Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3
-
Upload
rifni-arneswari-fardianingtyas -
Category
Documents
-
view
152 -
download
16
Transcript of Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3
1
LAPORAN TUTORIALSKENARIO 3 BLOK PSIKIATRI
RASANYA SEPERTI MAU MATI SEBAGAI MANIFESTASI KLINIS GANGGUAN PSIKIATRI SERTA DIAGNOSIS
BANDINGNYA
Oleh :Kelompok 14
Arum Alfiyah Fahmi (G0010028)
Candra Aji Setiawan (G0010038)
Coraega Gena Ernestine (G0010046)
Erma Malindha (G0010074)
Gunung Mahameru (G0010088)
Namira Qisthina (G0010134)
Paksi Suryo Bawono (G0010148)
Puji Rahmawati (G0010154)
Satria Adi Putra (G0010172)
Yunita Asri Pertiwi (G0010202)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2012
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan mental/gangguan jiwa menurut PPDGJ II yang merujuk
pada DSM III adalah sindrom atau pola perilaku seseorang yang secara klinik
cukup bermakna dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan
(distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi
yang penting dari manusia. Gangguan mental dapat berupa gangguan psikotik
yang dapat bersifat akut dan sementara yang perbedaannya didasarkan pada
lamanya durasi simptom yang ada.
Pedoman diagnosis gangguan psikosis didasarkan pada urutan
prioritas yang dipakai yang meliputi onset yang akut, sindrom yang khas,
adanya stress akut, tidak diketahui berapa lama gangguan akan berlangsung,
dan tidak ada penyebab organik. Pedoman diagnosis tersebut penting karena
macam-macam gangguan psikotik mempunyai kriteria diagnosis masing-
masing.
Berikut ini adalah permasalahan pada skenario 3.
Rasanya Seperti Mau Mati!
Seorang wanita, Ny.M, 40 tahun, dibawa ke UGD RS DR Moewardi
Surakarta karena tiba-tiba sesak napas, seperti tercekik, keluar keringat
dingin, dan berdebar-debar. Pasien mengatakan rasanya seperti mau mati.
Kejadian seperti ini pernah dialami oleh pasien 2 minggu sebelumnya
sehingga menjalani rawat inap di RS selama 5 hari. Pada saat itu tekanan
darah 150/90 mmHg. Setelah kejadian hari pertama tersebut sampai saat ini
pasien merasa khawatir mengalami serangan jantung atau stroke. Badan
terasa tidak sehat sehingga tidak dapat bekerja. Disamping itu pasien juga
menjadi tidak nafsu makan dan nafsu seks menurun.
Dari pemeriksaan status mental didapatkan agoraphobia dan
preokupasi terhadap serangan jantung atau stroke.
3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme psikoneuroimmunology (PNI) dan jalur aksis
HPA?
2. Bagaimana pathogenesis dan patofisiologi terjadinya gejala yang dialami
pasien?
3. Bagaimana respon tubuh terhadap faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi fisik ?
4. Mengapa pasien bisa mengalami preokupasi?
5. Bagaimana proses dan efek serangan konsisi psikis pasien?
6. Bagaimana fisiologi dan gangguan psikoseksual?
7. Apa faktor risiko, penyebab, dan gejala agoraphobia?
8. Bagaimana faktor biologi yang berperan dalam menimbulkan kecemasan?
9. Apa saja faktor risiko timbulnya kelainan yang terjadi pada pasien?
10. Apakah gejala yang dialami pasien tersebut mempengaruhi tekanan
darahnya? Bagaimana mekanismenya?
11. Mengapa pasien mengalami preokupasi terhadap penyakit jantung atau
stroke?
12. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dibutukan untuk menegakka
diagnosis?
13. Apa saja differential diagnosis pada pasien tersebut?
14. Bagaimanakah penatalaksanaan yang tepat dari pasien?
15. Apa saja terapi pendahuluan yang diberikan oleh dokter kepada pasien?
16. Apa saja tindakan preventif untuk edukasi pasien?
17. Bagaimana komplikasi dan prognosis kasus pada skenario?
C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa dapat memahami patofisiologi psikosomatik dan somatopsikis
gangguan psikotik.
4
2. Mahasiswa dapat memahami dan dapat menjelaskan patofisiologi dan
patogenesis keluhan pada pasien gangguan psikotik.
3. Mahasiswa dapat memahami konsep otak dan sistem neuroendokrin pada
gangguan jiwa.
4. Mahasiswa dapat memahami konsstes.ep mekanisme dan respon tubuh
terhadap
5. Mahasiswa dapat memahami prosedur penegakan diagnosis dan terapi
holistik dengan mempertimbangkan faktor bio-psiko-sosio-spiritual.
6. Mahasiswa dapat mempelajari differential diagnosis pada kasus scenario.
7. Mahasiswa dapat mempelajari pencegahan, komplikasi, dan prognosis
gangguan jiwa seperti pada kasus scenario.
D. Manfaat Penulisan
Setelah terselesaikan laporan tutorial ini, kami berharap laporan tutorial ini :
1. Dapat digunakan sebagai salah satu kriteria penilaian dalam kegiatan
diskusi tutorial.
2. Dapat menjadi sebuah gambaran pengkajian sebuah skenario mengenai
psikiatri.
3. Dapat dijadikan sebagai sarana evaluasi dalam kegiatan tutorial
selanjutnya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Psikoneuroimmunology (PNI) – Jalur Aksis HPA
PNI merupakan ilmu pengetahuan yang menggabungkan obat-obatan
dan ilmu pengetahuan sosial. Suatu pandangan interdisiplin pada etiologi dan
pengobatan dari banyak penyakit yang diperkuat dengan konsep holistik
secara empiris dalam pengobatan. Penyakit adalah akibat dari kolapsnya
mekanisme pertahanan terhadap stres. Sistem saraf, hormonal dan sistem
imun adalah satu kesatuan. Lingkungan sosial dan stres mempengaruhi
kepribadian individu dan menyebabkan penyakit, terutama menyebabkan
imunosupresi (Maren et al., 2012).
PNI berkonsep stress cell adalah pandangan fundamental tentang
pokok persoalan dalam PNI yang didasari oleh pemahaman sel yang
mengalami stress.Agar tidak menimbulkan salah persepsi perihal
pemberlakuan paradigma tersebut, perlu dipahami bahwa hubungan otak
dengan sistem imun melalui hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA) axis dan
autonomic nervous system (ANS) (Maren et al., 2012).
Stressor ditangkap oleh sel PVN dan sel di locus cereleus
noradrenergic center di hipotalamus, kedua sel tersebut mengalami aktivasi
atau stress tahap 1 sehingga mensekresi CRH dan APV. Kedua molekul
mengirim sinyal ke sel di hipotalamus sehingga mensekresi POMC, terutama
ACTH, sel di hipotalamus mengalami stres tahap 1 (aktivasi). Kemudian
ACTH ditangkap oleh sel di korteks adrenal, mengeluarkan glukokortikoid
dan sel di medulla adrenal mengeluarkan epinefrin (EPI)-nor epinefrin (NE);
sel di korteks dan medulla adrenal mengalami stres tahap 1 (aktivasi) dan
sudah dipahami bahwa limfosit mempunyai reseptor untuk glukokortikoid,
EPI dan NE sehingga dapat memodulasi limfosit, limfosit mengalami stres
tahap 1 (aktivasi). Sinyal stres ini kemudian memodulasi respons imun
melalui rambatan sinyal dari sel yang mengalami stress, terutama stres tahap
1 (aktivasi) dan berujung pada kejadian perubahan psikoneuroimunologis
6
atau imunitas. Dengan demikian hubungan otak dengan sistem imun terjadi
melalui sel di HPA axis, yang melibatkan hormon sitokin, dan melalui sel di
jalur ANS.Dengan demikian konsep stres yang menghubungkan otak dan
sistem imun dan terjadi oleh komunikasi antar stress cell telah sesuai dengan
Triad GAS (Maren et al., 2012).
