekerasan dan

penyiksaan juga diderita oleh peserta massa aksi di Kedumulyo. Ibu–ibu

yang ditendang dan dilempar oleh polisi 3 dan ada warga yang ditodong

dengan pistol oleh aparat 4.

Daerah [SIPD] No. 540/052/2008 kepada PT Semen Gresik tertanggal 5 November 2008

yang dikeluarkan oleh TERGUGAT yang berisi pokoknya adalah mengenai ijin melakukan

penambangan batu kapur seluas 700 hektar yang terletak di Desa Gadudero, Desa

Kedumulyo, Desa Sukolilo, Desa Tompegunung dan Desa Sumbersoko yang berada di

Wilayah Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati.

2 Berdasarkan keterangan kesembilan orang tersebut, didukung kesaksian Para

Saksi dan barang bukti berupa kaos yang berlumur bercak darah. Hal ini

terungkap dalam sidang Perkara Praperadilan. No 01/Pid.Pra/2009/PN.Pt

maupun dalam sidang Pidana kasus kesembilan orang tersebut

3 Salah satu saksi mata adalah Kuat, warga Desa Sukolilo

4 Kesaksian Raselan, warga Desa Kedumulyo

26

Kekerasan [violence] dan penyiksaan [torture] dialami Sudarto

alias Buntung Bin Sudiman, Tamsi bin Mangun Sarpin dan Gunarto bin

Wargono selama proses penangkapan. Pola yang dilakukan adalah:

Sudarto bin Sudiman dipukuli lalu dibawa ke mobil truk polisi; Tamsi bin

Mangun Sarpin dipukuli ketika ditangkap; Gunarto bin Wargono

dilempari, diinjak-injak dan dipukuli; Sutikno bin Nasirin didorong

kemudian dipuli sambil diseret ke truk Polisi; Agus Purwanto bin Tolan

dipegang kemudian langsung dipukuli tanpa polisi bertanya terlebih

atau berbicara dahulu; Mu’Alim Bin Sriyono dipukuli; Sunarto Bin

Suwarjan dipukuli; Sukarman bin Kusnen dipukuli, diinjak-injak dan

diseret-seret lalu ke truk polisi.

Kekerasan [violence] dan penyiksaan [torture] berlanjut pada saat

pemeriksaan di Polres Pati. Sudarto alias Buntung Bin Sudiman, Tamsi

bin Mangun Sarpin dan Gunarto bin Wargono diperiksa tanpa diberikan

haknya sebagai tersangka dan mengalami penekanan, ancaman,

pemukulan dan tendangan dari penyidik Polres Pati selama proses

pembuatan BAP. Pola yang dilakukan Penyidik Polres Pati adalah:

Sudarto bin Sudiman dipukuli dan ditendang sampai berdarah; Tamsi

bin Mangun Sarpin dipukuli dan ditekan; Gunarto bin Wargono dipukuli;

Agus Purwanto bin Tolan dipukuli dan ketakutan karena melihat Sudarto

ditendang sampai berdarah dan Mu’Alim Bin Sriyono yang ditodong

pistol; Sukarman bin Kusnen dipukuli dan ditekan untuk mengaku

perbuatan yang tidak dilakukan; Sunarto bin Suwarjan dipukuli dan

dipaksa mengakui hal yang tidak dilakukan; Sutikno bin Nasirin

dibentak-bentak dan dipaksa menandatangani BAP tanpa tau isinya;

Mu’Alim Bin Sriyono diancam dengan menggunakan pistol dan dipukuli.

Bantuan hukum yang diberikan LBH Semarang:

Terkait penangkapan dan penahanan tersebut salah satu upaya yang

dilakukan 9 orang yang ditangkap tersebut melalui pengajuan

Praperadilan dengan No 01/Pid.Pra/2009/PN.Pt. Permohonan ditujukan

terhadap Kepolisian Negara R.I. dalam hal ini diwakili Kepala Kepolisian

Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta, Cq Kepolisian Negara

Page 20: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

27

R.I. Daerah Jawa Tengah dalam hal ini diwakili Kepala Kepolisian Daerah

Jawa Tengah yang berkedudukan di Semarang, Cq. Kepolisian Negara

R.I. Wilayah Pati dalam hal ini diwakili Kepala Kepolisian Wilayah Pati

yang berkedudukan di Pati, Cq Kepolisian Negara R.I. Resor Pati dalam

hal ini diwakili Kepala Kepolisian Resor Pati, yang beralamat Jl. Jl.

A.Yani No.1 Pati. Pra peradilan berlangsung selama 6 hari dan prosesnya

maraton tiap hari. Termohon Kapolri menghadirkan para saksi yaitu

aparat Polres Pati. Sedangkan permohonan Pemohon untuk

menghadirkan Para Terdakwa tidak dikabulkan hakim tanpa alasan yang

jelas. Dalam persidangan ini, Penasehat Hukum Para Pemohon

menunjukkan bukti kaos yang berlumuran darah milik salah satu

Terdakwa sebagai bukti tindak kekerasan dari aparat saat penangkapan.

Pada permohonan praperadilan tersebut, Hakim Fx Hanung Dw,

SH, MH. dalam eksepsi menolak eksepsi Termohon untuk seluruhnya

sedangkan dalam pokok perkara menolak permohonan Pemohon untuk

seluruhnya. Mengenai kekerasan, hakim mengakui adanya luka-luka

pada tersangka dan indikasi pelanggaran HAM, tapi hal tersebut bukan

menjadi kewenangan pra peradilan.

LBH Semarang menjadi salah satu kuasa hukum Para Pemohon

dalam sidang Pra Peradilan tersebut.

10. Kriminalisasi 9 warga dalam pada kasus penyanderaan mobil PT.

Semen Gresik

Posisi Kasus:

PT Semen Gresik, tbk berencana mendirikan pabrik semen di Kawasan

Kars Pegunungan Kendeng Utara. Rencana PT Semen Gresik, tbk

“memaksa” Negara untuk turut ambil bagian. Konflik antara

masyarakat yang menolak eksploitasi kawasan kars pegunungan

kendeng dengan pemodal yang didukung oleh Negara dan segelintir

masyarakat yang mempunyai kepentingan kemudian muncul.

Keberlanjutan lingkungan dan penghidupan mengemuka sebagai alasan

28

penolakan masyarakat. Masyarakat yang menolak kemudian

mengorganisir diri dan menyusun perlawanan dalam beragam cara,

yaitu berbagai aksi di Pati, Semarang dan Jakarta, pendirian posko tolak

semen, pencabutan patok beton sebagai tanda calon tapak lokasi

pabrik, pemasangan plang bertuliskan ”tanah untuk anak cucu” hingga

audiensi dengan stakeholders. Upaya ekstralegal pun dilakukan dengan

melakukan aksi penghadangan mobil Semen Gresik, Tbk yang

melakukan survey lokasi pada tanggal 22 Januari 2009 di Desa

Kedumulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Aksi massa tersebut

diwarnai represi aparat dan berujung pada kriminalisasi Sudarto Bin

Sudiman, Gunarto Bin Wargono, Tamsi Bin Mangun Sarpin, Agus

Purwanto Bin Tolan, Mu’Alim Bin Sriyono, Sukarman Bin Kusnen,

Sutikno Bin Nasirin, Sunarto Bin Suwarjan, Muhammad Zainul Wafa.

Sudarto alias Buntung Bin Sudiman, Tamsi bin Mangun Sarpin dan

Gunarto bin Wargono kemudian diseret ke muka persidangan pada

Perkara Pidana No. 67/Pid.B/2009/PN Pati dengan tuduhan melanggar:

Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 ayat [1] KUHP Atau Pasal 335 KUHP ayat [1]

jo. Pasal 55 ayat [1] KUHP. Mereka adalah warganegara Republik

Indonesia, tiga orang petani biasa yang tergugah hatinya untuk

memperjuangkan hak atas lingkungan dengan menolak rencana

eksploitasi oleh PT Semen Gresik Tbk di Kawasan Pegunungan Kendeng

dengan bergabung dalam JM-PPK. Kehidupan mereka sebagai petani

sangat bergantung pada keberlanjutan kawasan Pegunungan Kendeng.

Dari sembilan orang yang dikriminalisasi pasca aksi 22 Januari

2009, tiga orang diantaranya didakwa Jaksa Penuntut Umum dalam

perkara Pidana No. 66/Pid.B/2009/PN Pati, dengan tuduhan melanggar

Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 ayat [1] KUHP atau Pasal 335 KUHP ayat [1]

jo. Pasal 55 ayat [1] KUHP. Enam orang lainnya didakwa Jaksa Penuntut

Umum dalam perkara Pidana No: 67/Pid.B/2009/PN Pati. Mereka

adalah Agus Purwanto Bin Tolan, Mu’Alim Bin Sriyono, Sukarman Bin

Kusnen, Sutikno Bin Nasirin, Sunarto Bin Suwarjan, Muhammad Zainul

Wafa, yang didakwaan dengan Pasal 170 ayat [1] KUHP Atau 335 KUHP

ayat [1] jo. 55 ayat [1] KUHP. Sidang kasus Pidana No: 67/Pid.B/2009/PN

Page 21: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

29

Pati ini dilakukan maraton, setelah sidang pada kasus Pidana No.

66/Pid.B/2009/PN Pati.

Pasal yang dituduhkan pada mereka merupakan Pasal Haatzaai

Artikelen yang tidak sesuai dengan semangat nasional dan jiwa

proklamasi. Pasal ini mengandung semangat kolonial dan Law

enforcement priviligiatum sehingga Sudarto alias Buntung Bin Sudiman,

Tamsi bin Mangun Sarpin dan Gunarto bin Wargono sebagai

warganegara Indonesia yang sedang menuntut hak atas lingkungan yang

sehat harus dikriminalisasi sebagai seorang penghasut.

Persidangan perkara ini dimulai pada bulan April–Juni 2009.

Proses persidangan di Pengadilan Negeri Pati selalu ramai oleh keluarga,

masyarakat, Polisi berseragam, maupun tidak berseragam, serta kawan-

kawan pers. Kehadiran masyarakat sebagai pendukung tak hanya

bentuk solidaritas semata, lebih dari itu adalah bentuk keingintahuan

masyarakat mengenai sikap Pengadilan di Negara ini terhadap ekspresi

massa dalam penolakan rencana eksploitasi sumber daya alam di

Kawasan Kars Pegunungan Kendeng.

Majelis Hakim dalam putusannya yang diucapkan dalam sidang

yang terbuka untuk umum pada 19 Juni 2009, kemudian menjatuhkan

hukuman pidana 5 bulan kepada kesembilan orang tersebut.

Bantuan hukum yang diberikan:

LBH Semarang menjadi Penasehat Hukum 9 warga dalam kasus pidana

yang dipecah menjadi 2 perkara ini. LBH mendampingi mereka selama

proses penyidikan di Polda Jateng, dan proses pengadilan di Pengadilan

Negeri Pati.

11. Kasus Buruh PT. Trimulyo Kencana Mas (TKM)

Posisi Kasus:

PT. Trimulyo Kencana Mas (TKM) adalah sebuah perusahaan

penyamakan kulit beralamat di Jl. Raya Kaligawe Km.7 Semarang. Kasus

30

bermula ketika perusahaan TKM merumahkan 26 orang buruh dengan

status buruh tetap sejak 1 Agustus 2008 sampai dengan 31 Oktober

2008 dengan alasan penurunan order. Masa kerja buruh berkisar 4

tahun sampai dengan 10 tahun. Selama dirumahkan/menon-aktifkan,

upah buruh masih tetap dibayar oleh perusahaan. Seusai habis masa

penon-aktifan, perusahaan bukannya mempekerjakan 26 buruh namun

justru melakukan PHK dengan mengeluarkan surat No : 01/Xl/Lap/2007

tertanggal 1 Nopember 2007 yang ditujukan kepada Kepala Dinas

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang. Intinya perusahaan

melakukan PHK terhadap 26 buruh tanpa memberikan pesangon

dengan alasan perusahaan tidak mampu membayar. Buruh menolak

keputusan PHK tersebut.

Bantuan hukum yang diberikan :

Pada pertengahan 2007, LBH bersama-sama dengan Pengurus Pengurus

Serikat Pekerja (PSP) Serikat Pekerja Nasional (SPN) PT. Trimulyo

Kencana Mas sudah melakukan pendampingan dalam proses mediasi di

Dinas tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang. Mediator

menganjurkan agar TKM memberikan pesangon, penghargaan masa

kerja dan penggantian hak serta Tunjangan Hari Raya (THR) kepada 26

buruh. Atas anjuran tersebut, perusahaan tetap pada keputusannya

yaitu melakukan PHK tanpa pesangon. Sedangkan pihak buruh tidak

keberatan dengan anjuran dengan catatan perusahaan mau

membayarkan 2 kali ketentuan pesangon, penghargaan masa kerja dan

penggantian hak.

Pada April 2008, LBH Semarang mewakili 26 buruh mengajukan

Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan

Negeri Semarang. Gugatan dipecah menjadi 2, sehingga masing-masing

gugatan terdiri dari 13 buruh. Pada intinya buruh menuntut agar

dipekerjakan kembali, pembayaran uang masa tunggu dan THR.

Selama proses persidangan, perusahaan atau wakilnya tidak

pernah hadir sehingga pada Tanggal 22 Juli 2008 dan 19 Agustus 2008,

Majelis Hakim PHI memberikan putusan tanpa kehadiran Tergugat

Page 22: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

31

(perusahaan)/Verstek. Pada intinya Majelis Hakim mengabulkan seluruh

gugatan penggugat (buruh) yaitu menyatakan PHK tidak sah,

menghukum tergugat untuk mempekerjakan buruh kembali, membayar

uang masa tunggu dan THR.

Pada 2009, LBH Semarang mengajukan permohonan eksekusi

atas putusan PHI kepada pengadilan karena perusahaan tidak mau

secara sukarela memenuhi putusan. Pada pertengahan 2009, LBH

bersama perwakilan buruh dan solidaritas dari bebrapa serikat buruh

mendatangi Ketua pengadilan untuk mendesak agar segera melakukan

eksekusi.

LBH Semarang telah mengajukan permohonan lelang terhadap

aset perusahaan berupa mesin milling drum yang sebelumnya telah

dilakukan eksekusi oleh jurusita. Sampai saat ini pengadilan belum

menetapkan pelelangan atas aset tersebut.

12. Kasus Buruh PT. Good Stewards Indonesia (GSI)

Posisi Kasus :

PT. Good Stewards Indonesia (GSI) adalah perusahaan yang bergerak di

produksi garmen (sarung tangan), beralamat di Jl. Raya Karangjati

Km.27/900 Kelurahan Ngempon, Kecamatan Bergas, Kabupaten

Semarang. Pemilik perusahaan ini adalah orang asing

berkewarganegaraan Korea. Kasus bermula ketika pada tanggal 17

Oktober 2008, empat buruh perempuan dirumahkan atau di

nonaktifkan tanpa batas waktu yang jelas. Perusahaan beralasan karena

sedang mengalami kesulitan. Masa kerja buruh berkisar 4 tahun sampai

dengan 7 tahun dengan status kontrak. Selama dirumahkan upah buruh

tidak dibayarkan oleh perusahaan. Buruh menuntut kejelasan status

kerja dan pembayaran upah.

Dalam proses bipartit dan mediasi buruh didampingi oleh Front

Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI). Dari hasil mediasi,

32

mediator pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten

Semarang menganjurkan agar :

a. 4 (empat) orang buruh ditetapkan sebagai buruh tetap

b. Agar selama dirumahkan upah buruh dibayarkan sebesar 50% dari

upah

c. Agar kedua belah pihak menjaga keharmonisan dalam hubungan

kerja

Bantuan hukum yang diberikan:

LBH Semarang menjadi kuasa hukum keempat buruh tersebut. Pada 2

Maret 2009, LBH menyurati pimpinan PT. GSI dengan tujuan meminta

penjelasan atas status buruh. Karena surat yang telah dikirim tidak

ditanggapi, pada pertengahan bulan Maret 2009 LBH mendatangi

perusahaan dan bertemu dengan bagian manajemen perusahaan

bernama Endah. Dalam pertemuan tersebut pihak perusahaan

menyatakan belum bisa mempekerjakan buruh tanpa alasan yang jelas.

Pada 16 April 2009, LBH mewakili buruh mengajukan gugatan ke

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang.

Adapun tuntutannya adalah meminta PHI menetapkan PHK dan

menghukum PT. GSI membayar uang tunggu, pesangon, penghargaan

masa kerja dan penggantian hak serta Tunjangan Hari Raya. Pada 3

September 2009, Majelis Hakim memberikan putusan yaitu

mengabulkan sebagian gugatan. Diantara adalah menetapkan PHK dan

menghukum PT.GSI membayar pesangon, penghargaan masa kerja dan

penggantian hak serta uang tunggu.

Pada 14 Oktober 2009, LBH mendatangi pengadilan untuk

menanyakan perihal ada upaya hukum atau tidak dari pihak perusahaan

atas putusan. Pihak kepaniteraan saat itu menyatakan tidak ada upaya

hukum atau kasasi.

Karena sampai pertengahan Oktober 2009, perusahaan belum

memenuhi putusan PHI, pada tanggal 16 Oktober 2009 LBH bersama

para buruh mendatangi perusahaan untuk menuntut pelaksanaan

Page 23: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

33

putusan pengadilan secara sukarela. Saat itu pemilik perusahaan

(warganegara Korea) yang menemui langsung. Pihak perusahaan dalam

pertemuan tersebut pada intinya menyatakan tidak mau membayar

apapun kepada buruh.

Pada Nopember 2009, LBH mengirimkan surat kepada pengadilan

perihal permohonan eksekusi putusan, dikarenakan PT.GSI tidak mau

secara sukarela memenuhi putusan. Pada 10 Nopember 2009, salah

satu buruh didatangi jurusita dari Pegadilan Negeri Kabupaten

Semarang dan memberitahukan relas kasasi yang diajukan oleh PT.GSI.

Akibat keganjilan tersebut, LBH pada 19 Nopember 2009 kembali

mendatangi pengadilan untuk melakukan protes dan meninta kejelasan

terkait kasasi yang diajukan oleh PT.GSI. kemudian diketahui bahwa

PT.GSI mengajukan kasasi pada tanggal 16 Oktober 2009 bertepatan

pada waktu LBH mendatangi PT.GSI untuk menuntut pelaksanaan

putusan.

24 Nopember 2009, LBH mengirimi surat kepada Ketua PHI

perihal protes dan keberatan atas diterimanya pengajuan kasasi dari

PT.GSI, karena sudah melampaui batas waktu dan juga LBH sudah

mengrimkan permohonan eksekusi. LBH menuntut agar pengadilan

tidak menolak pengajuan kasasi dan tidak mengirimkan berkas kasasi

kepada Mahkamah Agung RI serta menindaklanjuti permohonan

eksekusi.

Sampai saat ini belum ada tanggapan dari pihak pengadilan

terkait surat protes LBH.

