Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

63
1 LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 3 BLOK PSIKIATRI RASANYA SEPERTI MAU MATI SEBAGAI MANIFESTASI KLINIS GANGGUAN PSIKIATRI SERTA DIAGNOSIS BANDINGNYA Oleh : Kelompok 14 Arum Alfiyah Fahmi (G0010028) Candra Aji Setiawan (G0010038) Coraega Gena Ernestine (G0010046) Erma Malindha (G0010074) Gunung Mahameru (G0010088) Namira Qisthina (G0010134) Paksi Suryo Bawono (G0010148) Puji Rahmawati (G0010154) Satria Adi Putra (G0010172) Yunita Asri Pertiwi (G0010202)

Transcript of Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

Page 1: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

1

LAPORAN TUTORIALSKENARIO 3 BLOK PSIKIATRI

RASANYA SEPERTI MAU MATI SEBAGAI MANIFESTASI KLINIS GANGGUAN PSIKIATRI SERTA DIAGNOSIS

BANDINGNYA

Oleh :Kelompok 14

Arum Alfiyah Fahmi (G0010028)

Candra Aji Setiawan (G0010038)

Coraega Gena Ernestine (G0010046)

Erma Malindha (G0010074)

Gunung Mahameru (G0010088)

Namira Qisthina (G0010134)

Paksi Suryo Bawono (G0010148)

Puji Rahmawati (G0010154)

Satria Adi Putra (G0010172)

Yunita Asri Pertiwi (G0010202)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2012

Page 2: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan mental/gangguan jiwa menurut PPDGJ II yang merujuk

pada DSM III adalah sindrom atau pola perilaku seseorang yang secara klinik

cukup bermakna dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan

(distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi

yang penting dari manusia. Gangguan mental dapat berupa gangguan psikotik

yang dapat bersifat akut dan sementara yang perbedaannya didasarkan pada

lamanya durasi simptom yang ada.

Pedoman diagnosis gangguan psikosis didasarkan pada urutan

prioritas yang dipakai yang meliputi onset yang akut, sindrom yang khas,

adanya stress akut, tidak diketahui berapa lama gangguan akan berlangsung,

dan tidak ada penyebab organik. Pedoman diagnosis tersebut penting karena

macam-macam gangguan psikotik mempunyai kriteria diagnosis masing-

masing.

Berikut ini adalah permasalahan pada skenario 3.

Rasanya Seperti Mau Mati!

Seorang wanita, Ny.M, 40 tahun, dibawa ke UGD RS DR Moewardi

Surakarta karena tiba-tiba sesak napas, seperti tercekik, keluar keringat

dingin, dan berdebar-debar. Pasien mengatakan rasanya seperti mau mati.

Kejadian seperti ini pernah dialami oleh pasien 2 minggu sebelumnya

sehingga menjalani rawat inap di RS selama 5 hari. Pada saat itu tekanan

darah 150/90 mmHg. Setelah kejadian hari pertama tersebut sampai saat ini

pasien merasa khawatir mengalami serangan jantung atau stroke. Badan

terasa tidak sehat sehingga tidak dapat bekerja. Disamping itu pasien juga

menjadi tidak nafsu makan dan nafsu seks menurun.

Dari pemeriksaan status mental didapatkan agoraphobia dan

preokupasi terhadap serangan jantung atau stroke.

Page 3: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

3

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana mekanisme psikoneuroimmunology (PNI) dan jalur aksis

HPA?

2. Bagaimana pathogenesis dan patofisiologi terjadinya gejala yang dialami

pasien?

3. Bagaimana respon tubuh terhadap faktor-faktor psikologis yang

mempengaruhi fisik ?

4. Mengapa pasien bisa mengalami preokupasi?

5. Bagaimana proses dan efek serangan konsisi psikis pasien?

6. Bagaimana fisiologi dan gangguan psikoseksual?

7. Apa faktor risiko, penyebab, dan gejala agoraphobia?

8. Bagaimana faktor biologi yang berperan dalam menimbulkan kecemasan?

9. Apa saja faktor risiko timbulnya kelainan yang terjadi pada pasien?

10. Apakah gejala yang dialami pasien tersebut mempengaruhi tekanan

darahnya? Bagaimana mekanismenya?

11. Mengapa pasien mengalami preokupasi terhadap penyakit jantung atau

stroke?

12. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dibutukan untuk menegakka

diagnosis?

13. Apa saja differential diagnosis pada pasien tersebut?

14. Bagaimanakah penatalaksanaan yang tepat dari pasien?

15. Apa saja terapi pendahuluan yang diberikan oleh dokter kepada pasien?

16. Apa saja tindakan preventif untuk edukasi pasien?

17. Bagaimana komplikasi dan prognosis kasus pada skenario?

C. Tujuan Penulisan

1. Mahasiswa dapat memahami patofisiologi psikosomatik dan somatopsikis

gangguan psikotik.

Page 4: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

4

2. Mahasiswa dapat memahami dan dapat menjelaskan patofisiologi dan

patogenesis keluhan pada pasien gangguan psikotik.

3. Mahasiswa dapat memahami konsep otak dan sistem neuroendokrin pada

gangguan jiwa.

4. Mahasiswa dapat memahami konsstes.ep mekanisme dan respon tubuh

terhadap

5. Mahasiswa dapat memahami prosedur penegakan diagnosis dan terapi

holistik dengan mempertimbangkan faktor bio-psiko-sosio-spiritual.

6. Mahasiswa dapat mempelajari differential diagnosis pada kasus scenario.

7. Mahasiswa dapat mempelajari pencegahan, komplikasi, dan prognosis

gangguan jiwa seperti pada kasus scenario.

D. Manfaat Penulisan

Setelah terselesaikan laporan tutorial ini, kami berharap laporan tutorial ini :

1. Dapat digunakan sebagai salah satu kriteria penilaian dalam kegiatan

diskusi tutorial.

2. Dapat menjadi sebuah gambaran pengkajian sebuah skenario mengenai

psikiatri.

3. Dapat dijadikan sebagai sarana evaluasi dalam kegiatan tutorial

selanjutnya.

Page 5: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Psikoneuroimmunology (PNI) – Jalur Aksis HPA

PNI merupakan ilmu pengetahuan yang menggabungkan obat-obatan

dan ilmu pengetahuan sosial. Suatu pandangan interdisiplin pada etiologi dan

pengobatan dari banyak penyakit yang diperkuat dengan konsep holistik

secara empiris dalam pengobatan. Penyakit adalah akibat dari kolapsnya

mekanisme pertahanan terhadap stres. Sistem saraf, hormonal dan sistem

imun adalah satu kesatuan. Lingkungan sosial dan stres mempengaruhi

kepribadian individu dan menyebabkan penyakit, terutama menyebabkan

imunosupresi (Maren et al., 2012).

PNI berkonsep stress cell adalah pandangan fundamental tentang

pokok persoalan dalam PNI yang didasari oleh pemahaman sel yang

mengalami stress.Agar tidak menimbulkan salah persepsi perihal

pemberlakuan paradigma tersebut, perlu dipahami bahwa hubungan otak

dengan sistem imun melalui hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA) axis dan

autonomic nervous system (ANS) (Maren et al., 2012).

Stressor ditangkap oleh sel PVN dan sel di locus cereleus

noradrenergic center di hipotalamus, kedua sel tersebut mengalami aktivasi

atau stress tahap 1 sehingga mensekresi CRH dan APV. Kedua molekul

mengirim sinyal ke sel di hipotalamus sehingga mensekresi POMC, terutama

ACTH, sel di hipotalamus mengalami stres tahap 1 (aktivasi). Kemudian

ACTH ditangkap oleh sel di korteks adrenal, mengeluarkan glukokortikoid

dan sel di medulla adrenal mengeluarkan epinefrin (EPI)-nor epinefrin (NE);

sel di korteks dan medulla adrenal mengalami stres tahap 1 (aktivasi) dan

sudah dipahami bahwa limfosit mempunyai reseptor untuk glukokortikoid,

EPI dan NE sehingga dapat memodulasi limfosit, limfosit mengalami stres

tahap 1 (aktivasi). Sinyal stres ini kemudian memodulasi respons imun

melalui rambatan sinyal dari sel yang mengalami stress, terutama stres tahap

1 (aktivasi) dan berujung pada kejadian perubahan psikoneuroimunologis

Page 6: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

6

atau imunitas. Dengan demikian hubungan otak dengan sistem imun terjadi

melalui sel di HPA axis, yang melibatkan hormon sitokin, dan melalui sel di

jalur ANS.Dengan demikian konsep stres yang menghubungkan otak dan

sistem imun dan terjadi oleh komunikasi antar stress cell telah sesuai dengan

Triad GAS (Maren et al., 2012).