Di samping itu terdapat bukti hubungan antara kekurangan
glukokortikoid dan aktivasi imun. Sitokin proinflamasi tampaknya
menginduksi suatu sindrom “sickness behavior”. Sindrom ini, mencakup
anhedonia, anoreksia, fatique, perubahan tidur, dan disfungsi kognitif,
mempunyai banyak ciri-ciri yang tumpang-tindih dengan gangguan fisik dan
gangguan neuropsikiatrik terkait-stres, termasuk depresi berat, chronic fatigue
syndrome, fibromyalgia, dan PTSD. Pasien dengan chronic fatigue syndrome
dan fibromyalgia juga menunjukkan aktivasi imun, seperti dibuktikan melalui
peningkatan konsentrasi plasma dari reactants fase akut dan peningkatan
konsentrasi plasma dan/atau produksi sel mononuclear darah perifer, dari
sitokin proinflamasi, termasuk IL-6, TNF-β dan IL-1. Sitokin dan reseptornya
ditemukan dalam regio otak yang secara sentral terlibat dalam mediasi emosi
dan perilaku, seperti hipotalamus dan hipokampus. Penghambatan sitokin ini
menunjukkan pengurangan atau penghilangan gejala perilaku sakit setelah
infeksi atau pemberian sitokin pada percobaan binatang. Relevan dengan
patofisiologi perubahan perilaku pada gangguan terkait-stres adalah
penemuan bahwa sitokin proinflamasi adalah stimulator CRH yang poten
pada regio otak multipel dan bahwa mereka mempengaruhi turnover
neurotransmiter monoamin di hipotalamus dan hipokampus. Sitokin
proinflamasi juga menyebabkan hiperalgesia dan secara tidak langsung
dihubungkan sebagai penyebab utama pada gejala nyeri kronik, yang
biasanya menyertai gangguan terkait-stres (Maren et al., 2012).
Terdapat beberapa fenomena di mana terjadi saling mengatur antara
sistem imun dan sistem saraf pusat. Interaksi antara sistem saraf aksis HPA
dan komponen innate serta sistem imun adaptif memegang peranan dalam
regulasi inflamasi dan imunitas. Selain itu sitokin dan mediator inflamasi
7
mengaktivasi reseptor nyeri perifer yang mana aksonnya berproyeksi ke
kornu dorsalis dan bersinap dengan traktus lemniskus, yang selanjutnya
membawa signal nyeri ke thalamus dan korteks somatosensorik. Aktivasi dari
jalur nosiseptif akhirnya menstimulasi aktivitas HPA. Glukokortikoid
menghambat sintesis sitokin dan mediator inflamasi, kemudian membentuk
suatu negative feedback loop. Sitokin juga bisa bekerja secara langsung di
otak untuk mengaktivasi aksis HPA. Disregulasi dari neuroendocrine loop
oleh hiperaktivitas atau hipoaktivitas aksis HPA menyebabkan perubahan
sistemik dalam inflamasi dan imunitas. Nyeri fisik, trauma emosional, dan
pembatasan kalori juga mengaktivasi aksis HPA dan menyebabkan
imunosupresi, sebaliknya penurunan aktivitas dari aksis tersebut dan
rendahnya level glukokortikoid meningkatkan kerentanan terhadap inflamasi
dan keparahan inflamasi (Maren et al., 2012).
Karena sitokin mempunyai peranan sentral dalam pengaturan respon
imun yang menggambarkan dua bentuk komunikasi neuro-imun,
imunomodulasi oleh stres psikologis dan pengkondisian perilaku dari respon
imun. Peranan sitokin pada endokrin dan efek perilaku fase akut, mempunyai
efek dalam fungsi sistem saraf pusat. Efek psikologis stres digambarkan
sebagai immunosuppressing dan immunoenhancing. Di antara mereka,
immunosuppressing yang relevan salah satunya adalah reduksi level dan
immunoenhancing IL-1, IL-2, dan IFN-gamma. Sebaliknya, beberapa dari
efek proinflamasi dari stres adalah dimediasi oleh peningkatan level IL-6, IL-
2, dan TNF dimediasi oleh neurotransmitter Substance P. Peranan yang
mungkin untuk IL-1 dan IFN-β sebagai messenger yang mungkin dalam
pengaturan imun melalui pengkondisian perilaku telah diusulkan. Sitokin
proinflamasi selanjutnya bisa mengaktivasi aksis HPA dan menginduksi
perilaku sakit selama respon fase akut, selama sistem saraf parasimpatis
berlaku sebagai jalur untuk deteksi mereka melalui sistem saraf pusat.
Terdapat temuan terbaru dalam pengaturan ekspresi sitokin oleh
neurotransmitter dari sistem saraf simpatis (epinefrin dan norepinefrin),
8
merupakan kunci seluruh mekanisme komunikasi otak-imun ini (Maren et
al., 2012).
PNI bermakna khususnya untuk pengobatan psikosomatik karena
mereka menjelaskan dalam suatu jalur sistemik pengamatan klinis awal dan
penelitian ilmiah mengenai pengaruh stres pada kondisi kesehatan.
Terdapat hubungan 2 arah dalam PNI, yaitu:
a. Adanya bukti perilaku sakit ( penurunan nafsu makan, kelelahan,
somnolen )
b. Adanya gangguan medis dan pengobatan, berupa gangguan regulasi
fungsi imunitas dari gejala psikiatri, yaitu sisntesis serotonin dan
dopamine terganggu yang mengakibatkan penurunan sistem imun
akibat sintesis sitokin, ex: TNF-a (Maren et al., 2012).
Konsep PNI berdasarkan Mekanisme Limbic Hypothalamus Pituitary
Adrenal (LHPA) :
Aksis Limbic-Hypotalamo-Pituitary-Adrenal (LHPA) menerima
berbagai input, termasuk stressor yang akan mempengaruhi neuron bagian
medial parvocellular nucleus paraventricular corticotrophin releasing
hormone (CRH) dan agrinine vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem
portal untuk dibawa ke hipofisis anterior. Reseptor CRH dan AVP akan
menstimulasi hipofisis anterior untuk mensistensis adrenocorticotropin
hormone (ACTH). Kemudian ACTH mengaktifkan proses biosintesis dan
melepaskan glukokortikoid dari korteks adrenal kortison (Maren et al., 2012).
Pada kondisi stres, aksis LHPA meningkat dan glukokortikoid
diekskresikan walaupun kemudian kadarnya kembali normal melalui
mekanisme umpan balik negative. Peningkatan glukokortikoid umumnya
disertai penurunan kadar androgen dan estrogen. Karena glukokortikoid dan
steroid gonadal melawan efek fungsi imun, stres pertama akan menyebabkan
baik imunodepresi ( melalui peningkatan kadar glukokokrtikoid) maupun
imunostimulasi ( dengan menurunkan kadar steroid gonadal). Selain itu
limfosit juga mempunyai reseptor terhadap glukokortikoid, sehingga
9
peningkatan kadar glukokortikoid dapat memodulasi limfosit dan limfosit
mengalami stress (Maren et al., 2012).
B. Agorafbia
Agorafobia adalah salah satu jenis gangguan kecemasan dimana orang
yang menderitanya cenderung menjauhi situasi atau tempat yang dapat
membuat dirinya panik. Orang tersebut menghindari untuk berada sendirian,
meninggalkan rumah ke tempat atau situasi yang membuat orang tersebut
merasa terperangkap dan merasa tidak akan mendapat pertolongan jika ia
mengalami kepanikan.
Orang dengan agorafobia sering merasa tidak aman terutama ketika ia
sedang berada di tempat ramai. Ketakutan berlebih itu seringkali membuat
orang dengan agorafobia lebih memilih untuk terus berdiam diri di rumah.
Tempat-tempat atau situasi yang sering ditakuti antara lain lift, acara
olahraga, jembatan, kendaraan umum, pusat perbelanjaan, pesawat terbang,
dan tempat-tempat lain dimana di tempat itu terdapat banyak kerumunan
orang.
Gejala dari agorafobia dapat meliputi:
Ketakutan berada sendiri di tiap situasi
Ketakutan di tengah keramaian
Ketakutan tidak dapat mengontrol dirinya di tempat umum
Ketakutan berada di tempat yang sulit ditinggalkan bila ia
terperangkap seperti di dalam lift
Ketakutan meninggalkan rumah dalam waktu lama
Ketakutan tidak akan mendapat pertolongan
Ketergantungan berlebih terhadap orang lain
Gejala lain dapat juga menyertai agorafobia. Gejala ini serupa dengan
gejala pada saat mengalami serangan panik, yaitu kepala terasa berat,
kesulitan bernapas, mengantuk, berkeringat berlebih, detak jantung lebih
cepat, muka kemerahan, mual, diare, nyeri dada, dan kesulitan mengunyah.
10
Agorafobia biasanya merupakan komplikasi dari gangguan panik.
