Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

23
BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI Oleh: Patar Freddy Baringbing Pembimbing : Dr. Dimyati Achmad, dr., SpB(K)-Onk SUB BAGIAN BEDAH ONKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN

description

Onkologi

Transcript of Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

Page 1: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI

Oleh:

Patar Freddy Baringbing

Pembimbing :

Dr. Dimyati Achmad, dr., SpB(K)-Onk

SUB BAGIAN BEDAH ONKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN

BANDUNG

2013

Page 2: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI

Pendahuluan

Asal mula kata biopsi berasal dari bahasa Yunani yang artinya bio adalah

kehidupan dan opsis adalah penglihatan. Pengertian dari biopsi yaitu tindakan

pengambilan dan pemeriksaan dari jaringan tubuh yang hidup, yang dilakukan untuk

menegakkan diagnosis pasti. Peran dari biopsi antara lain sebagai sarana diagnostik

yang bisa menentukan histologi tumor dan gradasi serta membantu perencanaan terapi

definitif.

Pada prakteknya, hasil dari pemeriksaan sitologi yang umumnya dilaporkan

adalah:3

1. Sel-sel peradangan

2. Tumor jinak

3. Sel-sel atipikal

4. Kecurigaan ke arah keganasan

5. Positif untuk keganasan

Sampai saat ini beberapa tehnik biopsi yang digunakan oleh klinisi antara lain:

biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biospy), biopsi core-needle, biopsi

insisi, dan biopsi eksisi. Untuk lesi di kulit dapat dipakai tehnik shave biopsy,

saucerization biopsy, dan punch biopsy. Kalau lesi mukosa biasanya dilakukan secara

endoskopi (contoh via kolonoskop, bronkoskop, sistoskop). Lesi yang mudah dipalpasi,

seperti lesi di kulit, dapat dieksisi atau dilakukan punch biopsi. Lesi yang lebih dalam

dapat dilokalisasi dengan CT atau ultrasonografi untuk biopsi. Untuk menentukan

pilihan biopsi yang akan dilakukan tergantung dari ukuran dan lokasi massa dan

pengalaman patologis.

1

Page 3: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

JENIS-JENIS BIOPSI

1. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Fine-Needle Aspiration Biopsy / FNAB)

Biopsi aspirasi dengan jarum halus merupakan metode pengambilan materi

diagnostik untuk pemeriksaan sitologi (sel) dan histologi (jaringan) yang hanya

menyebabkan trauma minimal pada pasien.3 Aspirasi dapat diambil dari hampir semua

bagian tubuh, termasuk mulut, payudara, hepar, saluran kemih, saluran respirasi, urin,

cairan serebrospinal dan tiroid. FNAB mudah, atraumatik, dan relatif aman. Nilai

normal berarti tidak ada sel-sel atau jaringan abnormal dalam aspirasi.

Untuk tumor yang dalam dapat dilakukan dengan panduan CT. Kekurangan

teknik ini antara lain tidak memberikan informasi mengenai arsitektur jaringan. Sebagai

contoh, biopsi jarum halus pada massa payudara dapat mendiagnosis keganasan, tetapi

tidak dapat mendiferensiasi antara tumor yang invasif atau tidak invasif. FNA juga

memerlukan sitopatologis yang terlatih untuk interpretasi spesimen. Sensitivitas FNA

bervariasi dari 80% sampai 95% dan aspirat positif palsu terlihat kurang dari 1% kasus,

dan hasil negative palsu terlihat pada 4% sampai 10% kasus tumor payudara.

FNA menggunakan jarum halus (21-25 gauge) tanpa stylet dan syringe kecil.

Tidak digunakan anestesi. Idealnya, spesimen dipertahankan di dalam jarum. Isi jarum

kemudian disebarkan di atas gelas obyek. Gelas obyek kemudian difiksasi dengan

alkohol spray 95% dan/atau dikeringkan, tergantung dari prosedur laboratorium yang

digunakan..

Indikasi dilakukan FNA meliputi: pada pasien dengan tumor jenis kistik

terutama dengan kelainan fibrokistik, tumor solid yang lebih besar dari 1cm (tergantung

lokasi), pada tumor (karsinoma) yang inoperable (konfirmasi diagnosis), dugaan adanya

metastasis dan kekambuhan.

2

Page 4: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

Gambar 1. Fine-needle aspiration biopsy (FNAB)

2. Large needle aspiration biopsy

Tehnik ini menggunakan jarum 18 gauge dengan stilet dan syringe yang besar.