Di samping itu terdapat bukti hubungan antara kekurangan

glukokortikoid dan aktivasi imun. Sitokin proinflamasi tampaknya

menginduksi suatu sindrom “sickness behavior”. Sindrom ini, mencakup

anhedonia, anoreksia, fatique, perubahan tidur, dan disfungsi kognitif,

mempunyai banyak ciri-ciri yang tumpang-tindih dengan gangguan fisik dan

gangguan neuropsikiatrik terkait-stres, termasuk depresi berat, chronic fatigue

syndrome, fibromyalgia, dan PTSD. Pasien dengan chronic fatigue syndrome

dan fibromyalgia juga menunjukkan aktivasi imun, seperti dibuktikan melalui

peningkatan konsentrasi plasma dari reactants fase akut dan peningkatan

konsentrasi plasma dan/atau produksi sel mononuclear darah perifer, dari

sitokin proinflamasi, termasuk IL-6, TNF-β dan IL-1. Sitokin dan reseptornya

ditemukan dalam regio otak yang secara sentral terlibat dalam mediasi emosi

dan perilaku, seperti hipotalamus dan hipokampus. Penghambatan sitokin ini

menunjukkan pengurangan atau penghilangan gejala perilaku sakit setelah

infeksi atau pemberian sitokin pada percobaan binatang. Relevan dengan

patofisiologi perubahan perilaku pada gangguan terkait-stres adalah

penemuan bahwa sitokin proinflamasi adalah stimulator CRH yang poten

pada regio otak multipel dan bahwa mereka mempengaruhi turnover

neurotransmiter monoamin di hipotalamus dan hipokampus. Sitokin

proinflamasi juga menyebabkan hiperalgesia dan secara tidak langsung

dihubungkan sebagai penyebab utama pada gejala nyeri kronik, yang

biasanya menyertai gangguan terkait-stres (Maren et al., 2012).

Terdapat beberapa fenomena di mana terjadi saling mengatur antara

sistem imun dan sistem saraf pusat. Interaksi antara sistem saraf aksis HPA

dan komponen innate serta sistem imun adaptif memegang peranan dalam

regulasi inflamasi dan imunitas. Selain itu sitokin dan mediator inflamasi

Page 7: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

7

mengaktivasi reseptor nyeri perifer yang mana aksonnya berproyeksi ke

kornu dorsalis dan bersinap dengan traktus lemniskus, yang selanjutnya

membawa signal nyeri ke thalamus dan korteks somatosensorik. Aktivasi dari

jalur nosiseptif akhirnya menstimulasi aktivitas HPA. Glukokortikoid

menghambat sintesis sitokin dan mediator inflamasi, kemudian membentuk

suatu negative feedback loop. Sitokin juga bisa bekerja secara langsung di

otak untuk mengaktivasi aksis HPA. Disregulasi dari neuroendocrine loop

oleh hiperaktivitas atau hipoaktivitas aksis HPA menyebabkan perubahan

sistemik dalam inflamasi dan imunitas. Nyeri fisik, trauma emosional, dan

pembatasan kalori juga mengaktivasi aksis HPA dan menyebabkan

imunosupresi, sebaliknya penurunan aktivitas dari aksis tersebut dan

rendahnya level glukokortikoid meningkatkan kerentanan terhadap inflamasi

dan keparahan inflamasi (Maren et al., 2012).

Karena sitokin mempunyai peranan sentral dalam pengaturan respon

imun yang menggambarkan dua bentuk komunikasi neuro-imun,

imunomodulasi oleh stres psikologis dan pengkondisian perilaku dari respon

imun. Peranan sitokin pada endokrin dan efek perilaku fase akut, mempunyai

efek dalam fungsi sistem saraf pusat. Efek psikologis stres digambarkan

sebagai immunosuppressing dan immunoenhancing. Di antara mereka,

immunosuppressing yang relevan salah satunya adalah reduksi level dan

immunoenhancing IL-1, IL-2, dan IFN-gamma. Sebaliknya, beberapa dari

efek proinflamasi dari stres adalah dimediasi oleh peningkatan level IL-6, IL-

2, dan TNF dimediasi oleh neurotransmitter Substance P. Peranan yang

mungkin untuk IL-1 dan IFN-β sebagai messenger yang mungkin dalam

pengaturan imun melalui pengkondisian perilaku telah diusulkan. Sitokin

proinflamasi selanjutnya bisa mengaktivasi aksis HPA dan menginduksi

perilaku sakit selama respon fase akut, selama sistem saraf parasimpatis

berlaku sebagai jalur untuk deteksi mereka melalui sistem saraf pusat.

Terdapat temuan terbaru dalam pengaturan ekspresi sitokin oleh

neurotransmitter dari sistem saraf simpatis (epinefrin dan norepinefrin),

Page 8: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

8

merupakan kunci seluruh mekanisme komunikasi otak-imun ini (Maren et

al., 2012).

PNI bermakna khususnya untuk pengobatan psikosomatik karena

mereka menjelaskan dalam suatu jalur sistemik pengamatan klinis awal dan

penelitian ilmiah mengenai pengaruh stres pada kondisi kesehatan.

Terdapat hubungan 2 arah dalam PNI, yaitu:

a. Adanya bukti perilaku sakit ( penurunan nafsu makan, kelelahan,

somnolen )

b. Adanya gangguan medis dan pengobatan, berupa gangguan regulasi

fungsi imunitas dari gejala psikiatri, yaitu sisntesis serotonin dan

dopamine terganggu yang mengakibatkan penurunan sistem imun

akibat sintesis sitokin, ex: TNF-a (Maren et al., 2012).

Konsep PNI berdasarkan Mekanisme Limbic Hypothalamus Pituitary

Adrenal (LHPA) :

Aksis Limbic-Hypotalamo-Pituitary-Adrenal (LHPA) menerima

berbagai input, termasuk stressor yang akan mempengaruhi neuron bagian

medial parvocellular nucleus paraventricular corticotrophin releasing

hormone (CRH) dan agrinine vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem

portal untuk dibawa ke hipofisis anterior. Reseptor CRH dan AVP akan

menstimulasi hipofisis anterior untuk mensistensis adrenocorticotropin

hormone (ACTH). Kemudian ACTH mengaktifkan proses biosintesis dan

melepaskan glukokortikoid dari korteks adrenal kortison (Maren et al., 2012).

Pada kondisi stres, aksis LHPA meningkat dan glukokortikoid

diekskresikan walaupun kemudian kadarnya kembali normal melalui

mekanisme umpan balik negative. Peningkatan glukokortikoid umumnya

disertai penurunan kadar androgen dan estrogen. Karena glukokortikoid dan

steroid gonadal melawan efek fungsi imun, stres pertama akan menyebabkan

baik imunodepresi ( melalui peningkatan kadar glukokokrtikoid) maupun

imunostimulasi ( dengan menurunkan kadar steroid gonadal). Selain itu

limfosit juga mempunyai reseptor terhadap glukokortikoid, sehingga

Page 9: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

9

peningkatan kadar glukokortikoid dapat memodulasi limfosit dan limfosit

mengalami stress (Maren et al., 2012).

B. Agorafbia

Agorafobia adalah salah satu jenis gangguan kecemasan dimana orang

yang menderitanya cenderung menjauhi situasi atau tempat yang dapat

membuat dirinya panik. Orang tersebut menghindari untuk berada sendirian,

meninggalkan rumah ke tempat atau situasi yang membuat orang tersebut

merasa terperangkap dan merasa tidak akan mendapat pertolongan jika ia

mengalami kepanikan.

Orang dengan agorafobia sering merasa tidak aman terutama ketika ia

sedang berada di tempat ramai. Ketakutan berlebih itu seringkali membuat

orang dengan agorafobia lebih memilih untuk terus berdiam diri di rumah.

Tempat-tempat atau situasi yang sering ditakuti antara lain lift, acara

olahraga, jembatan, kendaraan umum, pusat perbelanjaan, pesawat terbang,

dan tempat-tempat lain dimana di tempat itu terdapat banyak kerumunan

orang.

Gejala dari agorafobia dapat meliputi:

Ketakutan berada sendiri di tiap situasi

Ketakutan di tengah keramaian

Ketakutan tidak dapat mengontrol dirinya di tempat umum

Ketakutan berada di tempat yang sulit ditinggalkan bila ia

terperangkap seperti di dalam lift

Ketakutan meninggalkan rumah dalam waktu lama

Ketakutan tidak akan mendapat pertolongan

Ketergantungan berlebih terhadap orang lain

Gejala lain dapat juga menyertai agorafobia. Gejala ini serupa dengan

gejala pada saat mengalami serangan panik, yaitu kepala terasa berat,

kesulitan bernapas, mengantuk, berkeringat berlebih, detak jantung lebih

cepat, muka kemerahan, mual, diare, nyeri dada, dan kesulitan mengunyah.