Gangguan panik merupakan salah satu jenis gangguan kecemasan dimana
seseorang merasa ketakutan berlebih terhadap sesuatu yang sebenarnya kecil
kemungkinannya atau bahkan tidak membuat takut. Serangan panik dapat
membuat orang sangat ketakutan sampai membuat orang itu merasa
kehilangan kontrol atas dirinya, merasa seperti terkena serangan jantung, atau
bahkan merasa di ambang kematian. Gangguan panik tersebut dapat menjadi
agorafobia ketika orang tersebut menghubungkan serangan panik yang ia
alami dengan tempat atau situasi tertentu yang ia anggap menyebabkan
serangan panik pada dirinya (Maslim, Rusdi, 2002).
Agorafobia biasanya muncul di masa akhir remaja atau awal usia 20
tahun-an, tetapi tidak menutup kemungkinan anak kecil atau orang dewasa
dapat mengalami agorafobia. Perempuan lebih sering terdiagnosis mengalami
agorafobia dibanding laki-laki. Faktor resiko lain yang dapat menjadi
penyebab seseorang mengalami agorafobia antara lain:
Pernah mengalami serangan panik
Pernah mengalami peristiwa tidak menyenangkan yang membuat
trauma, seperti kekerasan seksual atau kekerasan fisik
Mempunyai kecenderungan untuk mudah merasa cemas dan panik
Mempunyai gangguan kecanduan alkohol
Untuk menegakkan diagnosis agorafobia, semua kriteria di bawah ini
harus dipenuhi, yaitu:
a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari ansietasnya dan bukan sekunder
dari gejala-gejala lain seperti waham atau pikiran obsesif
b) Ansietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dalam
hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut: banyak
orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah, dan
bepergian sendiri
c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang
menonjol (penderita menjadi “housebond”) (Hall-Flavin, 2011).
11
C. Preokupasi
Definisi preokupasi menurut kamus Oxford adalah keadaan dimana
seseoarang terpaku atau mengalihkan seluruh perhatiannya ke sesuatu hal. Di
skenario pasien mengalami preokupasi terhadap serangan jantung atau stroke.
Preokupasi biasanya dapat dihubungkan dengan gangguan ansietas
agoraphobia. Agoraphobia merupakan bagian dari gangguan panik (panic
disorder) menurut DSM-IV. Kebanyakan orang mengembangkan
agoraphobia setelah onset gangguan panik (panic disorder) (APA, 1998).
Beberapa hipotesis tentang etiologi dari gangguan panik, antara lain:
Menurunnya sensitivitas terhadap reseptor 5HT1A, 5HT2A/2C
Meningkatnya sensitivitas discharge dari reseptor adrenergic pada saraf
pusat, terutama reseptor alfa-2 katekolamin – meningkatnya aktivitas
locus coereleus yang mengakibatka teraktivasinya aksis hipotalamus-
pituitari-adrenal (biasanya berespons abnormal terhadap klonidin pada
pasien dengan panic disorder)
Meningkatnya aktivitas metabolic sehingga terjadi peningkatan laktat
(biasanya sodium laktat yang kemudian diubah menjadi CO2
(hiperseansitivitas batang otak terhadap CO2)
Menurunnya sensitivitas reseptor GABA-A sehingga menyebabkan
efek eksitatorik melalui amigdala dari thalamus melalui nucleus
intraamygdaloid circuitries
Model neuroanatomik memprediksikan panic attack dimediasi oleh fear
network pada otak yang melibatkan amygdale, hypothalamus, dan pusat
batang otak. Terutama pada corticostriatalthalamocortical (CSTC) yang
memediasi cemas bersama dengan sirkuit pada amygdala. Kemudian
sensai tersebut diteruskan ke korteks cingulata anterior dan/atau korteks
orbitofrontal. Selain itu diteruskan juga ke hypothalamus untuk respon
endokrin
Adanya keterlibatan genetik namun belum ditemukan gen pasti
penyebab gangguan panik (Memon, 2011).
12
Kriteria gangguan panik menurut DSM-IV adalah adanya 4 atau lebih
serangan panik dalam kurun waktu 4 minggu atau 1 serangan panik yang
diikuti ketakutan selama satu bulan atau lebih. Tipe serangan panik:
a. Unexpected, tidak diasosiakan dengan pemicu internal maupun
eksternal
b. Situationally bound, muncul ketika terekspos dengan pemicu dengan
situasi tertentu atau ketika mengantisipasi situasi tersebut
c. Situationally predisposed, biasanya, namun tidak selalu muncul ketika
terekspos dengan situasi tertentu (Memon, 2011).
Pasien dengan gangguan panik yang sudah mengalami beberapa
episode serangan panik biasanya menjadi takut dengan munculya kembali
serangan panik tersebut. Hal ini dapat menimbulkan perubahan perilaku
pada pasien tersebut, antara lain menghindari situasi atau lokasi dan
preokupasi terhadap konsekuensi dari serangan panik tersebut (Memon,
2011). Misal pada pasien di skenario preokupasi terhadap serangan
jantung atau stroke setelah serangan panik.
D. Anxietas (kecemasan)
Anxietas (cemas) merupakan reaksi emosional yang timbul oleh
penyebab yang spesifik yang dapat menimbulkan perasan tidak nyaman dan
merasa terancam (Stuart dan Sundden, 2007).
Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan
adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil
tindakan untuk mengatasi ancaman (Suliswati, 2005).
Respon individu terhadap kecemasan
Menurut Stuart dan Sundden (2007) kecemasan dapat
diekspresikan langsung melalui perubahan fisiologi, perilaku, kognitif dan
afektif secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme
koping dalam upaya mempertahankan diri dari kecemasan.
1. Respon fisiologis terhadap kecemasan
13
a. Pada sistem kardiovaskuler terjadi : palpitasi, jantung berdebar,
tekanan darah meningkat, rasa mau pingsan, denyut nadi dan tekanan
darah turun
b. Pada sistem saluran pernafasan terjadi : nafas cepat, pernafasan
dangkal, rasa tertekan pada dada, pembengkakan pada
tenggorokan, rasa tercekik dan terenggah-enggah.
c. Pada sistem neuromeskuler terjadi : insomnia, ketakutan, gelisah,
wajah tegang dan kelemahan secara umum
d. Pada sistem gastrointestinal terjadi : kehilangan nafsu makan, menolak
maka, nausea dan diare perasaan panas atau dingin pada kulit dan
muka pucat.
2. Respon pada perilaku
a. Perubahan pada perilaku karena kecemasan dapat terjadi :
glisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, menarik diri dan
menghindar.
b. Respon pada kognitif : dapat terjadi tidak sabar, tegang,
nervous, takut yang berlebihan, gugup yang luas biasanya dan
sangat gelisah (Hirsch et al., 2012).
Rentang respon kecemasan
Menurut Stuart dan Sundden (2007) rentang respon kecemasan dapat
digambarkan dalam rentang respon adaptif sampai maladaptif. Reaksi
terhadap kecemasan dapat bersifat kontruktif dan destruktif (Hirsch et al.,
2012).
Mekanisme Pertahanan terhadap Kecemasan
Layaknya semua perilaku dimotivasi oleh insting, begitu juga semua
perilaku mempunyai pertahanan secara alami, dalam hal untuk melawan
kecemasan. Freud membuat postulat tentang beberapa mekanisme
pertahanan namun mencatat bahwa jarang sekali individu menggunakan
hanya satu pertahanan saja. Biasanya individu akan menggunakan beberapa
mekanisme pertahanan pada satu saat yang bersamaan. Ada dua
14
karakteristik penting dari mekanisme pertahanan. Pertama adalah bahwa
mereka merupakan bentuk penolakan atau gangguan terhadap realitas.
Kedua adalah bahwa mekanisme pertahanan berlangsung tanpa
disadari. Kita sebenarnya berbohong pada diri kita sendiri namun tidak
menyadari telah berlaku demikian. Tentu saja jika kita mengetahui bahwa
kita berbohong maka mekanisme pertahanan tidak akan efektif.
