blok respirasi

49
Tuberkulosis Paru Dalam Pengobatan A2 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510 Telephone: (021) 5694-2061 (hunting) A. Pendahuluan Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyakit tertua yang mengenai manusia dan merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia secara luas. Penyakit ini disebabkan olek Mycobacterium tuberculosis kompleks dan biasanya mengenai paru, meskipun pada sepertiga kasus terdapat keterlibatan dengan organ-organ lain. Jika TB ditatalaksana dengan baik, terutama TB yang masih rentan dengan pengobatan, dapat menghasilkan hasil yang baik. Jika tidak diterapi, perjalanan penyakit dapat menjadi fatal dalam 5 tahun pada 50-65% kasus. Transmisi utama biasanya melalui droplet yang dikeluarkan oleh pasien dengan TB pulmoner yang infeksius. 1 Skenario yang didapat adalah sebagai berikut: “Tn. A, usia 35 tahun datang untuk mengetahui kondisi penyakit TB parunya. Pasien mempunyai riwayat pengobatan TB 2x. pertama kali berobat pasien hanya minum obat selama sekitar 1 bulan kemudian tidak melanjutkan pengobatannya lagi. Saat ini pasien menjalani pengobatan TB yang ke-2 kalinya, pasien mengaku mendapatkan obat suntik kali ini, dan sudah berjalan selama 6 bulan.” Berdasarkan skenario tersebut, maka akan dibahas mulai dari anatomi dan 1

description

alooo

Transcript of blok respirasi

Tuberkulosis Paru Dalam Pengobatan

A2

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510

Telephone: (021) 5694-2061 (hunting) 

A. Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyakit tertua yang mengenai manusia

dan merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia secara luas. Penyakit ini

disebabkan olek Mycobacterium tuberculosis kompleks dan biasanya mengenai paru,

meskipun pada sepertiga kasus terdapat keterlibatan dengan organ-organ lain. Jika TB

ditatalaksana dengan baik, terutama TB yang masih rentan dengan pengobatan, dapat

menghasilkan hasil yang baik. Jika tidak diterapi, perjalanan penyakit dapat menjadi

fatal dalam 5 tahun pada 50-65% kasus. Transmisi utama biasanya melalui droplet

yang dikeluarkan oleh pasien dengan TB pulmoner yang infeksius.1

Skenario yang didapat adalah sebagai berikut: “Tn. A, usia 35 tahun datang

untuk mengetahui kondisi penyakit TB parunya. Pasien mempunyai riwayat

pengobatan TB 2x. pertama kali berobat pasien hanya minum obat selama sekitar 1

bulan kemudian tidak melanjutkan pengobatannya lagi. Saat ini pasien menjalani

pengobatan TB yang ke-2 kalinya, pasien mengaku mendapatkan obat suntik kali ini,

dan sudah berjalan selama 6 bulan.” Berdasarkan skenario tersebut, maka akan

dibahas mulai dari anatomi dan fisiologi paru secara singkat, dan kemudian akan

dilanjutkan mengenai TB mulai dari etiologi hingga pengobatannya, terutama

pengobatan TB yang resisten terhadap obat-obatan.

B. Isi

Anatomi Paru (Pulmo)

Masing-masing paru memiliki apex pulmonis yang tumpul, menonjol ke atas

ke dalam leher di atas clavicula; basis pulmonis yang konkaf tempat terdapat

diafragma; facies costalis yang konveks yang disebabkan oleh dinding thorax yang

konkaf; facies mediastinalis yang konkaf yang merupakan cetakan pericardium dan

strukutr mediastinum lainnya. Di tengah facies mediastinalis terdapat hilum pulmonis,

1

yaitu sebuah cekungan tempat bronchus, pembuluh darah, dan saraf yang membentuk

radix pulmonis masuk dan keluar paru.2

Pulmo dexter sedikit lebih besar dari pulmo sinister dan dibagi oleh fissura

oblique dan fissura horizontalis pulmonis dextri menjadi tiga lobus: lobus superior,

lobus medius, dan lobus inferior.Pulmo sinister juga dibagi oleh fissura oblique

dengan cara yang sama menjadi dua lobus, lobus superior dan lobus inferior. Pada

pulmo sinister tidak ada fissura horizontalis.2

Pada paru dikenal istilah segmenta bronchopulmonalia, merupakan unit paru

secara anatomi, fungsi, dan pembedahan. Setiap bronchus lobaris (sekunder) yang

berjalan ke lobus paru mempercabangkan bronchi segmentales (tertier). Setiap

bronchus segmentalis masuk ke unit paru yang secara struktur dan fungsi adalah

independen dan disebut segmenta bronchopulmonalia. Segmenta bronchopulmonalia

utama adalah sebagai berikut:2

1. Pulmo dexter:

a. Lobus superior:Segmentum apicale, segmentum posterius, segmentum

anterius.

b. Lobus medius:Segmentum laterale, segmentum mediale.

c. Lobus inferior:Segmentum superius, segmentum basale mediale,

segmentum basale ,segmentum basale laterale, segmentum basale

posterius.

2. Pulmo sinister:

a. Lobus superior:Segmentum apicoposterius, segmentum anterius,

segmentum lingulare superius, segmentum lingulare inferius,

segmentum superius.

b. Lobus inferior: Segmentum basale mediale, segmentum basale

anterius, segmentum basale laterale, segmentum basale posterius,

basal, segmentum postero-basal.

Bronchi, jaringan ikat paru, dan pleura visceralis menerima darah dari arteriae

bronchiales yang merupakan cabang aorta descendens. Venae bronchiales

mengalirkan darahnya ke vena azygos dan vena hemiazygos. Alveoli menerima darah

terdeoksigenasi dari cabang-cabang terminal arteriae pulmonales. Darah yang

teroksigenasi meninggalkan kapiler-kapiler alveoli masuk ke cabang-cabang venae

pulmonales.2

2

Pada radix setiap paru terdapat plexus pulmonalis yang terdiri atas serabut

eferen dan aferen saraf otonom. Plexus dibentuk dari cabang-cabang truncus

symphaticus dan menerima serabut-serabut parasimpatis dari n. vagus. Serabut-

serabut eferen simpatis menyebabkan branchodilatasi dan vasokonstriksi. Serabut-

serabut eferen parasimpatis menyebabkan bronchokonstriksi, vasodilatasi, dan

peningkatan sekresi kelenjar.2

Mekanika Pernapasan

Udara cenderung mengalir dari daerah dengan tekanan tinggi ke daerah

dengan tekanan rendah, yaitu menuruni gradien tekanan. Udara mengalir masuk dan

keluar paru selama tindakan bernapas karena berpindah mengikuti gradien tekanan

antara alveolus dan atmosfer yang berbalik arah secara bergantian dan ditimbulkan

oleh aktivitas siklik otot pernapasan. Terdapat tiga tekanan yang berperan penting

dalam ventilasi:3

1. Tekanan atmosfer (barometrik), adalah tekanan yang ditimbulkan oleh berat

udara di atmosfer pada benda di permukaan bumi. Pada ketinggian permukaan

laut tekanan ini sama dengan 760 mmHg. Tekanan atmosfer berkurang seiring

dengan penambahan ketinggian di atas permukaan laut karena lapisan-lapisan

udara di atas permukaan bumi juga semakin menipis.

