Blood District

110
BLOOD DISTRICT ada cerita yang tak kau ketahui

Transcript of Blood District

Page 1: Blood District

BLOOD DISTRICT

ada cerita yang tak kau ketahui

Page 2: Blood District

Apa yang kau lihat tidak semua bercerita. Dengan saksi

kejadian, lumur darah dan kebisuan diri, sewaktu-waktu kau

akan mengetahuinya.

Page 3: Blood District

BLOOD DISTRICT

Penulis : Tea, Dika, Lala, Oki, dan Budi

Editor : Martha Tri Lestari

Penata Letak : Tea, Lala, Oki, dan Budi

Desainer sampul : Dika

Penerbit:

IKOM H - Institut Manajemen Telkom

Jl. Telekomunikasi No. 1 Dayeuhkolot, Bandung.

Email: [email protected]

Dicetak oleh:

TIRTA ANUGRAH

Jl. Cikapayang No. 14 Bandung

Telp : 022-2536257 Email : [email protected]

Page 4: Blood District

Muchas Gracias! <3

Terima kasih kepada Tuhan: Nikmat-Mu yang mana lagi yang mau

kami dustakan. Kepada keluarga, yang selalu menyebutkan nama kita di

setiap ucap dan doa serta kasih sayang yang tiada hentinya.

Kepada teman terbaik dan sahabat, kepada IKOM H yang telat

makrab. Kompak terus!

Kepada kampus di tengah kegersangan hehe... Institut Manajemen

Telkom tersayang.

Terima kasih kepada Bu Martha, selaku dosen sekaligus editor buku

ini. Dengan semangat dan editorial yang tiada hentinya. Terima kasih ke

banyak orang yang langsung maupun tidak langsung telah mendoakan dan

mensupport buku ini hingga launching.

Buku ini memang tidak istimewa, namun semoga bermanfaat dan

selalu membayangi pikiran kalian yang telah membacanya. Ingat jangan

sendirian membaca buku ini dan bacalah doa sebelum memulai untuk

membacanya

Best Regard;

Lima sekawan dari IKOM H

Page 5: Blood District
Page 6: Blood District

Akhirnya sampai juga aku di kasurku tercinta.

Kegiatan hari ini sungguh menguras tenagaku.

Yasudahlah,yang terpenting sekarang aku sudah mendarat di

kasurku ditemani iringan musik menghanyutkan Coldplay

melalui speaker handphone.ku yang…hey handphone ini

ternyata sudah tidak diproduksi lagi. Sepertinya harus mulai

menyusun kalimat-kalimat manis untuk merayu ibuku agar

mengupgrade handphone.ku menjadi BB atau iPhone?!

Semoga.

*beep…beep…beep*

Tiba-tiba getaran sms dari handphoneku

menyadarkanku dari mengkhayal. Setelah kulihat ternyata

sms dari Tea,dia menyuruhku dating ke kosannya untuk

menyelesaikan tugas kelompok yang belum selesai. Di

kelompok kami cuma aku dan Tea yang belum mengerjakan

apapun jadi kami berdua yang mendapat tugas untuk

menyelesaikan sisa pekerjaan teman-teman kelompok kami

yang lain. Aku sebenarnya malas mengerjakannya malam

mini,dalam otakku mengatakan pura-pura tidur dan

mengabaikan sms dia tetapi hatiku mengatakan agar datang

Page 7: Blood District

saja dan membantu sebisaku. Dan ternyata hati nuraniku

yang menang. Kupaksakan datang walau badan ini terasa

lelah sekali setelah beraktivitas seharian. Aku ambil handuk

dan bersiap mandi agar saat ke kosan Tea nanti tidak

kelihatan kucel dan lelah.

tok tok tok

“ Assalamualaikum,Tea ini aku Budi.”

hening

“ Teaaaaa!” , aku mulai berteriak. Dan pintu pun

dibuka. Terlihat Tea yang masih memakai mukena.

“ Waalaikumsalam,maaf Bud Tea abis selese sholat

Isya jadi gak jawab salam Budi. Ayo masuk Bud,masih banyak

yang harus diselesein nih tugasnya.”, jawab Tea sambil

melepaskan mukenanya.

“ Jadi kita tinggal ngedit nih te video-video yang udah

dibikin anak-anak?”

“ Iya bud,Tea udah punya gambarannya kok gimana

ntar jadinya tugas Broadcast kelompok kita. Bakal wooooow

Page 8: Blood District

banget!”, jawab Tea sambil memasang muka sok imutnya

saat mengucapkan ‘woow’ versi dia.

Lalu malam itu kuhabiskan untuk mengerjakan tugas

dengan Tea di kamarnya. Saat sedang serius mengerjakan

tugas tiba-tiba terdengar suara ketawa mengerikan mirip

suara kuntilanak.

“ Te…Te..Te kamu denger gak suara ketawa

itu?denger gak te??”, tanyaku sambil merinding.

“Suara apa?? Ah iyaa,itu kan nada telepon dari

handphone Tea, ayo bud bantu cari handphone Tea sebelum

teleponnya mati.”,jawab Tea dengan tenangnya.

“ Gila,sakit lu ya Te nada telepon kok pake suara

gituan??? Didatengin baru mampus loe. Gue udah merinding

dari ujung kepala ampe kaki tauuu!”,

“ Hahahaha maaf Budi,Tea pake ringtone itu juga biar

buru-buru ngangkat teleponnya. Diem dulu ya bud ini mama

Tea yang nelpon.”, jawab Tea dengan santainya. Sialan.

Akhirnya kukerjakan saja tugasnya ketika Tea sedang

ngobrol di telepon dengan mamanya dan ketika Tea selesai

Page 9: Blood District

telepon aku pun sudah menyelesaikan tugasnya. Ternyata

tugas ini benar-benar menguras tenagaku dan membuatku

lapar. Kulihat jam dan ternyata sudah menunjukkan setengah

12 malam.

“ Te,laper gak? Cari makan yuk keluar,gue laper nih.”

, ajakku ke Tea.

“ Samaa,ayok kita cari tempat makan yang masih

buka jam segini. Bentar ya Tea pake jaket dulu.”

“ Yaudah cepet Te,laper nian awak ini.”,jawabku

menirukan logat Tea.

Setelah selesai berdandan berangkatlah kita mencari

makan di sekitaran kampus. Karena seingatku di Sukabirus

ada warung makan yang buka 24 jam,meluncurlah kami

kesana. Dan kejadian setelah ini akan aku ingat seumur

hidupku.

Jadi saat kami menuju Sukabirus,di kejauhan terlihat

gerombolan pemuda yang sedang nongkrong dan saat kami

mendekati mereka salah seorang dari mereka berdiri dan

menghentikan laju motor kami.

Page 10: Blood District

“ Woyy berhenti maneh,stop dulu stop.”,kata dia

sambil sempoyongan dan aroma alkohol keluar dari

mulutnya. Aku kira mereka habis menenggak minuman keras

sebelum kami datang.

“Punten kang,aya naon nyak? Kami cuma numpang

lewat doang kok,” jawabku memberanikan diri padahal

dalam otakku udah berpikir cara untuk kabur dari

gerombolan ini. Sementara Tea di belakang ketakutan dan

bersembunyi di pundakku.

“ Nyang lewat sini nih harus setor,sini serahin semua

barang-barang maneh! Dompet,Handphone pokoknya yang

bisa dijual!”, teriak dia sambil menodongkan pisau.

Sementara teman-temannya yang lain mulai merumuni kami.

Mampus,kataku dalam hati. Aku mulai berpikir

bagaimana cara untuk melarikan diri dari mereka. Kalo aku

melawan sepertinya bakal percuma karena mereka berbadan

2x lebih besar dariku. Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang

mungkin bisa menyelamatkanku dan Tea malam ini. Lalu aku

memberi kode ke Tea agar jangan mengangkat

handphonenya. Aku merogoh handphone dan mulai

Page 11: Blood District

menelpon ke nomor Tea lalu berkumandanglah ringtone

handphone khas Tea,suara ketawa kuntilanak itu.

“ Eh eh suara apa itu? Kalian denger gak bro? kayak

suara kuntilanak gitu. HHiiiiii kabuuuurr….”, teriak salah satu

di antara mereka dan mulai lari disusul teman-temannya

yang lain.

“Pheww,selamat juga kita Te berkat ringtone

horormu itu hahahaha”, kataku lega setelah lolos dari para

preman itu.

“ Iya dong, handphone siapa dulu? Hehe”,

“ Yaudah buruan matiin geh ringtonenya Te,ngeri

lama-lama dengernya.”

“ Lho,handphone Tea udah gak geter kok. Udah

mati.”

“ Lha terus itu suara ketawa darimana dong????

Aaaarrghhhh kaburrr”, aku gas sekencang-kencangnya

motorku dengan Tea yang juga ketakutan.

Page 12: Blood District
Page 13: Blood District

“Jadi lo ga mau ngikutin gue nih?”

“Jangan disana dong gue mohon banget sama lo.

Emangnya lo ga tau?”

“Apaan?”

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!

Tugas kelompok mata kuliah Statistika membuat Reyn

dan Noval harus pulang larut malam, mereka tahu jika

mereka tidak mengerjakan bersama teman-teman lainnya,

mereka tidak akan mendapatkan nilai minimal yaitu B. Mau

tidak mau, mereka harus mengerjakan bersama teman-

teman kelas.

“Reyn, gue ga mau tau. Malem ini kalo bisa kita kerjain

barengan anak-anak. Lo mau kita kehilangan nilai B+ ?”

“Berisik. Iya, kan gue udah bilang” Jawab Reyn sambil

memakai jaket hoodie barunya.

Page 14: Blood District

“Punya siapa?”

“Gue lah. Hahahhahaha”

“Baru?”

“Iya dong, awal bulan kan hahaha. Gue udah bilang

nyokap kalo gue mau beli hoodie baru, jaket gue udah kucel

banget kayak kain lap”

“Udah belom?” teriak Noval dari teras rumah Reyn.

Noval memanaskan motor dan segera memakai helm.

Begitu juga dengan Reyn, memakai helm dan memanaskan

motornya.

“Mereka dimana?” tanya Noval.

“Kontrakannya Resti. Di Pesona Bali.” Reyn mengegas

motornya dan menujur gerbang.

Jarak rumah Reyn menuju rumah Resti lumayan jauh.

Reyn dan Noval pergi dari rumah pukul 19.00. Suasana di

jalan masih sangat ramai. Terlihat orang-orang masih berlalu-

lalang dengan kendaraannya. Pertokoan masih terbuka dan

terang. Memang, jalanan di kota ini kurang penerangan

Page 15: Blood District

sehingga jalanan terkesan gelap. Pengendara kendaraan

bermoton maupun pejalan kaki harus berhati-hati. Selain

gelap, seringkali ditemukan jalan berlubang dan

membahayakan pengendara.

Banyak yang bilang kalau jalanan ini salah satu jalan

yang berbahaya. Bahaya? Dalam konteks apa? Bahaya dalam

konteks keselamatan dan keamanan. Terowongan.

Terowongan inilah yang termasuk rawan. Terowongan ini ada

dua, kedua-duanya membahayakan. Keadaan di terowongan

ini gelap dan jalan berlubang. Tidak heran jika ada saja

kejadian atau kecelakaan yang terjadi.

“Halo semuanya. Sorry telat ya, gue tadi sama Noval isi

bensin dulu soalnya” Reyn meletakkan helm dan segera

membuka tasnya lalu mengeluarkan setumpuk kertas

statistika.

“Banyak banget materi lo, udah selesai semua tuh?”

Tanya Resti menyela.

“Hahahahaha ngehina banget lo, Ti. Nggak lah,

makanya gue bawa banyak-banyak biar lo ajarin gue malem

ini.”

Page 16: Blood District

“Eh temen-temen, kalo mau minum ambil di belakang

ya. Kalo mau makan beli sendiri lah, gue ga ada stok

makanan” Resti melanjutkan belajar.

Statistika bagi mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi bisa

dibilang musuh terbesar mereka. Bayangkan saja, mereka

harusnya tidak belajar Matematika dalam jurusannya, tapi

entah kenapa kampus ini mewajibkan mata kuliah ajaib satu

ini. Sebagian mahasiswa ada yang menyukai dan ada yang

tidak menyukai mata kuliah Statistika. Mereka beranggapan

bahwa Statistika ini sulit dan merepotkan. Selain itu juga

mengharuskan mahasiswa mengulang jika mendapat nilai C-.

Mau tidak mau, mahasiswa berusaha keras dalam mata

kuliah ajaib ini. Salut.

“Terus udah ditulis gini, diapain lagi?” Tanya Noval

mengerutkan keningnya.

“Dimasukin rumus, eh udah tau rumusnya ga?”

“Res, gue tuh palinf ga suka hitung-hitungan. Please,

ajarin detail-detail dan ubah gue biar biar kayak lo. Pintar dan

berbakat menghitung.” Noval merayu Resti.

Page 17: Blood District

Resti mengambil catatan dan segera mengajari Noval,

sementara itu di sudut ruangan.....

Reyn tertidur pulas.

“Re bangun! Lo masih mau nilai A ga?”

“Astaghfirullah!!!” Reyn tersentak. “Kok ga bangunin

gue sih?”

“Makanya jangan tidur. Udah jam 11 malem nih,

pulang sekarang?” tanya Noval.

“Terus gue besok ngisi apaan?” Reyn cemas.

“Ya udah ntar di rumah gue ajarin lagi. Buru siap-siap

pulang.”

Noval dan Reyn pamit pulang. Angin malam yang

dingin membuat Reyn semakin malas untuk membawa

motor. Ditambah lagi jalan gelap membuat Reyn ragu

melanjutkan perjalanan.

