BPH Jadi Revisi Fix.
-
Upload
fakrulnersmuda -
Category
Documents
-
view
142 -
download
13
description
Transcript of BPH Jadi Revisi Fix.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Hiperplasia Prostat atau BPH (Benign Prostate Hiperplasia) adalah
pembesaran progresif dari kelenjar prostat bersifat jinak yang disebabkan oleh
hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat dan mengakibatkan
penyumbatan uretra pars prostatika (Muttaqin, 2011). BPH adalah kondisi
patologis kelenjar prostat yang mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke
dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium
uretra (Smeltzer, 2002). Menurut Lewis (2011) Benigna Prostatic Hyperplasia
(BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat yang terjadi pada pria dewasa usia
lebih dari 50 tahun dan membutuhkan intervensi medis.
Beberapa dari pengertian mengenai Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)
adalah keadaan pembesaran kelenjar prostat jinak yang terjadi pada pria dewasa
usia > 50 tahun dan dapat mengakibatkan penyumbatan aliran urin.
2.2 Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
BPH, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan
peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT), proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
adalah ( Purnomo, 2011):
a. Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel kelenjar prostat. Pada berbagai penelitian
dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tiddak jauh berbeda dengan kadarnya
pada prostat normal, hanya saja aktivitas enzim 5 alfa-reduktase dan jumlah
reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel
prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih
banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
4
b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar
estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan antara estrogen dan testosteron
relatif meningkat. Estrogen di dalam prostat berperan terjadinya proliferasi sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel prostat terhadpa
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan
menurunkan jumlah kematian sel prostat (apoptosis). Rangsangan
terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, sel-sel
prostat yang telah ada mempunyai umur lebih panjang sehingga massa prostat
lebih besar.
c. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) dalam buku Purnomo (2011) membuktikan bahwa
diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol
oleh stroma melalui suatu mediator tertentu. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis
suatu faktor Growth Factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu
sendiri secara intrakin dan autokin serta mempengaruhi sel-sel epitel secara
parakin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma.
d. Berkurangnya kematian sel prostat
Apoptosis pada sel prosta adalah mekanisme fisiologis untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel mengalami apoptosis
dan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada
prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati
dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan
menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang
menghambat proses apoptosis. Diduga hormon androgen berperan dalam
5
menghambat proses kematian sel. Estrogen diduga mampu memperpanjang
usia sel prostat.
e. Teori sel stem
Sel stem adalah sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat
ekstensif. Kehidupan sel ini sangat bergantung pada keberadaan hormon
androgen. Jika androgen menurun menyebabkan apoptosis. Ketidaktepatan
aktivitas sel stem menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel yang
berlebihan.
2.3 Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesika. Untuk mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi dengan kuat
supaya dapat melawan tahanan. Kontraksi yang terus menerus menyebabkan
perubahan anatomi buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula dan diventrikel buli-buli. Perubahan struktur ini
menyebabkan keluhan saluran kemih bagian bawah yang didahului gejala
prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan keseluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi reflukd
vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasis prostat benigna tidak hanya
disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi
disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat dan
otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh saraf simpatis dari
nervus pudendus.
2.4 Manifestasi Klinis
Menurut Lewis (2011) manifestasi klinis BPH terbagi menjadi 2 yaitu
gejala obstruktif dan gejala iritatif:
6
a. Gejala obstruktif meliputi retensi urin, volume urin menurun dan harus
mengejan saat berkemih, kesulitan memulai berkemih dan urin menetes
pada akhir berkemih.
b. Gejala iritatif meliputi peningkatan frekuensi urin, urgency (kebelet),
disuria, nyeri pada kandung kemih, nokturia dan incontinensia urin.
2.5 Pemeriksaan Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik meliputi pemeriksaan rektal digital untuk mengetahui
ukuran, bentuk dan konsistensi kelenjar prostat.
2. Urinalisis untuk mengidentifikasi infeksi dan peradangan.
3. Antigen spesifik prostatic untuk mengidentifikasi adanya kanker prostat.
4. Cystoscopy untuk melihat keadaan uretra dan kandung kemih.
5. Pancaran urin (flow rate) dapat dihitung secara sederhanan yaitu
menghitung jumlah urine dibagi dengan jumlah urin dengan lamanya
miksi berlangsung.