13. Putusan Kasasi Perkara PTPN IX Nusantara Kendal

Pada 22 Mei 2000 Badan Pertanahan Nasional cq Menteri Pekerjaan

Umum RI cq Direktur Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum

Cq KAKANWIL Departemen Pekerjaan Umum Prop Jateng cq Kepala

Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Prop Dati I jateng, dan 520 (lima ratus

dua puluh) petani yang berdomisili di Desa Banyuringin, Desa Kali Putih,

34

kecamatn Singorojo Kabupaten Kendal digugat oleh PTPN IX melalui

Pengadilan Negeri Kendal dan tercatat dalam Nomor :

16/Pdt/G/2000/PN.Kdl. Pada intinya gugatan tersebut menyatakan

bahwa petani telah dianggap melakukan perbuatan melawan hukum

karena telah menggarap lahan yang oleh PTPN IX lahan tersebut diklaim

sebagai lahan miliknya. Pada 14 Januari 2002, Pengadilan Negeri Kendal

memenangkan Penggugat PTPN IX dan putusan tersebut dikuatkan oleh

putusan Pengadilan Tinggi Jawa tengah Nomor : 37/Pdt/2003/PT.Smg

pada 26 Mei 2003. LBH Semarang sebagai kuasa hukum Tergugat

mengajukan Kasasi ke Mahmakam Agung Republik Indonesia. Sejak 7

April 2006 perkara tersebut telah diputus oleh Mahkamah Agung

Republik Indonesia dan dalam situs resmi Mahkamah Agung Pemohon

Kasasi yaitu Bakir dkk (para petani) dinyatakan KABUL. Tetapi sampai

saat ini, salinan putusan tersebut tidak pernah disampaikan kepada para

pemohon kasasi.

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

Dalam kasus ini LBH Semarang berperan sebagai kuasa hukum petani

dari pengadilan tingkat pertama samapai ketingkat Kasasi. Pada tanggal

16 September 2009 LBH Semarang telah melayangkan surat resmi

kepada Ketua Mahkamah Agung guna meminta salinan putusan MA No.

Reg 1743K/PDT/2004 tapi oleh Ketua Mahkamah Agung surat tersebut

dibalas yang pada pokoknya menyatakan bahwa surat tersebut dalam

tahap revisi atau perbaikan.

14. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum: Kasus Falun Gong

Posisi Kasus:

Kasus Falun merupakan kasus yang berawal dari hak sipil dan politik.

Pada 7 April 2007 berencana menyampaikan pendapat di Kota

Semarang terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap para

praktisi FALUN GONG yang terjadi RRC.

Sesuai dengan mekanisme undang-undang no.9 tahun 1998 tentang

Page 24: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

35

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum, para Praktisi

yang tergabung dalam Falun Gong menyampaikan pemberitahuan akan

melakukan pawai yang merupakan bagian dari penyampaian pendapat

dimuka umum pada tanggal 4 April 2007. Dan pada saat itu telah

diberikan STTP (Surat Tanda Terima Pemberitahuan) oleh Polres

Semarang Timur bagian Staf Administrasi.

Namun pada pelaksanaan pawai penyampaian pendapat dimuka

umum yang pada waktu itu berlokasi di Simpang Lima Semarang,

Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang bersama Polres Semarang

Timur datang ke lokasi membubarkan pawai penyampaian pendapat

dimuka dan menangkap para praktisi FALUN GONG. Bapak Hok

Soebagio selaku koordinator pawai kemudian diperiksa secara intensif,

yang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam pasal 216 KUHP jo

pasal 15 Undang-undang No.9 tahun 1998 dan pasal 510 KUHP.

Namun sampai tahun 2008 perkara tersebut tak segera

dilimpahkan ke Kejaksaan. Karena hak-hak Hok Soebagio atas status

hukumnya yang tidak jelas dan telah terjadinya pelanggaran hak

konstitusionalnya, ia melakukan upaya hukum perdata berupa Gugatan

Perbuatan Melawan Hukum pasal 1365 KUH Perdata kepada Kepala

Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang atas tidakkannya yang telah

melanggar ketentuan 13 ayat 1, 2, 3 Undang-undang No.9 tahun 1998.

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

LBH Semarang menjadi kuasa hukum Hok Soebagio untuk melakukan

upaya hukum perdata 1365 KUH Perdata kepada Kepala Kepolisian

Wilayah Kota Besar Semarang. LBH Semarang menggugat Kapolwiltabes

Semarang atas tindakannya yang telah melakukan perbuatan melawan

hukum atas Undang-undang No.9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan

Menyampaian Pendapat Dimuka Umum.

Gugatan resmi disampaikan ke Pengadilan Negeri Semarang pada

20 Oktober 2008 dengan Nomor Perkara 246/Pdt.G/2008/PN.Smg. Pada

2009 Pengadilan Negeri Semarang memutus perkara nomor

246/Pdt.G/2008/PN.Smg tersebut dengan putusan menerima Eksepsi

36

Tergugat, dan Gugatan Tidak Dapat Diterima karena error in persona,

dimana Penggugat Tidak Mempunyai Kedudukan dan Kepentingan

Hukum untuk melakukan Gugatan.

Upaya Banding atas Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor

Perkara 246/Pdt.G/2008/PN.Smg

LBH Semarang mengajukan upaya hukum banding atas putusan perkara

nomor 246/Pdt.G/2008/PN.Smg ke Pangadilan Tinggi Jawa Tengah pada

bulan November 2009.

Page 25: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

37

BAB IV

BANTUAN HUKUM MELALUI JALUR NON LITIGASI

1. Kasus Pencemaran Lingkungan di Tugu, Semarang

Lima perusahaan di kawasan Industri Tugu, Kota Semarang yang

mencemari lingkungan diduga beroperasi tanpa dilengkapi oleh AMDAL

atau UKL dan UPL. AMDAL adalah “kajian mengenai dampak besar dan

penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada

lingkungan hidup yang diperlukan dalam proses pengambilan keputusan

tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan” [pasal 1 angka [21]

UU Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup

(UUPLH)]. Sedangkan dalam rangka menunjang pembangunan yang

berwawasan lingkungan, maka bagi rencana usaha yang tidak ada

dampak pentingnya atau secara teknologi sudah dapat dikelola dampak

pentingnya diwajibkan membuat UKL dan UPL. Baik AMDAL maupun

UKL dan UPL sendiri bukanlah ijin untuk melakukan usaha, akan tetapi

merupakan kajian lingkungan yang merupakan syarat untuk

mendapatkan ijin, seperti Ijin Mendirikan Bangunan, Ijin Usaha Industri,

Ijin Penambangan dan lain sebagainya.

Dalam Penegakan Hukum Lingkungan [Environmental

Enforcement] dapat dilakukan melalui instrumen Penegakan Hukum

Administratif, Penegakan Hukum Pidana, dan Penegakan Hukum

Perdata. Dalam penegakan hukum lingkungan administratif, UUPLH

memberi kewenangan antara lain izin dumping [Menteri Lingkungan

Hidup], Pengawasan penataan [Menteri Lingkungan Hidup/Badan

Lingkungan Hidup], Paksaan Pemerintahan [Gubernur/Bupati/Walikota],

Pencabutan izin usaha [Instansi penerbit izin], Audit Lingkungan Wajib

38

[Menteri Lingkungan Hidup]. Dalam penegakan hukum pidana UUPLH

memberi kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil [PPNS]

Lingkungan Hidup [environmental Investigator] dalam jenis-jenis tindak

Pidana Generic Crimes [delik material], Specific Crimes [delik formal],

Corporate Criminal Liability. Sedangkan penegakan hukum lingkungan

perdata dalam UUPLH terdiri dari di luar pengadilan yang bersifat

Optional/sukarela, non pidana, tidak terbatas pada ganti kerugian, jasa

pihak ketiga dan lembaga penyedia jasa dan di Pengadilan [Class

Actions, Strict Liability, NGO’s standing, hak standing Badan Lingkungan

Hidup]. Melihat landasan yuridis tersebut Pemerintah Kota Semarang

[setelah Badan Lingkungan Hidup menemukan adanya pencemaran dan

pelanggaran admininstratif] seharusnya mendayagunakan hukum

lingkungan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan

kerusakan lingkungan.

Bantuan Hukum Yang Dilakukan LBH Semarang:

1. Melakukan investigasi dan pengorganisasian, serta memberikan

pendidikan hukum kritis di komunitas, materi pendidikan hukum

kritis adalah terkait hukum lingkungan khususnya terkait dengan

rezim perijinan dan AMDAL

2. Mengadakan pertemuan antara warga dan pemilik perusahaan.

Dalam pertemuan yang digelar di SD Tapak, perwakilan perusahaan

berjanji tidak menambah stok batubara dan akan pindah dari lokasi.

Kemudian dibuat kesepakatan tertulis di atas materai

3. Mengadakan audiensi pada 11 September 2009 antara warga

dengan BLH. BLH kemudian menyatakan:

- BLH hanya memiliki 1 orang PPNS

- BLH sudah mengirim surat peringatan pertama.

- Satpol PP sudah mensegel lokasi

- Dari pertemuan terdahulu antara perusahaan dan BLH serta

Page 26: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

39

Satpol PP, diperoleh kesepakatan bahwa tidak akan ada

pengiriman batubara lagi, namun jika mengeluarkan batubara

diperbolehkan

- BLH berharap, laporan warga terkait aktivitas pembongkaran

batubara yang terjadi semalam dilaporkan secara tertulis

- BLH akan mengirim surat peringatan kedua dan ditembuskan ke

Polda Jateng

LBH Semarang kemudian meminta BLH Kota Semarang

menggunakan kewenangannya dalam menegakkan hukum pidana

lingkungan bagi perusahaan yang oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil

[PPNS] Lingkungan Hidup [environmental Investigator] - Badan

Lingkungan Hidup Kota Semarang, telah terbukti melakukan

pencemaran. Namun BLH beralasan tidak memiliki kewenangan

untuk itu

2. Kasus Penganiayaan dan Penolakan Laporan Polisi

S, berkonsultasi tentang kasus kecelakaan lalu lintas yang dialami

anaknya. Anaknya yang mengendarai sepeda motor roda dua,

bertabrakan dengan pengendara sepeda motor yang lain. Anaknya lalu

dipukuli kepalanya dengan menggunakan helm, oleh orang yang

bertabrakan dengannya. Anaknya tidak diberi ganti rugi biaya

pengobatan, sebaliknya pengendara motor tersebut malah minta ganti

rugi kerusakan motornya.

Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:

LBH Semarang memberikan konsultasi atas kasus kecelakaan lalu lintas

tersebut, dan mendampingi S melaporkan kasus penganiayaan ke

Polwiltabes Semarang. Namun polisi menolak laporan penganiayaan

40

tersebut, dengan alasan kasus kecelakaan harus dilaporkan dahulu, baru

melaporkan kasus penganiayaan. Untuk itu, mereka meminta S

melaporkan kasus kecelakaan lalu lintas ke Polres Semarang Timur.

Sebelum dilaporkan ke Polres Semarang Timur, kasus ini sudah selesai

karena pengendara motor mau memberikan ganti rugi setelah

mengetahui S akan melaporkan kasus penganiayaannya ke polisi.

3. Kasus Penipuan dan Kekerasan Terhadap perempuan

N mengadukan pelanggaran kode etik dan tindak pidana yang dilakukan

oleh anggota Kepolisian Kabupaten Grobogan.

N menjalin hubungan dengan Sw, seorang polisi di Grobogan.

Kepada N, Sw mengaku masih bujangan. Setelah berpacaran, N baru

mengetahu bahwa Sw sudah beristri. N kemudian hamil. Setelah

melahirkan, Sw meninggalkan N. Padahal sebelumnya Sw berjanji tidak

akan menelantarkan anaknya dan sanggup memberikan nafkah. Sw

kemudian kembali menjalin hubungan dengan perempuan lain.

Bahwa karena kondisi tersebut, akhirnya Nining Kustyaningsih

melaporkan perbuatan Suwarjo kepada KABID PROPAM POLDA Jateng,

dengan tanda bukti lapor No.Pol:BPL/85/IX/2007/Yanduan. Tetapi

laporan ini tidak ditindaklanjuti.

Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:

LBH Semarang mengirim surat kepada Kepala Kepolisan Republik

Indonesia; Komisi Kepolisan Nasional dan Kepala Kepolisan Daerah Jawa

Tengah. Akhirnya Kabid Propam Polda Jateng memberikan tanggapan

dan menjatuhkan hukuman 3 minggu kepada Sw.

Page 27: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

41

4. Kasus PT. Aquafarm Nusantara

Posisi Kasus :

PT. Aquafarm Nusantara adalah perusahaan pengemasan ikan dengan

orientasi pasar eksport, beralamat di Jl. Tambak Aji Timur I No.2

Ngaliyan Semarang. Pemilik perusahaan adalahorang asing

berkewarganegaraan Swiss. Kasus bermula ketika sekitar 240 buruh

(tergabung dalam Serikat Buruh Aquafarm Nusantara/SBAN) dari

sejumlah 350 buruh yang ada di perusahaan melakukan mogok kerja

menuntut diantaranya upah lembur, peningkatan status kerja dari

kontrak menjadi tetap, uang makan, tunjangan transpor dll. Mogok

dilakukan mulai tanggal 27 Mei 2009 dengan melakukan aksi di depan

perusahaan. Masa kerja buruh berkisar 1 tahun sampai dengan 13

tahun.

Pihak perusahaan tetap tidak mau memenuhi tuntutan para

buruh, namun justru mencoba melakukan intimidasi secara halus

dengan cara bekerjasama dengan pihak kepolisian yang selalu

mengancam akan melakukan tindakan represif ketika buruh melakukan

aksi di depan perusahaan. Selain itu juga pihak perusahaan mendatangi

buruh satu-persatu secara personal agar mau bekerja kembali dan

menghentikan mogok kerja.

Perusahaan akhirnya mem-PHK 98 buruh dengan alasan mogok

kerja yang dilakukan buruh tidak sah.

Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:

LBH bersama Serikat Pekerja (SP) Kahutindo melakukan pendampingan

buruh saat melakukan aksi mogok kerja di perusahaan. Disela-sela

pendampingan tersebut, LBH juga memberikan pendidikan secara

informal kepada beberapa pengurus SBAN.

42

LBH melakukan pendampingan pada proses bipartit yang

dilakukan di Disnakertrans Kota Semarang tanggal 1 Juni 2009. Pada

perundingan tersebut, pihak perusahaan dengan didampingi 2 orang

kuasa hukum menyatakan menolak seluruh tuntutan-tuntutan buruh.

Sedangkan buruh menyatakan akan tetap melakukan mogok kerja

sampai tuntutan dipenuhi.

8 Juni 2009, dilakukan mediasi di Disnakertrans. Pihak perusahaan

pada perundingan tersebut hanya diwakilkan oleh 2 orang kuasa

hukumnya. Hasil dari perundingan tersebut, pihak perusahaan sanggup

melaksanakan upah lembur sedangkan tuntutan lain masih akan

dipertimbangkan. Namun pada 9 Juni 2009, perusahaan justru

mengeluarkan Surat PHK terhadap 98 buruh.

15 Juni 2009, LBH mendampingi buruh melakukan aksi dan

audiensi di Komisi D DPRD Kota Semarang. Hasil audiensi adalah Komisi

D menyarankan agar pihak perusahaan melaksanakan kesepakatan 8

Juni 2009 dan tidak melakukan PHK. 17 Juni 2009 perusahaan

mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Komisi D DPRD yang intinya

perusahaan tetap pada keputusannya yaitu mem-PHK 98 buruh.

LBH beberapa kali melakukan negosiasi dengan pihak kuasa

hukum perusahaan, dengan tuntutan agar pihak perusahaan

mempekerjakan dan mau memenuhi tuntutan buruh. Namun dari pihak

perusahaan menyatakan akan mempekerjakan buruh kecuali 30 buruh

yang dianggap sebagai provokator dan tidak akan memenuhi tuntutan-

tuntutan buruh yang lain.

Dari sekitar 240 buruh yang melakukan mogok kerja, minoritas

kembali masuk kerja dengan status kontrak, sebagian lagi tidak

melanjutkan perjuangan (khususnya buruh kontrak), sehingga tersisa

108 buruh yang masih melakukan penuntutan.

Buruh yang tersisa mengajukan PHK dengan tuntutan pesangon 2

kali ketentuan per-undang-undangan, penghargaan masa kerja,

Page 28: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

43

penggantian hak, uang tunggu dan THR dengan jumlah nominal sekitar

Rp.2,7 milyar. Pada perkembangannya terdapat sebagian buruh yang

menerima PHK dengan pesangon yang ditawarkan oleh perusahaan

sebesar Rp. 5 juta sampai dengan Rp.15 juta.

Saat ini masih sekitar 36 buruh yang menolak jumlah nominal

pesangon dan menuntut pesangon sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yaitu berkisar Rp 30 juta/buruh.

5. Kasus Buruh Koperasi Karyawan Citra Niaga (KKCN)

Posisi Kasus :

Koperasi Karyawan Citra Niaga (KKCN) adalah sebuah koperasi yang

berdiri dalam Bank CIMB Niaga, salah satu bank Malaysia. Kantor

cabang KKCN di Jawa Tengah beralamat di Jl. Pemuda 21B Semarang.

KKCN selain berfugsi sebagai koperasi simpan pinjam, usaha sewa-

menyewa juga melakukan praktek outsourcing.

6 (enam) buruh KKCN bagian satpam pada Bank CIMB Niaga,

menuntut kenaikan upah karena selama kerja ada kesenjangan upah

antar buruh. Selain itu buruh juga menuntut kekurangan pembayaran

iuran Jamsosotek (KKCN dalam membayarkan iuran Jamsostek

menggunakan patokan upah yang tidak sebanarnya/pemalsuan

keterangan besaran upah), serta menuntut pembayaran upah kerja

lembur. Masa kerja buruh berkisar 4 tahun sampai dengan 15 tahun.

Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:

Buruh telah melakukan proses bipartit dan mediasi ketika memberi

kuasa kepada LBH pada 14 Agustus 2009. Sebelumnya buruh didampingi

oleh SPSI.

Mediator Disnakertras Kota Semarang mengajurkan agar

perusahaan memberikan pesangon kepada buruh. Anjuran ini ditolak

44

oleh buruh karena buruh tidak pernah meminta PHK. Buruh justeru

menuduh pihak SPSI yang mendampingi “bermain di belakang” dengan

pihak KKCN, karena selama proses mediasi buruh tidak dilibatkan secara

penuh.

Pada 19 Agustus 2009, LBH mengrimkan somasi kepada pihak

KKCN untuk memenuhi tuntutan yaitu pembayaran upah lembur,

pembayaran kekurangan iuran Jamsostek, dan penyesuaian upah.

Pada 25 Agustus 2009, LBH mendampingi buruh ke Polwiltabes

untuk membuat laporan tentang dugaan tindak pidana pelanggaran UU

No.3 tahun 1992 tentang Jamsostek serta penggelapan upah lembur.

Pada 26 Agustus 2009, LBH bersama buruh mengadakan

pertemuan dengan pihak KKCN di Disnakertrans Kota Semarang.

Pertemuan ini merupakan undangan dari pihak KKCN. Dalam pertemuan

tersebut pihak KKCN bersama kuasa hukumnya bermaksud

menyampaikan keputusan PHK tanpa alasan yang jelas. Secara serentak

buruh menolak keputusan PHK tersebut.

Sejak 27 Agustus 2009, 6 (enam) buruh tidak diperbolehkan

masuk kerja oleh pihak KKCN dengan alasan sudah di PHK. 7 Oktober

2009, 3 (tiga) dari 6 (enam) buruh mencabut kuasa dari LBH dengan

alasan desakan dari keluarga untuk menerima PHK dan pesangon dari

pihak KKCN.