“Val, gelap banget takut gue.”

Noval tidak menghiraukan Reyn. Ia terus melajukan

motornya, santai, seperti hembusan angin. Hawa dingin

Page 18: Blood District

menusuk hingga rongga dada. Bersin dan ngantuk membuat

Noval tidak bisa berkonsentrasi.

“Punten, Pak....” sapa Noval pada bapak-bapak yang

lagi kumpul di Pos Ronda. Pos Ronda tersebut memang

sering ramai jam segini.

“Kang, hati-hati ya Kang. Tadi ada yang seliweran di

jalan sana. Kita susul mereka malah ngilang”

“Maksudnya, Pak?”

“Tadi ada 2 orang yang serem gitu”

“HAH?!?!”

Noval dan Reyn mengegas motor dengan kencang.

Kalau saja pol-an gas tidak ada batasnya, mereka akan

mengegas sekencang mungkin.

Akhirnya mereka sampai di rumah dengan selamat.

Page 19: Blood District

Anak Kecil

Pagi itu matahari tampak cerah dari hari biasanya.

Noval membuka pintu kamar dan meraih handuk yang

tergantung di balkon kamarnya. Tampak seorang anak kecil

yang menangis ketakutan di depan pagar.

“Hu..hu..hu..hu....”

“Kamu kenapa dek? Kok nangis?” Noval menghampiri

anak kecil tersebut.

“Kak, kak.. Tadi malem aku digangguin” anak kecil itu

terisak-isak menjawab pertanyaan Noval.

“Sama siapa?”

“Ga tau ga kenal kak” anak kecil itu semakin menangis.

“Kamu diem dulu ya disini” Noval memanggil Reyn.

“Reyn!!”

“Apaan?” Reyn menghampiri Noval.

“Nih anak kecil ini nangis-nangis tadi malem

digangguin sama orang”

Page 20: Blood District

“Kamu digangguin dimana dek?” Tanya reyn pada anak

kecil itu.

“Sama bapak-bapak. Dua orang di deket situ” Anak

kecil itu menunjuk ke arah jalan menuju terowongan.

“Ya udah kamu kita antar pulang aja ya. Rumahnya

dimana?”

“Di komplek sebelah kak” Anak kecil itu masih saja

menangis terisak-isak. Seperti kebingungan. Ia hanya ingin

pulang.

Reyn heran. 2 hari lalu penjaga pos kamling pernah

bilang kalau ada bapak-bapak yang sering berhenti di

terowongan. Tadi malam kawasan perumahan dikejutkan

dengan rampok di rumah yang tak jauh dari terowongan, dan

pagi ini anak kecil menangis ketakutan karena diganggu oleh

dua orang bapak-bapak di dekat terowongan yang sama. Apa

yang terjadi sebenarnya?

Page 21: Blood District

Penghuni Baru

Tasya, penghuni rumah baru nomor 5 yang hanya

berjarak 150 meter dari rumah Reyn tampak sedang

menurunkan barang-barangnya dari mobil. Kotak-kotak besar

dan beberapa tas tampak di depan pintu.

“Mas, bisa tolong bantu saya ga?” pinta Tasya

kepada Reyn.

“Oh bisa mbak. Sini saya bantu” Reyn menuju mobil

Tasya untuk membantu menurunkan barang-barangnya.

Reyn mengikuti Tasya menuju dalam rumah. Rumah kecil

sederhana. Tembok berwarnakan krem dan ruang tamu yang

tertata rapi.

“Baru pindah?”

“Iya. Dulu yang disini tanteku, tapi dia pindah ke

Australia sekarang. Jadi aku yang pindah kesini, sekalian

kampusku dekat sini.” Tasya mengurai senyum dan kembali

merapikan barang-barangnya.

“Oh begitu. Sekarang apa lagi yang bisa aku bantu?”

Page 22: Blood District

“Ga ada, udah kok semuanya. Makasih banyak ya. Oh

ya, nama aku Tasya. Kamu?”

“Reyn. Reyn Zafiero.” Reyn mengulurkan tangannya

dan mereka bersalaman.

“Reyn kalau aku ada apa-apa, aku hubungi kamu ya.

Karena aku kan masih newbie banget nih hahahaha” Tasya

tertawa dan Reyn pun mengangguk.

“Darimana lo?” Noval membuka pintu.

“Gila ya! Si Tasya cantik benget, Val!” Reyn

menghempaskan badannya ke sofa.

Noval kebingungan. Ia menggeleng-gelengkan

kapalanya dan kembali ke dapur menyiapkan sarapan.

“Lo buat sendiri ya, gue males buatin sarapan buat lo.

Hahahaha resiko lah ya. Udah gede bro!” Teriak Noval dari

dapur.

“GUE GA MAUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU!”

Reyn kembali meneriakkan Noval.

Page 23: Blood District

Reyn dan Noval sering bertengkar hanya karena

sarapan namun tidak membuat keduanya pisah rumah. Sejak

SMA, Reyn dan Noval bersahabat. Tak banyak yang

mengatakan bahwa mereka merupakan skandal homo. Ah,

mereka sudah terbiasa dengan ledekan sepert itu.

***

“Jadi tadi malam yamg dicopet itu dibunuh?”

“Iya, Mas. Wong saya ngelihat sendiri mayatnya

dipinggirin sama polisi disitu”

“Wah serius? Ngeri banget. Yang bunuh siapa, Pak?”

“Katanya sih yang sering seliweran di daerah sana,

Mas. Kurang tahu saya kalau itu”

Noval terkejut. Ia tersedak setelah mendengar obrolan

dua orang bapak di warung makan. Ia pun melihat ke arah

bapak itu.

“Mari dek, saya duluan” sapa Bapak tadi

melengkungkan senyum. Nova pun membalas senyum.

Page 24: Blood District

Ada yang aneh di daerah ini. Beberapa waktu lalu

perempuan dirampok, beberapa hari setelahnya anak kecil

menghampiri rumah Reyn meminta tolong sambil menangis,

dan sekarang ditemukan mayat perempuan. Apa yang terjadi

sebenarnya?

Bayangan?

Tasya memasukkan mobilnya ke garasi. Ia melihat

melalui spion ada yang berdiri di depan pagar rumahnya.

Tasya memperhatikan bayangan itu dari spion, seorang laki-

laki dengan jaket hitam dan........golok. Sesaat Tasya

menghentikan nafasnya. Ia bingung mencari cara bagaimana

ia bisa keluar mobil dengan selamat. Laki-laki tersebut

menghilang.

Waktu menunjukkan pukul 11 malam. Tasya masih

belum bisa tidur. Ingatannya kembali pada laki-laki perjaket

hitam dengan sebuah golok di tangannya. Ia masih

mengingatnya dengan jelas. Ia heran, bagaimana bisa laki-laki

itu hadir tiba-tiba dan langsung mengarah ke kaca spion

mobil Tasya. Tasya segera menelepon ibunya.

Page 25: Blood District

“Halo, Ma. Belum tidur?”

“Belum, Nak. Ada apa?”

“Ma, barusan aku diincar sama orang. Cowok, pakai

jaket hitam dan yang lebih mengerikan dia bawa golok, Ma.”

“Terus kamu ga apa-apa?”

“Ya aku di dalam mobil tadi. Aku sekarang udah di

rumah. Ma, kapan kapan pindah kesini? Biar aku ada

temennya. Ajak Reza juga”

“Iya, 2 minggu lagi ya. Ini masih ngemas-ngemasi

barang”

“Oke ma, udah dulu ya. I love you, Mom.” Tasya

mematikan telepon.

Hari yang gelap pun terasa begitu panjang. Hawa

dingin ruangan membuat Tasya semakin sulit untuk tidur

sampai akhirnya adzan Subuh terdengar bersahutan di surau-

surau perumahan. Sepi, hanya gumaman lafadz Allah yang

terdengar dan kokokan ayam jantan yang merongrong jelas

dan tinggi. Namun hawa dingin ini malah membuat Tasya

tertidur pulas setelah alarm handphonenya berbunyi dengan

Page 26: Blood District

volume maksimal berkali-kali. Matahari pukul 09.00 yang

masuk dari sela-sela tirai lumayan menyilaukan matanya.

Setelah cuci muka dan berkumur-kumur, Tasya beranjak ke

meja makan untuk sarapan.

Sendiri. Hanya ada roti tadi malam dan gelas kosong.

Tasya menyiapkan sarapan dan membuka pintu depan.

“Selamat pagi, Tasya” Reyn menyapa tersenyum.

“Pagi Reyn. Tumben bangun jam segini lo?”

“Hahaha iya gue mau kuliah jam 10.30 soalnya”

“Oh ya udah semangat ya. Sarapan gak? Sini masuk

rumah aku aja.” Ajak Tasya.

“Gak usah Tas, makasih ya”

Tasya kembali masuk dan menutup pintu. Jam

menunjukkan pukul 10.00 WIB.

Page 27: Blood District

Sonya?

Tasya terbangun dari tidurnya. Dilihatnya jam

menunjukkan pukul 5 pagi. Tasya segera ke kamar kecil dan

menyelesaikan tugasnya.

Heran. Beberapa hari ini Tasya merasa ada yang

memberikan isyarat untuk pindah rumah. Tasya pun

melupakan isyarat buruk itu dan kembali menyelesaikan

tugasnya.

Tok..tok..tok..

Ketukan pintu rumah Tasya bergeming. “Pagi-pagi

begini bertamu?”

Tasya membuka pintunya. Perempuan cantik

berambut pendek mengenakan baju berwarna ungu dan flat

shoes berwarna merah.

“Siapa?” Tasya mengerutkan dahinya.

“Maaf mengganggu. Saya boleh numpang toiletnya

sebentar?”

Page 28: Blood District

Tasya melirik sekitarnya. Tidak ada satupun kendaraan.

Lalu perempuan ini kesini pakai apa? Pikirnya.

“Boleh, silahkan masuk” Jawab Tasya ragu.

Perempuan itu masuk ke dalam tanpa membuka flat

shoes merahnya. Ia berjalan menuju kamar kecil yang telah

ditunjukkan oleh Tasya. Tasya menyimpan sejuta keraguan.

Dia siapa?

“Terima kasih ya.. Nama saya Sonya” perempuan itu

tersenyum.

Tasya membuat secangkir teh. kelelahan tampak pada

wajah perempuan cantik itu. Ia duduk di sofa di ruang TV. Ia

melepaskan gelangnya dan jam tangannya. Meletakkan

keduanya di atas meja. Ia menaikkan kedua kakinya ke atas

sofa kemudian meluruskannya. Rebahan tubuh perempuan

itu sangat perlahan membuat Tasya kembali bingung. Dia

siapa? Dan mengapa?

Tasya membuka obrolan.

“Kamu kesini sama siapa?”

Page 29: Blood District

Perempuan itu tidak menjawab. Ia memejamkan

matanya dan tertidur. Perempuan itu sangat cantik. Sangat

cantik.

Tasya membiarkan Sonya –tamu misteriusnya- tertidur

di sofa ruang TV. Tasya membuat sarapan.

“Reyn, Noval. Kalian sarapan di rumah gue aja yuk sini”

panggil Tasya dari halaman rumah. Reyn dan Noval tidak

sungkan. Mereka segera masuk ke rumah Tasya.

“Loh itu siapa Tas?” Tanya Noval.

“Tamu. Tadi pagi dia datang. Sonya namanya.”

“Gila! Cantik banget. Jomblo?” susul Reyn.

“Mana gue tau lah. Sok tanya aja ke orangnya langsung

biar pasti hahaha”

Reyn dan Noval tertawa kecil. Mereka menuju meja

makan dan Tasya berinisiatif untuk membangunkan Sonya.

“Sarapan dulu yuk, aku udah buat makanan. Ada Reyn

dan Noval juga. Mungkin kalian bisa berkenalan.”

Page 30: Blood District

Sonya mengangguk. Perempuan ini tidak banyak

bicara.

“Selamat pagi, maaf mengganggu ya” sapa Sonya

sambil tersenyum.

Sonya mengalihkan pandangan Reyn dan Noval.

Keduanya terpesona dan berhenti mengunyah.

“Loh? Kok bengong?” Sonya tertawa malu.

“Hehehe..gak kenapa-kenapa. Ayo dimakan.” Reyn

menyadarkan diri.

Sonya tersenyum. Menyuap nasi goreng buatan Tasya

ke dalam mulutnya. Bibir yang seksi dan tatapan yang manis.

Sonya menelan makanannya.

Bukan manusia?

Ketukan pintu rumah Tasya berbunyi. Kali ini yang

datang Pak RT.

“Neng, ada tamu ya?”

Page 31: Blood District

“Iya” jawab Tasya heran. “Ada apa, Pak?”

“Perempuan?”

“Iya. Kenapa pak?” Tasya semakin heran.

“Bisa kita mengobrol sebentar di dalam?”

“Bisa pak”

Tasya semakin heran dengan hari ini. Tamu misterius,

kedatangan Pak RT. Kali ini....

“Neng, jangan sembarang nerima tamu.”

“Loh kenapa pak?” Jawab Tasya heran. “Sebentar ya

pak.”

Tasya memanggil Sonya. Namun tidak ada sahutan.

Tasya semakin heran. Ia menuju kamar tamu. Namun tidak

ditemukan wujud Sonya. Kemana dia?

“Ada apa neng?”

Page 32: Blood District

“Ga ada apa-apa sih Pak. Saya nyari tamu saya tadi

pagi, tapi sekarang malah ga ada. Mungkin di toilet” Tasya

kembali mendengarkan pak RT.

“Neng. Dia bukan manusia” jawab Pak RT tiba-tiba.

“Hah?”

“Ya sudah, kalau ada apa-apa neng bisa hubungi saya.”