Dilakukan anestesi lokal dalam jumlah kecil. Pisau no. 11 digunakan untuk menusuk

kulit. Jarum kemudian dimasukkan melalui luka ke dalam massa, dengan jari telunjuk

memegang stylet. Tujuan luka tusuk dan stylet adalah untuk memfasilitasi insersi yang

mudah dan mencegah pengambilan sel dari kulit dan jaringan sekitarnya. Jarum

kemudian digerakkan beberapa millimeter dari tempat tusukkan, kemudian dilakukan

aspirasi. Aspirat kemudian disebarkan di atas gelas obyek, difiksasi dan/atau

dikeringkan untuk dilakukan pemeriksaan histopatologis.

Gambar 2. Large needle aspiration biopsy

3

Page 5: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

3. Core needle biopsy

Core biopsy seperti aspirasi jarum halus, relatif aman dan dapat dilakukan

dengan palpasi langsung (contoh, massa payudara atau massa jaringan lunak) atau dapat

dipandu dengan pencitraan (contoh stereotactic core biopsy of the breast). Core biopsy

seperti aspirasi jarum halus, memiliki kekurangan sampling error. Core needle biopsy

menghasilkan jaringan tipis (kurang lebih 1x10 mm). Ukuran sampel yang kecil dapat

menyulitkan patologis untuk mendiagnosis tumor secara akurat, atau jaringan mungkin

tidak representatif untuk seluruh tumor, menyebabkan kesulitan dalam gradasi tumor.

Biopsi ini memakai jarum yang dirancang khusus seperti True-cut, Core-cut, dan

lain-lain. Pada sumbu jarum terdapat kait terbalik, setelah sumbu masuk ke dalam

jaringan barulah sarung jarum dimasukkan, lalu sumbu dan sarung dikeluarkan secara

bersamaan, sehingga diperoleh suatu pita kecil jaringan untuk pemeriksaan patologi,

maka disebut juga biopsy potong. Karena tabung jarum lebih besar, kemungkinan

terjadi implantasi tumor sepanjang jalur jarum lebih besar dibandingkan aspirasi jarum

halus.

Gambar 3. Core needle biopsy

4

Page 6: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

Adapun indikasi dilakukan core needle biopsy meliputi: jika diperkirakan hasil

sampel jaringan tidak representative bila dilakukan FNAB, adanya hasil FNAB yang

berbeda dari beberapa sampel dari lesi yang sama, hasil sitologi FNAB yang tidak

sesuai/representative, rencana dilakukan kemoterapi neoadjuvant pada kasus locally

advance breast cancer yang sebelumnya belum dilakukan operasi, tumor yang dekat

dengan kulit yang berbatas tegas, teraba dan ukuran tumornya tidak lebih kecil dari 2

cm.

4. Shave biopsy

Shave biopsy dilakukan pada lesi kulit yang menonjol seperti BCC nodular,

SCC, atau tumor yang berasal dari folikel. Dilakukan tindakan antiseptik, lalu dilakukan

anestesi lokal di bawah lesi. Dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari, kulit

diregang agar stabil. Lalu, gunakan ujung scalpel no. 15 untuk membatasi batas lesi.

Dengan perut scalpel parallel dengan kulit, lakukan shave biopsy. Gunakan forceps atau

ujung jarum untuk mengambil lesi. Untuk hemostasis dapat dilakukan kauterisasi

elektrik atau kimia. Perawatan post operasi mudah. Luka harus dicuci satu sampai dua

kali sehari dengan sabun ringan dan dibiarkan lembab dengan mengoleskan petroleum

jelly pada balutan sampai menyembuh.

Gambar 4. Shave biopsy

5

Page 7: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

5. Saucerization biopsy

Saucerization biopsy merupakan biopsi cukur yang lebih dalam,

direkomendasikan untuk SCC, nevi atipik, dan melanoma. Dengan menggunakan jari

telunjuk dan ibu jari, pegang pisau cukur dengan gerakan konkav sesuai dengan

kedalaman yang diinginkan. Hemostasis dilakukan sama dengan pada shave biopsy

.