6. Residual urine adalah jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin ini dapat
dihitung dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi.
2.6 Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki keluhan miksi,
meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi intravesika, mengembalikan
fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi residu urin setelah miksi dan
mencegah progresifitas penyakit (Purnomo, 2011).
Tindakan non bedah
“watch full waiting” adalah pengobatan yang sesuai bagi banyak pasien
karena kecenderungan progresi penyakit atau terjadinya komplikasi tidak
diketahui. Pasien dipantau secara periodik terhadap keparahan gejala,
pemeriksaan fisik, laboratorium dan uji urologi diagnostik (Winkelman, 2010).
a. Obat-obatan
1. Penghambat 5 alfa reduktase
7
Obat ini bekerja dengan cara menghambat dihidrotestosteron (DHT)
dari testosteron yang dikatalis oleh 5 alfa-reduktase di dalam sel
prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan
replikasi sel prostat menurun. Contoh obat: Finasteride (Proscar),
Dutastaride (Avodart).
2. Alfa Blocker
Obat ini bekerja untuk menurunkan tekanan uretra dan meningkatkan
aliran urin. Contoh obat: Tamsulotion (Flomax), Alfuzosin (Uroxatral),
Doxazosin (Cardura) dan Terazosin (Hytrin).
b. Kurangi aktivitas hubungan seksual.
c. Pendidikan kesehatan pada pasien:
1. Hindari alkohol, diuretik dan kafein.
2. Hindari minum obat yang dapat menyebabkan retensi urin seperti
antikolinergik, anti histamin dan dekongestan.
3. Jangan menahan urin terlalu lama.
d. Minimal Invasive Therapy
Minimal invasive terapi adalah teknik untuk mengurangi jaringan prostat.
1. Transurethral needle ablation (TUNA).
Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan
panas sampai 1000C, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat.
Sistem ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan
generator yang dapat membangkitkan energi pada frekuensi radio 490
Hz. Kateter dimasukkan dalam uretra melalui sistoskopi dengan
pemberian anestesi lokal xylocaine sehingga jarum yang bterletak pada
ujung kateter terletak pada kelenjar prostat.
2. Transurethral microwave therapy (TUMT)
Pemanasan dengan gelombang mikro pada frekuensi 915-1296 Hz
yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan di dalam uretra.
Pemanasan 1130F (450C) menyebabkan destruksi jaringan pada zona
transisional prostat karena nekrosis koagulasi.
8
3. Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi
karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal diantara leher
buli-buli dan sebelah proximal verumontanum sehingga urin dapat
leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara
temporer atau permanen.
4. Electrovaporization Prostate
Cara electrovaporization prostat adalah sama dengan TURP, hanya
saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dengan mesin
diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi
kelenjar prostat. Teknik ini aman, tidak menimbulkan perdarahan pada
saat operasi. Teknik ini hanya diperuntukkan pada prostat yang tidak
terlalu besar (<50gr).
Tindakan Bedah
Prosedur Pembedahan
Keuntungan Kerugian Implikasi Keperawatan
Reseksi Transuretral(TUR atau TURP)Mengangkat jaringan prostat dengan instrumen yang dimasukkan melalui uretra)
1. Menghindari insisi abdomen.
2. Lebih aman bagi pasien berisiko bedah
3. Hospitalisasi dan periode pemulihan lebih singkat.
4. Angka morbiditas lebih rendah
5. Menimbulkan sedikit nyeri.
1. Membutuhkan dokter bedah yang ahli.
2. Obstruksi kambuhan, trauma uretral, striktur.
3. Perdarahan lama dapat terjadi.
1. Pantau terhadap hemoragi.
2. Amati gejala striktur uretra (disuria, mengejan, aliran urin lemah).
3. Pantau kejadian TURP sindrom pada saat irigasi kateter dengan aqudest. Kelebihan H2O dapat
9
menyebabkan terjadinya hiponatremia atau gejala intoksikasi air dengan gejala pasien gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat dan bradikardi.
4. Kolaborasi dengan dokter untuk memasang sistostomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi dan pemberian glisin.