Pak RT pulang.

Tasya kembali heran. Wajahnya pucat dan langsung

menemui Sonya.

“Sonya, kamu dari mana?”

Sonya tersenyum. Tidak menjawab.

Itu Siapa?

Reyn menyalakan motornya setelah mengalami mogok

di jalan. Reyn mendorong motornya hingga terowongan.

Tidak ada sinyal. Reyn tidak tahu harus menghubungi siapa.

“Ada apa?” sapa bapak-bapak berjaket hitam.

Page 33: Blood District

“Pak. Tolong motor saya dong pak. Rumah saya hampir

dekat ini” pinta Reyn.

“Baiklah”

Mesin motor Reyn puas dibongkar dan dikotak-katik

oleh bapak-bapak itu. Reyn tidak kenal bapak itu siapa.

Hanya ada dia saat itu.

“Pak, udah?”

Bapak itu tidak menjawab. Ia terus menunduk.

“Sudah, mas” suara berat bapak itu mengagetkan

Reyn.

“Maka....” belum selesai Reyn berbicara, bapak itu

menghilang. Tanpa sepatah kata. Seluruh bulu tubuh Reyn

merinding. Reyn menyalakan motornya dan membaca ayat

kursi berkali-kali.

Rahasia terjawab

Tasya menghubungi pak RT dengan cepat. Beberapa

hari ini Sonya bertingkah aneh. Ia menghilang dan terkadang

Page 34: Blood District

menyanyi-nyanyi di tengah malam. Tasya sering melihat

Sonya di depan pintu tanpa alasan. Dan terakhir, Tasya

melihat Sonya tidak menapak tanah. Apa yang terjadi

sebenarnya?

“Pak, dimana? Bantu saya pak.” Pinta Tasya.

Reyn dan Noval mengetuk-ngetuk pintu rumah Tasya.

Mereka tampak ketakutan.

“Ada apa?”

“Tas! Si Sonya masuk ke rumah kita tiba-tiba tadi

malam. Terus dia senyum-senyum gitu.”

“Tadi malam gue nemuin hantu di terowongan.”

Celetuk Reyn.

“Assalamu alaikum” Pak RT datang.

“Pak. Mereka juga diganggu”

“Sama siapa? Sonya?”

“Kok bapak tau?” Reyn dan Noval heran.

Page 35: Blood District

“Kan saya sudah bilang kemarin kalau dia bukan

manusia”

Tiba-tiba Sonya datang. Tampah ketakutan dan cemas.

Sonya berbalik badan. Tiba-tiba sekujur tubuhnya berubah.

Berlumur darah, kusut dan pucat. Pakaian yang dikenakan

tak lagi indah, sekujur tubuhnya dipenuhi darah dan kakinya

tidak menapak bumi. Benar, Sonya bukan manusia.

Perempuan itu menunduk dan menangis. Lalu ia berteriak

kencang dan mengisahkan tragedi kematiannya.

Aku bersikukuh untuk terus pergi. Hujan deras dan

gemuruh petir tidak menjadi kendala bagiku. Luapan emosi

dan ketidak-sabaranku kembali menguak. Agi, pacarku,

sukses membuat aku kelabakan. Agi memintaku untuk

segera mengantarnya ke Bandara pukul 02.00 dini hari.

“Kamu kenapa gak bilang daritadi sih? Jadinya aku

buru-buru kan” bentakku melalui telepon genggam. Aku

terus menggerutu di telepon. Hujan semakin deras dan

menyulitkan aku untuk melihat jalan. Agi sewaktu-waktu

menjadi malaikat dan bisa sewaktu-waktu menjadi setan

berkepala dua. Sifatnya yang hobi dadakan membuatku

Page 36: Blood District

cukup handal menahan emosi meski teru-terusan diteror

kejengkelan.

“Aku lagi gak ada yang ngantar, sayang. Maaf ya.

Aku tunggu di rumah, kamu hat-hati.”

Aku mematikan telepon dengan kesal. Lagi-lagi

Sonya menggerutu.

01.00 WIB, suasana jalanan tampak sepi dan gelap.

Hanya ada lampu-lampu mobil lalu lalang yang dijadikan

peneran jalan.

“Agi keterlaluan.”

Tiba-tiba aku membunyikan klakson. Tanpa sadar,

mobil itu berhenti tepat di depan mobilku.

“Ada apa ya?” Tanyaku sambil membuka pintu

mobilnya dan menuju mobil depan.

“Neng, bisa tolong saya?” Bapak-bapak itu

menghadapku.

Page 37: Blood District

“Saya harus buru-buru, ini udah malam. Saya mau ke

bandara. Maaf ya, Pak.” Aku kembali ke mobil dan

melanjutkan perjalanannya.

Tibalah aku di depan rumah Agi.

“Sekarang?”

“Iya lah, jadi mau kapan?”

“Kamu berangkat terus. Lagi dan lagi. Mau kemana

lagi kali ini?”

“Palangkaraya. Ada tugas mendadak dari bos.”

“Oke. Nih” Aku melemparkan kunci mobil kepada Agi.

Kali ini Agi yang menyetir.

100 km/jam tertera di speedometer mobil. Mobil

Honda CR-V bernomor B 1562 JZ berwarna abu-abu

mengkilap itu melaju dengan kencang di jalan tol menuju

bandara. Tidak seperti saat aku di perjalanan, kali ini tidak

ada hujan ataupun petir.

02.30 aku dan Agi sampai di bandara. Untuk kesekian

kalinya kami menjalani hubungan jarak jauh sementara.

Page 38: Blood District

“Hati-hati ya, aku pulang dulu”

“Iya. Kabarin aku ya. I love you” Agi mengecup

keningku dengan lembut. Aku berbalik dan berjalan menuju

parkiran.

Aku melajukan mobilnya. Sudah pukul 03.30 dan aku

merasakan kantuk yang luar biasa. Aku berniat untuk

mampir di sebuah masjid untuk istirahat dan menunggu

adzan untuk sholat subuh.

Jalanan tidak sesepi tadi. Sudah banyak kendaraan

melintas di jalan tol. Tidak hanya Aku. Aku menghela napas

lega.

Aku tak dapat menahan kantuknya. Sesekali aku

memejamkan mata dan mengusap-usap matanya. Aku

benar-benar dalam keadaan kantuk.

Rumahku sudah hampir dekat, namun ketika

memasuki sebuah terowongan, tanpa sadar dan dengan

kecepatan tinggi mobil aku menabrak sebuah sepeda motor

dan sebuah pohon. Aku tak sadarkan diri.

Page 39: Blood District

Motor yang aku tabrak ringsek dan pengendaranya

meninggal di tempat. Mobilku rusak parah pada bagian

depan dan......aku meninggal di tempat.

Tasya, Reyn dan Noval menahan ludahnya. Rasanya,

tidak ada udara yang masuk ke dalam paru-paru. Tasya tidak

mengedipkan mata sedikitpun.

“Terima kasih, Tasya. Kau manusia yang baik.

Mengizinkan aku untuk tinggal bersamamu. Maaf,

kehadiranku membuat kau takut. Aku akan pergi”

Tasya tidak menjawab. Tangis dan gemetar ketakutan

semakin menguak. Sonya tersenyum. Ia menghilang

perlahan-lahan.

“Kejadian ini menjadi kejadian paling tragis di daerah

setempat. Belum pernah sebelumnya terjadi kecelakaan yang

menyebabkan pengendaranya meninggal.” Kata Pak RT

sambil pamit pulang.

Page 40: Blood District

“Saya lihat, mobilnya kencang sekali. Setelah itu

menabrak bapak-bapak pengendara motor. Korbannya satu

perempuan, satu laki-laki” kata Pak RT. “Ditemukan KTP milik

korban perempuan bernama Sonya Latifah”. Tasya, Reyn,

dan Noval ketakutan.

Page 41: Blood District
Page 42: Blood District

Dulu awal-awal saya ke Bandung saya masuk di salah

satu universitas swasta di Bandung, dimana tahun angkatan

kami di haruskan untuk mengikuti asrama selama setahun,

awalnya saya tidak mau untuk tinggal diasrama tersebut

namun karena sudah dibayar oleh ayah saya, saya terpaksa

untuk tinggal disana.pertama kali saya masuk asrama

tersebut biasa-biasa saja namun asrama ini cukup gelap ,saya

juga tidak tau kenapa lampu di sekitar tangga mati.namun

karena saya memeiliki banyak teman hal tersebut tidak saya

hiraukan.

Tiga hari awal tinggal disana tidak terasa karena kami

harus sudah meninggalkan asrama pukul 6 pagi dan balik lagi

sekitar jam 8 malam ,dan samapai asrama pun kami langsung

tidur karena kami mengikuti ospek di kampus saat itu.setalah

ospek tidak ada yang aneh dari asarama tesebut dan pada

suatu hari hal mistis tersebut akhirnya terjadi.

Kring-kring suara handphone saya berbunyi ,saya

mengankat telephone tersebut ,halo- halo ,ternyata ibu saya

yang menelpon namun karena saat itu sangat ramai sekali

dikamar sehingga saya tidak dapat mendengar telephone

tersebut akhirnya saya keluar kamar,setelah diluar kamar

Page 43: Blood District

sinyal telephone bermasalah dan saya pun mencari sinyal

samapai akhirnya di tangga yang lampunya mati

tersebut,awalnya masih biasa namun lama kelamaan saya

merasakan aura yang berbeda disana sontak saya pun mulai

merinding dan tetap ngomong ditelpon sama ibu saya ,tiba-

tiba saya mendengar suara cewek sedang menangis ,lalu

saya mematikan telpon dan bertanya-tanya pada diri sendiri

suara siapa itu,saya pun baru sadar bahwa orang-orang yang

tinggal diasrama itu laki-laki semua,dan semakin membuat

saya makin merinding akhirnya tidak pikir panjang lagi saya

pun lari dengan cepat untuk kembali ke kamar,dan

menceritakan kepada teman-teman saya.

Keesokan harinya saya dan teman-teman saya mencari

tau tentang asrama tersebut,memang disamping asrama ini

ada sepetak kuburan ,namun hanya sedikit sekali dan

kuburan tersebut pun sepertinya lahannya juga di ambil oleh

puhak pengelola asrama dan hal tersebut semakin membuat

saya yakin bahwa suara yang saya dengar tersebut bukan

khayalan saya.beberapa hari selanjutya teman saya

mengatakan bahwa teman dia melihat seseorang berpakaian

putih sedang duduk di pinggir tangga yang lampunya mati

Page 44: Blood District

tersebut,hal tersebut semakin membuat saya yakin bahwa

asrama ini mulai tidak aman dari hal-hal mistis.

Page 45: Blood District
Page 46: Blood District

Aula kampus terasa sesak oleh nafas kebahagiaan

karena mahasiswa tingkat akhir yang wisuda. Tak terkecuali

dengan 3 sahabat ini, Arbi, Ata, dan Reihan. Arbi dan Reihan

terlihat tampan dengan mengenakan setelan jas warna

hitam, sementara Ata terlihat cantik dengan kebaya coklat

dan tatanan sanggul modern serta make up tipis yang

menghiasi wajahnya.

“Harusnya kita wisuda berempat ya” kata Arbi.

“Kita berempat ko, Leo ada kali disini. Parah banget ga

ngerasain Leo disini” jawab Ata.

“Kerumahnya Leo yuk. Leo harus liat dandanan kita

nih” ajak Reihan sambil berjalan mundur.

Setelah berpamitan ke orang tua mereka masing-

masing. Selesai acara, mereka langsung tancap gas ke

Jakarta. Rumah yang mereka katakan adalah bukan rumah

yang penuh kehidupan. Tapi rumah yang begitu sunyi dan

penuh kedamaian. Rumah yang dimaksud adalah makam.

Sebelum mereka sampai di makamnya Leo, mereka singgah

sebentar untuk membeli bunga dan air mawar. Ditengah

Page 47: Blood District

belanja Reihan nyeletuk “Ta lo gamau bawain Leo bunga

yang lain? Leo bosen kali Ta tiap lo ke rumahnya dibawain

mawar putih mulu”

“Kenapa jadi lo yang protes ya Rei. Leo-nya aja

gapernah protes” timpal Ata.

“Dia protes pasti ta, cuma gak bisa nyampeinnya aje”

“Berisik banget ya lo berdua” sambung Arbi sambil

menggiring dua sahabatnya itu masuk ke mobil.

Seperti biasa, setiap perjalanan menuju rumah Leo.

Ata selalu diam. Jiwa usilnya ilang, kekagumannya pada

pemandangan di jalan tol menghilang. Mata kosongnya me-

rewind kejadian dua tahun lalu. Kejadian yang merenggut

nyawa sahabatnya itu.

*****

Arbi, Ata, Leo dan Raihan resmi menjadi seorang

mahasiswa baru setelah tiga hari mereka di ospek. Waktu

ospek mereka tak saling kenal, boro-boro kenal juga tidak.

Page 48: Blood District

Kelas B lah yang menjadi saksi bisu bagaimana persahabatan

mereka dimulai.

“Hari pertama kuliah ngapain ya? Langsung ke materi

apa perkanalan dulu apa cerita tentang masa masa sekolah”

tanya Ata pada dirinya sendiri sambil ngaca merapikan

pakaiannya.

Masuk ke kelas, Ata disambut oleh keheningan. Dan

muka-muka asing yang memperhatikannya dari sejak ia

membuka pintu hingga duduk. Tak heran, untuk ukuran

perempuan, Ata adalah perempuan cantik. Kulitnya yang

kuning langsat, matanya jernih, dan rambutnya? Sebahu dan

agak ikal dengan warnanya yang hitam kilau. Ata memiliki

postur tubuh yang juga bagus. Ata memang pas banget untuk

dipandang dari ujung kepala hingga ujung mata kaki. Dan

lebihnya, Ata tak perlu pusing dengan dandanan karena

wajahnya yang sudah cantik.