LBH masih menggali informasi terkait status badan hukum dari

KKCN untuk meminta pertanggungjawaban Bank CIMB Niaga, jika

kemudian hari KKCN bermasalah dengan status badan hukumnya.

6. Kasus Buruh PT. Berkah Surya Abadi Perkasa (BSAP)

Posisi Kasus :

Rohmad adalah pekerja di PLN melalui PT.Berkah Surya Abadi Perkasa

(perusahaan outsourching), Rohmad telah dituduh oleh PT.BSAP telah

Page 29: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

45

melakukan tindakan yang melanggar peraturan perusahaan yaitu

membujuk teman sekerja untuk mencari pelanggan baru tanpa

sepengetahuan perusahaan, sehingga Rohmad di PHK.

Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:

Bantuan hukum LBH Semarang adalah mempersiapkan dan membuat

berkas persidangan dan konsultasi.

Perkembangan Terakhir :

Buruh mengajukan kasasi karena gugatan ditolak oleh majelis hakim.

7. Kasus Sengketa Tanah Kampung Kepatihan

Posisi Kasus:

Warga Kampung Kepatihan Semarang terancam terusir dari

kampungnya, karena ahli waris Tasripin yang memiliki tanah Hak Milik

tersebut hendak menjual tanah yang ditempati warga kepada pihak lain.

Status warga menempati tanah itu adalah sewa tanah. Warga bersedia

membeli tanah tersebut. Februari 2007, muncul tawaran dari ahli waris

(Marjoso) kepada warga untuk membeli saja tanah yang sekarang

ditempati. Awalnya ada negosiasi antara warga dengan ahli waris

Marjoso namun dalam perjalanannya tidak berhasil meski warga telah

didampingi seorang penasehat hukum, karena dari pihak ahli waris tidak

sepakat mengenai harga beli tanah. Permintaan dari ahli waris adalah

pertama tanah itu dibeli dengan harga sesuai dengan Nilai Jual Obyek

Pajak (NJOP) serta warga membeli harus melakukan pembelian secara

utuh/ keseluruhan sebesar yang tercantum dalam peta sertifikat tanah

(luas + 2.049 M2). Tawaran tersebut tidak disepakati warga dengan

alasan bahwa tanah secara keseluruhan sekarang tidak lagi dalam

46

bentuk tanah lapang melainkan sudah ada bangunan-bangunan

diatasnya yang tidak hanya berupa rumah warga melainkan juga fasilitas

umum seperti jalan, dan tempat ibadah. Sehingga permintaan warga

adalah dibeli sesuai dengan luas tanah yang dipakai untuk pendirian

rumah, sementara untuk fasilitas-fasilitas umum dikurangi atau

dibebaskan dari perjanjian jual-beli. Selain itu, permintaan warga juga

tidak mau membeli tanah tersebut dengan harga sama karena

alasannya jelas seharusnya berbeda harga jual tanah yang berada di

depan atau muka dengan yang berada di dalam atau belakang serta

harganya juga tidak bisa disamakan dengan harga NJOP karena warga

sudah lama tinggal diatas tanah tersebut.

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

LBH memfasilitasi penyelesaian kasus secara musyawarah atau

negosiasi sejak 2007 dengan mempertemukan ahli waris dengan warga.

Setelah melalui proses panjang negosiasi, akhirnya warga dan ahli waris

melakukan transaksi jual beli dengan jangka waktu pelunasan adalah

akhir Oktober 2009.

8. Advokasi Kasus Petugas Kebersihan Pasar Johar

Posisi Kasus:

Petugas kebersihan pasar Johar yang diwakili oleh N, mengadukan

kasusnya kepada LBH Semarang terkait tidak dipenuhinya hak-hak

petugas kebersihan sesuai dengan perjanjian kerja. Selain itu, ada

kekhawatiran pedagang atas terbitnya surat perjanjian kontrak baru

dari pihak pengelola kebersihan pasar yaitu koperasi, untuk melepas

petugas kebersihan yang telah bekerja lama, jika dievaluasi dan

dinyatakan tidak diperpanjang kontraknya.

Page 30: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

47

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

LBH Semarang mengadukan permasalahan ini kepada Dinas Pasar Kota

Semarang dan memediasikan sengketa antara Petugas Kebersihan dan

Pihak Koperasi Pengelola Kebersihan Pasar Johar.

20 Maret 2009 Diadakan pertemuan antara perwakilan Petugas

Kebersihan Pasar Johar, LBH Semarang dan Perwakilan Dinas Pasar di

Kantor Dinas Pasar membahas permasalahan ini. Hasil pertemuan

tersebut adalah : Ada evaluasi yang menyeluruh terkait pengelolaan

kebersihan pasar Johar

24 Mei 2009, diadakan pertemuan antara Perwakilan Pengelola

Kebersihan, Petugas Kebersihan, LBH Semarang dan Dinas Pasar. Dalam

pertemuan tersebut dicapai kesepakatan:

� Kekhawatiran petugas kebersihan bahwa akan ada pemutusan

hubungan kerja karena kontrak baru habis tidak perlu terjadi. Pihak

Pengelola berjanji kontrak baru hanya untuk mengatur petugas.

Disepakati pertemuan lanjutan untuk membahas lebih teknis solusi

penataan petugas.

� Hak-hak petugas kebersihan Pasar Johar, seperti THR, dsb kedepan

akan berusaha dipenuhi oleh Pengelola.

9. Advokasi Kasus Rencana Penggusuran PKL Jl. Pemuda

Posisi Kasus:

Larangan berjualan terhadap PKL di Jalan-jalan Protokol termasuk Jalan

Pemuda marak dilakukan oleh pemerintah Kota Semarang. Jalan

Pemuda sebagai salah satu jalan protokol akan diberlakukan kebijakan-

kebijakan yang telah dirancang oleh pemerintah kota Semarang seperti

Kanan Kiri Jalan Protokol atau yang sering disebut Kakikol. Akibat

48

kebijakan tersebut, mulai gencar sosialisasi dan pelarangan-pelarangan,

bahkan ada peringatan-peringatan yang ditambah dengan ancaman

penggusuran terutama dari Satpol PP kepada PKL. Melihat kondisi

tersebut, PKL khususnya di Jalan Pemuda merasa terdesak dan

terancam sehingga melaporkan rencana pemerintah kota Semarang

tersebut ke LBH Semarang.

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

LBH Semarang dan PKL Jalan Pemuda melakukan pertemuan dengan

para seluruh PKL Jalan Pemuda untuk mengetahui kondisi terkini dan

menentukan langkah-langkah advokasi. Selain itu, menggunakan jalur-

jalur negosiasi dengan pemerintah kota Semarang dengan melakukan

audiensi. 13 Mei 2009, LBH Semarang bersama para PKL dilakukan

pertemuan dengan wakil Walikota. Hasil dari pertemuan tersebut,

akhirnya PKL masih diperbolehkan untuk berjualan, namun harus tetap

menjaga kemanan dan ketertiban. Wakil Walikota juga meminta data

PKL agar mudah untuk berkoordinasi.

10. Advokasi Sengketa Parkir

Posisi Kasus:

Kasus ini awalnya bermula dari ketidakharmonisan antara salah seorang

warga Jl. Beringin dengan Juru Parkir Rumah Makan Bringin karena

dipicu aktivitas parkir Rumah Makan Bringin yang dianggap

mengganggu. Konflik ini berlangsung terus menerus dan melibatkan

tidak hanya pihak yang bersengketa namun juga aparat Polri (Babinsa)

dan TNI. Terlebih lagi dua orang tukang parkir, pernah diinterogasi polisi

dan dimintai keterangan di Polsek Semarang Tengah karena laporan

salah satu warga bernama An, yang merasa keamanannya terganggu.

Selain itu, muncul pula keterlibatan oknum TNI yang mengintimidasi

Page 31: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

49

para tukang parkir dengan mengatakan bahwa akan ada penggantian

juru parkir di Rumah Makan tersebut karena ada warga yang tidak

menghendaki keberadaan mereka disana. Karena merasa tertekan dan

terancam kemudian tukang parkir yang diwakili oleh B, melaporkan

kejadian tersebut ke LBH dan meminta pendampingan.

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

LBH melaporkan oknum Polisi dan TNI yang telah berlaku tidak

profesional ke Propam Polda, Denpom atau Polisi Militer. Di Propam

Polda, surat pengaduan LBH Semarang hanya diterima namun tindak

lanjut laporan tidak diketahui. Ketika LBH mengofirmasi, jawaban yang

mereka berikan adalah laporan sedang diproses. Sementara, hasil yang

cukup bagus dari Denpom atau Polisi Militer. Komandan Denpom

memanggil dua oknum TNI yang ikut campur dalam kasus parkir itu. Lalu

ia mempertemukan tukang parkir dan oknum TNI tersebut secara

tertutup dan masing-masing dimintai keterangan. Komandan Denpom

kemudian menegur dan meminta oknum TNI untuk tidak ikut campur

lagi. Sementara itu oknum TNI yang ikut campur kemudian meminta

maaf dan meminta untuk persoalan ini diselesaikan sampai di Denpom

atau Polisi Militer saja.

Setelah laporan tersebut, An, yang merasa terganggu dengan

adanya parkir, mengadakan pertemuan untuk membahas penyelesaian

masalah ini. Dalam pertemuan tersebut hadir pemilik Rumah Makan

Bringin, dua orang tukang parkir tersebut, dan polisi Babinsa dicapai

kesepakatan bahwa parkir tetap diperbolehkan, namun untuk

pengaturannya dilakukan satu arah saja agar tidak semrawut.

11. Advokasi Kasus Pasar Kanjengan

Posisi Kasus:

Sejarah mengenai Pasar Kanjengan dimulai sejak tahun 1973. Awalnya

50

pihak pemerintah kota Semarang yang diwakili oleh Walikota

melakukan Perjanjian dengan Sartono Sutandi selaku pimpinan PT.

Pagar Gunung Kencana untuk menyerahkan tanah seluas 1500 m²

dalam bentuk Hak Guna Bangunan. Dalam perjanjian No.

Sek.2c/3/16/Um/74 tertanggal 11 Juni 1974 tersebut peruntukan Hak

Guna Bangunan adalah untuk Rumah dan Toko. Adapun jangka waktu

yang ditetapkan adalah 30 tahun, dimana setelah waktu tersebut habis

pihak pemegang HGB wajib mengmbalikan tanah tersebut kepada

Pemerintah Kota Semarang sebagai Pemegang Hak sebelumnya. Sejak

perjanjian dilakukan sampai berakhirnya perjanjian, seharusnya PT. PGK

melaksanakan pengembalian tersebut pada tahun 2006. Mengingat

kondisi dan situasi yang tidak memungkinkan, kewajiban tersebut baru

akan dilaksanakan pada tahun 2009. Rencana pembongkaran bangunan

dengan segera akan dilaksanakan sejak munculnya surat Nomor

593/1603 tertanggal 4 Mei 2009 perihal Penyerahan Hak atas Tanah

milik Pemerintah Kota Semarang dari Walikota yang mendasarkan pada

Surat perjanjian No. Sek 2c/3/16/Um/74 tanggal 11 Juli 1974 jo Surat

Perjanjian Tambahan No. Sek. 2c/17/Um/74 tanggal 11 Juli 1974 dan

Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 17 Juli 1976 No.

SK.231/HGB/DA/1976. Dengan surat tersebut PT. PGK memberitahukan

hak sewa para pedagang telah selesai sejak tanggal 25 oktober 2006 dan

tidak diperpanjang lagi. Sehubungan dengan hal tersebut pulalah PT.

PGK meminta pedagang mengosongkan bangunan Kanjengan selambat-

lambatnya tanggal 5 Juni 2009 karena pada tanggal 15 juni 2009 akan

dilakukan pembongkaran blok C, dan D. Permasalahan kemudian

muncul karena beberapa hal ; Pertama, Status tanah tersebut ternyata

tidak hanya HGB melainkan ada yang mempunyai dengan status Hak

Milik. Kedua, Diatas tanah tersebut berdiri bangunan yang kemudian

dijadikan tempat berjualan Pedagang Pasar Kanjengan.

Page 32: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

51

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

LBH Semarang melakukan analisis, membuat memorandum hukum dan

mensosialisasikan ke pedagang Pasar Kanjengan. Setelah semua

pedagang Pasar Kanjengan mengetahui posisi kasusnya, LBH Semarang

bersama pedagang melakukan negosiasi dan lobby ke Pemerintah Kota

Semarang.

Hasil negosiasi kasus ini tidak memuaskan. Hasil audiensi antara

pedagang dan Pemerintah Kota Semarang adalah membuat

kesepakatan bahwa pedagang mengakui tanah yang saat ini ditempati

adalah milik Pemkot. Namun pedagang juga diberikan kesempatan

kalau memang bangunan harus dibongkar dan dikembalikan kepada PT.

Pagar Gunung Kencana, jaminan nasib pedagang harus ada.

12. Advokasi Pasien Rumah Sakit NU Demak

Posisi Kasus:

Permasalahan ini berawal dari pengaduan Sl, atas kebijakan RS NU

Demak yang tidak memperbolehkan anaknya untuk pulang karena

belum membayar lunas biaya Rumah Sakitnya. Pihak keluarga pasien

sangat ingin agar pasien bisa pulang dan diobati di rumah karena

ketidakmampuan mereka membayar biaya rumah sakit.

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

LBH Semarang melakukan negosiasi dengan pihak Rumah Sakit NU

Demak. Kasus ini telah selesai, upaya yang dilakukan adalah

bernegosiasi dengan RS NU agar pasien dapat pulang, sementara untuk

pelunasan pembayaran biaya rumah sakit akan dilakukan bertahap

sampai dengan bulan Oktober 2009. Kedua belah pihak kemudian

menandatangani perjanjian kesepakatan.

52

13. Kasus Sengketa Pelayanan Publik

Posisi Kasus:

Permasalahan ini berawal dari pengaduan Rs, atas ditolaknya

permohonan keterangan waris dari Kelurahan Kauman, Kecamatan

Semarang Tengah, Kota Semarang. Lurah menolak permohonan ini

karena ia khawatir ada ahli waris lain yang nanti akan

mempermasalahkan surat keterangan tersebut.

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

Atas laporan tersebut LBH Semarang mengirim surat atas pelayanan

kelurahan. Kasus ini selesai, setelah pihak kelurahan bersedia

mengeluarkan surat keterangan waris karena alasan-alasan yang

diberikan LBH Semarang dalam surat tersebut.

14. Kasus Intimidasi dan Perbuatan Tidak Menyenangkan Kasatreskrim

Polres Kendal kepada PBH Semarang

Posisi Kasus:

Pada Jumat, 5 Desember 2009, salah seorang advokat LBH Semarang

mendapat intimidasi dan perbuatan tidak menyenangkan yang

dilakukan Kasatreskrim Polres Kendal. Ketika itu, Muhnur sedang

mendampingi para petani yang diperiksa Polres Kendal sehubungan

laporan pidana PT Karyadeka Alam Lestari. Kasatreskrim meminta

Muhnur untuk datang ke ruangannya. Karena Muhnur menolak, ia

mendatangi Muhnur ketika sedang berada di ruangan penyidik lain.

Penyidik lain yang berada diruangan itu kemudian keluar dan

Kasatreskrim menutup pintu. Setelah ditutup pintunya maka perilaku

kasar Kasatreskrim dimulai, perilaku kasar tersebut diantaranya sebagai

berikut :

Page 33: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

53

1. Kasat bicara dengan nada tinggi dengan tangan menunjuk-nunjuk

muka PBH (Muhnur);

2. Kasat mengatakan bahwa PBH adalah “Pengacara Brengsek, Cari

gara-gara, tolol” dll...

3. Kasat mengatakan bahwa PBH adalah Pengacara yang tidak

bersahabat dengan Penyidik

Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang:

LBH Semarang melaporkan perbuatan Kasatreskrim ini ke Polri, Komisi

Kepolisian Nasional, Komisi Ombudsman, dan Yayasan Lembaga

Bantuan Hukum Indonesia. LBH juga mendatangi Kapolres Kendal untuk

memprotes perlakuan Kasatreskrim kepada Pengabdi Bantuan Hukum

LBH Semarang. Kapolres menyatakan secara pribadi minta maaf atas

perbuatan Kasatreskrim. Sedangkan Kompolnas, KON, dan YLBHI

mengirim surat kepada Kapolres Kendal atas laporan LBH Semarang.

15. Kasus Penangkapan Pengemis Anak oleh Satpol PP

Yt, ditangkap Satpol PP karena sedang meminta-minta di jalan sekitar

kantor Perusahaan Lisrik Negara (PLN). Ayah Yt meminta bantuan

hukum LBH Semarang supaya Yt dilepaskan.

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

LBH Semarang menyelesaikan kasus ini dengan melobby dan melakukan

negosiasi dengan Satpol PP. Sore hari, pada hari yang sama, Yt

dilepaskan Satpol PP.

54

16. Kasus Pernyataan Bibit Waluyo

Dalam rencana eksploitasi kawasan Pegunungan Kendeng Utara di

Kabupaten Pati oleh PT Semen Gresik Tbk, aparat negara sama sekali

tidak menunjukkan sikap kenegarawanan. Pernyataan mereka di media

cenderung intimidatif. Bupati Pati berulangkali mengeluarkan

pernyataan: “aksi-aksi penolakan ditumpangi oleh orang-orang yang

tidak bertanggung jawab dan bukan orang asli Pati”. Tidak hanya itu,

Tasiman juga mengancam dengan istilah ”Jangan membangunkan

macan tidur!” 1. Ketua DPRD Pati juga menyatakan: “semua fraksi di

DPRD Pati mendukung rencana pembangunan pabrik semen dan

meminta masyarakat supaya tidak melakukan penolakan”.

Pun demikian dengan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo yang

identik dengan slogan “Bali Ndeso Mbangun Deso”. Seperti yang dilansir

di Harian Kedaulatan Rakyat pada 3 Juni 2009, Gubernur mengeluarkan

statement: “Gerakan penolakan semen adalah provokasi Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM)” 2 Bibit Waluyo semakin tidak rasional

dengan mengeluarkan pernyataan di harian Jawa Pos dan Suara

Merdeka pada 25 Juli 2009, menanggapi rencana hengkangnya PT

Semen Gresik, Tbk dari Kabupaten Pati. Hengkangnya PT Semen Gresik,

Tbk menurut Bibit Waluyo adalah akibat dari ulah LSM. “kalau begitu

namanya LSM edan, LSM sontoloyo” 3 katanya.

Masih terkait permasalahan tersebut, Bibit Waluyo dalam waktu

dekat menyatakan tidak akan datang ke Pati sebagai bentuk

kekecewaan pada masyarakat yang menolak. Bahkan ia enggan

menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul di Pati. “Kalau disana

kekurangan pupuk, mengeluh saja ke LSM, jangan ke saya, kalau

1 Harian Kompas, 1 Agustus 2008 2 Harian Kedaulatan Rakyat, 3 Juni 2009 3 Harian Radar Semarang, 25 Juni 2009

Page 34: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

55

gabahnya kurang minta saja ke LSM” 4

Respon dan tindakan LBH Semarang:

Pernyataan Bibit mendapat perlawanan dari Jaringan Lembaga

Swadaya Masyarakat di Jawa Tengah termasuk LBH Semarang. Dalam

UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat

pengakuan peran serta masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam

pengelolaan lingkungan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) “Setiap

orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan

lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”.