Pengangkatan dengan bedah terbuka: Pendekatan suprapubis
1. Secara teknis sederhana
2. Memberikan area eksplorasi yang lebih luas.
3. Memungkinkan eksplorasi untuk nodus limfe kankerosa.
4. Memungkinkan pengangkatan kelenjar pengobstruksi lebih komplit.
5. Memungkinkan pengobatan lesi
1. Membutuhkan pembedahan melalui kandung kemih.
2. Kontrol hemoragi sulit.
3. Urin dapat bocor disekitar tuba suprapubis.
4. Pemulihan mungkin lama dan tidak nyaman.
1. Pantau terhadap indikasi hemoragi dan syok.
2. Lakukan perawatan aseptik yang sangat cermat pada area tuba suprapubis.
10
Pendekatan perineal
Pendekatan Retropubis
kandung kemih yang berkaitan.
1. Memberikan pendekatan anatomis langsung
2. Memungkinkan drainase oleh bantuan gravitasi.
3. Efektif untuk terapi kanker radikal.
4. Angka mortalitas rendah.
5. Insiden syok rendah.
6. Ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, berisiko bedah buruk, pasien sangat tua.
1. Memungkinkan insisi kedalam kandung kemih.
2. Memungkinkan dokter bedah untuk melihat kontrol perdarahan.
3. Periode
1. Insiden impotensi, inkontinesia urin pascaoperatif tinggi.
2. Kemungkinan kerusakan pada rektum dan sfingter eksternal.
3. Potensial terhadap infeksi lebih besar.
1. Tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih yang berkaitan.
2. Insiden hemoragi akibat
1. Hindari menggunakan selang rektal atau termometer dan enema setelah pembedahan.
2. Gunakan bantalan drainase untuk menyerap drainase urin yang berlebihan.
3. Berikan cincin karet busa untuk kenyamanan pasien ketika duduk.
4. Antisipasi kebocoran urin disekitar luka selama beberapa hari setelah kateter dilepaskan.
1. Pantau terhadap hemoragi.
2. Antisipasi kebocoran pasca urinari selama beberapa
11
pemulihan lebih singkat .
4. Kerusakan sfingter kandung kemih lebih sedikit.
pleksus venosa prostat meningkat, osteitis pubis.
hari setelah mengangkat kateter.
TUR P (Reseksi Prostat Transuretra)
Saat ini tindakan TURP merupakan tindakan operasi paling banyak
dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra
dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan
direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan
adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran
listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah
adalah H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga
cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang
terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya
hiponatremi relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TUR
P. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen,
tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi.
Jika tidak segera disertai, pasien akan mengalami edema otak yang
akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TUR P ini
adalah sebesar 0.99 %. Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TURP
dipakai cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades
antara adalah cairan glisin, membatasi jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam,
dan memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi tekanan air pada buli-buli
selama reseksi prostat (Purnomo, 2010).
12
2.7 Derajat Benigna Prostat Hyperplasia
Benigna Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat dengan gangguan
klinisnya:
1) Derajat 1
Keluhan protatisme, ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa
urine < 50 cc, pancaran lemah, berat kurang lebih 20 gram.
Penatalaksanaan belum memerlukan tindakan bedah. Diberikan
pengobatan konservatif misalnya penghambat adrenoreseptor alfa
seperti alfa-zosin, prazosin, terazosin dan tamsulosin. Pengambat
adrenoreseptor alfa memiliki efek positif segera terhadap keluhan
tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikit pun.
2) Derajat 2
Keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nokturia bertambah
berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang,
prostat lebih menonjol, batas atasnya masih teraba, sisa urin 50 –
100 cc dan beratnya kurang lebih 20 – 40 gram. Dilakukan
pembedahan, dianjurkan reseksi endoskopk melalui uretra (trans
urethral resection, TUR).
3) Derajat 3
Gangguan lebih berat dari derjat 2, batas sudah tidak teraba, sisa
urine > 100cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm dan beratnya 40 gram.
Dilakukan reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah
yang cukup berpengalaman. Pembedahan terbuka dapat dilakukan
melalui transvesikal, retropubik atau peritoneal.
4) Derajat 4
Inkontenensia dan retensi urin total, prostat lebih menonjol dari 4
cm, ada penyulit ke ginjal seperti gagal ginjal, hidronefrosis.
Tindakan pertama adalah membebaskan penderita dari retensi urin
total dengan memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis,
kemudian terapi definitif dengan TUR atau pembedahan terbuka
(Sjamsuhidajat, 2011).