Lima menit sebelum kelas dimulai, Arbi, Leo dan

Reihan masuk. Berhubung bangku yang tersisa tiga hanya ada

di dekat Ata, mereka berempat duduk berderet. Suasana asik

sendiri adalah suasana yang tergambar di kelas mereka.

Maklum, namanya juga masih belum kenal. Ada yang main

Page 49: Blood District

BB, asik nge-game, narsis di tab terus di upload ke instagram

dan ada juga yang gambar anime, ada juga yang nyanyi.

Kalau yang lainnyabegitu, Ata lebih senang mengamati

teman-teman kelasnya sambil berimajinasi akan jadi apa

suasana kelasnya nanti.

“Kok lo doang sih yang ga asik sendiri?” Arbi memulai

percakapan

“Eh? Asik sendiri kok gue. Asik ngamatin orang-orang.

Gue Ata, lo?” sambil mengulurkan tangan, tanda perkenalan.

“Arbi. Dari Jakarta ya?”

“Iya. Hehe. Lo juga dari Jakarta kan?”

“Sotoy sih lo”

“Logat lo-guenya kentel banget coy. haha”

Perkenalan pun harus dihentikan, karena dosen yang

masuk kelas dan mulai memberikan materi kuliah.

*****

Page 50: Blood District

Sudah sebulan kuliah, tapi Ata baru mendapatkan Arbi

sebagai teman dekatnya. Teman kelasnya yang lain hanya

sekedar kenal dan tidak dekat.

“Bi, cariin gue temen dong. Masa temen gue lo doang”

pinta Ata

“Makanya kenalan dikelas, lo asik ngamatin doang sih.

Ngamatin gak bakal nambah temen Ta. haha”

“Gue tuh ngamatin mana yang bisa jadi temen mana

yang engga”

“Oy!!” tiba-tiba Arbi berteriak dan tangannya

memberikan kode pada Leo dan Raihan yang kebingungan

nyari lokasi duduknya Arbi di kantin.

Ata nengok ke belakang dan mendapati dua teman

kelasnya bergerak ke arah meja mereka.

“Request temen kan lo? Nih gue bawain dua”

Tanpa canggung Ata mengulurkan tangannya terlebih

dulu untuk memulai perkenalan. Mereka berempat pun larut

dalam perbincangan yang asik selama tiga jam.

Page 51: Blood District

****

Arbi BBM Ata

“Le, pindah dong. Gue mau tau rasanya dibonceng Rei.

Bosen sama Arbi mulu” pinta Ata sambil senyum jail ke arah

Arbi. Mereka berempat memang sudah jadi sahabat, tapi

tetep aja yang paling akrab ya Ata sama Arbi. Makanya, biar

jadi akrab semua, Ata minta pergantian posisi boncengan.

Langkah tepat memang, berkat pergantian posisi

boncengan. Ata jadi akrab sama Rei. Selama perjalanan

mereka asik cerita soal sekolahnya dulu dan cerita tentang

mantan pacar masing-masing. Arbi dan Leo gakalah asiknya

cerita, mereka asik banget cerita soal bola dan cewek. Yang

From : Arbi

Ta, lo dimana? Mau

ikut kita jalan-jalan

ga? Di sekitaran

kampus aja. Biar Tau

From : Ata

Masih jam 7 pagi ya

Bi. Udah ngajak jalan

aja lo. Mau deh, gue

mandi dulu ya

From : Arbi

Gue jemput jam 8 ya

Ta

Page 52: Blood District

perlu diketahui adalah mereka semua jomblo. Jadi ujung

obrolan mereka adalah mantan atau pencarian jodoh.

“Ta, gue denger denger kos-an lo daerahnya rada

rawan ya?” Leo membuka percakapan di tempat makan

“Katanya sih, tapi syukurnya ya gue ngerasa aman

aman aja Le. hehe” jawab ata

“Ati-ati aje ye ta. Kalo pulang malem jangan sendirian.

Telpon salah satu dari kita aja ta buat minta nganter” tambah

Reihan

“Rei? Mau bikin gue melting? Haha. Iya gampang soal

telfon mah”

“Asik banget sih bapak ibu ngobrolnya. Ikutan dong”

Arbi yang langsung ikut bergabung setelah mengantarkan

menu pesanan mereka.

“Enakan ngobrol tanpa lo Bi haha. Bercanda”

“Gak cuma kelakuan ya Ta yang ngeselin, ngomongnya

elu kadang ngeselin juga ya. Minta dijejelin sambel ya?” Arbi

tau betul kalo Ata gasuka pedes. Jadi setiap dia ngomong

Page 53: Blood District

iseng kaya tadi, rasanya pengen ngebalurin sambel di

mulutnya

“Bi, terowongan yang tadi kita lewatin itu serem kan

katanya ya? Suka ada yang malak gitu kalo malem” tanya Leo

“Iya gue juga dapet kabar gitu. Makanya kalo udah

malem, duduk manis ajalah gue di kosan. Daripada kenapa-

kenapa. Lagian emang daerah sini rawan orang jahat. Noh

daerah kos-an Ata, suka ada aja yang kemalingan. Dan di

jalan depan kampus pernah ada yang dicopet. Keras banget

ya idup disini haha”

Ga lama pesanan makanan mereka datang. Sembari

makan, ata memikirkan apa yang dibilang teman-temannya

soal daerah kampus yang rawan soal kejahatan. Ata jadi

merasa takut sendiri. Dan berfikir, gimana kalo salah satu

korban kejahatannya itu dia atau salah satu dari 3 temannya.

*****

BBM Ata di group discussion

From : Ata

Woooyyyy!!! Lo bertigaaa!!! Sombong banget ya pada ga kasih kabar.

Mentang-mentang lagi liburan. Ketemuan di Jakarta dong. Rumah pada di

Jakarta tapi ga ada yang ngajak gue jalan

Page 54: Blood District

balasan bbm dari Rei yang bikin ata hampir muntah

balesan bbm dari Arbi yang ngebuatnya geli karena sok

famousnya.

jawaban standart leo yang bikin ata berpikir ”Iya ya 2

minggu lagi ketemu”.

*****

Dua minggu yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba.

Hari pertama di semester kedua. Baru juga hari pertama,

From : Reihan

Liburan semester gue manfaatin di rumah ta. Sayang-sayangan

sama nyokap. Curhat-curhatan sama bokap. Ngusilin adek gue

From : Arbi

Gue jalan-jalan mulu Ta sama temen sekolah. Dari mulai temen SD sampe temen SMA.

From : Leo

Haha. Kabar gue baik Ta. Ah lu, dua minggu

lagi juga ketemuan di kampus. Sabar aja Ta

Page 55: Blood District

dosen udah ngasih tugas. Dan deadline tugasnya Rabu.

Alhasil Ata, Leo, Arbi dan Reihan memutar rencana mereka

yang semula jalan-jalan karena tau kuliah pulang cepat

menjadi mengerjakan tugas di perpus bersama-sama.

“Apa-apaan tau nih dosen. Gabisa liat mahasiswanya

nyantai dikit kali ya. Baru juga hari pertama. Udah tugas aja

dikasih, udah deadline aja yang terpampang” gerutu Arbi di

perpus

“Bikin sesek napas ye Bi?” tanya Leo sambil menepuk

nepuk pundak Arbi supaya agak tenang

Tiga jam mereka larut pada tugas, tiga jam itu juga

mereka larut dalam diskusi. Arbi yang sukanya ambil

kesimpulan, Leo yang analisis contoh kasus tugasnya, Reihan

yang ngerangkai kata katanya dan ata menjadi penengah saat

diskusi mulai ga kontrol, dan sebagai penambah ketika

materi ada yang kurang. Mereka berempat emang pinter,

kalo udh ngumpul diskusi terus debat tuh seru. Karena

masing masing punya argument yang kuat dan bener-bener

nunjukkin isi kepalanya. Kalo udah gitu, mereka ga liat status

sebagai temen. Ga heran kalo IP mereka semua di atas 3,5.

Page 56: Blood District

“Finally, finish!” teriak Ata girang

“Ntar malem pada ada acara ga? Makan bareng yuk.

Dinner” tanya Reihan pada tiga temennya

“Oke” jawab mereka serempak

Ga kerasa jam di tangan leo udah nunjukkin pukul

sembilan, suasana sekitar sih masih rame. Tapi kalo udah

masuk ke daerah kos-an Ata tuh… Horror sendiri.

Saat perjalanan pulang Ata samar-samar ngeliat dua

pemuda mabuk dan berusaha buat malakin orang orang yang

lewat situ.

“Rei, itu ada yang lagi mabok. Kita lewat situ?”

pertanyaan Ata yang membuat Rei ngerem mendadak dan

membuat Ata mencengkram pundak Rei karena kaget.

“Untung lo liat Ta. Ga ada jalan lain apa? Telfon Leo

coba Ta. Gue pulang biar ada temennya. Takut juga gue kalo

sendiri”

Ga lama Ata telfon, Leo dan Arbi menghampiri mereka

“Mane yang mabok?” Tanya Arbi

Page 57: Blood District

“Noh di depan gang-an kosan gue” jawab ata

“Mereka berdua, kita yang laki tiga. Yaudah, berantem-

berantem deh sampe bonyok kalo mereka nyentuh salah

satu dari kita” kata Arbi yang ngebuat Ata cemas

Tanpa pikir panjang, Arbi menyuruh Reihan buat

duluan. Dia sama Leo jaga jaga di belakang. Reihan menarik

tangan Ata supaya pegangan kuat, karena Reihan bakal nge-

gas motornya dengan kalap. Biar ga dicegat.

Sukses! Mereka berhasil nganterin Ata pulang sampe

depan kos-nya dan mereka juga berhasil pulang ke kos

masing masing dengan selamat tanpa lecet.

*****

Empat bulan terakhir, keadaan sekitar kampus semakin

mengkhawatirkan, Arbi, Leo dan Raihan juga ikut

mengkhawatirkan Ata. Karena Ata akhir-akhir ini sering

pulang malem, entah kerja kelompok entah rapat

kepanitiaan. Mereka bertiga pasti selalu mengantar Ata

pulang ke kos-annya. Kalo bertiga ga bisa, salah satu dari

merekalah yang ngantar Ata. Tapi kadang Ata lebih milih

pulang sendiri, karena gak mau merepotkan. Kalau emang

Page 58: Blood District

udah dirasa ga aman, Ata baru minta tolong buat dianterin

balik ke kosannya.

“Eh ada apaan kumpul-kumpul gini?” tanya Leo pada

temen sekelasnya yang sedang serius membicarakan sesuatu.

“Lah, lu ga tau Yo? Itu anak kelas F ada yang dikeroyok

pemalak. Sama anak kelas D ada yang kemalingan di kosan-

nya” jawab Fadil.

“Yang di maling itu daerah deket kosan-nya Ata loh Yo.

Coba tanya Ata aja nanti pas dia dateng. Mungkin tau”

tambah Dina

Kebetulan pagi itu Leo sampe duluan ke kampus.

Karena nungguin Reihan ga dateng dateng. Terpaksa dia

berangkat sendiri jalan kaki dari kos-annya. Dan tiga

temennya yang lain belom dateng

*****

“Kalian kenapa datengnya pada telat tadi?” tanya Leo

“Gue udah siap dari 15 menit sebelum kuliah dimulai

ya. Nunggu Reihan sama Arbi lama banget. Gue mau jalan

sendiri, ga dikasih sama mereka. Katanya suruh tunggu. Kalo

Page 59: Blood District

emang telat ya telat barengan” jawab ata sambil makan soto

ayam pesenannya

“Lo yang kepagian Le berangkatnya” kilah reihan

“Tau lo ya. Biasanya juga kita sampe kelas mepet

mepet udah ada dosennya” tambah Arbi

“Untung gue dateng pagi. Jadi gue tau berita soal

pemalakan sama kemalingan tuh di daerah kosan-nnya Ata”

“Iya Ta?” tanya Arbi dan Reihan nyaris serempak

Ata hanya mengangguk karena masih sibuk sama soto

ayam-nya

“Terus terus?” tanya Teihan

“Yang dipalak sih gue gatau daerah mana. Cuma

katanya dikeroyok gitu. Yang malak tiga yang dipalak sendiri

ya abis lah itu orang”

“Yang kemalingan?” giliran Arbi yang tanya

“Laptop, tab sama bb-nya ludes. Gila makin ngeri aja

ya daerah sini. Lo kenapa ga cerita ya Ta ada kasus

begituan?”

Page 60: Blood District

“Gue niat nyeritainnya sekarang. Tapi lo udah tau

duluan. Yaudah ga jadi”

“Fix lo kalo pulang ga boleh sendiri. Fix banget! Ga

boleh langgar ya, ketahuan pulang sendiri gue suruh lo

pindah ke kosan gue” gertak Arbi ke Ata

*****

Makin mendekati UAS, Ata, Arbi dan Leo makin

individual. Mereka jarang main bareng lagi, karena fokus

buat persiapan UAS. Namun, kadang tetap bersama-sama

kalau berangkat dan pulang bareng-bareng. Terutama Ata

dan Arbi mereka ga cuma ngurusin UAS, tapi ada organisasi

dan kegiatan mahasiswa lainnya yang mesti diurusin.

Drrrttt…Drrrrttt… getaran dari hape ata

From : Arbi

Ta, dimana? Udah pulang?

From : Ata

Belom Bi, masih di apartment temen gue nih. Kayanya

masih lama gue balik. Lo kalo udah kelar rapat balik aje.