2. Tekanan intra-alveolus, yang juga dikenal sebagai tekanan intraparu, adalah

tekanan di dalam alveolus. Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer

melalui saluran napas penghantar, udara cepat mengalir menuruni gradien

tekanannya setiap tekanan intra-alveolus berbeda dari tekanan atmosfer; udara

terus-menerus mengalir sampai kedua tekanan seimbang.

3. Tekanan intrapleura, adalah tekanan di dalam kantong pleura. Tekanan ini,

yang juga dikenal sebagai tekanan intrathoraks, adalah tekanan yang

ditimbulkan di luar paru di dalam rongga thoraks. Tekanan intrapleura

biasanya lebih rendah daripada tekanan atmosfer, rerata 756 mmHg saat

istirahat. Tekanan intrapleura tidak menyeimbangkan diri dengan tekanan

atmosfer atau intra-alveolus karena tidak ada komunikasi langsung antara

rongga pleura dan atmosfer atau paru. Karena kantung pleura adalah suatu

kantung tertutup tanpa lubang, maka udara tidak dapat masuk atau keluar

meskipun mungkin terdapat gradien tekanan antara kantung pleura dan daerah

sekitar.

3

Rongga thoraks lebih besar dari pada paru yang tidak teregang karena dinding

thoraks tumbuh lebih cepat dari pada paru sewaktu perkembangannya. Namum, dua

gaya: daya kohesif (rekat) cairan intrapleura dan gradien tekanan transmural

menahan dinding thoraks dan paru saling berdekatan, meregangkan paru untuk

mengisi rongga thorak yang lebih besar.3

Daya kohesif caitan intrapleura: molekul-molekul air di dalam cairan

intrapleura menahan tarikan yang memisahkan mereka karena molekul-molekul ini

bersifat polar dan saling tarik. Daya rekat yang terbentuk di cairan intrapleura

cenderung menahan dua permukaan pleura menyatu, karena itu cairan intrapleura

dapat dianggap sebagai “lem” antara bagian dalam dinding thoraks dan paru.

Gradien tekanan transmural: tekanan intra-alveolus, yang menyeimbangkan

diri dengan tekanan atmosfer pada 760 mmHg, lebih besar dari pada tekanan

intrapleura yang hanya 756 mmHg, sehingga tekanan yang menekan ke luar dinding

paru jauh lebih besar dari pada tekanan yang mendorong ke dalam. Perbedaan netto

tekanan ke arah luar ini, gradien tekanan transmural, mendorong paru ke luar,

meregangkan, atau menyebabkan distensi paru (trans artinya melintasi, mural artinya

dinding). Karena gradien tekanan ini, maka paru selalu dipaksa mengembang untuk

mengisi rongga thoraks. Terdapat gradien tekanan transmural serupa di kedua sisi

dinding thoraks. Tekanan atmosfer yang mendorong ke arah dalam pada dinding

thoraks jauh lebih besar dari pada tekanan intrapleura yang mendorong ke luar

dinding yang sama sehingga dinding dada cenderung “terperas” atau mengalami

kompresi dibandingkan dengan jika dalam keadaan tidak dibatasi.3

Karena baik dinding thoraks maupun paru tidak berada dalam posisi alaminya

ketika keduanya saling menempel, maka keduanya secara terus-menerus berupaya

untuk kembali ke dimensi-dimensi inheren mereka. Paru yang teregang memiliki

kecenderungan tertarik ke dalam menjauhi dinding thoraks sedangkan dinding thoraks

yang tertekan cenderung bergerak ke luar menjauhi paru. Namun, gradien tekanan

transmural dan daya rekat cairan intrapleura mencegah kedua struktur ini saling

menjauh kecuali untuk jarak yang sangat kecil. Meskipun demikian, pengembangan

ringan rongga pleura yang terjadi sudah cukup untuk menurunkan tekanan intrapleura

ke tingkat subatmosfer sebesar 756 mmHg. Penurunan tekanan ini terjadi karena

rongga pleura terisi oleh cairan, yang tidak dapat mengembang untuk mengisi volume

yang sedikit bertambah. Karena itu, terbentuk ruang vakum di ruang yang sangat kecil

di rongga pleura yang sedikit mengembang yang tidak ditempati oleh cairan

4

intrapleura, menyebabkan penurunan kecil tekanan intrapleura di bawah tekanan

atmosfer.3

Anamnesis

Anamnesis adalah tindakan untuk mengambil informasi sebanyak-

banyaknya dari pasien untuk mendapatkan diagnosis pasien tersebut. Pada kasus ini,

pasien sudah mengatakan bahwa pasien menderita TB. Namun sekarang pasien

tersebut menceritakan riwayat pengobatan pasien tersebut. Pasien tersebut pernah

menjalani pengobatan dan sempat menghentikannya, dan sekarang sedang dalam

pengobatan yang kedua kalinya. Resiko yang diperkirakan adalah apakah bakteri TB

dalam tubuh pasien menjadi resisten atau tidak terhadap obat (drug-resistant M.

tuberculosis). Pasien dengan TB resisten obat perlu ditangani lebih lanjut dengan

penanganan yang jauh lebih serius. Anamnesis yang perlu ditanyakan pada pasien

seperti ini adalah menanyakan riwayat berapa lama pengobatan pada saat pertama kali

diberi obat, apa saja jenis obat yang diberikan pada saat pertama kali diberi obat.

Selanjutnya menanykan riwayat pengobatan yang sekarang sedang dijalani oleh

pasien, obat apa saja yang diberikan, dalam bentuk sediaan seperti apa, serta sudah

berapa lama, teratur atau tidak. Selanjutnya menanyakan apakah ada gejala-gejala

yang masih timbul yang berhubungan dengan penyakit TBnya selama dilakukan

pengobatan yang kedua kali ini, yaitu apakah terdapat lelah berlebihan, penurunan

berat badan, demam, berkeringat malam hari, batuk yang produktif. Tanyakan

bagaimana batuk pasien tersebut, apakah mengandung darah, bagaimana sputum yang

keluar, dan sebagainya. Jika gejala-gejala tersebut tetap timbul, diperkirakan bakteri

TB di dalam tubuh pasien sudah resisten terhadap pengobatan yang diberikan.4

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa tanda-

tanda vital. Tanda-tanda vital merupakan enam parameter tubuh: tekanan darah,

denyut nadi, pernapasan, suhu tubuh, tinggi dan berat badan. Parameter-parameter ini

menilai fungsi fisiologis sebagai dasar untuk menentukan tindakan selanjutnya.

Sebagian kesalahan paling serius yang terjadi disebabkan oleh kegagalan

menginterpretasikan atau bereaksi terhadap perubahan tanda-tanda vital. Pada kasus

TB yang sedang dalam pengobatan ini tidak ada penemuan yang cukup spesifik,

mungkin ada sedikit demam jika pengobatan tidak berhasil.5

5

Selanjutnya dilakukan 4 pemeriksaan fisik dasar yaitu inspeksi, palpasi,

perkusi, dan auskultasi. Pada TB tidak ada hasil pemeriksaan yang cukup spesifik,

bahkan pemeriksaan dapat menunjukkan hasil yang normal atau posttussive apical

rales (crackles in apex after cough).4,5

Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan pada pasien TB adalah

pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien yang mungkin ditemukan

konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (sub febris),

badan kurus atau berat badan menurun.6

Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun

terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik.