6. Punch biopsy

Punch biopsy cocok untuk mengambil sampel pada lesi yang datar dan lebar,

dan efektif untuk meraih sampel subkutan, dan mendapatkan informasi mengenai

kedalaman invasi tumor. Biopsi ini menggunakan anestesi lokal dan trephine. Operator

membuat insisi sirkular sampai tingkat lemak superfisial, menggunakan trephine yang

berputar. Traksi yang dilakukan tegak lurus terhadap garis kulit yang relaks

meminimalisir redundansi saat penutupan. Spesimen diambil dengan forceps atau

jarum. Hemostasis dilakukan dengan jahitan nonabsorbable yang dapat diangkat 7-14

hari. Luka harus dicuci satu sampai dua kali sehari dengan sabun ringan dan dibiarkan

lembab dengan mengoleskan petroleum jelly pada balutan sampai menyembuh.

Gambar 5. Punch biopsy

6

Page 8: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

7. Incisional Biopsy (Biopsi Insisi)

Biopsi insisi adalah pengambilan sebagian kecil jaringan dari massa tumor

(misalnya payudara, hepar, otot, kulit, paru-paru, prostat, kandung kemih). Biopsi insisi

sering diperlukan untuk diagnosis massa yang lebih besar yang memerlukan prosedur

bedah.

Instrumen yang diperlukan antara lain scalpel no. 15, forceps Adson, hak kulit,

gunting, benang jahit, dan kassa. Scalpel dipegang tegak lurus dengan permukaan kulit.

Insisi fusiform dilakukan pada pertengahan lesi. Spesimen diambil untuk diperiksa, lalu

luka dijahit.

Gambar 6. Biopsi Insisi

Komplikasi biopsi insisi antara lain adalah infeksi luka, dehisensi, dan

pembentukan jaringan parut, serta hematom. Terdapat beberapa faktor penting yang

harus diperhatikan pada biopsy insisi. Untuk lesi di ekstremitas, insisi dilakukan

7

Page 9: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

sepanjang aksis panjang ekstremitas. Untuk lesi di batang tubuh, insisi dilakukan

sedemikian rupa sehingga dapat terambil bersamaan dengan seluruh tumor yang akan

diangkat. Letak biopsi harus tepat pada tumor, pada titik dimana lesi dekat dengan kulit,

dan tidak boleh ada lipatan yang meninggi atau yang mengganggu di superfisial

terhadap tumor. Sebelum penutupan luka, hemostasis harus diperhatikan untuk

meminimalisir hematoma. Drainase tidak rutin dikerjakan, tetapi bila diperlukan, maka

drain harus ditempatkan melalui atau dekat dengan insisi biopsy. Bila didiagnosis

dengan keganasan, jalur drain harus tereksisi bersamaan dengan massa tumor.

8. Excisional Biopsy (Biopsi eksisi)

Biopsi eksisi adalah eksisi seluruh jaringan tumor dengan sedikit atau tanpa

batas jaringan normal disekitarnya. Biopsi eksisi dilakukan untuk kuratif, dengan

mencakup jaringan yang adekuat di sekitar lesi untuk menjamin batas operasi yang

negatif sel tumor. Penandaan batas dengan jahitan atau klip oleh pembedah atau

mewarnai batas spesimen oleh patologis memudahkan penentuan batas bedah dan

menuntun diperlukannya reeksisi bedah bila salah satu atau lebih batas masih

mengandung sel tumor. Biopsi eksisi atau “shellout” dilakukan untuk lesi yang

berdiameter kurang dari 3-5 cm atau untu lesi yang sangat superfisial, dimana

kemungkinan keganasan rendah.

Gambar 7. Biopsi eksisi

8

Page 10: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

Sebelum anestesi dan eksisi, operator menandai batas lesi. Kemudian dilakukan

eksisi berbentuk fusiform dengan sudut 30o atau lebih sirkular. Disarankan untuk

melakukan jahitan pada posisi jam 12 pada spesimen sebagai penanda untuk patologis.

Komplikasi biopsy eksisi antara lain adalah infeksi luka, dehisensi, dan pembentukan

jaringan parut, serta hematom.

Prinsip-Prinsip Prosedur Biopsi

Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh operator pada prosedur biopsi

diantaranya:

1. Jalur jarum atau jaringan parut harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat

terambil pada prosedur bedah selanjutnya. Penempatan insisi biopsi sangat penting,

dan kesalahan penempatan dapat mempengaruhi perawatan selanjutnya. Biopsi

insisi harus ditandai untuk memudahkan eksisi skar biopsi bila operasi lanjutan

diperlukan. Lebih lanjut, biopsi insisi harus dilakukan pada area yang akan dibuang,

bukannya pada sisi lainnya, yang berisiko mengkontaminasi lapangan yang lebih

luas. Insisi pada ekstremitas harus longitudinal agar pengangkatan jaringan dan

penutupan yang akan dilakukan selanjutnya lebih mudah.