13
BAB III
PROSES KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas.
BPH terjadi pada pada pria dewasa usia lebih dari 50 tahun dan
membutuhkan intervensi medis.
2. Riwayat Keperawatan.
a. Keluhan Utama.
Gangguan berkemih
b. Riwayat Penyakit Sekarang.
Hesistensi (mengejan untuk memulai berkemih), pancaran urin
melemah, miksi tidak puas, miksi menetes, peningkatan frekuensi
berkemih, nokturia, rasa sakit sewaktu berkemih.
c. Riwayat Penyakit Dahulu.
Peningkatan kadar dehidrotestosteron dan proses aging (menjadi
tua).
3. Pemeriksaan fisik (Review of System)
a. Sistem Pernapasan. (B1)
Frekuensi pernapasan meningkat (nyeri).
b. Sistem Kardiovaskuler (B2)
Takikardia dan hipertensi (nyeri), anemia (hematuria), hipertermia
(ISK).
c. Sistem Neurologi (B3)
Dalam batas normal
d. Sistem Bladder. (B4)
Distensi kandung kemih, hesistensi, pancaran urin melemah, urin
menetes, peningkatan frekuensi berkemihm urgensi, nokturia dan
disuria, teknik bimanual untuk mengetahui hidronefrosis dan
14
pyelonefrosis, rektal touch untuk menentukan konsistenasi sistem
persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
e. Sistem Pencernaan (B5)
Bising usus dalam batas normal, perkusi timpani dan tidak ada
nyeri tekan.
f. Sistem Muskuloskeletal (B6)
Akral dingin (nyeri), kelemahan/ keletihan.
3.2 Diagnosa keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan
Pra bedah
a) Gangguan eliminasi urine : retensi urine berhubungan dengan vesika
urinaria tidak berespon, abstruksi anatomis
b) Hipertemi berhubungan dengan proses infeksi/inflamasi
c) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi vesika
urinarius
d) Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan
(kerusakan kandung kemih)
Post bedah
a) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi aliran urin
akibat pembentukan clothing.
b) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan invasive
c) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan kebocoran urine setelah
pengangkatan kateter.
2. Perencanaan Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urine : retensi urine berhubungan dengan vesika
urinaria tidak berespon, abstruksi anatomis
Intervensi:
a. Pantau asupan dan haluaran pasien
R/ Pengukuran asupan dan haluaran yang akurat sangat penting untuk
terapi penggantian cairan secara benar.
15
b. Pantau pola bekemih pasien
R/ Catatan waktu, tempat, jumlah dan kesadaran berkemih pasien
diperlukan untuk menetapkan pola
c. Bantu pasien dalam melakukan prosedur eliminasi kandung kemih
yang diprogramkan seperti berikut: teknik berkemih, kateterisasi
intermiten, kateter menetap, kateter suprapubik
d. Dorong asupan cairan yang banyak (2500ml/hari) kecuali jika
dikontraindikasikan
e. Lakukan kateterisasi jika pasien tidak dapat berkemih secara spontan
R/ Mencegah distensi abdomen yang berlebih
f. Berikan obat sesuai program
R/ Membantu menurunkan intensitas nyeri yaitu dengan mengurangi
ketegangan akibat ansietas.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi vesika
urinarius
a. Kaji jenis dan tingkat nyeri pasien (lokasi, intensitas, durasi dan
karakteristik nyeri)
R/ Pengkajian berkelanjutan membantu menyakinkan bahwa
penanganan dapat memenuhi kebutuhan pasien dalam mengurangi
nyeri.