Mengenai istilah “orang”, sesuai dengan Pasal 1 angka 24 UUPLH,

adalah orang perorangan dan/atau kelompok orang dan/atau badan

hukum. Sedangkan Pasal 1 angka 22 UUPLH menyebut, ”organisasi

lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk atas

kehendak dan keinginan sendiri ditengah masyarakat yang tujuan dan

kegiatannya di bidang lingkungan hidup”.

LSM yang memberikan dukungan terhadap gerakan Rakyat Pati

menolak rencana pembangunan pabrik Semen Gresik itu sudah menjadi

concern lembaga-lembaga tersebut sejak didirikan. Keterlibatan LSM

karena rencana eksploitasi sejak awal sudah bermasalah baik dari kajian

ekologis, hukum maupun budaya. Model peran serta dalam

pengambilan keputusan publik bermacam-macam. Bisa dalam bentuk

kemitraan, pendelegasian kekuasaan, juga pengawasan. Salah satu

bentuk pengawasan yang bersifat represif adalah pengajuan legal

standing oleh organisasi lingkungan hidup.

Jaringan LSM di Jawa Tengah mengirimkan somasi. Pemerintah

Provinsi Jawa Tengah kemudian menanggapi dengan mengirimkan

surat. Surat ke-1 adalah undangan untuk bertemu di rumah makan

4 Harian Radar Semarang, 25 Juni 2009

56

nusantara pada malam hari, undangan ke-2 adalah ralat undangan ke-1 ,

undangan ke-2 bertempat di ruang rapat lantai 2 Gedung Gubernuran.

Pertemuan tersebut dijadwalkan pada 13 Agustus 2009, dan pada waktu

itu beberapa anggota jaringan datang. Yaitu, SHEEP, PBHI, LRC KJHAM

dan LBH Semarang. Dalam pertemuan tersebut jaringan ditemui oleh

Sekda Pemerintah Provinsi. Sekda mengakui pernyataan tersebut adalah

spontan dan tidak mungkin untuk gubernur meminta maaf di media.

Untuk ke depan diperlukan komunikasi yang lebih baik. Dalam

pertemuan itu, Pemerintah Provinsi menyatakan minta maaf atas

pernyataan Gubernur tersebut.

17. Review Peraturan Walikota Semarang No. No.6A/Tahun 2009

Tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air

Minum (PDAM) Kota Semarang Periode tahun 2009 s/d tahun 2013

Posisi Kasus:

Review atas Peraturan Walikota Semarang tersebut dilakukan karena

pada awalnya ada penyampaian atau pengumuman atas kenaikan tarif

air minum pelanggan PDAM Kota Semarang oleh Direktur Umum PDAM

Kota Semarang. Pengumuman kenaikan tarif air minum tersebut 12%

dan hal ini tidak sesuai dengan faktanya yang telah direkomendasikan

oleh Tim Tarif Air Minum PDAM Kota Semarang yaitu masing-masing

golongan pelangan PDAM mencapai antara 13% s/d 90% lebih.

Ketika pengumuman kenaikan tarif tersebut menjadi polemik

didalam masyarakat, LBH Semarang menyikapi kenaikan tarif PDAM

Kota Semarang tersebut. Substansi Peraturan Walikota Semarang No.

No.6A/Tahun 2009 Tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang Periode tahun

2009 s/d tahun 2013 tersebut tidak konsisten, antara batang tubuh

dengan lampiran-lampiran kenaikan tarif. Hal ini menyebabkan adanya

Page 35: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

57

ketidakpastian hukum dalam pemberlakuan kenaikan tarif air minum

PDAM Kota Semarang.

Respon LBH Semarang:

Pemerintah telah memberlakukan Peraturan Walikota Semarang

No.6A/Tahun 2009 Tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang Periode Tahun

2009 S/D Tahun 2013 pada 31 Maret 2009, padahal Peraturan Walikota

Semarang beserta lampirannya tersebut secara substansi dan yuridis

formal mengandung cacat hukum sebab tidak ada kepastian hukum

dalam pemberlakuannya. Cacat hukum tersebut dapat dilihat antara

pasal 4 ayat 2 huruf a dengan lampiran I s/d IV tidak sesuai. Selebihnya

yaitu pasal 4 ayat 2 huruf b s/d h beserta lampirannya tidak ada dasar

hukumnya atau setidak-tidaknya tidak ada dasar penghitungannya.

Berdasarkan pertimbangan atau alasan-alasan tersebut diatas,

kemudian sebelum LBH Semarang melakukan upaya hukum berupa

permohonan judicial review ke Mahkamah Agung, terlebih dahulu

meminta kepada Pemerintah Kota Semarang untuk melakukan revisi

terhadap Peraturan Walikota Semarang No.6A/Tahun 2009 Tentang

Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)

Kota Semarang Periode Tahun 2009 S/D Tahun 2013 pada tanggal 31

Maret 2009 dengan menyampaikan Draft Revisi Peraturan Walikota

Semarang tersebut.

Dari penyampaian draft revisi tersebut, permintaan LBH

Semarang dipenuhi dengan dilakukannya perubahan/revisi atas

Pemerintah Kota Semarang untuk melakukan revisi Peraturan Walikota

Semarang No.6A/Tahun 2009 Tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang Periode Tahun

2009 S/D Tahun 2013 pada tanggal 31 Maret 2009. Perubahan tersebut

dengan dikeluarkan Peraturan Walikota Semarang No. 17 Tahun 2009

58

tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum

(PDAM) Kota Semarang Periode Tahun 2009 S/D Tahun 2013.

18. Kasus Kecelakaan Kerja Saudara Muh. Sadeli di Perusahaan PT.

BEST

Posisi Kasus:

Muh. Sadeli adalah karyawan waktu tertentu di Perusahaan PT. BEST.

Pada suatu hari, PT.BEST sedang mendatangkan batu bara sebagai

bahan bakar mesin produksinya. Muh. Sadeli memindahkan batu bara

tersebut kedalam lokasi. Namun pada saat itu Muh. Sadeli mengalami

kecelakaan kerja yang menyebabkan mata kirinya mengalami kebutaan

karena tertancap ganco.

Pada saat kejadian kecelakaan kerja, karyawan tersebut dibawa

ke rumah sakit oleh rekan kerjanya. Akhirnya mata kirinya diambil.

Semua biaya operasi di rumah sakit tersebut ditanggung sendiri oleh

Muh.Sadeli dengan mengunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin

dan PT BEST sama sekali tidak menanggung biaya rumah sakit.

Setelah masa operasi, Muh. Sadeli mengajukan hak-haknya

sebagai karyawan atas kecelakaan kerja yang dialaminya, namun pihak

PT.BEST tidak mau tahu dan tidak memberikan hak-haknya atas

kecelakaan kerja atau setidak-tidaknya memberikan tali asih. Karena

sudah dicoba beberapa kali tidak membuahkan hasil, kemudian

Muh.Sadeli mengadukan persoalan tersebut ke LBH Semarang.

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

LBH Semarang dalam kasus kecelakaan kerja ini, melakukan upaya

administrasi berupa menyurati pihak PT.BEST untuk menyelesaikan hak-

hak Muh.Sadeli atas kecelakaan kerja yang dialaminya. Kemudian ada

tanggapan dari Pihak PT.BEST dengan melakukan negosiasi antara

Page 36: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

59

Muh.Sadeli yang didampingi LBH Semarang dengan bapak Indarto

selaku Personalia PT.BEST. Pada 22 Oktober 2009 negosiasi tersebut

membuahkan hasil berupa kesepakatan berupa pemberian santunan

kecelakaan kerja sejumlah Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dari

PT.BEST kepada Muh.Sadeli.

19. Kasus Pemutusan Meteran Saluran Air PDAM Demak atas nama

Edi Warsito

Posisi Kasus:

Kasus tersebut bermula ketika keluarga Edi Warsito yang bertempat

tinggal di Jalan Pucang Argo Tengah, Pucang Gading, Demak tidak bisa

atau menunggak pembayaran rekening PDAM Kab.Demak sampai 6

(enam) bulan. Ketika itu saudara Edi Warsito telah diperingatkan oleh

PDAM Demak untuk segera melunasi tunggakan pembayaran rekening

PDAM, namun ia belum mampu membayar. Akhirnya PDAM Demak

melakukan penyegelan sementara aliran air PDAM ke rumahnya.

Kemudian saudara Edi Warsito melunasi pembayaran rekening yang

tertunggak, namun yang menjadi aneh ternyata meteran air tidak ada

atau hilang. Menurut versi Edi Warsito meteran air tersebut hilang

dikarenakan diambil oleh petugas PDAM Demak Cab. Pucang Gading.

Setelah berkali-kali dikonfirmasi oleh Saudara Edi Warsito atas

pengambilan meterannya, pihak PDAM Demak Cab.Pucang Gading

mengatakan tidak tahu menahu atas hilangnya meteran tersebut. Ia

kemudian ditawari untuk memasang baru dengan biaya Rp.100.000,-

(seratus ribu rupiah). Namun karena tidak memiliki uang, akhirnya

saudara Edi Warsito menyambung secara illegal. Tetapi pihak PDAM

mengetahui dan memutus sambungan itu. Hingga beberapa bulan

kemudian tak ada aliran air PDAM ke rumahnya. Untuk kebutuhan air

bersih, keluarganya harus mengambil air di tetangganya.

60

Akhirnya saudara Edi Warsito menyampaikan persoalan tersebut

kepada LBH Semarang untuk bisa dibantu terkait dengan pengambilan

meteran tersebut.

Bantuan Hukum Yang Diberikan:

LBH Semarang melakukan upaya administrasi dengan mengklarifikasi

persoalan saudara Edi Warsito kepada PDAM Kab.Demak. Selang

beberapa hari kemudian Kabag Umum PDAM Demak, Kepala

Cab.Pucang Gading PDAM Demak menyampaikan klarifikasi persoalan

tersebut dengan datang ke LBH Semarang. Pada intinya bahwa

klarifikasi yang disampaikan PDAM Demak adalah sama seperti apa yang

disampaikan Saudara Edi Warsito, namun untuk persolan hilangnya

meteran PDAm mengklarifikasi tidak pernah mengambil meteran

tersebut.

LBH Semarang meminta agar persoalan tersebut dapat

diselesaikan, tanpa harus melihat mana yang salah. Dan tawaran ini

disetujui oleh pihak PDAM Demak, dengan memberikan uang sejumlah

Rp.350.000 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah) untuk membeli meteran.

Hasilnya kemudian sekarang keluarga Edi Warsito dapat menikmati

kembali air bersih dirumahnya.

Page 37: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

BAB V

KONDISI HAK ASASI MANUSIA DI JAWA TENGAH 2009

ISSUE PERTANAHAN

Pendahuluan

Indonesia saat ini tengah mengalami krisis, krisis ekonomi, krisis

lingkungan, dan krisis pangan. Kebijakan ekonomi nasional yang masih

memprioritaskan investasi dan modal asing turut mempengaruhi

terjadinya krisis-krisis tersebut. David C. Korten mengatakan bahwa

masalah krisis adalah wujud ketidakmampuan lembaga-lembaga ciptaan

manusia untuk menciptakan kehidupan yang lebih layak bagi segenap

umat manusia.1 Kesalahan manusia itupun secara terus menerus

dilakukan oleh manusia sampai sekarang, walaupun manusia sudah

terorganisir secara politik dalam sebuah negara. Kesalahan tersebut

bukannya tereliminasi malah semakin memperluas area krisis.

Kesalahan lembaga-lembaga negara dalam menciptakan

kehidupan manusia yang layak itu bisa kita lihat dari sisitem pengelolaan

sumberdaya alam. Sudah menjadi rahasia umum bahwa potensi

sumberdaya alam indonesia termasuk terkaya didunia baik itu

sumberdaya hayati maupun nonhayati baik didarat maupun dilautan.

Dan sesuai dengan konstitusi kita bahwa kekayaan alam yang

terkandung didalam negara kesatuan Indonesia dikuasai dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.

“Kesejahteraan masyarakat” merupakan kata-kata yang sangat

mudah didengar dan dilihat, karena kata-kata tersebut kerap kali

disinggung dalam tulisan, diskusi, dan pidato-pidato, baik yang terkait

dalam kerangka pemikiran politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain

sebagainya. Akan tetapi, kata-kata tersebut lebih sering dilihat atau

didengar atas dasar suatu permasalahan, permasalahan mengenai siapa

1 David C Korten, 1984, Pembangunan yang Memihak Rakyat, Kupasan tentang Teori

dan Metode Pembangunan, Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta, hal 1.

yang menyejahterakan, siapa yang disejahterakan, dan kapan

kesejahteraan bagi masyarakat akan terwujud.

Sebagai negara yang berdaulat, merupakan suatu yang sangat

wajar dan keharusan untuk memliki cita-cita terwujudnya kesejahteraan

masyarakat, karena perjuangan yang telah dikorbankan oleh para

pahlawan memiliki satu impian, yaitu tercapainya kesejahteraan rakyat

dalam negara yang merdeka. Akan tetapi pada kenyataannya, masih

sangat banyak rakyat yang terjamah oleh kehidupan yang serba sulit,

sulit makan, sulit memiliki pekerjaan yang layak, sulit memiliki tempat

tinggal yang nyaman dan kesulitan-kesulitan lainnya.

Kedaulatan agraria merupakan salah satu jalan utama menuju

masyarakat sejahtera, terlebih lagi negara kita adalah negara agraris,

dimana sebagian besar penduduknya memilliki pekerjaan yang

berhubungan dengan sektor-sektor agraria. Rakyat agraris takkan dapat

hidup layak jika mereka tak dapat merasakan kedaulatan agraria.

Menyempitnya luas lahan pertanian seiring penyempitan penguasaan

petani atas lahan pertanian semakin menegaskan bahwa konversi lahan

pertanian bebanding lurus dengan ploretarisasi petani. Pemerintah

telah mencanangkan program Reforma Agraria sejak 2007. Secara

teknis, program reforma agraria yang dicanangkan pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini dilaksanakan oleh Badan

Pertanahan Nasional. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2006 tentang

Badan Pertanahan Nasional menegaskan bahwa Badan Pertanahan

Nasional mempunyai tugas dan fungsi menjalankan reforma agraria.

Program Reforma Agraria tersebut seharusnya dimaknai sebagai

momentum merestrukturisasi ketimpangan akses agraria dimana di

dalamnya terdapat pula perlindungan terhadap masyarakat dengan

prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran”. Agenda pemerintah

ini dikenal dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Melaui

program ini, pemerintah merencanakan akan mengalokasikan tanah

objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar, terdiri dari: 8,15 juta ha

berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah

kewenangan langsung BPN. Untuk mematangkan rencana ini, sejak

tahun 2007 BPN menjalankan ujicoba PPAN di 32 Provinsi, termasuk di

Page 38: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

sejumlah Kabupaten di Jawa. Untuk melanjutkan rencana ini secara

lebih intensif, pada tahun 2008 lalu BPN memulai perencanaan

kebijakan reforma agraria terpadu di wilayah Jawa bagian selatan yang

mencakup 34 (tiga puluh empat) kabupaten. Tetapi ternyata obyek

reforma agraria tersebut tidak termasuk tanah-tanah yang sedang

dipersoalkan petani. BPN lebih memilih jalan aman, obyek reforma

agraria adalah tanah negara bebas, tanah timbul, dan tanah-tanah HGU

yang sudah dilepaskan oleh pemegang haknya. Sehingga untuk tanah-

tanah konflik berbasis perkebunan dan kehutanan, tak menjadi obyek

reforma agraria.

Lahan Pertanian Makin Menipis

Jawa Tengah adalah salah satu lumbung padi nasional. Dengan luas ±

3,2 juta hektar, Jawa Tengah mampu mensuplai padi diseluruh pelosok

nusantara. Akan tetapi pasokan bahan pangan tersebut tidak dibarengi

dengan kebijakan memberantas kemiskinan. Tingkat kemiskinan di Jawa

Tengah masih tergolong tinggi, dari sekitar 32,189 juta jiwa ada sekitar

6,190 juta jiwa atau 19,23% hidup dibawah garis kemiskinan.2 Dan,

sebesar 58,70% penduduk miskin berada di daerah pedesaan.

Luas propinsi Jawa Tengah sama dengan 25,04% luas pulau Jawa.

Dari jumlah itu, luas lahan sawah adalah 990.459 hektar (30,45%) dan

lahan non sawah 2.263.586 hektar (69,55%). Sekitar 270 hektar lahan

pertanian di Jawa Tengah hilang berubah fungsi menjadi pabrik,

perumahan, waduk, jalan dan lain-lain. Jika jumlah lahan menurun maka

bisa dipastikan bahwa jumlah produksi pertanianpun akan menurun 3.

Bahkan ada 300 hektar lahan produktif di Kabupaten Ungaran yang

hilang terkena mega proyek jalan tol Semarang-Solo.

Kekayaan alam Jawa Tengah ternyata diikuti berbagai konflik

berbasis sumberdaya alam. Misalnya: sengketa pembebasan lahan

untuk kepentingan umum, sengketa hak antara perusahaan perkebunan

dengan petani miskin (buruh tani), konflik lahan hutan dengan

2 Berita resmi Statistik (Badan Pusat Statistik) No. 6/07/33/tahun.II/1 Juli 2008

3 Wawasan 29 Juli 2009

perhutani maupun sengketa administratif yang jumlahnya terus

meningkat. Pada 2005 tercatat 9 (sembilan) kasus tanah berbasis hutan,

dengan total luas lahan yang bersengketa 1.039,59 hektar, dan 36 (tiga

puluh enam) kasus tanah berbasis perkebunan. Di tahun 2006 kasus

tanah hutan meningkat menjadi 16 (enam belas) kasus dengan total luas

lahan yang disengketakan adalah lebih dari 1722, 59 ha. Kasus-kasus

tanah berbasis perkebunan, ada peningkatan 1 (satu) kasus yang

muncul ke permukaan, dari 36 (tiga puluh enam) kasus pada tahun 2005

menjadi 37 (tiga puluh tujuh) kasus pada tahun 2006. Sedangkan

ditahun 2007, kasus sengketa tanah bertambah 14 kasus dengan

tambahan luas lahan seluas 601,58 hektare yang berada di 9 (sembilan)

wilayah kabupaten/ kota di Jawa Tengah. Sedangkan pada 2008 ada 41

(empat puluh satu) kasus yang terjadi, kasus tersebut terjadi di 18

(delapan belas) kabupaten/ kota dengan jumlah korban 7.414 KK.

Tabel : 1 Jumlah Sengketa Tanah di Jawa Tengah 2009

Data diolah dari monitoring LBH Semarang melalui media massa

Dari total 27 (dua puluh tujuh) kasus di Jawa Tengah, 14 kasus

menyangkut pembebasan lahan sebagaimana Peraturan Presiden No.36

Tahun 2005 Jo Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006 tentang

No. Lokasi Jumlah Kasus

1 Salatiga 1

2 Kota Semarang 12

3 Sragen 3

4 Kabupaten Semarang 4

5 Kabupaten Grobokan 1

6 Kabupaten Brebes 1

7 Kabupaten Cilacap 1

8 Kota Slawi 1

9 Kabupaten Rembang 1

10 Kabupaten Tegal 1

11 Kabupaten Jepara 1

Total 27 (dua puluh tujuh)

Page 39: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum.