Page 10: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

10

Agorafobia biasanya merupakan komplikasi dari gangguan panik.

Gangguan panik merupakan salah satu jenis gangguan kecemasan dimana

seseorang merasa ketakutan berlebih terhadap sesuatu yang sebenarnya kecil

kemungkinannya atau bahkan tidak membuat takut. Serangan panik dapat

membuat orang sangat ketakutan sampai membuat orang itu merasa

kehilangan kontrol atas dirinya, merasa seperti terkena serangan jantung, atau

bahkan merasa di ambang kematian. Gangguan panik tersebut dapat menjadi

agorafobia ketika orang tersebut menghubungkan serangan panik yang ia

alami dengan tempat atau situasi tertentu yang ia anggap menyebabkan

serangan panik pada dirinya (Maslim, Rusdi, 2002).

Agorafobia biasanya muncul di masa akhir remaja atau awal usia 20

tahun-an, tetapi tidak menutup kemungkinan anak kecil atau orang dewasa

dapat mengalami agorafobia. Perempuan lebih sering terdiagnosis mengalami

agorafobia dibanding laki-laki. Faktor resiko lain yang dapat menjadi

penyebab seseorang mengalami agorafobia antara lain:

Pernah mengalami serangan panik

Pernah mengalami peristiwa tidak menyenangkan yang membuat

trauma, seperti kekerasan seksual atau kekerasan fisik

Mempunyai kecenderungan untuk mudah merasa cemas dan panik

Mempunyai gangguan kecanduan alkohol

Untuk menegakkan diagnosis agorafobia, semua kriteria di bawah ini

harus dipenuhi, yaitu:

a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus

merupakan manifestasi primer dari ansietasnya dan bukan sekunder

dari gejala-gejala lain seperti waham atau pikiran obsesif

b) Ansietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dalam

hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut: banyak

orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah, dan

bepergian sendiri

c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang

menonjol (penderita menjadi “housebond”) (Hall-Flavin, 2011).

Page 11: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

11

C. Preokupasi

Definisi preokupasi menurut kamus Oxford adalah keadaan dimana

seseoarang terpaku atau mengalihkan seluruh perhatiannya ke sesuatu hal. Di

skenario pasien mengalami preokupasi terhadap serangan jantung atau stroke.

Preokupasi biasanya dapat dihubungkan dengan gangguan ansietas

agoraphobia. Agoraphobia merupakan bagian dari gangguan panik (panic

disorder) menurut DSM-IV. Kebanyakan orang mengembangkan

agoraphobia setelah onset gangguan panik (panic disorder) (APA, 1998).

Beberapa hipotesis tentang etiologi dari gangguan panik, antara lain:

Menurunnya sensitivitas terhadap reseptor 5HT1A, 5HT2A/2C

Meningkatnya sensitivitas discharge dari reseptor adrenergic pada saraf

pusat, terutama reseptor alfa-2 katekolamin – meningkatnya aktivitas

locus coereleus yang mengakibatka teraktivasinya aksis hipotalamus-

pituitari-adrenal (biasanya berespons abnormal terhadap klonidin pada

pasien dengan panic disorder)

Meningkatnya aktivitas metabolic sehingga terjadi peningkatan laktat

(biasanya sodium laktat yang kemudian diubah menjadi CO2

(hiperseansitivitas batang otak terhadap CO2)

Menurunnya sensitivitas reseptor GABA-A sehingga menyebabkan

efek eksitatorik melalui amigdala dari thalamus melalui nucleus

intraamygdaloid circuitries

Model neuroanatomik memprediksikan panic attack dimediasi oleh fear

network pada otak yang melibatkan amygdale, hypothalamus, dan pusat

batang otak. Terutama pada corticostriatalthalamocortical (CSTC) yang

memediasi cemas bersama dengan sirkuit pada amygdala. Kemudian

sensai tersebut diteruskan ke korteks cingulata anterior dan/atau korteks

orbitofrontal. Selain itu diteruskan juga ke hypothalamus untuk respon

endokrin

Adanya keterlibatan genetik namun belum ditemukan gen pasti

penyebab gangguan panik (Memon, 2011).

Page 12: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

12

Kriteria gangguan panik menurut DSM-IV adalah adanya 4 atau lebih

serangan panik dalam kurun waktu 4 minggu atau 1 serangan panik yang

diikuti ketakutan selama satu bulan atau lebih. Tipe serangan panik:

a. Unexpected, tidak diasosiakan dengan pemicu internal maupun

eksternal

b. Situationally bound, muncul ketika terekspos dengan pemicu dengan

situasi tertentu atau ketika mengantisipasi situasi tersebut

c. Situationally predisposed, biasanya, namun tidak selalu muncul ketika

terekspos dengan situasi tertentu (Memon, 2011).

Pasien dengan gangguan panik yang sudah mengalami beberapa

episode serangan panik biasanya menjadi takut dengan munculya kembali

serangan panik tersebut. Hal ini dapat menimbulkan perubahan perilaku

pada pasien tersebut, antara lain menghindari situasi atau lokasi dan

preokupasi terhadap konsekuensi dari serangan panik tersebut (Memon,

2011). Misal pada pasien di skenario preokupasi terhadap serangan

jantung atau stroke setelah serangan panik.

D. Anxietas (kecemasan)

Anxietas (cemas) merupakan reaksi emosional yang timbul oleh

penyebab yang spesifik yang dapat menimbulkan perasan tidak nyaman dan

merasa terancam (Stuart dan Sundden, 2007).

Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan

adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil

tindakan untuk mengatasi ancaman (Suliswati, 2005).

Respon individu terhadap kecemasan

Menurut Stuart dan Sundden (2007) kecemasan dapat

diekspresikan langsung melalui perubahan fisiologi, perilaku, kognitif dan

afektif secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme

koping dalam upaya mempertahankan diri dari kecemasan.

1. Respon fisiologis terhadap kecemasan

Page 13: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

13

a. Pada sistem kardiovaskuler terjadi : palpitasi, jantung berdebar,

tekanan darah meningkat, rasa mau pingsan, denyut nadi dan tekanan

darah turun

b. Pada sistem saluran pernafasan terjadi : nafas cepat, pernafasan

dangkal, rasa tertekan pada dada, pembengkakan pada

tenggorokan, rasa tercekik dan terenggah-enggah.

c. Pada sistem neuromeskuler terjadi : insomnia, ketakutan, gelisah,

wajah tegang dan kelemahan secara umum

d. Pada sistem gastrointestinal terjadi : kehilangan nafsu makan, menolak

maka, nausea dan diare perasaan panas atau dingin pada kulit dan

muka pucat.

2. Respon pada perilaku

a. Perubahan pada perilaku karena kecemasan dapat terjadi :

glisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, menarik diri dan

menghindar.

b. Respon pada kognitif : dapat terjadi tidak sabar, tegang,

nervous, takut yang berlebihan, gugup yang luas biasanya dan

sangat gelisah (Hirsch et al., 2012).

Rentang respon kecemasan

Menurut Stuart dan Sundden (2007) rentang respon kecemasan dapat

digambarkan dalam rentang respon adaptif sampai maladaptif. Reaksi

terhadap kecemasan dapat bersifat kontruktif dan destruktif (Hirsch et al.,

2012).

Mekanisme Pertahanan terhadap Kecemasan

Layaknya semua perilaku dimotivasi oleh insting, begitu juga semua

perilaku mempunyai pertahanan secara alami, dalam hal untuk melawan

kecemasan. Freud membuat postulat tentang beberapa mekanisme

pertahanan namun mencatat bahwa jarang sekali individu menggunakan

hanya satu pertahanan saja. Biasanya individu akan menggunakan beberapa

mekanisme pertahanan pada satu saat yang bersamaan. Ada dua

Page 14: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

14

karakteristik penting dari mekanisme pertahanan. Pertama adalah bahwa

mereka merupakan bentuk penolakan atau gangguan terhadap realitas.

Kedua adalah bahwa mekanisme pertahanan berlangsung tanpa

disadari. Kita sebenarnya berbohong pada diri kita sendiri namun tidak

menyadari telah berlaku demikian. Tentu saja jika kita mengetahui bahwa

kita berbohong maka mekanisme pertahanan tidak akan efektif.