Demikian juga bila sarang penyakit terletak didalam, akan sulit menemukan kelainan

fisik, karena hantaran atau getaran suara yang lebih dari 4 cm kedalam paru sulit

dinilai secara palpasi, perkusi, dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan

fisik, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.6

Tempat kelainan lesi pada TB paru yang paling di curigai adalah apex paru.

Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup

dan auskultasi suara napas bronkial. Akan didapat juga suara napas tambahan berupa

ronki basah,kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura,

suara napasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar,

perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi akan menimbulkan

suara amforik.6

Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi

dan retraksi otot-otot intercostal. Bagian paru yang sakit bisa jadi sirosis atau menciut

dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat akan menjadi

lebihhiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah

jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya

meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya cor

pulmonal dan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia dan sianosis.6

TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat

agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi

memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.6

Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru

dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau

uji tuberkulin positif.6

6

Pemeriksaan Penunjang

AFB Microscopy

Diagnosis presumtif biasanya dilakukan dengan pewarnaan BTA yang

dilihat secara mikroskopis menggunakan spesiem diagnostik seperti sputum. Teknik

tradisional lainnya dengan menggunakan pewarnaan Ziehl-Neelsen memberikan hasil

yang cukup memuaskan, meskipun memakan waktu lebih lama. Pemeriksaan lab yang

lebih modern dan dapat menggunakan lebih banyak spesimen adalah dengan

pewarnaan auramine-rhodamine dan mikroskop fluoroskopi. Mikroskop LED

fluoresens juga sudah tersedia dan tidak semahal mikroskop fluoresens.1

Untuk pasien yang dicurigai TB, maka direkomendasikan untuk dicek

sputum pasien 2-3 spesimen, terutama sputum pagi hari, lalu dilakukan pewarnaan

BTA dan kultur. Jika mengambil spesimen berupa jaringan/biopsi, jaringan untuk

kultur tersebut tidak boleh diletakkan pada formaldehid. Tindakan pewarnaan BTA

melalui urin atau cairan gaster sangat terbatas karena adanya mikobakterium

komensal dalam tubuh yang dapat menghasilkan false-positive.1

Mycobacterial Culture

Diagnosis definitif tergantung pada isolasi dan identifikasi dari M.

tuberkulosis melalui spesimen klinis atau dengan identifikasi sekuens DNA yang

spesifik dengan nucleic acid ampificaion test. Spesimen diinokulasikan pada medium

berbasis telur atau agar (contoh: Lowenstein-Jensen atau Middlebrook 7H10) dan

diinkubasikan pada suhu 37oC (dibawah 5oC untuk medium Middlebrook). Karena

kebanyakan spesies mikobakterium, termasuk M. tuberkolusis, tumbuh dengan

lambat, maka dibutuhkan 4-8 minggu untuk koloni bisa tumbuh dan terdeteksi.

Meskipun M. tuberkulosis dapat terdeteksi secara presumtif dengan cara melihat ciri-

ciri pertumbuhannya, pigmentasi serta morfologinya, namun tetap saja diperlukan

berbagai tes biokimia yang secara tradisional digunakan untuk memastikan spesies

tersebut. Tersedia juga cara lain yang memerlukan waktu yang relatif singkat (2-3

minggu), yaitu dengan rapid immunochromatographic lateral flow assay yang

mendeteksi antigen MTP64 untuk mendeteksi spesies pada kumpulan M. tuberkulosis

complex.1

Nucleic Acid Amplification

7

Teknik diagnostik ini adalah dengan mengamplifikasi asam nukleat dari

mikobakterium. Teknik ini hanya membutuhkan beberapa jam saja untuk mendeteksi

kuman TB dengan sensitivitas dan spesifitas tinggi. Tes ini sangat berguna untuk

konfirmasi TB yang cepat pada pasien dengan spesimen BTA [+], namun juga dapat

digunakan untuk diagnosis pasien dengan BTA [-] baik pulmonary ataupun

extrapulmonary.1

Drug Susceptibility Testing

Koloni M. tuberkulosis yang sudah terisolasi harus dilakukan tes

sensitivitas terhadap isoniazid dan rifampin untuk memastikan MDR-TB (multi drug

resistant-TB), terutama jika terdapat satu atau lebih faktor yang beresiko terjadinya

TB resisten obat seperti misalnya pasien tidak berespon terhadap pengobatan yang

sesuai dan terjadi relaps setelah pengobatan selesai. Selain itu, tes resistensi yang

lebih jauh terhadap obat anti-TB lini kedua (terutama untuk fluorokuinolon dan obat-

obat injeksi) wajib dilakukan jika telah dipastikan terjadinya MDR-TB. Tes resistensi

dapat dilakukan dengan dua cara, direct (dengan spesimen pasien) ataupun indirect

(melalui kultur mikobakterium) pada medium padat atau cair. Hasil resistensi dapat

didapat lebih cepat dengan menggunakan medium cair dengan waktu laporan sekitar 3

minggu. Dengan menggunakan teknik indirek pada medium padat, hasil masih dapat

tidak terdeteksi bahkan saat sudah lebih dari 8 minggu.1

Radiographic Procedures

Kecurigaan terhadap TB biasanya muncul karena pemeriksaan radiologis

yang abnormal pada pasien dengan gangguan respiratorius. Meskipun gambaran

klasik yang muncul biasanya adalah gangguan pada lobus atas dengan berupa

infiltrate dan kavitas, gambaran lainnya seperti nodul soliter hingga infiltrat alveolar

difus pada ARDS dapat saja terlihat. Pada era AIDS, tidak ada gambaran radiologis

yang dapat terlihat atau diperhitungkan sebagai patognomonik. CT scan dapat

digunakan untuk mencari kelainan yang tidak dapat dijelaskan dengan foto toraks, dan

juga dapat berguna dalam mendiagnosis TB ekstrapulmoner. MRI juga dapat

digunakan untuk diagnosis TB intrakranial.1

Pemeriksaan radiologis sebenarnya merupakan cara yang praktis untuk

menemukan lesi tuberkulosis. Meskipun membutuhkan lebih dibandingkan dengan

pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan keuntungan seperti

8

pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal di atas, diagnosis

dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum

hampir selalu negatif.6

Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apical

lobus atas atau segmen apical lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah

(bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat

lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-

bercak seperti awan dengan batas yang tidak jelas. Bila lesi sudah diliputi jaringan

ikat maka bayangan terlihat jelas berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini

disebut sebagai tuberkuloma.6

Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.

Lama-lama dinding menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis

terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai

bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelectasis terlihat sebagai fibrosis

yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun

pada satu bagian paru.6

Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang

umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.6

Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan

sekaligus (pada tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis fibrotic,

kalsifikasi, kavitas (sklerotik/non sklerotik) maupun atelectasis dan emfisema.6

Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama

gambaran radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator.