Kriminalisasi Petani

Harapan masyarakat khususnya petani pemerintah dapat

menyelesaikan permasalahan sumberdaya alam dengan lebih persuasif

ternyata hanya bertepuk sebelah tangan saja. Dalam catatan LBH

Semarang ditahun 2009 ini terdapat 15 (lima belas) petani

dikiriminalisasi. Ini menunjukkan bahwa pemerintah dalam hal ini juga

perusahaan swasta lebih sering menggunakan pendekatan represif

kepada masyarakat yang menuntut hak-haknya.

Konflik agraria yang terjadi di Jawa Tengah, berawal dari adanya

ketimpangan kepemilikan dan akses masyarakat atas sumber daya alam.

Banyaknya perkebunan swasta maupun negara dengan luas kepemilikan

yang sangat besar menjadi salah satu pemicu konflik. Ini disebabkan

karena Kebijakan ekonomi yang dianut oleh pemerintah hanya berpijak

pada satu gagasan pokok bahwa pertumbuhan hanya bisa tumbuh

karena investasi modal (capital).

Pemerintah yang seharusnya melindungi hak konstitusional

rakyatnya bertindak sebaliknya. Melalui aparat kemanan, pemerintah

bertindak represif dalam menyelesaikan konflik agraria. Akhirnya

banyak petani yang terlibat konflik agraria dipidanakan (kriminalisasi)

oleh aparat kepolisian. Dibawah ini adalah petani yang

dikriminalisasikan pada 2009 karena berkonflik dengan perusahaan

perkebunan dan Perhutani.

Tabel 2 Petani Korban Kriminalisasi

Nama Kota Asal Dakwaan

Manisih Kab. Batang Pasal 364 ayat Ke-4 KUHP

Sri Suratmi Kab. Batang Pasal 364 ayat Ke-4 KUHP

Juwono Kab. Batang Pasal 364 ayat Ke-4 KUHP

Rusnoto Kab. Batang Pasal 364 ayat Ke-4 KUHP

Minah Kab. Banyumas Pasal 362 KUHP

Yamanto Kab. Pekalongan UU Kehutanan

Priyanto Kab. Pekalongan UU Kehutanan

Hermanto Kab. Pekalongan UU Kehutanan

Alip Kab. Pekalongan UU Kehutanan

Amat Yani Kab. Pekalongan UU Kehutanan

Didik Kab. Pekalongan UU Kehutanan

Huji Kab. Temanggung UU Kehutanan

Selain kriminalisasi, tak jarang aparat juga melakukan intimidasi

kepada masyarakat, seperti menunjukkan Surat Keputusan Hak Guna

Usaha kepada warga, berpatroli di lahan perkebunan dengan

melepaskan tembakan, membentak, dan sebagainya.

Selain perkebunan wilayah hutan juga menjadi sumber konflik

dengan masyarakat sekitar. Hal ini disebabkan pertama, pertama,

konflik yang bersumber dari klaim sepihak Perhutani. Konflik ini biasa

terjadi ketika masyarakat yang sudah menggarap sejak lama tiba-tiba

wilayah garapannya diklaim Perhutani sebagai wilayah Perhutani (sesuai

PP No.30 Tahun 2003). Yang kedua, konflik tata batas wilayah hutan,

dalam pematokan atau tanda batas hutan sering mengenai tanah petani

sekitar hutan. Konflik ini paling banyak terjadi di Jawa Tengah karena

konflik ini menyangkut kepastian hukum batas-batas hak kepemilikan

yang memisahkan antara wilayah hutan dan lahan masyarakat. Yang

ketiga, ketimpangan lahan. Jumlah kemiskinan yang tinggi diwilayah

hutan maupun diwilayah perkebunan merupakan potensi akan

terjadinya konflik berbasis sumberdaya hutan.

Terbitnya Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

adalah bentuk kongkret pemerintah melindungi korporasi besar dengan

mengesampingkan kepentingan masyarakat kecil. Pasal-pasal yang

terkandung dalam peraturan tersebut mengabaikan hak-hak

masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal disekitar hutan.

Refleksi Kasus-kasus struktural pertanahan 1998-2009:

LBH Semarang menangani kasus-kasus pertanahan berbasis perkebunan

dan hutan di Jawa Tengah, khususnya sejak 1998. Dari penanganan

langsung, penelitian, investigasi dan monitoring yang dilakukan selama

sepuluh tahun terakhir, terdapat 42 kasus berbasis pertanahan dan

Page 40: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

hutan di Jawa Tengah. Data-data konflik tersebut diolah dengan

program database Humawin yang dikembangkan oleh Perkumpulan

Untuk Pembaruan Hukum dan Masyarakat (HuMa) sejak 2005. Dari 42

kasus tersebut, yang terbesar adalah kasus tanah kehutanan (22 kasus),

diikuti kasus tanah perkebunan (16 kasus), konflik akses hutan (3 kasus),

kasus tanah negara dan pertambangan masing-masing 1 kasus. Total

luas tanah keseluruhan adalah 10.587,18 hektar. Dari kasus-kasus

berbasis perkebunan dan hutan yang ditangani dan diteliti LBH

Semarang, pemerintah hanya menyelesaikan satu kasus dengan cara

dibatalkan yaitu kasus HGU PT Sinar Kartasura di Kabupaten Semarang

dan menyelesaikan dua kasus dengan cara redistribusi tanah yaitu kasus

tanah PT. Ambarawa Maju di Kabupaten Batang dan kasus tanah HGU

PT Rumpun Sari Antan di Kabupaten Cilacap. Hal ini membuktikan

bahwa negara gagal menyelesaikan kasus-kasus struktural tanah

tersebut.

Jumlah kasus secara keseluruhan adalah 42 kasus, dengan rincian :

Total luasan konflik : 10.587,18 Ha

Perkebunan, 16

Kehutanan, 22

Akses Hutan, 3

Tanah

Negara, 1

Pertambangan

, 1

Grafik Konflik Tiap Kabupaten

Dari grafik di atas, daerah yang memiliki konflik struktural tanah

terbesar adalah Kabupaten Kendal (10 kasus), diikuti Temanggung (7

kasus), dan Batang (6 kasus). Sementara daerah-daerah konflik tanah

lainnya adalah Cilacap, Pati, Banyumas, Peklaongan, Semarang, Blora,

dan Wonosobo. Konflik-konflik tersebut juga diikuti kriminalisasi

terhadap masyarakat yang menuntut hak-haknya atas tanah. LBH

Semarang mencatat: 262 orang dikriminalisasikan selama 1998-2009, 8

orang ditembak hingga luka, 6 orang meninggal karena ditembak, dan 3

orang dianiaya. Pelaku yang mengkriminalisasikan petani adalah

perusahaan perkebunan dan Perhutani bekerjasama dengan aparat

kepolisian.

Page 41: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

Dari data kasus tersebut, LBH Semarang mencatat:

• Jumlah desa yang berkonflik dengan Perhutani : 36 desa

• Jumlah desa yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan : 21

desa

• Perusahaan Perkebunan yang dikelola Militer : 3

• Perusahaan Perkebunan yang dikelola Negara: 4

• Perusahaan Perkebunan yang dikelola Swasta : 9

Sementara itu, 19.043 Kepala Keluarga menjadi korban konflik tanah

berbasis perkebunan, hutan, dan pertambangan tersebut.

Dengan adanya konflik-konflik tanah tersebut, LBH Semarang

merekomendasikan:

• Adanya kejelasan mekanisme untuk menyelesaikan konflik-konflik

tanah berbasis perkebunan dan hutan

• Melakukan penyelesaian konflik agraria dengan berlandaskan

keberpihakan pada masyarakat korban

Kesimpulan

Di issue pertanahan, negara belum memenuhi hak-hak rakyat atas

tanah (hak ekonomi, sosial, dan budaya) dan melakukan pelanggaran

HAM dibidang hak sipil politik dengan kriminalisasi, penganiayaan, dan

penembakan para petani dikawasan hutan dan perkebunan.

Page 42: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

ISSUE LINGKUNGAN HIDUP DAN PESISIR

JALAN PANJANG MENUJU KEADILAN EKOLOGIS

A. PUTUSAN PTUN KASUS SEMEN GRESIK, ANGIN SEGAR BAGI

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN

Sepuluh tahun terakhir kondisi lingkungan hidup memburuk. Hal ini tak

hanya ditandai oleh naiknya angka bencana ekologis di berbagai wilayah

Indonesia, yang melahirkan krisis berkepanjangan, namun juga gagalnya

penegakan hukum pada kasus-kasus lingkungan utama. Salah satu

penyebabnya adalah lemahnya Undang-undang Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UUPLH). Sebenarnya harapan rakyat mengemuka ketika DPR

mengesahkan Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Salah satu terobosan besar

dalam UUPPLH adalah kewenangan besar yang dimiliki oleh

Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH). Tugas dan

wewenangnya sesuai dengan mandat UU No. 32/2009, yaitu meliputi

wewenang melakukan inventarisasi lingkungan hidup dalam

penyusunan Rencana Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup,

menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), menetapkan

kawasan ecoregion, perizinan, pengawasan hingga ke penegakan

hukum.

Berbicara persoalan lingkungan, hal perizinan, pengawasan

hingga penegakan hukum selalu menjadi masalah. Kepentingan ekologis

selalu dikalahkan oleh kepentingan kapitalis. Tetapi ditahun 2009 ini,

ada peristiwa penting yang perlu dicatat dalam penegakan hukum

lingkungan. Pada Kamis, 6 Agustus 2009, majelis hakim PTUN Semarang

membuat terobosan penting dalam penegakan hukum lingkungan.

Majelis hakim yang mengadili perkara No.04/G/2009/PTUN.SMG

membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara yang berwujud Surat

Keputusan (SK) tentang Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD) No.

540/052/2008 yang dikeluarkan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan

Terpadu Kabupaten Pati kepada PT Semen Gresik tertanggal 5

November 2008. Isi pokoknya adalah mengenai ijin melakukan

penambangan batu kapur seluar 700 hektar, yang terletak di Desa

Gadudero, Desa Kedumulyo, Desa Sukolilo, Desa Tompegunung dan

Desa Sumbersoko, yang berada di Wilayah kecamatan Sukolilo

Kabupaten Pati. Sayang, putusan tersebut dianulir di tingkat banding.

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya membatalkan putusan

PTUN Semarang. Kasus ini sekarang dalam proses kasasi.

Putusan PTUN ini merupakan babak baru penegakan hukum

lingkungan di Indonesia, ditengah-tengah sikap skeptis masyarakat sipil

akan penegakan hukum dan institusi yudikatif. Hal ini juga perwujudan

kongkrit atas kehendak kuat untuk penerapan keadilan ekologis yang

selama ini diabaikan demi kepentingan pembangunan modal.

B. ANGKA BERBICARA

B.1. Pantura: Kawasan Strategis Yang Penuh Konflik lingkungan

LBH Semarang di tahun 2009 mencatat pelanggaran HAM sektor

lingkungan dan pesisir meningkat. Hal ini nampak dari makin

meningkatnya jumlah kasus dari 172 kasus di 2008 menjadi 217 kasus di

2009. Artinya terjadi peningkatan sebayak 45 kasus. Kasus di sektor

lingkungan dan pesisir tersebar merata di 35 kabupaten/kota di Jawa

Tengah, namun kecenderungannya adalah pemusatan kasus di wilayah

pesisir, khususnya Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah.

2008 2009 Jumlah

Jumlah 172 kasus 217 kasus 45 kasus

Dari 217 kasus tersebut, LBH semarang membagi menjadi 161

kasus pelanggaran HAM di sektor lingkungan dan kasus

pelanggaran HAM di sektor pesisir.

Page 43: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

Pentingnya kawasan pantura terlihat dalam sejarah Jawa, ketika

wilayah ini adalah wilayah yang paling bersemangat mengusir

imperialisme asing di Nusantara. Ekspedisi Pati Unus ke Melayu yang

berniat untuk mengenyahkan Portugis dari Bumi Malaka adalah

contohnya. Pada masa Sultan Agung, wilayah ini jugalah yang menjadi

basis pasukan laut Kerajaan Mataram untuk menyerbu Batavia. Bahkan

ketika Daendels mencoba merealisasikan impiannya, salah satu

sasarannya adalah pantura Jawa. Ia membangun Jalan Deandles yang

memanjang dari Anyer ke Panarukan. Industrialisasi yang merunyak,

seperti cendawan di musim hujan menyebabkan wilayah pesisir dikuasai

penuh oleh kaum modal, sementara negara dan aparaturnya cenderung

melindungi kaum modal dalam menjalankan usahanya. Dengan

didukung oleh struktur hukum yang lemah maka makin lancarlah proses

perebutan sumber daya alam pesisir.

Penguasaan sumber daya alam tersebut selain menciptakan

konflik-konflik antara kaum modal yang dibantu oleh negara dengan

rakyat maupun konflik-konflik antar rakyat, yang diakibatkan semakin

sempitnya wilayah rakyat untuk mengembangkan dirinya. Hal ini secara

konsisten telah menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Hal

ini nampak dari 217 kasus yang terjadi di Jawa Tengah. Kasus-kasus

lingkungan banyak terjadi di pesisir pantura kabupaten/kota. Sebagai

ilustrasi adalah permasalahan lingkungan yang menimpa Kota

Semarang. Tercatat 57 kasus terjadi di kota yang merupakan ibu kota

Propinsi Jawa Tengah pada 2009. Di wilayah pantura lainnya tercatat,

Kabupaten Pati sebanyak 15 kasus serta Kabupaten Brebes dan

Kabupaten Pekalongan, masing-masing 10 kasus.

Sektor

lingkungan

Sektor

Pesisir

Jumlah

Jumlah 158 kasus 59 kasus 217 kasus

Kabupaten / Kota Jumlah

kab. Tegal 5

kota Tegal 5

kab. Brebes 10

kab. Pekalongan 10

kota Pekalongan 9

kab. Pemalang 5

kab. Batang 8

kab. Kendal 6

kota Semarang 57

kab. Semarang 3

kab. Pati 15

kab. Kudus 8

kab. Demak 5

kab. Rembang 5

kab. Jepara 5

kab. Blora 1

kab. Grobogan 0

kab. Salatiga 6

kab. Boyolali 2

kab. Surakarta 1

kab. Sragen 1

kab. Magelang 4

kota Magelang 1

kab. Wonogiri 0

kab. Klaten 4

kab. Suloharjo 4

kab. Karanganyar 3

kab. Purworejo 1

kab. Kebumen 5

kab. Cilacap 10

kab. Banyumas 6

kab. Purbalingga 3

kab. Banjarnegara 4

Page 44: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

Jumlah Pelanggaran HAM

5 510 10 9

5 8 6

57

3

158 5 5 5

1 06

2 1 1 4 1 04 4 3 1

510

6 3 4 1 4

0102030405060

kab. T

egal

kota

Tegal

kab. B

rebe

s

kab. P

ekalon

gan

kota

Pekalong

an

kab. P

emalang

kab. B

atang

kab. K

endal

kota

Semarang

kab. S

emaran

gka

b. Pati

kab. K

udus

kab. D

emak

kab. R

embang

kab. J

epara

kab. B

lora

kab. G

robog

an

kota

Salatiga

kab. B

oyolali

kota

Surakart

a

kab. S

rage

n

kab. M

agelan

g

kota

Magelan

g

kab. W

onog

iri

kab. K

laten

kab. S

ukoha

rjo

kab. K

arang

anya

r

kab. P

urwore

jo

kab. K

ebumen

kab. C

ilaca

p

kab. B

anyum

as

kab. P

urbali

ngga

kab. B

anjarne

gara

kab. W

onos

obo

kab. T

emang

gung

Grafik Jumlah Pelanggaran HAM Lingkungan Hidup

Dari data diatas, wilayah pesisir yang seharusnya adalah wilayah

transisi sebagai daerah penyeimbang antara daratan dan lautan,

mengalami gangguan keseimbangan. Arus industrialisasi dan kemajuan

telah merusaknya sedemikian rupa sehingga wilayah pesisir khususnya

di pantura Jawa Tengah hampir kehilangan fungsinya. Disini masyarakat

yang paling dikorbankan adalah masyarakat lokal yang secara turun

temurun mendiami wilayah ini hidup dan membangun budayanya.

Sedangkan untuk wilayah pantai dan laut, yang menjadi korban adalah

kaum nelayan dan petani tambak. Pemusnahan dan penguasaan secara

sistematis wilayah ini menyebabkan mereka termarginalisasikan, serta

kehilangan akses atas sumber daya pesisir dan laut. Marginalisasi ini

menyebabkan ketrampilan dan keahlian serta budaya-budaya lokal yang

khas wilayah itu menjadi musnah.

kab. Wonosobo 1

kab. Temanggung 4

Jumlah 217

Tabel peraturan yang dilanggar

Jumlah

kasus

Jenis ketentuan yang

dilanggar

HAM yang dilanggar

217

- UUD 1945

- UU 39/1999 tentang

Hak Asasi Manusia

- UU 23 Tahun 1997

tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup

- UU 24 tahun 1992

tentang Tata Ruang

- Hak atas informasi

- Hak atas Lingkungan

yang baik dan sehat

- Hak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak

- Hak atas perumahan

Perusakan dan penghancuran kondisi fisik dan kondisi kultural

wilayah pesisir dan pantai harus dihentikan. Hal ini mutlak dilakukan,

karena pengaruhnya tidak hanya sekedar berimbas pada wilayah

sekitar, tetapi lebih luas lagi yaitu masalah eksistensi kemanusiaan dan

lingkungan.

B.2. Kondisi Lingkungan Jawa Tengah

Tahun ini dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa dramatis. Di tingkat

nasional selain berbagai peristiwa politik dan hiruk pikuk terorisme,

tahun 2009 juga diwarnai dengan ingatan atas peristiwa gempa di

Sumatera Barat. Jawa Tengah, sama seperti tahun-tahun sebelumnya,

2009 dibuka dengan berbagai macam konflik penataaan ruang, yang

kemudian disusul dengan pencemaran yang terjadi di berbagai daerah.

Peristiwa lain yang menandai tahun ini adalah marjinalisasi

pertambangan rakyat dan kriminalisasi. Berbagai peristiwa tersebut

makin menunjukkan ketidakbecusan penyelenggara negara untuk

melakukan penata-kelolaan lingkungan secara baik dan sehat. Tabel dan

grafik dibawah ini menunjukkan rincian kasus-kasus lingkungan hidup

yang terjadi di Jawa Tengah: 88 kasus konflik penataan ruang, 41 kasus

pencemaran, 22 bencana ekologis, 5 kasus pertambangan rakyat, dan 2

kasus kriminalisasi.