Beberapa mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melawan

kecemasan antara lain adalah:

a. Represi. Dalam terminologi Freud, represi adalah pelepasan tanpa

sengaja sesuatu dari kesadaran (conscious). Pada dasarnya merupakan

upaya penolakan secara tidak sadarterhadap sesuatu yang membuat

tidak nyaman atau menyakitkan. Konsep tentang represi merupakan

dasar dari sistem kepribadian Freud dan berhubungan dengan semua

perilaku neurosis.

b. Reaksi Formasi. Reaksi formasi adalah bagaimana mengubah suatu

impuls yang mengancam dan tidak sesuai serta tidak dapat diterima

norma sosial diubah menjadi suatu bentuk yang lebih dapat diterima.

c. Proyeksi. Proyeksi adalah mekanisme pertahanan dari individu yang

menganggap suatu impuls yang tidak baik, agresif dan tidak dapat

diterima sebagai bukan miliknya melainkan milik orang lain.

d. Regresi. Regresi adalah suatu mekanisme pertahanan saat individu

kembali ke masa periode awal dalam hidupnya yang lebih

menyenangkan dan bebas dari frustasi dan kecemasan yang saat ini

dihadapi

e. Rasionalisasi. Rasionalisasi merupakan mekanisme pertahanan yang

melibatkan pemahaman kembali perilaku kita untuk membuatnya

menjadi lebih rasional dan dapat diterima oleh kita. Kita berusaha

memaafkan atau mempertimbangkan suatu pemikiran atau tindakan

yang mengancam kita dengan meyakinkan diri kita sendiri bahwa ada

alasan yang rasional dibalik pikiran dan tindakan itu.

Page 15: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

15

f. Pemindahan. Suatu mekanisme pertahanan dengan cara memindahkan

impuls terhadap objek lain karena objek yang dapat memuaskan Id

tidak tersedia (Hirsch et al., 2012).

g. Sublimasi. Sublimasi melibatkan perubahan atau penggantian dari

impuls Id itu sendiri. Energi instingtual dialihkan ke bentuk ekspresi

lain, yang secara sosial bukan hanya diterima namun dipuji. Misalnya

energi seksual diubah menjadi perilaku kreatif yang artistik.

h. Isolasi. Isolasi adalah cara kita untuk menghindari perasaan yang tidak

dapat diterima dengan cara melepaskan mereka dari peristiwa yang

seharusnya mereka terikat, merepresikannya dan bereaksi terhadap

peristiwa tersebut tanpa emosi.

i. Undoing. Dalam undoing, individu akan melakukan perilaku atau

pikiran ritual dalam upaya untuk mencegah impuls yang tidak dapat

diterima. Misalnya pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif,

melakukan cuci tangan berulang kali demi melepaskan pikiran-pikiran

seksual yang mengganggu.

j. Intelektualisasi. Sering bersamaan dengan isolasi; individu

mendapatkan jarak yang lebih jauh dari emosinya dan menutupi hal

tersebut dengan analisis intelektual yang abstrak dari individu itu

sendiri (Andri, 2007).

Gangguan cemas atau anxietas

Anxietas adalah perasaan yang difius, yang sangat tidak

menyenangkan, agak tidak menentu dan kabur tentang sesuatu yang akan

terjadi. Perasaan ini disertai dengan suatu atau beberapa reaksi badaniah

yang khas dan yang akan datang berulang bagi seseorang tertentu. 

Perasaan ini dapat berupa rasa kosong di perut, dada sesak, jantung

berdebar, keringat berlebihan, sakit kepala atau rasa mau kencing atau

buang air besan. Perasaan ini disertai dengan rasa ingin bergerak dan

gelisah. “ ( Harold I. LIEF)

Gejala Umum Anxietas

Gejala psikologik:

Page 16: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

16

Ketegangan, kekuatiran, panik, perasaan tak nyata, takut mati , takut

”gila”, takut kehilangan kontrol dan sebagainya.

Gejala fisik:

Gemetar, berkeringat, jantung berdebar, kepala terasa ringan, pusing,

ketegangan otot, mual, sulit bernafas, baal, diare, gelisah, rasa gatal,

gangguan di lambung dan lain-lain. 

Keluhan yang dikemukakan pasien dengan anxietas kronik seperti:

rasa sesak nafas; rasa sakit dada; kadang-kadang merasa harus menarik

nafas dalam; ada sesuatu yang menekan dada; jantung berdebar; mual;

vertigo; tremor; kaki dan tangan merasa kesemutan; kaki dan tangan tidak

dapat diam ada perasaan harus bergerak terus menerus; kaki merasa lemah,

sehingga berjalan dirasakan beret; kadang- kadang ada gagap dan banyak

lagi keluhan yang tidak spesifik untuk penyakit tertentu (Hirsch et al.,

2012).

E. Differential Diagnosis

1. Bipolar Afektif Disorder

Gangguan bipolar dikenal juga dengan gangguan manik

depresi, yaitu gangguan padafungsi otak yang menyebabkan

perubahan yang tidak biasa pada suasana perasaan, dan proses berfikir

(NIMH, 2010). Disebut bipolar karena penyakit kejiwaan ini didominasi

adanya fluktuasi periodik dua kutub, yakni kondisi manik (bergairah tinggi yang

tidak terkendali) dan depresi (Bowden , Singh, 2003).

Gangguan afektif bipolar atau sering disebut manic-depressive illness

(MDI) merupakan salah satu kelainan yang umum terjadi dan cenderung

bersifat persisten (Bowden, 2003). Penderita MDI memiliki kondisi

dimana bisa terjadi fase depresi yang memanjang dan dalam kemudian

berubah menjadi rasa girang dan semangat yang berlebihan namun mudah

tersinggung (manik). Gangguan bipolar dibedakan menjadi bipolar I (BPI),

bipolar II (BPII), siklotimia, dan mayor depresi. BPI merupakan gangguan

Page 17: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

17

klasik manik-depresif dimana setelah episode depresi akan diikuti oleh

episode manik. Sedangkan BPII memiliki ciri setelah episode depresi akan

diikuti oleh episode hipomani (NIMH, 2010).

Penelitian mengenai genome wide association studies (GWAS) untuk

gangguan bipolar pertamakali dipublikasikan pada tahun 2008. Penelitian

tersebut mengungkapkan mengenai dua gen khusus yang berkaitan dengan

kejadian gangguan bipolar dari 4.387 kasus dan 6.209 kontrol. Gen

tersebut yaitu gen penyandi ANK3 dan CACNA1C (Ferreira, 2008). ANK

merupakan protein pengatur yang terdapat di ujung akson yang mengatur

kanal ion Na. Sedangkan CACNA1C berfungsi mengatur kanal ion

kalsium di otak (Hashimoto et al., 2007).

Selain genetik, gangguan neurotransmiter juga merupakan salah satu

penyebab terjadinya gangguan bipolar afektif. Jumlah neurotranmitter

yang berlebihan dapat menyebabkan manik atau sebaliknya depresi,

seperti serotonin dan norepinefrin atau dopamin (Hashimoto et al.,, 2007).

PAT OF ISO LOG I

1. Faktor Biologi

a. Herediter

Didapatkan fakta bahwa gangguan alam perasaan (mood)

tipe bipolar (adanyaepisode manik dan depresi) memiliki

kecenderungan menurun kepada generasinya, berdasar etiologi

biologik. 50% pasien bipolar memiliki satu orangtua

dengangangguan alam perasaan/gangguan afektif, yang tersering

unipolar (depresi saja). Jikaseorang orang tua mengidap gangguan

bipolar maka 27% anaknya memiliki resikomengidap gangguan

alam perasaan. Bila kedua orangtua mengidap gangguan bipolar

maka 75% anaknya memiliki resiko mengidap gangguan alam

perasaan. Keturunan pertama dari seseorang yang menderita

gangguan bipolar berisiko menderita gangguanserupa sebesar 7

kali. Bahkan risiko pada anak kembar sangat tinggi terutama

Page 18: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

18

padakembar monozigot (40-80%), sedangkan kembar dizigot lebih

rendah, yakni 10-20% (NIMH, 2010).

b. Genetik

Beberapa studi berhasil membuktikan keterkaitan antara

gangguan bipolar dengankromosom 18 dan 22, namun masih belum dapat

diselidiki lokus mana dari kromosomtersebut yang benar-benar terlibat.

Beberapa diantaranya yang telah diselidiki adalah4p16, 12q23-

q24, 18 sentromer, 18q22, 18q22-q23, dan 21q22. Yang

menarik daristudi kromosom ini, ternyata penderita sindrom

Down (trisomi 21) berisiko rendahmenderita gangguan bipolar

(Hashimoto et al.,, 2007).

c. Neurotransmiter

Sejak ditemukannya beberapa obat yang berhasil

meringankan gejala bipolar, peneliti mulai menduga adanya

hubungan neurotransmiter dengan gangguan bipolar.