Page 61: Blood District

“Rapatnya kita cukup sampe disini ya. Mungkin

setelah UAS baru kita lanjutin lagi. Tinggal bikin lampion

lampion yang bakal di pajang sepanjang jalan ke venue” ka

yosi sebagai ketua divisi dekorasi pun akhirnya menyudahi

rapat

Ata menelpon Arbi. Sialnya ata karena handphone Arbi

gabisa dihubungi, dan teman teman lainnya udah pada

pulang.

“Ta, lo ga balik? Nunggu siapa? Pacar?” tanya Bella

anggota sesame divisi dekorasi

“Iya nunggu temen Bel, bukan pacar hehe” jawab Ata

yang sambil sibuk menelpon Arbi

From: Arbi

Engga ta. Gue yang anter lo balik. Sampe lo pulang sama

temen apalagi sendiri. Gue bener inepin lo dikamar. Terus

From: Ata

Apaansih Bi, gue yang dipaksa masuk. Gue yang dibilangin

penyusup. Yaudah tunggu aja. Ntar gue kabarin kalo mau balik

Page 62: Blood District

“Yaudah tunggu aja disini ta, sayang sih kamar gue

udah penuh. Kalo masih ada kamar kosong. Lo gue suruh

nginep sini deh Ta”

“Gue malah minta maaf ya Bel. Numpang gini. Gatau

ini hapenya dia gabisa dihubungin”

Sementara itu dikampus Arbi ga sadar kalo hape-nya

ternyata udah lowbat dari 15 menit yang lalu karena dia

masih sibuk ngebahas soal acara kampusnya.

“Le, lo udah tidur belom? Gue minta tolong anterin

balik dong. Arbi gatau kemana nih le, dihubungin gabisa

hapenya. Nelfon Reihan, dia lagi pergi ternyata. Lagi ga

dikosannya. Tolong ya Le. Ga enak nih udah kelamaan

numpang di apartment temen” suara Ata setengah menahan

tangis saat menelfon Leo. Karena kebingungan.

“Sms-in alamatnya Ta gue meluncur. Jangan kemana

mana lo”

Di kampus. Arbi kaget karena baru sadar kalo hapenya

mati. Dia panik nyari charger. Dan setelah hapenya nyala, dia

kaget mendapati 15 miscall, ping attack dan 8 sms dari Ata.

Page 63: Blood District

“Ta lo dimana? Sorry Ta lobet hape gue. Baru sadar,

daritadi dikantong soalnya” tanya Arbi khawatir ke Ata via

telfon

“Masih ditempat temen. Lo telat gue udah minta

tolong sama Leo” jawab Ata sambil memutus telfonnya

karena kesal.

Leo pun dateng dengan membawa satu jaket lagi.

Karena dia tau Ata pelupa soal jaket.

“Bel pamit dulu ya, maaf ngerepotin” pamit Ata

“iya Ta. Take care ya. Temennya Ata, gue titip Ata ya.

Dia harus pulang selamat sampe kosannya”

“Pasti. Balik ya” pamit Leo

Ditengah perjalanan, Ata baru sadar kalo dia bakal

melewati terowongan yang katanya banyak kasus

pemalakan. Dan pemalaknya ga segan buat melukai

korbannya. Seketika perasaannya ga enak. Kemudian nanya

Leo

“Le, tadi lo lewat terowongan itu? Aman kan Le?”

tanyanya khawatir

Page 64: Blood District

“Aman ko Ta. Nih buktinya gue bisa jemput lo kan?

Tadi ga ada orang yang keliatannya serem ko. Banyak yang

lewat juga” Leo mencoba menenangkan ata

Sayangnya kondisi berbeda ditemui Ata dan Leo saat

mereka mau balik, terowongan udah sepi dan jackpot!

Banyak yang nongkrong nongkrong sambil ngerokok dan

minum minuman keras. Tampang mereka bahkan lebih

serem 10 kali lipat dari yang pernah mereka temuin di depan

gang kosan Ata. Jumlah mereka ada 3 orang.

Seketika Leo berhenti, sebelum memasuki

terowongannya.

“Ta, coba telfon Arbi suruh susul kesini ta. Buat bala

bantuan. Ini sial banget, tadi engga ada orang-orang sampah

itu ta”

Tanpa banyak bicara Ata menelfon dan menyuruh Arbi

menyusulnya ke depan terowongan.

“Arbi lama ya Ta?” Leo mulai cemas

Page 65: Blood District

“Iya Le. Apa kita terabas aja nih mereka. Lo bisa nge

gas sekenceng valentine rossi kan? Anggep aja ini di sirkuit

Le”

Leo memilih untuk melaksanakan apa yang ata

katakan. Tapi sayang, pemalak itu berhasil meraih tas yang

diselempang Ata, saat posisi Leo ngebut dan berusaha

menghindari mereka. Mereka nyaris terjatuh karena pemalak

itu mengambil tas yang masih melekat di badan Ata. Ata

menjerit dan Leo menghentikan motornya.

“Temen lo cantik. Boleh lah kalo kita bawa pulang”

kata salah satu preman dengan muka sangar dan mulutnya

yang bau alkhohol.

“Nyentuh aja lo ga boleh apalagi ngebawa dia pulang”

jawab Leo.

Ata berdiri di belakang Leo, sambil mencengkram

lengan Leo kuat kuat. Ga lama, Arbi dateng dan kaget untuk

kesekian kalinya karena melihat temennya udah dicegat

preman preman.

Page 66: Blood District

“Lo ngebawa temen? Buat apaan? Minta bantuan?

Haha percuma. Lo bawa sekampung juga gabakal bisa

ngalahin kita yang bertiga” teriak preman yang dibelakang

“Untung lo dateng. Gue bisa mampus kalo sendirian”

bisik Leo

“Minus Reihan nih. Kalo ada pas kita tiga lawan tiga”

jawab Arbi

Para preman itu masih terus berusaha menggoda Ata,

Leo dan Arbi berusaha melindungi. Kalap Arbi menghajar

preman yang di depan matanya. Perkelahian pun terjadi. Ata

berusaha menelpon polisi tapi sayangnya, preman yang ga

berhadepan dengan Arbi atau Leo berhasil mengambil

handphone dan membuangnya. Ata yang saat itu teriak.

Membuat Leo dan Arbi menjadi beringas, karena dua preman

yang di depan matanya udah kelelahan Leo dan Arbi segera

mundur ke belakang melindungi Ata. Leo menghajarnya,

sementara Arbi menjaga Ata. Leo mengira preman itu udah

gabisa berkutik lagi, sayang perkiraannya salah. Sesaat

setelah mereka mau balik ke motornya masing masing, salah

satu dari preman itu bangkit dengan membawa pisau. Dia

Page 67: Blood District

berjalan ke arah Leo, menepuk pundaknya yang membuat

Leo nengok dan preman itu menikamnya.

“Argh…” teriak Leo

Tanpa pikir panjang, Arbi kembali menghajar preman

tersebut hingga preman tersebut pingsan. Ata berusaha

membaringkan tubuh Leo, dan menekan lukanya. Ata bisa

merasakan darah Leo mengalir di tangannya.

*****

Di rumah sakit Ata, menangis tanpa henti. Arbi

berusaha menenangkan dengan memeluk dan menepuk-

nepuk pundaknya. Ga lama kemudian, Reihan datang.

“Lo berdua kenapa penuh darah gini? Muka lo juga

bonyok. Leo mana? Mana?” tanya Reihan sambil

mengguncang-guncangkan pundaknya Arbi

“Di UGD, dia ditusuk preman Rei” jawab Arbi menahan

tangis

Rei mendangakan kepalanya, berusaha menahan air

matanya agar tidak tumpah dan menahan amarahnya pada

Page 68: Blood District

preman preman yang udah ngebuat ketiga teman-temannya

ga karuan.

“Sorry Bi, gue bukan temen yang baik ternyata ya. Gue

ga ada disitu sama kalian. Keluarga Leo udah dihubungin?”

“Udah”

Rei mendekati Ata yang duduk sambil menutup

matanya karena mangis terisak.

“Ta…” belom sempat Rei melanjutkan omongannya.

Ata udah keburu bersandar padanya. Rei mengurungkan

niatnya untuk berbicara. Dia lebih memilih merangkul Ata

dan menenangkannya.

*****

“Keluarga dari pasien Leo” tanya dokter

“Iya dok. Kami temannya” jawab Arbi

“Kondisinya Leo dok?” tanya reihan

“Kami minta maaf. Karena kami tidak bisa

menyelamatkan teman kalian. Leo ditusuk tepat di organ

vitalnya dan mengeluarkan darah yang cukup banyak. Saya

Page 69: Blood District

minta maaf sekali. Semoga kalian tabah” Jawab dokter sambil

meninggalkan mereka.

Suasana ruang tunggu pun menjadi bising karena

pecahnya tangis Ata, Arbi dan Reihan.

“Kondisi Leo gimana Bi? Kalian kenapa nangis?” tanya

tante Leo

“Dokter gabisa menyelamatkan Leo tan. Leo udah

dipanggil Tuhan” jawab Arbi sambil menangis

Tante Leo pun seketika lemas dan nyaris pingsan.

Beruntung ada suaminya yang bisa menahan di belakang

*****

“Senen udah UAS kenapa lo pergi Le? Ntar siapa yang

bantuin gue nganalisis contoh kasus? Ntar kalo diskusi ga ada

yang analisis kasus dong Le? Kan lo doang yang ahli diantara

kita-kita” Ucap Arbi di pusara Leo.

“Lo udah kangen mamah papah lo di surga ya? Udah

pengen ketemu mereka? Tapi ga harus sekarang kan Le lo

ketemunya?” ucap Ata.

Page 70: Blood District

Leo memang anak yatim piatu sejak smp. Dan yang

mengurus Leo semenjak saat itu adalah om dan tantenya.

“Kalo pergi tuh lo pamit sama gue Le. Jangan

mendadak gini. Ngeselin lo ah!” kekesalan Reihan yang

bercampur dengan kesedihan.

Puas bercengkrama di atas pusara Leo. Mereka bertiga

balik ke Bandung menggunakan mobil Reihan. Reihan sering

membawa mobilnya ke Bandung, dan ngajak ketiga

temennya buat jalan jalan. Sekalian buat tebengan pulang ke

Jakarta dan balik ke Bandung. Biasanya di perjalanan mobil

ini penuh canda tawa, tapi sekarang semua hening. Hanya

suara isakan yang terdengar.

Setelah kejadian itu, polisi mengusut kasus dan

berhasil menangkap ketiga pelakunya.

*****

Sesampainya di makam. Ata menaruh mawar putih di

atas pusaranya Leo. Arbi menebar kembang dan Reihan

menuang air mawar. Dua tahun yang lalu mereka bersedih

disini. Tapi sekarang mereka membawa senyum. Karena

mereka sudah mengikhlaskan.

Page 71: Blood District

“Le, lo belom pernah liat gue dandan kan? Nih gue

dateng full kebaya, make up sama sanggul. Udah kaya putri

Indonesia Le hehe” ucap Ata.

“Boong Le boong. Si narsis ini emang selalu bilang dia

cantik padahal biasa aja yakan Le? Dia aja yang PD banget

kan Le? haha” jawab Arbi

“Pokoknya ya Le, kita dateng kesini dengan pakaian

spesial. Kalo lo ada dan bergaya kaya kita gini ya. Lo pasti

ganteng, tapi tetep aja sih gabisa ngalahin gantengnya gue

hahaha” ucapan Reihan yang membuat Ata dan Arbi

mengernyitkan dahi.

Berakhir dengan doa, mereka pamit ke Leo. Pasca

kejadian dua tahun lalu itu, Ata dan Arbi amat enggan untuk

melewati terowongan itu, trauma dan takut kejadian itu

terulang. Hingga saat ini, terowongan itu tetap tidak berhenti

melakukan terror-nya. Masih ada saja pemalakan yang terjadi

meskipun tidak sampe merenggut nyawa seperti yang

dialami Leo.

Page 72: Blood District
Page 73: Blood District

Aku dan teman-temanku mememulai pertualangan

kami diBandung yaitu di asrama hehe,tentunya kami sangat

senang sekali karena kami selalu berkumpul bersepuluh

bersama-sama di kamar saya. kami setiap hari menghabiskan

malam dengan bermain fifa atau hanya sekedar cerita-cerita

dengan ditemani kopi.kami selalu tidak menghiraukan apa

yang telah terjadi di sekitar kamar asrama , kami selalu asik

dengan cerita kami sendiri.

Tapi kami mendengar bahwa diasrama mulai tidak baik

auranya karena kami mendengar bahwa ada seseorang

perempuan yang sering menampkan dirinya di sebelah

tangga dekat lift lantai kami, yah tentunya kami tidak takut

karena kami selalu bersepuluh disini. Memang tangga

tersebut sangat gelap sekali karena lampu di sekitar lift

tersebut mati,dan disebelah tangga tersebut ada kamar yang

tidak ada penghuninya, dan kamar tersebut sangat dekat

sekali dengan kamar kami.

Tapi hal tersebut seperti biasa saja karena kami belum

pernah mengalami hal aneh selama diasrama

tersebut,bahakan karena kami tidak ada kerjaan kami sering

sekali untuk bermain di lantai paling bawah. Lantai tersebut

Page 74: Blood District

sama sekali kosong dan konon katanya lantai tersebut ingin

dibuat tempat fitness oleh pengelola asrama namun ahal

tersebut belum terealisasikan sampai sekarang.kami sering

kesana malam-malam karena iseng untuk membuktikan

bahwa tidak ada apa-apa disana. Memang sih kami ketakutan

namun kami tidak menemui apa-apa disana rasa takut

kamipun hanya sekedar karena tidak ada cahaya di sekitar

lantai paling bawah tersebut.