2. Harus diperhatikan untuk mencegah kontaminasi jaringan lain saat biopsi. Adanya

hematom besar setelah biopsi dapat menyebabakan penyebaran tumor dan membuat

follow up pemeriksaan fisik lebih sulit. Untuk biopsi pada ekstermitas, penggunaan

tourniquet dapat membantu mengontrol perdarahan. Instrument yang digunakan

pada prosedur biopsi merupakan sumber kontaminasi potensial lainnya pada

jaringan sekitarnya. Tidak biasa dilakukan mengambila biopsi dari beberapa lesi

tersangka pada satu waktu. Kontak instrumen yang telah mengenai jaringan tumor

dengan jaringan normal harus dihindari.

3. Drainase tidak rutin dikerjakan, tetapi bila diperlukan, maka drain harus

ditempatkan melalui atau dekat dengan insisi biopsi. Bila didiagnosis dengan

keganasan, jalur drain harus tereksisi bersamaan dengan massa tumor.

4. Sampel jaringan yang adekuat harus diambil untuk memenuhi kebutuhan patologis.

Untuk mendiagnosis tumor, mikroskop electron, kultur jaringan, atau teknik lain

9

Page 11: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

diperlukan. Jaringan yang cukup harus diambil untuk mengantisipasi kesulitan

diagnostik tersebut.

5. Penting untuk menandai area tumor tententu untuk menjadi penanda spesimen oleh

patologist. Fiksatif tertentu baik untuk digunakan pada jenis dan ukuran tumor

tententu.

6. Penempatan klip radioopak saat biopsi dan prosedur staging terkadang penting

untuk menandai area tumor dan memandu terapi radiasi pada area ini.

Spesimen yang telah diambil dari pasien harus ditempatkan pada kontainer

spesimen dengan label dan stiker yang jelas. Menurut U.S. Occupational Safety and

Health Administration (OSHA) menyaratkan bahwa semua spesimen harus ditempatkan

pada kontainer sekunder sebelum diantar ke laboratorium, misalnya kantung plastik

biohazard.3

Metode Diagnosis Patologi Tumor

Metode-metode diagnosis patologi tumor adalah sebagai berikut:3

1. Potongan blok parafin ( paraffin-embedded tissue section )

Metodenya adalah jaringan sampel didehidrasi kemudian ditanam dalam parafin

padat, lalu dipotong, diwarnai (hematosilineosin/ H-E) diperiksa dibawah mikroskop

untuk dibuat diagnosis.

2. Potongan Beku ( frozen section / vriescope )

Caranya adalah mengambil sekeping kecil jaringan segar, tidak perlu difiksasi,

dibawa kebagian patologi untuk dicetak beku secara cepat, diwarnai dan diagnosis.

Umumnya proses membutuhkan waktu 30 menit.

Kegunaan potong beku adalah (1) bilamana diagnosis belum dapat dipastikan

sebelum operasi. Saat operasi perlu mengetahui sifat lesi untuk menentukan teknik

terapinya, (2) saat operasi perlu mengetahui secara pasti luas infiltrasi lesi, untuk

menetapkan batas operasi, (3) untuk mengetahui apakah suatu lesi diluar tumor

termasuk metastase tumor (4) untuk memastikan ada tidaknya rudapaksa, terhadap

jaringan normal (misalnya terhadap ureter dan lain-lain) atau memastikan biopsi terlah

mendapatkan jaringan tumor.

10

Page 12: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

Karena potongan beku waktunya mendesak, jaringan belum sempat difiksasi.

Desikasi, dan tahapan awal lain. Hingga pewarnaan sedian kurang baik dan lain-lain.

Maka ketepatan diagnosis lebih rendah dari potongan blok parafin. Potongan beku tidak

boleh menggantikan diagnosis dari potongan blok parafin. Biopsi spesimen kecil tidak

sesuai dibuat potongan beku. Tulang dan jaringan kalsifikasi juga tidak sesuai untuk

potongan beku karena terlalu keras tidak dapat dipotong.