Gambaran infiltrate dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis

paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering

diartikan sebagai abses paru. Selain itu perlu diingat juga faktor kesalahan membaca

foto, yang mencapai 25%.6

Tuberculin Test

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan

diagnosis TB terutama pada anak-anak. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah

seseorang individu pernah atau sedang mengalami infeksi Mycobacterium

tuberculosis, Mycobacterium bovis, vaksinasi BCG, dan mycobacteria patogen

lainnya.6

9

Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi tipe lambat. Baik dengan penularan

kuman patogen baik yang virulen atau tidak tubuh manusia akan mengadakan reaksi

immunologi dengan dibentuknya antibodi selular pada permulaan dan kemudian

diikuti oleh pembentukan antibodi humoral yang dalam peranannya akan menekan

antibodi selular. Bila pembentukkan antibodi selular sangat cukup misalnya pada

penularan dengan kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau

keadaan dimana antibodi humoral sangat berkurang, maka akan mudah terjadi

penyakit sesudah penularan.6

Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi beruap

indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan

antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan

antibodi dan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar

pengaruh antibodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.6

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil tes Mantoux ini dibagi dalam:6

1. Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity.

Di sini peran antibodi humoral paling menonjol.

2. Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Di sini

peran antibodi humoral masih menonjol.

3. Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan normal sensitivity. Di sini

peran kedua antibodi seimbang.

4. Indurasi lebih dari 15 mm: Mantoux positif kuat = golong hypersensitivity. Di

sini peran antibodi selular paling menonjol.

Biasanya hampir seluruh pasien TB menunjukkan hasil mantoux yang positif.

Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian vaksin BCG dan

infeksi dengan mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemui daripada

positif palsu. Negatif palsu juga dapat terjadi pada orang-orang yang anergi.6

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan darah, saat TBC baru mulai (aktif) maka leukosit sedikit

meninggi, sedangkan limfosit masih dibawah normal, dan LED sedikit meninggi. Bila

penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal, limfosit mulai meninggi dan

LED mulai kembali normal. Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah

10

takahashi. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses TB masih aktif atau tidak.

Kriteria yang dipakai di Indonesia adalah 1/128. Pemeriksaan ini juga kurang dapat

perhatian karena nilai positif palsu dan negatif palsu masih besar.

Lain halnya dengan pemeriksaan darah, pemeriksaan sputum cukup penting

karena dengan pemeriksaan sputum, kita dapat melihat adanya kuman BTA jika

memang pasien menderita TB. Tetapi pemeriksaan sputum juga tidak mudah,

terutama pasien yang tidak batuk atau batuk non produktif. Biasanya pasien di suruh

minum air 2 liter dan diajarkan refleks batuk. Atau bisa juga diberikan mukolitik

ekspektorant.6

Interpretasi hasil pemeriksaan BTA berdasarkan Skala IUATLD

(International Union Againts Tuberculosis and Lung Diseases) adalah sebagai

berikut:6

1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang : Tidak Ditemukan

2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang : tulis jumlah BTA

3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang : + atau (1+)

4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang : ++ atau (2+)

5. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang : +++ atau (3+)

Diagnosis

Dari uraian di atas, tuberkulosis paru dapat dikenal dari keluhan klinis,

kelainan fisis, kelainan radiologis sampai dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam

prakteknya tidaklah selalu mudah menegakkan diagnosisnya. Menurut American

Thoracic Society dan WHO 1964 diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan

menemukan kuman Mycobacterium tuberculosae dalam sputum atau jaringan paru

secara biakan. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan sputum yang

positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus atau pasien

tidak dapat membatukkan dengan baik. Kelainan baru jelas setelah penyakit berlanjut

sekali.6

Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis di atas karena fasilitas

laboratorium yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan. Sebenarnya dengan

menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum secara mikroskopik biasa, sudah

cukup untuk memastikan diagnosis tuberkulosis paru, karena kekerapan

Mycobacterium atipic di Indonesia sangat rendah. Sungguhpun begitu hanya 30-70%

saja dari seluruh kasus tuberkulosis paru yang dapat didiagnosis secara bakteriologi.

11

Diagnosis tuberkulosis paru masih banyak ditegakkan berdasarkan kelainan

klinis dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup banyak

sehingga memberikan efek terhadap pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan.

Oleh sebab itu dalam diagnosis tuberkulosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis,

status bakteriologi, status radiologis dan status kemoterapi.

WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien tuberkulosis paru sebagai

berikut:6

Pasien dengan sputum BTA positif: 1. Pasien yang pada pemeriksaan

sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2

kali pemeriksaan atau 2. Satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan

radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif, atau 3. Satu sediaan

sputumnya positif disertai biakan yang positif.

Pasien dengan sputum BTA negatif: 1. Pasien yang pada pemeriksaan

sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2 kali

pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif atau, 2. Pasien

yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA

sama sekali, tetapi pada biakannya positif.

Di samping TB paru terdapat juga TB ekstra paru, yakni pasien dengan

kelainan histologi atau/dengan gambaran klinis sesuai dengan TB aktif atau pasien

dengan satu sediaan dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil M. tuberculosae.

Di luar pembagian tersebut di atas pasien digolongkan lagi berdasarkan

riwayat penyakitnya, yakni:6

Kasus baru, yakni pasien yang tidak mendapat obat anti TB lebih dari 1 bulan.

Kasus kambuh, yakni pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB, tetapi

kemudian timbul lagi TB aktifnya.

Kasus gagal (semar positive failure), yakni :

Pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapat obat anti

TB lebih dari 5 bulan, atau

Pasien yang menghentikan pengobatannya setelah mendapat obat anti

TB 1-5 bulan dan sputum BTA-nya masih positif.

Kasus kronik, yakni pasien yang sputumnya BTAnya tetap positif setelah

mendapat pengobatan ulang (retreatment) lengkap yang di supervisi dengan

baik.

12

Hal lain yang agak jarang ditemukan adalah cryptic tiberculosis. Di sini

pemeriksaan radiologis dan laboratorium/sputum menunjukkan hasil negatif dan

kelainan klinisnya sangat minimal (biasanya demam saja dan dianggap sebagai fever

of unknown origin. Diagnosis diberikan berdasarkan percobaan terapi dengan anti

tuberkulosis seperti INH + Etambutol selama 2 minggu. Bila keluhan membaik terapi

dengan obat anti tuberkulosis diteruskan sebagaimana mestinya. Bila tidak ada

perbaikan maka obat-obat di atas dihentikan.6

Diagnosis Banding

MDR-TB

Resistensi terhadap OAT, sudah lama menjadi salah satu kendala penting

dalam pengobatan TB. Semua diperkirakan, dengan tersedianya obat TB yang ampuh

maka resistensi dapat ditekan. Kenyataannya, tersedianya obat yang ampuh tetapi jika

tidak diberikan secara baik ternyata menimbulkan masalah resistensi, bahkan

resistensi ganda (RG)/MDR (multiple drug resistansce). Artinya, kuman TB sudah

resisten terhadap rifampisin dan INH, dengan atau tanpa resisten terhadap obat anti

TB lainnya. Laporan menghebohkan pertama tentang resistensi ganda datang dari

Amerika Serikat, khususnya pada penderita TB dan AIDS, yang menimbulkan

kematian amat tinggi (70-90%) dalam waktu hanya 4-16 minggu antara diagnosis

sampai terjadinya kematian.7

Dewasa ini, lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi kuman TB

yang resisten terhadap OAT, baik rifampisin, INH, dan OAT lainnya. Insiden MDR

diperkirakan meningkat 2% setiap tahunnya. WHO memperkirakan, hampir setengah

juta pasien MDR-TD di dunia, sekitar 5% dari seluruh kasus TB baru di dunia.