Dan akhinya suatu hari, dimana kami sedang

membereskan kamar kami, tiba-tiba temanku menemukan

rambut halus panjang. Kami pun langsung aneh melihat

rambut tersebut karena rambut-rambut kami semua botak

dan hanya ada laki-laki di asrama ini. Kami belum yakin

bahwa itu rambut perempuan, biasanya itu bulu-bulu dari

sapu. Ternyata teman-teman saya yang ada dikamar yang

berbeda menemukan rambut panjang tersebut akhirnya kami

kumpulkan rambut tersebut dan membandingkan dengan

bulu yang ada disapu dan ternyata rambut tersebut sangat

berbeda. Rambut tersebut lebih panjang dan sangat halus.

Disini akhirnya kami tersadar bahwa rambut tersebut tanda-

tanda bahwa makhluk tersebut mulai tidak nyaman dengan

perbuatan kami yang selalu ribut di kamar dan bermain-main

Page 75: Blood District

di lantai paling bawah. Semenjak kejadian tersebut kami

tidak berani lagi untuk bermain-main di sekitar tangga

tersebut ataupun lantai paling bawah yang sangat gelap itu.

Page 76: Blood District
Page 77: Blood District

Petir mengeluarkan suaranya yang menggelegar.

Awan hitam menyelimuti segala isi bumi. Atmosfir tak dapat

menolong bumi seperti biasanya. Suara-suara petir itu

mengganggu telinga, membuat jantung berdebar kencang.

Aku menutup seluruh tubuhku dengan selimut. Suara petir

itu bagaikan bom yang meledak di samping telingaku. Tak

ada siapapun yang menemani ditengah kesunyian malam.

Hanya ada aku, gelap, petir, dan Tuhan yang sedang

menyimak ku. Aku tak tahan dengan ketakutan ini. Aku

beranjak dari tempat tidur dan berjalan kearah jendela

kamarku. Menatap langsung keluar, namun hanya ada awan

gelap dan kabut yang terlihat menyelimuti gedung

apartemenku yang berada di lantai 14. Jantungku sontak

berdegub kencang, hal itu cukup membuat diriku ketakutan.

Dengan cepat membuka pintu kamarku, dan.. petir demi

petir seperti memburuku. Membuat ku telungkup seketika

dilantai sambil menutup kedua telinga. Jantung yang

memompa dengan kencang menjadikan darah disekujur

tubuhku menggolak bak terkena api. Napasku terengah-

engah dan tubuhku bergetar. Trauma pada masa lalu

membantuku ketakutan. Hanya ada teriakan-teriakan masa

lalu yang menggantungi telingaku. Teriakan meminta tolong

Page 78: Blood District

itu sangat menggema di telingaku. Otakku seakan kembali

lagi ke masa lalu dan merekam kembali semua kejadian demi

kejadian saat pengeboman di Bali pada tahun 2005 lalu.

Rekaman memori mengerikan itu terus memutar-mutar

didalam otakku. Suara dentuman bom, teriak kesakitan,

orang-orang yang sekarat, potongan tubuh yang terpisah

bagian demi bagian, kulit mereka yang hangus terbakar, usus

yang terburai keluar, mata mayat-mayat itu yang mendelik

keatas, darah mengalir disetiap sudut ruang saat itu, dan

mengelilingi tubuhku. Membuat aku tak bisa berkutik.

Kedua mataku tak dapat fokus. Aku mencoba untuk

melepas kedua tanganku yang menutupi telinga kanan-kiri

ini. perlahan aku mencoba untuk duduk dari telungkupanku,

dan bersender di depan pintu kamar yang tanpa sadar telah

retak karena kencangnya benturan saat aku membuka pintu

tadi. Namun saat aku bersandar aku tersadar. Kedua bola

mata ini mulai fokus untuk melihat. Aku menoleh pelan-pelan

kekiri dan kekanan. Aku berada di lorong depan kamar

apartemenku. Tak ada siapapun yang keluar dari kamar

mereka kecuali aku, bahkan teman-temanku yang berada

disebelah kamarku. Aku duduk dipinggir lorong remang

apartemen. Seketika petir mengagetkanku lagi, dan

Page 79: Blood District

membuat lampu lorong berkedip tiga kali. Sekujur tubuhku

langsung merinding, napasku mulai terengah-engah lagi. Ada

apa dengan malam ini?. Dengan cepat aku bangun, tergesah

masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.

* * * * * * * * *

Matahari mulai bersinar. Cahaya pagi masuk ke

dalam sela-sela jendela kamar dan mengisi setiap sudut

ruang. Melenyapkan kegelapan dan menarik kabut hitam

yang mengerikan semalam. Teringat malam mengerikan itu,

aku langsung membuka mata dari tidur. Aku duduk dengan

wajah terkejut dan rambut yang berantakan. Saat melihat ke

arah jendela, ternyata pagi telah datang. Hati ini serasa lepas

dari ketegangan. Aku menghela napas, lalu berkesigap untuk

mandi dan mempersiapkan diri pergi ke institut tempatku

menimba ilmu. Beberapa saat kemudian aku telah siap untuk

pergi kekampus, aku mengambil selembar roti dan dan

menyelupkannya ke selai coklat. Ku gigit roti itu dengan

gigitan besar dan mengunyahnya seperti orang kelaparan,

Page 80: Blood District

namun tiba-tiba.. dg. dggg. dgg. dg.. dg.. dgdgdgdg.. suara

seperti menggedor pintu dengan keras. Membuatku

menghentikan kunyahan roti lembut itu dan menoleh kearah

pintu yang berada 7 meter dihadapanku. Aku berjalan

perlahan menuju pintu, ku ulurkan tangan untuk meraih

gagang pintu. Ku putarkan gagang pintu dengan perlahan klk

! Suara kecil menandakan pintu telah terbuka. Aku menarik

napas sedalam-dalamnya dan menghembuskan dengan

cepat. Ku tarik gagang pintu, dan dengan cepat kubuka pintu

itu, lalu...

Seorang petugas cleaning service sedang membuang

sampah sambil membalikan bak sampahnya ke plastik besar

lalu memukul-mukul bak sampah itu agar sampahnya dapat

keluar tanpa sisa, di depan pintu kamarku. Suasana tegang

itu mencair seketika, membuatku tesenyum kecil karena

ketakutanku yang berlebihan. Kulihat sekelilingku ramai lalu-

lalang para tetangga yang ingin pergi beraktivitas di pagi hari

ini. Akhirnya, aku masuk ke dalam kamar dan mengambil

seluruh perlengkapan belajar, mengunci pintu dan langsung

berangkat kuliah.

Page 81: Blood District

Suasana jalanan ramai dipenuhi para mahasiswa. Aku

berjalan menuju lapangan parkir apartemenku. Saat aku

sibuk mencari kunci mobil di jaketku, aku melihat beberapa

petugas cleaning service berjalan tergesa-gesa dengan mata

yang waspada. Mereka menggunakan masker yang menutupi

hidung hingga dagu mereka sambil menggotong seplastik

sampah besar, melewati selah-selah mobil yang berada di

lapangan parkir ini. Entah mengapa aku menjadi sangat

penasaran. Sekitar 10 meter mereka berjalan keluar, sekejap

melupakan kunci mobil dan membuntuti mereka. Aku

mengikuti mereka perlahan hingga akhirnya sampai

ketempat tujuan mereka. Aku yang bersembunyi 10 meter

dibelakang mereka terkejut bukan kepalang, Aku ingin teriak

namun rasa takut melebihi segalanya. Aku melihat gundukan

besar sampah-sampah yang telah membusuk dipenuhi lalat

dan berbau menjijikan berada disamping tembok besar

pembatas apartemenku dengan sebuah gang yang tidak

besar. Plastik sampah yang mereka gotong itu dibuka dan

dikeluarkan isinya. Tak lama dua orang cleaning service

lainnya datang dan membawa plastik sampah lagi namun,

kali ini berbeda. Aku menyimak mereka dengan hati-hati,

mendengar pembicaraan mereka dengan detail.

Page 82: Blood District

"kita harus berhati-hati dengan yang ini." Kata salah

satu cleaning service yang baru datang kepada teman-

temannya sambil menunjuk sampah yang mereka bawa.

Aku semakin penasaran dengan yang mereka

bicarakan dan mencoba dengan jelas untuk melihat apa yang

mereka lakukan. Mereka membuka plastik sampah yang baru

dibawa itu. dan mereka mengangkat isi didalam plastik itu.

Aku benar-benar kaget kali ini hingga tanganku menutup

mulutku yang bergetar. seluruh tubuhku lemas. darah yang

mengalir dalam tubuhku mendadak seolah membeku.

Mataku terpaku dan jantung berdebar hebat seakan ingin

keluar dari dadaku. Mereka mengangkat bangkai anjing besar

berukuran setengah tubuh manusia yang telah membusuk.

Badannya sangat besar melebihi anjing lainnya namun kurus

seperti tengkorak, tidak memiliki bulu, disekujur tubuh anjing

itu dipenuhi luka, kulitnya terkelupas dan bernanah, dan

yang paling mengerikan adalah anjing itu memiliki taring

panjang diseluruh giginya dengan mata melotot lebar

kearahku dan berwarna merah. Aku lemas melihatnya dan

tak bisa berkutik. Bau busuk bangkai anjing itu melebihi bau

menjijikan gundukan besar sampah yang ada disana. Lalat

pun berpindah kearah bangkai anjing tersebut. Mereka

Page 83: Blood District

melempar anjing itu digundukan sampah dan menutupinya

dengan sampah-sampah lain lalu meninggalkannya begitu

saja. Para cleaning service itu berjalan tanpa merasa bersalah

dan kembali tertawa-tawa seperti biasanya. Mereka melintas

dihadapanku tanpa tahu keberadaanku. Namun, aku

mendengar sesuatu dari mereka saat mereka jalan

dihadapanku

"kau tahu, ada isu tentang anjing menyeramkan yang

kita buang tadi",

"isu apa?",

"anjing itu adalah milik profesor Alex. Aku mendengar

dari supirnya bahwa profesor sedang melakukan percobaan

atas sebuah cairan yang ia buat. Tapi, semua itu gagal karena

3 hari setelah disuntikan anjing itu malah berubah menjadi

menyeramkan dan ingin memakan profesor, tapi profesor itu

terkesiap sehingga ia menembakan peluru terhadap anjing

itu.",

"lalu anjing itu mati? sepertinya aku melihat banyak

sekali luka tembak",

Page 84: Blood District

"profesor menembakan pelurunya sekali dan tidak

merubah apapun, sehingga profesor alex menembakannya

berulang kali.",

"matikah?",

"belum. akhirnya profesor menyuntikan obat bius

berdosis sangat tinggi yang membuat anjing itu mati

overdosis.",

"kau percaya?",

"sepertinya aku percaya, bahkan ada yang mengatakan

kepadaku bahwa virus dalam tubuh anjing itu bisa tumbuh

menyebar bila dekat dengan sesuatu yang mengandung yang

kotor, seperti sampah-sampah tadi. Dan kabarnya, dapat

menghidupkan kembali sesuatu yang terjangkit virus itu.".

Seketika semua nya tertawa mendengar cerita

tersebut,

"nurdin.. nurdin, kau ada-ada saja. Kau terlalu banyak

menonton film. Tak mungkin ada hal seperti itu terjadi

didunia nyata",

Page 85: Blood District

"iya benar, mungkin itu hanya anjing yang memiliki

kelainan saja din..".

Semua tertawa keras. Merasa itu hanya bualan semata

aku kembali ke lapangan parkir dan kembali beraktivitas

seperti biasanya, walaupun gundukan sampah yang berbau

busuk dan sorotan mata bangkai anjing itu menghantui

pikiranku terus menerus.

* * * * * * * * * *

Jam telah menunjuk ke arah 19.19. Aku sedang

duduk dikursi rias punya temanku, aku terdiam menunduk,

sedih karena melihat sahabatku yang sedang tersungkur

ketakutan di sudut tembok kamar apartemennya. Ia

menyelimuti dirinya dengan bed cover, wajahnya pucat dan

kusam, terdapat kantung mata di wajahnya seperti orang

yang sedang sakau, tubuhnya gemetar, dan matanya

mengintip ketakutan dibalik bed cover tersebut. Aku

menghampirinya, aku duduk dihadapannya dan mencoba

untuk mengajak bicara sahabatku tersebut.

Page 86: Blood District

"Apa yang terjadi sesungguhnya?"

Seketika ia langsung melotot ketakutan kearahku

dengan wajahnya yang pucat. Tiba-tiba ia menarik kedua

tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Ia

mendekatkan wajahnya dan berbisik ketakutan

"Ia disini.."

Aku bingung harus menjawab apa, aku bahkan tak

mengerti maksud dari perkataannya barusan.

"Siapa yang disini, Mal?"

Gamal melihat kearah lorong kecil yang gelap didalam

apartemennya yang menghubungkan antara ruang tamu dan

gudang.

"Sssssssssttt !! ia disini.."

Sekejab arah tatapannya membuat ku merinding. Aku

melihat kearah yang sama dengan sahabatku itu dan tak ada

apapun. Namun, aku merasakan atmosfer yang tak biasa

didalam kamarnya. Seolah kabut-kabut yang berada diluar

masuk kedalam kamarnya sehingga merabunkan

penglihatanku.

Page 87: Blood District

"Mal, kita harus kerumah sakit sekarang."