Neurotransmiter tersebut adalah dopamine, serotonin, dan

noradrenalin. Gen-gen yang berhubungan dengan neurotransmiter

tersebut pun mulai diteliti seperti gen yangmengkode monoamine

oksidase A (MAOA), tirosin hidroksilase, catechol-

Ometiltransferase (COMT), dan serotonin transporter (5HTT)

(Dara et al., 2012).

d. Kelainan Otak

Kelainan pada otak juga dianggap dapat menjadi penyebab

penyakit ini. Terdapat perbedaan gambaran otak antara kelompok

sehat dengan penderita bipolar. Melalui pencitraan magnetic

resonance imaging (MRI) dan positron-emission tomography

(PET), didapatkan jumlah substansia nigra dan aliran darah yang

berkurang padakorteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu,

Blumberg dkk dalam Arch Gen Psychiatry 2003 pun menemukan

volume yang kecil pada amygdala dan hipokampus. Korteks

prefrontal, amygdala dan hipokampus merupakan bagian dari otak

Page 19: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

19

yang terlibat dalamrespon emosi (mood dan afek) (Dara et al.,

2012).

2. Faktor Psikososiala.Peristiwa Kehidupan dan Stres Lingkungan

Satu pengamatan klinis yang telah lama yang telah direplikasi

adalah bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih

sering mendahului episode pertama gangguan suasana perasaan

daripada episode selanjutnya. Hubungan tersebuttelah dilaporkan

untuk pasien gangguan depresif berat dan gangguan bipolar I (Kaplan

et al., 2010).

3. Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamika

Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmund Freud

mengendalilkan suatuhubungan antara kehilangan suatu objek dan

melankolia. Ia menyatakan bahwakekerasan yang dilakukan pasien

depresi diarahkan secara internal karena identifikasidengan objek yang

hilang. Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan satu-

satunya cara bagi ego untuk melepaskan suatu objek. Ia membedakan

melankolia ataudepresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien

terdepresi merasakan penurunan hargadiri yang melanda dalam

hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri

sendiri,sedangkan orang yang berkabung tidak demikian (Kaplan et al.,

2010).

4. Teori Kognitif

Menurut teori kognitif, interpretasi yang keliru (misinterpretation)

kognitif yangsering adalah melibatkan distorsi negatif, pengalaman

hidup, penilaian diri yangnegatif, pesimisme, dan keputusasaan.

Pandangan negatif yang dipelajari tersebutselanjutnya menyebabkan

perasaan depresi. Seorang ahli terapi kognitif berusaha untuk

mengidentifikasi hal yang negatif dengan menggunakan tugas perilaku,

sepertimencatat dan secara sadar memodifikasi pikiran pasien (Kaplan

et al., 2010).

KRITERIA DIAGNOSTIK

Page 20: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

20

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV, gangguan

bipolar dibedakan menjadi 2 yaitu gangguan bipolar I dan II. Gangguan

bipolar I atau tipe klasik ditandai dengan adanya 2 episode yaitu manik

dan depresi, sedangkan gangguan bipolar II ditandai dengan hipomanik

dan depresi. PPDGJ III membaginya dalam klasifikasi yang berbeda yaitu

menurut episode kini yang dialami penderita (Rusdi, 2001).

Diagnosis dari BP I ditegakkan dengan setidaknya terdapat episode

manic paling tidak dengan durasi 1 minggu yang mengindikasikan

penderita untuk dirawat inap atau kelainan lain yang signifikan dalam

fungsi okupasi dan sosial. Episode manic bukan disebabkan oleh penyakit

medis lain atau penyalahgunaan zat. Kriteria ini berdasarkan spesifikasi

dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth

Edition, Text Revision (DSM-IV-TR).

Episode mani k ditandai oleh gejala-gejala berikut ini :

- Setidaknya terdapat 1 minggu gangguan mood yang dalam, yang

ditandai dengan suasana perasaan yang meningkat (elasi), mudah

marah (iritabel), atau adanya keinginan untuk keluar rumah.

- Gejala lain yang menyertai antara lain (paling tidak 3 atau lebih):

Perasaan kebesaran; gangguan tidur; nada suara yang tinggi dan bicara

berlebihan; flight of ideas; menghilangkan bukti kekacauan pikiran;

meningkatnya tingkat fokus kerja di rumah, tempat kerja atau seksual;

meningkatnya aktivitas yang menyenangkan dan bahkan yang

memiliki konsekuensi menyakitkan.

- Gangguan mood cukup untuk membuat kerusakan di tempat kerja,

membahayakan pasien atau orang lain.

- Gangguan suasana perasaan tersebut bukan disebabkan oleh

penyalahgunaan zat atau karena gangguan medis lain.

Episode hipomanic ditandai oleh gejala-gejala berikut :

- Penderita mengalami suasana perasaan yang meningkat (elasi), adanya

keinginan untuk keluar rumah, atau mudah marah (iritabel) setidaknya

selama 4 hari.

Page 21: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

21

- Paling tidak terdapat 3 atau lebih gejala-gejala berikut ini : Perasaan

kebesaran atau mengagumi diri sendiri; gangguan tidur; nada suara

tinggi; flight of ideas; menghilangkan bukti kekacauan pikiran; agitasi

psikomotor di rumah, tempat kerja atau seksual; mulai melakukan

aktivitas dengan resiko tinggi terhadap konsekuensi yang menyakitkan.

- Gangguan mood tampak oleh orang lain.

- Gangguan suasana perasaan tersebut bukan disebabkan oleh

penyalahgunaan zat atau karena gangguan medis lain (Dara et al.,

2012).

PROGNOSIS

Gangguan bipolar I mempunyai prognosis lebih buruk daripada bipolar

II. Kira-kira 40-50 persen pasien gangguan bipolar I memiliki episode

manik dalam waktu dua tahun setelah episode pertama. Walaupun

profilaksis litium memperbaiki perjalanan penyakit dan prognosisnya,

kemungkinan hanya 50-60 persen pasien mencapai pengendalian

bermakna atas gejalanya dengan litium.

TERAPI

Terapi pada gangguan bipolar ini adalah secara farmakoterapi dan

psikoterapi:

a. Farmakoterapi

Pengobatan gangguan bipolar I telah diubah oleh banyak penelitian

yang telah membuktikan kemajuan dua dari anti konvulsan –

karbamazepin dan valproat- di dalam pengobatan episode manik dan

depresif pada gangguan bipolar I.

Bila litium dan kemungkinan karbamazepin dan valproat adalah

obat lini pertama untuk pengobatan gangguan bipolar I, obat lini kedua

sekarang termasuk anti konvulsan lain (clonazepin), suatu penghambat

saluran kalsium (verapamil) dan anti psikotik khususnya clozapin;

terapi elektrokonvulsif adalah terapi lini ke dua lainnya.

Page 22: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

22

b. Psikoterapi

1. Terapi kognitif. Tujuan : menghilangkan episode depresif dan

mencegah rekurennya dengan membantu pasien mengidentifikasi

dan uji kognitif negatif, mengembangkan cara berfikir alternatif,

fleksibel dan positif, juga melatih kembali respon kognitif dan

pikiran yang baru.

2. Terapi interpersonal. Memusatkan pada satu atau dua masalah

interpersonal pasien yang sedang dialaminya sekarang.

3. Terapi perilaku. Dengan memusatkan pada perilaku mal adaptif di

dalam terapi, pasien belajar untuk berfungsi di dunia dengan cara

tertentu dimana mereka mendapat dorongan positif dari

lingkungan.

4. Terapi berorientasi psikoanalitik. Pendekatan psikoanalitik

didasarkan pada depresi dan mania. Tujuannya adalah untuk

mendapatkan perubahan pada struktur atau karakter kepribadian

pasien, bukan untuk hilangkan gejala.

5. Terapi keluarga. Diindikasikan jika gangguan membahayakan

perkawinan atau fungsi keluarga pasien (Dara et al., 2012).

2. ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders)

ETIOLOGI

Penyebab pasti dan patologi ADHD masih belum terungkap secara

jelas. Seperti halnya gangguan autism, ADHD merupakan statu kelainan

yang bersifat multi faktorial. Banyak faktor yang dianggap sebagai

peneyebab gangguan ini, diantaranya adalah faktor genetik,

perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan otak saat perinatal,

tingkat kecerdasan (IQ), terjadinya disfungsi metabolisme, ketidak

teraturan hormonal, lingkungan fisik, sosial dan pola pengasuhan anak

oleh orang tua, guru dan orang-orang yang berpengaruh di sekitarnya.

Faktor genetik tampaknya memegang peranan terbesar terjadinya

gangguan perilaku ADHD. B eberapa penelitian yang dilakukan

Page 23: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

23

ditemukan bahwa hiperaktifitas yang terjadi pada seorang anak selalu

disertai adanya riwayat gangguan yang sama dalam keluarga setidaknya

satu orang dalam keluarga dekat. Didapatkan juga sepertiga ayah

penderita hiperaktif juga menderita gangguan yang sama pada masa

kanak mereka. Orang tua dan saudara penderita ADHD mengalami

resiko 2-8 kali lebih mudah terjadi ADHD, kembar monozygotic lebih

mudah terjadi ADHD dibandingkan kembar dizygotic juga menunjukkan

keterlibatan fator genetik di dalam gangguan ADHD. Keterlibatan

genetik dan kromosom memang masih belum diketahui secara pasti.