Beberapa mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melawan
kecemasan antara lain adalah:
a. Represi. Dalam terminologi Freud, represi adalah pelepasan tanpa
sengaja sesuatu dari kesadaran (conscious). Pada dasarnya merupakan
upaya penolakan secara tidak sadarterhadap sesuatu yang membuat
tidak nyaman atau menyakitkan. Konsep tentang represi merupakan
dasar dari sistem kepribadian Freud dan berhubungan dengan semua
perilaku neurosis.
b. Reaksi Formasi. Reaksi formasi adalah bagaimana mengubah suatu
impuls yang mengancam dan tidak sesuai serta tidak dapat diterima
norma sosial diubah menjadi suatu bentuk yang lebih dapat diterima.
c. Proyeksi. Proyeksi adalah mekanisme pertahanan dari individu yang
menganggap suatu impuls yang tidak baik, agresif dan tidak dapat
diterima sebagai bukan miliknya melainkan milik orang lain.
d. Regresi. Regresi adalah suatu mekanisme pertahanan saat individu
kembali ke masa periode awal dalam hidupnya yang lebih
menyenangkan dan bebas dari frustasi dan kecemasan yang saat ini
dihadapi
e. Rasionalisasi. Rasionalisasi merupakan mekanisme pertahanan yang
melibatkan pemahaman kembali perilaku kita untuk membuatnya
menjadi lebih rasional dan dapat diterima oleh kita. Kita berusaha
memaafkan atau mempertimbangkan suatu pemikiran atau tindakan
yang mengancam kita dengan meyakinkan diri kita sendiri bahwa ada
alasan yang rasional dibalik pikiran dan tindakan itu.
15
f. Pemindahan. Suatu mekanisme pertahanan dengan cara memindahkan
impuls terhadap objek lain karena objek yang dapat memuaskan Id
tidak tersedia (Hirsch et al., 2012).
g. Sublimasi. Sublimasi melibatkan perubahan atau penggantian dari
impuls Id itu sendiri. Energi instingtual dialihkan ke bentuk ekspresi
lain, yang secara sosial bukan hanya diterima namun dipuji. Misalnya
energi seksual diubah menjadi perilaku kreatif yang artistik.
h. Isolasi. Isolasi adalah cara kita untuk menghindari perasaan yang tidak
dapat diterima dengan cara melepaskan mereka dari peristiwa yang
seharusnya mereka terikat, merepresikannya dan bereaksi terhadap
peristiwa tersebut tanpa emosi.
i. Undoing. Dalam undoing, individu akan melakukan perilaku atau
pikiran ritual dalam upaya untuk mencegah impuls yang tidak dapat
diterima. Misalnya pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif,
melakukan cuci tangan berulang kali demi melepaskan pikiran-pikiran
seksual yang mengganggu.
j. Intelektualisasi. Sering bersamaan dengan isolasi; individu
mendapatkan jarak yang lebih jauh dari emosinya dan menutupi hal
tersebut dengan analisis intelektual yang abstrak dari individu itu
sendiri (Andri, 2007).
Gangguan cemas atau anxietas
Anxietas adalah perasaan yang difius, yang sangat tidak
menyenangkan, agak tidak menentu dan kabur tentang sesuatu yang akan
terjadi. Perasaan ini disertai dengan suatu atau beberapa reaksi badaniah
yang khas dan yang akan datang berulang bagi seseorang tertentu.
Perasaan ini dapat berupa rasa kosong di perut, dada sesak, jantung
berdebar, keringat berlebihan, sakit kepala atau rasa mau kencing atau
buang air besan. Perasaan ini disertai dengan rasa ingin bergerak dan
gelisah. “ ( Harold I. LIEF)
Gejala Umum Anxietas
Gejala psikologik:
16
Ketegangan, kekuatiran, panik, perasaan tak nyata, takut mati , takut
”gila”, takut kehilangan kontrol dan sebagainya.
Gejala fisik:
Gemetar, berkeringat, jantung berdebar, kepala terasa ringan, pusing,
ketegangan otot, mual, sulit bernafas, baal, diare, gelisah, rasa gatal,
gangguan di lambung dan lain-lain.
Keluhan yang dikemukakan pasien dengan anxietas kronik seperti:
rasa sesak nafas; rasa sakit dada; kadang-kadang merasa harus menarik
nafas dalam; ada sesuatu yang menekan dada; jantung berdebar; mual;
vertigo; tremor; kaki dan tangan merasa kesemutan; kaki dan tangan tidak
dapat diam ada perasaan harus bergerak terus menerus; kaki merasa lemah,
sehingga berjalan dirasakan beret; kadang- kadang ada gagap dan banyak
lagi keluhan yang tidak spesifik untuk penyakit tertentu (Hirsch et al.,
2012).
E. Differential Diagnosis
1. Bipolar Afektif Disorder
Gangguan bipolar dikenal juga dengan gangguan manik
depresi, yaitu gangguan padafungsi otak yang menyebabkan
perubahan yang tidak biasa pada suasana perasaan, dan proses berfikir
(NIMH, 2010). Disebut bipolar karena penyakit kejiwaan ini didominasi
adanya fluktuasi periodik dua kutub, yakni kondisi manik (bergairah tinggi yang
tidak terkendali) dan depresi (Bowden , Singh, 2003).
Gangguan afektif bipolar atau sering disebut manic-depressive illness
(MDI) merupakan salah satu kelainan yang umum terjadi dan cenderung
bersifat persisten (Bowden, 2003). Penderita MDI memiliki kondisi
dimana bisa terjadi fase depresi yang memanjang dan dalam kemudian
berubah menjadi rasa girang dan semangat yang berlebihan namun mudah
tersinggung (manik). Gangguan bipolar dibedakan menjadi bipolar I (BPI),
bipolar II (BPII), siklotimia, dan mayor depresi. BPI merupakan gangguan
17
klasik manik-depresif dimana setelah episode depresi akan diikuti oleh
episode manik. Sedangkan BPII memiliki ciri setelah episode depresi akan
diikuti oleh episode hipomani (NIMH, 2010).
Penelitian mengenai genome wide association studies (GWAS) untuk
gangguan bipolar pertamakali dipublikasikan pada tahun 2008. Penelitian
tersebut mengungkapkan mengenai dua gen khusus yang berkaitan dengan
kejadian gangguan bipolar dari 4.387 kasus dan 6.209 kontrol. Gen
tersebut yaitu gen penyandi ANK3 dan CACNA1C (Ferreira, 2008). ANK
merupakan protein pengatur yang terdapat di ujung akson yang mengatur
kanal ion Na. Sedangkan CACNA1C berfungsi mengatur kanal ion
kalsium di otak (Hashimoto et al., 2007).
Selain genetik, gangguan neurotransmiter juga merupakan salah satu
penyebab terjadinya gangguan bipolar afektif. Jumlah neurotranmitter
yang berlebihan dapat menyebabkan manik atau sebaliknya depresi,
seperti serotonin dan norepinefrin atau dopamin (Hashimoto et al.,, 2007).
PAT OF ISO LOG I
1. Faktor Biologi
a. Herediter
Didapatkan fakta bahwa gangguan alam perasaan (mood)
tipe bipolar (adanyaepisode manik dan depresi) memiliki
kecenderungan menurun kepada generasinya, berdasar etiologi
biologik. 50% pasien bipolar memiliki satu orangtua
dengangangguan alam perasaan/gangguan afektif, yang tersering
unipolar (depresi saja). Jikaseorang orang tua mengidap gangguan
bipolar maka 27% anaknya memiliki resikomengidap gangguan
alam perasaan. Bila kedua orangtua mengidap gangguan bipolar
maka 75% anaknya memiliki resiko mengidap gangguan alam
perasaan. Keturunan pertama dari seseorang yang menderita
gangguan bipolar berisiko menderita gangguanserupa sebesar 7
kali. Bahkan risiko pada anak kembar sangat tinggi terutama
18
padakembar monozigot (40-80%), sedangkan kembar dizigot lebih
rendah, yakni 10-20% (NIMH, 2010).
b. Genetik
Beberapa studi berhasil membuktikan keterkaitan antara
gangguan bipolar dengankromosom 18 dan 22, namun masih belum dapat
diselidiki lokus mana dari kromosomtersebut yang benar-benar terlibat.
Beberapa diantaranya yang telah diselidiki adalah4p16, 12q23-
q24, 18 sentromer, 18q22, 18q22-q23, dan 21q22. Yang
menarik daristudi kromosom ini, ternyata penderita sindrom
Down (trisomi 21) berisiko rendahmenderita gangguan bipolar
(Hashimoto et al.,, 2007).
c. Neurotransmiter
Sejak ditemukannya beberapa obat yang berhasil
meringankan gejala bipolar, peneliti mulai menduga adanya
hubungan neurotransmiter dengan gangguan bipolar.