Aku hendak menarik bed cover nya dan membawa ia

pergi, namun tiba-tiba ia muntah dihadapanku. Muntahan itu

tak wajar. Ia seperti telah meminum oli hitam dalam puluhan

drum. Muntahan yang ia keluarkan sangat banyak bahkan tak

berhenti, berwarna hitam pekat dan dipenuhi oleh lendir

hijau, berbau anyir darah seperti telah membusuk didalam

perutnya. Pemandangan itu sangat menjijikan dan

membuatku mual. Bau busuknya membuatku menutup

hidung dan tak ingin bernapas. Ia mengeluarkan kotoran

dalam perutnya terus-menerus bahkan sangat deras.

Membuatku tak tahan dengan lantai yang dibanjiri cairan

hitam dan lendir itu, aku berlari ke gudang segera, mencari

sesuatu yang bisa menadah muntahannya. Dan aku

menemukan sebuah tong bekas cat, aku langsung

mengambilnya. Namun, saat membalikan badan aku sangat

terkejut sampai tong yang ku genggam terpental. Sahabatku

gamal berada dihadapanku dengan jarak hanya beberapa inci

saja dari hidungku. Wajah hingga dadanya berlumuran cairan

hitam itu, kepalanya menunduk dengan mata yang melotot

kearahku. Betapa mengerikan tatapan itu. Tanpa sepatah

Page 88: Blood District

kata apapun ia terus menatapku seperti ingin memakanku.

Dengan gagap aku bicara,

"Ga.. ga.. gamal.. kau.."

belum selesai aku bicara dalam sekejap sahabatku

terjatuh dihadapanku dan tak sadarkan diri.

Beberapa temanku menjenguk gamal yang terkapar

diatas tempat tidurnya tak berdaya dan sangat pucat. Aku

datang bersama profesor Alex. Selain ia ilmuan, ia juga

seorang dokter ahli penyakit dalam. Profesor Alex langsung

memeriksa keadaan sahabatku Gamal. Namun, ada sesuatu

yang membuatku semakin cemas. Profesor Alex terdiam. Aku

memperhatikan wajahnya dengan detail, seolah ia tak

menyangka dan ia mengetahui apa yang sesungguhnya

terjadi pada sahabatku itu. Tak lama kemudian profesor Alex

beranjak ingin keluar dari kamar. Aku ikut disampingnya. Tak

sabar, aku bertanya dengan penasaran

"Profesor, apa yang sesungguhnya terjadi pada Gamal?

Sesungguhnya ia terjangkit penyakit apa prof?"

Profesor seketika berhenti berjalan, dan menoleh

kearahku dengan tatapan cemas.

Page 89: Blood District

"Kau ikut saya sekarang, ada yang ingin saya

bicarakan"

Aku bersama profesor Alex jalan bersama menuju

apartemennya dilantai paling atas. Sesampainya aku

dikamarnya, aku melihat banyak sekali peralatan

laboratorium dan beberapa hasil eksperimennya yang berada

didalam tabung. Profesor menaruh tasnya di atas meja dan

duduk di kursi. Ia menghela napasnya dan

menghembuskannya perlahan.

"Beberapa hari yang lalu, saya melakukan suatu

percobaan atas kandungan kimia yang telah saya buat. Saya

menyuntikannya kedalam tubuh seekor anjing peliharaan.

Namun, beberapa hari kemudian anjing itu jatuh sakit. Dan

mulai dari itu semuanya berubah. Anjing itu berubah menjadi

besar, tubuhnya mengurus seperti tengkorak, bulunya

rontok, dan matanya memerah. Semua giginya berubah

menjadi taring."

Aku tertawa, aku sudah pernah mendengar cerita itu

sebelumnya. Dan aku menganggapnya hanya lelucon.

Namun, tawaku terhenti saat melihat wajah profesor yang

sangat serius.

Page 90: Blood District

"Maaf.. lanjutkan prof"

"Anjing itu menjadi gila, dan ingin menerkam. Seketika

saya langsung mengambil peluru dan menembakannya

berulang kali dan tak berpengaruh apa-apa. Anjing itu malah

semakin menggila dan menyerangku. Namun, anjing

tersebuut gagal karena saya menangkapnya dengan jaring

besar. Saya berinisiatif untuk menyuntikan obat bius diatas

dosis standar. Dan itu berhasil menaklukan sang anjing.

Anjing itu mati dan saya meminta beberapa orang untuk

membuangnya"

"Lantas, apa yang ku dengar dari para cleaning service

itu adalah benar??"

"ya, mereka benar. Setelah saya melakukan penelitian

ulang, ternyata kandungan cairan yang saya telah buat

mencipatakan virus yang bernama virus krippin."

"Aku tidak mengerti apa yang dimaksud profesor"

"Krippin virus awalnya diciptakan untuk serum

penyembuh kanker. Namun, mereka yang mengciptakan

gagal memasukan kadar dosis. Virus itu menular dan masih

Page 91: Blood District

menjadi virus paling berbahaya didunia karena belum

ditemukan penyembuhnya."

"Jadi, maksud profesor adalah Gamal terkena virus

tersebut akibat anjing itu??"

"ya, virus itu dengan cepat menyebar disaat hujan dan

ditempat kotor terutama gundukan sampah itu."

"Lantas mengapa profesor membuang anjing itu

disana??!!!!"

"Saat saya menyuruh sesorang untuk membuangnya,

saya belum meneliti dengan jelas apa yang terjadi pada

anjing itu. Beberapa hari yang lalu saya melihat Gamal dalam

keadaan mabuk dipinggir jalan dekat apartemen. Dan ia

masuk kedalam gang yang berisi gundukan sampah itu, saat

aku ingin menghampirinya tiba-tiba.."

Profesor Alex terdiam, dan hal itu membuatku naik

darah.

"Tiba-tiba apa prof?!!!!!"

"Aku melihat anjing itu dibelakangnya. Anjing itu

menariknya kedalam gundukan sampah itu.."

Page 92: Blood District

Aku tak menyangka atas pernyataan profesor, akupun

melemah.

"lalu.. apa yang harus kita lakukan sekarang.."

"Cara terbaik yang saya temukan setelah penelitian

kemarin adalah hanya dengan membunuhnya dan

menguburnya dalam-dalam agar virus itu tidak menyebar

lagi."

Aku menelan ludah, tak menyangka hal ini harus

terjadi pada temanku sendiri. Aku tak bisa menerima begitu

saja omongan profesor Alex. Aku meminta pertanggung

jawabannya dan ia berjanji akan menemukan serum

penyembuh secepatnya. Setelah semua urusanku dengannya

selesai, aku kembali ke apartemenku di lantai 14.

Profesor Alex terus mencoba setiap percobaannya

demi menemukan racikan serum yang sesungguhnya. Tanpa

kenal lelah dan terus bersemangat ia tidak tidur berhari-hari.

Begitu pula dengan sahabatku yang semakin hari semakin

kurus, bahkan sangat kurus hingga tulang pipinya terlihat

jelas membentuk dan kedua bola matanya yang menonjol

seakan ingin keluar, dan kulitnya yang mulai mengelupas.

Page 93: Blood District

Profesor tak mau putus asa, berulang kali ia menghela napas,

berulang kali ia mengelap keringat, dan berulang kali ia

menggaruk-garukkan kepalanya. yeah !

* * * * * * * * * *

Aku berjalan menuju lift dan menunggu hingga lift

terbuka. Hari itu aku berniat untuk mengunjungi profesor

Alex untuk menanyakan tentang serum yang sedang profesor

buat. Aku berdiri didepan lift, ditengah lorong remang dan

sangat sunyi. Memang setelah kejadian temanku yang sakit

tersebut, banyak sekali warga apartemenku yang pindah

ketempat lain. Hanya ada beberapa penghuni saja yg tersisa,

termasuk aku dan profesor.

Aku merasa ada yang ganjil. Aku merasa seperti ada

yang sedang memperhatikanku dari belakang. Setiap kali aku

menoleh ke arah belakang, hanya ada tembok yang

bertengger manis disana. Aku menghela napas, mencoba

untuk tenang. Akhirnya, liftpun terbuka. Saat hendak

memasuki lift, lagi lagi aku merasa seperti ada yang

Page 94: Blood District

mengikutiku untuk ikut masuk ke lift bersamaku. Rasa takut

semakin muncul dihadapanku, tak dipungkiri lagi bila aku

langsung masuk kedalam lift dan langsung menekan tombol

tutup, lalu langsung melihat kesekeliling lift yang hanya ada

aku dan udara di dalam sana.

Aku mengetuk pintu kamar apartemen profesor Alex.

Sudah beberapa kali aku mengetuk pintu namun tak ada

siapapun yang menyaut atau membukakan pintu.

"Sepertinya ia tak ada,"

Aku tak tahu kemana profesor pergi di malam hari

seperti ini. Aku memutuskan untuk kembali ke kamarku. Aku

berjalan ke lift, namun lift itu mendadak mati dan

membuatku mau tak mau menuruni tangga darurat dari

lantai paling atas hingga ke lantai 14. Aku menuruni tangga

dengan malas, Namun, tidak tahu mengapa kau terus merasa

risih seperti ada yang mengikuti dibelakang sana. Setiap

langkah ku iringi dengan menoleh kebelakang. Dan..

langkahku terhenti. Aku mendengar samar-samar suara

raungan anjing. Aku menoleh keseliling, tak ada apapun yang

tampak. Aku rasa itu hanya hayalanku semata. Aku

melanjutkan jalanku, menuruni tangga darurat yang masih

Page 95: Blood District

beberapa lantai lagi yang harus ku tapaki. Tiba-tiba, aku

terhenti kembali. Suara raungan itu telah hilang. Namun,

berganti dengan suara pijakan kaki orang yang sedang

berlari, dengan suara tawa yang terdengar jauh dari

telingaku. Sontak seluruh bulu kudukku berdiri. Aku menoleh

perlahan ke belakang. Dan...

Bertengger dibalik pintu darurat sekitar 6meter

dibelakangku. Yang terlihat hanya siluet dari setengah

tubuhnya dengan mata yang menusuk kearahku. Berdiri

terdiam dengan seekor anjing hitam berukuran setengah

tubuh manusia dan kilatan kedua bola matanya yang

berwarna merah. Aku merasakan ketakutan bukan main. Aku

ingin berteriak namun apa daya aku terpaku dan tak bisa

berbuat apa-apa. Aku mundur selangkah menuruni tangga.

Semua anggota tubuhku tergagap. Hingga bibirku tak bisa

berhenti bergetar. Aku tak bisa memalingkan pandangan atas

makhluk dihadapanku. Aku tetap mundur menuruni tangga

pelan-pelan. Tak sadar aku salah menginjakan kaki ku

ditangga tersebut. Aku jatuh bergelinding hingga kebawah

tangga. Rasa sakit dan pusing setelah terjatuh sudah tak

kurasakan lagi. Aku berdiri dan lari secepat yang aku bisa.

Aku berharap dua makhluk itu tak mengejarku. Namun,

Page 96: Blood District

harapanku terpecah saat aku mberlari sambil menoleh

kebelakang, aku melihat anjing itu mengejarku dengan cepat.

Aku berlari menuruni tangga dan membuka pintu lantai 16.

Dengan cepat aku menutup pintu darurat itu, dan anjing

tersebut menabrak dengan keras pintu yang kututup. Ia

mendobrak-dobrak pintu dengan tenaga yang besar. Aku tak

peduli, aku tetap berlari menuju tangga darurat lainnya. Aku

berlari sekuat yang aku bisa, hingga semua isi perutku

bergoyang dan membuat diriku mual. Ingin muntah rasanya.

Sekiranya dua makhluk itu telah jauh dari tubuhku, aku

berhenti sejenak karena lelah ditepi tangga darurat.

Terengah-engah jantungku memompa, napasku sudah tidak

beraturan lagi hembusannya. Sungguh aku sangat merasa

takut. Akhirnya aku menangis ditepi tangga darurat. Aku

menangis dan menahannya agar tidak terdengar. Menangis

sudah tak bisa menolongku lagi, aku mencoba agar tetap

tegar dan berani menghadapi apapun yang akan terjadi

selanjutnya hhhhhhhhh..

Masih ada satu lantai lagi yang harus kulewati di

tangga darurat ini. Aku mengendap-endap dan benar-benar

berhati-hati dalam melangkahkan kaki ini. Akhirnya lantai 14

Page 97: Blood District

pun aku pijaki. Kubuka pintu daruratnya dengan perlahan klk

!

AAAAAAAAAAAAAAARRRRRRGGGGGGHHHHHH !!!!!

Geraman dan teriakan Gamal disertai menyerangku. Aku

kaget bukan kepalang, dia mendorongku hingga aku terjatuh.

Ia berada diatasku, sambil mencekikku dengan kencang.

Rasanya aku sudah diambang kematian. Namun, aku tak

ingin hidupku hannya sampai disini, aku mencoba menahan

cekikannya dan mendorongnya sekuat tenaga. Namun,

semakin kencang aku mendorongnya, semakin ia

mengeratkan cekikannya. cekikan itu sampai membuat

wajahku memerah dan mengeluarkan urat. Mataku sudah

terasa panas dan hampir keluar dari kelopak. Air mata telah

mengalir dipipiku. Ku lihat disamping kiri terdapat sebongkah

linggis bekas para cleaning service membetulkan pintu, ku

coba untukmeraih linggir itu. tanganku terus mencoba

meraihnya, semakin dekat.. dekat.. Gamal semakin

mendekatkan wajahnya. Mulutnya terkesiap untuk terbuka,

taring-taringnya telah menyentuh leherku. DDGGG!!! aku

memukul bagian belakang kepalanya sekencang mungkin,

tubuhnya terjatuh diatasku. Dengan cepat aku langsung

menyingkirkan tubuhnya dan berlari sekuat tenaga.

Page 98: Blood District

Aku berlari menuju kamarku. Saat hendak membuka

pintu tiba-tiba anjing yang mengerikan itu berlari kearahku.