Beberapa gen yang berkaitan dengan kode reseptor dopamine dan

produksi serotonin, termasuk DRD4, DRD5, DAT, DBH, 5-HTT, dan 5-

HTR1B, banyak dikaitkan dengan ADHD.

Penelitian neuropsikologi menunjukkkan kortek frontal dan sirkuit

yang menghubungkan fungsi eksekutif bangsal ganglia. Katekolamin

adalah fungsi neurotransmitter utama yang berkaitan dengan fungsi otak

lobus frontalis. Sehingga dopaminergic dan noradrenergic

neurotransmission tampaknya merupakan target utama dalam

pengobatan ADHD.

Teori lain menyebutkan kemungkinan adanya disfungsi sirkuit

neuron di otak yang dipengaruhi oleh dopamin sebagai neurotransmitter

pencetus gerakan dan sebagai kontrol aktifitas diri. Akibat gangguan

otak yang minimal, yang menyebabkan terjadinya hambatan pada sistem

kontrol perilaku anak. Dalam penelitian yang dilakukan dengan

menggunakan pemeriksaan MRI didapatkan gambaran disfungsi otak di

daerah mesial kanan prefrontal dan striae subcortical yang

mengimplikasikan terjadinya hambatan terhadap respon-respon yang

tidak relefan dan fungsi-fungsi tertentu. Pada penderita ADHD terdapat

kelemahan aktifitas otak bagian korteks prefrontal kanan bawah dan

kaudatus kiri yang berkaitan dengan pengaruh keterlambatan waktu

terhadap respon motorik terhadap rangsangan sensoris (Widodo, 2009).

KRITERIA DIAGNOSIS

Page 24: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

24

Untuk mendiagnosis ADHD digunakan kriteria DSM IV yang juga

digunakan, harus terdapat 3 gejala : Hiperaktif, masalah perhatian dan

masalah konduksi.

HIPERAKTIFITAS

2. Sering merasa gelisah tampak pada tangan, kaki dan menggeliat

dalam tempat duduk

3. Sering meninggalkan tempat duduk dalam kelas atau situasi lain

yang mengharuskan tetap duduk.

4. Sering berlari dari sesuatu atau memanjat secara berlebihan dalam

situasi yang tidak seharusnya

5. Sering kesulitan bermain atau sulit mengisi waktu luangnya

dengan tenang.

6. Sering berperilaku seperti mengendarai motor

7. Sering berbicara berlebihan

IMPULSIF

1. Sering mengeluarkan perkataan tanpa berpikir, menjawab

pertanyaan sebelum pertanyaannya selesai.

2. Sering sulit menunggu giliran atau antrian

3. Sering menyela atau memaksakan terhadap orang lain (misalnya

dalam percakapan atau permainan) (APA, 1994; David et al.,

2012).

PENATALAKSANAAN

Program penatalaksanaan terdiri dari : farmakoterapi, terapi

perilaku, kombinasi keduanya, perhatian sosial dari komunitas secara

berkala dan terapi nutrisi. Psikososial meliputi intervensi individu anak,

orang tua, sekolah baik guru maupun fasilitas tempat sekolah dan sosial.

Melakukan pelatihan orang tua maupun guru dalam hal gejala maupun

penatalaksanaan ADHD. Untuk melakukan penatalaksanaan ADHD

perlu dilakukan identifikasi apakah di samping gejala pokok ADHD

didapatkan komorbiditas. Pengobatan tahap pertama dilakukan selama

14 bulan kemudian dilakukan evaluasi tingkah laku oleh orang tua, guru

Page 25: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

25

dan lingkungan. Tujuan dari pengobatan pada anak dengan ADHD yaitu

meningkatkan hubungan anak dengan lingkungan, menurunkan tingkah

laku yang terlalu aktif dan tidak menyenangkan, memperbaiki

kemampuan akademis dan dapat menyelesaikan tugas dengan baik,

meningkatkan perawatan diri dan percaya diri dalam pergaulan di

lingkungannya (David et al., 2012).

Pemakaian medikamentosa dapat mengontrol ADHD sekitar 70%.

Obat yang digunakan jenis stimulan (methylphenidate) dan

amphetamine. Obat ini mempunyai pengaruh pada sistem dopaminergik

atau noradrenergik sirkuit korteks lobus frontalis-subkortikal,

meningkatkan kontrol inhibisi dan memperlambat potensiasi antara

stimulasi dan respon, sehingga mengurangi gejala impulsif dan tidak

dapat mengerjakan tugas (David et al., 2012).

PROGNOSIS

Gejala hiperaktif akan berkurang pada masa adolescence,

sedangkan gejala impulsive dan emosi yang labil akan menetap. Anak

dengan ADHD pada waktu dewasa sering masih mempunyai gejala

agresif dan menjadi pencandu minuman keras/alcoholism) (Hartanto,

Fitri, 2011).

Prognosis lebih baik bila didapatkan fungsi intelektual yang tinggi,

dukungan yang kuat dari keluarga, temen teman yang baik, diterima di

kelompoknya dan diasuh oleh gurunya serta tidak mempunyai satu atau

lebih komorbid gangguan psikiatri(Hartanto, Fitri, 2011).

PENYULIT

Anak yang menderita ADHD biasanya dihubungkan dengan prestasi belajar yang rendah, kesulitan dalam menjalin hubungan interpersonal dan mempunyai rasa percaya diri yang rendah (Hartanto, Fitri, 2011).

Page 26: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

26

3. Gangguan Somatoform

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang

memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di

mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan

keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan

emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan

pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan.

Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang

disadari atau gangguan buatan.

Ada lima gangguan somatoform yang spesifik adalah:

Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak keluhan fisik yang

mengenai banyak sistem organ.

Gangguan konversi ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.

Hipokondriasis ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada

kepercayaan pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.

Gangguan dismorfik tubuh ditandai oleh kepercayaan palsu atau

persepsi yang berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami

cacat.

Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata

berhubungan dengan faktor psikologis atau secara bermakna

dieksaserbasi oleh faktor psikologis.

DSM-IV juga memiliki dua kategori diagnostik residual untuk

gangguan somatoform:

Undiferrentiated somatoform, termasuk gangguan somatoform, yang

tidak digolongkan salah satu diatas, yang ada selama enam bulan

atau lebih (Hirsch et al., 2012).

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi

1. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun

yang terjadi selama periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi,

yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial,

pekerjaan, atau fungsi penting lain.

Page 27: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

27

2. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual

yang terjadi pada sembarang waktu selama perjalanan gangguan:

1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan

sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan

(misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak,

dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual,

atau selama miksi)

2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala

gastrointestinal selain nyeri (misalnya mual, kembung,

muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi

terhadap beberapa jenis makanan)

3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual

atau reproduktif selain dari nyeri (misalnya indiferensi

seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak

teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang

kehamilan).

4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu

gejala atau defisit yang mengarahkan pada kondisi neurologis

yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti

gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau

kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di

tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya

sensasi atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian,

kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya

kesadaran selain pingsan).

3. Salah satu (1)atau (2):

1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria

B tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi

medis umum yang dikenal atau efek langsung dan suatu zat

(misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)

Page 28: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

28

2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau

gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah

melebihi apa yang diperkirakan dan riwayat penyakit,

pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.

4. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti

gangguan buatan atau pura-pura) (Maren et al., 2012).

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi

1. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik

volunter atau sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis

atau kondisi medis lain.

2. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau

defisit karena awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah

didahului oleh konflik atau stresor lain.

3. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat

(seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura).

4. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan,

dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek

langsung suatu zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman yang

diterima secara kultural.

5. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara

klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi

penting lain atau memerlukan pemeriksaan medis.

6. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual,

tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi,

dan tidak dapat diterangkan dengan lebih baik oleh gangguan mental

lain.

7. Sebutkan tipe gejala atau defisit: Dengan gejata atau defisit motorik

Dengan gejala atau defisit sensorik. Dengan kejang atau konvulsi

Dengan gambaran campuran

Page 29: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

29

Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis

1. Pereokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia

menderita, suatu penyakit serius didasarkan pada interpretasi keliru

orang tersebut terhadap gejalagejala tubuh.

2. Perokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis

yang tepat dan penentraman.

3. Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti

gangguan delusional, tipe somatik) dan tidakterbatas pada

kekhawatiran tentang penampilan (seperti pada gangguan dismorfik

tubuh).

4. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara kilnis

atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting

lain.

5. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan.

6. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan

kecemasan umum, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik,

gangguan depresif berat, cemas perpisahan, atau gangguan

somatoform lain.

Sebutkan jika: Dengan tilikan buruk: jika untuk sebagian besar waktu

selama episode berakhir, orang tidak menyadari bahwa

kekhawatirannya tentang menderita penyakit serius adalah berlebihan

atau tidak beralasan (Maren et al., 2012).

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh

1. Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika

ditemukan sedikit anomali tubuh, kekhawatiran orang tersebut

adalah berlebihan dengan nyat.

2. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis

atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting

lainnya.

Page 30: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

30

3. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental

lain (misalnya, ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada

anorexia nervosa).

4. Gangguan Psikosomatik

Kriteria Diagnostik Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Kondisi

Medis

1. Adanya suatu kondisi medis umum (dikodekan dalam Aksis III)

2. Faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis umum dengan

salah satu cara berikut:

1. Faktor yang mempengaruhi perjalanan kondisi medis umum

ditunjukkan oleh hubungan erat antara faktor psikologis dan

perkembangan atau eksaserbasi dan, atau keterlambatan

penyembuhan dan, kondisi medis umum.

2. Faktor yang mengganggu pengobatan kondisi medis umum.

3. Faktor yang membuat risiko kesehatan tambahan bagi

individu.

4. Respons fisiologis yang berhubungan dengan stres

menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala-gejala kondisi

medis umum.

Pilihlah nama bendasarkan sifat faktor psikologis (bila terdapat

lebih dan satu faktor, nyatakan yang paling menonjol)

Gangguan mental mempengaruhi kondisi medis (seperti

gangguan depresif berat memperiambat  pemulihan dan infark

miokardium).

Gejala psikologis mempengaruhi kondisi medis

(misalnya gejala depresif memperlambat pemulihan dan

pembedahan; kecemasan mengeksaserbasi asthma)

Sifat kepribadlan atau gaya menghadapi masalah

mempengaruhi kondisi medis (misalnya penyangkaian

psikologis terhadap pembedahan pada seorang pasien kanker,

Page 31: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

31

perilaku bermusuhan dan tertekan menyebabkan penyakit

kandiovaskular).

Perilaku kesehatan maladaptif mempengaruhi kondisi

medis (misalnya tidak olahraga, seks yang tidak aman, makan

benlebihan).

Respon fisiologis yang berhubungan dengan stres

mempengaruhi kondisi medis umum (misalnya eksaserbasi

ulkus, hipertensi, aritmia, atau tension headache yang

berhubungan dengan stres). Faktor psikologis lain yang tidak

ditentukan mempengaruhi kondisi medis (misalnya faktor

interpersonal, kultural, atau religius) (Maren et al., 2012).

Terapi Gangguan Psikomatis

Konsep penggabungan psikoterapetik dan pengobatan medis,

yaitu pendekatan yang menekankan hubungan pikiran dan tubuh

dalam penbentukan gejala dan gangguan, memerlukan tanggung

jawab bersama di antara berbagai profesi. Permusuhan, depresi, dan

kecemasan dalam berbagai proporsi adalah akar dan sebagian besar

gangguan psikomatik. Kedokteran psikosomatik terutama

mempermasalahkan penyakit-penyakit tersebut yang menampakkan

manifestasi somatik.

Terapi kombinasi merupakan pendekatan di mana dokter

psikiatrik menangani aspek psikiatrik, sedangkan dokter ahli penyakit

dalam atau dokter spesialis lain menangani aspek somatik. Tujuan

terapi medis adalah membangun keadaan fisik pasien sehingga pasien

dapat berperan dengan berhasil, serta psikoterapi untuk kesembuhan

totalnya. Tujuan akhirnya adalah kesembuhan, yang berarti resolusi

gangguan struktural dan reorganisasi kepribadian. Psikoterapi

kelompok dan terapi keluarga. Terapi keluarga menawarkan harapan

suatu perubahan dalam hubungan keluarga dan anak, mengingat

kepentingan psikopatologis dari hubungan ibu-anak dalam

perkembangan gangguan psikosomatik. keluarga dan anak, mengingat

Page 32: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

32

kepentingan psikopatologis dari hubungan ibu-anak dalam

perkembangan gangguan psikosomatik (Pardamean, 2007 ; Maren et

al, 2012).

F. Ekstasi

Ekstasi merupakan salah satu golongan psikotropika berbentuk kapsul

atau tablet. Kandungan yang terdapat dalam ekstasi adalah amfetamin. Akibat

yang tampak saat penyalahgunaan ekstasi adalah orang tersebut menjadi

hiperaktif, berkeringat, pusing, gemetar, detak jantung cepat dan kehilangan

nafsu makan.

Menurut UU RI No 5 / 1997, Psikotropika adalah: zat atau obat, baik

alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui

pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan

khas pada aktifitas mental dan perilaku. Psikotropika terdiri dari 4 golongan

yang salah satunya terdapat ekstasi yang dimasukkan ke dalam golongan I

yaitu psikotropika yang hanya dapat digunakan sebagai tinjauan

ilmupengetahuan dan tidak untuk terapi yang memiliki potensi kuat

mengakibatkan ketergantungan.

Ekstasi atau amfetamin biasa digunakan sebagai penunda kelelahan.

Dalam hal ini dapat mengurangi frequensi hilangnya perhatian akibat kurang

tidur. Obat ini dapat mengakibatkan gangguan pola tidur yang akan kembali

normal dalam waktu dua bulan. Penggunaan lama dapat menyebabkan

depresi mental dan kelelahan fisik. Selain itu amfetamin juga memiliki efek

anoreksia atau penurunan nafsu makan, hal ini terjadi karena obat ini bekerja

ke sentral ke pusat makan. Efek lain yaitu peningkatan mood, peningkatan

percaya diri dan daya konsentrasi, sering dijumapai juga efek euphoria dan

peningkatan aktivitas motorik dan bicara.( Psikotropika yang hanya dapat

digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,

serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Contoh: Ekstasi (Umar et al., 2010).

Page 33: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

33

Page 34: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

34

BAB III

PEMBAHASAN

Pada skenario kasus dijelaskan bahwa terdapat seorang wanita berumur 40

tahun yang dibawa ke UGD karena tiba-tiba sesak napas, seperti tercekik, keluar

keringat dingin, dan berdebar-debar. Jenis kelamin dan usia ikut mempengaruhi

hal yang dirasakan pasien karena perempuan (prevalensi seumur hidup 30,5%)

lebih cenderung mengalami gangguan ansietas daripada laki-laki (prevalensi

seumur hidup 19,2%). Prevalensi gangguan ansietas menurun dengan

meningkatnya status sosio-ekonomik. Gangguan panik → perempuan lebih

mudah terkena dua hingga tiga kali daripada laki-laki. Gangguan panik paling

lazim timbul pada dewasa muda (sekitar 25 tahun) tetapi gangguan panik dan

agorafobia dapat timbul pada usia berapapun (Kaplan & Sadock, 2010). Selain itu,

Prevalensi gangguan somatisasi biasanya dua kali lebih tinggi pada perempuan

dibanding pada laki-laki (Kronke&Spitze, 1998). Tiba-tiba sesak napas dan sering

tercekik merupakan efek fisiologis pada pernapasan pada pasien yang mengalami

gangguan ansietas. Kemudian, gejala keluar keringat dingin merupakan efek pada

kulit dan gejala berdebar-debar merupakan efek pada kardivaskular (Dewi B,

2012).

Pasien mengatakan rasanya seperti mau mati. Kejadian tersebut pernah

dialami pasien dua minggu sebelumnya sehingga menjalani rawat inap di RS

selama lima hari. Rasa seperti mau mati yang dialami pasien tampaknya sangat

parah sehingga dibutuhkan rawat inap di RS. Rasa mau mati ini kemungkinan

disebabkan oleh gangguan somatoform yang dirasakan oleh pasien yang

mempunyai ciri utama adanya keluhan gejala fisik yang berulang, yang disertai

dengan permintaan pemeriksaan medis : meskipun sudah berkali-kali terbukti

hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan oleh dokter bahwa tidak ditemukan

kelainan fisik yang menjadi dasar keluhannya ( Dinkes Sulsel, 2012).