Neurotransmiter tersebut adalah dopamine, serotonin, dan
noradrenalin. Gen-gen yang berhubungan dengan neurotransmiter
tersebut pun mulai diteliti seperti gen yangmengkode monoamine
oksidase A (MAOA), tirosin hidroksilase, catechol-
Ometiltransferase (COMT), dan serotonin transporter (5HTT)
(Dara et al., 2012).
d. Kelainan Otak
Kelainan pada otak juga dianggap dapat menjadi penyebab
penyakit ini. Terdapat perbedaan gambaran otak antara kelompok
sehat dengan penderita bipolar. Melalui pencitraan magnetic
resonance imaging (MRI) dan positron-emission tomography
(PET), didapatkan jumlah substansia nigra dan aliran darah yang
berkurang padakorteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu,
Blumberg dkk dalam Arch Gen Psychiatry 2003 pun menemukan
volume yang kecil pada amygdala dan hipokampus. Korteks
prefrontal, amygdala dan hipokampus merupakan bagian dari otak
19
yang terlibat dalamrespon emosi (mood dan afek) (Dara et al.,
2012).
2. Faktor Psikososiala.Peristiwa Kehidupan dan Stres Lingkungan
Satu pengamatan klinis yang telah lama yang telah direplikasi
adalah bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih
sering mendahului episode pertama gangguan suasana perasaan
daripada episode selanjutnya. Hubungan tersebuttelah dilaporkan
untuk pasien gangguan depresif berat dan gangguan bipolar I (Kaplan
et al., 2010).
3. Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamika
Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmund Freud
mengendalilkan suatuhubungan antara kehilangan suatu objek dan
melankolia. Ia menyatakan bahwakekerasan yang dilakukan pasien
depresi diarahkan secara internal karena identifikasidengan objek yang
hilang. Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan satu-
satunya cara bagi ego untuk melepaskan suatu objek. Ia membedakan
melankolia ataudepresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien
terdepresi merasakan penurunan hargadiri yang melanda dalam
hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri
sendiri,sedangkan orang yang berkabung tidak demikian (Kaplan et al.,
2010).
4. Teori Kognitif
Menurut teori kognitif, interpretasi yang keliru (misinterpretation)
kognitif yangsering adalah melibatkan distorsi negatif, pengalaman
hidup, penilaian diri yangnegatif, pesimisme, dan keputusasaan.
Pandangan negatif yang dipelajari tersebutselanjutnya menyebabkan
perasaan depresi. Seorang ahli terapi kognitif berusaha untuk
mengidentifikasi hal yang negatif dengan menggunakan tugas perilaku,
sepertimencatat dan secara sadar memodifikasi pikiran pasien (Kaplan
et al., 2010).
KRITERIA DIAGNOSTIK
20
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV, gangguan
bipolar dibedakan menjadi 2 yaitu gangguan bipolar I dan II. Gangguan
bipolar I atau tipe klasik ditandai dengan adanya 2 episode yaitu manik
dan depresi, sedangkan gangguan bipolar II ditandai dengan hipomanik
dan depresi. PPDGJ III membaginya dalam klasifikasi yang berbeda yaitu
menurut episode kini yang dialami penderita (Rusdi, 2001).
Diagnosis dari BP I ditegakkan dengan setidaknya terdapat episode
manic paling tidak dengan durasi 1 minggu yang mengindikasikan
penderita untuk dirawat inap atau kelainan lain yang signifikan dalam
fungsi okupasi dan sosial. Episode manic bukan disebabkan oleh penyakit
medis lain atau penyalahgunaan zat. Kriteria ini berdasarkan spesifikasi
dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth
Edition, Text Revision (DSM-IV-TR).
Episode mani k ditandai oleh gejala-gejala berikut ini :
- Setidaknya terdapat 1 minggu gangguan mood yang dalam, yang
ditandai dengan suasana perasaan yang meningkat (elasi), mudah
marah (iritabel), atau adanya keinginan untuk keluar rumah.
- Gejala lain yang menyertai antara lain (paling tidak 3 atau lebih):
Perasaan kebesaran; gangguan tidur; nada suara yang tinggi dan bicara
berlebihan; flight of ideas; menghilangkan bukti kekacauan pikiran;
meningkatnya tingkat fokus kerja di rumah, tempat kerja atau seksual;
meningkatnya aktivitas yang menyenangkan dan bahkan yang
memiliki konsekuensi menyakitkan.
- Gangguan mood cukup untuk membuat kerusakan di tempat kerja,
membahayakan pasien atau orang lain.
- Gangguan suasana perasaan tersebut bukan disebabkan oleh
penyalahgunaan zat atau karena gangguan medis lain.
Episode hipomanic ditandai oleh gejala-gejala berikut :
- Penderita mengalami suasana perasaan yang meningkat (elasi), adanya
keinginan untuk keluar rumah, atau mudah marah (iritabel) setidaknya
selama 4 hari.
21
- Paling tidak terdapat 3 atau lebih gejala-gejala berikut ini : Perasaan
kebesaran atau mengagumi diri sendiri; gangguan tidur; nada suara
tinggi; flight of ideas; menghilangkan bukti kekacauan pikiran; agitasi
psikomotor di rumah, tempat kerja atau seksual; mulai melakukan
aktivitas dengan resiko tinggi terhadap konsekuensi yang menyakitkan.
- Gangguan mood tampak oleh orang lain.
- Gangguan suasana perasaan tersebut bukan disebabkan oleh
penyalahgunaan zat atau karena gangguan medis lain (Dara et al.,
2012).
PROGNOSIS
Gangguan bipolar I mempunyai prognosis lebih buruk daripada bipolar
II. Kira-kira 40-50 persen pasien gangguan bipolar I memiliki episode
manik dalam waktu dua tahun setelah episode pertama. Walaupun
profilaksis litium memperbaiki perjalanan penyakit dan prognosisnya,
kemungkinan hanya 50-60 persen pasien mencapai pengendalian
bermakna atas gejalanya dengan litium.
TERAPI
Terapi pada gangguan bipolar ini adalah secara farmakoterapi dan
psikoterapi:
a. Farmakoterapi
Pengobatan gangguan bipolar I telah diubah oleh banyak penelitian
yang telah membuktikan kemajuan dua dari anti konvulsan –
karbamazepin dan valproat- di dalam pengobatan episode manik dan
depresif pada gangguan bipolar I.
Bila litium dan kemungkinan karbamazepin dan valproat adalah
obat lini pertama untuk pengobatan gangguan bipolar I, obat lini kedua
sekarang termasuk anti konvulsan lain (clonazepin), suatu penghambat
saluran kalsium (verapamil) dan anti psikotik khususnya clozapin;
terapi elektrokonvulsif adalah terapi lini ke dua lainnya.
22
b. Psikoterapi
1. Terapi kognitif. Tujuan : menghilangkan episode depresif dan
mencegah rekurennya dengan membantu pasien mengidentifikasi
dan uji kognitif negatif, mengembangkan cara berfikir alternatif,
fleksibel dan positif, juga melatih kembali respon kognitif dan
pikiran yang baru.
2. Terapi interpersonal. Memusatkan pada satu atau dua masalah
interpersonal pasien yang sedang dialaminya sekarang.
3. Terapi perilaku. Dengan memusatkan pada perilaku mal adaptif di
dalam terapi, pasien belajar untuk berfungsi di dunia dengan cara
tertentu dimana mereka mendapat dorongan positif dari
lingkungan.
4. Terapi berorientasi psikoanalitik. Pendekatan psikoanalitik
didasarkan pada depresi dan mania. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan perubahan pada struktur atau karakter kepribadian
pasien, bukan untuk hilangkan gejala.
5. Terapi keluarga. Diindikasikan jika gangguan membahayakan
perkawinan atau fungsi keluarga pasien (Dara et al., 2012).
2. ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders)
ETIOLOGI
Penyebab pasti dan patologi ADHD masih belum terungkap secara
jelas. Seperti halnya gangguan autism, ADHD merupakan statu kelainan
yang bersifat multi faktorial. Banyak faktor yang dianggap sebagai
peneyebab gangguan ini, diantaranya adalah faktor genetik,
perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan otak saat perinatal,
tingkat kecerdasan (IQ), terjadinya disfungsi metabolisme, ketidak
teraturan hormonal, lingkungan fisik, sosial dan pola pengasuhan anak
oleh orang tua, guru dan orang-orang yang berpengaruh di sekitarnya.