3. Diagnostik sitologi

Ini adalah metode mengambil sel dari jaringan tumor, dibuat pulasan diwarna

(PAS atau H-E) kemudian diperiksa morfologinya untuk membuat diagnosis. Menurut

cara pengambilan sampel dapat dibagi menjadi sitologi eksfoliatif untuk tumor

dipermukaan tubuh, rongga tubuh, atau di dalam saluran yang berhubungan dengan

permukaan tubuh; dan sitologi pungsi untuk tumor padat.

4. Tehnik Histokimia

Ini adalah metode menggunakan afinitas terhadap berbagai zat warna kimiawi

yang berbeda dari berbagai sel dan produknya. Dengan tehnik reaksi kimiawi dapat

diperlihatkan komponen atau produk kimiawi spesifik didalam sel untuk membantu

diagnosis dan klasifikasi terhadap suatu kelainan, tehnik pewarnaan histokimia terdapat

lebih edari 100 macam, yang sering dipakai adalah (1) pewarnaan retikulin; (2)

pewarnaan fibrin;(3) pewarnaan otot lurik;(4) pewarnaan glikogen; (5) pewarnaan

musin; (6) pewarnaan lipid (7) pewarnaan melanin;(8) pewarnaan tahan asam, dan lain

lain.

5. Tehnik imunohistokimia (IHC)

Prinsip IHC adalah reaksi antigen-antibodi, yaitu menggunakan reaksi antibodi

yang sudah diketahui bereaksi dengan antigen targer dalam jaringan yang akan

diperiksa. Hingga terbentuk komplek antigen-antibodi. Dengan membuat komplek itu

menampilkan warna, maka dapat dibuktikan keberadaan antigen target itu. Peranan IHC

dalam diagnosis dan terapi tumor adalah sebagai berikut:

a. Diagnosis dan diagnosis banding tumor karena adanya heterogenitas pada tumor

yang sama dan adanya banyak kemiripan pada tumor yang berbed, banyak tumor

11

Page 13: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

terutama yang berdeferensiasi buruk sulit ditentukan arah deferensiasinya secara

morfologi. Misalnya tumor jenis sel kecil (dapat berupa karsinoma sel kecil,

berbagai sarkoma sel kecil. Limfoma maligna, melanoma maligna, dan lain-

lain). Tumor sel peomorfik atau sel spindel sulit sekali diagnosisnya. Dengan

tehnik IHC. Diagnosis dan klasifikasi tumor demikian dapat menjadi lebih jelas,

misalnya saluran pencernaan mempunyai berbagai jenis tumor sel spindel.

Dengan antibodi CD117, CD34, S-100, desmin, dapat dibedakan tumor stroma

gastrointestinal (GIST) yang mengekspresikan CD 117, CD 34,

leiomioma/arkoma yang mngekspresikan desmin, neurilemoma/neurilemoma

maligna yang mengekspresikan protein S-100 .

b. Menentukan lokasi primer kanker matastatik: tumor matastatik kelenjar limfe

atau bagian lainnya kadangkala hanya mengandalkan morfologi. Dibawah

mikroskop suara cahaya sulit ditentukan lokasi primernya . IHC dapat

membantu menentukan asal sebagian tumor tersebut, misalnya tiroglobulin

(TG), antigen spesifik prostat (PSA), alfafetoprotein (AFP) fosfatase alkali

plasenta (PLAP) dan lain-lain. Memastikan matastasis dari karsinoma tiroid,

karsinoma prostat, hepatoma atau tumor sel germinal. Antigen spesifik jaringan

seperti ini masih sedikit jumlahnya.

c. Diagnosis dan klasifikasi limfoma maligna: kecuali limfoma hodgkin dan

limfoma folikular yang bentuknya sangat tipikal, dalam hal diagnosis dan

klasifikasi limfoma maligna terutama limfoma non hodgkin nyaris tidak dapat

meninggalkan IHC. Metode klasifikasi paling umum dewasa ini adalah metode

klasifikasi menurut WHO tahun 2000. Berdasarkan klasifikasi Lukes yang

megklasifikasikan tumor jaringan hematolimfoid berdasarkan gabungan

perubahan morfologi, manifestasi imunitas, kelainan genetik, manifestasi klinis

dan prognosis. Diantaranya, limfoma non hodgkin dapat diklasifikasikan

menjadi limfoma pra-sel B dan sel T. Limfoma sel B matur. Limfoma sel T

matur dan sel NK. Dan limfoma histiositik dan sel dendritik yang lebih jarang

ditemukan. Limfoma hodgkin diklasifikasikan menjadi dua golongan besar,

yaitu tipe predominan limfosit nodular dan tipe klasik (termasuk tipe

nodulosklerosis, tipe sel campuran, tipe predominan limfosit, tipe deplesi

12

Page 14: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

limfosit). Sudah tersedia 100 lebih jenis antibodi seri CD dan antibodi lain yang

tepat yang dapat dipakai untuk diagnosis dan klasifikasi limfoma.