Indonesia saat ini sedang mengumpulkan data resistensi di berbagai provinsi. Data

awal dari Jawa Tengah menunjukkan MDR pada pasien baru sebesar 1,71% dan pada

pasien lama 14,29%. Angka ini masih dalam analisis dan belum final. WHO

memperkirakan MDR primer di Indonesia sekitar 2%.7

Orang yang kontak dengan pasien MDR-TB berisiko menderita TB 8%

dalam 2 tahun. Pada mereka yang dicurigai tertular MDR-TB, Center of Fiseases

Control (CDC) menganjurkan pemberikan kemoterapi profilaksis berupa PZA +

Etambutol atau PZA + kuinolon selama 6 bulan untuk HIV [-] dan 1 tahun untuk

pasien dengan HIV [+].7

13

Beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap obat TB adalah sebagai

berikut:7

1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan TB.

2. Penggunakan panduan pengobatan yang tidak memadai, baik karena jenis obat

yang tidak tepat seperti misalnya hanya memberikan INH dan etambutol pada

awal pengobatan, maupun karena lingkungan itu telah tercatat adanya

resistensi yang tinggi terhadap orang yang digunakan, misalnya memberikan

rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat

tersebut.

3. Fenomena “addition syndrome, yaitu hanya satu obat yang ditambahkan dalam

suatu regimen pengobatan yang gagal. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman

TB telah resisten pada regimen yang pertama, maka “penambahan” (addition)

satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten

saja.

4. Penggunaan FDC (Fixed Dose Combination) yang produksi tidak dilakukan

dengan baik, sehingga mengganggu bioavailabilitas ibat. Hal ini dilaporkan

terjadi di India.

5. Penyediaan obat yang tidak regular, kadang-kadang obat datang ke suatu

daerah dan kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.

6. Konsumsi obat TB yang tidak teratur. Missal, hanya dimakan 2-3 minggu lalu

stop, lalu setelah 2 bulan berhenti. Berpindah dokter mendapatkan obat

kembali untuk 2-3 bulan lalu stop lagi, dan demikian seterusnya.

Mathal menyatakan, resistensi juga dapat terjadi karena “kesalahan”

berbagai pihak, seperti:7

1. Dokter, karena memberikan OAT secara tidak tepat, baik dosis maupun

lamanya.

2. Pasien, karena kurangnya compliance, terjadinya malabsorpsi atau faktor

finansial.

3. Obatnya, karena dibuat secara substandard, formulasinya salah serta buruknya

bioavailabilitas hasil produksi.

4. Pelayanan kesehatan, karena tidak terjaminnya ketersediaan obat.

Kaidah umum pengobatan MDR-TB antara lain menggunakan 4 obat yang

masih sensitif, lama pengobatan bisa mencapai 18-24 bulan; 6 bulan di antaranya

14

adalah obat suntik, dan dilakukan di pusat rujukan. Pada keadaan tertentu, pengobatan

pasien MDR-TB mungkin perlu tindakan pembedahan.7

Obat yang digunakan pada dasarnya adalah obat yang tergolong lini kedua,

yaitu:7

1. Aminoglikosida, misalnya amikasin dan kanamisin.

2. Polipeptida, misalnya kapreomisin.

3. Fluorokuinolon, misalnya moksifloksasin, gatifloksasin, siprofloksasin.

4. Tionamide, misalnya etionamid dan proteonamid.

5. Analog serin, misalnya sikloserin.

6. PAS.

Buku Guidelines for the Pro-grammatic Management of Drug-Resistant

Tuberculosis (2006) membagi obat-obat ini dalam 5 kelompok7

1. Kelompok 1, obat TB lini pertama, yang hanya digunakan bila terbukti masih

sensitif.

2. Kelompok 2, obat suntik. Yang terbaik dan bila masih sensitif adalah

streptomisin. Terbaik kedua adalah kanamisin atau amikasin, dan pilihan

selanjutnya adalah kapreomisin atau viomisin.

3. Kelompok 3, fluorokuinolon. Urutan potensinya: moksifloksasin =

gatifloksasin > levofloksasin > ofloksasin = siprofloksasin.

4. Kelompok 4, bakteriostatik oral lini kedua. Bila hanya satu yang diperlukan,

pilihannya adalah etionamid atau proteonamid atau PAS. Kalau diperlukan 2

obat, dapat ditambahkan sikloserin.

5. Kelompok 5, obat-obat lain yang bukti ilmiahnya masih belum jelas.

Kendati mendapat pengobatan dengan obat TB lini kedua, hasilnya belum

tentu memuaskan. Data sampai tahun 2007 dari Green Light Committee (badan dunia

yang menangani pengobatan TB) menunjukkan, pada 23.256 pasien MDR di 51

negara, angka rata-rata keberhasilan pengobatan MDR adalah 62%. Data angka

kesembuhan di Korea 44,1%, Perancis 33%, Peru 48%, Latvia 66%, dan Turki 77%.7

XDR-TB

Dengan perkembangan waktu, ilmu dan teknologi kedokteran di bidang TB

terus meningkat. Tetapi, yang berkembang bukan hanya teknologi, kuman juga ikut

berkembang dan makin pintar. Setelah kebal/tidak dapat dibunuh dengan rifampisin

dan INH sehingga terjadi resistensi ganda, ternyata kuman bisa kebal dengan semua

15

obat lini pertama. Jenis kuman ini disebut super strain, yang juga sudah ditemukan di

Indonesia. Selain itu, ada strain kuman khusus yang lebih “ganas”, yaitu strain Beijing

dan strain Manila.

Pada September 2006, dunia dihadapkan pada satu jenis kuman TB baru,

yang disebut sebagai XDR-TB. Begitu bahayanya jenis kuman ini sampai dikatakan,

“XDR-TB is very serious—We are potentially getting close to a bacteria that we have

no tools, no weapons against.” XDR (extreme drug resistance) atau extensive drug

resistance, yaitu kuman MDR yang juga resisten terhadap fluorokuinolon dan obat

suntik. Ini situasi yang mencemaskan karena praktis tidak dapat diobati. Laporan dari

daerah Kwazulu Natal di Afrika Selatan, September 2006, menyebutkan 52 dari 53

pasien XDR (yang juga HIV +) meninggal dalam 25 hari. Yang lebih

mengkhawatirkan, 2 dari 52 pasien yang meninggal tersebut merupakan dokter dan

perawat. Walaupun data masih terbatasm sejauh ini tak kurang dari 45 negara sudah

melaporkan setidaknya 1 kasus XDR-TB. Pengumpulan data oleh WHO pada 4.012

pasien MDR-TB menunjukkan, 301 (7%) orang di antaranya ternyata sudah menjadi

XDR-TB.7

Ada 7 hal penting yang harus dilakukan suatu negara dalam hal XDR,

yaitu:7

1. Lakukan survey cepat tentang jenis kuman TB yang ada.

2. Tingkatkan kemampuan laboratorium setempat.

3. Perbaiki kemampuan petugas kesehatan yang menangani pasien dan juga

petugas kesehatan masyarakat, dalam menjaga kemungkinan terjadinya

outbreak XDR seperti yang telah terjadi di Afrika Selatan.