b. Duduk berendam dalam air hangat (sitz baths ), dan beri kompres air
hangat pada perineum
R/ Memberikan rangsangan hangat untuk melemaskan sfingter
c. Ciptakan lingkungan yang kondusif
R/ Memberikan ketenangan dan menurunkan kekewatiran dalam
berkemih
d. Atur periode istirahat tanpa terganggu
R/ Tindakan ini meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan
peningkatan tingkat energi, yang penting untuk mengurangi nyeri
e. Bantu pasien untuk mendapatkan posisi yang nyaman
16
R/ Untuk menurunkan ketegangan atau spasme otot dan
mendistribusikan kembali tekanan pada bagian tubuh
f. Berikan obat yang dianjurkan sesuai indikasi
R/ Untuk meyakinkan pengurangan nyeri yang adekuat
3. Hipertemi berhubungan dengan proses infeksi/inflamasi
a. Ukur suhu tubuh pasien setiap 4 jam atau lebih sering
R/ Mengevaluasi keefektifan intervensi
b. Berikan antipiretik sesuai anjuran dokter
R/ Menurunkan demam
c. Beri kompres hangat
R/ Meningkatkan kenyamanan dan menurunkan suhu tubuh
d. Pantau dan catat perubahan denyut nadi, tekanan vena sentral, RR,
tensi
R/ Mengindikasikan hipovolemik yang mengarah pada penurunan
perfusi jaringan
e. Anjurkan pasien untuk banyak minum jika tidak
dikontraindikasikan
R/ Memfaasilitasdi hidrasi yang adekuat
4. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan (kerusakan
kandung kemih)
Hasil yang diharapkan:
- Pasien melaporkan perasaan cemas dan mengindikasi penyebab-
penyebabnya
- Pasien menggambarkan aktivitas yang menurunkan perilaku
kecemasan
- Pasien mempraktikkan teknik relaksasi progresif dua kali setiap hari
- Pasien mengerti penyebab dari ansietasnya
Intervensi:
a. Beri dorongan pada pasien untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaan
17
R/ Untuk menciptakan iklim yang tenang dan terapeutik.
b. Secara seksama, perhatikan kebutuhan fisik pasien
R/ berikan makanan bergizi dan tingkatkan kualitas tidur disertai
langkah-langkah yang memberikan rasa nyaman untuk menciptakan
rasa nyaman dan meyakinkan pasien bahwa kebutuhannya akan
terpenuhi.
c. Berikan obat sesuai yang diresepkan
R/ Untuk membantu pasien rileks selama periode ansietas berat
d. Dengarkan dengan penuh perhatian. Kaji pengetahuan pasien
mengenai situasi yang dialaminya dan beri dorongan kepada pasien
R/ Untuk mendiskusikan alasan-alasan munculnya ansietas, sehingga
dapat membantu pasien mengidentifikasi perilaku kecemasan dan
menyadarkan penyebabnya.
e. Berikan penjelasan yang benar kepada pasien tentang semua tindakan
R/ Untuk menghindari terlalu banyaknya imformasi
3.3 Intervensi Perawatan Prabedah dan Post bedah
Perawatan Prabedah
1. Hindari minum alkohol dan kopi dapat meningkatkan gejala prostst karena
efek diuretik yang meningkatkan kejadian distensi bladder.
2. Sarankan pasien dengan gejala obstruksi untuk kencing setiap 2-3 jam saat
muncul keluhan tidak dapat menahan kencing setelah timbul sensasi ingin
kencing untuk mengurangi kejadian statis urin dan retensi urin akut.
3. Aliran urin harus dilancarkan sebelum tindakan bedah dengan dipasang
kateter urin.
4. Infeksi saluran kemih harus segera diobati sebelum dilakukan
pembedahan. Beri intake cairan 2-3L/ hari sesuai indikasi.
5. Pasien harus dipersiapkan dampak pembedahan pada fungsi sexual. Beri
kesempatan pasien dan pasangannnya untuk memutuskan kesepakatan.
Perawatan Post bedah
18
Rencana perawatan harus berdasarkan tipe pembedahan, alasanya
pembedahan dan respon pasien terhadap pembedahan.
1. Irigasi kateter secara terus-menerus dan intermitten pada 24 jam post
operasi sampai tidak terbentuk clot pada aliran dari bladder. Observasi
masukan dan pengeluaran irigasi. Pemberian cairan irigasi secara terus-
menerus sampai aliran drain warna merah muda tanpa clot.
2. Cloting darah normal muncul pada 24-36 jam pertama post operasi tetapi
jika urin berwarna merah dapat diindikasikan perdarahan.
3. Kateter disambungkan pada sistem drain tertutup, akumulasi sekret sekitar
meatus dibersihkan dengan sabun dan air.
4. Spasme bladder terjadi akibat iritasi pemasangan kateter atau clot yang
menyumbat kateter. Jika terjadi spasme bladder akibat clot pada kateter,
hilangkan clot dengan irigasi kateter sehingga aliran urin lancar. Beri
belladona dan opium supositoria untuk mengurangi nyeri dan spasme.