Pada saat itu tekanan darah pasien 150/90 mmHg. Setelah kejadian

pertama tersebut sampai saat ini, pasien merasa khawatir mengalami serangan

Page 35: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

35

jantung atau stroke. Badan tidak sehat sehingga tidak dapat bekerja. Tekanan

darah pasien meninggi bukan disebabkan oleh penyakit serangan jantung atau

stroke melainkan merupakan penyakit psikogenik dikarenakan pasien merasa

khawatir yang dapat menimbulkan stress. Selama stres, selain terjadi perubahan-

perubahan hormon yang memobilisasi simpanan energi, hormon-hormon lain

secara bersamaan juga diaktifkan untuk mempertahankan volume dan tekanan

darah selama keadaan darurat. Sistem simpatis dan epinefrin berperan penting

dengan langsung bekerja pada jantung dan pembuluh darah untuk meningkatkan

fungsi sirkulasi. Selain itu, sistem renin-angiotensin-aldosteron juga diaktifkan

sebagai akibat dari penurunan aliran darah ke ginjal yang dipicu oleh sistem

simpatis. Sekresi vasopresin juga meningkat selama keadaan stres. Secara

kolektif, hormon-hormon ini meningkatkan volume plasma dengan mendorong

retensi garam dan H2O (Sherwood, 2001).

Pasien merasa bahwa dirinya tidak nafsu makan dan nafsu seks menurun.

Hal ini dikarenakan terjadi penurunan neurotransmitter serotonin pada sistem

saraf pusat pasien. Serotonin berfungsi untuk mengatur tidur, bangun, nafsu

makan, libido, agresi persepsi nyeri, koordinasi, dan penilaian (Dinkes Cirebon,

2012). Dari status mental didapatkan agoraphobia dan preokupasi terhadap

serangan jantung atau stroke. Agoraphobia adalah ketakutan yang hebat yang

membuat tidak berdaya akan tempat atau situasi yang sulit untuk meloloskan diri

atau sulit untuk meloloskan diri atau sulit untuk mendapatkan pertolongan apabila

terjadi serangan cemas. Sedangkan, preokupasi adalah pikiran terpaku hanya pada

sebuah idea saja, yang biasanya berhubungan dengan keadaan bernada emosional

yang kuat(Maramis, 2009).

Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang

sederhana (seperti pemeriksaan EKG dan treadmill), dan pemeriksaan penunjang

canggih, (seperti pemeriksaan CT-Scan, MRI dan angiografi koroner).

Pada skenario, pasien merasa seperti mau mati dan mengalami preokupasi

terhadap serangan jantung atau stroke. Maka menurut Consultation Liaison

Page 36: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

36

Psychiatry, perlu diperhatikan penyebab pasien merasa mau mati maupun alasan

preokupasi terhadap serangan jantung atau stroke. Pasien juga dilakukan

pemeriksaan jantung dan pemeriksaan penunjang lainnya untuk mengetahui

kondisi medis pasien yang sesungguhnya. Kemudian pasien diberi nasihat

mengenai ketakutannya akan serangan jantung dan stroke sebaiknya dihilangkan.

Jika pasien perlu diberi obat-obat psikotropik, dinasihati bahwa obat-obatan

tersebut tidak selalu membuat ketagihan asalkan berada dalam pengawasan dokter

juga dengan dosis yang tidak berlebihan.

Page 37: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

37

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Gangguan panik merupakan suatu gangguan kejiwaan yang

membutuhkan penanganan jangka panjang.

2. Penatalaksanaan efektif untuk menangani gangguan panik adalah terapi

CBT (Cognitive Behaviour Theraphy), terapi medikasi SSRI dan trisiklik

sebagai terapi lini pertama dan golongan benzodiazepin potensi tinggi,

MAOI dan obat anti-panik jenis lain menjadi terapi lini kedua.

3. Diskusi tutorial skenario 3 pada blok pskiatri ini sudah berjalan dengan

baik dan lancar, peserta diskusi sudah aktif memberikan pendapat-

pendapatnya.

4. Pasien diduga kuat mengalami gangguan anxietas fobik khusus

agoraphobia, yaitu ketakutan hebat yang membuat tidak berdaya pada

ruangan terbuka yang luas dan banyak orang di tempat tersebut.

5. Pasien juga diduga mengalami gangguan preokupasi terhadap serangan

jantung dan stroke, tetapi belum sampai kepada gangguan jiwa obsesif.

6. Tekanan darah yang tinggi diakibatkan naiknya norepinefrin yang

mengakibatkan naiknya tingkat kewaspadaan.

B. Saran

1. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang lebih lengkap untuk

mengetahui diagnosis pasti pada pasien.

2. Perlu diedukasikan kepada pasien skabies untuk meningkatkan kesadaran

mengenai pentingnya menjaga higienisitas pribadi dan lingkungan.

3. Terus meningkatkan semangat kerjasama seluruh anggota kelompok dari

mulai tutorial sesi pertama sampai pembuatan laporan demi terwujudnya

tujuan pembelajaran seutuhnya.

Page 38: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

38

DAFTAR PUSTAKA

Andri. 2007. Teori Kecemasan Berdasarkan Psikoanalisis Klasik dan Berbagai

Mekanisme Pertahanan terhadap Kecemasan. Majalah Kedokteran

Indonesia, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007.

APA. 1974. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed.

Washington, DC: American Psychiatric Association Press; 1994: 78-85.

Bowden C , Singh V. 2003. Long-term management of bipolar disorder. Available

at http://www.medscape.com/viewprogram/2686 . Accesed 9 desember

2012.

Dara M. Cannon, Jacqueline M. Klaver, Summer A. Klug, Paul J. Carlson, et al.

2012. Gender-specific abnormalities in the serotonin transporter system

in panic disorder. Neuropsychopharmacology. The international journal

of neuropsychopharmacology / firstview article, pp 1-11.

David R Coghill, Kirsty M Hogg. 2012. Molecular Genetics of Attention Deficit–

Hyperactivity Disorder (ADHD). Published Online: 17 SEP 2012.

Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta :

EGC.

Ferreira ma, O'donovan mc, et al. Collaborative genome-wide association analysis

supports a role for ank3 and cacna1c in bipolar disorder. Nat genet. Sep

2008;40(9):1056-8.

Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.

Jakarta: EGC.

Hall-Flavin. 2011. Agoraphobia. Mayo Foundation for Medical Education and

Research (MFMER) (diakses pada 8 Desember 2012)

Hartanto, Fitri. 2011. Gangguan Pemusatan Perhatian Dan Hiperaktivitas (GPPH)

Pada Remaja. Bagian IKA FK UNDIP/SMF Kesehatan Anak RS.Dr.

Kariadi, Semarang.

Page 39: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

39

Hashimoto k, Sawa A, Iyo M. Increased levels of glutamate in brains from

patients with mood disorders. Biol psychiatry. Dec 1 2007;62(11):1310-

6.

Hirsch, Colette R.; Hayes, Sarra; Mathews, Andrew; Perman, Gemma; Borkovec,

Tom . 2012. The extent and nature of imagery during worry and positive

thinking in generalized anxiety disorder. Journal of Abnormal

Psychology, Vol 121(1), Feb 2012, 238-243. doi: 10.1037/a0024947

Kapplan, Harold I, Benyamin J, Sadock, Jack A Grebb. 2010, Sinopsis Psikiatri

Jilid 2. Philadelphia:Lippincott William and Wilikins.

Maren Wolfram, Silja Bellingrath , Nicolas Feuerhahn , Brigitte M. Kudielka .

2012. Emotional exhaustion and overcommitment to work are

differentially associated with hypothalamus–pituitary–adrenal (HPA)

axis responses to a low-dose ACTH1–24 (Synacthen) and dexamethasone–

CRH test in healthy school teachers. Vol. 16, No. 1 , Pages 54-64

(doi:10.3109/10253890.2012.683465)

Maslim, Rusdi. 2002. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari

PPDGJ-III. Jakarta.

Memon, Mohammed A. 2011. Panic Disorder.

http://emedicine.medscape.com/article/287913 -overview. diakses pada

16 Desember 2012.

NIMH. Bipolar disorder. 2010 .

http://www.nimh.nih.gov/health/publications/bipolar disorder/complete-

index.shtml.

Pardamean E.2007.Gangguan Somatoform.Jakarta.

Rusdi M. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas ppdgj-iii. Jakarta:bagian ilmu

kedokteran jiwa fk-unika atmajaya; 2001.

Suliswati. 2005. Konsep Dasar keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Page 40: Bismillah LAPORAN Psikiatri Skenario3

40

Umar zein, Ariantho purba, Yosia ginting, dan t. Bachtiar pandjaitan. 2012.

Beberapa aspek keracunan di bagian penyakit dalam rumah sakit h.

Adam malik, medan. Divisi penyakit tropik dan infeksi, bagian penyakit

dalam fk usu/rs h. Adam malik, medan

W, Stuart Gail, I, Sudden Sudra. 2007. Buku Saku keperawatan Jiwa, edisi 3 (alih

Bahasa). Jakarta : EGC.

Widodo J. 2009. Deteksi dini ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders).

Pemutakhiran Terakhir. 21:36