4. Laksanakan program penanggulangan infeksi dengan ketat.

5. Tingkatkan upaya riset untuk menemukan obat TB yang baru.

6. Tingkatkan upaya riset untuk menemukan tes diagnostik TB yang cepat dan

akurat.

7. Sediakan akses yang mudah untuk mendapatkan antiretrovirals dalam suatu

program kolaborasi TB dan HIV.

Dengan adanya XDR, berkembang diskusi untuk melakukan kultur dan uji

resistensi pada semua pasien TB. Dasar pemikirannya, antara lain, supaya mutu

pelayanan meingkat. Hal ini ideal dilakukan, hanya saja masalah sumber daya perlu

dipikirkan.7

16

TDR-TB

TDR adalah totally drug resistant tuberkulosis, merupakan strain TB yang

resisten terhadap semua jenis pengobatan. Di Mumbai sudah terdeteksi sekitar 12

pasien dengan TDR-TB. TDR-TB juga pernah dilaporkan di negara Iran (2009) dan

Italy (2007). Penyebabnya adalah kesalahan kesehatan public, dan harus bisa diterima

oleh negara tersebut. Pasien dengan TDR-TB sudah sangat mengkhawatirkan, karena

biasanya meninggal dan tidak tertolong. Seorang dokter di India, Zarir Udwadia

sedang mencoba memikirkan kemungkinan pengobatan yang bisa berguna, seperti

contohnya INH double dose, antibiotik keras seperti linezolid, anti lepra seperti

klofazimin, anti psikotik seperti thioridazine, dan meropenem dan klavulanat, yang

dilaporkan memiliki beberapa efek terhadap TB pada tikus.8

Etiologi

Mycobacteria termasuk ke dalam famili Mycobacteriaceae dan dalam ordo

Actinomycetales. Spesies yang patogen disebut sebagai kompleks M. tuberculosis,

dan spesies terpenting bagi manusia adalah M. tuberculosis. Kompleks tersebut terdiri

dari M. bovis (the bovine tubercle bacillus—mempunyai karakteristik yang resisten

terhadap pyrazinamide, merupakan TB yang ditularkan melalui susu yang tidak

terpasteurisasi, memiliki persentase kecil penyebab TB di dunia), M. caprae

(berhubungan dengan M. bovis), M. africanum (diisolasi di Afrika), M. microti

(bentuk basilus yang seberti “tikus”, kurang virulen dan jarang menginfeksi), M.

pinnipedii (basilus yang menginfeksi anjing laut, dan dapat menginfeksi manusia),

dan M. canetti (jarang sekali diisolasi, berasal dari kasus yang berada Afrika Timur,

memperlihatkan koloni halus yang tidak biasa pada media solid dan diperkirakan

sebagai tipe progenitor).1

Epidemiologi

Faktor-faktor yang berkaitan dengan penyebaran penyakit tuberkulosis paru

adalah keadaan sosioekonomi dan masalah yang berkaitan dengan kesehatan

(misalnya alkoholisme, tuna wisma, meningkatnya kasus AIDS dan infeksi HIV).

Risiko yang lebih besar adalah pada individu yang imunosupresif, khususnya yang

menderita HIV karena HIV merusak limfosit dan monosit yang merupakan sel

pertahanan primer untuk melawan infeksi tuberkulosis.9

            Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh

17

Mycobacterium tuberkulosis. Diperkirakan 95% kasus tuberkulosis dan 98% kematian

akibat tuberkulosis didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga

kematian wanita akibat tuberkulosis lebih banyak dari pada kematian karena

kehamilan, persalinan dan nifas.10

            Di Indonesia, tuberkulosis paru merupakan masalah utama kesehatan

masyarakat. Jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di

dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah

pasien tuberkulosis didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000

kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus tuberkulosis batang tahan

asam positif sekitar 110 per 100.000 penduduk.10

            Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien

tuberkulosis adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS

(Human Immunodeficiency Virus Infection / Acquired Immunodeficiency Syndrome)

dan malnutrisi (gizi buruk).10

            HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi

tuberkulosis menjadi sakit tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas

sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi

penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi

sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV

meningkat, maka jumlah pasien tuberkulosis akan meningkat, dengan demikian

penularan tuberkulosis di masyarakat akan meningkat pula.10

Patogenesis

Tuberkulosis Primer

Interaksi antara M. tuberculosis dengan manusia dimuali ketika droplet

yang mengandung bakteri TB terhirup oleh seseorang. Penularan tuberkulosis paru

terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei

dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama

1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan

kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat bertahan berhari-hari

sampai berbulan-bulan. Bila partikel ini infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan

menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar

bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh

neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau

18

dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan

silia dan sekretnya.1,6

Bila kuman menetap di jaringan paru dan berkembang biak dalam sito-plasma

makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang

bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil

yang disebut sarang primer atau sarang Ghon atau afek primer. Sarang primer ini

dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka

terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui sistem gastrointestinal,

jaringan limfe, orofaring dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri

masuk ke dalam vena dan menjalar ke semua organ termasuk paru, otak, ginjal dan

tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian

paru menjadi TB milier.1,6,11

Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus

(limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus

(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional disebut

kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks

primer ini dapat berlanjut menjadi:6

Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang paling sering terjadi.

Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,

kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya

lebih dari 5 milimeter dan 10 persen di antaranya dapat terjadi reaktivasi

karena ada kuman yang dormant.

Berkomplikasi dan menyebar secara perkontinuitatum (menyebar ke

sekitarnya), menyebar secara bronkogen para paru yang bersangkutan maupun

paru di sebelahnya. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah

sehingga menyebar ke usus dan menyebar secara limfogen ke organ tubuh

lainnya, dan dapat juga menyebar secara hematogen.

Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun

kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post

primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%.

Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas yang menurun seperti malnutrisi,

19

alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer

ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-

posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru

bukan ke nodul hilus paru.6

Sarang dini ini mula-mula berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10

minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel

Histiosit dan sel Datia-Langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit serta berbagai

jaringan ikat.6

TB pasca primer dapat terjadi atau berasal dari infeksi eksogen dari usia muda

dan menjadi TB usia tua, tergantung dari jumlah kuman dan virulensi serta imunitas

pasien. Sarang dini dapat menjadi:6

Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan

jaringan fibrosis. Ada juga yang membungkus diri dan mengeras ada juga

yang menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma

berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya

mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan

keju dibatukkan keluar maka akan terjadi kavitas. Kavitas ini mula-mula

berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan

fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik).

Terjadi perkijauan dan kavitas adalah kerena hidrolisis protein lipid dan asam

nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag dan proses berlebihan

sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijauan lain yang jarang adalah

crypticdisseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.

Di sini lesi sangat kecil tetapi berisi bakteri sangat banyak, kavitas dapat:6

Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini

masuk ke dalam peredaran darah arteri, maka akan menjadi TB milier dan

dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk ke lambung menjadi

TB usus. Bila juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema

bila ruptur ke pleura.

Memadatdan membungkus diri menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat

mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan kavitas

20

lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti

Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma.

Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity. Dapat menyembuh

dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai

kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut

stellate shaped.

Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam ‘sarang’ yakni:6

1. Sarang yang sudah sembuh, sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi.

2. Sarang aktif eksudatif. Sarang ini perlu pengobatan yang lengkap dan

sempurna.

3. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh

spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali,

sebaiknya diberi pengobatan yang sempurna juga.