5. Tonus otot spingter akan menurun setelah pelepasan kateter urin dan
mengakibatkan incontinensia urin atau urin menetes. Fungsi tonus otot
spingter dapat ditingkatkan dengan kegel exercise. Kontinence meningkat
selama 12 bulan.
6. Observasi tanda-tanda infeksi post operasi: observasi luka operasi meliputi
kemeraham, keadaan lupa, nyeri dan drain purulen. Manipulasi rektal
meliputi temperatur rektal dan enema harus dihindari (kecuali pemberian
lubrikasi pada belladona dan opium supositoria).
7. Intervensi diet: beri diet yang tinggi serat untuk mencegah konstipasi.
8. Aktivitas yang dapat menigkatkan tekanan abdominal meliputi duduk,
berjalan dan mengejan saat BAB harus dihindari.
3.4 Discharge Planning dan Perawatan dirumah
1. Ajarkan pasien: perawatan kateter, managemen incontinensia urin,
pertahankan minum 2-3 L/hari, observasi tanda dan gejala infeksi saluran
kemih dan luka, hindari kejadian konstipasi, hindari mengangkat benda
berat > 4,5 kg dan hindari menyetir dan berhubungan seksual.
19
2. Banyak kejadian ejakulasi retrograde karen trauma spingter interna. Cairan
semen masuk ke dalam bladder saat orgasme sehingga urin berkabut saat
berkemih setelah orgasme. Diskusikan perubahan ini dengan pasien dan
pasangannya dan ijinkan untuk bertanya serta mengekspresikan pikiran
mereka.
3. Konseling seksual dan terapi dibutuhkan pada kasus difungsi ereksi baik
kronik dan masalah permanen.
4. Fungsi bladder kembali normal selama 2 bulan. Pasien diinstruksikan
untuk minum 2 L perhari dan kencing setiap 2-3 jam untuk mengeluarkan
urin. Batasi konsumsi kafein, alkohol dan jus jeruk karena dapat
mengiritasi bladder.
5. Pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6 minggu pasca operasi
untuk mengetahui kemungkinan penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3
bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi.
20
BAB IV
KEGEL EXERCISE
4.1 Defenisi
Suatu tindakan untuk memperkuat dan melatih otot levator anus dan otot
urogenital untuk melakukan kontraksi secara berulang untuk mengurangi
inkontinensia (stres, urge atau campuran) (Dochterman & Bulechek, 2000).
4.2 Anatomi Fisiologi
Otot panggul atau Pubo Coccygea Muscles ( PC ) merupakan otot yang
melekat pada tulang – tulang panggul seperti ayunan dan berperan menggerakan
organ - organ panggul yaitu rahim, Kandung kemih, dan Usus.
4.3 Tujuan
Melatih kekuatan otot dasar panggul dalam berkontraksi untuk dapat
menahan kemih
4.4 Manfaat
1. Memperbaiki resistensi uretra dan pengendalian urinarius.
2. Meningkatkan tekanan mekanik pada uretra sehingga memperbaiki fungsi
sfingter uretra.
3. Menyanggah organ-organ pelvis sehingga mampu mencegah desensus
buli-buli uretra.
4. Mencegah ngompol saat bersin atau batuk.
5. Meringankan atau menyembuhkan inkontinensia stres.
4.5 Yang perlu diperhatikan saat melakukan latihan kegel
1. Pasien dilatih belajar cara melakukan atau mengenal kontraksi otot dasar
panggul dengan cara mencoba menghentikan aliran urin (melakukan kontraksi
otot-otot pelvis) kemudian mengeluarkan urin melalui relaksasi otot sfingter.
21
2. Instruksikan pasien untuk menarik kedalam otot-otot sfingter ani seperti ketika
menahan urin atau defekasi tanpa mengkontraksikan otot-otot abdomen,
bokonh atau paha bagian dalam.
3. Jangan menahan napas saat melakukan latihan agar tubuh dan otot tetap
menerima pasokan O2.
4. Jangan melakukan latihan kegel pada saat berkemih secara rutin, yaitu dengan
menghentikan aliran urin dan mengeluarkan saat di kamar mandi, karena
tindakan ini dapat menyebabkan kandung kemih tidak benar – benar kosong,
akibatnya dapat terjadi ISK (Smeltzer, 2001).