d. Memperkirakan tabiat biologis tumor dan memberikan dasar bagi penentuan

terapi secara klinis: misalnya pemeriksaan terhadap ekskresi berbagai onkogen,

gen resisten obat multiple (MDR) dan gen reseptor hormon.

Pembacaan Gambaran Makroskopis

Dengan penglihatan mata biasa diperhatikan jaringan tumor tersebut.

Bagaimana bentuk dan morfologi tumor, warna, adanya nekrotik, adanya perdarahan.

Secara makroskopik juga dapat ditentukan ada tidaknya sampai tumor, adanya

pertumbuhan yang infiltratif, konsistensinya, apakan jaringan tumor rapuh atau tidak,

dan ukuran tumor.

Pembacaan Gambaran Mikroskopis

Perbedaan mikroskopis khas antara tumor jinak dan ganas dapat dilihat pada

tabel berikut:

Gambaran morfologi Jinak Ganas

Jaringan Tersusun Tidak tersusun

Arsitektur Mirip jaringan asal Kurang atau sama sekali

tidak mirip dengan

jaringan asal

Perubahan sekunder Jarang atau tidak ada Nekrosis, perdarahan

Sel Berdeferensiasi baik Berdeferensiasi buruk

Ukuran, bentuk Seragam Pleomorfik

Inti Serupa dengan normal Atipik

Ukuran, bentuk Reguler Ireguler

Kromatin Tersebar merata

Nukleolus Tidak jelas Menonjol, banyak

Mitosis Sedikit Banyak, ireguler

13

Page 15: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

Dengan mikroskop elektron, sel-sel tumor jinak memiliki sitoplasma yang

berkembang baik dan mengandung organel-organel yang biasa ditemukan pada jaringan

normal yang sesuai. Tumor ganas terdiri dari sel-sel yang hanya sedikit mirip dengan sel

normal inti sel-sel ini pleomorfik dan bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan distribusi

kromatinnya. Sitoplasma sel tumor maligna biasanya mengandung lebih sedikit organel

dari sitoplasma sel normal.

Sebuah metode dasar untuk mengklasifikasikan kanker berdasarkan karakteristik

histologis atau selular nya adalah dengan klasifikasi Broder’s:3

1. Grade I: tumor menunjukkan kecenderungan untuk berdiferensiasi; ≥ 75% sel-sel berdiferensiasi.

2. Grade II: 75%-50% sel-sel berdiferensiasi, displasia ringan hingga sedang dan metaplasia.

3. Grade III: 50%-25% sel-sel berdiferensiasi, displasia berat, atipikal, dan kanker in situ.

4. Grade IV: 25%-0% sel-sel berdiferensiasi

14

Page 16: Biopsi & Pemeriksaan Histopatologis-Ulang.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.

Oncology, in Schwartz’s Principles of Surgery. 8th ed, Philadelphia. The McGraw-Hill

Companies. 2007

2. Townsend, Beauchamp, Evers, Mattox. Section V-Surgical Oncology; Sabiston

Textbook of Surgery. 18th ed. California. Saunders, An Imprint of Elsevier. 2007

3. Fischbach F, Dunning MB. A Manual of Laboratory and Diagnostic Tests. 8th ed.

Philladelphia. Lippincott William & Wilkins. 2009

4. Robin R, Roberts F, MacDuff E. Pathology Illustrated. Pathology Illustrated. 7th ed.

Elsevier: Churchill Livingstone. 2011

5. De Vita V.T. Jr. Hellman S, Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of

oncology, vol 1. 8th ed, Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008

6. Ddesen W, Japaries W. Onkologi Klinis, Edisi 2. Jakarta, FK-UI. 2008

7. Pant VSM CS. Atlas of Breast Imaging With Mammography, Ultrasound & MRI

Correlation. Jaypee, New Delhi, 2011.

15