Faktor genetik tampaknya memegang peranan terbesar terjadinya
gangguan perilaku ADHD. B eberapa penelitian yang dilakukan
23
ditemukan bahwa hiperaktifitas yang terjadi pada seorang anak selalu
disertai adanya riwayat gangguan yang sama dalam keluarga setidaknya
satu orang dalam keluarga dekat. Didapatkan juga sepertiga ayah
penderita hiperaktif juga menderita gangguan yang sama pada masa
kanak mereka. Orang tua dan saudara penderita ADHD mengalami
resiko 2-8 kali lebih mudah terjadi ADHD, kembar monozygotic lebih
mudah terjadi ADHD dibandingkan kembar dizygotic juga menunjukkan
keterlibatan fator genetik di dalam gangguan ADHD. Keterlibatan
genetik dan kromosom memang masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa gen yang berkaitan dengan kode reseptor dopamine dan
produksi serotonin, termasuk DRD4, DRD5, DAT, DBH, 5-HTT, dan 5-
HTR1B, banyak dikaitkan dengan ADHD.
Penelitian neuropsikologi menunjukkkan kortek frontal dan sirkuit
yang menghubungkan fungsi eksekutif bangsal ganglia. Katekolamin
adalah fungsi neurotransmitter utama yang berkaitan dengan fungsi otak
lobus frontalis. Sehingga dopaminergic dan noradrenergic
neurotransmission tampaknya merupakan target utama dalam
pengobatan ADHD.
Teori lain menyebutkan kemungkinan adanya disfungsi sirkuit
neuron di otak yang dipengaruhi oleh dopamin sebagai neurotransmitter
pencetus gerakan dan sebagai kontrol aktifitas diri. Akibat gangguan
otak yang minimal, yang menyebabkan terjadinya hambatan pada sistem
kontrol perilaku anak. Dalam penelitian yang dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan MRI didapatkan gambaran disfungsi otak di
daerah mesial kanan prefrontal dan striae subcortical yang
mengimplikasikan terjadinya hambatan terhadap respon-respon yang
tidak relefan dan fungsi-fungsi tertentu. Pada penderita ADHD terdapat
kelemahan aktifitas otak bagian korteks prefrontal kanan bawah dan
kaudatus kiri yang berkaitan dengan pengaruh keterlambatan waktu
terhadap respon motorik terhadap rangsangan sensoris (Widodo, 2009).
KRITERIA DIAGNOSIS
24
Untuk mendiagnosis ADHD digunakan kriteria DSM IV yang juga
digunakan, harus terdapat 3 gejala : Hiperaktif, masalah perhatian dan
masalah konduksi.
HIPERAKTIFITAS
2. Sering merasa gelisah tampak pada tangan, kaki dan menggeliat
dalam tempat duduk
3. Sering meninggalkan tempat duduk dalam kelas atau situasi lain
yang mengharuskan tetap duduk.
4. Sering berlari dari sesuatu atau memanjat secara berlebihan dalam
situasi yang tidak seharusnya
5. Sering kesulitan bermain atau sulit mengisi waktu luangnya
dengan tenang.
6. Sering berperilaku seperti mengendarai motor
7. Sering berbicara berlebihan
IMPULSIF
1. Sering mengeluarkan perkataan tanpa berpikir, menjawab
pertanyaan sebelum pertanyaannya selesai.
2. Sering sulit menunggu giliran atau antrian
3. Sering menyela atau memaksakan terhadap orang lain (misalnya
dalam percakapan atau permainan) (APA, 1994; David et al.,
2012).
PENATALAKSANAAN
Program penatalaksanaan terdiri dari : farmakoterapi, terapi
perilaku, kombinasi keduanya, perhatian sosial dari komunitas secara
berkala dan terapi nutrisi. Psikososial meliputi intervensi individu anak,
orang tua, sekolah baik guru maupun fasilitas tempat sekolah dan sosial.
Melakukan pelatihan orang tua maupun guru dalam hal gejala maupun
penatalaksanaan ADHD. Untuk melakukan penatalaksanaan ADHD
perlu dilakukan identifikasi apakah di samping gejala pokok ADHD
didapatkan komorbiditas. Pengobatan tahap pertama dilakukan selama
14 bulan kemudian dilakukan evaluasi tingkah laku oleh orang tua, guru
25
dan lingkungan. Tujuan dari pengobatan pada anak dengan ADHD yaitu
meningkatkan hubungan anak dengan lingkungan, menurunkan tingkah
laku yang terlalu aktif dan tidak menyenangkan, memperbaiki
kemampuan akademis dan dapat menyelesaikan tugas dengan baik,
meningkatkan perawatan diri dan percaya diri dalam pergaulan di
lingkungannya (David et al., 2012).
Pemakaian medikamentosa dapat mengontrol ADHD sekitar 70%.
Obat yang digunakan jenis stimulan (methylphenidate) dan
amphetamine. Obat ini mempunyai pengaruh pada sistem dopaminergik
atau noradrenergik sirkuit korteks lobus frontalis-subkortikal,
meningkatkan kontrol inhibisi dan memperlambat potensiasi antara
stimulasi dan respon, sehingga mengurangi gejala impulsif dan tidak
dapat mengerjakan tugas (David et al., 2012).
PROGNOSIS
Gejala hiperaktif akan berkurang pada masa adolescence,
sedangkan gejala impulsive dan emosi yang labil akan menetap. Anak
dengan ADHD pada waktu dewasa sering masih mempunyai gejala
agresif dan menjadi pencandu minuman keras/alcoholism) (Hartanto,
Fitri, 2011).
Prognosis lebih baik bila didapatkan fungsi intelektual yang tinggi,
dukungan yang kuat dari keluarga, temen teman yang baik, diterima di
kelompoknya dan diasuh oleh gurunya serta tidak mempunyai satu atau
lebih komorbid gangguan psikiatri(Hartanto, Fitri, 2011).
PENYULIT
Anak yang menderita ADHD biasanya dihubungkan dengan prestasi belajar yang rendah, kesulitan dalam menjalin hubungan interpersonal dan mempunyai rasa percaya diri yang rendah (Hartanto, Fitri, 2011).
26
3. Gangguan Somatoform
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang
memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di
mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan
keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan
emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan
pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan.
Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang
disadari atau gangguan buatan.
Ada lima gangguan somatoform yang spesifik adalah:
Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak keluhan fisik yang
mengenai banyak sistem organ.
Gangguan konversi ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.
Hipokondriasis ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada
kepercayaan pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.
Gangguan dismorfik tubuh ditandai oleh kepercayaan palsu atau
persepsi yang berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami
cacat.
Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata
berhubungan dengan faktor psikologis atau secara bermakna
dieksaserbasi oleh faktor psikologis.
DSM-IV juga memiliki dua kategori diagnostik residual untuk
gangguan somatoform:
Undiferrentiated somatoform, termasuk gangguan somatoform, yang
tidak digolongkan salah satu diatas, yang ada selama enam bulan
atau lebih (Hirsch et al., 2012).
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi
1. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun
yang terjadi selama periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi,
yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lain.
27
2. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual
yang terjadi pada sembarang waktu selama perjalanan gangguan:
1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan
sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan
(misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak,
dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual,
atau selama miksi)
2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala
gastrointestinal selain nyeri (misalnya mual, kembung,
muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi
terhadap beberapa jenis makanan)
3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual
atau reproduktif selain dari nyeri (misalnya indiferensi
seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak
teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang
kehamilan).
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu
gejala atau defisit yang mengarahkan pada kondisi neurologis
yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti
gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau
kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di
tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya
sensasi atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian,
kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya
kesadaran selain pingsan).
3. Salah satu (1)atau (2):
1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria
B tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi
medis umum yang dikenal atau efek langsung dan suatu zat
(misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
28
2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau
gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah
melebihi apa yang diperkirakan dan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
4. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti
gangguan buatan atau pura-pura) (Maren et al., 2012).
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi
1. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik
volunter atau sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis
atau kondisi medis lain.
2. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau
defisit karena awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah
didahului oleh konflik atau stresor lain.
3. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat
(seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura).
4. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan,
dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek
langsung suatu zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman yang
diterima secara kultural.
5. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara
klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lain atau memerlukan pemeriksaan medis.
6. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual,
tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi,
dan tidak dapat diterangkan dengan lebih baik oleh gangguan mental
lain.
7. Sebutkan tipe gejala atau defisit: Dengan gejata atau defisit motorik
Dengan gejala atau defisit sensorik. Dengan kejang atau konvulsi
Dengan gambaran campuran
29
Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis
1. Pereokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia
menderita, suatu penyakit serius didasarkan pada interpretasi keliru
orang tersebut terhadap gejalagejala tubuh.
2. Perokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis
yang tepat dan penentraman.
3. Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti
gangguan delusional, tipe somatik) dan tidakterbatas pada
kekhawatiran tentang penampilan (seperti pada gangguan dismorfik
tubuh).
4. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara kilnis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting
lain.
5. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan.
6. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan
kecemasan umum, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik,
gangguan depresif berat, cemas perpisahan, atau gangguan
somatoform lain.
Sebutkan jika: Dengan tilikan buruk: jika untuk sebagian besar waktu
selama episode berakhir, orang tidak menyadari bahwa
kekhawatirannya tentang menderita penyakit serius adalah berlebihan
atau tidak beralasan (Maren et al., 2012).
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh
1. Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika
ditemukan sedikit anomali tubuh, kekhawatiran orang tersebut
adalah berlebihan dengan nyat.
2. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting
lainnya.
30
3. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental
lain (misalnya, ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada
anorexia nervosa).
4. Gangguan Psikosomatik
Kriteria Diagnostik Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Kondisi
Medis
1. Adanya suatu kondisi medis umum (dikodekan dalam Aksis III)
2. Faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis umum dengan
salah satu cara berikut:
1. Faktor yang mempengaruhi perjalanan kondisi medis umum
ditunjukkan oleh hubungan erat antara faktor psikologis dan
perkembangan atau eksaserbasi dan, atau keterlambatan
penyembuhan dan, kondisi medis umum.
2. Faktor yang mengganggu pengobatan kondisi medis umum.
3. Faktor yang membuat risiko kesehatan tambahan bagi
individu.
4. Respons fisiologis yang berhubungan dengan stres
menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala-gejala kondisi
medis umum.
Pilihlah nama bendasarkan sifat faktor psikologis (bila terdapat
lebih dan satu faktor, nyatakan yang paling menonjol)
Gangguan mental mempengaruhi kondisi medis (seperti
gangguan depresif berat memperiambat pemulihan dan infark
miokardium).
Gejala psikologis mempengaruhi kondisi medis
(misalnya gejala depresif memperlambat pemulihan dan
pembedahan; kecemasan mengeksaserbasi asthma)
Sifat kepribadlan atau gaya menghadapi masalah
mempengaruhi kondisi medis (misalnya penyangkaian
psikologis terhadap pembedahan pada seorang pasien kanker,
31
perilaku bermusuhan dan tertekan menyebabkan penyakit
kandiovaskular).
Perilaku kesehatan maladaptif mempengaruhi kondisi
medis (misalnya tidak olahraga, seks yang tidak aman, makan
benlebihan).
Respon fisiologis yang berhubungan dengan stres
mempengaruhi kondisi medis umum (misalnya eksaserbasi
ulkus, hipertensi, aritmia, atau tension headache yang
berhubungan dengan stres). Faktor psikologis lain yang tidak
ditentukan mempengaruhi kondisi medis (misalnya faktor
interpersonal, kultural, atau religius) (Maren et al., 2012).
Terapi Gangguan Psikomatis
Konsep penggabungan psikoterapetik dan pengobatan medis,
yaitu pendekatan yang menekankan hubungan pikiran dan tubuh
dalam penbentukan gejala dan gangguan, memerlukan tanggung
jawab bersama di antara berbagai profesi. Permusuhan, depresi, dan
kecemasan dalam berbagai proporsi adalah akar dan sebagian besar
gangguan psikomatik. Kedokteran psikosomatik terutama
mempermasalahkan penyakit-penyakit tersebut yang menampakkan
manifestasi somatik.
Terapi kombinasi merupakan pendekatan di mana dokter
psikiatrik menangani aspek psikiatrik, sedangkan dokter ahli penyakit
dalam atau dokter spesialis lain menangani aspek somatik. Tujuan
terapi medis adalah membangun keadaan fisik pasien sehingga pasien
dapat berperan dengan berhasil, serta psikoterapi untuk kesembuhan
totalnya. Tujuan akhirnya adalah kesembuhan, yang berarti resolusi
gangguan struktural dan reorganisasi kepribadian. Psikoterapi
kelompok dan terapi keluarga. Terapi keluarga menawarkan harapan
suatu perubahan dalam hubungan keluarga dan anak, mengingat
kepentingan psikopatologis dari hubungan ibu-anak dalam
perkembangan gangguan psikosomatik. keluarga dan anak, mengingat
32
kepentingan psikopatologis dari hubungan ibu-anak dalam
perkembangan gangguan psikosomatik (Pardamean, 2007 ; Maren et
al, 2012).
F. Ekstasi
Ekstasi merupakan salah satu golongan psikotropika berbentuk kapsul
atau tablet. Kandungan yang terdapat dalam ekstasi adalah amfetamin. Akibat
yang tampak saat penyalahgunaan ekstasi adalah orang tersebut menjadi
hiperaktif, berkeringat, pusing, gemetar, detak jantung cepat dan kehilangan
nafsu makan.
Menurut UU RI No 5 / 1997, Psikotropika adalah: zat atau obat, baik
alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
khas pada aktifitas mental dan perilaku. Psikotropika terdiri dari 4 golongan
yang salah satunya terdapat ekstasi yang dimasukkan ke dalam golongan I
yaitu psikotropika yang hanya dapat digunakan sebagai tinjauan
ilmupengetahuan dan tidak untuk terapi yang memiliki potensi kuat
mengakibatkan ketergantungan.
Ekstasi atau amfetamin biasa digunakan sebagai penunda kelelahan.
Dalam hal ini dapat mengurangi frequensi hilangnya perhatian akibat kurang
tidur. Obat ini dapat mengakibatkan gangguan pola tidur yang akan kembali
normal dalam waktu dua bulan. Penggunaan lama dapat menyebabkan
depresi mental dan kelelahan fisik. Selain itu amfetamin juga memiliki efek
anoreksia atau penurunan nafsu makan, hal ini terjadi karena obat ini bekerja
ke sentral ke pusat makan. Efek lain yaitu peningkatan mood, peningkatan
percaya diri dan daya konsentrasi, sering dijumapai juga efek euphoria dan
peningkatan aktivitas motorik dan bicara.( Psikotropika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh: Ekstasi (Umar et al., 2010).
33
34
BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario kasus dijelaskan bahwa terdapat seorang wanita berumur 40
tahun yang dibawa ke UGD karena tiba-tiba sesak napas, seperti tercekik, keluar
keringat dingin, dan berdebar-debar. Jenis kelamin dan usia ikut mempengaruhi
hal yang dirasakan pasien karena perempuan (prevalensi seumur hidup 30,5%)
lebih cenderung mengalami gangguan ansietas daripada laki-laki (prevalensi
seumur hidup 19,2%). Prevalensi gangguan ansietas menurun dengan
meningkatnya status sosio-ekonomik. Gangguan panik → perempuan lebih
mudah terkena dua hingga tiga kali daripada laki-laki. Gangguan panik paling
lazim timbul pada dewasa muda (sekitar 25 tahun) tetapi gangguan panik dan
agorafobia dapat timbul pada usia berapapun (Kaplan & Sadock, 2010). Selain itu,
Prevalensi gangguan somatisasi biasanya dua kali lebih tinggi pada perempuan
dibanding pada laki-laki (Kronke&Spitze, 1998). Tiba-tiba sesak napas dan sering
tercekik merupakan efek fisiologis pada pernapasan pada pasien yang mengalami
gangguan ansietas. Kemudian, gejala keluar keringat dingin merupakan efek pada
kulit dan gejala berdebar-debar merupakan efek pada kardivaskular (Dewi B,
2012).
Pasien mengatakan rasanya seperti mau mati. Kejadian tersebut pernah
dialami pasien dua minggu sebelumnya sehingga menjalani rawat inap di RS
selama lima hari. Rasa seperti mau mati yang dialami pasien tampaknya sangat
parah sehingga dibutuhkan rawat inap di RS. Rasa mau mati ini kemungkinan
disebabkan oleh gangguan somatoform yang dirasakan oleh pasien yang
mempunyai ciri utama adanya keluhan gejala fisik yang berulang, yang disertai
dengan permintaan pemeriksaan medis : meskipun sudah berkali-kali terbukti
hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan oleh dokter bahwa tidak ditemukan
kelainan fisik yang menjadi dasar keluhannya ( Dinkes Sulsel, 2012).