Aku sontak berlari terbirit-birit. namun hidung anjing itu

telah lebih dulu menyentuh kakiku. Aku terjatuh lagi, dan kali

ini lebih mengerikan. Anjing tersebut mendekat padaku

pelan-pelan sambil menatapku sadis. Aku menyeretkan

tubuhku mundur perlahan. Wajah panikku membuat anjing

itu semakin geram padaku. Aku terus mundur perlahan, dan

lerlintas dipikiranku sebatang linggis yang tadi kugenggam.

Aku meraih linggis itu, dan..

"AAAAAAAAAAAAAAAA!!!! MATI KAU !!! MATI !!!!!

MAATIIIIIIII !!!"

Teriakanku sambil memukuli Anjing itu tanpa belas

kasih. Anjing itu meraung-raung kesakitan. Aku memukulinya

dengan kencang dan tak henti. Semburan darah tak henti

pula keluar dari tubuh anjing itu setiap kali aku memukulnya,

darah yang keluar terpercik diwajah dan bajuku. Ku lihat

anjing itu sudah tak berdaya lagi. Tulang-tulangnya remuk

hingga rusuknya keluar dari dadanya, dan organ dalamnya

hancur karena pukulan-pukulan itu. Darah yang berlinangan

dimana-mana membuatku yakin, anjing itu mati. Tubuhku

Page 99: Blood District

bergetar dan napasku terengah-engah karena lelah.

Beberapa saat kemudian, aku menegakan tubuhku dan

berdiri, aku harus keluar dari apartemen mengerikan ini.

Tetapi, sesaat kemudian..

Hewan menyeramkan itu berdiri kembali dengan

gerak geriknya yang sekarat. Anjing itu mulai meraung lagi,

aku membalikan badan. Anjing itu tersigap untuk

menyerangku kembali, dan ternyata benar. Anjing itu

mencoba untuk menerkamku lagi, hewan itu menggigit kaki

kananku.. Rasa sakit yang luar biasa membuatku spontan,

linggis yang berada ditanganku ku angkat setinggi mungkin,

dan ku ayunkan lurus kearah bawah. Ku tusukkan ujung

linggis itu menembus kepala hingga keluar dari leher anjing

tersebut. Anjing itu langsung kaku dan membeku. Tusukan ku

tepat di pembuluh darah. Anjing itu tak lagi bergerak, dan

mengeluarkan darah berbau danur yang menjijikan.

Aku berjalan menuju sebuah tangga yang diapit dua

lift barang di lorong lantai 14. Aku berjalan tertatih-tatih

karena kakiku yang terluka parah, gigitan taring-taring tajam

anjing itu membentuk bolongan-bolongan kecil namun cukup

dalam. Disepanjang jalan menuruni tangga, darah terus-

Page 100: Blood District

menerus keluar dari kakiku hingga meninggalkan jejak

disetiap kramik putih yang ku pinjak. Tangga yang biasanya

dengan bugar kulewati ketika aku kesiangan untuk kuliah,

sekarang ini justru kebaliaknnya. Menuruni tangga ini

layaknya berjalan dipinggiran tol yang panjangnya

menyerupai tol yang menghubungkan antara Bandung dan

Jakarta. Keringatku bercucuran deras, darah yang terus

mengalir membuat diriku semakin lemas dan wajahku pucat.

Aku sudah tak bisa mengatur napasku dengan baik, ditambah

perasaan takut dan gelisah karena aku masih berada didalam

apartemen terkutuk ini. Selangkah demi selangkah, dengan

perjuanganku dan segala kesakitan yang kurasakan aku

sampai dilantai 7, tak ada siapapun yang terlihat, sepi..

sunyi.. Baru aku tersadar, tak ada seorangpun menghuni

apartemen ini lagi kecuali profesor Alex, aku, dan Gamal. Aku

sudah tak kuat lagi menahan rasa sakit pada kaki ini. Semua

ini benar-benar menguras tenagaku, dan darah yang hampir

habis dari dalam tubuhku. Mataku berkunang-kunang, aku

memutuskan untuk duduk didepan pintu salah satu kamar di

lantai 7. hhhhh.. Aku berinisiatif untuk menyobek lengan kaus

yang kupakai dan kulilitkan kaus itu di kaki yang terluka. Aku

hening sejenak, menstabilkan kondisi fisik dan jiwa. Beberapa

Page 101: Blood District

saat kemudian, aku mulai mencoba untuk berdiri. Tulang-

tulang kaki itu beradu dengan persendian di lutut dan

dipergelangan kaki ku, dan rasa sakitnya bukan main hingga

membuatku mengeluarkan air mata. Akhirnya, aku berhasil

berdiri dengan mengandalkan kaki kiri ku yang masih sehat.

Aku melupakan sesuatu..

"AAAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRGGGGGGHHHHH

!!!!!!"

Ia mendorongku, pintu tempat ku bersinggah hancur

berkeping-keping karena kencangnya dorongan itu terhadap

tubuhku. Aku mencoba tetap sadar, dan memaksa badanku

agar mundur menjauh dari makhluk mengerikan itu.

"Jangan.. Tolong jangan.."

Makhluk itu hanya menatap diriku dengan taring-

taringnya yang mengatup-ngatup disertai lendir hitam yang

tergantung disetiap celah dalam bibirnnya, dan kedua bola

matanya yang memerah darah.

"Mal.. Tolong Mal.. apakah kau tidak ingat padaku?

Sadar Gamal ! Sadar !!"

Page 102: Blood District

Namun makhluk itu tetap mendekat. Makhluk itu

semakin mendekat, dan ia membuka lebar mulutnya dan

hendak mengigitku. Tak sempat taringnya menyentuh

wajahku, aku berlari sekuat tenaga dan mencari sesuatu

untuk membunuhnya. Akhirnya, kuambil sebuah pisau dapur

yang terdapat didalam kamar itu. Tepat.

Makhluk menyeramkan yang dulunya adalah sahabat

sejatiku berada 5 meter dihadapanku. Aku siap untuk

membunuhnya, aku ikhlas bila harus membunuhnya. Aku

mendahuluinya, ku berlari kearahnya dengan sebuah pisau

yang sudah pasti akan menusuk tubuhnya. Ku tusuk makhluk

itu tanpa henti, berulang-ulang, hingga ia berteriak dan

mengeluarkan darah yang disertai lendir yang keluar dari

mulutnya. Tubuhnya runtuh, terkapar dibawah kaki ku. Aku

menangis, mengingat ia adalah Gamal sahabatku yang paling

aku sayangi. Tubuhku lelah dan lemas atas semua yang

terjadi. Aku duduk lemas dihadapan jasad Gamal. Air mata

tak henti mengalir dipipiku, aku teringat bagaimana aku dan

Gamal pertama bertemu hingga terakhir aku tertawa

bersmanya. Namun..

Page 103: Blood District

Makhluk itu sekejab menarik tubuhku jatuh

telentang diatas lantai penuh darah. Ia bangkit, berteriak-

teriak keras dan sangat mengerikan. Aku pasrah.. Aku sudah

lelah dengan semuanya. Sahabat, kerabat, keluarga, dan

profesor Alex meninggalkanku. Sudah puas dengan

teriakannya, makhluk itu menoleh kearahku bersiap untuk

menyantapku. Aku memejamkan kedua mataku, mem flash

back semua kenangan masa lalu sebelum aku mati. Makhluk

itu mendekat.. mendekat.. dan..

"AAAARRGGHH...!!!"

Ia menggigitku. Menusukan taring-taringnya dalam.

Mencabik-cabik leher hingga dadaku. Semua rasa sakit itu

sudah bercampur aduk dengan kesedihan dan kepasrahan.

Penglihatan, pendengaran, seluruh panca indra tubuh ini

mulai samar dan mati rasa. Dan tiba-tiba.. Sesosok pria

berteriak, ia memengang kapak sambil diayunkan

kepunggung Gamal. Dan menancap tepat dipunggungnya.

Semua samar, yang ku lihat Gamal mengamuk, dan

menyerang pria itu. Tapi pria itu melawan dengan sepenuh

tenaganya. Ternyata, profesor. Profesor Alex mencoba

menolongku atas semua hal mengerikan ini. Profesor

Page 104: Blood District

mendorong makhuk itu ke tembok dan menarik kapak yang

menancap dipunggung makhluk tersebut. Ia melakukan hal

yang sama denganku, menancapkannya berkali-kali hingga ia

benar-benar mati. Dengan seluruh tenaganya Ia

menancapkan kapak itu di bagian kepalanya. Wajahnya

terbelah dan mengeluarkan darah berbau busuk yang sangat

banyak. Tubuh itu sekarat. Profesor menariknya,

mendorongnya dengan kencang hingga tubuh makhluk itu

terhempas tak bernyawa menembus jendela kaca dan

melayang jatuh diatas jalanan aspal dengan seluruh

tubuhnya yang hancur tak berbentuk lagi. hanya itu yang

kulihat dengan samar.. Lalu profesor mendekat padaku,

dan... Gelap. Cabikan demi cabikan taring makhluk itu telah

memutuskan nadiku. Membuatku tak sadarkan diri,

selamanya.

hhhhh..

"Gamal.... Gamal, hahaha seharusnya aku yang

meminumnya sebelum kau."

"Hahaha iya maafkan aku, tapi air terjun ini sejuk

sekali.. Baiklah, kalau begitu hukum aku. Apa yang kau ingin

aku lakukan?"

Page 105: Blood District

"Mmmmmm ok.. tutup matamu."

"Baiklah, sudah."

"Sekarang kau boleh membuka mata"

"Waaaaaaah.. Indah sekali, bagaimana kau menangkap

sebanyak ini?"

"Siapa dulu dong.. Loni.."

"hahahaha.. kalau begitu, aku juga punya hadiah

untukmu."

Gamal membungkukkan tubuhnya dihadapanku,

menggendongku dibelakang punggungnya. kami tertawa

bahagia sepanjang perjalanan dipinggir hamparan sungai

yang sangat indah dan dihiasi taman lili berwarna-warni

disekelilingnya, di sebuah alam yang tak terbatas oleh

apapun. Berjalan santai sambil membawa setoples kunang-

kunang bercahaya terang yang ku tangkap.

"Berjanjilah kau takkan meninggalkanku selamanya."

"Dikehidupan yang abadi ini aku berjanji takkan

meninggalkanmu selamanya."

Page 106: Blood District

"Aku menyayangimu, Gamal."

"Aku menyayangimu, Loni.."

* * * * * * * * * *

Pemerintah kota setempat merasa menyesal atas apa

yang terjadi,

dan langsung menindak lanjuti gundukan sampah yang

berada disamping apartemen dan disekitarnya.

Profesor Alex kini berhasil menciptakan serum untuk

menangkal

segala jenis virus apapun, ia juga mendapatkan

banyak apresiasi dari warga setempat dan pemerintah.

Ia sekarang terus mencoba inovasi baru.

Ia juga membuat sebuah program rutin yang

berhubungan dengan kesehatan untuk warga sekitar, dan

semuanya bertujuan sosial dan gratis.

Page 107: Blood District

Tak ada lagi hal-hal mengerikan yang terjadi semenjak

gundukan sampah itu tiada.

Semua warga termasuk para pemerintah saat ini mulai

menjalani

hidup bersih, sehat, dan taat pada peraturan daerah

setempat.

Begitu juga Loni dan Gamal.

Mereka hidup bahagia dan damai, selamanya..

Page 108: Blood District

TENTANG PENULIS

Halo. Ini dia lembar penulis yang tentunya paling dikepoin

sama pembaca. Sebelumnya kita mau cerita dulu ya. Jadi,

buku ini karya Tea, Dika, Lala, Oki dan Budi. Siapakah kita?

TARAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!! Mari kita

ulas kilasan dibawah ini.

Tea, nama lengkapnya Hesty Indah Pratiwi. Lahir di Jambi, 10

Januari 1995. Cewek yang hobi menulis dan tidur ini punya

banyak cerita dalam hidupnya jadi kalo yang penasaran

dengan tulisannya, coba cek blognya di

http://gryllidae.wordpress.com. Berbeda dengan Mahardhika

atau yang sering disapa Dika ini. Cewek kelahiran 27 Oktober

1994 di Jakarta ini sukanya design dan kuliner, jadi jangan

heran kalau buku ini full design by Dika.

Satu lagi penulis cewek, Falah Yuni yang bentar lagi berubah

nama menjadi Falah Unique ini sering dipanggil dengan

sebutan “Lala”. Pecinta Winnie The Pooh ini membuat salah

satu cerita yang mengulas tentang persahabatan yang

direnggut kematian. Wow, bukan?!

Page 109: Blood District

Kita punya dua superman yang bersedia menjadi penulis

cerita, ada Oki dan Budi. @okitabes, begitulah nama

twitternya. Oki yang sayang banget sama vespanya ini punya

cerita yang begitu mengagetkan. Ayo coba tebak yang mana

cerita dari Oki! :D

Budi. Ini dia cowok yang suka ngabisin duitnya cuma buat

nonton konser terutama band jazz kayak Maliq atau White

Shoes. Cerita konyol komedi horor yang dibuat Budi cukup

menggelikan, selamat menikmati ya!

Oke terima kasih buat yang udah bersedia membaca buku

kumpulan cerita sederhana dari kami, Lima Sekawan yang

unyu-unyu ini. Semoga bukunya gak kalian sia-siain gitu aja

dan semoga kami bisa berkarya lebih baik lagi, amin. Salam

hangat dari kami ya! :*

Keep contact with us!

@teaaw @mahardhikaRI @falahyunilala @okitabes

@monkeyDbuddy

Page 110: Blood District