4.6 Cara melakukan kegel exercise
Sebelum melakukan latihan kegel, harus memastikan menggunakan otot yang
benar. Ada beberapa cara untuk menentukan otot panggul yang digunakan dalam
latihan kegel, yaitu:
1. Instruksikan pasien untuk menarik kedalam otot-otot sfingter ani seperti
ketika menahan urin atau defekasi tetapi tanpa mengkontraksikan otot-otot
abdomen, bokong atau paha bagian dalam.
2. Instruksikan pasien untuk melakukan kontraksi dasar panggul (seolah-olah
menahan urin) secara bertahap 5, 10 dan 15 detik sebanyak 10-20x
kontraksi, diikuti relaksasi 10 detik.
3. Anjurkan pasien melakukan latihan ini 30-100x/menit. Tiap latihan tidak
boleh > 25x kontraksi (Smeltzer, 2001).
4.7 Cara berlatih kegel
1. Minta klien mencoba mengencangkan sfingter uretra saat berkemih untuk
merasakan sensasi yang berhubungan dengan kontraksi sfingter uretra.
2. Ajarakan latihan panggul secara progresif (latihan kegel).
3. Berikan instruksi tertulis/ bantuan audio untuk mengajarkan teknik dengan
lebih jelas.
4. Minta klien untuk duduk atau berdiri tanpa meregangkan otot kaki,
bokong atau abdomen:
a. Minta kline mengkontraksikan dan merelaksikan sfingter uretra dan
anus selama 3-4 detik dan ulangi dengan cepat.
22
b. Minta klien mengulangi siklus ini sebanyak 10x, 5x sehari dengan
istirahat selama 30 detik secara bertahap, tingkatkan menjadi 3 set
dengan masing-masing set sebanyak 5 kontraksi selama 10 detik
dengan istirahat selama 10 detik. Lakukan istirahat antar set selama 30
detik.
c. Untuk pemeliharaan, minta klien melakukan latihan sebanyak 1-2x
seminggu. Klien harus mengontraksikan otot pelvis dan sfingter
sebelum bersin, batuk atau mengangkat benda.
d. Pertahankan kekuatan optimal melalui latihan kontraksi yang kuat.
5. Ajarkan dan awasi penggunaan pencacatan miksi (Potter, 2010).
Catatan :
Latihan kegel dengan menahan air seni, disarankanhanya dilakukan
pada saat awal berlatih, gunanya untuk menemukan letak otot PC.
Setelah itu sebaiknya jangan dilakukan lagi karena akan mengganggu
pola kencing.
4.8 Efek :
1. Menurt kozier (1995), latihan kegel yang dilakukan lansia secara rutin
dapat menguatkan otot – otot Pulbo coccygeal (PC) yang menyangga
kandung kemih dan sfingter uretra serta meningkatkan kemampuan
untuk memulai dan menghentikan laju urin. Latihan yang dilakukan
lansia (latihan kegel) dapat meningkatkan aliran darah keginjal,
meningkatkan efisiensi pengeluaran sisa metabolisme tubuh dan
meningkatkan tonus otot kandung kemih.
2. Latihan kandung kemih merupakan suatu upaya untuk mengurangi atau
mencegah timbulnya gangguan pemenuhan eliminasi urine. Menurut
Guyton dan Hall (1997), mekanisme kontraksi dan meningkatnya tonus
otot polos dinding kandung kemih sebagai dampak dari latihan. Latihan
kegel dapat menimbulkan rangsangan sehingga meningkatkan aktivasi
dari kimiawi, neuromuskuler, dan muskuler. Otot polos kandung kemih
(muskulus destrusor) mengandung filament aktin dan myasin yang
mempunyai sifat kimiawi dan saling berinteraksi.
23
3. Proses interaksi diaktifkan oleh ion kalsium dan adenotri fosfat (ATP)
selanjutnya dipecah menjadi Adenodifosfat (AD) untuk memberikan
energy bagi kontraksi muskulus destrusor kandung kemih, rangsangan
melalui neuromuskuler akan meningkatkan rangsangan pada serat saraf
otot polos kandung kemih, terutama saraf parasimpatik yang
merangsang produksi acetilkolin sehingga mengakibatkan terjadinya
kontraksi. Mekanis memelalui muskulus, terutama otot polos kandung
kemih akan meningkatkan metabolism mitokondria untuk menghasilkan
ATP yang dimanfaatkan otot polos kandung kemih sehingga untuk
kontraksi dan meningkatkantonus otot polos kandung kemih.