Page 45: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

Kasus Lingkungan

Pencemaran; 41

Konflik Penataan ruang;

88

Kriminalisasi; 5

Marjinalisasi pertambangan

rakyat; 5

Bencana ekologis; 22

22 bencana ekologis yang terjadi di Jawa Tengah yang melanda

beberapa kabupaten/kota adalah banjir dan kekeringan. Dari tahun ke

tahun hal ini disadari oleh semua pihak bahwa ini terjadi akibat

degradasi lingkungan, dan tidak semata-mata karena faktor alam dan

penjarahan hutan. Seakan belum cukup, ada lagi anggapan bahwa

pemanasan global adalah penyebabnya. Issue pemanasan global

kemudian menjadi alasan bagi negara mengusulkan Reduced Emission

for Deforestation and Degradation (REDD), skema kompensasi sebagai

upaya adaptasi dan mitigasi terhadap Perubahan Iklim. Pemerintah tak

membahami bahwa upaya mereka mencari-cari kesalahan atau

membuat undang-undang baru, tak akan menyelesaikan permasalahan

tersebut secara tuntas.

Rangkaian permasalahan ini mungkin dianggap tidak berkaitan

satu dengan yang lain, namun ketika kita bicara banjir Kota Semarang –

Pencema

ran

Konflik

Penataan ruang

Marjinalisasi

pertambangan

rakyat

Kriminali

sasi

Bencana

ekologis

41 88 5 2 22

sebagai ilustrasi- mungkin rangkaian kata ini menjadi berarti. Ketika tata

guna lahan sudah berubah dan tidak sesuai dengan peruntukannya

kemudian semakin banyak ruang publik yang tergusur dan beralih

fungsi, egoisme sektoral dan pelaku usaha, serta kebijakan yang lebih

memfasilitasi modal dan tidak berpihak kepada rakyat, dapat dipastikan

akan terjadi bencana. Bentuknya bisa berupa banjir, kekeringan,

longsor, maupun bencana lainnya.

88 Kasus terkait penataan ruang adalah pengabaian besar-

besaran terhadap alam, yang kemudian berimbas kepada perikehidupan

rakyat. Ketika bicara masalah lingkungan, kita tak bias mengabaikan

juga masalah perikehidupan rakyat. Ketika penyelenggara pemerintahan

dengan seenaknya sendiri melakukan pengelolaan sumber daya alam,

tanpa partisipasi aktif dari masyarakat, maka itulah akibatnya. Namun

demikian yang lebih sering terjadi alih-alih melakukan refleksi dan

memperbaiki diri sendiri, penyelenggara pemerintahan lebih suka

mengkambing hitamkan rakyat. Catatan LBH Semarang menunjukkan 5

kasus marjinalisasi pertambangan rakyat dan 2 kasus kriminalisasi

terhadap masyarakat yang menuntut hak atas lingkungan yang baik dan

sehat.

Deklarasi PBB 9 Desember 1998, yaitu Declaration on the Rights

and Responsibility of Individuals, Groups and Organs of Society to

Promote and Protect Universally Recognizes Human Rights and

Fundamental Freedom, setiap orang atau kelompok dalam masyarakat

mempunyai hak untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia

yang diakui oleh dunia international. Sehingga boleh dikatakan bahwa

apabila terjadi penghambatan terhadap pejuang HAM dan warga dalam

memajukan penegakan HAM, adalah termasuk pelanggaran HAM.

Sebenarnya yang lebih diperlukan untuk menjaga keberlanjutan

lingkungan adalah proses pengelolaan sumber daya alam yang lebih

transparan, terkontrol dan berkelanjutan yang tentu saja menjadikan

rakyat setempat sebagai subyek dari proses pengelolaan. Dalam hal ini,

pengambilan keputusan, akses, serta alokasi pengelolaan sumber daya

alam tersebut berada murni ditangan masyarakat. Untuk itulah harus

segera dimulai usaha-usaha penataan kembali situasi dan kondisi

Page 46: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

lingkungan di berbagai wilayah dan sektor secara bersama-sama. Jika

terlambat maka pupuslah harapan untuk masa depan yang lebih baik

bagi anak cucu kita.

B.3. Kondisi Pesisir Jawa Tengah

Catatan LBH Semarang selama 2009: terdapat 41 kasus rob dan banjir.

Banjir dan rob dikarenakan praktek pembangunan yang salah urus yang

mendasari krisis iklim di nusantara. Pembangunan hingga kini tidak

didasarkan pada daya dukung lingkungan, yakni berlanjutnya

pembangunan di atas lahan reklamasi, pencemaran laut, menjamurnya

pemberian perizinan bagi dunia usaha di kawasan pesisir dan pulau-

pulau kecil, pembangunan yang tidak memberikan akses peran serta

komunitas. Kini masyarakat pesisir dan nelayan tidak lagi mampu

mengambil keputusan karena pembuangan limbah dari hulu ke hilir,

kehilangan akses melaut, mereka juga harus menghadapi banjir dan rob

akibat salah urus pembangunan.

Pembangunan yang salah urus juga menyebabkan 16 kecelakaan

laut. Kecelakaan bisa dialami oleh siapa saja. Begitu juga dengan

masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan. Kecelakaan laut

biasanya terjadi akibat infrastruktur yang tidak memadai dan cuaca

buruk. Cuaca buruk bagi nelayan, bukan merupakan halangan untuk

melaut karena jika tak melaut, takkan ada sepiring nasi yang tersaji di

meja makan keluarga.

Selama 2009, terjadi 2 kasus kriminalisasi terhadap nelayan

dengan 16 kapal nelayan ditangkap karena tidak dilengkapi dokumen

resmi saat melaut. Mereka rata-rata terjaring razia karena tidak

mengantongi dokumen pas kecil. Pengurusan dokumen memang sarat

dengan biaya mahal dan persoalan birokrasi, yakni Surat Izin Usaha

Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal

Pengangkutan Ikan (SIKPI).

Abrasi dan

Rob Kecelakaan laut

Kriminalisasi

nelayan

41 16 2

Suara Merdeka, 18 Maret 2009 dan Radar Semarang, 22 Maret

2009, memberitakan 22 investor mengincar pulau-pulau di kawasan

Karimunjawa. Dibukanya peluang investasi di Kepulauan Karimunjawa

mengancam 5.000 nelayan tradisional yang membutuhkan pulau

berlindung apabila terjebak gelombang besar ketika melaut. Terkait hal

tersebut Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengusulkan posisi pulau-

pulau yang telah dikuasai masyarakat, supaya dikeluarkan dari status

taman nasional. Niatan Bibit Waluyo ini tidak lepas dari pasal-pasal

mengenai Hak Pengelolaan dan Pengusahaan Wilayah Pesisir (HP3)

dalam UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil yang merupakan konsesi pemerintah akibat Coral

Triangle Initiative (CTI) Summit. Dengan Pasal HP3 ini, pengusaha dapat

megeksploitasi kawasan pesisir. Jika hal ini terlaksana maka jumlah

kriminalisasi dipastikan akan meningkat tajam.

C. KEBIJAKAN NEGARA: PELANGGARAN HAM

Faktor paling mendasar dari pemerintahan Bibit Walyo dalam

penegakan HAM sepanjang 2009 adalah mementingkan politik citra

untuk menyatakan seolah-olah kebijakan yang dilakukan adalah

melindungi hak asasi manusia dan pro-rakyat dengan “balik ndeso

mbangun deso”-nya. Namun faktanya pemerintah provinsi tidak

sepenuhnya mampu menjalankan obligasinya untuk memenuhi hak

asasi manusia dengan menelorkan perda-perda yang bermasalah.

Produk perda yang dikeluarkan pemerintah sepanjang 2009 banyak

menuai kontroversi. Diantaranya Perda Pesisir dan Perda Lingkungan

Hidup.

D. PREDIKSI 2010

Penegakan HAM pada 2010 tak akan beranjak jauh dari 2009. LBH

Semarang memproyeksikan beberapa situasi nasional maupun regional

yang akan menghambat penegakan HAM 2010. Pertama, secara

nasional terjadi terobosan karena substansi UUPPLH lebih maju

Page 47: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

ketimbang UUPLH, namun dalam pelaksanaannya UUPPLH ini tak lepas

dari sistem yang bekerja. Terpilihnya Gusti Muhammad Hatta di Pos

Kementerian Negara Lingkungan Hidup, memang relatif bersih dari

intervensi politik, namun kewenangan yang luar biasa diberikan kepada

Menteri Lingkungan Hidup dalam perlindungan dan pengelolaan

lingkungan. Wewenang ini diberikan UUPPLH kepada Kementerian

Negara Lingkungan Hidup. Tak mudah menjalankan itu semua apabila

Menteri Lingkungan Hidup yang akan dipilih nanti merupakan figur tidak

“bersih, solid, serta berintegritas”. Hal ini karena tantangan KLH

mendatang sangatlah besar khususnya dalam “berhadapan” dengan

korporasi besar, trend global isu Perubahan Iklim serta bargaining

position dengan Departemen/Sektor termasuk

Gubernur/Bupati/Walikota.

Kedua, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad (2009-

2014) memunculkan strategi besarnya: The Blue Revolution Policies

sebagai solusi. Program 100 hari Menteri Kelautan dan Perikanan

berpotensi memberangus hak nelayan tradisional. Pertama, visi sebagai

produsen perikanan terbesar di dunia pada tahun 2020, yakni

peningkatan produksi hingga 350 persen. Untuk mencapai visi tersebut,

DKP mengatakan membutuhkan tambahan anggaran Rp 1,6 triliun dari

Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2010. Kedua, tindak lanjut

World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI)

Summit. Pemerintah tidak patut menjalankan Inisiatif Segitiga Terumbu

Karang (CTI), sebab inisiatif ini semakin melenceng dari upaya

menyelamatkan nelayan. Komersialisasi laut adalah ancaman terhadap

kedaulatan nasional dan masa depan nelayan. Ketiga, UU No. 27 tahun

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

berpotensi meminggirkan nelayan tradisional dan komunitas pesisir.

Sebagaimana tertera dalam Pasal 14 ayat 1 UU 27 Tahun 2007 bahwa

usulan strategi, zonasi, pengelolaan dan rencana aksi wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil dilakukan oleh pemerintah daerah dan dunia usaha.

Selanjutnya ayat 2 menyebutkan bahwa mekanisme penyusunan

keempat rencana di atas dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan

hasil rancangan disebarluaskan oleh pemerintah daerah.

Ketiga proses pemilihan Gubernur Jawa Tengah dan Bupati/

Walikota di beberapa kabupaten/kota yang akan dilakukan 2010,

disertai dengan beredarnya rumor person kandidat yang ternyata

memunculkan nama-nama yang hampir tidak masuk dalam lingkaran

diskusi yang terbangun selama ini. Sebagian pos justru diisi oleh

pengurus/pimpinan partai politik maupun orang-orang dari kalangan

tertentu dan terkesan tak mempertimbangkan kompetensi sesuai

dengan pos yang akan ditempati. Mudah ditebak, hal ini menimbulkan

keraguan akan efektifitas pemerintahan yang akan berjalan. Issue

lingkungan diprediksi hanya akan menjadi jargon organisasi politik untuk

menaikkan citra demi kepentingan kursi kekuasaan. Alhasil substansi

penegakan HAM akan mengalami penyingkiran oleh perilaku politik

aktor-aktor kekuasaan.

Page 48: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

ISSUE PERBURUHAN

Kondisi Umum Perburuhan

2009 dimulai dengan situasi terjadinya krisis keuangan global. Puncak

terjadinya krisis tersebut dipicu oleh kredit macet perumahan yang

terjadi di Amerika Serikat. Indonesia yang saat ini masih sangat

bergantung kepada AS harus merasakan dampak krisis tersebut,

khususnya dalam sektor perindustrian.

Banyak sekali perusahaan-perusahaan yang mengalami kesulitan

keuangan maupun penurunan order, umumnya perusahan atau industri

yang bergerak di bidang tekstil, produk tekstil, otomotif dan perkayuan.

Persolan tersebut pada akhirnya merambat kepada persoalan-persoalan

buruh.

Berdasarkan data laporan yang tercatat oleh Departemen Tenaga

Kerja dan Transmigrasi RI sampai dengan bulan Juli 2009, sebanyak

54.466 buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sebanyak

25.580 buruh dirumahkan. Data tersebut berasal dari laporan Dinas

Tenaga Kerja di 18 Provinsi sejak awal tahun 2009. Pada kenyataannya

jumlah buruh yang ter-PHK maupun dirumahkan lebih besar daripada

data depnaker tersebut, hal ini mengingat banyak juga persoalan-

persoalan buruh yang penyelesaiannya tidak sampai ke Dinas Tenaga

Kerja.

Untuk mengantisipasi persoalan PHK tersebut, secara umum

pemerintah mencanangkan program peningkatan padat karya atau

program peningkatan kompetensi. Hal ini tentu saja membuktikan

bahwa pemerintah tidak mampu mencegah adanya PHK karena

program-program tersebut dicanangkan justru untuk mengantisipasi

gejolak massa pasca terjadinya PHK.

Terkait program-program yang dicanangkan seperti padat karya,

buruh-buruh korban PHK diarahkan untuk bekerja pada pembangunan

infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan dan lain-lain. Sepintas memang

buruh diberikan pekerjaan, namun itu hanya sementara sifatnya. Yang

lebih jelas adalah pembangunan infrastruktur itu sendiri bertujuan

untuk memberikan fasilitas kepada para pemilik modal. Sedangkan

untuk program peningkatan kompetensi, pemerintah seolah-olah

melihat persoalan buruh yang ada karena kurangnya keterampilan

buruh. Selain itu juga program ini sangat tidak tepat, karena buruh yang

ter-PHK tentu saja berkeinginan mendapatkan pekerjaan baru bukan

pelatihan-pelatihan.

Menjelang akhir 2009, marak demonstrasi buruh aksi-aksi di

banyak daerah menuntut ditetapkannya upah minimum yang adil.

Seperti aksi beruntun yang dilakukan oleh serikat-serikat buruh di Jawa

Tengah atau buruh di Kabupaten Serang yang melakukan aksi

penutupan jalan tol Jakarta-Merak.

Kondisi Perburuhan di Jawa Tengah

Terjadinya krisis keuangan global juga berpengaruh di propinsi Jawa

Tengah. Hal ini mengingat Jawa Tengah merupakan persebaran-

persebaran industri, khususnya di Kota Semarang, Kabupaten

Semarang, Pekalongan, Sukoharjo dan lain-lain.

Sampai dengan bulan Februari 2009 saja di Jawa Tengah sudah

terdapat 8.208 buruh ter-PHK sedangkan buruh dirumahkan mencapai

6.211 (Data Depnakertrans RI). Dengan demikian jika dihitung sampai

dengan akhir tahun 2009 maka jumlah korban PHK akan lebih banyak

lagi, mengingat sejak Februari 2009 sampai dengan akhir tahun

gelombang –gelombang PHK massal masih terus terjadi.

Akibat PHK jelas akan manambah tingkat angka pengangguran

yang saat ini mencapai 1, 36 juta orang atau 7,7 persen dari total

penduduk Jawa Tengah. Untuk mengantisipasi gejolak sosial tersebut,

pemerintah menyiapkan dana sebesar 24,7 milyar untuk program

peningkatan kompetensi para korban PHK.

Dari pantauan yang dilakukan oleh LBH Semarang mulai Januari

2009 sampai Nopember 2009, terdapat 86 persoalan buruh yang

mencuat di 60 perusahaan di 17 kota dan kabupaten yang ada di Jawa

Tengah. Adapun persoalan terbanyak yang mencuat adalah persolan

Page 49: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

Jumlah Tuntutan atau Persoalan Buruh

Kebebasan Berserikat; 5

Jaminan sosial; 5 Status Kerja; 6

Tunjangan Kerja; 9

PHK Sepihak; 14

Upah; 17

Dll; 30

upah sebanyak 17 kasus, disusul persoalan tentang PHK sebanyak 14

kasus, tuntutan tunjangan kerja 14 kasus, status kerja 6 kasus, jaminan

sosial 5 kasus dan kebebasan berserikat 5 kasus, serta 30 kasus lainnya

(tuntutan pesangon, buruh dirumahkan, dan kecelakaan kerja).

Tabel Persoalan Buruh di Jawa Tengah

Tuntutan atau Persoalan Jumlah

Upah 17 Kasus

PHK Sepihak 14 Kasus

Tunjangan Kerja 9 Kasus

Status Kerja 6 Kasus

Jaminan sosial 5 Kasus

Kebebasan Berserikat 5 Kasus

Lain-lain 30 Kasus

Jumlah 86 Kasus

Grafik Persoalan Buruh Jawa Tengah

Persolan upah terjadi seperti penolakan sekitar 1500 buruh PT.

Rodeo atas pengangguhan pembayaran upah minimum yang dilakukan

oleh pihak perusahaan. Peristiwa ini terjadi pada awal 2009. Ratusan

buruh PT. Tosan Mash di Kudus juga melakukan mogok kerja pada April

2009, karena pihak perusahaan melakukan pemotongan upah secara

sepihak.

Kasus PHK sepihak terjadi seperti dialami oleh buruh perusahaan

tekstil PT.Tyfountex dan PT. Dupantex di Kabupaten Sukoharjo yang

masing-masing melakukan PHK terhadap sekitar 294 buruh dan 82

buruh.

Kasus pembatasan berserikat terjadi seperti dialami oleh 6 buruh

perusahaan elektronik PT. AST Semarang yang di PHK diduga karena

berserikat.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Dari kondisi perburuhan yang terjadi sepanjang 2009 di Jawa Tengah,

LBH Semarang menilai ada beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan

oleh pemerintah yaitu pelanggaran hak atas pekerjaan, hak atas kondisi

kerja yang adil dan menguntungkan, dan hak atas kebebasan berserikat.

a. Pelanggaran Hak atas Pekerjaan

Maraknya PHK, baik itu merupakan dampak krisis keuangan global

atau bukan, menyebabkan banyak buruh kehilangan pekerjaan.

Dinas Tenaga Kerja tidak mampu melakukan apa-apa, kalaupun ada

upaya yang dilakukan itu hanya sebatas pengawasan terkait

pemberian pesangon terhadap buruh ter-PHK. Dengan demikian

pemerintah telah mengabaikan hak-hak buruh untuk

mempertahankan pekerjaan.

b. Pelanggaran Hak atas Kondisi Kerja Yang Adil dan

Menguntungkan

Buruh berhak atas upah yang layak maupun tunjangan-tunjangan

kerja atas hasil kerjanya yang diberikan kepada pengusaha. Namun

demikian berdasarkan pantauan LBH Semarang, upah atau

tunjangan masih banyak menjadi tuntutan buruh selama 2009. Hal

ini membuktikan bahwa mayoritas buruh masih belum merasakan

Page 50: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

kondisi kerja yang adil. Dalam hal ini pemerintah sebenarnya

berperan menetapkan upah minimum serta mengawasi

pelaksanaan upah minimum tersebut. Namun pada prakteknya

Gubernur Jawa Tengah pada 17 Nopember 2009 justru menetapkan

upah minimum yang jauh dari harapan kebutuhan hidup layak (KHL)

buruh. Dari 35 Kota/Kabupaten yang ada di Jawa Tengah, hanya

Kabupaten Sukoharjo dan Kota Salatiga yang upah minimumnya

sesuai dengan KHL. Terkait pengawasan pemerintah, Dinas Tenaga

Kerja maupun pihak kepolisian selama ini tak pernah

menindaklanjuti pengaduan-pengaduan buruh tentang hak-haknya

yang dilanggar seperti upah, jamsostek, dan sebagainya.

c. Pelanggaran Hak atas Kebebasan Berserikat

Dalam kasus ini, biasanya perusahaan melakukan tindakan-tindakan

seperti PHK, mutasi, atau kriminalisasi terhadap pengurus serikat

buruh. Selama ini buruh melaporkan hal itu kepada bagian

pengawasan Dinas Tenaga Kerja atau kepolisian, namun tak pernah

ada tindakan tegas maupun tindakan serius dari kedua lembaga

tersebut. Kalaupun persoalan tersebut diserahkan kepada

Pengadilan Hubungan Industrial untuk menyelesaikan, yang terjadi

justru melegitimasi PHK buruh dengan alasan hubungan kerja sudah

tidak harmonis.