Pada saat itu tekanan darah pasien 150/90 mmHg. Setelah kejadian
pertama tersebut sampai saat ini, pasien merasa khawatir mengalami serangan
35
jantung atau stroke. Badan tidak sehat sehingga tidak dapat bekerja. Tekanan
darah pasien meninggi bukan disebabkan oleh penyakit serangan jantung atau
stroke melainkan merupakan penyakit psikogenik dikarenakan pasien merasa
khawatir yang dapat menimbulkan stress. Selama stres, selain terjadi perubahan-
perubahan hormon yang memobilisasi simpanan energi, hormon-hormon lain
secara bersamaan juga diaktifkan untuk mempertahankan volume dan tekanan
darah selama keadaan darurat. Sistem simpatis dan epinefrin berperan penting
dengan langsung bekerja pada jantung dan pembuluh darah untuk meningkatkan
fungsi sirkulasi. Selain itu, sistem renin-angiotensin-aldosteron juga diaktifkan
sebagai akibat dari penurunan aliran darah ke ginjal yang dipicu oleh sistem
simpatis. Sekresi vasopresin juga meningkat selama keadaan stres. Secara
kolektif, hormon-hormon ini meningkatkan volume plasma dengan mendorong
retensi garam dan H2O (Sherwood, 2001).
Pasien merasa bahwa dirinya tidak nafsu makan dan nafsu seks menurun.
Hal ini dikarenakan terjadi penurunan neurotransmitter serotonin pada sistem
saraf pusat pasien. Serotonin berfungsi untuk mengatur tidur, bangun, nafsu
makan, libido, agresi persepsi nyeri, koordinasi, dan penilaian (Dinkes Cirebon,
2012). Dari status mental didapatkan agoraphobia dan preokupasi terhadap
serangan jantung atau stroke. Agoraphobia adalah ketakutan yang hebat yang
membuat tidak berdaya akan tempat atau situasi yang sulit untuk meloloskan diri
atau sulit untuk meloloskan diri atau sulit untuk mendapatkan pertolongan apabila
terjadi serangan cemas. Sedangkan, preokupasi adalah pikiran terpaku hanya pada
sebuah idea saja, yang biasanya berhubungan dengan keadaan bernada emosional
yang kuat(Maramis, 2009).
Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
sederhana (seperti pemeriksaan EKG dan treadmill), dan pemeriksaan penunjang
canggih, (seperti pemeriksaan CT-Scan, MRI dan angiografi koroner).
Pada skenario, pasien merasa seperti mau mati dan mengalami preokupasi
terhadap serangan jantung atau stroke. Maka menurut Consultation Liaison
36
Psychiatry, perlu diperhatikan penyebab pasien merasa mau mati maupun alasan
preokupasi terhadap serangan jantung atau stroke. Pasien juga dilakukan
pemeriksaan jantung dan pemeriksaan penunjang lainnya untuk mengetahui
kondisi medis pasien yang sesungguhnya. Kemudian pasien diberi nasihat
mengenai ketakutannya akan serangan jantung dan stroke sebaiknya dihilangkan.
Jika pasien perlu diberi obat-obat psikotropik, dinasihati bahwa obat-obatan
tersebut tidak selalu membuat ketagihan asalkan berada dalam pengawasan dokter
juga dengan dosis yang tidak berlebihan.
37
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Gangguan panik merupakan suatu gangguan kejiwaan yang
membutuhkan penanganan jangka panjang.
2. Penatalaksanaan efektif untuk menangani gangguan panik adalah terapi
CBT (Cognitive Behaviour Theraphy), terapi medikasi SSRI dan trisiklik
sebagai terapi lini pertama dan golongan benzodiazepin potensi tinggi,
MAOI dan obat anti-panik jenis lain menjadi terapi lini kedua.
3. Diskusi tutorial skenario 3 pada blok pskiatri ini sudah berjalan dengan
baik dan lancar, peserta diskusi sudah aktif memberikan pendapat-
pendapatnya.
4. Pasien diduga kuat mengalami gangguan anxietas fobik khusus
agoraphobia, yaitu ketakutan hebat yang membuat tidak berdaya pada
ruangan terbuka yang luas dan banyak orang di tempat tersebut.
5. Pasien juga diduga mengalami gangguan preokupasi terhadap serangan
jantung dan stroke, tetapi belum sampai kepada gangguan jiwa obsesif.
6. Tekanan darah yang tinggi diakibatkan naiknya norepinefrin yang
mengakibatkan naiknya tingkat kewaspadaan.
B. Saran
1. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang lebih lengkap untuk
mengetahui diagnosis pasti pada pasien.
2. Perlu diedukasikan kepada pasien skabies untuk meningkatkan kesadaran
mengenai pentingnya menjaga higienisitas pribadi dan lingkungan.
3. Terus meningkatkan semangat kerjasama seluruh anggota kelompok dari
mulai tutorial sesi pertama sampai pembuatan laporan demi terwujudnya
tujuan pembelajaran seutuhnya.
38
DAFTAR PUSTAKA
Andri. 2007. Teori Kecemasan Berdasarkan Psikoanalisis Klasik dan Berbagai
Mekanisme Pertahanan terhadap Kecemasan. Majalah Kedokteran
Indonesia, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007.
APA. 1974. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed.
Washington, DC: American Psychiatric Association Press; 1994: 78-85.
Bowden C , Singh V. 2003. Long-term management of bipolar disorder. Available
at http://www.medscape.com/viewprogram/2686 . Accesed 9 desember
2012.
Dara M. Cannon, Jacqueline M. Klaver, Summer A. Klug, Paul J. Carlson, et al.
2012. Gender-specific abnormalities in the serotonin transporter system
in panic disorder. Neuropsychopharmacology. The international journal
of neuropsychopharmacology / firstview article, pp 1-11.
David R Coghill, Kirsty M Hogg. 2012. Molecular Genetics of Attention Deficit–
Hyperactivity Disorder (ADHD). Published Online: 17 SEP 2012.
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta :
EGC.
Ferreira ma, O'donovan mc, et al. Collaborative genome-wide association analysis
supports a role for ank3 and cacna1c in bipolar disorder. Nat genet. Sep
2008;40(9):1056-8.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC.
Hall-Flavin. 2011. Agoraphobia. Mayo Foundation for Medical Education and
Research (MFMER) (diakses pada 8 Desember 2012)
Hartanto, Fitri. 2011. Gangguan Pemusatan Perhatian Dan Hiperaktivitas (GPPH)
Pada Remaja. Bagian IKA FK UNDIP/SMF Kesehatan Anak RS.Dr.
Kariadi, Semarang.
39
Hashimoto k, Sawa A, Iyo M. Increased levels of glutamate in brains from
patients with mood disorders. Biol psychiatry. Dec 1 2007;62(11):1310-
6.
Hirsch, Colette R.; Hayes, Sarra; Mathews, Andrew; Perman, Gemma; Borkovec,
Tom . 2012. The extent and nature of imagery during worry and positive
thinking in generalized anxiety disorder. Journal of Abnormal
Psychology, Vol 121(1), Feb 2012, 238-243. doi: 10.1037/a0024947
Kapplan, Harold I, Benyamin J, Sadock, Jack A Grebb. 2010, Sinopsis Psikiatri
Jilid 2. Philadelphia:Lippincott William and Wilikins.
Maren Wolfram, Silja Bellingrath , Nicolas Feuerhahn , Brigitte M. Kudielka .
2012. Emotional exhaustion and overcommitment to work are
differentially associated with hypothalamus–pituitary–adrenal (HPA)
axis responses to a low-dose ACTH1–24 (Synacthen) and dexamethasone–
CRH test in healthy school teachers. Vol. 16, No. 1 , Pages 54-64
(doi:10.3109/10253890.2012.683465)
Maslim, Rusdi. 2002. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta.
Memon, Mohammed A. 2011. Panic Disorder.
http://emedicine.medscape.com/article/287913 -overview. diakses pada
16 Desember 2012.
NIMH. Bipolar disorder. 2010 .
http://www.nimh.nih.gov/health/publications/bipolar disorder/complete-
index.shtml.
Pardamean E.2007.Gangguan Somatoform.Jakarta.
Rusdi M. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas ppdgj-iii. Jakarta:bagian ilmu
kedokteran jiwa fk-unika atmajaya; 2001.
Suliswati. 2005. Konsep Dasar keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
40
Umar zein, Ariantho purba, Yosia ginting, dan t. Bachtiar pandjaitan. 2012.
Beberapa aspek keracunan di bagian penyakit dalam rumah sakit h.
Adam malik, medan. Divisi penyakit tropik dan infeksi, bagian penyakit
dalam fk usu/rs h. Adam malik, medan
W, Stuart Gail, I, Sudden Sudra. 2007. Buku Saku keperawatan Jiwa, edisi 3 (alih
Bahasa). Jakarta : EGC.
Widodo J. 2009. Deteksi dini ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders).
Pemutakhiran Terakhir. 21:36