Klasifikasi Tuberkulosis

Sampai sekarang belum ada kesepakatan di antara para klinikus, ahli radiologi,

mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi

tuberkulosis. Dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti:6

Pembagian secara patologis

Tuberkulosis primer (childhood tuberkulosis)

Tubekulosis post-primer (adult tuberkulosis)

Pembagian secara aktivitas radiologis tuberkulosis paru (Koch Pulmonum)

aktif, non aktif dan quiscent (bentuk aktif yang mulai menyembuh).

Pembagian secara radiologis (luas lesi)

Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat non-kavitas

pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi

satu lobus paru.

Moderately advenced tuberkulosis. Ada kavitas diameter lebih dari 4

cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru.

Bila bayangannya kasar dan tidak lebih dari sepertiga bagian paru.

Far advanced tuberkulosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang

melebihi keadaan pada moderately advenced tuberkulosis.

21

Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru

yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat:6

Kategori 0: tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif,

tes tuberkulin negatif.

Kategori I: terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Di sini

riwayat kontak positif, tes tuberkulin negatif.

Kategori II: terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberkulin positif,

radiologis dan sputum negatif.

Kategori III: terinfeksi tuberkulosis dan sakit.

Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan

klinis, radiologis dan mikrobiologi:6

Tuberkulosis paru

Bekas tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam:

Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Di sini sputum BTA negatif,

tetapi tanda-tanda lain positif.

Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Di sini sputum BTA

negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.

Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk

TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan: (1)

status bakteriologi, (2) mikroskopik sputum BTA (langsung), (3) biakan sputum BTA,

(4) status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru, (5) status

kemoterapi, riwayat pengobatan dengan anti obat tuberkulosis.

WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:6

Kategori I, ditujukan terhadap:

Kasus baru dengan sputum positif

Kasus baru dengan batuk TB berat

Kategori II, ditujukan terhadap:

Kasus kambuh

Kasus gagal dengan sputum BTA positif

22

Kategori III, ditujukan terhadap:

Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas

Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I

Kategori IV, di tujukan terhadap: TB kronik.

Manifestasi Klinis

Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam- macam atau

malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam

pemeriksaan kesehatan. Keluhan terbanyak adalah demam, batuk darah, sesak napas,

nyeri dada, dan malaise.6

Demam biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-

kadang panas badan dapat mencapai 400-410C. Serangan demam pertama dapat

sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kebali. Begitulah seterusnya hilang

timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari

serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh

pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.6

Kedua adalah gejala batuk/ batuk darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk

terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang

produk- produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak

sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru

yakni setelah berminggu- minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat

batuk dimulai dari batuk kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi

produktif. Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh

darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas,

tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.6

Ketiga adalah sesak napas. Pada penyakit yang ringan atau baru tumbuh

belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah

lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.6

Keempat adalah nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada

timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/ melepaskan napasnya.6

23

Lalu yang kelima adalah malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang

menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan,

badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat

malam dan lain-lainnya. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang

timbul secara tidak teratur.6

Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan tuberkulosis ialah memusnahkan basic tuberkulosis

dengan cepat dan mencegah kambuh. Selain itu juga bertujuan mengurangi transmisi

TB kepada orang lain dan mencegah.memperlambat timbulnya resistensi TB terhadap

obat. Idealnya pengobatan untuk menghasilkan pemeriksaan sputum negatif baik pada

uji hapusan dahak maupun biakan kuman, dan hasil ini tetap negatif untuk selamanya.

Ada kesepakatan umum bahwa apa yang disebut sebagai panduan pengobatan yang

efektif ialah panduan pengobatan yang gagal-kambuhnya kurang dari 5%.12

Pemilihan Obat

Ada dua prinsip pengobatan TB, yaitu (1) paling sedikit menggunakan dua

obat, dan (2) pengobatan harus berlangsung setidaknya 3-6 bulan setelah sputum

negatif untuk tujuan sterilisasi lesi dan mencegah kambuh.12

Hanya basil yang sedang membelah yang dapat dibunuh oleh OAT. Bakteri

TB bersifat aerob obligat, karena frekuensi pembelahan dan aktivitas metabolismenya

bervariasi tergantung kadar oksigen di tempat hidupnya.12

Pada dasarnya terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberkulosis

yakni:6

Aktivitas bakterisida. Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang

sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif). Aktivitas baktersid biasanya

diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau melenyapkan kuman

sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari

permulaan pengobatan).

Aktivitas sterilisasi. Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang

pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif). Aktivitas sterilisasi di

ukur dari angka sekambuhan setelah pengobatan dihentikan.

24

Hampir semua obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisida kecuali

etambutol dan tiazeton yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk

mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat.6

Rimfapisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik,

sedangkan INH dan streptomisin menempati urutan yang lebih bawah.Rimfampisin

dan INH disebut bakterisida yang lengkap (comolete bactericidal drug) oleh karena

kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Pirazinamid bekerja dalam

lingkungan asam sedangkan streptomisin dalam lingkungan basa.6

Resimen Pengobatan Saat Ini (Metode Dots)

Kategori I. Pasien tuberkulosis paru (TBP) dengan sputum BTA positif dan

kasus baru, TBP lainnya dalam keadaan TB berat, seperti meningitis tuberkulosis,

miliaris, perikarditis, peritonitis, pleruritis masif atau bilateral, spondilitis dengan

gangguan neurologik, sputum BTA negatif tetapi kelainan di paru luar, tuberkulosis

usus dan saluran kemih. Pengobatan fase inisial resimennya terdiri dari 2 HRZS (E),

setiap hari selama dua bulan obat H, R, Z dan S atau E. Sputum BTA awal yang

positif setelah dua bulan diharapkan menjadi negatif dan kemudian dilanjutkan ke

fase lanjutan 4HR atau 4H3R3 atau 6HE. Apabila sputum BTA masih tetap positif

selama dua bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi, tanpa melihat

apakah sputum sudah negatif atau tidak.

Kategori 2. Pasien kasus kambuh atau gagal dengan sputum BTA positif.

Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE, yaitu R dengan H, Z, E setiap

hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum

BTA menjadi negatif, fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih

positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila

akhir bulan ke-4 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari

dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai resimen

fase lanjutan yaitu 5H3R3E3 atau 5HRE.9

Kategori 3. Pasien TBP dengan sputum BTA negatif tetapi kelainan paru tidak

luas dan kasus ekstra-pulmonal (selain dari kategori 1). Pengobatan fase inisial terdiri

dari 2HRZ atau 2 H3R3E3Z3 , yang diteruskan dengan fase lanjutan 2HR atau H3R3.

Kategori 4. Tuberkulosis kronik. Pada pasien ini mungkin mengalami resistensi

ganda, sputumnya harus di kultur dan uji kepekaan obat. Untuk seumur hidup diberi

25

H saja (WHO) atau sesuai rekomendasi WHO untuk Pengobatan TB resistensi ganda

(multidrug resistan tuberkulosis – MRD-TB).6

Evaluasi PengobatanKlinis. Biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap

dua minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir

pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien

seperti batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat

badan meningkat dan sebagainya.6

Bakteriologis. Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai

menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sebulan sekali. Bila

sudah negatif sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut.

Radiologis. Evaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi.