Isu Perkotaan

Pendahuluan

Lebih dari sebelas tahun krisis moneter yang mengguncang

perekonomian masyarakat berlalu. Dampak krisis adalah munculnya

pekerjaan sektor informal, seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), juru parkir,

pedagang pasar tradisional, sopir angkot, dan sebagainya. Keterdesakan

ekonomi lah yang menyebabkannya.

Meski saat ini krisis ekonomi telah menjauh dan perekonomian

mulai tumbuh dan berkembang, tetap saja pekerjaan sektor informal

seperti PKL masih dipilih oleh sebagian masyarakat. Alasannya karena

pekerjaan ini dianggap mampu menjawab persoalan, ditengah makin

tertutupnya akses masyarakat marginal khususnya komunitas miskin

perkotaan terhadap pekerjaan formal.

Ditengah pilihan sulit tersebut, keberadaan komunitas miskin

perkotaan seperti PKL, pedagang pasar tradisional, dan sopir angkot,

makin terdesak dan terancam akibat berkembangnya pembangunan

dan modernitas.

Paska reformasi 1998, kebijakan pembangunan tetap dilakukan.

Kalau sebelum reformasi, rencana pembangunan tertuang dalam Garis-

garis Besar Haluan Negara (GBHN), pasca reformasi, rencana

pembangunan dituangkan kedalam instrumen RPJP (Rencana

Pembangunan Jangka Panjang) Nasional, dan RPJP Daerah, RPJM

Daerah. Ini dijalankan pemerintah melalui Bappenas, Bappeda Provinsi

maupun kabupaten dan kota.

Berbagai kebijakan dalam RPJP Daerah dan RPJM Daerah masih

kurang mengakomodir kepetingan komunitas miskin perkotaan. Selain

itu, rencana pembangunan yang dituangkan dalam RPJP Daerah dan

RPJM Daerah terkadang masih belum berspektif HAM. Bahkan

implementasi kebijakan pembangunan tersebut masih banyak

kelemahan dan tidak tepat sasaran. Terlebih dalam hal proses distribusi

peningkatan kesejahteraan ekonomi.

Page 51: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

Dalam merencanakan pembangunan, pemerintah seharusnya

memasukkan instrumen Hak Asasi Manusia didalamnya sebagai tolak

ukur keberhasilannya. Keberhasilan pembangunan tak semata-mata

diukur dengan indikator pertumbuhan ekonomi, tetapi juga aspek

pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan HAM.

Di Jawa Tengah, jumlah penduduk miskin terus berkurang dari

sepuluh tahun lalu. Saat itu penduduk miskin mencapai 8,76 juta jiwa,

sekarang menyusut menjadi 5,73 juta jiwa.4 Meski demikian,

kenyataannya belum sepenuhnya masyarakat Jawa Tengah sejahtera.

Hal ini karena ukuran yang disebut miskin hanya menggunakan

pendekatan garis kemiskinan yang angka patokannya diturunkan.

Seseorang dianggap mampu dan tak masuk kategori miskin ketika sudah

mampu memenuhi kebutuhannya meski hanya kebutuhan minimum

seperti makan dan non-makan. Padahal untuk mengukur miskin atau

tidak miskin patokannya harus lebih dari itu.

Selain itu, indikator atau parameter yang ditentukan sangat

rendah. Misalnya, pada 2009 untuk menentukan masyarakat itu miskin

atau tidak ditentukan dengan garis kemiskinan di kota dan desa di Jawa

Tengah yang dihitung sebesar Rp. 182.515 pendapatan per kapita

perbulan. Meski besaran ini naik dari 2008 yang hanya sebesar Rp.

168.168 namun jika dipikir logis lagi apakah dengan pendapatan

perkapita sebesar itu, masyarakat miskin mampu memenuhi kebutuhan

yang sangat minimum? Terlebih ada faktor krisis global, dan lain

sebagainya yang memengaruhi. Sementara untuk memenuhi kebutuhan

akan pendidikan dan kesehatan juga belum dihitung, yang itu

sebetulnya merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Untuk menilai apakah dalam proses pembangunan sudah

mengakomodir nilai-nilai hak asasi manusia dapat dilihat dari kebijakan

pembangunan yang dilaksanakan. Berikut adalah beberapa kasus yang

dapat dijadikan parameter apakah kebijakan pembangunan telah

mengakomodir nilai-nilai, dan prinsip hak asasi manusia.

4 Kompas, memperhatikan mereka yang miskin, 21 Agustus 2009

Penggusuran dan Peminggiran Komunitas Miskin Perkotaan

Penggusuran terhadap pedagang kaki lima maupun sektor informal

lainnya, dalam rangka mengimplementasikan kebijakan pembangunan

selalu menjadi alasan pembenar bagi Pemerintah maupun sebagian

masyarakat. Hal itu terjadi karena pedagang kaki lima maupun sektor

informal lainnya dianggap sebagai pekerjaan yang dapat menghambat

pembangunan sebab dapat merusak pandangan atau keindahan kota,

menyebabkan kemacetan serta membuat wilayah tidak bersih. Padahal

sebenarnya tanpa peran pemerintah, pekerja sektor informal ini dapat

menciptakan lapangan kerja sendiri dan bahkan bisa menyelesaikan

persoalan-persoalan pemenuhan hak-hak lainnya.

Citra buruk yang melekat terhadap para pekerja disektor informal

tak lain disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang tidak

berperspektif HAM. Mereka tak diberi kesempatan mencari nafkah.

Mereka juga tak diberikan ruang-ruang publik dalam proses

pembangunan berkelanjutan tersebut. Padahal bagi mereka, nilai

pemanfaatan ruang-ruang publik tersebut merupakan satu-satunya

pekerjaan yang digunakan untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Sehingga apabila taraf kehidupan mereka meningkat, maka secara

ekonomi mereka berharap mampu menyelesaikan persoalan-

persoalannya sendiri.

Jika pandangan lama dan tindakan tersebut tidak diubah, maka

selamanya pekerja sektor informal akan menjadi kelompok masyarakat

miskin yang selalu menjadi korban pembangunan. Kasus-kasus yang

muncul di Jawa Tengah terkait dengan kebijakan pembangunan yang

kemudian menimbulkan peristiwa-peristiwa seperti razia/penggarukan,

kriminalisasi, penggusuran, konflik tata ruang dan konflik horisontal

serta kebijakan tidak adil lainnya dapat kita lihat di dalam grafik berikut

ini :

Page 52: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

Pedagang Pasar

Tradisonal; 660

PKL; 1263

PSK; 22

Juru Parkir; 18Gelandangan &

Pengemis; 92

32

65

1

38

14

202

0

50

100

150

200

250

Razia/

Penggarukan

PSK, Gepeng

& Preman

Penggusuran

PKL

Kriminalisasi Konfl ik Tata

Ruang

Konfl ik

horizontal

Kebijakan

yang tidak

adil

Jenis Kasus

Tabel di atas merupakan gambaran kondisi pelanggaran HAM di

issue miskin perkotaan di Jawa Tengah. Ada 32 kasus razia/penggarukan

PSK, gelandangan dan pengemis, serta preman. Sementara penggusuran

PKL ada 65 kasus, konflik tata ruang 38 kasus, konflik horisontal 14

kasus dan kebijakan lain yang tidak adil 202 kasus. Khusus penggusuran

PKL, meski terjadi penurunan secara kuantitas pada 2009, dari 79 kasus

di 2008 menjadi 65 kasus di 2009, namun tetap saja tak bisa dipandang

sebagai penurunan yang signifikan. Hal ini dikarenakan pendekatan

kebijakan pembangunan yang menimbulkan penggusuran PKL masih

cukup tinggi. Seperti di Kota Semarang saja, penggusuran PKL justru

meningkat drastis dari 14 kasus pada 2008 menjadi 26 kasus pada 2009.

Selain jumlah kasus tersebut, muncul pula jumlah korban

pelanggaran HAM. Jumlah tersebut sebagaimana tergambar dalam

grafik di bawah ini :

Satpol PPSwasta

POLRI/ TNIInstansi Pemda

lainnya

53

84

87

0

100

Pelaku

Angka tertinggi korban pelanggaran HAM di sektor miskin

perkotaan terjadi pada PKL, dimana angkanya mencapai 1263 PKL.

Selanjutnya disusul pedagang pasar tradisional sebanyak 660 pedagang,

gelandangan dan pengemis 92 orang, PSK 22 orang, serta juru parkir 18

orang.

Sementara pelaku pelanggaran HAM disektor miskin perkotaan

didominasi oleh Satpol PP dan instansi pemerintah daerah lainnya

dengan masing-masing jumlah pelanggaran sebanyak 53 dan 87. Disusul

kemudian swasta dan TNI/ POLRI masing-masing 8 dan 4 pelanggaran.

Grafik Pelaku dan Jumlah Pelanggaran

Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Pemenuhan, Penghormatan,

Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia Komunitas Miskin

Perkotaan.

Dari sisi regulasi sebetulnya sudah diatur mengenai kewajiban

pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan penegakan Hak Asasi

Manusia seperti Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia. Selain itu, dengan telah diratifikasinya Kovenan Hak-hak

Page 53: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

Ekonomi, Sosial dan Budaya (Hak Ekosob) dan Hak-hak Sipil dan Politik

kedalam peraturan perundang-undangan nasional yaitu dalam UU no.

11 tahun 2005 dan UU no. 12 tahun 2005 menambah jaminan akan

adanya pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan penegakan HAM.

Penjabaran tanggung jawab pemerintah kabupaten/ kota di Jawa

Tengah terhadap komunitas miskin perkotaan adalah sebagai berikut :

Tabel tersebut merupakan hasil pengolahan database dari

penanganan kasus, maupun monitoring di lapangan dan media massa.

Dari tahun ke tahun, meski telah diatur beberapa ketentuan mengenai

tanggungjawab pemerintah terhadap pemenuhan, penghormatan,

perlindungan dan penegakan HAM, namun yang tetap perlu menjadi

perhatian adalah langkah-langkah pemerintah dalam proses

pembangunan yang berspektif HAM.

Dengan melihat data tersebut, kita bisa melihat sampai sejauh

mana tanggung jawab negara dalam mengupayakan pemenuhan,

penghormatan, penegakan serta perlindungan HAM bagi sektor

komunitas miskin perkotaan dilaksanakan. Jika demikian halnya,

langkah pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah melakukan 19

relokasi pedagang pasar tradisional dan PKL, 1 gantirugi atas

penggusuran yang telah dilakukan, 2 pembinaan terhadap PSK dan

pengemis yang terjaring razia serta kriminalisasi terhadap pengamen

jalanan menunjukkan bahwa belum ada langkah- langkah yang lebih

baik yang dilakukan negara untuk memenuhi, menghormati, penegakan

serta perlindungan HAM. Karena jika kita lihat perbandingan antara

adanya penyelesaian dengan tidak adanya penyelesaian sangat jauh

berbeda. Ada penyelesaian hanya sebanyak 22 kasus, sementara ada

116 kasus yang tidak ada solusi penyelesainnya.

Kriminalisasi Ada Penyelesaian Tidak ada solusi

Relokasi Ganti Rugi Pembinaan

1

19 1 2

116

Kesimpulan

Sepanjang 2009 di issue perkotaan ada beberapa pelanggaran HAM

yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya terhadap Pasal 9 (1) dan

Pasal 38 (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM serta hak ekonomi,

sosial dan budaya terutama pasal 9 ayat 1, pasal 38 ayat 1 UU No.39

Tahun 1999 tentang HAM serta Bagian III point 1 UU No. 11 tahun 2005

tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Page 54: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

BAB VI

MENDORONG PEMENUHAN ACCESS TO JUSTICE

BAGI MASYARAKAT MARGINAL DI JAWA TENGAH

1. Pendahuluan

Mengimplementasikan visi misi LBH Semarang, pada 2008-2009

melaksanakan program “Mendorong Pemenuhan Access To Justice Bagi

Masyarakat Marginal di Jawa Tengah. Untuk itu, LBH melakukan

beberapa kegiatan, diantaranya memberi bantuan hukum terhadap

masyarakat marginal baik didalam maupun diluar pengadilan. Seluruh

aktivitas tersebut untuk meningkatkan akses masyarakat marginal

terhadap keadilan.

Penyebab minimnya akses masyarakat marginal tersebut adalah:

(1) kelemahan akibat ketimpangan struktur ekonomi, politik, sosial dan

budaya; (2) ketidaktahuan masyarakat marginal akan sistem hukum dan

prosedur hukum atau buta hukum; (3) Tingginya tingkat korupsi di

lembaga peradilan yang menyebabkan masyarakat marjinal tidak

mampu membayar “proses hukum”; (4) Tidak terlaksana secara efektif

kebijakan jasa “bantuan hukum” melalui advokat “profit” ; (5) Peraturan

perundang-undangan yang tidak berpihak pada masyarakat miskin.

Melaui bantuan hukum struktural tersebut, LBH Semarang telah

mengorganisir masyarakat marginal di beberapa sektor. Hasilnya, telah

terbentuk organisasi rakyat dibeberapa komunitas: komunitas buruh,

komunitas miskin kota, komunitas korban lingkungan, dan komunitas

nelayan. Dalam perkembangannya, beberapa pimpinan organisasi

masyarakat telah mampu mengadvokasi persoalan-persoalan di

komunitasnya. Namun demikian seringkali perbedaan kapasitas oleh

masing-masing organisasi masyarakat marginal menjadi salah satu

hambatan. Selain itu, tak semua anggota organisasi memahami secara

baik hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Karena itu, YLBHI-

LBH Semarang melakukan serangkaian kegiatan Pendidikan Hukum

Kritis terhadap masyarakat marginal.

a. Pelatihan Paralegal Petani

23 – 25 Juli 2009, LBH Semarang bekerjasama dengan Yayasan TIFA

menyelenggarakan Pelatihan Paralegal Petani. Peserta pelatihan

adalah 30 orang petani di Kabupaten Kendal yang tergabung dalam

Forum Persaudaraan Petani Kendal. Pelatihan paralegal dasar ini

diberikan kepada kelompok – kelompok petani baru anggota Forum

Persaudaraan Petani Kendal untuk meningkatkan dan mempercepat

kapasitas, memberikan dasar-dasar pengetahuan bantuan hukum,

dan advokasi pelanggaran hak asasi manusia bagi para petani.

Lengkapnya, tujuan kegiatan ini adalah sebagai berikut :

1. Memberikan pendidikan hukum kritis kepada para petani lapis

ke-2, khususnya anggota FPPK Kabupaten Kendal;

2. Adanya forum bagi petani anggota FPPK untuk melakukan

konsolidasi advokasi kasus-kasus tanah berbasis perkebunan dan

hutan di Kabupaten Kendal;

3. Membangun kesepahaman bersama antara komunitas petani

yang tergabung dalam FPPK Kabupaten Kendal;

4. Menciptakan paralegal-paralegal baru;

5. Membentuk pos-pos paralegal di Kabupaten Kendal.

b. Pelatihan Paralegal Nelayan

Munculnya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Pesisir dan Pulau-Pulau kecil merupakan ancaman besar bagi

kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir. Salah satu pasal yang

mengatur Hak Pengelolaan Perairan Pesisir (HP3) memberikan

peluang kepada pemilik modal untuk melakukan eksploitasi sumber

daya laut dan pesisir. Hal ini diyakini akan semakin menyingkirkan

nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dalam mengakses sumber

daya laut dan pesisir.

Disisi lain, kebijakan pengelolaan pesisir dan kelautan yang

diterapkan oleh pemerintah, secara nyata telah mengakibatkan

Page 55: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

kerusakan ekologi di kawasan pesisir. Tak konsistennya pemerintah

dalam melakukan penataan ruang telah mengakibatkan bencana di

kawasan pesisir, seperti banjir, rob atau naiknya permukaan air laut,

hingga abrasi yang terjadi hampir di pesisir pantai utara Jawa

Tengah. Selain itu, konflik area pesisir terus terjadi antara pemilik

modal dengan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir lainnya.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan

kawasan pesisir dan kelautan belum mencerminkan keadilan bagi

nelayan dan masyarakat pesisir. Sementara itu, ada kesulitan yang

muncul dari dalam komunitas nelayan: kualitas dan pemahaman

nelayan mengenai persoalan-persoalan disekitarnya masih rendah.

Selain itu, rendahnya kesadaran kritis masyarakat pesisir, juga

menghambat rakyat dalam mengontrol kebijakan negara.

Melihat kondisi tersebut diatas, LBH Semarang bekerjasama

dengan YayasanTIFA dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

(KIARA) menyelenggarakan Pelatihan Paralegal Nelayan. Acara

diselenggarakan pada 28 Februari – 3 Maret 2009. Palatihan Nelayan

tersebut diikuti 30 nelayan dari Kabupaten Kendal, Kabupaten

Batang dan Kabupaten Pekalongan. Pelatihan ini bermaksud:

1. Mengkomunikasikan kebijakan pengelolaan kawasan pesisir

kepada komunitas nelayan di Kabupaten Kendal, kabupaten

Batang dan Kabupaten Pekalongan;

2. Memberikan pendidikan dan membangun kesadaran kritis serta

menciptakan aktor lokal untuk melakukan advokasi kebijakan

pengelolaan pesisir dan kelautan;

3. Memberikan ruang komunikasi antar komunitas nelayan dan

masyarakat pesisir di Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang dan

Kabupaten Pekalongan;

4. Menciptakan kader-kader paralegal;

5. Membentuk pos-pos paralegal.

Kegiatan pelatihan paralegal nelayan tersebut diakhir dengan

menyusun rencana tindak lanjut bersama dan diakhiri dengan

Konferensi Pers.

Dari pelatihan ini, muncul kader-kader baru paralegal di

beberapa kabupaten tersebut. Mereka aktif mengkomunikasikan

persoalan-persoalan nelayan didaerahnya dengan cara mengadakan

pertemuan-pertemuan rutin untuk konsolidasi. Pelatihan ini juga

menghasilkan satu pos paralegal nelayan di Kabupaten Batang.

c. Temu Paralegal Jawa Tengah

Bantuan hukum struktural dan pendidikan hukum kritis LBH

Semarang telah menghasilkan paralegal-paralegal pada masing-

masing komunitas, baik komunitas miskin kota, komunitas buruh,

komunitas nelayan, dan komunitas petani. Secara umum, masing-

masing paralegal tersebut telah melakukan advokasi di

komunitasnya masing-masing. Namun demikian, belum terbangun

strategi bersama untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat

marginal pada masing-masing komunitas.

Pada 4-6 Agustus 2009, LBH Semarang bekerjasama dengan

Yayasan TIFA menyelenggarakan “ Temu Paralegal Jawa Tengah”.