24
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Menurut Lewis (2011) Benigna Prostatic hyperplasia (BPH) adalah
pembesaran kelenjar prostat yang terjadi pada pria dewasa usia lebih dari 50 tahun
dan membutuhkan intervensi medis. Jadi kesimpulannya adalah keadaan
pembesaran kelenjar prostat jinak yang terjadi pada pria dewasa usia lebih dari 50
tahun dan dapat melibatkan penyumbatan aliran urin.
Penyebab BPH sampai sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi
hipotesis menyebutkan ada erat kaitanya dengan peningkatan kadar di
hidrotestosteron (DHT), proses aging (menjadi tua). Adapun beberapa hipotesis
yang diduga penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah : teori di
hidrotestosteron, ketidakseimbangan antara estrogen - testosteron, interaksi
stroma - epitel, berkurangnya kematian sel prostat dan teori sel stem. (Purnomo,
2011)
Menurut Lewis (2011) gejala BPH dibagi 2 yaitu gejala obstruktif yang
meliputi retensi urin, volume urin menurun, harus mengejan saat berkemih,
kesulitan memulai berkemih, dan urin menetes pada akhir berkemih sedangkan
gejala iritatif meliputi peningkatan frekwensi urin, urgensi (kebelet), dysuria,
incontinensia urin. BPH dibagi dalam 4 derajat yaitu : derajat satu ditemukan
penonjolan prostat 1 - 2 cm dan berat 20 gram, derajat dua prostat lebih
menonjol dengan berat 20 - 40 gram, derajat tiga penonjolan prostat 3 - 4 cm
dan beratnya 40 gram, dan derajat empat prostat lebih menonjol dari 4 cm dan ada
penyulit ke ginjal. BPH dapat menyebabkan komplikasi seperti :Retensi urine,
hidroureter, dan gagal ginjal.
Kegel Exercise adalah suatu bentuk kekuatan fisik yang memberikan
pengaruh baik terhadap tingkat kemampuan fisik manusia bila dilaksanakan
dengan tepat dan terarah . Kegel Exercise bermanfaat untuk meningkatkan tonus
otot KK, meningkatkan kekuatan otot dasar panggul serta sfingter uretra,
memperpanjang interval waktu berkemih, untuk melahirkan dan seksual. ( DEP
KES, 1994 )
25
5.2 Saran
1. Untuk perawat
Perawat diharapkan mengetahui secra teoritis tentang BPH agar dapat
mengaplikasikannya dalam perawatan kepada pasien Benigna Prostat
Hyperplasia secra holistic.
26
DAFTAR PUSTAKA
Dochterman. 2000. Nursing Intervention Classification (NIC) Fourth Edition. Philadhelpia: Mosby Inc.
Doengoes, M.E,dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Lewis . 2011. Medical Surgical Nursing Eight Edition. Canada: Elsevier Mosby
Muttaqin, Arief. 2011. Buku Ajar Asuhan keperawatan Klien Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika
Perry. 2010. Clinical nursing Skill & Techniques. Washington: Mosby Elsevier.
Pierce Grace and Neil Borley. 2006. At a Glance Ilmu Bedah : Edisi Bahasa Indonesia. Surabaya : Penerbit Erlangga.
Potter. 2010. Fundamental Keperawatan Edisi 7. Jakarta: Salemba Medika.
Purnomo. 2011. Dasar-dasar Urologi Edisi Ketiga. Malang: Sagung Seto
Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Smeltzer. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Vol 2. Jakarta: EGC.Sustrani, Lanny, dkk. 2004. Prostat. Jakarta : GramediaPustakaUtama.
Taylor, Cynthia. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan. Jakarta: EGC
Winkelman. 2010. Medical Surgical Nursing Patient Centered Collaborative Care. Canada: Saunder Elsivier
Witkinson, Judith. 2007. Buku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC
Zaslau, Stanley. 2010. SOAP untuk Urologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
27