Beberapa ahli kedokteran menyatakan evaluasi radiologis ini sebenarnya kurang

begitu berperan dalam evaluasi penyakitnya. Bila secara bakteriologi ada perbaikan

tetapi secara klinis dan radiologis tidak, harus dicurigai penyakit lain di samping

tuberkulosis paru. Bila secara klinis, bakteriologi dan radiologis tetap tidak ada

perbaikan padahal pasien sudah diobati dengan dosis adekuat serta teratur, perlu

dipikirkan adanya gangguan imunologis pada pasien tersebut, antara lain AIDS.6

Pengobatan Drug-Resistant TB

Strain M. tuberkulosis yang resisten terhadap salah satu jenis obat terjadi

karena mutasi titik spontan pada genom bakteri. TB resisten obat dapat terjadi secara

acquired ataupun primary. Primary drug resistance terjadi pada pasien yang terinfeksi

dan belum pernah diterapi sebelumnya, sedangkan acquired drug resistance terjadi

karena pemberian regimen yang tidak sesuai atau faktor-faktor lainnya. MDR-TB

sudah cukup membuat masalah serius pada kasus TB, ditambah dengan adanya XDR

yang merupakan strain MDR yang resisten terhadap semua fluorokuinolon dan salah

satu dari tiga obat injeksi lini kedua (amikasin, kanamisin, capreomisin).1

Pasien dengan XDR-TB memiliki pengobatan yang lebih sedikit dan

prognosis yang buruk. Berikut adalah langkah-langkah penanganan XDR-TB:1

1. Gunakan obat TB oral lini pertama apapun yang mungkin saha bisa efektif.

2. Gunakan obat injeksi yang masih sensitif dan diberikan pada jangka waktu

lebih lama (12 bulan atau digunakan selama keseluruhan terapi).

26

3. Gunakan fluorokuinolon generasi akhir seperti moxifloksasin.

4. Gunakan semua obat TB oral lini kedua yang belum pernah digunakan

sebelumnya.

5. Gunakan dua atau lebih beberapa jenis obat yang tidak diketahui peranannya

dalam TB yaitu klofazimin, amoxicillin/asam klavulanat, klaritromisin,

imipenem, linezolid, thiacetazone.

6. Pertimbangkan pengobatan dengan INH dosis tinggu jika terbukti belum

begitu resisten terhadap obat ini.

7. Pertimbangkan tindakan pembedahan jika penyakit terlokalisir.

8. Pantau klinis dan perkembangan pasien.

Komplikasi

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan

menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi

lanjut.Komplikasi dini contohnya pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus,

Poncet’s arthropathy. Komplikasi lanjut contohnya obstruksi jalan napas – SOPT

(Sindroma Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat menjadi fibrosis

paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa

(ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.1

Vaksinasi

Kini, vaksin TB dalam bentuk BCG dikenal sebagai vaksin yang paling luas

digunakan di dunia, tapi cukup kontroversional dan banyak dibicarakan. Keterbatasan

kemampuan vaksin BGC merupakan salah satu mata rantai penting sulitnya upaya

mengeradikasi TB dari muka bumi. Selain efektivitasnya yang terbatas, utamanya

hanya untuk melindungi TB berat seperti TB milier dan meningitis TB, juga berapa

lama sebagai persistence of BCG-induced immune responses, juga masih belum jelas.7

Vaksin BCG diberikan pada usia 0 – 2 bulan. Apabila BCG akan diberikan

pada umur lebih dari 3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu dan

BCG diberikan apabila ujituberkulin negatif.7

Kini telah dikembangkan kemungkinan vaksin baru untuk TB, antara lain

dalam bentuk:7

Recombinant fusion protein in adjuvant

27

Vectored vaccines, yaitu MVA recombinant, Adenovirus recombinant dan oral

shigella auxotroph dsRNA expression system

Heat shock associated protein

Baru-baru ini,para ahli Oxford, Inggris, menyatakan mereka menemukan

kandidat vaksin TB baru yang diberi nama MVA 85A. Vaksin ini adalah virus MVA

yang telah menjalani modifikasi genetik, sehingga tepat berhubungan dengan antigen

penting TB yaitu antigen 85A. penelitian pendahuluan menunjukkan, vaksin MVA-

based punya sifat boosting amat baik pada mereka yang telah memiliki respons imun

primer. Mereka sedang meneliti, apakah MVA-85A dapat bersifat boosting terhadap

respons imun yang dihasilkan vaksinasi BCG.7

Program Penanggulangan

Program penanggulangan yang kini dianut luas adalah yang dikenal dengan

program DOTS (Directly Observed Treatment Short Course), yang mengandung lima

komponen. Pertama, adanya komitmen politik untuk menanggulangi TB. Komitmen

ini diterjemahkan dalam 3 hal penting yaitu: penentuan kebijakan, mobilisasi sumber

daya dengan pemeriksaan mikroskopik. Sudah dibahas bahwa upaya sebenarnya,

diperlukan teknik diagnosis baru agar upaya penemuan pasien dapat lebih efektif.7

Aspek ketiga adalah pemberian obat yang diawasi secara langsung, dikenal

dengan istilah DOT (directly observed therapy). Kini aspek ini telah diterapkan secara

luas, kendati kalau ada obat baru yang mempersingkat masa pengobatan tentu akan

amat bermanfaat dalam kepatuhan pasien. Aspek keempat adalah terjaminnya

kesediaan obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu. Aspek kelima adalah

sistem monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baik. Pencatatan sistem kohort

untuk mengetahui dan mengamati perkembangan pengobatan dan keberhasilan obat.7

C. Kesimpulan

Tuberkulosis merupakan penyakit yang perlu mendapat perhatian serius

terutama dalam hal pengobatan. Pengobatan yang benar dan tepat serta kepatuhan

pasien dalam minum obat memberikan prognosis yang baik. Tetapi kurangnya

kepatuhan minum obat akan membuat kuman TB menjadi resisten dan dapat

berkembang menjadi MDR-TB, XDR-TB, hingga TDR-TB. Jika berkembang

28

menjadi demikian, maka pengobatan akan lebih sulit, perjalanan penyakit dapat

menjadi lebih berbahaya, dan prognosis akan jauh lebih buruk.

D. Daftar Pustaka

1. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s

principles of internal medicine. 18thed Vol II. Philadelphia: The McGraw-Hill

Companies; 2012. p. 1340-59.

2. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC, 2006. h. 54-61, 88-96.

29

3. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC, 2012. h. 496-534.

4. McPhee SJ, Papadakis MA. Current medical diagnosis & treatment. USA: The

McGrawHill Companies; 2013. p. 280.

5. Lukmanto H. Diagnosis fisik. Edisi ke-17. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;

1995. h. 67.

6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 2232-38.

7. Adimata TY. Tuberkulosis, masalah dan perkembangannya. Ethical Digest 2008

November; 57 Tahun VI; h. 61-72.

8. Loewenberg S. India reports cases of totally drug-resistant tuberculosis. TheLancet.

2012. Jan; 372. p. 205.

9. Price SA. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010. h. 852.

10. Gerdunas TB. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Edisi ke-2. Jakarta:

Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2007. h. 4.

11. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Dasar patologis penyakit. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC, 2010 : 392-9.

12. Wilmana PF, Gan S. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;

2012. h. 624.

30