Kegiatan ini bertujuan:

1. Melakukan evaluasi advokasi dan menyusun rencana tindak lanjut

bersama paralegal guna mendorong pemenuhan hak asasi

manusia di Jawa Tengah

2. Membangun strategi advokasi bersama paralegal guna

mendorong pemenuhan hak asasi manusia di Jawa Tengah.

Temu Paralegal Jawa Tengah diikuti oleh 25 paralegal, baik

paralegal di komunitas miskin perkotaan, paralegal nelayan,

paralegal buruh, dan paralegal petani.

d. Pendidikan Hukum Kritis Nelayan di Kabupaten Kendal

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 10 tahun 2003 tentang

Tempat Pelelangan Ikan (TPI) menyatakan bahwa sebagian dari

pendapatan retribusi Tempat Pelelangan Ikan wajib dikembalikan

kepada nelayan, baik dalam bentuk Tabungan Nelayan, Dana

Paceklik ataupun bentuk lainnya. Namun seringkali nelayan kesulitan

untuk mengakses sebagian dana retribusi tersebut yang sebenarnya

adalah hak nelayan. Jangankan untuk mengakses, nelayan juga

Page 56: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

banyak yang tak paham informasi tentang teknis dan mekanisme

mendapatkan hak-hak tersebut. Selain itu, sering ditemukan

pungutan-pungutan liar dalam mekanisme pelelangan ikan di TPI

yang merugikan nelayan.

Salah satu persoalan nelayan tersebut diatas menjadi salah

satu pertimbangan LBH Semarang untuk terus menerus melakukan

Pendidikan Kritis di Komunitas Nelayan. Pada 30 – 31 Desember

2009, bertempat di Dusun Gempolsewu, Kecamatan Rowosari

Kabupaten Kendal, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

dan Layar Nusantara serta LBH Semarang menyelenggarakan

Pendidikan Hukum Kritis untuk nelayan di Kabupaten Kendal.

Kegiatan tersebut diikuti 20 nelayan di wilayah pesisir Kabupaten

Kendal, seperti nelayan Sendang Sikucing, Tanggul Malang,

Sigenthong, Tawang laut dan nelayan sekitar Kecamatan Rowosari.

Kegiatan ini bertujuan:

1. Memperkuat organisasi nelayan untuk melakukan advokasi

terhadap permasalahan yang dihadapi nelayan di Kabupaten

Kendal;

2. Membongkar “Mafia” dalam mekanisme pelelangan ikan di

Tempat Pelelangan Ikan;

3. Sebagai ruang konsolidasi sesama nelayan di wilayah Kabupaten

Kendal untuk memperjuangkan hak-hak nelayan.

Dalam rencana tindak lanjutnya, poin penting yang dilakukan

adalah penguatan kelembagaan organisasi-organisasi nelayan dan

disepakati juga dalam sebualan sekali, khususnya setiap Jum’at

Kliwon diadakan pertemuan rutin antara sesama organisasi-

organisasi nelayan di Kabupaten Kendal.

2. Perluasan Daya Jangkau Bantuan Hukum Melalui Klinik Hukum

Pada 2008, LBH Semarang telah menerima 141 konsultasi hukum dari

masyarakat. Berdasarkan jenis masalah hukum yang dikonsultasikan,

masalah pidana menempati peringkat tertinggi yaitu 35 kasus [24,82 %],

diikuti 32 kasus perkawinan [22,70%], 30 kasus perdata umum [21,28%],

24 kasus pertanahan / perumahan [17,02%], 17 kasus perburuhan

[12,06%], 2 kasus pencemaran/perusakan lingkungan hidup [1,42%] dan

kasus hak konsumen 1 kasus [0,71,%].1

Masyarakat yang berkonsultasi sebagian besar berdomisili di

wilayah Semarang, Kabupaten Demak dan Kabupaten Kendal. Dengan

demikian, bantuan hukum yang diberikan LBH Semarang belum

dirasakan oleh masyarakat marginal di seluruh wilayah Jawa Tengah.

Untuk memperluas daya jangkau bantuan hukumnya, pada 6 – 9 Maret

2009, LBH Semarang bekerjasama dengan Serikat Pekerja Nasional

(SPN) Pekalongan, menyelenggarakan Pusat Konsultasi atau Klinik

Hukum secara cuma-cuma di kantor SPN Pekalongan.

3. Publikasi dan Kampanye Pelanggaran HAM di Jawa Tengah

Sebagai bagian dari pertanggungjawaban publik, LBH Semarang

menyampaikan informasi sampai sejauh mana negara

mengimplementasikan hak asasi manusia, baik Hak Sipil Politik maupun

Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. LBH Semarang merangkum kondisi

tersebut berdasar penanganan kasus, investigasi, laporan masyarakat,

dan monitoring dari media massa. Kami berharap laporan kondisi hak

asasi manusia tersebut menjadi kritik bagi negara untuk

mengimplementasikan hak asasi manusia secara lebih baik.

Pada 30 Desember 2009, LBH Semarang menyelenggarakan

Konferensi Pers tentang kondisi hak asasi manusia, dan bentuk-bentuk

pelanggaran hak asasi manusia di Jawa Tengah sepanjang 2009. Selain

menginformasikan melalui media surat kabar dan elektronik, LBH

Semarang juga menerbitkan laporan tersebut dalam bentuk buku.

4. Training Advokasi NGO di Isu Pesisir dan Kelautan

Pada 2009, pemerintah Indonesia menyelenggarakan beberapa kegiatan

untuk membuat kebijakan pengelolaan pesisir dan kelautan. Salah

satunya adalah Word Ocean Conference (WOC). WOC telah

1 Laporan tahunan LBH Semarang, 2008.

Page 57: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

menghasilkan dua buah dokumen penting, yaitu Manado Ocean

Declaration (MOD) dan Coral dan Triangle Initiative on Coral Reefs,

Fisheries and Food Security (CTI-CFF). Kedua dokumen penting ini akan

berdampak terhadap kebijakan nasional, khususnya dalam kebijakan

pengelolaan pesisir dan kelautan. Masyarakat, khususnya aktivis di isu

pesisir dan laut memprotes dua dokumen ini karena merugikan

masyarakat pesisir khususnya nelayan. Belum tuntas persoalan WOC ini,

pada penghujung September 2009, pemerintah telah mengesahkan

Revisi Undang-Undang 41 Tahun 2004 tentang Perikanan menjadi

Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Padahal

Undang-undang ini bermasalah, karena mengabaikan jaminan

perlindungan terhadap nelayan dan masyarakat pesisir.

Para aktivis Non Governmental Organization (NGO) perlu

menyikapi kebijakan pemerintah terkait pesisir dan laut tersebut dan

dampaknya terhadap masyarakat pesisir. Karena itu, Koalisi Rakyat

untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan Layar Nusantara

dan LBH Semarang menyelenggarakan training atau Penguatan

Kapasitas NGO dalam Advokasi Kebijakan Pesisir dan Kelautan.

Training diselenggarakan pada tanggal 16 – 19 Desember 2009 di

Hotel Santika Semarang dan diikuti oleh 11 NGO di seluruh nusantara

yang concern terhadap advokasi kebijakan pesisir dan kelautan.

5. Pelatihan Pendokumentasian Isu Pesisir dan Kelautan Melalui

Media.

Pendokumentasian adalah kegiatan untuk mengabadikan suatu

peristiwa atau keadaan. Kegiatan ini penting dilakukan dalam

memperkuat kerja-kerja advokasi. Seseorang yang melakukan advokasi

tanpa pendokumentasian yang baik diibaratkan ” Tentara Perang Tanpa

Amunisi”. Begitu juga dalam hal pendokumentasian konflik pada isu

pesisir dan kelautan, kerja-kerja advokasi terhadap eksploitasi sumber

daya alam pada pesisir dan kelautan perlu didukung dengan

dokumentasi yang komprehensif.

Karena itu, pada 25 Nopember 2009, Koalisi Rakyat untuk

Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan Layar Nusantara dan

LBH Semarang menyelenggarakan Training Pendokumentasian Melalui

Media di Hotel Metro Semarang. Training diikuti oleh 15 nelayan dan

petani Tambak di Kabupaten Demak, Kota Semarang dan Kabupaten

Kendal.

Kegiatan ini bertujuan: (1) memberikan pemahaman terhadap

nelayan dan masyarakat pesisir akan pentingnya pendokumentasian,

dan (2) memberikan pemahaman kepada nelayan dan masyarakat

pesisir tentang cara mendokumentasikan konflik di wilayah pesisir dan

kelautan.

6. Evaluasi Pelatihan Paralegal Petani dan Paralegal Nelayan

Training Paralegal Petani di Kabupaten Kendal dan Training Paralegal

Nelayan di Kabupaten Kendal telah menghasilkan rencana tindak lanjut

bersama, salah satunya adalah memperkuat organisasi, baik organisasi

tani ataupun organisasi nelayan. Kedua training itu juga menghasilkan

strategi advokasi bersama pada masing-masing komunitas. Terkait dua

kegiatan tersebut, penting dilakukan evaluasi bersama sampai sejauh

mana efektifitas peran paralegal dalam mengimplemtasikan hasil

training tersebut pada komunitasnya masing-masing.

LBH Semarang bekerjasama dengan Yayasan TiFA

menyelenggarakan pertemuan atau diskusi guna mengevaluasi peranan

paralegal dan mekanisme koordinasi dengan LBH Semarang. Diskusi

Evaluasi Paralegal Petani diselenggarakan pada 26 Oktober 2009,

sedangkan diskusi Evaluasi Paralegal Nelayan diselenggarakan pada 27

Oktober 2009. Keduanya bertempat di Kabupaten Kendal.

7. Pelatihan Pendamping Hukum Rakyat

Hukum yang dibuat negara kadang banyak menimbulkan persoalan. Hal

ini karena proses pembuatan hukum tersebut tak lepas dari

kepentingan-kepentingan politik maupun kepentingan pasar. Reaksi-

Page 58: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

reaksi penolakan terhadap hukum negara yang melahirkan dua

kenyataan yang hingga kini tetap berlangsung, yakni : (1) munculnya

ketegangan tak terdamaikan antara hukum rakyat dengan hukum

negara; dan (2) semakin memperlebar jarak antara keteraturan sosial

(social order) dengan keteraturan hukum (legal order).

Untuk menghidupkan kembali telaah-telaah sosial terhadap

hukum dan mengetahui politik hukum, LBH Semarang bekerjasama

dengan Perkumpulan HuMa Jakarta, menyelenggarakan Pendidikan

Hukum Kritis Untuk Pendamping Hukum Rakyat pada 17 – 19 Februari

2009. Kegiatan ini juga berguna untuk menghidupkan kembali dan

mengembangkan lebih lanjut konsep pluralisme hukum sebagai

alternatif untuk menjelaskan dan menyelesaikan konflik sosial yang

tengah banyak muncul dimasyarakat, serta gerakan-gerakan pembelaan

terhadap masyarakat marginal yang dapat mencerminkan aliran berpikir

tertentu mengenai hukum.

8. Pendokumentasian Dampak Perubahan iklim Terhadap

Masyarakat Pesisir dan Nelayan di Pantai Utara Jawa Tengah.

Perubahan iklim telah berdampak langsung terhadap kehidupan nelayan

dan masyarakat pesisir. Nilai-nilai kearifan lokal nelayan secara lambat

namun pasti telah hilang akibat perubahan iklim yang sangat ekstrim.

Nelayan sudah tidak bisa lagi memprediksi musim ketika berangkat

untuk melaut. Mereka juga tak bisa memprediksi lagi tanda-tanda alam

untuk mengetahui keberadaan musim ikan di laut. Salah satu

dampaknya adalah berkurangnya hasil tangkapan mereka. Karena itu

penting untuk mengidentifikasi sejauh mana dampak perubahan iklim

terhadap nelayan dan masyarakat pesisir.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama

dengan Layar Nusantara dan Semarang, melakukan serangkaian

kegiatan untuk mendokumentasikan dampak perubahan iklim terhadap

nelayan dan masyarakat pesisir.

• Live In di 3 Kabupaten

Live in adalah menetap dan tinggal di komunitas. Dengan menetap

dan hidup di komunitas kita akan merasakan dan memahami

kehidupan sosial nelayan dan masyarakat pesisir. Untuk

mendokumentasikan dampak perubahan iklim terhadap nelayan dan

masyarakat pesisir, LBH Semarang dan Layar Nusantara melakukan

live In di komunitas-komunitas nelayan dan masyarakat pesisir di 3

Kabupaten, yaitu Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak dan Kota

Semarang.

• Focus Group Discussion (FGD) Identifikasi Dampak Perubahan Iklim

Terhadap Nelayan

LBH Semarang bersama Layar Nusantara menyelenggarakan diskusi

pada tanggal 24 November 2009, di Wisma BKK, Jl Supriyadi No 37

Semarang. Diskusi diikuti oleh 15 nelayan dan petani tambak di 3

kabupaten, yaitu kabupaten Kendal, Kota Semarang dan Kabupaten

Demak. Kegiatan ini bertujuan:

1. Mengidentifikasi dampak perubahan iklim dan kerusakan ekologi

terhadap masyarakat pesisir.

2. Berbagi pengalaman sesama nelayan dan masyarakat pesisir

dalam menghadapi perubahan iklim dan kerusakan ekologi di

kawasan pesisir.

3. Melakukan pemetaan sampai sejauh mana dampak perubahan

iklim terhadap kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir.

• Publikasi dampak perubahan iklim terhadap nelayan dan

masyarakat pesisir

LBH Semarang akan mendokumentasikan dampak perubahan iklim

terhadap nelayan dan masyarakat pesisir dalam bentuk buku.

9. Launching Database Konflik Sumber Daya Alam

Konflik sumber daya alam di Jawa Tengah menjadi persoalan yang

belum terselesaikan sampai sekarang. Selama sepuluh terakhir, data-

data konflik sumber daya alam tersebut terus mengalami

Page 59: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

perkembangan seiring dengan perkembangan kasus yang terjadi. LBH

Semarang telah mencatat hampir setiap perkembangan dan

mendokumentasikannya.

Sebagian besar data tersebut telah tercatat dalam program

database Humawin yang didesain oleh HuMa. Selama kurang lebih 3

tahun terakhir, konflik-konflik sumber daya alam di wilayah kerja LBH

Semarang telah didokumentasikan melalui Humawin ini. Pada 16

Desember 2009 di Hotel Santika Semarang, LBH Semarang bekerjasama

dengan Perkumpulan HuMa melaunching data-data konflik sumber

daya alam ini kepada publik. Tujuannya, agar publik mengetahui konflik

sumber daya alam yang terjadi di Jawa Tengah. Selain itu juga

mengungkap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi, dan lebih

lanjut ada jalan keluar mengurai konflik tersebut.

10. Pendidikan Hukum Kritis untuk Petani Grobogan

Pendidikan hukum kritis ini dikhususkan untuk para petani pinggir hutan

yang berkonflik dengan Perhutani di Kabupaten Grobogan. Konflik

tersebut meliputi konflik akses pengelolaan hutan dan konflik hak atas

tanah. Tujuan pendidikan ini adalah menyediakan ruang komunikasi,

membangun kesadaran kritis, dan konsolidasi para petani hutan.

Kegiatan dilaksanakan pada 7-9 Januari 2009.

11. Konsolidasi Petani Hutan Se-Jawa Bali

Jawa-Bali memiliki kawasan hutan yang sesungguhnya merupakan

potensi yang besar untuk kemakmuran rakyat. Sayangnya selama ini

petani hutan mengalami banyak persoalan dalam memenuhi hak-

haknya serta mewujudkan tata kuasa, tata produksi, tata guna dan tata

konsumsi yang berkeadilan, demokratis dan berkelanjutan. Di hampir

semua kawasan hutan, baik hutan rakyat, hutan negara yang dikelola

Perhutani, hutan adat maupun hutan lindung mempunyai persoalan

masing-masing yang membuat petani hutan tak kunjung mendapatkan

kemakmuran didaerahnya sendiri.

LBH Semarang bekerjasama dengan Perkumpulan HuMa

mengadakan konsolidasi petani hutan se-Jawa Bali pada 28-30 Januari

2009 di Kabupaten Banyumas. Kegiatan ini bertujuan mempertemukan

petani hutan untuk membincangkan persoalan yang mereka hadapi dan

bertukar inisiatif pengetahuan-pengalaman dalam pengelolaan sumber

daya hutan untuk membangun agenda kehutanan masa depan.

Page 60: Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

BAB VII

PENUTUP

Perlakuan negara terhadap masyarakat yang menuntut hak-haknya tak

pernah berubah. Pemaparan mengenai kondisi bantuan hukum dan hak

asasi manusia membuktikan bahwa rakyat harus punya kekuatan – fisik

dan non fisik untuk menuntut hak-hak mereka. Organisasi-organisasi

rakyat yang telah ada, haruslah dipupuk dan dikuatkan secara internal,

terutama kapasitasnya untuk menjadi wadah bagi perjuangan rakyat.

Dari tulisan ini, publik bisa melihat bagaimana negara melakukan

pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi manusia disemua sektor:

sumber daya alam (pertanahan), lingkungan hidup, perburuhan, dan

masyarakat miskin perkotaan. Kriminalisasi, menjadi senjata yang

ampuh untuk meredam perjuangan rakyat. Namun kenyataannya,

rakyat tak terus “mati” dengan segala ancaman itu. Mereka terus

melawan, baik didalam maupun diluar pengadilan. Dari perlawanan itu,

kadang mereka berhasil, kadang tidak.

Di keempat issue tersebut, negara melalaikan kewajibannya

dalam memenuhi hak asasi manusia, yaitu kewajiban menghormati [to

respect], kewajiban melindungi [to protect] dan kewajiban memenuhi

[to fulfill]. Indonesia sendiri telah meratifikasi Kovenan Hak Ekonomi

Sosial Budaya melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2005 tentang

Pengesahan Konvensi Hak Ekonomi Sosial Budaya [Ecosoc Right] dan

Kovenan Hak-hak Sipil Politik melalui Undang-undang No. 12 Tahun

2005 tentang Pengesahan Konvensi Hak Sipil Politik. Ratifikasi ini berarti

mewajibkan Negara untuk melakukan pemenuhan hak dasar bagi warga

Negara. Ironisnya, secara bersamaan Negara juga menjadi aktor atas

pelanggaran terhadap Hak-Hak Ekosob dan Hak Sipil Politik.

Di bidang bantuan hukum, negara juga melalaikan kewajibannya

menyediakan bantuan hukumnya untuk warga negara yang tidak

mampu. Padahal konstitusi Indonesia dan peraturan-peraturan

dibawahnya mewajibkan negara untuk menyediakan bantuan hukum

itu. Dalam kasus-kasus pidana, pelanggaran ini banyak terjadi. Ketika

menghadapi kasus pidana, mereka yang tak mampu kehilangan haknya

untuk didampingi penasehat hukum. Bantuan hukum dinegeri ini

menjadi sesuatu yang mahal. Rakyat miskin memang harus

“mempersiapkan diri sendiri” ketika hendak menuntut hak-hak mereka

atau menghadapi persoalan hukum.

Meningkatnya tindakan represif negara dalam merespon

tuntutan para petani, meningkatnya kasus-kasus lingkungan, belum

terpenuhinya hak-hak buruh, dan masih stagnannya kondisi masyarakat

miskin perkotaan membuktikan bahwa selama 2009 ini, kondisi Hak

Asasi Manusia di Jawa Tengah tak lebih baik dari tahun 2009.